Isi Makalah

170
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. Negara Indonesia sangat sarat dengan kerusuhan sosial, setiap hari hampir selalu ada berita mengenai kerusuhan-kerusuhan di berbagai pelosok daerah. Sebagai warga Negara Indonesia sudah semestinya kita tanggap dan kritis menghadapi kondisi Negara yang seperti ini. Bertindak sesuai dengan peran kita di masyarakat. Sebagai mahasiswa kita harus mampu menarik benang merah yang sering menjadi penyebab huru-hara di Negara ini. Dengan adanya alasan di atas maka disusunlah makalah ini, agar kita mampu menarik benang merah masalah Negara kita, serta mampu menghadapinya tanpa harus memperkeruh keadaan. 1.2 Rumusan Masalah 1

description

-

Transcript of Isi Makalah

Page 1: Isi Makalah

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi

huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah

tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi

tertentu. 

Negara Indonesia sangat sarat dengan kerusuhan sosial, setiap hari hampir selalu

ada berita mengenai kerusuhan-kerusuhan di berbagai pelosok daerah. Sebagai

warga Negara Indonesia sudah semestinya kita tanggap dan kritis menghadapi

kondisi Negara yang seperti ini. Bertindak sesuai dengan peran kita di masyarakat.

Sebagai mahasiswa kita harus mampu menarik benang merah yang sering menjadi

penyebab huru-hara di Negara ini.

Dengan adanya alasan di atas maka disusunlah makalah ini, agar kita mampu

menarik benang merah masalah Negara kita, serta mampu menghadapinya tanpa

harus memperkeruh keadaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi pertahanan dan keamanan?

2. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi agama?

3. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi budaya?

4. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi pelanggaran pancasila?

1

Page 2: Isi Makalah

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi pertahanan dan keamanan.

2. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi agama.

3. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi budaya.

4. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di

Negara Indonesia dari segi pelanggaran pancasila.

2

Page 3: Isi Makalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Perubahan Sosial

Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat

kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai

sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi

secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses

pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola

pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan

penghidupan yang lebih bermartabat.

Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan ditingkat mezo

terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan ditingkat mikro

sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan

sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait

bertingkat ganda (Sztompka, 2004).

Alfred (dalam Sztompka, 2004), menyebutkan masyarakat tidak boleh

dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu

yang kaku tetapi sebagai aliaran peristiwa terus-menerus tiada henti. Diakui

bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) hanya dapat

dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, seperti adanya

tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Sedangkan

Farley mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan pola prilaku,

hubungan sosial, lembaga , dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan

sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi didalam atau mencakup

sistem sosial. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu

dalam jangka waktu berlainan.

Parson mengasumsikan bahwa ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat

itu tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah

3

Page 4: Isi Makalah

yang dihadapinya. Sebaliknya, perubahan sosial marxian menyatakan kehidupan

sosial pada akhirnya menyebabkan kehancuran kapitalis.

Gerth dan Mills (dalam Soekanto, 1983) mengasumsikan beberapa hal, misalnya

perihal pribadi-pribadi sebagai pelopor perubahan, dan faktor material serta

spiritual yang menyebabkan terjadinya perubahan. Lebih lanjut menurut

Soekanto, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan adalah:

a. Keinginan-keinginan secara sadar dan keputusan secara pribadi.

b. Sikap-sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah.

c. Perubahan struktural dan halangan struktural.

d. Pengaruh-pengaruh eksternal.

e. Pribadi-pribadi kelompok yang menonjol.

f. Unsur-unsur yang bergabung menjadi satu.

g. Peristiwa-peristiwa tertentu.

h. Munculnya tujuan bersama.

Selanjutnya Bottomore juga mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai

kerangka. Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial, antara lain :

a. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertama-

tama mengalami perubahan.

b. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial

dan memberikan ciri-ciri tertentu yang khas sifatnya.

c. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan

berlangsung cepat dalam jangka waktu tertentu.

d. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehendaki. Oleh

karenanya bersumber pada prilaku para pribadi yang didasarkan pada

kehendak-kehendak tertentu.

Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/dorongan dan hambatan dari berbagai

faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan, adalah:

a. Kontak dengan kebudayaan lain

4

Page 5: Isi Makalah

salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi

merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan

kepada perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain.

Dengan difusi, suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat

dapat disebarkan kepada masyarakat luas di dunia sebgai tanda kemajuan.

b. Sistem pendidikan yang maju

c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju.

d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.

e. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.

Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal

secara luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas

dasar kemampuan-kemampuanya.

f. Penduduk yang heterogen

Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang

memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan

terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan.

Selain itu, perubahan sosial juga mendapatkan hambatan-hambatan. Adapun

faktor-faktor penghambat tersebut adalah :

a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.

c. Sikap masyarakat yang masih tradisional.

d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali

atau vested interest.

e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.

f. Prasangka terhadap hal-hal yang asing atau baru.

g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.

h. Adat atau kebiasaan.

5

Page 6: Isi Makalah

2.2 Benturan Sosial

Benturan sosial demi benturan sosial berlangsung dengan mengambil bentuk

aneka-rupa serta menyentuh hampir di segala aspek (“frame of conflict”)

kehidupan masyarakat (konflik agraria, sumberdaya alam, nafkah, ideologi,

identitas-kelompok, batas teritorial, dan semacamnya). Satu hal yang perlu dicatat

adalah bawa apapun bentuk benturan sosial yang berlangsung akibat dari konflik

sosial, maka akibatnya akan selalu sama yaitu stress sosial, kepedihan

(bitterness), disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh musnahnya

aneka aset-aset material dan non-material. Kehancuran assetasset non-material

yang paling kentara ditemukan dalam wujud “dekapitalisasi” modal sosial yang

ditandai oleh hilangnya trust di antara para-pihak yang bertikai, rusaknya

networking, dan hilangnya compliance pada tata aturan norma dan tatanan sosial

yang selama ini disepakati bersama-sama). Seolah semua yang telah dengan susah

payah dibangun dan ditegakkan oleh masing-masing warga yang bertikai, dengan

mudah diakhiri begitu saja karena konflik sosial. Dari perspektif politik

ketatanegaraan, kebijakan otonomi daerah (OTDA), hingga taraf tertentu juga ikut

menyumbang memperburuk situasi konflik sosial di atas.

Peristiwa demi peristiwa konflik sosial yang berlangsung di Indonesia selama 10

tahun terakhir menunjukkan adanya titik berat yang nyata pada basis

materialisme, daripada basis post-materialisme. Kendati demikian, bukan berarti

post-materialism-based sosial conflict tidak ada samasekali di Indonesia.

Berbagai macam demonstrasi massa yang menuntut agar negara secara konsisten

menegakkan agenda demokrasi, desentralisme, penyelamatan lingkungan hidup,

perang terhadap korupsi, perjuangan hak-hak perempuan, dan sebagainya adalah

wujud riil dari hadirnya dinamika konflik sosial berbasiskan post-materialisme di

Indonesia selama 10 tahun terakhir.

Meningginya intensitas dan keluasan konflik sosial sejak era reformasi di

Indonesia, tidak dapat disangkal telah mencengangkan banyak kalangan.

Ketercengangan ini tentu saja sangat bisa dipahami, karena sejarah stereotipe

6

Page 7: Isi Makalah

bangsa Indonesia selama ini lebih banyak ditandai oleh ciri-ciri “bangsa nan

ramah”, “bangsa nan penuh toleransi”, namun pada saat pasca ORBA ternyata

masyarakat Indonesia justru menunjukkan karakter keberingasannya dengan

degree of violence-nya yang menembus “batas-batas rasa kemanusiaan”, yang

tidak bisa diterima oleh bangsa manapun di dunia. Pertanyaannya, adakah

sindroma anomali-sosial yang memang menjadi ciri-khas budaya bangsa

Indonesia? Ataukah, konflik sosial memang tidak dapat dielakkan terjadi pada

bangsa manapun di dunia manakala stress sosial yang berakar pada banyak faktor

penyebab telah mencapai titik-puncaknya?

2.3 Arena Konflik (Tiga Ruang Kekuasaan)

Konflik sosial bisa berlangsung pada aras antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga

ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu

“ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor

swasta” (Bebbington, 1997; dan Luckham, 1998). Konflik sosial bisa berlangsung

di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan

kekuasaan.

Dengan mengikuti model konflik sosial berperspektifkan ruang-kekuasaan dari

Bebbington (1997) maka konflik sosial antar “pemangku kekuasaan” dapat

berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:

(1) Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan

melawan Negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi

dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil

oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan

masyarakat secara umum. Perlawanan asosiasi pedagang kaki-lima di

Jakarta melawan penggusuran oleh Pemerintah DKI Jaya adalah contoh

klasik yang terus kontemporer.

(2) Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas

sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah

“perseteruan berdarah” yang terus berlangsung (bahkan hingga kini) antara

7

Page 8: Isi Makalah

komunitas local melawan perusahaan pertambangan multi-nasional di

Papua. Kasus serupa juga ditemui dalam “Tragedi Pencemaran Teluk

Buyat” yang memperhadapkan warga lokal yang menderita kesakitan

akibat pencemaran air terus-menerus dari limbah tailing aktivitas

penambangan emas oleh perusahaan swasta asing di Sulawesi Utara di

awal dekade 2000an.

(3) Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan

Negara dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh

Pemerintah/Negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya

memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan.

Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin

kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak

merepresentasikan struktur sosial dengan atribut/identitas sosial yang homogen.

Di ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang

bersifat latent (terselubung terpendam) maupun manifest (mewujud-nyata). Dalam

hal ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung

dalam praktek manajemen pemerintahan akibat olah-kewenangan dalam

pengendalian pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara

pemerintah kabupaten, provinsial, dan pusat.

Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenanangan” tersebut

mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi berlangsung

penuh sejak Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dilanjutkan dengan UU No.

32/2004 sebagai konsekuensi OTDA.

Konflik antar pemerintah. Konflik sosial horisontal, juga berlangsung antar

departemen sektoral di pemerintahan pusat, ataupun antara satu pemerintah

kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah kabupaten lain dalam suatu

kebijaksanaan tertentu.

8

Page 9: Isi Makalah

Di ruang kekuasaan masyarakat sipil atau kolektivitas sosial, berlangsung konflik

sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama kolektivitas sosial dalam

mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara pandang yang

berbeda-beda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi

yang dianut oleh masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat

berubah menjadi konflik sosial yang nyata. Beberapa contoh aras konflik ini bisa

disebutkan antara lain adalah, tawuran antar warga yang dipicu oleh hal-hal yang

dalam “kehidupan normal” dianggap sederhana (sepele), seperti masalah batas

wilayah administratif (desa atau kabupaten) yang hendak dimekarkan sebagai

konsekuensi OTDA.

Sementara itu, di ruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan

perbedaan identitas sosial komunal (ethno-communal conflict) seperti ras,

etnisitas dan religiositas. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para

penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana

terjadi antara penganut “Ahmadyah” versus “non-Ahmadyah”) juga terjadi secara

dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia. Konflik sosial yang berlangsung

di ruang masyarakat sipil menghasilkan dampak yang paling “beraneka warna”

(karena diversenya persoalan yang dijadikan obyek konflik) dan berlangsung

cukup memprihatinkan (berujung pada kematian, cedera, dan kerusakan) di

Indonesia. Beberapa kawasan di provinsi-provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Barat

dan Kalimantan Tengah, Sulawesi

Tengah (Poso) ataupun Maluku dan Maluku Utara sepanjang akhir dekade 1990an

hingga paruh pertama dekade 2000an menjadi ajang konflik sosial antar-

komunitas atau communal-conflict (lihat, Varshney, et al. 2006).

Sementara itu di ruang kekuasaan swasta, konflik sosial lebih banyak terjadi oleh

karena persaingan usaha yang makin ketat. Kendati demikian, konflik sosial juga

bias dipicu oleh karena kesalahan Negara dalam mengambil kebijakan dalam

“pemihakan” kepada kaum lemah. Misalnya, konflik sosial para pedagang UKM

(Usaha Kecil Menengah) melawan perusahaan retail swasta multinasional yang

merasuki kawasankawasan yang sesungguhnya bukan “lahan bermain” mereka.

9

Page 10: Isi Makalah

Selain itu, konflik-konflik berdarah yang berlangsung antara nelayan trawl (pukat

harimau) bermodal kuat melawan nelayan atau koperasi nelayan kecil (bermodal

lemah) di berbagai daerah, adalah salah satu contoh klasik konflik di ruang ini.

2.4 Kedalaman dan Skala Konflik

Sebagai bagian dari proses-proses sosial, dalam banyak kasus dijumpai bahwa

konflik sosial tidak berlangsung secara serta-merta. Meski tipe konflik sosial yang

bersifat “spontaneous conflict” tetap ada (misalnya tawuran para pendukung

kesebalasan sepakbola yang sedang bertanding), namun jenis konflik yang “serta-

merta” tersebut biasanya lebih mudah dikendalikan dan segera diredam, daripada

yang bersifat konstruktif dan organized.

Dalam hal dijumpai kasus-kasus konflik sosial yang bertipe “constructive sosial

conflict”, ada sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat

berlangsung, antara lain:

(1) ada isyu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly

problematized) dari para pihak berbeda kepentingan,

(2) ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut-paut dengan

sebuah obyek-perhatian para pihak bertikai,

(3) gunjingan/gossip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik

sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju

wujud riil di dunia nyata,

(4) ada kompetisi dan ketegangan psiko-sosial yang terus dipelihara oleh

kelompok-kelompok berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial

lebih lanjut. Pada derajat yang paling dalam, segala prasayarat terjadinya

konflik yang akan memicu,

(5) “masa kematangan untuk perpecahan”

(6) diakhiri oleh clash yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan

kekacauan).

10

Page 11: Isi Makalah

Konflik sosial bisa berakibat sangat luas dan berlangsung dalam jangka waktu

lama, bila semua tahapan tersebut diorganisasikan dengan baik (organized sosial

conflict) seperti yang terjadi antara Republik Indonesia melawan Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) beberapa waktu lalu. Sementara itu, dampak konflik dapat cepat

ditekan perluasannya, jika sifatnya tidak terorganisasikan dengan baik

(unorganized sosial conflict).

Jikalau dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang diberikan

para pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan berkonflik, maka

konflik sosial dapat berlangsung dalam beberapa variasi tipe/bentuk, yaitu:

1. Gerakan sosial damai (peaceful collective action) yang berlangsung berupa

aksi penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: “aksi korektif”,

“mogok kerja”, “mogok makan”, dan “aksi-diam”. Dalam hal tidak

ditemukan resolusi konflik yang memuaskan, maka aksi damai dapat

dimungkinkan berkembang menjadi “aksi membuat gangguan umum”

(strikes and civil disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara.

2. Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings)

adalah kegiatan yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang

ditunjukkan oleh suatu kelompok atas suatu isyu tertentu. Derajat tekanan

konflik kurang-lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif seperti ini

biasanya diambil sebagai protes yang reaksioner yang dilakukan secara

berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan

oleh suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atas suatu masalah

tertentu. Biasanya skala bersifat lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup

kemungkinan dapat meluas).

3. Kerusuhan dan huru-hara (riots), adalah peningkatan derajat keberingasan

(degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung

sebagai reaksi massal atas suatu keresahan umum. Oleh karena disertai

dengan histeria massa, maka huru-hara seringkali tidak bisa dikendalikan

dengan mudah tanpa memakan korban luka (bahkan kematian).

11

Page 12: Isi Makalah

4. Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang

biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan

dengan baik. Pemberontakan bisa menyangkut perjuangan atas suatu

kedaulatan atau mempertahankan “kawasan” termasuk eksistensi ideologi

tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest,

melainkan bisa diawali “di bawah tanah” sehingga tampak latent sifatnya.

5. Aksi radikalisme-revolusioner (revolutions) adalah gerakan penentangan

yang menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan

tertentu.

6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki

oleh masyarakat dunia karena dampaknya yang sangat luas terhadap

kemanusiaan.

2.5 Konflik Komunal (Livelihood and Identity Struggle)

Konflik sosial yang berlangsung antar kelompok (inter-group sosial conflict) di

ruang masyarakat sipil dapat menyangkut krisis pluralitas-sosio-budaya dan

bernuansa identitas sosial. Konflik tersebut merupakan konflik yang paling sering

terjadi di Indonesia seiring dengan krisis ekonomi dan jatuhnya rejim ORBA di

tahun 1997.

Dalam konflik bernuansa etno-komunal, sangat tampak nyata adanya para pihak

yang membawa atribut identitas ideologi, identitas antar-keagamaan, identitas

kelompok atau juga perbedaan mazhab pada agama yang sama (konflik

sektarian), serta perbedaan asal-usul atau keturunan sebagai pembeda utama

kelompok yang saling menggugat, pelancaran klaim, atas persoalan yang

disengketakan.

Meskipun akar-konflik yang bertanggung jawab atas terjadinya konflik sosial

komunal di Indonesia sangatlah berbeda-beda, namun ada beberapa hal yang

membuatnya samayaitu adanya radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi

komunalisme5 serta dianutnya bounded rationality6 yang memicu “kesadaran

12

Page 13: Isi Makalah

kelas” (class consciousness ala Marx) dalam kelompok-kelompok yang bertikai.

Hal-hal tersebut tidak bisa dielakkan ikut bertanggung jawab dan memperkuat

dorongan kepada setiap warga untuk saling bersengketa dengan warga dari

kelompok lainnya dan jika mungkin saling meniadakan (eliminating strategy).

Pemahaman konflik sosial seperti ini dianut oleh para ahli sosiologi yang

mendasarkan analisisnya pada perbedaan basis sosio-kultural (perspektif

kulturalisme) yang dianut masyarakat.

Disadari ataukah tidak disadari, konflik sosial komunal di ruang sipil, seringkali

ditemukan benang-merah akar penyebabnya tersimpan mendalam (deeply rooted)

pada persoalan livelihood distress. Persoalan kemiskinan dan keterdesakan

ekonomi bercampur-baur dengan perasaan ketidakpastian kehidupan (survival

insecurity) akibat datangnya kompetitor dari sekelompok warga atau masyarakat

(biasanya dengan identitas tertentu), menyebabkan eskalasi dan intensitas konflik

sangat mudah memuncak.

Dalam tataran konflik antar kelompok ini, kepentingan individual dalam

kelompok seringkali juga diabaikan, karena telah diwakili oleh kepentingan

kelompok (individu mengalami gejala sosial yang dikenal sebagai oversosialized

processes dimana tujuan dan kepentingan kolektif menjadi segala-galanya).

Artinya, persaingan antar individu pada suatu kelompok melawan kepentingan

individu pada kelompok yang berbeda menjadi bagian integral konflik sosial antar

kelompok. Dengan kata lain konflik sosial selalu melibatkan perselisihan antar

kelompok (partai/pihak) dimana individu di dalamnya menjadi konstituen

pendukung perjuangan kelompoknya masing-masing. Demkianlah sehingga pada

banyak kasus, konflik kelompok (group conflict) dipakai untuk menunjuk

pengertian konflik sosial (sosial conflict).

Konflik sosial semacam ini memang dapat dipahami melalui perspektif

materalisme, dimana basis material (sustenance needs security atau masalah

livelihood/nafkah) bagi kehidupan sekelompok warga sebagai akar konflik sosial

13

Page 14: Isi Makalah

yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ketidaksiapan sekelompok orang untuk

hidup dalam suasana kehidupan yang saling-berkoeksistensi di suatu kawasan,

juga merupakan penjelasan tersendiri munculnya konflik horisontal-komunal ini.

Dengan asumsi “sosial-economic stress”, maka konflik sosial menuntut

penyelesaian di wilayah materialisme secara konstruktif.

2.6 Bingkai Konflik Sosial

Coser (1967) sebagaimana dikutip Oberschall (1978) mendefinisikan konflik

sosial sebagai berikut: “sosial conflict is a struggle over values or claims to status,

power, and scarce resources, in which the aims of the conflict groups are not only

to gain the desired values, but also to neutralise, injure, or eliminate rivals”.

Dengan mengacu pada pengertian konseptual tentang konflik sosial tersebut,

maka proses konflik sosial akan meliputi spektrum yang lebar. Isyu-isyu kritikal

yang membingkai konflik sosial yang seringkali dijumpai dalam sistem sosial (di

segala tataran) adalah:

1. Konflik antar kelas sosial (sosial class conflict) sebagaimana terjadi antara

“kelas buruh” melawan “kelas majikan” dalam konflik hubungan-industrial,

atau “kelas tuan tanah” melawan “kelas buruh-tani” dalam konflik agraria.

2. Modes of production conflict (konflik moda produksi dalam perekonomian)

yang berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodakan (cara-

produksi) ekonomi peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsisten-

sederhana) melawan para pelaku ekonomi bersendikan moral-ekonomi

akumulasi profit dan eksploitatif.

3. Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah

konflik sosial yang berpusat pada isyu “claim dan reclaiming” penguasaan

sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam

banyak hal, konflik sumberdaya alam berimpitan dengan konflik agraria,

dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak penguasaan tanah yang

diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau

kelompok sosial lain.

14

Page 15: Isi Makalah

4. Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna

kulit dan atribut sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak

yang berselisih.

5. Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena

masingmasing pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada

ajaran masingmasing agama yang dipeluk mereka.

6. Konflik sektarian (sectarian conflict), adalah konflik yang dipicu oleh

perbedaan pandangan atau ideologi yang dianut antar pihak. Konflik akan

makin mempertajam perbedaan pandangan antar mazhab (seringkali pada

ideologi yang sama).

7. Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika

olahkekuasaan (power exercise).

8. Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut

pandangan berbeda dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak

mengusung kepentingan-kepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran

sosial) yang berbeda dan saling berbenturan antara dua kelompok penyokong

yang saling berseberangan.

9. Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan

oleh berbagai faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan factor

sumberdaya kehidupan (sources of sustenance). Konflik komunal seringkali

bias berkembang menjadi konflik teritorial jika setiap identitas kelompok

melekat juga identitas kawasan.

10. 10.Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang

dilancarkan oleh komunitas atau masyarakat lokal untuk mempertahankan

kawasan tempat merek membina kehidupan selama ini. Konflik teritorial

seringkali dijumpai di kawasan-kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH),

dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan dan

identitas sosio-budayanya manakala penguasa HPH menghabisi pepohonan

dan hutan dimana mereka selama ini bernaung dan membina kehidupan

sosial-budaya dan sosio-kemasyarakatan.

15

Page 16: Isi Makalah

11. Inter-state conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua negara dengan

kepentingan, ideologi dan sistem ekonomi yang berbeda dan berbenturan

kepentingan dengan pihak lain negara.

