Post on 15-Mar-2019
i
STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
AGAMA SEMARANG No:204/Pdt.G/2000/PTA.Smg TENTANG
KEDUDUKAN SAKSI DALAM CERAI TALAK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu
Syari’ah
Oleh :
AZWAR HASYIM
NIM 2104001
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
S E M A R A N G 2009
ii
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag. NIP. 150 254 254 Jl. Tugu Lapangan Rt.08/Rw.01 Tambakaji Ngaliyan Semarang Nur Hidayati Setyani, SH. NIP. 150 260 672 Jl. Merdeka Utara I/B.9 Ngaliyan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Azwar Hasyim Kpd Yth. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang Di Semarang
Assalamu'alaikum. Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya
kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama : Azwar Hasyim
NIM : 2104001
Judul Skripsi : STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
TINGGI AGAMA SEMARANG NO:
204/PDT.G/2000/PTA.SMG. TENTANG KEDUDUKAN
SAKSI DALAM CERAI TALAK.
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 27 Mei
2009
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag. Nur Hidayati S, SH. NIP. 150 254 254 NIP. 150 260 672
iii
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH Alamat: Jalan Raya Boja Ngaliyan Km. 3 Semarang 50159 telp. (024)7601297
PENGESAHAN
N a m a : Azwar Hasyim
N I M : 2104001
Fakultas/Jurusan : Syari’ah/al-Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul Skripsi : Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. Tentang
Kedudukuan Saksi Dalam Cerai Talak
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal:
17 Juni 2009
Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan
studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2009/2010 guna memperoleh
gelar sarjana dalam Ilmu Syari’ah.
Semarang, 17 Juni 2009
Dewan Penguji
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Drs. Musahadi, M.Ag. Nur Hidayati Setyani, S.H. NIP. 150 267 754 NIP. 150 260 672 Penguji I Penguji II
Drs. Rokhmadi, M.Ag. Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum NIP. 150 267 747 NIP. 150 279 720 Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Nur Khorin, M.Ag. Nur Hidayati Setyani, S.H. NIP. 150 254 254 NIP. 150 260 672
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang
lain, kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 27 Mei 2009
Deklarator
Azwar Hasyim
NIM. 2104001
v
MOTTO
$ pκ š‰ r'≈ tƒ t⎦⎪ Ï% ©! $# (#θ ãΨ tΒ# u™ (#θçΡθä. t⎦⎫ ÏΒ≡ §θ s% ÅÝ ó¡ É) ø9 $$Î/
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan”. (Q.S. An-Nisa’ : 135)1
1 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu, 1974.
vi
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang analisis putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak.
Perkara yang dimulai dari Pengadilan Agama Pemalang dimana Pemohon mengajukan permohonan talak, akan tetapi tidak lengkap atau tidak sanggup menghadirkan saksi sebagai penguat permohonannya. Pengadilan Agama Pemalang menolak permohonan Pemohon, kemudian Pemohon mengajukan Banding.
Mengenai perkara kedudukan saksi dalam secai talak, Pengadilan Tinggi Agama Semarang telah memeriksa berkas perkara dari Pengadilan Agama Pemalang No: 640/Pdt.G/2000/PA.Pml.
Dari latar belakang tersebut timbul permasalahan : a. Bagaimana putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak dilihat dari hukum materiil.
b. Bagaimana putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak dilihat dari hukum formal.
Kerangka metodologi yang dipakai adalah library reseach yang difokuskan pada dokumen. Metode ini yang dijadikan sumber data yang berupa putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. tentang kedudukan saksi dalam cerai talak, adapun wawancara dijadikan sebagai data tambahan.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang telah memutus perkara No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. dengan menerima permohonan banding Pemohon/Pembanding dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Pemalang No: 640/Pdt.G/2000/PA.Pml. dan dengan mengadili sendiri: Mengabulkan permohonan Pemohon serta member izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak kepada Termohon.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang tidak tepat, karena telah terbukti bahwa Pembanding tidak lengkap dalam hal pembuktian, terutama tidak sanggup untuk menghadirkan saksi-saksi sebagai penguat permohonannya. Sesuai dengan hukum materi yang berlaku dan Pasal 163 HIR, barang siapa yang mempunyai hak atau untuk meneguhkan haknya, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu.
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi Ini Kupersembahkan Untuk:
Bapak dan Ibu Tersayang ( Bapak Hasyim, BA dan Ibu Siti Nur Aisih )
Kakakku ( Fajar Iskandar ) Dan
Skripsi Ini Kupersembahkan Untuk Semuanya.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Robbu
al-Alamin atas segala limpahan rahmat, hidayah dan ‘inayahnya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Studi Analisis Terhadap Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2007/PTA.Smg Tentang
Kedudukan Saksi Dalam Cerai Talak, dengan baik tanpa banyak kendala yang
berarti. Shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para
pengikutnya yang telah membawa Islam dan mengembangkannya hingga
sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis
sampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Pembantu-pembantu
Dekan, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi
tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini.
2. Drs. H. Nur khoirin, M.Ag dan Nuf Hidayati S, SH selaku pembimbing atas
bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas.
3. Bapak kajur, sekjur, dosen-dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya.
4. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala do’a, perhatian
dan curahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapkan dalam
untaian kata-kata.
5. Teman-teman di Pondok Pesantren Luhur Salafi Mangkang Semarang
(PPLDM).
ix
6. Zuhridin Anwar Fahin, Nailul Imdad, Ahmad Saefudin dan Abdul Ghufron,
semua temen-temen yang berada di Fakultas Syari’ah khususnya di Jurusan
AS paket ASA angkatan 2004.
7. Semua temen-temen di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
Atas semua kebaikannya, penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah
menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih
baik.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sempurnanya skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.
Semarang, 27 Mei 2009
Penulis,
Azwar Hasyim NIM. 2104001
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................ iv DEKLARASI ................................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
ABSTRAK .................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 5
D. Telaah Pustaka ................................................................ 6
E. Metode Penelitian ........................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ..................................................... 11
BAB II KEDUDUKAN SAKSI DALAM PROSES
PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA PA
A. Pengertian Pembuktian .................................................... 13
B. Alat-alat Bukti .................................................................. 17
C. Saksi .................................................................................. 26
xi
BAB III PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA
SEMARANG No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg.
TENTANG KEDUDUKAN SAKSI DALAM CERAI
TALAK
A. Gambaran Umum Profil Pengadilan Tinggi
Agama Semarang……………...…………………………35
B. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg ................................................ 43
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
TINGGI AGAMA SEMARANG No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. TENTANG
KEDUDUKAN SAKSI DALAM CERAI TALAK
A. Analisis Terhadap Proses Penyelesaian Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg Tentang Kedudukan
Saksi Dalam Cerai Talak .................................................. 52
B. Analisis Terhadap Dasar Putusan Pengadilan Tinggi
Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg
Tentang Kedudukan Saksi Dalam Cerai Talak................. 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 67
B. Saran ............................................................................... 68
C. Penutup ........................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan suci lahir batin antara seorang pria
dengan wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu
suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material. Karena itu, Undang-undang ini menganut asas atau
prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian
harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan persidangan.1
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang Pengadilan Agama No.
3 Tahun 2006 Pasal 65 sebagai berikut: Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.2
Dalam Islam memperbolehkan diputuskannya perkawinan oleh suami
istri atau kesepakatan kedua-duanya apabila hubungan mereka tidak lagi
memungkinkan tercapainya tujuan perkawinan, antara menikmati secara sah
hubungan seksual dan memperoleh keturunan yang sah. Pada umumnya
perceraian dianggap tidak terpuji, akan tetapi bila keadaan mereka menemui
1 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998, Cet. III, hal. 268. 2 UU Peradilan Agama No. 03 Tahun 2006.
jalan buntu untuk dapat memperbaiki hubungan yang retak antara suami istri,
maka pemutusan perkawinan menjadi hal yang wajib.
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus
dilakukan di depan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi
mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak
menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang
pengadilan, namun karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan
kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang
Islam wajib mengikuti ketentuan ini.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Dan alasan-
alasan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang perkawinan.
Suatu alasan perceraian harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku
yaitu pasal 116 KHI. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.3
Dari ketentuan Undang-undang tersebut di atas dapat diambil suatu
pengertian bahwa suami istri dapat mengajukan permohonan atau gugatan
cerai apabila didasari dengan alasan-alasan baik alternatif maupun kumulatif.
Alasan-alasan alternatif yaitu alasan yang memuat salah satu dari
alasan yang ada dalam Pasal Undang-undang tersebut. Sedangkan alasan
kumulatif yaitu alasan yang memuat lebih dari satu alasan yang ada dalam
Pasal Undang-undang tersebut.
Adapun pengertian dari cerai talak yaitu cerai yang dijatuhkan oleh
suami terhadap istrinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus.
Seorang suami yang bermaksud menceraikan istrinya harus lebih dahulu
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama.4
Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan
melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah Hakim terlebih
dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang
bersengketa.5
Salah satu tugas Hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu
hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila Penggugat
menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila Pengugat tidak
3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi Presindo, 1995,
hlm. 141. 4 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1999, hlm. 3. 6 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, hal. 83.
berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya,
maka gugatannya akan ditolak, sedang apabila berhasil, gugatannya akan
dikabulkan.6
Membuktikan berarti menjelaskan (menyatakan) kedudukan hukum
yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim kepada dalil-dalil yang
dikemukakan para pihak yang bersengketa.7
Berkaitan dengan permasalahan pembuktian dalam persidangan,
pernah terjadi kasus di Pengadilan Tinggi Agama Semarang, di mana dalam
putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg
pihak yang berperkara antara suami dalam hal ini Fauzi Nagib bin Nasir
Nagib disebut sebagai “Pembanding” melawan istrinya sendiri dalam hal ini
dr. Farida Assaidi binti Endoh Assaidi disebut sebagai “Tebanding” yang
dimenangkan oleh pihak Pembanding yaitu Fauzi Nagib bin Nasir Nagib
yang sebenarnya tidak lengkap dalam hal pembuktian terutama tidak adanya
saksi. Tetapi apabila kita melihat pada hukum pembuktian pasal 163 HIR “
Barang siapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu
perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang
lain, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu”.8
Yang menjadi menarik dari kasus diatas tersebut adalah ketika di
pengadilan tingkat pertama yaitu di Pengadilan Agama Pemalang
6 Retnowulan Susanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2002, hal. 58. 7 Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Penerbit Alumni,
1992, hal. 12. 8 K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981,
hal. 71.
dimenagkan oleh Termohon yaitu dr. Farida Assaidi binti Endoh Assaidi
yang setatusnya sebagai istri, akan tetapi ketika kasus tersebut Banding di
Pengadilan Tinggi Agama Semarang dimenangkan oleh Pembanding yang
semula di tingkat pertama sebagai Pemohon. Dari permasalahan di atas apa
yang menjadi dasar pertimbangan hukum oleh Hakim di Pengadilan Tinggi
Agama Semarang dalam memutuskan perkara tersebut.
Dari uraian di atas, penulis tertarik mengangkat kasus tersebut dalam
skripsi dengan judul : “STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg TENTANG KEDUDUKAN SAKSI DALAM
CERAI TALAK”
B. Permasalahan
Adapun pokok masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana Proses penyelesaian perkara No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg di
Pengadilan Tinggi Agama Semarang tentang kedudukan saksi dalam cerai
talak.
2. Apa dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Semarang dalam menjatuhkan putusan perkara No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses penyelesaian perkara
No:204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Agama
Semarang dalam menjatuhkan putusan perkara No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak.
