Post on 06-Feb-2018
4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) berasal dari dataran Cina dan
merupakan tanaman semusim atau tahunan yang sangat menarik dengan beragam
jenis, bentuk, ukuran, dan warnanya. Krisan dapat disebut tanaman semusim bila
siklus hidupnya selesai setelah bunga dipanen. Hal ini berbeda dengan krisan
tahunan yang perlu dilakukan pemangkasan untuk menumbuhkan tunas-tunas
baru agar dapat tumbuh kembali (Allard, 1960).
Secara taksonomi, krisan dklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonaceae
Ordo : Asterales (Compositae)
Famili : Asteraceae
Genus : Chrysanthemum/ Dendranthema
Spesies : Dendranthema grandiflora Tzvelev
Krisan merupakan tanaman herba atau semak. Menurut Cahyono (1999)
bunga krisan dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe spray dan standard.
Tipe spray yaitu dari satu cabang tanaman tumbuh beberapa cabang bunga lateral
(10-20 kuntum). Bunga terminal dari tipe ini akan tumbuh lebih cepat
dibandingkan bunga lateral. Berbeda dengan tipe spray, pada tipe standard dari
satu cabang hanya tumbuh satu bunga.
Setiap bunga krisan terdiri atas banyak bunga yang disebut floret. Menurut
Kofranek (1980) floret pada krisan terdiri atas dua tipe, yaitu ray floret dan disc
floret yang berada di tengah bunga (Gambar 1). Floret yang terdapat pada bagian
luar disebut ray floret. Floret yang terdapat pada bagian dalam disebut disk floret.
Ray floret pada umumnya hanya mengandung pistil dan tidak mempunyai stamen
dan polen, sedangkan disk floret mengandung dua alat reproduktif sehingga
mempunyai banyak kemungkinan untuk menghasilkan biji.
5
Gambar 1. Tipe Floret pada Krisan: (A) Ray Floret dan (B) Disc Floret
Sumber: www. plantzafrica.com
Bentuk bunga krisan berdasarkan perbedaan mahkotanya yang beragam.
Variasi bentuk bunga tersebut antara lain single, anemone, pompon, decorative,
spider, dan large-flowered incurve (bunga besar). Karakteristik bunga single
adalah pada tiap tangkai hanya terdapat satu kuntum bunga, piringan bunga
sempit, dan susunan mahkota bunga hanya satu lapis (Gambar 2a). Pada bunga
anemone, bentuk bunga mirip bunga single tetapi piringan dasar bunga lebar dan
tebal (Gambar 2b). Bunga pompon, bentuk bunga bulat seperti bola, mahkota
bunga menyebar ke semua arah, dan piringan dasar bunga tidak tampak
(Gambar 2c). Bentuk bunga decorative bulat mirip pompon, tetapi mahkota bunga
bertumpuk rapat, di tengah pendek, dan bagian tepi memanjang (Gambar 2d).
Bunga spider, mahkota relatif panjang seperti tabung dan melengkung di ujung
(Gambar 2e). Pada bunga besar setiap tangkai terdapat satu kuntum bunga
berukuran besar dengan diameter lebih dari 10 cm. Piringan dasar tidak tampak
dan mahkota bunga memiliki banyak variasi, antara lain melekuk ke dalam atau
keluar, pipih, panjang, berbentuk sendok, dan lain-lain (Gambar 2f) (Purwanto
dan Martini, 2009).
A
B
6
Gambar 2. Bentuk Bunga Krisan: (A) Single, (B) Anemone, (C) Pompon, (D)
Decorative, (E) Spider, dan (F) Bunga Besar
Sumber: (A) www.cyrosellaflower.wordpress.com; (B dan D)
www.balithi.litbang.deptan.go.id; (C) www.arifs.blogspot.ugm.ac.id;
(E) www.teysaigaday.blogspot.com; (F) www.wuryan.wordpress.com
A B
D C
F E
7
Tanaman krisan merupakan tanaman hari pendek (short day plant) yang
membutuhkan panjang hari dengan batas kritis 13.5-16 jam. Krisan akan tetap
tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterima lebih dari batas kritisnya dan
akan terinduksi ke fase generatif (inisiasi bunga) bila panjang hari yang diterima
kurang dari batas kritisnya. Di Indonesia panjang hari dan panjang malam hampir
sama yaitu 12 jam sehingga diperlukan penambahan cahaya dengan tujuan
memperpanjang fase vegetatif agar bagian vegetatif tanaman dapat tumbuh kuat
dan dapat mengatur ketinggian tanaman. Oleh sebab itu, perlu bantuan cahaya dari
lampu TL dan lampu pijar. Menurut Marwoto (1999), penyinaran paling baik di
tengah malam antara jam 22.30–01.00 dengan lampu 150 watt untuk areal
9 meter persegi, dan lampu dipasang setinggi 1.5 meter dari permukaan tanah.
