Post on 11-Mar-2019
Paper
Seminar on Knowledge Innovation & Change
Inovasi Bisnis: Dari Mimpi Hingga Prestasi
Studi Literatur
Ditulis Untuk Memenuhi Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah SKIC
Dosen: Dr. Avanti Fontana
Nama Mahasiswa : Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
8605210299
Program Doktor Strategic Management Program Studi Ilmu Manajemen
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
Jakarta, 2007
2
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
2. Permasalahan
3. Kerangka Teori
3.1. Berawal Dari Ide
3.2. Strategi Inovasi
3.3. Hubungan Knowledge Manajemen dan Inovasi
3.4. Pengaruh Pasar Dalam Implementasi Inovasi
3.5. Mengantisipasi Inovasi Disruptif
3.6. Dinamika Inovasi
3.7. Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja
3.8. Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara
Inovasi Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu
3.9. Dilema Inovator
3.10. Level Inovasi
4. Profil Beberapa Perusahaan Inovator di Indonesia
5. Kesimpulan dan Peluang Penelitian Lanjut
Daftar Pustaka
3
1. Pendahuluan
Inovasi dalam konteks perdagangan dan industri pertama kali didefinisikan
sebagai “The successful bringing to market ot new or improved products, processes or services.”
Definisi ini diterbitkan pada tahun 1967 oleh Robert L Charpie dalam laporannya
kepada US Department of Commerce dengan tajuk “Technological Innovation: its
Environment and Management”(Zairi, 1999). Pendapat senada, bahwa inovasi berkaian
dengan alur proses dari memimpikan sesuatu, menciptakannya, mengenalkannya
kepada publik agar nilai dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat,
dinyatakan juga oleh pakar lain (Chesbrough, 2006; Prahalad & Ramaswamy, 2004).
Dari kelompok pakar ini dapat ditarik benang merah bahwa inovasi merupakan
eksploitasi gagasan – gagasan baru yang diupayakan agar berhasil meraih sukses.
Interaksi antara penggagas, pelaksana dan pengguna inovasi dapat menjadi sebuah
mekanisme dinamis, terjadi transfer nilai (value) di antara elemen inovasi yang saling
mengumpan maju (fedforward) dan mengumpan balik (fedback). Pengalaman inovasi
tidak hanya dilakukan oleh internal perusahaan dan memerlakukan konsumen
sebagai pengguna karya inovasi yang terpisah dari strategi inovasi, namun
sebagaimana argumen Prahalad & Ramaswamy, telah melibatkan pelanggan.
Mereka dilibatkan dalam proses pencipataan produk-produk baru, dan memberikan
fedback atas kualitas produk yang telah dipasarkan.
Dalam pekembangan selanjutnya, sasaran inovasi tidak terbatas hanya pada
mewujudkan gagasan yang dapat sukses ketika diperkenalkan ke pasar, namun
inovasi juga berevolusi menjadi alat persaingan (competitive tools), sebagaimana
Porter (1998) menyebut inovasi sebagai isu sentral dari upaya peningkatan daya
saing. Inovasi pada perkembangan selanjutnya menjadi bagian kegiatan dari
perusahaan atau organisasi yang memerlukan perhatian khusus dalam sebuah
strategi. Strategi Inovasi pada dasarnya menuntut perubahan (Barney, 2002).
Beberapa peneliti terdahulu menyebutkan bahwa inovasi sudah menjadi bagian dari
strategi bisnis (Drucker, 1993; Christensen & Overdorf, 2001; Pyka, 2002;
Christensen, 2005; Govindarajan & Trimble, 2005;). Banyak kajian tentang inovasi
yang menelaah bagaimana organisasi merancang dan sekaligus melaksanakannya.
4
Salah satu di antaranya dikembangkan oleh Terziovski (2002) yang mengajukan tiga
alternatif strategi inovasi: bertahap (incremental), radikal, dan terintegrasi (integrated).
Seringkali upaya inovasi berawal dari “mimpi” mewujudkan sesuatu yang
belum pernah ada sebelumnya, atau mengubah yang sudah ada menjadi lebih baik.
Keinginan kuat yang didukung oleh kemampuan teknologi dan sumber daya
organisasi lainnya, menjadikan “mimpi” tersebut dapat diwujudkan. Sebagaimana
layaknya suatu upaya, selalu ada hambatan, demikian pula inovasi, ia tidak sepi dari
hambatan, baik yang berasal dari lingkungan internal perusahaan, maupun eksternal.
Resistensi dari pihak internal merupakan hal yang wajar pula, karena pada dasarnya
inovasi adala perubahan, sementara kecenderungan individu resistan terhadap
perubahan. Resistensi dari pihak luar, dapat datang dari pesaing, pelanggan atau
pemerintah, tergantung siapa yang merasa akan dirugikan dari inovasi tersebut.
Kemampuan perusahaan mengatasi semua resistensi yang menghambat upaya
inovasi pada akhirnya membuahkan prestasi, dapat berupa prestasi keuangan
maupun non-keuangan. Lebih jauh lagi, mimpi – mimpi yang mengawali inovasi
perlu dipupuk secara terus menerus, pada semua anggota organisasi, agar prestasi
yang telah dicapai tidak segera hilang atau dikalahkan oleh pesaing yang melakukan
hal serupa. Dalam konteks ini, inovasi yang berkelanjutan memiliki potensi untuk
mendukung sustainable competitive advantage.
2. Permasalahan
Dalam perjalanan waktu inovasi tidak selalu berhasil (Franklin, 2003;
Christensen, 2003). Inovasi gagal karena berbagai alasan (Roger, 1995) antara lain:
apakah masyarakat melihatnya sebagai suatu peningkatan dari yang sudah ada
(relative advantage); apakah inovasi konsisten dengan sistem nilai (value system),
pengalaman dan kebutuhan masyarakat yang diharapkan menggunakannya
(compatibility); akankah pengguna potensial mudah memahami dan memanfaatkan
karya inovasi (complexity); dapatkah masyarakat mencobanya dengan aman sebelum
memutuskan untuk menggunakannya (trialability); dan seberapa mudah bagi
masyarakat untuk melihat hasilnya (observability).
5
Di tengah janji memberikan manfaat, inovasi jika tidak dikelola dengan hati –
hati dapat menyebabkan kegagalan organisasi (Christensen, Raynor, 2003; Davila,
Epstein, Shelton, 2006). Terjadi dilema antara manfaat investasi yang diharapakan
dan dampak yang diperoleh dari pemanfaatan hasil inovasi (Christensen, 2005).
Untuk mengatasi masalah kemungkinan kegagalan inovasi atau dalam kata lain
guna meningkatkan probabilitas keberhasilan inovasi, diperlukan strategi inovasi
(Govindarajan & Trimble, 2005).
Studi mengenai kinerja inovasi di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh
perusahaan, belum cukup banyak dilakukan. Paper ini bermaksud melakukan kajian
literatur mengenai inovasi dan perannya dalam mendukung tercapainya prestasi
perusahaan berupa keunggulan daya saing yang kontinyu. Beberapa data yang
diperoleh dari situs Internet perusahaan – perusahaan Indonesia digunakan sebagai
objek analisa.
