Post on 11-Apr-2019
i
IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
(STUDI DI BANK PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Suci Wahyu Lestari
NIM. E0008435
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Suci Wahyu Lestari
NIM : E0008435
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI BANK PERKREDITAN
RAKYAT ARTHA DAYA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan
karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan
hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 23 Juli 2012
Yang membuat pernyataan
Suci Wahyu Lestari
NIM. E0008435
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK Suci Wahyu Lestari, E0008435. 2012. IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI BANK PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan mengetahui pelaksanaan perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya, Delanggu.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dilengkapi dengan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, mengkaji mengenai ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pelaksanaanya di BPR Artha Daya. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam prakteknya perjanjian kredit tumbuh sebagai perjanjian baku, karena dibuat secara tertulis dan sepihak dimana pihak lain tidak dapat mengubah atau melakukan tawar-menawar untuk mengubahnya. Yang menjadi acuan dalam pembuatan perjanjian kredit yaitu Pasal 1320 KUH Perdata dan Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Kehati-hatian dalam pengelolaan bank. Sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada prinsipnya tidak melarang pencantuman klausula baku dalam perjanjian kredit, akan tetapi dalam pembuat perjanjian kredit tersebut bank harus menyesuaikan dengan aturan mengenai perjanjian baku yang secara spesifik diatur dalam Pasal 18 UUPK. Hasil penelitian penulis di BPR Artha Daya yaitu dalam melaksanakan pemberian kredit, kedua belah pihak harus menandatangani pra perjanjian berupa Surat Keputusan Kredit (SKK) sebelum dibuatnya perjanjian kredit. Klausula baku dalam perjanjian kredit di BPR Artha Daya telah melakukan beberapa penyesuaian terhadap UUPK, namun terdapat klausula baku yang penafsirannya masih memenuhi unsur-unsur yang dilarang Pasal 18 UUPK yaitu penambahan biaya yang dilimpahkan kepada konsumen.
Kata Kunci : Perjanjian Baku, Transaksi Kredit, Perlindungan Konsumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Suci Wahyu Lestari, E0008435. Implementation of Contract Standart in Credit Transaction be Based Act No. 8/1999 about Consumer Protection (CASE STUDY in Artha Daya BPR). Legal Writing. Law Faculty of Sebelas Maret University. 2012.
The aim of this research is to find out the clause of contarct standart in credit transaction be based Act No. 8/ 1999 about Consumer Protection and implematation of contract standart in credit transaction be based Act No. 8/1999 about Credit Transaction in Artha Daya BPR, Delanggu.
This research is an empiric research and equipped with a normatife research viewed by descriptive, review about the clause contract standart in credit transaction be based Act no. 8/1999 about consumer protection and the implementation in Artha Daya BPR. The data used secondary, included primary and secondary law materials. The technique of collecting data is library research, observation, and interview. The technique of data analyzes is qualitative method.
The result of this research shows in practice that credit contarct envolve as contract standart, because it was made in writing and by one party where the otjer party can not changing and bargaining to change it. The reference in making credit contract is Article 1320 BW and regulation of Indonesian Bank about prudential principle in bank management. While in Act of Consumer Protection in principle doesn’t forbid inclusion of standart clause in credit contract, however in making credit contract a bank should adjust with regulation about contract standart specifically be regulated in Article 18 UUPK. The research in Artha Daya BPR shows in the implementation of provision of credit, the parties should sign pra contract be in the form of SKK before credit contract is made. Standart clause in credit contract at Artha Daya BPR has performed some adjustment with UUPK, however there is standart contract in the interpretation still fulfill the forbidden elements in Article 18 UUPK, that is additional fees charged to consumers. Keywords : Contract Standart, Credit Transaction, Consumer Protection
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Alloh. Sesungguhnya Alloh adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(Q.S.Al_Insan: 30)
“ ... bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negrimu) dan bertawakallah kepada Allah, supaya kamu beruntung ”
(QS. Ali’Imran: 200)
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum. Kalau harta itu akan
berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan (Sayidina Ali bin Abi Thalib)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, penulisan hukum ini penulis
persembahkan untuk :
Ibu, Bapa
Terima kasih untuk cinta, kasih sayang dan dukungan yang tak henti-
hentinya diberikan untukku , dan selalu menyertakan namaku disetiap doa
yang dipanjatkan.
Ketiga kakakku yang tersayang
Terima kasih atas keceriaan dan kehangatan yang indah dalam menemani
hari-hariku.
Sahabat serta teman-teman seperjuanganku
Terimakasih telah memberikan warna yang berbeda untuk hari-hariku.
Almamaterku
Semua pihak yang telah membantu penulisan hukum ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
hidayahNya sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan
Hukum (Skripsi) yang berjudul “IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU
DALAM TRANSAKSI KREDIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(STUDI DI BANK PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA)”.
Walaupun dengan data dan informasi yang terbatas, penulis tetap berusaha
menyelesaikan penulisan hukum ini sebagai informasi awal tentang pelaksanaan
perlindungan konsumen dalam perjanjian baku di BPR Artha Daya. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, terdapat banyak kekurangan, untuk
itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun sehingga
dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil,
sehingga penulisan hukum (skripsi) ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi
Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Dr. Djoko Wahju Winarno, S.H., M.S. selaku Pembimbing Penulisan
Hukum (Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini.
4. Ibu Siti Muslimah, S.H, M.H selaku Pembimbing Akademis yang telah
memberikan bimbingan selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menjalani perkuliahan di
Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.
6. Bapak Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha Daya,
Delanggu yang membolehkan penulis dan membantu penulis dalam melakukan
penelitian dan menyelesaikan penulisan hukum ini.
7. Bapak Mulyadi di Direktorat Pengawasan Bank, Kantor Bank Indonesia Solo
yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis menyelesaikan
penulisan hukum ini.
8. Kedua orang tua penulis, Slamet Imam Santoso dan Endang Suharini, dan
kakak-kakakku, Nila Cahyarini, Rahmawati Sundari dan M. Adib Fauzi yang
telah mendoakan, memberikan curahan kasih sayang dan dorongan semangat
dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai harganya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
9. Sahabatku, Arrumaisha Rizkita (meis) yang telah menemani penulis selama
empat tahun di kos dan di kampus, terimakasih telah menjadi kakak pertama.
Sahabat-sahabatku Puspa, Lisa, Rizka, Very, Fafa, Agnane, Upik, Dedi,
Guntur, Demek terimakasih atas motivasi, saran, kebersamaan, keceriaan, dan
telah menemani penulis dalam melakukan penelitian, dan teman-teman FH
UNS 2008.
10. Teman-teman kost “Rotterdam”, Ais, Feby, Anik, Galuh, Cintya, Nova, Mba
titik terimakasih atas kebersamaannya yang indah.
11. Semua pihak yang ikut dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv ABSTRAK ...................................................................................................... v ABSTRACT ..................................................................................................... vi HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 8
E. Metode Penelitian ............................................................. 9
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................... 14
BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori .................................................................. 16
1. Tinjauan Umum mengenai Perlindungan Konsumen ...... 16
a. Pengertian Perlindungan Konsumen .......................... 16
b. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan
Konsumen................................................................... 17
c. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen .... 18
d. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ...... 21
e. Penyelesaian Sengketa Konsumen ............................. 22
2. Tinjuan Umum mengenai Perjanjian ................................. 23
a. Pengertian Perjanjian.................................................. 23
b. Syarat Sahnya Perjanjian ............................................ 24
c. Asas-Asas Perjanjian .................................................. 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
d. Perjanjian Baku ......................................................... 27
3. Tinjauan Umum mengenai Perbankan.......................... 30
a. Pengertian Bank ........................................................ 30
b. Jenis-Jenis Bank ........................................................ 30
c. Kegiatan Bank ........................................................... 33
B. Kerangka Pemikiran ......................................................... 35
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum dan Lokasi ........................................... 37
1. Kantor Bank Indonesia Solo ............................................. 37
a. Struktur Organisasi ..................................................... 37
b. Wewenang Kantor Bank Indonesia Solo .................. 40
2. Bank Perkreditan Rakyat Artha Daya ............................... 41
a. Struktur Organisasi .................................................... 41
B. PEMBAHASAN ............................................................... 42
1. Ketentuan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ..................................... 42
2. Pelaksanaan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen di Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Artha Daya ................................................ 57
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................ 77
1. Ketentuan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ..................................... 77
2. Pelaksanaan Perjanjian Baku dalam Transaksi Kredit
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen di Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Artha Daya ................................................ 77
B. Saran ................................................................................. 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 80 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan antara Bank Umum dengan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) .............................................................................................. 32
Tabel 2. Tahapan Program Peningkatan Fungsi Pengawasan ....................... 74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Analisis Kualitatif Model Interaktif ........................................... 14
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran .................................................................... 35
Gambar 3 : Struktur Organisasi Kantor Bank Indonesia Solo ....................... 39
Gambar 4 : Struktur Organisasi BPR Artha Daya ......................................... 41
Gambar 5 : Proses Perizinan BPR ................................................................. 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia usaha tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
sektor usaha perbankan, lembaga keuangan perbankan di Indonesia diarahkan
untuk berperan sebagai agen pembangunan yaitu sebagai lembaga yang bertujuan
untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Bank yang mempunyai fungsi pokok sebagai agen pembangunan maupun
financial intermediary merupakan salah satu pendukung usaha pembangunan
tersebut.
Fungsi utama bank sebagai financial intermediary, yaitu dimana bank
berperan sebagai perantara dari pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana
dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (Muhammad Djumhana, 2003: 77).
Salah satu bentuk dimana bank telah menjalankan fungsi utamanya sebagai
financial intermediary adalah menyalurkan dana pada nasabah peminjam melalui
kredit. Pembangunan diberbagai bidang usaha dan industri tentunya memerlukan
dana pendukung yang tidak sedikit, dan untuk itu peran sektor perbankan nasional
sangat menetukan. Hal tersebut tampak jelas pada perkembangan jumlah kredit
perbankan, yang mempengaruhi secara langsung sistem perekonomian nasional.
Bank tidak saja berfungsi sebagai tempat menyimpan uang dan
menyalurkan dana dalam bentuk kredit, tetapi juga berfungsi sebagai tempat
transaksi di pasar uang sebuah negara. Bank sebagai organisasi bisnis telah
menjadi alat dan sarana penunjang likuiditas usaha, dan sebagai konsekuensinya
bank dituntut untuk menjadi organisasi bisnis yang proper dan prudent di dalam
penyaluran dananya dalam bentuk kredit. Kredit di dalam fungsi usaha sebuah
bank telah disadari oleh para profesional bank sebagai jantung dan urat nadi darah
bagi kesehatan usaha bank itu sendiri (Ruddy Tri Santoso, 1996: 3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Arti kredit sebenarnya adalah kepercayaan atau saling percaya antara
kreditur dan debitur. Jadi apa yang disepakati wajib ditaati, berdasarkan Pasal 1
butir 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, definisi kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari rumusan tersebut tampak
bahwa hubungan hukum antara pemberi kredit dalam hal ini bank (kreditur) dan
penerima kredit dalam hal ini nasabah (debitur), didasarkan pada transaksi kredit.
Fasilitas kredit tidak hanya disediakan oleh bank umum, namun menjadi
salah satu fasilitas yang ditawarkan pula oleh Bank Perkreditan Rakyat
(selanjutnya disebut BPR), yang merupakan jenis usaha bank dengan skala yang
lebih dalam penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat. Tujuan utama
pembentukan BPR di desa-desa dengan maksud untuk menghindari praktek lintah
darat maupun rentenir dengan bunga tinggi (Ruddy Tri Santoso, 1996: 5). Peran
BPR pun menjadi semakin penting sejalan dengan program pemerintah untuk
mendukung dan mengembangkan UMKM sebagai salah satu tulang punggung
perekonomian. Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan sektor informal,
peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak lembaga keuangan di daerah
dalam pembiayaan sektor informal sangat penting.
Kredit seperti halnya produk jasa perbankan lainnya mempunyai resiko,
baik resiko keuangan maupun resiko-resiko lainnya. Penekanan resiko kredit
masih dapat dilakukan sedemikian rupa seperti halnya dalam pemilihan nasabah
maupun bisnis yang ditekuninya. Namun permasalahannya selain resiko yang
ditanggung oleh pihak bank, maka perlu dilihat juga resiko yang akan ditanggung
oleh nasabah apabila bank tidak melakukan transparansi produk kredit, karena
bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara lengkap
dan jelas mengenai karakteristik setiap produk bank, dan wajib disampaikan
kepada nasabah secara tertulis dan/atau lisan. Oleh karena itu perlindungan pada
nasabah pengguna jasa perbankan, yaitu menyangkut apakah sebenarnya hak-hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
nasabah yang harusnnya dipenuhi oleh pihak bank, pada saat sebelum transaksi,
saat transaksi dan hak setelah terjadinya transaksi yaitu menyangkut penyelesaian
pengaduan nasabah dan ganti kerugian, harus diterangkan pihak bank kepada
nasabah.
Salah satu ciri negara kesejahteraan adalah adanya perlindungan terhadap
konsumen. Sekalipun Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara kesejahteraan,
tetapi Indonesia telah berusaha untuk dapat melindungi konsumen. Hal ini
tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Dengan undang-undang ini, diharapkan
konsumen yang sebelum berlakunya UUPK tersebut kedudukannya lemah
dibandingkan dengan produsen, maka setelah berlakunya UUPK diharapkan dapat
disetarakan (Try Widiyono, 2006: 66). Dalam melaksanakan konsep negara
kesejahteraan ini perlindungan bagi warga negara baik sebagai individu maupun
sebagai kelompok merupakan sisi yang sangat penting, karena tanpa ada
perlindungan yang menimbulkan rasa aman bagi rakyat tidak mungkin tercapai
suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Untuk tujuan tersebut kita dihadapkan pada
kemajuan kegiatan ekonomi perdagangan yang semakin terbuka. Saat ini
Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan sebagai akibat keterbukaan
tersebut dan untuk itu dituntut untuk dapat memiliki daya saing yang kuat (Agus
Broto Susilo, 1996: 3).
