Post on 13-Dec-2014
description
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi
huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah
tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi
tertentu.
Negara Indonesia sangat sarat dengan kerusuhan sosial, setiap hari hampir selalu
ada berita mengenai kerusuhan-kerusuhan di berbagai pelosok daerah. Sebagai
warga Negara Indonesia sudah semestinya kita tanggap dan kritis menghadapi
kondisi Negara yang seperti ini. Bertindak sesuai dengan peran kita di masyarakat.
Sebagai mahasiswa kita harus mampu menarik benang merah yang sering menjadi
penyebab huru-hara di Negara ini.
Dengan adanya alasan di atas maka disusunlah makalah ini, agar kita mampu
menarik benang merah masalah Negara kita, serta mampu menghadapinya tanpa
harus memperkeruh keadaan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi pertahanan dan keamanan?
2. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi agama?
3. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi budaya?
4. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi pelanggaran pancasila?
1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi pertahanan dan keamanan.
2. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi agama.
3. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi budaya.
4. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di
Negara Indonesia dari segi pelanggaran pancasila.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Perubahan Sosial
Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat
kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai
sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi
secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses
pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola
pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan
penghidupan yang lebih bermartabat.
Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan ditingkat mezo
terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan ditingkat mikro
sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan
sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait
bertingkat ganda (Sztompka, 2004).
Alfred (dalam Sztompka, 2004), menyebutkan masyarakat tidak boleh
dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu
yang kaku tetapi sebagai aliaran peristiwa terus-menerus tiada henti. Diakui
bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) hanya dapat
dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, seperti adanya
tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Sedangkan
Farley mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan pola prilaku,
hubungan sosial, lembaga , dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan
sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi didalam atau mencakup
sistem sosial. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu
dalam jangka waktu berlainan.
Parson mengasumsikan bahwa ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat
itu tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah
3
yang dihadapinya. Sebaliknya, perubahan sosial marxian menyatakan kehidupan
sosial pada akhirnya menyebabkan kehancuran kapitalis.
Gerth dan Mills (dalam Soekanto, 1983) mengasumsikan beberapa hal, misalnya
perihal pribadi-pribadi sebagai pelopor perubahan, dan faktor material serta
spiritual yang menyebabkan terjadinya perubahan. Lebih lanjut menurut
Soekanto, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan adalah:
a. Keinginan-keinginan secara sadar dan keputusan secara pribadi.
b. Sikap-sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah.
c. Perubahan struktural dan halangan struktural.
d. Pengaruh-pengaruh eksternal.
e. Pribadi-pribadi kelompok yang menonjol.
f. Unsur-unsur yang bergabung menjadi satu.
g. Peristiwa-peristiwa tertentu.
h. Munculnya tujuan bersama.
Selanjutnya Bottomore juga mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai
kerangka. Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial, antara lain :
a. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertama-
tama mengalami perubahan.
b. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial
dan memberikan ciri-ciri tertentu yang khas sifatnya.
c. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan
berlangsung cepat dalam jangka waktu tertentu.
d. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehendaki. Oleh
karenanya bersumber pada prilaku para pribadi yang didasarkan pada
kehendak-kehendak tertentu.
Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/dorongan dan hambatan dari berbagai
faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan, adalah:
a. Kontak dengan kebudayaan lain
4
salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi
merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan
kepada perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain.
Dengan difusi, suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat
dapat disebarkan kepada masyarakat luas di dunia sebgai tanda kemajuan.
b. Sistem pendidikan yang maju
c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju.
d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
e. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal
secara luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas
dasar kemampuan-kemampuanya.
f. Penduduk yang heterogen
Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang
memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan
terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan.
Selain itu, perubahan sosial juga mendapatkan hambatan-hambatan. Adapun
faktor-faktor penghambat tersebut adalah :
a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain.
b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
c. Sikap masyarakat yang masih tradisional.
d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali
atau vested interest.
e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.
f. Prasangka terhadap hal-hal yang asing atau baru.
g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
h. Adat atau kebiasaan.
5
2.2 Benturan Sosial
Benturan sosial demi benturan sosial berlangsung dengan mengambil bentuk
aneka-rupa serta menyentuh hampir di segala aspek (“frame of conflict”)
kehidupan masyarakat (konflik agraria, sumberdaya alam, nafkah, ideologi,
identitas-kelompok, batas teritorial, dan semacamnya). Satu hal yang perlu dicatat
adalah bawa apapun bentuk benturan sosial yang berlangsung akibat dari konflik
sosial, maka akibatnya akan selalu sama yaitu stress sosial, kepedihan
(bitterness), disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh musnahnya
aneka aset-aset material dan non-material. Kehancuran assetasset non-material
yang paling kentara ditemukan dalam wujud “dekapitalisasi” modal sosial yang
ditandai oleh hilangnya trust di antara para-pihak yang bertikai, rusaknya
networking, dan hilangnya compliance pada tata aturan norma dan tatanan sosial
yang selama ini disepakati bersama-sama). Seolah semua yang telah dengan susah
payah dibangun dan ditegakkan oleh masing-masing warga yang bertikai, dengan
mudah diakhiri begitu saja karena konflik sosial. Dari perspektif politik
ketatanegaraan, kebijakan otonomi daerah (OTDA), hingga taraf tertentu juga ikut
menyumbang memperburuk situasi konflik sosial di atas.
Peristiwa demi peristiwa konflik sosial yang berlangsung di Indonesia selama 10
tahun terakhir menunjukkan adanya titik berat yang nyata pada basis
materialisme, daripada basis post-materialisme. Kendati demikian, bukan berarti
post-materialism-based sosial conflict tidak ada samasekali di Indonesia.
Berbagai macam demonstrasi massa yang menuntut agar negara secara konsisten
menegakkan agenda demokrasi, desentralisme, penyelamatan lingkungan hidup,
perang terhadap korupsi, perjuangan hak-hak perempuan, dan sebagainya adalah
wujud riil dari hadirnya dinamika konflik sosial berbasiskan post-materialisme di
Indonesia selama 10 tahun terakhir.
Meningginya intensitas dan keluasan konflik sosial sejak era reformasi di
Indonesia, tidak dapat disangkal telah mencengangkan banyak kalangan.
Ketercengangan ini tentu saja sangat bisa dipahami, karena sejarah stereotipe
6
bangsa Indonesia selama ini lebih banyak ditandai oleh ciri-ciri “bangsa nan
ramah”, “bangsa nan penuh toleransi”, namun pada saat pasca ORBA ternyata
masyarakat Indonesia justru menunjukkan karakter keberingasannya dengan
degree of violence-nya yang menembus “batas-batas rasa kemanusiaan”, yang
tidak bisa diterima oleh bangsa manapun di dunia. Pertanyaannya, adakah
sindroma anomali-sosial yang memang menjadi ciri-khas budaya bangsa
Indonesia? Ataukah, konflik sosial memang tidak dapat dielakkan terjadi pada
bangsa manapun di dunia manakala stress sosial yang berakar pada banyak faktor
penyebab telah mencapai titik-puncaknya?
2.3 Arena Konflik (Tiga Ruang Kekuasaan)
Konflik sosial bisa berlangsung pada aras antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga
ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu
“ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor
swasta” (Bebbington, 1997; dan Luckham, 1998). Konflik sosial bisa berlangsung
di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan
kekuasaan.
Dengan mengikuti model konflik sosial berperspektifkan ruang-kekuasaan dari
Bebbington (1997) maka konflik sosial antar “pemangku kekuasaan” dapat
berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:
(1) Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan
melawan Negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi
dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil
oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan
masyarakat secara umum. Perlawanan asosiasi pedagang kaki-lima di
Jakarta melawan penggusuran oleh Pemerintah DKI Jaya adalah contoh
klasik yang terus kontemporer.
(2) Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas
sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah
“perseteruan berdarah” yang terus berlangsung (bahkan hingga kini) antara
7
komunitas local melawan perusahaan pertambangan multi-nasional di
Papua. Kasus serupa juga ditemui dalam “Tragedi Pencemaran Teluk
Buyat” yang memperhadapkan warga lokal yang menderita kesakitan
akibat pencemaran air terus-menerus dari limbah tailing aktivitas
penambangan emas oleh perusahaan swasta asing di Sulawesi Utara di
awal dekade 2000an.
(3) Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan
Negara dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh
Pemerintah/Negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya
memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan.
Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin
kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak
merepresentasikan struktur sosial dengan atribut/identitas sosial yang homogen.
Di ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang
bersifat latent (terselubung terpendam) maupun manifest (mewujud-nyata). Dalam
hal ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung
dalam praktek manajemen pemerintahan akibat olah-kewenangan dalam
pengendalian pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara
pemerintah kabupaten, provinsial, dan pusat.
Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenanangan” tersebut
mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi berlangsung
penuh sejak Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dilanjutkan dengan UU No.
32/2004 sebagai konsekuensi OTDA.
Konflik antar pemerintah. Konflik sosial horisontal, juga berlangsung antar
departemen sektoral di pemerintahan pusat, ataupun antara satu pemerintah
kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah kabupaten lain dalam suatu
kebijaksanaan tertentu.
8
Di ruang kekuasaan masyarakat sipil atau kolektivitas sosial, berlangsung konflik
sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama kolektivitas sosial dalam
mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara pandang yang
berbeda-beda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi
yang dianut oleh masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat
berubah menjadi konflik sosial yang nyata. Beberapa contoh aras konflik ini bisa
disebutkan antara lain adalah, tawuran antar warga yang dipicu oleh hal-hal yang
dalam “kehidupan normal” dianggap sederhana (sepele), seperti masalah batas
wilayah administratif (desa atau kabupaten) yang hendak dimekarkan sebagai
konsekuensi OTDA.
Sementara itu, di ruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan
perbedaan identitas sosial komunal (ethno-communal conflict) seperti ras,
etnisitas dan religiositas. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para
penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana
terjadi antara penganut “Ahmadyah” versus “non-Ahmadyah”) juga terjadi secara
dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia. Konflik sosial yang berlangsung
di ruang masyarakat sipil menghasilkan dampak yang paling “beraneka warna”
(karena diversenya persoalan yang dijadikan obyek konflik) dan berlangsung
cukup memprihatinkan (berujung pada kematian, cedera, dan kerusakan) di
Indonesia. Beberapa kawasan di provinsi-provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah (Poso) ataupun Maluku dan Maluku Utara sepanjang akhir dekade 1990an
hingga paruh pertama dekade 2000an menjadi ajang konflik sosial antar-
komunitas atau communal-conflict (lihat, Varshney, et al. 2006).
Sementara itu di ruang kekuasaan swasta, konflik sosial lebih banyak terjadi oleh
karena persaingan usaha yang makin ketat. Kendati demikian, konflik sosial juga
bias dipicu oleh karena kesalahan Negara dalam mengambil kebijakan dalam
“pemihakan” kepada kaum lemah. Misalnya, konflik sosial para pedagang UKM
(Usaha Kecil Menengah) melawan perusahaan retail swasta multinasional yang
merasuki kawasankawasan yang sesungguhnya bukan “lahan bermain” mereka.
9
Selain itu, konflik-konflik berdarah yang berlangsung antara nelayan trawl (pukat
harimau) bermodal kuat melawan nelayan atau koperasi nelayan kecil (bermodal
lemah) di berbagai daerah, adalah salah satu contoh klasik konflik di ruang ini.
2.4 Kedalaman dan Skala Konflik
Sebagai bagian dari proses-proses sosial, dalam banyak kasus dijumpai bahwa
konflik sosial tidak berlangsung secara serta-merta. Meski tipe konflik sosial yang
bersifat “spontaneous conflict” tetap ada (misalnya tawuran para pendukung
kesebalasan sepakbola yang sedang bertanding), namun jenis konflik yang “serta-
merta” tersebut biasanya lebih mudah dikendalikan dan segera diredam, daripada
yang bersifat konstruktif dan organized.
Dalam hal dijumpai kasus-kasus konflik sosial yang bertipe “constructive sosial
conflict”, ada sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat
berlangsung, antara lain:
(1) ada isyu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly
problematized) dari para pihak berbeda kepentingan,
(2) ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut-paut dengan
sebuah obyek-perhatian para pihak bertikai,
(3) gunjingan/gossip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik
sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju
wujud riil di dunia nyata,
(4) ada kompetisi dan ketegangan psiko-sosial yang terus dipelihara oleh
kelompok-kelompok berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial
lebih lanjut. Pada derajat yang paling dalam, segala prasayarat terjadinya
konflik yang akan memicu,
(5) “masa kematangan untuk perpecahan”
(6) diakhiri oleh clash yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan
kekacauan).
10
Konflik sosial bisa berakibat sangat luas dan berlangsung dalam jangka waktu
lama, bila semua tahapan tersebut diorganisasikan dengan baik (organized sosial
conflict) seperti yang terjadi antara Republik Indonesia melawan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) beberapa waktu lalu. Sementara itu, dampak konflik dapat cepat
ditekan perluasannya, jika sifatnya tidak terorganisasikan dengan baik
(unorganized sosial conflict).
Jikalau dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang diberikan
para pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan berkonflik, maka
konflik sosial dapat berlangsung dalam beberapa variasi tipe/bentuk, yaitu:
1. Gerakan sosial damai (peaceful collective action) yang berlangsung berupa
aksi penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: “aksi korektif”,
“mogok kerja”, “mogok makan”, dan “aksi-diam”. Dalam hal tidak
ditemukan resolusi konflik yang memuaskan, maka aksi damai dapat
dimungkinkan berkembang menjadi “aksi membuat gangguan umum”
(strikes and civil disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara.
2. Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings)
adalah kegiatan yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang
ditunjukkan oleh suatu kelompok atas suatu isyu tertentu. Derajat tekanan
konflik kurang-lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif seperti ini
biasanya diambil sebagai protes yang reaksioner yang dilakukan secara
berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan
oleh suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atas suatu masalah
tertentu. Biasanya skala bersifat lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup
kemungkinan dapat meluas).
3. Kerusuhan dan huru-hara (riots), adalah peningkatan derajat keberingasan
(degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung
sebagai reaksi massal atas suatu keresahan umum. Oleh karena disertai
dengan histeria massa, maka huru-hara seringkali tidak bisa dikendalikan
dengan mudah tanpa memakan korban luka (bahkan kematian).
11
4. Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang
biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan
dengan baik. Pemberontakan bisa menyangkut perjuangan atas suatu
kedaulatan atau mempertahankan “kawasan” termasuk eksistensi ideologi
tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest,
melainkan bisa diawali “di bawah tanah” sehingga tampak latent sifatnya.
5. Aksi radikalisme-revolusioner (revolutions) adalah gerakan penentangan
yang menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan
tertentu.
6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki
oleh masyarakat dunia karena dampaknya yang sangat luas terhadap
kemanusiaan.
2.5 Konflik Komunal (Livelihood and Identity Struggle)
Konflik sosial yang berlangsung antar kelompok (inter-group sosial conflict) di
ruang masyarakat sipil dapat menyangkut krisis pluralitas-sosio-budaya dan
bernuansa identitas sosial. Konflik tersebut merupakan konflik yang paling sering
terjadi di Indonesia seiring dengan krisis ekonomi dan jatuhnya rejim ORBA di
tahun 1997.
Dalam konflik bernuansa etno-komunal, sangat tampak nyata adanya para pihak
yang membawa atribut identitas ideologi, identitas antar-keagamaan, identitas
kelompok atau juga perbedaan mazhab pada agama yang sama (konflik
sektarian), serta perbedaan asal-usul atau keturunan sebagai pembeda utama
kelompok yang saling menggugat, pelancaran klaim, atas persoalan yang
disengketakan.
Meskipun akar-konflik yang bertanggung jawab atas terjadinya konflik sosial
komunal di Indonesia sangatlah berbeda-beda, namun ada beberapa hal yang
membuatnya samayaitu adanya radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi
komunalisme5 serta dianutnya bounded rationality6 yang memicu “kesadaran
12
kelas” (class consciousness ala Marx) dalam kelompok-kelompok yang bertikai.
Hal-hal tersebut tidak bisa dielakkan ikut bertanggung jawab dan memperkuat
dorongan kepada setiap warga untuk saling bersengketa dengan warga dari
kelompok lainnya dan jika mungkin saling meniadakan (eliminating strategy).
Pemahaman konflik sosial seperti ini dianut oleh para ahli sosiologi yang
mendasarkan analisisnya pada perbedaan basis sosio-kultural (perspektif
kulturalisme) yang dianut masyarakat.
Disadari ataukah tidak disadari, konflik sosial komunal di ruang sipil, seringkali
ditemukan benang-merah akar penyebabnya tersimpan mendalam (deeply rooted)
pada persoalan livelihood distress. Persoalan kemiskinan dan keterdesakan
ekonomi bercampur-baur dengan perasaan ketidakpastian kehidupan (survival
insecurity) akibat datangnya kompetitor dari sekelompok warga atau masyarakat
(biasanya dengan identitas tertentu), menyebabkan eskalasi dan intensitas konflik
sangat mudah memuncak.
Dalam tataran konflik antar kelompok ini, kepentingan individual dalam
kelompok seringkali juga diabaikan, karena telah diwakili oleh kepentingan
kelompok (individu mengalami gejala sosial yang dikenal sebagai oversosialized
processes dimana tujuan dan kepentingan kolektif menjadi segala-galanya).
Artinya, persaingan antar individu pada suatu kelompok melawan kepentingan
individu pada kelompok yang berbeda menjadi bagian integral konflik sosial antar
kelompok. Dengan kata lain konflik sosial selalu melibatkan perselisihan antar
kelompok (partai/pihak) dimana individu di dalamnya menjadi konstituen
pendukung perjuangan kelompoknya masing-masing. Demkianlah sehingga pada
banyak kasus, konflik kelompok (group conflict) dipakai untuk menunjuk
pengertian konflik sosial (sosial conflict).
Konflik sosial semacam ini memang dapat dipahami melalui perspektif
materalisme, dimana basis material (sustenance needs security atau masalah
livelihood/nafkah) bagi kehidupan sekelompok warga sebagai akar konflik sosial
13
yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ketidaksiapan sekelompok orang untuk
hidup dalam suasana kehidupan yang saling-berkoeksistensi di suatu kawasan,
juga merupakan penjelasan tersendiri munculnya konflik horisontal-komunal ini.
Dengan asumsi “sosial-economic stress”, maka konflik sosial menuntut
penyelesaian di wilayah materialisme secara konstruktif.
2.6 Bingkai Konflik Sosial
Coser (1967) sebagaimana dikutip Oberschall (1978) mendefinisikan konflik
sosial sebagai berikut: “sosial conflict is a struggle over values or claims to status,
power, and scarce resources, in which the aims of the conflict groups are not only
to gain the desired values, but also to neutralise, injure, or eliminate rivals”.
Dengan mengacu pada pengertian konseptual tentang konflik sosial tersebut,
maka proses konflik sosial akan meliputi spektrum yang lebar. Isyu-isyu kritikal
yang membingkai konflik sosial yang seringkali dijumpai dalam sistem sosial (di
segala tataran) adalah:
1. Konflik antar kelas sosial (sosial class conflict) sebagaimana terjadi antara
“kelas buruh” melawan “kelas majikan” dalam konflik hubungan-industrial,
atau “kelas tuan tanah” melawan “kelas buruh-tani” dalam konflik agraria.
2. Modes of production conflict (konflik moda produksi dalam perekonomian)
yang berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodakan (cara-
produksi) ekonomi peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsisten-
sederhana) melawan para pelaku ekonomi bersendikan moral-ekonomi
akumulasi profit dan eksploitatif.
3. Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah
konflik sosial yang berpusat pada isyu “claim dan reclaiming” penguasaan
sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam
banyak hal, konflik sumberdaya alam berimpitan dengan konflik agraria,
dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak penguasaan tanah yang
diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau
kelompok sosial lain.
14
4. Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna
kulit dan atribut sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak
yang berselisih.
5. Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena
masingmasing pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada
ajaran masingmasing agama yang dipeluk mereka.
6. Konflik sektarian (sectarian conflict), adalah konflik yang dipicu oleh
perbedaan pandangan atau ideologi yang dianut antar pihak. Konflik akan
makin mempertajam perbedaan pandangan antar mazhab (seringkali pada
ideologi yang sama).
7. Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika
olahkekuasaan (power exercise).
8. Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut
pandangan berbeda dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak
mengusung kepentingan-kepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran
sosial) yang berbeda dan saling berbenturan antara dua kelompok penyokong
yang saling berseberangan.
9. Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan factor
sumberdaya kehidupan (sources of sustenance). Konflik komunal seringkali
bias berkembang menjadi konflik teritorial jika setiap identitas kelompok
melekat juga identitas kawasan.
10. 10.Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang
dilancarkan oleh komunitas atau masyarakat lokal untuk mempertahankan
kawasan tempat merek membina kehidupan selama ini. Konflik teritorial
seringkali dijumpai di kawasan-kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH),
dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan dan
identitas sosio-budayanya manakala penguasa HPH menghabisi pepohonan
dan hutan dimana mereka selama ini bernaung dan membina kehidupan
sosial-budaya dan sosio-kemasyarakatan.
15
11. Inter-state conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua negara dengan
kepentingan, ideologi dan sistem ekonomi yang berbeda dan berbenturan
kepentingan dengan pihak lain negara.
12. Dalam kecenderungan global, inter-state conflict bisa berkembang menjadi
regional conflict sebagaimana terjadi pada era “perang dingin” (Blok Uni
Soviet vs Blok USA), atau peperangan di Balkan pada akhir dekade 1990an,
dimana USA dan NATO menghabisi Serbia.
13.
16
BAB 3. KERUSUHAN KARENA PERTAHANAN DAN KEAMANAN
Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi
kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis
golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi
timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini,
merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.
Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa
SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI
akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak
dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa.
Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang
tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk
menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem
yang berkepanjangan.
3.1 Kerusuhan Ambon
”Kerusuhan sosial yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 masih menyisakan
luka perih baik itu masyarakat Muslim atau warga Kristen Ambon. Persaudaraan
yang mereka jaga semenjak abad ke-9 rusak dan terbelah akibat adanya
tunggangan kepentingan yang mendompleng isu SARA menjadi kendaraannya.
