Post on 08-Dec-2015
IDENTIFIKASI RESIKO KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY) DI RUMAH SAKIT
1. PENDAHULUAN
Saat ini isu penting dan global dalam Pelayanan Kesehatan adalah Keselamatan Pasien
(Patient Safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000-an, sejak
laporan dan Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: to err is human,
building a safer health system. Keselamatan pasien adalah suatu disiplin baru dalam
pelayanan kesehatan yang mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical
error yang sering menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan
kesehatan.
Frekuensi dan besarnya KTD tak diketahui secara pasti sampai era 1990-an, ketika
berbagai Negara melaporkan dalam jumlah yang mengejutkan pasien cedera dan
meninggal dunia akibat medical error. Menyadari akan dampak error pelayanan
kesehatan terhadap 1 dari 10 pasien di seluruh dunia maka World Health Organization
(WHO) menyatakan bahwa perhatian terhadap Keselamatan Pasien sebagai suatu
endemis.
Organisasi kesehatan dunia WHO juga telah menegaskan pentingnya keselamatan dalam
pelayanan kepada pasien: “Safety is a fundamental principle of patient care and a critical
component of quality management.” (World Alliance for Patient Safety, Forward
Programme WHO, 2004), sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai
negara menunjukan angka 3 – 16% yang tidak kecil.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29 tentang
Praktik Kedokteran, muncullah berbagai tuntutan hukum kepada Dokter dan Rumah
Sakit. Hal ini hanya dapat ditangkal apabila Rumah Sakit menerapkan Sistem
Keselamatan Pasien. Sehingga Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005.
Selanjutnya Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit ini kemudian dicanangkan oleh
Menteri Kesehatan RI pada Seminar Nasional PERSI pada tanggal 21 Agustus 2005, di
Jakarta Convention Center Jakarta.
KKP-RS telah menyusun Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien bagi staf RS
untuk mengimplementasikan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Di samping itu pula
KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) Depkes telah menyusun Standar Keselamatan
Pasien Rumah Sakit yang akan menjadi salah satu Standar Akreditasi Rumah Sakit.
Pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan Permenkes 1691 tahun 2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagai pedoman bagi penerapan
Keselamatan Pasien di rumah sakit. Dalam permenkes 1691 tahun 2011 dinyatakan
bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib
melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
(1) Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS)
yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan
pasien.
(2) TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada kepala
rumah sakit.
(3) Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari manajemen
rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
(4) TKPRS melaksanakan tugas:
1. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan
kekhususan rumah sakit tersebut;
2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien
rumah sakit;
3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan
(monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan (implementasi) program
keselamatan pasien rumah sakit;
4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk
melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit;
5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta
mengembangkan solusi untuk pembelajaran;
6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam
rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien rumah sakit; dan
7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.
Dalam pelaksanaannya, Keselamatan Pasien akan banyak menggunakan prinsip dan
metode manajemen risiko mulai dan identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko.
Diharapkan, pelaporan & analisis insiden keselamatan pasien akan meningkatkan
kemampuan belajar dan insiden yang terjadi untuk mencegah terulangnya kejadian yang
sama di kemudian hari.
2. Keselamatan pasien dan manajemen risiko klinis
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Kemenkes RI, 2011).
Risiko adalah “peristiwa atau keadaan yang mungkin terjadi yang dapat berpengaruh
negatif terhadap perusahaan. perusahaan.” (ERM) Pengaruhnya dapat berdampak
terhadap kondisi :
Sumber Daya (human and capital)
Produk dan jasa , atau
Pelanggan,
Dapat juga berdampak eksternal terhadap masyarakat,pasar atau lingkungan.
Risiko adalah “fungsi dari probabilitas (chance, likelihood) dari suatu kejadian yang tidak
diinginkan, dan tingkat keparahan atau besarnya dampak dari kejadian tersebut.
Risk = Probability (of the event) X Consequence
Risiko di Rumah Sakit:
Risiko klinis adalah semua isu yang dapat berdampak terhadap pencapaian
pelayanan pasien yang bermutu tinggi, aman dan efektif.