12. Dalam kecenderungan global, inter-state conflict bisa berkembang menjadi

regional conflict sebagaimana terjadi pada era “perang dingin” (Blok Uni

Soviet vs Blok USA), atau peperangan di Balkan pada akhir dekade 1990an,

dimana USA dan NATO menghabisi Serbia.

13.

16

Page 17: Isi Makalah

BAB 3. KERUSUHAN KARENA PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi

kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis

golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi

timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini,

merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat. 

Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa

SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI

akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak

dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa.

Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan

ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang

tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk

menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem

yang berkepanjangan. 

3.1 Kerusuhan Ambon

”Kerusuhan sosial yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 masih menyisakan

luka perih baik itu masyarakat Muslim atau warga Kristen Ambon. Persaudaraan

yang mereka jaga semenjak abad ke-9 rusak dan terbelah akibat adanya

tunggangan kepentingan yang mendompleng isu SARA menjadi kendaraannya.

Butuh 3 tahun untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun diyakini konfilk itu

tidak benar-benar selesai. Butuh puluhan tahun lagi agar rasa curiga tidak saling

mengintai antara dua komunitas tersebut, Islam dan Kristen. Rasa curiga dan

permusuhan itu masih ada.

Terbukti hari minggu kemarin (11/09/2011), terjadi kembali kerusuhan yang

diakibatkan hal sepele yang dibungkus isu SARA. Beruntung hal tersebut dapat

segera diatasi dengan sikap aparat keamanan yang tegas.

17

Page 18: Isi Makalah

Kerusuhan hari minggu kemarin seperti mengajak kita untuk kembali ke situasi

Ambon pada tahun 1999 hingga periode tahun 2002. Rasa kekhawatiran konflik

itu akan terulang sempat membuncah…alhamdulillah situasi di Ambon saat ini

kembali relatif kondusif.

3.1.1 Latar Belakang Konflik

Isu yang beredar melalui SMS diyakini pihak kepolisian sebagai pemicunya. Di

dalam sms tersebut dikabarkan bahwa seorang tukang ojek yang beragama Islam

tewas dikeroyok sejumlah pemuda di kawasan Kristen akibat menabrak sebuah

rumah di kawasan tersebut yang terjadi pada hari sabtu.

Menurut pihak Kepolisian yang dirilis dari Mabes Polri Jakarta, Tewasnya

seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen pada hari Sabtu (10/09/2011)

merupakan kecelakaan tunggal bukan diakibatkan oleh penganiayaan. Hal ini

didapat dari saksi-saksi dan hasil otopsi.

Hari minggu, setelah melakukan memakaman oleh pihak keluarga Darkin Saimen,

nah..disinilah kerusuhan itu pecah. Antar dua kubu saling serang dengan batu dan

melakukan pembakaran beberapa kendaraan. Entah siapa yang memulai. Kembali

provokator coba bermain disini.

Beberapa pihak beranggapan kepolisian “sedikit” terlambat dalam mengantisipasi

runutan kejadian diatas hingga akhirnya timbul kerusuhan, walaupun tidak atau

belum sempat menyebar.

Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan

(Kontras) Haris Azhar, bila kepolisian dengan cepat dan tanggap menghubungi

pihak keluarga Darkin Saimen dan melakukan konfirmasi terkait tewasnya

korban, maka kerusuhan dapat dihindarkan.

Pihak kepolisian juga diaggap kurang awas dan sensitif mengenai masalah yang

menyangkut kekerasan sosial yang bisa berdampak pada kerusuhan SARA.

18

Page 19: Isi Makalah

Padahal hal- hal seperti ini dululah di tahun 1999 yang menyebabkan dua

komunitas berlainan agama dapat hidup damai dalam satu kampung menjadi

terpisah mendirikan kampung dan basis masing2 hingga saat ini. Diharapkan

kepolisian dan juga Badan Intelijen Negara, kedepannya agar lebih proaktif untuh

melihat dan mengantisipasi pemicu-pemicu kerusuhan SARA meskipun sangat

sepele kelihatannya untuk dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin.”

Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini

yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang

reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas

baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan

paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan

politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring

dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan

otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah

problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan

segala permasalahannya. 

Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang

tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada

daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/

berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan

sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. 

Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa

ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik

para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi

kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme

sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan

bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi

masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia

sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan

19

Page 20: Isi Makalah

mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan

maupun konflik antar kelompok atau golongan. 

3.1.2 Kebijakan Penanggulangan.

Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional

adalah sebagai berikut :

1. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak

untuk bersatu.

2. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan

kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun

konsensus.

3. Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma

yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam

aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan

bagi semua pihak, semua wilayah.

5. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan

kepemimpinan yang arif dan efektif.

3.1.3 Strategi Penanggulangan

Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara

lain :

1. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa

persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat

Indonesia.

2. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit

pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.

20

Page 21: Isi Makalah

3. Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha

pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.

4. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi

butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan

kesetiaan kepada ideologi bangsa.

5. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal

kompromi.

6. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan

Polri dalam memerangi separatis.

7. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk

menggunakan kekuatan massa.

Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan dan strategi

pertahanan disarankan :

1. Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus

diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna

menghindari korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek

ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan

hukum.

2. Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui

pendekatan hukum dan HAM.

3. Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan

faktor perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu

meredam dan memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan

diatasnya.

4. Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang

berdampak disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi

inteligen yang handal.

Masalah-masalah pertahanan dan keamanan Nasional yang menyebabkan

kerusuhan sosial dipengaruhi beberapa aspek yaitu:

21

Page 22: Isi Makalah

1. Aspek Lingkungan Strategis

a. Lingkungan Internal

Dalam beberapa tahun terakhir ini kemampuan negara untuk

memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat juga berkurang. Gejala

ini tampaknya akan terus berlangsung. Kelemahan ekonomi dan keuangan

negara adalah salah satu penyebab utama dari keadaan ini. Selain itu,

pelembagaan politik untuk membangun sistem politik yang demokratis

juga masih akan menghadapi berbagai persoalan. Hubungan lembaga-

lembaga negara, terutama antara eksekutif dan legislatif tampaknya belum

akan mampu melahirkan sistem checks and balances yang stabil. Negara

juga akan dihadapkan pada tuntutan-tuntutan baru daerah dalam proses

desentralisasi di Indonesia. Ketimpangan ekonomi dan masalah-masalah

distribusi sumber-sumber ekonomi antara pusat dan daerah akan

memperkuat tuntutan-tuntutan seperti itu. Proses ini akan memakan waktu

yang lama.

Masalah-masalah di atas melahirkan tantangan terhadap proses

reformasi politik di Indonesia. Hakekatnya adalah bahwa politik, baik

pelaku maupun proses pelembagaannya, masih menghadapi krisis

legitimasi, tidak hanya dalam konteks hubungan antara negara (state) dan

masyarakat (society), melainkan juga dalam hubungan antara sipil dan

militer (civil-military relations, CMR). Hubungan sipil-militer yang

menundukkan institusi militer di bawah otoritas politik sebagai syarat

pembangunan sistem politik yang demokratis masih sering dipahami

secara salah. Bermainnya kepentingan-kepentingan kekuasaan dan

ekonomi, baik kelompok politik sipil dan militer, menjadikan reformasi

hubungan sipil-militer masih akan memakan waktu yang lama.

Masalahnya menjadi makin rumit karena para pihak yang berkepentingan

(stakeholders) dalam masalah hubungan sipil-militer tidak menjadikan

masalah ini sebagai agenda politik nasional.

Persoalan-persoalan di atas, yaitu menurunnya kemampuan negara,

krisis ekonomi, ketidakadilan, ketidakpastian transisi politik, dan masalah

22

Page 23: Isi Makalah

hubungan sipil-militer, menunjukkan bahwa Indonesia akan menghadapi

masalah-masalah keamanan dalam negeri yang serius.

Ancaman kedua yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah konflik

komunal dan gerakan separatis. Konflik komunal lahir tidak hanya karena

perbedaan nilai dan budaya, tetapi lebih mendasar adalah karena

entitas/masyarakat tidak mampu menemukan bentuk interaksi yang lebih

tinggi yang mengatasi ikatan komunal mereka. Masalah ini makin runyam

karena masyarakat tidak merasakan kehadiran negara dan bentuk-bentuk

ikatan politik dan ekonomi ke mana mereka memberikan loyalitas. Proses

politik selama krisis ini tidak mampu mentransformasi konflik-konflik

komunal ke dalam bentuk interaksi sosial politik yang terlembaga.

Banyak faktor menjelaskan munculnya separatisme yaitu sejarah,

ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan politik, dan perasaan

dimarginalkan oleh sistem politik dan ekonomi. Masalah ini akan makin

rumit karena globalisasi dan keterbukaan menjadikan mereka yang terlibat

mempunyai ruang lebih bebas untuk bergerak ke luar batas nasional.

Sumber-sumber ekonomi dan finansial menjadi lebih luas dengan adanya

kemampuan untuk membentuk jaringan–jaringan internasional yang

memberikan mereka akses persenjataan dan dukungan eksternal, baik

potensi dukungan resmi, maupun melalui kegiatan-kegiatan ilegal

misalnya penyelendupan senjata, obat terlarang, dan kegiatan terorisme.

Bentuk ancaman ketiga yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah

kerusuhan sosial. Ini akan lahir ketika masyarakat menemui jalan buntu

untuk mengatasi krisis, terutama ekonomi dan sosial. Dalam situasi krisis,

di mana negara tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, dan

bersamaan dengan itu lembaga dan proses politik kehilangan legitimasi,

potensi kerusuhan sosial merupakan potensi ancaman yang dihadapi oleh

Indonesia. Potensi kerusuhan sosial juga dapat memanfaatkan kerawanan

hubungan-hubungan ikatan primordial, terutama agama, yang sangat

mudah dimanipulasi. Akhir-akhir ini rasa aman dalam hubungan

keagamaan mulai terusik.

23

Page 24: Isi Makalah

Ancaman lain yang juga akan dihadapi adalah terorisme. Dalam

kurun waktu 3-4 tahun terjadi serangan bom teroris dalam skala besar.

Terorisme yang berkembang di Indonesia mempunyai akar kuat di dalam

negeri Indonesia baik karena sejarah, ideologi-politik, lemahnya

penegakkan hukum, dan tidak terpenuhinya kepentingan-kepentingan

ekonomi dan politik. Keberhasilan jaringan terorisme internasional masuk

ke Indonesia lebih banyak ditentukan oleh masalah-masalah domestik di

atas. Faktor lain adalah krisis ekonomi dan politik yang memberikan ruang

bagi kelompok teroris untuk memberikan jalan alternatif dan

mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat terhadap negara. Selain itu,

ketidakmampuan negara untuk melakukan kontrol terhadap beberapa

aspek yang dengan mudah bisa dimanfaatkan oleh jaringan terorisme,

misalnya pengawasan terhadap arus manusia, wilayah maritim dan udara

yang sangat terbuka. Yang tidak kalah penting adalah korupnya birokrasi

dan aparat keamanan yang memudahkan jaringan teroris untuk menembus

institusi-institusi dan perangkat-perangkat keamanan negara dan

masyarakat.

b. Lingkungan Eksternal

Sementara itu aspek eksternal menunjukkan kecil kemungkinan

terjadi perang konvensional antar negara di kawasan Asia Tenggara dan

Asia Pasifik yang akan mengancam keamanan dan kepentingan Indonesia.

Kemungkinan terjadinya invasi militer ke Indonesia juga sangat kecil.

Secara ekonomi dan politik, perang dan invasi militer adalah pilihan yang

mahal baik dilihat dari politik domestik maupun dalam hubungan antar

bangsa yang akan makin saling tergantung (interdependensi) di mana

kepentingan nasional hanya bisa dipenuhi melalui kerjasama internasional.

Dalam situasi seperti itu negara dan bangsa akan dihadapkan pada pilihan

yang terbatas dalam menentukan kebijakan nasional mereka yang

mempersempit kemungkinan lahirnya kebijakan luar negeri dan

pertahanan yang agresif.

24

Page 25: Isi Makalah

Meskipun demikian, akan lahir tantangan-tantangan baru yang

harus diperhatikan oleh Indonesia. Pertama, Amerika Serikat (AS) masih

akan mendominasi ekonomi dan politik dunia. Posisi AS dalam sistem

internasional dewasa ini belum bisa ditandingi oleh kekuatan lain, bahkan

oleh Uni Eropa, apalagi oleh kekuatan-kekuatan regional seperti Brasil,

Argentina, Afrika Selatan, India, ASEAN, Jepang, dan China. Perilaku

kekuatan-kekuatan ini belum mampu membentuk sistem internasional

baru yang menantang supremasi AS.

Dalam posisi seperti itu, perubahan kebijakan dan perilaku

Amerika Serikat dipastikan akan mempengaruhi kepentingan Indonesia.

Terlebih untuk kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang merupakan

kawasan sangat strategis bagi Amerika Serikat. Kehadiran Amerika

Serikat di kawasan sekitar Indonesia ini akan tetap menjadi kondisi

obyektif dalam perumusan kebijakan keamanan dan pertahanan Indonesia.

Masalah-masalah baru internasional, seperti terorisme, keamanan jalur

perdagangan, dan masalah-masalah hak azasi manusia akan mewarnai

perilaku Amerika Serikat terhadap Indonesia yang sekarang dan dalam

kurun waktu beberapa tahun ke depan diperkirakan belum mampu

sepenuhnya mengontrol perkembangan-perkembangan internasional dan

domestik.

Kedua, harus juga dicermati bahwa perkembangan-perkembangan

ke depan di kawasan Asia Pasifik mengindikasikan bahwa konflik akan

lebih banyak berdimensi maritim. Atau, aspek maritime akan membuat

koflik menjadi makin kompleks. Penyelundupan manusia, penyebaran aksi

terorisme, kejahatan internasional yang lain akan banyak memanfaatkan

dimensi laut, terutama di negara-negara yang kemampuan patroli dan

pengawasan wilayah lautnya sangat lemah seperti Indonesia. Bahkan ada

kaitan yang erat antara terorisme, separatisme, dan kejahatan trans-

nasional yang lain dengan memanfaatkan atau mengeksploitasi jalur-jalur

laut di wilayah perairan Indonesia, sehingga mereka bisa bergerak dengan

bebas untuk memasuki Indonesia. Ini menunjukkan bahwa keamanan laut

25

Page 26: Isi Makalah

tidak hanya strategis dalam hubungan dan politik internasional, melainkan

juga strategis bagi keamanan domestik.

2. Aspek Kebijakan Pertahanan dan Keamanan

Dalam situasi seperti itu, pemerintah belum belum merumuskan

kebijakan umum pertahanan negara. Kebijakan umum pertahanan

memberi arah tentang apa yang hendak dicapai pada masa pemerintahan

sekarang ini dan bagaimana mencapainya. Kebijakan umum pertahanan

memberikan arah tentang apa yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam

perubahan perkembangan internasional dan internal. Di sini kebijakan

umum pertahanan negara berisi penilaian tentang potensi ancaman (threat

assessment) baik eksternal maupun internal atas dasar analisa lingkungan

strategis dan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Kebijakan umum pertahanan negara juga menjelaskan penilaian tentang

kapabilitas pertahanan yang dimiliki dan harus dikembangkan oleh

Indonesia dengan melihat perkembangan kapabilitas pertahanan negara-

negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.

Akhirnya, kebijakan umum pertahanan juga berisi strategi pertahanan

tentang bagaimana menghadapi perkembangan-perkembangan potensi

ancaman dan lingkungan strategis yang kemudian diturunkan dalam

pengembangan strategi dan kekuatan pertahanan Indonesia. Sampai saat

ini kebijakan umum pertahanan negara belum dirumuskan secara formal.

Tidak hanya hal ini merupakan keharusan strategis dan politik yang akan

menjadi pedoman perumusan kebijakan pertahanan melalui Departemen

Pertahanan, melainkan juga merupakan keharusan legal seperti yang

ditentukan oleh Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan

Negara.

3. Aspek institusional dan hubungan kewenangan

Aspek institusional dan hubungan kewenangan adalah aspek yang

sensitif karena mengandung masalah politik dan hubungan kekuasaan.

Meskipun secara legal telah diatur kewenangan politik dan operasional,

26

Page 27: Isi Makalah

ketentuan legal ini belum diimplementasikan. Hubungan antara

Departemen Pertahanan dan Mabes masih tumpang tindih. Posisi panglima

langsung dibawah Presiden mempunyai implikasi politis dan psikologis

dalam hubungannya dengan Departemen Pertahanan. Terlebih Departemen

Pertahanan masih menghadapi kelemahan sumber daya manusia terutama

terbatasnya kemampuan sipil di dalam Departemen Pertahanan.

Melihat masalah-masalah di atas, harus ada prioritas dan komitmen yang jelas

untuk melakukan penataan infrastruktur kelembagaan yang menegaskan prinsip-

prinsip supremasi otoritas politik atas intrumen hankam. Tanpa langkah ini proses

demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah mapan. Semua pengaturan tersebut

juga ditujukan untuk membentuk kekuatan hankam yang professional dan

akuntabel.

3.2 Dampak Krisis Global Terhadap Sistem Pertahanan dan Keamanan

Ketahanan Nasional sangatlah penting dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara

karena Ketahanan Nasional merupakan kemampuan suatu bangsa dan negara

untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa guna dapat mencapai

kesejahteraan bangsa dan melanjutkan pembangunan yang berkesinambungan.

Ketahanan Nasional sangat dipengaruhi oleh Ketahanan dan Kestabilan dalam

bidang:

• Politik

• Ekonomi

• Sosial Budaya

• Pertahanan Keamanan Nasional

1. Ketahanan dan Kestabilan Politik:

27

Page 28: Isi Makalah

Iklim Politik yang mendukung terciptanya kestabilan politik sangat

diperlukan dalam mencapai terwujudnya ketahanan nasional. Untuk itu

diperlukan dukungan yang kuat dalam bentuk:

• pemerintahan yang bersih (clean and good governance), dengan

tingkat legitimasi dan kredibilitas yang tinggi.

• terselenggaranya system yang transparan dan iklim demokrasi yang

sehat.

2. Ketahanan dan Kestabilan Ekonomi:

Diperlukan dukungan dalam bentuk sistem perekonomian yang kuat dan

bertumpu pada ketahanan dan kemampuan bangsa sendiri, baik dalam hal

sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang berkualitas

(resource based) sehingga tidak mudah goyah oleh gejolak yang bersifat

internal maupun eksternal.

Kekuatan dan kestabilan sistem perekonomian dapat terbentuk dengan

adanya sistem dan pelaksanaan yang baik dalam sektor moneter maupun

riil dalam bentuk kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal yang

membangun.

3. Ketahanan dan Kestabilan Sosial Budaya:

Faktor-faktor yang mempengaruhi:

- Nilai-nilai yang ditanamkan dan diyakini oleh masyarakat maupun

system sosial – budaya yang diciptakan oleh pemerintah.

- Tingkat pendidikan masyarakat, untuk terciptanya tujuan

mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan faktor yang sangat

penting agar masyarakat tidak rentan, memiliki daya tahan dalam

menghadapi setiap gejolak serta memiliki kemampuan untuk

berusaha dan bertumpu di atas kekuatan lokal dan keunggulannya

sendiri.

4. Kestabilan Pertahanan dan Keamanan Nasional (HanKamNas):

System Pertahanan dan Keamanan Nasional yang kuat dan dijalankan

dengan benar, dengan keberpihakan pada kepentingan seluruh rakyat

28

Page 29: Isi Makalah

sangat penting untuk memberikan jaminan rasa aman, khususnya untuk

menjalankan kegiatan perekonomian atau usaha bagi seluruh masyarakat

sebagaimana telah dicanangkan dari awal berdirinya republik tercinta ini

(khususnya tercantum dalam UUD ’45).

Pada akhirnya jaminan rasa aman ini akan menjamin kelancaran roda

perekonomian guna mewujudkan kesejahteraan bangsa.

Dampak krisis ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis ekonomi global adalah

meningkatnya jumlah pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk miskin.

Hal ini akan menyebabkan bertambahnya kerawanan sosial di dalam negeri yang

berpotensi untuk memicu kerusuhan sosial sehingga dapat menimbulkan korban

jiwa.

Hal ini dikatakan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pada saat memberikan

ceramah kepada peserta Pendidikan Pelatihan kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat

I angkatan XVIII dengan tema “Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Sistem

Pertahanan dan Keamanan Nasional”, Jumat (28/11) di Lembaga Administrasi

Negara (LAN), Jakarta.

Selanjutnya menhan mengatakan, kerusuhan diakibatkan tiga hal, yakni kerusuhan

sosial akibat kecemburuan sosial, perbedaan kesejahteraan dan SARA. Kerusuhan

sosial dapat mempengaruhi bidang-bidang lain seperti destabilisasi sistem politik

yang akan memperparah stabilitas keamanan dan politik terutama menjelang

pemilu 2009, meningkatkatnya aksi terorisme dan kemungkinan penguatan

separatisme apabila ada daerah yang tidak puas akan kebijakan pemerintah pusat

dalam pengananan krisis.

Kemudian Menhan menambahkan, Negara yang memiliki kekuatan ekonomi di

dunia juga memiliki kekuatan pertahanan yang kuat. Begitu juga sebaliknya

negara yang ekonominya lemah akan memiliki kekuatan pertahanan yang lemah.

Dalam kondisi tertentu pemerintah dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara

penyediaan dana untuk kepentingan pertahanan negara atau penyediaan dana

untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

29

Page 30: Isi Makalah

Peningkatan kesejahteraan rakyat dianggap penting karena negara berkewajiban

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya menuju negara yang sejahtera.

Dilain pihak negara juga mempunyai kewajiban melindungi negara dari ancaman

negara lain yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam indonesia.

Dengan penerimaan pemerintah yang menyusut, maka kemampuan pemerintah

untuk menyediakan dana untuk memelihara keamanan dan meremajakan peralatan

militer juga otomatis berkurang. Akibatnya ancaman eksternal akan bertambah,

mengingat kemampuan TNI untuk menjaga territorial wilayah Indonesia jadi

berkurang.

Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan berbatasan dengan 10 negara.

Untuk menjaga keamanannya membutuhkan anggaran yang cukup besar. Akan

tetapi, mengingat kemampuan negara yang sangat terbatas serta penetapan

prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga penerimaan

anggaran pertahanan Dephan masih minim. Walaupun demikian, penyelenggaraan

pertahanan negara harus terus dilaksanakan dan menyesuaikan dengan anggaran

yang ada.

Dalam keterbatasan anggaran ini, solusi yang diberikan Dephan agar

penyelenggaraan pertahanan tetap terselenggara, yaitu dengan minimum assential

force. Dimana tugas utama yang diemban TNI akan tetap dilaksanakan dengan

melakukan efisiensi pemanfaatan alutsista yang ada termasuk efisiensi bahan

bakar, tetap membeli alutsista yang modern tetapi dalam jumlah terbatas agar

prajurit TNI dapat terus mengikuti perkembangan teknologi militer dan

melakukan rekonsisi alutsista yang berumur tua untuk menjaga tetap dapat

berfungsi dengan baik.