3. Kerangka Teori
3.1. Berawal Dari Ide
Inovasi berangkat dari ide. Berasal dari mana saja, karyawan, pemilik
perusahaan, atau manajemen. Ketika karyawan meyakini bahwa mereka, dan bukan
majikan, yang memiliki hak kepemilikan ide, mereka dapat memilih untuk tetap
memegang idenya dan tidak menyerahkannya kepada majikan/perusahaan
(Hannah, 2004). Apabila hal ini terjadi, dapat menghambat kemampuan perusahaan
menghasilkan produk atau layanan baru. Ada beberapa faktor yang memengaruhi
kepercayaan karyawan tentang siapa yang berhak atas ide yang dimilikinya:
keyakinan karyawan tentang siapa yang berhak memiliki idenya dipengaruhi secara
langsung oleh keyakinan karyawan tentang kekuatan upayanya mengajukan klaim
melawan kekuatan upaya perusahaan mengajukan klaim yang sama. Kedua variable
ini (kekuatan karyawan dan kekuatan perusahaan) dipengaruhi secara spesifik oleh
sifat dan kegunaan ide itu sendiri, tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses
pembentukan ide, serta dipengaruhi juga oleh keyakinan karyawan tentang tanggung
6
jawab atas tugas – tugas yang diberikan padanya serta pemahaman karyawan
terhadap prosedur organisasi.
Perusahaan sebagai pemberi kerja perlu memerkuat klaim hak hukum atas ide
dengan memastikan bahwa mereka terlibat ketika ide pertama kali diusulkan,
dikembangkan dan dibakukan; dengan melakukan sosialisasi kepada karyawan
bahwa tanggung jawab tugas mereka termasuk memberikan hak atas ide yang
dihasilkannya kepada perusahaan, sesuai dengan substansi yang termaktub dalam
undang-undang hak atas kekayaan intelektual, yang menyatakan bahwa setiap
penemuan atau karya cipta yang dihasilkan dari suatu ikatan kerja, maka hak atas
kekayaan intelektual yang muncul dari karya cipta tersebut menjadi milik pemberi
kerja.
3.2. Strategi Inovasi
Inovasi memiliki peran ganda: sebagai penentu daya saing ekonomi dan
sebagai sarana bagi pembebasan (liberation) dari keterbelakangan sosial budaya,
kebodohan, dan kemiskinan (Bobb, 2005). Sukses bisnis di abad milenium
ditentukan oleh inovasi (Hammel, 1999). Inovasi diartikan sebagai proses di dalam
organisasi untuk meman-faatkan ketrampilan dan sumber daya untuk
mengembangkan produk dan atau jasa baru atau untuk membangun sistem produksi
dan operasional baru sehingga mampu menjawab kebutuhan pelanggan (Jones,
2004).
Pengetahuan dan informasi yang dimiliki tidak menjamin terjadinya inovasi,
kemampuan untuk secara kreatif memanfaatkan pengetahuan dan informasi yang
dimiliki merupakan kunci menuju inovasi dan penciptaan keunggulan bersaing
(Jones, 2004). Inovasi dapat menghasilkan sukses luar biasa bagi perusahaan.
Inovasi pada dasarnya berkenaan dengan perubahan, selain itu juga berkaitan
dengan resiko karena seringkali inovasi merupakan luaran aktivitas penelitian dan
pengembangan yang hasilnya tidak dapat dipastikan. Inovasi diawali dengan ide
kreatif. Ide kreatif ini tidak selalu harus berupa upaya penemuan atau atau
pencapaian sesuatu yang “besar” namun dapat juga berwujud upaya perubahan kecil
untuk memperbaiki praktek yang sedang berlaku.
7
Teknologi, peluang bisnis, modal, kewira-usahaan, regulasi dan budaya, dan
metodologi merupakan variabel yang mempengaruhi praktek inovasi di suatu
organisasi (Abend, 2005). Inovasi di lain pihak juga merupakan dilema bagi
manajemen, kelangsungan hidup organisasi dalam jangka panjang memerlukan
komitmen untuk selalu melakukan transformasi melalui disruptive growth, namun
demikian fakta membuktikan hanya sedikit perusahaan yang dapat sukses dengan
strategi ini (Denning, 2005). Organisasi inovatif memiliki komitmen untuk
mengendalikan lingkungan; struktur organisasi yang memberikan kebebasan untuk
berkreasi; kepemimpinan yang mendorong organisasi untuk berinovasi; dan sistem
manajemen yang melayani misi organisasi (Light, 1998). Hambatan alamiah yang
seringkali dihadapi dalam upaya inovasi antara lain: struktur organisasi yang padat
(dense), keterbatasan sumber daya, keengganan untuk mendelegasikan kewenangan,
dan tingkat pemeriksaan internal yang tinggi (Aiken dan Hage, 1971; Pierce dan
Delbecq, 1977).
Agar inovasi dapat berkelanjutan dan mendukung kinerja perusahaan
diperlukan strategi inovasi (Terziovski, 2002). Terzioski menggolongkan strategi
inovasi ke dalam tiga kelompok: radical, incremental, dan integrated. Radical
merupakan strategi yang merujuk pada aktivitas inovasi yang tidak pernah ada
sebelumnya, mengubah secara drastis kemapanan, menghasilkan produk atau proses
baru yang berbeda dari sebelumnya. Incremental merupakan strategi berkembang
secara bertahap, memperbaiki produk atau proses bisnis yang sudah ada dengan
langkah inovatif. Integrated menggabungkan dua pendekatan terdahulu – radical dan
incremental – selain menemukan hal – hal baru (invention) strategi integrated juga
menganjurkan inovasi dengan cara mengembangkan dari yang sudah ada.
Manajer perlu mencermati faktor-faktor yang memengaruhi kinerja inovasi.
Blayse A. M & Manley K (2004) dari studi tentang pengaruh utama pada inovasi di
bidang konstruksi menyebut enam faktor yang mendorong atau menghambat
inovasi: Klien dan Penyedia Peralatan Produksi; Struktur Produksi; Hubungan
antara individu dengan perusahaan di dalam industri dan antara industri dengan
pihak luar; Sistem pengadaan barang dan jasa; Regulasi dan standar; serta sifat dan
kualitas sumber daya organisasi.
8
3.3. Hubungan Knowledge Manajemen dan Inovasi
Proses inovasi banyak bergantung pada pengetahuan, terutama karena
knowledge merepresentasikan suatu bidang (realm) jauh lebih dalam dari pada data,
informasi dan logika konvensional; oleh karenanya, kekuatan knowledge terletak
pada subjektivitasnya, yang mendasari value dan asumsi yang menjadi pondasi bagi
proses pembelajaran (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Dari pemahaman ini, dapat
dikatakan bahwa knowledge management (KM) serta sumber daya manusia
merupakan elemen penting dalam menjalankan setiap bisnis. Namun demikian,
banyak organisasi tidak konsisten dalam pendekatannya kepada KM, hal ini terjadi
karena dipengaruhi dan banyak didominasi oleh kerangka teknologi informasi (IT)
atau humanis (Gloet & Terziovski, 2004). Studi Gloet dan Terziovski (2004)
menganjurkan para manajer di perusahaan manufaktur perlu memberi perhatian
lebih banyak pada manajemen sumber daya manusia (HRM) ketika membangun
strategi inovasi bagi inovasi produk dan proses. KM mendukung kinerja inovasi jika
pendekatan simultan dari soft HRM practices dan hard IT practices diimplementasikan
bersama-sama secara sinergi.