D. Telaah Pustaka
Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari
permasalahannya, dengan mengambil langkah ini pada dasarnya bertujuan
sebagai jalan pemecahan permasalahan penelitian dengan harapan apabila
peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Sejauh
penelusuran penulis, belum pernah ditemukan tulisan yang lebih spesifik dan
yang mendetail yang membahas tentang masalah kedudukan saksi dalam
cerai talak dalam putusan pengadilan. Namun demikian ada beberapa tulisan
yang berhubungan dengan saksi, antara lain:
Wahyu Sasongko, Kajian Terhadap Putusan No.
147/Pdt.G/2006/PA.Tnk. Tentang Putusan Verstek: Solusi Hukum Kasus
Perceraian di Pengadilan Agama. Pada tulisan tersebut pada dasarnya
membahas tentang solusi atas sengketa rumah tangga yang muncul
berkepanjangan, sehingga ada kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban
masing-masing dalam rumah tangga, termasuk terhadap anaknya. Ketentuan
dalam UUP 1/1974 hanya disebutkan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.9
9 Wahyu Sasongko, Kajian Terhadap Putusan No. 147/Pdt.G/2006/PA.Tnk. Tentang
Putusan Verstek: Solusi Hukum Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama. Jurnal Yudisial, vol-1/No-02/November/2007, Jakarta: Komisi Yudisial RI,2007, hal.125.
Khalilurrahman, Pemeriksaan Perkara dalam Tingkat Banding di
Lingkungan Peradilan Agama. Pada tulisan tersebut membahas tentang
Lembaga banding sebagai salah satu upaya hukum biasa diadakan oleh
pembuat undang-undang, tentusaja bukan tanpa maksud, sekurang-kurangnya
ada anggapan, bahwa hakim adalah manusia biasa yang karenanya tidak
lepas dari kesalahan dalam menjatuhkan putusan. Dengan adanya lembaga
banding, dibuka kemungkinan bagi pihak-pihak pencari keadilan yang
merasa dirugikan atau dikalahkan, dapat mengajukan permohonan
pemeriksaan ulang kepada pengadilan tingkat banding.10
Handry Purwandani, Tinjauan Terhadap Kekuatan Alat Bukti Saksi
Di Lingkungan Pengadilan Agama Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Uu
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam skripsi ini
membahas tentang bagaimana kekuatan alat bukti saksi dalam peradilan
agama, antara sebelum dan sesudah diberlakukan UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan untuk mengetahui penggunaan alat bukti saksi
dalam penyelesaian perkara oleh hakim pengadilan agama sesuai
kompetensinya menurut Undang-Undang Peradilan Agama.11
Roy Sanjaya, Pembuktian, dalam artikel ini menerangkan masalah
pembuktian, seperti arti, hukum dan alat-alat bukti. Ketidakpastian hukum
dan kesewenang-wenangan akantimbul apabila Hakim, dalam melaksanakan
10 Khalilurrahman, Pemeriksaan Perkara dalam Tingkat Banding di Lingkungan
Peradilan Agama, Artikel dalam Majalah Mimbar Hukum, Nomor 59 Tahun XIV, Jakarta: Ditbinpera Dep. Agama, 2003, hal. 36.
11 Handry Purwandani, Tinjauan Terhadap Kekuatan Alat Bukti Saksi Di Lingkungan Pengadilan Agama Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Uu Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2007.
tugasnya diperbolehkanmenyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya.
Keyakinan Hakim harusdidukung dengan alat bukti dimana masing-masing
pihak berusahamembuktikan dalilnya yang dikemukakan kepada Hakim yang
diwajibkanmemutusi perkara mereka itu.12
Ahmad Nurdiyansah, dalam skripsinya “Pengetahuan Hakim dan
Aplikasinya Sebagai Alat Bukti di Pengadilan Agama Wates”. Dalam
skripsinya ini menerangkan tentang pengertian hukum pembuktian, asas
pembuktian, tujuan penbuktian dan alat-alat bukti dalam hukum acara
perdata.13
Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian-
penelitian terdahulu berbeda dengan permasalahan yang diangkat oleh
penulis. Penelitian-penelitian yang sudah ada secara umum membahas
tentang saksi. Sedangkan yang penulis teliti saat ini lebih spesifik dengan
menganalisis putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak.
E. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian sebagi berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian dokumen. Penelitian
yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan dari buku utama yang
berkaitan dengan masalah, dan buku penunjang berupa sumber lainnya
12 http://roysanjaya.blogspot.com/2008/09/pembuktian.html 13 Ahmad Nurdiyansah, Pengetahuan Hakim dan Aplikasinya Sebagai Alat Bukti di
Pengadilan Agama Wates, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang, 2003.
yang relevan dengan topik yang dikaji. Sedangkan dalam penelitian ini
menitikberatkan kepada dokumen. Penelitian dokumen adalah Penelitian
yang dilakukan dengan melihat data yang bersifat praktek, meliputi: data
arsip, data resmi pada intitusi-institusi pemerintah, data yang
dipublikasikan (putusan pengadilan, yurisprudensi, dan sebagainya).14
Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Tinggi
Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi
dalam cerai talak.
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu sumber literatur yang utama yang berkaitan
langsung dengan obyek penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah
data yang diambil dari data-data dalam bentuk dokumen putusan
pengadilan yaitu putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. Adapun data sekunder atau data pendukung
yaitu wawancara dan literatur yang digunakan dalam menjelaskan tentang
pokok permasalahan yaitu buku-buku yang ada relevansinya dengan
penelitian.
3. Metode pengumpulan data
a. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu setiap bahan tertulis yang dijadikan
sebagai sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan,
14 Ibid, hlm. 88-89.
bahkan untuk meramalkan.15 Diantara dokumen yang penulis
gunakan adalah putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai
talak.
b. Interview (wawancara)
Wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara
bertanya langsung tatap muka dengan menggunakan daftar
pertanyaan.16 Dalam hal ini penulis menggunakan interview bebas
untuk mendapatkan data.
Dalam hal ini penulis mewawancarai: Hakim Pengadilan
Agama Semarang, Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi Agama
Semarang, Panitera Pengadilan Agama Pemalang, Dosen Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
4. Metode analisis data
Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data
sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu
hipotesa. Dalam analisis diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga
diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.
Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif.
Dalam hal ini data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode
15 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004, Cet. XVIII, hlm. 161. 16 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: PT. Pustaka
LP3ES Indonesia, 1995, Cet. II, hlm. 192.
deskriptif analisis, yaitu menggambarkan secara sistematik dan akurat atau
mengenai bidang tertentu.17
Dalam hal ini yang dianalisis adalah putusan Pengadilan Tinggi
Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi
dalam cerai talak dan dasar pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Agama
Semarang.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab,
dimana satu bab dan bab yang lainnya saling mendasari dan terkait. Hal ini
guna memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca
dalam memahami dan menagkap hasil penelitian. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagi berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam pendahuluan ini dijelaskan latar belakang
masalah, selanjutnya dari latar belakang masalah tersebut dirumuskan masalah
yang ada, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II Tinjauan umum tentang pembuktian. Bab ini merupakan
landasan teori yang berisikan: Bab pertama tentang pengertian pembuktian.
Bab kedua tentang alat-alat bukti. Bab tiga tentang saksi. Bab empat tentang
kesaksian dalam hukum Islam.
17 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet III, hlm.
7.
Bab III Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak. Pada
bab ini akan disajikan hasil penelitian yang didahului oleh gambaran umum
profil Pengadilan Tinggi Agama Semarang, yang di dalamnya memuat tentang
lahirnya Pengadilan Tinggi Agama Semarang, tugas dan wewenag Pengadilan
Tinggi Agama Semarang, struktur organisasi Pengadilan Tinggi Agama
Semarang. Kemudian putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg, di dalamnya memuat tentang kedudukan saksi,
proses penyelesaian perkara No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg, dan pertimbangan
hukum majelis Hakim.
Bab IV Analisis terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai
talak. Di sini berisi tentang analisis terhadap proses penyelesaian putusan
Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang
kedudukan saksi dalam cerai talak dan analisis terhadap dasar pertimbangan
hukum putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam cerai talak.
Bab V Penutup hasil akhir dari penelitian ini sekaligus merupakan
akhir dari rangkaian penulisan skripsi yang akan berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
KEDUDUKAN SAKSI DALAM PROSES
PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA PA
A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian
Menurut R. Subekti dalam bukunya “Hukum Pembuktian”
dijelaskan bahwa pembuktian adalah meyakinkan Hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan.1
Pengertian pembuktian dalam bukunya Drs. H. A. Mukti Arto,
SH “Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama” yang dimaksud
dengan pembuktian adalah mempertimbangkan secara logis kebenaran
suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan
menurut hukum pembuktian yang berlaku.2
R. Syahrani dalam bukunya “Buku Materi Dasar Hukum Acara
Perdata” menjelaskan bahwa pembuktian adalah penyajian alat-alat
bukti yang sah menurut hukum kepada Hakim yang memeriksa perkara,
1 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pardnya Paramita, 1995, hal. 1. 2 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet.VI, 2005, hal.139.
guna membuktikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.3
Tidak jauh dengan rumusan di atas Drs. H. Anshoruddin, SH,
MA dalam bukunya “Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam
dan Hukum Positif’” dijelaskan bahwa pembuktian adalah suatu proses
mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti
di muka persidangan sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga
mampu meyakin Hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang menjadi
dasar gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyanggah
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan.4
Dari beberapa pengertian pembuktian tersebut, maka dapat
penulis simpulkan, bahwa pada dasarnya pembuktian adalah upaya para
pihak yang berperkara untuk meyakinkan Hakim akan kebenaran
peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh pihak yang bersengketa
dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dasar pembuktian dalam hukum acara perdata dijumpai dalam
pasal 163 HIR, yang berbunyi demikian: ”Barang siapa mengatakan
mempunyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu perbuatan untuk
meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, haruslah
membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu” dapat disimpulkan
bahwa dasar pembuktian dalam hukum acara perdata adalah pembuktian
3 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Aditiya
Bakti, 2000, hal. 75. 4 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 121-122.
dapat dibebankan kepada Pemohon dan Termohon yang berperkara. Dan
dasar pembuktian menurut hukum Islam dapat kita jumpai dalam Hadits
Rasulullah SAW, sebagai berikut:
سلم و عليه اهللا صلى الرسول ان صحيح باسناد والطبرانى البيهقي روى انكر من على اليمين و المدعى على البينة : قال
Artinya:”Telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani dengan isnad yang shahih, bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Bukti itu wajib bagi pendakwa; dan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”5
أخبرنا ابن وهب عن ابن . حد ثين أبو الطاهر أحمد بن عمرو بن سرح سلم و عليه اهللا صلىعن ابن عباس أن النبي , عن ابن أبي مليكة, حريجولكن . الدعى ناس دماء رجال وأموالهم, س بدعواهملو يعطى النا: قال
اليمين علي المدعى عليه Artinya: “Abu Thohir Ahmad bin Amrin bin Sarh Bercerita padaku.
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. bersabda: andaikan orang-orang dipenuhi gugatan orang-orang, niscaya orang-orang akan mengakui darah orang-orang dan harta mereka, akan tetapi wajib sumpah bagi tergugat”.6
أال : زيدين خا لد اجلهني رضي اهللا عنه أن النبي صلى اهللا عليه وسلم قالعنل أن ية قبادهأتى بالشالذي يواء هدهر الشيبخ كم براأخألهرواه مسلم. س .
