Post on 01-Apr-2019
INTERAKSI SOSIAL PARA PENGGUNA NAPZA DALAM MENGIKUTI
METODE THERAPEUTIC COMMUNITY DI PANTI SOSIAL PAMARDI
PUTRA (PSPP) “ GALIH PAKUAN” PUTAT NUTUG-BOGOR
Skripsi ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Nina Riyanti Januarita
NIM : 108052000014
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H. / 2013 M.
ABSTRAK
Nina Riyanti Januarita
Interaksi Sosial Para Pengguna NAPZA Dalam Mengikuti Metode
Therapeutic community Di Panti Sosial Pamardi Putra “ Galih Pakuan” Putat
Nutug-Bogor
Penyalahgunaan NAPZA semakin menjadi masalah serius yang harus
dicari solusi penyembuhannya. Penggunaan NAPZA dapat menimbulkan
kerusakan-kerusakan, bukan hanya kerusakan fisik maupun psikis tetapi juga
dapat merusak kemampuan pengguna dalam berinteraksi sosial di masyarakat.
Untuk itu, tempat rehabilitasi selain untuk pemulihan ketergantungan NAPZA
juga diharapkan menjadi tempat untuk membantu para pengguna NAPZA
membangun kembali kemampuan interaksi sosialnya. Hal ini tentu akan
bermanfaat karena dapat membuat mantan pengguna lebih siap kembali ke
masyarakat saat mereka keluar dari panti rehabilitasi.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian di tempat rehabilitasi yang diperuntukan untuk pengguna
NAPZA yaitu di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Putat Nutug-Bogor.
Di panti ini penanganan para pengguna NAPZA dilakukan dengan menggunakan
metode therapeutic community (TC).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana nteraksi sosial para
pengguna NAPZA dalam mengikuti metode therapeutic community. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor
pendukung dan pengambat dalam membangun interaksi sosial pada metode
therapeutic community.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan
tiga metode yaitu : observasi, wawancara dan dokumentasi.
Penelitian ini menemukan bahwa, interaksi sosial para pengguna NAPZA
dalam mengikuti TC menjadi sangat baik dari yang sulit berbicara menjadi aktif,
dan rajin mengerjakan hal-hal yang lebih positif. Interaksi itu terlihat dari
kegiatan TC seperti dalam kegiatan: morning meeting, morning briefing, sharing
circle, Saturday night activity, peer/personal accountability group evaluation,
seminar, olahraga, religi dll, para pengguna NAPZA berperan aktif di dalam
mengikuti kegiatan tersebut. Adapun faktor pendukung itu adalah struktur yang
terjadwal rapi membuat kegiatan bisa berjalan dengan lancar, keterbukaan, dan
kemauan sembuh dari residen memudahkan interaksi sosial berjalan. Sedangkan
faktor penghambatnya adalah kurangnya perhatian dan teguran dari pimpinan
membuat interaksi sosial sulit terjadi, latar belakang keluarga yang kurang
memberi dukungan membuat anak terkadang tertutup, kurang kuatnya niat residen
dan rusaknya mental dan fikiran residen membuat interaksi sosial sulit dijalankan
dengan cepat.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang dengan karunia dan
hidayah-Nya penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini, salawat beserta salam
semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, juga segenap keluarganya,
para sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menghadapi kesulitan namun
berkat adanya usaha dan bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, kesulitan
tersebut dapat diatasi sehingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kedua Orang Tua tercinta Ayah Edi
Ruspendi dan Ibu yang sangat luar biasa Fatimah, S.Pd.I, untuk kasih sayang,
kesabaran dalam membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh tanggung
jawab sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga sekarang.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dra. Rini Laili Prihantini, M.Si, selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Sugiharto MA, selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ii
4. Bapak Drs. M. Lutfi MA, selaku dosen pembimbing yang telah dengan ikhlas
dan penuh perhatian serta pengarahan dalam membantu penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Dra. Asriati Djamil M.Hum, yang telah banyak memberikan motivasi dan
dorongan agar penulis dapat cepat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Artiarini Puspita Arwan, M.Psi, atas semua masukan dan bantuannya
dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Seluruh Dosen di lingkungan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang
telah banyak memberikan ilmu pengetahuan pada penulis sejak awal kuliah
hingga penulisan skripsi ini selesai.
8. Kepala PSPP “Galih Pakuan”, Bapak H. Dani Widarman, Bapak Iwan
Nurcahya S.Sos M.Si, Bapak Ahmadin S.Pd.I M.Si beserta seluruh staf dan
jajarannya, para Peksos, Residen. Yang telah menyediakan waktu dan tempat
untuk membantu penelitian penulis.
9. Kepada adikku tersayang Adillah Sefti Amarillah, aa sepupuku Revi Septiana
M.Pd atas bantuannya dalam hal apapun.
10. Jojo Jauharudin, untuk motivasi dan dukungannya yang selalu membuat
penulis menjadi pribadi yang lebih baik.
11. Sahabatku Dessy Rizka dan Aisyah Syaftarini, yang selalu ada menemani
penulis saat suka dan duka penulis.
12. Keluarga BPI angkatan 2008 Hapipah, Sundus, Putri (kebersamaan yang tak
terlupakan dari awal pekuliahan). Irhamna, Eka, Nila, Nong Via, Ike, Ayu,
Firda, Fitri, Sirly, Fenti, Indah, Jannah, Netta, Tri, Oki, Ocid, Enan, Boi,
Wisnu, Dhano, untuk canda, tawa, suka maupun duka yang kita lewati
iii
bersama-sama dari awal semester dan sampai sekarang, sampai kapanpun akan
terkenang. Serta adik-adik kelas BPI angkatan 2009, 2010, 2011.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang
berlipat ganda atas semua jasa dan bantuan serta pengorbanan yang telah diberikan
kepada penulis.
Ciputat, Maret 2013
Nina Riyanti Januarita
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................. i
KATAPENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 9
D. Metodologi Penelitian ...................................................................... 10
1. Metode Penelitian ....................................................................... 10
2. Lokasi dan waktu Penelitian ...................................................... 11
3. Subjek dan Objek Penelitian ...................................................... 11
4. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 11
5. Sumber Data ............................................................................... 13
6. Analisa Data ............................................................................... 13
7. Teknik Penulisan ........................................................................ 13
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 14
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 16
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Interaksi Sosial …………………………………………………….. 17
1. Pengertian Interaksi Sosial ......................................................... 17
2. Syarat-Syarat Terjadinya Interaksi Sosial .................................. 19
3. Faktor-Faktor yang Mendasari Interaksi Sosial .......................... 20
B. Pengertian NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya) dan Dampaknya…………………………………………… 22
1. Pengertian Narkotika .................................................................. 22
2. Pengertian Psikotropika .............................................................. 24
3. Pengertian Zat Adiktif lainnya ................................................... 25
4. Penyebab Penggunaan NAPZA ................................................. 25
v
5. Dampak Penyalahgunaan NAPZA ............................................. 27
C. Therapeutic Community .................................................................... 27
1. Pengertian Metode ..................................................................... 27
2. Pengertian Therapeutic Community ........................................... 28
3. Karakteristik Metode Therapeutic Community ........................... 30
BAB III
GAMBARAN UMUM PSPP “ GALIH PAKUAN”
A. Latar Belakang PSPP “ Galih Pakuan” ............................................ 34
B. Visi dan Misi PSPP “ Galih Pakuan” ............................................... 34
C. Tugas Pokok dan Fungsi .................................................................. 35
D. Peserta dan Narasumber .................................................................... 37
E. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial ............... 38
F. Struktur Organisasi PSPP ” Galih Pakuan” ..................................... 40
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Identitas Informan ............................................................................ 41
B. Interaksi Sosial Para Pengguna NAPZA Dalam Mengikuti
Therapeutic Community .................................................................. 43
a. Waktu Pelaksanaan Therapeutic Community.............................. 45
b. interaksi sosial para pengguna NAPZA dalam metode
therapeutic community ............................................................... 47
C. Analisis Interaksi Sosial Pengguna NAPZA
Dalam Mengikuti Therapeutic Community ………………………... 56
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial
Pengguna NAPZA Dalam Therapeutic Community ........................ 63
1. Faktor pendukung dan penghambat dalam interaksi sosial ……. 63
a. Faktor Pendukung ................................................................ 63
b. Faktor Penghambat ............................................................... 63
vi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 65
B. Saran ................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 69
LAMPIRAN
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
NAPZA kini merupakan salah satu masalah serius, dirasakan tidak
saja pada tingkat lokal dan nasional melainkan juga pada tingkat
internasional. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun penderita penyalahgunaan
NAPZA semakin meningkat. Zat-zat yang disalahgunakan adalah heroin,
kokain, ganja, alkhohol, dan ekstasi (shabu-shabu) serta zat adiktif lainnya.
Zat-zat yang disebutkan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam
gangguan pada sel-sel syaraf otak yang dapat mengakibatkan rusaknya mental
dan prilaku.
Narkoba di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan (dalam waktu operasi dan obat
penenang) dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun di sisi lain,
penggunaan narkoba dapat menyebabkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang
ketat dan seksama.1
Di dalam Al-qur’an memang tidak disebutkan secara rinci tentang
hukum dari NAPZA, akan tetapi seperti halnya khamar, NAPZA juga bisa
menyebabkan seseorang menjadi mabuk. Sesuatu yang memabukan di dalam
Islam disebut khamar, Oleh karena itu, meskipun khamar dan NAPZA
1 Taufik Makarao dkk, Tindak pidana Narkotika, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2007),
h. 17.
2
berbeda bentuk, hukum penggunaan NAPZA yang memabukkan memabukan
dan merusak akal fikiran manusia adalah haram.
Peringatan-peringatan dalam Al-qur’an tentang khamar/NAPZA
sudah dijelaskan. Allah berfirman : (QS. Al-baqarah: 219)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.2
Seiring perkembangan zaman, minuman atau zat/obat yang
memabukan (yang saat ini dikenal dengan NAPZA) menjadi bervariasi.
Sedikit atau banyaknya NAPZA yang dikonsumsi jika menyebabkan mabuk
itu haram hukumnya.
Firman Allah : (QS. Al-Maidah: 90)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah
2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan, ( Kudus: Menara Kudus, 2008), h. 34.
3
adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.3
Terkait dengan penyalahgunaan narkoba, di Indonesia terjadi
peningkatan yang cenderung tajam. Data terbaru Badan Narkotika Nasional
(BNN) pada Februari 2006 menyebutkan, dalam lima tahun terakhir jumlah
kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik 51,3 persen atau
bertambah sekitar 3.100 kasus per tahun. Kenaikan tertinggi terjadi pada 2005
sebanyak 16.252 kasus atau naik 93 persen dari tahun sebelumnya. Di tahun
yang sama tercatat 22 ribu orang tersangka kasus tindak pidana narkoba.
Kasus ini naik 101,2 persen dari 2004 sebanyak 11.323 kasus.4
Jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia dari tahun 2004 ke
2008 naik sekitar 20% yaitu 2,80 juta orang menjadi sekitar 3,3 juta orang
pada tahun 2008. Dengan demikian semakin maraknya peredaran narkoba
akan meningkat sekitar 4,58 juta orang di tahun 2013 apabila upaya
pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran narkoba tidak
berjalan efektif.5
Permasalahan NAPZA di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
bertambah. Awal mula muncul pada tahun 1969, pada tahun 1975 pemerintah
menyatakan jumlah penyalahgunaan NAPZA terdapat 5000 orang.
Selanjutnya, pada tahun 1990 (15 tahun kemudian) dinyatakan jumlahnya
meningkat menjadi 85.000 orang dan terus bertambah seiring berjalannya
3 Ibid, h. 123.
4 “kasus Narkoba di Indonesia naik tajam ,” artikel ini diakses pada tanggal 21-juni-2012.
“http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/kasus-narkoba-di-Indonesia-naik-
tajam.html. 5 Pencegahan Penyalahgunaan NARKOBA bagi Remaja, ( Jakarta : Badan Narkotika
Nasional, 2011), h. 1.
4
waktu sampai saat ini. Ibarat gunung es, kasus penyalahgunaan narkoba
tampak di permukaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak tampak.
Dengan kata lain artinya bahwa bila ada satu yang menyalahgunakan NAPZA
artinya ada sepuluh orang lain yang mengkonsumsinya.6
Dari permasalahan yang timbul di atas, maka perlu adanya
kontribusi dari berbagai pihak untuk partisipasi membantu para pengguna
NAPZA untuk dapat pulih kembali. Upaya untuk pulih tidak hanya berasal
dari diri sendiri, tetapi juga perlu didukung oleh keluarga, masyarakat, pihak
kepolisian, dokter atau psikiater bahkan jika sudah sangat fatal perlu
dilakukan pengobatan melalui panti rehabilitasi.
NAPZA sudah seharusnya diperangi dengan dua sudut yaitu
pertama, supply reduction dan demand reduction. Yang termasuk upaya
supply reduction adalah penegakan hukum, pencegahan penyelundupan dan
peredaran NAPZA. Sedangkan yang termasuk demand reduction adalah
upaya di bidang prevensi, terapi dan rehabilitasi. Dari sudut pandang agama
Islam, perang melawan NAPZA ini dapat dikategorikan sebagai jihad dalam
rangka amar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan menolak
kepada kejahatan dan kebatilan).7
Pemerintah diharapkan dapat menangani dengan serius
permasalahan NAPZA agar dapat meminimalisir penyalahgunaan yang dapat
merusak masa depan anak bangsa. Perlu penanganan khusus yang dilakukan
6 Dadang Hawari, AL-QUR’AN Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, ( Yogyakarta
: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), cet. Ke-3, h. 263-265. 7Ibid, h. 267-268.
5
untuk pemakai NAPZA, pengguna NAPZA bukan orang jahat atau pelaku
tindak kriminal, mereka adalah korban. Maka, hukuman yang pantas untuk
mereka adalah hukuman rehabilitasi, bagi pengguna hukuman rehabilitasi
sangat penting utnuk melepaskan diri dari ketergantungan.