Risiko non klinis/corporate risk adalah semua issu yang dapat berdampak
terhadap tercapainya tugas pokok dan kewajiban hukum dari rumah sakit sebagai
korporasi.
Kategori risiko di rumah sakit ( Categories of Risk ) :
Patient care care-related risks
Medical staff staff-related risks
Employee Employee-related risks
Property Property-related risks
Financial risks
Other risks
Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan
menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan
dampaknya. Manajemen risiko rumah sakit adalah kegiatan berupa identifikasi dan
evaluasi untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah
sakit, pengunjung dan organisasinya sendiri (The Joint Commission on Accreditation of
Healthcare Organizations/JCAHO).
Manajemen Risiko Terintegrasi adalah proses identifikasi, penilaian, analisis dan
pengelolaan semua risiko yang potensial dan kejadian keselamatan pasien. Manajemen
risiko terintegrasi diterapkan terhadap semua jenispelayanan dirumah sakit pada setiap
level
Jika risiko sudah dinilai dengan tepat, maka proses ini akan membantu rumah sakit,
pemilik dan para praktisi untuk menentukan prioritas dan perbaikan dalam pengambilan
keputusan untuk mencapai keseimbangan optimal antara risiko, keuntungan dan biaya.
Dalam praktek, manajemen risiko terintegrasi berarti:
Menjamin bahwa rumah sakit menerapkan system yang sama untuk mengelola
semua fungsi-fungsi manajemen risikonya, seperti patient safety, kesehatan dan
keselamatan kerja, keluhan, tuntutan (litigasi) klinik, litigasi karyawan, serta risiko
keuangan dan lingkungan.
Jika dipertimbangkan untuk melakukan perbaikan, modernisasi dan clinical
governance, manajemen risiko menjadi komponen kunci untuk setiap desain proyek
tersebut.
Menyatukan semua sumber informasi yang berkaitan dengan risiko dan
keselamatan, contoh: “data reaktif” seperti insiden patient safety, tuntutan litigasi
klinis, keluhan, dan insiden kesehatan dan keselamatan kerja, “data proaktif” seperti
hasil dari penilaian risiko; menggunakan pendekatan yang konsisten untuk pelatihan,
manajemen, analysis dan investigasi dari semua risiko yang potensial dan kejadian
aktual.
Menggunakan pendekatan yang konsisten dan menyatukan semua penilaian
risiko dari semua jenis risiko di rumah sakit pada setiap level.
Memadukan semua risiko ke dalam program penilaian risiko dan risk register
Menggunakan informasi yang diperoleh melalui penilaian risiko dan insiden untuk
menyusun kegiatan mendatang dan perencanaan strategis.
Proses manajemen risiko
Diagram: Proses Manajemen Risiko diadaptasi dari (AS/NZS 4360:1999–Risk
Management)
RISK MANAGEMENT AS A WAY OF WORKINGSETTING
Identifikasi risiko adalah usaha mengidentifikasi situasi yang dapat menyebabkan
cedera, tuntutan atau kerugian secara finansial. Identifikasi akan membantu langkah-
langkah yang akan diambil manajemen terhadap risiko tersebut.
Instrument:
1. Laporan KejadianKejadian(KTD+KNC+Kejadian Sentinel+dan lain-lain)
2. Review Rekam Medik (Penyaringan Kejadian untuk memeriksa dan mencari
penyimpangan-penyimpangan pada praktik dan prosedur)
3. Pengaduan (Complaint) pelanggan
4. Survey/Self Assesment, dan lain-lain
Pendekatan terhadap identifikasi risiko meliputi:
Brainstorming
Mapping out proses dan prosedur perawatan atau jalan keliling dan menanyakan
kepada petugas tentang identifikasi risiko pada setiap lokasi.