Dalam ceramah ini di hadiri 22 orang peserta yang rata-rata menjabat eselon I atau

eselon II yang sedang dipromosikan untuk menjabat sebagai eselon I. Peserta

berasal dari kementrian, departemen dan badan-badan milik pemerintah baik dari

pusat maupun daerah.

30

Page 31: Isi Makalah

3.2.1 Strategi Ketahanan Nasional – Bangkit dari Krisis

Permasalahan yang Dihadapi dan Dampaknya pada Ketahanan Nasional dan Akar

Permasalahan Penyebab Timbulnya Krisis dan Rentannya Ketahanan Nasional

Krisis yang telah berkepanjangan di Indonesia terjadi sebagai akibat dari

kombinasi dan akumulasi gejolak eksternal yang berdampak penularan (contagion

effect) pada segala struktur maupun tatanan system dalam negeri. Berawal dari

gejolak pasar uang yang sangat hebat berakibat pada krisis yang sangat mendalam

di berbagai sektor. Pada dasarnya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia

merupakan akibat dari:

• besarnya keinginan untuk menguasai pasar global tanpa dukungan

infrastruktur teknologi serta sistem manajemen (pengelolaan sumber

daya) yang kuat.

• cepatnya proses integrasi dunia usaha / perekonomian Indonesia ke

dalam perekonomian global, tanpa pembangunan fondasi yang kokoh

• lemahnya dukungan instrumen kelembagaan yang efisien serta tertata

baik

• kurangnya penguasaan di bidang infrastruktur teknologi industri yang

tepat guna, yang mengandalkan keunggulan lokal.

• lemahnya akses pada jalur informasi global.

• lemahnya struktur pendanaan pada dunia usaha.

• lemahnya sistem pendidikan yang belum membuat masyarakat

memiliki kemampuan dan kemandirian.

• lemahnya struktur industri, sehingga masih sangat tergantung pada

negara lain, baik dalam hal impor bahan dasar, penguasaan teknologi

maupun proses produksi.

• lemahnya daya saing, karena kurangnya penguasaan yang dapat

menciptakan produk unggulan.

• lemahnya akses pasar global.

• kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya, (sumber daya manusia

maupun sumber daya alam).

31

Page 32: Isi Makalah

• lemahnya tata pelaksanaan dan lembaga hukum.

3.2.2 Dampak Krisis Pada Ketahanan Nasional

• depresiasi Rupiah sebagai akibat dari gejolak pasar uang yang bersifat

eksternal telah menciptakan suatu kondisi stagflasi dan instabilitas

pada perekonomian Indonesia.

• depresiasi nilai tukar rupiah yang sangat tajam berdampak pada

turunnya tingkat kepercayaan pada mata uang rupiah.

• penerapan tingkat suku bunga tinggi yang diharapkan dapat

mengembalikan stabilitas nilai mata uang rupiah telah membuat

turunnya kinerja dan bahkan tingkat likuiditas perbankan nasional

sebagai akibat dari lemahnya sistem perbankan.

• hal ini membuat “matinya” pergerakan sektor riil sebagai akibat dari

menurunnya kegiatan dunia usaha serta investasi secara drastis.

• krisis pada sektor riil telah menciptakan kepanikan pada tatanan

masyarakat secara keseluruhan yang belum ditunjang oleh taraf

pendidikan yang memadai, serta penguasaan akan akses jalur informasi

membuat terciptanya krisis sosial.

• krisis sosial telah mengakibatkan meningkatnya kriminalitas dan

kerusuhan sosial.

• dampak dari krisis sosial ini pada akhirnya juga telah mengakibatkan

krisis kepercayaan pada pemerintahan yang ada.

• krisis kepercayaan menimbulkan gejala disintegrasi di berbagai

wilayah.

• berbagai kerusuhan sebagai akibat dari krisis sosial telah membuat

turunnya tingkat kepercayaan dari para investor, khususnya investor

asing yang mengakibatkan larinya modal usaha secara besar-besaran

dari dalam negeri.

32

Page 33: Isi Makalah

• meningkatnya kriminalitas yang tidak didukung oleh sistem

pertahanan dan keamanan yang baik membuat masyarakat tidak

merasa mendapat jaminan rasa aman untuk melakukan produktivitas

mereka sehingga memperparah kondisi sektor riil.

Puncak krisis pada tahun 1998 maupun dampak krisis global sejak tahun 2008

telah mengakibatkan:

- Tingginya tingkat inflasi

- Tingkat pertumbuhan pendapatan nasional yang bergerak ke

bilangan negative

- Defisit transaksi berjalan

- Tingkat pengangguran meningkat tajam

- Meningkatnya angka putus sekolah.

- Meningkatnya masalah kesehatan serta menurunnya harapan hidup

masyarakat.

33

Page 34: Isi Makalah

BAB 4. KERUSUHAN SOSIAL KARENA BUDAYA

4.1 Kerusuhan Ambon

Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan kemudian meluas ke berbagai

tempat di Maluku, telah menelan ratusan (bahkan mungkin ribuan) korban jiwa

manusia tak berdosa, ribuan rumah penduduk, puluhan tempat ibadah, serta

ratusan sarana perekonomian. Kerusuhan dimaksud ternyata telah membawa

dampak negatif, sehingga sangat mempengaruhi terganggunya sistem pendidikan

dan aktivitas ekonomi masyarakat; belum terhitung rusaknya hubungan-hubungan

sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini menjadi referensi bersama

dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Maluku, khususnya di Kota Ambon.

Kerusuhan yang berlarut-larut hingga lebih dari satu bulan tersebut, secara

eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam

kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku (terutama di Maluku Tengah) dan

intervensi "budaya impor", telah melemahkan kearifan budaya lokal. Kondisi

yang rentan sedemikian, kemudian dieksploitasi dan dimanfaatkan secara

sistematis oleh aktor intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah

hukum. Karena itu, pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dengan berbagai

implikasi yang timbul, seyogianya tidak disederhanakan, sebab jika demikian,

pemecahan masalahnya tidak akan tuntas, bahkan hanya mengalihkan konflik

massa ke waktu berikutnya.

Dalam kerangka pemecahan Kerusuhan Ambon secara mendasar,

diperlukan kajian yang komprehensif dan integratif agar dapat meminimalkan

kecenderungan berpikir simplisistik, terutama untuk mengungkapkan sumber-

sumber masalah yang secara akumulatif membentuk titik-titik kritis (critical

points) pada jaringan interaksi antar elemen di dalam masyarakat. Titik tolak ini

penting, sebab eksploitasi suatu kerusuhan sosial yang bersifat luar biasa

(massive) seperti di Ambon ini, tentu tidak terjadi secara spontan dan seketika,

tetapi lazim didahului oleh pematangan kondisi sosio-psikologis massa, baik

secara sengaja maupun tanpa disadari. Ini berarti, variabel waktu, pola hubungan

34

Page 35: Isi Makalah

sosial masyarakat di desa maupun kota, berbagai kebijakan publik, dan

pendekatan pembangunan secara nasional, ikut menentukan pra-kondisi

kerusuhan, termasuk yang terjadi di Ambon.

Oleh sebab itu, prinsip yang seharusnya dipedomani dalam upaya mencari

solusi untuk membangun kembali keharmonisan struktur sosial bagi kebutuhan

jangka panjang atau melakukan suatu rekayasa tatanan sosial masyarakat baru di

Maluku, khususnya Maluku Tengah, dan Indonesia Baru pada umumnya, haruslah

didasarkan pada itikad mengedepankan semua fakta empirik sesuai realitas

obyektif yang jujur; dan yang terpenting ialah tanpa pretensi dan kepentingan

politik sempit. Dalam konteks demikian, maka pokok-pokok pikiran yang

disampaikan ini, pertama-tama didasarkan pada suatu gambaran tentang pola

hubungan sosial dalam masyarakat di daerah pedesaan dan perkotaan di Maluku

Tengah, proses pelemahan pranata sosial-budaya yang hidup dalam masyarakat

baik yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pembangunan nasional yang

memarjinalkan kearifan budaya lokal sebagai katup pengaman potensi konflik

sosial, maupun intervensi "budaya impor", serta identifikasi pola Kerusuhan

Ambon. Akhirnya akan dikemukakan pula beberapa solusi pemecahan masalah

Kerusuhan Ambon dalam rangka mengembangkan sebuah platform baru

kehidupan berbangsa berdasarkan cita-cita para pendiri republik ini.

 

4.1.1 Latar Belakang Masalah

Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua

pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, kemudian bermigrasi ke pulau-

pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan

Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon.

Migrasi ini, memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat

kebudayaan baru yang diintrodusir oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga

terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan

Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu pengaruh

kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan

Tidore.

35

Page 36: Isi Makalah

Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, Pemerintah Kolonial

Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga

komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti

nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Dalam proses

sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu,

sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian

dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri

seperti ini, memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang

mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap

kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen

konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna

mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan

kekerabatan lainnya.

Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang

mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur

pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi "negara-negara

kecil" dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh Raja yang

diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan

kekuasaan di dalam negeri, dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas

negeri. Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan

institusi sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga

peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat.

Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak

sosial baik antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli

dengan pendatang. Dengan demikian, maka di dalam masyarakat Maluku Tengah

ini dikenal 2 (dua) kelompok atau kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang

Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialahpenduduk asli Maluku Tengah dalam

sebuah negeri (Desa Adat). Anak Negeri ini, terdiri atas 2 kelompok pemeluk

agama, yaitu Anak Negeri Sarani, untuk yang beragama Kristen, yang

mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam, untuk yang

beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Salam. Kedua kelompok

36

Page 37: Isi Makalah

masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah,

kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike, dan Tial.

Yang disebut Orang Dagang, ialah para pendatang dari luar Negeri, baik

karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas

pelayanan masyarakat (guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain),

atau karena aktivitas ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau

pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari Orang

Maluku Asli yang berasal dari Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku,

yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab. Khusus

pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis

Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri,

baik secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain

dalam Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi.

Orang Dagang yang berasal dari etnik Buton yang berdiam di sebuah

Negeri, biasanya dalam jumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya

datang dan menetap dalam Negeri Kristen. Mereka ini, sudah ratusan tahun

mendiami Negeri-Negeri Kristen, dan kehadirannya sebagai petani penggarap

lahan, baik Tanah Dati maupun Tanah Negeri. Sejak kedatangan etnis ini hingga

tahun 1970an, mereka ini membentuk komunal yang terpisah dengan Anak

Negeri, dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya, secara bebas.

Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan

mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau

beberapa kepala keluarga. Mereka ini, hadir sebagai pedagang yang tidak

membentuk komunal yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam

komunitas Anak Negeri. Walaupun mereka berbaur dengan Anak Negeri, pada

umumnya, tradisi nenek moyangnya tetap dipertahankan, terutama yang berasal

dari keturunan Cina. Demikian juga agama yang dianutnya, terutama keturunan

Arab, pada umumnya tetap dipertahankan, sekalipun mereka mendiami sebuah

Negeri yang pemeluk agama Anak Negerinya berbeda. Saat akan melaksanakan

ibadah berjamaah misalnya, umumnya mereka melakukan ibadah di Negeri yang

sama agamanya, atau ke kota terdekat.

37

Page 38: Isi Makalah

Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena

hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud

termasuk PELA dan GANDONG, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial

lain, seperti pendidikan anak, atau acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar

kenegaraan. Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang,

terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi,

sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini, lebih dimotivasi oleh

kepentingan ekonomi semata.

Berdasarkan gambaran antropologis dan sosiologis di atas, maka

sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku

Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Serani,

Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok

dengan kelompok lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan

sosial Anak Negeri Serani dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol

ialah nilai-nilai budaya PELA atau GANDONG yang diyakini mempunyai

kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok

masyarakat ini. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat

kegotong-royongan antar kedua Negeri yang yang mempunyai hubungan pela

atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini, dalam realitasnya memasuki area

identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah,

dimana Negeri Serani merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan

(biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian sebaliknya,

Negeri Salam merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan dan

bersama-sama membangun gereja. Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban

sosial, moral, dan ritual, dan sama sekali tidak ada nuansa ekonomi didalamnya.

Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi atau-pun

mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut oleh Anak Negeri tiap

Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai

perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut.

Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh

kepentingan ekono-mi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi

38

Page 39: Isi Makalah

perekat hubungan sosial antar kedua kelompok masyarakat ini, bukan agama,

tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang

yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik

petuanan Negeri Serani. Sedangkan Orang Dagang dagang asal Negeri lain, pada

umum-nya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkat oleh kekerabatan

karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri

terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain, berbeda dengan yang

berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat

sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar

Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang diluar kesatuan budaya.

Karena itu, ada perlakuan yang berbeda dari Anak Negeri terhadap Orang Dagang

yang berasal dari Negeri lain dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah.

Namun ada perlakuan yang sama kepada kedua sub kelompok Orang Dagang ini,

ialah kedua-duanya tidak diberikan hak dalam penguasaan Tanah Datiatau Tanah

Negeri.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, secara sosiologis dan antropologis, pola

hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Maluku Tengah, sudah

mengandung potensial konflik, karena adanya sentimen kelompok, baik dalam

konteks Salam-Serani, Anak Negeri-Orang Dagang, maupun secara kesatuan

budaya. Namun demikian, sentimen kelompok ini, tereliminasi dengan kearifan

budaya lokal, maupun kepentingan ekonomi yang substitusional dalam batasan

kewajaran, sehingga konflik sosial tidak termanifest. Dengan kata lain, potensi

tersebut dapat diredam dan mengendap pada bagian terdalam struktur kepribadian

masyarakat, karena institusi sosial budaya lokal masih berfungsi dengan baik

sebagai katup pengaman yang mampu meminimalkan eksplosi sosial yang

bernuansa primordial.

 

Kota-kota di Maluku Tengah, sama seperti kota lainnya dimanapun,

terbentuk karena adanya pusat pemerintahan dan kegiatan politik, pusat kegiatan

ekonomi, maupun pusat kegiatan pendidikan. Karena itu, kota lazim menjadi

39

Page 40: Isi Makalah

pusat konsentrasi manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, maupun

agama dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.

Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan pemerintahan dan politik,

ekonomi maupun pendidikan, di Maluku, mempunyai daya tarik bagi masyarakat

dari berbagai penjuru desa yang ada di Maluku maupun luar Maluku. Karena itu,

proses migrasi secara spontan terjadi ke Kota Ambon sekitar permulaan abad 19,

dimana para migran Anak Negeri Serani dari daerah pedesaan datang ke Kota

Ambon umumnya untuk kepentingan pendidikan, sedangkan Anak Negeri Salam

datang lebih untuk kepentingan ekonomi, yakni sebagai pedagang dan sedikit

sekali yang datang untuk kepentingan pendidikan, dan Orang Dagang dari luar

bermigrasi ke Kota Ambon untuk kepentingan ekonomi semata. Para Migran dari

daerah pedesaan ke Kota Ambon, mem-bentuk komunal-komunal yang segregatif

berdasarkan latar belakang agama sesuai dengan segregasi teritori di pedesaan,

walaupun dalam sebuah komunal tidak lagi homogen seperti Kon-sep Anak

Negeri - Orang Dagang. Sebaliknya, para pendatang dari wilayah-wilayah lain

dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa, membentuk komunal-komunal yang

segregatif berdasarkan latar belakang etnik. Pola pemukiman yang segregatif di

Kota Ambon dengan masyarakat yang semakin heterogen ini, membentuk

sentimen kelompok dalam berbagai latar belakang, yaitu sentimen kelompok

agama, ikatan negeri, maupun etnik yang rawan konflik.

Seiring dengan perkembangan kepemerintahan dan politik, pendidikan,

dan ekonomi, Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan tersebut, semakin

dipadatkan dengan para migran yang tidak hanya berasal dari daerah pedesaan,

tetapi juga dari daerah-daerah lain disekitarnya, terutama Daerah Sulawesi

Selatan. Dengan perkembangan Kota Ambon yang semakin pesat ini, maka Kota

Ambon menjadi tumpuan untuk mencari lapangan kerja baru. Orang Ambon

Serani, dengan bekal tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, mempunyai

orientasi kerja pada biro-krasi, sebaliknya Orang Ambon Salam sebagian besar

mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil. Pendatang suku

bangsa Cina dan Arab, yang pada dasarnya menda-tangi Maluku karena

kepentingan ekonomi, berorientasi kerja pada sektor ekonomi berskala me-nengah

40

Page 41: Isi Makalah

dan besar, sedangkan para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara,

mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil.

Sejalan dengan perkembangan Kota Ambon yang demikian pesat, dan

proses migrasi masuk yang tidak diimbangi dengan kebijakan kependudukan yang

berbasis pada daya dukung pulau, mengakibatkan semakin tingginya tingkat

kepadatan penduduk. Dengan tingginya ke-padatan penduduk ini, maka ruang

kerak penduduk semakin sempit, sehingga persaingan se-cara ekonomis, baik

terhadap ruang (tanah) maupun lapangan kerja, mengakibatkan semakin tingginya

potensi konflik antar kelompok masyarakat.

Sehubungan dengan perkembangan ekonomi, terutama terpuruknya harga

cengkeh, akibat kebijakan Tata Niaga Cengkeh yang monopolistik, maka

kehidupan ekonomi para petani cengkeh di Maluku semakin sulit dari waktu ke

waktu. Anak Negeri Kristen yang selama ini tidak berbakat di sektor swasta,

sebab selama ini orientasi kerja hanya pada birokrasi, mencoba mengalihkan

aktivitas ekonomi keluarga pada sektor ekonomi. Saat akan memasuki dunia

karier yang baru, yakni sebagai wirausahawan, sudah ada "barier" , yaitu

kelompok masyarakat lain, yakni Anak Negeri Islam dan Orang Dagang, baik dari

etnis Buton, Bugis/Makassar, Arab, maupun Cina, yang lebih mapan dalam

berbagai aspek manajerial usaha. Selain itu, pola rekruitmen pegawai birokrasi

yang cenderung berpendekatan koneksitas (KKN), menimbulkan ketersinggungan

sosial ekonomi dikalangan para pencari kerja yang sangat minim koneksinya pada

instansi birokrasi.

Beragamnya motivasi kelompok-kelompok dalam masyarakat di Kota

Ambon ini, dan terjadinya berbagai ketimpangan sosial, mengakibatkan terjadi

perubahan pola hubungan sosial, terutama pada kelompok masyarakat asal

Negeri-Negeri, dari pola hubungan yang berbasis pada budaya tolong menolong

dan saling menghormati, berdasarkan kewajiban sosial, moral, dan ritual, menjadi

orientasi kepentingan yang bersifat ekonomis. Perubahan hubungan sosial ini,

mengakibatkan semakin bertambah mengentalnya solidaritas kelompok yang

berbasis pada agama, sehingga potensi konflik di Kota Ambon semakin tajam.

 

41

Page 42: Isi Makalah

Menyimak pola hubungan sosial masyarakat di Maluku Tengah yang

dikemukakan di atas, pada dasarnya kehidupan masyarakat menyimpan potensi

konflik. Negeri-negeri terpola pada perbedaan-perbedaan kelompok, baik terkait

dengan teritori maupun agama, yaitu Negeri Salam dan Negeri Serani. Pembagian

kelompok negeri ini menimbulkan solidaritas primordial yang kuat di kalangan

anggota kelompok. Disatu pihak terdapat solidaritas kelompok yang berbasis pada

negeri, dilain pihak terdapat juga solidaritas kelompok yang berbasis pada agama.

Dalam realitas kehidupan sosial, perbedaan kelompok ini direkat oleh kebudayaan

lokal, yaitu adat, karena adanya kesatuan budaya yang dianut oleh masyarakat di

Maluku Tengah. Konsep Salam-Serani sebenarnya merupakan sebuah totalitas

Orang Ambon dalam konteks budaya. Hubungan-hubungan pela dan gandong

merupakan jaringan kesatuan yang luas, dan menjadi perekat antar kelompok

masyarakat yang berbeda, sebagai sebuah totalitas dan kesatuan budaya.

Dalam perkembangan kemasyarakatan dan kebangsaan, potensi konflik

antar kelompok masyarakat, baik di Maluku Tengah maupun Indonesia pada

umumnya, tidak dikelola melalui tahapan pluralisme yang disertai dengan

pemberdayaan katup-katup pengamannya (safety valve). Akibatnya, masyarakat

tidak mengetahui bagaimana seharusnya menghargai realitas obyektif,

yaitu kebhinnekaan yang ada, sehingga sikap politik masyarakat tidak pernah

menca-pai tingkat kedewasaan yang memadai untuk berdemokrasi. Perjalanan

berbangsa dan berne-gara selama 32 tahun belakangan ini menunjukan bahwa

manajemen pembangunan Pemerin-tahan Orde Baru sudah mengalami kegagalan

dalam memfasilitasi perkembangan pluralisme dari tahap awal, yakni Pluralisme

Primordial menuju Pluralisme Liberal, untuk selanjutnya mencapai

tahap Pluralisme Konsosiasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan stabilitas

yang melahirkan struktur masyarakat yang didominasi oleh ideologi seragam dan

keseragaman, yang sengaja menihilkan kebhinnekaan, sehingga tertib sosial yang

berhasil dicapai ternyata hanya mencerminkan integrasi sosial politik yang semu,

karena nilai-nilai apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak melembaga

dalam perilaku berbagai kelompok, baik komunitas etnis, agama, maupun antar

golongan.

42

Page 43: Isi Makalah

Dalam perjalanan kenegaraan dan kebangsaan, sejak awal tahun 1970an,

dalam ke-rangka terciptanya stabilitas, maka mulai terintrodusir Paradigma

Mayoritas-Minoritas dalam manajemen pembangunan. Paradigma ini terwujud

dalam berbagai produk undang-undang maupun praktek kenegaraan. Praktek

bernegara dan bermasyarakat yang sangat kental dengan paradigma ini ialah

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dan budaya mohon petunjuk. Kedua bentuk

paradigma ini merupakan apresiasi dari nilai-nilai budaya Jawa yang dipaksakan

pemberlakuannya diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Implikasinya, rasa mayoritas (sense of majority) cenderung mengekspresikan diri

secara terbuka melalui tuntutan-tuntutan dominatif, yang tanpa disadari kemudian

menstimulasi munculnya rasa minoritas (sense of minority), sebagai upaya

resistensi dalam berbagai bentuk.Konsekuensi logis dari sense of majority versus

sense of minority pada lapisan masyarakat bawah (grassroot level), ialah

berkembangnya polarisasi yang cukup kuat. Hal ini terjadi karena berbagai

saluran ekspresi diri yang idealnya berlangsung secara kompetitif dan prestatif

tersumbat oleh kepentingan prestise pribadi dan kelompok, yang

dipraktekan nyaris tanpa moral.