Oleh karena itu, para pengguna NAPZA diharapkan dapat di
rehabilitasi melalui panti rehabilitasi yang sudah banyak tersebar di
Indonesia, baik milik pemerintah, maupun swasta dengan berbagai macam
bimbingan dan terapi yang diberikan.
Panti rehabilitasi ada untuk membantu korban penyalahgunaan
NAPZA sehingga mereka mampu untuk terbebas dari pengaruh NAPZA dan
membuat mereka mampu menyadari kesalahan yang mereka lakukan dan
lebih membangun lagi sikap positif. Bimbingan yang diberikan merupakan
bimbingan yang dapat meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada tuhan yang
maha esa, intelektual, sikap dan perilaku mereka baik di dalam panti maupun
nanti ketika mereka pulih dari ketergantungan NAPZA.
Rehabilitasi pada pengguna NAPZA menjadi penting karena
seseorang yang telah menyalahgunakan NAPZA akan mengalami penurunan
dan kerugian. Antara lain, merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan
kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, perubahan
mental dan perilaku anti sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan
kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, dan tindakan
6
kekerasan lainnya baik yang kuantitatif maupun kualitatif dan akhirnya
kematian sia-sia.8
Resiko psikososial penyalahgunaan NAPZA akan mengubah
seseorang menjadi pemurung, pemarah, pencemas, depresi, paranoid, dan
mengalami gangguan jiwa; menimbulkan sikap bodoh, tidak perduli dengan
penampilan, sekolah, rumah, menjadi pemalas, serta tidak ada sopan santun,
tidak peduli dengan norma masyarakat, hukum dan agama.9 Resiko
psikososial dari NAPZA selanjutnya dapat mengganggu kemampuan
pengguna dalam berinteraksi sosial, baik di lingkungan keluarga, teman
maupun masyarakat sekitarnya.
Ketergantungan NAPZA pada dasarnya merupakan penyakit otak.
Karena itulah persoalan kekambuhan pada para pecandu bukan merupakan
masalah yang disebabkan oleh kurang kuatnya motivasi untuk pulih
melainkan disebabkan oleh perubahan otak yang sering kali membutuhkan
waktu lama untuk beradaptasi kembali dengan kondisi bebas zat
(abstinensia).10
Program rehabilitasi dimaksud sebagai serangkaian upaya yang
terkoordinasi dan terpadu terdiri dari upaya-upaya medik, bimbingan mental,
psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk
meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri
8Ibid, h. 242.
9Departemen Agama RI, Penanggulangan penyalahgunaan NARKOBA Oleh Masyarakat
Sekolah, ( Jakarta : BALIT Agama dan Kemasyarakatan, 2003), h. 5. 10
http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/ hasil-penelitian-
jumlah-pasien-korban-penyalahguna-narkoba-di-tempat-terapi-dan-rehabilitasi-di-13-provinsi-di-
indonesia. artikel ini diakses pada 21 Juni 2012.
7
sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai potensi yang di miliki
baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Interaksi dalam pelaksanaan sangat
dibutuhkan dalam proses terapi karena dapat membantu para pecandu dalam
beradaptasi dengan para pecandu lainnya dan juga dengan lingkungan panti.
Interaksi sosial yang dibangun di dalam panti rehabilitasi juga dapat
membantu para pengguna NAPZA untuk bahan perbandingan ketika keluar
nanti bisa atau tidaknya mereka berinteraksi sosial dengan baik di
masyarakat. Sebab, apabila interaksi sosialnya di kelompok-kelompok karena
beberapa sebab berjalan tidak lancar atau tidak wajar, kemungkinan besar
bahwa interaksi sosialnya dengan masyarakat pada umumnya juga berjalan
tidak wajar. 11
Bimbingan dan terapi rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba
semakin tumbuh dan berkembang di masyarakat baik melalui sistem panti,
luar panti, dan berbasis masyarakat. Metode penanganan korban
penyalahgunaan narkoba yang profesional dan dibutuhkan pada saat ini
adalah penerapan metode Therapeutic Community (TC), yaitu sistem
pelayanan terpadu dalam panti terapi dan rehabilitasi. Penggunaan metode
Therapeutic community hanya dilakukan pada panti rehabilitasi tertentu, tidak
semua panti menerapkan jenis bimbingan seperti ini.
Metode Therapeutic Community mulai berkembang pada tahun
1963 dengan didirikannya Daytop Village di New York Amerika Serikat dan
11
W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, ( Bandung: Eresco, 1987), h. 181.
8
sekarang telah berkembang di 63 negara.12
Therapeutic Community pada
mulanya ditujukan untuk pasien-pasien psikiatri yang dikembangkan sejak
perang dunia kedua. Asal mulanya therapeutic community adalah kelompok
synanon di Amerika Serikat yaitu self-help group atau kelompok kecil yang
saling membantu dan mendukung proses pemulihan yang awalnya sangat di
pengaruhi oleh gerakan alcoholic anonymous. Metode therapeutic community
cukup berhasil dilaksanakan di luar negeri, sebanyak 80% residen berhasil
bertahan pada kondisi terbebas dari zat (abstinensia) dalam waktu yang
cukup lama, apabila residen berhasil mengikuti tahapan sampai selesai. Atas
dasar keberhasilan ini maka Kementrian sosial RI mempertimbangkan untuk
menggunakan dan menerapkan metode therapeutic community.13
Salah satu panti di Kementerian Sosial RI yang menggunakan
metode therapeutic community yaitu Panti Sosial Pamardi Putra “Galih
Pakuan”. Panti yang terletak di Jalan H. Miing No. 71 Desa Putat Nutug
Kecamatan Ciseeng Kabupaten Bogor ini berdiri sejak tahun 1982 dan mulai
beroperasi mulai tahun 1983. Sedangkan, awal mula penerapan metode
therapeutic community sendiri sejak tahun 1992. Dengan adanya metode ini
dapat membantu para pengguna NAPZA bebas dari ketergantungan NAPZA.
Pada akhirnya mereka dapat mengatasi permasalahan penyalahgunaan
NAPZA dan membantu membangun interaksi sosial sehingga ketika keluar
dari panti dapat kembali berinteraksi kepada masyarakat dengan baik.
12
Ayu Oktaviani, Skripsi ( Lingkungan Fisik Rumah Rehabilitasi Pengguna Narkoba
dengan Metode Therapeutic Community : Studi Kasus di UNITRA Lido BNN dan FAN Campus),
Fakultas Teknik UI, 2010. 13
M tavip, Tesis ( pelaksanaan therapeutic community dan rehabilitasi terpadu bagi
narapidana narkotika dan psikotropika di lembaga pemasyarakatan klas 1 medan dihubungkan
dengan system pemasyarakatan) , sekolah pasca sarjana USU, 2009.
9
Dari paparan diatas penulis tertarik mengkaji dan mengambil judul
skripsi tentang : “Interaksi Sosial Para Pengguna NAPZA Dalam
Mengikuti Metode Therapeutic Community di PSPP “Galih Pakuan”
Putat Nutug-Bogor.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk memfokuskan permasalahan yang ada di dalam penelitian
ini, maka penulis hanya membatasi masalah pada interaksi sosial para
pengguna NAPZA dalam mengikuti metode therapeutic community.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana interaksi sosial para pengguna NAPZA dalam mengikuti
therapeutic community?
b. Apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat interaksi sosial
dalam metode therapeutic community?
3. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan di
atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui interaksi sosial para pengguna NAPZA Dalam
Mengikuti Therapeutic community.
2) Untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat
interaksi sosial dalam metode therapeutic community.
10
b. Manfaat
1). Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan pengalaman
dan menambah pelajaran atau pengetahuan dan menambah
wawasan mengenai bimbingan dan terapi Therapeutic community
yang ada di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan”
2). Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan
mendasar khususnya bagi pihak lembaga panti sosial pamardi
putra dan umumnya untuk seluruh panti sosial terutama dalam
menumbuh kembangkan nilai-nilai bimbingan kelompok terhadap
pasien penyalahgunaan NAPZA sehingga dapat membantu
mereka sembuh dari ketergantungan.
3). Terhadap jurusan, penelitian ini bermanfaat agar dapat menjadi
bahan referensi dan memberi masukan kepada prodi BPI
mengenai pelaksanaan therapeutic community untuk rehabilitasi
pengguna NAPZA.
C. Metodelogi Penelitian
1. Metode Penelitian
Untuk mengetahui interaksi sosial para pengguna NAPZA
dalam mengikuti metode therapeutic community dan
mendeskripsikan fenomena yang ada di lapangan. Maka, penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini penulis
berusaha menguraikan atau menggambarkan interaksi sosial para
pengguna NAPZA dalam mengikuti metode therapeutic community.
11
2. Lokasi Penelitian
a. Lokasi yang di pilih untuk melakukan penelitian adalah di
Lembaga PSPP “Galih Pakuan” Putat Nutug-Bogor. Alasan
peneliti mengambil penelitian di lembaga tersebut karena
lembaga ini merupakan tempat rehabilitasi korban NAPZA
dengan menggunakan metode Therapeutic Community. Disini
juga merupakan lembaga milik pemerintah yang bernaung di
bawah Kementrian Sosial.
b. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan mulai dari 5 Desember
2012 sampai dengan 2 Februari 2013.
3. Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 3 residen, 2 peksos/pembina
dan 1 kepala seksi program dan advokasi sosial di panti lembaga
PSPP “Galih Pakuan”.
b. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah interaksi sosial para pengguna
NAPZA.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
penting dalam sebuah penelitian, karena tujuan utama dari penelitian
ini adalah memperoleh data.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan:
12
1. Observasi
Dalam hal ini peneliti mengadakan penelitian langsung terhadap
metode therapeutic community dalam membangun interaksi
sosial para pengguna NAPZA di PSPP “Galih Pakuan”. Dalam
observasi ini, apa yang dialami oleh peneliti yang berhubungan
dengan metode tersebut akan dicatat dan dituangkan kedalam
skripsi sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
2. Wawancara
Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu,
percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, antara interviewer
mengajukan pertanyaan dan interviewee memberikan jawaban
atas pertanyaan itu.14
Wawancara dilakukan dengan residen dan
peksos/Pembina untuk menggali informasi mengenai interaksi
sosial pengguna NAPZA dalam mengikuti metode therapeutic
community.
3. Dokumentasi
Dokumentasi, yaitu pengambilan data-data yang diperoleh
melalui dokumen-dokumen yaitu dengan mengumpulkan data
yang berhubungan dengan masalah penelitian baik dari sumber
dokumen yang tersedia di Panti Rehabilitasi, maupun buku-
buku, dan lain sebagainya.
14
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif,( Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2000), h. 186.
13
5. Sumber data
Sumber data adalah subjek utama dalam proses penelitian
masalah di atas. Adapun sumber-sumber data dari penelitian ini
adalah :
a) Sumber data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari
informan.
b) Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku,
literatur, brosur, dan artikel yang memiliki relevansi terhadap
objek penelitian ini.
6. Analisa Data
Teknik analisis data yaitu proses penyederhanaan data ke
dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan
diinterpretasikan15
. Data-data yang dikumpulkan dengan cara
observasi dan wawancara dan diolah dengan menggunakan
Penelitian kualitatif. Tujuannya untuk menggambarkan bagaimana
interaksi sosial para pengguna NAPZA dalam mengikuti metode
Therapeutic Community di PSPP “Galih Pakuan”.
7. Teknik penulisan
Dalam teknik penulisan skripsi ini , penulis menggunakan
buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertai)
yang disusun oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan
15
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metodologi Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES,
1995), cet. ke-1, h. 263.
14
oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)
tahun 2007.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum penulis melakukan penelitian, penulis menelaah
terlebih dahulu skripsi yang penulis jadikan tinjauan kepustakaan yaitu
skripsi yang ditulis oleh:
1. Siti Mutmainah ( 104052001996) dengan judul skripsi “Pelaksanaan
Terapi Seni dalam Pengembangan Kreatifitas Pasien NAPZA di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur Jakarta Timur”.
Penelitian ini menjelaskan macam-macam terapi seni dalam
mengembangkan kreatifitas pasien NAPZA, kekurangan yang ada di
penelitian ini hanya melihat para pengguna NAPZA melaksanakan
terapi seni saja ia tidak melihat dari kemampuan dari diri masing-
masing pengguna.
2. Nazwa Bilqis (107052002008) dengan judul skripsi “Metode Taubat
untuk Penanganan Korban NAPZA dalam Pembentukan Kesalehan
Individu di Yayasan Pesantren Nurul Jannah Kebon Kopi Cikarang
Utara”. Dalam penelitian ini menggambarkan tahap-tahap
pelaksanaan metode taubat untuk menangani korban NAPZA,
kekurangan di dalam penelitian ini hanya melihat dari segi
religiusnya untuk penanganan pengguna NAPZA.
3. Amelia (104052001970) dengan judul skripsi “Pelayanan Konseling
pada Rehabilitasi Pasien NAPZA di RSKO Jakarta”. Penelitian ini
melihat pelayanan-pelayanaan konseling rehabilitasi NAPZA di
15
RSKO Jakarta, sayangnya kekurangan dari penelitian ini tidak
menganalisis perubahan yang dirasakan para pengguna NAPZA di
RSKO.
4. Maria Ulfah (107052000463) dengan judul “Metode Therapeutic
Community bagi Residen Narkotika di Unit Terapi dan Rehabilitasi
BNN Lido-Bogor”. dalam skripsi ini menggambarkan macam-
macam kegiatan Therapeutic Community. Sayangnya dalam
penelitian ini tidak melihat bagaimana perkembangan interaksi para
residen.
