Post on 02-May-2019
i
Kajian Sosio-Historis terhadap Pengaruh Asiria terhadap Gaya
Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia di Israel Selatan
Oleh
Eleksio Petrich Pattiasina
71 2011 043
Tugas Akhir
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga,
2015
ii
iii
iv
v
Kata Pengantar
“Leadership is the capacity to translate vision into reality.”
Warren Bennis
Pernyataan Warren Bennis dengan jelas menunjukkan bahwa kepemimpinan
merupakan kapasitas untuk merealisasikan visi ke dalam kenyataan. Kepemimpinan tidaklah
identik dengan jabatan saja, lebih daripada itu sosok kepemimpinan seyogiannya dapat
menginsirasi, memberi ruang kepada orang lain untuk berkembang dan bertumbuh secara
holistik. Penulis mengkaji kepemimpinan dalam konstalasi dunia perjanjian lama, khususnya
perpolitikan maupun yang berdampak pada kehidupan sosial saat itu. Penulis mengkaji
sebuah bangsa adidaya yang mengambil alih bangsa lain sehingga akan mempengaruhi
struktur sosial, bahkan gaya kepemimpinan dari raja-raja saat itu. Berkaitan dengan hal
tersebut, penulis akan merekonstruksi dari segi sosio-historis akibat dari pengaruh bangsa
Asiria terhadap gaya kepemimpinan raja-raja Yehuda (Hizkia, Manasye dan Yosia). Dunia
perjanjian lama menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan aspek sangat penting yang
membawa perubahan dalam kehidupan sosial. Penulis meyakini bahwa tema kepemimpinan
sangatlah relevan pada dunia saat ini dan akan datang.
Atas rampungnya tulisan ini, penulis haturkan ucapan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Oleh karena tuntunannya, tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Juga
penulis menyadari bahwa dukungan dari berbagai pihak membantu proses penulisan ini.
Pertama-pertama kepada orang tua dan keluarga yang telah mengorbankan banyak hal bagi
penulis, mulai dari awal perkuliahan sampai saat ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih
dan hormat. Kemudian, penulis ungkapkan rasa terima kasih dan kagum kepada Ivana
Gabriela yang telah memberikan support selama ini dan memberikan pelajaran berharga
sepanjang proses perkuliahan sampai saat ini. Ungkapan terima kasih penulis kepada Ibu Pdt
Dr. Retnowati dan Ibu Ira Mangililo, Ph.D yang telah membimbing penulis sampai akhirnya
dapat menyelesaikan tulisan ini dengan baik, penulis banyak belajar dari proses bimbingan
yang dilakukan. Bagi Bapak Pdt. Yusak Setyawan, Ph.D dan Bapak Gusti Menoh, M.Hum
selaku reviewer tugas akhir ini. Dengan masukan dan kritik yang membangun bagi penulis
untuk terus belajar melakukan yang terbaik dalam segala hal. Penulis mengucapkan ungkapan
terima kasih kepada Fakultas Teologi UKSW yang selama ini memberi pencerahan kepada
penulis, juga bagi angkatan 2011 ungkapan terima kasih penulis ucapkan, karena telah belajar
bersama-sama dalam proses menjadi teolog-teolog muda masa depan.
vi
Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik maupun
saran sangatlah diharapkan oleh penulis untuk memberikan kualitas yang lebih baik dalam
penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.
Salatiga, 1 Oktober 2015
Eleksio Petrich Pattiasina
vii
Daftar Isi Cover ................................................................................................................................. i Lembar Pengesahan ......................................................................................................... ii Pernyataan Tidak Plagiat ................................................................................................ iii Persetujuan Akses ........................................................................................................... iv Kata Pengantar ..................................................................................................................v Daftar Isi ........................................................................................................................ vii Abstrak .......................................................................................................................... viii 1. Pendahuluan ................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian ...........................................................2 1.3 Manfaat Penelitian ...............................................................................................2 1.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian .............................................3 1.5 Sistematika Penulisan ..........................................................................................3
2. Landasan Teori............................................................................................................3 2.1 Kepemimpinan dalam Arti Luas .........................................................................3 2.2 Kepemimpinan dalam Dunia Israel Kuno ...........................................................4 2.3 Konsep-konsep Kepemimpinan ..........................................................................4
2.3.1 Kepemimpinan Transformatif .................................................................5 2.3.2 Kepemimpinan Transaksional .................................................................5 2.3.3 Kepemimpinan Kharismatik ....................................................................6 2.3.4 Kepemimpinan Tradisional .....................................................................7
2.4 Teori Core Periphery sebagai Kajian Kekuasaan Dunia Israel Kuno ...............8 2.5 Teori Sumber DH dalam Bingkai Kekuasaan Israel .........................................10
3. Kajian Sosio-Historis Kepemimpinan ......................................................................12 3.1 Tinjauan Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Perjanjian Lama ...................12 3.2 Perkembangan Kekuasaan Kerajaan Israel .......................................................13 3.3 Pengaruh Asiria terhadap Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia ..15 3.4 Kekuasaan Raja Hizkia Menghadapi Gempuran Asiria ....................................17 3.5 Pergolakan Kepemimpinan Raja Manasye ........................................................19 3.6 Reformasi Kepemimpinan Raja Yosia ..............................................................20
4. Relevansi Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia bagi Dunia Masa Kini ...............................................................................................22 4.1 Kepemimpinan Kristen Masa Kini ....................................................................23
5. Penutup .....................................................................................................................24 6. Daftar Pustaka ...........................................................................................................26
viii
Abstrak
Dunia perjanjian lama tidak bisa lepas dari adanya suatu bangsa berkuasa yang dapat mempengaruhi sebuah bangsa atau wilayah menjadi bangsa taklukan. Tulisan ini membahas kekuasaan Asiria yang mempengaruhi gaya kepemimpinan raja Israel Selatan saat itu, yakni Hizkia, Manasye dan Yosia. Kisah sejarah yang penuh dengan intrik mengenai jatuh bangunnya Israel Selatan yang sangat berbau politik, dan berpengaruh pada kebijakan yang diturunkan.Entah itu Israel Selatan harus melawan kepada bangsa adidaya dalam hal ini Asiria atau tunduk kepadanya. Dengan menggunakan pendekatan Sosio-Historis juga memakai pendekatan teori core and periphery (pusat dan pinggiran) akibat dari imperialisme besar-besaran yang terjadi saat itu kepada Israel Selatan yang termasuk sebagai bangsa pinggiran, sedangkan bangsa Asiria sebagai bangsa pusat yang memainkan peranan kunci dalam perpolitikkan saat itu.Dengan menggunakan konsep-konsep kepemimpinan sebagai analisa kritis terhadap gaya kepemimpinan ketiga raja tersebut. Prinsip kepemimpinan tersebut menjadi dasar bagi pembaca untuk menghadapi tantangan zaman yang begitu kuat yang pada akhirnya dipahami bahwa kepemimpinan merupakan suatu seni yang harus terus menerus diperbaharui sesuai dengan situasi dan konteks yang ada.Dengan menggunakan strategi-strategi yang baik untuk kemajuan suatu kelompok maupun organisasi dalam masyarakat.
Kata Kunci : Kekuasaan Asiria, Gaya Kepemimpinan, Raja-raja Israel Selatan
- 1 -
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Pemerintahan dan kerajaan sebenarnya tidak bisa lepas dari yang namanya pemimpin
seperti halnya pemimpin provinsi seperti gubernur, pemimpin negara yakni presiden, dan
berbagai kedudukan kepemimpinan lainnya. Hal ini merupakan sesuatu yang mutlak karena
pemimpin merupakan sosok yang menjadi panutan dan harus memberi tempat bagi orang lain
untuk selalu bertumbuh dan berkembang sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya.
Pemimpin harus memprioritaskan kepentingan orang banyak, bukan semata-mata
kepentingan pribadi atau golongan. Meskipun dalam setiap masa pasti ada tantangan dan
hambatan yang mempengaruhi seorang pemimpin, baik pengaruh dari dalam (kelompok atau
organisasi) maupun dari luar (kekuasaan). Lebih daripada itu kepemimpinan merupakan
suatu seni yang harus dimiliki oleh seseorang dalam upaya untuk menggerakan orang lain
(individu maupun kelompok) untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Secara spesifik yang
akan dibahas lebih lanjut adalah kepemimpinan dari dunia timur dekat kuno, yakni bangsa
Yehuda dengan pergolakan politik, ekonomi maupun budaya menghadapi bangsa di
sekitarnya.
Tulisan ini membahas mengenai jatuh bangunnya kekuasaan Yehuda menghadapi
bangsa adidaya Asiria. Coote mengatakan bahwa runtuhnya kerajaan Israel Utara di tangan
Asiria tersebut menyebabkan Yehuda di Selatan tidak bebas sepenuhnya. Asiria masih terus
membayangi kerajaan Yehuda dengan sangat ketat.1 Hal menarik yang dapat dilihat dari
relasi tersebut adalah bagaimana reaksi raja-raja Israel Selatan ketika mereka menjalankan
kepemimpinan yang dibayang-bayangi oleh kekuasaan imperialisme Asiria tersebut.
Imperialisme merupakan suatu kebijakan dimana suatu negara besar dapat memegang kendali
atas daerah lain agar daerah itu dapat dipelihara atau berkembang. Dalam tulisan ini
memaparkan mengenai kekuasaan pasca raja Salomo, terutama pada ketiga raja tersebut
(Hizkia, Manasye dan Yosia). Pengaruh kekuasaan Asiria tersebut berimbas sangat jelas di
dalam gaya kepemimpinan raja-raja yang berkuasa pada masa pasca Salomo. Fokus utama
yang dikritisi ialah bagaimana pelaksanaan kepemimpinan ketika Asiria membayangi Yehuda
secara ketat. Tulisan ini dibatasi pada tiga raja, yaitu Hizkia, Manasye dan Yosia karena pada
masa mereka Asiria dalam puncak kekuasaan dan juga saat itu kekuasaan Asiria mulai
1 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik; Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan Israel (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2014), 1.