Awal tahun 1990an pendekatan berparadigma mayoritas-minoritas mulai

berubah basis-nya dari dominasi Budaya Jawa, menjadi dominasi keagamaan.

Implikasi terhadap berubahnya basis paradigma mayoritas-minoritas ini, ialah

politisasi agama yang semakin mempertajam konflik sosial dalam kehidupan

masyarakat Maluku, terutama Maluku Tengah, yang memang secara sosiologis

telah hidup dalam Konsep Salam-Serani. Konsep Salam-Serani yang bernuansa

kultural berubah esensinya menjadi Konsep Islam-Kristen yang bernuansa

universal. Akibatnya, terjadi perubahan perilaku sesama Anak Negeri, yang

semula saling mengunjungi ataupun menghadiri acara ritual adat sekaligus dengan

ritual agama, mulai memilah-milah untuk hanya mengunjungi atau menghadiri

acara ritual adat saja.

Pendekatan mayoritas-minoritas berdasarkan nuansa keagamaan,

merupakan embrio hancurnya nilai-nilai kemanusiaan, apalagi jika ditunjang

dengan politisasi agama. Sebab agama mempunyai karateristik yang khas

43

Page 44: Isi Makalah

yaitu "nilai ekslusifistik dan ekspansif", sehingga politisasi agama akan

mendorong berkembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam nuansa-

nuansa eksklusifisme agama. Padahal, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

yang dicita-citakan oleh para founding fathers republik ini, bukan didasarkan pada

pendekatan paradigma mayoritas-minoritas dalam bentuk apapun, tetapi

didasarkan pada tatanan budaya bangsa yang ber BHINNEKA dan mampu

mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Dalam berbagai dimensi pembangunan selama ini, baik kepemerintahan,

ekonomi, dan sosial, pendekatan kuantitatif selalu dikedepankan yang

diterjemahkan sebagai demokrasi. Padahal esensi demokrasi bukan terletak pada

angka-angka statistik, tetapi pada kualitasnya, yaitu bagaimana mendorong

seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pem-bangunan bangsa,

berdasarkan nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai kultural

yang hidup dalam masyarakat di Maluku ialah per-saudaraan dan saling

menghargai yang menembusi sekat-sekat agama. Nilai-nilai ini selama berabad-

abad telah terbukti men-ciptakan hubungan persaudaraan dan saling menghargai,

sehingga interaksi sosial yang dinamis antara seluruh lapisan dan golongan

masyarakat di Maluku, dapat berlangsung dalam nuansa rasa persaudaraan yang

tinggi dan saling tolong-menolong, sebagai wujud sebuah kewajiban sosial, moral,

dan ritual.

Nilai-nilai kultural ini, mulai mengalami degradasi, seiring dengan politik

pembangunan yang mengedepankan pendekatan-pendekatan kuantitatif

dengan paradigma mayoritas-minoritas berdasarkan keagamaan. Akibatnya,

masyarakat di Maluku, terutama di Kota Ambon, terkotak-kotak dalam sekat-

sekat agama, sehingga nuansa kebangsaan yang berBHINNEKA mulai

surut, diganti dengan nuansa mayoritas-minoritas yang berbasis agama. Dampak

langsung ialah, hancurnya nilai dan pranata kultural yang selama ini menjadi

perekat dalam kehidupan masyarakat di Maluku, bahkan kemungkinan besar di

daerah-daerah lain di Indonesia juga. Hancurnya nilai dan pranata kultural

mengakibatkan masyarakat terkotak-kotak, sehingga timbul rasa superioritas

mayoritas terhadap golongan minoritas berdasarkan agama. Sebaliknya, golongan

44

Page 45: Isi Makalah

minoritas merasa eksistensinya terancam dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang didasarkan pada hakekat BHINNEKA TUNGGAL IKA yang

berbasis pada tatanan budaya. Rasa superioritas mayoritas di satu sisi berhadapan

dengan rasa terancamnya eksistensi go-longan minoritas di lain sisi, karena

paradigma mayoritas-minoritas berbasis agama, menjadi ancaman terhadap

integrasi dan keutuhan bangsa.

Ketika gong reformasi memberi ruang yang besar bagi terbukanya saluran

aspirasi, timbul dorongan bereksperimen politik dengan resiko tinggi, yang

semula dianggap sebagai perilaku demokratis, ternyata kemudian membuka jalan

bagi luapan ekspresif yang cenderung anarkhis dari sense of majority, yang

merangsang energi sosial massa pada lapisan bawah, muncul kepermukaan

sebagai kekuatan destruktif yang semakin mempertajam polarisasi dan jurang

antar etnis, agama, dan golongan. Dalam konteks ini, isyu agama sebagai salah

satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen kelompok, menjadi pilihan

strategis untuk menggalang kekuatan massa, sehingga agama menjadi kendaraan

politik. Kondisi seperti ini, terjadi di Indonesia, sehingga budaya lokal di Maluku

Tengah, terutama di Kota Ambon, terpengaruh dan ikut menjadi lebih lemah lagi,

sehingga hampir tidak ada lagi katup pengaman untuk menentralisasi konflik

sosial yang memang sudah potensial.

 

4.1.2 Akibat Kerusuhan

Kerusuhan Ambon yang berlarut-larut selama dua bulan, telah

mengakibatkan kerugian yang tak ternilai. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di

tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama

dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola Kerusuhan Ambon sama

sekali berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan

faktor pemicunya juga sangat fundamental, serta meliputi banyak

variabel (complicated).

Kerusuhan di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999,

diawali dengan terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama

Islam dengan seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua

45

Page 46: Isi Makalah

kelompok masyarakat berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok

Kristen. Awal kerusuhan terjadi di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di

Batu Merah, dimana seorang pendatang beragama Islam dan seorang Anak Negeri

Kristen, sopir mobil angkutan kota Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian,

kemudian si Anak Negeri Kristen meninggalkan lokasi kejadian dan kembali

dengan beberapa temannya yang sekampung dan mengejar si pendatang beragama

Islam. Si pendatang beragama Islam ini selanjutnya melarikan diri memasuki

Desa Batu Merah dan kembali dengan massa Islam yang membawa berbagai

senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen dan teman-temannya,

sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang berbatasan dengan Desa

Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu Merah mengejar

massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan penghadangan,

sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok massa, yang

berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga Mardika. Saat

itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai mengetahui adanya

pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya solidaritas kelompok

yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana dikonstatasi

sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari Belakang

Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju

Mardika guna memberi membantu.

Pada waktu yang hampir bersamaan, dalam jarak yang hampir 3 kilometer

ke arah barat Desa Batu Merah, sekelompok massa Islam yang berasal dari Soa

Bali, Jalan Baru, dan Waihaong, melakukan provokasi terhadap warga Silale yang

beragama Kristen, dengan alasan bahwa Desa Batu Merah telah dibakar oleh

Orang Kristen. Saat itu, terjadilah saling melempar dengan batu antara kedua

kelompok masyarakat ini, dan berakhir dengan dibakarnya 12 (dua belas) buah

rumah penduduk dan 1 (satu) buah gereja, pada malam tanggal 19 Januari 1999

itu. Dengan terbakarnya rumah-rumah penduduk Kristen di Mardika dan Silale,

serta gereja di Silale, mulailah terjadi akumulasi massa dari kedua kelompok

agama di berbagai sudut jalan Kota Ambon, diikuti dengan saling menyerang

rumah dan tempat ibadah di berbagai tempat.

46

Page 47: Isi Makalah

Pada tanggal 19 Januari 1999 malam dan dilanjutkan besok harinya, warga

lima desa Islam di Jazirah Leihitu, yaitu Wakal, Hitu, Hila Islam, Mamala, dan

Morela, mulai melakukan penyerangan terhadap 125 anak-anak remaja Kristen

yang berasal dari Kota Ambon yang sedang melakukan kegiatan retreat di Field

Marine Station milik Universitas Pattimura di Hila. Akibat penyerangan ini, 6

(enam) orang dari rombongan anak-anak remaja ini terbunuh, sedangkan yang

lainnya berhasil menyelamatkan diri melalui laut maupun naik gunung ke Desa

Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan dibantu oleh penduduk Desa Asilulu, dan

warga Buton di petuanan desa Seith.

Tanggal 20 Januari 1999 pagi, warga kelima desa Islam ini menyerang dan

membakar rumah-rumah penduduk dan gereja tua di Desa Hila Kristen. Warga

Desa Hila Kristen semuanya sempat menyelamatkan diri ke Desa Seith dan

Kaitetu yang beragama Islam, dan dibantu oleh penduduk kedua desa ini maupun

warga Buton disekitarnya, dan dievakuasi ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri,

dengan berjalan kaki melalui gunung. Aksi penyerangan massa dari kelima desa

ini kemudian meluas ke arah jalan raya menuju Kota Ambon dengan berjalan

kaki, yang disertai dengan pembakaran rumah penduduk dan pembunuhan di

lokasi-lokasi; Dusun Telaga Kodok, Dusun Benteng Karang, Desa Hunuth/Durian

Patah, Desa Waiheru, Desa Nania, dan Desa Negeri Lama. Ironisnya, dalam

perjalanan panjang aksi pembantaian dan pembakaran oleh massa dari kelima

warga desa tersebut terhadap pemukiman penduduk Kristen ini, massa melewati

beberapa pos dan barak militer, tetapi tidak ada tindakan pencegahan oleh aparat

keamanan setempat, kecuali yang dilakukan oleh aparat dari Satuan Brimob di Air

Besar, Desa Passo. Dalam aksi pembantaian dan pembakaran ini 34 (tiga puluh

empat) warga beragama Kristen meninggal dunia, termasuk seorang pendeta

wanita dan seorang pendeta laki-laki, serta ratusan rumah penduduk dan sejumlah

gereja, maupun harta benda lainnya terbakar dan dijarah. Alasan aksi pembantaian

dan pembakaran serta penjarahan yang dilakukan oleh massa dari kelima desa

Islam ini, ialah adanya informasi bahwa Mesjid Al fatah yang menjadi

representasi identitas umat Muslim di Kota Ambon sudah dibumi hanguskan oleh

Orang Kristen.

47

Page 48: Isi Makalah

Informasi mengenai pembantaian, pembakaran, dan penjarahan atas

pemukiman-pemukiman Kristen oleh massa dari kelima desa Islam ini,

mengakibatkan sentimen dan solidaritas kelompok di kalangan Umat Kristen di

Kota Ambon dan sekitarnya tereksploitasi dan muncul ke permukaan secara tidak

terkendali sebagai reaksi atas aksi massa tersebut, sehingga terjadilah

penyerangan dalam bentuk pembakaran dan pembantaian terhadap Umat Islam di

pemukiman-pemukiman Islam maupun obyek-obyek ekonomi yang sebagian

besar dikuasai oleh Umat Islam. Dalam kerusuhan antar kelompok masyarakat di

Kota Ambon dan sekitarnya ini, aparat keamanan yang ada, tidak sama sekali

berfungsi secara maksimal sesuai tugasnya, malahan menurut penilaian kedua

kelompok masyarakat yang sedang terlibat dalam kerusuhan ini, aparat keamanan

bertindak diskriminatif. Hal ini terbukti dengan puluhan warga sipil yang

meninggal dan luka-luka kena tembakan aparat keamanan, dan seorang aparat

anggota Kostrad dari Batalion Linud 431 yang berbasis di Ujung Pandang dan tiba

di Ambon tanggal 20 Januari 1999, terbunuh oleh warga sipil di Benteng.

Kerusuhan yang terjadi di Ambon ini kemudian meluas ke berbagai tempat

di Maluku, yaitu di Sanana, di Saumlaki, dan di Seram (pada berbagai lokasi).

Kerusuhan yang terjadi di luar Ambon ini, berupa pembunuhan dan pembakaran

rumah penduduk dan tempat ibadah antar kedua kelompok agama Islam dan

Kristen.

Kerusuhan sosial yang sempat terhenti tanggal 24 Januari 1999, kemudian

berlanjut lagi pada tanggal 14 Februari 1999 berupa penyerangan massa dari

beberapa Desa Islam di Pulau Haruku terhadap Desa Kariu yang beragama

Kristen, mengakibatkan puluhan orang korban meninggal dunia dan luku-luka dan

ratusan rumah penduduk serta dua buah gereja di Desa Kariu terbakar. Kerusuhan

di Kariu ini berdampak pada solidaritas Umat Kristen di Saparua, sehingga terjadi

penyerangan pada beberapa pemukiman Islam di Saparua, yang mengakibatkan

puluhan rumah penduduk terbakar dan puluhan korban jiwa luka-luka dan

meninggal dunia.

Tanggal 23 - 25 Februari 1999 kerusuhan yang bernuansa agama kembali

terjadi di Batu Merah Dalam, yaitu penyerangan dan pembakaran rumah-rumah

48

Page 49: Isi Makalah

penduduk Kristen oleh massa Islam yang berasal dari Batu Merah dan Kampung

Galunggung serta Dusun Rinjani. Dalam kerusuhan ini puluhan korban luka-luka

dan meninggal dunia terkena tembakan aparat maupun senjata-senjata tradisional,

serta puluhan rumah terbakar.

Tanggal 1 Maret 1999 kembali terjadi kerusuhan yang bernuansa agama di

Dusun Ahoru dan Dusun Rinjani, berupa saling menyerang antar massa dari

kedua kelompok agama yang berdiam di kedua dusun tersebut. Dalam kerusuhan

ini, terdapat sejumlah orang meninggal dunia dan luka-luka, serta sejumlah rumah

penduduk terbakar. Kerusuhan ini kemudian dilaporkan oleh Kepala Kanwil

Departemen Agama Propinsi Maluku kepada Menteri Agama bahwa warga

Muslim yang sedang sholat subuh diserang dan ditembak di dalam mesjid.

Laporan ini kemudian dikonfirmasi oleh beberapa tokoh Islam lainnya dalam

rangka pemberitaan, sehingga selama beberapa hari ekspose berita dilakukan

secara tendensius oleh berbagai media massa nasional baik elektronik maupun

cetak. Akibatnya, timbullah gerakan solidaritas Islam secara nasional dengan

tujuan ber-jihad di Ambon.

Kerusuhan masih berlanjut secara massal pada tanggal 5 Maret 1999. Ini

diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh

gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula

berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti

oleh pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para

pengungsi beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang

beragama Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya.

Kerusuhan ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan

ringan maupun yang meninggal.

Disamping garis besar kronologis peristiwa kerusuhan yang digambarkan

di atas, sebetulnya terjadi pula beberapa tindak kriminal yang dilakukan secara

berkelompok oleh massa Islam tertentu seperti pembunuhan (ditikam atau

diparang) orang-perorangan yang beragama Kristen dan penculikan seorang dosen

Fakultas Hukum Unpatti yang kebetulan melewati perkampungan warga Islam.

49

Page 50: Isi Makalah

Hal yang sama terjadi pula bagi orang Islam yang melewati perkampungan orang

Kristen.

Saat ini tampaknya kerusuhan massal sudah bisa dikendalikan oleh aparat

keamanan, bahkan telah diupayakan pula penyerahan berbagai senjata tajam dari

warga perkampungan atau desa Islam dan Kristen, sehingga dapat mendukung

proses rekonsiliasi yang terus-menerus dilakukan. Untuk menciptakan rasa aman

dan kenyamanan hidup bagi warga masyarakat kota Ambon dan sekitarnya,

diperkirakan paling tidak periode "mengatasi kerusuhan" oleh aparat keamanan ini

akan membutuhkan waktu kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan ke depan,

sebelum memasuki tahap "pemulihan (recovery) hubungan-hubungan sosial"

dalam kehidupan bermasyarakat antar kedua kelompok masyarakat.

 

4.1.3 Kesimpulan & Pemecahan Masalah Kerusuhan Ambon.

Berdasarkan uraian singkat mengenai kondisi psiko-sosial dan garis besar

fakta lapangan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku,

merupakan sebuah hasil rekayasa (entah siapa aktor intelektualnya) untuk

tujuan tertentu, antara lain (i) merusak tatatan kultur masyarakat Maluku,

dan (ii) mendiskreditkan umat Kristen di Maluku, serta (iii) merusak

sistem perekonomian dan sistem pendidikan di Maluku. (iv) memberi

aksentuasi dalam rangka merubah stereotip predikat orang Ambon yang

dikenal sebagai orang Kristen. Perekayasa kerusuhan ini, adalah orang

atau kelompok yang memahami benar kondisi psiko-sosial masyarakat di

Maluku, terutama di kalangan Umat Kristen.

2. Kerusuhan yang melanda berbagai sudut di Daerah Maluku ini, telah

dijadikan komoditas politik untuk melemahkan posisi tawar Umat Kristen

di Maluku, sebagai salah satu anak kandung Ibu Pertiwi, dalam proses

pembangunan bangsa, baik secara nasional maupun lokal. Sebab,

kerusuhan ini bukannya tidak mungkin terkait erat dan merupakan

50

Page 51: Isi Makalah

kelanjutan dari berbagai tragedi berdarah lainnya di Indonesia terutama di

Pulau Jawa yang menelan korban jiwa dan kerugian material dari umat

Kristiani.

3. Nilai-nilai kultural masyarakat di Maluku yang sarat dengan nuansa

persaudaraan, yang selama ini hidup dan dipraktekan dalam kehidupan

kemasyarakatan, telah berubah menjadi rasa saling mencurigai dan

mendendam, antara kelompok masyarakat Kristen dan kelompok

masyarakat Islam di Maluku. Tatanan nilai budaya lokal mengalami

degradasi bahkan kerusakan akibat menguatnya sentimen nilai universal

(agama Islam) dan pengaruh perspektif kebijakan pembangunan yang

berlatar belakang pendekatan mayoritas-minoritas.

4. Rusaknya berbagai infra-struktur ekonomi dan terganggunya aktivitas

ekonomi masyarakat, akan berdampak terhadap kelangkaan bahan

kebutuhan pokok dan inflatoir dalam jangka pendek, sedangkan dalam

jangka panjang, akan sangat mengganggu dinamika pembangunan di

Daerah Maluku pada umumnya, dan khususnya Kotamadya Ambon.

5. Terganggunya aktivitas pendidikan pada semua jenjang pendidikan di

Kotamadya Ambon dan sekitarnya, akan mempengaruhi proses perbaikan

kualitas sumber daya manusia di Maluku, yang dalam jangka panjang akan

melemahkan posisi tawar Orang Maluku dalam pasar kerja lokal maupun

nasional.

6. Kredibiltas pemerintah daerah, terutama Pemerintah Daerah Maluku,

Kotamadya Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah, sedang diuji, bahkan

kemungkinan besar sedang dirongrong oleh pihak-pihak tertentu dengan

tujuan politis khusus.

7. Pers nasional belum berfungsi sebagai pers yang menjunjung tinggi nilai

dan etika jurnalistik, sebab berita-berita yang dipublikasi tidak

melalui "check and recheck" secara proporsional dari semua kelompok

masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan. Akibatnya, Orang Kristen di

Maluku rusak citranya dimata publik nasional dan internasional, sehingga

keselamatan jiwa dan rasa aman Orang Maluku Kristen pada berbagai

51

Page 52: Isi Makalah

tempat di Indonesia terancam, hingga aktivitas pendidikan dan ekonomi

keluarganya terganggu. Hal ini memberi indikasi bahwa ada sebuah

konspirasi besar dan sistematis untuk mengancam eksistensi Orang

Maluku Kristen di Indonesia.

8. Manajemen operasional keamanan dalam mengeliminasi meluasnya

kerusuhan, maupun dalam mengatasi kerusuhan, tidak berjalan dengan

baik, sehingga perilaku aparat ke-amanan di lapangan serba canggung dan

membangun citra diskriminatif dalam menangani berbagai kerusuhan.

Bertumpu pada berbagai penjelasan yang dikemukakan sebelumnya, maka

dalam rangka upaya memulihkan hubungan sosial kemasyarakatan antar Anak

Negeri maupun antara Anak Negeri dengan para pendatang atau Orang Dagang,

diperlukan solusi yang komprehensif dan integratif, baik pada aras nasional

maupun lokal. Pemecahan masalah dengan pendekatan demikian tidak bisa

dihindari karena kerusuhan Ambon merupakan akumulasi masalah yang

dipengaruhi baik oleh faktor-faktor nasional (eksternal) maupun internal

(lokal/daerah). Disamping itu, untuk mencapai tahap pemulihan hubungan-

hubungan sosial yang adil, jujur dan permanen, dibutuhkan adanya konsesi yang

harus diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pertikaian.

Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa

SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI

akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak

dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa.

Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan

ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang

tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk

menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem

yang berkepanjangan.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh

sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya

terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat

52

Page 53: Isi Makalah

istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,

sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia

sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada

budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya

itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak,

dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-

unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan

meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga

dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan

perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia

sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat

nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,

religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia

dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

4.2 Kerusuhan Poso

Pada tahun 1998, terjadi kerusuhan di kabupaten Poso, Sulawesi tengah,

Indonesia. Kerusuhan ini dikenal dengan sebutan kerusuhan Poso. Kerusuhan

poso berpusat pada masalah tempat pertikaian antara umat Islam dan Kristen.

Kasus Poso berlangsung hampir dua tahun yaitu sejak Desember 1998 sampai

Juni 2000 dan terbagi atas tiga bagian, masing-masing kerusuhan jilid I (25 – 29

Desember 1998) jilid II ( 17-21 April 2000) dan jilid III (16 Mei – 15 Juni 2000)

serta telah menelan korban tewas hampir 300 jiwa, ratusan orang tak diketahui

nasibnya.

53

Page 54: Isi Makalah

Akan tetapi, sampai akhir tahun 2005, kekerasan masih terjadi di Kabupaten Poso

antara lain persitiwa pemenggalan kepala siswa sekolah menengah atas, juga

sebelumnya terjadi ledakan bom. Kekerasan dan pembunuhan tampaknya belum

berhenti dari bumi Sintuwu Maroso (Poso). Berbagai tindakan itu telah menambah

daftar panjang korban kekerasan yang telah terjadi sejak pecah konflik tahun

1998. Pada tahun 2001, tepatnya 20 Desember, Deklarasi Malinoyang bertujuan

untuk memadamkan pertikaian antara umat islam dan kristen telah ditandatangani

oleh kedua belah pihak dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla dan Susilo Bambang

Yudhoyono.

4.2.1 Kronologis Kerusuhan

Pada hari jumat tanggal 25 Desember 1998, pkl. 02.00 Wita : Terjadi

penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap Korban yang bernama

Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo, pekerjaan

mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh Roy Runtu Bisalemba, umur

18 tahun, agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jl.

