Post on 02-Feb-2016
description
Iritable Bowel Syndrome
Pendahuluan
Irritable bowel syndrome (IBS) adalah suatu penyakit fungsional gastrointestinal
(termasuk fungsional dispepsia) dan mempunyai sifat kronis yang ditandai oleh nyeri atau
sensasi tidak nyaman pada abdomen, fibromyalgia, nyeri panggul kronis, interstitial cystitis,
kembung dan perubahan kebiasaan buang air besar adalah salah satu sindrom yang paling umum
dilihat dalam pencernaan dan penyedia perawatan primer, dengan prevalensi di seluruh dunia
dari 10 sampai 15%. (4,6)
Perubahan psikologis dan fisiologis adalah hal yang mendasari penyakit ini dalam
mempengaruhi regulasi system gastrointestinal, persepsi visceral dan integritas mukosa. Onset
IBS tidak di pengaruhi oleh faktor psikologis karena IBS bukan kelainan psikiatrik atau
psikologis, tetapi faktor psikologis dapat berperan penting dalam persistensi dan berat keluhan
abdomen. (1,4)
Dengan tanpa adanya penyebab organ terdeteksi, IBS disebut sebagai gangguan fungsional, dan
dapat di definisikan oleh kriteria diagnostic berdasarkan manifestasi klinis yang dikenal sebagai
“Kriteria Rome” yang terdiri dari Rome i, Rome ii, Rome iii dan terdapat pula kriteria Manning.
(1,6)
Epidemiologi
Prevalensi IBS di dunia menurut Emeran A.Mayer tahun 2008 menunujukkan sekitar 10
– 15 % masyarakat di dunia terkena IBS. Hanya 25-50% masyarakat dengan gejala nyeri perut
(sedang-berat) mencari perawatan medis. IBS terutama terjadi antara usia 15 dan 65. Presentasi
pertama pasien ke dokter biasanya dalam kelompok usia 30-50 tahun (6,7).
Gejala IBS (atau gejala gastrointestinal fungsional terkait lainnya) sering pada masa
kanak-kanak; estimasi prevalensi IBS pada anak-anak adalah mirip dengan orang dewasa. Rasio
perempuan-pria adalah 2: 1 di sebagian besar sampel berdasarkan populasi dan lebih tinggi di
antara orang-orang yang mencari perawatan kesehatan. Gejala-gejala seperti IBS berkembang di
sekitar 10% dari pasien dewasa setelah infeksi enterik bakteri atau virus(6).
Prevalensi IBS meningkat di negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, terutama di negara-
negara dengan ekonomi berkembang. Perkiraan prevalensi IBS (menggunakan kriteria diagnostik
Roma II) bervariasi di kawasan Asia-Pasifik. Prevalensi dilaporkan termasuk 0,82% di Beijing,
5,7% di Cina selatan, 6,6% di Hong Kong, 8,6% di Singapura, 14% di Pakistan, dan 22,1% di
Taiwan. Sebuah penelitian di Cina menemukan bahwa prevalensi IBS seperti yang didefinisikan
oleh kriteria Roma III di klinik rawat jalan adalah 15,9% (7).
Klasifikasi
Berdasarkan kriteria Rome iii dan karakteristik feses pasien IBS dapat di klasifikasikan menjadi
(7):
IBS dengan Diare (IBS-D)
- Feses lembek/cair ≥25% waktu dan feses padat/bergumpal <25% waktu
- Lebih umum ditemui pada laki-laki
- Ditemukan pada satu pertiga kasus
IBS dengan konstipasi (IBS-C)
- Feses padat/bergumpal ≥25% dan feses lembek/cair <25% waktu
- Lebih umum ditemui pada wanita
- Ditemukan pada satu pertiga kasus
IBS dengan campuran kebiasaan buang air besar atau pola siklik (IBS-M)
- Feses padat/bergumpal dan lembek/cair ≥25% waktu
- Ditemukan pada satu pertiga kasus
Berdasarkan gejala klinisnya klasifikasi lain dapat di gunakan (7):
Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus
- IBS predominan nyeri
- IBS predominan kembung
Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress
Etiologi dan Patofisiologi
Banyak faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya IBS seperti riwayat
keluarga ,gangguan motilitas, abnormalitas neurotransmitter, intoleransi makanan, faktor
psikososial, hipersensitivitas visceral dan pasca infeksi usus (1,5)
a. Riwayat keluarga dan genetik
Dokter telah lama menyadari bahwa riwayat keluarga IBS adalah nilai dalam
menegakkan diagnosa. Adanya IBS dalam keluarga tak bisa lepas dengan adanya riwayat
keluarga. Keluarga terutama yg langsung contohnya ayah, ibu, adik, maupun kakak
mempunyai resiko 2 kali lebih besar terkena IBS jika di keluarganya mempunyai riwayat
IBS sebelumnya. Namun beberapa penelitian tidak bsa menbedakan antara pengaruh
genetik dan faktor lingkungan (5).