KM berkembang menjadi bidang kajian tersendiri dalam studi organisasi dan
berperan signifikan dalam membangun competitive advantage (Nonaka, 1991; Nonaka
& Takeuchi, 1995; Davis, 1998; Matusik & Hill, 1998; Miller, 1999; Moore &
Birkinshaw, 1998, Stewart, 1997). Meskipun demikian KM mendapat kritik dari
berbagai pihak, dikatakan sebagai penggunaan istilah yang tidak cocok (misnomer)
atau oxymoron, penggunaan dua kata yang maknanya saling bertentangan (Coleman,
1999), atau membingungkan dan tidak tepat (McCune, 1999). Dari ide dan kritik ini,
akhirnya menjadikan KM berkembang dan memiliki sistem fisik dan proses serta
ruang lingkup yang semakin jelas, tidak ada hambatan dalam mendefinisikannya
(Liebowitz, 1999). KM memberi perhatian pada formalisasi akses kepada
pengalaman, pengetahuan dan keahlian guna menciptakan kemampuan baru,
mendukung kinerja unggul, mendorong inovasi, dan meningkatkan customer value
(Beckman, 1999). Sementara itu, Coleman (1999) mendefinisikan KM sebagai
sebuah payung bagi berbagai fungsi yang saling berketergantungan dan terkait satu
9
dengan lainnya yang terdiri dari knolwedge creation; knowledge valuation dan metrics;
knowledge mapping dan indexing; knowledge transport, storage dan distribusi; serta
knowledge sharing.
Dari berbagai pendekatan KM menunjukkan adanya perluasan dari
organisational learning dan sistem informasi bisnis, dan dua pendekatan ini
dipengaruhi oleh IT paradigm dan humanist paradigm. IT paradigm fokus pada aspek
tangible dari KM, seperti pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan informasi,
menggunakan metodologi yang secara implisit membentuk organisasi sebagai
sebuah sistem pemrosesan informasi; sementara humanis paradigm lebih menekankan
pada sifat pembelajaran dan peningkatan pengetahuan sebagai sumber daya
organisasi, menyorot peran individu dan kelompok dalam proses penyebaran
knowledge.
Sementara itu, elemen organisasi lainnya seperti infrastruktur memiliki
kekuatan untuk memengaruhi sukses atau gagalnya KM di dalam organisasi.
Elemen ini antara lain: budaya organisasi dan dukungan infrastruktur (Beckman,
1999; Zand, 1997; Quinn et al, 1997); dukungan manajemen dan kepemimpinan
yang proaktif (Davenport, 1996; Beckman, 1999), pember-dayaan karyawan
(Davenport & Prusak, 1998; Liebowitz & Beckman, 1998), memahami KM sebagai
strategi bisnis (Ruggles & Holtshouse, 1999), ssaluran komunikasi yang kuat
(Koulopoulos & Frappaolo, 1999), dan komitmen untuk membangun dan
memertahankan iklim pembelajaran di dalam organisasi (Starbuck, 1997; Liebowitz
& Beckman, 1998).
Inovasi berkaitan dengan knowledge yang dapat digunakan untuk
menciptakan produk atau proses dan layanan baru guna meningkatkan competitive
advantage dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang selalu berubah (Nystrom, 1990).
Carnegie dan Butlin (1993) mendefinisikan inovasi sebagai “sesuatu yang baru atau
ditingkatkan yang dihasilkan oleh perusahaan guna menciptakan nilai tambah yang
signifikan baik secara langsung atau tidak langsung yang memberi manfaat kepada
perusahaan dan atau pelanggannya”. Sementara itu, Livingstone et al (1998) melihat
inovasi sebagai produk atau proses baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan
value. Dari lingkup definisi inovasi di atas, setidaknya ada empat mekanisme yang
10
memberi kontribusi bagi inovasi yang dilakukan secara terus menerus, yaitu
kapabilitas, perilaku, ungkit (lever) dan contingencies (Gieski, 1999).
Dalam format ideal, inovasi memiliki kapasitas meningkatkan kinerja,
menyelesaikan persoalan, menambah value, serta menciptakan competitive advantage
bagi organisasi (Gloet & Terziovski, 2004). Inovasi secara umum dapat dijelaskan
sebagai implementasi penemuan (discoveries) dan hasil rekayasa (inventions) serta
proses yang menghasilkan luaran (outcome) baru, apakah berupa produk, sistem atau
proses (William, 1999). Lebih jauh, inovasi menempati posisi sangat penting dalam
organisasi (Davenport & Prusak, 1998). Stewart (1997) menyatakan, KM dan modal
intelektual berperan besar sebagai sumber inovasi, oleh karena itu strategi bisnis
perlu memberi perhatian utama pada ketiga aspek ini (KM, intellectual capital,
inovasi).
Sumber daya manusia dapat dilihat sebagai pendongkrak (lever) stratejik
dalam penciptaan competitive advantage melalui value dari knowledge, ketrampilan
dan pelatihan (Becker dan Gerhart, 1996). Di pihak lain, competitive advantage juga
membutuhkan infrastruktur TI yang kuat di dalam organisasi (Davenport & Prusak,
1998; Zand, 1997). Guna memahami inovasi dengan lebih baik, manajemen harus
memastikan bahwa inovasi menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perusahaan
(Cottrill, 1998). Model KM yang didasarkan pada TI dan HRM merupakan
instrumen yang dapat dipercaya dan valid bagi pengukuran dan memperkirakan
hubungan antara praktek KM dengan kinerja inovasi. Selanjutnya, ada hubungan
positif yang signifikan antara praktek KM yang didasarkan pada kombinasi
TI/HRM dan kinerja inovasi, Dari dua pernyataan ini dapat disarnkan bahawa
organisasi perlu berupaya membangun pendekatan KM yang integratif guna
memaksimalkan kinerja inovasi dalam upaya mencapai competitive advantage.
Hal tersebut perlu dicermati, karena ada hubungan negatif yang cukup
signifikan antara elemen-elemen TI (dari IT paradigm) yang fokus pada
pengembangan teknologi (seperti e-commerce) dan kinerja inovasi. Hal ini dapat
dijelaskan karena e-commerce masih pada tahap awal pertumbuhan, dan oleh
karenanya rasa percaya diri pada e-commerce sebagai pendorong utama dalam
11
peningkatan dan kelangsungan dari kinerja inovasi belum dianggap nyata oleh para
manajer.
Organisasi sebaiknya berupaya mengimplementasikan Knowledge
Management secara terintegrasi guna memaksimalkan kinerja inovasi yang berujung
pada keunggulan kompetitif (Gloet & Terziovski, 2004). Namun demikian, ada
hubungan negatif yang cukup signifikan antara element – element TI yang fokus
pada kemajuan teknologi, seperti e-commerce, dengan kinerja inovasi. Adanya
hubungan negatif ini kemungkinan karena e-commerce masih pada tahap awal, dan
keyakinan kepada e-commerce sebagai pendorong utama dalam meningkatkan serta
memertahankan kinerja inovasi belum dimiliki oleh para manajer, khususnya di
industri manufaktur. Di sektor jasa, kondisinya agak berbeda. Studi Gloet dan
Terziovski (2004) menyebutkan ada indikasi para manajer di industri jasa memiliki
keyakinan yang lebih tinggi bisnisnya akan sukses dengan e-commerce dan inovasi
yang berbasis TI. Namun demikian kajian komprehensif tentang hubungan antara e-
commerce dan kinerja inovasi masih memiliki peluang yang cukup besar untuk
dieksplorasi.