Artinya: “Dari Zaid bin Khalid Aljuhany r.a.: Bahwasanya Nabi SAW bersabda: maukah kalian kuberitahu tentang sebaik-baiknya saksi? Ialah yang mendatangkan persaksikan persaksian sebelum diminta. Diriwayatkan oleh Muslim.7
5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, Bandung: Al-Ma’arif, 1997, hal, 48. 6 Muhammad Salim Hasyim, Sohih Muslim, juz 6, Bairut: Libanon, Darul Kutub al-
Ilmiah, tth, hal. 222. 7 Ibnu Hajar Asqalany, Bulughul Maram, (Alih Bahasa oleh Muh. Syarief Sukandy),
Bandung: PT. Al Ma’arif, 1993, hal. 516.
(#ρ߉Íκ ô− r& uρ ô“uρsŒ 5Α ô‰tã óΟ ä3Ζ ÏiΒ (#θßϑŠ Ï% r& uρ nο y‰≈ yγ ¤±9 $# ¬! 4 ∩⊄∪
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (Q.S. Ath Thalaak ayat 2)8
Dalam tafsirnya, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa
persaksikanlah untuk perceraian itu dengan dua orang saksi yang adil
dari kelompok kamu yakni kaum muslimin, agar tidak timbul rumor,
tidak juga kecurigaan dan agar menjadi jelas kedudukan istri seandainya
tiba-tiba suami meninggal dan hendaknya yang terlibat kasus ini
menegakkan kesaksian itu dengan benar dan tulus karena Allah.9
2. Tujuan Pembuktian
Sesuai dengan hakekat pembuktian adalah mencari kebenaran
akan peristiwa-peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh
kepastian bagi Hakim kebenaran peristiwa tersebut.10 Dimana Hakim
mempunyai tugas menerima, memeriksa dan mengadili atau
memutuskan peristiwa yang menjadi sengketa, maka tujuan dari
pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian suatu peristiwa atau
fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan
Hakim yang benar dan adil.11
8 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Al Waah 1993, hal. 945. 9 M. Quraish Shihab, Tafsir Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, Volume 14, 2004, hal.295. 10 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983, hal. 17. 11 Mukti Arto, Op. Cit., hal. 140.
Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata
baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni
dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak.
Ada tiga teori pembuktian
1. Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat Hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat
diserahkan kepada Hakim.
2. Teori pembuktian negatif
Dimana Hakim terikat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat
negatife sehingga membatasi Hakim untuk melakukan sesuatu
kecuali yang diijinkan oleh Undang-undang.
3. Teori pembuktian positif
Dimana Hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam
pembuktian, kecuali yang dilarang dalam undang-undang.12
B. ALAT-ALAT BUKTI
Alat-alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan diatur
dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 KUH Perdata,
sebagai berikut:
1. Alat buktui surat
2. Alat bukti saksi
12 Mukti Arto, Op. Cit., hal. 139.
3. Persangkaan (dugaan)
4. Pengakuan
5. Sumpah
Untuk lebih jelasnya akan kami jelaskan satu-persatu:
1. Alat bukti surat atau tertulis
Dasar hukum penggunaan surat atau tulisan sebagai alat bukti
adalah HIR Pasal 164, R.Bg Pasal 284, 293, 294 ayat (78), KUH Perdata
Pasal 1867-1880 dan Pasal 1869, 1874, menentukan keharusan
ditandatanganinya suatu akta sebagaimana tersebut dalam Pasal 165 dan
167 HIR.
Alat bukti surat adalah segala yang memuat tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaika buah
pikiran seseorang dan dipergunakan untuk pembuktian. Dengan
demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau
meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung
buah pikiran, maka tidak termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis
atau surat.
Alat bukti surat juga dapat diartikan sebagai suatu benda (bisa
kertas, kayu, atau daun lontar) yang memuat tanda-tanda baca yang
dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran yang diwujudkan dalam
suatu surat. Potret atau gambar, peta, dena, meskipun ada tanda-tanda
bacaannya tetapi tidak mengandung suatu buah fikiran atau isi hati
seseorang. Itu semua hanya sekedar merupakan barang atau benda yang
meyakinkan saja.13
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakandalam akta dan
surat bukan akta. Akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau peikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Sedangkan
surat bukan akta yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat
bukti dan belum tentu ditandatangani.
Jadi, dalam hukum pembuktian ini dikenal paling tidak tiga
jenis surat yaitu: (1) akta autentik, (2) akta dibawah tangan, (3) surat
bukan akta yang dikenal dengan alat bukti surat secara sepihak. Dalam
hukum pembuktian, bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang
diutamakan atau alat bukti nomor satu jika dibandingkan dengan alat
bukti yang lain.
1) Akta autentik
Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat
yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut
ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun tanpa
bantuan dari yang berkepentingan, di tempat di mana pejabat
berwenang menjelaskan tugasnya. Suatu akta yang dibuat oleh yang
tidak berwenang atau tidak sah menurut undang-undang maka akta
tersebut bukan akta autentik, hanya mempunyai kekuatan dibawah
13 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hal.
148.
tangan yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan. Akta
autentik ini diatur dalam pasal 165 HIR dan pasal 285 R.Bg.
Akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan
sempurna, dan Hakim wajib mempercayainya apa yang tertulis
didalam akata tersebut selama tidak dibuktikan, sebaliknya.14
2) Akta dibawah tangan
Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak dengan
sengaja untuk pembuktian, tetapi tanpa bantuan dari seseorang
pejabat. Akta dibawah tangan ini diatur dalam Pasal 289-305 R.Bg.
Kekuatan akta dibawah tangan adalah sama dengan akata autentik
jika isi dan tanda tangan tidak disangkal atau diakui oleh pihak
lawan. Hanya dapat disingkirkan jika isinya bertentangan dengan
hukum, ada unsur paksaan dalam pembuatannya atau penipuan.15
3) Surat secara sepihak
Ketentuan alat bukti surat secara sepihak diatur dalam Pasal 1875
KUH Perdata dan Pasal 291 R.Bg. Bentuk surat ini berupa surat
pengakuan yang berisi pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang
membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah uang atau akan
menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang
tertentu.
14 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hal. 243.
15 Ibid, hal. 246.
4) Surat lain yang bukan
Surat-surat non akta sebagai mana yang diatur dalam Pasal 294 ayat
(2) R.Bg dan Pasal 1881 ayat (2) KUH Perdata, bentuknya dapat
berupa surat biasa atau koresponden, catatan harian atau sebagainya.
Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti atau
tidak sengaja dibuat untuk alat bukti.
2. Alat bukti saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 169-172 HIR dan Pasal
306-309 R.Bg. Pembuktian dengan saksi pada dasarnya diperbolehkan
dalam segala hal, kecuali kecuali jika Undang-undang menentukan lain,
misalnya tentang persatuan harta kekayaan perkawinan, menurut Pasal
150 KUH Perdata harus dibuktikan dengan perjanjian kawin. Keterangan
dari seorang saksi saja, dengan tidak ada seseuatu alat bukti lain, tidak
dapat dianggap sebagai pembuktian yang cukup (unus testis nullus testis
yaitu satu saksi berarti bukan saksi).16
Pemeriksaan saksi di depan sidang selalu diusahakan turut
didengar oleh kedua belah pihak yang berperkara dan setiap saksi selesai
memberikan keterangannya, Hakim perlu menanyakan kepada pihak
lawannya apakah ada keberatan atau ada yang ingin ditanyakan kepada
saksi.
16 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negri, Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
2000, hal. 75.
3. Persangkaan (dugaan)
Tentang persangkaan sebagai alat bukti tidak dijelaskan secara
rinci dalam HIR dan R.Bg. Hanya dalam pasal 1915 KUH Perdata
dijelaskan bahwa persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari
suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Dan yang menarik kesimpulan tersebut adalah Hakim atau Undang-
undang.
Berdasarkan KUH Perdata, ada dua persangkaan yaitu
persangkaan Hakim dan persangkaan Undang-undang. Persangkaan
Hakim adalah kesimpulan Hakim yang ditarik atau sebagai hasil
pemeriksaan sidang dan persangkaan Undang-undang adalah kesimpulan
yang ditarik oleh Hakim berdasarkan karena sudah begitu ditentukan
oleh dan di dalam Undang-undang.17
4. Pengakuan
Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal
174 HIR Pasal 311 R.Bg serta Pasal 1923 – 1928 KUH Perdata.
Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu
perkara, di mana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan
atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.
Ada dua macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara
perdata yaitu pengakuan yang dilakukan di dalam sidang dan pengakuan
17 Ibid, hal. 170.
yang dilakukan di luar sidang. Pengakuan di dalam sidang adalah
pernyataan yang tegas dari salah satu pihak tentang kebenaran yang
dikemukakan oleh pihak lawan,18sedangkan pengkuan di luar sidang
adalah pernyataan dari salah satu pihak yang berperkara yang dilakukan
di luar sidang tentang pengakuan dari pihak lawan.19
5. Sumpah
Bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 – 185 dan 314 R.Bg,
Pasal 155 – 158 dan 177 HIR dan Pasal 1929 – 1945 KUH Perdata.
Sumpah adalah suatu perkataan yang khidmat yang diucapkan pada
waktu memberikan keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa
Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberikan janji atau keterangan
tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Pengankatan sumpah dilakukan
dengan dihadiri oleh pihak lawan, sekurang-kurangnya diperlukan
pemanggilan yang wajar untuk hadir pada pengangkatan sumpah itu.20
Dalam HIR disebutkan bahwa alat bukti sumpah ada tiga yaitu:
1. Sumpah Supletoir (pelengkap)
Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim
karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi
pembuktian suatu peristiawa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya.
18 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004, hal. 214. 19 Ibid, hal. 217. 20 MR. A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Jakarta: PT. Intermasa, 1978, hal. 210.
2. Sumpah Aestimatoir (penaksir)
Sumpah aestimatoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim
karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang
ganti kerugian.
3. Sumpah Decisoir (pemutus)
Sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan
salah satu pihak kepada lawannya.
Telah dikemukakan di atas, lima alat bukti yang disebutkan dalam
Pasal 164 HIR. Akan tetapi, di luar Pasal tersebut masih terdapat alat-alat
bukti yang lain yang dapat dipergunakan untuk memperoleh kepastian
mengenai kebenaran suatu peristiwa yang terjadi, alat bukti tersebut yaitu:
1. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah keterangan dari pihak ketiga yang
obyektif yang bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan
guna menambah pengetahuan Hakim sendiri. Keterangan ahli ini diatur
dalam Pasal 145 HIR dan Pasal 181 R.Bg.
Dalam pasal 145 HIR tidak disebutkan secara tegas siapa
sebenarnya yang disebut ahli itu. Sehubungan dengan hal tersebut, ahli
tidak ditentukan oleh pengetahuannya atau keahlian khusus, akan tetapi
ditentukan oleh pengangkatannya berdasarkan penunjukan Majelis
Hakim.
2. Pemeriksaan setempat
Permeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai perkara,
oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan diluar gedung atau
tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri dan
memperoleh gambaran yang dapat memberikan kepastian tentang
peristiwa yang menjadi sengketa.21
Ketentuan mengenai pemeriksaan setempat ini diatur dalam Pasal
153 HIR dan Pasal 180 R.Bg. Dalam peraturan tersebut dikemukakan
bahwa apabila Ketua menganggap perlu mengangkat seseorang atau dua
orang Hakim dari majelis tesebut dengan dibantu Panitera pengadilan
akan melihat dan melakukan pemeriksaan yang dapat memberikan
keterangan kepada Hakim.22 Dalam praktek pemeriksaan setempat ini
dilakukan sendiri oleh Hakim Ketua persidangan.23
3. Pengetahuan Hakim
Ketentuan mengenai pengetahuan Hakim sebagai alat bukti di
atur dalam Pasal 178 ayat (1) HIR, mewajibkan Hakim karena
jabatannya waktu bermusyawarah mencukupkan segala alasan hukum,
yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap mengetahui hukum.