Dengan diundangkannya dan disahkannya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka sistem perlindungan
konsumen memiliki landasan hukum yang kuat. Undang-Undang tersebut bukan
hanya dimaksudkan untuk menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap
pelaku usaha, tetapi juga mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan
bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Sebelum berlakunya UUPK telah ada beberapa undang-undang yang
secara tidak langsung bertujuan melindungi kepentingan konsumen. Salah satunya
adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Asitektur Perbankan
Indonesia (API) yang dalam salah satu pilarnya mengatur pula mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
perlindungan terhadap nasabah. Enam pilar dalam API adalah (i) Struktur
perbankan yang sehat, (ii) Sistem pengaturan yang efektif, (iii) Sistem
pengawasan yang independen dan efektif, (iv) Industri perbankan yang kuat, (v)
Infrastuktur yang mencukupi, (vi) Perlindungan nasabah (http://www.bi.go.id/
web/id/Perbankan/Arsitektur+Perbankan+Indonesia/).
Nasabah adalah konsumen pengguna jasa perbankan, sehingga ketika
berbicara tentang perlindungan nasabah, maka yang menjadi pembahasannya
adalah kepastian tentang terpenuhinya hak-hak nasabah, karena perlindungan
konsumen baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu
saja. Rumusan atau pengertian nasabah dalam Undang-Undang Perbankan baru
diintroduksikan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dalam Pasal 1
butir 16 yang berbunyi “Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”.
Istilah nasabah ini tidak dijumpai pada saat Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992, padahal didalamnya dijumpai rumusan bank. Bagaimana mungkin
sebuah undang-undang seperti ini akan memberikan perlindungan yang memadai
bagi para pihak, bila salah satu pihak itu sendiri, yaitu nasabah, tidak jelas
deskripsinya (Yusuf Shofie, 2003: 40).
Kedudukan nasabah dalam pelayanan jasa perbankan, berada pada dua
posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada. Dilihat pada
sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank maka pada
saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi
penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank
sebagai kreditur. Tetapi semua kedudukan itu, pada dasarnya nasabah merupakan
konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor usaha perbankan.
Konsumen memiliki hak-hak untuk secara proporsional dan seimbang,
menentukan sendiri pilihan akan barang atau jasa yang hendak dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan olehnya. Berdasarkan hal tersebut UUPK selain
mempertegas dengan mencantumkan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pelaku usaha, UUPK juga telah mengatur berbagai macam larangan yang
tidak boleh dilakukan kepada para pelaku usaha. Persoalan perlindungan nasabah
tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
yang mengatur hubungan antara bank dan nasabahnya. Hubungan hukum yang
terjadi antara bank dan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik
perjanjian yang berbentuk akta dibawah tangan maupun akta otentik. Dalam
konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk
perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank,
hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilakukan antara bank
dengan nasabah telah dibakukan dengan sebuah perjanjian baku.
Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua
pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi
yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatuhan,
kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Namun adakalanya kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak
seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu
menguntungkan bagi salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga
menunjukkan bahwa keuntungan kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan
pembuatan perjanjian baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat
oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya (Gunawan Widjaja
dan Ahmad Yani, 2003: 53).
Dalam memberikan pelayanan terhadap konsumen, pelaku usaha
mempergunakan perjanjian baku, khususnya untuk melayani konsumen dalam
jumlah yang banyak mengenai barang dan/atau jasa sejenis. Sebagaimana
diketahui bahwa munculnya hukum perjanjian dalam lalu lintas hukum, dilandasi
oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap kegiatan yang
bersifat transaksional.
Seperti halnya suatu perjanjian antara pelaku usaha yang pada umumnya
lebih kuat, dihadapkan dengan pihak konsumen yang cenderung mempunyai
posisi lemah, bagi pihak yang lemah hanya terdapat dua pilihan, yaitu apabila
mereka membutuhkan jasa atau barang yang ditawarkan kepadanya, maka ia harus
menyetujui semua syarat-syarat yang diajukan kepadanya, tanpa menghiraukan
apakah konsumen mengetahui dan atau memahami urusan perjanjian tersebut atau
tidak, dan sebaliknya, apabila mereka tidak menyetujui syarat-syarat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
diajukan kepadanya, maka mereka harus meninggalkan atau tidak mengadakan
perjanjian dengan pelaku usaha tersebut (take it or leave it contract).
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas sangat
merugikan kepentingan masyarakat. Karena pada umumnya para pelaku usaha
berlindung dibalik Standard Contract atau Perjanjian Baku yang telah
ditandatangani oleh kedua belah pihak, ataupun melalui berbagai informasi semu
yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen (Gunawan Widjaja dan
Ahmad Yani, 2003: 1). Adanya ketidakseimbangan dalam perjanjian tersebut
memberi dampak pada perlindungan hak yang sepihak pada penjual dari pada
pembeli, sehingga lebih banyak resiko atau kerugian yang harus dipikul oleh
pembeli. Begitu pula perjanjian yang diadakan dalam perbankan, besarnya resiko
atau kerugian akibat ketidakseimbangan dalam pengadaan perjanjian tersebut
harus dipikul oleh nasabah. Tentu hal ini tidak dikehendaki dan tidak dibenarkan
oleh hukum, karena hukum bertujuan untuk memberi keadilan dan mengayomi
semua pihak
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari UUPK
dan implementasi perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan UUPK. Dan
untuk hal ini maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul
”IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI BANK
PERKREDITAN RAKYAT ARTHA DAYA)”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang dirumuskan dalam penelitian sangat berguna
untuk membersihkan kebingungan akan sesuatu hal. Peneliti harus dapat memilih
suatu masalah bagi penelitiannya, dan merumuskannya untuk memperoleh
jawaban terhadap masalah tersebut. Perumusan masalah berguna untuk
mempermudah pemahaman materi dan agar tidak menyimpang dari pokok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, serta menghindari terjadinya
kekaburan di dalam pembahasan dari pokok-pokok permasalahan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Bagaimana pelaksanaan perjanjian baku dalam transaksi kredit berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai agar suatu
penelitian tersebut memberikan arah sesuai dengan apa yang diharapkan. Adapun
tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan ketentuan perjanjian baku dalam
transaksi kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian baku dalam transaksi kredit
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam memperluas
pemahaman akan arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktek,
khususnya berkaitan dengan ketentuan perjanjian baku dalam transaksi
kredit berdasarkan UUPK.
b. Untuk mengembangkan kemampuan intelektual penulis dalam bidang
Hukum Administarasi Negara, khususnya dalam perspektif Hukum
Perlindungan Konsumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
c. Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian, selain ada beberapa tujuan yang hendak dicapai
maka terdapat beberapa manfaat yang diperoleh dan diambil dari penelitian
tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya
Hukum Administrasi Negara tentang pelaksanaan perlindungan
konsumen.
b. Untuk lebih mendalami teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan jawaban masalah yang sedang diteliti oleh
penulis.
b. Penelitian ini diharapkan mampu untuk mengembangkan daya penalaran
dan membentuk pola pikir dinamis penulis, sehingga dapat memberikan
gambaran yang jelas mengenai perlindungan konsumen terhadap
ketentuan perjanjian baku dalam transaksi kredit.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
bagi penulis maupun pihak-pihak yang membacanya mengenai berbagai
macam masalah dalam hukum perlindungan konsumen khususnya dalam
perjanjian baku dalam transaksi kredit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah dengan tujuan untuk
melakukan, mengembangkan atau menguji suatu kebenaran dari suatu
pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan sistematis. Metodologi
adalah menggunakan metode-metode yang bersifat alamiah. Sedangkan sistematis
adalah sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk kerja
ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Mengenai jenis penelitian, penulis menggunakan pendekatan empiris
atau juga dikenal dengan penelitian sosiologis, yaitu penelitian hukum yang
memperoleh data dari sumber data primer (Soerjono Soekarto, 1986: 56).
Selain itu penelitian ini dilengkapi dengan pendekatan normatif yang
memperoleh data dari sumber data sekunder, yang menelaah dari peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti
penulis.
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat deskriptif yaitu
suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Maksudnya adalah
mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-
teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono
Soekanto, 1984: 10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah metode
kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara
tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan
dipelajari sebagai suatu yang utuh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
4. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di BPR Artha
Daya, Delanggu dan Kantor Bank Indonesia Solo. Diharapkan dapat
diperoleh data atau informasi yang cukup untuk menjawab permasalahan.
5. Jenis Data
Data adalah hasil penelitian, baik yang berupa fakta-fakta atau angka-
angka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu informasi, sedangkan
yang dikatakan informasi, adalah hasil pengolahan data yang digunakan
untuk suatu keperluan.
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data primer merupakan sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang
diperoleh langsung melalui penelitian di lapangan, baik dengan cara
wawancara ataupun studi lapangan.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sejumlah keterangan
atau fakta-fakta yang digunakan oleh seseorang dan secara tidak
langsung bersumber dari bahan-bahan yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, meliputi buku, arsip, catatan, koran, peraturan perundang-
undangan yang diperoleh tanpa terikat oleh waktu dan tempat yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
6. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah tempat
dimana data diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi :
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber pertama di mana sebuah data
dihasilkan, seperti pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan objek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
penelitian dalam hal ini adalah BPR Artha Daya dan Kantor Bank
Indonesia Solo.
b. Sumber data sekunder
Sumber data primer merupakan sumber data yang bersifat sebagai
pelengkap dari sumber data primer, yang terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-
undangan, meliputi :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
d) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/26/PBI/2006 tentang Bank
Perkreditan Rakyat.
2) Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan yang berasal dari data-data yang sudah tersedia
seperti hasil karya ilmiah para ahli hukum, dokumen resmi, jurnal
hukum, arsip dan literatur yang berhubungan dengan penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, yaitu bahan dari media internet, kamus hukum,
ensiklopedia.
7. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada suatu penelitian merupakan hal yang sangat
penting dalam penulisan, karena untuk memperoleh data-data dalam
penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis
adalah :
a. Teknik Pengumpulan Data Primer
1) Observasi atau Pengamatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Untuk mendapatkan data-data yang akurat penulis mengadakan
pengamatan dengan memperhatikan segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan obyek yang akan diteliti, yakni dengan
mengadakan pengamatan terhadap ketentuan perjanjian baku dalam
transaksi kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen di BPR Artha Daya dan melakukan
pengamatan di Kantor Bank Indonesia Solo.
2) Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab antara pewawancara dengan
responden. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan
Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha Daya dan
Mulyadi S.E selaku Pengawas Bank/ Asisten Manager di Kantor Bank
Indonesia Solo.
b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini
menggunakan studi pustaka, yaitu pengumpulan data dengan
mempelajari dan mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku,
tulisan dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan
yang diteliti.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode
ilmiah, karena dengan analisislah, data tersebut dapat mempunyai makna dan
bermanfaat untuk menjawab masalah. Dalam penelitian ini digunakan teknik
analisis kualitatif dengan model interaktif. Teknik analisis kualitatif adalah
suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa
yang dinyatakan oleh responden secra tulisan atau lisan, dan juga perilaku
yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesutau yang utuh (Soerjono
Soekanto, 2006: 250).
Teknik analisis kualitatif ini terdiri dari tiga komponen pokok analisis
data, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai
proses siklus antara tahap-tahap tersebut. Berikut penjelasan komponen
analisis data sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Reduksi data harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan
unit data dari sejumlah unit data yang diperlukan dalam penelitian.
Karena reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian
kepada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul pada catatan tertulis di lapangan (HB Sutopo, 2002: 97).
b. Sajian Data
Sajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan (HB Sutopo, 2002: 97). Hal tersebut dirancang untuk merakit
informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti, sehingga
sajian data ini merupakan suatu bagian dari analisis.
c. Penarikan Kesimpulan
Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai
melakukan usaha untuk menarik kesimpulan berdasarkan semua hal yang
terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila kesimpulan dirasa
belum bisa menjawab permasalahan, maka peneliti wajib kembali
melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah berfokus untuk
mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data.
Jadi dari awal pengumpulan, peneliti harus mulai mengerti apa arti dari
hal-hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturuan-peraturan,
pola-pola, pernyataan-pernyataan, arahan sebab akibat dan proporsi-
proporsi peneliti.
Adapun skema komponen-komponen analisis tersebut adalah
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Gambar 1 : Analisis Kualitatif Model Interaktif
(HB Sutopo, 2002: 91-96)
F. Sistematika Skripsi
Untuk menyusun penelitian ini peneliti membahas dan menguraikan
masalah, yang dibagi dalam empat bab. Adapun maksud dari pembagian
penelitian ini ke dalam tiap-tiap bab dan sub-sub bab adalah untuk menjelaskan
dan menguraikan setiap permasalahan dengan baik.
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian serta sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini adalah dalam rangka mencoba mencari jawaban dari
perumusan masalah, yaitu terdiri dari kerangka teori yang
menguraikan tentang tinjauan umum tentang perlindungan
konsumen, tinjauan umum tentang perjanjian, tinjauan umum
tentang perbankan dan kerangka pemikiran.
Pengumpulan Data
Reduksi Data Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi tentang hasil penelitian yang diperoleh penulis
berdasarkan penelitian hukum empiris atau sosiologis serta
pembahasan yang berkaitan dengan pokok permasalahan, yang
meliputi ketentuan perjanjian baku dalam transakasi kredit ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan implementasi perjanjian baku dalam transakasi
kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen di BPR Artha Daya.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian dan saran-saran yang diperoleh dari hasil keseluruhan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen
a. Pengertian Perlindungan Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan
hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek
hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan
sekedar fisik, melainkan terlebih lebih hak-haknya yang bersifat abstrak.
Dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen (Ahmadi
Wiru dan Sutarman Yodo, 2007: 1). Sesuai dengan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang berbunyi “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”.
Pengertian tersebut diparalelkan dengan definisi konsumen, yang
termuat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan”.
Pernyataan tidak untuk diperdagangkan yang dinyatakan dalam
definisi dari konsumen ternyata memang dibuat sejalan dengan
pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh Undang-undang, dimana
dikatakan bahwa yang dimaksud pelaku usaha adalah (Gunawan Widjaja
dan Ahmad Yani, 2003: 5) :
“Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Az Nasution dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti mengartikan
perlindungan konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan
produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat (Celina Tri Siwi Kristiyani, 2008: 23).