- 2 -
melemah. Kerajaan Israel saat itu ibarat orang yang berusaha menghindari permasalahan dan
tergesa-gesa dalam menyikapi keadaan sekitarnya. Hal ini menjadi sesuatu yang penting
karena dalam sejarahnya banyak sekali muncul pandangan-pandangan yang mempengaruhi
cara orang Israel melihat diri mereka yang tercatat di dalam kitab-kitab Deuteronomy History
(DH) Yosua sampai 2 Raja-Raja. Dengan melihat keadaan tersebut, maka dapat terlihat
bahwa pengaruh kekuasaan Asiria mengakibatkan ketiga raja tersebut harus berinteraksi
dengan kekuasaan Asiria. Hal ini akan nyata di dalam setiap kebijakan yang mereka ambil.
Entah itu kebijakan yang menolak atau melawan,kebijakan dimana Israel menjadi bangsa
taklukan yang patuh, tetapi juga pada akhirnya mereka menjadi bangsa taklukan yang
berangsur-angsur terbebas dan melihat kesempatan (kekosongan) itu sebagai ajang untuk
memperbaiki keadaan yang hancur.
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Dua rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu: Pertama, Bagaimana
pengaruh kekuasaan Asiria terhadap gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia ditinjau
dari konteks sosio-historisnya?Kedua, Bagaimana gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan
Yosia berdampak terhadap pola kepemimpinan masa kini dengan kehidupan pembaca dalam
konteks Indonesia?
Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: Pertama, menjelaskan dan melakukan
tinjauan kritis pengaruh kekuasaan Asiria terhadap gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye
danYosia ditinjau dari konteks sosio-historisnya.Kedua, Melakukan tinjauan kritis terhadap
gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia serta dampaknya pada kepemimpinan masa
kini, terkhusus dalam konteks Indonesia.
1.3 Manfaat Penelitian Secara teoritis kajian sosio historis ini dapat menjadi sumbangan terhadap
pemahaman yang lebih kompleks dan mendalam kepada mahasiswa/i teologi di Indonesia
mengenai pengaruh Asiria terhadap gaya kepemimpinan dari raja-raja di Israel Selatan,
khususnya Hizkia, Manasye dan Yosia. Juga Menjadi bahan referensi dalam bidang
Perjanjian Lama, yakni sebagai suatu acuan terhadap pemahaman mendasar dan mendalam
yang terkait dengan studi kepemimpinan.Secara praktis kajian sosio historis ini menjadi
acuanbagi pemimpin-pemimpin gereja dan masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas
kepemimpinannya ditinjau dari gaya kepemimpinan Perjanjian Lama yang relevan
digunakan saat ini sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang beradab (civil society).
- 3 -
1.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian Metode penelitian menggunakan metode hermeneutik dengan pendekatan sosio-
historis. Dalam hal ini pendekatan sosio-historis digunakan untuk dapat melihat dan
menganalisis keadaan sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya yang ada pada saat itu
dan khususnya berhubungan dengan situasi di Israel Selatan saat itu yang berhubungan
dengan bangsa Asiria. Metode Hermeneutik dengan pendekatan sosio-historis ini berguna
untuk menganalisis latar belakang sejarah dan situasi sosial yang terjadi pada masa
tertentu, khususnya pada masa Perjanjian lama dengan lebih kritis dan mendalam.2
Teknik pengumpulan data dilakukan dari penelusuran dan pengkajian terhadap bahan-
bahan pustaka yang menjadi sumber data.3 Sumber data tersebut berupa literatur yang
berhubungan dengan penulisan ini sehingga penulis menggunakan metode studi
kepustakaan, kemudian penulis mengolah data dengan mengidentifikasi, mengkritisi dan
menganalisa berdasarkan sumber pustaka yang relevan. Hasil pengolahan data maupun
analisa diharapkan dapat menjawab masalah yang diteliti.
1.5 Sistematika Penulisan Penulis membagi sistematika penulisan penelitian ini dalam lima bagian. Pada
bagian pertama berisikan pendahuluan. Bagian kedua memuat Landasan Teori yang
menjelaskan konsep kepemimpinan, teori Core Periphery, dan teori sumber DH. Bagian
ketiga memuat pembahasan serta analisa sosio-historis pengaruh Asiria terhadap gaya
kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia. Bagian keempat berisi mengenai Relevansi
gaya kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia bagi kepemimpinan masa kini. Terakhir
bagian kelima akan memuat penutup tulisan ini.
2. Landasan Teori
2.1 Kepemimpinan dalam Arti Luas Kepemimpinan dilihat dari akar katanya, yakni pimpin dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) menyatakan bahwa pemimpin merupakan suatu keadaan dalam mengepalai
suatu perkumpulan/organisasi, menuntun, memandu dan melatih orang yang dipimpinnya.
Dari kepemimpinan tersebut lahirlah gaya kepemimpinan masing-masing orang. Setiap
pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing, serta keunikan yang tidak
dimiliki oleh pemimpin lain. Untuk itu tidak ada gaya kepemimpinan yang benar-benar ideal,
2 Norman K Gottwald, Sociological Method in The Study of Acient Israel (New York: Orbis Books, 1983), 27. 3 H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Madah Univeristy Press, 1983), 79.
- 4 -
setiap gaya kepemimpinan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Maka,
setiap pemimpin perlu untuk mengembangkan diri dan kemampuan untuk mengetahui
konteks dan kondisi yang dialami oleh kelompok yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan
juga dapat dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik maupun budaya di sekitarnya.
Dengan demikian perlu adanya visi dari suatu kelompok atau organisasi, agar dalam
menjalankan kepemimpinannya dapat berjalan bersama-sama dengan orang yang dipimpin.
Kadarman mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni atau proses untuk mempengaruhi dan
mengarahkan orang lain agar mereka mau berusaha untuk mencapai tujuan yang hendak
dicapai kelompok.4 Menurut Chung dan Megginson kepemimpinan didefinisikan sebagai
kesanggupan mempengaruhi perilaku orang lain dalam suatu arah tertentu.5 Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi dan
mengarahkan orang lain untuk tercapainya suatu tujuan tertentu.
2.2 Kepemimpinan dalam Dunia Israel Kuno Di dalam dunia Israel kuno ketika raja menjadi seorang pemimpin kepada umatnya, ia
menjadi tokoh sentral dan menjadi panutan bangsanya. Dalam hal ini Raja Yehuda di Selatan,
yakni Hizkia, Manasye dan Yosia yang menjadi obyek dalam penelitian ini sebagai sosok
pemimpin ketika kerajaan mereka mendapatkan perlawanan dari Asiria ataupun secara
langsung, kerajaan Yehuda di Selatan ditindas oleh Asiria, saat-saat tersebutlah sosok
pemimpin ditentukan. Retnowati menyatakan bahwa, “Banyak orang menjadi pemimpin
tetapi tidak semua orang dapat menjadi leader karena leader membutuhkan komitmen,
integritas dan idealisme”.6 Dengan demikian kepemimpinan merupakan bagian yang paling
penting dari sejarah umat manusia, mulai dari dunia Israel Kuno sampai dunia saat ini
membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi leader bagi komunitas maupun dalam
kelompoknya.
2.3 Konsep-konsep Kepemimpinan Retnowati membagi konsep-konsep kepemimpinan menjadi beberapa bagian7, dan
penulis menggunakan empat konsep kepemimpinan yang menjadi suatu dasar pemikiran
untuk menganalisis pola kepemimpinan raja-raja Yehuda di Selatan (Hizkia, Manasye dan
Yosia) konsep-konsep kepemimpinan tersebut sebagai berikut: 4 Kadarman, A.M, Pengantar Ilmu Manajemen: buku panduan mahasiswa (Jakarta:PT Gramedia Pustaka
Utama, 1996), 110. 5Stan Kosen, Aspek Manusiawi dalam Organisasi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986) , 181. 6Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas
Teologi UKSW, 2012), 9. 7Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif,27-38.
- 5 -
2.3.1 Kepemimpinan Transformatif
Para pemimpin transformasional mengidentifikasi, mengartikulasi dan membantu
orang lain menginternalisasi nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan bersama. Model
kepemimpinan ini selalu berupaya memberi peluang bagi pengikutnya untuk
mengembangkan diri mereka. Pemimpin transformatif ini terus memberdayakan orang-orang
yang dipimpinnya dan juga mendampingi mereka dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya. Model kepemimpinan transformatif ini tidak hanya dilihat pada hasilnya
tetapi pada proses yang dilalui kelompok atau organisasi yang dipimpinnya. Dalam
kepemimpinan transformatif, kepemimpinan dapat didefinisikan juga sebagai suatu seni
untuk menciptakan kesesuaian paham atau kesepakatan.8
Kepemimpinan transformatif juga tidak lepas dari pelaksanaan pengaruh.9 Menurut
Keating kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang
atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.10 Hal ini berarti adanya hubungan
yang kolektif kolegial antara pemimpin dan pengikut, tetapi hal tersebut tidak diwarnai oleh
dominasi ataupun penekanan dari pihak pemimpin. Dalam melakukan suatu transformasi
kepemimpinan, perlu dilihat tindakan atau perilaku.11 Paham tersebut dapat dihubungkan
dengan tindakan-tindakan seorang pemimpin dalam mengarahkan atau mendorong
anggotanya. Hal tersebut memberi pemahaman baru terhadap anggotanya juga memberi
perhatian yang lebih dalam perilaku pemimpin terhadap anggota, terkhusus masalah
kesejahteraan dan perasaan mereka.
2.3.2 Kepemimpinan Transaksional
Pola kepemimpinan transaksional merupakan kepemimpinan yang menekankan pada
transaksi antara pemimpin dan para pengikutnya. Dalam menjalankan organisasi pemimpin
transaksional mendasari kepemimpinannya dengan reward dan punishment, pengikut yang
berhasil mencapai tujuan yang diharapkan mendapat reward, sedangkan yang tidak berhasil
mencapai tujuan yang diharapkan atau gagal mendapat punishment. Model kepemimpinan ini
sebenarnya dapat memacu kinerja anggota atau orang yang dipimpin, tetapi di sisi lain
pekerjaan dan tugas mereka dapat menjadi beban selama mereka melaksanakannya.
Sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan kepemimpinan transformasional, karena pola 8 Ralph M. Stogdill. A Handbook of Leadership, The Free Press (London: Collier Macmillan Publishers, 1974), 9. 9Ralph M. Stogdill, A Handbook,9-10. 10 Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 9. 11 Ralph M. Stogdill, A Handbook, 10-11.
- 6 -
kepemimpinan transformasional bersama-sama maju di dalam memajukan suatu organisasi
yang dipimpinnya. Kepemimpinan transformasional, khususnya dalam suatu organisasi tidak
menjadikan suatu pekerjaan atau tanggung jawab sebagai suatu beban moral yang harus
dikerjakan ‘dengan paksaan’, meskipun dalam kepemimpinan transaksional ini dapat
memacu seseorang untuk bekerja lebih baik lagi dan untuk mencapai target, tetapi yang
dilihat bukan prosesnya melainkan hasil yang akan didapatkan, penghargaan atau hukuman.
2.3.3 Kepemimpinan Kharismatik
Kepemimpinan kharismatik pertama kali dimunculkan oleh Weber.Teori tentang
kharisma dan aplikasinya banyak ditemukan dari teori terhadap beberapa tokoh sejarah yang
sebagian besar adalah nabi Yahudi dan pendeta Yahudi. Konsep kharisma itu sendiri sudah
sangat tua. Kharisma adalah kata kuno. Sumbernya sering dikutip dari kata Yunani kuno
“kairismos”. Istilah ini bahkan mundur lebih jauh ke zaman Persia kuno. Bagi orang Persia
dan Yunani kharisma berarti sebuah pemberian para dewa yang dianugerahkan kepada
seseorang. Kepemimpinan model ini terkadang menjadi hal yang lumrah dari dunia Israel
kuno, karena raja-raja pada saat itu menganuhgerahkan takhta mereka kepada penerusnya,
yaitu anak mereka sehingga secara tidak langsung memberi perhatian bahwa kepemimpinan
model ini hanya didapatkan oleh keturunan raja atau dewa saja. Kepemimpinan Kharismatik
dikatakan merupakan suatu kepribadian seseorang yang mempunyai pengaruh.12 Paham atau
pandangan ini muncul ketika para pakar mencoba menjelaskan mengapa beberapa orang
lebih mampu menjalakan suatu kepemimpinan dibandingkan dengan yang lainnya. Bigham
mendefinisikan seorang pemimpin sebagai seseorang yang memiliki sejumlah sifat dan watak
yang memadai dari suatu kepribadian.13Model kepemimpinan Kharismatik memiliki sifat-
sifat tertentu yang membedakannya dengan orang yang dipimpinnya.
Dalam Kepemimpinan Kharismatik yang sangat kental terlihat adalah relasi
kekuasaan.14 Dari pandangan ini, kekuatan dan kekuasaan merupakan suatu hubungan antara
pemimpin dengan yang dipimpin, dimana yang memimpin lebih mendominasi atau
mempengaruhi daripada dipengaruhi. Hal tersebut terjadi, karena kekuasaan dan kekuatan
yang ia miliki untuk mempengaruhi orang lain sesuai keinginannya. Gaya kepemimpinan ini
yang membedakan dengan kepemimpinan transformasional dan transaksional, karena gaya
kepemimpinan ini hanya berfokus pada seorang pemimpin saja, tanpa banyak mempedulikan 12 Ralph M. Stogdill. A Handbook, 8-9. 13 BighamW.V., The Pyschological Foundations of Management (Shaw: New York, 1927), 54. 14 Ralph M. Stogdill, A Handbook, 12.
- 7 -
orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan kharismatik sangat mirip dengan
kepemimpinan tradisional yang berpusat pada sang pemimpin sebagai sentral dari segala
sesuatunya
2.3.4 Kepemimpinan Tradisional
Kepemimpinan tradisional digambarkan ibarat sapu lidi, semua nilai sosial berkisar
pada pemimpin. Kurang ada perserikatan horizontal antara orang-orang yang setara karena
semuanya bergantung kepada hubungan vertikal dengan pemimpin-pemimpin. Dalam
masyarakat ‘sapu lidi’ solidaritas hanya tergantung pada tali pengikatnya. Jika tali
pengikatnya lemah atau hilang, maka solidaritas semacam itu akan pudar. Kepemimpinan
model ini mirip dengan kepemimpinan kharismatik yang menekankan pada sosok
pemimpinnya, dan hal ini cenderung membuat suatu komunitas tidak berkembang dan maju,
karena pemimpinnya hanya fokus pada dirinya sendiri, tidak melihat komunitasnya sebagai
suatu sarana yang sangat penting untuk didayagunakan. Kepemimpinan sebagai titik pusat
proses-proses kelompok.15 Dapat diketahui bahwa pemimpin merupakan sosok yang tidak
bisa dipisahkan oleh kelompoknya dan ia menjadi titik pusat dan penentu dalam kelompok
tersebut. Kepemimpinan merupakan pusat dari kegiatan yang terjadi, mulai dari prosesnya
hingga setiap perubahan yang terjadi. Kepemimpinan merupakan gejala dari setiap kelompok
atau gejala sosial yang terjadi. Dalam gaya kepemimpinan ini sangatlah sulit suatu organisasi
untuk berkembang, karena hanya bergantung pada seorang pemimpin saja, tetapi dalam
budaya Israel Kuno gaya kepemimpinan ini seringkali dipakai sebagai suatu kebudayaan
yang turun menurun, yakni seorang raja yang memimpin bangsanya dengan kekuasaan
berpusat pada dirinya sendiri.
Dengan adanya konsep-konsep mengenai kepemimpinan tersebut, pola pikir dan
tindakan yang dilakukan oleh raja-raja Yehuda di Selatan dapat diketahui secara implisit
berdasarkan konsep kepemimpinan tersebut. Hal tersebut juga dapat memberi kemudahan
bagi penulis ketika menganalisis lebih dalam pengaruh Asiria terhadap gaya kepemimpinan
mereka. Dari model-model kepemimpinan di atas, yakni kepemimpinan transformatif,
kepemimpinan transaksional, kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan tradisional
digunakan sebagai suatu acuan dalam menganalisis hubungan timbal balik antara Asiria
dengan raja-raja Yehuda di Selatan yang berkuasa saat itu. Bagaimana kepemimpinan mereka
mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga dapat turun ke kebijakan yang mereka lakukan. Ini 15 Ralph M. Stogdill. A Handbook, 7-8.
- 8 -
dapat terlihat pada teori yang akan digunakan selanjutnya, yakni teori core and periphery
dalam menganalisis tulisan ini dengan lebih lugas dan sistematis.
2.4 Teori Core Periphery sebagai Kajian Kekuasaan Dunia Israel Kuno Dunia Israel kuno secara eksplisit terdapat bangsa adidaya dan bangsa non adidaya.
Dari hal tersebut dapat diambil suatu benang merah yang berhubungan, yakni di setiap zaman
sudah pasti ada suatu bangsa yang berkuasa dan yang ditindas (tidak berkuasa). Hukum rimba
berlaku yang menyatakan “siapa yang menang atau yang kuat dialah yang berkuasa.” Dalam
hal ini yang menjadi subyek penelitian ialah bangsa adidaya Asiria yang berhubungan dengan
bangsa non adidaya Israel Selatan (Yehuda) yang pada masa itu bersama-sama mempunyai
pengaruh dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Inilah yang akan mempengaruhi gaya
kepemimpinan raja-raja Yehuda di Selatan (Hizkia, Manasye dan Yosia) yang berkuasa saat
itu hal tersebut dikarenakan situasi dan perubahan-perubahan yang terjadi dapat
mempengaruhi gaya kepemimpinan serta kebijakan yang akan dilakukan oleh raja-raja
Yehuda saat itu.
Sebuah permainan politik yang sangat menarik antara kekuasaan bangsa adidaya
dengan bangsa taklukan di dunia timur dekat kuno, dimulai dari pemerintahan Mesir yang
begitu hebat sehingga menguasai daratan timur dekat kuno tahun 2600 SZB (Sebelum Zaman
Bersama), kemudian kerajaan-kerajaan besar masuk, yakni Babilonia, kerajaan Hitti, kerajaan
Akadia, kerajaan Asiria dan kira-kira pada tahun 1000-971 SZB baru munculnya kerajaan
Daud (Israel).16 Terjadinya pergolakan politik yang begitu kuat yang didasari oleh
penguasaan wilayah satu dengan yang lainnya. Pada perjalanannya ketika muncul kerajaan
yang besar, kuat dan semakin berkembang, maka saat itu disebut sebagai kerajaan core
sedangkan bangsa yang ditindas, maupun dikuasai disebut dengan kerajaan periphery. Teori
core and periphery merupakan suatu pengendalian kawasan berdasarkan sebuah sistem
politik yang dipusatkan. Dalam hal ini suatu kekuasaan bisa sangat besar tergantung sejauh
mana kerajaan tersebut dapat menguasai secara politis daerahnya.17 Perbedaan inti dari
kelompok core and periphery, terlihat jelas dari kekuataan ekonomi dan politik masing-
masing kelompok tersebut. Kelompok terkuat ialah negara core yang mengambil keuntungan
paling banyak, bahkan dapat memanipulasi sistem politik sampai batas-batas tertentu.
16 Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1987),
71-78. 17 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 108.
- 9 -
Sedangkan negara periphery merupakan pihak yang paling dieksploitir, baik dari sumber
daya manusia maupun sumber daya alamnya.18
Jika terjadi demikian, maka sebuah pemerintahan akan kuat dan lemah ditentukan
oleh pemasukan maupun produksi yang dilakukan. Menurut Wallerstein, hubungan timbal
balik dari pembagian budaya kerja secara khusus menekankan dalam produksi, dalam hal ini
pembagian kerja mengacu pada kekuatan dan hubungan produksi perekonomian secara
keseluruhan.19 Pembagian kerja ini menyebabkan adanya dua daerah yang saling bergantung,
yakni negara inti dan negara pinggiran (core and periphery), hal ini akan mempengaruhi
secara menyeluruh perkembangan struktur maupun sistem sosial.