Krisan berasal dari daerah subtropis sehingga suhu yang terlalu tinggi
merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Suhu terbaik untuk
pertumbuhan krisan di daerah tropis adalah 20-26°C (siang hari) dan 18°C
(malam hari) dengan kelembaban udara 70-80% (Rukmana dan Mulyana, 1997).
Toleransi kisaran suhu untuk tetap tumbuh baik adalah antara 17-30°C. Suhu yang
terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan sehingga menimbulkan
pertumbuhan vegetatif yang berkepanjangan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi
mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat dan
memudar.
Bunga krisan dibudidayakan oleh petani kecil hingga pengusaha besar
pada lahan dengan ketinggian 600-1 200 meter di atas permukaan laut (m dpl).
Tanaman ini tumbuh baik pada tanah dengan drainase baik, tekstur liat berpasir
dengan pH sedikit asam (5.5-6.7) dan mengandung bahan organik tinggi.
Tanaman krisan tidak tahan terhadap hempasan angin dan curah hujan
secara langsung, sehingga perlu ditanam di bawah naungan. Rukmana dan
Mulyana (1997) menyatakan bahwa hujan deras yang langsung menerpa tanaman
krisan menyebabkan tanaman mudah roboh, rusak, dan kualitas bunganya rendah.
Krisan yang ditanam di dalam rumah kaca dengan intensitas cahaya dan
transpirasi yang tinggi akan menghasilkan bunga dengan kualitas yang lebih baik
dibandingkan dengan tanaman yang ditanam di luar rumah kaca.
8
Varietas Krisan
Varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya merupakan hibrida yang
berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Krisan yang dibudidayakan di
Indonesia merupakan jenis krisan lokal, yaitu krisan yang berasal dari luar negeri
tetapi telah lama dan beradaptasi di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Hias
(Balithi) telah merakit sekitar 24 varietas baru seperti Puspita Nusantara,
Sakuntala, Dewi Ratih, Dewi Sartika, Pitaloka, Nyi Ageng Serang, Puspita
Pelangi, dan Puspita Asri.
Gambar 3. Varietas Krisan: (A) Dewi Ratih dan (B) Puspita Nusantara
Sumber: www.balithi.litbang.deptan.go.id
Krisan varietas Dewi Ratih (Gambar 3A) dengan dirilis tahun 2000 dengan
tim pemulia Budi Marwoto, Jan de Jong, dkk. Varietas ini memiliki tipe bunga
spray yang mempunyai warna bunga pita ungu dengan bentuk bunga tunggal.
Tinggi tanaman mencapai 79.14 cm, bentuk daun lonjong menjari, lekukan
dangkal, tepi bergerigi. Diameter bunga berukuran 6.5 cm dengan panjang tangkai
74.40 cm. Umur tanaman 104-109 hari. Inisiasi bunga terjadi 39.14 hari setelah
hari panjang. Lama kesegaran bunga dalam vas (vase life) 14 hari. Varietas ini
adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi2).
Krisan varietas Puspita Nusantara (Gambar 3B) dengan nama genus
Chrysanthemum morifolium Ramat dirilis tahun 2003 dengan tim pemulia Budi
_________________
2) www.balithi.litbang.deptan.go.id [19 Desember 2009]
A B
9
Marwoto, Lia Sanjaya, dkk. Varietas ini memiliki tipe bunga spray dengan bentuk
bunga tunggal. Tinggi tanaman 84-121 cm, tidak menyemak, warna batang hijau.