3.4. Pengaruh Pasar Dalam Implementasi Inovasi
Dalam pengaruh berbagai kondisi pasar, semakin besar potensi pasar bagi
suatu produk, yang menjanjikan tingkat keutungan yang lebih besar, akan memacu
inovasi produk tersebut lebih cepat lagi. Artinya, ukuran pasar menjadi kunci
penentu bagi kinerja inovasi (Acemoglu & Linn, 2003). Bagaimanapun hebatnya
suatu produk inovasi berbasis teknologi canggih, namun kalau pasar untuk produk
tersebut tidak ada, atau produsen beserta pemasarnya tidak mampu menciptakan
pasar, maka tidak akan ada insentif bagi inovator atau produsen untuk terus
memroduksinya. Para ekonom selalu mengingatkan perlunya penciptaan pasar dan
insentif bagi karya inovasi dan invensi (Griliches & Schmookler, 1963 dalam
Acemoglu & Linn, 2003). Di sisi lain, inovasi lebih banyak dilatar-belakangi motif
ekonomi, dan motif inilah yang acapkali menjadi pendobrak (breakthrough) eknologi
dan ilmu pengetahuan. Schmookler menyebut beberapa contoh inovasi yang
dilandasi motif ekonomi antara lain, layanan jaringan kereta api, penyulingan
12
minyak dan gas bumi, pembuatan kertas, varietas baru tanaman, dan asih banyak
lagi.
Determinan utama tercapainya tingkat profitabilitas atas karya atau produk
inovasi adalah ukuran dan daya serap pasar. Ukuran pasar yang semakin besar, memberi
peluang bagi diperolehnya profit yang lebih besar, dan pada dampak sirkularnya akan
menguatkan minat menjalankan inovasi atau invensi. Profit dan ukuran pasar di dalam
inovasi juga merupakan stimulus (Brogan & Amstrong, 2004) serta hal penting dalam
model – model perubahan teknologi, yang menggunakan profit sebagai pendorong utama
dalam kemajuan teknologi (Aghion & Hewit, 1992; Grossman & Helpman, 1991; Romer,
1990).
3.5. Mengantisipasi Inovasi Yang Disruptif Di tengah dunia bisnis yang diwarnai dengan kondisi persaingan yang semakin
sengit, organisasi menghadapi tantangan paradoks dualisme: berfungsi secara efisien,
sementara juga melakukan inovasi secara efektif guna memersiapkan diri menghadapi
hari esok (Paap & Katz, 2004). Tidak peduli bagaimanapun strukturnya, harus mengelola
kedua hal tersebut secara simultan. Untuk melaku-kannya perusahaan harus memahami
dan belajar mengelola dinamika inovasi yang mendasari inovasi yang disruptif dan
berkelanjutan. Pendapat ini didukung oleh Tushman dan O’Reily (1997) yang
menunjukkan bagaimana inovasi telah mengacaukan kemapanan yang sudah dinikmati
oleh perusahaan. Kamera film berangsur hilang dari pasar sejak mulai diperkenalkan dan
berkembangnya kamera digital.
Demikian juga televisi hitam putih, sekarang sudah sulit ditemukan sejak
digantikan oleh televisi berwarna. Namun demikian televisi berwarna yang
menggunakan tabung katoda (Chatode Ray Tube), sekarangpun sudah mulai
menjelang hilang dari pasar sejak diperkenalkan televisi liquid crystal display (LCD).
Tushman dan O’Reily mengutip pendapat W.E Deming bahwa di berbagai industri
selalu ada perusahaan terkemuka yang dengan mudah mengalami kemunduran
setelah muncul inovasi yang berhasil mengacaukan pasar.
Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai
pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya dalam
13
menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru. Perusahaan
yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba –tiba kehilangan pasar yang
sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami kebangkrutan akibat munculnya
produk dengan teknologi baru yang menggantikan produk lama. Kondisi semacam
ini disebut tyranny of success, di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi
yang dikalahkan, karena kehilangan daya saingnya.
Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan,
penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi faktor-
faktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan competitive advantage
pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika teknologi dan kondisi pasar
berubah dengan berjalannya waktu. Sukses merupakan pencapaian yang tidak
permanen yang dapat lepas dari tangan (Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal
tersebut, menjadi penting untuk mengenali pola sukses yang diikuti dengan
kegagalan – inovasi yang dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan
rasa puas diri (complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap
waktu. Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi
pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan dua
perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi perubahan
kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar.
Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan
organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan mengelola
dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-tahankan suksesnya
model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang bersifat disruptif yang akan
memungkinkan mereka mampu bersaing di masa depan. Perusahaan sebaiknya tidak
hanya menaruh perhatian pada sukses keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka
juga harus fokus pada kemampuan jangka panjang guna membangun atau
mengomersialkan apa yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan
disukai oleh pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat.
Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya
memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal mereka
juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-lumnya. Industri jam
14
tangan memberikan contoh yang jelas. Perusahaan jam tangan Swis
menginvestasikan dan menemukan disruptive technology – quartz batteries dan jam
tangan digital – yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-sahaan Jepang dan
mengalahkan perusahaan Swis.
Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive
technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar yang
disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan perusahaan
besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak berhasil mengadopsi
teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat. Memahami kapan dan bagaimana
teknologi baru perlu diadopsi dapat membantu mengantisipasi pengenalan teknologi
masa depan, di mana beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif.
Menjadi penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada
kebu-tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada tidak
mampu bersaing menghadapi teknologi baru.
3.6. Dinamika Inovasi
Dinamika inovasi merupakan keterkaitan antara kebutuhan lama dan baru,
serta teknologi lama dan baru. Kelemahan yang banyak terjadi dalam penelitgian
sebelumnya antara lain mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap hubungan
antara kebutuhan dan teknologi. Return dari suatu teknologi bukan hanya
merupakan fungsi investasi, namun juga berupa pengaruh dari perubahan yang
dihasilkan dari investasi tersebut. Meyer dan Marquis menyajikan sebuah model
inovsi yang didasarkan pada studi dari ratusan inovasi industri beberapa dekade lalu.
Sementara itu, para ahli lain juga telah mengembangkan model – model inovasi;
seperti Robert Cooper yang membangun model dan kemudian dikembangkan dan
dikenal sebagai prose StateGate; juga Edward Roberts, yang mengemukakan
pengembangan flowchart dilengkapi dengan feedback loop. Menggunakan model
Meyer Dan Marquis, inonasi diawali hubungan antara kebutuhan (need) dengan
tekhnologi. Kombinasi keduanya mengilhami munculnya gagasan/ide, yang pada
tahap selanjutnya disaring, diuji, dikembangkan, ditimbang, dan kemudian
digunakan serta disebar-luaskan.