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata customer, atau
consument. Pengertian dari customer atau consument itu tergantung
dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consument adalah
(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang (Celina
Tri Siwi Kristiyani, 2008: 22).
Ketentuan tentang perlindungan konsumen, yaitu UUPK berlaku
efektif tanggal 20 April 2000 satu tahun setelah diundangkan. Di tingkat
Undang-Undang, sebelum berlakunya UUPK ada beberapa undang-
undang yang secara tidak langsung bertujuan untuk melindungi
kepentingan konsumen, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Dan dalam dunia perbankan hakikatnya yang menjadi
konsumen adalah nasabah.
UUPK memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan
konsumen yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang
menyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundang-
undangan itu sehingga memperkuat penegakkan hukum dibidang
perlindungan konsumen.
b. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan Konsumen
Produsen dan konsumen biasa diibaratkan sekeping mata uang,
sisi mata uang yang satu adalah produsen sedangkan sisi yang lainnya
adalah konsumen. Diantara keduanya saling membutuhkan, produsen
sangat membutuhkan dan sangat tergantung atas dukungan konsumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin
produsen dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya
konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi
produsen. Hubungan antara produsen dan konsumen pada dasarnya
berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan
itu terjadi karena keduanya saling menghendaki dan mempunyai
tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan
yang lain.
Menurut Sri Rejeki Hartono, hubungan hukum antara produsen
dan konsumen ini sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh
berbagai keadaan, antara lain (Sri Rejeki Hartono dalam Husni
Syawali, Neni Sri Imaniyati ed, 2000: 38) :
1) Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;
2) Pemasaran dan syarat perjanjian;
3) Fasilitas yang ada, sebelum dan purnajual;
4) Kebutuhan para pihak rentang waktu tertentu.
Berbagai keadaan diatas akan sangat mempengaruhi dan
melahirkan kondisi perjanjian yang sangat variatif. Namun dalam
praktek produsen atau distributor telah secara sepihak menyiapkan satu
kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku.
c. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen
1) Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak dan kewajiban merupakan antinomy dalam hukum,
sehingga kewajiban pihak yang satu dapat dilihat sebagai hak pihak
yang lain. Hak dari pelaku usaha adalah manivestasi lain dari
kewajiban konsumen, begitu pula sebaliknya. Demikian pula
kewajiban pelaku usaha merupakan manivestasi dan bentuk lain
dari hak konsumen, begitu sebaliknya.
a) Hak Pelaku Usaha
Dalam Pasal 6 Undang-undang Perlindungan Konsumen
ditentukan hak-hak bagi pelaku usaha, dimana hak ini diatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
untuk memberikan kepastian bagi pelaku usaha dalam berusaha,
hak-hak tersebut yaitu :
(1) Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan jasa yang
diperdagangkan;
(2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
(3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
(4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti
secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan
oleh barang dan jasa yang diperdagangkan;
(5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
b) Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :
(1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
(2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
(3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak dikriminatif;
(4) Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan atau jasa;
(5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan atau garasi atas barang yang dibuat
atau diperdagangkan;
(6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
(7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila
barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
2) Hak dan Kewajiban Konsumen
a) Hak-hak Konsumen
Dalam pasal 4 UUPK ditentukan secara eksplisit delapan
hak konsumen dan satu hak lagi yang dirumuskan secara terbuka,
hak-hak tersebut yaitu :
(1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa;
(2) Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
(3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan atau jasa;
(4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan atau jasa yang digunakan;
(5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
(6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
(7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
(8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
(9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
b) Kewajiban Konsumen
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa
kewajiban-kewajiban konsumen antinomy dengan hak-hak
produsen/ pelaku usaha. Kewajiban konsumen dalam sisi lain
adalah manivestasi dari hak-hak pelaku usaha.
Dalam UUPK pasal 5 ditentukan kewajiban konsumen
adalah :
(1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa demi keamanan
dan keselamatan;
(2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan atau jasa;
(3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
(4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patuh.
d. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam
hubungan hukum dengan pelaku usaha antara lain (Shidarta, 2000: 50) :
1) Let the buyer beware
Asas let the buyer beware atau caveat emptor ini, pelaku usaha
dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak
perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Dalam doktrin ini, yang
wajib berhati-hati adalah pembeli. Dengan adanya UUPK,
kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju kepada
caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).
2) The due care theory
Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam
memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama
konsumen tidak dapat membuktikan hal-hal yang memperkuat
gugatannya, maka pelaku usaha tidak dapat disalahkan. Namun dalam
kenyataannya konsumen agak mengalami kesulitan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
menghadirkan bukti-bukti tersebut dan pelaku usaha bisa
bersembunyi dari kesalahannya.
3) The Privity of Contract
Pelaku usaha baru melakukan perlindungan terhadap konsumen
jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku
usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan.
Konsumen boleh menggugat berdasarkan wanpresstasi atau
contractual liability.
e. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan
alternatif penyelesaian sengketa, apabila pelaku usaha menolak atau
tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen
diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan
perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), selain dengan cara mengajukan gugatan melelui
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
konsumen (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 72).
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui BPSK bukanlah
suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya
sengketa tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan. Walaupun
demikian, hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup
untuk memberikan shock terapy bagi pelaku usaha yang nakal
(Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 73). Meskipun berdasarkan
Pasal 54 ayat 3 UUPK putusan BPSK bersifat final dan mengikat, para
pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Terhadap putusan
Pengadilan Negeri ini, meskipun dikatakan bahwa UUPK hanya
memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas atas putusan
tersebut untuk mengajukan kasasi ke MA, namun dengan mengingat
akan relativitas dari “tidak merasa puas”, peluang untuk mengajukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam perkara (Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 79).
2. Tinjauan tentang Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu terlibat dalam
pergaulan dengan sesamanya, sehingga terjadi hubungan antar manusia
yang disebut dengan hubungan antar individu. Hubungan antar individu
menimbulkan perhubungan yang dapat bersifat perhubungan biasa dan
perhubungan hukum. Suatu perhubungan disebut perhubungan hukum,
apabila hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut diatur oleh
hukum.
Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak atau lebih
didahului oleh perbincangan-perbincangan di antara para pihak dan
adakalanya mewujudkan suatu perjanjian atau perikatan, tetapi
adakalanya tidak mewujudkan perjanjian atau perikatan. Hubungan
hukum yang timbul karena perjanjian itu mengikat kedua belah pihak
yang membuat perjanjian, sebagaimana daya mengikat Undang-Undang.
Perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber lain, yaitu
Undang-Undang. Dalam perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan
hukum antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban masing-masing.
Perjanjian menunjukkan suatu janji atau perbuatan hukum yang saling
mengikat antara para pihak.
Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan definisi perjanjian, yaitu
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian
adalah sesuatu yang kongkrit yang dapat dilihat dengan panca indera.
Dalam praktek, perjanjian disebut juga kontrak yang menentukan
hubungan hukum antara para pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Menurut Abdulkadir Muhammad, ketentuan dalam Pasal 1313
KUH Perdata dianggap kurang memuaskan dan terdapat beberapa
kelemahannya. Kelemahan-kelemahannya yaitu :
1) Hanya menyangkut sepihak saja
Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling
mengikatkan diri, jadi ada konsensus antara pihak-pihak. Kata
perbuatan juga mencakup tanpa konsensus, dalam pengertian
perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechmatigedaad)
yang tidak mengandung suatu konsensus dan seharusnya dipakai kata
persetujuan.
2) Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena
mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur
dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah
hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan
saja.
3) Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak
menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak
mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.
Berdasarkan alasan tersebut, Abdulkadir Muhammad
merumuskan pengertian perjanjian menjadi “Perjanjian adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan” (Abdulkadir
Muhammad, 1992: 78).
b. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan undang-undang, sehingga keberadaan perjanjian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
tersebut diakui oleh hukum. Syarat sahnya perjanjian dapat kita lihat
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1) Ada sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Ada kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Ada sesuatu hal tertentu;
4) Ada sesuatu sebab yang halal.
Dalam rumusan Pasal di atas disebutkan bahwa untuk sahnya
perjanjian diperlukan empat syarat. Kedua syarat pertama dinamakan
syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut menyangkut subyek
perjanjian, sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat obyektif,
karena menyangkut obyek dari perjanjian.
Perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat mengenai hal-
hal pokok. Untuk mengetahui lahirnya suatu perjanjian perlu diketahui
apakah telah tercapai kata sepakat atau belum. Pengertian kata sepakat
dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overrenstemende
wilsklaring) antara pihak-pihak. Perjanjian harus dianggap dilahirkan
pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima
jawaban yang termaktub dalam surat tersebut (acceptatie), sehingga pada
detik itulah dianggap sebagai detik lahirnya sepakat (Subekti, 2001: 27).
c. Asas-Asas Perjanjian
Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang
merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan.
Beberapa asas tersebut sebagai berikut :
1) Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Asas
ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan
perjanjian. Dalam asas konsensualisme ini memberikan batasan bahwa
suatu perjanjian terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara pihak-
pihak, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan membuat akibat
hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak
mengenai pokok perjanjian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
2) Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), yaitu suatu asas yang
menyatakan bahwa seseoarang yang mengadakan perjanjian dengan
pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa
satu sama lain akan memegang janjinya atau melaksanakan
prestasinya masing-masing.
3) Asas Kekuatan Mengikat Asas kekuatan mengikat mengatur bahwa para pihak pada suatu
perjanjian tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan
dalam perjanjian, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain
sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan, serta moral.
4) Asas Persamaan Hukum Asas persamaan hukum menempatkan para pihak di dalam
persamaan derajat, tidak ada perbedaan yang menyangkut perbedaan
kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan dan jabatan. Masing-masing pihak
wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak
untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
5) Asas Keseimbangan
Asas ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hukum.
Kreditur atau pelaku usaha mempunyai kekuatan untuk menuntut
prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Di sini terlihat bahwa
kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
menjadi seimbang.
6) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian merupakan suatu figur hukum sehingga harus
mengandung kepastian hukum. Asas kepastian hukum disebut juga
asas pacta sunt servanda. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
dalam perjanjian yang berhubungan dengan daya mengikat suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat
bagi mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang.
7) Asas Moral
Asas moral terlihat pada perikatan wajar, dimana suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya
untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Asas moral
terlihat pula dari zaakwarneming, dimana seseorang yang melakukan
perbuatan suka rela (moral) mempunyai kewajiban untuk meneruskan
dan menyelesaikan perbuatannya.
8) Asas Kepatutan
Asas kepatutan berkaitan dengan isi perjanjian, dimana
perjanjian tersebut juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-
Undang. Asas kepatutan dapat disimpulkan dari Pasal 1339 KUH
Perdata.
9) Asas Kebiasaan
Asas kebiasaan menyatakan bahwa hal-hal yang menurut
kebiasaan secara diam-diam selamanya dianggap diperjanjikan. Asas
ini tersimpul dari Pasal 1339 juncto 1347 KUH Perdata.
d. Perjanjian Baku
Secara umum perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan
berkontrak di antara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang
seimbang, dan kedua belah pihak berusaha memperoleh kesepakatan
dengan melalui proses negosiasi di antara kedua belah pihak. Namun saat
ini kecenderungan memperlihatkan bahwa banyak perjanjian dalam
transaksi bisnis bukan melalui proses negosiasi yang seimbang, tetapi
perjanjian itu terjadi dengan cara salah satu pihak telah menyiapkan
syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak,
kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dan hampir tidak
memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak yang satu untuk
melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Perjanjian yang demikian disebut perjanjian baku atau perjanjian standar
atau perjanjian baku.
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa
inggris disebut standard contract, standard agreement. Kata baku atau
standar artinya tolok ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman
bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
pengusaha. Yang dibakukan dalam perjanjian baku meliputi model,
rumusan dan ukuran (Abdulkadir Muhammad, 1992: 6).
Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :
1) Perjanjian baku sepihak
Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini
ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat
dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam
organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif;
2) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.
Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri
tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain
akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan
sebagainya;
3) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat,
Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula
sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota
masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang
bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan
“contract model”. (Muliadi Nur. Asas Kebebasan Berkontrak dalam
Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standard Contract). http://pojok
hukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tujuan dibuatnya perjanjian baku adalah untuk memberikan
kemudahan bagi para pihak yang bersangkutan. Pada saat sekarang
sangatlah tidak mungkin bagi kreditur (pelaku usaha) untuk membuat
perjanjian dengan debitur (konsumen) satu persatu, karena jumlah debitur
sangatlah banyak, jika harus membuat satu persatu perjanjiannya akan
menyita banyak waktu, tenaga dan biaya. Oleh karena itu kreditur
membuat suatu perjanjian yang telah dibuat sebelumnya lalu diberikan
kepada debitur dalam bentuk formulir dan debitur hanya tinggal
menandatangani tanpa bisa mendiskusikannya terlebih dahulu isi dari
perjanjian tersebut. (Muliadi Nur. Asas Kebebasan Berkontrak dalam
Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standard Contract). http://pojok
hukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html).
Dalam perjanjian baku terdapat ciri-ciri yang harus sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat, dengan cara mengikuti dan
menyesuaikan perkembangan tuntutan yang ada dalam masyarakat. Akan
tetapi dalam perjanjian baku ini lebih mencerminkan kepentingan pelaku
usaha bukan dari kepentingan konsumen, hal ini karena posisi yang tidak
seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Dengan pembakuan
syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pelaku usaha lebih
terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang
disodorkan oleh pelaku usaha, sehingga dalam kenyataanya penggunaan
perjanjian baku dalam perjanjian banyak merugikan konsumen. Ciri-ciri
dalam perjanjian baku tersebut adalah :
1) Bentuk perjanjian tertulis;
2) Format perjanjian dibakukan;
3) Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha;
4) Konsumen hanya menerima atau menolak;
5) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah/peradilan;
6) Perjanjian baku menuntungkan pelaku usaha.
Pembatassan dalam perjanjian baku harus diatur secara jelas agar
tidak menimbulkan dominasi pelaku usaha kepada konsumen yang akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
membuat posisi konsumen dirugikan. Dengan adanya pengaturan
perjanjian baku merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk
memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi seimbang.