Pencari keadilan datang kepadanya untum memperoleh keadilan,
andaikata Hakim tidak menemukan hukum yang tertulis, maka Hakim
21 Mukti Arto, Op. Cit., hal. 196-197. 22 K. Wanjik Saleh, Hukum Acara Perdat RBG/HIR, Jakarta: Ghalia Indonesi, 1983, hal.
33-34. 23 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988,
hal. 154.
wajib mencari hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan
hukum sebagai makhluk yang bijaksana dan bertanggungjawab kepada
tuhan, diri sendiri dan masyarakat.24
C. SAKSI
1. Pengertian dan Dasar Alat Bukti Saksi
Kesaksian dalam hukum acara perdata islam dikenal denagan
sebutan as-syahadah, yang menurut bahasa berarti al-bayan (pernyataan
atau pemberitaan yang pasti), yaitu ucapan yang keluar dari pengetahuan
yang diperoleh dengan penyaksian langsung.25 Sedang menurut syara
adalah pemberitaan yang benar untuk menentukan suatu hak dengan
lafal kesaksian di depan sidang pengadilan.
Alat bukti saksi, dalam hukum Islam disebut dengan syahid
(saksi lelaki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata
musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Menurut hukum syara ialah memberitakan suatu perkara atau hak orang
lain dengan ucapan yang khusus.26 Jadi saksi dimaksudkan adalah
manusia hidup.27
Menurut Mukti Arto, saksi adalah orang yang memberikan
keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu,
24 Mukti Arto, Op. Cit., hal. 204. 25 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti TES DNA Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005, hal. 46. 26 Moch. Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan
Agama, Bandung: Diponegoro, 1991, hal. 156. 27 Roihan A. Rasyid, Op. Cit., hal. 152-153.
tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami
sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.28
Definisi dari Sudikno Mertokusumo, bahwa kesaksian adalah
kesaksian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang
peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil di persidangan.29
Dasar hukum pembuktian dengan alat bukti saksi adalah
tercantum dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 282 R.Bg yang berbunyi
“Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan
suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah
hak orang lain, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya
perbuatan itu”30
Adapun menurut hukum Islam dasarnya ialah QS. Al Maidah
ayat 106:
حني توالم كمدأح رضإذا ح نكمية بادهوا شنآم ا الذينها أيان ية اثنصيالو كمتابض فأصفي الأر متبرض متإن أن ركمغي ان منرآخ أو كمل مندا عذومصيبة الموت تحبسونهما من بعد الصلاة فيقسمان بالله إن ارتبتم لا نشتري
به ثم الآثمني ا إذا لمنة الله إنادهش مكتلا نى وبكان ذا قر لوا ون Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang
kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka
28 Mukti Arto, Op. Cit., hal. 165. 29 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 128. 30 K. Wanjik Saleh, Op. Cit., hal. 71.
bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (Q.S. al-Maidah ayat 106).31
Dalam tafsir Al-Misbah menerangkan, bahwa untuk maksud
tersebut ayat ini meyeru kaum beriman, orang-orang yang mengaku
beriman, persaksikan diantara kamu apabila tanda-tanda dekatnya
kematian telah hadir kepada salah satu diantara kamudan dia akan
berwasiat, maka persaksikan wasiat tersebut dengan dua orang beriman
yang adil diantara kamu, atau dua orang selain kamu yang berlainan
agama jika tidak menemukan saksi yang wajar yang seagama dengan
kamu.32
Dalam memberikan kesaksian, seseorang dituntut untuk
memberikan kesaksiannya senyatanya tanpa menyembuyikan fakta
sedikitpun. Kewajiban ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-
Maidah ayat 8:
كونوا قوامني لله شهداء بالقسط Artiya:”Teguhkanlah keadilan dalam menjadi saksi yang adil karena
Allah”.33
31 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Al Waah 1993, hal. 180-181. 32 M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Jakarta:
Lentera Hati, volume 3, 2000, hal. 228-229. 33 Depag RI, Op. Cit., hal. 159.
Ayat ini menyeru untuk selalu dan bersungguh-sungguh menjadi
pelaksana yang sempurna terhadap tugas-tugas kamu, terhadap wanita
dan yang lainnya dengan menegakkan kebenaran karena Allah, serta
menjadi saksi yang adil.34
Barang siapa yang enggan menjadi saksi dan dalam kesaksiannya
menyembunyikan kebenaran atau hak, maka Allah mengancamnya
dengan memberikan dosa kepadanya. Sesuai dengan firman Allah dalam
QS. Al-Baqaroh ayat 282 dan 283:
ما دعوا ولا يأب الشهداء إذا Artinya:”…… Para saksi janganlah menolak jika diminta……”35
هقلب آثم ها فإنهمكتي نمو Artinya: “Barang siapa yang menyembunyikannya akan tercoreng dosa
dalam hatinya”.36
Diterangkan dalam tafsir fi zihlalil qur’an, bahwa mendatangi
panggilan untuk menjadi saksi itu merupakan kewajiban, bukan sunah
(sukarela). Karena, kesaksian merupakan sarana untuk menegakkan
keadilan dan merealisikan hak. Allah mewajibkan supaya para saksi itu
memberikan keterangan dengan rela hati dan penuh kesadaran, tanpa
merasa terpaksa atau ogah, dengan tanpa mengutamakan yang satu atas
lainnya dari kedua pihak yang bertransaksi itu, bila mereka dipanggil
34 M. Quraish Sihab, Op. Cit., hal. 41. 35 Depag RI, Op. Cit., hlm. 70. 36 Depag RI, Op. Cit., hlm. 71.
oleh keduanya atau salah satunya.37 Dan ayat selanjutnya menekankan
pada hati. Maka, dinisbatkanlah dosa kepadanya, untuk menarik
hubungan antara penyembunyian dosa dan penyembunyian persaksian,
yang kedua-duanya merupakan perbuatan yang terjadi di lubuk hati.38
2. Syarat-syarat Saksi
Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar
sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat formal dan
materiil.
a. Syarat-syarat formal alat bukti saksi
1. Berumur 15 tahun keatas.
2. Sehat akalnya.
3. Bukan orang yang dilarang untuk menjadi saksi. Berdasarkan
Pasal 145 HIR dan Pasal 172 R.Bg ada pihak-pihak yang dilarang
menjadi saksi yaitu keluarga sedarah dan semenda karena
perkawinan menurut garis lurus dari pihak yang berperkara, istri
atau suami salah satu dari pihak meski sudah bercerai, kecuali
Undang-undang menentukan lain.
4. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan
menerima upah (Pasal 144 ayat 2 HIR), kecuali Undang-undang
menentukan lain.
5. Memberikan keterangan di depan sidang Pengadilan (Pasal 141
ayat 2 HIR).
37 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilzlil Qur’an, di Bawah Naungan Al-Qur’an, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 393.
38 Ibid, hal. 395.
6. Mengankat sumpah menurut agamanya (Pasal 147 HIR).
7. Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu
peristiwa atau dikuatkan dengan alat bukti lain (Pasal 169 HIR),
kecuali perzinaan.
8. Dipangil satu demi satu ke ruang sidang (Pasal 141 ayat 1 HIR).
9. Memberikan keterangan secara lisan.39
b. Syarat-syarat materiil alat bukti saksi
1. Menerangkan apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri
(Pasal 171 HIR dan 308 R.Bg). Keterangan saksi yang tidak
didasarkan atas pengetahuan yang jelas pada pengalaman,
pendengaran, dan penglihatan sendiri tentang suatu peristiwa,
dianggap tidak memenuhi hukum materiil. Keterangan yang
seperti tersebut tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.40
2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya (Pasal 171 ayat
1 HIR dan Pasal 308 ayat 1 R.Bg).
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri (Pasal
171 ayat 2 dan Pasal 308 ayat 2 R.Bg).
4. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus bersesuaian satu
dengan yang lain atau dengan alat bukti yang sah (Pasal 172 HIR
dan Pasal 309 R.Bg).
5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.41
39 Mukti Arto, Op. Cit., hal. 165-166. 40 Abdul Manan, Op. Cit., hal. 250-251. 41 Mukti Arto, Op. Cit., hal. 166.
Dengan kesaksian yang cukup syarat, nyatalah kebenaran bagi
Hakim dan wajiblah dia memutuskan perkara sesuai dengan kesaksian
itu.42
3. Nilai Keterangan Saksi
Nilai keterangan saksi telah diatur dalam Pasal 1905 KUH
Perdata yang menyebutkan bahwa, keteterangan seorang saksi saja tanpa
alat bukti yang lainnya di Pengadilan tidak dapat dipercaya.43 Tentang
tidak dipercayainya keterangan dari seorang saksi tidak hanya dari
kebiasaan berkata yang tidak benar, tetapi juga melihat bahwa saksi juga
manusia, kemampuan yang terbatas, juga ingatannya, maka dari itu
didasarkan pada kemampuan ingatan manusia yang terbatas.44
Dalam menimbang harga kesaksian Hakim harus menumpahkan
peratian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, cocoknya
kesaksian-kesaksian dari yang diketahui dari tempat lain tentang perkara
yang diperselisihkan, tentang sebab yang terdapat pada saksi itu
menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang kelakuan atau adat
dan kedudukan saksi, dan umumnya yang dapat menyebabkan saksi
dapat dipercaya atau tidak.
Alat bukti saksi ini mempunya kekuatan pembuktian bebas,
artinya Hakim bebas untuk memberikan penilaiannya atas kesaksian
42Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hal. 139. 43R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1999, hal. 482. 44Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992,
hal. 61.
seseorang atau beberapa orang yang diajukan di persidangan.45 Hakim
tidak terikat dengan keterangan yang disampaikan oleh saksi.
Hakim dapat juga mennyingkirkannya keterangan saksi asal
dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.
Akan tetapi hakim wajib berusaha mencari kebenaran walaupun dengan
seorang saksi dan tidak boleh menolak keterangan yang telah sah
lantaran hanya karena seorang saksi. Saksi-saksi itu, hanyalah jalan
memperoleh kebenaran.46
4. Kedudukan Saksi
Bersandar pada Pasal 163 HIR yang menyebutkan bahwa,
barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu
perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak
orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak itu atau
kejadian itu. 47
Maka dari itu, penting bagi para pihak untuk menghadirkan saksi
guna menguatkan hak dan perbuatannya di depan persidangan. Bahwa
saksi harus dan menjadi suatu kewajiban untuk datang dan memberikan
kesaksiannya di depan sidang, sebab apabila seorang saksi tidak mau
memenuhi panggilan akan mendapatkan sanksi-sanksi.48 Tentang sanksi-
sanksi tersebut diatur dalam Pasal 140 dan 141 HIR.
45Bachtiar Effendie dkk., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 74. 46 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqy, Op. Cit., hal. 149. 47 Abdul Manan, Op. Cit., hal. 230. 48 R. Subekti, Op. Cit., hal. 39.
Dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi sangat
penting artinya, terutama dalam perjanjian-perjanjian hukum adat,
umumnya karena adanya saling percaya sehingga tidak dibuat sehelai
surat pun. Karena bukti surat tidak ada, maka pihak-pihak berusaha
mengajukan saksi guna menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka
sidang.49 Dan juga, kesaksian merupakan alat pembuktian yang wajar
dan penting, karena sudah seharusnya pemeriksaan suatu perkara dalam
persidangan diperlukan keterangan dari pihak ketiga yang mengalami
peristiwa tersebut, bukan dari pihak-pihak yang berperkara.50
Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak, dapat
didengar sebagai saksi, dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan
wajib member kesaksian. Kewajiban untuk memberikan kesaksian ini
dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dal BW dan HIR,
dimana saksi itu dapat dipaksa dan diancam dengan sanksi-sanksi ap-
abila mereka tidak memenuhinya.51
49 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Badung: Mandar Maju, 1997, hal. 70. 50 Teguh Samudra, Op. Cit., hal. 58. 51 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 41.