Membuat checklist risiko dan menanyakan kembali sebagai umpan balik
Penilaian risiko (Risk Assesment) merupakan proses untuk membantu organisasi menilai
tentang luasnya risiko yg dihadapi, kemampuan mengontrol frekuensi dan dampak risiko
risiko. RS harus punya Standard yang berisi Program Risk Assessment tahunan, yakni
Risk Register:
1. Risiko yg teridentifikasi dalam 1 tahun
2. Informasi Insiden keselamatan Pasien, klaim litigasi dan komplain, investigasi
eksternal & internal, external assessments dan Akreditasi
3. Informasi potensial risiko maupun risiko actual (menggunakan RCA&FMEA)
Penilaian risiko Harus dilakukan oleh seluruh staf dan semua pihak yang terlibat
termasuk Pasien dan publik dapat terlibat bila memungkinkan. Area yang dinilai:
Operasional
Finansial
Sumber daya manusia
Strategik
Hukum/Regulasi
Teknologi
Manfaat manajemen risiko terintegrasi untuk rumah sakit
1. Informasi yang lebih baik sekitar risiko sehingga tingkat dan sifat risiko terhadap
pasien dapat dinilai dengan tepat.
2. Pembelajaran dari area risiko yang satu, dapat disebarkan di area risiko yang lain.
3. Pendekatan yang konsisten untuk identifikasi, analisis dan investigasi untuk
semua risiko, yaitu menggunakan RCA.
4. Membantu RS dalam memenuhi standar-standar terkait, serta kebutuhan clinical
governance.
5. Membantu perencanaan RS menghadapi ketidakpastian, penanganan dampak
dari kejadian yang tidak diharapkan, dan meningkatkan keyakinan pasien dan
masyarakat.
Risk Assessment Tools
Risk Matrix Grading
Root Cause Analysis
Failure Mode and Effect Analysis
3. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Standar I. Hak pasien
Standar:
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana
dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Kriteria:
1.1. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
1.2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
1.3. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara
jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan,
pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Standar II. Mendidik pasien dan keluarga
Standar:
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien
yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada
sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan
pasien dan keluarga dapat:
1. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
Standar III. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan
Standar:
Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan
menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
3.1. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien
masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan
dan saat pasien keluar dari rumah sakit
3.2. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap
pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
3.3. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi
untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,
konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
3.4. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga
dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar IV. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Standar:
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien.
Kriteria:
4.1. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik,
mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien
Rumah Sakit”.
4.2. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain
terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu
pelayanan, keuangan.
4.3. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua
insiden, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.
4.4. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan
pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar:
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit “.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko
keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit
dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji,
dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan
kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria:
5.1. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
5.2. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden.
5.3. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah
sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
5.4. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian
informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5.5. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden
termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah
“Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program
keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
5.6. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya
menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk
memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan
“Kejadian Sentinel”.
5.7. Terdapat kolaboratoriumorasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit
dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.
5.8. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan
perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi
berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
5.9. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan
pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar:
1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisipliner dalam pelayanan pasien.
Kriteria:
6.1. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi
bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-
masing.
6.2. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam
setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan
insiden.
6.3. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan kolaboratoriumoratif dalam
rangka melayani pasien.
Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien
Standar:
1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
7.1. Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan
keselamatan pasien.
7.2. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.
4. Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit
yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu
kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang
digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan
dari Joint Commission International (JCI).
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti
dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara
intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi,
sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh.
Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut:
Sasaran I.: Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan karena keliru pasien terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan
pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan
terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar; bertukar tempat
tidur/kamar/lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori; atau akibat situasi lain.
Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan: pertama untuk
identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan;
dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratoriumoratif dikembangkan untuk
memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien
ketika pemberian obat, darah/produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis; memberikan pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau
prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien,
seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan
bar-code, dan lain-lain.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan
dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas yang berbeda pada
lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat,
atau kamar operasi, termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu
proses kolaboratoriumoratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau
prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi dapat diidentifikasi.