15
Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga
pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi: teknologi lama
mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver; driver mengalami
pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama tidak mampu memenuhi
kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh dominant driver baru; lingkungan
berubah menciptakan dominant driver baru. Mengenali teknologi baru yang dapat
menyebabkan disrutif merupakan tantangan, terutama ketika pelanggan tidak
mengenali bahwa kebutuhan kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu
tidak mengubah keputusan masa depan.
Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1) memahami dinamika inovasi dan
substitusi. Ada alasan-alasan tertentu mengapa teknologi baru muncul: ada kebtuhan
yang tidak terpenuhi (baru atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau
yang akan dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang
diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka
butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver masa
depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas maksimum, dan
yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3) tidak meninggalkan
teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua. Kecuali ada kebutuhan yang
tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya untuk menggantinya dengan
teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan hanya fokus pada bagaimana dapat
menggunakan teknologi yang ada untuk menjawab driver yang sedang berkembang.
Beralih ke teknologi yang lebih baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas
kemampuan driver lama mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan
minimum driver baru; (5) implemen proses yang membantu mengantisipasi dan
mengelola perubahan.
3.7. Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja
Teknologi tidak secara langsung menghasilkan return; peran teknologi mendo-
rong adanya perubahan di dalam proses, material, fungsi atau kegunaan suatu
prioduk atau layanan (Paap & Katz, 2004). Kemampuan teknologi dalam membuat
16
semua perubahan tersebut disebut sebagai produktivitas. Kondisi dimana perubahan
bermanfaat bagi operasional internal (dalam inovasi proses) atau bagi perluasan basis
pelanggan (dalam inovasi produk atau layanan) dinamakan sebagai Leverage. Inovasi
memiliki hubungan non-linear dengan kinerja perusahaan (inverted U-shape); dan
Teknologi Informasi (TI) tidak memiliki pengaruh signifikan pada kinerja
perusahaan. Namun demikian sesudah memertimbangkan interaksi antara inovasi
dan TI, ada efek positif pada kinerja perusahaan (Cheng & Chun, 2005). Dari
pernyataan di atas dapat ditarik pendapat bahwa lebih banyak investasi pada modal
intelektual tidak selalu lebih baik. Perusahaan sebaiknya mengkoordinasikan
perbedaan perspektif dari modal intelektual guna meningkatkan kinerja.
Menghadapi meningkatnya kompetisi global, tumbuh pemahaman bahwa
inovasi merupakan kekuatan kritis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Oleh karenanya, komunitas internasional, khususnya negara-negara yang relatif
maju dalam sain dan teknologi, memberi nilai yang tinggi pada pengembangan sain
dan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan TI telah berubah
sedemikian cepatnya, sehingga dikatakan investasi TI membentuk infrastruktur
knowledge management di dalam organisasi (Stewart, 1997; Bontis, 2002; Banker,
2003; Youndt et al, 2004). Demikian juga investasi perangkat keras dan lunak telah
menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan. Meski demikian, TI tidak dapat
menciptakan sustainable competitive advantage bagi sebuah perusahaan karena TI dapat
dengan mudah ditiru oleh pesaing. Lebih lanjut, munculnya open standard juga
mendorong pelanggan dan pemasok mengubah ikatan kemitraan lebih mudah
(Banker, 2003). Oleh karena itu, masih ada pendapat yang inkonsisten tentang
apakah investasi TI dapat memberi manfaat substansial bagi perusahaan.
Kepemilikan pengetahuan, pengalaman yang telah diterapkan, teknologi yang
dimiliki organisasi, hubungan dengan pelanggan dan ketrampilan profesional yang
dapat memberikan kemampuan kompetisi di dalam pasar tertentu, merupakan
definisi intellectual capital (Edvinson & Malon, 1997). Yang menjadi persoalan, tidak
selalu intelectual capital dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Persoalan ini
tidak hanya dihadapi oleh pelaku bisnis, namun juga menjadi pertanyaan di
kalangan akademisi. Sebagian ahli berpendapat bahwa investasi intellectual capital
17
secara nyata memberi kontribusi bagi diperolehnya profit (Bontis et al, 2000, 2002;
Youndt, et al, 2004). Di pihak lain, beberapa ahli lain menyimpulkan bahwa
intellectual capital tidak memiliki hubungan tetap positif dengan kinerja perusahaan
(Huselid et al, 1997; Bharadwaj et al, 1999). Meski ada perbedaan pendapat tentang
peran intellectual capital bagi kinerja perusahaan, sebagian besar sependapat tentang
korelasi mutual di antara komponen intellectual capital.
Mengacu pada resource-based view (RBV), perusahaan merupakan kombinasi
dari sumber daya dan kemampuan (Barney, 1991). Ketika sumber daya ini bersifat
unik, memiliki nilai, jarang dimiliki oleh perusahaan lain, dan sulit untuk ditiru,
penggunaan semuanya dengan cara yang tepat akan memberi kontribusi bagi
sustainable competitive advantage. Ketika menghadapi lingkungan ekonomi yang
diwarnai dengan persaingan sengit, perusahaan harus memiliki kemampuan dalam
inovasi, kualitas, serta kecepatan dalam membangun daya saing. Oleh karena itu,
memberi perhatian khusus pada sumber daya guna mengakumulasikan inovasi dan
TI akan memiliki dampak positif bagi kinerja perusahaan. Studi menunjukkan
investasi TI memiliki asosiasi positif yang signifikan terhadap nilai perusahaan
(Bharadwaj et al, 1999; Abody & Lev, 2001).
Berdasar pada teori di atas, investasi inovasi dan TI yang lebih besar akan
memberi lebih banyak kemudahan bagi tercapainya kinerja yang lebih baik. Namun
demikian, pendapat ini tidak selalu didukung oleh fakta yang konsisten. Berdasarkan
teori pertumbuhan, perusahaan akan selalu memiliki batasan untuk berkembang,
salah satunya disebabkan oleh kemampuan manajemen (Penrose, 1959). Demikian
pula teori kurva-S, dan investasi R&D yang relatif tinggi tidak serta merta dapat
menghasilkan kinerja (Foster, 1986). Ketika aktivitas R&D mencapai titik tertentu,
produktivitas R&D mulai menurun. Lebih jauh, ketika teknologi mencapai tingkat
kedewasaan, investasi TI berada pada lapisan terbawah, dan resiko fluktuasi
teknologi akan berkurang. Namun demikian hal ini juga akan menurunkan return
yang sebelumnya berhasil dicapai oleh invetasi TI.
Meskipun investasi TI memiliki hubungan positif dengan kinerja perusahaan,
besarannya telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir (Chang &
Chun, 2005). Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi.
18
Pertama, disebabkan oleh perubahan teknologi yang sangat cepat, investasi TI
cenderung terdepresiasi dengan cepat pula. Selain itu, ketika perusahaan telah
menjadi lebih canggih dengan memanfaatkan TI, tidak lama kemudian pesaing akan
membuat duplikasi kemampuan TI yang sama atau bahkan lebih baik dari yang
dimiliki perusahaan, sehingga periode keunggulan sebagai pelaku pertama menjadi
lebih singkat.