5. Moh. Khafid rossid (104052001988) dengan judul “Efektifitas
Konseling pada Rehabilitasi NAZA di RS Khusus Darma Graha
BSD”. Di skripsi ini melihat efektifitas dari konseling untuk korban
NAPZA, sayang di skripsi ini tidak menjabarkan kegiatan apa saja
yang dilakukan untuk melihat efektif atau tidak layanan konseling di
sana.
Berbeda dengan yang penulis teliti yaitu: “interaksi sosial para
pengguna NAPZA di PSPP “Galih Pakuan” Putat nutug-Bogor Dalam
Mengikuti Metode therapeutic community”. Penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang sebelumnya karena di sini peneliti melihat
interaksi sosial para pengguna NAPZA dalam mengikuti metode
Therapeutic Community bukan lagi melihat bagaimana penanganan
pengguna NAPZA seperti penelitian-penelitian sebelumnya.
16
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang masing-masing bab
terdiri atas beberapa sub bab yang saling berkaitan, sehingga menjadi
satu kesatuan utuh. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
Bagian pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini berisi tentang
dasar pemikiran yang menjadi latar belakang masalah, batasan masalah
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bagian kedua tinjauan Teoritis. Dalam bab ini, penulis
membahas tentang pengertian interaksi sosial, faktor-faktor yang
mendasari terjadinya interaksi sosial, syarat-syarat terjadinya interaksi
sosial, pengertian NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif
lainya), penyebab penggunaan NAPZA, dampak dari penggunaan
NAPZA, dan pengertian metode, pengertian therapeutic community,
karakteristik therapeutic community.
Bagian ketiga gambaran umum. Dalam bab ini dijelaskan
tentang latar belakang berdirinya PSPP “Galih Pakuan”, visi dan misi,
tugas pokok dan fungsi, peserta dan narasumber, kegiatan pelayanan dan
rehabilitasi sosial, dan struktur organisasi PSPP “Galih Pakuan”
Bagian keempat Temuan dan Analisis Data. Bab ini berisikan
tentang identitas informan, interaksi sosial para pengguna NAPZA dalam
mengikuti TC,waktu pelaksanaan therapeutic community, analisis
17
interaksi sosial para pengguna NAPZA dalam mengikuti metode TC,
faktor pendukung dan faktor penghambat dalam interaksi sosial.
Bagian kelima penutup. Mengenai kesimpulan dan saran.
Namun dari keseluruhan penulisan skripsi ini diawali dengan abstrak,
kata pengantar, daftar isi, serta diakhiri dengan daftar pustaka dan
lampiran.
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Interaksi Sosial
1. Pengertian Interaksi Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial dimana dalam setiap aktivitas
kehidupannya membutuhkan orang lain untuk membantu satu sama lain,
dalam menjalani kehidupan sosial pasti ada sebuah interaksi sosial sehingga
dapat mengerti apa yang diinginkan oleh orang lain.
Bimo Walgito dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sosial
mengatakan bahwa:
“Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan
yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau
sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik.
Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok atau kelompok dengan kelompok. Di dalam interaksi sosial ada
kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau
sebalikmya. Pengertian penyesuaian disini dalam arti luas, yaitu bahwa
individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau
sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan
dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang
bersangkutan”.1
Sebagaimana pula yang di kemukakan oleh Soerjono Soekanto
bahwa, “Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia”.2
1 Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), ( Yogyakarta : C.V Andi Offset,
2003), h. 65. 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2005), h. 61.
19
Dalam buku Psikologi Sosial karya W.A Gerungan mengutip
pernyataan Bonner “interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau
lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya”.3
Kemudian mengutip penyataan Thibaut dan Kelley dalam buku
Sarlito Wirawan Sarwono, “Interaksi sosial menerangkan hubungan dua
orang (atau lebih) dimana mereka saling tergantung untuk mencapai hasil-
hasil yang positif. Premis dasar yang dipakai adalah : interaksi sosial hanya
akan diulangi kalau peserta-peserta dalam interaksi itu mendapat ganjaran
sebagai hasil dari kesertaannya”.4
Selanjutnya dalam buku Sosiologi Sebuah Pengantar Yusran
Razak mengutip dari pendapat Young bahwa, “interaksi sosial adalah kontak
timbal balik antar dua orang atau lebih”.5
Dari beberapa pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan
bahwa interaksi sosial adalah hubungan dua orang atau lebih yang saling
mempengaruhi satu sama lain sehingga terjadinya suatu hasil yang dapat
dicapai bersama.
2. Syarat-Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Yusron Razak menjelaskan secara rinci bahwa suatu interaksi
sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu :
1. Adanya kontak sosial (social-contact)
3 W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, ( Bandung : PT Erosco, 1987), h. 57.
4 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2003),
h. 35. 5 Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, ( Jakarta : Laboratorium Sosiologi Agama,
2008), h. 57.
20
Kata kontak berasal dari bahasa latin, yaitu con dan cum
(bersama-sama) dan tango (menyentuh) jadi artinya bersama-sama
menyentuh. Kontak sosial mempunyai dua sifat. Yang pertama
bersifat primer, artinya terjadi apabila hubungan diadakan secara
langsung yang berhadapan muka. Yang kedua bersifat sekunder
artinya suatu kontak memerlukan perantara.
Kontak sosial dapat terjadi dengan dua cara, yang pertama
adalah verbal atau gestural, yaitu kontak yang terjadi melalui saling
menyapa, saling bicara, dan berjabat tangan. Yang kedua adalah
cara non-verbal atau non gestural yaitu kontak yang tidak
mempergunakan kata-kata atau bahasa melainkan dengan isyarat
2. Adanya komunikasi ( communication)
Arti penting dari komunikasi adalah seseorang memberikan
tafsiran pada perilaku orang lain. Tafsiran tersebut dapat berwujud
melalui pembicaraan, gerak-gerik badan atau sikap perasaan-
perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Interaksi
sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Interaksi sosial baru bisa berlangsung apabila dilakukan
minimal dua orang atau lebih.
b. Adanya interaksi dari pihak lain atas komunikasi dan
kontak sosial
c. Adanya hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi
antara satu dengan yang lainnya.
d. Interaksi cenderung bersifat positif, dinamis, dan
berkesinambungan.
e. Interaksi cenderung menghasilkan penyesuaian diri bagi
subjek-subjek yang menjalin interaksi.
f. Berpedoman pada norma-norma atau kaidah sebagai acuan
dalam interaksi sosial.6
3. Faktor-Faktor Yang Mendasari Interaksi Sosial
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk mencapai
interaksi sosial yang baik maka harus ada kontak sosial dan
komunikasi dengan orang lain sehingga dapat mencapai tujuan
bersama. Untuk itu, setiap individu yang melaksanakan interaksi
sosial biasanya mengikuti individu lainnya. Menurut Yusron Razak
ada beberapa faktor yang mendasari interaksi sosial. Yaitu “faktor
imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi dan faktor simpati”.
6 Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar,( Jakarta : Laboratorium Sosiologi Agama,
2008), h. 58-59.
21
1. Faktor Imitasi
Seperti yang dikemukakan oleh G. Tarde Imitasi merupakan
dorongan untuk meniru orang lain. Menurut Tarde imitasi ini
merupakan satu-satunya faktor yang mendasari atau melandasi
interaksi sosial.
Terhadap pendapat Tarde ini sukarlah orang dapat menerima
seluruhnya. Memang faktor imitasi mempunyai peranan yang penting
dalam kehidupan masyarakat atau dalam interaksi sosial, namun
demikian imitasi bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang
mendasari interaksi sosial. Imitasi tidaklah berlangsung dengan
sendirinya, sehingga individu yang satu akan dengan sendirinya
mengimitasi individu yang lain, demikian sebaliknya.
2. Faktor Sugesti
Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang
datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain, yang
pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang
bersangkutan.
Karena itu sugesti dapat dibedakan ; (1) auto sugesti, yaitu sugesti
terhadap diri sendiri, sugesti yang datang dalam diri individu yang
bersangkutan, dan (2) hetero sugesti, yaitu datang dari orang lain.
Peranan sugesti dan imitasi dalam interaksi sosial hampir sama
satu dengan yang lainnya, namun sebenarnya keduanya berbeda.
Dalam hal imitasi orang yang mengimitasi keadaanya aktif, sedangkan
yang diimitasi adalah pasif, dalam arti bahwa yang diimitasi tidak
dengan aktif memberikan apa yang diperbuatnya. Hal ini tidak
demikian dalam sugesti. Dalam sugesti orang dengan sengaja, dengan
secara aktif memberikan pandangan-pandangan, pendapat-pendapat,
norma-norma dan sebagainya agar orang lain dapat menerima apa
yang diberikannya itu.7
3. Faktor Identifikasi
Faktor lain yang memegang peranan dalam interaksi sosial ialah
faktor identifikasi. Identifikasi adalah suatu istilah yang dikemukakan
oleh Freud, seorang tokoh dalam psikologi dalam, khususnya dalam
psikoanalisis. Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik
(sama) dengan orang lain.
4. Faktor Simpati
Selain faktor-faktor tersebut diatas faktor simpati juga memegang
peranan dalam interaksi sosial, simpati merupakan perasaan rasa
tertarik pada orang lain. Oleh karena simpati merupakan perasaan,
maka simpati tidak atas dasar logis rasional, melainkan atas dasar
perasaan atau emosi. Dalam simpati orang merasa tertarik pada orang
lain yang seakan-akan berlangsung dengan sendirinya. Disamping
individu mempunyai kecenderungan tertarik pada orang lain, individu
juga mempunyai kecenderungan untuk menolak orang lain, ini yang
7 Ibid, h. 66-68.
22
sering disebut antipasti. Jadi kalau simpati bersifat positif, maka
antipasti bersifat negatif.
Dalam antipasti individu menunjukan adanya rasa penolakan pada
orang lain. Simpati berkembang dalam hubungan individu satu dengan
individu yang lain, demikian pula antipasti. Dengan timbulnya
simpati, akan terjalin saling pengertian yang mendalam antara
individu satu dengan individu yang lain. Dengan demikian maka
interaksi sosial yang berdasarkan atas simpati akan jauh lebih
mendalam bila dibanding dengan interaksi baik atas dasar sugesti
ataupun imitasi.8
B. Pengertian NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya)
dan Dampaknya
a. Narkotika
Narkotika berasal dari bahasa inggris yaitu “Narcotics” yang
berarti obat yang menidurkan atau obat bius.9
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Narkotika adalah “obat
untuk menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa
ngantuk atau rangsangan (opium, ganja, dsb)”.10
Kemudian Departemen Agama RI, mengungkapkan bahwa
“Narkotika adalah bahan atau zat aktif yang bekerja pada sistem syaraf, dapat
menyebabkan hilangnya kesadaran dan rasa sakit, dan dapat pula
menyebabkan ketergantungan atau adiksi. Jenis-jenisnya adalah putaw
(heroin), ganja, kokain, morfin, hasish, opium”.11
8 Ibid, h. 72-74.
9 S. Warjowarsito dan Tito W, Kamus Lengkap Bahasa Inggris- Indonesia, Indonesia-
Inggris, ( Bandung: 1980), h. 122. 10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 609. 11
Departemen Agama RI, Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh Masyarakat
Sekolah, ( Jakarta:2003), h . 4.
23
Dalam buku A. Kadarmanta menurut pasal 1 butir (1) Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika ( UU No. 22/1997) :
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan”.12
Narkotika tidak hanya berupa satu jenis obat. Tetapi, banyak sekali
golongannya yaitu golongan I, golongan II dan golongan III. Dalam Undang-
Undang No. 22 tahun 1997 menjelaskan secara rinci tentang golongan
narkotika. Narkotika dikelompokan kedalam tiga golongan, yaitu :
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
2. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk
pengobatan yang dogunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
3. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.13
Dari pemaparan pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan
bahwa narkotika adalah bahan atau obat yang dapat merubah tingkat
kesadaran manusia yang dapat berpotensi mengakibatkan ketergantungan
dengan dosis tinggi.
12
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta : Forum Media Utama,
2010), h. 41. 13
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar
Maju, 2003), cet. ke-1, h. 167-168.
24
b. Psikotropika
Psikotropika merupakan salah satu zat yang dapat digunakan untuk
pengobatan dan dapat berbahaya jika digunakan dengan dosis yang berlebihan.
Di dalam buku Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh
Masyarakat Sekolah, Psikotropika adalah zat atau bahan yang bekerja pada
sistem syaraf pusat, dapat menyebabkan perubahan pada aktifitas mental dan
perilaku, dan dapat menyebabkan ketergantungan atau adiksi. Jenis-jenisnya
yaitu ekstasi, shabu-sabu, LSD, pil BK, rohypnol, magadon, valium,
mandrax.14
Kemudian Hari Sasangka mengungkapkan bahwa “Psikotropika
adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan,
atau pengalaman”.15
Adapun jenis-jenis psikotropika berdasarkan Undang-Undang No.
5 tahun 1997 psikotropika dibedakan menjadi empat golongan. Yaitu :
1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhaisat
untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotorpika yang berkhasiat
untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat
untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
14
Departemen Agama RI, Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh Masyarakat
Sekolah, ( Jakarta:2003), h. 4. 15
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar
Maju, 2003), cet. ke-1, h. 125-126.
25
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.16
Dari beberapa pengertian diatas penulis memahami bahwa
psikotropika merupakan zat yang bisa menjadi obat untuk pengobatan jika
digunakan dalam dosis yang sesuai akan tetapi akan menjadi zat yang dapat
merusak susunan sistem syaraf pusat jika dikomsumsi secara berlebihan.
c. Zat Adiktif Lainnya
Hari Sasangka menjelaskan bahwa “zat-zat adiktif lainnya yaitu
selain narkotika dan selain psikotropika. Penggunaanya dapat menimbulkan
ketergantungan. Contoh : Rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang
memabukkan dan menimbulkan ketagihan, cafein pada kopi dan jamur pada
tahi sapi”.17
d. Penyebab Penggunaan NAPZA
Ketika seseorang memutuskan untuk mengkonsumsi NAPZA
terdapat beberapa penyebab yang ditemukan sehingga seseorang sering
mengkonsumsinya. Menurut Dadang Hawari yang terdapat di dalam
bukunya, terdapat tiga faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA ditinjau dari
sudut pandang psikodinamik, yaitu: faktor predisposisi, faktor kontribusi, dan
faktor pencetus.
a. Faktor Predisposisi
Adalah gangguan kepribadian (anti sosial), kecemasan, dan
depresi. Seseorang dengan gangguan kepribadian tidak mampu
untuk berfungsi secara wajar dan efektif dalam menjalani
kehidupan sehari-hari atau bergaul dengan lingkungan sosial.