Sasaran II.: Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh
pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan
pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang
mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan
atau melalui telpon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah
pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik
cito melalui telpon ke unit pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat/(memasukkan ke
komputer) perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah;
kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil
pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang
adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa
diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak
memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU.
Sasaran III.: Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus
berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu
diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi
kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan
dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip
dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike
Sound Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam issue keselamatan pasien adalah pemberian
elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat
=50% atau lebih pekat-). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan
orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak
diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat.
Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tsb adalah
dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk
memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
Rumah sakit secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang
ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja
yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi serta
pemberian laboratoriumel secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya
di area tersebut, sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak
disengaja/kurang hati-hati.
Sasaran IV.: Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi
Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat
dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah,
kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada
prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula asesmen pasien yang tidak
adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung
komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan
resep yang tidak terbaca (illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah
merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan
dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan
ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety
Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal
Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda
yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan
harus dibuat oleh operator /orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat
pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan
disayat. Penandaan lokasi operasi ditandai dilakukan pada semua kasus termasuk sisi
(laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multipel level (tulang
belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan tersedia, diberi laboratoriumel dengan baik, dan dipampang;
Lakukan verifikasi ketersediaan setiap peralatan khusus dan/atau implant-implant
yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan
diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat
sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan
bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan ceklist.
Sasaran V.: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan
pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan
dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para
profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk
pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood
stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene)
yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa di baca di kepustakaan WHO, dan berbagai
organisasi nasional dan intemasional.
Rumah sakit mempunyai proses kolaboratoriumoratif untuk mengembangkan kebijakan
dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang
sudah diterima secara umum untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
Sasaran VI.: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam
konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya,
rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat
dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu
berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit.
5. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang
proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja
melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,
kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis
yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan
“Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif
untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh
harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut
tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Pilih langkah-langkah yang paling
strategis dan paling mudah dilaksanakan di rumah sakit. Bila langkah-langkah ini
berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan. Bila tujuh
langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah sakit dapat menambah penggunaan
metoda-metoda lainnya.
Uraian Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
A. Membangun Kesadaran Akan Nilai Keselamatan Pasien
Menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
1. Bagi Rumah Sakit:
Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan apa yang harus
dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah pengumpulan
fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan
keluarga.
1) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan akuntabilitas
individual bilamana ada insiden.
2) Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
3) Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien.
1. Bagi Unit/Tim:
1) Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara
2) mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
3) Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di rumah sakit anda
untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran
serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
B. Memimpin Dan Mendukung Staf
Pimpinan melakukan pencanangan/deklarasi program keselamatan pasien RS RS
membentuk komite/tim/panitia keselamatan pasien yang bertugas mengkoordinasikan
dan melaksanakan program keselamatan pasien di RS. Pimpinan melakukan rapat
koordinasi multi disiplin secara berkala untuk menilai perkembangan program
keselamatan pasien.
Pimpinan melakukan ronde keselamatan pasien (patient safety walk around)
secara rutin, diikuti berbagai unsure terkait. Setiap timbang terima antar shift dilakukan
briefing untuk mengidentifikasi risiko keselamatan pasien dan debriefing untuk
meminitor risiko tersebut.
Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan
Pasien di rumah sakit. Pimpinan memilih dan menetapkan champion disetiap unit/bagian
sebagai motor penggerak pelaksanaan program keselamatan pasien di RS.
1. Untuk Rumah Sakit:
1) Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab atas
Keselamatan Pasien
2) Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk
menjadi “penggerak” dalam gerakan Keselamatan Pasien
3) Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun
rapat-rapat manajemen rumah sakit
4) Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit anda
dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya.
1. Untuk Unit/Tim:
1) Nominasikan “penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin Gerakan
Keselamatan Pasien
2) Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka
dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien
3) Tumbuhkan sikap ksatria yang menghargai pelaporan insiden.
C. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko
Mengembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikas
dan asesmen hal yang potensial bermasalah.