Sedangkan peran faktor genetic pada IBS ditunjukkan pada beberapa penelitian.
Anggota keluarga yang terkena IBS mempunyai keluhan gastrointestinal yang sama. IBS
lebih rentan pada kembar monozigot daripada kembar dizigot. Hal ini di karenakan
karena adanya gangguan regulasi akibat polimorfisme genetic pada SERT (Serotonin
Reuptake Transporter) yang merupakan peran genetik penting dalam IBS (1)
b. Ganguan motilitas Gastrointestinal
Perubahan motilitas lambung
Perubahan motilitas lambung pada sebagian pasien IBS yaitu terjadinya
pengosongan lambung yang tertuda, terutama zat padat. Ini terutama terlihat pada
pasien dengan konstipasi atau mereka yang mempunyai gejala dispepsia.
Terganggunya pengosongan lambung berkorelasi dengan kurangnya peningkatan
postprandial di electrogastrography (EGG) amplitudo (r = 0,8; p, 0,005).
Selanjutnya, emosi seperti marah dapat menekan kontraktilitas antrum.
Kelainan motilitas usus kecil
Sementara berbagai kelainan aktivitas motorik usus kecil telah dibuktikan di IBS
dalam kondisi studi, tidak ada tanda khusus untuk kondisi tersebut. Gangguan
motorik usus kecil dilaporkan meliputi: peningkatan frekuensi dan durasi
kontraksi usus, peningkatan frekuensi migrating motor complex (MMC),
kontraksi duodenum dan jejunum, dan respon motorik berlebihan terhadapt
makanan yang di konsumsi, distensi ileum, dan cholecystokinin (CCK) (5).
c. Ketidakseimbangan Neurotransmitter
Neurotransmitter yang sangat penting yaitu serotonin yang dapat mengakibatkan
gangguan psikis maupun gangguain gastrointestinal. Lokasi serotonin 5% pada susunan
saraf pusat dan paling banyak pada saluran cerna yaitu sekitar 95% pada sel
enterokromaffin, saraf, selmast dan sel otot polos. Serotonin sangat penting dalam
perannya yaitu mengatur sekresi, motilitas dan keadaan sensori pada saluran cerna
melalui aktivasi sejumlah reseptor pada saluran cerna.
Sedangkan neurotransmitter lain yang memiliki peran penting contohnya,
calcitonin gene-related peptide acethylcoline, substance P, pituitary adenylate cyclase-
activating polypeptide, nitric oxide dan vasoactive intestinal peptide. Neurotransmitter ini
menghubungkan antara kontaktilitas usus, sensitivitas visceral, system saraf usus dan
system saraf pusat.
Sel enterosit mempunyai peranan penting dalam mengatur keseimbangan
serotonin yaitu dengan membuangnya dari ruangan interstitial melalui aksi SERT
(Serotonin Reuptake Transporter). Peningkatan pelepasan mediator contohnya nitrit
oxide, interleukin, histamine dan protesase menstimulasi system saraf enteric, dan dapat
menyebabkan gangguan motilitas, sekresi serta hiperalgesia system saluran cerna. (5)
(3)
d. Intoleransi makanan
Intoleransi makanan didefinisikan sebagai gejala yang berkaitan dengan asupan
makanan, dengan atau tanpa temuan obyektif, dilaporkan oleh 25% -65% dari pasien-
pasien dengan IBS. Hal ini telah dikaitkan dengan mekanisme imunologi, alergi, racun
dan kejiwaan.