3. Tinjauan tentang Perbankan
a. Pengertian Bank
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Berdasarkan pengertian tersebut, bank merupakan perusahaan
yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu
berkaitan dalam bidang keuangan (Anonym. Sejarah Perbankan,
Pengertian, Asas, Fungsi, Dan Tujuan. http://afand.abatasa.
com/post/detail/2357/sejarah-perbankanpengertian-asas-fungsi-dan-tuju
an).
b. Jenis-Jenis Bank
Perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsi, serta
kepemilikannya. Dari segi fungsi perbedaan yang terjadi terletak pada
luasnya kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawawrkan serta
jangkauan wilayah operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan
dilihat dari segi kepemilikan sahamnya. Selain itu, dapat dilihat dari segi
siapa nasabah yang mereka layani apakah masyarakat luas atau
masayarakat dalam lokasi tertentu (kecamatan) (Kasmir, 2010: 18).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan
ditegaskan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan maka jenis perbankan berdasarkan fungsinya terdiri
dari (Kasmir, 2010: 19) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
1) Bank Umum
Bank umum atau yang sering disebut bank komersil, adalah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum,
dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.
Wilayah operasinya dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia,
bahkan keluar negeri (cabang).
2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah. Dalam kegiatannya BPR tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, artinya jasa-jasa
perbankan yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan
dengan kegiatan atau jasa bank umum.
Perbandingan antara Bank Umum dengan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Bank Umum BPR 1. Dapat menerima simpanan
dalam bentuk Giro 1. Tidak diperbolehkan menerima
simpanan dalam bentuk Giro
2. Dapat melakukan kegiatan usaha sebagai valuta asing
2. Tidak dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
3. Modal disetor untuk pendirian bank baru minimal Rp. 3 triliun
3. Modal disetor untuk mendirikan BPR minimal Rp5 miliar (DKI), Rp2miliar (ibukota Provinsi Jawa Bali & Bodetabek), Rp1 miliar (ibukota Provinsi diluar Jawa Bali & wil. Jawa Bali selain ibukota), Rp500 juta (selain di atas)
4. Dapat melakukan penyertaan pada bank atau lembaga keuangan serta penyertaan sementara
4. Tidak dapat melakukan penyertaan
Tabel 1 : Perbandingan antara Bank Umum dengan BPR
Sumber : Bank Indonesia
Dengan semakin berkembangnya dunia perbankan, berpengaruh
juga terhadap perkembangan jenis bank yaitu dengan munculnya
perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah. Terdapat 3 alasan utama diperlukannya
pengembangan Bank Syariah di Indonesia, yaitu :
a) Aspek Legal Formal;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan :
(1) Dual banking system;
(2) Dual system bank.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang diubah oleh
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia:
(1) Cara-cara pengendalian moneter dapat dilakukan berdasarkan
Prinsip Syariah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
(2) Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah kepada Bank untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek.
b) Aspek Substantif dan Filosofis;
c) Aspek Potensi dan Prospek Ekonomi - Keuangan Syariah.
Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus
berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank syariah mengharamkan
penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah,
bunga bank adalah riba. Dalam perkembangannya kehadiran bank
syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, akan
tetapi juga masyarakat non muslim.
c. Kegiatan Bank
Dalam prakteknya kegiatan bank dibedakan sesuai dengan jenis
bank tersebut. Setiap jenis bank memiliki ciri dan tugas tersendiri dalam
melakukan kegiatannya, misalnya dilihat dari segi fungsi bank yaitu
antara kegiatan bank umum dengan bank perkreditan rakyat memili tugas
atau kegiatan yang berbeda.
Kegiatan bank umum lebih luas dari bank perkreditan rakyat,
artinya produk ditawarkan oleh bank umum lebih beragam, hal ini
disebabkan bank umum mempunyai kebebasan untuk menentukan
produk dan jasanya. Sedangkan bank perkreditan rakyat mempunyai
keterbatasan tertentu, sehingga kegiatannya lebih sempit (Kasmir, 2010:
30). Hal ini dapat disebabkan karena Bank Perkreditan Rakyat
merupakan bank sekunder yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran tetapi berfungsi sebagai penghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito
berjangka atau tabungan serta pemberian kredit.
Kegiatan BPR pada dasarnya sama dengan kegiatan bank umum,
hanya yang menjadi perbedaan adalah jumlah jasa bank yang dilakukan
BPR jauh lebih sempit. BPR dibatasi oleh berbagai persyaratan, sehingga
tidak dapat berbuat seleluasa bank umum. Keterbatasan kegiatan BPR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
juga dikaitkan dengan misi pendirian BPR itu sendiri. Dalam praktiknya
kegiatan BPR adalah sebagai berikut (Kasmir, 2010: 37) :
1) Menghimpun dana hanya dalam bentuk :
a) Simpanan Tabungan;
b) Simpanan Deposito.
2) Menyalurkan dana dalam bentuk :
a) Kredit Investasi;
b) Kredit Modal Kerja;
c) Kredit Perdagangan.
Jasa perbankan yang dilayani oleh BPR selain menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito, adalah dalam bentuk
penyaluran pinjaman terutama yang ditujukan bagi usaha pertanian
maupun perdagangan kecil. Tujuan utama pembentukan BPR di desa-
desa adalah untuk menghindari praktek lintah darat maupun rentenir
dengan bunga tinggi yang sering beroperasi dikedua sektor tersebut.
Dengan beroperasinya BPR di daerah pedesaan maka diharapkan
pemerataan pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat, juga masyarakat pedesaan (Ruddy Tri Santoso, 1996: 5).
BPR yang berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat, memiliki tujuan untuk melaksanakan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, penumbuhan ekonomi, dan
stabilitas ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Sasaran BPR
adalah melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang,
pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat
terjangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan
layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan
pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan para pelepas uang
(rentenir).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Nasabah
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran
PERLINDUNGAN KONSUMEN Perjanjian Baku
(Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
BPR (Pasal 1 angka 3 UU No.7 Tahun 1992 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan)
a. KUH Perdata; b. UU No. 7 Tahun 1992
jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
c. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor:8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat.
Transakasi Kredit
Tidak sesuai Sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Keterangan :
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas dapat dijelaskan bahwa dalam
perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur secara khusus
mengenai perjanjian baku yang diatur dalam Pasal 18. Dalam dunia
perbankan, hubungan hukum yang terjadi antara bank dan nasabah dapat
terwujud dari suatu perjanjian, perjanjian yang dilakukan antara bank
dengan nasabah sering telah dibakukan dengan sebuah perjanjian baku.
Dalam konteks ini perlu pengamatan untuk menjaga suatu bentuk
perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi
bank, bank yang dimaksud dalam penelitian ini adalah BPR yang diatur
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Salah satu bentuk perjanjian baku dalam hubungan hukum yang
terjadi antara bank dan nasabah, dimana nasabah (debitor) hanya dalam
posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk tawar
menawar, yaitu dalam perjanjian transaksi kredit dimana dalam praktiknya
perjanjian tersebut telah disediakan oleh pihak bank (kreditor) sedangkan
debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Tentang
perjanjian transakasi kredit ini telah diatur dalam KUH Perdata, Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, PBI Nomor: 8/26/PBI/2006 tentang Bank
Perkreditan Rakyat.
Pada prinsipnya perjanjian baku dalam transaksi kredit lebih banyak
memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi konsumen. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan perjanjian baku
ini tidak sesuai dengan UUPK, tetapi disisi lain perjanjian baku dapat dinilai
sesuai dengan UUPK apabila selama perjanjian baku tersebut tidak
mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 UUPK
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Kantor Bank Indonesia Solo
a. Struktur Organisasi
Struktur organisasi disusun untuk mencapai tujuan dan sasaran
yang dijadikan sebagai pedoman untuk menjalankan organisasi dan
membuat perencanaan. Tujuan organisasi akan menentukan seluruh tugas
pekerjaan, hubungan antara tugas, batas wewenang dan tanggungjawab
untuk menjalankan tugasnya masing-masing.
Berikut bentuk dan struktur organisasi Kantor Bank Indonesia
Solo agar dapat mengetahui tentang tugas dan tanggungjawab dari
masing-masing bagian, maka dapat dilihat sebagai berikut :
1) Pimpinan KBI
2) Deputi Pemimpin KBI, meliputi :
a) Deputi Pemimpin Bidang Perbankan
b) Deputi Pemimpin Bidang Sistem Manajemen Dan Pembayaran
Intern
c) Deputi Pemimpin Bidang Ekonomi Moneter
3) Kepala Bidang, meliputi :
a) Bidang Ekonomi dan Moneter
(1) Seksi pemberdayaan sektor riil dan UMKM
(2) Seksi kajian statistik dan survey
b) Bidang Sistem Pembayaran dan Manajemen Intern
(1) Seksi operasional kas
(2) Seksi pelayanan nasabah dan penyelenggara kliring
(3) Seksi sumber daya manusia
(a) Bagian sumber daya
(b) Bagian logistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
(c) Bagian pengamanan
(d) Bagian kesekretariatan
c) Bidang Pengawasan Bank
(1) Kelompok pengawasan bank I
(2) Kelompok pengawasan bank II
(3) Kelompok pengawasan bank III
(4) Kelompok pengawasan bank IV
Demikian Struktur Organisasi Kantor Bank Indonesia Solo. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan struktur organisasi Kantor Bank
Indonesia sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Gambar 3 : Struktur Organisasi Kantor Bank Indonesia Solo
Pimpinan KBI Solo
Deputi Bidang Perbankan
Deputi Bidang Manajemen
Intern
Deputi Bidang Ekonomi
Moneter
Kepala Bidang Pengawasan
Bank
Kepala Bidang Sistem
Pembayaran dan Manajemen Intern
Kepala Bidang Ekonomi
Dan Moneter
Kelompok Pengawasan Bank I
Kelompok Pengawasan Bank
II
Kelompok Pengawasan Bank
III
Kelompok Pengawasan Bank
IV
Seksi Operasional Kas
Seksi Pelayanan Nasabah dan
Penyelenggara Kliring
Seksi Sumber Daya Manusia
Bagian Sumber Daya
Seksi Pemberdayaan Sektor Riil dan
UMKM
Seksi Kajian Statistik dan
Survey
Bagian Logistik
Bagian Pengamanan
Bagian Kesekretariatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
b. Wewenang Kantor Bank Indonesia Solo
1) Bidang Ekonomi dan Moneter
a) Memantau dan melaksanakan kebijakan moneter yang telah
dirumuskan oleh kantor pusat;
b) Mengamati dan mengumpulkan dana perkembangan ekonomi di
wilayah kinerja Solo;
c) Mengawasi kinerja Perbankan di wilayah Solo;
d) Melakukan koordinasi dengan kepala seksi beserta staff
dibawahnya.
2) Bidang Sistem Pembayaran dan Manajemen Intern
a) Mengawasi peredaran uang di wilayah Solo;
b) Melakukan pengaturan sistem pembayaran;
c) Melaksanakan fungsi Bank Indonesia sebagai kasir Pemerintah;
d) Mengawasi dan mengevaluasi kinerja seluruh pegawai;
e) Memantau ketersediaan logistik dan terjaminnya keamanan.
3) Bidang Pengawasan Bank
a) Melakukan pengawasan terhadap kinerja perbankan seluruh
wilayah Solo;
b) Membuat tingkat kesehatan seluruh bank yang ada di wilayah
Solo;
c) Merekapitulasi tingkat kesehatan seluruh bank di Solo dan
melaporkannya ke kantor pusat setiap bulan;
d) Melakukan pemeriksaan terhadap setiap bank secara periodik;
e) Mengevaluasi dan menganalisis terhadap permohonan ijin prinsip
pembukuan bank baru, pembukuan kantor cabang dan kantor kas
pelayanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya
a. Struktur Organisasi
Struktur organisasi merupakan kerangka yang menampilkan
seluruh kegiatan-kegiatan untuk pencapaian tujuan organisasi antara
fungsi-fungsi serta wewenang dan tanggungjawab. Struktur organisasi
disusun untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dijadikan sebagai
pedoman untuk menjalankan organisasi dan membuat perencanaan.
Selain itu tujuan tersebut diperlukan untuk menilai keberhasilan suatu
organisasi, sedangkan sasaran adalah untuk mengarahkan tindakan-
tindakan dalam pelaksanaan organisasi. Tujuan organisasi akan
menentukan seluruh tugas pekerjaan, hubungan antara tugas, batas
wewenang dan tanggungjawab untuk menjalankan tugasnya masing-
masing. Atas dasar kegiatan-kegiatan tersebut akan dapat disusun pola
tetap hubungan-hubungan antar bidang.
Berikut bagan struktur organisasi BPR Artha Daya :
Gambar 4 : Struktur Organisasi BPR Artha Daya
Sumber : Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya
RUPS
KOMISARIS
DIREKSI
KREDIT OPERASIONAL
CABANG : Palur, Kartasura, Klaten
ACCOUNT OFFICER
REMEDIAL
TELLER ADMIN KREDIT
AKUNTING
SPI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
B. PEMBAHASAN
1. Ketentuan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga. Kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar
cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang
pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan cicilan atau angsuran
sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk barang atau
berbentuk uang. Baik kredit berbentuk barang maupun berbentuk uang dalam
hal pembayarannya dengan menggunakan metode angsuran atau cicilan
tertentu (Kasmir, 2000: 72).
Bank merupakan salah satu badan usaha/lembaga keuangan yang
bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa perbankan lainnya. Hal ini sesuai
dengan pengertian bank yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 1 ayat 2, yang menyatakan
bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Pemberian kredit oleh bank merupakan unsur yang terbesar dari aktiva
bank, yang juga sebagai aset utama serta sekaligus menentukan maju
mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan usahanya
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Pemberian kredit ini
merupakan salah satu produk bank yang ditawarkan kepada para nasabah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
dimana bank memiliki beberapa fitur jasa pemberian kredit seperti pemberian
kredit denganragam bentuk jaminan/tanggungan. Selain pemberian kredit
yang termasuk dalam produk bank yaitu pemberian jasa dalam pembayaran
dan peredaran uang, berbagai macam bentuk simpanan di bank yang meliputi
simpanan giro, deposito berjangka dan tabungan.
Di samping menjalankan fungsi dan pengerahan dana masyarakat,
bank juga menjalankan fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Ada pun pemberian kredit itu
dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang
dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-
alat pembayaran baru berupa uang giral.