Butuh 3 tahun untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun diyakini konfilk itu
tidak benar-benar selesai. Butuh puluhan tahun lagi agar rasa curiga tidak saling
mengintai antara dua komunitas tersebut, Islam dan Kristen. Rasa curiga dan
permusuhan itu masih ada.
Terbukti hari minggu kemarin (11/09/2011), terjadi kembali kerusuhan yang
diakibatkan hal sepele yang dibungkus isu SARA. Beruntung hal tersebut dapat
segera diatasi dengan sikap aparat keamanan yang tegas.
17
Kerusuhan hari minggu kemarin seperti mengajak kita untuk kembali ke situasi
Ambon pada tahun 1999 hingga periode tahun 2002. Rasa kekhawatiran konflik
itu akan terulang sempat membuncah…alhamdulillah situasi di Ambon saat ini
kembali relatif kondusif.
3.1.1 Latar Belakang Konflik
Isu yang beredar melalui SMS diyakini pihak kepolisian sebagai pemicunya. Di
dalam sms tersebut dikabarkan bahwa seorang tukang ojek yang beragama Islam
tewas dikeroyok sejumlah pemuda di kawasan Kristen akibat menabrak sebuah
rumah di kawasan tersebut yang terjadi pada hari sabtu.
Menurut pihak Kepolisian yang dirilis dari Mabes Polri Jakarta, Tewasnya
seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen pada hari Sabtu (10/09/2011)
merupakan kecelakaan tunggal bukan diakibatkan oleh penganiayaan. Hal ini
didapat dari saksi-saksi dan hasil otopsi.
Hari minggu, setelah melakukan memakaman oleh pihak keluarga Darkin Saimen,
nah..disinilah kerusuhan itu pecah. Antar dua kubu saling serang dengan batu dan
melakukan pembakaran beberapa kendaraan. Entah siapa yang memulai. Kembali
provokator coba bermain disini.
Beberapa pihak beranggapan kepolisian “sedikit” terlambat dalam mengantisipasi
runutan kejadian diatas hingga akhirnya timbul kerusuhan, walaupun tidak atau
belum sempat menyebar.
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(Kontras) Haris Azhar, bila kepolisian dengan cepat dan tanggap menghubungi
pihak keluarga Darkin Saimen dan melakukan konfirmasi terkait tewasnya
korban, maka kerusuhan dapat dihindarkan.
Pihak kepolisian juga diaggap kurang awas dan sensitif mengenai masalah yang
menyangkut kekerasan sosial yang bisa berdampak pada kerusuhan SARA.
18
Padahal hal- hal seperti ini dululah di tahun 1999 yang menyebabkan dua
komunitas berlainan agama dapat hidup damai dalam satu kampung menjadi
terpisah mendirikan kampung dan basis masing2 hingga saat ini. Diharapkan
kepolisian dan juga Badan Intelijen Negara, kedepannya agar lebih proaktif untuh
melihat dan mengantisipasi pemicu-pemicu kerusuhan SARA meskipun sangat
sepele kelihatannya untuk dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin.”
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini
yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang
reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas
baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan
paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan
politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring
dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan
otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah
problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan
segala permasalahannya.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang
tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada
daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/
berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan
sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa
ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik
para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme
sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan
bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi
masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia
sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan
19
mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan
maupun konflik antar kelompok atau golongan.
3.1.2 Kebijakan Penanggulangan.
Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional
adalah sebagai berikut :
1. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak
untuk bersatu.
2. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan
kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun
konsensus.
3. Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma
yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam
aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan
bagi semua pihak, semua wilayah.
5. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan
kepemimpinan yang arif dan efektif.
3.1.3 Strategi Penanggulangan
Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara
lain :
1. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa
persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat
Indonesia.
2. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit
pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.
20
3. Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha
pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.
4. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi
butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan
kesetiaan kepada ideologi bangsa.
5. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal
kompromi.
6. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan
Polri dalam memerangi separatis.
7. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk
menggunakan kekuatan massa.
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan dan strategi
pertahanan disarankan :
1. Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus
diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna
menghindari korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek
ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan
hukum.
2. Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui
pendekatan hukum dan HAM.
3. Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan
faktor perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu
meredam dan memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan
diatasnya.
4. Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang
berdampak disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi
inteligen yang handal.
Masalah-masalah pertahanan dan keamanan Nasional yang menyebabkan
kerusuhan sosial dipengaruhi beberapa aspek yaitu:
21
1. Aspek Lingkungan Strategis
a. Lingkungan Internal
Dalam beberapa tahun terakhir ini kemampuan negara untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat juga berkurang. Gejala
ini tampaknya akan terus berlangsung. Kelemahan ekonomi dan keuangan
negara adalah salah satu penyebab utama dari keadaan ini. Selain itu,
pelembagaan politik untuk membangun sistem politik yang demokratis
juga masih akan menghadapi berbagai persoalan. Hubungan lembaga-
lembaga negara, terutama antara eksekutif dan legislatif tampaknya belum
akan mampu melahirkan sistem checks and balances yang stabil. Negara
juga akan dihadapkan pada tuntutan-tuntutan baru daerah dalam proses
desentralisasi di Indonesia. Ketimpangan ekonomi dan masalah-masalah
distribusi sumber-sumber ekonomi antara pusat dan daerah akan
memperkuat tuntutan-tuntutan seperti itu. Proses ini akan memakan waktu
yang lama.
Masalah-masalah di atas melahirkan tantangan terhadap proses
reformasi politik di Indonesia. Hakekatnya adalah bahwa politik, baik
pelaku maupun proses pelembagaannya, masih menghadapi krisis
legitimasi, tidak hanya dalam konteks hubungan antara negara (state) dan
masyarakat (society), melainkan juga dalam hubungan antara sipil dan
militer (civil-military relations, CMR). Hubungan sipil-militer yang
menundukkan institusi militer di bawah otoritas politik sebagai syarat
pembangunan sistem politik yang demokratis masih sering dipahami
secara salah. Bermainnya kepentingan-kepentingan kekuasaan dan
ekonomi, baik kelompok politik sipil dan militer, menjadikan reformasi
hubungan sipil-militer masih akan memakan waktu yang lama.
Masalahnya menjadi makin rumit karena para pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dalam masalah hubungan sipil-militer tidak menjadikan
masalah ini sebagai agenda politik nasional.
Persoalan-persoalan di atas, yaitu menurunnya kemampuan negara,
krisis ekonomi, ketidakadilan, ketidakpastian transisi politik, dan masalah
22
hubungan sipil-militer, menunjukkan bahwa Indonesia akan menghadapi
masalah-masalah keamanan dalam negeri yang serius.
Ancaman kedua yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah konflik
komunal dan gerakan separatis. Konflik komunal lahir tidak hanya karena
perbedaan nilai dan budaya, tetapi lebih mendasar adalah karena
entitas/masyarakat tidak mampu menemukan bentuk interaksi yang lebih
tinggi yang mengatasi ikatan komunal mereka. Masalah ini makin runyam
karena masyarakat tidak merasakan kehadiran negara dan bentuk-bentuk
ikatan politik dan ekonomi ke mana mereka memberikan loyalitas. Proses
politik selama krisis ini tidak mampu mentransformasi konflik-konflik
komunal ke dalam bentuk interaksi sosial politik yang terlembaga.
Banyak faktor menjelaskan munculnya separatisme yaitu sejarah,
ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan politik, dan perasaan
dimarginalkan oleh sistem politik dan ekonomi. Masalah ini akan makin
rumit karena globalisasi dan keterbukaan menjadikan mereka yang terlibat
mempunyai ruang lebih bebas untuk bergerak ke luar batas nasional.
Sumber-sumber ekonomi dan finansial menjadi lebih luas dengan adanya
kemampuan untuk membentuk jaringan–jaringan internasional yang
memberikan mereka akses persenjataan dan dukungan eksternal, baik
potensi dukungan resmi, maupun melalui kegiatan-kegiatan ilegal
misalnya penyelendupan senjata, obat terlarang, dan kegiatan terorisme.
Bentuk ancaman ketiga yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah
kerusuhan sosial. Ini akan lahir ketika masyarakat menemui jalan buntu
untuk mengatasi krisis, terutama ekonomi dan sosial. Dalam situasi krisis,
di mana negara tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, dan
bersamaan dengan itu lembaga dan proses politik kehilangan legitimasi,
potensi kerusuhan sosial merupakan potensi ancaman yang dihadapi oleh
Indonesia. Potensi kerusuhan sosial juga dapat memanfaatkan kerawanan
hubungan-hubungan ikatan primordial, terutama agama, yang sangat
mudah dimanipulasi. Akhir-akhir ini rasa aman dalam hubungan
keagamaan mulai terusik.
23
Ancaman lain yang juga akan dihadapi adalah terorisme. Dalam
kurun waktu 3-4 tahun terjadi serangan bom teroris dalam skala besar.
Terorisme yang berkembang di Indonesia mempunyai akar kuat di dalam
negeri Indonesia baik karena sejarah, ideologi-politik, lemahnya
penegakkan hukum, dan tidak terpenuhinya kepentingan-kepentingan
ekonomi dan politik. Keberhasilan jaringan terorisme internasional masuk
ke Indonesia lebih banyak ditentukan oleh masalah-masalah domestik di
atas. Faktor lain adalah krisis ekonomi dan politik yang memberikan ruang
bagi kelompok teroris untuk memberikan jalan alternatif dan
mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat terhadap negara. Selain itu,
ketidakmampuan negara untuk melakukan kontrol terhadap beberapa
aspek yang dengan mudah bisa dimanfaatkan oleh jaringan terorisme,
misalnya pengawasan terhadap arus manusia, wilayah maritim dan udara
yang sangat terbuka. Yang tidak kalah penting adalah korupnya birokrasi
dan aparat keamanan yang memudahkan jaringan teroris untuk menembus
institusi-institusi dan perangkat-perangkat keamanan negara dan
masyarakat.
b. Lingkungan Eksternal
Sementara itu aspek eksternal menunjukkan kecil kemungkinan
terjadi perang konvensional antar negara di kawasan Asia Tenggara dan
Asia Pasifik yang akan mengancam keamanan dan kepentingan Indonesia.
Kemungkinan terjadinya invasi militer ke Indonesia juga sangat kecil.
Secara ekonomi dan politik, perang dan invasi militer adalah pilihan yang
mahal baik dilihat dari politik domestik maupun dalam hubungan antar
bangsa yang akan makin saling tergantung (interdependensi) di mana
kepentingan nasional hanya bisa dipenuhi melalui kerjasama internasional.
Dalam situasi seperti itu negara dan bangsa akan dihadapkan pada pilihan
yang terbatas dalam menentukan kebijakan nasional mereka yang
mempersempit kemungkinan lahirnya kebijakan luar negeri dan
pertahanan yang agresif.
24
Meskipun demikian, akan lahir tantangan-tantangan baru yang
harus diperhatikan oleh Indonesia. Pertama, Amerika Serikat (AS) masih
akan mendominasi ekonomi dan politik dunia. Posisi AS dalam sistem
internasional dewasa ini belum bisa ditandingi oleh kekuatan lain, bahkan
oleh Uni Eropa, apalagi oleh kekuatan-kekuatan regional seperti Brasil,
Argentina, Afrika Selatan, India, ASEAN, Jepang, dan China. Perilaku
kekuatan-kekuatan ini belum mampu membentuk sistem internasional
baru yang menantang supremasi AS.
Dalam posisi seperti itu, perubahan kebijakan dan perilaku
Amerika Serikat dipastikan akan mempengaruhi kepentingan Indonesia.
Terlebih untuk kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang merupakan
kawasan sangat strategis bagi Amerika Serikat. Kehadiran Amerika
Serikat di kawasan sekitar Indonesia ini akan tetap menjadi kondisi
obyektif dalam perumusan kebijakan keamanan dan pertahanan Indonesia.
Masalah-masalah baru internasional, seperti terorisme, keamanan jalur
perdagangan, dan masalah-masalah hak azasi manusia akan mewarnai
perilaku Amerika Serikat terhadap Indonesia yang sekarang dan dalam
kurun waktu beberapa tahun ke depan diperkirakan belum mampu
sepenuhnya mengontrol perkembangan-perkembangan internasional dan
domestik.
Kedua, harus juga dicermati bahwa perkembangan-perkembangan
ke depan di kawasan Asia Pasifik mengindikasikan bahwa konflik akan
lebih banyak berdimensi maritim. Atau, aspek maritime akan membuat
koflik menjadi makin kompleks. Penyelundupan manusia, penyebaran aksi
terorisme, kejahatan internasional yang lain akan banyak memanfaatkan
dimensi laut, terutama di negara-negara yang kemampuan patroli dan
pengawasan wilayah lautnya sangat lemah seperti Indonesia. Bahkan ada
kaitan yang erat antara terorisme, separatisme, dan kejahatan trans-
nasional yang lain dengan memanfaatkan atau mengeksploitasi jalur-jalur
laut di wilayah perairan Indonesia, sehingga mereka bisa bergerak dengan
bebas untuk memasuki Indonesia. Ini menunjukkan bahwa keamanan laut
25
tidak hanya strategis dalam hubungan dan politik internasional, melainkan
juga strategis bagi keamanan domestik.
2. Aspek Kebijakan Pertahanan dan Keamanan
Dalam situasi seperti itu, pemerintah belum belum merumuskan
kebijakan umum pertahanan negara. Kebijakan umum pertahanan
memberi arah tentang apa yang hendak dicapai pada masa pemerintahan
sekarang ini dan bagaimana mencapainya. Kebijakan umum pertahanan
memberikan arah tentang apa yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam
perubahan perkembangan internasional dan internal. Di sini kebijakan
umum pertahanan negara berisi penilaian tentang potensi ancaman (threat
assessment) baik eksternal maupun internal atas dasar analisa lingkungan
strategis dan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Kebijakan umum pertahanan negara juga menjelaskan penilaian tentang
kapabilitas pertahanan yang dimiliki dan harus dikembangkan oleh
Indonesia dengan melihat perkembangan kapabilitas pertahanan negara-
negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Akhirnya, kebijakan umum pertahanan juga berisi strategi pertahanan
tentang bagaimana menghadapi perkembangan-perkembangan potensi
ancaman dan lingkungan strategis yang kemudian diturunkan dalam
pengembangan strategi dan kekuatan pertahanan Indonesia. Sampai saat
ini kebijakan umum pertahanan negara belum dirumuskan secara formal.
Tidak hanya hal ini merupakan keharusan strategis dan politik yang akan
menjadi pedoman perumusan kebijakan pertahanan melalui Departemen
Pertahanan, melainkan juga merupakan keharusan legal seperti yang
ditentukan oleh Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara.
3. Aspek institusional dan hubungan kewenangan
Aspek institusional dan hubungan kewenangan adalah aspek yang
sensitif karena mengandung masalah politik dan hubungan kekuasaan.
Meskipun secara legal telah diatur kewenangan politik dan operasional,
26
ketentuan legal ini belum diimplementasikan. Hubungan antara
Departemen Pertahanan dan Mabes masih tumpang tindih. Posisi panglima
langsung dibawah Presiden mempunyai implikasi politis dan psikologis
dalam hubungannya dengan Departemen Pertahanan. Terlebih Departemen
Pertahanan masih menghadapi kelemahan sumber daya manusia terutama
terbatasnya kemampuan sipil di dalam Departemen Pertahanan.
Melihat masalah-masalah di atas, harus ada prioritas dan komitmen yang jelas
untuk melakukan penataan infrastruktur kelembagaan yang menegaskan prinsip-
prinsip supremasi otoritas politik atas intrumen hankam. Tanpa langkah ini proses
demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah mapan. Semua pengaturan tersebut
juga ditujukan untuk membentuk kekuatan hankam yang professional dan
akuntabel.
3.2 Dampak Krisis Global Terhadap Sistem Pertahanan dan Keamanan
Ketahanan Nasional sangatlah penting dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara
karena Ketahanan Nasional merupakan kemampuan suatu bangsa dan negara
untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa guna dapat mencapai
kesejahteraan bangsa dan melanjutkan pembangunan yang berkesinambungan.
Ketahanan Nasional sangat dipengaruhi oleh Ketahanan dan Kestabilan dalam
bidang:
• Politik
• Ekonomi
• Sosial Budaya
• Pertahanan Keamanan Nasional
1. Ketahanan dan Kestabilan Politik:
27
Iklim Politik yang mendukung terciptanya kestabilan politik sangat
diperlukan dalam mencapai terwujudnya ketahanan nasional. Untuk itu
diperlukan dukungan yang kuat dalam bentuk:
• pemerintahan yang bersih (clean and good governance), dengan
tingkat legitimasi dan kredibilitas yang tinggi.
• terselenggaranya system yang transparan dan iklim demokrasi yang
sehat.
2. Ketahanan dan Kestabilan Ekonomi:
Diperlukan dukungan dalam bentuk sistem perekonomian yang kuat dan
bertumpu pada ketahanan dan kemampuan bangsa sendiri, baik dalam hal
sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang berkualitas
(resource based) sehingga tidak mudah goyah oleh gejolak yang bersifat
internal maupun eksternal.
Kekuatan dan kestabilan sistem perekonomian dapat terbentuk dengan
adanya sistem dan pelaksanaan yang baik dalam sektor moneter maupun
riil dalam bentuk kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal yang
membangun.
3. Ketahanan dan Kestabilan Sosial Budaya:
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
- Nilai-nilai yang ditanamkan dan diyakini oleh masyarakat maupun
system sosial – budaya yang diciptakan oleh pemerintah.
- Tingkat pendidikan masyarakat, untuk terciptanya tujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan faktor yang sangat
penting agar masyarakat tidak rentan, memiliki daya tahan dalam
menghadapi setiap gejolak serta memiliki kemampuan untuk
berusaha dan bertumpu di atas kekuatan lokal dan keunggulannya
sendiri.
4. Kestabilan Pertahanan dan Keamanan Nasional (HanKamNas):
System Pertahanan dan Keamanan Nasional yang kuat dan dijalankan
dengan benar, dengan keberpihakan pada kepentingan seluruh rakyat
28
sangat penting untuk memberikan jaminan rasa aman, khususnya untuk
menjalankan kegiatan perekonomian atau usaha bagi seluruh masyarakat
sebagaimana telah dicanangkan dari awal berdirinya republik tercinta ini
(khususnya tercantum dalam UUD ’45).
Pada akhirnya jaminan rasa aman ini akan menjamin kelancaran roda
perekonomian guna mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Dampak krisis ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis ekonomi global adalah
meningkatnya jumlah pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk miskin.
Hal ini akan menyebabkan bertambahnya kerawanan sosial di dalam negeri yang
berpotensi untuk memicu kerusuhan sosial sehingga dapat menimbulkan korban
jiwa.
Hal ini dikatakan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pada saat memberikan
ceramah kepada peserta Pendidikan Pelatihan kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat
I angkatan XVIII dengan tema “Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Sistem
Pertahanan dan Keamanan Nasional”, Jumat (28/11) di Lembaga Administrasi
Negara (LAN), Jakarta.
Selanjutnya menhan mengatakan, kerusuhan diakibatkan tiga hal, yakni kerusuhan
sosial akibat kecemburuan sosial, perbedaan kesejahteraan dan SARA. Kerusuhan
sosial dapat mempengaruhi bidang-bidang lain seperti destabilisasi sistem politik
yang akan memperparah stabilitas keamanan dan politik terutama menjelang
pemilu 2009, meningkatkatnya aksi terorisme dan kemungkinan penguatan
separatisme apabila ada daerah yang tidak puas akan kebijakan pemerintah pusat
dalam pengananan krisis.
Kemudian Menhan menambahkan, Negara yang memiliki kekuatan ekonomi di
dunia juga memiliki kekuatan pertahanan yang kuat. Begitu juga sebaliknya
negara yang ekonominya lemah akan memiliki kekuatan pertahanan yang lemah.
Dalam kondisi tertentu pemerintah dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara
penyediaan dana untuk kepentingan pertahanan negara atau penyediaan dana
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
29
Peningkatan kesejahteraan rakyat dianggap penting karena negara berkewajiban
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya menuju negara yang sejahtera.
Dilain pihak negara juga mempunyai kewajiban melindungi negara dari ancaman
negara lain yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam indonesia.
Dengan penerimaan pemerintah yang menyusut, maka kemampuan pemerintah
untuk menyediakan dana untuk memelihara keamanan dan meremajakan peralatan
militer juga otomatis berkurang. Akibatnya ancaman eksternal akan bertambah,
mengingat kemampuan TNI untuk menjaga territorial wilayah Indonesia jadi
berkurang.
Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan berbatasan dengan 10 negara.
Untuk menjaga keamanannya membutuhkan anggaran yang cukup besar. Akan
tetapi, mengingat kemampuan negara yang sangat terbatas serta penetapan
prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga penerimaan
anggaran pertahanan Dephan masih minim. Walaupun demikian, penyelenggaraan
pertahanan negara harus terus dilaksanakan dan menyesuaikan dengan anggaran
yang ada.
Dalam keterbatasan anggaran ini, solusi yang diberikan Dephan agar
penyelenggaraan pertahanan tetap terselenggara, yaitu dengan minimum assential
force. Dimana tugas utama yang diemban TNI akan tetap dilaksanakan dengan
melakukan efisiensi pemanfaatan alutsista yang ada termasuk efisiensi bahan
bakar, tetap membeli alutsista yang modern tetapi dalam jumlah terbatas agar
prajurit TNI dapat terus mengikuti perkembangan teknologi militer dan
melakukan rekonsisi alutsista yang berumur tua untuk menjaga tetap dapat
berfungsi dengan baik.
Dalam ceramah ini di hadiri 22 orang peserta yang rata-rata menjabat eselon I atau
eselon II yang sedang dipromosikan untuk menjabat sebagai eselon I. Peserta
berasal dari kementrian, departemen dan badan-badan milik pemerintah baik dari
pusat maupun daerah.