1. Untuk Rumah Sakit:
1) Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan
nonklinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan Keselamatan
Pasien dan staf;
2) Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat
dimonitor oleh direksi/pimpinan rumah sakit;
3) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan
insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian
terhadap pasien.
1. Untuk Unit/Tim:
1) Bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan isu-isu Keselamatan
Pasien guna memberikan umpan balik kepada manajemen yang terkait;
2) Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko
rumah sakit;
3) Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptabilitas
setiap risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko
tersebut;
4) Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen
dan pencatatan risiko rumah sakit.
D. Mengembangkan Sistem Pelaporan
Memastikan staf dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta rumah sakit mengatur
pelaporan kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
1. Untuk Rumah Sakit:
Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar,
yang harus dilaporkan ke Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
1. Untuk Unit/Tim:
Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif melaporkan setiap
insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena
mengandung bahan pelajaran yang penting.
E. Melibatkan dan Berkomunikasi dengan Pasien
Mengembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.
1. Untuk Rumah Sakit:
1) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara
komunikasi terbuka selama proses asuhan tentang insiden dengan para pasien dan
keluarganya.
2) Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan jelas
bilamana terjadi insiden.
3) Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu
terbuka kepada pasien dan keluarganya.
1. Untuk Unit/Tim:
1) Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya
bila telah terjadi insiden
2) Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden,
dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat
3) Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan
keluarganya.
F. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan Pasien
Mendorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana
dan mengapa kejadian itu timbul.
1. Untuk Rumah Sakit:
1) Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara tepat,
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
2) Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas criteria pelaksanaan Analisis
Akar Masalah (root cause analysis/RCA) yang mencakup insiden yang terjadi dan
minimum satu kali per tahun melakukan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) untuk
proses risiko tinggi.
1. Untuk Unit/Tim:
1) Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden.
2) Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan
bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.
G. Mencegah Cedera Melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien
Menggunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan
perubahan pada sistem pelayanan.
1. Untuk Rumah Sakit:
1) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan,
asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk menentukan solusi
setempat.
2) Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang system (struktur dan proses),
penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen
yang menjamin keselamatan pasien.
3) Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan.
4) Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.
5) Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden yang
dilaporkan.
1. Untuk Unit/Tim:
1) Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan
pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
2) Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan pastikan
pelaksanaannya.
3) Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden
yang dilaporkan.
6. Insiden keselamatan pasien
Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan
kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah
pada pasien, terdiri dari:
1. Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang
mengakibatkan cedera pada pasien.
2. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang
belum sampai terpapar ke pasien.
3. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah
terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
4. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
5. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang
serius.
7. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien, Analisis dan Solusi
Pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan laporan insiden
keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran. Sistem pelaporan insiden
dilakukan secara internal di rumah sakit dan eksternal kepada Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
sampai terbentuknya Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Dalam Pasal 17
permenkes no 1691 tahun 2011 ayat (1) menyatakan “Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit yang telah ada dan dibentuk oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI) masih tetap melaksanakan tugas sepanjang Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit belum terbentuk”
Laporan Insiden keselamatan pasien Internal adalah pelaporan secara tertulis
setiap kondisi potensial cedera dan insiden yang menimpa pasien, keluarga pengunjung,
maupun karyawan yang terjadi di rumah sakit. Laporan insiden keselamatan pasien
eksternal KKP-RS. Pelaporan secara anonim dan tertulis ke KKP-RS setiap Kondisi
Potensial cedera dan Insiden Keselamatan Pasien yang terjadi pada pasien, dan telah
dilakukan analisa penyebab, rekomendasi dan solusinya.
Pelaporan insiden bertujuan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem
dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang
(non blaming). Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam
waktu paling lambat 2×24 jam sesuai format laporan.
TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden
yang dilaporkan dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah
sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit sesuai format laporan:
- Akses Website KKP-RS: http://www.inapatsafety-persi.or.id
- Klik Banner Laporan Insiden Rumah Sakit di sebelah kanan atas.