Konsep negara inti dan pinggiran ini sangat berkaitan dengan teori sistem dunia yang
mana berhubungan erat dengan sistem kapitalisme yang dilakukan oleh negara inti atau
dikatakan sebagai negara maju sehingga negara inti dapat mengambil maupun
mengeksploitasi negara pinggiran dalam hal tenaga kerja maupun dari barang-barang mentah
yang didapatkan, dapat dipastikan negara inti ini sangatlah diuntungkan dengan berbagai
kemewahan yang didapatkan, mulai dari perekonomian, perpolitikan, secara otomatis negara
inti ini dapat menguasai negara pinggiran dengan otoritas yang mereka miliki. Oleh karena
negara inti mendapatkan kontrol penuh terhadap perdagangan internasional dan mendapat
surplus modal dari perdagangan tersebut untuk keuntungan negara mereka sendiri. Ritzer
menyatakan bahwa area geografis core mendominasi dan mengeksploitasi bagian luar dari
core. Sedangkan bagian periphery merupakan wilayah-wilayah yang memberikan bahan-
bahan mentah ke bagian inti dan dieksploitasi secara besar-besaran olehnya.20
Negara pinggiran sangatlah bergantung pada negara inti dalam hal permodalan,
karena perindustrian mereka yang belum begitu maju, dikarenakan negara pinggiran tidak
memiliki pemerintah pusat yang kuat sehingga dapat dikendalikan oleh negara-negara lain.
Wallerstein berpendapat bahwa dunia terlalu kompleks jika dijelaskan hanya dengan model
dua kutub (inti dan pinggiran), karena ada banyak negara yang terletak di dua posisi tersebut
yang tidak dapat dan juga tidak tepat dikatakan sebagai negara inti maupun negara pinggiran.
Dengan demikian Wallersterin menambahkan negara semi periphery atau negara semi
18 Bdk. Arief Budiman, Teori Pembangunan, 109. 19 Chase-Dunn, Christoper and HallThomas. Core/Periphery Relations in Precapitalist World (San Francisco:
Westview Press, 1991), 6. 20 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), 518.
- 10 -
pinggiran yang bisa dikatakan sebagai negara inti yang mengalami penurunan atau negara
peripheri yang berusaha meningkatkan posisinya dalam sistem dunia.21
2.5 Teori Sumber DH dalam Bingkai Kekuasaan Israel Pada rentang masa kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia ini, maka perlu melihat
dari sudut pandang sumber DH sebagai bingkai besar kekuasaan Israel saat itu. Coote
menyatakan bahwa tulisan DH muncul sebelum masa pembuangan, bahkania muncul saat
raja Yosia memerintah di Yehuda.22 Inilah yang dikenal dengan sumber Deuteronomis atau
sumber Dh dalam pentateuch. Sejarah deuteronomistik merupakan sejarah tentang kedaulatan
dinasti Daud. Coote menyatakan bahwa raja Israel tidak melegitimasi dirinya sendiri, sering
kali hal itu merupakan kekhasan raja-raja dari Timur Dekat Kuno. Raja Israel dipilih oleh
dewa.23 Ini merupakan bagian dari unsur politik yang terjadi saat itu sehingga akan
berpengaruh terhadap kebijakan yang raja Israel lakukan.
Cross menyatakan bahwa sumber DH ditulis dalam dua bagian. Bagian pertama (Dtr1)
ditulis oleh seseorang yang hidup pada masa Raja Yosia kira-kira 100 tahun sesudah
kehancuran Israel Utara tahun 722 SZB atau tepatnya sekitar 622 SZB di Yerusalem ketika
Yosia memerintah sebagai raja Yehuda. Ada dua tema yang mendominasi tulisan Dtr1 ini,
pertama,akibat dosa Yerobeam dan kedua, kesetiaan Daud dan Yerusalem. Titaley dalam
tulisan Robert Coote menyatakan bahwa Dosa Yerobeam tampak dari pemisahan Israel Utara
dengan menghidupkan kembali kultus utara termasuk Sikhem dan Betel (1 Raj. 13:34)
sebagai tandingan kultus Bait Allah di Yerusalem sehingga orang-orang Israel Utara tak perlu
lagi beribadah ke Yerusalem. Hakikat dari ibadah ke Yerusalem adalah penegasan otoritas
keluarga Daud atas wilayah utara sekaligus orang-orangnya. Jadi, ketika Yerobeam
menghidupkan kembali kultus-kultus di utara, hal itu dilihat oleh keluarga Daud sebagai
pembangkangan terhadap keluarga Daud di Selatan. Itulah dosa terbesar Yerobeam. Oleh
karena itu, adalah sah bila Israel di Utara hancur.24 Dtr1 diperkirakan terdapat dalam sebagian
besar sumber DH sampai 2 Raja-Raja 23:25 yang menekankan kesalehan dan ketaatan Yosia.
21 http://legacy.fordham.edu/halsall/MOD/Wallerstein.asp/ "Modern History Sourcebook: Summary of
Wallerstein on World System Theory". Diakses 8 Juni 2015. 18.33 WIB. 22 David Robert Ord dan Robert B. Coote, Apakah Alkitab Benar? : memahami kebenaran Allah pada masa kini
(Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 99. 23 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik (Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan Israel) (jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2014), 14. 24 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik, 6.
- 11 -
Bagian kedua (Dtr2) ditulis pada masa pembuangan.25 Coote memperkirakan bahwa
penulis Dtr1yang berhubungan dengan masa pemerintahan Raja Yosia adalah imam-imam
tradisi Lewi yang berhubungan dengan Silo dan Musa dibawah pimpinan safan, juru tulis
Yosia. Sedangkan Dtr2 merupakan pekerjaan lanjutan yang dikerjakan oleh penulis-penulis
istana yang berlatarbelakang para imam di pembuangan. Akibatnya, terjadi perubahan
terhadap sejarah Deuteronomis, khususnya bagi hukum Yosia yang menawarkan kesempatan
murah untuk bertobat. Dari perubahan inilah yang menjadikan raja Manasye sebagai
penyebab kejatuhan Yehuda.26
Dua bagian yang Cross sebutkan itulah yang menjadi latar belakang penulisan sumber
DH ini. Intinya adalah bahwa Israel Utara sebenarnya adalah bagian dari Yehuda di Selatan.
Oleh karena itu, tidaklah salah kalau Yosia merasa berdaulat atas Israel Utara itu. Tulisan-
tulisannya tersebut merupakan upaya ideologis untuk mengembalikan Israel Utara ke dalam
pangkuan Yehuda kembali.27 Tulisan ini dilakukan Yosia setelah menyadari bahwa Asiria
sedang memasuki masa kehancurannya setelah hampir satu abad menguasai Palestina dan
berbagai daerah lainnya mulai dari Tiglath-Pilezer III menjadi raja Asiria tahun 745-727 SZB
sampai Assyurbanipal tahun 668-627 SZB.28 Selama itu, Yehuda menjadi kerajaan taklukan
yang harus taat pada Asiria. Kehancuran Israel Utara setelah memisahkan diri dari Yerusalem
adalah akibat keinginan mereka untuk memberontak terhadap Asiria. Dengan melakukan
kajian menggunakan teori sumber DH sebagai bagian dari kekuasaan Israel, maka tulisan ini
diperkaya dengan dasar-dasar sosio-historis latar belakang tulisan di dunia perjanjian lama.
Tulisan ini membahas lebih mendalam mengenai pengaruh Asiria terhadap gaya
kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia. Oleh karena teori-teori tersebut sangatlah relevan
dan tepat, karena masing-masing teori mempunyai suatu sudut pandang yang akan berguna
untuk membangun dan memperkaya tulisan ini. Penulis melihat adanya suatu keterkaitan
antara dunia perjanjian lama dengan teori sistem dunia yang digunakan, terlebih khusus core
and periphery untuk melihat pengaruh kekuasaan terhadap Israel Selatan akibat imperialisme
besar-besaran dari Asiria. Dari dasar tersebut akan mempengaruhi gaya kepemimpinan
masing-masing raja pada masa itu, pada akhirnya gaya kepemimpinan akan membawa
25 Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essays in the History of The Religion of Israel,
(Cambridge: Harvard University Press, 1973), 288 26 Robert B. Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), 79-80 27 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik, 7. 28 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik, 8.
- 12 -
dampak dan pengaruh di dalam kebijakan yang dibuat sehingga mempengaruhi pola pikir
masyarakat dan kebudayaan dari masyarakat itu sendiri.
3. Kajian Sosio-Historis Kepemimpinan
3.1 Tinjauan Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Perjanjian Lama Dalam setiap konteks kepemimpinan tidak bisa terlepas dari budaya, karena budaya
merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
yang diwariskan turun temurun, dari suatu generasi ke generasi yang lainnya. Maka dapat
dipahami bahwa suatu budaya dapat terbentuk dari setiap kebiasaan yang dilakukan oleh
kelompok, baik adat istiadat, sistem agama maupun sistem politik yang tanpa disadari itu
menjadikan suatu perubahan yang mendasar dari pemahaman setiap masyarakat akan seorang
pemimpinnya. Endraswara menyatakan bahwa budaya merupakan sesuatu yang hidup,
berkembang dan bergerak menuju titik tertentu.29 Budaya yang hidup merupakan budaya
yang terus menerus berubah dengan berjalannya waktu, untuk mendasari pemahaman dalam
kajian sosio-historis penelitian ini, maka perlu melihat budaya perjanjian lama yang terjadi
saat itu yang mempengaruhi setiap pemimpin atau raja-raja dalam mengambil keputusan dan
kebijakan.
Perkembangan kepemimpinan yang ada di dunia israel kuno, seperti yang ada di
dalam perjanjian lama. Ditelusuri dari kepemimpinan zaman pra monarki yang didasarkan
pada liga suku-suku, dimana hanya terdapat bét-av (Rumah Bapa), klan, dan suku. Setiap
suku dipimpin oleh kepala suku atau tetua yang akan menghakimi setiap masalah, contoh
kepemimpinan saat itu dapatdilihat pada para hakim, Musa (Kharismatis), dan Abraham.