30
3.2.1 Strategi Ketahanan Nasional – Bangkit dari Krisis
Permasalahan yang Dihadapi dan Dampaknya pada Ketahanan Nasional dan Akar
Permasalahan Penyebab Timbulnya Krisis dan Rentannya Ketahanan Nasional
Krisis yang telah berkepanjangan di Indonesia terjadi sebagai akibat dari
kombinasi dan akumulasi gejolak eksternal yang berdampak penularan (contagion
effect) pada segala struktur maupun tatanan system dalam negeri. Berawal dari
gejolak pasar uang yang sangat hebat berakibat pada krisis yang sangat mendalam
di berbagai sektor. Pada dasarnya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
merupakan akibat dari:
• besarnya keinginan untuk menguasai pasar global tanpa dukungan
infrastruktur teknologi serta sistem manajemen (pengelolaan sumber
daya) yang kuat.
• cepatnya proses integrasi dunia usaha / perekonomian Indonesia ke
dalam perekonomian global, tanpa pembangunan fondasi yang kokoh
• lemahnya dukungan instrumen kelembagaan yang efisien serta tertata
baik
• kurangnya penguasaan di bidang infrastruktur teknologi industri yang
tepat guna, yang mengandalkan keunggulan lokal.
• lemahnya akses pada jalur informasi global.
• lemahnya struktur pendanaan pada dunia usaha.
• lemahnya sistem pendidikan yang belum membuat masyarakat
memiliki kemampuan dan kemandirian.
• lemahnya struktur industri, sehingga masih sangat tergantung pada
negara lain, baik dalam hal impor bahan dasar, penguasaan teknologi
maupun proses produksi.
• lemahnya daya saing, karena kurangnya penguasaan yang dapat
menciptakan produk unggulan.
• lemahnya akses pasar global.
• kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya, (sumber daya manusia
maupun sumber daya alam).
31
• lemahnya tata pelaksanaan dan lembaga hukum.
3.2.2 Dampak Krisis Pada Ketahanan Nasional
• depresiasi Rupiah sebagai akibat dari gejolak pasar uang yang bersifat
eksternal telah menciptakan suatu kondisi stagflasi dan instabilitas
pada perekonomian Indonesia.
• depresiasi nilai tukar rupiah yang sangat tajam berdampak pada
turunnya tingkat kepercayaan pada mata uang rupiah.
• penerapan tingkat suku bunga tinggi yang diharapkan dapat
mengembalikan stabilitas nilai mata uang rupiah telah membuat
turunnya kinerja dan bahkan tingkat likuiditas perbankan nasional
sebagai akibat dari lemahnya sistem perbankan.
• hal ini membuat “matinya” pergerakan sektor riil sebagai akibat dari
menurunnya kegiatan dunia usaha serta investasi secara drastis.
• krisis pada sektor riil telah menciptakan kepanikan pada tatanan
masyarakat secara keseluruhan yang belum ditunjang oleh taraf
pendidikan yang memadai, serta penguasaan akan akses jalur informasi
membuat terciptanya krisis sosial.
• krisis sosial telah mengakibatkan meningkatnya kriminalitas dan
kerusuhan sosial.
• dampak dari krisis sosial ini pada akhirnya juga telah mengakibatkan
krisis kepercayaan pada pemerintahan yang ada.
• krisis kepercayaan menimbulkan gejala disintegrasi di berbagai
wilayah.
• berbagai kerusuhan sebagai akibat dari krisis sosial telah membuat
turunnya tingkat kepercayaan dari para investor, khususnya investor
asing yang mengakibatkan larinya modal usaha secara besar-besaran
dari dalam negeri.
32
• meningkatnya kriminalitas yang tidak didukung oleh sistem
pertahanan dan keamanan yang baik membuat masyarakat tidak
merasa mendapat jaminan rasa aman untuk melakukan produktivitas
mereka sehingga memperparah kondisi sektor riil.
Puncak krisis pada tahun 1998 maupun dampak krisis global sejak tahun 2008
telah mengakibatkan:
- Tingginya tingkat inflasi
- Tingkat pertumbuhan pendapatan nasional yang bergerak ke
bilangan negative
- Defisit transaksi berjalan
- Tingkat pengangguran meningkat tajam
- Meningkatnya angka putus sekolah.
- Meningkatnya masalah kesehatan serta menurunnya harapan hidup
masyarakat.
33
BAB 4. KERUSUHAN SOSIAL KARENA BUDAYA
4.1 Kerusuhan Ambon
Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan kemudian meluas ke berbagai
tempat di Maluku, telah menelan ratusan (bahkan mungkin ribuan) korban jiwa
manusia tak berdosa, ribuan rumah penduduk, puluhan tempat ibadah, serta
ratusan sarana perekonomian. Kerusuhan dimaksud ternyata telah membawa
dampak negatif, sehingga sangat mempengaruhi terganggunya sistem pendidikan
dan aktivitas ekonomi masyarakat; belum terhitung rusaknya hubungan-hubungan
sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini menjadi referensi bersama
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Maluku, khususnya di Kota Ambon.
Kerusuhan yang berlarut-larut hingga lebih dari satu bulan tersebut, secara
eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku (terutama di Maluku Tengah) dan
intervensi "budaya impor", telah melemahkan kearifan budaya lokal. Kondisi
yang rentan sedemikian, kemudian dieksploitasi dan dimanfaatkan secara
sistematis oleh aktor intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah
hukum. Karena itu, pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dengan berbagai
implikasi yang timbul, seyogianya tidak disederhanakan, sebab jika demikian,
pemecahan masalahnya tidak akan tuntas, bahkan hanya mengalihkan konflik
massa ke waktu berikutnya.
Dalam kerangka pemecahan Kerusuhan Ambon secara mendasar,
diperlukan kajian yang komprehensif dan integratif agar dapat meminimalkan
kecenderungan berpikir simplisistik, terutama untuk mengungkapkan sumber-
sumber masalah yang secara akumulatif membentuk titik-titik kritis (critical
points) pada jaringan interaksi antar elemen di dalam masyarakat. Titik tolak ini
penting, sebab eksploitasi suatu kerusuhan sosial yang bersifat luar biasa
(massive) seperti di Ambon ini, tentu tidak terjadi secara spontan dan seketika,
tetapi lazim didahului oleh pematangan kondisi sosio-psikologis massa, baik
secara sengaja maupun tanpa disadari. Ini berarti, variabel waktu, pola hubungan
34
sosial masyarakat di desa maupun kota, berbagai kebijakan publik, dan
pendekatan pembangunan secara nasional, ikut menentukan pra-kondisi
kerusuhan, termasuk yang terjadi di Ambon.
Oleh sebab itu, prinsip yang seharusnya dipedomani dalam upaya mencari
solusi untuk membangun kembali keharmonisan struktur sosial bagi kebutuhan
jangka panjang atau melakukan suatu rekayasa tatanan sosial masyarakat baru di
Maluku, khususnya Maluku Tengah, dan Indonesia Baru pada umumnya, haruslah
didasarkan pada itikad mengedepankan semua fakta empirik sesuai realitas
obyektif yang jujur; dan yang terpenting ialah tanpa pretensi dan kepentingan
politik sempit. Dalam konteks demikian, maka pokok-pokok pikiran yang
disampaikan ini, pertama-tama didasarkan pada suatu gambaran tentang pola
hubungan sosial dalam masyarakat di daerah pedesaan dan perkotaan di Maluku
Tengah, proses pelemahan pranata sosial-budaya yang hidup dalam masyarakat
baik yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pembangunan nasional yang
memarjinalkan kearifan budaya lokal sebagai katup pengaman potensi konflik
sosial, maupun intervensi "budaya impor", serta identifikasi pola Kerusuhan
Ambon. Akhirnya akan dikemukakan pula beberapa solusi pemecahan masalah
Kerusuhan Ambon dalam rangka mengembangkan sebuah platform baru
kehidupan berbangsa berdasarkan cita-cita para pendiri republik ini.
4.1.1 Latar Belakang Masalah
Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua
pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, kemudian bermigrasi ke pulau-
pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan
Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon.
Migrasi ini, memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat
kebudayaan baru yang diintrodusir oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga
terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan
Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu pengaruh
kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan
Tidore.
35
Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, Pemerintah Kolonial
Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga
komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti
nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Dalam proses
sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu,
sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri
seperti ini, memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang
mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap
kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen
konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna
mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan
kekerabatan lainnya.
Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang
mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur
pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi "negara-negara
kecil" dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh Raja yang
diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan
kekuasaan di dalam negeri, dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas
negeri. Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan
institusi sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga
peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat.
Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak
sosial baik antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli
dengan pendatang. Dengan demikian, maka di dalam masyarakat Maluku Tengah
ini dikenal 2 (dua) kelompok atau kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang
Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialahpenduduk asli Maluku Tengah dalam
sebuah negeri (Desa Adat). Anak Negeri ini, terdiri atas 2 kelompok pemeluk
agama, yaitu Anak Negeri Sarani, untuk yang beragama Kristen, yang
mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam, untuk yang
beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Salam. Kedua kelompok
36
masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah,
kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike, dan Tial.
Yang disebut Orang Dagang, ialah para pendatang dari luar Negeri, baik
karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas
pelayanan masyarakat (guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain),
atau karena aktivitas ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau
pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari Orang
Maluku Asli yang berasal dari Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku,
yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab. Khusus
pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis
Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri,
baik secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain
dalam Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi.
Orang Dagang yang berasal dari etnik Buton yang berdiam di sebuah
Negeri, biasanya dalam jumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya
datang dan menetap dalam Negeri Kristen. Mereka ini, sudah ratusan tahun
mendiami Negeri-Negeri Kristen, dan kehadirannya sebagai petani penggarap
lahan, baik Tanah Dati maupun Tanah Negeri. Sejak kedatangan etnis ini hingga
tahun 1970an, mereka ini membentuk komunal yang terpisah dengan Anak
Negeri, dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya, secara bebas.
Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan
mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau
beberapa kepala keluarga. Mereka ini, hadir sebagai pedagang yang tidak
membentuk komunal yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam
komunitas Anak Negeri. Walaupun mereka berbaur dengan Anak Negeri, pada
umumnya, tradisi nenek moyangnya tetap dipertahankan, terutama yang berasal
dari keturunan Cina. Demikian juga agama yang dianutnya, terutama keturunan
Arab, pada umumnya tetap dipertahankan, sekalipun mereka mendiami sebuah
Negeri yang pemeluk agama Anak Negerinya berbeda. Saat akan melaksanakan
ibadah berjamaah misalnya, umumnya mereka melakukan ibadah di Negeri yang
sama agamanya, atau ke kota terdekat.
37
Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena
hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud
termasuk PELA dan GANDONG, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial
lain, seperti pendidikan anak, atau acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar
kenegaraan. Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang,
terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi,
sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini, lebih dimotivasi oleh
kepentingan ekonomi semata.
Berdasarkan gambaran antropologis dan sosiologis di atas, maka
sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku
Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Serani,
Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok
dengan kelompok lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan
sosial Anak Negeri Serani dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol
ialah nilai-nilai budaya PELA atau GANDONG yang diyakini mempunyai
kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok
masyarakat ini. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat
kegotong-royongan antar kedua Negeri yang yang mempunyai hubungan pela
atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini, dalam realitasnya memasuki area
identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah,
dimana Negeri Serani merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan
(biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian sebaliknya,
Negeri Salam merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan dan
bersama-sama membangun gereja. Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban
sosial, moral, dan ritual, dan sama sekali tidak ada nuansa ekonomi didalamnya.
Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi atau-pun
mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut oleh Anak Negeri tiap
Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai
perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut.
Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh
kepentingan ekono-mi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi
38
perekat hubungan sosial antar kedua kelompok masyarakat ini, bukan agama,
tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang
yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik
petuanan Negeri Serani. Sedangkan Orang Dagang dagang asal Negeri lain, pada
umum-nya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkat oleh kekerabatan
karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri
terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain, berbeda dengan yang
berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat
sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar
Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang diluar kesatuan budaya.
Karena itu, ada perlakuan yang berbeda dari Anak Negeri terhadap Orang Dagang
yang berasal dari Negeri lain dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah.
Namun ada perlakuan yang sama kepada kedua sub kelompok Orang Dagang ini,
ialah kedua-duanya tidak diberikan hak dalam penguasaan Tanah Datiatau Tanah
Negeri.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, secara sosiologis dan antropologis, pola
hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Maluku Tengah, sudah
mengandung potensial konflik, karena adanya sentimen kelompok, baik dalam
konteks Salam-Serani, Anak Negeri-Orang Dagang, maupun secara kesatuan
budaya. Namun demikian, sentimen kelompok ini, tereliminasi dengan kearifan
budaya lokal, maupun kepentingan ekonomi yang substitusional dalam batasan
kewajaran, sehingga konflik sosial tidak termanifest. Dengan kata lain, potensi
tersebut dapat diredam dan mengendap pada bagian terdalam struktur kepribadian
masyarakat, karena institusi sosial budaya lokal masih berfungsi dengan baik
sebagai katup pengaman yang mampu meminimalkan eksplosi sosial yang
bernuansa primordial.
Kota-kota di Maluku Tengah, sama seperti kota lainnya dimanapun,
terbentuk karena adanya pusat pemerintahan dan kegiatan politik, pusat kegiatan
ekonomi, maupun pusat kegiatan pendidikan. Karena itu, kota lazim menjadi
39
pusat konsentrasi manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, maupun
agama dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan pemerintahan dan politik,
ekonomi maupun pendidikan, di Maluku, mempunyai daya tarik bagi masyarakat
dari berbagai penjuru desa yang ada di Maluku maupun luar Maluku. Karena itu,
proses migrasi secara spontan terjadi ke Kota Ambon sekitar permulaan abad 19,
dimana para migran Anak Negeri Serani dari daerah pedesaan datang ke Kota
Ambon umumnya untuk kepentingan pendidikan, sedangkan Anak Negeri Salam
datang lebih untuk kepentingan ekonomi, yakni sebagai pedagang dan sedikit
sekali yang datang untuk kepentingan pendidikan, dan Orang Dagang dari luar
bermigrasi ke Kota Ambon untuk kepentingan ekonomi semata. Para Migran dari
daerah pedesaan ke Kota Ambon, mem-bentuk komunal-komunal yang segregatif
berdasarkan latar belakang agama sesuai dengan segregasi teritori di pedesaan,
walaupun dalam sebuah komunal tidak lagi homogen seperti Kon-sep Anak
Negeri - Orang Dagang. Sebaliknya, para pendatang dari wilayah-wilayah lain
dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa, membentuk komunal-komunal yang
segregatif berdasarkan latar belakang etnik. Pola pemukiman yang segregatif di
Kota Ambon dengan masyarakat yang semakin heterogen ini, membentuk
sentimen kelompok dalam berbagai latar belakang, yaitu sentimen kelompok
agama, ikatan negeri, maupun etnik yang rawan konflik.
Seiring dengan perkembangan kepemerintahan dan politik, pendidikan,
dan ekonomi, Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan tersebut, semakin
dipadatkan dengan para migran yang tidak hanya berasal dari daerah pedesaan,
tetapi juga dari daerah-daerah lain disekitarnya, terutama Daerah Sulawesi
Selatan. Dengan perkembangan Kota Ambon yang semakin pesat ini, maka Kota
Ambon menjadi tumpuan untuk mencari lapangan kerja baru. Orang Ambon
Serani, dengan bekal tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, mempunyai
orientasi kerja pada biro-krasi, sebaliknya Orang Ambon Salam sebagian besar
mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil. Pendatang suku
bangsa Cina dan Arab, yang pada dasarnya menda-tangi Maluku karena
kepentingan ekonomi, berorientasi kerja pada sektor ekonomi berskala me-nengah
40
dan besar, sedangkan para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara,
mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil.
Sejalan dengan perkembangan Kota Ambon yang demikian pesat, dan
proses migrasi masuk yang tidak diimbangi dengan kebijakan kependudukan yang
berbasis pada daya dukung pulau, mengakibatkan semakin tingginya tingkat
kepadatan penduduk. Dengan tingginya ke-padatan penduduk ini, maka ruang
kerak penduduk semakin sempit, sehingga persaingan se-cara ekonomis, baik
terhadap ruang (tanah) maupun lapangan kerja, mengakibatkan semakin tingginya
potensi konflik antar kelompok masyarakat.
Sehubungan dengan perkembangan ekonomi, terutama terpuruknya harga
cengkeh, akibat kebijakan Tata Niaga Cengkeh yang monopolistik, maka
kehidupan ekonomi para petani cengkeh di Maluku semakin sulit dari waktu ke
waktu. Anak Negeri Kristen yang selama ini tidak berbakat di sektor swasta,
sebab selama ini orientasi kerja hanya pada birokrasi, mencoba mengalihkan
aktivitas ekonomi keluarga pada sektor ekonomi. Saat akan memasuki dunia
karier yang baru, yakni sebagai wirausahawan, sudah ada "barier" , yaitu
kelompok masyarakat lain, yakni Anak Negeri Islam dan Orang Dagang, baik dari
etnis Buton, Bugis/Makassar, Arab, maupun Cina, yang lebih mapan dalam
berbagai aspek manajerial usaha. Selain itu, pola rekruitmen pegawai birokrasi
yang cenderung berpendekatan koneksitas (KKN), menimbulkan ketersinggungan
sosial ekonomi dikalangan para pencari kerja yang sangat minim koneksinya pada
instansi birokrasi.
Beragamnya motivasi kelompok-kelompok dalam masyarakat di Kota
Ambon ini, dan terjadinya berbagai ketimpangan sosial, mengakibatkan terjadi
perubahan pola hubungan sosial, terutama pada kelompok masyarakat asal
Negeri-Negeri, dari pola hubungan yang berbasis pada budaya tolong menolong
dan saling menghormati, berdasarkan kewajiban sosial, moral, dan ritual, menjadi
orientasi kepentingan yang bersifat ekonomis. Perubahan hubungan sosial ini,
mengakibatkan semakin bertambah mengentalnya solidaritas kelompok yang
berbasis pada agama, sehingga potensi konflik di Kota Ambon semakin tajam.
41
Menyimak pola hubungan sosial masyarakat di Maluku Tengah yang
dikemukakan di atas, pada dasarnya kehidupan masyarakat menyimpan potensi
konflik. Negeri-negeri terpola pada perbedaan-perbedaan kelompok, baik terkait
dengan teritori maupun agama, yaitu Negeri Salam dan Negeri Serani. Pembagian
kelompok negeri ini menimbulkan solidaritas primordial yang kuat di kalangan
anggota kelompok. Disatu pihak terdapat solidaritas kelompok yang berbasis pada
negeri, dilain pihak terdapat juga solidaritas kelompok yang berbasis pada agama.
Dalam realitas kehidupan sosial, perbedaan kelompok ini direkat oleh kebudayaan
lokal, yaitu adat, karena adanya kesatuan budaya yang dianut oleh masyarakat di
Maluku Tengah. Konsep Salam-Serani sebenarnya merupakan sebuah totalitas
Orang Ambon dalam konteks budaya. Hubungan-hubungan pela dan gandong
merupakan jaringan kesatuan yang luas, dan menjadi perekat antar kelompok
masyarakat yang berbeda, sebagai sebuah totalitas dan kesatuan budaya.
Dalam perkembangan kemasyarakatan dan kebangsaan, potensi konflik
antar kelompok masyarakat, baik di Maluku Tengah maupun Indonesia pada
umumnya, tidak dikelola melalui tahapan pluralisme yang disertai dengan
pemberdayaan katup-katup pengamannya (safety valve). Akibatnya, masyarakat
tidak mengetahui bagaimana seharusnya menghargai realitas obyektif,
yaitu kebhinnekaan yang ada, sehingga sikap politik masyarakat tidak pernah
menca-pai tingkat kedewasaan yang memadai untuk berdemokrasi. Perjalanan
berbangsa dan berne-gara selama 32 tahun belakangan ini menunjukan bahwa
manajemen pembangunan Pemerin-tahan Orde Baru sudah mengalami kegagalan
dalam memfasilitasi perkembangan pluralisme dari tahap awal, yakni Pluralisme
Primordial menuju Pluralisme Liberal, untuk selanjutnya mencapai
tahap Pluralisme Konsosiasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan stabilitas
yang melahirkan struktur masyarakat yang didominasi oleh ideologi seragam dan
keseragaman, yang sengaja menihilkan kebhinnekaan, sehingga tertib sosial yang
berhasil dicapai ternyata hanya mencerminkan integrasi sosial politik yang semu,
karena nilai-nilai apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak melembaga
dalam perilaku berbagai kelompok, baik komunitas etnis, agama, maupun antar
golongan.
42
Dalam perjalanan kenegaraan dan kebangsaan, sejak awal tahun 1970an,
dalam ke-rangka terciptanya stabilitas, maka mulai terintrodusir Paradigma
Mayoritas-Minoritas dalam manajemen pembangunan. Paradigma ini terwujud
dalam berbagai produk undang-undang maupun praktek kenegaraan. Praktek
bernegara dan bermasyarakat yang sangat kental dengan paradigma ini ialah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dan budaya mohon petunjuk. Kedua bentuk
paradigma ini merupakan apresiasi dari nilai-nilai budaya Jawa yang dipaksakan
pemberlakuannya diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Implikasinya, rasa mayoritas (sense of majority) cenderung mengekspresikan diri
secara terbuka melalui tuntutan-tuntutan dominatif, yang tanpa disadari kemudian
menstimulasi munculnya rasa minoritas (sense of minority), sebagai upaya
resistensi dalam berbagai bentuk.Konsekuensi logis dari sense of majority versus
sense of minority pada lapisan masyarakat bawah (grassroot level), ialah
berkembangnya polarisasi yang cukup kuat. Hal ini terjadi karena berbagai
saluran ekspresi diri yang idealnya berlangsung secara kompetitif dan prestatif
tersumbat oleh kepentingan prestise pribadi dan kelompok, yang
dipraktekan nyaris tanpa moral.
Awal tahun 1990an pendekatan berparadigma mayoritas-minoritas mulai
berubah basis-nya dari dominasi Budaya Jawa, menjadi dominasi keagamaan.