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG
No:204/Pdt.G/2000/PTA.Smg TENTANG
KEDUDUKAN SAKSI DALAM CERAI TALAK
A. Gambaran Umum Profil Pengadilan Tinggi Agama Semarang
1. Lahirnya Pengadilan Tinggi Agama Semarang
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama khususnya lewat pasal 106 Lembaga Peradilan Agama
mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Status dan
eksistensinya telah pasti, sebab lewat pasal 106 tersebut keberadaan
lembaga Peradilan Agama yang dibentuk sebelum lahirnya Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 keberadaannya diakui dan disahkan dengan
Undang-undang Peradilan ini. Dengan demikian Peradilan Agama menjadi
mandiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dimana ciri-cirinya antara lain hukum acara dilaksanakan dengan baik dan
benar, tertib dalam melaksanakan administrasi perkara dan putusan
dilaksanakan sendiri oleh pengadilan yang memutus perkara tersebut.1
Diawali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan:
1 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press,
1996, hal. 89.
1. Badan-badan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ini berarti kekuasaan
Departemen Agama terhadap Peradilan Agama dalam bidang-bidang
tersebut, yang sudah berjalan sejak proklamasi, akan beralih ke
Mahkamah Agung.
2. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari lingkungan-
lingkungan : peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata
usaha negara ke Mahkamah Agung dan ketentuan pengalihan untuk
masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan UU
sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing serta
dilaksanakan secara bertahap selambat-lambatnya selama 5 tahun.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap tersebut
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.2
Selama rentang waktu 5 tahun itu Mahkamah Agung membentuk
Tim Kerja, untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk perangkat
peraturan perundang-undangan yang akan mengatur lebih lanjut, sehingga
Peradilan Agama saat ini sedang memerankan eksistensinya setelah berada
dalam satu atap kekuasaan kehakiman dibawah Mahkamah Agung dan
pasca amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dengan Undang-undang ini Perdilan Agama tercabut dari
Departemen Agama dan masuk ke Mahkamah Agung, ini berarti
2 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta:
Sinar Grafika, 2001, hlm. 9.
pengakuan yuridis, politis, dan sosiologis terhadap lembaga peradilan
agama sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Dalam undang-undang tersebut, berisi bahwa lingkungan
peradilan dibagi menjadi empat yaitu:
a. Lingkungan peradilan umum adalah pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, mahkamah agung.
b. Lingkungan peradilan Agama adalah pengadilan agama, pengadilan
tinggi agama, mahkamah agung.
c. Lingkungan peradilan militer adalah mahkamah militer, mahkamah
militer tinggi, mahkamah agung.
d. Lingkungan peradilan tata usaha negara adalah peradilan tata usaha
negara, peradilan tinggi tata usaha negara dan mahkamah agung.3
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam saja, jadi lembaga peradilan khusus diperuntukkan bagi
umat Islam saja, hal ini menunjukkan bahwa bagi umat Islam yang
berperkara dapat menyelesaikannya melalui peradilan yang hakim-
hakimnya beragama Islam serta diselesaikan menurut agama Islam.
Pengadilan Tinggi Agama Semarang dibentuk secara resmi pada
tahun 1980 M. Sesuai dengan surat keputusan Menteri Agama RI No.
6/1980 Tentang Perubahan Nama Mahkamah Agung Tinggi Menjadi
Pengadilan Tinggi Agama Semarang.
3 Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, Cet. VI., hlm. 14.
Dan gedung Pengadilan Tinggi Agama Semarang Yang terletak di
jalan Hanoman No: 18 Semarang diresmikan oleh Bapak Menteri Agama
RI. H. Munawir Syadzali, MA. Pada hari Selasa tanggal 23 Juni 1987 M
bertepatan dengan tanggal 26 Syawal 1407 H.4
Profil Pengadilan Tinggi Agama Semarang
1 NAMA Pengadilan Tinggi Agama Semarang
2 ALAMAT
Jl. Hanoman No. 18 Semarang 50146 Telp. 024-
7600803 Fax. 024-7603866
3 DASAR PEMBENTUKAN
Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 6/1980
Tentang Perubahan Nama Mahkamah Islam
Tinggi Menjadi Pengadilan Tinggi Agama
Semarang
4 WILAYAH HUKUM
Kabupaten 36 Kabupaten
Kecamatan 563 Kecamatan
Desa/Kelurahan 8.893 Desa/Kelurahan
Batas Wilayah Sebelah Utara Laut Jawa
Sebelah Timur Propinsi Jawa Timur
Sebelah Barat Propinsi Jawa Barat
Sebelah Selatan Samudra Hindia
5 LETAK GEOGRAFIS 7º00’ Lintang Selatan 110º24’ Bujur Timur
6 JUMLAH PA 36
Klas I-A 9
Klas I-B 23
Klas II 4
4 Wawancara dengan Bpk. Moh. Dardiri, SH (Panmud Hukum), tanggal 26 November
2008.
Dasar hukum pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Semarang.
1. Pengadilan Tinggi Agama Semarang dibentuk berdasarkan Surat
Gubernur Jenderal Hindia Belanda No: 18 tanggal 12 Nopember 1937
dengan nama “Hof Voor Islamietische Zaken”
2. Mahkamah Islam Tinggi berdiri sejak tanggal 1 Januari 1938
berdasarka Surat Gubernur Jenderal Belanda tanggal 12 Nopember
1937 No: 18
3. Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 71 Tahun 1976 tentang
pembentukan Mahkamah Islam Tinggi di Surabaya dengan
menyebutkan sebagai cabang dari Mahkamah Islam Tinggi yang
berkedudukan di Surakarta
4. Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6 Tahun 1980 tentang
Perubahan Nama Mahkamah Islam Tinggi di Semarang menjadi
Pengadilan Tinggi Agama Semarang
5. Pasca amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama menjadi Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.5
2. Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Agama Semarang
Untuk menghasilkan kerja yang baik, perlu dibutuhkan sistem
pemerintahan yang efektif dan berdaya guna sesuai dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 1996 Pengadilan Tinggi Agama
Semarang memiliki struktur organisasi6 sebagai berikut:
5 Www.ptasemarang.net 6 Wawancara dengan Bpk. Moh. Dardiri, SH. Op. Cit.
BAGAN SUSUNAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG
SE. MA. RI NOMOR 5 TAHUN 2006
______________ : Garis Tanggung Jawab
------------------------- : Garis Koordinasi
Pamud Banding Pamud Hukum Kasubag Umum
Kasubag Keuangan
Kasubag Kepegawaian
Wakil Panitera
Wakil Sekretaris
Panitera / Sekretaris
KETUA
WAKIL KETUA
MAJELIS HAKIM MAJELIS HAKIM
PANITERA PENGGANTI
SUSUNAN NAMA-NAMA PEJABAT
PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG
No NAMA JABATAN
1 Drs. H. Khalilurrahman, SH. MH Ketua
2 Drs. H. Syamsul Falah, SH. M.Hum Wakil Ketua
3 Drs. DjuhriantoArifin, SH Panitera / Sekretaris
4 Dra. Hj. Siti Maryam Wakil Panitera
5 Drs. Arifin. S, SH Wakil Sekretaris
6 Fakhrur, SHI Panmud Banding
7 Moh. Dardiri, SH Panmud Hukum
8 Abd. Mufid Kasubag Kepegawaian
9 Drs. Muh. Uzair Kasubag Umum
10 Jitu Nove Wardoyo, SH Kasubag Keuangan
11 H. Wahyudi. DS, SH. MH Panitera Pengganti
12 Mutakim, SH Panitera Pengganti
13 Mujiani, SH Panitera Pengganti
14 Khoirun Nisa, S.Ag Panitera Pengganti
15 Budi D. Walujo, SH Panitera Pengganti
16 Tulus Suseno, SH Panitera Pengganti
17 Drs. K. Effendi, SH Panitera Pengganti
SUSUNAN NAMA-NAMA MAJELIS HAKIM
PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG
No NAMA
1 Drs. H. Muhsoni, SH
2 Drs. Ali Muchson, M.Hum
3 Drs. H. Agus Salim, SH. M.Hum
4 H. Masdar, SH
5 Drs. H. Yahya Arul, SH
6 Drs. H. Sutjipto, SH
7 Dra. Hj. Faizah
8 Drs. H. Ibrahim Salim, SH
9 Drs. H. Shofrowi, SH. MH
10 Drs. H. Syihabuddin Mu’ti, SH
11 Drs. Moh. Chamdani Hasan
12 Drs. H. Bunyamin, SH
13 Drs. H. Mafruchin Ismail, SH
14 Dra. Ayunah M. Zabini, SH
15 Drs. H. M. Djamhuri R., SH
16 Drs. H. M. Zubaidi, SH
17 Drs. H. Wiyoto, SH
18 Drs. H. Anwar Sholeh, M.Hum
B. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang
No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. Tentang Kedudukan Saksi Dalam Cerai
Talak
Pengadilan Tinggi Agama Semarang telah memeriksa dan mengadili
perkara pada tingkat banding yang telah menjatuhkan putusan perkara No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. yang mana kasus ini sebagai obyek penelitian
penulis.
1. Gambaran Umum Perkara di Pengadilan Agama Pemalang Perkara
No: 640/Pdt.G/2000/PA.Pml. Tentang Kedudukan Saksi Dalam Cerai
Talak
Sebelum penulis mengetengahkan kasus tentang kedudukan saksi
dalam cerai talak, maka untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan
kedudukan orang-orang yang berperkara, karena Pengadilan Tinggi
Agama Semarang merujuk pada putusan Pengadilan Agama Pemalang No:
640/Pdt.G/2000/PA.Pml. maka disini penulis akan menerangkan sedikit
gambaran umum tentang putusan di Pengadilan Agama Pemalang No:
640/Pdt.G/2000/PA.Pml.
Pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Pemalang
adalah sebagai berikut:
dr. Farida Assaidi binti Endoh Assaidi, yang dahulu sebagai
Termohon sekarang Terbanding, yang setatusnya sebagai istri. Melawan
Fauzi Nagib bin Nasir Nagib, yang semula Pemohon sekarang sebagai
Pembanding yang setatusnya sebagai suami.
Pemohon telah melangsungkan pernikahan dengan Termohon
pada tanggal 31 Desember 1982, sebagaimana yang dikutip dalam Akta
Nikah No: 1074/118/XII/1982 tanggal 31 Desember 1982 yang
dikeluarkan KUA Kecamatan Purwokerto Kabupaten Banyumas.
Setelah pernikahan Pemohon dan Termohon hidup bersama di
rumah kontrakan di Kelurahan Mulyoharjo selama 10 tahun, kemudian
Pemohon dan Termohon pindah ke rumah milik bersama selama 7 tahun
dan selama itu Pemohon dan Termohon telah dikaruniai 4 orang anak,
yaitu: Nardiana, Haekal, Sami dan Numear.
Berawal dari bulan Agustus 1999, rumah tangga Pemohon dan
Termohon mulai goyah, terjadilah perselisihan dan pertengkaran terus
menerus yang disebabkan Termohon meminta harta waris orang tua
Pemohon untuk diserahkan kepada Termohon dengan surat kuasa.
Kemudian sejak bulan Agustus 1999, Pemohon dan Termohon
terjadi pisah rumah, kepergian Pemohon selama delapan bulan itu
disebabkan karena Pemohon tidak tahan dengan perlakuan Termohon dan
semenjak itu pula tidak ada komunikasi lagi.