Tabatoki – sayo. Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian

bahu kanan dan siku kanan,selanjutnya dirawat di RSU Poso. Pkl. 02.30, Timbul

reaksi dari pemuda-pemuda Remaja mesjid terhadap kasus yang dimaksud dan

beredar isu –isu sbb:

Pelaku penganiayaan (Roy Bisalemba) terpengaruh minuman keras,

sehabis minum di toko lima di jalan Samratulangi.

Anak kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan

telah melontarkan kata-kata “Umat Islam kalau buka puasa pake RW

saja.”

Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I

Rumah Sakit.

Pkl.14.30 Wita. Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya

berjumlah 50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso, menengok

54

Page 55: Isi Makalah

Korban Lk.LUKMAN RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA

dijalan Samratulangi melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu.

Pkl.14.45 Wita, Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal

penduduk milik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel.

Kasintuwu dan beberapa rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo.

Massa merusak bangunan dan isi perabot rumah tangga dengan batu, kayu, dan

senjata tajam. Pkl. 15.15 Wita. Sekelompok pemuda/remaja berjumlah sekitar 300

orang merusak penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA di Jln.P.Nias

Kel.Kayamanya, menggunakan batu dan kayu. Pkl. 18.45. Wita .Massa berjumlah

300 orang merusak tempat Billyard dijalan P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa

dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan massa kelurahan Moenko

berjumlah sekitar 1000 orang melakukan pengrusakan losmen/diskotik LASTI

dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo, hingga bangunan rumah dan diskotik serta isi

rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan.

Pkl. 19.00 Wita, Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan

penyembrangan kuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa

remaja Islam Masjid kel. Bone Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit

ketegangan antara aparat dengan massa yang tetap memaksakan kehendaknya

menembus barisan PHH, namun massa dapat dikendalikan. Pkl. 20.20 Wita,

Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju kompleks

pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual

miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan pengrusakan dengan

cara melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan besi

dan senjata tajam /parang :

Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.

Toko Hero di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.

Toko Asia di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.

Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar di Jalan Raya.

Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang

Resepsionis dan ruang penerima tamu hotel.

55

Page 56: Isi Makalah

Penginapan WatiLembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan

tempat/hotel pecah.

Rumah makan Arisa di Jln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh

minuman keras dikeluarkan dan dipecahkan di Jalan Raya dan sebagaian

lagi dibakar.

Pkl. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan[4].

4.2.2 Periodisasi Konflik

Kerusuhan Poso yang dimulai pada tahun 1998 merupakan serangkaian konflik

sosial yang berkepanjangan. Konflik pertama terjadi sekitar bulan Desember 1998

yang kemudian disusul dengan yang kedua kalinya pada bulan April 2000.

Konflik ketiga yang terjadi pada minggu keempat bulan Mei 2000 merupakan

konflik terbesar dibandingkan dengan kedua konflik sebelumnya. Pada konflik

jilid ketiga ini terjadi cukup banyak korban, tidak saja dari segi materi (perusakan

rumah tinggal dan infrastruktur sosial) namun juga terjadi banyak korban jiwa.

Pengungsian besar-besaran terjadi pada daerah konflik yang terkonsentrasi di tiga

kecamatan yaitu Poso Kota, Poso Pesisir, dan Lage.

Konflik ini dimuali dari perkelahian di antara dua orang pemuda yang berbeda

agama, kemudian berkembang menjadi perkelahian di antara komunitas kampung-

kampung Muslim dan Kristen, di mana selama gelombang kerusuhan pertama

(Desember 1998) dan kedua (April 1998), terutama kelurahan-kelurahan Kristen

di kota Poso menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran, dibarengi dengan

gelombang pengungsian penduduk Kristen dari kota Poso ke kota-kota Tentena

(di Kabupaten Poso sebelah selatan), Palu, dan Bitung serta Manado (Sulawesi

Utara).

Secara garis besar, kerusuhan Poso terjadi dalam 3 jilid yaitu :

1. Jilid 1, “Kerusuhan Poso I.” 25-29 Desember 1998

2. Jilid 2, “Kerusuhan Poso II.” 17-21 April 2000.

56

Page 57: Isi Makalah

3. Jilid 3, “Kerusuhan Poso III.” 16 Mei – 15 Juni 2000.

Dan puncaknya terjadi pada jilid ke 3, konflik menggunakan senjata api, dimana

komunitas Muslim berada di atas angin. Hal tersebut terbukti dari kehebatan

serangan kilat di lima desa kecamatan Poso Pesisir. Padahal, akar konflik itu,

seperti yang adalah upaya komunitas-komunitas pribumi Poso – khususnya suku-

suku Lore, Pamona, dan Mori – untuk memperjuangkan kedaulatan mereka di

kampung halaman mereka sendiri. Kedaulatan yang mereka rasa sudah terancam

oleh dominasi para migran dari Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan di bidang

ekonomi, politik, dan budaya. Terutama setelah pembangunan jalan raya Trans-

Sulawesi mempermudah arus migrasi dari Selatan ke Kabupaten Poso yang kaya

dengan berbagai sumber daya alam. Paradigma ‘konflik agama’ sudah harus

diganti dengan paradigma ketergusuran komunitas-komunitas pribumi Kabupaten

Poso. Makalah ini lebih menyoroti komunitas-komunitas pribumi yang beragama

Kristen, sebab merekalah yang kini paling tergusur dari pusat-pusat kekuasaan

politik, ekonomi, dan budaya.

4.2.3 Akar Permasalahan

Dari data yang didapatkan, bahwa umumnya konflik ini terjadi karena

dipengaruhi oleh isu identitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Sebesar 26,4 %

responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan

keretakan hubungan antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok

identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan

kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan

suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan, terlihat dari

jawaban responden sebesar 19,4 % dan 16,5 %. Sementara itu, penguasaan

lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya

konflik, sebsar 15,6%. Penyebab konflik kerusuhan poso dibagi menjadi 2 faktor

yaitu faktor-faktor lokal dan kepentingan-kepentingan nasional

4.2.4 Solusi dari konflik di poso

57

Page 58: Isi Makalah

Mungkin saja salah satunya yaitu kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa

harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan

tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah

politik. “Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha,

ekonom, budayawan, anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun

secara paralel. Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso

segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus bersatu.

“Mereka harus bersanding, bukannya bertanding,”.

Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun

upaya penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta

anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang

menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak

asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah

masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus, karena dalam keadaan

seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.

Jika diamati secara jujur, apa yang sedang dialami di Poso tidak saja aneh tapi

juga tak masuk di akal sehat. Sebab, semua orang tahu bahwa soal penggunaan

senjata bagi warga sipil bukankah aturannya cukup ketat. Artinya tidak sembarang

orang bisa membawa atau memiliki senjata apalagi yang mematikan. Anehnya,

kenapa justru warga sipil khususnya di Poso begitu bebas memiliki senjata

Nah, untuk memecahkan sebuah permasalahan seperti yang sedang terjadi di Poso

sebenarnya tidaklah terlalu sulit bila semua pihak mau berikrar secara serius dan

tulus. Artinya, semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang

menghimpitnya selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu.

Pencegahan sedini mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara

masyarakat harus diutamakan. Terutama, perlunya kewaspadaan terhadap gerak-

gerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam.

Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar dilaksanakan.

Harapan kita masyarakat Poso akan kembali dapat hidup dengan tenang dan

damai.

58

Page 59: Isi Makalah

BAB 5. KERUSUHAN SOSIAL KARENA AGAMA

5.1 Konflik Ambon-Lease

Dilihat pada tipologisnya, maka konflik sosial bernuansa agama di AmbonLease

sebagai konflik horisontal, akan tetapi jika dilihat dari intensitas keterlibatan

pelakunya, dapat juga konflik vertikal.

1. Pra konflik

Sebelum terjadinya Tragedi Idul Firti Berdarah 19 Januari 1999, lebih

dahulu adanya penyerangan yang dilakukan oleh warga Kristiani terhadap

perkampungan masyarakat Muslim Bugis, Buton dan Makassar (BBM) tanggal 12

November 1998 di Wailette. Penyerangan terjadi lagi tanggal 27 Desenber 1998

di kampung Bak Air, dan juga terjadi serangan terhadap warga Muslim di Dobo-

Aru pada tanggal 14 Januari 1999. Melihat tiga peristiwa tersebut (dan

menghubungkannya dengan tragedi 19 Januari 1999 dan seterusnya) dapat

dipahami, bahwa umat Islam setempat sedang atau telah dijadikan target uji-coba

terhadap rencana dan konspirasi serangan yang lebih besar lagi oleh pihak

penyerang. Keadaan tersebut menunjukkan juga bahwa umat Islam telah menjadi

korban serangan pihak Kristiani, jika peristiwa ini berdiri sendiri dan tidak

merupakan kaitan dengan kasus-kasus yang sama dan dalam skala yang lebih

luas dan besar. Dan ternyata menjadi jelas ketika pada awal bulan Ramadhan

1419 H terdengar isu akan ada gerakan pengusiran suku BBM dari Maluku,

khususnya pulau Ambon, serta tersiar berita akan adanya orang-orang kiriman

dari Jakarta yang sangat menggelisahkan masyarakat.

2. Tragedi Idul Fitri Berdarah

Pada tanggal 1 Syawal 1419 H bertepatan dengan tanggal 19 Januari 1999

kota Ambon yang seharusnya menjadi wadah silaturrahmi antar mayarakat, hari

kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa, dikotori

oleh kelompok Kristiani. Suasana kota Ambon pun mencekam karena terjadi

59

Page 60: Isi Makalah

serangan secara frontal dari berbagai penjuru. Setelah peristiwa adumulut antara

Nursalim dan Yopy pukul 14.00 WIT berlanjut terjadinya perkelahian dan

pembakaran dua rumah yang terletak antara Batumerah dan Mardika serta

terlibatkannya orang-orang misterius, di sini alat picu konflik telah disulut.

Menyusul pukul 16.30 sampai pukul 21.00 saling menyerang dan membakar

rumah dan rumah ibadah.

Jika diperhatikan dengan seksama, peristiwa-peristiwa tersebut

menandakan bahwa posisi umat Islam sebagai korban sedangkan kaum Kristiani

sebagai pelakunya. Di sisi lain tragedi berdarah ini terkoordinir dengan rapi dan

baik sekali, karena mampu memanfaatkan suasana di mana banyak dari umat

Islam di kota Ambon yang pulang ke kampung untuk merayakan Idul Fitri

bersama keluarganya. Di sini tampak benang-merah antara peristiwa-peristiwa pra

konflik dengan Tragedi Idul Fitri Berdarah, yakni terdapat adanya konspirasi

besar untuk menghancurkan umat Islam. Sementara di pihak lain, menganggap

tindakan seperti ini merupakan sesuatu yang sangat kondisional yang dilakukan

karena semata-mata dorongan fakta di masyarakat adanya dominasi umat Islam,

utamanaya BBM dalam berbagai bidang kehidupan, yang semula berada di pihak

kaum Kristiani, terutama adanya tuantanah-tuantanah jatuh ke tangan para

transmigran, yang masuk ke Ambon-Lease secara besar-besaran dan dengan

kecepatan yang amat tintggi mulai tahun 1970-an.

Jika ada yang mengatakan bahwa pada tahapan-tahapan konflik tersebut

sering terjadi apa yang disebut kedahsyatan konflik atau kanflik luar biasa, dan

industri konflik, comudity conflik. Kedahsyatan konflik karena meningkatnya

tensi konflik melebihi kejadian-kejadian yang sama di mana pun di dunia ini,

dilihat dari jumlah korban harta dan nyawa manusia dalam waktu yang singkat.

Ditambah lagi dengan lama waktu terjadinya konflik dan berlarut-larut tak

kunjung selesai. Demikian pula pada proses pengambilan solusi, yang semestinya

mengarah kepada penurunan suhu konflik, akan tetapi yang didapat adalah

penambahan muatan terhadap terjadinya konflik, diibaratkan jika mematikan api

adalah menyiramnya dengan air yang banyak, tetapi yang terjadi bukannya air

60

Page 61: Isi Makalah

yang disiramkan melainkan bensin dan bensol, yang otomatis daya bakar dan

nyalanya lebih dahsyat dari sebelumnya. Demikian pula situasi konflik mengarah

ke tingkat industri konflik, sebagai alat komuditas, karena kelompok-kelompok

atau individu tertentu yang pada kenyataannya lebih menginginkan hidup serba

konflik karena mereka mampu memanfaatkan atau merekayasa situasi konflik

demi meraih keuntung besar darinya. Bisa terjadi bagi mereka manusia yang tidak

bertanggungjawab, bahwa dengan adanya konflik justeri mendapatkan sumber

kehidupan baru, jadi arena konflik dijadikan sumber mata pencaharian.

Konflik Ambon-Lease telah menelan banyak korban banyak baik harta

dan nyawa, serta menghancurkan pula sendi-sendi kehidupan manusia yang tidak

mungkin pulih dalam waktu singkat, terutama sakit hati dan trauma yang dalam

dan panjang. Semoga Tuhan mau menunjukkan jalan kebaikkan dan kebenaran

kepada hamba-hamba-Nya di Ambon-Lease, terutama anak-anak negeri untuk

bangkit bersama menghadapi tantangan apa pun dan sebesar apa saja guna menuju

hari esok yang lebih baik bagi semuanya. Kembalikan Ambon-Manise.

Berangkat dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa

peristiwa yang terjadi di kampung Batumerah - Islam dan Mardika – Kristen

tanggal 19 Januari 1999 sebagai pemicu konflik. Dan benar, bahwa sebesar dan

setinggi apapun potensi konflik, namun hal itu masih amat ditentukan oleh faktor

pemicunya yang walau sekecil apa pun, namun jika sudah terjadi maka sulit untuk

menghindarkannya. Bahwa akar-akar masalah konflik sudah ada sejauh perjalanan

kehidupan rakyat Ambon-Lease dari masa kehadiran Portugis sampai pasca Orde

Baru. Potensi konflik amat lah besar, dan bukan tidak pernah pecah, akan tetapi

sudah sejak lama juga katup konfliknya pelagandong yang selalu berfungsi

meredakannya (bila terjadi konflik), selama ini selalu menyertainya. Lalu timbul

pertanyaan, di mana keberadaan pelagandung pada saat terjadinya konflik satu

dasawara yang lalu itu?

Oleh karena itu jika terjadi kontroversi tentang siapa yang benar dan siapa

yang salah antara Nursalim dan Yopy, lain lagi masalahnya, dan bukan lagi

61

Page 62: Isi Makalah

semata-mata untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah. Memang ada

dua versi yang muncul, pertama, versi Tim Pengacara Gereja yang diyakini

kebenarannya oleh umat Kristiani, dan kedua, versi Tim Pencari Fakta Muslim

Ambon yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Masingmasing dari kedua

belah pihak mengklaim bahwa versinya lah yang benar dan ketika The Human

Right Watch mengkonfirmasi ke polisi, ternyata versi kedua lah yang diterima.

Dan ternyata yang kemudian muncul adalah orang misterius yang bukan dari

Batumerah dan bukan pula dari Mardika akan tetapi ada dugaan kuat bahwa yang

banyak terlibat konflik adalah preman-preman Ambon Jakarta yang sengaja

dipulangkan dan dimobilisasi untuk menyulut kerusuhan di Ambon. Sepertinya

yang amat penting bagi mereka (para misterius) adalah tersulutnya alat pemicu

konflik. Maka benarlah argumen Smelser, yakni adanya faktor pemercepat atau

pemicu, suatu peristiwa dramatis atau desas-desus mempercepat munculnya

perilaku kekerasan kolektif.

5.2 Konflik Agama Papua

Seperti yang tertera di laporan International Crisis Group (ICG). Menurut Thaha

Muhammad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua, di Papua belakangan ini

berdatangan apa yang disebut orang (sebagai) ‘Kristen Baru’ dan ‘Muslim Baru’.

Mereka ini beraliran keras dan bisa menyulut konflikseperti yang pernah terjadi di

Maluku.

Thaha Mohammad Alhamid [TMA]: Secara terbuka, memang konflik itu

belumkelihatan. Tapi bahwa potensi itu ada, saya percaya. Karena memang

terakhir ini, atau paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, kita kenal, mungkin

istilah yang pas adalah ‘Islam Baru’ dan ‘Kristen Baru’, yang ada di Papua

memang menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda yang jelas, bahwa ruang

perbedaan itu semakin tajam, semakin terbuka.

62

Page 63: Isi Makalah

Konflik agama yang terjadi di papua ini berkaitan erat dengan perda yang

menyulitkan pendirian tempat beribadah salah satu keyakinan (muslim.red). hal

inilah yang akhirnya menjadi pusat perhatian publik. Namun seharusnya hal

seperti ini tidak perlu terjadi apabila pemerintah dengan tegas melindungi

kebebasan agama bagi setiap individu. Seperti yang tertera pada sila satu

pancasila yang notabene menjadi acuan pemerintah dalam menyikapi masalah.

Sebenarnya, akar masalah antara konflik Ambon dan Papua tidaklah berbeda,

yakni prasangka yang buruk dari agama yang satu terhadap agama yang lain.

5.3 Akar-Akar Permasalahan Konflik

1. Pemahaman miring terhadap agama lain

Pertama, pandangan umat Islam. Semangat yang diajarkan dalam system

of beliefs umat Islam Ambon-Lease ini adalah sebuah perilaku dalam

interaksi sosial yang senantiasa harus dibatasi dengan sekat-sekat

keimanan.

Sementara, larangan bergaul secara intensif dengan orang Kristen juga

dimaksudkan untuk melindungi keimanan anak-anak muslim. Dimaksud

agar dengan cara tersebut anak-anak akan selalu terjaga ketetapan

imannya, dan tidak disusupi pemahaman dan keyakinan dari agama

lainnya. Jika dikatakan bahwa sebagai konsekwensi dari hal tersebut di

atas, maka umat Islam memberikan simbol orang Kristen dengan anjing

dan babi, maka hal ini tidak ada pada mereka yang memilki hubungan

pela-gandong. Secara devakto, yang tidak memiliki pela-gandong adalah

penduduk non-Ambon-Lease, yakni BBM, Cina, Arab, Madura, Jawa dan

lainnhya.

Sehubungan dengan temuan-temuan di atas, maka setelah dikaitkan

dengan sistem kekerabatan yang dianut sejak dahulu, pela-gandong

misalnya, yang dapat memansuhkan beberapa pandangan dari yang

tersebut. Tiada sedidkit yang baru muncul ketika terjadi interaksi sosial

63

Page 64: Isi Makalah

antara etnis pendatang dengan penduduk asli. Kenyataan menunjukkan

bahwa etnis pendatang (BBM, Arab, Cina, Jawa, Madura, Sumatera dan

lain-lain) tidak atau belum memiliki hubungan pela-gandong, terutama

mereka yang menghuni kampung-kampung baru, apalagi BBM. Biasanya

aman-aman saja, manakala berdampingan dengan penduduk dan tuan

tanah Muslim, akan tetapi ketika yang ditempati itu adalah penduduk asli

dan tuan tanah Kristiani maka di saat mereka hadir itu justeru terlihat suatu

awal yang buruk, kontradiktif dalam hal keyakinan beragama yang pasti

berdampak pada segi-segi kehidupan lainnya.

Pada sisi yang lain, jika pandangan umat Islam seperti di atas memang

dimiliki oleh penduduk asli yang pasti telah memiliki pela-gandung

dengan salah satu (atau lebih) penduduk Kristiani, maka kondisi ini

menunjukkan bahwa di Ambon-Lease telah terjadi kelunturan nilai-nilai

pela-gandong pada generasi muda sekarang, lalu bagaimana dengan masa

yang akan datang? Atau pandangan seperti di atas bukan bersumber pada

umat Islam anak-anak negeri asli Ambon-Lease, akan tetapi bersumber

pada etnis lain yang memang tidak memiliki budaya yang sama? Apakah

para penduduk beragama Islam non-Ambon-Loease?

2. Kedua, pandangan umat Kristiani. Lain pandangan dan semangat umat

Islam, lain pula semangat yang diajarkan dalam system of beliefs umat

Kristen Ambon-Lease ini adalah sebuah perilaku dalam interaksi sosial

yang senantiasa harus dibatasi dengan sekat-sekat keimanan menghadapi

umat Islam, namun apakah juga terdapat sesuatu yang telah hilang

dimakan modernitas.

Secara kontekstual, ajaran absolutisme dan calvinisme cocok jika

diterapkan di Barat, akan tetapi sangat tidak relevan jika diterapkan di

AmbonLease, sebab realitas di Barat memiliki titik interaksi

keberagamaannya lebih bersifat homogen, sedangkan di Ambon-Lease

mempunyai nilai heterogenitas yang sangat tinggi. lnilah yang merupakan

titik kelemahan dalam mengadopsi ajaran dan menginterpretasikan nilai-

nilai ajaran Kristen secara tekstual tanpa melihat segi kontekstualnya.

64

Page 65: Isi Makalah

Begitu pula pemahaman sebagai umat terpilih di kalangan Kristiani, di

mana hal ini juga diiringi dengan perilaku kompensasional kolonialis

Belanda secara politik kekuasaan, juga terbentuk dalam perekrutan anak-

anak sekolah dan pegawai-pegawai pada masa kolonialis Betanda, di mana

faktor agama para calon (murid dan pegawai) menjadi pertimbangan

utama, yang sudah barangtentu didominasi oleh umat Nasrani.

Pemahaman sebagai umat terpilih ini, secara psikologis sangat memberi

warna tersendiri bagi perilaku masyarakat Kristiani di Ambon-Lease,

layaknya seperti pandangan umat Israel terhadap bangsa dan agama

lainnya dibumi ini.

Di kala pemahaman sebagai umat terbaik maka sah-sah saja jika itu

menjadi pandangan dan bahkan keyakinan seseorang atau suatu umat

beragama, akan tetapi harus pula diimani bahwa kebenaran itu tidak hanya

berada pada pihaknya saja, melainkan di sana-sini ada juga kebenaran

yang tidak bisa dikatakan salah oleh siapa pun. Pemahaman terakhir

disebut ini merupakan sumbangan pemikiran terhadap realitas kehidupan

dalam tataran heterogenitas agama, yang tidak bisa digeser begitu saja oleh

ajaran tekstual agama-agama. Tuhan ada di mana-mana, ya Tuhan kaum

Muslimin, ya Tuhan kaum Kistiani, Tuhan kita semua.