Implikasi terhadap berubahnya basis paradigma mayoritas-minoritas ini, ialah
politisasi agama yang semakin mempertajam konflik sosial dalam kehidupan
masyarakat Maluku, terutama Maluku Tengah, yang memang secara sosiologis
telah hidup dalam Konsep Salam-Serani. Konsep Salam-Serani yang bernuansa
kultural berubah esensinya menjadi Konsep Islam-Kristen yang bernuansa
universal. Akibatnya, terjadi perubahan perilaku sesama Anak Negeri, yang
semula saling mengunjungi ataupun menghadiri acara ritual adat sekaligus dengan
ritual agama, mulai memilah-milah untuk hanya mengunjungi atau menghadiri
acara ritual adat saja.
Pendekatan mayoritas-minoritas berdasarkan nuansa keagamaan,
merupakan embrio hancurnya nilai-nilai kemanusiaan, apalagi jika ditunjang
dengan politisasi agama. Sebab agama mempunyai karateristik yang khas
43
yaitu "nilai ekslusifistik dan ekspansif", sehingga politisasi agama akan
mendorong berkembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam nuansa-
nuansa eksklusifisme agama. Padahal, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang dicita-citakan oleh para founding fathers republik ini, bukan didasarkan pada
pendekatan paradigma mayoritas-minoritas dalam bentuk apapun, tetapi
didasarkan pada tatanan budaya bangsa yang ber BHINNEKA dan mampu
mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dalam berbagai dimensi pembangunan selama ini, baik kepemerintahan,
ekonomi, dan sosial, pendekatan kuantitatif selalu dikedepankan yang
diterjemahkan sebagai demokrasi. Padahal esensi demokrasi bukan terletak pada
angka-angka statistik, tetapi pada kualitasnya, yaitu bagaimana mendorong
seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pem-bangunan bangsa,
berdasarkan nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai kultural
yang hidup dalam masyarakat di Maluku ialah per-saudaraan dan saling
menghargai yang menembusi sekat-sekat agama. Nilai-nilai ini selama berabad-
abad telah terbukti men-ciptakan hubungan persaudaraan dan saling menghargai,
sehingga interaksi sosial yang dinamis antara seluruh lapisan dan golongan
masyarakat di Maluku, dapat berlangsung dalam nuansa rasa persaudaraan yang
tinggi dan saling tolong-menolong, sebagai wujud sebuah kewajiban sosial, moral,
dan ritual.
Nilai-nilai kultural ini, mulai mengalami degradasi, seiring dengan politik
pembangunan yang mengedepankan pendekatan-pendekatan kuantitatif
dengan paradigma mayoritas-minoritas berdasarkan keagamaan. Akibatnya,
masyarakat di Maluku, terutama di Kota Ambon, terkotak-kotak dalam sekat-
sekat agama, sehingga nuansa kebangsaan yang berBHINNEKA mulai
surut, diganti dengan nuansa mayoritas-minoritas yang berbasis agama. Dampak
langsung ialah, hancurnya nilai dan pranata kultural yang selama ini menjadi
perekat dalam kehidupan masyarakat di Maluku, bahkan kemungkinan besar di
daerah-daerah lain di Indonesia juga. Hancurnya nilai dan pranata kultural
mengakibatkan masyarakat terkotak-kotak, sehingga timbul rasa superioritas
mayoritas terhadap golongan minoritas berdasarkan agama. Sebaliknya, golongan
44
minoritas merasa eksistensinya terancam dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang didasarkan pada hakekat BHINNEKA TUNGGAL IKA yang
berbasis pada tatanan budaya. Rasa superioritas mayoritas di satu sisi berhadapan
dengan rasa terancamnya eksistensi go-longan minoritas di lain sisi, karena
paradigma mayoritas-minoritas berbasis agama, menjadi ancaman terhadap
integrasi dan keutuhan bangsa.
Ketika gong reformasi memberi ruang yang besar bagi terbukanya saluran
aspirasi, timbul dorongan bereksperimen politik dengan resiko tinggi, yang
semula dianggap sebagai perilaku demokratis, ternyata kemudian membuka jalan
bagi luapan ekspresif yang cenderung anarkhis dari sense of majority, yang
merangsang energi sosial massa pada lapisan bawah, muncul kepermukaan
sebagai kekuatan destruktif yang semakin mempertajam polarisasi dan jurang
antar etnis, agama, dan golongan. Dalam konteks ini, isyu agama sebagai salah
satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen kelompok, menjadi pilihan
strategis untuk menggalang kekuatan massa, sehingga agama menjadi kendaraan
politik. Kondisi seperti ini, terjadi di Indonesia, sehingga budaya lokal di Maluku
Tengah, terutama di Kota Ambon, terpengaruh dan ikut menjadi lebih lemah lagi,
sehingga hampir tidak ada lagi katup pengaman untuk menentralisasi konflik
sosial yang memang sudah potensial.
4.1.2 Akibat Kerusuhan
Kerusuhan Ambon yang berlarut-larut selama dua bulan, telah
mengakibatkan kerugian yang tak ternilai. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di
tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama
dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola Kerusuhan Ambon sama
sekali berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan
faktor pemicunya juga sangat fundamental, serta meliputi banyak
variabel (complicated).
Kerusuhan di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999,
diawali dengan terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama
Islam dengan seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua
45
kelompok masyarakat berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok
Kristen. Awal kerusuhan terjadi di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di
Batu Merah, dimana seorang pendatang beragama Islam dan seorang Anak Negeri
Kristen, sopir mobil angkutan kota Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian,
kemudian si Anak Negeri Kristen meninggalkan lokasi kejadian dan kembali
dengan beberapa temannya yang sekampung dan mengejar si pendatang beragama
Islam. Si pendatang beragama Islam ini selanjutnya melarikan diri memasuki
Desa Batu Merah dan kembali dengan massa Islam yang membawa berbagai
senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen dan teman-temannya,
sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang berbatasan dengan Desa
Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu Merah mengejar
massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan penghadangan,
sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok massa, yang
berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga Mardika. Saat
itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai mengetahui adanya
pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya solidaritas kelompok
yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana dikonstatasi
sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari Belakang
Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju
Mardika guna memberi membantu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dalam jarak yang hampir 3 kilometer
ke arah barat Desa Batu Merah, sekelompok massa Islam yang berasal dari Soa
Bali, Jalan Baru, dan Waihaong, melakukan provokasi terhadap warga Silale yang
beragama Kristen, dengan alasan bahwa Desa Batu Merah telah dibakar oleh
Orang Kristen. Saat itu, terjadilah saling melempar dengan batu antara kedua
kelompok masyarakat ini, dan berakhir dengan dibakarnya 12 (dua belas) buah
rumah penduduk dan 1 (satu) buah gereja, pada malam tanggal 19 Januari 1999
itu. Dengan terbakarnya rumah-rumah penduduk Kristen di Mardika dan Silale,
serta gereja di Silale, mulailah terjadi akumulasi massa dari kedua kelompok
agama di berbagai sudut jalan Kota Ambon, diikuti dengan saling menyerang
rumah dan tempat ibadah di berbagai tempat.
46
Pada tanggal 19 Januari 1999 malam dan dilanjutkan besok harinya, warga
lima desa Islam di Jazirah Leihitu, yaitu Wakal, Hitu, Hila Islam, Mamala, dan
Morela, mulai melakukan penyerangan terhadap 125 anak-anak remaja Kristen
yang berasal dari Kota Ambon yang sedang melakukan kegiatan retreat di Field
Marine Station milik Universitas Pattimura di Hila. Akibat penyerangan ini, 6
(enam) orang dari rombongan anak-anak remaja ini terbunuh, sedangkan yang
lainnya berhasil menyelamatkan diri melalui laut maupun naik gunung ke Desa
Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan dibantu oleh penduduk Desa Asilulu, dan
warga Buton di petuanan desa Seith.
Tanggal 20 Januari 1999 pagi, warga kelima desa Islam ini menyerang dan
membakar rumah-rumah penduduk dan gereja tua di Desa Hila Kristen. Warga
Desa Hila Kristen semuanya sempat menyelamatkan diri ke Desa Seith dan
Kaitetu yang beragama Islam, dan dibantu oleh penduduk kedua desa ini maupun
warga Buton disekitarnya, dan dievakuasi ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri,
dengan berjalan kaki melalui gunung. Aksi penyerangan massa dari kelima desa
ini kemudian meluas ke arah jalan raya menuju Kota Ambon dengan berjalan
kaki, yang disertai dengan pembakaran rumah penduduk dan pembunuhan di
lokasi-lokasi; Dusun Telaga Kodok, Dusun Benteng Karang, Desa Hunuth/Durian
Patah, Desa Waiheru, Desa Nania, dan Desa Negeri Lama. Ironisnya, dalam
perjalanan panjang aksi pembantaian dan pembakaran oleh massa dari kelima
warga desa tersebut terhadap pemukiman penduduk Kristen ini, massa melewati
beberapa pos dan barak militer, tetapi tidak ada tindakan pencegahan oleh aparat
keamanan setempat, kecuali yang dilakukan oleh aparat dari Satuan Brimob di Air
Besar, Desa Passo. Dalam aksi pembantaian dan pembakaran ini 34 (tiga puluh
empat) warga beragama Kristen meninggal dunia, termasuk seorang pendeta
wanita dan seorang pendeta laki-laki, serta ratusan rumah penduduk dan sejumlah
gereja, maupun harta benda lainnya terbakar dan dijarah. Alasan aksi pembantaian
dan pembakaran serta penjarahan yang dilakukan oleh massa dari kelima desa
Islam ini, ialah adanya informasi bahwa Mesjid Al fatah yang menjadi
representasi identitas umat Muslim di Kota Ambon sudah dibumi hanguskan oleh
Orang Kristen.
47
Informasi mengenai pembantaian, pembakaran, dan penjarahan atas
pemukiman-pemukiman Kristen oleh massa dari kelima desa Islam ini,
mengakibatkan sentimen dan solidaritas kelompok di kalangan Umat Kristen di
Kota Ambon dan sekitarnya tereksploitasi dan muncul ke permukaan secara tidak
terkendali sebagai reaksi atas aksi massa tersebut, sehingga terjadilah
penyerangan dalam bentuk pembakaran dan pembantaian terhadap Umat Islam di
pemukiman-pemukiman Islam maupun obyek-obyek ekonomi yang sebagian
besar dikuasai oleh Umat Islam. Dalam kerusuhan antar kelompok masyarakat di
Kota Ambon dan sekitarnya ini, aparat keamanan yang ada, tidak sama sekali
berfungsi secara maksimal sesuai tugasnya, malahan menurut penilaian kedua
kelompok masyarakat yang sedang terlibat dalam kerusuhan ini, aparat keamanan
bertindak diskriminatif. Hal ini terbukti dengan puluhan warga sipil yang
meninggal dan luka-luka kena tembakan aparat keamanan, dan seorang aparat
anggota Kostrad dari Batalion Linud 431 yang berbasis di Ujung Pandang dan tiba
di Ambon tanggal 20 Januari 1999, terbunuh oleh warga sipil di Benteng.
Kerusuhan yang terjadi di Ambon ini kemudian meluas ke berbagai tempat
di Maluku, yaitu di Sanana, di Saumlaki, dan di Seram (pada berbagai lokasi).
Kerusuhan yang terjadi di luar Ambon ini, berupa pembunuhan dan pembakaran
rumah penduduk dan tempat ibadah antar kedua kelompok agama Islam dan
Kristen.
Kerusuhan sosial yang sempat terhenti tanggal 24 Januari 1999, kemudian
berlanjut lagi pada tanggal 14 Februari 1999 berupa penyerangan massa dari
beberapa Desa Islam di Pulau Haruku terhadap Desa Kariu yang beragama
Kristen, mengakibatkan puluhan orang korban meninggal dunia dan luku-luka dan
ratusan rumah penduduk serta dua buah gereja di Desa Kariu terbakar. Kerusuhan
di Kariu ini berdampak pada solidaritas Umat Kristen di Saparua, sehingga terjadi
penyerangan pada beberapa pemukiman Islam di Saparua, yang mengakibatkan
puluhan rumah penduduk terbakar dan puluhan korban jiwa luka-luka dan
meninggal dunia.
Tanggal 23 - 25 Februari 1999 kerusuhan yang bernuansa agama kembali
terjadi di Batu Merah Dalam, yaitu penyerangan dan pembakaran rumah-rumah
48
penduduk Kristen oleh massa Islam yang berasal dari Batu Merah dan Kampung
Galunggung serta Dusun Rinjani. Dalam kerusuhan ini puluhan korban luka-luka
dan meninggal dunia terkena tembakan aparat maupun senjata-senjata tradisional,
serta puluhan rumah terbakar.
Tanggal 1 Maret 1999 kembali terjadi kerusuhan yang bernuansa agama di
Dusun Ahoru dan Dusun Rinjani, berupa saling menyerang antar massa dari
kedua kelompok agama yang berdiam di kedua dusun tersebut. Dalam kerusuhan
ini, terdapat sejumlah orang meninggal dunia dan luka-luka, serta sejumlah rumah
penduduk terbakar. Kerusuhan ini kemudian dilaporkan oleh Kepala Kanwil
Departemen Agama Propinsi Maluku kepada Menteri Agama bahwa warga
Muslim yang sedang sholat subuh diserang dan ditembak di dalam mesjid.
Laporan ini kemudian dikonfirmasi oleh beberapa tokoh Islam lainnya dalam
rangka pemberitaan, sehingga selama beberapa hari ekspose berita dilakukan
secara tendensius oleh berbagai media massa nasional baik elektronik maupun
cetak. Akibatnya, timbullah gerakan solidaritas Islam secara nasional dengan
tujuan ber-jihad di Ambon.
Kerusuhan masih berlanjut secara massal pada tanggal 5 Maret 1999. Ini
diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh
gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula
berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti
oleh pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para
pengungsi beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang
beragama Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya.
Kerusuhan ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan
ringan maupun yang meninggal.
Disamping garis besar kronologis peristiwa kerusuhan yang digambarkan
di atas, sebetulnya terjadi pula beberapa tindak kriminal yang dilakukan secara
berkelompok oleh massa Islam tertentu seperti pembunuhan (ditikam atau
diparang) orang-perorangan yang beragama Kristen dan penculikan seorang dosen
Fakultas Hukum Unpatti yang kebetulan melewati perkampungan warga Islam.
49
Hal yang sama terjadi pula bagi orang Islam yang melewati perkampungan orang
Kristen.
Saat ini tampaknya kerusuhan massal sudah bisa dikendalikan oleh aparat
keamanan, bahkan telah diupayakan pula penyerahan berbagai senjata tajam dari
warga perkampungan atau desa Islam dan Kristen, sehingga dapat mendukung
proses rekonsiliasi yang terus-menerus dilakukan. Untuk menciptakan rasa aman
dan kenyamanan hidup bagi warga masyarakat kota Ambon dan sekitarnya,
diperkirakan paling tidak periode "mengatasi kerusuhan" oleh aparat keamanan ini
akan membutuhkan waktu kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan ke depan,
sebelum memasuki tahap "pemulihan (recovery) hubungan-hubungan sosial"
dalam kehidupan bermasyarakat antar kedua kelompok masyarakat.
4.1.3 Kesimpulan & Pemecahan Masalah Kerusuhan Ambon.
Berdasarkan uraian singkat mengenai kondisi psiko-sosial dan garis besar
fakta lapangan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku,
merupakan sebuah hasil rekayasa (entah siapa aktor intelektualnya) untuk
tujuan tertentu, antara lain (i) merusak tatatan kultur masyarakat Maluku,
dan (ii) mendiskreditkan umat Kristen di Maluku, serta (iii) merusak
sistem perekonomian dan sistem pendidikan di Maluku. (iv) memberi
aksentuasi dalam rangka merubah stereotip predikat orang Ambon yang
dikenal sebagai orang Kristen. Perekayasa kerusuhan ini, adalah orang
atau kelompok yang memahami benar kondisi psiko-sosial masyarakat di
Maluku, terutama di kalangan Umat Kristen.
2. Kerusuhan yang melanda berbagai sudut di Daerah Maluku ini, telah
dijadikan komoditas politik untuk melemahkan posisi tawar Umat Kristen
di Maluku, sebagai salah satu anak kandung Ibu Pertiwi, dalam proses
pembangunan bangsa, baik secara nasional maupun lokal. Sebab,
kerusuhan ini bukannya tidak mungkin terkait erat dan merupakan
50
kelanjutan dari berbagai tragedi berdarah lainnya di Indonesia terutama di
Pulau Jawa yang menelan korban jiwa dan kerugian material dari umat
Kristiani.
3. Nilai-nilai kultural masyarakat di Maluku yang sarat dengan nuansa
persaudaraan, yang selama ini hidup dan dipraktekan dalam kehidupan
kemasyarakatan, telah berubah menjadi rasa saling mencurigai dan
mendendam, antara kelompok masyarakat Kristen dan kelompok
masyarakat Islam di Maluku. Tatanan nilai budaya lokal mengalami
degradasi bahkan kerusakan akibat menguatnya sentimen nilai universal
(agama Islam) dan pengaruh perspektif kebijakan pembangunan yang
berlatar belakang pendekatan mayoritas-minoritas.
4. Rusaknya berbagai infra-struktur ekonomi dan terganggunya aktivitas
ekonomi masyarakat, akan berdampak terhadap kelangkaan bahan
kebutuhan pokok dan inflatoir dalam jangka pendek, sedangkan dalam
jangka panjang, akan sangat mengganggu dinamika pembangunan di
Daerah Maluku pada umumnya, dan khususnya Kotamadya Ambon.
5. Terganggunya aktivitas pendidikan pada semua jenjang pendidikan di
Kotamadya Ambon dan sekitarnya, akan mempengaruhi proses perbaikan
kualitas sumber daya manusia di Maluku, yang dalam jangka panjang akan
melemahkan posisi tawar Orang Maluku dalam pasar kerja lokal maupun
nasional.
6. Kredibiltas pemerintah daerah, terutama Pemerintah Daerah Maluku,
Kotamadya Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah, sedang diuji, bahkan
kemungkinan besar sedang dirongrong oleh pihak-pihak tertentu dengan
tujuan politis khusus.
7. Pers nasional belum berfungsi sebagai pers yang menjunjung tinggi nilai
dan etika jurnalistik, sebab berita-berita yang dipublikasi tidak
melalui "check and recheck" secara proporsional dari semua kelompok
masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan. Akibatnya, Orang Kristen di
Maluku rusak citranya dimata publik nasional dan internasional, sehingga
keselamatan jiwa dan rasa aman Orang Maluku Kristen pada berbagai
51
tempat di Indonesia terancam, hingga aktivitas pendidikan dan ekonomi
keluarganya terganggu. Hal ini memberi indikasi bahwa ada sebuah
konspirasi besar dan sistematis untuk mengancam eksistensi Orang
Maluku Kristen di Indonesia.
8. Manajemen operasional keamanan dalam mengeliminasi meluasnya
kerusuhan, maupun dalam mengatasi kerusuhan, tidak berjalan dengan
baik, sehingga perilaku aparat ke-amanan di lapangan serba canggung dan
membangun citra diskriminatif dalam menangani berbagai kerusuhan.
Bertumpu pada berbagai penjelasan yang dikemukakan sebelumnya, maka
dalam rangka upaya memulihkan hubungan sosial kemasyarakatan antar Anak
Negeri maupun antara Anak Negeri dengan para pendatang atau Orang Dagang,
diperlukan solusi yang komprehensif dan integratif, baik pada aras nasional
maupun lokal. Pemecahan masalah dengan pendekatan demikian tidak bisa
dihindari karena kerusuhan Ambon merupakan akumulasi masalah yang
dipengaruhi baik oleh faktor-faktor nasional (eksternal) maupun internal
(lokal/daerah). Disamping itu, untuk mencapai tahap pemulihan hubungan-
hubungan sosial yang adil, jujur dan permanen, dibutuhkan adanya konsesi yang
harus diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pertikaian.
Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa
SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI
akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak
dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa.
Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang
tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk
menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem
yang berkepanjangan.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
52
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-
unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
4.2 Kerusuhan Poso
Pada tahun 1998, terjadi kerusuhan di kabupaten Poso, Sulawesi tengah,
Indonesia. Kerusuhan ini dikenal dengan sebutan kerusuhan Poso. Kerusuhan
poso berpusat pada masalah tempat pertikaian antara umat Islam dan Kristen.
Kasus Poso berlangsung hampir dua tahun yaitu sejak Desember 1998 sampai
Juni 2000 dan terbagi atas tiga bagian, masing-masing kerusuhan jilid I (25 – 29
Desember 1998) jilid II ( 17-21 April 2000) dan jilid III (16 Mei – 15 Juni 2000)
serta telah menelan korban tewas hampir 300 jiwa, ratusan orang tak diketahui
nasibnya.
53
Akan tetapi, sampai akhir tahun 2005, kekerasan masih terjadi di Kabupaten Poso
antara lain persitiwa pemenggalan kepala siswa sekolah menengah atas, juga
sebelumnya terjadi ledakan bom. Kekerasan dan pembunuhan tampaknya belum
berhenti dari bumi Sintuwu Maroso (Poso). Berbagai tindakan itu telah menambah
daftar panjang korban kekerasan yang telah terjadi sejak pecah konflik tahun
1998. Pada tahun 2001, tepatnya 20 Desember, Deklarasi Malinoyang bertujuan
untuk memadamkan pertikaian antara umat islam dan kristen telah ditandatangani
oleh kedua belah pihak dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla dan Susilo Bambang
Yudhoyono.
4.2.1 Kronologis Kerusuhan
Pada hari jumat tanggal 25 Desember 1998, pkl. 02.00 Wita : Terjadi
penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap Korban yang bernama
Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo, pekerjaan
mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh Roy Runtu Bisalemba, umur
18 tahun, agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jl.