Sebenarnya Pemohon telah berusaha untuk meminta bantuan
kepada saudarnya untuk ikut serta mengatasi permasalahanya, namun tetap
saja tidak berhasil. Pemohon merasa bahwa untuk mencapai rumah tangga
yang tentram dan bahagia tidak bisa tercapai lagi.
Perselisihan dan pertengkaran tersebutlah yang menyebabka
Pemohon mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama Pemalang,
karena tempat kediaman istri atau Termohin ada di kota Pemalang.
Selama pada hari-hari dipersidangan yang telah ditetapkan oleh
majelis Hakim, Pemohon dan Termohon telah datang sendiri
dipersidangan. Ketika telah sampai pada tahap pembuktian, majelis hakim
memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak untuk
membuktikan dalil-dalil gugatannya atau bantahannya.
Dalam persidangan mengenai pembuktian, Pemohon
menyampaikan alat bukti berupa surat saja dan tidak sanggup untuk
membawa alat bukti yang lain dalam persidangan. Berbeda dengan
Termohon yang mmpu membawa alat bukti berupa saksi disamping alat
bukti berupa surat. Dari keterangan semua saksi yang dibawa oleh pihak
Termohon, bahwa keadaan rumah tangga mereka adalam keadaan yang
baik-baik saja dan rukun selalu.
Melihat dari segi tersebut kemudian majelis Hakim Pengadilan
Agama menolak permohonan Pemohon, karena Pemohon tidak berhasil
membuktikan dalil-dalil permohonannya dan tidak cukup alasan untuk
menceraikannya.
Pada putusan Pengadilan Agama Pemalang perkara No:
640/Pdt.G/2000/PA.Pml. majelis Hakim memutuskan dalam perkara
tersebut dengan dasar hukum Pasal 163 HIR, bahwa Pemohon dibebani
untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonannya. Pengadilan
Agama Pemalang memutuskan perkara sebagai berikut:
1. Menolak permohonan Pemohon (sekarang Pembanding) seluruhnya
2. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 103.000,00 (seratus tiga ribu rupiah)
2. Perkara Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. Tentang Kedudukan Saksi Dalam Cerai
Talak
Pengadilan Tinggi Agama Semarang pada hari senin tanggal 22
Januari 2001 telah menyelesaikan dan menjatuhkan putusan perkara No.
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg yang mana putusan perkara ini diajukan sebagai
dasar obyek penelitian penulis.
Pengadilan Tinggi Agama Semarang yang mengadili perkara
perdata pada tingkat banding dalam persidangannya majelis Hakim telah
memberikan putusan dalam perkara antara :
Fauzi Nagib bin Nasir Nagib yang berumur 56 tahun, agama Islam,
pekerjaan dagang dan bertempat tinggal di Jl. Manggis No. 3, Tegal, yang
semula Pemohon, sekaran sebagai Pembanding. Melawan dr. Farida
Assaidi binti Endoh Assaidi yang umur 50 tahun, agama Islam, pekerjaan
PNS dan bertempat tinggal di Jl. Pemuda No. 103, Kelurahan Mulyoharjo
Rt. 05 Rw. 09, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, yang semula
sebagai Termohon, kemudian sekarang sebagai Terbanding.
Pengadilan Tinggi Agama tersebut telah mempelajari berkas
perkara dan semua surat-surat yang berhubungan dengan perkara ini.
Tentang duduk perkaranya Pengadilan Tinggi Agama Semarang,
dengan segala uraian tentang hal ini sebagaimana termuat dalan Putusan
Pengadilan Agama Pemalang tanggal 2 Oktober 2000 M. bersamaan
dengan tanggal 4 Rajab 1421 H. Nomor: 640/Pdt.G/2000/PA.Pml. yang
amarnya putusannya berbunyi: telah mengadili dalam konpensi menolak
permohonan Pemohon seluruhnya dalam rekopensinya menyatakan
gugatan rekopensi Termohon tidak dapat diterima dan dalam konpensi dan
rekonpensi menyatakan bahwa membebankan kepada Pemohon untuk
membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 103. 000,- (seratus tiga ribu
rupiah)
Membaca surat penyataan banding yang telah dibuat oleh Panitera
Pengadilan Agama Pemalang, bahwa Fauzi Nagib bin Nasir Nagib pada
tanggal 21 Oktober 2000 M. bersamaan tanggal 4 Rajab 1421 H. nomor :
640/Pdt.G/2000/PA.Pml. permohonan banding tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawannya.
Tentang hukumnya yang ditulis dalam putusan Pengadilan Tinggi
Agama Semarang, menyebutkan bahwa oleh karena permohonan banding
yang diajukan oleh Termohon yang sekarang menjadi Pembanding, telah
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan tatacara yang sebagaimana
ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan, maka permohonan
banding tersebut harus dinyatakan dapat diterima.
Dalam konpensinya, menurut majelis Hakim, bahwa yang disebut
perselisihan dan pertengkaran suami istri itu, bersandar menurut pendapat
Mahkamah Agung RI, bukanlah hanya pertengkaran yang dibarengi
dengan pukul memukul, suara keras saja, akan tetapi dengan sikap, dengan
ekspresi sinis, mimik dan raut muka kesal, penampilan tidak bersahabat
dan sebagainya adalah termasuk dalam kategori berselisih dan bertengkar.
Majelis Hakim berpendapat bahwa alasan perceraian sebagaimana
dimaksud oleh pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975
jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, adalah semata-semata
ditujukan kepada pecahnya perkawinan itu sendiri (break down marriage)
tanpa mempersoalkan siapa yang bersalah dalam terjadinya perselihan dan
pertengkaran tersebut.
Berkaitan dengan urusan rukun atau tidak adalah urusan kedua
belah pihak secara timbal balik berdasarkan Pasal 33 Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 suami isteri wajib saling cinta mencintai dan saling
hormat-menghormati.
Bahwa dalam kenyataan, dari pemeriksaan yang terjadi di
Pengadilan Agama Pemalang terhadap Pemohon/Pembanding dan
Termohon/Terbanding dari sejak pemeriksaan sidang pertama sampai
sidang terakhir telah menunjukkan bahwa kondisi mereka itu telah begitu
parah. Jangankan saling cinta mencintai dan saling hormat maenghormati,
justru mereka saling menuduh, mencerca dan sebagainya. Hal ini
membuktikan bahwa hati mereka telah pecah, sehingga tujuan perkawinan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan
rahmah sebagaiman diatur didalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tidak
bisa terwujud.
Lembaga perkawinan adalah lembaga yang sangat sakral, akan
tetapi jika didalamnya terjadi pertengkaran, putus komunikasi, berdebatan-
perdebatan yang mendasar, nafkah tidak teratur dan sebagainya, maka jika
keadaan sedemikian tetap di pertahankan, jelas akan mendatangkan
penderitaan bagi kedua belah pihak, bahkan anak-anak pun bisa menjadi
korbannya.
Dengan demikian adanya perselisihan dan pertengkaran yang
selama ini terjadi antara Pembanding dengan Terbanding, itulah yang
membuat Pembanding mengajukan permohonan talak kepada Pengadilan
Agama.
Dalam hal periksaan saksi-saksi Termohon: Elya Najib binti
Muhsin, Sri Indrastuti binti Danupranoto dan Harti binti Ahmadi,
semuanya menyatakan bahwa rumah tangga antara Pemohon dan
Termohon harmonis, tidak pernah melihat mereka bertengkar dan rukun
damai selalu, dan pada pokoknya rumah tangga antara Pemohon dan
Termohon rukun, harmonis dan tidak pernah terjadi pertengkaran.
Pendapat majelis Hakim di pengadilan tingkat pertama, bahwa oleh
sebagian dalil-dalil Pemohon dibantah oleh Termohon, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 163 HIR, Pemohon dibebani untuk membuktikan dalil-
dalil permohonannya.
3. Dasar Hukum Majelis Hakim
Dasar hukum yang digunakan majelis Hakim dalam memutuskan
perkara No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi dalam
cerai talak adalah :
a. Bahwa Hakim berpendapat bahwa apabila rumah tangga sudah
mengkhawatirkan, hati sudah pecah, dan sudah tidak mau lagi
melanjutkan rumah tangga, haruslah dapat diakhiri. Hal tersebut sesuai
dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al Baqaroh ayat 229.
b. Bahwa pendapat majelis Hakim tingkat pertama (Pengadilan Agama
Pemalang) yang berpendapat bahwa menurut Pasal 163 HIR, maka
Pemohon dibebani untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil
permohonannya.
c. Bahwa pendapat majelis Hakim tingkat pertama berdasarkan atas
jawaban Termohon dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi, maka
Pemohon tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil-dalil yang
dibantah Termohon.
d. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama berdasar pada Kompilasi
Hukum Islam Pasal 3 yang tidak bisa terwujud. Hakim Pengadilan
Tinggi Agama dalam memutus perkara tanpa melihat fakta dan
mengabaikan hukum acara yang berlaku.
4. Keputusan Majelis Hakim Atas Perkara No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg
Dalam menyelesaikan perkara No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg
Majelis Hakim Mengeluarkan putusan yang isinya sebagai berikut :
a. Menyatakan bahwa permohonan banding Pemohon/Pembanding dapat
diterima
b. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Pemalang Nomor :
604/Pdt.G/2000/PA.Pml tanggal 2 Oktober 2000.
Dan dengan mengadili sendiri :
• Mengabulkan permohonan Pemohon
• Memberi izin kepada Pemohon (Fauzi Nagib bin Nasir Nagib)
untuk menjatuhkan talak kepada Termohon (dr. Farida Assadi binti
Endoh Assaidi)
• Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 103.000,- (seratus tiga ribu rupiah)
• Membebankan Pemohon untuk membayar biaya banding sebesar
Rp. 125.000,- (seratus dua puluh lima ribu rupiah)
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA
SEMARANG No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. TENTANG
KEDUDUKAN SAKSI DALAM CERAI TALAK
A. Analisis Terhadap Proses Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang
No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg Tentang Kedudukan Saksi Dalam Cerai
Talak
Pengadilan Tinggi Agama Semarang yang telah memeriksa dan
mengadili perkara-perkara pada tingkat banding dan telah menjatuhkan
putusan dengan No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg Tentang Kedudukan Saksi
Dalam Cerai Talak, yang mana kasus ini sebagai obyek penelitian bagi
penulis.
Proses pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat pertama di
Pengadilan Agama, berbeda dengan tata cara pemeriksaan tingkat banding
oleh Pengadilan Tinggi Agama. Proses pemeriksaan oleh Pengadilan Agama
pada tingkat pertama, dilaksanakan melalui berbagai tahap dan proses. Tidak
demikian halnya pada tingkat banding. Berdasarkan praktik peradilan
pemeriksaan pda tingkat banding tanpa banyak proses. Pada umumnya, proses
pemeriksaan cukup singkat sesuai acuan berikut:
• Tidak ada proses pemanggilan para pihak, karena pemeriksaan dilakukan
tanpa hadirnya mereka,
• Tidak ada proses jawaban, replik dan duplik, karena hal itu tertutup sudah
pada tingkat banding,
• Tidak ada lagi proses penyampaian alat bukti maupun pemeriksaan, hal itu
diluar yurisdiksi pengadilan tingkat banding,
• Begitu juga mengenai proses penyampaian konklusi, sebab hal itu
merupakan yurisdiksi pengadilan agama.1
Berdasarkan penjelasaan di atas, pada prinsipnya secara umum tidak
ada lagi proses pemeriksaan yang memerlukan formalitas dan waktu. Semua
proses yang esensial untuk menghimpun dan memperoleh fakta dan
pembuktian, telah selesei dan tuntas dilakukan oleh peradilan tingkat pertama.