Lagi-lagi sesungguhnya dapat dikatakan bahwa ajaran dalam sistem

pelagandong pada hakekatnya nenek-moyang, para leluhur masyarakat

AmbonLease telah mengajarakan dan mempraktekkan pola kehidupan

yang pluralis dan heterogenis. Melihat perkembangan kehidupan

bermasyarakat dan beragama di Ambon-Lease, seperti telah mengalami

perubahan dan pelunturan terhadap budayanya sendiri pela-gandong yang

dicanangkan para pendahulu negeri-negeri Ambon-Lease. Realita sejarah

menunjukkan pula (apakah tidak disadari) bahwa Ambon-Lease bisa aman

dan damai selalu selama kurang lebih lima abad (hingga paristiwa Tragedi

Idul Fitri Berdarah ini terjadi) adalah justru karena kontribusi pela-

gandong itu sendiri? Anak-anak negeri harus dan wajib kiranya untuk

mengembalikan budaya pela-gandong, merevitalisasi pela-gandong plus

65

Page 66: Isi Makalah

kreatifitas kemajuan anak-anak negeri Ambon-Lease di era kontemporer

ini, dengan semangat katong basudara.

3. Bias Sejarah

Secara historis, kepulauan Ambon-Lease telah lama menjadi sentra

kunjungan berbagai bangsa di dunia, baik dari Timur-Tengah maupun dari

Barat, ikut pula mencatat sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam

dan Kristen di negeri-negeri penghasil cengkeh-pala ini.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pada zaman Portugis,

Ambon-Lease telah menjadi sasaran incaran mereka sejak jatuhnya

Konstantinopel ketangan bangsa Turki tahun 1453 dan kemudian diperkuat

pada program operasional penguasaan dunia oleh Portugis dan Spanyol,

maka sampailah Portugis di obyek sasaran tahun 1511 M. Jika Kruger

mengemukakan apa yang dikatakan seorang raja muda dari Goa, bahwa

orangorang Portugis telah memasuki India dengan pedang di tangan kanan

dan salib di tangan kiri, akan tetapi ketika mereka menemui terlampau

banyak emas, maka salib itu pun dilepaskan supaya tangan mereka dapat

mengisi saku-saku mereka. Ucapan ini menjelaskan fakta sejarah bahwa

memang pada mulanya yang betul-betul memainkan peranan ialah tujuan

agama, akan tetapi tujuan ekonomi dan politik makin lama semakin

mendesak tujuan ini. Dan sudah barangtentu problematika historis

perjuangan rakyat Ambon-Lease dalam mengahadpi tantangan si penjajah

tidak akan pernah terlupakan, berupa penderitaan, kesengsaraan dan

trauma yang berkepanjangan.

Pada zaman kehadiran Belanda, bukan kepentingan agama menjadi tujuan

utama, melainkan politik dan ekonomi, maka VOC didirikan tahun 1605,

kemudian tujuan agama diikutkan setelah diberlakkan semboyan di mana

VOC datang di situ lah Gereja dibawa serta. Cengkeh dan pala telah

membuat sejarah bangsa penuh rupa macam peristiwa berabad-abad

lamanya. Secara historis, cengkeh dan pala juga telah berpengaruh

66

Page 67: Isi Makalah

terhadap proses masuknya agama Islam dan Kristen serta penjajah ke

daerah ini. Memang amat menguntungkan pihak penjajah, akan tetapi tiada

sedikit membawa adzab dan sengsara bagi rakyat masyarakat Ambon-

Lease dan Maluku pada umumnya. Rupanya berlaku semacam hukum

rimba, bahwa siapa yang baerkuasa maka dia lah yang dapat menentukan

segala sesuatu menurut kehendaknya, dianggapnya sebagai hal yang

lumrah, karena jika di zaman Portugis rakyat dipaksa menganut Rum

Katholik, maka ketika Belanda berkuasa, oang-orang Islam dan sebagian

yang sudah menganut Rum Katholik diharuskan pula menganut Protestan.

Hal-hal yang demikian telah merupakan pahatan sejarah pahit bagi rakyat

tertindas, kaum Muslmin, harta mereka, hargadiri mereka, HAM mereka.

Dan tidak seberapa demikian halnya bagi saudaranya umat Kristianai,

walaupun sejarah Perang Pattimura telah menampakkan adanya

kekompakan dan kerjasama Islam-Kristen untuk melepaskan diri dari

penindasan Belanda di bumi Ambon-Lease.

Keadaan demikian tentu berbias terhadap kehidupan sekarang, dan yang

sudah barangtentu timbul dalam aplikasi yang berbeda antara kedua umat

beragama di Ambon-Lease. Bagi kaum Muslimin, masa lalu merupakan

kenangan pahit dan trauma yang dalam dan tidak pernah

mengharapkannya kembali terjadi, sementara bagi sebagian umat Kristiani

hal tersebut lebih banyak merupakan kenangan indah dan kerinduan

kembali kepadanya, termasuk hal yang manusiawi, namun juga sebagai

sesuatu yang masih dipertanyakan.

4. Etnisitas

Sebagaimana tersebut sebelumnya, bahwa penduduk Ambon-Lease kini

terdiri dari beberapa etnis, Ambon-Lease asal-asli Ali Furu, Nusa Ina

(artinya Pulau Ibu), Seram, Maluku, Key-Tanimbar (Maluku), Arab,

Cina, BBM (Buton, Bugis dan Makassar), Jawa, Madura, Sumatera, Bali,

67

Page 68: Isi Makalah

Kalimantan dan lain-lain. Dari sekian etnis yang menghuni Ambon-Lease,

maka BBM lah yang merupakan etnis yang banyak mendapat sorotan

lawan konflik pada kasus kerusuhan Ambon-Lease satu dasawarsa lalu itu.

Kemungkinan kehadiran BBM di mata umat Islam tidak seberapa

mendapat sorotan dan penilaian yang sama karena ada hubungan

emosional-tinggi, yakni terdapat persamaan pada dasar ideologi, yakni

Islam, akan nbtetapi harus diperhatikan bahwa secara teritorial telah

banyak tuantanah-tuantanah beralih ke tangan mereka. Itu lah sebabnya

mengapa umat Kristiani melancarkan upaya besarbesaran dalam

pengusiran BBM, karena dinamika sosial menunjukkan fakta bahwa

kemajuan yang dicapai gilang-gemilang orang-orang BBM baik secara

kuantitatif maupun kualitatif adalah merupakan ancaman terhadap

dominasi kaum Kristiani di sini. Semestinya seluruh anak-anak negeri

Salam-Sarani dengan para raja-rajanya mengambil hikmah dari konflik

dahsyat ini untuk menghidupkan kembali sistem pemerintahan raja dan

latu pati (kalau memang sudah dicabut pemerintah, atau kalau belum

dicabut minta dicabut dengan pertimbangan kemaslahatan anak-anak

negeri Ambon-Lease dan Maluku), sekaligus masalah pertanahan yang

sudah sering menjadi sentra penyebab konflik di sini

5. Karakteristik Sosial

Memang secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa kekayaan alam

Ambon-Lease telah membentuk sifat dan karakter SDM yang lemah.

Padahal di satu pihak dikatakan bahwa pada hakekatnya pola berpikir

anak-anak adat, anak-anak negeri Ambon-Lease adalah kooperatif antara

faktor alam dan faktor sosial, sebagai ruh dari pela-gandong. Maka jika

pada umumnya anakanak negeri Ambon-Lease memiliki kondisi dan

karakter-sosial seperti ini, justru merupakan kontradiksi terhadap

semanagat pela-gandong. Semestinya sistem pela-gandong juga memberi

68

Page 69: Isi Makalah

kontribusi besar terhadap etoskerja dan kraetifitas anak-anak negeri

Ambon-Lease, namun mengapa hal tersebut tidak dilakukan, mungkin ada

faktor-faktor lain yang merintangi mereka. Dan tentu hal tersebut berbeda

dengan etnis pendatang, terutama BBM yang memang datang dan mencari

pekerjaan dengan memilki etoskerja yang tinggi dan ketrampilan serta

kreatifitas yang cukup, maka tidak mengherankan sesungguhnya jika pada

titik perjalanan tertentu dapat membuahkan hasil, mereka dapat menguasai

roda perekonomian di Ambon-Lease. Dan lagi-lagi pemahaman dan

penilaian bahwa keberhasilan para pendatang ini justeru dinilai anak-anak

negeri merupakan suatu ancaman serius bagi kehidupan perekonomian

mereka. Semestinya anak-anak negeri harus mau dan mampu

mengintrospeksi diri, meninggalkan kebiasaan buruknya yang selama ini

membunuh kretifitas dan etoskerja mereka, mengapa tidak mau jualan di

pasar, jadi tukang becak, buruh, PK5 dan lainnya, kemudian lalu

menyalahkan dan membumihanguskan mereka yang mendudukinya.

Memang kondisi seperti ini memberi peluang bagi tejadinya konflik sosial

antara pihak pendatang dengan pribumi.

6. Kepentingan

Dengan adanya daya tarik dan rayuan magnitnya, kepulauan AmbonLease

telah lama menjadi tujuan kehadiran dan kepentingan berbagai bangsa,

baik tujuan politik dan ekonomi serta agama.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa memang pada mulanya

yang betul-betul memainkan peranan ialah tujuan perang salib (Portugis),

akan tetapi tujuan-tujuan ekonomi dan politik makin lama semakin

mendesak tujuan ini. Lain lagi bagi Belanda yang semula bukan tujuan

salib atau agama, melaikan tujuan politik dan ekonomi, baru menyusul

kepentingan agama atau Injil, sebagaimana identitas perjuangan mereka

G3. Mereka meraih keuntungan dan sukses dengan meninggalkan luka dan

69

Page 70: Isi Makalah

trauma panjang bagi kaum Muslimin Ambon-Lease, serta menarik kaum

Kristiani Ambon-Lease keluar dari rasa-cinta budaya sendiri pela-gandong

digantikan budaya Barat.

Di masa Orde Baru, pemerintah dan penguasa telah melakukan berbagai

kebijakan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Dalam bidang

politik, misalnya, yang berdampak pada sisitem pemerintahan lokal: raja,

latu-pati digantikan kepala desa, demikian pula kebijakan dalam bidang

ekonomi yang dengan LKMD-nya menyebabkan sebegitu banyaknya

rakyat yang menderita karena pohon uang rakyat, cengkeh yang harganya

merosot tajam sehingga Gubernur Maluku saat itu Muhammad Akip

Latuconsina mengapresiasikannya dengan tangisan, menangisi nasib

rakyatnya. Kondisi ini tidak hanya menimpa salah satu kelompok agama

tertentu, Islam atau Kristen, akan tetapi kedua-duanya sama-sama

merasakan penderitaan akibat kebijakan tersebut. Dan memang benar kata

orangtua-orangtua negeri, mengapa sebutan Bunga Raja untuk cengkeh

berubah menjadi Po’ Lawanatau Po’ Rawanno yang artinya bunga atau

buah yang menimbulkan perlawanan dan peperangan. Tidak hanya oleh

kepentingan penjajah, akan tetapi juga atas kepentingan pemerintah Orde

Baru, yang lebih menambah sempurnanya penderitaan rakyat. Hal-hal

demikian telah mengkondisikan masyarakat tidak stabil ekonomi dan

politiknya, menciptakan wilayah rawan terjadinya konflik vertikal dan

horizontal, yang pada titik perjalanan tertentu dapat meledakkan sendi-

sendi kehidupan masyarakat korban.

5.4 Pola Penyelesaian Konflik Perspektif Masyarakat

Upaya integrasi atau rekonsiliasi untuk meredakan konflik Ambon-Lease

dan Maluku umumnya sudah beberapa kali dilaksanakan oleh berbagai pihak

(pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR, Pakar Akademisi Perguruan Tinggi,

Komnas HAM, LSM-LSM, dan lainnya). Dan hampir semuanya belum atau tidak

70

Page 71: Isi Makalah

dapat diketahui oleh masyarakat luas, apa hasil dari kurang lebih sepuluh kali

perdamaian atau perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan itu, kecuali sedikit

yang tampak seperti implementasi hasil Perdamaian Maluku di Malino yang

berdampak positif terhadap perubahan, perbaikan dan peningkatan sistem

keamanan di medan konflik.

Dari sepuluh kali, dan khususnya ketiga upaya rekonsiliasi di atas, Ikrar

Perdamaian, Penugasan Tim TNI 19, dan Perjanjian Maluku Malino II, pada

hakekatnya telah melibatkan perwakilan-perwakilan kedua belah pihak yang

bertikai (Islam dan Kristen) yakni anak-anak negeri Ambon-Lease yang terbaik

dan terpilih untuk tugas mulia mendamaikan konflik. Bahkan mereka pun tahu

bahwa tiga resolusi yang melibatkan mereka belum sepenuhnya menyentuh cara-

cara damai yang agamis dan adatis. Di sini belum tampak adanya upaya

memasukkan budaya pela-gandong untuk dijadikan referensi dalam perdamaian di

tanah kelahirannya sendiri, karena masih terdapat adanya kendala-kendala yang

telah terbangun sejak lama, baik secara eksternal maupun internal.

Berangkat dari keprihatinan yang dalam terhadap konflik dahsyat tersebut banyak

pihak-pihak yang bertanya, baik dari para sosiolog, pengamat sosial dan

akademisi, juga anak-anak negeri Ambon-Lease di negerinya atau yang tinggal di

luar daerah dan luar negeri: kalau begitu, lalu di mana pela-gandung selamna ini?

Keresahan akademisi penulis pun timbul, lalu membuat pertanyaan, mangapa

pela-gandong tidak berfungsi justru pada saat-saat ia dibutuhkan? Sakitkah, atau

lumpuhkah, atau terhimpitkah ia, dan sudah studium berapakah sakitnya? Ada

apa dengnya? Mengapa bisa terjadi seperti ini?

Pola penyelesaian konflik perspektif masyarakat Ambon-Lease dimaksud

adalah proses penyelesaian konflik dengan menggunakan pendekatan dan sistem

kekerabatan atau istiadat orang Maluku umumnya an anak-anak negeri

AmbonLease pada khususnya yang dikenal dengan pela-gandong. Cara-cara

seperti ini telah dimiliki dan dilaksanakan masyarakat di sini sejak ratusan tahun

silam, diawali para leluhur, kemudian secara turun-temurun berlaku sampai

sekarang. Kehadiran dan perkembangan sistem pela-gandung telah teruji ketika

71

Page 72: Isi Makalah

mengalami gelombang dinamika kehidupan sosial yang kental dengan perubahan.

Realita sejarah menunjukkan bahwa sistem pela-gandong selain mampu

mendamaikan problematika kehidupan masyarakat, akan tetapi pernah juga jatuh

dalam himpitan modernisasi sosial politik, ekonomi dan agama di negeri ini baik

secara internal maupun eksternal.

Pertama, pela-gandong pernah menghiasi sidang-sidang kongres

pemukapemuka ahli ilmu perbandingan agama dunia, di mana ia dijadikan sebagai

salah satu referensi dalam pembahasan tentang toleransi kehidupan antar umat

beragama di dunia. Dengan adat pela-gandong, maka selama kurang lebih lima

abad Ambon-Lease tidak pernah tergoncang konflik hebat, sekalipun memiliki

potensi konflik yang tinggi. Dan di kala cara-cara damai menurut berbagai versi

tak juga mampu mendamaikan maka yang amat sangat dinanti adalah kehadiran

dan kemujarabannya pela-gandong. Sebagai contoh dalam menghadapi

penyelesaian kasus konflik terdahsyat dunia, kasus Ambon-Lease, dan dengan

keadaan terseok-seok akibat himpitan modernitas, ternyata ia, pela-gandong,tetap

eksis dan mampu berperan walau hanya dengan tenaga sisanya, ia bisa.

Kedua, pela gandung pernah jatuh dalam himpitan modernitas

sosialpolitik, ekonomi dan agama. Bahwa dengan alasan demi persatuan dan

kesatuan bangsa serta stabilitas nasional maka segala perkara harus di bawah

pengawasan dan pengendalian pihak yang berwajib, dalam hal ini pemerintah atau

penguasa Tiada sedikit pengorbanan rakyat akibat dari implementasi peraturan

pemerintah seperti ini. Demikian pula PP no. 5 tahun 1975, yang secara nyata

walau tak langsung menghapus sistem pemerinatahan raja dan latu-pati dengan

kepala desayang sesungguhnya merupakan kaitan, satu paket dengan sistem

kekerabatan pela-gandong (sebagai faktor eksternal, dari luar anak-anak negeri

AmbonLease). Secara internal, pela-gandong pun dalam perjalanannya pernah

mendapat gangguan berat justru dari dalam anak-anak negeri Ambon-Lease

sendiri karena dianggapnya menghalangi jalannya ekspansi agama yang

diamanatkan pada mereka, sebagaimana dikeluhkan Muller Kruger.

72

Page 73: Isi Makalah

Dan memang benar, bahwa jika ditelaah secara cermat maka

sesungguhnya pada satu sisi tradisi pela-gandong dapat memihara kegerejaan

ratusan tahun lamanya, namun pada sisi lain pela-gandong pula lah yang tidak

memungkinkan berkembangnya kegerejaan di dalam suatu usahan yang hidup.

Menurut kaum Kristiani atau sebagian mereka, bahwa secara sosiologispsikologis

adat pela-gandung dianggap sebagai sesuatu yang menghambat jalan dan

lancarnya Kristenisasi di Ambon-Lease dan sekitarnya, tetapi hampir tak

terpikirkan bahwa jika selama ini tidak terjadi konflik antara umat Islam dan

Kristen (yang sesungguhnya berpotensi tinggi untuk konflik) justeru berkat

adanya sistem pela-gandong itu sendiri yang telah menghindarkan serta

melindungi mereka. Memang ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan

pendekatan sistem pela-gandong demi kelancaran dan kemurnian misi yang

diembannya. Demikian pula dari pihak kaum Muslimin yang menganggap bahwa

sistem pela-gandong bukan produk Nabi dan Allah SWT, dan dianggapnya suatu

yang berindikasi bid’ah sebagai sesuatu yang harus dihindari, sementara tidak ada

pemikiran guna menemukan proposisi lain yang lebih produktif dan efektif dalam

proses perdamaian guna mengangkat harkat dan martabat Islam dan kaum

Muslimin sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, sebagai Rahmat bagi Semesta Alam

(linkungannya, flora dan faunanya, dan terutama bagi manusianya). Semestinya

setiap insan Muslim, baik itu dirinya, al-Qur’an dan Hadits Nabi-nya, selalu

diangkat dan difungsikannya dalam realita kehidupan demi kemaslahatan umat

manusia di muka bumi ini. Demikian pula sifat cinta-kasih dan kasih-sayang di

dalam Kristiani hendaknya lebih meningkat kepada upaya membumikannya di

Ambon-Lease tanah tumpah darah, dan di mana pun anak-anak negeri berada.

Terpetik dari berbagai informasi yang diperoleh menimbulkan optimisme,

bahwa sistem pela-gandong saat ini masih berperan penting terutama di daerah

Maluku Tengah. Karena rasa persatuan dan identitas bersama disadari dan

dihayati dengan kuat upacara-upacara pembaharuan pela (dengan upacara panas

pela) masih serintg berlangsung. Sejak perantg Dunia II sejumlah pela baru,

kebanyakan diadakan dengan sadar untuk menguatkan hubungan antara dua

73

Page 74: Isi Makalah

golongan itu. Dapat dkatakan bahwa berkat sistem pela-gandong itu,

pertentangan antara Muslim dan Kristen yang terjadi pada tahu 1998-2002 dapat

diredakan.

74

Page 75: Isi Makalah

BAB 6. KERUSUHAN SOSIAL KARENA PANCASILA

6.1 Kerusuhan Sape, Bima

Kerusuhan adalah keseluruhan bentuk dan rangkaian tindak kekerasan yang

meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan dimensi-dimensi kuantitatif

dan kualitatif. Kerusuhan mempunyai pola umum yang dimulai dengan

berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak

dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa

dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing

perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-ratnbu

lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai

melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah

barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-

barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok

provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak

massa untuk ikut merusak lebih lanjut.

Masyarakat Indonesia yang multikultur, multiras, dan multiagama memiliki

potensi yang besar untuk terjadinya konflik antarkelompok, ras, agama serta suku

bangsa. Beberapa peristiwa amuk massa pada beberapa daerah di Indonesia

terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut. Salah satunya

perbedaan agama. Seperti, kerusuhan di Lampung pada 1989, Timor Timur

(1985),  Makassar (1997), dan Ambon (1998). Kerusuhan ini dapat terjadi karena

masyarakat yang terlibat kurang mendalami makana pancasila kemausiaan yang

adil dan beradab, setidaknya meskipun berbeda adat, kita tetap harus

memperlakukan anggota kelompok lain dengan perlakuan yang sama dan setara,

sehingga tidak akan terjadi kerusuhan melainkan adanya persatuan.

Pendewasaan kebangsaan ini memuncak ketika bangsa ini mulai dijajah dan

dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara

Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme,

75

Page 76: Isi Makalah

yang diakhiri secara yuridis ketatanegaraan (18 Agustus 1945) dengan

ditetapkannya Pancasila oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI)

sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam

perkembangan selanjutnya ideologi Pancasila diuji semakin berat terutama pada

tataran penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan

kenegaraan. Ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya sampai dengan saat ini di

era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya

pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde

Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan dengan penerapan

Pancasila.

Sejak munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional yang

bermultidimensi dan dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan

terhadap penerapan Pancasila begitu menguat. Krisis itu ditunjukkan dengan

adanya berbagai permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di

antaranya seperti pergantian kepemimpinan nasional yang tidak normal,

kerusuhan sosial, perilaku anarki, dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral

bangsa dilanggar, norma hukum negara tidak dipatuhi, norma kebijakan

pembangunan disiasati, dan hutang luar negeri melonjak tinggi. Perilaku ini

semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggungjawab dengan

korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela sebagai wujud dari

penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan yang menjadi sinis

dan menggugat efektivitas penerapan Pancasila. Indonesia adalah bangsa yang

besar karena memiliki falsafah dan ideologi Pancasila. Keluhuran nilai-nilai

Pancasila tampak pada sikap yang religius, jujur, toleran, cinta damai, disiplin,

kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,

cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, serta peduli sosial

dan lingkungan.

Dewasa ini akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya komunikasi, terjadilah

perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satu pun bangsa dan

76

Page 77: Isi Makalah

negara mampu mengisolisasi diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing.

Demikian juga terhadap masalah ideologi.

Pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama

didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya.

Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi, dan transportasi

ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas.

Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat

kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung

kepentingan bangsa lain. (M. Habib Mustopo 1992: 11 -12). Adanya pancasila ini

diharapkan dapat memfilter apa yang baik dan yang buruk bagi bangsa Indonesia.

Selain itu, landasan nilai dalam pancasila juga mengajarkan tentang kesamaan

kedudukan antara satu dan yang lain, mengajarkan untuk menghormati satu sama

lain dan akhirnya akan tercipta suatu persatuan, bukan kerusuhan yang

mengakibatkan perpecahan.