Warna hijau daun bagian atas sedang, warna permukaan bawah daun kuning hijau.
Varietas Puspita Nusantara adalah hasil persilangan antara Town Talk dan
Saraswati. Umur tanaman krisan varietas Puspita Nusantara 104-109 hari. Inisiasi
bunga 33 hari setelah penyinaran buatan dihentikan. Varietas ini memiliki
ketahanan terhadap penyakit tanaman induk produktif yaitu penyakit karat.
Adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi. Lama kesegaran bunga dalam
vas (vase life) selama 14 hari2).
Kultur Jaringan Tanaman
Pemuliaan konvensional melalui persilangan buatan dapat menghasilkan
populasi F1 yang memiliki kombinasi sifat positif dari kedua tetuanya. Namun,
untuk mendapatkan suatu kombinasi sifat yang diinginkan harus dibentuk
populasi persilangan yang sangat banyak, terlebih bila para pemulia berhadapan
dengan komoditas tanaman hias poliploid, seperti krisan. Dengan demikian untuk
menghasilkan varietas unggul, maka frekuensi persilangan harus ditingkatkan.
Menurut Sanjaya, et. al. (2004), persilangan konvensional membutuhkan
tenaga kerja, waktu dan biaya yang sangat besar. Selain itu, krisan mempunyai
sistem self incompability tinggi yang menyebabkan banyak persilangan antar
individu di dalam dan di luar kerabat tidak sukses. Keberhasilan hibridisasi
berkisar 5% sampai 50% persilangan dalam kerabat yang kompatibel. Oleh karena
itu, induksi mutasi secara in vitro merupakan alternatif yang digunakan pemulia
tanaman untuk meningkatkan keragaman tanaman.
Menurut Gamborg (1991) kultur jaringan (in vitro) merupakan suatu
teknik menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Sel yang berasal dari
spesies tanaman dikulturkan secara aseptik pada media kultur berupa media padat
atau cair. Media kultur terdiri atas komponen utama dan komponen tambahan.
Komponen utama meliputi garam mineral, gula sebagai sumber karbon, vitamin,
dan zat pengatur tumbuh. Komponen lain berupa senyawa nirogen organik,
berbagai asam organik, dan metabolit yang dapat meningkatkan ketahanan sel.
10
Dasar teori kultur jaringan adalah totipotensi sel, dimana setiap sel
memiliki kemampuan membentuk tanaman lengkap. Keberhasilan dalam metode
in vitro dipengaruhi oleh media kultur yang digunakan. Media kultur yang umum
digunakan adalah Murashige dan Skoog (Lampiran 1). Media MS mengandung
jumlah hara anorganik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel
tanaman dalam kultur.
Menurut Wattimena et al. (2011), teknik kultur jaringan memiliki
beberapa manfaat dalam pemuliaan tanaman, yaitu 1) manipulasi jumlah
kromosom melalui bahan kimia tertentu dan meregenerasikan jaringan tertentu
seperti endosperm (3n); 2) produksi tanaman haploid dan dihaploid yang
homogenus melalui kultur antera atau mikrospora; 3) polinasi in vitro dan
pertumbuhan embrio yang secara normal mengalami abortif; 4) hibridisasi
somatik melalui teknik fusi protoplas; 5) induksi variasi somaklonal; dan 6)
transfer DNA atau organel untuk memperoleh sifat tertentu yang diinginkan.
Selain itu, teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk produksi metabolit
sekunder seperti shikonin, saponin, dan lain-lainya.
Menurut Maluszynki et al. (1995), induksi mutasi yang dikombinasikan
dengan kultur in vitro efektif untuk membantu pemuliaan baik pada tanaman yang
diperbanyak secara vegetatif maupun secara generatif karena dapat memperbaiki
karakter suatu spesies dan memacu keragaman genetik yang lebih tinggi.
Perubahan karakter dan perubahan genetik dapat terjadi pada fase sel maupun
kalus pada tahap kultur in vitro karena adanya sel-sel yang mengalami mutasi.
Metode in vitro tidak hanya digunakan dalam perbanyakan tanaman secara cepat
dan masal, namun juga dilakukan untuk eliminasi virus, produksi bahan metabolit
sekunder, preservasi atau penyimpanan plasma nutfah dan perbaikan tanaman.