Pada masa Saul yang termasuk pada zaman pra monarki pun adanya kepala suku yang
dipilih. Dalam hal ini Saul, Musa, Debora termasuk pemimpin yang memiliki Kharisma
sehingga dapat dipilih untuk memimpin saat itu. Dalam dunia Israel kuno Musa yang sebagai
pemimpin Israel saat itu, disebut juga sebagai nabi dan unsur kepemimpinan Kharismatis
sangatlah terlihat dari Musa, yakni melalui panggilan Yahweh menghadapi bangsanya di
Mesir dan yang merangsang mereka supaya membebaskan diri dari Mesir. Bahkan, semakin
menyelami sejarah dunia Israel kuno, semakin nyatalah pengaruh tokoh-tokoh kharismatis
sebagai pemimpin-pemimpin bangsa. Pada umumnya pemimpin-pemimpin yang
membebaskan bangsa Israel dengan cara membangkitkan semangat Israel dan menggerakan
29 Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Kebudayaan,(Irian Jaya:Pustaka Widyatama, 2006), 77.
- 13 -
mereka sampai mereka bertindak seperti pahlawan bersifat kharismatik.30 Kepemimpinan
Kharismatik menurut Retnowati yang mengutip dari pandangan Weber mengacu kepada
seseorang yang memperoleh wewenang kepemimpinan melalui suatu pemberian dewa yang
tidak dikenal kepada individu tertentu dan didasarkan pada kepercayaan.31
Budaya yang ada di dalam dunia perjanjian lama, termasuk kekuasan raja-raja tidak
semata-mata merupakan bagian dari keturunan atau penerusan tradisi dari pemerintahan
sebelumnya ke pemerintahan selanjutnya, tetapi dapat terlihat juga dari setiap masa
kekuasaan raja-raja yang mempunyai gaya kepemimpinan berbeda. Perbedaan gaya
kepemimpinan ini dipengaruhi oleh faktor politik, stabilitas ekonomi, perubahan sosial dan
tradisi yang ada. Hal-hal tersebut secara langsung, disadari maupun tidak itu merupakan
sebuah bagian dari sistem yang sangatlah kuat dan hal tersebut tidak bisa terpisah satu dengan
yang lainnya. Maka, penulis melakukan analisis kritis dan mendalam mengenai hal tersebut
dengan melihat proses perkembangan kekuasaan kerajaan Israel untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik dalam budaya perjanjian lama.
3.2 Perkembangan Kekuasaan Kerajaan Israel Dalam perkembangannya, seiring dengan berdirinya Israel menjadi suatu kerajaan,
disitulah Israel membutuhkan pemimpin, sebagai raja. Raja pertama Israel ialah Saul yang
mengklaim hak istimewa kerajaan sebagai kepala komandan angkatan bersenjata Israel di
penghujung abad ke-11 SZB (Sebelum Zaman Bersama).32 Kemudian raja atau pemimpin
berikutnya yang berlangsung sampai kepada pemerintahan Daud, Salomo dan Rehabeam,
mereka tidak memimpin di dalam kekosongan kekuasaan Asiria. Kepemimpinan mereka
selalu berinteraksi dengan dunia luar atau di sekitar Israel, yakni bangsa-bangsa adidaya yang
menguasai dunia timur dekat kuno, mulai dari Mesir, Asiria, Babilonia dan Persia. Ketika
masa pemerintahannya Raja Daud membangun kekuasaan dengan menikahi anggota keluarga
yang berkuasa dan kaya. Di samping itu Daud berinteraksi dengan situasi di sekitarnya, yakni
dengan cara menarik dukungan dari musuh orang Israel yaitu orang Filistin. Sebagai imbalan
Daud menerima Ziklag, daerah Selatan Gat sebagai tanah imbalan juga memperoleh banyak
sumber makanan saat itu.33 Hal ini merupakan bagian dari gaya kepemimpinan raja Daud
30 TH.C. Vriezen, Agama Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 144. 31Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas
Teologi UKSW, 2012), 26. 32 Robert B.Coote & Mary P. Coote, Kuasa,Politik & Proses Pembuatan Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004), 31. 33Robert B.Coote & Mary P. Coote, Kuasa,Politik, 32.
- 14 -
yang dapat dikatakan gaya kepemimpinan transformasional, yakni pemimpin yang dapat
membaca situasi, juga dapat memanfaatkannya dengan baik sehingga melihat suatu celah
yang menjadikan peluang untuk bertindak maju.
Pada masa Raja Salomo justru kekuasaan Mesir mulai menguat kembali, oleh karena
itu Salomo memelihara hubungan baik dengan tetangga-tetangganya yang kuat dengan
mengusahakan hubungan perdagangan dengan para pedagang asing, termasuk mengizinkan
pelaksanaan kultus para partner dagang di kerajaannya, dan membuat hubungan-hubungan
perkawinan yang berharga. Hal itu terlihat ketika Raja Salomo membangun bait suci yang
dibantu oleh rancangan arsitek Fenisia dan juga bantuan bahan dari Hiram, raja Tirus.34
Dalam pemerintahan Salomo tidak terdapat banyak perlawanan yang berarti dari bangsa
sekitar sehingga Salomo dapat melakukan interaksi yang baik dengan bangsa-bangsa
tetangga. Pada masa setelah pemerintahan raja Salomo, yakni ketika pemerintahan raja
Rehabeam yang mana saat itu kerajaan Israel berpisah (Israel Utara dan Israel Selatan). Raja-
raja saat itu harus senantiasa berhadapan dengan kekuasaan yang lain yang sudah menguasai
kekuasaan timur dekat kuno, yakni Asiria. Raja-raja di Utara harus senantiasa menghadapi
kekuasaan Asiria sehingga pada akhirnya mereka hancur dan dikalahkan, sedangkan raja-raja
di Selatan meskipun mereka tidak ditaklukan secara penuh oleh raja Asiria, tetapi di dalam
berbagai kapasitas mereka tetap harus berhubungan dengan raja Asiria, baik dengan melawan
atau mereka tunduk terhadap kebijakan raja Asiria dan sikap raja-raja tersebut akan
menentukan gaya kepemimpinan mereka. Kepemimpinan adalah pengaruh oleh pihak
tertentu atas pihak lain untuk pelaksanaan/tujuan maksud pemimpin.35
Menyadari bahwa dunia Perjanjian Lama merupakan dunia yang kompleks dan dapat
dikatakan ‘rumit’, maka penulis melihat dari relasi-relasi tersebut ditinjau dari aspek sosio-
historis yang terjadi saat itu, juga dari berbagai sudut pandang analisis yang lain. Penulis
mengkaji dari pemerintahan ketiga raja Yehuda, yakni Hizkia ketika ia menjadi raja kira-kira
716-687 Sebelum Zaman Bersama, Manasye 687-643 SZB dan Yosia 641-609 SZB.36 Dari
masa pemerintahan raja-raja tersebut, terdapat banyak gejolak politik yang terjadi baik dari
dalam pemerintahannya maupun dipengaruhi oleh faktor perpolitikan dunia Israel kuno saat
itu, yakni hubungannya dengan ‘dunia luar’ yang juga mempengaruhi perekonomian Yehuda.
34 Robert B.Coote & Mary P. Coote, Kuasa,Politik, 41-42. 35 Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas
Teologi UKSW, 2012), 12. 36 Norman K Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1987),
367.
- 15 -
Khususnya, ketika pemerintahan ketiga raja tersebut ada di dalam ‘pengaruh’ suatu
kekuasaan yang besar dan menjadi suatu momok mencekam bagi pemerintahan Yehuda.
3.3 Pengaruh Asiria terhadap Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia Kerajaan Yehuda (722-586 SZB) Kerajaan Asiria (900-680 SZB)
Hizkia
Manasye
Yosia
Tiglath-Pileser I
Shalmanaser III
Tiglath-Pileser III
Shalmananeser V
Sargon II
Sennacherib
Esarhaddon
Ashurbanipal37
Tabel di atas menunjukkan bahwa sepanjang tahun 900-680 SZB Asiria menjadi
kerajaan yang sangat besar dan menjadi bangsa yang ditakuti oleh bangsa lain saat itu.
Penulis mengkaji garis pemerintahan sejak raja Hizkia, Manasye dan Yosia di bawah
pengaruh kerajaan Asiria dengan raja Sennacherib, Esarhaddon sampai Ashurbanipal. Oleh
karena masa tersebut merupakan masa jatuh dan bangunnya bangsa Yehuda, bahkan masa
dimana Asiria berkuasa dan melemah. Penulis mengkaji lebih lanjut pengaruh kekuasaan
bangsa Asiria terhadap gaya kepemimpinan ketiga raja Yehuda (Hizkia, Manasye dan Yosia)
dalam masa tersebut yang akan mempengaruhi setiap kebijakan yang diturunkan kepada
bangsa Yehuda
Asiria adalah salah satu bangsa yang terletak di tepi barat sungai Tigris daerah
Mesopotamia. Asiria sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar
menyerang Palestina pada abad 9 SZB. Pada masa iniAsiria menjadi kuat dan berjaya
sehingga dalam periode ini menjadi periode kekuasaannya dan abad ke 7 SZB banyak
kejadian yang secara mendalam mempengaruhi kehidupan bangsa-bangsa yang berdiam di
sekitar Asia Barat Daya Kuno, termasuk bangsa Israel dan Mesir.38Asiria mempertahankan
kekuasaan mereka atas bangsa-bangsa yang mereka kuasai dengan jalan mengorganisasikan
37Sumber Tabel dari Buku: Norman K Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia:
Fortress Press, 1987), 66. 38David Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 164
- 16 -
negeri itu ke dalam wilayah-wilayah pemerintahannya.39 Dalam pemerintahan Asiria terjadi
imperialisme besar-besaran ke wilayah-wilayah yang termasuk dalam pemerintahannya.