Semua hal itu telah tercantum dan terekam sebagaimana mestinya dalam
berkas perkara yang disampaikan Pengadilan Agama kepada Pengadilan
Tinggi Agama.
Ketika melihat kasus yang terjadi di Pengadilan Tinggi Agama
Semarang yang telah menjatuhkan putusan dengan No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg, memang telah tepat seperti penyelesaian proses
adminstrasi, proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara dan juga
pengucapan putusan.
1 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara
Perdata dalam Tingkat Banding, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 113-114.
Keberhasilan dan kelancaran persidangan di tingkat banding
ditentukan dari berita acara yang diberikan dari tingkat pertama. Sebab berita
acara adalah sebagai bahan dan landasan untuk menguji kebenaran fakta-fakta
yang tertuang dalam putusan Pengadilan Agama. Majelis tingkat banding
harus memeriksa dengan seksama apakah hal-hal apalagi fakta–fakta maupun
peristiwa yang dikemukakan dalam pertimbangan putusan pengadilan agama
sesuai dan konsisten dengan apa yang tercantum dalam berita acara.
Selain sebagai landasan untuk menguji fakta-fakta, berita acara juga
menjadi landasan pemeriksaan saksi. Seperti yang ditegaskan Pasal 152 HIR,
pemeriksaan dan keterangan saksi ditulis dalam berita acara. Dengan
demikian, berita acara merupakan landasan pemeriksaan untuk menentukan
keabsahan syarat formil dan syarat materil keterangn saksi maupun untuk
menentukan nilai kekuatan pembuktiannya.
Oleh sebab itu, ketika kita melihat kepada putusan Pengadilan Tinggi
Agama Semarang yang telah menjatuhkan putusan dengan No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg, Pengadilan Tinggi Agama Semarang tidak melihat
dan mempelajari atau memeriksa berita acara dari pengadilan agama. Dalam
berita acara yang diberikan pengadilan agama disitu menyebutkan bahwa
pemohon atau sekarang pembanding tidak sanggup untuk menghadirkan saksi
untuk menguatkan gugatan-gugatannya dalam persidangan.
Hakim dalam tingkat banding haruslah memeriksa berita acara yang
diterimanya, terutama dalam hal saksi. Apakah saksi dalam persidangan telah
memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil yang harus
diperiksa:
• bukan orang yang dilarang sebagai saksi berdasarkan Pasal 145 HIR,
• bukan orang yang berhak mengundurkan diri sesuai Pasal 146 HIR,
• saksi dipanggil dan diperiksa satu per satu berdasar Pasal 144 ayat 1,
• saksi disumpah menurut agamanya masing-masing sesuai Pasal 147 HIR.
Itulah beberapa syarat formil saksi yang harus diperiksa hakim dalam
tingkat banding dari berita acara. Kewajiban ini mesti dilaksanakan, meskipun
pemohon tidak mengemukakan adanya cacat formil saksi dalam memori
banding.2 Adapun syarat materil yang harus diperiksa adalah:
• asas unus testis nullus testis yang ditentukan Pasal 171 ayat 2 HIR,
• keterangan yang diberikan bukan testimonium de auditu, tetapi
berdasarkan pengalaman, penglihatan dan pendengaran sendiri sesuai
dengan Pasal 171 ayat 1 HIR,
• keterangan yang diberikan bukan pendapat (opini) atau perkiraan
berdasarkan pikiran saksi sesuai Pasal 1907 ayat 2 KUH Perdata,
• saling persesuaianantara keterangn saksi yang satu dengan yang lainnya
sesuai Pasal 172 HIR.
2 Ibid, hal. 127.
Syarat-syarat formil dan materil tersebut diperiksa hakim tingkat
banding sesuai dengan prinsip:
• semua syarat dimaksud bersifat komulatif bukan alternatif,
• oleh karena itu, satu saja dari syarat formil maupun materil tidak
terpenuhi, keterangan saksi itu tidak sah sebagai alat bukti,
• oleh karena itu, keterangan itu tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian.3
B. Analisis Terhadap Dasar Hukum Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg Tentang Kedudukan Saksi
Dalam Cerai Talak
1. Hukum materil
Pada bab sebelumnya penulis telah kemukakan tentang putusan
kedudukan saksi dalam cerai talak. Pada putusan Pengadilan Agama Pemalang
No: 640/Pdt.G/2000/PA.Pml. yang pada intinya berisi tentang ditolaknya
gugatan Penggugat tentang perceraian yang tanpa adanya saksi dan pada
putusan tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. telah memeriksa dan memutuskan:
1. Menyatakan bahwa permohonan Banding Pemohon/Pembanding dapat
diterima
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Pemalang No:
640/Pdt.G/2000/PA.Pml
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara Rp.
103.000,- (seratus tiga ribu rupiah)
3 Ibid
Pada putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. tentang kedudukan saksi dalam cerai talak, dan
dikabulkannya Banding Pembanding (dulu Penggugat) dengan pertimbangan
hukum yang merujuk pada putusan Pengadilan Agama Pemalang sebagai
berikut:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah terjadi pertengkaran. Berdasarkan
Pasal 33 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, suami istri wajib saling cinta-
mencintai dan hormat menghormati.
2. Bahwa dari mulai pemeriksaan sidang pertama sampai terakhir
Pemohon/Pembanding dan Termohon/Terbanding kondisi mereka telah
begitu parah, seperti menuduh, mencerca dan sebagainya.
3. Bahwa tujuan perkawinan yang sakinah, mawadah dan rahmah
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tidak bisa
terwujud.
Dari pertimbangan hukum itulah yang menjadi dasar yang digunakan
Pengadilan Tinggi Agama Semarang dalam menghasilkan putusan.
Pertimbangan hukum merupakan komponen penting sebagai acuan untuk
memberikan kejelasan bagi para pihak yang berperkara tentang putusan yang
diambil baik dalam bentuk diterima ataupun ditolaknya suatu putusan.
Hukum materiil adalah segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan.4 Melihat dari pengertian tersebut,
semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dimaksudkan sebagai
4 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1992, Cet. 24, hlm. 9.
argumen sebagai pertanggungjawaban Hakim kepada masyarakat umumnya
dan pada pihak yang berperkara pada khususnya, oleh karena itu haruslah
mempunyai nilai obyektif. Adanya alasan-alasan itulah maka putusan Hakim
mempunyai wibawa dan bukan karena Hakim tertentu yang memutuskannya.
Untuk menyelesaikan sesuatu perkara yang dibawa ke muka Hakim
dan supaya keputusan Hakim benar-benar mewujudkan keadilan, maka
hendaklah Hakim mengetahui apa yang menjadi gugatan dan mengetahi
hukum Allah terhadap gugatan itu.5
Dalam pertimbangan hukum yang pertama yaitu telah jelas bahwa
antara Pemohon/Pembanding dan Termohon/Terbanding telah terjadi
pertengkaran terus menerus bahkan sampai terjadi adu fisik seperti
penamparan, pemukulan dan sebagainya. Penulis sependapat dengan putusan
Pengadilan Tinggi Agama Semarang yang membatalkan putusan Pengadilan
Agama Pemalang. Bahwa tidak ada baiknya mempertahankan suami istri yang
pertengkarannya sudah tidak mungkin lagi dapat diutuhkan lagi. Darurat yang
membolehkan cerai yaitu bila suami meragugan kebersihan tingkah laku
istrinya, atau sudah tidak punya cinta dengannya.6 Apapun yang menyebabkan
besar atau kecil, lebih baik mengakhiri hubungan mereka sebagai suami istri,
Pengadilan juga harus melihat dari aspek kemaslahatan.
5Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997, hal. 127. 6 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Bandung: Al-Ma’arif, 1997, hal, 11.
درء املفاسد مقدم على جلب املصاحلArtinya: “Menolak kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan.”7
Ketika seseorang hendak melakukan perceraian di depan Pengadilan
maka haruslah didasarkan pada alasan-alasan tertentu yang menunjukan
bahwa, antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri,
dan alasan-alasan perceraian harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Bahwa islam telah
memberikan hak talak hanya kepada laki-laki saja. Karena ia yang lebih
bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayainya dengan
hartanya yang begitu besar, sehingga kalau ia mau cerai atau kawin lagi ia
perlu membiayainya lagi dalam jumlah yang sama atau bahkan lebih besar.
Tapi dari kesemua iti haruslah si suami benar-benar mempunyai alasan-alasan
yang jelas dan bukti yang tepat.
Dari ketentuan Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tersebut di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa suami istri dapat
mengajukan permohonan atau gugatan cerai apabila didasari dengan alasan-
alasan baik alternatif maupun kumulatif.
Alasan-alasan alternatif yaitu alasan yang memuat salah satu dari
alasan yang ada dalam Pasal Undang-undang tersebut. Sedangkan alasan
kumulatif yaitu alasan yang memuat lebih dari satu alasan yang ada dalam
Pasal Undang-undang tersebut.
7 Moh. Adib Bisri, Terjemah Faraidul Bahiyah (Risalah Qawaid Fiqh), Kudus: Menara,
t.th, hlm. 24.
Pengadilan Tinggi Agama Semarang dalam pengambilan keputusan
tersebut telah sesuai dengan hukum materi yang berlaku yaitu telah melihat
alasan-alasan yang telah diajukan dalam permohonan perceraiannya didepan
Pengadilan, dan tindakan yang realistis yang dilakukan oleh Pengadilan
Tinggi Agama Semarang adalah mengabulkan permohonan Pembanding,
sebab hidup suami istri yang mengambang seperti itu, dimana rukun tidak,
ceraipun tidak, haruslah dapat diakhiri. Hal tersebut telah sesuai dengan
firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqaroh ayat 229:
فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان Artinya: “Rukunlah dengan baik, tetapi apabila tidak mungkin cerailah
dengan baik pula.”8 2. Hukum formil
Hukum formal (hukum acara) adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan
bagaimana cara pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.9
Dalam menganalisis putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang
No:204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. yang berkaitan dengan hukum formal penulis
akan menerangkan yang menjadi inti dalam masalah tersebut, yaitu tentang
pertimbangan dan dasar hukum dalam putusan.
8 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Al Waah, 1989, hal. 55. 9 Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Kencana, 2006, Cet. IV, hlm. 2.
Setelah memeriksa berkas perkara dari Pengadilan Agama Pemalang
No: 640/Pdt.G/2000/PA.Pml., Pengadilan Tinggi Agama Semarang menerima
berkas perkara tersebut yang kemudian memutuskan dengan pertimbangan
hukum sendiri. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan Hakim dalam
memutuskan perkara No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg tentang kedudukan saksi
dalam cerai talak adalah sebagai berikut:
1. Menimbang, bahwa Pemohon dan Tergugat telah hadir di persidangan
2. Menimbang, bahwa dalam tahap pembuktian Pemohon tidak dapat
membuktikan dalil permohonannya, lebih tepatnya tidak bisa
menghadirkan alat bukti saksi.
Berkaitan dengan penyelesaian perkara di pengadilan, Hakim harus
menjatuhkan putusan berdasarkan dengan hukum materiil dan hukum formal
yang berlaku. Dalam pertimbangan hukum yang pertama mengenai kehadiran
antara Pemohon dan Termohon, meskipun pada dasarnya pemeriksaan pada
tingkat Banding Hakim tidak berhadapan dengan para pihak yang berperkara,
akan tetapi dengan berdasar pada berkas perkara dengan meneliti proses
pemeriksaan dengan diterapkannya hukum formal dan hukum materiil yang
dilakukan Pengadilan Agama, cukup realistik dan rasional sehingga tidak
terjadi proses yang melelahkan para pihak.