Iradiasi pada kultur in vitro memberi peluang terjadinya mutasi dengan
laju mutasi lebih tinggi dibandingkan tanaman yang diperbanyak melalui biji
(Welsh, 1991). Materi genetik atau bahan tanaman (eksplan) yang digunakan pada
perlakuan iradiasi dalam kultur jaringan berasal dari bahan yang sel-selnya sedang
aktif membelah (meristematik), seperti kalus, benih, mata tunas, ovul, dan batang
atas tanaman (Mariska et al., 1996).
11
Induksi Mutasi pada Tanaman Hias
Variasi genetik mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan
keragaman genetik suatu tanaman. Crowder (2006) menyatakan bahwa variasi
genetik dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu koleksi, introduksi,
hibridisasi, dan induksi mutasi. Salah satu metode yang dianggap efektif untuk
menimbulkan keragaman, khususnya pada tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif adalah melalui induksi mutasi, karena dapat mengubah satu atau
beberapa karakter tanpa mengubah karakteristik kultivar asalnya.
Menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah suatu perubahan baik
terhadap gen tunggal, sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom. Mutasi
dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, tetapi
lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif tumbuh dan membelah
(jaringan meristem) seperti tunas.
Allard (1960) menyatakan bahwa mutasi dapat diperoleh melalui dua cara,
yaitu mutasi alami dan mutasi buatan. Mutagen fisik yang berupa iradiasi dan
mutagen kimia adalah agen-agen mutasi yang potensial untuk menginduksi mutasi
buatan. Kedua mutagen tersebut dapat menyebabkan perubahan kromosomal,
seperti pemotongan dan perubahan susunan kromosom sehingga menyebabkan
perubahan genetik yang lebih akurat.
Menurut Welsh (1991), mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan
nukleotida DNA yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang
dihasilkan. Kecepatan mutasi bervariasi sesuai dosis mutagen yang diberikan.
Makin tinggi dosis mutagen, makin besar peluang kemungkinan terjadi mutasi,
tetapi juga dapat menyebabkan kematian sel tanaman. Perlakuan mutagen akan
mengubah genotip dalam pola acak. Perubahan gen dipengaruhi oleh dosis
mutagen, umur dan tipe jaringan, serta faktor fisik (kelembaban dan suhu).
Menurut Poespodarsono (1988), terjadinya mutasi pada suatu populasi
akan menyebabkan keragaman pada populasi tersebut. Pemuliaan dengan mutasi
memilki beberapa kekurangan, antara lain sifat mutasi yang acak dan tidak dapat
diarahkan untuk bekerja pada gen spesifik, sehingga sulit meramalkan hasil yang
diperoleh melalui proses mutasi. Akan tetapi bagi komoditas tanaman hias, bentuk
12
mutan apapun asalkan unik, menarik, dan stabil akan dapat dijadikan varietas baru
yang menguntungkan di pasaran.
Induksi mutasi pada tanaman hias telah dilakukan sejak tahun 1930.
Namun, mutasi induksi baru diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1967 sejak
berdirinya Instalasi Sinar 60
Co di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi
(PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan berkembang secara
intensif pada tahun 1972 (Soedjono, 2003).
Saat ini pengembangan induksi mutasi pada tanaman hias, khususnya
krisan diarahkan untuk memperoleh tanaman baru yang mempunyai tipe, bentuk,
dan warna bunga yang berbeda dengan induknya, umur berbunga relatif pendek,
produktivitas bunga yang tinggi, resisten terhadap hama dan penyakit yang
menyerang tanaman. Perkembangan mutan komersial telah banyak dilaporkan
selama 30 tahun terakhir. Pada tanaman krisan, sekitar 50% varietas yang ada
adalah hasil induksi mutasi.
Iradiasi Sinar Gamma
Mutagen dikelompokkan menjadi mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutasi
yang banyak dilakukan adalah menggunakan mutagen fisik dengan iradiasi atau
penyinaran, terutama yang diaplikasikan pada tanaman hias. Sinar gamma
merupakan mutagen fisik yang lebih sering digunakan oleh pemulia tanaman
untuk meningkatkan keragaman genetik.