Untuk mengatasi ketidakmampuan berfungsi secara wajar dan
untuk menghilangkan kecemasan dan deprsinya itu maka orang
16
Ibid, h. 125-126 17
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar
Maju, 2003), cet. ke-1, h. 43.
26
cenderung menyalahgunakan NAPZA. Upaya ini dimaksudkan
untuk mencoba nmengobati dirinya sendiri atau sebagai bentuk
pelarian.
b. Faktor Kontribusi
Adalah kondisi keluarga yang terdiri dari tiga komponen, yaitu
keutuhan keluarga, kesibukan keluarga dan hubungan interpersonal
antar keluarga. Seseorang yang berada dalam kendisi keluarga
yang tidak baik akan merasa tertekan, dan ketertekanan itu dapat
merupakan faktor penyerta bagi dirinya sendiri terlibat dalam
penyalahgunaan NAPZA.
Kondisi keluarga yang tidak baik atau disfungsi keluarga yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Keluarga tidak utuh.
2. Kesibukan Orang Tua.
3. Hubungan interpersonal yang tidak baik.
c. Faktor Pencetus
Adalah pengaruh teman kelompok sebaya dan NAPZA nya itu
sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Hawari menyebutkan
bahwa pengaruh kelompok teman sebya mempunyai andil 81,3%
bagi seseorang terlibat penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan
tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh mempunyai andil
88% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan NAPZA.18
Ditinjau dari pendekatan kesehatan jiwa, pemakai zat dibagi
menjadi beberapa golongan :
a. Experimental Use, yaitu pemakaian zat yang tujuannya ingin
mencoba, sekedar memenuhi rasa ingin tahu.
b. Social Use, disebut juga recreational use yaitu penggunaan zat-zat
tertentu pada waktu resepsi (minum wishky) atau untuk mengisi
waktu senggang (merokok) atau pada waktu pesta ulang tahun atau
waktu berkemah ( menghisap ganja bersama-sama teman).
c. Situasional Use, yaitu penggunaan zat pada saat mengalami
ketegangan, kekecewaan, kesedihan, dan sebagainya dengan
maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
d. Abuse atau penyalahgunaan, yaitu suatu pola penggunaan yang
bersifat patologik, paling sedikit satu bulan lamanya, sehingga
menimbulkan gangguan fungsi sosial.
e. Dependent Use, yaitu bila sudah dijumpai toleransi dan gejala
putus zat bila pemakaian zat dihentikan atau dikuarangi dosisnya.19
18
Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA : NArkotika, Alkohol
dan Zat Adiktif lain, ( Jakarta: FKUI, 2006), h. 24-29. 19
Satya Joewana, Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lain,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 13-14.
27
e. Dampak Penggunaan NAPZA
Pemakaian NAPZA dapat mengakibatkan dampak yang negatif
terhadap penggunanya, terutama bila dilakukan dengan cara disalahgunakan.
Selain merusak kesehatan dampak lain adalah kecanduan. Kecanduan
menyebabkan perilaku obsesif kompulsif, artinya pengguna harus terus
menerus menggunakan NAPZA untuk menghindari rasa sakit. Kemudian
terhadap ekonomi dampak penggunaan NAPZA juga semakin besar.
Menurut A. Kadarmanta dalam buku NARKOBA Pembunuh
Karakter Bangsa, Dampak-dampak dari penggunaan NAPZA :
a. Dampak Ekonomi
Apabila jumlah pengguna NAPZA mencapai 1% dari penduduk
Indonesia, dengan asumsi jumlah penduduk 220 juta jiwa,
maka terdapat 2,2 juta jiwa. Dan apabila setiap pengguna
NAPZA membutuhkan biaya berobat selama 6 bulan, dan rata-
rata biaya Rp. 5.000.000,-/ bulan untuk itu ekonomi nasional
akan terbebani sebesar Rp. 66 triliyun dalam waktu 6 bulan.
Angka tersebut belum termasuk biaya sosial akibat putus
sekolah dan putus kerja.
b. Dampak Kesehatan
Secara garis besar, dampak yang terjadi secara kesehatan dari
penggunaan NAPZA terdiri dari dampak langsung karena zat
aktifnya, baik kesehatan fisik maupun kesehatan psikis. Seperti
HIV, Hepatitis C, rusaknya organ-organ tubuh. Secara psikis
NAPZA merusak hubungan sosial, perubahan kejiwaan.20
C. Metode Therapeutic Community
1. Pengertian Metode
Metode secara etimologi berasal dari dua kata yaitu meta artinya
melalui dan hodos artinya jalan, cara. Dalam bahasa Yunani metode berasal
dari kata methados (jalan), yang dalam bahasa arab berarti thariq.21
20
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta : Forum Media Utama,
2010), h. 54-56. 21
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1991), Cet. ke-1, h. 61.
28
Pengertian yang lebih luas, metode bisa pula di artikan sebagai “segala
sesuatu atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
diinginkan”.22
Menurut Asmuni Syukir dalam buku Dasar-Dasar Strategi Dakwah
Islam Metode adalah suatu pelayanan, suatu jalan atau alat saja.23
Dalam
bahasa inggris disebut method yang artinya cara, yaitu suatu cara untuk
mencapai suatu cita-cita.24
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat memahami bahwa
pengertian metode yang dimaksud adalah cara yang digunakan untuk
mendapatkan sesuatu pencapaian yang di inginkan.
2. Pengertian Therapeutic community
Terapi merupakan bentuk pengobatan yang dilakukan untuk
menyembuhkan seseorang dari suatu masalah yang dirasakan sudah menjadi
ketergantungan, terapi biasanya digunakan untuk masalah-masalah yang sulit
dipecahkan dengan mudah, terapi banyak digunakan di tempat-tempat
Rehabilitasi, rumah sakit, dan biro konsultasi psikologi.
Dalam bahasa Arab, kata “Therapy” padanan artinya menggunakan
istilah istasyfa yang berasal dari penggalan lafadz syafa-syifaan, dan berarti
“menyembuhkan”.25
22
M. Lutfhi, Dasar-Dasar Bimbingan dan Penyuluhan (Konseling) Islam, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h.120. 23
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h.
100. 24
. Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), Cet. ke-
1, h. 59. 25
M Lutfi, Nuansa-Nuansa Terapi dalam Konseling Islam, Dakwah VIII, no. 1
(Jakarta:2009), h. 53.
29
Menurut M. Tavip dalam tesis yang ditulisnya terdapat pengertian
Therapeutic community adalah merupakan satu kesatuan “keluarga” terdiri
atas orang-orang yang mempunyai masalah yang sama dan mempunyai tujuan
yang sama, yaitu menolong diri sendiri dan menolong sesama sehingga terjadi
perubahan dari arah yang negatif menjadi arah yang positif.26
Menurut Satya Joewana dalam bukunya Gangguan Penggunaan
Zat: Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif Lainnya:
“Therapeutic community suatu bentuk terapi sosial atau terapi
milieu, orang-orang berkumpul untuk tinggal bersama dan bekerja bersam-
sama dengan tujuan yang sama yaitu mendapat terapi. Dimana anggotanya
mendapat kesempatan untuk mengubah sifat-sifatnya dari yang belum
terlepas dari ketergantungan menjadi lepas. Dalam therapeutic community
pasien merupakan faktor yang aktif dalam terapi”.27
Dalam jurnal penelitian dari Gouw Aij Lien, “Therapeutic
community adalah sebagai pusat perawatan dan rehabilitasi untuk gangguan
kecanduan zat yang menyediakan berbagai kelompok untuk memfasilitasi
perubahan yang positif dan meningkatkan proses pemulihan untuk klien
kecanduan”.28
Kemudian dalam jurnal David dan Wendi mengemukakan bahwa:
“Model therapeutic community diterapkan dengan kedua
pengaturan yaitu pasien rawat dan pasien jalan. Komunitas ini mengadakan
terapi filsafat umum bahwa lingkungan dari lingkungan terapeutik dalam dan
dari dirinya sendiri merupakan bagian penting dari dari pemulihan. Prinsip
dari therapeutic community adalah tanggung jawab diri sendiri, pembuatan
26
M Tavip, “Pelaksanaan Therapeutic community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi
Narapidana Narkotika dan Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan Dihubungkan
dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan,” (Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Sumatra
Utara,2009), h. 47. 27
Satya Joewana, Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lain,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 121. 28
Gouw Aij Lien, Group Psychotherapies for Substance Addiction Clients in
Therapeutic Community Setting, Psikomedia – Jurnal Psikologi Maranatha, Vol. 5 No. 5,
September 2008.
30
keputusan bersama dan komunikasi terbuka serta keyakinan bahwa setiap
anggota masyarakat, staf dan pasien lama adalah agen dalam pemulihan.29
Pada setiap tahapan akan dilakukan suatu evaluasi, untuk
mengetahui kemajuan dari masing-masing pengguna NAPZA untuk masuk ke
tahapan berikutnya. Selain prinsip addict to addict para pengguna NAPZA
juga diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan semua unsur/petugas yang
terlibat seperti konselor, pekerja sosial, maupun profesi lain yang ada sesuai
dengan perannya masing-masing.
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis memahami bahwa
therapeutic community adalah suatu bentuk terapi untuk pemulihan dari
ketergantungan yang penerapannya dilakukan secara berkomunitas agar
mereka dapat memecahkan masalah sendiri, masalah komunitas yang
dilakukan dengan bersama-sama.
3. Karakteristik Metode Therapeutic Community
Therapeutic community merupakan suatu wujud kehidupan nyata
dalam bentuk simulasi. M. Tavip dalam tesisnya menuliskan bahwa
karakteristik di dalam therapeutic community berupa berbagai norma dan
falsafah yang dianut untuk membentuk perilaku yang lebih baik. Norma dan
falsafah yang ditanamkan dalam therapeutic community tersebut kemudian
berkembang menjadi suatu budaya therapeutic community, yang didalamnya
mencakup the creed (philosophy), unwritten philosophy, cardinal rules, dan
four structure five pillars :
a. The Creed (Philosophy)
29
David dan Wendi, Treating post-traumatic stress disorder in a therapeutic community
: the experience of Canadian psychiatric hospital, therapeutic community : the journal
international for therapeutic and supportive organization 21 (2) : 105-118 summer 2000.
31
Merupakan filosofi atau falsafah yang dianut dalam therapeutic
community. Falsafah ini merupakan kerangka dasar berfikir
dalam program therapeutic community yang harus dipahami dan
dihayati oleh seluruh residen.
b. Unwritten Philosophy
Merupakan nilai-nilai dasar yang tak tertulis, tetapi harus
dipahami oleh residen. Karena, inilah nilai-nilai atau norma-
norma yang hendak dicapai dalam program. Dengan mengikuti
program therapeutic community ini, residen dapat membentuk
perilaku baru yang sesuai dengan unwritten philosophy.
c. Cardinal Rules
Cardinal Rules merupakan peraturan utama yang harus
dipahami dan di taati dalam program therapeutic community,
yaitu :
1) No Drugs ( tidak diperkenankan menggunakan narkoba).
2) No Sex ( tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual
dalam bentuk apapun).
3) No Violence ( tidak diperkenankan melakukan kekerasan fisik).
d. Four Structure Five Pillars
4 kategori struktur program tersebut adalah :
1) Behavioral management shaping (pembentukan tingkah laku)
Residen mempelajari teknik-teknik yang ada dengan
menggunakan tool of the house yang benar.
2) Emotional and psychological (pengendalian emosi dan
psikologis)
Ini bisa dilakukan melalui kelompok static group, teguran
rekan sebaya, apabila emosional, dan kerja kelompok lain yang
berhubungan.
3) Intellectual and spiritual (pengembangan pemikiran dan
kerohanian)
Residen diberikan seminar tentang pendidikan bahaya
narkotika, memberi contoh, rekreasi dan penerapan nilai-nilai
agama.
4) Vocational and Survival (keterampilan kerja dan keterampilan
bersosial serta bertahan hidup). Suatu konsep pembelajaran
dalam lingkungan sosial dengan berlandaskan pada
keterampilan diri, dimana seorang residen akan dinilai dan
disesuaikan dengan peranannya.
Program therapeutic community menerapkan konsep dasar/tonggak
berupa :
a. Family mileu concept (konsep kekeluargaan).
Untuk menyamakan persamaan di kalangan komunitas
supaya bersama menjadi bagian dari sebuah keluarga.
b. Peer pressure (tekanan rekan sebaya).
Proses dimana kelompok menekankan seseorang residen
dengan menggunakan teknik yang ada dalam therapeutic
community.
c. Therapeutic session (sesi terapi).
32
Berbagai kerja kelompok untuk meningkatkan harga diri
dan perkembangan pribadi dalam membantu proses
pemulihan.
d. Religious session (sesi agama).
Proses untuk meningkatkan nilai-nilai dan pemahaman
agama.
e. Role modeling (keteladanan).