Tabatoki – sayo. Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian
bahu kanan dan siku kanan,selanjutnya dirawat di RSU Poso. Pkl. 02.30, Timbul
reaksi dari pemuda-pemuda Remaja mesjid terhadap kasus yang dimaksud dan
beredar isu –isu sbb:
Pelaku penganiayaan (Roy Bisalemba) terpengaruh minuman keras,
sehabis minum di toko lima di jalan Samratulangi.
Anak kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan
telah melontarkan kata-kata “Umat Islam kalau buka puasa pake RW
saja.”
Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I
Rumah Sakit.
Pkl.14.30 Wita. Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya
berjumlah 50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso, menengok
54
Korban Lk.LUKMAN RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA
dijalan Samratulangi melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu.
Pkl.14.45 Wita, Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal
penduduk milik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel.
Kasintuwu dan beberapa rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo.
Massa merusak bangunan dan isi perabot rumah tangga dengan batu, kayu, dan
senjata tajam. Pkl. 15.15 Wita. Sekelompok pemuda/remaja berjumlah sekitar 300
orang merusak penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA di Jln.P.Nias
Kel.Kayamanya, menggunakan batu dan kayu. Pkl. 18.45. Wita .Massa berjumlah
300 orang merusak tempat Billyard dijalan P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa
dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan massa kelurahan Moenko
berjumlah sekitar 1000 orang melakukan pengrusakan losmen/diskotik LASTI
dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo, hingga bangunan rumah dan diskotik serta isi
rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan.
Pkl. 19.00 Wita, Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan
penyembrangan kuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa
remaja Islam Masjid kel. Bone Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit
ketegangan antara aparat dengan massa yang tetap memaksakan kehendaknya
menembus barisan PHH, namun massa dapat dikendalikan. Pkl. 20.20 Wita,
Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju kompleks
pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual
miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan pengrusakan dengan
cara melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan besi
dan senjata tajam /parang :
Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.
Toko Hero di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
Toko Asia di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar di Jalan Raya.
Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang
Resepsionis dan ruang penerima tamu hotel.
55
Penginapan WatiLembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan
tempat/hotel pecah.
Rumah makan Arisa di Jln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh
minuman keras dikeluarkan dan dipecahkan di Jalan Raya dan sebagaian
lagi dibakar.
Pkl. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan[4].
4.2.2 Periodisasi Konflik
Kerusuhan Poso yang dimulai pada tahun 1998 merupakan serangkaian konflik
sosial yang berkepanjangan. Konflik pertama terjadi sekitar bulan Desember 1998
yang kemudian disusul dengan yang kedua kalinya pada bulan April 2000.
Konflik ketiga yang terjadi pada minggu keempat bulan Mei 2000 merupakan
konflik terbesar dibandingkan dengan kedua konflik sebelumnya. Pada konflik
jilid ketiga ini terjadi cukup banyak korban, tidak saja dari segi materi (perusakan
rumah tinggal dan infrastruktur sosial) namun juga terjadi banyak korban jiwa.
Pengungsian besar-besaran terjadi pada daerah konflik yang terkonsentrasi di tiga
kecamatan yaitu Poso Kota, Poso Pesisir, dan Lage.
Konflik ini dimuali dari perkelahian di antara dua orang pemuda yang berbeda
agama, kemudian berkembang menjadi perkelahian di antara komunitas kampung-
kampung Muslim dan Kristen, di mana selama gelombang kerusuhan pertama
(Desember 1998) dan kedua (April 1998), terutama kelurahan-kelurahan Kristen
di kota Poso menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran, dibarengi dengan
gelombang pengungsian penduduk Kristen dari kota Poso ke kota-kota Tentena
(di Kabupaten Poso sebelah selatan), Palu, dan Bitung serta Manado (Sulawesi
Utara).
Secara garis besar, kerusuhan Poso terjadi dalam 3 jilid yaitu :
1. Jilid 1, “Kerusuhan Poso I.” 25-29 Desember 1998
2. Jilid 2, “Kerusuhan Poso II.” 17-21 April 2000.
56
3. Jilid 3, “Kerusuhan Poso III.” 16 Mei – 15 Juni 2000.
Dan puncaknya terjadi pada jilid ke 3, konflik menggunakan senjata api, dimana
komunitas Muslim berada di atas angin. Hal tersebut terbukti dari kehebatan
serangan kilat di lima desa kecamatan Poso Pesisir. Padahal, akar konflik itu,
seperti yang adalah upaya komunitas-komunitas pribumi Poso – khususnya suku-
suku Lore, Pamona, dan Mori – untuk memperjuangkan kedaulatan mereka di
kampung halaman mereka sendiri. Kedaulatan yang mereka rasa sudah terancam
oleh dominasi para migran dari Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan di bidang
ekonomi, politik, dan budaya. Terutama setelah pembangunan jalan raya Trans-
Sulawesi mempermudah arus migrasi dari Selatan ke Kabupaten Poso yang kaya
dengan berbagai sumber daya alam. Paradigma ‘konflik agama’ sudah harus
diganti dengan paradigma ketergusuran komunitas-komunitas pribumi Kabupaten
Poso. Makalah ini lebih menyoroti komunitas-komunitas pribumi yang beragama
Kristen, sebab merekalah yang kini paling tergusur dari pusat-pusat kekuasaan
politik, ekonomi, dan budaya.
4.2.3 Akar Permasalahan
Dari data yang didapatkan, bahwa umumnya konflik ini terjadi karena
dipengaruhi oleh isu identitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Sebesar 26,4 %
responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan
keretakan hubungan antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok
identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan
kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan
suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan, terlihat dari
jawaban responden sebesar 19,4 % dan 16,5 %. Sementara itu, penguasaan
lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya
konflik, sebsar 15,6%. Penyebab konflik kerusuhan poso dibagi menjadi 2 faktor
yaitu faktor-faktor lokal dan kepentingan-kepentingan nasional
4.2.4 Solusi dari konflik di poso
57
Mungkin saja salah satunya yaitu kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa
harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan
tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah
politik. “Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha,
ekonom, budayawan, anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun
secara paralel. Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso
segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus bersatu.
“Mereka harus bersanding, bukannya bertanding,”.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun
upaya penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta
anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang
menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak
asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah
masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus, karena dalam keadaan
seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.
Jika diamati secara jujur, apa yang sedang dialami di Poso tidak saja aneh tapi
juga tak masuk di akal sehat. Sebab, semua orang tahu bahwa soal penggunaan
senjata bagi warga sipil bukankah aturannya cukup ketat. Artinya tidak sembarang
orang bisa membawa atau memiliki senjata apalagi yang mematikan. Anehnya,
kenapa justru warga sipil khususnya di Poso begitu bebas memiliki senjata
Nah, untuk memecahkan sebuah permasalahan seperti yang sedang terjadi di Poso
sebenarnya tidaklah terlalu sulit bila semua pihak mau berikrar secara serius dan
tulus. Artinya, semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang
menghimpitnya selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu.
Pencegahan sedini mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara
masyarakat harus diutamakan. Terutama, perlunya kewaspadaan terhadap gerak-
gerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam.
Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar dilaksanakan.
Harapan kita masyarakat Poso akan kembali dapat hidup dengan tenang dan
damai.
58
BAB 5. KERUSUHAN SOSIAL KARENA AGAMA
5.1 Konflik Ambon-Lease
Dilihat pada tipologisnya, maka konflik sosial bernuansa agama di AmbonLease
sebagai konflik horisontal, akan tetapi jika dilihat dari intensitas keterlibatan
pelakunya, dapat juga konflik vertikal.
1. Pra konflik
Sebelum terjadinya Tragedi Idul Firti Berdarah 19 Januari 1999, lebih
dahulu adanya penyerangan yang dilakukan oleh warga Kristiani terhadap
perkampungan masyarakat Muslim Bugis, Buton dan Makassar (BBM) tanggal 12
November 1998 di Wailette. Penyerangan terjadi lagi tanggal 27 Desenber 1998
di kampung Bak Air, dan juga terjadi serangan terhadap warga Muslim di Dobo-
Aru pada tanggal 14 Januari 1999. Melihat tiga peristiwa tersebut (dan
menghubungkannya dengan tragedi 19 Januari 1999 dan seterusnya) dapat
dipahami, bahwa umat Islam setempat sedang atau telah dijadikan target uji-coba
terhadap rencana dan konspirasi serangan yang lebih besar lagi oleh pihak
penyerang. Keadaan tersebut menunjukkan juga bahwa umat Islam telah menjadi
korban serangan pihak Kristiani, jika peristiwa ini berdiri sendiri dan tidak
merupakan kaitan dengan kasus-kasus yang sama dan dalam skala yang lebih
luas dan besar. Dan ternyata menjadi jelas ketika pada awal bulan Ramadhan
1419 H terdengar isu akan ada gerakan pengusiran suku BBM dari Maluku,
khususnya pulau Ambon, serta tersiar berita akan adanya orang-orang kiriman
dari Jakarta yang sangat menggelisahkan masyarakat.
2. Tragedi Idul Fitri Berdarah
Pada tanggal 1 Syawal 1419 H bertepatan dengan tanggal 19 Januari 1999
kota Ambon yang seharusnya menjadi wadah silaturrahmi antar mayarakat, hari
kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa, dikotori
oleh kelompok Kristiani. Suasana kota Ambon pun mencekam karena terjadi
59
serangan secara frontal dari berbagai penjuru. Setelah peristiwa adumulut antara
Nursalim dan Yopy pukul 14.00 WIT berlanjut terjadinya perkelahian dan
pembakaran dua rumah yang terletak antara Batumerah dan Mardika serta
terlibatkannya orang-orang misterius, di sini alat picu konflik telah disulut.
Menyusul pukul 16.30 sampai pukul 21.00 saling menyerang dan membakar
rumah dan rumah ibadah.
Jika diperhatikan dengan seksama, peristiwa-peristiwa tersebut
menandakan bahwa posisi umat Islam sebagai korban sedangkan kaum Kristiani
sebagai pelakunya. Di sisi lain tragedi berdarah ini terkoordinir dengan rapi dan
baik sekali, karena mampu memanfaatkan suasana di mana banyak dari umat
Islam di kota Ambon yang pulang ke kampung untuk merayakan Idul Fitri
bersama keluarganya. Di sini tampak benang-merah antara peristiwa-peristiwa pra
konflik dengan Tragedi Idul Fitri Berdarah, yakni terdapat adanya konspirasi
besar untuk menghancurkan umat Islam. Sementara di pihak lain, menganggap
tindakan seperti ini merupakan sesuatu yang sangat kondisional yang dilakukan
karena semata-mata dorongan fakta di masyarakat adanya dominasi umat Islam,
utamanaya BBM dalam berbagai bidang kehidupan, yang semula berada di pihak
kaum Kristiani, terutama adanya tuantanah-tuantanah jatuh ke tangan para
transmigran, yang masuk ke Ambon-Lease secara besar-besaran dan dengan
kecepatan yang amat tintggi mulai tahun 1970-an.
Jika ada yang mengatakan bahwa pada tahapan-tahapan konflik tersebut
sering terjadi apa yang disebut kedahsyatan konflik atau kanflik luar biasa, dan
industri konflik, comudity conflik. Kedahsyatan konflik karena meningkatnya
tensi konflik melebihi kejadian-kejadian yang sama di mana pun di dunia ini,
dilihat dari jumlah korban harta dan nyawa manusia dalam waktu yang singkat.
Ditambah lagi dengan lama waktu terjadinya konflik dan berlarut-larut tak
kunjung selesai. Demikian pula pada proses pengambilan solusi, yang semestinya
mengarah kepada penurunan suhu konflik, akan tetapi yang didapat adalah
penambahan muatan terhadap terjadinya konflik, diibaratkan jika mematikan api
adalah menyiramnya dengan air yang banyak, tetapi yang terjadi bukannya air
60
yang disiramkan melainkan bensin dan bensol, yang otomatis daya bakar dan
nyalanya lebih dahsyat dari sebelumnya. Demikian pula situasi konflik mengarah
ke tingkat industri konflik, sebagai alat komuditas, karena kelompok-kelompok
atau individu tertentu yang pada kenyataannya lebih menginginkan hidup serba
konflik karena mereka mampu memanfaatkan atau merekayasa situasi konflik
demi meraih keuntung besar darinya. Bisa terjadi bagi mereka manusia yang tidak
bertanggungjawab, bahwa dengan adanya konflik justeri mendapatkan sumber
kehidupan baru, jadi arena konflik dijadikan sumber mata pencaharian.
Konflik Ambon-Lease telah menelan banyak korban banyak baik harta
dan nyawa, serta menghancurkan pula sendi-sendi kehidupan manusia yang tidak
mungkin pulih dalam waktu singkat, terutama sakit hati dan trauma yang dalam
dan panjang. Semoga Tuhan mau menunjukkan jalan kebaikkan dan kebenaran
kepada hamba-hamba-Nya di Ambon-Lease, terutama anak-anak negeri untuk
bangkit bersama menghadapi tantangan apa pun dan sebesar apa saja guna menuju
hari esok yang lebih baik bagi semuanya. Kembalikan Ambon-Manise.
Berangkat dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa
peristiwa yang terjadi di kampung Batumerah - Islam dan Mardika – Kristen
tanggal 19 Januari 1999 sebagai pemicu konflik. Dan benar, bahwa sebesar dan
setinggi apapun potensi konflik, namun hal itu masih amat ditentukan oleh faktor
pemicunya yang walau sekecil apa pun, namun jika sudah terjadi maka sulit untuk
menghindarkannya. Bahwa akar-akar masalah konflik sudah ada sejauh perjalanan
kehidupan rakyat Ambon-Lease dari masa kehadiran Portugis sampai pasca Orde
Baru. Potensi konflik amat lah besar, dan bukan tidak pernah pecah, akan tetapi
sudah sejak lama juga katup konfliknya pelagandong yang selalu berfungsi
meredakannya (bila terjadi konflik), selama ini selalu menyertainya. Lalu timbul
pertanyaan, di mana keberadaan pelagandung pada saat terjadinya konflik satu
dasawara yang lalu itu?
Oleh karena itu jika terjadi kontroversi tentang siapa yang benar dan siapa
yang salah antara Nursalim dan Yopy, lain lagi masalahnya, dan bukan lagi
61
semata-mata untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah. Memang ada
dua versi yang muncul, pertama, versi Tim Pengacara Gereja yang diyakini
kebenarannya oleh umat Kristiani, dan kedua, versi Tim Pencari Fakta Muslim
Ambon yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Masingmasing dari kedua
belah pihak mengklaim bahwa versinya lah yang benar dan ketika The Human
Right Watch mengkonfirmasi ke polisi, ternyata versi kedua lah yang diterima.
Dan ternyata yang kemudian muncul adalah orang misterius yang bukan dari
Batumerah dan bukan pula dari Mardika akan tetapi ada dugaan kuat bahwa yang
banyak terlibat konflik adalah preman-preman Ambon Jakarta yang sengaja
dipulangkan dan dimobilisasi untuk menyulut kerusuhan di Ambon. Sepertinya
yang amat penting bagi mereka (para misterius) adalah tersulutnya alat pemicu
konflik. Maka benarlah argumen Smelser, yakni adanya faktor pemercepat atau
pemicu, suatu peristiwa dramatis atau desas-desus mempercepat munculnya
perilaku kekerasan kolektif.
5.2 Konflik Agama Papua
Seperti yang tertera di laporan International Crisis Group (ICG). Menurut Thaha
Muhammad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua, di Papua belakangan ini
berdatangan apa yang disebut orang (sebagai) ‘Kristen Baru’ dan ‘Muslim Baru’.
Mereka ini beraliran keras dan bisa menyulut konflikseperti yang pernah terjadi di
Maluku.
Thaha Mohammad Alhamid [TMA]: Secara terbuka, memang konflik itu
belumkelihatan. Tapi bahwa potensi itu ada, saya percaya. Karena memang
terakhir ini, atau paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, kita kenal, mungkin
istilah yang pas adalah ‘Islam Baru’ dan ‘Kristen Baru’, yang ada di Papua
memang menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda yang jelas, bahwa ruang
perbedaan itu semakin tajam, semakin terbuka.
62
Konflik agama yang terjadi di papua ini berkaitan erat dengan perda yang
menyulitkan pendirian tempat beribadah salah satu keyakinan (muslim.red). hal
inilah yang akhirnya menjadi pusat perhatian publik. Namun seharusnya hal
seperti ini tidak perlu terjadi apabila pemerintah dengan tegas melindungi
kebebasan agama bagi setiap individu. Seperti yang tertera pada sila satu
pancasila yang notabene menjadi acuan pemerintah dalam menyikapi masalah.
Sebenarnya, akar masalah antara konflik Ambon dan Papua tidaklah berbeda,
yakni prasangka yang buruk dari agama yang satu terhadap agama yang lain.
5.3 Akar-Akar Permasalahan Konflik
1. Pemahaman miring terhadap agama lain
Pertama, pandangan umat Islam. Semangat yang diajarkan dalam system
of beliefs umat Islam Ambon-Lease ini adalah sebuah perilaku dalam
interaksi sosial yang senantiasa harus dibatasi dengan sekat-sekat
keimanan.
Sementara, larangan bergaul secara intensif dengan orang Kristen juga
dimaksudkan untuk melindungi keimanan anak-anak muslim. Dimaksud
agar dengan cara tersebut anak-anak akan selalu terjaga ketetapan
imannya, dan tidak disusupi pemahaman dan keyakinan dari agama
lainnya. Jika dikatakan bahwa sebagai konsekwensi dari hal tersebut di
atas, maka umat Islam memberikan simbol orang Kristen dengan anjing
dan babi, maka hal ini tidak ada pada mereka yang memilki hubungan
pela-gandong. Secara devakto, yang tidak memiliki pela-gandong adalah
penduduk non-Ambon-Lease, yakni BBM, Cina, Arab, Madura, Jawa dan
lainnhya.
Sehubungan dengan temuan-temuan di atas, maka setelah dikaitkan
dengan sistem kekerabatan yang dianut sejak dahulu, pela-gandong
misalnya, yang dapat memansuhkan beberapa pandangan dari yang
tersebut. Tiada sedidkit yang baru muncul ketika terjadi interaksi sosial
63
antara etnis pendatang dengan penduduk asli. Kenyataan menunjukkan
bahwa etnis pendatang (BBM, Arab, Cina, Jawa, Madura, Sumatera dan
lain-lain) tidak atau belum memiliki hubungan pela-gandong, terutama
mereka yang menghuni kampung-kampung baru, apalagi BBM. Biasanya
aman-aman saja, manakala berdampingan dengan penduduk dan tuan
tanah Muslim, akan tetapi ketika yang ditempati itu adalah penduduk asli
dan tuan tanah Kristiani maka di saat mereka hadir itu justeru terlihat suatu
awal yang buruk, kontradiktif dalam hal keyakinan beragama yang pasti
berdampak pada segi-segi kehidupan lainnya.
Pada sisi yang lain, jika pandangan umat Islam seperti di atas memang
dimiliki oleh penduduk asli yang pasti telah memiliki pela-gandung
dengan salah satu (atau lebih) penduduk Kristiani, maka kondisi ini
menunjukkan bahwa di Ambon-Lease telah terjadi kelunturan nilai-nilai
pela-gandong pada generasi muda sekarang, lalu bagaimana dengan masa
yang akan datang? Atau pandangan seperti di atas bukan bersumber pada
umat Islam anak-anak negeri asli Ambon-Lease, akan tetapi bersumber
pada etnis lain yang memang tidak memiliki budaya yang sama? Apakah
para penduduk beragama Islam non-Ambon-Loease?
2. Kedua, pandangan umat Kristiani. Lain pandangan dan semangat umat
Islam, lain pula semangat yang diajarkan dalam system of beliefs umat
Kristen Ambon-Lease ini adalah sebuah perilaku dalam interaksi sosial
yang senantiasa harus dibatasi dengan sekat-sekat keimanan menghadapi
umat Islam, namun apakah juga terdapat sesuatu yang telah hilang
dimakan modernitas.
Secara kontekstual, ajaran absolutisme dan calvinisme cocok jika
diterapkan di Barat, akan tetapi sangat tidak relevan jika diterapkan di
AmbonLease, sebab realitas di Barat memiliki titik interaksi
keberagamaannya lebih bersifat homogen, sedangkan di Ambon-Lease
mempunyai nilai heterogenitas yang sangat tinggi. lnilah yang merupakan
titik kelemahan dalam mengadopsi ajaran dan menginterpretasikan nilai-
nilai ajaran Kristen secara tekstual tanpa melihat segi kontekstualnya.
64
Begitu pula pemahaman sebagai umat terpilih di kalangan Kristiani, di
mana hal ini juga diiringi dengan perilaku kompensasional kolonialis
Belanda secara politik kekuasaan, juga terbentuk dalam perekrutan anak-
anak sekolah dan pegawai-pegawai pada masa kolonialis Betanda, di mana
faktor agama para calon (murid dan pegawai) menjadi pertimbangan
utama, yang sudah barangtentu didominasi oleh umat Nasrani.
Pemahaman sebagai umat terpilih ini, secara psikologis sangat memberi
warna tersendiri bagi perilaku masyarakat Kristiani di Ambon-Lease,
layaknya seperti pandangan umat Israel terhadap bangsa dan agama
lainnya dibumi ini.
Di kala pemahaman sebagai umat terbaik maka sah-sah saja jika itu
menjadi pandangan dan bahkan keyakinan seseorang atau suatu umat
beragama, akan tetapi harus pula diimani bahwa kebenaran itu tidak hanya
berada pada pihaknya saja, melainkan di sana-sini ada juga kebenaran
yang tidak bisa dikatakan salah oleh siapa pun. Pemahaman terakhir
disebut ini merupakan sumbangan pemikiran terhadap realitas kehidupan
dalam tataran heterogenitas agama, yang tidak bisa digeser begitu saja oleh
ajaran tekstual agama-agama. Tuhan ada di mana-mana, ya Tuhan kaum
Muslimin, ya Tuhan kaum Kistiani, Tuhan kita semua.