Bisnis bank merupakan bisnis yang konservatif. Kecenderungan
kepada sifat yang konservatif tersebut, maka bank harus hati-hati dalam
menjalankan usaha. Hal ini disebabkan karena peranan bank yang cukup
menentukan dalam perkembangan moneter dan ekonomi secara makro. Dan
hal yang paling riskan dalam suatu bank biasanya berkenaan dengan
penyaluran dana yang ada pada bank tersebut (Munir Fuady, 1996: 64). Oleh
karena itu, bank dalam memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan
analisis pemberian kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan
oleh bank itu adalah kredit-kredit yang tidak mudah menjadi kredit-kredit
macet. Apabila kredit-kredit yang diberikan oleh suatu bank banyak
mengalami kemacetan, maka akan melumpuhkan kemampuan bank dalam
melaksanakan kewajibannya terhadap para pemyimpan dana. Kemampuan
bank untuk dapat membayar kembali simpanan dana masyarakat banyak
tergantung pula dari kemampuan bank untuk memperoleh pembayaran
kembali kredit-kredit yang diberikan oleh bank tersebut kepada para nasabah
debiturnya (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 16).
Dalam memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian terhadap
nasabah yang akan meminjam, agar kredit yang diberikan tidak menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
kredit yang bermasalah di kemudian hari. Penilaian yang dilakukan bank
berupa penilaian terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal
(capital), agunan (collateral) dan prospek usaha dari nasabah debitur
(condition of economy), atau yang sering disebut dengan the five C of credit
analysis atau prinsip 5 C’s.
Prinsip 5 C’s harus menjadi tolok ukur atau pedoman dalam
pemberian kredit oleh bank. Menjadi suatu keharusan bagi bank menilai
secara seksama prinsip 5 C’s sebagai dasar dalam pemberian kredit, yang
meliputi :
a. Penilaian watak (character)
Penilaian watak calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran
dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan
pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari.
Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah
terjalin antara bank dan (calon) debitur atau informasi yang diperoleh
dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian, dan perilaku calon
debitur dalam kehidupan kesehariannya.
b. Penilaian kemampuan (capacity)
Dalam penilaian ini bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur
dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank
yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang
yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu
mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
c. Penilaian modal (capital)
Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara
menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat
diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang
pembiayaan usaha calon debitur yang bersangkutan.
d. Penilaian agunan (collateral)
Untuk menanggung pembayaran kredit macet dikarenakan debitur
wanprestasi, maka calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang
nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan
kepadanya.
e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy)
Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri, baik
masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran
dari hasil usaha calon debitur yang dibiayai dapat pula diketahui.
Pemberian kredit bank merupakan suatu perjanjian antara bank
dengan pihak peminjam/nasabah debitur. Perjanjian tersebut lahir
berdasarkan kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan peminjam
dana. Hal ini dapat diketahui karena telah disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang dimaksud dengan nasabah
debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan yang
dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga. Oleh karena itu, sebuah perjanjian dapat terwujud karena adanya suatu
kesepakatan diantara para pihak dan dalam praktik perbankan, perjanjian
tersebut lazim dinamakan dengan perjanjian kredit.
Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, hal ini
dikarenakan apabila perjanjian kredit dilakukan dengan cara tertulis maka
akan lebih bersifat aman bagi para pihak dibandingkan dalam bentuk lisan.
Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah
diperjanjikan, dan perjanjian ini akan menjadi bukti yang kuat dan jelas
apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga apabila
terjadi ingkar janji oleh pihak bank.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Dalam setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian
kredit secara tertulis, hal tersebut berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
dimana dalam pemberian kredit bank wajib dituangkan dalam perjanjian
kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta
notariil. Hal ini didasari atas dasar hukum perjanjian kredit sebagai berikut :
a. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman
Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat
Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal
8 Oktober 1966 Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor
2/649/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium
Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menyatakan
bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk
tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah atau
Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam
memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian
atau akad kreditnya;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995
tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan
Bank Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang
telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam
perjanjian kredit secara tertulis.
Perjanjian kredit berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengorganisasian, dan pengawasan dalam pemberian kredit
yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan sebaik-
baiknya (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010: 320). Bentuk dan
format perjanjian kredit diserahkan oleh Bank Indonesia kepada masing-
masing bank untuk menetapkannya, tetapi harus tetap memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi
kepentingan bank;
a. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta
persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan persetujuan kredit dimaksud.
Susunan sebuah perjanjian kredit bank pada umunya meliputi
(Rachmadi Usman, 2003: 267) :
a. Judul
Dalam dunia perbankan masih belum terdapat kesepakatan tentang judul
atau penamaan perjanjian kredit bank. Judul di sini berfungsi sebagai
nama dari perjanjian yang dibuat tersebut, setidaknya kita mengetahui
bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank.
b. Komparisi
Di sini menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan
kedudukan subyek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian
kredit bank akan dianggap sah apabila ditandatangani oleh subyek hukum
yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang demikian itu.
c. Substantif
Sebuah perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang
merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus
memuat maksimum kredit, bunga dan denda, jangka waktu kredit, cara
pembayaran kembali kredit, agunan kredit, opeinsbaar clause dan pilihan
hukum.
Dengan demikian, di dalam praktek setiap bank telah menyediakan
blanko atau formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan atau
dibakukan terlebih dahulu tanpa diperbincangkan dengan pemohon. Pemohon
kredit atau debitur hanya dimintakan pendapatnya apakah bisa menerima
syarat-syarat yang tersebut di dalam formulir atau tidak. Pada tahap ini,
kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja ketentuan
dan syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak perbankan, karena jika tidak
demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud. Hal-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
hal yang belum diisi di dalam blanko adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi
sebelumnya, yaitu seperti jumlah pinjaman, bunga, tujuan dan jangka waktu
kredit.
Perjanjian kredit bank yang distandarkan atau dibakukan ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif.
Berikut beberapa alasan bahwa bank selalu menyediakan formulir untuk
setiap hubungan hukum dengan nasabah (Try Widioyono, 2006: 68) :
a. Untuk mempercepat sistem pelayanan, sebab tidak mungkin setiap
nasabah harus membuat dan menegosiasikan setiap transaksi dengan
bank;
b. Formulir tersebut antara lain memuat berbagai peraturan penting yang
berkaitan dan berlaku dalam hubungn hukum antara nasabah dengan
bank;
c. Memudahkan nasabah mengetahui peraturan apa saja dan mana saja yang
berlaku dalam hubungan hukum dengan bank;
d. Tidak semua pegawai bank mengetahui mengenai hukum yang berlaku
atas suatu produk. Dengan penyediaan formulir yang dibuat oleh bagian
hukum maka pegawai lain di kantor cabang dapat dengan mudah
menyediakan formulir tanpa harus berkonsultasi pada bagian hukum. Hal
ini membantu mempercepat pelayanan;
e. Fungsi bank sebagai intermediary dengan formulir yang dibuat secara hati-
hati tersebut dapat mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa perjanjian
kredit di dalam praktek tumbuh sebagai perjanjian baku (standard contract).
Hal ini dikarenakan apabila dilihat berdasarkan pengertian perjanjian baku
yaitu perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pemakainnya dan mengikat
pihak lain, dimana pihak lain tersebut tidak dapat mengubah atau melakukan
tawar-menawar untuk mengubahnya. Dengan demikian maka dapat dikatakan
bahwa perjanjian kredit ini merupakan perjanjian baku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh
perkembangan masyarakat modern dan perkembangan keadaan sosial
ekonomi, dimana tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah dengan
alasan efisiensi dan alasan praktis. Pengertian perjanjian standar atau
perjanjian baku tidak dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan,
untuk itu dapat dilihat beberapa pendapat dari para sarjana hukum yang
pernah ada.
a. Johannes Gunawan
Mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya telah
ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang
digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para
konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen.
b. E.H. Hondius
Perjanjian standar adalah konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa
membedakan isinya, serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-
perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya, namun sifatnya tertentu.
c. Sri Sudewi Masjchun Sofwan
Perjanjian standar adalah perjanjian yang terbentuknya berdasarkan
peraturan standar.
d. Mariam Darus Badrulzaman
Perjanjian standar merupakan pernjanjian yang isi perjanjian tersebut
sebagian besar telah dibakukan dan pihak lain hanya tinggal
menyetujuinya.
Menurut John J. A. Burke, sebuah perjanjian standar adalah catatan
ditetapkan sebelum berlakunya hak teratur yang digunakan oleh badan usaha
atau perusahaan dalam transaksi dengan konsumen. Isi dari perjanjian standar
adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara
perusahaan dan pihak lain. Perusahaan membutuhkan pihak lain untuk
menerima catatan tanpa perubahan, dan tanpa mengharapkan para pihak
untuk mengetahui atau memahami ketentuan-ketentuannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
A standard form contract is a pre-established record of legal terms regularly used by a business entity or firm in transactions with customers. The record specifies the legal terms governing the relationship between the firm and another party. The firm requires the other party to accept the record without amendment, and without expecting the party to know or understand its terms. (John J. A. Burke, 2000: 3). Perjanjian baku merupakan salah satu materi yang menjadi muatan
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Dasar pemikirannya
bahwa dalam praktek perjanjian semacam ini sangat dibutuhkan
keberadaannya dalam kegiatan ekonomi, karena selama ini kebutuhan
perjanjian semacam ini belum didukung oleh suatu peraturan perundang-
undangan.
Oleh karena perjanjian atau klausula baku tersebut tidak berada dalam
kerangka perjanjian sebagaimana dimaksud dalam KUHP, maka untuk
melindungi kepentingan konsumen yang pada dasarnya adalah pihak yang
tidak memiliki kemampuan untuk menolak perjanjian atau klausula baku
maka didalam undang-undang ini diadakan pengaturan tersendiri. Pengaturan
ini dimaksud untuk melindungi dan memberikan keseimbangan di dalam
hubungan hukum antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, perjanjian
atau klausula baku ini hanya dapat diterapkan di dalam hubungan hukum
antara produsen dan konsumen. Dalam halnya terjadi hubungan hukum antara
produsen dengan sesama produsen atau pengusaha hendaknya tetap
memberlakukan ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
(Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000: 27). Apabila dilihat secara
yuridis formal dalam membuat suatu perjanjian harus memenuhi asas
perjanjian sebagai syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata, yakni sepakat mengikatkan diri, kecakapan untuk
membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang hal. Disamping
itu, terdapat asas lain dalam perjanjian yaitu asas-asas kesetaraan dalam
berkontrak.
Salah satu latar belakang dari lahirnya UUPK adalah agar terdapat
suatu perjanjian yang seimbang antar konsumen dan produsen berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
asas kesetaraan berkontrak, hal ini dikarenakan berdasarkan fenomena
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen selalu berada dalam posisi yang lemah sehingga diperlukanlah
UUPK untuk dapat melindungi kepentingan konsumen.
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan
definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku dalam
Pasal 1 ayat 10 sebagai :
“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan
mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan
Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal
18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang
diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau
mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18
ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausula baku, dan Pasal 18 ayat (2)
mengatur bentuk atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang
(Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 54).
Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan
masyarakat, oleh karena itu guna tetap melindungi kepercayaan masyarakat
terhadap bank, pemerintah harus berusaha melindungi masyarakat dari
tindakan lembaga ataupun oknum pegawai bank yang tidak bertanggung
jawab, dan dapat merusak kepercayaan masyarakat. Apabila suatu saat terjadi
merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, maka hal
tersebut merupakan suatu bencana bagi ekonomi negara secara keseluruhan
dan keadaan tersebut sangat sulit untuk dipulihkan kembali. Melihat begitu
besarnya resiko yang dapat terjadi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
perbankan merosot, maka tidak berlebihan apabila usaha perlindungan
konsumen jasa perbankan mendapat perhatian yang khusus. Dengan demikian
dalam rangka usaha melindungi konsumen maka dibentuklah Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat untuk pemerintah
maupun masyarakat itu sendiri secara swadaya untuk melakukan
pemberdayaan konsumen (Siti Ummu Adillah, 2004: 28-29).
Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan lembaga perbankan tidak
dapat menjalankan Undang-Undang tersebut, dalam arti bahwa apabila
ketentuan dalam Pasal 18 UUPK dijalankan maka akan sangat memberatkan
lembaga perbankan. Kondisi tersebut memberikan implikasi bahwa seakan-
akan lembaga perbankan tidak mengindahkan hukum positif yakni UUPK
karena perjanjian yang dibuat antara nasabah dengan bank seharusnya tunduk
pada UUPK. Fakta tersebut memberikan indikasi adanya pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh bank dalam membuat perjanjian dengan nasabah.
Sebagai hukum positif UUPK bersifat memaksa dan dapat
dipertahankan kepada siapapun. Dengan adanya pelanggaran yang dilakukan
oleh bank terhadap Pasal 18 UUPK, berarti secara sosiologis terdapat
permasalahan hukum baik dari segi pembuatan maupun dari segi
pelaksanaanya. Akan tetapi disisi lain, sifat bank yang mempunyai
karakteristik berbeda dengan industri lain juga dijelaskan melalui beberapa
asas dan pikiran serta perundang-undangan. Penjelasan ini berkaitan dengan
alasan yang menjadi dasar argumen oleh bank untuk menimpangi ketentuan
tersebut.
Pencantuman klausul-klausul baku dalam perjanjian kredit pada bank
sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur
maupun nasabah debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya
mengembangkan upayanya masing-masing. Klausul yang demikian ketatnya
didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit..
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberikan kosekuensi logis terhadap pelayanan
jasa perbankan. Pelaku usaha jasa perbankan oleh karenanya dituntut untuk
(Siti Ummu Adillah, 2004: 29) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan jasa yang diberikannya;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan standar
perbankan yang berlaku.
Tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dalam rangka
menjalankan kehati-hatian di bidang jasa perbankan, para pelaku usaha
perbankan harus mempunyai integritas moral yang tinggi.