Proses pembelajaran dimana seorang residen belajar dan
mengajar mengikuti mereka yang sudah sukses.
e. Tool of the house. Merupakan alat-alat atau instrument yang ada
dalam therapeutic community yang digunakan untuk membentuk
prilaku. Penerapan tool of the house yang benar diharapkan dapat
membawa perubahan perilaku yang lebih baik. Yang termasuk
tool of house itu seperti confrontation, morning meeting, morning
briefing dll.
f. Di dalam therapeutic community dikenal adanya kelompok-
kelompok yang terbagi dalam departemen ( divisi), dimana
residen yang berada dalam departemen tersebut akan menjalankan
tugasnya setiap hari sesuai dengan fungsi kerjanya (job function)
masing-masing. Hal ini diperlukan untuk menjaga kelangsungan
operasional kegiatan sehari-hari serta sebagai latihan
keterampilan dan meningkatkan tanggung jawab residen terhadap
komunitasnya. Didalam job function tersebut dikenal adanya
system status (hirarki) yang menentukan tanggung jawab dari
residen. Sistem status (hirarki berdasarkan status) tersebut adalah
:
C.O.D (coordinator of department)
Chief
Shingle/ H.O.D. (head of department)
Ramrod
Crew30
g. Tahapan Program
Dalam metode therapeutic community terdapat tahapan-
tahapan program yang harus diikuti oleh para pengguna NAPZA
di dalam panti. Dalam skripsi yang ditulis oleh Maria Ulfah,
30
M Tavip, “Pelaksanaan Therapeutic community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi
Narapidana Narkotika dan Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan Dihubungkan
dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan,” (Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Sumatra
Utara,2009), h. 48.
33
tahapan-tahapan itu terdiri dari introduction, Primary, Re-entry,
dan Aftercare.
a) Introduction
Tahap ini berlangsung pada sekitar 30 hari pertama saat
residen mulai masuk. Tahap ini merupakan masa
persiapan bagi residen untuk memasuki tahap primary.
b) Primary
Tahap ini ditujukan bagi perkembangan sosial dan
psikologis residen. Dalam tahap ini residen diharapkan
melakukan sosialisasi, mengalami pengembangan diri,
serta meningkatkan kepekaan psikologis dengan
melakukan berbagai aktivitas dan sesi terapeutik yang
telah ditetapkan, dilaksanakan selama kurang lebih 3
sampai dengan 6 bulan.
c) Re-entry
Re-entry merupakan program lanjutan setelah primary.
Program re-entry memiliki tujuan untuk memfasilitasi
residen agar dapat bersosialisasi dengan kehidupan luar
setelah menjalani perawatan di primary. Tahap ini
dilaksanakan selama 3 sampai 6 bulan.
d) Aftercare
Program yang ditujan bagi eks-residen/alumni. Program
ini dilaksanakan di luar panti/rehab dan diikuti oleh
semua angkatan di bawah supervisi dari staf re-entry.
Tempat pelaksanaan disepakati bersama.31
Dengan budaya therapeutic community diatas, maka diharapkan
pelaksanaan program benar-benar dijalankan oleh residen. Residen
sebagai objek dan subjek yang menjalankan treatment. Program
disusun untuk membuat residen terlibat secara penuh dalam setiap
kegiatan, sesuai dengan job function-nya masing-masing. Kedudukan
petugas hanya sebagai pengawas yang mengawasi jalannya program.
31
Maria Ulfa, “Metode Therapeutic Community Bagi Residen Narkotika di Unit Terapi
dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido-Bogor.” ( Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011), h. 25.
34
BAB III
GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL PARMARDI PUTRA
“GALIH PAKUAN”
A. Latar Belakang PSPP “ Galih Pakuan”
Panti Sosial Pamardi Putra “ Galih Pakuan” Bogor ini berlokasi di
jalan H. Miing No.71 Desa Putat Nutug Kecamatan Ciseeng Kabupaten
Bogor, Bogor, Jawa Barat PO Box 16/PRU 16330. Di atas tanah panti ini
adalah 71,540 m2 dengan luas bangunan 19,251 m2 berdiri sejak tahun 1982
dan mulai beroperasi pada tahun 1983 berdasarkan surat keputusan Direktorat
Jendral Bina Rehabilitasi Sosial nomor : KEP. 007/RPS-4/1983, dengan nama
Panti Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika Putat Nutug. Tanggal 28 Februari
1989 panti ini ditetapkan sebagai panti tipe “ A” berdasarkan KEPMENSOS
Nomor : 06/KEP/BRS/IV/1994 panti ini dinamakan Panti Sosial Parmadi
Putra “ Galih Pakuan”.
PSPP “ Galih Pakuan” Bogor sebagai salah satu Unit Pelaksana
Teknis (UPT) di lingkungan Departemen Sosial RI, melaksanakan kegiatan
pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Korban penyalahgunaan NAPZA,
mempunyai visi dan misi sebagai berikut :
B. Visi dan Misi PSPP “ Galih Pakuan”
PSPP “ Galih Pakuan sebagai sebuah lembaga tentunya memiliki
visi dan misi dalam menjalankan kegiatannya, adapun visinya yaitu dapat
menjadi Panti percontohan, pusat pelatihan serta pengembangan metode
35
rehabilitasi sosial, berstandar nasional, professional, berkualitas, serta
menjadi klien pulih dan bebas ketergantungan NAPZA tahun 2014.
Untuk mendukung visi berjalan dengan baik maka diperlukan
adanya misi untuk sebuah panti, yaitu :
a. Menyelenggarakan pelayananan dan rehabilitasi sosial
penyalahgunaan NAPZA dalam sistem panti menggunakan
pendekatan multi dislipiner, teknik pelayanan yang unggul dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
b. Menyelenggarakan pengkajian model pelayanan dan
rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA.
c. Memfasilitasi tumbuh kembangnya motivasi dan usaha
masyarakat dalam penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.
d. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan SDM dalam
rangka meningkatkan pelayanan rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan NAPZA yang berkualitas.1
C. Tugas Pokok dan Fungsi
Di dalam sebuah lembaga baik lembaga pemerintahan maupun
lembaga swasta diperlukan adanya tugas pokok dan fungsi agar sistem
pelayanan berjalan dengan baik sesuai ketentuan yang ada. Sesuai Surat
Keputusan Menteri Sosial RI Nomor : 59/HUK/2003, tentang organisasi dan
tata kerja panti sosial di lingkungan Departemen Sosial, PSPP “ Galih
Pakuan” Bogor mempunyai tugas pokok dan fungsi, sebagai berikut :
1Profil Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor.
36
1. Tugas Pokok
Memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat
preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif, dalam bentuk bimbingan
fisik, mental, sosial, keterampilan, serta resosialisasi serta
bimbingan lanjut bagi korban penyalahgunaan NAPZA agar
mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, serta
pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.
2. Fungsi
a. Penyusunan rencana progam, evaluasi dan laporan.
b. Pelaksanaan registrasi, observasi, identifikasi, diagnose sosial
dan perawatan.
c. Pelaksanaan pelayanan rehabilitasi yang meliputi bimbingan
fisik, mental, sosial, dan keterampilan.
d. Pelayanan resosialisasi, penyaluran dan bimbingan lanjut.
e. Pelaksanaan pemberian informasi dan advokasi.
f. Pelaksanaan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan
rehabilitasi sosial.
g. Pelaksanaan urusan tata usaha.
h. Pusat pengembangan, penyebaran, dan pelayanan
kesejahteraan sosial.
i. Pusat pemberdayaan dan pengembangan kesempatan kerja
klien.
j. Pusat pelatihan keterampilan.
k. Pusat advokasi dan informasi kesejahteraan sosial.
37
l. Pusat rujukan bagi pelayanan dan rehabilitasi lainnya.
m. Pusat laboratorium rehabilitasi sosial.
D. Peserta dan Narasumber
1. Peserta
PSPP “ Galih Pakuan” Bogor menyelenggarakan kegiatan pelayanan dan
rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA dari semua
golongan sosial maupun ekonomi. Adapun persyaratan peserta adalah
sebagai berikut :
a. Remaja laki-laki
b. Usia 14 tahun keatas dan diutamakan belum menikah
c. Menyerahkan pas photo berwarna ukuran 4x6 cm 2 lembar
d. Foto copy ijazah/ STTB terakhir
e. Mengisi fomulir pendaftaran, surat permohonan dan surat
pernyataan
f. Surat keterangan dokter yang menyatakan informasi tentang
kesehatan klien
g. Pernyataaan orang tua/wali klien ata kesediaannya menitipkan
anaknya untuk dibina di PSPP “ Galih Pakuan” Bogor.
2. Nara Sumber
Pihak-pihak dari berbagai disiplin ilmu yang membantu sebagai
nara sumber dalam pelaksanaan kegiatan pelaynanan dan rehabilitasi sosial
bagi korban penyalahgunaan NAPZA adalah sebagai berikut:
a. Pegawai dan pekerja sosial PSPP “Galih Pakuan” Bogor
b. Organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat (LSM)
38
c. Departemen kesehatan (RSKO atau puskesmas setempat)
d. Dokter, psikolog, psikiater, perawat dll
e. Kepolisian (Polres Bogor dan Polsek Parung)
f. Dinas sosial kabupaten atau kota (pemerintah daerah setempat)
g. Tokoh masyarakat
E. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
1. Maksud dan Tujuan Kegiatan
a. Maksud
Kegiatan pelayanan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan
NAPZA yang dilaksanaan di PSPP “Galih Pakuan” Bogor dimaksudkan
untuk memperoleh hasil penanganan yang optimal dalam upaya
mencapai sasaran program rehabilitasi sosial, serta adanya keterpaduan
langkah dalam pelaksanaan rehabilitais sosial korban NAPZA yang
dilaksanakan dalam panti.
b. Tujuan
Tujuan program pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban
penyalahgunaan NAPZA yaitu memulihkan kondisi fisik, mental,
psikis, sosial, sikap dan perilaku penyalahguna NAPZA, agar mereka
mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam keluarga
maupun masyarakat.
2. Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial di PSPP “Galih
Pakuan” Bogor disusun untuk waktu 12-24 bulan, tetapi dalam proses
39
pelaksanaan pelayanannya bergantung pada perkembangan dan
performa klien.2
2 Profil Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor . h. 8.
40
F. Struktur Organisasi PSPP “ Galih Pakuan” 3
3 Profil Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor, h. 9.
Kepala PSPP “ Galih Pakuan”
H. Dani Widarman M.Si
Kepala Sub. Bag Tata Usaha
Iwan Nurcandra S. S.sos M.Si
Kepala Seksi Program
dan Advokasi Sosial
Ahmadin Spd.I M.Si
Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial
Sutisna Zakaria Spd.I M.Si
Koordinator Pekerja
Sosial
Bangdol Harianja
Instalasi Produksi
Heryana S.sos
41
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Identitas informan
Di bab ini penulis membahas temuan dan analisis di lapangan.
Sebelum penulis memaparkannya terlebih dahulu penulis mendeskripsikan
data dan latar belakang para informan.
Berikut penulis paparkan data dari para informan yaitu:
1. Subjek 1.
Bapak Ahmadin S.Pd.I M.Si
Informan adalah seorang kepala seksi program dan advokasi
sosial, beliau lahir di Sukabumi 28 November 1964 sekarang tinggal di
Komp. DEPSOS Jalan Haji Mawi No.71 PutatNutug Ciseeng-Bogor,
pendidikan terakhir yang ia tempuh adalah S2 Psikologi di UGM
Yogyakarta. Pengalaman kerja dari tahun 1989 tenaga honorer dan di
angkat PNS tahun 1991 menjadi staf Rehsos, Peksos, Koordinator Peksos
dan sampai sekarang menjabat kepala seksi program dan advokasi sosial.1
2. Subjek 2.
Bapak Salim Komarullah S.Pd.I
Informan adalah seorang pekerja sosial di bagian re-entry, beliau
lahir di Jakarta pada 10 Agustus 1968, sekarang tinggal di Jalan H Mawi
1 Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmadin S.Pd.I M.Si (Kepala Seksi P.A.S), Bogor 25
Januari 2013.
42
Gg IRBI Rt 10/03 Ds Bojong Indah Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.
Pendidikan terakhir yang ia tempuh adalah S1 di STAI Al-mukhlisin.
Pengalaman kerja pada awalnya ia menjadi staf Rehsos dari tahun 1992-
1997 kemudian ia menjadi tenaga Peksos dari tahun 1997-sekarang.2
3. Subjek 3.
Bapak Dadang Suhenda S.ST
Informan adalah seorang pekerja sosial di bagian primary, beliau
lahir di Cirebon pada tanggal 18 november 1965, sekarang tinggal di komp.
DEPSOS Jalan Haji Mawi Putat Nutug-Bogor. Pendidikan terakhir yang ia
tempuh adalah S1 di STKS Bandung. Pengalaman kerja menjadi Peksos
dari tahun 1989-sekarang.3
4. Subjek 4.
Gun-gun ( bukan nama sebenarnya)
Gun-gun merupakan residen di primary kemudian dipindahkan ke
bgaian re-entry, ia berasal dari Jakarta. Sejak SMA dia sudah mengenal
NAPZA barang yang dia pakai ganja dan shabu-shabu. Gun-gun masuk ke
PSPP Galih Pakuan sejak bulan juli 2012.4
2 Wawancara Pribadi dengan Bapak Salim Komarullah S.Pd.I (Peksos/Pembina), Bogor, 4
Januari 2013. 3 Wawancara Pribadi dengan Bapak Dadang Suhenda S.ST (Peksos/Pembina), Bogor, 22
Januari 2013. 4Wawancara Pribadi dengan Gun-gun (residen), Bogor , 4 Januari 2013.
43
5. Subjek 5.
Purna (bukan nama sebenarnya)
Purna merupakan residen di primary, dia berasal dari Jakarta. Sejak
SMA sudah mengguna ganja dan shabu-shabu berawal dari minum-minum
alkohol. Purna masuk ke PSPP sejak bulan September 2012.5
6. Subjek 6.
Dian (bukan nama sebenarnya)
Dian merupakan residen di primary, dia berasal dari Jakarta. Sejak
SMA menggunakan alkhohol dan Ganja. Masuk PSPP sejak bulan
September 2012.6
B. Interaksi Sosial Para Pengguna NAPZA Dalam Mengikuti Metode
Therapeutic Community
Dari hasil penelitian di lapangan, penulis menemukan bagaimana
interaksi sosial para pengguna NAPZA di Panti Sosial Pamardi Putra “Galih
Pakuan” dilaksanakan dengan Metode Therapeutic Community atau yang di lebih
dikenal dengan TC. Kegiatan ini di ikuti oleh 180 orang pengguna NAPZA atau
residen. Keadaan para residen pada saat pertama kali datang ke PSPP dalam
keadaan masih ketergantungan NAPZA dengan kerusakan mental dan fisik
karena banyak terpengaruh oleh NAPZA.