Usus diatur dan dikendalikan oleh neuropeptide yang memediasi perubahan
motilitas dan fungsi usus. Pasien IBS menunjukkan peningkatan motilitas sigmoid dan
peningkatan makanan yang menginduksi sekresi serotonin. (2)
e. Faktor psikososial
Fungsi motor pada usus halus dan kolon di pengaruhi oleh faktor psikologis , baik
pada orang normal maupun pasien IBS. Sekitar 60% pasien pada pusat rujukan memiliki
gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi dan cemas. Dan pasien dengan diagnose IBS
lebih sering memiliki gejala ini (1).
f. Hipersensitivitas visceral
Sakit perut dan ketidaknyamanan menyebabkan morbiditas yang cukup besar
pada pasien IBS dan merupakan komponen penting dari kriteria diagnostik. Sekitar dua
pertiga dari pasien menunjukkan peningkatan sensitivitas nyeri pada stimulasi usus,
sebuah fenomena yang dikenal sebagai hipersensitivitas visceral. Hipersensitivitas
visceral diduga memainkan peran penting dalam pengembangan rasa sakit kronis dan
ketidaknyamanan pada pasien IBS (5).
Hipersensitivitas visceral disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang melibatkan
sensitifitas dari sensitisasi perifer dan central (5).
Sensitisasi Perifer
Selama cedera jaringan dan peradangan, nociceptor terminal perifer terkena
mediator imun dan inflamasi seperti prostaglandin, leukotrien, serotonin,
histamin, sitokin, faktor neurotropik, dan metabolit reaktif. Mediator inflamasi ini
bekerja pada terminal nociceptor, yang mengarah ke aktivasi jalur sinyal
intraseluler, yang mengakibatkan upregulate sensitivitas dan rangsangan.
Fenomena ini telah disebut sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer diyakini
menyebabkan hipersensitivitas nyeri di lokasi cedera atau peradangan, juga
dikenal sebagai hiperalgesia primer (peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan
yang menyakitkan) dan allodynia (nyeri abnormal yang disebabkan oleh stimulus
yang biasanya tidak menimbulkan nyeri)
Sensitisasi sentral
Konsekuensi sekunder dari sensitisasi perifer adalah pengembangan wilayah
hipersensitivitas pada jaringan terluka sekitarnya (sekunder hiperalgesia /
allodynia). Fenomena ini terjadi karena peningkatan rangsangan dan bidang
reseptif dari neuron spinal dan hasil dalam perekrutan dan amplifikasi masukan
baik non-nociceptive dan nociceptive dari jaringan sehat yang berdekatan
g. Pasca infeksi usus
Sekitar 3-35% pasien IBS mendapatkan gejala yang muncul dalam waktu 6-12
bulan setelah terjadinya infeksi system gastrointestinal. Secaraa khusus di temukan sel-
sel inflamasi mukosa terutama sel mast di beberapa bagian duodenum dan kolon,
mengakibatkan peningkatan pelepasan mediator (nitric oxide, interleukin, histamin, dan
protease) yang akan menstimulasi sistem saraf enterik; mediator yang dikeluarkan
menyebabkan gangguan motilitas, sekresi serta hiperalgesia sistem gastrointestinal (4).
h. Absorbsi buruk karbohidrat dan serat/fiber
Pemicu gejala IBS pada pasien dengan bahan makanan tertentu telah dikaitkan
dengan FODMAPs (Fermentable Oligo-, Di- and Monosaccharides and Polyols) dan
asupan FODMAPs dihipotesiskan menjadi salah satu faktor untuk etiologi IBS.
FODMAPs adalah Karbohidrat rantai pendek yang tidak dapat diserap oleh usus dan
terdapat pada makanan seperti, gandum, buah buahan, kacang-kacangan,sayur-sayuran.
FODMAPs telah ditemukan untuk memicu gejala gastrointestinal pada IBS, dan diet
rendah-FODMAPs mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Manifestasi Klinis
IBS biasanya mempunyai gejala klinis yang bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung
dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang biasanya menyertai seperti perubahan defekasi
dapat berupa diare, konstipasi atau diare yang diikuti dengan konstipasi. Diare terjadi dengan
karakteristik feses yang lunak dengan volume yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa
hari sampai bulan dengan diselingi diare atau defekasi yang normal.