Imperialisme merupakan suatu kebijakan dimana suatu negara besar dapat memegang kendali
atas daerah lain agar daerah itu dapat dipelihara atau berkembang. Akibat dari imperialisme
tersebut, terciptalah suatu pandangan adanya negara yang kuat dan lemah, adanya penjajah
dan yang dijajah, pada akhirnya terbagi atas negara core and periphery. (Lihat Gambar di
bawah)
40
Gambar di atas menunjukkan bahwa Yehuda berada di tengah-tengah bangsa yang
berkuasa saat itu, yakni Asiria, Mesir, Babilonia dan Median. Dari gambar tersebut, Yehuda
berada di bawah pengaruh Asiria,41 akibatnya Yehuda menjadi bangsa pinggiran sehingga
dimanfaatkan oleh Asiria dari segi ekonomi, politik dan struktur sosial. Bangsa Yehuda tidak
bisa melakukan apa-apa, kecuali tunduk dan takluk dalam keadaan seperti itu. Gambar
tersebut menjadi dasar penulis dalam menganalisa kepemimpinan raja Hizkia, Manasye dan
Yosia di tengah-tengah kekuasaan adidaya yang berada di sekitar bangsaYehuda.
39 Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid 1 (Jakarta: Cempaka Putih, 1997), 106-
107. 40Sumber gambar dari Buku: Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction
(Philadelphia: Fortress Press, 1987), 75. 41Melihat garis putus-putus hitam (Bangsa Asiria) yang mengelilingi bangsa Yehuda.
Yehuda
- 17 -
3.4 Kekuasaan Hizkia Menghadapi Gempuran Asiria
Hizkia pada masa kekuasaannya dikenal sebagai seorang raja yang perkasa sekaligus
bijaksana pada saat itu. Di dalam masa kepemimpinannya ia melakukan reformasi di
kerajaannya, tetapi Hizkia mendapatkan suatu persoalan dari politik luar negerinya yang
terjadi saat itu, yakni gejolak antara Asiria dan Mesir yang sama-sama merupakan suatu
imperium besar saat itu. Baru pada tahun 713-712 SZB Hizkia menggabungkan dirinya pada
suatu persekutuan yang memusuhi Asiria di bawah pimpinan Asydod.42 Meskipun pada
akhirnya menerima konsekuensi yang serius terhadap kerajaannya, tetapi Hizkia tetap
melakukan suatu pemberontakkan terhadap Asiria saat itu, terutama dari Sanherib Raja Asiria
yang datang dan mengepung Yerusalem saat itu. Dengan kiat dan persiapan yang dilakukan
oleh Hizkia, pada tahun 705 SZB Hizkia bergabung dalam suatu pemberontakkan yang
terkoordinasi yang melibatkan Sidon, Askelon, Ekron di Siro-Palestina dan Kasdim di
Babel.43 Ini merupakan suatu pemberontakkan besar-besaran terhadap Asiria saat itu. Seiring
dengan berjalannya waktu, kerajaan Yehuda mengalami penjajahan atas Asiria dan semakin
lama Yehuda mengalami penipisan ekonomi yang berimbas kepada masyarakat pedesaan
sehingga pada akhirnya Hizkia harus membayar upeti kepada Sanherib raja Asiria saat itu.
Menurut Budiman yang mengutip dari pandangan Blomstrom dan Hettne, bahwa penguasaan
tidak hanya dalam bentuk pengendalian yang ketat, tetapi cukup dengan sistem upeti sebagai
tanda takluk. Semakin jauh dari pusat kekuasaan, semakin bebas daerah tersebut.44 Maka,
secara tidak langsung upeti yang diberikan Hizkia kepada Sanherib menunjukkan bahwa
Hizkia takluk di bawah pengendalian Asiria.
Bukti kuat yang menyatakan bahwa kota-kota Yehuda takluk kepada Sanherib, yakni
dengan adanya Prisma Taylor yang merupakan bagian dari Prisma Sanherib yang adalah
sejumlah prasasti tanah liat yang berbentuk tabung persegi dan di dalamnya memuat raja
Sanherib yang terkenal karena mengepung Yerusalem pada zaman pemerintahan raja Hizkia.
Isi dari Prisma Taylor yang telah diterjemahkan dari bahasa Akadia (Bahasa Semitik) sebagai
berikut:
42Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1987),
368. 43Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible, 369. 44 Arief Budiman, Teori Pembangunan, 108.
- 18 -
“Karena Hizkia, raja Yehuda, tidak mau takluk kepada bebanku, aku datang memeranginya dan
dengan kekuatan senjata dan dengan keperkasaan kekuatanku, aku merebut 46 dari kota-kotanya yang
dilindungi dengan kuat.”45
Dengan adanya fakta yang yang menunjukkan bahwa kekuasaan Asiria saat itu begitu
mendominasi Yehuda, mulai dari merebut kota-kota wilayah Yehuda, bahkan sampai
membuat raja Hizkia ditawan oleh mereka. Hal ini merupakan invasi kedua dari Asiria
kepada Yehuda, dan menariknya saat itu Yerusalem tidak jatuh di bawah pemerintahan
Sanherib raja Asiria.46 Pada akhirnya Hizkia membayar upeti kepada Sanherib untuk
menyelamatkan bangsanya dari dominasi Asiria. Tidak cukup melakukan hal tersebut, Hizkia
secara besar-besaran melakukan reformasi terhadap hal-hal yang bersifat religius saat itu,
yakni melakukan gerakan anti Asiria dengan menghapuskan segala bentuk penyembahan
kepada dewa-dewa Asiria saat itu.
Dengan mengalami dan menghadapi situasi seperti ini, Hizkia secara alamiah
memiliki kharisma, dimana itu merupakan suatu bawaan dari karakter individual masing-
masing pemimpin yang ditunjang oleh kejeliaan, keberanian, dan kecerdasan memanfaatkan
kesempatan.47 Ini merupakan faktor yang penting bagi Hizkia, dimana sebagai seseorang
yang dikenal bijaksana juga berkharisma, ia dapat melihat setiap situasi dan kondisi yang
dihadapinya dengan pandangan ke depan. Meskipun pada akhirnya dalam situasi yang sulit ia
memilih untuk memberi upeti terhadap Sanherib raja Asiria, tetapi ini merupakan suatu tahap
penting dari seorang pemimpin ketika menghadapi masa yang sulit, harus berani mengambil
resiko tetapi harus juga dengan jeli melihat setiap kesempatan yang ada. Sebagai seorang
pemimpin, Hizkia menggabungkan karakter kharisma yang dimilikinya dengan gaya
kepemimpinan transformatif dengan membayar upeti sebagai jaminan agar bangsa Yehuda
tidak didominasi oleh Asiria. Raja Hizkia memainkan sandiwara politik dengan sangat baik,
meskipun bangsa Yehuda melemah saat itu, oleh karena dominasi Asiria, tetapi Hizkia
mempunyai strategi untuk tetap menjalankan kebijakan untuk tunduk demi kepentingan
bangsa Yehuda.
45 James B. Pritchard, Ancient Near Eastern Texts Related to the Old Testament (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1965) 287-288. 46Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible, 369. 47Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga: Fakultas
Teologi UKSW, 2012), 34.
- 19 -
3.5 Pergolakan Kepemimpinan Raja Manasye
Hizkia yang kemudian meninggal digantikan oleh anaknya, Manasye. Dari masa
pemerintahan Manasye inilah pemerintahan Asiria semakin menjadi-jadi. Hal itu disebabkan
oleh masa pemerintahan sebelumnya, yakni Raja Hizkia yang telah membuat bangsa Asiria
‘naik pitam’ melihat kebijakan yang dilakukannya dengan tidak mau taat kepada Asiria,
bahkan membuat suatu program Anti Asiria. Seperti diketahui bahwa ketika Yehuda di
bawah pemerintahan Raja Ahaz sangat tunduk kepada Asiria dengan menerapkan segala
kebijakan Asiria di tengah-tengah bangsa Yehuda. Bahkan raja Ahaz sampai memberikan
anaknya sebagai korban persembahan bagi dewa Molokh (Dewa kesuburan)48. Sama halnya
ketika pemerintahan Manasye yang juga mengorbankan anaknya demi tunduk dibawah
pemerintahan Asiria, tetapi jika melihat hal yang positif dari raja Manasye, yakni ia bukanlah
penyebab utama dari kehancuran Yerusalem dan kejatuhan Yehuda, ia hanya sebagai
kambing hitam di dalam situasi yang penuh tekanan dan menjebak tersebut.49 Dengan kata
lain Manasye sebagai seorang raja sangatlah pintar melihat situasi meskipun yang ia pilih
nantinya akan membawa kepada kehancuran yang lebih besar, tetapi tidak ada pilihan lain
ketika menghadapi situasi tersebut selain taat kepada Asiria.
Hal ini memperlihatkan bahwa Asiria sebagai bangsa yang mendominasi saat itu dan
Yehuda sebagai bangsa yang didominasi tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungan yang sangat
menguntungkan terjadi pada bangsa inti (Asiria), tetapi tidak terjadi pada Yehuda. Dengan
demikian Manasye sebagai seorang pemimpin menyadari bahwa ia ikut terlibat dalam catur
perpolitikan yang ada saat itu dengan mengorbankan ‘bidaknya’ (anaknya) kepada Molokh,
tetapi juga bisa melihat ke depan yakni dengan mementingkan kesejahteraan bangsanya dari
penindasan Asiria. Jika dilihat secara sepintas Manasye merupakan sosok pemimpin yang
menganut aliran Utilitarian dengan memegang teguh prinsip the greatest good to the greatest
number, yakni semakin banyak kebahagiaan semakin banyak keuntungan yang didapatkan. 50
Meskipun Manasye mengorbankan anaknya kepada Molokh, tetapi ia lebih banyak
memikirkan tentang kesejahteraan bangsanya. Tidak dapat dipungkiri masa pemerintahan raja
48 Wim van der Weiden dan Mgr Suharyo, Pengantar Kitab suci PL (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), 51. 49 Merry Kristina Rungkat dan John A. Titaley, “Pengorbanan Anak dalam 2 Raja-Raja 21:6 menurut Teori
Pengorbanan,” dalam Waskita Vol IV nomor 2 April 2013. 50 Sudarminta, J., Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Yogyakarta:
Kanisius, 2013), 127.