Lagi-lagi sesungguhnya dapat dikatakan bahwa ajaran dalam sistem
pelagandong pada hakekatnya nenek-moyang, para leluhur masyarakat
AmbonLease telah mengajarakan dan mempraktekkan pola kehidupan
yang pluralis dan heterogenis. Melihat perkembangan kehidupan
bermasyarakat dan beragama di Ambon-Lease, seperti telah mengalami
perubahan dan pelunturan terhadap budayanya sendiri pela-gandong yang
dicanangkan para pendahulu negeri-negeri Ambon-Lease. Realita sejarah
menunjukkan pula (apakah tidak disadari) bahwa Ambon-Lease bisa aman
dan damai selalu selama kurang lebih lima abad (hingga paristiwa Tragedi
Idul Fitri Berdarah ini terjadi) adalah justru karena kontribusi pela-
gandong itu sendiri? Anak-anak negeri harus dan wajib kiranya untuk
mengembalikan budaya pela-gandong, merevitalisasi pela-gandong plus
65
kreatifitas kemajuan anak-anak negeri Ambon-Lease di era kontemporer
ini, dengan semangat katong basudara.
3. Bias Sejarah
Secara historis, kepulauan Ambon-Lease telah lama menjadi sentra
kunjungan berbagai bangsa di dunia, baik dari Timur-Tengah maupun dari
Barat, ikut pula mencatat sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam
dan Kristen di negeri-negeri penghasil cengkeh-pala ini.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pada zaman Portugis,
Ambon-Lease telah menjadi sasaran incaran mereka sejak jatuhnya
Konstantinopel ketangan bangsa Turki tahun 1453 dan kemudian diperkuat
pada program operasional penguasaan dunia oleh Portugis dan Spanyol,
maka sampailah Portugis di obyek sasaran tahun 1511 M. Jika Kruger
mengemukakan apa yang dikatakan seorang raja muda dari Goa, bahwa
orangorang Portugis telah memasuki India dengan pedang di tangan kanan
dan salib di tangan kiri, akan tetapi ketika mereka menemui terlampau
banyak emas, maka salib itu pun dilepaskan supaya tangan mereka dapat
mengisi saku-saku mereka. Ucapan ini menjelaskan fakta sejarah bahwa
memang pada mulanya yang betul-betul memainkan peranan ialah tujuan
agama, akan tetapi tujuan ekonomi dan politik makin lama semakin
mendesak tujuan ini. Dan sudah barangtentu problematika historis
perjuangan rakyat Ambon-Lease dalam mengahadpi tantangan si penjajah
tidak akan pernah terlupakan, berupa penderitaan, kesengsaraan dan
trauma yang berkepanjangan.
Pada zaman kehadiran Belanda, bukan kepentingan agama menjadi tujuan
utama, melainkan politik dan ekonomi, maka VOC didirikan tahun 1605,
kemudian tujuan agama diikutkan setelah diberlakkan semboyan di mana
VOC datang di situ lah Gereja dibawa serta. Cengkeh dan pala telah
membuat sejarah bangsa penuh rupa macam peristiwa berabad-abad
lamanya. Secara historis, cengkeh dan pala juga telah berpengaruh
66
terhadap proses masuknya agama Islam dan Kristen serta penjajah ke
daerah ini. Memang amat menguntungkan pihak penjajah, akan tetapi tiada
sedikit membawa adzab dan sengsara bagi rakyat masyarakat Ambon-
Lease dan Maluku pada umumnya. Rupanya berlaku semacam hukum
rimba, bahwa siapa yang baerkuasa maka dia lah yang dapat menentukan
segala sesuatu menurut kehendaknya, dianggapnya sebagai hal yang
lumrah, karena jika di zaman Portugis rakyat dipaksa menganut Rum
Katholik, maka ketika Belanda berkuasa, oang-orang Islam dan sebagian
yang sudah menganut Rum Katholik diharuskan pula menganut Protestan.
Hal-hal yang demikian telah merupakan pahatan sejarah pahit bagi rakyat
tertindas, kaum Muslmin, harta mereka, hargadiri mereka, HAM mereka.
Dan tidak seberapa demikian halnya bagi saudaranya umat Kristianai,
walaupun sejarah Perang Pattimura telah menampakkan adanya
kekompakan dan kerjasama Islam-Kristen untuk melepaskan diri dari
penindasan Belanda di bumi Ambon-Lease.
Keadaan demikian tentu berbias terhadap kehidupan sekarang, dan yang
sudah barangtentu timbul dalam aplikasi yang berbeda antara kedua umat
beragama di Ambon-Lease. Bagi kaum Muslimin, masa lalu merupakan
kenangan pahit dan trauma yang dalam dan tidak pernah
mengharapkannya kembali terjadi, sementara bagi sebagian umat Kristiani
hal tersebut lebih banyak merupakan kenangan indah dan kerinduan
kembali kepadanya, termasuk hal yang manusiawi, namun juga sebagai
sesuatu yang masih dipertanyakan.
4. Etnisitas
Sebagaimana tersebut sebelumnya, bahwa penduduk Ambon-Lease kini
terdiri dari beberapa etnis, Ambon-Lease asal-asli Ali Furu, Nusa Ina
(artinya Pulau Ibu), Seram, Maluku, Key-Tanimbar (Maluku), Arab,
Cina, BBM (Buton, Bugis dan Makassar), Jawa, Madura, Sumatera, Bali,
67
Kalimantan dan lain-lain. Dari sekian etnis yang menghuni Ambon-Lease,
maka BBM lah yang merupakan etnis yang banyak mendapat sorotan
lawan konflik pada kasus kerusuhan Ambon-Lease satu dasawarsa lalu itu.
Kemungkinan kehadiran BBM di mata umat Islam tidak seberapa
mendapat sorotan dan penilaian yang sama karena ada hubungan
emosional-tinggi, yakni terdapat persamaan pada dasar ideologi, yakni
Islam, akan nbtetapi harus diperhatikan bahwa secara teritorial telah
banyak tuantanah-tuantanah beralih ke tangan mereka. Itu lah sebabnya
mengapa umat Kristiani melancarkan upaya besarbesaran dalam
pengusiran BBM, karena dinamika sosial menunjukkan fakta bahwa
kemajuan yang dicapai gilang-gemilang orang-orang BBM baik secara
kuantitatif maupun kualitatif adalah merupakan ancaman terhadap
dominasi kaum Kristiani di sini. Semestinya seluruh anak-anak negeri
Salam-Sarani dengan para raja-rajanya mengambil hikmah dari konflik
dahsyat ini untuk menghidupkan kembali sistem pemerintahan raja dan
latu pati (kalau memang sudah dicabut pemerintah, atau kalau belum
dicabut minta dicabut dengan pertimbangan kemaslahatan anak-anak
negeri Ambon-Lease dan Maluku), sekaligus masalah pertanahan yang
sudah sering menjadi sentra penyebab konflik di sini
5. Karakteristik Sosial
Memang secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa kekayaan alam
Ambon-Lease telah membentuk sifat dan karakter SDM yang lemah.
Padahal di satu pihak dikatakan bahwa pada hakekatnya pola berpikir
anak-anak adat, anak-anak negeri Ambon-Lease adalah kooperatif antara
faktor alam dan faktor sosial, sebagai ruh dari pela-gandong. Maka jika
pada umumnya anakanak negeri Ambon-Lease memiliki kondisi dan
karakter-sosial seperti ini, justru merupakan kontradiksi terhadap
semanagat pela-gandong. Semestinya sistem pela-gandong juga memberi
68
kontribusi besar terhadap etoskerja dan kraetifitas anak-anak negeri
Ambon-Lease, namun mengapa hal tersebut tidak dilakukan, mungkin ada
faktor-faktor lain yang merintangi mereka. Dan tentu hal tersebut berbeda
dengan etnis pendatang, terutama BBM yang memang datang dan mencari
pekerjaan dengan memilki etoskerja yang tinggi dan ketrampilan serta
kreatifitas yang cukup, maka tidak mengherankan sesungguhnya jika pada
titik perjalanan tertentu dapat membuahkan hasil, mereka dapat menguasai
roda perekonomian di Ambon-Lease. Dan lagi-lagi pemahaman dan
penilaian bahwa keberhasilan para pendatang ini justeru dinilai anak-anak
negeri merupakan suatu ancaman serius bagi kehidupan perekonomian
mereka. Semestinya anak-anak negeri harus mau dan mampu
mengintrospeksi diri, meninggalkan kebiasaan buruknya yang selama ini
membunuh kretifitas dan etoskerja mereka, mengapa tidak mau jualan di
pasar, jadi tukang becak, buruh, PK5 dan lainnya, kemudian lalu
menyalahkan dan membumihanguskan mereka yang mendudukinya.
Memang kondisi seperti ini memberi peluang bagi tejadinya konflik sosial
antara pihak pendatang dengan pribumi.
6. Kepentingan
Dengan adanya daya tarik dan rayuan magnitnya, kepulauan AmbonLease
telah lama menjadi tujuan kehadiran dan kepentingan berbagai bangsa,
baik tujuan politik dan ekonomi serta agama.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa memang pada mulanya
yang betul-betul memainkan peranan ialah tujuan perang salib (Portugis),
akan tetapi tujuan-tujuan ekonomi dan politik makin lama semakin
mendesak tujuan ini. Lain lagi bagi Belanda yang semula bukan tujuan
salib atau agama, melaikan tujuan politik dan ekonomi, baru menyusul
kepentingan agama atau Injil, sebagaimana identitas perjuangan mereka
G3. Mereka meraih keuntungan dan sukses dengan meninggalkan luka dan
69
trauma panjang bagi kaum Muslimin Ambon-Lease, serta menarik kaum
Kristiani Ambon-Lease keluar dari rasa-cinta budaya sendiri pela-gandong
digantikan budaya Barat.
Di masa Orde Baru, pemerintah dan penguasa telah melakukan berbagai
kebijakan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Dalam bidang
politik, misalnya, yang berdampak pada sisitem pemerintahan lokal: raja,
latu-pati digantikan kepala desa, demikian pula kebijakan dalam bidang
ekonomi yang dengan LKMD-nya menyebabkan sebegitu banyaknya
rakyat yang menderita karena pohon uang rakyat, cengkeh yang harganya
merosot tajam sehingga Gubernur Maluku saat itu Muhammad Akip
Latuconsina mengapresiasikannya dengan tangisan, menangisi nasib
rakyatnya. Kondisi ini tidak hanya menimpa salah satu kelompok agama
tertentu, Islam atau Kristen, akan tetapi kedua-duanya sama-sama
merasakan penderitaan akibat kebijakan tersebut. Dan memang benar kata
orangtua-orangtua negeri, mengapa sebutan Bunga Raja untuk cengkeh
berubah menjadi Po’ Lawanatau Po’ Rawanno yang artinya bunga atau
buah yang menimbulkan perlawanan dan peperangan. Tidak hanya oleh
kepentingan penjajah, akan tetapi juga atas kepentingan pemerintah Orde
Baru, yang lebih menambah sempurnanya penderitaan rakyat. Hal-hal
demikian telah mengkondisikan masyarakat tidak stabil ekonomi dan
politiknya, menciptakan wilayah rawan terjadinya konflik vertikal dan
horizontal, yang pada titik perjalanan tertentu dapat meledakkan sendi-
sendi kehidupan masyarakat korban.
5.4 Pola Penyelesaian Konflik Perspektif Masyarakat
Upaya integrasi atau rekonsiliasi untuk meredakan konflik Ambon-Lease
dan Maluku umumnya sudah beberapa kali dilaksanakan oleh berbagai pihak
(pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR, Pakar Akademisi Perguruan Tinggi,
Komnas HAM, LSM-LSM, dan lainnya). Dan hampir semuanya belum atau tidak
70
dapat diketahui oleh masyarakat luas, apa hasil dari kurang lebih sepuluh kali
perdamaian atau perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan itu, kecuali sedikit
yang tampak seperti implementasi hasil Perdamaian Maluku di Malino yang
berdampak positif terhadap perubahan, perbaikan dan peningkatan sistem
keamanan di medan konflik.
Dari sepuluh kali, dan khususnya ketiga upaya rekonsiliasi di atas, Ikrar
Perdamaian, Penugasan Tim TNI 19, dan Perjanjian Maluku Malino II, pada
hakekatnya telah melibatkan perwakilan-perwakilan kedua belah pihak yang
bertikai (Islam dan Kristen) yakni anak-anak negeri Ambon-Lease yang terbaik
dan terpilih untuk tugas mulia mendamaikan konflik. Bahkan mereka pun tahu
bahwa tiga resolusi yang melibatkan mereka belum sepenuhnya menyentuh cara-
cara damai yang agamis dan adatis. Di sini belum tampak adanya upaya
memasukkan budaya pela-gandong untuk dijadikan referensi dalam perdamaian di
tanah kelahirannya sendiri, karena masih terdapat adanya kendala-kendala yang
telah terbangun sejak lama, baik secara eksternal maupun internal.
Berangkat dari keprihatinan yang dalam terhadap konflik dahsyat tersebut banyak
pihak-pihak yang bertanya, baik dari para sosiolog, pengamat sosial dan
akademisi, juga anak-anak negeri Ambon-Lease di negerinya atau yang tinggal di
luar daerah dan luar negeri: kalau begitu, lalu di mana pela-gandung selamna ini?
Keresahan akademisi penulis pun timbul, lalu membuat pertanyaan, mangapa
pela-gandong tidak berfungsi justru pada saat-saat ia dibutuhkan? Sakitkah, atau
lumpuhkah, atau terhimpitkah ia, dan sudah studium berapakah sakitnya? Ada
apa dengnya? Mengapa bisa terjadi seperti ini?
Pola penyelesaian konflik perspektif masyarakat Ambon-Lease dimaksud
adalah proses penyelesaian konflik dengan menggunakan pendekatan dan sistem
kekerabatan atau istiadat orang Maluku umumnya an anak-anak negeri
AmbonLease pada khususnya yang dikenal dengan pela-gandong. Cara-cara
seperti ini telah dimiliki dan dilaksanakan masyarakat di sini sejak ratusan tahun
silam, diawali para leluhur, kemudian secara turun-temurun berlaku sampai
sekarang. Kehadiran dan perkembangan sistem pela-gandung telah teruji ketika
71
mengalami gelombang dinamika kehidupan sosial yang kental dengan perubahan.
Realita sejarah menunjukkan bahwa sistem pela-gandong selain mampu
mendamaikan problematika kehidupan masyarakat, akan tetapi pernah juga jatuh
dalam himpitan modernisasi sosial politik, ekonomi dan agama di negeri ini baik
secara internal maupun eksternal.
Pertama, pela-gandong pernah menghiasi sidang-sidang kongres
pemukapemuka ahli ilmu perbandingan agama dunia, di mana ia dijadikan sebagai
salah satu referensi dalam pembahasan tentang toleransi kehidupan antar umat
beragama di dunia. Dengan adat pela-gandong, maka selama kurang lebih lima
abad Ambon-Lease tidak pernah tergoncang konflik hebat, sekalipun memiliki
potensi konflik yang tinggi. Dan di kala cara-cara damai menurut berbagai versi
tak juga mampu mendamaikan maka yang amat sangat dinanti adalah kehadiran
dan kemujarabannya pela-gandong. Sebagai contoh dalam menghadapi
penyelesaian kasus konflik terdahsyat dunia, kasus Ambon-Lease, dan dengan
keadaan terseok-seok akibat himpitan modernitas, ternyata ia, pela-gandong,tetap
eksis dan mampu berperan walau hanya dengan tenaga sisanya, ia bisa.
Kedua, pela gandung pernah jatuh dalam himpitan modernitas
sosialpolitik, ekonomi dan agama. Bahwa dengan alasan demi persatuan dan
kesatuan bangsa serta stabilitas nasional maka segala perkara harus di bawah
pengawasan dan pengendalian pihak yang berwajib, dalam hal ini pemerintah atau
penguasa Tiada sedikit pengorbanan rakyat akibat dari implementasi peraturan
pemerintah seperti ini. Demikian pula PP no. 5 tahun 1975, yang secara nyata
walau tak langsung menghapus sistem pemerinatahan raja dan latu-pati dengan
kepala desayang sesungguhnya merupakan kaitan, satu paket dengan sistem
kekerabatan pela-gandong (sebagai faktor eksternal, dari luar anak-anak negeri
AmbonLease). Secara internal, pela-gandong pun dalam perjalanannya pernah
mendapat gangguan berat justru dari dalam anak-anak negeri Ambon-Lease
sendiri karena dianggapnya menghalangi jalannya ekspansi agama yang
diamanatkan pada mereka, sebagaimana dikeluhkan Muller Kruger.
72
Dan memang benar, bahwa jika ditelaah secara cermat maka
sesungguhnya pada satu sisi tradisi pela-gandong dapat memihara kegerejaan
ratusan tahun lamanya, namun pada sisi lain pela-gandong pula lah yang tidak
memungkinkan berkembangnya kegerejaan di dalam suatu usahan yang hidup.
Menurut kaum Kristiani atau sebagian mereka, bahwa secara sosiologispsikologis
adat pela-gandung dianggap sebagai sesuatu yang menghambat jalan dan
lancarnya Kristenisasi di Ambon-Lease dan sekitarnya, tetapi hampir tak
terpikirkan bahwa jika selama ini tidak terjadi konflik antara umat Islam dan
Kristen (yang sesungguhnya berpotensi tinggi untuk konflik) justeru berkat
adanya sistem pela-gandong itu sendiri yang telah menghindarkan serta
melindungi mereka. Memang ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan
pendekatan sistem pela-gandong demi kelancaran dan kemurnian misi yang
diembannya. Demikian pula dari pihak kaum Muslimin yang menganggap bahwa
sistem pela-gandong bukan produk Nabi dan Allah SWT, dan dianggapnya suatu
yang berindikasi bid’ah sebagai sesuatu yang harus dihindari, sementara tidak ada
pemikiran guna menemukan proposisi lain yang lebih produktif dan efektif dalam
proses perdamaian guna mengangkat harkat dan martabat Islam dan kaum
Muslimin sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, sebagai Rahmat bagi Semesta Alam
(linkungannya, flora dan faunanya, dan terutama bagi manusianya). Semestinya
setiap insan Muslim, baik itu dirinya, al-Qur’an dan Hadits Nabi-nya, selalu
diangkat dan difungsikannya dalam realita kehidupan demi kemaslahatan umat
manusia di muka bumi ini. Demikian pula sifat cinta-kasih dan kasih-sayang di
dalam Kristiani hendaknya lebih meningkat kepada upaya membumikannya di
Ambon-Lease tanah tumpah darah, dan di mana pun anak-anak negeri berada.
Terpetik dari berbagai informasi yang diperoleh menimbulkan optimisme,
bahwa sistem pela-gandong saat ini masih berperan penting terutama di daerah
Maluku Tengah. Karena rasa persatuan dan identitas bersama disadari dan
dihayati dengan kuat upacara-upacara pembaharuan pela (dengan upacara panas
pela) masih serintg berlangsung. Sejak perantg Dunia II sejumlah pela baru,
kebanyakan diadakan dengan sadar untuk menguatkan hubungan antara dua
73
golongan itu. Dapat dkatakan bahwa berkat sistem pela-gandong itu,
pertentangan antara Muslim dan Kristen yang terjadi pada tahu 1998-2002 dapat
diredakan.
74
BAB 6. KERUSUHAN SOSIAL KARENA PANCASILA
6.1 Kerusuhan Sape, Bima
Kerusuhan adalah keseluruhan bentuk dan rangkaian tindak kekerasan yang
meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan dimensi-dimensi kuantitatif
dan kualitatif. Kerusuhan mempunyai pola umum yang dimulai dengan
berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak
dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa
dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing
perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-ratnbu
lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai
melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah
barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-
barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok
provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak
massa untuk ikut merusak lebih lanjut.
Masyarakat Indonesia yang multikultur, multiras, dan multiagama memiliki
potensi yang besar untuk terjadinya konflik antarkelompok, ras, agama serta suku
bangsa. Beberapa peristiwa amuk massa pada beberapa daerah di Indonesia
terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut. Salah satunya
perbedaan agama. Seperti, kerusuhan di Lampung pada 1989, Timor Timur
(1985), Makassar (1997), dan Ambon (1998). Kerusuhan ini dapat terjadi karena
masyarakat yang terlibat kurang mendalami makana pancasila kemausiaan yang
adil dan beradab, setidaknya meskipun berbeda adat, kita tetap harus
memperlakukan anggota kelompok lain dengan perlakuan yang sama dan setara,
sehingga tidak akan terjadi kerusuhan melainkan adanya persatuan.
Pendewasaan kebangsaan ini memuncak ketika bangsa ini mulai dijajah dan
dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara
Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme,
75
yang diakhiri secara yuridis ketatanegaraan (18 Agustus 1945) dengan
ditetapkannya Pancasila oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI)
sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
perkembangan selanjutnya ideologi Pancasila diuji semakin berat terutama pada
tataran penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan. Ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya sampai dengan saat ini di
era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya
pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde
Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan dengan penerapan
Pancasila.
Sejak munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional yang
bermultidimensi dan dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan
terhadap penerapan Pancasila begitu menguat. Krisis itu ditunjukkan dengan
adanya berbagai permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di
antaranya seperti pergantian kepemimpinan nasional yang tidak normal,
kerusuhan sosial, perilaku anarki, dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral
bangsa dilanggar, norma hukum negara tidak dipatuhi, norma kebijakan
pembangunan disiasati, dan hutang luar negeri melonjak tinggi. Perilaku ini
semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggungjawab dengan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela sebagai wujud dari
penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan yang menjadi sinis
dan menggugat efektivitas penerapan Pancasila. Indonesia adalah bangsa yang
besar karena memiliki falsafah dan ideologi Pancasila. Keluhuran nilai-nilai
Pancasila tampak pada sikap yang religius, jujur, toleran, cinta damai, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, serta peduli sosial
dan lingkungan.
Dewasa ini akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya komunikasi, terjadilah
perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satu pun bangsa dan
76
negara mampu mengisolisasi diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing.
Demikian juga terhadap masalah ideologi.
Pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama
didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi, dan transportasi
ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas.
Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat
kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung
kepentingan bangsa lain. (M. Habib Mustopo 1992: 11 -12). Adanya pancasila ini
diharapkan dapat memfilter apa yang baik dan yang buruk bagi bangsa Indonesia.