Keluhan yang biasa di derita pasien yaitu perut terasa kembung dengan produksi gas
yang berlebihan dan melar, feses disertai mukus, keinginan defekasi yang tidak dapat di tahan
dan perasaan defekasi tidak sempurna. Gejala dapat hilang setelah beberapa bulan dan kemudian
kambuh kembali pada beberapa orang dan dapat juga mengalami perburukan gejala (1).
Penegakan Diagnosis
Diagnosis IBS berdasarkan atas kriteria gejala yang mempertimbangkan atas demografi
dari pasien seperti umur, jenis kelamin maupun ras dan menyingkirkan penyakit organ (1).
I. Anamnesis
Keluhan
- Deskripsi Nyeri
- Nyeri Konstan
- Gangguan Defekasi
Faktor psikologis
Faktor keluarga
Faktor diet
Faktor presipitasi dan eksaserbasi
Tanda bahaya
II. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak banyak menunjukkan abnormalitas, pemeriksaan tanda
sistemik harus diikuti juga dengan pemeriksaan abdomen. pasien diminta untuk
menunjukkan area nyerinya. Nyeri visceral jarang terlokalisir, jika terlokalisir merupakan
nyerti atipikal dan sebaiknya dipertimbangkan diagnose banding IBS (4).
Pemeriksaan abdomen meliputi: Ispeksi, auskultas, palpasi perkusi dan digital rectal
examination
III. Pemeriksaan penunjang
Kaskade penegakan diagnose IBS menurut WGO,2009 (7):
Level 1
Riwayat, physical examination, exclusion of alarm symptoms, pertimbangan psikologik
faktor
Full blood count (FBC), erythrocyte sedimentation rate (ESR) or C-reactive protein
(CRP), stool studies (white blood cells, ova, parasites, occult blood)
Thyroid function, tissue transglutaminase (TTG) antibody
Colonoscopy and biopsy*
Fecal inflammation marker (e.g., calprotectin)
Level 2
Riwayat, physical examination, exclusion of alarm symptoms, pertimbangan psikologik
faktor
FBC, ESR or CRP, stool studies, thyroid function
Sigmoidoscopy*
Level 3
Riwayat, physical examination, exclusion of alarm symptoms, pertimbangan psikologik
faktor
FBC, ESR, and stool examination
Catatan: Di negara-negara "kaya", tidak semua pasien perlu bahkan orang-orang dengan
gejala dan tanda-tanda alarm dan mereka yang berusia lebih dari 50. Kebutuhan
investigasi dan sigmoidoskopi dan kolonoskopi, juga harus ditentukan oleh karakteristik
pasien (menyajikan fitur, usia, dll) dan lokasi geografis (yaitu, apakah atau tidak di
daerah prevalensi tinggi penyakit radang usus, penyakit celiac, kanker usus besar, atau
Penegakan diagnose berdasarkan Guideline
Saat ini beberapa kriteria diagnose untuk IBS diantaranya kriteria manning, Kriteria Rome I , II,
dan III (1,6)
Kriteria Manning Feces cair pada saat nyeri
Frekuensi BAB bertambah pada saat
nyeri
Nyeri kurang setelah BAB
Tampak abdomen distensi
Gejala tambahan yang sering muncul :
Lendir saat BAB
Perasaan tidak lampias pada saat BAB
Kriteria Rome II Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus
berurutan) selama 12 bulan terakhir dengan
rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen,
disertai dengan adanya 2 dari 3 hal berikut :
Nyeri hilang dengan defekasi
Awal kejadian dihubungkan dengan
perubahan frekuensi defekasi
Awal kejadian dihubungkan dengan
adanya perubahan feses
Gejala lain :
o Ketidaknormalan frekuensi defekasi
o Kelainan bentuk feses
o Ketidaknormalan proses defekasi (harus
Catatan: Di negara-negara "kaya", tidak semua pasien perlu bahkan orang-orang dengan
gejala dan tanda-tanda alarm dan mereka yang berusia lebih dari 50. Kebutuhan
investigasi dan sigmoidoskopi dan kolonoskopi, juga harus ditentukan oleh karakteristik
pasien (menyajikan fitur, usia, dll) dan lokasi geografis (yaitu, apakah atau tidak di
daerah prevalensi tinggi penyakit radang usus, penyakit celiac, kanker usus besar, atau
dengan mengejan , inkontinensia defekasi,
atau rasa defekasi tidak tuntas)
- Adanya mukus/lender
- Kembung
Kriteria Rome III Nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya
3 hari perbulan dalam 3 buan terakhir
dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut:
1. Membaik dengan defekasi
2. Onset dihubungkan dengan perubahan
pada frekuensi kotoran
3. Onset dihubngkan dengan perubahan
pada bentuk feses.