Sebagaimana kenyataan, kemajemukan masyarakat Indonesia itu tidak hanya

terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan dalam keanekaragaman

kebudayaan yang dikembangkan oleh penduduk di kepulauan sebagai perwujudan

adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah

keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersifat

mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda,

melainkan juga bersifat tegak lurus karena perbedaan pengalaman sejarah.

Kenyataan sosial dan kebudayaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam

pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan.

Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh

sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk

mempersatukan masyarakat majemuk yang semula telah mengembangkan aneka

ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun

pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk

77

Page 78: Isi Makalah

memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang oleh Geertz (1965) disebut

sebagai “Intergrative revolution”.

Sesungguhnya banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru

merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan

kemerdekaan. Sebagaimana diungkap oleh R. Harris (1964), kebanyakan negara

yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang selalu menghadapi

berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi

pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesejahteraan

dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris

sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi : Pertama,

perjuangan kemerdekaan penuh (Total Independence); Kedua, Pengembangan

Administrasi Pemerintahan (Administrative Equality); Ketiga, Perjuangan

kesetaraan budaya (Cultur Equality).

Beragam kelompok adakalanya secara sosial menyebabkan tumbuh dan

berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya

institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik

baru karena kelompok, golongan, dan agama lain merasa bahwa kehadiran mereka

menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta

kepentingan dari kelompok lainnya.

Akhirnya yang akan berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap

hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna,

sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan lainnya (Zastrow,

2000, h. 157).

Seiring dengan modernisasi, globalisasi, dan reformasi, sebagian budaya positif

mulai tercemar dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita.

Persoalan budaya dan karakter bangsa yang mendesak untuk dihadapi dan

dipikirkan alternatif pemecahannya. Terutama kasus korupsi, penggunaan

78

Page 79: Isi Makalah

kekerasan fisik, kejahatan seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang

konsumtif, serta kehidupan politik yang tidak produktif.

Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya

dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah,

primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila,

terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat,

serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya

sudah pada titik nadir (antiklimaks).

Dimensi sosial ekonomi memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi

bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan

sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan.

Pandangan ini diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah

berdampak pada efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campur

tangan asing (badanbadan internasional) terhadap perekonomian nasional.

Sebagai suatu negara dengan budaya yang beragam dan tersebar di beribu-ribu

pulau, persoalan sosial yang akan dihadapi Bangsa Indonesia tentunya akan silih

berganti. Masih belum hilang dalam ingatan kita pada peristiwa di Mesuji bahkan

belum tuntas dibicarakan, kini muncul persoalan baru di Sape Bima Nusa

Tenggara Barat.

Pada umumnya kerusuhan sosial terjadi karena didasari oleh adanya prasangka

terhadap perorangan maupun terhadap kelompok (prejudice). Prejudice

merupakan sebuah sikap (biasanya mengarah pada pikiran negatif) dan salah satu

fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Munculnya prasangka

sebagai akibat adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam

masyarakat.

Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial

dengan individu lain. Dengan demikian fenomena sosial di Kabupaten Bima

dipengaruhi oleh adanya prasangka negatif yang terus menerus dari kelompok

79

Page 80: Isi Makalah

masyarakat terhadap kelompok tertentu (pemerintah Kabupaten Bima dan aparat

Kepolisian) sebelum terjadi kerusuhan, sehingga akumulasi dari prasangka negatif

ini sekaligus menjadi pencetus muncul perilaku agresi masyarakat.

Sebaliknya oknum aparat Kepolisian yang menembaki, mengejar, memukul, dan

mengeluarkan perkataan yang bertujuan menyakiti kelompok masyarakat yang

terlibat kerusuhan termasuk kategori agresi. Dalam psikologi dan ilmu sosial

lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang membuat objeknya

mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik.

Kerusuhan yang terjadi menyisakan kepedihan mendalam pada dua kubu, terlebih

lagi masyarakat Bima. Semua komponen mulai Pemerintah Kabupaten Bima,

Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah pusat, aparat Polri baik pusat maupun

daerah, aparat TNI, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh pemuda Kabupaten

Bima berupaya menemukan “benang merah” permasalahan sehingga dapat

dicarikan solusi yang cepat dan tepat guna mengembalikan situasi Kabupaten

Bima menjadi kondusif.

Sampai saat ini banyak pihak mengatakan suasana di Bima sudah kondusif. Tetapi

dalam perspektif psikologis, kedua pihak yang bertikai belum sepenuhnya berada

dalam kondisi psikologis yang nyaman sehingga setiap kelompok masih bersikap

siaga. Polisi bersikap siaga dengan menambah kekuatan personel, sedangkan

warga yang tidak terlihat berkumpul untuk menyerang sebenarnya selalu waspada

karena takut kejadian akan terulang kepada keluarga mereka. Hal ini

menunjukkan adanya “bahaya laten” (stimulus emosional yang tersembunyi)

dimana jika terjadi satu “sentilan” kecil dapat membuat keadaan menjadi lebih

membara.

Berbagai bidang kehidupan yang hancur akibat kerusuhan sosial seyogyanya

dapat dipulihkan kembali dengan cepat dan tepat. Upaya untuk pemulihan akan

terhambat bila dukungan terhadap kesehatan jiwa dan psikososial tidak mendapat

perhatian. Dipandang dari segi kesehatan jiwa, peristiwa Sape Bima yang tidak

80

Page 81: Isi Makalah

teratasi secara sehat dapat menimbulkan gangguan trauma psikologis bagi

masyarakat. Namun apabila dapat diatasi secara sehat dan efektif, trauma

psikologis selain dapat dihindari juga membuka kemungkinan untuk tumbuhnya

kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu

kerusuhan.

Kasus Sape Bima, tidaklah serta merta terjadi begitu saja. Sudah ada

permulaannya sejak lama, dan ini terjadi karena lemahnya daya tawar masyarakat

terhadap pola kepemimpinan yang absolut dan tak memihak kepada rakyat.

Pola kepimpinan yang terjadi saat ini seolah-olah membenarkan apa yang terjadi

ketika keputusan sudah diambil, menjadi harga mati untuk ditinjau kembali. Entah

apa sebabnya Bupati Bima begitu kekeh mempertahankan dan tidak

mengindahkan keinginan rakyat untuk mencabut izin eksplorasi emas yang terjadi

diwilayahnya. Apakah terjadi sesuatu dibelakang kekeh-nya Bupati Bima, ataukah

ada alasan lainnya. Hal ini tentunya perlu diinformasikan secara gamblang kepada

masyarakat Bima.

Salah satu efek dari otonomi daerah adalah tidak jelasnya intervensi yang harus

diambil oleh Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten bila

terjadi hal-hal seperti ini. Jajaran pemerintah provinsi seolah-olah hanya

menunggu apa yang akan terjadi, kemudian baru merumuskan langkah-langkah

pascakejadian, belum bisa lebih jauh melakukan intervensi sebelum kasus terjadi

padahal seharusnya dengan perangkat yang ada bisa dioptimalkan peran intelijen

dan arapat yang ada untuk megantisipati segala musibah dan kerusuhan yang

terjadi. Dalam ranah sorotan kepemimpinan ini ada beberapa hal yang harus

diperhatikan:

Pertama, kepemimpinan Bupati, seolah-olah menjadi kepemimpinan yang absolut

tanpa mau dan tidak peduli dengan semua masukan yang telah diberikan

kepadanya untuk menjada kondosivitas masyarakat. Hal ini tampak dari

rekomendasi dari KOMNAS HAM, yang diabaikan oleh Bupati Bima sebelum

81

Page 82: Isi Makalah

kejadian berlangsung. Dan seolah-olah bupati menjadi raja kecil yang semua

keputusannya menjadi titah yang haram untuk ditinjau ulang bahkan dicabut.

Bupati kurang melakukan antisipasi psikologis dan sosial dan hanya

mengedepankan kepentingan ekonomi sesaat yang tentu hal ini berpihak pada

perusahaan yang tentu akan hanya memperkaya individu-individu tertentu. Bupati

ralut dalam permainan ekonomi para corporat.

Kedua, kepemimpinan provinsi yang hanya bisa wait and see terhadap persoalan

yang terjadi di Kabupaten Bima, hal ini karena efek dari otonomi daerah,

pemerintah provinsi dan jajarannya hanya mampu melakukan sebuah langkah-

langkah pasca kerusuhan karena khawatir dikatakan ikut mengintervensi

kebijakan yang diambil oleh pemerintah kabupaten

Ketiga, kepemimpinan masyarakat. Bila terjadi kerusuhan seperti di Bima akan

efektif dilakukan cara alternatif pencegahan bila yang melakukan aksi adalah

memang dikoordinir oleh pimpinan non formal yang memang sudah terbentuk

dari tatanan sosial yang ada. Namun dalam kenyataannya kegiatan demo

masyarakat di Bima dikoordinir (korlap: menurut beberapa sumber) adalah orang

yang dengan tiba-tiba menggerakkan massa. Sehingga hal ini memicu hilangnya

kontrol pimpinan formal dan non formal terhadap perilaku anarkis yang akan

terjadi.

Keempat, sistem kepemimpinan Polri yang masih sangat identrik dengan

kekerasan dan kekuasaan senjata ketika menyelesaikan persoalan. Dengan alasan

demo masyarakat telah melumpuhkan kegiatan perekonomian, tidak peduli lagi

dengan efek psikologis, sosial bahkan nyawa melayang dengan tindakan represif

yang dilakukan dengan dalih demi memulihkan perekonomian dan keamanan.

Pola kepimpinan yang masih sangat dekat dengan kekuasaan dan ekonomi

menjadikan polisi hanya sebagai alat kekuasaan dan ekonomi semata hanya

berpikir bagaimana sebagai pengayom masyarakat.

82

Page 83: Isi Makalah

Dalam kasus ini perlu diperhatikan pengambilan keputusan yang efektif. Menurut

Thorndike (1938), pengambilan keputusan dan pemecahan masalah oleh

kelompok lebih baik dibandingkan oleh individu. Karena dalam kelompok,

individu lebih banyak belajar, membuat lebih sedikit kesalahan, membuat

keputusan yang terbaik dan produktif dengan kualitas yang lebih tinggi dari yang

dihasilkan individu.

Dalam hal ini pengambilan keputusan akan lebih efektif jika anggota masyarakat

yang bersangkutan (keluarga korban), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh

pemuda, para pimpinan Polri, pimpinan TNI, serta pemerintah pusat dan daerah,

berunding untuk menentukan keputusan yang tepat. Oleh sebab itu jalur diskusi

yang telah dilakukan antar elemen masyarakat dinilai tepat sebagai salah satu

upaya psikologis untuk mengembalikan situasi kondusif. Kelompok masyarakat

akan lebih terbuka mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, informasi dan

ide-ide mereka jika tingkat kepercayaan tinggi. Diharapkan jalur diskusi yang

mempertemukan dua kubu tersebut dapat berlangsung secara periodik.

Penyelesaian dengan cara tersebut sebagai salah satu implikasi nyata yang

menunjukkan diterapkannya sila Pancasila ke empat yakni kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Seorang

pemimpin seharusnya mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat,

seperti yang terkandung dalam nilai pancasila tersebut. Selain itu, nilai pancasila

pada sila ke lima, yakni keadilan bagi seluruh rakyat, juga tetap harus ditegakkan,

maksudnya adalah kalaupun negosiasi tidak dapat dilakukan, setidaknya

pemimpin harus mengambil keputusan yang memberi kebaikan kepada kedua

pihak, supaya masyarakat merasa diperlakukan adil.

6.2 Pelanggaran HAM

Bentrokan antarkelompok dan fenomena kriminalitas, pelanggaran HAM, dan

sebagian rakyat mempraktikkan budaya anarkis. Degradasi wawasan nasional

83

Page 84: Isi Makalah

sebagian rakyat Indonesia. Bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan

dasar negara Pancasila sebagai sistem ideologi nasional. Rakyat dan bangsa

Indonesia mengalami erosi jati diri secara nasional.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara hukum yang

ditegaskan pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ternyata dalam praktiknya  justru

menjadi negara yang belum mampu menegakkan kebenaran dan keadilan

berdasarkan Pancasila  dan  UUD 45.

Angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung belum ada

konsepsi alternatif strategis pemecahannya. Kondisi demikian dapat melahirkan

konflik horizontal dan vertikal. Bahkan, anarkisme sebagai fenomena sosial

ekonomi dan psikologis rakyat dalam wujud stres massal dan tandakan anarkisme.

Pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan perlindungan hak asasi

manusia (HAM) telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan

kedaerahan. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional telah makin parah dan

mengancam integritas mental ideologi Pancasila, serta integritas nasional atau

NKRI dan moral.

Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat.

Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan

di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik.

Selain di media massa, pemuka masyarakat, para ahli, serta pengamat pendidikan

dan sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai

forum seminar. Baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan

karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan

budaya yang bersangkutan.

84

Page 85: Isi Makalah

Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam

suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan

sosial serta budaya masyarakat dan bangsa.

Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia adalah Pancasila, jadi pendidikan

budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan

kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-

nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.

Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat

strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang.

Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan

yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif.

Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah

usaha bersama sekolah,  oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh

semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi

bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah serta dukungan penuh dari

masyarakat.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang  yang  terbentuk

dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan

sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani

bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang

dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan  karakter bangsa. Oleh

karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui

pengembangan karakter individu seseorang.

Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak dibangun di atas berbagai

kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi

atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia

85

Page 86: Isi Makalah

adalah karakter yang dimiliki warga negara bangsa Indonesia berdasarkan

tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang

berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa diarahkan pada upaya

mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga menjadi

suatu kepribadian diri warga negara.

Menyelamatkan bangsa dan NKRI dari tantangan, maka bangsa Indonesia wajib

meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan mental dan ideologi

Pancasila. Visi-misi demikian terutama meningkatkan wawasan nasional dan

kepercayaan nasional (kepercayaan diri) agar  sumber daya manusia (SDM) 

warganegara kita mampu mewaspadai tantangan globalisasi dan liberalisasi.

Kemampuan menghadapi tantangan yang amat mendasar akan melanda kehidupan

nasional, sosial, ekonomi,  politik, bahkan mental dan moral bangsa, maka

benteng terakhir yang diharapkan untuk mampu bertahan ialah keyakinan nasional

atas kebenaran dan kebaikan/keunggulan dasar negara Pancasila baik sebagai jati

diri bangsa dan filsafat hidup bangsa (Volksgeist, Weltanschauung), sekaligus

sebagai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional).

Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah suatu keniscayaan agar Pancasila

tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan

kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Agar loyalitas warga masyarakat dan warga negara terhadap Pancasila tetap

tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa

diminimalisasi. Substansi dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila

dalam kehidupan praktis adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan

dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup

dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.

86

Page 87: Isi Makalah

Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila

ada dinamika internal (self renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing

yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila. Muara

dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai

Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warga

negara dan masyarakat Indonesia. Sebagai warga negara yang baik selayaknya

peka dan segera mengakhiri masalah-masalah besar sebagai indikator tercemarnya

karakter bangsa. Seperti, kasus korupsi, penggunaan kekerasan fisik, kejahatan

seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang

tidak produktif, bentrok antarkelompok, fenomena kriminalitas, pelanggaran

HAM dan  budaya anarki, dan  pemaksaan kehendak.

Semua pihak harus mendukung program pemerintah dalam mengatasi masalah

tercemarnya budaya dan karakter bangsa. Yakni dengan kebijakan

mengimplementasikan pendidikan karakter dan budaya bangsa pada semua mata

pelajaran di sekolah. Selain itu, mempraktikkannya pada kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seperti orang tua, guru, tokoh

masyarakat dan agama, serta politisi harus memberi teladan yang baik kepada

anak-anak, peserta didik, juga masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai

Pancasila. Sehingga, tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tidak

mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Kukuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan

17 Agustus 1945 merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa bagi

rakyat Indonesia secara keseluruhan menjadi dasar dilaksanakannya pembangunan

di segala bidang.

6.2.1 Latar Belakang Hambatan dalam Menegakkan Idiologi Pancasila

Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta segenap potensi bangsa

telah berusaha menegakkan dan melestarikan Negara Kesatuan Republik

87

Page 88: Isi Makalah

Indonesia, namun masih ada ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud,

kebijakan yang terpusat, otoriter, serta tindakan ketidakadilan pemerintah yang

dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional dapat mendorong

terjadinya disintegrasi bangsa.

Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan

mekanisme Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan

kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita demokrasi

dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang

bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebihan yang

melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis

multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.

Ketidakpekaan penyelenggara negara terhadap kondisi dan situasi tersebut telah

membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air yang ditandai dengan

tumbangnya rezim otoriter. Gerakan reformasi telah mendorong secara relatif

terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan kedaulatan

rakyat, peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi

peran pemerintah dalam kehidupan politik, antara lain dengan terselenggaranya

Sidang Istimewa MPR 1998; Pemilu 1999 yang diikuti banyak partai, netralitas

pegawai negeri, serta TNI dan Polri; peningkatan partisipasi politik, pers yang

bebas serta Sidang Umum MPR 1999. Namun, perkembangan demokrasi belum

terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi.

Konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi di berbagai daerah seperti di

Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan

kelangsungan hidup bangsa dan negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan

Irian Jaya hal-hal cepat dan tepat.

88

Page 89: Isi Makalah

Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, disatu pihak produk

materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan

peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas

moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta

tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi

hukum belum dapat diwujudkan.

Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan

reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, serta kejahatan ekonomi keuangan

dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan

kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan

menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta

tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.

6.2.2 Dampak Krisis Hukum

Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan

hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai

pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan,

diskriminasi, dan kesewenang-wenangan. Seperti beberapa kasus yang terjadi

berikut :

a. Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses

Hukum

N

oNama Kasus Th

Jumlah

KorbanKeterangan

1 Pembantaian

massal 1965

1965-1970 1.500.000 Korban sebagian besar merupakan anggota

PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi

dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR,

Lekra, dll. Sebagian besar dilakukan di luar

proses hukum yang sah

2 Penembakkan 1982-1985 1.678 Korban sebagian besar merupakan tokoh

89

Page 90: Isi Makalah

misterius

“Petrus”

kriminal, residivis, atau mantan kriminal.

Operasi militer ini bersifat illegal dan

dilakukan tanpa identitas institusi yang jelas

3 Kasus di

Timor Timur

pra

Referendum

1974-1999 Ratusan

ribu

Dimulai dari agresi militer TNI (Operasi

Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang

sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu

menjadi daerah operasi militer rutin yang

rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.

4 Kasus-kasus di

Aceh pra

DOM

1976-1989 Ribuan Semenjak dideklarasikannya GAM oleh

Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah

operasi militer dengan intensitas kekerasan

yang tinggi.

5 Kasus-kasus di

Papua

1966-2007 Ribuan Operasi militer intensif dilakukan oleh TNI

untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi

berkaitan dengan masalah penguasaan sumber

daya alam, antara perusahaan tambang

internasional, aparat negara, berhadapan

dengan penduduk local

6 Kasus Dukun

Santet

Banyuwangi

1998 puluhan Adanya pembantaian terhadap tokoh

masyarakat yang dituduh dukun santet.

7 Kasus

Marsinah

1995 1 Pelaku utamanya tidak tersentuh, sementara

orang lain dijadikan kambing hitam. Bukti

keterlibatan (represi) militer di bidang

perburuhan.

8 Kasus

Bulukumba

2003 2 orang

tewas,

puluhan

orang

ditahan

dan luka-

Insiden ini terjadi karena keinginan PT

London Sumatera untuk melakukan perluasan

area perkebunan mereka, namun masyarakat

menolak upaya tersebut

90

Page 91: Isi Makalah

luka.

b. Kasus Pelanggaran HAM yang Macet di Komnas HAM dan Jaksa Agung

N

oKasus Th Korban Konteks Penyelesaian Keterangan

1 Talangsari

Lampung

1989 803 Represi terhadap

sekelompok komunitas

Muslim di Lampung

Tengah yang dituduh

sebagai GPK ekstrim

kanan

Komnas HAM

membentuk KPP

tahun 2001, tim

pengkajian di tahun

2004 dan 2005

Salah seorang yang

diduga paling

bertanggungjawab

menjabat Kepala

BIN sehingga sulit

tersentuh.

2 Penembakan

mahasiswa

Trisakti

1998 685 Penembakkan aparat

terhadap mahasiswa

Trisakti yang sedang

berdemonstrasi.

Merupakan titik tolak

peralihan kekuasaan

politik dan pemicu

kerusuhan sosial di

Jakarta dan kota besar

Indonesia lainnya.

Komnas HAM

membentuk KPP dan

hasilnya telah

diserahkan ke Jaksa

Agung pada 2002

onis terlalu ringan,

terdakwa hanya

aparat rendah di

lapangan, tidak

menyentuh pelaku

utama. Komnas

HAM telah membuat

KPP (TSS) dan telah

dimajukan ke

Kejaksaan Agung

(2003), namun

sampai sekarang

belum beranjak

maju. DPR

menyatakan tidak

terjadi pelanggaran

HAM berat.

3 Mei 1998 1998 1.308 Kerusuhan sosial di

Jakarta yang menjadi

momentum

peralihakekuasaan

Komnas HAM

membentuk KPP dan

hasilnya telah

diserahkan ke Jaksa

Agung pada 2003

Jaksa Agung

mengembalikan lagi

berkas ke Komnas

HAM dengan alasan

tidak lengkap. Tidak

91

Page 92: Isi Makalah

ada perkembangan

lebih lanjut

4 Semanggi I 1998 127 Represi TNI atas

mahasiswa yang

menolak Sidang

Istimewa MPR

Komnas HAM

membentuk KPP dan

hasilnya telah

diserahkan ke Jaksa

Agung pada 2002

Jaksa Agung

mengembalikan lagi

berkas ke Komnas

HAM dengan alasan

tidak lengkap. Tidak

ada perkembangan

lebih lanjut. DPR

menyatakan tidak

terjadi pelanggaran

HAM berat.

5 Semanggi II 1999 228 Represi TNI atas

mahasiswa yang

menolak UU Negara

dalam Keadaan Bahaya

Komnas HAM

membentuk KPP dan

hasilnya telah

diserahkan ke Jaksa

Agung pada 2002

Jaksa Agung

mengembalikan lagi

berkas ke Komnas

HAM dengan alasan

tidak lengkap. Tidak

ada perkembangan

lebih lanjut. DPR

menyatakan tidak

terjadi pelanggaran

HAM berat.