Mengenai hal pembuktian, bahwa Pembanding (Fauzi Nagib bin Nasir
Nagib) yang semula Pemohon telah mengajukan permohohonan cerai yang
tanpa menggunakan dasar atau tanpa adanya alat bukti saksi yang dapat
menguatkan dalil-dalil permohonannya.
Peristiwa yang sifatnya rahasia di dalam kehidupan rumah tangga
sudah tentu tidak akan dibuat dalam bentuk tulisan untuk kepentingan
pembuktian seperti peristiwa perdata lainnya. Peristiwa tersebut hanya dapat
diketahui oleh mereka yang kebetulan berada ditempat kejadian dengan
melihat dan mendengar sendiri kejadiannya, oleh karena itu peristiwa tersebut
lebih mudah dibuktikan melalui saksi.10
Bahwa Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang kurang tepat
dalam memutuskan perkara tersebut, karena telah jelas bahwa Pembanding
tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonanya di depan persidangan
dengan tidak dapat menghadirkan saksi-saksi.
Mengenai hal pembuktian merujuk kepada Pasal 163 HIR
“Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu
perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang
lain, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu”. Bahwa
sudah jelas, peristiwa yang menimbulkan sesuatu hak harus lah dibutikan oleh
pihak yang menuntut hak tersebut.11
Dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi sangat penting
artinya, terutama dalam perjanjian-perjanjian hukum adat, umumnya karena
adanya saling percaya sehingga tidak dibuat sehelai surat pun. Karena bukti
surat tidak ada, maka pihak-pihak berusaha mengajukan saksi guna
menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang.12 Dan juga, kesaksian
10 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian Di Peradilan Agama, Bandung: Alumni, 1993,
hal. 68. 11 R. Subekti, Op. Cit., hal. 20. 12 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op. Cit., hal. 70.
merupakan alat pembuktian yang wajar dan penting, karena sudah seharusnya
pemeriksaan suatu perkara dalam persidangan diperlukan keterangan dari
pihak ketiga yang mengalami peristiwa tersebut, bukan dari pihak-pihak yang
berperkara.13
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang kurang tepat
menggunakan dasar hukum dalam memutuskan perkara No:
204/Pdt.G/2000/PTA.Smg bahwa apabila seseorang akan mengajukan atau
meneguhkan haknya itu, maka diwajibkan membuktikan haknya tersebut.
Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Semarang, adalah pengadilan tingkat
banding yang memeriksa berkas berita acara yang diterima dari pengadilan
tingkat pertama. Dengan demikian, berita acara merupakan landasan
pemeriksaan untuk menentukan keabsahan syarat formil dan syarat materil
keterangan saksi maupun untuk menentukan nilai kekuatan pembuktiannya.14
Bahwa Hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang hanya bersandar
kepada pendapat Mahkamah Agung RI, yang mengatakan pertengkaran
bukanlah hanya dengan pukul-memukul, tetapi dengan sikap dan ekspresi
sinis, mimik dan raut muka kesal, kemudian pendapat seorang pakar hukum
Islam (fuqoha) Sajid Sabiq, yang mengatakan tidak baik mempertahankan
suami istri yang pertengkarannya sudah tidak mungkin lagi diutuhkan.
Penulis tidak sependapat dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Semarang, penulis lebih sependapat dengan Hakim Pengadilan Agama
Pemalang, karena Pengadilan Agama Pemalang telah menghayati, merasakan
13 Teguh Samudra, Op. Cit., hal. 58. 14 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara
Perdata dalam Tingkat Banding, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 126.
dan melihat langsung proses persidangan. Bahwa sudah jelas Pembanding
yang dulunya Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya, lebih
tepatnya tidak bisa menghadirkan alat bukti saksi. Sebab membuktikan adalah
suatu cara untuk meyakinkan Hakim atau kebenaran dalil-dalil yang menjadi
dasar gugatannya.15 Hal ini telah sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-
Baqaroh ayat 282:
نان ممأترامل وجن فرليجا ركوني فإن لم الكمرج ن منيهيدوا شهدشتاسو ن منوضرىترا الأخماهدإح ذكرا فتماهدضل إحاء أن تدهالش
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seseorang lagi mengingatkannya”.16
15 Darwin Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002, hal. 177. 16 Depag RI, Op. Cit., hal. 70.
1
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis dari beberapa bab terdahulu,
maka selanjutnya penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban dari berbagai
pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Pengadilan Tinggi Agama Semarang dalam melakukan atau melaksanakan
proses persidangan telah sesuai dengan tata cara yang berlaku dalam
persidangan. Akan tetapi, ketika menguji fakta-fakta yang ada dalam berita
acara tidak tepat, karena tidak memperhatikan bahwa Pembanding tidak
sanggup untuk menghadirkan alat bukti, terutama tidak dapat
menghadirkan saksi sebagai penguat gugatannya dalam persidangan.
Sebab berita acara merupakan landasan pemeriksaan untuk menentukan
keabsahan syarat formil dan syarat materil keterangn saksi maupun untuk
menentukan nilai kekuatan pembuktiannya. Maka dari itu seorang hakim
harus teliti apakah orang yang berperkara telah lengkap dalam segala hal.
2. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Semarang dalam menyelesaikan perkara
No: 204/Pdt.G/2000/PTA.Smg. belum sesuai dengan hukum acara.
Hukum acara dari awal pemeriksaan berkas perkara dari Pengadilan
Agama Pemalang No: 640/Pdt.G/2000/PA.Pml. sampai pada putusan
2
akhir. Dalam hal pembuktian Pemohon tidak dapat menghadirkan saksi,
dan itu tidak sesuai dengan Pasal 163 HIR.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Hakim dalam memeriksa sampai
tahap pengambilan keputusan haruslah melihat dari kasusnya terlebih
dahulu, seperti dalam kasus kedudukan saksi dalam cerai yang ditangani
oleh Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 204/Pdt.G/2007/PTA.Smg.
yang menggunakan dasar hukum Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3
bahwa tujuan perkawinan yang sakinah, mawadah dan rahmah tidak bisa
terwujud dan tidak baik mempertahankan hubungan suami istri yang tidak
bisa saling menghormati. Hakim Majelis Pengadilan Agama Pemalang
berpendapat bahwa menurut Pasal 163 HIR Penggugat harus dapat
membuktikan dalil-dalil gugatanya.
B. Saran
1. Dalam menyelesaikan sebuah permasalahan seorang Hakim harus jeli
dalam melihat kasusnya, dari keterangan para pihak yang berperkara,
saksi-saksi, bukti-bukti, dan sebagainya melalui perkara-perkara yang
dihadapkan kepadanya dan memutuskan perkara yang mencerminkan
keadilan. Seperti yang tersebut dalam Undang-undang kekuasaan
kehakiman.
2. Dalam masalah kedudukan saksi dalam cerai talak, haruslah pihak
Penggugat benar-benar ingin mengajukan permohonan cerai ke
Pengadilan, maka hendaklah bisa memenuhi segala persyaratan. Pemohon
juga harus bisa membuktikan dalil-dalil gugatannya dengan
3
membuktikannya dengan alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-
undang.
C. Penutup
Demikian yang dapat penulis susun dan sampaikan. Rasa syukur
penulis haturkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan petunjuk serta
kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
tanpa ada halangan yang berarti.
Meskipun telah berupaya dengan optimal, penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan dari berbagai segi dan
jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
sehingga saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk kebaikan
dan kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap dan berdo’a semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi Presindo, 1995.
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Anwar, Moch., Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di
Pengadilan Agama, Bandung: Diponegoro, 1991. Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996. Arto, Mukti, Praktek-Praktek Perkara perdata Pada Pengadilan Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. VI. Asqalany, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, (Alih Bahasa oleh Muh. Syarief
Sukandy), Bandung: PT. Al Ma’arif, 1993. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet III.
Bisri, Moh. Adib, Terjemah Faraidul Bahiyah (Risalah Qawaid Fiqh), Kudus: Menara, t.th, hlm.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Al Waah 1993.
________, Bahan Penyuluhan Hukum, Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999.
Effendie, Bachtiar, dkk., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara
Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Sinar Grafika, 2001. _________________, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan
Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Hasbi Ash Shidiqy, Teungku Muhammad, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Hasyim, Muhammad Salim, Sohih Muslim, juz 6, Bairut: Libanon, Darul Kutub
al-Ilmiah, tth. http://roysanjaya.blogspot.com/2008/09/pembuktian.html
Hulam, Taufiqul, Reaktualisasi Alat Bukti TES DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.
Khalilurrahman, Pemeriksaan Perkara dalam Tingkat Banding di Lingkungan
Peradilan Agama, Artikel dalam Majalah Mimbar Hukum, Nomor 59 Tahun XIV, Jakarta: Ditbinpera Dep. Agama, 2003.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1988. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004, Cet. XVIII. Nurdiyansah, Ahmad, Pengetahuan Hakim dan Aplikasinya Sebagai Alat Bukti di
Pengadilan Agama Wates, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang, 2003.
Pitlo, MR. A., Pembuktian dan Daluarsa, Jakarta: PT. Intermasa, 1978.
Prinst, Darwin, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Prodjohamidjojo, Martiman, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983. Purwandani, Handry, Tinjauan Terhadap Kekuatan Alat Bukti Saksi Di
Lingkungan Pengadilan Agama Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Uu Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2007.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilzlil Qur’an, di Bawah Naungan Al-Qur’an, jilid 1,
Jakarta: Gema Insani, 2000. Rasaid, M. Nur, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991.
Rofik, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, Cet. III.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, Bandung: Al-Ma’arif, 1997.
___________, Fikih Sunnah 8, Bandung: Al-Ma’arif, 1997.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Samudra, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni,
1992. Sasongko, Wahyu, Kajian Terhadap Putusan No. 147/Pdt.G/2006/PA.Tnk.
Tentang Putusan Verstek: Solusi Hukum Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama. Jurnal Yudisial, vol-1/No-02/November/2007, Jakarta: Komisi Yudisial RI,2007.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, Volume 14, 2004. ________________, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Jakarta: Lentera Hati, Volume 3, 2000. Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: PT.
Pustaka LP3ES Indonesia, 1995, Cet. II. Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1999. Subekti, R , Hukum Pembuktian, Jakarta: Pardnya Paramita, 1995.
_________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1992, Cet. 24.
Supomo, R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negri, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2000, hal.
Supramono, Gatot, Hukum Pembuktian Di Peradilan Agama, Bandung: Alumni,
1993. Susanto, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2002. Syahrani, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra
Aditiya Bakti, 2000.
UU Peradilan Agama No. 03 Tahun 2006.
Www.ptasemarang.net
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Azwar Hasyim
Tempat/tanggal lahir : Kendari, 15 Oktober 1986
Alamat : Jl. PG. Sumberhajo No. 186 Rt.06/02 Wanasari,
Wanamulya, Pemalang
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Menerangkan dengan sesungguhnya.
Jenjang pendidikan :
1. SDN 01 Wanamulya Tahun lulus 1998
2. MTsN Pemalang Tahun lulus 2001
3. MAN Pemalang Tahun lulus 2004
4. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Tahun lulus 2009
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 15 Januari 2009
Penulis
Azwar Hasyim
NIM 2104001
BIODATA MAHASISWA
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : AzwarHasyim
Tempat/tanggal lahir : Kendari, 15 Oktober 1986
Alamat :Jl. PG. Sumberhajo No. 186 Rt.06/02 Wanasari,
Wanamulya, Pemalang
Nama orang tua
Bapak : Hasyim, BA
Ibu : Siti Nur Aisih
Alamat : Jl. PG. Sumberhajo No. 186 Rt.06/02 Wanasari,
Wanamulya, Pemalang
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya .
Semarang, 15 Januari 2009
Penulis,
Aawar Hasyim
NIM: 2103102