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir
dengan onset gejala setidaknya 6 bulan
sebelum diagnose.
Menurut pedoman klinis saat ini, IBS umumnya dapat didiagnosis tanpa tes tambahan di
luar, pemeriksaan fisik umum, dan studi laboratorium rutin (tidak termasuk kolonoskopi) pada
pasien yang memiliki gejala yang memenuhi kriteria Roma dan yang tidak memiliki warning
sign. Warning sign seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah umur 50 tahun.
Pada pasien yang memenuhi kriteria Roma dan tidak memiliki warning sign, diagnosis
diferensial meliputi celiac sprue, kolitis mikroskopik dan kolagen dan penyakit atipikal Crohn
untuk pasien dengan IBS-D, dan Konstipasi Kronis (tanpa nyeri) bagi mereka dengan IBS-C
(1,6).
Terapi dan tatalaksana
NON-FARMAKOLOGI
Pasien harus mendapatkan infromasi yang mendalam terhadap penyakit dan perjalanan
penyakit yang dialaminya. Tujuan terapi IBS adalah mengurangi gejala sehingga meningkatkan
kualitas hidup. Salah satu terapi terpenting dalam terapi non famakologi adalah dengan mengatur
pola diet pada pasien IBS yang penyebab utamanya adalah intoleransi makanan dan lain-lain,
contohnya (2):
i. Intoleransi Laktosa
Banyak pasien yang mengalami intoleransi terhadap produk susu tetapi tidak
mengalami defisiensi laktosa. Susu mempunyai banyak substansi yang dapat di
stimulasi oleh saluran cerna contohnya laktosa, lemak,glukosa dan immunogenic
properties contohnya protein dan immunoglobulin. Pencegahannya dengan
mengecek komposisi dari susu tersebut. Breath hydrogen testing dapat
mengidentifikasi intoleransi laktosa.
Tabel 1 mengacu pada sumber lengkap susu tetapi tidak sepenuhnya berasal dari susu dan
produk-produk terkait. Daftar tabel 2 menyarankan makanan alternative non diary milk
II. Absorbsi buruk karbohidrat dan serat/fiber
Dengan menghindari makanan tinggi FODMAPs dan makan makanan rendah
FODMAPs (2,3)
Berikut ini rekomendasi pola makan berdasarkan beberapa panduan (4):
• Mengurangi proses inflamasi saluran gastrointestinal dengan menghindari stimulan
allergen atau zat kimia seperti benzoat, alkohol, metilxantin, dan kafein yang memicu
keluarnya mediator inflamasi
• Makan tiga kali dalam sehari, tidak mengkonsumsi makanan olahan, makan makanan
segar yang mengandung biji-bijian, serat, vitamin dua hingga tiga kali sehari.
• Pasien IBS dan defi siensi lactase harus menghindari produk mengandung susu. Pasien
yang kembung dan peningkatan gas (flatus) harus menghindari makanan seperti kacang,
bawang, wortel, pisang. Direkomendasikan makanan yang mengandung vinegar,mustard,
tomat.
• Membatasi konsumsi makanan tinggi lemak, dan meningkatkan aktivitas fisik
III. Psikososial
Terapi yang bertujuan untuk meringankan gejala stress. Hipnosis, biofeedback, dan
psikoterapi dapat membantu mengurangi tingkat ansietas, terapi fisik seperti masase
dan akupunktur pada beberapa penelitian dapat mengurangi gejala dan tanda
emosional (4).
FARMAKOLOGI
I. Antispasmodik
Antikolinergik terbukti dapat menurunkan gejala kram perut yang terkait spasme
intestinal. Agen ini lebih efektif sebagai profilaksis nyerir perut akibat spasme dan
mekanisme kerjanya menghambat reflex gastrokolik. Di berikan 30 menit
sebelum makan untuk mencapai kosentrasi optimal sebelum nyeri timbul.