3.8. Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara Inovasi
Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu
Inovasi merupakan proses yang kompleks, meski dapat diindentifikasi dengan
mudah sebagai faktor kritikal bagi sukses organisasi namun tidak selalu mudah
untuk mengelolanya (Terziovski, 2002). Sejalan dengan meningkatnya intensitas
kompetisi internasional dan siklus produk yang semakin singkat, tekanan bagi
dilakukannya inovasi menjadi semakin kuat. Strategi peningkatan yang dilakukan
secara kontinyu dari bawah ke atas (bottom up) merupakan strategi yang dianjurkan
guna meningkatkan kepuasan pelanggan dan produktivitas dalam perusahaan
manufaktur. Di pihak lain, strategi dengan pendekatan top-down dianggap tepat guna
meningkatkan daya-saing-relatif teknologi. Strategi yang terintegrasi memiliki
pengaruh yang paling kecil pada kinerja unggul. Pada tataran praktis, strategi
peningkatan secara incremental yang dilakukan kontinyu merupakan pendorong
utama di belakang berbagai upaya peningkatan kinerja, dan inovasi radikal
sebaiknya digunakan untuk jump-start produk-produk kritikal, layanan dan proses.
3.9. Dilema Inovator
Kesulitan di dalam inovasi tidak hanya berupa pemikiran sempit, buah
pemikiran yang keliru, serta bias. Konflik yang terjadi di dalam inovasi berkaitan
dengan pilihan – pilihan. Di lingkungan organisasi publik, inovator seringkali
menghadapi tantangan dan dilema. Robert Behn (1997) mengemukakan dilema
inovasi, yakni: perma-salahan paradigma, disebabkan oleh kuatnya pengaruh pola
pikir (mental model) tertentu yang terdapat pada pemimpin, manajer, staf yang
19
menghambat proses kreatif untuk lahirnya inovasi; perangkap pemadam kebakaran,
inovasi seringkali dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan penting guna menjawab
tuntutan keadaan yang baru saja timbul, padahal inovasi sejatinya merupakan proses
panjang serta membutuhkan strategi jangka panjang meski organisasi masih harus
mengelola krisis yang timbul dalam jangka pendek; ketakutan terhadap inovasi,
keyakinan bahwa suatu organisasi membutuhkan lebih banyak inovasi rutinisasi,
skala inovasi, dilema analitik, dilema struktural, dilema replikasi, dan dilema
motivasi.
Christensen (2003) melihat dilema inovator muncul ketika keputusan logis
oleh manejemen yang kompeten, yang merupakan faktor kritikal bagi sukses
perusahaan, menjadi penyebab perusahaan kehilangan kepemimpinan pasar.
Manajer oleh karenanya, perlu memahami bagaimana dan dalam kondisi apa
teknologi baru hasil inovasi dapat menyebabkan perusahaan besar mengalami
kegagalan. Dalam hal ini, manajer dituntut untuk dapat secara simultan
mengerjakan apa saja yang tepat untuk jangka pendek dengan mengutamakan
kesehatan perusahaan, dan dalam waktu yang bersamaan memberi perhatian besar
terhadap penyediaan sumber daya guna menghadapi munculnya disruptive
innovation, agar kinerja perusahaan tidak menurun.
3.10. Level Inovasi
Meski di dunia ini banyak terdapat perusahaan yang bisa dianggap inovatif,
ternyata tidak semua perusahaan inovatif berada pada level yang sama. Sama seperti
para ahli bela diri, ada beberapa tingkatan perusahaan inovatif. Level pertama,
perusahaan inovatif sabuk putih, adalah perusahaan yang memiliki individu inovatif
yang berbakat, atau perusahaan yang sesekali beruntung melahirkan inovasi melalui
departemen R&D-nya. Di perusahaan ini, inovasi akan muncul, tetapi hanya selama
individu kreatif tersebut masih bersama perusahaan. Bila sang jenius kreatif tersebut
keluar atau pensiun, inovasi perusahaan juga akan ikut berhenti. Kasus Sony dan
Akio Morita adalah contoh yang baik (Sony/Morita dan Apple/Jobs). Perusahaan
yang hanya bisa mengeluarkan satu kali produk inovatif dan setelah itu berhenti juga
bisa dimasukkan dalam kategori ini.
20
Level kedua, perusahaan inovatif sabuk kuning. Perusahaan ini sudah
berhasil memasukkan inovasi ke dalam prosesnya. Proses seperti berinteraksi dengan
konsumen untuk mengenali kebutuhan mereka, rapid prototyping, manajemen proyek
untuk pengembangan produk baru, atau brainstorming kelompok untuk mendapatkan
ide-ide baru sudah menjadi bagian dari SOP yang dilaksanakan secara disiplin.
Sistem insentif juga sudah ditata sehingga segala upaya inovatif, baik yang gagal
ataupun yang berhasil, dihargai secara layak. Di perusahaan seperti ini, para
karyawan dan individu kreatif boleh datang dan pergi, tetapi karena inovasi sudah
merasuk ke dalam sistem dan proses perusahaan, inovasi akan terjadi terus menerus.
Google, 3M dan IDEO sudah berada pada tingkatan ini. Kelihatannya level ini
sudah cukup tinggi, tetapi kenapa masih mendapat sabuk kuning? Karena, tentu saja,
masih ada level yang lebih tinggi lagi.
Level ketiga, perusahaan inovatif sabuk coklat. Perusahaan yang masuk level
ini telah memiliki proses untuk terus menerus memikirkan bagaimana meningkatkan
cara berinovasi. Perusahaan pada tingkatan ini akan melihat proses manajemen
proyek, atau prototyping, atau upaya mengenali kebutuhan konsumen mereka; dan
bertanya: Apakah ada cara untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses ini?
Apakah bisa dilakukan dengan cara lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik?
Perusahaan pada level ini bukan saja mampu mengeluarkan inovasi terus menerus,
tetapi malah mampu menginovasi cara untuk berinovasi secara terus menerus. P&G
adalah contoh perusahaan yang sudah menginjak level ini.
Level keempat, perusahaan inovatif sabuk hitam. Inilah puncaknya. Di
sinilah berdiam sang Master. Sang Yoda untuk para ksatria Jedi. Perusahaan di level
ini telah memiliki proses untuk memikirkan terus menerus bagaimana meningkatkan
proses untuk menginovasi proses-proses lainnya. Perusahaan di sini akan bertanya:
Apakah ada cara lain agar proses untuk meningkatkan inovasi bisa ditingkatkan lagi?
Adakah perusahaan yang berhasil mencapai tingkatan tertinggi tersebut? Tentu ada.
Toyota kelihatannya sedang menuju ke sana.
Tentu tidak mudah mencapai level tertinggi tersebut. Untuk menjadi ksatria
Jedi saja tidak semua makhluk cerdas bisa mencapainya, apalagi untuk menjadi
Yoda. Untuk hampir semua perusahaan yang ada di muka bumi ini, level tertinggi
21
tersebut selamanya akan hanya berupa mimpi. Untuk mencapai tingkatan tersebut,
inovasi bukan lagi sekumpulan teknik-teknik atau strategi atau taktik, tetapi sudah
merupakan filosofi hidup sehari-hari. Inovasi adalah Tao. Inovasi adalah Zen.