Sinar gamma memiliki panjang gelombang yang pendek, yaitu 10–0.01 nm
dengan sumber utama iradiasi adalah isotop Cobalt-60 (60
Co). Sinar gamma
dikelompokkan ke dalam gelombang elektromagnetik karena tidak mempunyai
massa dan muatan listrik. Sinar gamma mempunyai energi iradiasi tinggi, yaitu di
atas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke dalam jaringan
dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang dilewatinya
(Crowder, 2006).
Penggunaan eksplan dari bagian tanaman yang bersifat meristematik, yaitu
sel yang sedang aktif tumbuh dan membelah akan lebih sensitif terhadap iradiasi.
Hasil penelitian Handayani (2006) menunjukkan terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan iradiasi pada tanaman antara lain
13
genotipe, bagian tanaman yang digunakan, stadia perkembangan sel tanaman,
temperatur dan dosis iradiasi.
Gen merupakan sasaran dari iradiasi. Menurut Aisyah (2006), iradiasi
mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan cara melepaskan elektron-
elektron dari atomnya. Ionisasi dari iradiasi sinar gamma terjadi menyebar
sepanjang jalur ionisasi partikel. Ketika agen ionisasi yang mengandung inti atom
(seperti partikel alpha) terlempar akibat iradiasi, ionisasi menjadi lebih rapat
terkonsentrasi di daerah tersebut. Ionisasi dapat menyebabkan pengelompokan
molekul-molekul di sepanjang jalur ion yang tertinggal karena iradiasi.
Pengelompokan baru ini menyebabkan perubahan kimia yang mengarah pada
mutasi gen atau pada kerusakan atau pengaturan kembali kromosom.
Pada proses ionisasi, terbentuk radikal positif dan eletron bebas. Elektron
terperangkap, dan ion radikal yang sangat tidak stabil dan reaktif dapat bereaksi
dengan molekul lain. Elektron bebas yang berada dalam larutan air akan
mempolarisasi molekul air menjadi elektron terhidrasi. Radikal bebas yang
berasal dari larutan akhirnya akan berekombinasi membentuk molekul yang stabil.
Molekul oksigen bereaksi dengan radikal bebas hasil iradiasi membentuk peroxy-
radicals.
Ionisasi menyebabkan basa-basa dalam DNA salah berpasangan. Hal
tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi gen. Perlakuan dengan iradiasi
pengionisasi paling sering menghasilkan mutasi-mutasi dengan dengan cara
menginduksi delesi kecil pada DNA (Poespodarsono, 1988). Van Harten (1998)
menambahkan bahwa rantai kromosom yang terputus akibar iradiasi pengion
dapat mengubah struktur kromosom (delesi, inversi, duplikasi, dan translokasi).
Ionisasi yang terjadi pada atau di dekat kromosom dapat mengakibatkan
terputusnya ikatan kimia sehingga terjadi perubahan di dalam inti sel, baik
perubahan struktur gen, delesi gen atau sekuen-sekuen DNA, patahnya sentromer,
kehilangan atau penambahan kromosom, dan sebagainya. Adanya kerusakan pada
tingkat molekuler inilah yang dapat menyebabkan munculnya keragaman pada
tanaman yang diiradiasi.
Keragaman genetik tanaman dapat ditingkatkan melalui iradiasi sinar
gamma, tetapi memerlukan dosis iradiasi yang bebeda-beda untuk setiap tanaman.
14
Satuan dosis iradiasi sinar gamma yang umum digunakan adalah rad per detik
(radiation absorbed dose) atau Gray (Gy) per detik, yaitu jumlah dosis terserap
per satuan waktu. 1 rad = 100 erg/g = 10 joule/kg; 1 Gy = 100 rad = 0.1 krad.
Herison et al. (2008) menyatakan bahwa dosis iradiasi untuk meningkatkan
keragaman tanaman dipengaruhi oleh radiosensivitas, yaitu tingkat sensitivitas
tanaman terhadap iradiasi yang berbeda-beda untuk setiap tanaman.
Tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman,
baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal (LD50). LD50
merupakan dosis yang dapat mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang
mendapat perlakuan iradiasi. Mutasi yang diharapkan terletak pada kisaran LD50
atau tepatnya pada dosis sedikit di bawah LD50.