Alkaloid belladonna memiliki efek antispasmodik namun efek sampingnya
xerostomia, retensi urine, pandangan kabur, dan sedasi. Beberapa ahli
berpendapat bahwa penggunaan antikolinergik sintetik, seperti disiklomin dan
hiosin yang memiliki efek samping lebih minimal. Muscle relaxant (mebeverin
dan pinaverium) dan Calcium Channel Blocker (kolpermin dan minyak
peppermint) juga dapat menjadi pilihan.
II. Antidepresan
(tricyclic antidepressant, TCA) dan (selective serotonin reuptake inhibitor, SSRI)
dapat digunakan sebagai terapi IBS karena efek hiperalgesianya. Pada pasien IBS-
D, penggunaan TCA imipramine memperlambat migrasi pada jejunum dan
memberikan efek inhibisi motorik.SSRI paroxetine/fluoxetine mempercepat
transit makanan orocaecal, sangat berguna pada pasien dengan gejala utama
konstipasi. Efikasi TCA dan SSRI pada terapi IBS hasilnya efektif mengatasi
gejala IBS.
III. Probiotik
Mekanisme kerja probiotik pada IBS belum sepenuhnya diketahui. Salah satu
hipotesis menyatakan kerapatan epitel intestinal mencegah bakteri patogen
melakukan infasi di usus; perubahan mikroflora intestinal dapat berdampak pada
fungsi motorik dan sekretorik intestinal; dan menjadi signal epitel lumen usus
untuk memodulasi peningkatan imunitas dan inflamasi usus. Bifidobacteria dan
spesies Lactobacilli memperbaiki gejala IBS.
IV. Manajemen IBS dengan kembung
Pada pasien IBS-C gejala kembung sering di temukan. Kemungkinan mekanisme
kembung meliputi masalah psikososial, kelemahan otot abdominal, relaksasi
paradoksal otot abdomen, dan perubahan sensitivitas visceral (4).
V. Manajemen IBS-C (Predominan Konstipasi)
Pada pasien IBS-C diet tinggi serat sangat di rekomendasikan. Konsumsi serat 12
gram/ hari efektif mengurangi keluhan. Namun, konsumsi serat juga dapat
meningkatkan kejadian kembung.
• Laksatif osmotik sering digunakan untuk konstipasi, penggunaan jangka
panjang terbukti aman dan efektif.
• Magnesium, fosfat, dan emolien mengandung polietilen glikol juga
efisien.
• Anti depresan efektif mengatasi nyeri abdomen.
• SSRI menstimulasi sekresi endorfin endogen dan memblokade ambilan
norepinefrin yang memicu berkurangnya sensasi nyeri.
Pada IBS-C SSRI (misal fluoksetin 20 mg/hari) dapat membantu mengatasi
keluhan nyeri perut. Sertralin 100 mg/hari dapat mengatasi depresi. Penggunaan
imipramine dan amitriptilin pada IBS-C harus diawasi ketat. Tegaserod
merupakan agonis reseptor 5-HT4 pada penelitian klinis dilaporkan mengurangi
gejala umum pasien IBS, namun tegaserod meningkatkan risiko ischemic heart
disease, sehingga sejak Juli 2007 hanya diresepkan pada wanita <55 tahun yang
menderita IBS-C tanpa gejala klinis penyakit kardiovaskular (4).
VI. Manajemen IBS-D (Predominan Diare)
Diare secara umum diatasi oleh golongan obat anti diare. Konsumsi antidiare
dosis rendah (misalnya loperamide setiap pagi) terbukti efektif pada sebagian
pasien. Antidepresan efektif mengontrol nyeri abdomen dan mengatasi keluhan
diare pada IBS. TCA dapat meningkatkan waktu transit di kolon lewat stimulasi
efek antikolinergik yangdapat berguna pada pasien diare. Probiotik dapat
diberikan pada IBS-D (4).
Kesimpulan
IBS merupakan kelainan fungsional gastrointestinal yang ditandai dengan nyeri
perut, rasa tidak nyaman pada perut dan perubahan frekuensi BAB mempunyai
berbagai macam etiologi yang belum di ketahui secara pasti yang kemungkinan
berhubungan dengan perubahan motilitas usus, intoleransi makanan,
hipersensitivitas visceral, infeksi dan lain lain. Terapi IBS biasanya paling banyak
dikaitkan dengan pola diet dibandingkan dengan farmakologis dikarenakan
etiologinya.