Sebuah jalan hidup. A state of being, not doing. Perusahaan dan inovasi sudah menjadi
satu. Inovasi bukan lagi merupakan lompatan besar yang terjadi sewaktu-waktu,
tetapi inovasi-inovasi kecil yang terjadi setiap hari, setiap menit, setiap detik.
Bagi sebagian besar perusahaan, mencapai sabuk kuning sudah merupakan
pencapaian yang patut dibanggakan. Tetapi tidak ada salahnya memasang target
yang lebih tinggi karena stretching goal seperti itu akan selalu membantu kita
mencapai sesuatu yang lebih tinggi dari yang bisa dibayangkan.
4. Profil Beberapa Perusahaan Inovator di Indonesia
4.1. Excelcomindo Pratama (XL) Layanan korporat dari XL. Persaingan antar operator telepon mobile, dan
juga antara GSM dan CDMA membuat XL melirik ke pasar korporat. Perusahaan
ini meluncurkan layanan Office Zone dan GSM PABX yang cukup inovatif. Lewat
fasilitas terbaru tersebut, XL berfungsi sebagai “extention” sistem komunikasi
perusahaan. Staf perusahaan yang memakai layanan ini bisa menelepon ke kantor
pusat tanpa dikenakan biaya sama sekali selama masih berada pada zona yang
ditentukan. Keluar dari zona tersebut, dikenakan biaya flat fee yang masih cukup
murah. Solusi ini termasuk inovatif karena didasarkan atas kebutuhan korporat yang
selama ini jarang diperhatikan. Solusi ini juga mampu menghemat biaya komunikasi
korporat, dan sekaligus menjamin pendapatan untuk XL dari segmen yang cukup
loyal tersebut.
4.2. PT Hartono Istana Teknologi (HIT) Produsen Polytron ini telah melahirkan beberapa inovasi yang pantas untuk
dicatat, antara lain teknologi Singasong (teknologi audiovisual di dalam kaset
audio), kulkas dua fungsi (pendingin dan penghangat), dan TV Xcel Home Theater
yang sudah dilengkapi dengan perangkat home theater dan DVD player. Inovasi dan
22
kualitas Polytron membuat banyak pembeli yang tidak tahu jika merek ini adalah
merek lokal.
4.3. Lain - lain
Sabun Harmony dan Lervia dari PT Megasurya Mas.
Sabun beraroma buah ini bukan saja diterima di Indonesia, namun sudah
diekspor ke mancanegara. Di India dan beberapa negara Timur Tengah, merek
Harmony cukup disegani. Bahkan, di negara Turki, nama Harmony sudah identik
dengan kategori sabun bearoma buah. Selain Harmony, Megasurya Mas juga
memproduksi Lervia Milk Soap, sabun mandi dengan ekstrak susu dan moisturizer
yang juga sudah diekspor ke lebih dari 30 negara.
Suplemen Stimuno dari PT Dexa Medica
Suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh ini menggunakan
tumbuhan khas Indonesia, meniran. Meniran, sebagaimana sudah diuji di
laboratorium, mampu mengobati infeksi kronis dan viral. Saat ini, produk tersebut
juga sudah diekspor ke negara-negara ASEAN lainnya seperti Kamboja, Vietnam,
dan Singapura.
Smart Diva
Dua sahabat keturunan blasteran yang kebetulan berhobi sama Jessica
Schwarze dan Amanda Sari mendapatkan ide untuk membuka usaha penyewaan tas
pesta. Meski ide ini sudah dijalankan sebelumnya di US, namun ide tersebut mereka
dapatkan sebelum mengetahui tentang perusahaan di US tersebut. Mereka juga
mengatakan bahwa ide ini adalah yang pertama kali dijalankan di Asia. Meski agak
ragu-ragu di awalnya, bisnis yang diberi nama Smart Diva ini sekarang sudah
dikenal di Jakarta.
PT Suwastama
Kala orang-orang melihat enceng gondok sebagai sesuatu yang mengganggu,
perusahaan ini justru melihatnya sebagai bahan baku untuk kerajinan tangan.
23
Produk enceng gondok tersebut bukan saja sudah diekspor ke mancanegara, tetapi
perusahaan ini juga merangkul ribuan perajin di sekitarnya dan memberi mereka
bantuan fasilitas kepemilikan rumah.
The Electronic Doctor Indonesia (EDI)
Ide Henry Indraguna ini pantas diacungi jempol. Dengan membebankan
biaya keanggotaan Rp. 100.000,-, pelanggan akan mendapatkan garansi servis
setahun penuh untuk satu jenis produk elektroniknya. Untuk menjaga kualitas,
Henry menjamin pemakaian spare parts asli. EDI ini juga diwaralabakan ke kota-
kota lain di Indonesia.
5. Kesimpulan dan Peluang Penelitian Lanjut Dari beberapa contoh perusahaan di atas yang jauh dari lengkap, apalagi
yang ditampilkan hanya para inovator produk, sementara inovasi proses yang tak
kalah pentingnya belum terwakili, menunjukkan bahwa inovasi demi inovasi
sebenarnya bisa dilahirkan di Indonesia. Tidak ada persyaratan khusus untuk
menjadi inovator. Mereka yang membuat inovasi pada umumny aberawal dari
keinginan besar membuat perubahan, sesuatu yang baru. Dalam keadaan tertentu
teknologi tinggi dan perlindungan hak cipta tidak dibutuhkan, dan ketiadaan
perlindungan hukum tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak melakukan
inovasi. Inovasi yang sebenarnya justru bertitik tolak dari kebutuhan konsumen yang
belum terpenuhi dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara-
cara yang lebih baik dari kompetitor.
Pengetahuan terhadap kebutuhan lokal (seperti Teh Sosro) mampu dijadikan
alat bersaing dengan perusahaan multinasional yang terkadang kurang sensitif
terhadap perbedaan konsumen Indonesia dengan konsumen negara asalnya. Tidak
ada yang berani menjamin semua inovasi akan menghasilkan keuntungan. Secara
statistik, malah lebih banyak inovasi yang gagal. Beberapa produk/layanan yang
sekarang menguntungkan pasti akan mengalami masa-masa surut suatu saat nanti.
Inovasi hari ini akan menjadi produk umum di kemudian hari, apalagi dengan
cepatnya peniruan saat ini. Akan tetapi, kegagalan dan pasang surut tersebut
24
memang dibutuhkan sebagai upaya pembelajaran. Kegagalan sesungguhnya justru
terjadi bila kita takut mencoba karena takut gagal.
Banyaknya ragam inovasi yang dilakukan di Indonesia membuka peluang
bagi penelitian lanjut. Mengetahui kegagalan dan dilema yang dihadapi dalam
menawarkan gagasan dan melakukan inovasi serta kaitannya dengan tingkat sukses
di tangah iklim persaingan yang didominasi oleh produk-produk asing menjadi
peluang penelitain yang menarik. Di pihak lain, sebagai negara pengguna teknologi,
perusahaan Indonesia acapkali dihadapkan pada ketidak-seimbangan posisi tawar
dengan prinsipal. Akibatnya, agar masih tetap dapat kompetitif, banyak perusahaan
Indonesia yang melakukan perubahan atau bahkan modifikasi dari produk yang
sudah ada. Tindakan semacam ini, meski dapat mengandung resiko hukum, namun
dapat digolongkan sebagai sustaining innovation. Penelitian untuk mengetahui
bagaimana perusahaan Indonesia menghasilkan sustaining innovation menjadi
kajian yang cukup menarik.