5 Wawancara Pribadi dengan Purna (residen), Bogor, 11 Januari 2013.
6 Wawancara Pribadi dengan Dian, Bogor (residen), Bogor 11 Januari 2013.
44
Metode TC bertujuan untuk menjadi cara agar interaksi sosial para
residen dengan residen lain dan petugas panti menjadi lebih mudah karena
intensitas bertemu dalam kegiatan dilakukan setiap hari.
Sebelum adanya metode TC yang diterapkan di PSPP “Galih Pakuan”,
keadaan para residen hanya ditempatkan di panti tanpa diberi penanganan dengan
metode yang pasti. Oleh karena itu, pihak panti merasa kecolongan dengan
residen yang masih banyak mengkonsumsi NAPZA. Sehingga PSPP “Galih
Pakuan” mengubah cara rehabilitasi dari yang hanya sebagai panti rehabilitasi
klasikal menjadi panti rehabilitasi yang menggunakan metode TC. Kini setelah
adanya metode TC, para residen sudah mulai teratur dan terkendali
kehidupannya. Sejak pertama mereka berada di panti, mereka sudah dilarang
membawa NAPZA hingga akhirnya pemakaian NAPZA tersebut di stop total.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pak Salim, beliau mengatakan bahwa
sebelum menggunakan metode TC keadaan residen masih banyak yang
membawa NAPZA dan mabuk-mabukan, tetapi setelah adanya penerapan
metode TC mereka menjadi lebih teratur dan pemutusan penggunaan NAPZA
dilakukan dari awal mereka masuk panti.
“ kondisi panti dulu ketika awal-awal masih memakai
metode klasikal trus pengawasan pun agak low, anak itu
bisa masih dia membawa minuman, dia masih bisa mabuk-
mabukan dan sering terjadi perkelahian, mabuk sulit untuk
mengendalikan anak. Nah sekarang setelah adanya metode
TC ini anak menjadi teratur dan sudah tidak boleh
45
membawa NAPZA ke panti dan diputus penggunaannya
sampai nol.”7
Dari kutipan di atas, penulis melihat bahwa metode TC dapat
membantu para pengguna NAPZA perlahan-lahan bisa lepas dengan sendirinya
dari NAPZA, karena adanya interaksi sehingga dapat mengatur aktivitas residen
dan memutus pemakaian NAPZA didalam panti.
a. Waktu Pelaksanaan Therapeutic Community
Interaksi sosial diharapkan mampu membantu residen pulih dari
ketergantungan NAPZA karena mereka bersama-sama menjalankan kegiatan
yang lebih positif. Salah satu metode yang digunakan dalam menangani
narkoba dengan banyak mengembangkan interaksi sosial mereka adalah
metode therapeutic community. Dalam metode ini, residenlah yang
melakukan semua kegiatan sedangkan tugas Peksos hanya sebagai
pendamping dan fasilitator. Dengan kata lain, metode therapeutic community
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh residen dan kembali kepada
residen.
Metode therapeutic community merupakan kegiatan dalam tahap
pemulihan para pengguna NAPZA. Tempat rehabilitasi tanpa adanya metode
penanganan yang dijalankan tidak akan bisa mencapai tujuan dari pemulihan
itu sendiri.
7Wawancara Pribadi dengan Bapak Salim Komarullah S.Pd.I (peksos/Pembina), Bogor 4
Januari 2013.
46
Pelaksanaan Metode therapeutic community dilakukan secara teratur
dan dengan jadwal yang tersusun rapih dan padat setiap hari dari mulai para
residen bangun tidur pukul 04.30 WIB sampai dengan tidur kembali 21.30
WIB. Ini dilakukan agar para residen tidak mempunyai fikiran lagi untuk
menyentuh NAPZA.
Sebelum para residen melaksanakan metode TC, mereka terlebih
dahulu melakukan pendekatan awal untuk mengawali keseluruhan proses
rehabilitasi sosial residen yaitu dengan proses orientasi dan konsultasi,
proses identifikasi, proses memotivasi, serta proses seleksi dan penerimaan.
Waktu pelaksanaan tahap awal ini dilakukan selama 30 hari pertama
dan bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada residen.
Selanjutnya dilihatlah seberapa besar pengaruh NAPZA di dalam diri
mereka lalu kemudian menyeleksi untuk setiap residen ditempatkan di
asrama.
Dalam tahap rehabilitasi sosial dilakukanlah pengungkapan dan upaya
pemahaman terhadap masalah. Di tahap ini dilakukan penilaian atau
penafsiran terhadap situasi residen dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Dengan hasil assessment yang dilakukan maka dapat dibuat
keputusan untuk mencapai tujuan perubahan yang diharapkan. Proses
assessment yang dilakukan meliputi persiapan, pengumpulan data dan
informasi sidang kasus (case conference).
Setelah assessment dilakukan, diadakanlah penyusunan intervensi
berdasarkan hasil assessment dan pembahasan pada temu bahas guna
47
menghasilkan jenis pelayanan rehabilitasi sosial yang sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi klien. Setelah diadakannya penyusunan intervensi
lalu diadakan pemecahan masalah.8
Setelah tahapan awal ini dilakukan dan para residen di tempatkan di
tempat yang sesuai dengan kondisi mereka, kemudian baru diterapkan
metode TC tersebut.
Waktu pelaksanaan metode therapeutic community dilakukan selama
12-24 bulan, akan tetapi lamanya proses rehabilitasi tergantung dari kondisi
dari residen itu sendiri. Pelaksanaan metode TC mempunyai tujuan agar para
residen dapat melepaskan diri dari NAPZA, mengetahui bahaya yang
ditimbulkan dari NAPZA, sehingga menjadi pribadi yang bisa
mengendalikan emosionalnya, mendapatkan pelatihan fisik, intelektual dan
spiritual. Ketika itu semua sudah mereka dapatkan dan mereka pahami maka
tergerak hati mereka untuk meninggalkan NAPZA tersebut.
Setelah mengikuti kegiatan TC selama waktu yang ditentukan
kemudian para residen melakukan program magang kerja selama 30 hari
yang di tempatkan sesuai dengan bimbingan keterampilan yang residen
pilih.9
b. Interaksi Sosial Para Pengguna NAPZA dalam Kegiatan Therapeutic
Community
8Profil Panti Sosial Parmadi Putra “Galih Pakuan” Bogor. h. 6.
9Hasil Pengamatan Penulis Pada tanggal 6 Desember 2012.
48
Setelah mengetahui waktu pelaksanaan TC di panti, kita dapat melihat
bahwa interaksi sosial dapat dilakukan setiap hari dengan membentuk
komunitas dari mereka sendiri untuk kembali kepada diri mereka.
Metode therapeutic community bertujuan untuk mengembalikan,
mengubah perilaku dan interaksi sosial para residen dari awal kehidupannya
berantakan dan tidak teratur menjadi lebih baik dan teratur. Dengan
demikian, ketika mereka keluar dan menjalani kehidupan di masyarakat
mereka bisa menjadi pribadi yang siap dan mempunyai kemampuan untuk
bersaing dengan orang-orang yang tidak pernah memakai NAPZA.
Pengguna NAPZA rata-rata terpengaruh dari teman sebaya dan keadaan
orang tua yang menuduh mereka menggunakan NAPZA dan interaksi
dengan orang tua yang tidak baik menyebabkan mereka mencari pelarian ke
NAPZA. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara dengan salah satu
residen :
“ awalnya dituduh-tuduh sama ortu pake,trus liat teman
pake yudahlah pake sekalian,eh ketagihan”.10
Sebelum berinteraksi lebih lanjut para residen melakukan pendekatan
dan pengenalan program yang di lakukan oleh Pembina untuk memudahkan
para residen beradaptasi dengan lingkungan dan kegiatan di panti.
Kegiatan-kegiatan para residen di panti diterapkan sudah terjadwal
dengan rapih, berupa jadwal harian dan jadwal kelompok atau komunitas. Di
dalam kegiatan inilah para residen dilatih untuk berinteraksi sosial dengan
10
Wawancara Pribadi dengan gun-gun, Bogor 4 Januari 2013.
49
sesama residen dan petugas panti lainnya. Adapun kegiatan yang metode TC
yang diikuti residen untuk melihat interaksi sosial para pengguna NAPZA
dapat dilakukan melalui kegiatan berikut ini:
a. Morning Meeting
Yaitu pertemuan yang merupakan komponen utama yang dilaksanakan
setiap pagi hari pukul 08.00-09.15, untuk mengawali kegiatan residen dan
di ikuti oleh seluruh residen yang di pimpin oleh chief yaitu residen yang
bertugas memimpin teman-temannya.
Di dalam kegiatan morning meeting selalu di awali doa menurut
agama dan kepercayaan merka masing-masing dengan cara berdiri
melingkar dan berpegangan pundak, lalu membaca the creed/philosopy
atau renungan yang diucapkan bersama. the creed/philosopy itu berbunyi
seperti :
“ I’m here, because there is no refuge. Finally, from my self until I
confront my self. In the eyes and hearts, of others I’m running until I suffer
them to share my secrets. I have no safety from them afraid to be known, I
can know neither my self nor any others, I will be alone where else but in
my common ground, can I find such a mirror?. Here, I together I can at
least appear clearly to my self, not as a giant of my dreams nor the share in
its purpose in this ground, I can take root and grow not alone anymore as
in death but alive to my self and others”.
Filosofi ini yang dapat menjadi bahan renungan para residen saat
mereka berniat untuk lepas dari NAPZA dan membutuhkan bantuan orang
lain untuk membantunya. Setelah pembacaan the creed kemudian setiap
individu maju kedepan untuk memberikan info-info atau masukan untuk
para residen yang lainnya. Yang di dalamnya terdapat beberapa sesi yaitu:
50
1). Awarness : peringatan ringan
2). Motivation : memberikan motivasi untuk sesama residen
3). Ancknowledge : mengucapkan terimakasih kepada residen
didepan forum.
4). Announcement : mengungkapkan pengumuman yang akan
dilakukan bersama-sama.
5). Quotes : kamut (kata-kata mutiara) yang diberikan salah
seorang residen untuk residen lainnya.
6). Reading : membacakan/ menginfokan berita ke sesame
residen.
Didalam sesi ini interaksi sosial para residen berjalan dengan baik.
Mereka mampu memberikan masukan, saran, motivasi kepada sesama
residen sehingga dari hari ke hari hubungan mereka bertambah akrab untuk
dapat membantu satu sama lain pulih dari ketergantungan NAPZA.
b. Morning Briefing
Pertemuan ini dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu pukul 08.00-
09.30. dilakukan pada akhir pekan untuk membahas masalah-masalah yang
terjadi di dalam rumah dan membahas perasaan yang sedang mereka alami
pada hari itu dan mem follow up kegiatan yang mereka lakukan selama
seminggu itu.
Dalam sesi ini para residen satu persatu membahas masalah yang
sedang terjadi di panti. Dari sesi ini terlihat interaksi mereka berjalan
51
dengan lancar. Mereka mampu berinteraksi sosial sesama residen dan
pembina untuk memecahkan masalah yang ada.
c. Confrontation
Yaitu pertemuan yang dimulai setiap hari Senin pukul 09.45-10.30
dihadiri oleh seluruh residen untuk dievaluasi oleh Pembina untuk
membahas semua perilaku negatif yang ada pada diri residen yang
mengungkapkan masalahnya baik yang terjadi di dalam fasilitas maupun
diluar fasilitas sekaligus dicari solusinya. Setelah perilaku setiap individu
sudah diungkapkan semua kemudian dicatat oleh Pembina lalu langsung
diberikan kepada residen yang bersangkutan untuk di renungkan dan di
perbaiki oleh residen.
Dalam sesi ini para residen berusaha membantu para residen lainnya
untuk berubah sikap ke arah yang lebih baik, memberikan masukan atas
perilaku negatif temannya. Ini dapat membuat interaksi sosial mereka
terlaksana dengan baik.
d. Seminar
Pertemuan ini dimulai setiap hari Selasa pukul 09.45-10.30 yang
diikuti oleh seluruh residen untuk membahas topik yang berkaitan dengan
kehidupan addict, misalnya bahaya NAPZA, penyalahgunaan zat, bentuk,
jenis dan dampak NAPZA terhadap perilaku atau bahkan bisa juga
membahas topik yang sedang popular saat ini topik ini disampaikan oleh
Pembina atau petugas panti yang lainnya. Terkadang residen sendiri yang
52
menyampaikan topik-topik yang sedang terjadi agar residen mempunyai
keberanian untuk bicara di depan umum.
Di sesi ini para residen mendapatkan info mengenai bahaya NAPZA
dan segala yang berkaitan dengan NAPZA. Untuk menciptakan interaksi
sosial yang baik, para residen juga dipersilahkan untuk memberikan materi
seminar agar mereka belajar untuk berbicara di depan umum.
e. Static group
Pertemuan ini dimulai setiap hari Rabu pukul 09.45-10.30. Kelompok
kecil yang didampingi oleh Pembina digunakan dalam upaya perubahan
perilaku. Pertemuan ini membahas berbagai permasalahan kehidupan
keseharian dan kehidupan yang lalu. Biasanya pembahasan ini berupa
kehidupan mereka sendiri sebelum masuk ke panti tersebut.