Persoalan yang sering timbul dalam aplikasi Pasal 18 UUPK adalah
perbedaan persepsi antara kedua belah pihak untuk menetapkan
keseimbangan dalam berkontrak. Oleh karena itu, sering terjadi dalam suatu
kontrak terdapat anggapan subjektif bahwa perjanjian tersebut kurang atau
tidak terpenuhinya keseimbangan. Hal ini dapat dilihat apabila seseorang
akan berhubungan dengan bank, maka nasabah atau calon nasabah tersebut
wajib menerima klausul baku yang dibuat secara sepihak oleh bank. Nasabah
merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen
baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat
berperan sekali, mati hidupnya perbankan bersandar pada kepercayaan dari
pihak masyarakat atau nasabah. Pihak nasabah sering tidak berdaya untuk
mengoreksi klausula baku yang disodorkan oleh bank, dimana pihak nasabah
tanpa pikir panjang akan menandatangani klausula baku tersebut dengan
berbagai alasan, antara lain tulisannya kecil-kecil, bahasanya sulit dimengerti,
tidak memahami isi klausula baku tersebut, terlalu rumit, dan lain-lain.
Persoalan perlindungan hukum nasabah tertuju pada ketentuan
peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur
hubungan antara bank dan nasabahnya. Dalam kontek inilah perlu
pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi
konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilakukan antara bank dengan
nasabah telah dibakukan dalam sebuah perjanjian baku.
Perlindungan konsumen dalam pelayanan bidang perkreditan adalah
pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam
pemberian kredit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan
hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya
menyangk0ut dua macam pengikatan berupa perjanjian pokok yakni
perjanjian kredit, dan perjanjian tambahan yakni perjanjian yang mengikuti
perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan. Perlindungan
konsumen tersebut diberikan pada pelayanan jasa perbankan, penyebab
utamanya karena adanya kelemahan pada beberapa klausula perjanjian antara
bank dengan nasabah.
Oleh karena adanya kelemahan pada beberapa klausula perjanjian
antara bank dengan nasabah, yang mengakibatkan kedudukan konsumen
lemah maka diharapkan dengan berlakunya UUPK kedudukan konsumen
yang sebelumnya lemah dapat disetarakan. Dengan demikian, UUPK tersebut
dapat mengeliminasi konflik kepentingan kedua belah pihak dalam hal terjadi
transaksi atau menyelesaikan sengketa jika terjadi dispute.
Dalam ketentuan Pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa para pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
d. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
e. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
f. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat 2 dijelaskan bahwa pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas dan/atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
Penerapan Pasal 18 ayat 1 dan 2 tersebut paling tidak akan nampak
pada formulir-formulir yang digunakan dalam melakukan transaksi antara
bank dengan nasabah. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 18 UUPK, maka setiap klausula baku yang telah ditetapkan
oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan
yang dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 maupun perjanjian baku atau klausula
baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat 2
dinyatakan batal demi hukum. Hal ini merupakan penegasan kembali akan
sifat kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata juncto
Pasal 1337 KUH Perdata.
Perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang
dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 yang memiliki format sebagaimana dilarang
dalam Pasal 18 ayat 2 dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak,
pelaku usaha dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan
barang dan/atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat 3, Pasal 18 ayat 4 Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Undang tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para
pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
UUPK.
Walaupun ketentuan klausul baku sudah diatur dalam UUPK, akan
tetapi pada kenyataannya seringkali masih terjadi pelanggaran sehingga akan
merugikan kepentingan nasabah. Maka hal-hal yang harus diperhatikan oleh
pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisasi terjadinya
kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar
antara lain adalah sebagai berikut :
a. Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya
dan berlakunya klausul-klausul penting dalam perjanjian;
b. Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan
perjanjian kredit;
c. Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas;
d. Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi
perjanjian.
Diharapkan apabila adanya kerjasama yang baik antara pihak bank
dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar mengenai
kredit maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum
bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan
dikemudian hari.
Hal ini berarti bahwa pada prinsipnya UUPK tidak melarang pelaku
usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap
dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau
jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku atau klausula baku tersebut tidak
mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat 1, serta
tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003:
57).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
2. Pelaksanaan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya
Dengan lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella
act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya
peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan
perlindungan terhadap konsumen. Karena sebelum Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disahkan, ada beberapa
perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen,
dimana materinya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen antara
lain :
a. Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak secara khusus
menyebutkan kata konsumen dalam mengatur perbuatan yang merugikan
konsumen, tetapi secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang
terdapat dalam KUHP yang memberikan perlindungan hukum bagi
konsumen seperti Pasal 202-205 KUHP.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas merupakan salah satu badan usaha yang relatif
dominan di dalam kegiatan perekonomian Indonesia karena memiliki
sifat, ciri khas dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bentuk badan
usaha lainnya. Sehingga Perseroan Terbatas ini dominan dipergunakan
oleh para pelaku usaha untuk mengembangkan bisnisnya disebabkan
karena Perseroan Terbatas memiliki beberapa keuntungan yang membuat
para pelaku usaha lebih suka mendirikan Perseroan Terbatas.
Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dijadikan batasan untuk
pelaku usaha dalam mengembangkan bisnisnya agar tidak merugikan
konsumen. Karena dalam prakteknya apabila dalam mengembangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
bisnisnya pelaku usaha biasanya hanya mementingkan kepentingan
pribadinya, yang dapat merugikan kepentingan konsumen.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan,
mengatur mengenai perlindungan terhadap nasabah salah satunya dalam
Pasal 29 ayat 3 dan 4, khusunya ketentuan yang berpihak kuat untuk
menjadi benteng perlindungan nasabah. Dalam ayat 3 menyebutkan
bahwa bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Ayat 4
menyebutkan bank wajib memberikan keterangan kepada nasabahnya
mengenai transaksi yang mengandung resiko kerugian bagi nasabah yang
dilaksanakan melalui bank. Namun ketentuan dalam undang-undang ini
hanyalah berupa usaha penekanan kepada para pelaku di bidang
perbankan untuk selalu menaati prinsip kehati-hatian.
Khususnya dalam bidang perbankan perlindungan hukum bagi
nasabah selaku konsumen menjadi urgen, karena secara factual kedudukan
antara para pihak tidak seimbang. Terutama dalam hal perjanjian kredit,
dimana yang seharusnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan para
pihak, akan tetapi karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang
sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam
hal ini adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank. Oleh
karena itu, oleh hukum hal ini diragukan apakah benar-benar ada elemen kata
sepakat yang merupakan syarat sahnya perjanjian dalam perjanjian kredit
tersebut.
Bank Indonesia selaku bank sentral tidak membuat aturan mengenai
perjanjian baku dalam transaksi kredit yang dibuat oleh Bank Umum maupun
BPR. Oleh karena itu, dalam hal pembuatan perjanjian kredit oleh BPR pada
dasarnya memakai Pasal 1320 KUH Perdata dan SOP bank sebagai acuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dalam pembuatan serta pencantuman klausula dalam perjanjian kredit.
Menurut analisa penulis, tidak adanya Peraturan Bank Indonesia yang
spesifik mengatur mengenai perjanjian kredit dapat memberikan celah
terhadap BPR untuk membuat perjanjian atau mencantumkan klausula secara
sepihak berdasarkan apa yang diinginkan bank atau BPR tersebut. Namun
walaupun Bank Indonesia belum membuat Peraturan Bank Indonesia
mengenai perjanjian baku dalam transakasi kredit, akan tetapi Bank Indonesia
menetapkan bahwa Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Kehati-hatian
dalam pengelolaan bank dapat dijadikan sebagai acuan bank dalam
pelaksanaan perjanjian kredit tersebut (hasil wawancara dengan Bapak
Mulyadi, selaku Pengawas Bank/ Asisten Manager di KBI Solo pada tanggal
17 Juli 2012).
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam melaksanakan pencantuman
terhadap klausul-klausul dalam perjanjian kredit yang demikian ketatnya,
didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit. Seperti yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Perkreditan Rakyat :
Pasal 2 menyatakan bahwa : BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam membuat perjanjian kredit antara BPR dan peminjam yang mencantumkan penyediaan dana.
Sedangkan Pasal 3 menyatakan bahwa : a. BPR dilarang membuat perjanjian kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 apabila perjanjian kredit tersebut mewajibkan BPR untuk menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK.
b. BPR dilarang memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran BMPK.
Mengingat permasalahan tersebut, dimana bank dapat membuat
perjanjian secara sepihak berdasarkan apa yang diinginkan bank tersebut,
maka timbul suatu keberatan-keberatan terhadap perjanjian baku antara lain :
a. Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
b. Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian baku dan kalaupun tahu
tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya;
c. Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat;
d. Ada unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian.
Oleh karena itu, sesungguhnya dalam perjanjian baku terjadi
ketidaksamaan dan ketidakseimbangan perlindungan hukum terhadap para
pihak, sehingga perjanjian baku itu merupakan perjanjian yang menindas dan
tidak adil. Ini berarti kebebasan berkontrak dapat menciptakan klausul-
klausul yang mencerminkan ketidakadilan dan sangat memberatkan salah satu
pihak bila salah satu pihak tidak seimbang dalam membuat perjanjian (Djoni
S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010: 340).
Pemberian kebebasan kepada para pihak oleh KUH Perdata dalam
menentukan bentuk dan isi perjanjian yang mengikat di antara para pihak
tersebut melalui asas kebebasan berkontrak tidak boleh menciptakan suatu
ketidakadilan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen.
Dengan demikian pemberlakuan Pasal 18 UUPK yang membatasi
pencantuman klausula baku dengan melarang beberapa bentuk klausula baku
harus dijadikan pedoman oleh pelaku usaha dalam membuat perjanjian baku
yang akan mengikat para pihak.
Adanya pembatasan tersebut bertujuan melindungi konsumen dari
klausul-klausul yang tidak adil dan merugikan. Pembatasan atas asas
kebebasan berkontrak salah satunya diatur dengan undang-undang, hal ini
dikarenakan asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila kedudukan
para pihak seimbang, tetapi apabila tidak seimbang asas kebebasan
berkontrak dapat diterapkan apabila ada pengawasan dari negara yang
bentuknya dapat melalui undang-undang yang secara khusus bertugas
mengawasi keberadaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tidak
setara kedudukannya.
Dengan demikian, praktek perjanjian baku pada transaksi kredit juga
merupakan salah satu obyek kebebasan berkontrak yang masuk dan tunduk
pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Konsumen. Sehingga dengan adanya pengaturan klausula baku dalam produk
undang-undang, diharapkan permasalahan kesepakatan atas klausul-klausul
yang tidak wajar tersebut dapat diselesaikan dengan adanya aturan yang
melarang klausul-klausul tersebut. Hal ini juga berhubungan dengan konsep
unconscionability, bahwasannya klausul yang dilarang pencantumannya itu
merupakan klausul yang tidak wajar dan tidak adil. Oleh karena itu, berlaku
juga terhadap klausul-klausul baku termasuk klausul eksemsi dalam
perjanjian atau dokumen-dokumen lainnya. Klausula eksemsi merupakan
klausula yang memberatkan dan banyak muncul dalam perjanjian baku.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini yang dimaksud klausula eksemsi adalah :
“klausula yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.” Dengan adanya pembatasan ini pun pada akhirnya turut membantu
menciptakan peningkatan posisi tawar dari konsumen yang lebih lemah ketika
berhadapan dengan perjanjian baku. Hal ini dikarenakan bahwa pada
pelaksanaan transaksi kredit antara bank dan nasabah debitur merupakan
suatu persoalan yang dilematis, dan terdapat suatu paradigma bahwa bank
dianggap sebagai pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan
dengan debitur. Hal yang memperuncing paradigma ini dikarenakan
penggunaan perjanjian baku dalam praktik perbankan untuk pemberian
berbagai fasilitas kredit perbankan (Johannes Ibrahim, 2004: 115).
Memang dalam masyarakat terdapat kesan bahwa hubungan antara
bank dan nasabah debitur tidak seimbang, dimana bank selalu berada dalam
kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan nasabah debiturnya. Hal ini
dikarenakan nasabah debitur tidak diberikan kebebasan untuk mengemukakan
pendapat dan bernegosiasi dalam menentukan ketentuan dan persyaratan-
persyaratan perjanjian kredit bank seperti yang dipersyaratkan dalam
ketentuan Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank
dalam kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan nasabah debiturnya.
Hal tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu, calon nasabah debitur
sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Dalam hal yang demikian
itu pada umumnya calon nasabah debitur tidak akan banyak menuntut karena
mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank. Hal itu
menyebabkan posisi tawar bank menjadi sangat kuat, tetapi setelah kredit
diberikan berdasarkan perjanjian kredit, ternyata kedudukan bank lemah.
Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung kepada
integritas nasabah debitur. Dengan demikian dalam perjanjian kredit bank
timbul semacam kesan, bahwa hubungan antara bank dan nasabah debitur
bukan hubungan kemitraan yang saling memerlukan, namun terlihat para
pihak saling memaksakan kehendaknya.
Namum ada hal yang berbeda dari segi konstruksi sahnya perjanjian
antara konsep sahnya perjanjian menurut KUH Perdata dengan UUPK.
Menurut konsepsi KUH Perdata, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Selain itu harus ada kesepakatan
atau sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian, dengan demikian
perjanjian itu sah atau mempunyai kekuatan hukum kecuali pihak yang mana
tidak memberikan kesepakatannya atau pihak yang tidak cakap mengajukan
pembatalan. Sedangkan menurut UUPK, perjanjian yang mencantumkan
klausula baku mempunyai konsekuensi yuridis yaitu perjanjian tersebut void
ab initio atau dianggap tidak ada perjanjian atau batal demi hukum. Dalam
prespektif KUH Perdata adanya klausula baku merupakan indikasi tidak
adanya kesepakatan. Perjanjian yang mengandung cacat dalam kesepakatan
mengandung dua kemungkinan. Pertama, bahwa perjanjian tersebut tetap
berlaku bagi pihak-pihak yang menutup perjanjian tersebut. Kedua, perjanjian
tersebut batal karena adanya pembatalan dari pihak dengan siapa ia menutup
perjanjian.