Broertjes dan Van Harten (1988) melaporkan kisaran dosis iradiasi sinar
gamma pada berbagai jenis tanaman hias yang telah dicobakan berada pada selang
yang masih cukup lebar, yaitu antara 25-120 gray. Datta (2001) menemukan dosis
optimum stek pucuk tanaman krisan yang menghasilkan frekuensi mutan tertinggi
terdapat pada dosis 25 Gy dan 19.5-22 Gy untuk krisan in vitro. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Wulandari (2001), diperoleh bahwa dosis optimum
untuk meningkatkan keragaman morfologi tanaman krisan adalah pada dosis
10 Gy dengan persentase kemunculan mutan tertinggi pada dosis 20 Gy.
Stomata
Stomata merupakan suatu celah pada jaringan epidermis yang berfungsi
selama proses fotosintesis. Stomata dibatasi oleh dua sel penjaga yang di
dalamnya mengandung kloroplas. Sel penjaga mengontrol diameter stomata
dengan cara mengubah bentuk yang akan menyempitkan atau melebarkan celah di
antara kedua sel tersebut. Ketika sel penjaga mengambil air melalui osmosis, sel
penjaga akan membengkak. Ketika sel kehilangan air, menjadi lembek, serta
mengkerut, sel-sel tersebut akan mengecil secara bersamaan kemudian menutup
ruangan diantaranya (Campbell, 2004).
Padney (1982) menyatakan bahwa stomata berfungsi sebagai pengatur
penguapan, pengatur masuknya CO2 dari udara dan keluarnya O
2 ke udara selama
berlangsungnya fotosintesis. Penyebaran stomata untuk setiap daun bervariasi,
15
di permukaan epidermis atas, bawah atau berada di kedua permukaannya.
Menurut Purwanti (2007), stomata terdapat di kedua permukan daun, tetapi
umumnya terdapat pada permukaan bawah dan jumlahnya lebih banyak daripada
permukaan atas.
Tanaman yang menerima intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang
lebih kecil, lebih tebal, lebih kompak dengan jumlah stomata lebih sedikit, lapisan
kutikula dan dinding sel lebih tebal dengan ruang antar sel lebih kecil, serta
tekstur daun keras. Stomata eksplan yang dihasilkan secara in vitro memiliki
panjang dan lebar yang relatif sama karena aktifitas respirasi tinggi (Namli dan
Ayaz, 2007).
Kloroplas
Kloroplas mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat
termutasi. Energi iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan atau mutasi
gen pada kloroplas. Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan kerusakan gen
mutan (defective mutant genes) yang kemudian dapat mengganggu proses
fotosintesis pada daun (Agustrial, 2008).
Menurut Saria et al. (2000), jumlah kloroplas sel penjaga menentukan
tingkat ploidi suatu tanaman. Tanaman semangka diploid mempunyai jumlah
kloroplas sel penjaga sebanyak 11–12, yaitu sekitar dua kali lipat dari tanaman
haploidnya dengan jumlah 6–7. Pada umumnya, perubahan genetik yang
mencakup perubahan tingkat ploidi, dipengaruhi oleh adanya pembelahan sel
yang tinggi.
Poliploidi merupakan gejala yang umum dan tersebar luas dalam
tumbuhan. Hasil penelitian Perwati (2009) tentang analisis derajat plodi pada
Adiantum raddianum menunjukkan bahwa poliploidi menyebabkan penambahan
ukuran sel. Bertambahnya ukuran sel merupakan refleksi dari bertambahnya
ukuran vakuola dan kandungan air yang semakin banyak. Selain itu diketahui
bahwa terdapat kecenderungan penambahan ukuran stomata dan spora seiring
meningkatnya derajat ploidi.
Suryo (2007) menyatakan bahwa tanaman poliploid mempunyai
kromosom yang lebih banyak dari pada diploidnya. Sifat umum dari tanaman
16
poliploid adalah tanaman lebih kekar, bagian-bagian tanaman menjadi lebih besar
(akar, batang, daun), sel-selnya (sel epidermis) lebih besar, ukuran stomata lebih
besar. Selain itu, pada kebanyakan spesies tangkai dan helaian daun menjadi lebih
tebal.