Selain itu, landasan nilai dalam pancasila juga mengajarkan tentang kesamaan
kedudukan antara satu dan yang lain, mengajarkan untuk menghormati satu sama
lain dan akhirnya akan tercipta suatu persatuan, bukan kerusuhan yang
mengakibatkan perpecahan.
Sebagaimana kenyataan, kemajemukan masyarakat Indonesia itu tidak hanya
terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan dalam keanekaragaman
kebudayaan yang dikembangkan oleh penduduk di kepulauan sebagai perwujudan
adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah
keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersifat
mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda,
melainkan juga bersifat tegak lurus karena perbedaan pengalaman sejarah.
Kenyataan sosial dan kebudayaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam
pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan.
Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh
sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk
mempersatukan masyarakat majemuk yang semula telah mengembangkan aneka
ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun
pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk
77
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang oleh Geertz (1965) disebut
sebagai “Intergrative revolution”.
Sesungguhnya banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru
merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan
kemerdekaan. Sebagaimana diungkap oleh R. Harris (1964), kebanyakan negara
yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang selalu menghadapi
berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi
pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesejahteraan
dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris
sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi : Pertama,
perjuangan kemerdekaan penuh (Total Independence); Kedua, Pengembangan
Administrasi Pemerintahan (Administrative Equality); Ketiga, Perjuangan
kesetaraan budaya (Cultur Equality).
Beragam kelompok adakalanya secara sosial menyebabkan tumbuh dan
berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya
institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik
baru karena kelompok, golongan, dan agama lain merasa bahwa kehadiran mereka
menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta
kepentingan dari kelompok lainnya.
Akhirnya yang akan berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap
hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna,
sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan lainnya (Zastrow,
2000, h. 157).
Seiring dengan modernisasi, globalisasi, dan reformasi, sebagian budaya positif
mulai tercemar dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita.
Persoalan budaya dan karakter bangsa yang mendesak untuk dihadapi dan
dipikirkan alternatif pemecahannya. Terutama kasus korupsi, penggunaan
78
kekerasan fisik, kejahatan seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang
konsumtif, serta kehidupan politik yang tidak produktif.
Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya
dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah,
primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila,
terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat,
serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya
sudah pada titik nadir (antiklimaks).
Dimensi sosial ekonomi memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi
bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan
sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan.
Pandangan ini diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah
berdampak pada efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campur
tangan asing (badanbadan internasional) terhadap perekonomian nasional.
Sebagai suatu negara dengan budaya yang beragam dan tersebar di beribu-ribu
pulau, persoalan sosial yang akan dihadapi Bangsa Indonesia tentunya akan silih
berganti. Masih belum hilang dalam ingatan kita pada peristiwa di Mesuji bahkan
belum tuntas dibicarakan, kini muncul persoalan baru di Sape Bima Nusa
Tenggara Barat.
Pada umumnya kerusuhan sosial terjadi karena didasari oleh adanya prasangka
terhadap perorangan maupun terhadap kelompok (prejudice). Prejudice
merupakan sebuah sikap (biasanya mengarah pada pikiran negatif) dan salah satu
fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Munculnya prasangka
sebagai akibat adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam
masyarakat.
Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial
dengan individu lain. Dengan demikian fenomena sosial di Kabupaten Bima
dipengaruhi oleh adanya prasangka negatif yang terus menerus dari kelompok
79
masyarakat terhadap kelompok tertentu (pemerintah Kabupaten Bima dan aparat
Kepolisian) sebelum terjadi kerusuhan, sehingga akumulasi dari prasangka negatif
ini sekaligus menjadi pencetus muncul perilaku agresi masyarakat.
Sebaliknya oknum aparat Kepolisian yang menembaki, mengejar, memukul, dan
mengeluarkan perkataan yang bertujuan menyakiti kelompok masyarakat yang
terlibat kerusuhan termasuk kategori agresi. Dalam psikologi dan ilmu sosial
lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang membuat objeknya
mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik.
Kerusuhan yang terjadi menyisakan kepedihan mendalam pada dua kubu, terlebih
lagi masyarakat Bima. Semua komponen mulai Pemerintah Kabupaten Bima,
Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah pusat, aparat Polri baik pusat maupun
daerah, aparat TNI, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh pemuda Kabupaten
Bima berupaya menemukan “benang merah” permasalahan sehingga dapat
dicarikan solusi yang cepat dan tepat guna mengembalikan situasi Kabupaten
Bima menjadi kondusif.
Sampai saat ini banyak pihak mengatakan suasana di Bima sudah kondusif. Tetapi
dalam perspektif psikologis, kedua pihak yang bertikai belum sepenuhnya berada
dalam kondisi psikologis yang nyaman sehingga setiap kelompok masih bersikap
siaga. Polisi bersikap siaga dengan menambah kekuatan personel, sedangkan
warga yang tidak terlihat berkumpul untuk menyerang sebenarnya selalu waspada
karena takut kejadian akan terulang kepada keluarga mereka. Hal ini
menunjukkan adanya “bahaya laten” (stimulus emosional yang tersembunyi)
dimana jika terjadi satu “sentilan” kecil dapat membuat keadaan menjadi lebih
membara.
Berbagai bidang kehidupan yang hancur akibat kerusuhan sosial seyogyanya
dapat dipulihkan kembali dengan cepat dan tepat. Upaya untuk pemulihan akan
terhambat bila dukungan terhadap kesehatan jiwa dan psikososial tidak mendapat
perhatian. Dipandang dari segi kesehatan jiwa, peristiwa Sape Bima yang tidak
80
teratasi secara sehat dapat menimbulkan gangguan trauma psikologis bagi
masyarakat. Namun apabila dapat diatasi secara sehat dan efektif, trauma
psikologis selain dapat dihindari juga membuka kemungkinan untuk tumbuhnya
kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu
kerusuhan.
Kasus Sape Bima, tidaklah serta merta terjadi begitu saja. Sudah ada
permulaannya sejak lama, dan ini terjadi karena lemahnya daya tawar masyarakat
terhadap pola kepemimpinan yang absolut dan tak memihak kepada rakyat.
Pola kepimpinan yang terjadi saat ini seolah-olah membenarkan apa yang terjadi
ketika keputusan sudah diambil, menjadi harga mati untuk ditinjau kembali. Entah
apa sebabnya Bupati Bima begitu kekeh mempertahankan dan tidak
mengindahkan keinginan rakyat untuk mencabut izin eksplorasi emas yang terjadi
diwilayahnya. Apakah terjadi sesuatu dibelakang kekeh-nya Bupati Bima, ataukah
ada alasan lainnya. Hal ini tentunya perlu diinformasikan secara gamblang kepada
masyarakat Bima.
Salah satu efek dari otonomi daerah adalah tidak jelasnya intervensi yang harus
diambil oleh Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten bila
terjadi hal-hal seperti ini. Jajaran pemerintah provinsi seolah-olah hanya
menunggu apa yang akan terjadi, kemudian baru merumuskan langkah-langkah
pascakejadian, belum bisa lebih jauh melakukan intervensi sebelum kasus terjadi
padahal seharusnya dengan perangkat yang ada bisa dioptimalkan peran intelijen
dan arapat yang ada untuk megantisipati segala musibah dan kerusuhan yang
terjadi. Dalam ranah sorotan kepemimpinan ini ada beberapa hal yang harus
diperhatikan:
Pertama, kepemimpinan Bupati, seolah-olah menjadi kepemimpinan yang absolut
tanpa mau dan tidak peduli dengan semua masukan yang telah diberikan
kepadanya untuk menjada kondosivitas masyarakat. Hal ini tampak dari
rekomendasi dari KOMNAS HAM, yang diabaikan oleh Bupati Bima sebelum
81
kejadian berlangsung. Dan seolah-olah bupati menjadi raja kecil yang semua
keputusannya menjadi titah yang haram untuk ditinjau ulang bahkan dicabut.
Bupati kurang melakukan antisipasi psikologis dan sosial dan hanya
mengedepankan kepentingan ekonomi sesaat yang tentu hal ini berpihak pada
perusahaan yang tentu akan hanya memperkaya individu-individu tertentu. Bupati
ralut dalam permainan ekonomi para corporat.
Kedua, kepemimpinan provinsi yang hanya bisa wait and see terhadap persoalan
yang terjadi di Kabupaten Bima, hal ini karena efek dari otonomi daerah,
pemerintah provinsi dan jajarannya hanya mampu melakukan sebuah langkah-
langkah pasca kerusuhan karena khawatir dikatakan ikut mengintervensi
kebijakan yang diambil oleh pemerintah kabupaten
Ketiga, kepemimpinan masyarakat. Bila terjadi kerusuhan seperti di Bima akan
efektif dilakukan cara alternatif pencegahan bila yang melakukan aksi adalah
memang dikoordinir oleh pimpinan non formal yang memang sudah terbentuk
dari tatanan sosial yang ada. Namun dalam kenyataannya kegiatan demo
masyarakat di Bima dikoordinir (korlap: menurut beberapa sumber) adalah orang
yang dengan tiba-tiba menggerakkan massa. Sehingga hal ini memicu hilangnya
kontrol pimpinan formal dan non formal terhadap perilaku anarkis yang akan
terjadi.
Keempat, sistem kepemimpinan Polri yang masih sangat identrik dengan
kekerasan dan kekuasaan senjata ketika menyelesaikan persoalan. Dengan alasan
demo masyarakat telah melumpuhkan kegiatan perekonomian, tidak peduli lagi
dengan efek psikologis, sosial bahkan nyawa melayang dengan tindakan represif
yang dilakukan dengan dalih demi memulihkan perekonomian dan keamanan.
Pola kepimpinan yang masih sangat dekat dengan kekuasaan dan ekonomi
menjadikan polisi hanya sebagai alat kekuasaan dan ekonomi semata hanya
berpikir bagaimana sebagai pengayom masyarakat.
82
Dalam kasus ini perlu diperhatikan pengambilan keputusan yang efektif. Menurut
Thorndike (1938), pengambilan keputusan dan pemecahan masalah oleh
kelompok lebih baik dibandingkan oleh individu. Karena dalam kelompok,
individu lebih banyak belajar, membuat lebih sedikit kesalahan, membuat
keputusan yang terbaik dan produktif dengan kualitas yang lebih tinggi dari yang
dihasilkan individu.
Dalam hal ini pengambilan keputusan akan lebih efektif jika anggota masyarakat
yang bersangkutan (keluarga korban), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
pemuda, para pimpinan Polri, pimpinan TNI, serta pemerintah pusat dan daerah,
berunding untuk menentukan keputusan yang tepat. Oleh sebab itu jalur diskusi
yang telah dilakukan antar elemen masyarakat dinilai tepat sebagai salah satu
upaya psikologis untuk mengembalikan situasi kondusif. Kelompok masyarakat
akan lebih terbuka mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, informasi dan
ide-ide mereka jika tingkat kepercayaan tinggi. Diharapkan jalur diskusi yang
mempertemukan dua kubu tersebut dapat berlangsung secara periodik.
Penyelesaian dengan cara tersebut sebagai salah satu implikasi nyata yang
menunjukkan diterapkannya sila Pancasila ke empat yakni kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Seorang
pemimpin seharusnya mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat,
seperti yang terkandung dalam nilai pancasila tersebut. Selain itu, nilai pancasila
pada sila ke lima, yakni keadilan bagi seluruh rakyat, juga tetap harus ditegakkan,
maksudnya adalah kalaupun negosiasi tidak dapat dilakukan, setidaknya
pemimpin harus mengambil keputusan yang memberi kebaikan kepada kedua
pihak, supaya masyarakat merasa diperlakukan adil.
6.2 Pelanggaran HAM
Bentrokan antarkelompok dan fenomena kriminalitas, pelanggaran HAM, dan
sebagian rakyat mempraktikkan budaya anarkis. Degradasi wawasan nasional
83
sebagian rakyat Indonesia. Bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan
dasar negara Pancasila sebagai sistem ideologi nasional. Rakyat dan bangsa
Indonesia mengalami erosi jati diri secara nasional.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara hukum yang
ditegaskan pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ternyata dalam praktiknya justru
menjadi negara yang belum mampu menegakkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung belum ada
konsepsi alternatif strategis pemecahannya. Kondisi demikian dapat melahirkan
konflik horizontal dan vertikal. Bahkan, anarkisme sebagai fenomena sosial
ekonomi dan psikologis rakyat dalam wujud stres massal dan tandakan anarkisme.
Pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan perlindungan hak asasi
manusia (HAM) telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan
kedaerahan. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional telah makin parah dan
mengancam integritas mental ideologi Pancasila, serta integritas nasional atau
NKRI dan moral.
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat.
Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan
di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik.
Selain di media massa, pemuka masyarakat, para ahli, serta pengamat pendidikan
dan sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai
forum seminar. Baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan
karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan
budaya yang bersangkutan.
84
Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam
suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan
sosial serta budaya masyarakat dan bangsa.
Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia adalah Pancasila, jadi pendidikan
budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan
kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-
nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat
strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang.
Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan
yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif.
Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah
usaha bersama sekolah, oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh
semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah serta dukungan penuh dari
masyarakat.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk
dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang
dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh
karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang.
Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak dibangun di atas berbagai
kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi
atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia
85
adalah karakter yang dimiliki warga negara bangsa Indonesia berdasarkan
tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang
berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa diarahkan pada upaya
mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga menjadi
suatu kepribadian diri warga negara.
Menyelamatkan bangsa dan NKRI dari tantangan, maka bangsa Indonesia wajib
meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan mental dan ideologi
Pancasila. Visi-misi demikian terutama meningkatkan wawasan nasional dan
kepercayaan nasional (kepercayaan diri) agar sumber daya manusia (SDM)
warganegara kita mampu mewaspadai tantangan globalisasi dan liberalisasi.
Kemampuan menghadapi tantangan yang amat mendasar akan melanda kehidupan
nasional, sosial, ekonomi, politik, bahkan mental dan moral bangsa, maka
benteng terakhir yang diharapkan untuk mampu bertahan ialah keyakinan nasional
atas kebenaran dan kebaikan/keunggulan dasar negara Pancasila baik sebagai jati
diri bangsa dan filsafat hidup bangsa (Volksgeist, Weltanschauung), sekaligus
sebagai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional).
Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah suatu keniscayaan agar Pancasila
tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan
kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Agar loyalitas warga masyarakat dan warga negara terhadap Pancasila tetap
tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa
diminimalisasi. Substansi dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila
dalam kehidupan praktis adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan
dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup
dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.
86
Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila
ada dinamika internal (self renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing
yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila. Muara
dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai
Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warga
negara dan masyarakat Indonesia. Sebagai warga negara yang baik selayaknya
peka dan segera mengakhiri masalah-masalah besar sebagai indikator tercemarnya
karakter bangsa. Seperti, kasus korupsi, penggunaan kekerasan fisik, kejahatan
seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang
tidak produktif, bentrok antarkelompok, fenomena kriminalitas, pelanggaran
HAM dan budaya anarki, dan pemaksaan kehendak.
Semua pihak harus mendukung program pemerintah dalam mengatasi masalah
tercemarnya budaya dan karakter bangsa. Yakni dengan kebijakan
mengimplementasikan pendidikan karakter dan budaya bangsa pada semua mata
pelajaran di sekolah. Selain itu, mempraktikkannya pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seperti orang tua, guru, tokoh
masyarakat dan agama, serta politisi harus memberi teladan yang baik kepada
anak-anak, peserta didik, juga masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai
Pancasila. Sehingga, tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tidak
mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Kukuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa bagi
rakyat Indonesia secara keseluruhan menjadi dasar dilaksanakannya pembangunan
di segala bidang.
6.2.1 Latar Belakang Hambatan dalam Menegakkan Idiologi Pancasila
Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta segenap potensi bangsa
telah berusaha menegakkan dan melestarikan Negara Kesatuan Republik
87
Indonesia, namun masih ada ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud,
kebijakan yang terpusat, otoriter, serta tindakan ketidakadilan pemerintah yang
dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional dapat mendorong
terjadinya disintegrasi bangsa.
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan
mekanisme Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan
kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita demokrasi
dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang
bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebihan yang
melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis
multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Ketidakpekaan penyelenggara negara terhadap kondisi dan situasi tersebut telah
membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air yang ditandai dengan
tumbangnya rezim otoriter. Gerakan reformasi telah mendorong secara relatif
terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan kedaulatan
rakyat, peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi
peran pemerintah dalam kehidupan politik, antara lain dengan terselenggaranya
Sidang Istimewa MPR 1998; Pemilu 1999 yang diikuti banyak partai, netralitas
pegawai negeri, serta TNI dan Polri; peningkatan partisipasi politik, pers yang
bebas serta Sidang Umum MPR 1999. Namun, perkembangan demokrasi belum
terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi.
Konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi di berbagai daerah seperti di
Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan
Irian Jaya hal-hal cepat dan tepat.
88
Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, disatu pihak produk
materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan
peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas
moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta
tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi
hukum belum dapat diwujudkan.
Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan
reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, serta kejahatan ekonomi keuangan
dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan
kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan
menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta
tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.
6.2.2 Dampak Krisis Hukum
Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan
hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai
pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan,
diskriminasi, dan kesewenang-wenangan. Seperti beberapa kasus yang terjadi
berikut :
a. Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses
Hukum
N
oNama Kasus Th
Jumlah
KorbanKeterangan
1 Pembantaian
massal 1965
1965-1970 1.500.000 Korban sebagian besar merupakan anggota
PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi
dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR,
Lekra, dll. Sebagian besar dilakukan di luar
proses hukum yang sah
2 Penembakkan 1982-1985 1.678 Korban sebagian besar merupakan tokoh
89
misterius
“Petrus”
kriminal, residivis, atau mantan kriminal.
Operasi militer ini bersifat illegal dan
dilakukan tanpa identitas institusi yang jelas
3 Kasus di
Timor Timur
pra
Referendum
1974-1999 Ratusan
ribu
Dimulai dari agresi militer TNI (Operasi
Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang
sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu
menjadi daerah operasi militer rutin yang
rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.
4 Kasus-kasus di
Aceh pra
DOM
1976-1989 Ribuan Semenjak dideklarasikannya GAM oleh
Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah
operasi militer dengan intensitas kekerasan
yang tinggi.
5 Kasus-kasus di
Papua
1966-2007 Ribuan Operasi militer intensif dilakukan oleh TNI
untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi
berkaitan dengan masalah penguasaan sumber
daya alam, antara perusahaan tambang
internasional, aparat negara, berhadapan
dengan penduduk local
6 Kasus Dukun
Santet
Banyuwangi
1998 puluhan Adanya pembantaian terhadap tokoh
masyarakat yang dituduh dukun santet.
7 Kasus
Marsinah
1995 1 Pelaku utamanya tidak tersentuh, sementara
orang lain dijadikan kambing hitam. Bukti
keterlibatan (represi) militer di bidang
perburuhan.
8 Kasus
Bulukumba
2003 2 orang
tewas,
puluhan
orang
ditahan
dan luka-
Insiden ini terjadi karena keinginan PT
London Sumatera untuk melakukan perluasan
area perkebunan mereka, namun masyarakat
menolak upaya tersebut
90
luka.
b. Kasus Pelanggaran HAM yang Macet di Komnas HAM dan Jaksa Agung
N
oKasus Th Korban Konteks Penyelesaian Keterangan
1 Talangsari
Lampung
1989 803 Represi terhadap
sekelompok komunitas
Muslim di Lampung
Tengah yang dituduh
sebagai GPK ekstrim
kanan
Komnas HAM
membentuk KPP
tahun 2001, tim
pengkajian di tahun
2004 dan 2005
Salah seorang yang
diduga paling
bertanggungjawab
menjabat Kepala
BIN sehingga sulit
tersentuh.
2 Penembakan
mahasiswa
Trisakti
1998 685 Penembakkan aparat
terhadap mahasiswa
Trisakti yang sedang
berdemonstrasi.
Merupakan titik tolak
peralihan kekuasaan
politik dan pemicu
kerusuhan sosial di
Jakarta dan kota besar
Indonesia lainnya.
Komnas HAM
membentuk KPP dan
hasilnya telah
diserahkan ke Jaksa
Agung pada 2002
onis terlalu ringan,
terdakwa hanya
aparat rendah di
lapangan, tidak
menyentuh pelaku
utama. Komnas
HAM telah membuat
KPP (TSS) dan telah
dimajukan ke
Kejaksaan Agung
(2003), namun
sampai sekarang
belum beranjak
maju. DPR
menyatakan tidak
terjadi pelanggaran
HAM berat.
3 Mei 1998 1998 1.308 Kerusuhan sosial di
Jakarta yang menjadi
momentum
peralihakekuasaan
Komnas HAM
membentuk KPP dan
hasilnya telah
diserahkan ke Jaksa
Agung pada 2003
Jaksa Agung
mengembalikan lagi
berkas ke Komnas
HAM dengan alasan
tidak lengkap. Tidak
91
ada perkembangan
lebih lanjut
4 Semanggi I 1998 127 Represi TNI atas
mahasiswa yang
menolak Sidang
Istimewa MPR
Komnas HAM
membentuk KPP dan
hasilnya telah
diserahkan ke Jaksa
Agung pada 2002
Jaksa Agung
mengembalikan lagi
berkas ke Komnas
HAM dengan alasan
tidak lengkap. Tidak
ada perkembangan
lebih lanjut. DPR
menyatakan tidak
terjadi pelanggaran
HAM berat.
5 Semanggi II 1999 228 Represi TNI atas
mahasiswa yang
menolak UU Negara
dalam Keadaan Bahaya
Komnas HAM
membentuk KPP dan
hasilnya telah
diserahkan ke Jaksa
Agung pada 2002
Jaksa Agung
mengembalikan lagi
berkas ke Komnas
HAM dengan alasan
tidak lengkap. Tidak
ada perkembangan
lebih lanjut. DPR
menyatakan tidak
terjadi pelanggaran
HAM berat.