Keterbatasan sumberdaya, seperti yang dialami oleh para penggiat Internet,
karena mahalnya harga bandwidth, memunculkan alternatif penggunaan pita
frekuensi 2.4GHz yang semula diatur menjadi tidak diatur oleh Pemerintah. Dalam
perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa inovasi yang semula dimaksudkan
untuk kemaslhatan masyarakat, dalam implementasinya mengalami kegagalan.
Antar pengguna spektrum frekuensi 2.4 GHz saling mengganggu, sehingga akhirnya
secara umum tidak ada yang diuntungkan. Kinerja inivasi yang dilakukan secara
komunal, jika tidak dibatasi dengan rambu-rambu kebijakan publik ternyata
memiliki dampak negatif. Kasus semacam ini layak dijadikan objek penelitian dalam
konteks manajemen stratejik lembaga publik.
25
Daftar Pustaka
Text Books: Abend, C.J., 2005, In Search of Innovation Synthesis, Ideas for a Unified Innovation
Theory, Technology Transfer Society.
Acemoglu D & Linn J (2003), Market Size in Innovation: Theory and Evidence from
Pharmaceutical Industry, MIT.
Applegate L. M|Austin R.D. |McFarlan W. F., 2003, Corporate Information Strategy
and Management, McGraw Hill
Callon J.D, 1996, Competitive Advantage Through Information Technology,
McGraw Hill
Christensen C.M, 2005, The Innovator’s Dilemma, Collins Business Essentials
Christensen C.M., Raynor M.E., 2003, The Innovator’s Solution, Creating And
SustainingSuccessful Growth, Harvard Business School Publishing Corporations
Christensen C.M.| Overdroft M., 2001, Meeting the Challenge of Disruptive Change
dalam Harvard Business Review on Innovation
Davenport T.H., 1999, Putting The Enterprise Into The Enterprise System, dalam
Harvard Business Review on The Business Value of IT.
Davila | Epstein | Shelton, 2006, Making Innovation Work, How to Manage it, Measure
it, and Profit from it, Wharton School Publishing
Davis J.|Miller G.|Russell A., 2006, Information Revolution, Using The Information
Evolution Model to Grow Your Business, John Wiley & Son.
Drucker P. F., 1993, Innovation and Entrepreneurship, Harper & Row Publisher
Franklin C., 2003, Why Innovation Fails, Spiro Press
Galliers R.|Dorothy L., 2003, Strategic Information Management, Challenges and
Strategies in Managing Information Systems, Butterworth & Heinemann
Govindarajan V.| Trimble C., 2005, 10 Rules for Strategic Innovators, From Idea to
Execution, Harvard Business School Press
Harrison N.|Samson D., 2002, Technology Management, Text and International Cases,
McGraw Hill
Indrajit, R.E. 2003, Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Renaissance.
Jones G. R. 2004, Organizational Theory, Design, and Change, Prentice Hall.
26
Khalil T., 2000, Management of Technology, The Key to Competitiveness and Wealth
Creation, McGraw Hill
Laudon & Laudon, 2004, Management Information Systems
Light P. 1998, Sustaining Innovation: Creating nonprofit and Government Organizations
That Innovate Naturally, Jossey-Bass Publishers
Lucas H.C, Jr., 1999, Information Technology and the Productivity Paradox, Assessing the
Value of Investing in IT, Oxford Univerisity Press.
McCarty M.H., 2001, The Nobel Laureates, McGraw Hill
Prahalad C.K. & Ramaswamy V. (2004), The Future of Competition, Co-Creating
Unique Value With Customers, Harvard Business School Press.
Porter M. (1998), On Competition, Harvard Business Review Book
Ward, John & Joe Peppard, 2002, Strategic Planning for Information Systems
Wheelen, Thomas L. & J. David Hunger, 2004, Strategic Management & Business
Policy
Journal Innovation Strategy:
Berawi, M.A., Quality Revolution: Leading the Innovation and Competitive Advantages,
The International Journal of Quality and Relaibility Management, 2004; 21, 4.
Bobb, K.I. (2005), The Duality of Innovation: Liberation and Economic
Competitiveness, Georgia Institute of Technology.
Blayse A.M & Manley K (2004), Key Influence On Construction Innovation, School of
Construction and Management Property, Queensland University of Technology,
Australian Cooperatove Research Center for Construction Innovation.
Brogan M & Amstrong L, 2004, C-Commerce Innovation: Unraveling The Effects of
Knowledge Ties On Embedded Network Structure, School of Computer and
Information Science, Edith Cowan University.
Cheng Jen Huang | Chun Ju Liu, Exploration for the relationship between
innovation, IT and performance, Journal of Intellectual Capital: 2005; 6, 2.
Chesbrough, H.W. (2006), Open Innovation, The New Imperative for Creating and
Profiting from Technology, Harvard Business School Press.
27
Eibel-Spanyi, Katalin, Innovation in a Re-emerging Economy: Leasons from the Hungarian
Experience, The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal,
Volume 11, Number 2, 2004.
Girardi, Antonia | Soutar, Geoffrey N | Ward, Steven, The Validation of a Use
Innovativeness Scale, European Journal of Innovation Management, Volume 8,
Number 4, 2005.
Gloet, Marianne | Tersziovski, Mile, Exploring the relationship between knowledge
management practices and inovation performance, Journal of
ManufacturingTechnology Management, Volume 15, Number 5, 2004, 402-409.
Greenhalgh, Trisha | Robert, Glenn | Macfarlane, Fraser | Bate, Paul | Kyriakidou,
Olivia, Diffusion of Innovation in Service Organizations: Systematic Review and
Recommendations, The Milbank Quarterly, Volume 82, Number 4, 2004, pp 581-
629.
Hannah, David R., Who Owns Ideas? An Investigation of Employees’Beliefs about the Legal
Ownership of Ideas, Creativity and Innovation Management, Volume 13, Number
4, December 2004.
Kodama, Mitsuru, Tehnological Innovation Through Networked Strategic Communities: A
Case Study on a High-Tech Company in Japan, SAM Advanced Management
Journal, Winter 2005; 70, 1.
Leiponen, Aija, Organization of Knowledge and Innovation: The Case of Finnish Business
Service, Journal of Industry and Innovation, June 2005; 12,2.
Paap, Jay | Katz, Ralph, Predicting the Unpredictable, Anticipating Disruptive Innovation,
Research Technology Management, Sep/Oct 2004; 47, 5.
Pijpers, Guus G.M. | Monfort, van Kees, An Investigation of Factors that Influence
Senior Executives to Accept Innovations in Information Technology, International
Journal of Management, March 2006, 23, 1.
Terziovski, Mile, Achieveing Performance Excellence Through an Integrated Strategy of
Radical Innovation and Continuous Improvement, Measuring Business Excellence,
2002; 6, 2.
Zairi, M (1999), Process Innovation Management, Best Practice, Butterworth-Heienmann.