- 20 -
Manasye merupakan masa pemerintahan terlama oleh raja-raja Yehuda, yakni kurang lebih
50 tahun sejak 687-642 SZB.51
Penulis mengidentifikasi Manasye merupakan tipikal pemimpin yang seringkali
menggunakan gaya kepemimpinan transaksional dalam hubungannya dengan Asiria.
Manasye adalah seorang pemimpin yang menginginkan hubungan diplomatiknya dengan
Asiria stabil sehingga Manasye selalu mendapat penghargaan (reward) ketika taat kepada
Asiria dan sebaliknya akan mendapat hukuman (punishment) dari Asiria jika melakukan hal
yang melanggar kesepakatan. Meskipun gaya kepemimpinan demikian sulit berkembang,
tetapi ini merupakan suatu tantangan bagi Manasye sebagai seorang pemimpin untuk
mengembangkan suatu gaya kepemimpinannya di tengah-tengah situasi yang sulit seperti ini.
Meski demikian, dibalik itu semua, Manasye melakukan transformasi yang ‘tidak kelihatan’
untuk kesejahteraan bangsanya ke depan. Raja Manasye mempunyai pandangan agar bangsa
Yehuda tidak dibayangi oleh kekuasaan Asiria, ia mengorbankan hal yang berharga dalam
hidupnya, juga dengan strategi untuk tunduk dan takluk kepada Asiria. Dengan kata lain
biarlah Yehuda menjadi bangsa kelas rendah saat ini (pinggiran), tetapi ia yakin bahwa ke
depannya bangsa Asiria akan takluk dan Yehuda akan bangkit dari keterpurukan. Ini
merupakan suatu hal yang menarik dari kepemimpinan Manasye, yakni menjadikan
keterpurukan menjadi suatu strategi untuk bangkit suatu saat. Oleh karena kepemimpinan
membutuhkan suatu seni dalam menyikapi situasi yang terjadi. Kepemimpinan Manasye
dalam kondisi tersebut masuk pada kategori visioner, terkhusus condong pada kepemimpinan
transformasional, demi membawa perubahan bersama pada masa yang akan dating. Tunduk
bukan berarti menyerah, takluk bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Lihai disertai
keberanian dalam bertindak merupakan hal yang melekat pada raja Manasye.
3.6 Reformasi Kepemimpinan Raja Yosia
Ketika Manasye meninggal, ia digantikan oleh Yosia yang merupakan anak dari raja
Amon. Pada pemerintahan Yosia 641-609 SZB sangat diuntungkan oleh karena pada tahun
627 SZB pemerintahan Asiria jatuh dengan meninggalnya raja Asiria terakhir, yakni
Asyurbanipal. Ini merupakan masa pemerintahan puncak bagi Yehuda, karena terlepas dari
cengkraman Asiria pada masa-masa sebelumnya, maka saat ini Yosia ingin membangun
suatu gerakan reformasi besar-besaran dibawah kepemimpinannya. Menurut Budiman yang
mengutip pandangan Wallerstein, bahwa negara-negara bisa “naik atau turun kelas,” 51Wismoady Wahono S., Disini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung mulia, 2009), 150.
- 21 -
misalnya negara core bisa menjadi negara periphery atau sebaliknya negara periphery bisa
menjadi negara core.52 Naik dan turunnya kelas tersebut ditentukan oleh sistem dunia atau
dengan kata lain interaksi yang terjadi di sekitar bangsa-bangsa Israel Kuno saat itu.
Kenaikan kelas menurut Wallerstein terjadi dengan merebut kesempatan yang datang, juga
kenaikan kelas terjadi karena negara tersebut menjalankan kebijakan untuk memandirikan
negaranya.53 Ini merupakan saat yang tepat bagi pergerakan Yosia untuk menaikan kelas
bangsa Yehuda, yakni dengan adanya kesempatan ketika Asiria melemah dan inilah saatnya
bagi bangsa Yehuda di bawah kepemimpinan Hizkia untuk meletakkan fondasi untuk
memandirikan negaranya.
Yosia ingin melanjutkan gerakan ekspansi kepemimpinan Hizkia yang pada waktu itu
tidak mampu dilanjutkan oleh besarnya tekanan dari bangsa Asiria. Tetapi hal yang
mencengangkan dari pandangan Coote, yakni yang melatarbelakangi reformasi Yosia justru
adalah kehadiran Asiria dan bukan ketidakhadirannya. Dengan runtuhnya Asiria ketika
Assurbanipal Agung meninggal pada 627 SZB, Niniwe runtuh pada 612 SZB dan pada tahun
609 hampir tidak ada lagi yang tersisa dari kerajaan Asiria. Kemudian Asiria dengan cepat
digantikan oleh Babel.54Menurut Ritzer, negara-negara yang kuat di wilayah core memainkan
peran kunci dalam perkembangan kapitalisme dan pada akhirnya memberikan landasan
ekonomi untuk kematiannya sendiri.55 Sangat terlihat jelas bahwa perkembangan Asiria telah
sampai pada masa puncak dan sudah terlena dengan apa yang mereka miliki, tanpa
memikirkan pengaruh kekuasaan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Pada akhirnya Asiria yang
merupakan negara adidaya menyerah dan kalah dalam konstelasi perpolitikan saat itu
sehingga kesempatan ini merupakan momen penting bagi Yehuda untuk bangkit dari
keterpurukan melalui raja Yosia.
Saat yang tepat dengan adanya celah sebagai suatu kesempatan bagi Yosia untuk
melakukan reformasi besar-besaran di dalamnya. Melihat dari masa kepemimpinan yang
‘kosong’ itu, raja Yosia menggencarkan ekspansinya untuk melakukan pembersihan yang
besar terhadap Yehuda kemudian pada Israel yang lebih luas. Reformasi yang dilakukan oleh
Yosia pada umumnya merupakan reformasi agama dan juga merupakan bagian dari
52 Arief Budiman, Teori Pembangunan, 109. 53 Arief Budiman, Teori Pembangunan, 110-111. 54 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik; Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan Israel (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2014), 87. 55 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik, 521.
- 22 -
sentralisasi terhadap Yerusalem yang merupakan kebijakan pemulihan wilayah oleh keluarga
Daud.56 Dalam masa pemerintahannya ini, Yosia mengembangkan gaya kepemimpinan yang
transformatif.Hal tersebut dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar Yehuda,
maka Yosia sebagai pemimpin dengan memikirkan secara cerdik bahwa ini merupakan
situasi yang tepat dalam melakukan reformasi besar-besaran, sebelum bangsa Babel
menyebar lebih luas, maka Yosia merupakan sosok yang lihai dalam kepemimpinannya dan
reformasi yang dilakukannya ini merupakan tujuan utama dari Sejarah Deuteronomistik.
4. Relevansi Gaya Kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia bagi Dunia Masa Kini
Pada akhirnya ketika mengkaji ketiga raja tersebut, penulis melihat bahwa akibat
dunia luar (eksternal) sangat berpengaruh terhadap kualitas bangsa mereka. Baik relasi antara
bangsa core (Asiria) dan bangsa periphery (Yehuda), juga berdampak bagi gaya
kepemimpinan Hizkia, Manasye dan Yosia dalam setiap masa jatuh dan bangkitnya Yehuda.
Ini yang menjadi titik tolak bagi tulisan ini, khususnya menyikapi kepemimpinan masa kini
yang cenderung tidak menentu, ironisnya banyak pemimpin yang mengikuti arus zaman,
bahkan terbawa arus tersebut. Pengikutnya menjadi korban akibat dari kepemimpinan yang
tidak bisa menempatkan situasi dan tidak bisa mencari jalan keluar dari permasalahan yang
ada.
Secara umum diketahui bahwa setiap masa kepemimpinan pasti akan menghadapi
setiap tantangan dan hambatan di dalamnya, tetapi di balik setiap tantangan dan hambatan
harus dilihat pasti ada suatu kekuatan dan kesempatan yang terbaik untuk melalui semuanya
itu. Layaknya permainan catur, harus ada pengorbanan jika mau melangkah lebih baik, sama
halnya sebagai seorang pemimpin terkadang mengorbankan ‘bidaknya’, tetapi itu merupakan
suatu strategi dan seni untuk melakukan suatu transformasi bagi kelompok maupun
organisasi untuk mencapai suatu tujuan bersama yang lebih baik. Terlebih khusus bagi gereja
yang saat ini menghadapi gempuran dan tantangan besar-besaran akibat pengaruh globalisasi
yang menyebar luas di setiap lini kehidupan, mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang telah mempengaruhi setiap kehidupan manusia. Maka dari itu, sebagai
pemimpin harus melihat hal tersebut sebagai suatu tantangan untuk mengambil suatu pilihan
dan keputusan yang bijak dan matang dalam menjalani kehidupan ini, agar bukan manusia
56 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik, 84.
- 23 -
yang diperalat oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) itu sendiri melainkan sebagai
manusia dapat melihat hal tersebut dengan bijak.
Penelitian kepustakaan ini jika direlevansikan bagi kehidupan masa kini, terkhusus
bagi negara Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2016
mendatang dengan berbagai tantangan yang akan datang dari setiap negara manapun. Untuk
itu Indonesia harus mampu bersaing secara global sehingga mampu menjawab tantangan
MEA 2016. Oleh karena MEA membuka arus perdagangan barang, jasa, tenaga profesional,
dan sebagainya. Pada akhirnya kesempatan kerja semakin terbatas, dan semakin tingginya
pengangguran. Dalam hal ini negara Indonesia ketika menghadapi MEA 2016 secara
langsung maupun tidak langsung akan masuk dalam bagian negara periphery (pinggiran), dan
yang akan menjadi negara adidaya adalah negara-negara yang mempunyai produk-produk
mumpuni. Ketika hal ini terjadi, maka Indonesia menjadi negara yang dikuasai oleh negara
core (pusat), tanpa memiliki daya saing yang kuat untuk menghadapi semua itu. Maka dari
itu, kepemimpinan pada sebuah pemerintahan sangatlah diperlukan untuk menjaga stabilitas
ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Kepemimpinan yang membangun dan melakukan
transformasi bagi perubahan negara, terkhusus bagi kepentingan rakyat, bukan untuk orang
yang ‘berkepentingan’ dengan mengatasnamakan rakyat.