Pemaparan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan
perjanjian baku dalam transakasi kredit di bank telah memberikan kesan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
bahwa perjanjian baku tersebut merugikan kepentingan konsumen. Hal
tersebut terlihat dari konsumen yang tidak hanya dihadapkan pada persoalan
ketidakmengertian dirinya ataupun kejelasan akan pemanfaatan, penggunaan
maupun pemakaian barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha,
karena kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan, melainkan juga
terhadap bargaining position yang kadang kala sangat tidak seimbang, yang
pada umumnya tercermin dalam perjanjian baku yang tidak informatif, serta
tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh konsumen.
Namun pada sisi lain penerapan perjanjian baku di bank menunjukkan
bahwa tidak semua bank yang melakukan perjanjian baku selalu bertentangan
dengan UUPK. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis di BPR Artha Daya. Berdasarkan wawancara yang dilaksanakan oleh
penulis dengan Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha
Daya pada tanggal 8 Juni 2012.
BPR Artha Daya dimana tempat penulis melakukan penelitian
termasuk dalam BPR yang bentuk badan hukumnya berupa Perseroan
Terbatas. Berdasarkan PBI Nomor 8/26/PBI/2006 Tentang Bank Perkreditan
Rakyat, disebutkan bahwa bentuk badan hukum BPR dapat berupa :
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah
BPR Artha Daya (d/h BPR Swadharma) sudah berdiri sejak tahun
1996, perkembangan kinerja BPR Artha Daya dalam 2 tahun terakhir
menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan dan terlihat bahwa
BPR Artha Daya telah dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan
melaksanakan fungsi intermediasinya sebagai lembaga keuangan mikro
dengan distribusi kredit kepada sekitar 2.000 debitur dan berhasil mencetak
laba tahunan yang signifikan. Berdasarkan modal yang disetor untuk
mendirikan BPR, yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat 1 PBI
Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat, yang menyatakan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit sebesar: a. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan
di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; b. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan
di ibukota Provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di ibukota Provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan huruf b;
d. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf b dan huruf c.
BPR Artha Daya termasuk dalam wilayah lain di luar wilayah
sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf b dan huruf c dimana jumlah modal
yang disetor adalah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pendirian
BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank
Indonesia selaku Bank Sentral. Berikut gambar proses perizinan BPR :
Gambar 5 : Proses Perizinan BPR
Sumber : Bank Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Pelaksanaan perjanjian baku di BPR Artha Daya dilaksanakan sesuai
dengan dasar hukum yang telah ditetapkan antara lain Pasal 1320 KUH
Perdata yang mencakup mengenai syarat syahnya perjanjian, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya dalam Pasal 18
yang mengatur mengenai pembatasan pencantuman klausula perjanjian baku.
Di BPR Artha Daya dalam melaksanaan perjanjian kredit dilakukan dengan
cara melakukan persetujuan kredit yang disepakati oleh kedua belah pihak
dengan menandatangani pra perjanjian berupa Surat Keputusan Kredit (SKK)
yang telah disediakan sebelumnya dengan syarat dan ketentuan yang telah
ditetapkan (hasil wawancara dengan Bapak Trisetya Wahyu Nugroho selaku
Direktur PT. BPR Artha Daya pada tanggal 8 Juni 2012).
Tidak mustahil pada saat bank dalam memberikan kredit terjadi kredit
bermasalah, dimana keadaan kredit tidak saja kurang lancar atau diragukan,
melainkan kredit tersebut menjadi macet. Apabila kredit yang disalurkan
mengalami kemacetan, maka langkah yang dilakukan oleh bank adalah
berupaya untuk menyelamatkan kredit tersebut dengan berbagai cara
tergantung dengan kondisi nasabah atau penyebab kredit tersebut macet.
Bank yang debiturnya banyak mengalami kredit macet akan berimbas pada
hilangannya kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian, untuk keperluan
tersebut maka pihak bank akan melakukan segala upaya preventif untuk
mencegah agar kredit tidak bermasalah. Di BPR Artha Daya ketika terjadi
kredit bermasalah tindakan yang dilakukan sebagai suatu upaya untuk
meminimalkan potensi kerugian yaitu dengan cara sebagai berikut (hasil
wawancara dengan Bapak Trisetya Wahyu Nugroho selaku Direktur PT. BPR
Artha Daya pada tanggal 8 Juni 2012) :
a. Penyelamatan Kredit
Penyelamatan kredit ini merupakan suatu langkah awal yang dilakukan
oleh BPR Artha Daya dalam menangani kredit bermasalah, dengan cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
mengunjungi nasabah debitur dengan memberikan pembinaan terhadap
kelangsungan usahanya.
b. Restucturing, Reschedulling dan Reconditioning
Upaya selanjutnya yang dilakukan BPR Artha Daya apabila dalam tahap
penyelamatan kredit tidak berhasil yaitu dengan melakukan suatu upaya
kombinasi antara restucturing, reschedulling dan reconditioning.
1) Restucturing (Restrukturisasi)
a) Dengan menambah jumlah kredit;
b) Dengan menambah equity.
2) Reschedulling (Penjadwalan kembali)
a) Memperpanjang jangka waktu kredit;
b) Memperpanjang jangka waktu angsuran.
3) Reconditioning (Penyesuaian kembali)
a) Kapitalisasi bunga;
b) Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu;
c) Penurunan suku bunga;
d) Pembebasan bunga.
b. Pengakhiran Kredit
Apabila kedua tahap diatas tidak berhasil dalam menangani kredit
bermasalah, maka upaya terakhir yang dilakukan oleh BPR Arha Daya
yaitu dengan cara pengakhiran kredit yang dilakukan melalui proses
litigasi maupun non litigasi.
Upaya penyelamatan terhadap kredit bermasalah di BPR telah diatur
juga dalam Pasal 9 PBI Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan Atas PBI
Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif Dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, yaitu
sebagai berikut :
Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan BPR dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan melalui: a. Penjadwalan kembali, yaitu perubahan jadwal pembayaran
kewajiban debitur atau jangka waktu;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
b. Persyaratan kembali, yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum plafon kredit;
c. Penataan kembali, yaitu perubahan persyaratan kredit yang menyangkut penambahan fasilitas kredit dan konversi seluruh atau sebagian tunggakan angsuran bunga menjadi pokok kredit baru yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.
Kriteria nasabah debitur yang dapat direstrukturisasi, yaitu :
a. Debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga
kredit; dan
b. Debitur yang memiliki prospek usaha yang baik dan diperkirakan mampu
memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.
Bank Indonesia selaku pengawas berwenang melakukan koreksi
terhadap penetapan kualitas restrukturisasi kredit, pembentukan PPAP
(Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) dan pendapatan bunga yang telah
diakui secara aktual, apabila :
a. Restrukturisasi Kredit menurut penilaian Bank Indonesia ternyata
dilakukan dengan tujuan menghindari penurunan kualitas kredit,
pembentukan PPAP dan pengakuan pendapatan bunga secara akrual;
b. Debitur tidak melaksanakan perjanjian atau akad Restrukturisasi Kredit;
dan
c. Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan hanya
untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan prospek usaha
Debitur.
Dalam hal penentuan suku bunga kredit, BPR telah diberikan
keleluasaan untuk menentukan suku bunga kredit yang akan digunakan tetapi
tetap berpedoman pada suku bunga acuan bank. Terdapat dua metode dalam
sistem perhitungan suku bunga yaitu efektif dan flat, namun dalam
prakteknya terdapat modifikasi dari metode efektif yang disebut dengan
metode anuitas. Metode efektif yaitu perhitungan bunga dilakukan setiap
akhir periode pembayaran angsuran. Pada perhitungan ini, bunga kredit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
dihitung dari saldo akhir setiap bulannya sehingga bunga yang dibayar
debitur setiap bulannya semakin menurun. Dengan demikian, jumlah
angsuran yang dibayar debitur setiap bulannya akan semakin mengecil.
Metode flat yaitu perhitungan bunga didasarkan pada plafond kredit dan
besarnya bunga yang dibebankan dialokasikan secara proporsional sesuai
dengan jangka waktu kredit. Dengan cara ini, jumlah pembayaran pokok dan
bunga kredit setiap bulan sama besarnya. Sedangkan metode anuitas yaitu
jumlah angsuran bulanan yang dibayar debitur tidak berubah selama jangka
waktu kredit. Namun demikian komposisi besarnya angsuran pokok maupun
angsuran bunga setiap bulannya akan berubah dimana angsuran bunga akan
semakin mengecil sedangkan angsuran pokok akan semakin membesar.
Sedangkan sifat dari perhitungan suku bunga, terdiri dari suku bunga
tetap (Fixed) dan suku bunga mengambang (Floating Rate). Suku bunga tetap
(Fixed) merupakan suku bunga yang bersifat tetap, besarnya bunga yang
harus dibayar debitur selama jangka waktu yang diperjanjikan tidak akan
berubah. Sedangkan suku bunga mengambang (Floating Rate) merupakan
suku bunga yang bersifat mengambang, besarnya bunga yang harus dibayar
debitur dapat berubah sesuai dengan tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh
bank.
Di BPR Artha Daya dalam menentukan suku bunga kredit
menggunakan sistem flat dengan sifat perhitungan suku bunga tetap (Fixed),
dengan prosentase tingkat suku bunga 2% per bulan. Menurut Trisetya
penggunaan sistem flat ini didasari agar dapat lebih memahami nasabah
mikro, dimana dengan suku bunga tetap terdapat kepastian besarnya suku
bunga yang harus dibayar setiap periodenya oleh nasabah debitur sehingga
bisa sesuai dengan cash flow nasabah debitur. Hal ini telah sesuai dengan
peran BPR dalam mendukung pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) (hasil wawancara dengan Bapak Trisetya Wahyu
Nugroho selaku Direktur PT. BPR Artha Daya pada tanggal 8 Juni 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Dalam pelaksanaan transaksi kredit di BPR Artha Daya dilakukan
dengan perjanjian tertulis (baku) yang dibuat oleh BPR Artha Daya.
Perjanjian kredit di BPR Artha Daya mengatur mengenai :
a. Pasal 1 mengatur fasilitas kredit yang terdiri dari (i) jenis, jumlah, jangka
waktu dan bunga, (ii) penarikan fasilitas kedit, (iii) pembayaran kembali;
b. Pasal 2 mengatur mengenai kuasa-kuasa;
c. Pasal 3 mengatur pernyataan dan jaminan;
d. Pasal 4 mengatur mengenai kompensasi;
e. Pasal 5 mengatur perlindungan terhadap penghasilan bank;
f. Pasal 6 mengatur pengalihan hak;
g. Pasal 7 mengatur peristiwa kelalaian;
h. Pasal 8 mengatur mengenai jaminan; dan
i. Pasal 9 mengenai ketentuan penutup.
Berdasarkan analisa penulis meskipun BPR Artha Daya telah
melakukan penyesuaian perjanjian kredit terhadap ketentuan Pasal 18 UUPK,
hanya saja ketentuan tersebut tidak sepenuhnya diterapkan hal ini terlihat
bahwa isi perjanjian yang dibuat antara BPR Artha Daya dan nasabah masih
terdapat beberapa klausula baku yang masih berlaku yang secara prinsip
bertentangan dengan Pasal 18 UUPK, dimana isi perjanjian tersebut
menitikberatkan kepada kewajiban atau beban yang harus dipikul oleh
nasabah. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 5, yang menyebutkan bahwa :
a. Semua biaya yang dapat ditagih dan harus dibayar dan yang timbul berdasarkan perjanjian ini dan segala akibat dari pada perjanjian ini, termasuk tapi tidak terbatas kepada, biaya-biaya yang bertalian dengan penyimpanan dan pemilikan jaminan, upah serta beban-beban dan setiap pembayaran yang harus dibayar bank kepada pengacara dan/atau penasehat hukum dan/atau pihak lain yang diberi tugas oleh bank untuk menagih kredit tersebut, biaya-biaya dan jasa notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, segala ongkos-ongkos yang bersangkutan dengan realisasi jaminan itu, termasuk komisi dan pembayaran-pembayaran lainnya kepada pihak ketiga, demikian pula pajak (seperti, namun tidak terbatas pada bea materai) daripada perjanjian ini (termasuk segala perubahan dan/atau penambahannya) menjadi tanggungan debitur.
b. Juga apabila terjadi perubahan pada Undang-Undang, peraturan perundang-undangan, petunjuk pelaksanaannya atau penafsirannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
atau hal-hal lain yang mengakibatkan bertambah biaya (seperti, namun tidak terbatas pada pengenaan pajak, bea, pungutan atau biaya lain) pada bank sehubungan dengan pemberian fasilitas kredit dalam perjanjian ini merupakan tanggungan debitur.
c. Maka sejak tanggal permintaan bank, debitur wajib dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari membayar tambahan biaya-biaya tersebut kepada bank.
Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat 1 huruf g UUPK,
yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya. Dari ketentuan tersebut telah dijelaskan bahwa bank dilarang
mencantumkan klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf
g tersebut, namun dalam Pasal 5 pada perjanjian kredit BPR Artha Daya,
menurut analisa penulis bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1 huruf g tersebut.
Bahwa Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa :
a. Segala ongkos-ongkos yang bersangkutan dengan realisasi jaminan
tersebut, termasuk komisi dan pembayaran-pembayaran lainnya kepada
pihak ketiga, demikian pula pajak daripada perjanjian ini (termasuk
segala perubahan dan/atau penambahannya) menjadi tanggungan debitur.
b. Apabila terjadi perubahan pada Undang-Undang, peraturan perundang-
undangan, petunjuk pelaksanaannya atau penafsirannya atau hal-hal lain
yang mengakibatkan bertambah biaya (seperti, namun tidak terbatas pada
pengenaan pajak, bea, pungutan atau biaya lain) pada bank sehubungan
dengan pemberian fasilitas kredit dalam perjanjian ini merupakan
tanggungan debitur.
Pasal 18 ayat 1 huruf g tersebut dimaksudkan untuk melindungi
konsumen dari pecantuman klausula baku oleh pihak pembuat perjanjian
yang dapat merugikan kepentingan konsumen, dimana dalam hal ini dapat
terjadi pembebanan resiko secara sepihak kepada konsumen diluar kredit
nasabah debitur. Berdasarkan analisa penulis, selain dalam Pasal 5 perjanjian
kredit BPR Artha Daya, sebagian besar ketentuan dalam perjanjian kredit
BPR Artha Daya telah melakukan penyesuaian terhadap Pasal 18 UUPK.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Meskipun dalam hal ini tidak sepenuhnya diterapkan karena BPR juga
memikirkan terhadap dampak kondisi kesehatan BPR itu sendiri.