6 Penculikan
Aktivis 1998
1998 23 Penculikkan dan
penghilangan paksa
bagi aktivis pro
demokrasi oleh TNI
Komnas HAM
membentuk KPP dan
hasilnya telah
diserahkan ke Jaksa
Agung, November
2006
Jaksa Agung
menyatakan tidak
akan melakukan
penyidikan atas
kasus ini karena
belum ada
pengadilan HAM
Adhoc.
7 Wasior April
-
Okto
117
orang
Masyarakat menuntut
ganti rugi atas tanah
adat –termasuk kayu-
Berkas KPP HAM
telah diserahkan ke-
kejaksaan Agung
92
ber
2001
kayunya- yang
dikuasai perusahaan
penebangan kayu PT
Dharma Mukti
Persada. Tuntutan
masyarakat tidak
dipedulikan oleh pihak
perusahaan yang di
backup oleh anggota
brimob.
- Operasi Tumpas 2001
2004
Sumber Litbang kontras
Pembangunan di bidang pertahanan keamanan telah menunjukkan kemajuan
meskipun masih mengandung kelemahan. Kepercayaan masyarakat terhadap
aparatur TNI dan Polri melemah, antara lain, karena digunakan sebagai alat
kekuasaan; rasa aman dan ketenteraman masyarakat berkurang; meningkatnya
gangguan keamanan dan ketertiban; terjadinya kerusuhan massal dan berbagai
pelanggaran hukum serta pelanggaran hak asasi manusia.
Upaya mengatasi krisis ekonomi beserta dampak yang ditimbulkannya telah
dilakukan melalui proses reformasi di bidang ekonomi, tetapi hasilnya belum
memadai karena (1) penyelenggaraan negara di bidang ekonomi selama ini pada
kenyataannya dilakukan atas dasar kekuasaan yang terpusat dengan campur
tangan pemerintah yang terlalu besar, sehingga kedaulatan ekonomi tidak berada
di tangan rakyat dan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif; dan (2)
kesenjangan ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat dan daerah,
antardaerah, antarpelaku, dan antargolongan pendapatan, telah meluas ke seluruh
aspek kehidupan sehingga struktur ekonomi tidak kuat yang ditandai dengan
berkembangnya monopoli serta pemusatan kekuatan ekonomi di tangan
sekelompok kecil masyarakat dan daerah tertentu.
93
Pengangguran makin meningkat dan meluas, hak dan perlindungan tenaga kerja
belum terwujud, jumlah penduduk miskin semakin membengkak, dan derajat
kesehatan masyarakat juga menurun drastis. Gejala itu bahkan menguat dengan
terdapatnya indikasi kasus-kasus kurang gizi di kalangan kelompok penduduk
usia bawah lima tahun, yang dapat mengakibatkan timbulnya generasi yang
kualitas fisik dan inteleknya rendah.
Konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijaksanaan.
Namun, didalam pengalaman praktik selama ini, justru terjadi pengolahan sumber
daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang
mengganggu kelestarian alam.
Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan
yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang
berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan.
Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama
kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak
kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan
yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan
menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.
Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi belum
dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga
belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam menghadapi kerjasama dan
persaingan global.
Kehidupan beragama belum memberikan jaminan akan peningkatan kualitas
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat.
Merebaknya penyakit sosial, korupsi dan sejenisnya, kriminalitas, pemakaian obat
terlarang, perilaku menyimpang yang melanggar moralitas, etika dan kepatutan,
memberikan gambaran terjadinya kesenjangan antara perilaku formal kehidupan
keagamaan dengan perilaku realitas nyata kehidupan keseharian.
94
Status dan peranan perempuan dalam masyarakat masih bersifat subordinatif dan
belum sebagai mitra sejajar dengan laki-laki, yang tercermin pada sedikitnya
jumlah perempuan yang menempati posisi penting dalam pemerintahan, dalam
badan legislatif dan yudikatif, serta dalam masyarakat.
Penurunan peranan dan kualitas diri terjadi juga di kalangan generasi muda.
Kreativitas, kemauan, dan kemampuan mengembangkan pemikiran dan
melakukan kegiatan eksploratif, melakukan aksi sosial untuk berani coba ralat
pada generasi muda mengalami hambatan sehingga pada akhirnya menghambat
proses kaderisasi bangsa.
Luasnya ruang lingkup pembangunan daerah terutama dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah belum didukung oleh kesiapan dan kemampuan sumber daya
manusia dan aparatur pemerintah daerah yang memadai serta belum adanya
perangkat peraturan bagi pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Pelaksanaan politik luar negeri yang lemah, antara lain karena tingginya
ketergantungan pada utang luar negeri mengakibatkan turunnya posisi-tawar
Indonesia dalam percaturan internasional.
Keseluruhan gambaran tersebut menunjukkan kecenderungan menurunnya
kualitas kehidupan dan jati diri bangsa. Kondisi itu menuntut bangsa Indonesia,
terutama penyelenggara negara, para elite politik dan pemuka masyarakat, agar
bersatu dan bekerja keras melaksanakan reformasi dalam segala bidang kehidupan
untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
95
BAB 7
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Ketahanan Nasional Indonesia adalah :
Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan
nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan
mengatasi Ancaman, Gangguan, Hambatan, Tantangan (AGHT) baik yang
dating dari dalam maupun dari luar negeri untuk menjamin identitas, integritas
dan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan
nasionalnya. Dalam pengertian tersebut, ketahanan nasional adalah kondisi
kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dengan pembinaan sejak dini,
sinergik dan kontinue, secara pribadi, keluarga, daerah dan nasional. Dengan
bermodalkan, keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional, berdasarkan pemikiran geostrategis
berupa: konsepsi yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan
kondisi dan konstelasi geografis Indonesia. Konsepsi tersebut dinamakan
Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia.
2. Pengertian konsepsi ketahanan nasional indonesia.
Konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan
selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh dan
terpadu berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Konsepsi
Ketahanan Nasional merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan
(metode) keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan
keamanan. Kesejahteraan digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam
96
menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi
kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah dan jasmaniah. Keamanan
digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam melindungi nilai-nilai
nasionalnya terhadap ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.
3. Hakikat ketahanan nasional & konsepsi ketahanan nasional Indonesia
Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah Keuletan dan ketangguhan
bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,
untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam
mencapai tujuan nasionalnya. Hakikat Konsepsi Ketahanan Nasional
Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan
keamanan secara seimbang, serasi, selaras dalam seluruh aspek kehidupan
nasional.
97
DISKUSI MAKALAH
A. Indikator Hankam (pertanyaan dari kelompok A2)
Pertanyaan :
1. Mengapa bangsa Indonesia gagal mempertahankan pulau Sipadan dan
Ligitan sehingga akhirnya pulau tersebut jatuh ke tangan Malaysia?
2. Sebelumnya, usaha apa yang dilakukan Indnesia untuk mempertahankan
kedua pulau tersebut?
3. Faktor apa yang menyebabkan kedua pulau tersebut diperebutkan oleh
kedua Negara?
Jawaban :
1. Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan
pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah
melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud
kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,
pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan
operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata
yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor
pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi
Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya
mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel
4º 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari
titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional
pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya,
Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan
kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of title”
(rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
98
2. 1967: Indonesia-Malaysia melakukan pertemuan baik formal maupun
informal secara bilateral dan regional (ASEAN) dalam rangka
penyelesaian sengketa Sipadan-Ligitan secara damai.
1969: Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia-Malaysia membicarakan
batas dasar laut antara kedua negara.
1974 Malaysia mulai membangun infrastruktur Sipadan-Ligitan lengkap
dengan resort wisata.
21 Desember 1979: Malaysia mengukuhkan Peta zaman Belanda yang
mencakup landas laut dan perairannya hingga Laut Sulawesi sejauh 200
mil dari perbatasan maritime Malaysia.
21 Maret 1980: Pemerintah Indonesia mengumumkan ZEE sejauh 200 mil
diukur dari garis dasar pantai.
26 Maret 1980: Pertemuan Soeharto dan Dato Hussen Onn di Kuantan
memutuskan untuk menyelesaikan masalah melalui rundingan, namun
usaha tersebut gagal.
1989: Pembicaraan kembali Presiden Soeharto dan P.M Mahathir
Muhammad masalah Sipadan dan Ligitan.
1990: Malaysia menempatkan satu regu polisi hutan untuk menjaga
kepentingan warga Sipadan dari gangguan “mundu” bajak laut dari
Filipina Selatan
1992: Pertemuan pejabat tinggi kedua negara menghasilkan kesepakatan
pembentukan Komisi Bersama (Joint Commission/JC) dan Kelompok
Kerja Bersama (Joint Working Groups/JWG). Tetapi dari serangkaian
pertemuan JC dan JWG tidak membawa hasil. Indonesia menunjuk
Mensesneg Moerdiono dan Malaysia menunjuk Wakil PM Datok Anwar
Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan
99
forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala
Lumpur tidak pernah mencapai kesepakatan.
6-7 Oktober 1996: Presiden Soeharto dan PM Mahathir menyetujui
rekomendasi wakil khusus.
31 Mei 1997: disepakati “Special Agreement for the Submission to the
International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia
Concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.
2 November 1998: Special Agreement disampaikan secara resmi ke
Mahkamah Internasional (ICJ) dan mulai diproses di ICJ.
2 Novenber 1999: Kedua negara menyampaikan posisi masing-masing
melalui “Written Pleading” kepada Mahkamah Memorial
2 Agustus 2000: Counter Memorial
2 Maret 2001: Reply
3-12 Juni 2002: “Oral Hearing” dari kedua negara bersengketa. Wakil
Malaysia dan Indonesia saling mempertahankan hak kedaulatan atas
pulau-pulau tersebut di edpan MAhkamah Internasional.
17 Desember 2002: Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) memberi hak
kedaulatan terhadap wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap
Malaysia.
3. Pengakuan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan merupakan upaya Malaysia
dalam power seeking. Dengan mengambil alih P.Sipadan dan Ligitan
berarti wilayahnya bertambah luas dan tentunya Malaysia berhak
mengelola segala sesuatu (sumber daya alam) yang ada di kedua pulau
maupun yang terkandung di dalam lautnya. Bahkan ada kemungkinan
untuk mengakui wilayah lain di Indonesia sebagai miliknya. Padahal
Malaysia tahu bahwa kedua pulau tersebut merupakan wilayah Indonesia,
hal ini terbukti melalui peta zaman belanda yang dikukuhkan Malaysia
100
pada tahun 1979 di mana tertera Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
B. Indikator Budaya ( pertanyaan dari kelompok A3 )
Pertanyaan :
1. Dari sudut pandang sosial dan budaya, apakah kerusuhan poso merupakan
faktor terhambatnya pluralistik ?
2. Berikan contoh nyata dari solusi konflik Poso tentang pencegahan sedini
mungkin, terutama kewaspadaan terhadap gerak – gerik seseorang atau
sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam, maksudnya
bagaimana ?
3. Pada kasus poso apakah dengan adanya deklarasi maluku kasus itu benar
selesai ? Upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk menghindari
kerusuhan sosial akibat beragamnya budaya ?
Jawaban :
1. Iya, karena dalam kerusuhan poso ini penyebabnya adalah pertikaian suku
dan pemeluk agama islam dan kristen. Yaitu konflik yang bernuansa
SARA. Antar suku dan agama yang berbeda saja dapat menjadi
penghambat dan sampai menimbulkan kerusuhan, yang seharusnya
sebagai masyarakat yang mempunyai perbedaan harus saling
menghormati. Tapi dalam kasus Poso rasa menghargai dan menerima antar
sesama dan saling menghormati itu tidak ada. Masyarakat hanya hidup
dengan kelompoknya sendiri, tidak ingin membaur dan bersatu. Sehingga
kehidupan kebersamaan yang sebenarnya bisa mereka lakukan tapi tidak
akan tercapai, karena tiap individu hanya mementingkan ego mereka.
Sehingga sulit untuk mencapai kerukunan dan kebersamaan. Jadi dapat
dikatakan kerusuhan poso ini merupakan faktor terhambatnya pluralistik.
101
2. Pencegahan sedini mungkin maksudnya masayarakat disemua kalangan,
baik kalangan pengusaha dan mahasiswa harus turut serta dalam dalam
penyelesaian konflik poso. Dan juga harus ditanamkan sejak kecil pada
Masyarakat poso, agar tidak menimbulkan pertikaian. Karena dengan
ditanamkannya sejak kecil maka masyarakat akan dapat hidup dengan
masyarakat yang mempunyai perbedaan dengan dirinya. Contoh dari
kewaspadan terhadap gerak – gerik seseorang adalah di penduduk poso
jika ada pemilihan umum itu dulu dengan pemilihan hanya satu target.
Seperti pemilihan bupati, bupati A yang terpilih yang mempunyai agama
Kristen, namun dalam peraturan jika bupati A terpilih, maka bupati
tersebut harus memilih wakil bupati yang beragama lain, misalnya
beragama islam. Namun faktanya bupati memilih masyarakatnya sendiri
yang beragama kristen, dan satu orang yang beragama islam yang sangat
menginginkan untuk menjadi bupati atau wakil bupati justru tidak terpilih.
Sehingga karena umat kristen tidak adil dalam pembagian jabaatan, yang
akhirnya berubah menjadi pertikaian dan kerusuhan.
3. Tidak bisa, karena bukan hanya dengan deklarasi maluku saja, tapi dari
kesadaran mereka sendiri, dan dari orang lain yang memberi pencerahan
kepada mereka. Dan dari kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa
harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan
melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus
pada masalah politik. Dan harus bersatu membangun secara paralel.
Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso segera
berakhir. bila semua pihak mau berikrar secara serius dan tulus. Artinya,
semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang menghimpitnya
selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu. Pencegahan
sedini mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara masyarakat
harus diutamakan. Terutama, perlunya kewaspadaan terhadap gerak-gerik
seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam
sekam. Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar
dilaksanakan.
102
C. Indicator agama (pertanyaan dari kelompok A1)
Pertanyaan :
1. Apa faktor yang memicu terjadinya kerusuhan sosial dengan indicator
agama, contoh kasus ambon?
Jawaban :
1. Faktor yang memicu terjadinya kerusuhan social dengan indicator agama
pada kasus ambon antara lain :
a. Kekerasan atas nama agama yang terjadi di (ex: Ambon) adalah
sebuah bentuk kekerasan sosial yang menggunakan agama, baik
sebagai subyek maupun obyek yang memicu terjadinya kekerasan.
Kekerasan atas nama agama menyebar dengan cepat dan berlaku
komunal karena dipicu tiga faktor, yaitu kesalahan memahami doktrin
agama yang dilakukan pemeluk agama, kesalahan memahami
komunikasi agama dan kesalahan menggunakan sentimen agama.
b. Kesalahan yang berakar pada doktrin agama menyebabkan doktrin
agama yang memberikan peluang berbuat kekerasan dipahami secara
serampangan dan dianggap sebagai konstruksi kuat melegalkan
kekerasan. Kesalahan komunikasi agama memicu perbedaan doktrin
agama yang dipahamipemeluknya bersifat eksklusif dan menganggap
agama lain sebagai saingan, penghalang dan musuh yang harus
dilenyapkan.
D. Indikator Pancasila (pertanyaan dari kelompok A4)
Pertanyaan :
1. Berdasarkan dari pernyataan yang telah dijelaskan, dapat diartikan bahwa
sebenarnya akar dari permasalahan bermula dari kesalahan para pemimpin
Negara yang akhirnya menyebabkan kerusuhan di berbagai aspek
103
kehidupan. Padahal bila ditelusuri lagi seharusnya para pemimpin sudah
berideologi Pancasila. Bagaimana menurut kelompok anda dan bagaimana
cara menyikapinya?
Jawaban :
1. Seiring dengan modernisasi, globalisasi, dan reformasi, sebagian budaya
positif mulai tercemar dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan jati
diri bangsa kita. Persoalan budaya dan karakter bangsa yang mendesak
untuk dihadapi dan dipikirkan alternatif pemecahannya. Terutama kasus
korupsi, penggunaan kekerasan fisik, kejahatan seksual, perusakan,
kehidupan ekonomi yang konsumtif, serta kehidupan politik yang tidak
produktif.
Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena
banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego
daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman
Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa
di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa
sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks).
Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena
banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego
daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman
Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa
di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa
sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks).
Seperti pada kasus Sape, Bima, salah satu efek dari otonomi daerah adalah
tidak jelasnya intervensi yang harus diambil oleh Pemerintah Provinsi
kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten bila terjadi hal-hal seperti ini.
Jajaran pemerintah provinsi seolah-olah hanya menunggu apa yang akan
terjadi, kemudian baru merumuskan langkah-langkah pascakejadian,
belum bisa lebih jauh melakukan intervensi sebelum kasus terjadi padahal
104
seharusnya dengan perangkat yang ada bisa dioptimalkan peran intelijen
dan arapat yang ada untuk megantisipati segala musibah dan kerusuhan
yang terjadi. Dalam ranah sorotan kepemimpinan ini ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yaitu kepemimpinan Bupati, seolah-olah menjadi
kepemimpinan yang absolut tanpa mau dan tidak peduli dengan semua
masukan yang telah diberikan kepadanya untuk menjada kondosivitas
masyarakat. Hal ini tampak dari rekomendasi dari KOMNAS HAM, yang
diabaikan oleh Bupati Bima sebelum kejadian berlangsung. Dan seolah-
olah bupati menjadi raja kecil yang semua keputusannya menjadi titah
yang haram untuk ditinjau ulang bahkan dicabut. Bupati kurang
melakukan antisipasi psikologis dan sosial dan hanya mengedepankan
kepentingan ekonomi sesaat yang tentu hal ini berpihak pada perusahaan
yang tentu akan hanya memperkaya individu-individu tertentu. Kedua,
kepemimpinan provinsi yang hanya bisa wait and see terhadap persoalan
yang terjadi di Kabupaten Bima, hal ini karena efek dari otonomi daerah,
pemerintah provinsi dan jajarannya hanya mampu melakukan sebuah
langkah-langkah pasca kerusuhan karena khawatir dikatakan ikut
mengintervensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kabupaten
Dalam hal ini pengambilan keputusan akan lebih efektif jika anggota
masyarakat yang bersangkutan (keluarga korban), tokoh masyarakat,
tokoh agama, tokoh pemuda, para pimpinan Polri, pimpinan TNI, serta
pemerintah pusat dan daerah, berunding untuk menentukan keputusan
yang tepat. Oleh sebab itu jalur diskusi yang telah dilakukan antar elemen
masyarakat dinilai tepat sebagai salah satu upaya psikologis untuk
mengembalikan situasi kondusif. Kelompok masyarakat akan lebih
terbuka mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, informasi dan ide-
ide mereka jika tingkat kepercayaan tinggi. Diharapkan jalur diskusi yang
mempertemukan dua kubu tersebut dapat berlangsung secara periodik.
Penyelesaian dengan cara tersebut sebagai salah satu implikasi nyata yang
menunjukkan diterapkannya sila Pancasila ke empat yakni kerakyatan
105
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Seorang pemimpin seharusnya mengutamakan musyawarah
untuk mencapai mufakat, seperti yang terkandung dalam nilai pancasila
tersebut. Selain itu, nilai pancasila pada sila ke lima, yakni keadilan bagi
seluruh rakyat, juga tetap harus ditegakkan, maksudnya adalah kalaupun
negosiasi tidak dapat dilakukan, setidaknya pemimpin harus mengambil
keputusan yang memberi kebaikan kepada kedua pihak, supaya
masyarakat merasa diperlakukan adil.
Apabila dengan cara tersebut tidak dapat dilakukan, maka penyelesaiannya
adalah dengan melaporkan ketidakadilan tersebut pada aparat yang lebih
berkuasa dan lebih berwenang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika
memang dirasa tidak bisa dilakukan lagi, maka demonstrasi bisa menjadi
salah satu alternatif untuk mengutarakan suara. Hal ini sah-sah saja
dilakukan selama para demonstran masih bisa mengendalikan diri dan mau
mentaati peraturan dalam melakukan demonstrasi dan tidak berlaku
anarkis. Sesungguhnya, demonstrasi tidak selalu berdampak buruk, tetapi
juga ada sisi positifnya, seperti pada masa Soeharto, disamping dampak
buruknya terhadap perekonomian maupun kalangan etnis tertentu,
demonstrasi besar tersebut mampu menngakhiri masa pemerintahan kalut
presiden Seharto dan menjadi awal dimulainya masa demokrasi yang
sebenarnya.
106
DAFTAR PUSTAKA
Budhisantoso, S. 2012. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Kebudayaan
Bangsa. Available at http://lppkb.wordpress.com/2008/06/19/pancasila-
paradigma-bangsa/
Edison, S. 2012. Rusuh Bima Karena Aparat Ragu. Available at
http://www.wartasemesta.com/priyo-rusuh-bima-karena-aparat-ragu/
Habibi, Muazar. 2012. Upaya Psikologis Mewujudkan Situasi Kondusif
Pascakerusuhan di Pelabuhan Sape . Available at
www.suarantb.com/2012/01/12/Sosial/detil5%201.html
Prawidya, Annisa. 2010. Era Globalisasi dan Ketahanan Nasional. Available at
http://annisaprawidya1991.blogspot.com/2010/04/era-globalisasi-dan-
ketahanan-nasional.htm
Primoraharahap. 2009. Strategi Pertahanan Nasonal – Bangkit dari Krisis.
Avialable at http://umum.kompasiana.com/2009/04/23/strategi-ketahanan-
nasional-bangkit-dari-krisis/
Salmony, Rooy John. Kerusuhan Ambon sebagai Konflik Sosial,
http://www.suaramerdeka.com/harian/9908/11/kha2.htm (10 Agustus
2009)
Satori, Akhmad. Konsep Ibn Khaldun tentang Pemerintahan dan Negara,
htp//politepress. Blogsport.com/2007/N//new-artcle 2-25.htmi (5 Pebruari
2009)
107
Tunny, Aziz. Nadi Toleransi di Lumbung Konflik, Pela-Gandong Salam-Sarane,
source: http://www.geocities.com/lokkie2005/rvp070306.htm (5 Maret
2006)
108