6 Penculikan

Aktivis 1998

1998 23 Penculikkan dan

penghilangan paksa

bagi aktivis pro

demokrasi oleh TNI

Komnas HAM

membentuk KPP dan

hasilnya telah

diserahkan ke Jaksa

Agung, November

2006

Jaksa Agung

menyatakan tidak

akan melakukan

penyidikan atas

kasus ini karena

belum ada

pengadilan HAM

Adhoc.

7 Wasior April

-

Okto

117

orang

Masyarakat menuntut

ganti rugi atas tanah

adat –termasuk kayu-

Berkas KPP HAM

telah diserahkan ke-

kejaksaan Agung

92

Page 93: Isi Makalah

ber

2001

kayunya- yang

dikuasai perusahaan

penebangan kayu PT

Dharma Mukti

Persada. Tuntutan

masyarakat tidak

dipedulikan oleh pihak

perusahaan yang di

backup oleh anggota

brimob.

- Operasi Tumpas 2001

2004

Sumber Litbang kontras

Pembangunan di bidang pertahanan keamanan telah menunjukkan kemajuan

meskipun masih mengandung kelemahan. Kepercayaan masyarakat terhadap

aparatur TNI dan Polri melemah, antara lain, karena digunakan sebagai alat

kekuasaan; rasa aman dan ketenteraman masyarakat berkurang; meningkatnya

gangguan keamanan dan ketertiban; terjadinya kerusuhan massal dan berbagai

pelanggaran hukum serta pelanggaran hak asasi manusia.

Upaya mengatasi krisis ekonomi beserta dampak yang ditimbulkannya telah

dilakukan melalui proses reformasi di bidang ekonomi, tetapi hasilnya belum

memadai karena (1) penyelenggaraan negara di bidang ekonomi selama ini pada

kenyataannya dilakukan atas dasar kekuasaan yang terpusat dengan campur

tangan pemerintah yang terlalu besar, sehingga kedaulatan ekonomi tidak berada

di tangan rakyat dan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif; dan (2)

kesenjangan ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat dan daerah,

antardaerah, antarpelaku, dan antargolongan pendapatan, telah meluas ke seluruh

aspek kehidupan sehingga struktur ekonomi tidak kuat yang ditandai dengan

berkembangnya monopoli serta pemusatan kekuatan ekonomi di tangan

sekelompok kecil masyarakat dan daerah tertentu.

93

Page 94: Isi Makalah

Pengangguran makin meningkat dan meluas, hak dan perlindungan tenaga kerja

belum terwujud, jumlah penduduk miskin semakin membengkak, dan derajat

kesehatan masyarakat juga menurun drastis. Gejala itu bahkan menguat dengan

terdapatnya indikasi kasus-kasus kurang gizi di kalangan kelompok penduduk

usia bawah lima tahun, yang dapat mengakibatkan timbulnya generasi yang

kualitas fisik dan inteleknya rendah.

Konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijaksanaan.

Namun, didalam pengalaman praktik selama ini, justru terjadi pengolahan sumber

daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang

mengganggu kelestarian alam.

Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan

yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang

berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan.

Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama

kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak

kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan

yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan

menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.

Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi belum

dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga

belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam menghadapi kerjasama dan

persaingan global.

Kehidupan beragama belum memberikan jaminan akan peningkatan kualitas

keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat.

Merebaknya penyakit sosial, korupsi dan sejenisnya, kriminalitas, pemakaian obat

terlarang, perilaku menyimpang yang melanggar moralitas, etika dan kepatutan,

memberikan gambaran terjadinya kesenjangan antara perilaku formal kehidupan

keagamaan dengan perilaku realitas nyata kehidupan keseharian.

94

Page 95: Isi Makalah

Status dan peranan perempuan dalam masyarakat masih bersifat subordinatif dan

belum sebagai mitra sejajar dengan laki-laki, yang tercermin pada sedikitnya

jumlah perempuan yang menempati posisi penting dalam pemerintahan, dalam

badan legislatif dan yudikatif, serta dalam masyarakat.

Penurunan peranan dan kualitas diri terjadi juga di kalangan generasi muda.

Kreativitas, kemauan, dan kemampuan mengembangkan pemikiran dan

melakukan kegiatan eksploratif, melakukan aksi sosial untuk berani coba ralat

pada generasi muda mengalami hambatan sehingga pada akhirnya menghambat

proses kaderisasi bangsa.

Luasnya ruang lingkup pembangunan daerah terutama dalam rangka pelaksanaan

otonomi daerah belum didukung oleh kesiapan dan kemampuan sumber daya

manusia dan aparatur pemerintah daerah yang memadai serta belum adanya

perangkat peraturan bagi pengelolaan sumber daya alam di daerah.

Pelaksanaan politik luar negeri yang lemah, antara lain karena tingginya

ketergantungan pada utang luar negeri mengakibatkan turunnya posisi-tawar

Indonesia dalam percaturan internasional.

Keseluruhan gambaran tersebut menunjukkan kecenderungan menurunnya

kualitas kehidupan dan jati diri bangsa. Kondisi itu menuntut bangsa Indonesia,

terutama penyelenggara negara, para elite politik dan pemuka masyarakat, agar

bersatu dan bekerja keras melaksanakan reformasi dalam segala bidang kehidupan

untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

95

Page 96: Isi Makalah

BAB 7

KESIMPULAN

Dari penjelasan-penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Ketahanan Nasional Indonesia adalah :

Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan

nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung

kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan

mengatasi Ancaman, Gangguan, Hambatan, Tantangan (AGHT) baik yang

dating dari dalam maupun dari luar negeri untuk menjamin identitas, integritas

dan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan

nasionalnya. Dalam pengertian tersebut, ketahanan nasional adalah kondisi

kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dengan pembinaan sejak dini,

sinergik dan kontinue, secara pribadi, keluarga, daerah dan nasional. Dengan

bermodalkan, keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan

mengembangkan kekuatan nasional, berdasarkan pemikiran geostrategis

berupa: konsepsi yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan

kondisi dan konstelasi geografis Indonesia. Konsepsi tersebut dinamakan

Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia.

2. Pengertian konsepsi ketahanan nasional indonesia.

Konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan

penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan

selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh dan

terpadu berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Konsepsi

Ketahanan Nasional merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan

(metode) keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan

mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan

keamanan. Kesejahteraan digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam

96

Page 97: Isi Makalah

menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi

kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah dan jasmaniah. Keamanan

digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam melindungi nilai-nilai

nasionalnya terhadap ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.

3. Hakikat ketahanan nasional & konsepsi ketahanan nasional Indonesia

Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah Keuletan dan ketangguhan

bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,

untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam

mencapai tujuan nasionalnya. Hakikat Konsepsi Ketahanan Nasional

Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan

keamanan secara seimbang, serasi, selaras dalam seluruh aspek kehidupan

nasional.

97

Page 98: Isi Makalah

DISKUSI MAKALAH

A. Indikator Hankam (pertanyaan dari kelompok A2)

Pertanyaan :

1. Mengapa bangsa Indonesia gagal mempertahankan pulau Sipadan dan

Ligitan sehingga akhirnya pulau tersebut jatuh ke tangan Malaysia?

2. Sebelumnya, usaha apa yang dilakukan Indnesia untuk mempertahankan

kedua pulau tersebut?

3. Faktor apa yang menyebabkan kedua pulau tersebut diperebutkan oleh

kedua Negara?

Jawaban :

1. Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki

kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan

pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah

melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud

kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,

pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan

operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata

yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor

pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi

Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya

mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel

4º 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari

titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional

pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya,

Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan

kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of title”

(rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).

98

Page 99: Isi Makalah

2. 1967: Indonesia-Malaysia melakukan pertemuan baik formal maupun

informal secara bilateral dan regional (ASEAN) dalam rangka

penyelesaian sengketa Sipadan-Ligitan secara damai.

1969: Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia-Malaysia membicarakan

batas dasar laut antara kedua negara.

1974 Malaysia mulai membangun infrastruktur Sipadan-Ligitan lengkap

dengan resort wisata.

21 Desember 1979: Malaysia mengukuhkan Peta zaman Belanda yang

mencakup landas laut dan perairannya hingga Laut Sulawesi sejauh 200

mil dari perbatasan maritime Malaysia.

21 Maret 1980: Pemerintah Indonesia mengumumkan ZEE sejauh 200 mil

diukur dari garis dasar pantai.

26 Maret 1980: Pertemuan Soeharto dan Dato Hussen Onn di Kuantan

memutuskan untuk menyelesaikan masalah melalui rundingan, namun

usaha tersebut gagal.

1989: Pembicaraan kembali Presiden Soeharto dan P.M Mahathir

Muhammad masalah Sipadan dan Ligitan.

1990: Malaysia menempatkan satu regu polisi hutan untuk menjaga

kepentingan warga Sipadan dari gangguan “mundu” bajak laut dari

Filipina Selatan

1992: Pertemuan pejabat tinggi kedua negara menghasilkan kesepakatan

pembentukan Komisi Bersama (Joint Commission/JC) dan Kelompok

Kerja Bersama (Joint Working Groups/JWG). Tetapi dari serangkaian

pertemuan JC dan JWG tidak membawa hasil. Indonesia menunjuk

Mensesneg Moerdiono dan Malaysia menunjuk Wakil PM Datok Anwar

Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan

99

Page 100: Isi Makalah

forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala

Lumpur tidak pernah mencapai kesepakatan.

6-7 Oktober 1996: Presiden Soeharto dan PM Mahathir menyetujui

rekomendasi wakil khusus.

31 Mei 1997: disepakati “Special Agreement for the Submission to the

International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia

Concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.

2 November 1998: Special Agreement disampaikan secara resmi ke

Mahkamah Internasional (ICJ) dan mulai diproses di ICJ.

2 Novenber 1999: Kedua negara menyampaikan posisi masing-masing

melalui “Written Pleading” kepada Mahkamah Memorial

2 Agustus 2000: Counter Memorial

2 Maret 2001: Reply

3-12 Juni 2002: “Oral Hearing” dari kedua negara bersengketa. Wakil

Malaysia dan Indonesia saling mempertahankan hak kedaulatan atas

pulau-pulau tersebut di edpan MAhkamah Internasional.

17 Desember 2002: Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) memberi hak

kedaulatan terhadap wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap

Malaysia.

3. Pengakuan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan merupakan upaya Malaysia

dalam power seeking. Dengan mengambil alih P.Sipadan dan Ligitan

berarti wilayahnya bertambah luas dan tentunya Malaysia berhak

mengelola segala sesuatu (sumber daya alam) yang ada di kedua pulau

maupun yang terkandung di dalam lautnya. Bahkan ada kemungkinan

untuk mengakui wilayah lain di Indonesia sebagai miliknya. Padahal

Malaysia tahu bahwa kedua pulau tersebut merupakan wilayah Indonesia,

hal ini terbukti melalui peta zaman belanda yang dikukuhkan Malaysia

100

Page 101: Isi Makalah

pada tahun 1979 di mana tertera Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

merupakan bagian dari wilayah Indonesia.

B. Indikator Budaya ( pertanyaan dari kelompok A3 )

Pertanyaan :

1. Dari sudut pandang sosial dan budaya, apakah kerusuhan poso merupakan

faktor terhambatnya pluralistik ?

2. Berikan contoh nyata dari solusi konflik Poso tentang pencegahan sedini

mungkin, terutama kewaspadaan terhadap gerak – gerik seseorang atau

sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam, maksudnya

bagaimana ?

3. Pada kasus poso apakah dengan adanya deklarasi maluku kasus itu benar

selesai ? Upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk menghindari

kerusuhan sosial akibat beragamnya budaya ?

Jawaban :

1. Iya, karena dalam kerusuhan poso ini penyebabnya adalah pertikaian suku

dan pemeluk agama islam dan kristen. Yaitu konflik yang bernuansa

SARA. Antar suku dan agama yang berbeda saja dapat menjadi

penghambat dan sampai menimbulkan kerusuhan, yang seharusnya

sebagai masyarakat yang mempunyai perbedaan harus saling

menghormati. Tapi dalam kasus Poso rasa menghargai dan menerima antar

sesama dan saling menghormati itu tidak ada. Masyarakat hanya hidup

dengan kelompoknya sendiri, tidak ingin membaur dan bersatu. Sehingga

kehidupan kebersamaan yang sebenarnya bisa mereka lakukan tapi tidak

akan tercapai, karena tiap individu hanya mementingkan ego mereka.

Sehingga sulit untuk mencapai kerukunan dan kebersamaan. Jadi dapat

dikatakan kerusuhan poso ini merupakan faktor terhambatnya pluralistik.

101

Page 102: Isi Makalah

2. Pencegahan sedini mungkin maksudnya masayarakat disemua kalangan,

baik kalangan pengusaha dan mahasiswa harus turut serta dalam dalam

penyelesaian konflik poso. Dan juga harus ditanamkan sejak kecil pada

Masyarakat poso, agar tidak menimbulkan pertikaian. Karena dengan

ditanamkannya sejak kecil maka masyarakat akan dapat hidup dengan

masyarakat yang mempunyai perbedaan dengan dirinya. Contoh dari

kewaspadan terhadap gerak – gerik seseorang adalah di penduduk poso

jika ada pemilihan umum itu dulu dengan pemilihan hanya satu target.

Seperti pemilihan bupati, bupati A yang terpilih yang mempunyai agama

Kristen, namun dalam peraturan jika bupati A terpilih, maka bupati

tersebut harus memilih wakil bupati yang beragama lain, misalnya

beragama islam. Namun faktanya bupati memilih masyarakatnya sendiri

yang beragama kristen, dan satu orang yang beragama islam yang sangat

menginginkan untuk menjadi bupati atau wakil bupati justru tidak terpilih.

Sehingga karena umat kristen tidak adil dalam pembagian jabaatan, yang

akhirnya berubah menjadi pertikaian dan kerusuhan.

3. Tidak bisa, karena bukan hanya dengan deklarasi maluku saja, tapi dari

kesadaran mereka sendiri, dan dari orang lain yang memberi pencerahan

kepada mereka. Dan dari kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa

harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan

melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus

pada masalah politik. Dan harus bersatu membangun secara paralel.

Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso segera

berakhir. bila semua pihak mau berikrar secara serius dan tulus. Artinya,

semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang menghimpitnya

selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu. Pencegahan

sedini mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara masyarakat

harus diutamakan. Terutama, perlunya kewaspadaan terhadap gerak-gerik

seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam

sekam. Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar

dilaksanakan.

102

Page 103: Isi Makalah

C. Indicator agama (pertanyaan dari kelompok A1)

Pertanyaan :

1. Apa faktor yang memicu terjadinya kerusuhan sosial dengan indicator

agama, contoh kasus ambon?

Jawaban :

1. Faktor yang memicu terjadinya kerusuhan social dengan indicator agama

pada kasus ambon antara lain :

a. Kekerasan atas nama agama yang terjadi di (ex: Ambon) adalah

sebuah bentuk kekerasan sosial yang menggunakan agama, baik

sebagai subyek maupun obyek yang memicu terjadinya kekerasan.

Kekerasan atas nama agama menyebar dengan cepat dan berlaku

komunal karena dipicu tiga faktor, yaitu kesalahan memahami doktrin

agama yang dilakukan pemeluk agama, kesalahan memahami

komunikasi agama dan kesalahan menggunakan sentimen agama.

b. Kesalahan yang berakar pada doktrin agama menyebabkan doktrin

agama yang memberikan peluang berbuat kekerasan dipahami secara

serampangan dan dianggap sebagai konstruksi kuat melegalkan

kekerasan. Kesalahan komunikasi agama memicu perbedaan doktrin

agama yang dipahamipemeluknya bersifat eksklusif dan menganggap

agama lain sebagai saingan, penghalang dan musuh yang harus

dilenyapkan.

D. Indikator Pancasila (pertanyaan dari kelompok A4)

Pertanyaan :

1. Berdasarkan dari pernyataan yang telah dijelaskan, dapat diartikan bahwa

sebenarnya akar dari permasalahan bermula dari kesalahan para pemimpin

Negara yang akhirnya menyebabkan kerusuhan di berbagai aspek

103

Page 104: Isi Makalah

kehidupan. Padahal bila ditelusuri lagi seharusnya para pemimpin sudah

berideologi Pancasila. Bagaimana menurut kelompok anda dan bagaimana

cara menyikapinya?

Jawaban :

1. Seiring dengan modernisasi, globalisasi, dan reformasi, sebagian budaya

positif mulai tercemar dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan jati

diri bangsa kita. Persoalan budaya dan karakter bangsa yang mendesak

untuk dihadapi dan dipikirkan alternatif pemecahannya. Terutama kasus

korupsi, penggunaan kekerasan fisik, kejahatan seksual, perusakan,

kehidupan ekonomi yang konsumtif, serta kehidupan politik yang tidak

produktif.

Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena

banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego

daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman

Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa

di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa

sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks).

Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena

banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego

daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman

Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa

di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa

sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks).

Seperti pada kasus Sape, Bima, salah satu efek dari otonomi daerah adalah

tidak jelasnya intervensi yang harus diambil oleh Pemerintah Provinsi

kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten bila terjadi hal-hal seperti ini.

Jajaran pemerintah provinsi seolah-olah hanya menunggu apa yang akan

terjadi, kemudian baru merumuskan langkah-langkah pascakejadian,

belum bisa lebih jauh melakukan intervensi sebelum kasus terjadi padahal

104

Page 105: Isi Makalah

seharusnya dengan perangkat yang ada bisa dioptimalkan peran intelijen

dan arapat yang ada untuk megantisipati segala musibah dan kerusuhan

yang terjadi. Dalam ranah sorotan kepemimpinan ini ada beberapa hal

yang harus diperhatikan yaitu kepemimpinan Bupati, seolah-olah menjadi

kepemimpinan yang absolut tanpa mau dan tidak peduli dengan semua

masukan yang telah diberikan kepadanya untuk menjada kondosivitas

masyarakat. Hal ini tampak dari rekomendasi dari KOMNAS HAM, yang

diabaikan oleh Bupati Bima sebelum kejadian berlangsung. Dan seolah-

olah bupati menjadi raja kecil yang semua keputusannya menjadi titah

yang haram untuk ditinjau ulang bahkan dicabut. Bupati kurang

melakukan antisipasi psikologis dan sosial dan hanya mengedepankan

kepentingan ekonomi sesaat yang tentu hal ini berpihak pada perusahaan

yang tentu akan hanya memperkaya individu-individu tertentu. Kedua,

kepemimpinan provinsi yang hanya bisa wait and see terhadap persoalan

yang terjadi di Kabupaten Bima, hal ini karena efek dari otonomi daerah,

pemerintah provinsi dan jajarannya hanya mampu melakukan sebuah

langkah-langkah pasca kerusuhan karena khawatir dikatakan ikut

mengintervensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kabupaten

Dalam hal ini pengambilan keputusan akan lebih efektif jika anggota

masyarakat yang bersangkutan (keluarga korban), tokoh masyarakat,

tokoh agama, tokoh pemuda, para pimpinan Polri, pimpinan TNI, serta

pemerintah pusat dan daerah, berunding untuk menentukan keputusan

yang tepat. Oleh sebab itu jalur diskusi yang telah dilakukan antar elemen

masyarakat dinilai tepat sebagai salah satu upaya psikologis untuk

mengembalikan situasi kondusif. Kelompok masyarakat akan lebih

terbuka mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, informasi dan ide-

ide mereka jika tingkat kepercayaan tinggi. Diharapkan jalur diskusi yang

mempertemukan dua kubu tersebut dapat berlangsung secara periodik.

Penyelesaian dengan cara tersebut sebagai salah satu implikasi nyata yang

menunjukkan diterapkannya sila Pancasila ke empat yakni kerakyatan

105

Page 106: Isi Makalah

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan. Seorang pemimpin seharusnya mengutamakan musyawarah

untuk mencapai mufakat, seperti yang terkandung dalam nilai pancasila

tersebut. Selain itu, nilai pancasila pada sila ke lima, yakni keadilan bagi

seluruh rakyat, juga tetap harus ditegakkan, maksudnya adalah kalaupun

negosiasi tidak dapat dilakukan, setidaknya pemimpin harus mengambil

keputusan yang memberi kebaikan kepada kedua pihak, supaya

masyarakat merasa diperlakukan adil.

Apabila dengan cara tersebut tidak dapat dilakukan, maka penyelesaiannya

adalah dengan melaporkan ketidakadilan tersebut pada aparat yang lebih

berkuasa dan lebih berwenang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika

memang dirasa tidak bisa dilakukan lagi, maka demonstrasi bisa menjadi

salah satu alternatif untuk mengutarakan suara. Hal ini sah-sah saja

dilakukan selama para demonstran masih bisa mengendalikan diri dan mau

mentaati peraturan dalam melakukan demonstrasi dan tidak berlaku

anarkis. Sesungguhnya, demonstrasi tidak selalu berdampak buruk, tetapi

juga ada sisi positifnya, seperti pada masa Soeharto, disamping dampak

buruknya terhadap perekonomian maupun kalangan etnis tertentu,

demonstrasi besar tersebut mampu menngakhiri masa pemerintahan kalut

presiden Seharto dan menjadi awal dimulainya masa demokrasi yang

sebenarnya.

106

Page 107: Isi Makalah

DAFTAR PUSTAKA

Budhisantoso, S. 2012. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Kebudayaan

Bangsa. Available at http://lppkb.wordpress.com/2008/06/19/pancasila-

paradigma-bangsa/

Edison, S. 2012. Rusuh Bima Karena Aparat Ragu. Available at

http://www.wartasemesta.com/priyo-rusuh-bima-karena-aparat-ragu/

Habibi, Muazar. 2012. Upaya Psikologis Mewujudkan Situasi Kondusif

Pascakerusuhan di Pelabuhan Sape . Available at

www.suarantb.com/2012/01/12/Sosial/detil5%201.html

Prawidya, Annisa. 2010. Era Globalisasi dan Ketahanan Nasional. Available at

http://annisaprawidya1991.blogspot.com/2010/04/era-globalisasi-dan-

ketahanan-nasional.htm

Primoraharahap. 2009. Strategi Pertahanan Nasonal – Bangkit dari Krisis.

Avialable at http://umum.kompasiana.com/2009/04/23/strategi-ketahanan-

nasional-bangkit-dari-krisis/

Salmony, Rooy John. Kerusuhan Ambon sebagai Konflik Sosial,

http://www.suaramerdeka.com/harian/9908/11/kha2.htm (10 Agustus

2009)

Satori, Akhmad. Konsep Ibn Khaldun tentang Pemerintahan dan Negara,

htp//politepress. Blogsport.com/2007/N//new-artcle 2-25.htmi (5 Pebruari

2009)

107

Page 108: Isi Makalah

Tunny, Aziz. Nadi Toleransi di Lumbung Konflik, Pela-Gandong Salam-Sarane,

source: http://www.geocities.com/lokkie2005/rvp070306.htm (5 Maret

2006)

108