Oleh sebab itu, demi menjaga perkembangan usahanya di dalam
persaingan yang semakin ketat serta menanggapi akan kebutuhan masyarakat,
maka pihak BPR berusaha mengelola dana agar beroperasi dengan baik.
Perwujudan dari kesungguhan BPR dalam mengelola dana masyarakat adalah
dengan menjaga kesehatan kinerjanya, karena kesehatan bank sangat penting
bagi suatu lembaga keuangan (Aris Sunindyo dan Taufig Abdul Qohhar.
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan Menggunakan Rasio Likuiditas,
Rentabilitas dan Solvabilitas. http://www.scribd.com/doc/86304319/
Penilaian-Tingkat-KesehatanBank).
Pada dasarnya tingkat kesehatan BPR dinilai dengan pendekatan
kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kodisi dan
perkembangan suatu bank yang meliputi aspek permodalan (Capital), kualitas
aktiva produktif (Asset Quality), manajemen (Management), rentabilitas
(Earning) dan likuiditas (Liquidity) yang disingkat CAMEL. Pengawas
menggunakan informasi yang diperoleh untuk menilai lima komponen kinerja
bank termasuk sistem penilaian CAMEL (modal, kualitas aset, manajemen,
rentabilitas, dan likuiditas) yang diberikan penilaian dari skala 1 hingga 5
sebagai berikut:. Skala 1, berarti kinerja yang kuat; 2, kinerja yang
memuaskan; 3, kinerja yang cacat sampai tingkat tertentu; 4, marjinal kinerja
yang jauh di bawah rata-rata; dan 5, kinerja tidak memuaskan dan segera
membutuhkan tindakan perbaikan.
Regulators use the information obtained through on-site exams to rate the five components of bank performance included in the CAMEL rating system capital adequacy, asset quality, management, earnings, and liquidity on a scale of 1 to 5 as follows: 1, strong performance; 2, satisfactory performance; 3, performance that is flawed to some degree; 4, marginal performance that is significantly below average; and 5, unsatisfactory performance that is critically deficient and in need of immediate remedial action. (Rebel A. Cole dan Jeffery W. Gunther, 1998: 107).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Hasil penilaian yang ditetapkan ada empat predikat yaitu sehat, cukup
sehat, kurang sehat dan tidak sehat. Bank yang sehat adalah bank yang dapat
menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, menjalankan fungsi
intermediasi, dapat membentuk kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat
mendukung efektifitas kebijakan moneter. Menyadari arti pentingnya
kesehatan suatu bank bagi pembentukan kepercayaan dalam dunia perbankan
serta untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan, maka
Bank Indonesia selaku Bank Sentral mempunyai peranan yang penting dalam
penyehatan perbankan, karena Bank Indonesia bertugas mengatur dan
mengawasi jalannya kegiatan operasional bank. Untuk itu Bank Indonesia
menetapkan suatu ketentuan atau aturan yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan oleh lembaga perbankan.
Hal ini sejalan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia, antara lain :
a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan
c. Mengatur dan mengawasi bank.
Tugas dan wewenang Bank Indonesia dalam hal mengatur dan
mengawasi bank merupakan hal yang mutlak dilaksanakan dalam
pelaksanaan penyaluran dana ke masyarakat dalam bentuk kredit. Bank
Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional berkepentingan untuk dapat
menciptakan sistem perbankan yang sehat yang nantinya dapat mendorong
efektivitas kebijakan moneter. Mengingat hal tersebut, maka sejalan dengan
salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) yang mengatur mengenai pengawasan perbankan telah diatur mengenai
program peningkatan fungsi pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan
independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia. Hal ini dicapai dengan peningkatkan kompetensi pemeriksa
bank, peningkatan koordinasi antar lembaga pengawas, pengembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
pengawasan berbasis risiko, peningkatkan efektivitas enforcement, dan
konsolidasi organisasi sektor perbankan di Bank Indonesia. Dalam tahapan
program peningkatan fungsi pengawasan ini, telah diatur secara spesifik
mengenai BPR dalam hal reorganisasi sektor perbankan di Bank Indonesia
dan penyempurnaan infrastruktur pendukung pengawasan bank. Berikut tabel
tahapan program peningkatan fungsi pengawasan, yang didapatkan dari
website Bank Indonesia (http://www.bi.go.id/web/id/ Perbankan/ Arsitektur+
Perbankan+Indonesia/Pengawasan+Perbankan/.)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
No Kegiatan (Pilar III) Periode Pelaksanaan
1 Meningkatkan koordinasi dengan lembaga pengawas lain
a.
Membuat MoU dengan lembaga pengawas lembaga keuangan lain dalam rangka peningkatan efektifitas pelaksanaan pengawasan bank dan pemantauan SSK.
2004-2006
2 Melakukan reorganisasi sector perbankan di Bank Indonesia
a. Menyempurnakan High Level Organization Structure (HLOS) Sektor Perbankan Bank Indonesia 2004-2006
b. Mengkonsolidasikan satker pengawasan dan pemeriksaan termasuk pembentukan Pooling Spesialist
2004-2006
c. Mengkonsolidasikan Direktorat Pengawasan BPR dan Biro Kredit di Bank Indonesia termasuk mengalihkan fungsi: · Penelitian dan pengembangan UMKM dari Biro Kredit ke
Unit Khusus Pengelolaan Aset · Pemeriksaan kredit dari Biro Kredit ke Direktorat
Pengawasan Bank Umum
2006-2007
d. Menyempurnakan organisasi Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat (DPBPR) untuk mengakomodasi pengalihan fungsi penjaminan BPR ke Lembaga Penjamin Simpanan serta pemindahan fungsi perizinan BPR baru dan fungsi penelitian dan pengaturan ke satuan kerja lain di Bank Indonesia.
2005-2006
e. Menyempurnakan organisasi Direktorat Perbankan Syariah. 2005-2006
3 Menyempurnakan Infrastruktur Pendukung Pengawasan Bank a. Meningkatkan kompetensi pengawas bank umum dan BPR
baik konvensional maupun syariah antara lain melalui program sertifikasi dan attachment di lembaga pengawas internasional
2004-2005
b. Penyiapan SDM Pengawas Spesialis 2006-2007
c. Menyempurnakan IT pengawasan bank 2005-2006
d. Menyempurnakan sistem pelaporan BPR 2005-2007
e. Menyempurnakan manajemen dokumen pengawasan bank 2005-2006
4 Menyempurnakan implementasi sistem pengawasan berbasis risiko dan Menyempurnakan pedoman dan alat bantu pengawasan dalam mendukung implementasi pengawasan berbasis risiko bank umum konvensional dan syariah
2004-2005
5 Meningkatkan efektivitas enforcement a.
Menyempurnakan proses investigasi kejahatan Perbankan
2004-2005
b.
Meningkatkan transparansi pengawasan dalam mendukung efektifitas enforcement
2006
c. Meningkatkan perlindungan hukum bagi pengawas Bank 2006
Tabel 2 : Tahapan Program Peningkatan Fungsi Pengawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Sehubungan dengan tugas pengawasan bank ini, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang menyebutkan
bahwa Bank Indonesia diberi wewenang untuk mengatur dan mengawasi
bank yang meliputi :
a. Menetapkan peraturan di bidang perbankan;
b. Memberikan dan mancabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
tertentu dari bank;
c. Melakukan pengawasan bank secara langsung maupun tidak langsung; dan
d. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap BPR sama
halnya dengan pengawasan terhadap bank umum. Pembinaan dan
pengawasan bank pada umumnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
pada Bab IV Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal
35, Pasal 36, dan Pasal 37. Pengawasan Bank Indonesia terhadap BPR sendiri
meliputi :
a. Pemberian bantuan dan layanan perbankan kepada lapisan masyarakat
yang rendah yang tidak terjangkau bantuan dan layanan bank umum,
yaitu dengan memberikan pinjaman kepada pedagang/pengusaha kecil di
desa dan di pasar agar tidak terjerat rentenir dan menghimpun dana
mayarakat;
b. Membantu pemerintah dalam ikut mendidik masyarakat guna memahami
pola nasional dengan adanya akselerasi pembangunan; dan
c. Penciptaan pemerataan kesempatan berusaha bagi masyarakat.
Pengawasan terhadap BPR di Surakarta sendiri oleh Kantor Bank
Indonesia Solo dilakukan dalam dua tahap yaitu dengan cara pengawasan
pasif dan pengawasan aktif. Pengawasan pasif dilakukan dengan cara
menerima laporan-laporan dari BPR di Surakarta, dimana laporan-laporan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
tersebut terdiri dari laporan nasabah, laporan bulanan, laporan semesteran,
laporan tahunan, laporan BMPK dan laporan publikasi. Apabila hingga batas
waktu yang ditentukan BPR tidak memberikan laporan-laporan tersebut ke
Kantor Bank Indonesia Solo maka akan dikenai pemberian sanksi, berupa
sanksi denda yang telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:
7/51/PBI/2005 tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat.
Sedangkan pengawasan aktif dilakukan dengan cara Kantor Bank Indonesia
Solo melakukan pemeriksaan langsung terhadap BPR yang dilakukan satu
tahun sekali, dalam tahap pemeriksaan ini Kantor Bank Indonesia Solo pun
memberikan pembinaan terhadap BPR apabila melakukan penyimpangan
aturan terhadap regulasi perbankan. Pembinaan ini dilakukan baik secara
langsung dengan cara teguran, atau dengan cara mengirimkan surat kepada
bank yang terkait (hasil wawancara dengan Bapak Mulyadi, selaku Pengawas
Bank di KBI Solo pada tanggal 17 Juli 2012).
Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, Bank Indonesia
menetapkan regulasi perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian yang
disesuaikan dengan standar yang berlaku secara internasional. Regulasi
perbankan tersebut bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi
penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan baik bank umum/konvensional
maupun BPR, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Mengingat
pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat, maka regulasi
dibidang perbankan yang ditetapkan Bank Indonesia harus didukung dengan
sanksi-sanksi yang adil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian serta analisis-analisis yang telah penulis uraikan pada
pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ketentuan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Ditinjau Dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
a. Pemberian kredit bank wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara
tertulis. Hal tersebut bertujuan agar lebih bersifat aman bagi para pihak
serta sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan dalam pemberian kredit yang
dilakukan oleh bank. Dalam prakteknya perjanjian kredit tumbuh sebagai
perjanjian baku. Dikarenakan perjanjian kredit dibuat secara tertulis dan
sepihak, yaitu perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, dimana
pihak lain tersebut tidak dapat mengubah atau melakukan tawar-menawar
untuk mengubahnya. Dalam pembuatan perjanjian kredit menggunakan
acuan Pasal 1320 KUH Perdata dan Peraturan Bank Indonesia tentang
Prinsip Kehati-hatian dalam pengelolaan bank.
b. Dalam UUPK pencantuman klausul-klausul baku dalam perjanjian kredit
bank pada prinsipnya tidak dilarang, akan tetapi dalam pembuat
perjanjian kredit tersebut bank harus menyesuaikan dengan aturan
mengenai perjanjian baku yang secara spesifik diatur dalam Pasal 18
UUPK.
2. Pelaksaaan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Kredit Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Di Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Daya
a. BPR Artha Daya dalam melaksanakan pemberian kredit menggunakan
perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak, yang sebelumnya kedua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
belah pihak harus menandatangani pra perjanjian berupa Surat Keputusan
Kredit (SKK). Setelah SKK ditandatangani oleh kedua belah pihak maka
selanjutnya dibuatlah perjanjian kredit yang kemudian ditandatangani
oleh kedua belah pihak.
b. Klausula baku dalam perjanjian kredit di BPR Artha Daya jika dikaitkan
dengan UUPK, sebagian besar telah sesuai dengan Pasal 18 UUPK, akan
tetapi Pasal 5 dalam perjanjian kredit di BPR Artha Daya bertentangan
dengan Pasal 18 ayat 1 huruf g yang menyebutkan jika terdapat
penambahan dana diluar kredit nasabah maka akan menjadi tanggungan
nasabah peminjam kredit. Padahal dalam Pasal 18 ayat 1 huruf g
menyatakan mengenai larangan tunduknya konsumen terhadap ketentuan
baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan penulis diatas, penulis memberikan beberapa
saran yang perlu diperhatikan terkait rumusan masalah penulis, antara lain :
1. Meskipun UUPK telah mengatur tentang pembatasan pencantuman klausula
baku yang bersifat merugikan konsumen dalam perjanjian yang dibuat secara
baku, akan tetapi tetap perlu dilakukan suatu pengawasan yang berkelanjutan
terhadap keberadaan klausula baku karena ketentuan dalam UUPK tersebut
sangat terbatas, sedangkan kebutuhan dan perkembangan klausula baku
dalam masyarakat menunjukkan peningkatan karena keberadaan klausula
baku tersebut secara riil memang diperlukan untuk tujuan keefektifan waktu
dan biaya.
2. Pada prinsipnya pencantuman klausula baku dalam perjanjian kredit tidak
dilarang, namun BPR selaku pembuat perjanjian kredit harus tetap
mementingkan perlindungan nasabah sebagai konsumen. Oleh karena itu,
perjanjian kredit yang telah disediakan oleh BPR, khusunya BPR Artha Daya
agar meninjau kembali sehingga kepentingan konsumen didalamnya tetap
dapat terlindungi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
3. Berkaitan dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi
oleh calon nasabah debitur, hendaknya calon nasabah debitur sebelum
menandatangani perjanjian kredit lebih mencermati dan mempelajari isi dari
perjanjian kredit tersebut. Karena nasabah memiliki hak untuk memilih bank
atau BPR yang menyediakan pelayanan jasa pemberian kredit yang tentunya
tetap melindungi kepentingan konsumen atau nasabah itu sendiri dan
pengadaan perjanjian kreditnya pun menguntungkan kedua belah pihak baik
nasabah maupun BPR.
4. Dalam rangka menegakkan hak-hak normatifnya, nasabah harus proaktif
untuk membela hak-haknya apabila dilanggar oleh Bank. Untuk itu segala
upaya harus dilakukan dengan memanfaatkan sarana hukum yang ada baik
perdata, maupun publik (Administratif/pidana).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user