4.1 Kepemimpinan Kristen Masa Kini
Suatu refleksi melihat konteks kepemimpinan Kristen masa kini yang mana
dibutuhkan integritas dari seorang pemimpin, dibutuhkan suatu transformasi secara besar-
besaran. Pada masa kini, pemimpin yang baik bukan hanya mempunyai intelektual yang
mumpuni, melainkan dapat menyeimbangkan antara spiritualitas dan intelektual. Agar
kepemimpinan Kristen dapat menjadi garam dan terang di tengah-tengah masyarakat,
sehingga dapat membawa perubahan yang berarti. Dalam hal ini bukan hanya pemimpinnya
saja yang melakukan suatu transformasi kehidupan, melainkan setiap pengikutnya harus
bersama-sama melangkah maju membuat perubahan yang berarti bagi orang lain dengan
melihat konteks dan situasi yang terjadi. Meskipun acap kali tantangan dan hambatan akan
selalu ada, tetapi hal tersebut harus dilihat sebagai sesuatu kesempatan untuk memperbaharui
gaya kepemimpinannya. Kepemimpinan Kristen harus mempunyai strategi layaknya Hizkia,
Manasye dan Yosia, di mana mereka melakukan suatu pengorbanan, perlawanan dan
perubahan yang besar-besaran, itu semua tidak lepas dari visi dan misi mereka untuk
mempertahankan bangsa Yehuda. Tanpa adanya suatu visi dan misi yang kokoh bagi
- 24 -
kepemimpinan Kristen, maka sangatlah sulit untuk melakukan suatu perubahan, karena
terkadang visi dan misi tersebut hanya terjebak dalam lingkup teoritis semata, tanpa
dinyatakan di dalam kehidupan nyata hari lepas hari. Pada akhirnya kepemimpinan Kristem
akan berhenti pada kepemimpinan tradisional yang menjadikan seorang pemimpin sebagai
tolak ukur dalam suatu komunitas. Maka dari itu, transformasi kepemimpinan sangat perlu
dalam hal mengembangkan pola pikir pemimpin bersama dengan orang yang dipimpin
(bersifat transformasional) sehingga ide-ide cemerlang dapat terealisasi dalam kehidupan
nyata sesuai dengan kebutuhan, dan juga konteks sosial yang ada.
5. Penutup
Hizkia, Manasye dan Yosia dalam pemerintahannya menunjukkan sebuah kualitas
pemimpin yang mempunyai pandangan ke depan, serta mampu bertahan di tengah pergolakan
yang didominasi oleh bangsadominan (core), yakni Asiria yang memegang peranan penting
dalam masa pemerintahan ketiga raja tersebut yang dalam konteks ini bagian dari bangsa
pinggiran (periphery). Sejak adanya imperialisme besar-besaran dari Asiria terhadap Yehuda,
maka tanpa disadari penindasan secara struktural terjadi secara besar-besaran, yakni
hubungan antara bangsa besar (Asiria) dengan Yehuda saat itu. Adanya hubungan timbal
balik, tetapi hubungan yang terjadi di sini bukanlah hubungan yang saling menguntungkan
(Simbiosis Mutualisme), melainkan hubungan yang cenderung selalu menguntungkan satu
pihak dan merugikan pihak yang lain (Parasitisme). Inilah yang menjadikan suatu ancaman
bagi pemimpin-pemimpin Yehuda saat itu, tetapi di sisi lain ini menjadi suatu peluang bagi
bangsa Yehuda dalam membangun strategi menghadapi bangsa Asiria yang mendominasi
saat itu dan kemudian menjadi titik tolak pergerakan bangsa Yehuda yang dengan jeli melihat
suatu kesempatan, sama halnya ketika mereka melihat setiap tembok yang kokoh dan besar
pasti mempunyai suatu titik untuk dirobohkan. Ini merupakan siasat bagi Yehuda sebagai
bangsa core untuk menaikan kelasnya dari dinamika perpolitikan yang dilalui sampai pada
akhirnya bisa melakukan reformasi bagi bangsanya sendiri.
Kepemimpinan dalam masyarakat dapat membawa transformasi sosial yang lebih
baik, tekhusus untuk membentuk suatu masyarakat madani atau masyarakat yang beradab,
oleh karena kepemimpinan merupakan suatu hal yang krusial dalam suatu masyarakat.
Meskipun tantangan maupun hambatan yang pasti selalu ada, tetapi kepemimpinan masa kini
patut belajar dari ketiga raja (Hizkia, Manasye dan Yosia) tersebut dalam menghadapi
- 25 -
tantangan dari dalam (bangsanya sendiri) maupun dari luar (Asiria). Kehidupan saat ini
dilanda krisis moral di berbagai sendi kehidupan, penulis melihat akar permasalahannya dari
penyalagunaan kekuasaan untuk‘kepentingan’ pribadi.Dengan melupakan bahkan ‘pura-pura
lupa’ bahwa kekuasaan tersebut merupakan suatu aspek dari kepemimpinan yang harus
dikembangkan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk diri sendiri. Maka, penulis
menyadari bahwa aspek kepemimpinan haruslah interdisipliner dengan memakai pendekatan-
pendekatan lain (Agama, Sosial, Politik, Ekonomi, dan ilmu lainnya), agar tidak hanya
ditinjau dari satu sudut pandang saja, tetapi dapat secara menyeluruh menjadikan aspek
kepemimpinan sebagai subyek penelitian agar terbuka kesempatan untuk mengembangkan
setiap gaya kepemimpinan yang ada di setiap lini kehidupan manusia, tentunya dengan
menempatkannya sesuai dengan konteks sosial dan budaya yang ada.
Sebuah pengalaman sejarah yang sarat akan makna ini membawa kepada suatu
pemahaman bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses yang dijalankan dalam suatu
konteks dan situasi tertentu untuk mencapai suatu tujuan bersama yang mengarah pada
kebaikan orang banyak. Bangsa Yehuda menunjukkan bahwa betapa pentingnya
kepemimpinan dalam menghadapi dinamika kehidupan yang kompleks ini. Meski tidak ada
gaya kepemimpinan yang ideal antara satu dengan yang lainnya, tetapi yang perlu ditekankan
adalah dari setiap situasi maupun keadaan yang terjadi, berat maupun ringan, tantangan dari
dalam maupun dari luar. Hal ini tidak begitu berpengaruh jika menjadikan kepemimpinan
tersebut sebagai suatu ‘seni’ yang dapat dilakukan dan terus dikembangkan demi kepentingan
maupun tujuan bersama.
- 26 -
Daftar Pustaka Bigham,W.V., The Pyschological foundations of Management (New York:Shaw, 1927).
Budiman, Arief, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1996).
Charles, J. Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Kanisius,
1991), 9.
Chase-Dunn and HallThomas.,Core/Periphery relations in precapitalist world, (San
Francisco: Westview Press, 1991).
Coote, Robert B., & Coote.P.Mary, Kuasa,Politik & Proses Pembuatan Alkitab (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009).
Coote, Robert B., Sejarah Deuteronomistik (Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah
Kesukuan Israel) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014)
Cross, Frank Moore., Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essays in the History of The
Religion of Israel, (Cambridge: Harvard University Press, 1973).
David, Hinson., Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).
Gottwald, Norman.K., Sociological Method in The Study of Acient Israel. (Maryknoll New
York: Orbis Books, 1983).
Gottwald, Norman.K., The Hebrew Bible: A Social-Literary Introduction, (Philadelphia:
Fortress Press, 1987).
Groenen, C., Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
Hayes, J. H. & Holladay, C.R., Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2002.
Hill, A.E and Walton J. H., Survey Perjanjian Lama, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2008).
Kadarman, A.M, Pengantar Ilmu Manajemen: buku panduan mahasiswa(Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Nawawi, Hadari., Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Madah Univeristy
Press)
Ord, David Robert dan Coote, Robert B., Apakah Alkitab Benar? : memahami kebenaran
Allah pada masa kini, (Jakarta: Gunung Mulia, 2001).
Pritchard, James B., Ancient Near Eastern Texts Related to the Old Testament (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1965)
- 27 -
Ralph M. Stogdill. A Handbook of Leadership, The Free Press, (London: Collier Macmillan
Publishers, 1974).
Ritzer, George, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Rungkat.M.K., Titaley.John., “Pengorbanan Anak dalam 2 Raja-Raja 21:6 menurut teori
pengorbanan,”WaskitaVol IV nomor 2 April, Salatiga, 2013.
Sashkin, M.G., Prinsip-prinsip Kepemimpinan (Jakarta: Penerbit Eirlangga, 2011).
Kosen, Stan., Aspek Manusiawi dalam Organisasi(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986).
Sudarminta, J., Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika
Normatif (Yogyakarta: Kanisius, 2013).
SuwardiEndraswara, Metode Penelitian Kebudayaan,(Irian Jaya:Pustaka Widyatama, 2006).
T.C. Mitchell, The Bible in the British Museu (London: The British Museum Press, 1988).
Vriezen.TH.C., Agama Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2009).
Wahono.S.Wismoady., Di Sini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986).
Wim van der Weiden dan Mgr Suharyo, Pengantar Kitab suci PL, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2006).
Wiranto, Retnowati., Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru
Gereja(Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2012).
Wismoady Wahono S., Disini Kutemukan, (Jakarta: BPK Gunung mulia, 2009).
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid 1, (Jakarta: Cempaka
Putih, 1997).
Website:
http://legacy.fordham.edu/halsall/MOD/Wallerstein.asp/ "Modern History Sourcebook:
Summary of Wallerstein on World System Theory". Diakses 8 Juni 2015. 18.33 WIB.