Di sesi ini residen menceritakan kehidupan mereka untuk dibagi
kepada residen yang lainnya, interaksi di sini berjalan baik karena mereka
dapat memberi masukan satu sama lain.
f. Olahraga
Olahraga ini dilakukan setiap hari Jum’at pukul 08.00-09.30, biasanya
olahraga yang dilakukan adalah senam aerobic. Kegiatan ini diikuti oleh
seluruh residen dan seluruh petugas panti, bertempat di lapangan atau di
gedung serba guna dengan mendatangkan instruktur senam.
Interaksi sosial mereka berjalan lancar di kegiatan ini. Semua warga
panti baik residen, pembina dan seluruh staf berkumpul bersama untuk
53
olahraga dan menjadi kegiatan yang membantu residen berinteraksi sosial
dengan mudah dan berjalan dengan lancar.
g. Realigi
Pertemuan ini dilakukan setiap hari Senin, Rabu, Sabtu pukul 10.30-
11.15 yaitu mendengarkan ceramah-ceramah agama yang dilakukan oleh
petugas panti atau mendatangkan ustadz dari luar panti. Hari Selasa 19.30-
21.15 diadakan kegiatan muhadhoroh yang dilakukan oleh residen dengan
jadwal yang diatur oleh petugas panti. Sedangkan pada hari Kamis 19.30-
21.15 diadakan kegiatan Yasinan yang dipimpin oleh petugas panti.
Di sesi ini interaksi sosial para residen berjalan lancer dimana mereka
sangat semangat dengan kegiatan ini karena interaksi yang berlangsung
mampu membuat mereka menambah ilmu agama.
h. Bimbingan Keterampilan
Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Senin-Jum’at pukul 13.00-15.15.
Bimbingan keterampilan ini termasuk ke dalam vocational and survival
skill, dipersiapkan untuk para residen agar ketika mereka keluar dari panti
ada keterampilan yang bisa dia pergunakan untuk bertahan hidup.
Bimbingan keterampilan di PSPP yaitu otomotif, komputer, dan membuat
roti, dibimbing oleh para ahli di bidangnya yang didatangkan dari luar
panti.
Dalam sesi ini para residen menjalankan keterampilan sesuai bakat dan
minat mereka, interaksi mereka dengan pembina sangat baik sehingga
mereka mampu mengikuti keterampilan itu.
54
i. Sharing Circle
Pertemuan ini dilaksanakan pada hari Senin dan Jum’at pukul 19.30-
21.15, diikuti oleh seluruh residen untuk membahas masalah yang terjadi
pada diri masing-masing individu, kemudian membiasakan diri untuk
memberikan masukan dan menanyakan secara jelas masalah yang dialami
oleh family nya. Pertemuan ini dipimpin oleh chief dan di monitori oleh
Pembina.
Interaksi sosial residen menjadi lebih baik dan peka terhadap hidup
orang lain, di sini residenlah yang aktif dalam berinteraksi mereka memberi
masukan atas permasalahn yang terjadi dengan residen lain.
j. SNA (Saturday Night Activity)
Pertemuan ini dilakukan pada Sabtu malam pukul 19.30-21.15.
Mereka membuat acara hiburan malam dengan bernyanyi, sharing sambil
makan snack, untuk melepaskan rasa bosan dan penat setelah selama
seminggu itu melaksanakan program-program TC.
Di sesi ini mereka lebih santai dalam mengikuti kegiatan, interaksi
berjalan dengan baik.
k. P.A.G.E ( Peer/ Personal Accountability Group Evaluation)
Pertemuan ini dilaksanakan pada hari Rabu pukul 19.30.21.15,
merupakan pertemuan kelompok yang mengajarkan residen untuk
memberikan suatu penilaian positif dan negatif terhadap dirinya sendiri
ataupun sesama residen dalam kehidupan sehari-hari selama mereka tinggal
bersama di dalam panti. Setelah mengungkapkan penilaiannya, pemimpin
55
pertemuan mencatat penilaiannya dan kemudian diberikan ke residen nilai
negatifnya untuk diperbaiki menjadi lebih baik lagi.
Para residen dengan aktif melakukan interaksi sosial secara baik,
mereka memberikan penilaian kepada sesama residen agar mereka dapat
introspeksi diri masing-masing.
l. Weekend Warp Up
Pertemuan dilaksanakan pada hari Minggu pukul 19.30-21.15.
Pertemuan ini diikuti oleh seluruh residen yang didampingi oleh Pembina
untuk membahas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan selama satu
minggu dan perasaan-perasaan yang mereka rasakan selama satu minggu
itu. Pelaksanaan weekend warp up dipilih tema oleh residen, pengungkapan
perasaan dilakukan satu persatu oleh para residen. Ketika ada banyak
masalah lalu di tarik 3 masalah yang banyak terjadi di sana dan di tarik
kesimpulan lewat voting, pada minggu ke IV dalam pertemuan ini dipilih
resident of the month untuk dijadikan role model/ panutan untuk residen
lainnya.
Dalam sesi ini semua residen ikut berpartisipasi dalam
mengungkapkan masalah yang terjadi, mereka berinteraksi satu sama lain
untuk menyatukan suara mereka, kemudian mereka jugalah yang
memecahkan masalah itu dibantu oleh pembina.
m. Resident Meeting
Pertemuan ini dilaksanakan pada hari Jum’at pukul 19.00-19.30,
pertemuan ini hanya diikuti oleh residen saja untuk membahas program
56
kegiatan Sabtu dan Minggu dimana ada pergantian chief sementara
memimpin kegiatan Sabtu dan Minggu dan memberikan kesempatan chief
bulanan untuk istirahat dari tugas. Tugas chief yang baru juga harus
mempersiapkan kegiatan SNA (Saturday night activity). Pelaksanaan
resident meeting ini tanpa di damping oleh Pembina dengan harapan
seluruh residen mampu untuk membuat kegiatan dan merencanakan sendiri
kegiatan tersebut.11
Dalam sesi ini para residen berinteraksi dengan baik, melakukan
kegiatan dengan bersama-sama untuk mempersiapkan acara mereka
sendiri, menyatukan pikiran untuk setiap acara yang mereka ikuti.
Dari pengamatan penulis para pengguna NAPZA sangat berperan aktif
dalam interaksi sosialnya karena jika interaksi mereka sangat pasif hal itu
tidak akan bisa memacu mereka berubah kearah yang lebih positif lagi. Dan
berdasarkan dari 4 struktur program TC itu sendiri dengan mencakup
pembentukan tingkah laku, pengendalian emosi dan tingkah laku,
pengembangan diri dan kerohanian, serta keterampilan kerja dan
keterampilan bersosial dan bertahan hidup.12
C. Analisis Interaksi Sosial Para Pengguna NAPZA Dalam Mengikuti Metode
Therapeutic Community.
Dari hasil penelitian tentang interaksi sosial para pengguna NAPZA
dalam mengikuti Metode Therapeutic Community di Panti Sosial Pamardi
11
Buku pedoman TC Peksos PSPP “ Galih Pakuan “ 12
Hasil pengamatan penulis pada tanggal 31 Januari 2013.
57
Putra “Galih Pakuan” sangat baik. Mereka dapat berinteraksi sosial dengan
sesama residen maupun dengan warga panti lainnya untuk membantu
pemulihan diri mereka dari NAPZA kemudian merubah perilaku menjadi
sedia kala sebelum menggunakan NAPZA.
Dalam melaksanakan interaksi sosial tidak langsung bisa diterapkan
karena kondisi mereka pada saat awal masuk adalah pengguna NAPZA
dengan latar belakang keluarga yang berbeda-beda, lingkungan yang
berbeda, budaya yang berbeda-beda. Keadaan residen yang isolite atau
menyendiri kadang membuat rehabilitasi sulit untuk dijalankan dengan baik,
perlu waktu beberapa hari, beberapa minggu, agar interaksi itu berjalan
dengan lancar.
Dalam kegiatan metode TC pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan komunitas sehingga antar residen satu dengan yang lainnya
mampu merubah perilaku menjadi pendengar yang baik, mampu berinteraksi
sosial dengan baik, bekerjasama, mengendalikan emosinya, menerima
masukan dari orang lain baik masukan positif maupun negatif dan
memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang lain,
sesuai dengan pengertian dari TC itu sendiri dimana sebuah terapi yang
dilakukan oleh komunitas dan kembali lagi kepada komunitas itu sendiri.
Berikut kutipan wawancara :
“ TC itu adalah therapeutic community atau terapi
komunitas terapi dimana kegiatan yang dilakukan oleh
mereka dan kembali kepada mereka jg,yang membentuk
58
mereka dan motivasi mereka, pembina sebagai pendamping
saja kegiatannya dilakukan sepenuhnya oleh residen.”13
Di dalam komunitas ini semua residen harus mengikuti setiap kegiatan
yang ada baik yang individu maupun yang kelompok secara rutin (diadakan
setiap hari). Disini para residen diwajibkan untuk mengungkapkan dan
berinteraksi dengan sesama residen dan warga panti.
Metode TC sangat berperan dalam membantu para residen berinteraksi
sosial. Dari hasil pengamatan penulis, lingkungan yang asri, damai, jauh dari
pusat perkotaan, kemudian juga petugas-petugas panti yang sangat baik
membuat rehabilitasi ini bisa dijalankan dengan baik sehingga interaksi
sosial tercipta dengan baik, dari segi jadwal kegiatan sehari-hari juga yang
mendukung keberhasilan dari kegiatan-kegiatan yang ada di panti ini. Dalam
interaksi sosial yang dilakukan oleh mereka tidak hanya 1 aspek yang ingin
dipulihkan akan tetapi dari semua aspek, yaitu spiritual, keterampilan, emosi
dan mental.
Kegiatan-kegiatan seperti morning meeting, SNA, morning briefing,
seminar, olahraga, bimbingan keagamaan, keterampilan itu semua
merupakan kegiatan yang membuat interaksi sosial para residen dan dengan
pembina yang lainnya berjalan lancar dan di sini residen berperan aktif dalam
menjalankan kegiatan tersebut.
13
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmadin S.Pd.I M.Si (Kepala seksi P.A.S), Bogor 25
Januari 2013
59
Dari pengamatan penulis perubahan perilaku para residen mengalami
kemajuan setelah ada di dalam panti. Jika sebelumnya mereka memiliki ritme
kehidupan yang tidak teratur dan menggunakan NAPZA setiap hari, selama
di panti mereka diajarkan untuk melaksanakan tugas dan kegiatan yang tepat
waktu dan teratur. Contohnya seperti membersihkan asrama, mengaji,
mengikuti keterampilan. 14
Ketidaktahuan tentang TC awalnya membuat residen menjadi takut
dalam mengikuti kegiatan tersebut, akan tetapi karena rasa ingin pulih yang
sangat besar membuat mereka melawan rasa takut itu.
Berikut kutipan wawancara :
“ ya perasaan takutnya sich pasti adakan, Cuma ya pengen
pulih jadi pokoknya dilawan, ga ada sich rasa betah disini
Cuma gara-gara pengen pulih aja jadi dibetah-betahin”15
Setelah mengikuti kegiatan melalui TC, interaksi sosial para pengguna
NAPZA ini sangat terlihat ada kemajuan karena adanya hubungan timbal
balik untuk mempengaruhi, mengubah perilaku dan kelakuan yang lain dan
sebaliknya. Lalu, adanya komunitas dengan permasalahan yang sama dan
bersama-sama melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang sama
yaitu bisa pulih dari penggunaan NAPZA.
Adanya kontak sosial yang setiap hari ditemukan didalam metode TC
ini membuat interaksi sosial menjadi lebih mudah antara sesama residen
maupun antara pembina dengan warga panti. Penyelesaian masalah yang
14
Hasil pengamatan penulis, Bogor 25 Januari 2013 15
Wawancara Pribadi dengan Gun-gun (residen), Bogor, 4 Januari 2013.
60
dipecahkan bersama-sama lebih bisa membuat mereka mudah untuk
membuka diri dengan lingkungan dan cepat atau lambat bisa saling
mengikuti satu sama lain tanpa disadari merasa bersimpati bahwa apa yang
dialami oleh orang lain dapat dirasakan pula oleh dirinya sendiri.
Interaksi sosial para pengguna NAPZA sangat mempengaruhi tingkat
pemulihan mereka dari ketergantungan NAPZA. Hal ini bisa membuat
mereka menjadi pribadi yang lebih terbuka dan berani untuk berbicara
dengan sesama residen ataupun dengan pembina dan warga panti lainnya.
Banyak sekali kemajuan dalam interaksi sosial residen setelah mengikuti
program TC.
Seperti yang di ungkapkan oleh gun-gun bahwa interaksi sosial yang
dia lakukan melalui metode TC rasakan menjadi lebih baik lagi,
“lebih baik lagi, dan sudah sangat akrab dengan yang
lainnya”.16
Hal serupa diungkapkan oleh Dian, ia mengatakan bahwa sudah
terbangun interaksi mereka,
“Enak aja sich.. udah terbangun dengan residen lain dan
warga panti lainnya”.17
Begitu juga yang disampaikan Purna,
“Kalo interaksi sosial disini sih udah nyaman banget ke
sesama residen, ke Pembina juga”.18
16
Wawancara Pribadi dengan Gun-gun (residen), Bogor, 4 Januari 2013. 17
Wawancara Pribadi dengan Dian (residen), Bogor 11 Januari 2013. 18
Wawancara Pribadi dengan Purna (residen), Bogor 11 Januari 201.3
61
Hal ini menunjukan bahwa interaksi sosial residen melalui metode TC
menjadi lebih baik. Berbeda dengan keadaan saat pertama kali masuk ke
panti mereka tidak bisa untuk berinteraksi dengan baik, bahkan untuk
mengungkapkan perasaan mereka tidak bisa melakukannya, tetapi setelah
mengikuti TC tersebut mereka bisa berinteraksi, bahkan sekarang bisa lebih
aktif residen dibanding dengan para pembinanya.
Seperti yang dikatakan oleh bapak salim:
“ setelah mengikuti program TC ini mereka sangat-sangat
ada kemajuan, sekarang begini ya, anak datang kondisi atau
keadaan apa y sakit katakanlah, anak itu , anak itu ya Allah,
bodoh, ngomong itu memang gampang begini (lancar) itu
susah sekali,, ya untuk mengajarkan mengucap “ selamat
pagi family, saya mau comprant” untuk bisa seperti itu dia
butuh proses tadinya anak itu untuk buat dia nanya aja
susah, tidak bisa baca,tulis bahkan ngomong akhirnya
setelah kita bentuk mereka bisa bagus baca tulisnya,
berbicara juga jadi lihai bahkan bisa lebih banyak
protesnya..he..he” 19
Metode TC memang mengharuskan semua residen untuk
berkomunikasi, ketika residen masuk panti dan masih saja menyendiri maka
akan ada teguran keras dari Pembina. Interaksi sosial akan terjadi jika adanya
komunikasi karena, dari komunikasi itulah sebuah interaksi sosial bisa
terlaksana.
Hal ini seperti yang dikutip dari wawancara dengan narasumber :
“Biasanya sih awalnya isolite, tapi lama-lama setelah
mengikuti kegiatan mereka berbaur dengan sendirinya.
Kalo interaksi sosial disini itu memang dibentuk peer
19
Wawancara Pribadi dengan Bapak Salim Komarullah S.Pd.I (Peksos/Pembina), Bogor 4
Januari 2013.
62
group, kalo yang namanya peer group itu semua komunitas
harus berinteraksi baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun didalam kehidupan group semua harus
berkomunikasi, always communication tidak boleh isolite
kalo isolite kita tegur”20
Untuk menciptakan interaksi sosial di antara mereka, pembacaan the
creed yang termasuk kedalam filosopi TC harus selalu dibaca sebelum
memulai aktivitas sehari-hari dalam kegiatan komunitas. Urgensi dari the
creed adalah menjadi renungan para residen bahwa untuk pulih dari sebuah
ketergantungan yang dapat merugikan, mereka membutuhkan tempat yang
tepat dan orang-orang yang mempunyai masalah yang sama sehingga mereka
dapat bersama-sama memecahkan masalah agar lebih ringan beban yang
mereka hadapi.
Adanya kontak sosial dan komunikasi dalam kegiatan TC sesuai
dengan syarat-syarat terjadinya interaksi sosial yang dikemukakan Yusron
Razak dalam bukunya “ sosiologi sebuah pengantar”.21
Dari uraian di atas hasil pengamatan yang penulis lakukan di panti,
penulis dapat menyimpulkan bahwa interaksi sosial para pengguna NAPZA
melalui metode therapeutic community menjadi dengan sangat baik. Dari
setiap kegiatan yang selalu melibatkan residen untuk berperan aktif membuat
adanya interaksi di antara sesama residen dan warga panti lainnya. Mereka
saling membantu dalam proses interaksi residen tanpa adanya perbedaan
20
Wawancara Pribadi dengan Bapak Dadang Suhanda S.ST (Peksos/Pembina), Bogor 22
Januari 2013. 21
Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar,( Jakarta : Laboratorium Sosiologi Agama,
2008), h. 58-59.
63
status sosial diantara mereka hal itu dapat membantu pemulihan dari
ketergantungan NAPZA.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial dalam mengikuti
Metode Therapeutic Community
Dalam pelaksanaan kegiatan, pasti selalu ada faktor yang menjadi
pendukung dan penghambat berjalannya kegiatan, begitu juga dengan
interaksi sosial para pengguna NAPZA melalui metode TC. Faktor
pendukung dan penghambatnya yaitu :
a. Faktor Pendukung
1) Dari struktur yang terjadwal rapih.
Interaksi sosial para residen dapat berjalan dengan baik tanpa
tertunda oleh jadwal yang belum jelas.
2) Keterbukaan para residen dalam panti rehabilitasi.
Keterbukaan dan kemauan para residen dalam memecahkan masalah
dengan bersama-sama memudahkan interaksi sosial bisa
dilaksanakan.
b. Faktor Penghambat
1) Kurangnya perhatian dan teguran dari pimpinan.
Hal ini membuat interaksi sosial terkadang sulit terjadi diantara
residen dan pimpinan, saat anak salah hanya petugas saja yang
menegur.
2) Dukungan dari Orang Tua dan anggota keluarga lain
64
Latar belakang dari Orang Tua dan anggota keluarga lainnya yang
terkadang tidak memberi dukungan kepada anak mereka membuat
anak menjadi tertutup dan sulit berinteraksi sosial.
3) Rusaknya fikiran dan akal residen.
Akibat terlalu banyak mengkonsumsi NAPZA menyebabkan mental
dan fikiran mereka sulit menangkap apa yang diucapkan oleh residen
lainnya.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian dan menganalisis berbagai
permasalahan dalam skripsi yang berjudul “Interaksi Sosial Para Pengguna
NAPZA Dalam Mengikuti Metode Therapeutic Community di PSPP “ Galih
Pakuan” Putat nutug-Bogor”, akhirnya penulis sampai kepada tahap
kesimpulan:
Interaksi sosial para pengguna NAPZA berjalan dengan baik dan
lancar. Penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan metode TC dilaksanakan dengan jadwal harian dan jadwal
komunitas yang tersusun rapih dan teratur. Sebelum mereka mengikuti
program TC terlebih dahulu mereka terlebih dahulu melakukan pendekatan
awal untuk mengawali keseluruhan proses rehabilitasi sosial residen yaitu
dengan orientasi dan konsultasi, mengidentifiasi, memotivasi, seleksi dan
penerimaan. Dalam tahap rehabilitasi sosial dilakukannya pengungkapan
dan pemahaman masalah, waktu pelaksanaan tahapan awal ini dilakukan
30 hari pertama. Dengan hasil assessment yang dilakukan maka dapat
dibuat keputusan untuk mencapai tujuan perubahan yang diharapkan.
Dalam assessment ini yaitu persiapan, pengumpulan data dan informasi
sidang kasus (case conference). Kemudian diadakannya penyusunan
intervensi berdasarkan hasil assessment dan pembahasan pada temu bahas
guna menghasilkan jenis pelayanan rehablitasi sosial yang sesuai dengan
66
kebutuhan dan kondisi klien. Setelah diadakannya penyusunan intervensi
lalu diadakan pemecahan masalah dan kemudian mereka dimasukan dalam
program TC. Lamanya program TC yang dilaksanakan yaitu 12-24 bulan
tergantung dari kondisi residen itu sendiri. Setelah mengikuti program TC
kemudian residen melaksanakan magang kerja selama 30 hari sesuai
dengan bimbingan keterampilan yang mereka ikuti.
2. Kegiatan yang membantu interaksi sosial para pengguna NAPZA melalui
metode TC dilakukan dengan cara komunitas, dimana setiap kegiatan
dilakukan bersama-sama. Adapun macam-macam kegiatannya yaitu;
morning meeting, morning briefing, confrontation, seminar, static group,
olahraga, religi, bimbingan keterampilan, sharing circle, SNA (Saturday
night activity), P.A.G.E ( peer, personal accountability group evaluation),
weekend warp up, dan residen meeting. Dari semua kegiatan tersebut
membuat interaksi sosial para pengguna NAPZA berjalan baik. Contohnya:
mereka bisa berbicara dengan baik dengan sesama residen dan para petugas
panti lainnya, melaksanakan kegiatan membersihkan asrama,
mengemukakan pendapat, mampu menyelesaikan masalah dengan
komunitas.
3. Sedangkan faktor pendukung yang ada di dalamnya sesuai informasi
bahwa dari struktur yang terjadwal rapih dalam metode TC memudahkan
kegiatan interaksi sosial antar semua warga dipanti, keterbukaan dan
kemauan para residen dalam memecahkan masalah dengan bersama-sama
memudahkan interaksi sosial bisa dilaksanakan. Sedangkan faktor
67
penghambat dalam interaksi sosial kurangnya perhatian dari pimpinan bisa
juga membuat interaksi sosial kurang bisa berjalan dengan baik hanya
mengandalkan para Peksos. Contohnya : jika anak salah tidak ada teguran
dan nasehat dari pimpinan, sulitnya mengubah niat mereka untuk berubah
dan mengikuti kegiatan TC, akibat dari penggunaan NAPZA yang banyak
membuat mereka sulit untuk menangkap apa yang diucapkan oleh orang
lain sehingga residen tersebut harus melihat terlebih dahulu residen yang
lainnya. Begitupun dengan latar belakang orang tua dan anggota keluarga
lainnya yang tidak memberi dukungan membuat residen menjadi tertutup
dan sulit berinteraksi.
B. Saran
Selesainya pembahasan skripsi ini, penulis memberikan saran untuk
pihak-pihak yang terkait didalamnya :
1. Kepada pihak PSPP “ Galih Pakuan” agar terus berupaya meningkatkan
kualitas dalam penerapan program rehabilitasi, membuat variasi dalam
metode rehabilitasi sehingga kegiatan rehabilitasi bisa disesuaikan dengan
keadaan, latar belakang panti dan residen tersebut.
2. Kepada Para Pimpinan panti diharapkan lebih mau terjun langsung
menghadapi para residen untuk membantu pembina menangani residen,
sehingga interaksi sosial mampu dengan baik dijalankan.
3. Kepada Orang Tua diharapkan untuk memberikan lebih perhatian dan
kewaspadaan terhadap pergaulan anak-anak sehingga mereka tidak terjebak
68
dalam penyalahgunaan NAPZA, serta memberikan pendidikan agama
untuk membentengi iman mereka.
4. Kepada generasi muda agar lebih berhati-hati dalam memilih teman dan
pergaulan yang baik untuk mewaspadai penyalahgunaan NAPZA.
5. Kepada masyarakat umum agar bisa bekerjasama dengan pihak berwajib
dan panti rehabilitasi untuk pencegahan peredaran NAPZA dilingkungan
tempat tinggal.
69
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Rineka Cipta: Jakarta, 1991.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Cet Ke-1, Jakarta: Bumi Aksara,1991.
Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Cet Ke-1, Jakarta: Logos,
1997.
BNN, Pencegahan Penyalahgunaan NARKOBA bagi Remaja, Jakarta : Badan
Narkotika Nasional, 2011.
Departemen Agama RI, Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh Masyarakat
Sekolah, Jakarta:2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1988.
Gerungan, W.A, Psikologi Sosial, Bandung : PT Erosco, 1987.
Hawari, Dadang, AL-QUR’AN Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, cet.ke-4,
Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 2004.
_________ Terapi (detoksifikasi) Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (system terpadu)
Pasien NAPZA, Jakarta : UI-PRESS, 1999.
Joewana, Satya, Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif
lain, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.
Kadarmanta, A, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, Jakarta : Forum Media
Utama, 2010.
Lien, Gouw Aji, Group Psychotherapies for Substance Addiction Clients in
Therapeutic Community Setting, Psikomedia – Jurnal Psikologi Maranatha,
Vol. 5 No. 5, September 2008.
Lutfi, M, Bimbingan dan Penyuluhan (konseling) islam, Lembaga penelitian UIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta, 2008.
70
________ Dasar-Dasar Bimbingan dan Penyuluhan (Konseling) Islam, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
_________ Nuansa-Nuansa Terapi dalam Konseling Islam, Dakwah VIII, no. 1
Jakarta:2009.
Makarao, Taufik dkk, Tindak pedana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2007.
Mulyana, Dedy, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Mursi, Ridho, Akram, Puber Tanpa Masalah, Bandung : Pustaka Hidayat, 2005.
Oktaviani, Ayu, Skripsi ( Lingkungan Fisik Rumah Rehabilitasi Pengguna Narkoba
dengan Metode Therapeutic Community : Studi Kasus di UNITRA Lido BNN
dan FAN Campus), Fakultas Teknik UI, 2010.
Razak, Yusron, Sosiologi Sebuah Pengantar, Jakarta : Laboratorium Sosiologi
Agama, 2008.
Sarwono, Wirawan, Sarlito, Pengantar Umum Psikologi, cet, ke-4, Jakarta : Bulan-
Bintang, 2003.
___________________. Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta, Rajawali Pers, 2003.
Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, cet.ke-1, Jakarta:
Mandar Maju, 2003.
Singarimbun, Masri, dan Efendi, Sofyan, Metodologi Penelitian Survei, cet.ke-1
Jakarta: LP3ES, 1995.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2005.
Subana, M dkk, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung : Pustaka Setia, 2005.
Syukir, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.
Tavip, M, “Pelaksanaan Therapeutic Community dan Rehabilitasi Terpadu bagi
Narapidana Narkotika dan Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1
Medan Dihubungkan dengan Sistem Pemasyarakatan” , Tesis S2, Fakultas
Hukum, USU, 2009.
71
Ulfa, Maria, “Metode Therapeutic Community Bagi Residen Narkotika di Unit Terapi
dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido-Bogor.” Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2011.
Walgito, Bimo, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), ( Yogyakarta : C.V Andi Offset,
2003), h. 65.
Warjowarsito,S, dan W, Tito, Kamus Lengkap Bahasa Inggis- Indonesia, Indonesia-
Inggris, Bandung: 1980.
Wendi dan David, “Treating post-traumatic stress disorder in a therapeutic
community : the experience of Canadian psychiatric hospital, therapeutic
community : the journal international for therapeutic and supportive
organization 21 (2) : 105-118 summer 2000, h, 36.
WEBSITE
AgungBNN:http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/deputirehabilitasi/ar
tikel/3031/therapeutic-community. artikel ini di akses pada 3 oktober 2012
http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/kasus-narkoba-di-
Indonesia-naik-tajam. diakses pada tanggal 21-juni-2012.
http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/hasil-penelitian-
jumlah-pasien-korban-penyalahguna-narkoba-di-tempat-terapi-dan-
rehabilitasi-di-13-provinsi-di-indonesia. artikel ini diakses pada 21 Juni 2012.