- Setelah tampil terdapat 2 isian yang perlu diperhatikan yaitu :
- Bagi Rumah Sakit yang telah mempunyai kode rumah sakit untuk melanjutkan ke
form laporan Insiden keselamatan pasien KKP-RS
- Bagi Rumah sakit yang belum mempunyai kode rumah sakit diharapkan mengisi
Form data isian RS untuk mendapatkan kode rumah sakit yang dapat digunakan untuk
melanjutkan ke form Laporan Insiden, KKP-RS.
- Apabila masih kurang jelas silahkan hubungi :
SekretariaT KKPRS PERSI d/a Kantor PERSI : Jl. Boulevard Artha Gading Blok A-7 A No. 28,
Kelapa Gading – Jakarta Utara 14240 Telp : (021) 45845303/304 Jakarta.
Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonym (tanpa identitas), tidak
mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC, dilakukan setelah
analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan
memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan yang sampaikan oleh rumah
sakit.
Empat Prinsip Penting Pelaporan Insiden:
1. Fungsi utama pelaporan Insiden adalah untuk meningkatkan Keselamatan Pasien
melalui pembelajaran dari kegagalan/ kesalahan.
2. Pelaporan Insiden harus aman. Staf tidak boleh dihukum karena melapor
3. Pelaporan Insiden hanya akan bermanfaat kalau menghasilkan respons yang
konstruktif. Minimal memberi umpan balik ttg data KTD & analisisnya. Idealnya, juga
menghasilkan rekomendasi utk perubahan proses/SOP dan sistem.
Analisis yang baik & proses pembelajaran yang berharga memerlukan
keahlian/keterampilan. Tim KPRS perlu menyebarkan informasi, rekomendasi perubahan,
pengembangan solusi.
Karakteristik laporan:
1. Bersifat tidak menghukum: Pelapor bebas dari rasa takut dan pembalasan dendam
atau hukuman sebagai akibat laporannya
2. Rahasia: Identitas pasien, pelapor dan institusi disembunyikan
3. Independen: sistem pelaporan yang independen bagi pelapor dan organisasi dari
hukuman.
4. Expert analysis: laporan di evaluasi oleh ahli yang menguasai masalah klinis dan
telah terlatih untuk mengenal penyebab system yang utama.
5. Tepat waktu: Laporan dianalisa segera dan rekomendasinya didesiminasikan
secepatnya, khususnya bila terjadi bahaya serius.
6. Orientasi sistem: Rekomendasi lebih berfokus kepada perbaikan dalam system,
proses, atau produk daripada terhadap individu
7. Responsif: Lembaga yang menerima laporan merupakan lembaga yang punya
kapasitas memberikan rekomendasi.
8. Pendekatan Komprehensif dalam Pengkajian Keselamatan Pasien
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur,
lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
1. Struktur
Kebijakan dan prosedur organisasi: Cek telah terdapat kebijakan dan prosedur
tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
Fasilitas: Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan ?
Persediaan: Apakah hal-hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di
ruang emergency, ruang ICU
2. Lingkungan
Pencahayaan dan permukaan: berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera
Temperature: pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti
ruang operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu
ruangan akan berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari semen
Kebisingan: lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat sedang
memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan
kondisi pasien.
Ergonomic dan fungsional: ergonomic berpengaruh terhadap penampilan seperti
teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien
jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah
disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis,
penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
Fungsional: perawat harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat.
Perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan
untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
Keamanan: Alat-alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat
meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
Desain kerja: Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan
kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada
setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal
tersebut harus dilakukan research based practice yang diimplementasikan.
Karakteristik risiko tinggi: melakukan tindakan keperawatan yang terus-menerus
saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini
dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu
dibuat suatu system pengingat untuk mengurangi kesalahan
Waktu: waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah
tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh
beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan
pada pasien-pasien emergency oleh karena itu pada saat-saat tertentu waktu
dapat menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
Perubahan jadual dinas perawat juga berdampak terhadap keselamatan pasien
karena perawat sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan
menyeluruh.
Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan
diagnostic atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian
antibiotic atau tromblolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadapap
diagnosis dan pengobatan.
Efisiensi: keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu
perawatan tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung
oleh pasien.
5. Orang
Sikap dan motivasi: sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja
seseorang. Sikap dan motivasi yang negative akan menimbulkan kesalahan-
kesalahan.
Kesehatan fisik: kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja
dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.
Kesehatan mental dan emosional: hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan
kebutuhan dan masalah pasien. tanpa perhatian yang penuh akan terjadi
kesalahan – kesalahan dalam bertindak.
Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan: perawat memerlukan
pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat-alat
kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan penyakit-penyakit yang
sebelumnya belum tren seperti perawatan flu babi (swine flu).
Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi: kognitif sangat berpengaruh
terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang
sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan, pemecahan
masalah baru mengkomunikasikan hal-hal yang baru.
6. Budaya
Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan
keselamatan pasien.
Pilosofi tentang keamanan: keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan
nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan
Jalur komunikasi: jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan
dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa
yang menerima laporan).
Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat
hambatan karena terbentuknya budaya blaming. Budaya menyalahkan (Blaming)
merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan
membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
Staff-kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang
penting adalah system kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf,
membuat kebijakan dan mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja,
manajemen kelelahan, stress dan sakit
9. Alur Sirkulasi Pasien di Rumah Sakit
Alur Sirkulasi Pasien dalam Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
1. Pasien masuk rumah sakit melakukan pendaftaran/ admisi pada instalasi rawat
jalan (poliklinik) atau pada instalasi gawat darurat apabila pasien dalam kondisi
gawat darurat yang membutuhkan pertolongan medis segera/ cito.
2. Pasien yang mendaftar pada instalasi rawat jalan akan diberikan pelayanan medis
pada klinik-klinik tertentu sesuai dengan penyakit/ kondisi pasien.
Pasien dengan diagnosa penyakit ringan setelah diberikan pelayanan medis
selanjutnya dapat langsung pulang.
Pasien dengan kondisi harus didiagnosa lebih mendetail akan dirujuk ke instalasi
radiologi dan atau laboratorium. Setelah mendapatkan hasil foto radiologi dan atau
laboratorium, pasien mendaftar kembali ke instalasi rawat jalan sebagai pasien
lama.
Selanjutnya apabila harus dirawat inap akan dikirim ke ruang rawat inap.
Selanjutnya akan didiagnosa lebih mendetail ke instalasi radiologi dan atau
laboratorium. Kemudian jika pasien harus ditindak bedah, maka pasien akan
dijadwalkan ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum
stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan
dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim ke
instalasi pemulasaraan jenazah. Setelah pasien sehat dapat pulang
Pasien kebidanan dan penyakit kandungan tingkat lanjut akan dirujuk ke instalasi
kebidanan dan penyakit kandungan. Apabila harus ditindak bedah, maka pasien
akan dikirim ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum
stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan
dikirim ke ruang rawat inap kebidanan. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim
ke instalasi pemulasaraan jenazah. Setelah pasien sehat dapat pulang.
1. Pasien melalui instalasi gawat darurat akan diberikan pelayanan medis sesuai
dengan kondisi kegawat daruratan pasien.
Pasien dengan tingkat kegawatdaruratan ringan setelah diberikan pelayanan
medis dapat langsung pulang.
Pasien dengan kondisi harus didiagnosa lebih mendetail akan dirujuk ke instalasi
radiologi dan atau laboratorium. Selanjutnya apabila harus ditindak bedah, maka
pasien akan dikirim ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya
belum stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya
stabil akan dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim
ke instalasi pemulasaraan jenazah, pasien sehat dapat pulang.
10. Pendidikan dan Pelatihan
RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien. RS mengintegrasikan topik keselamatan pasien
dalam setiap kegiatan in-service training.
RS melaksanakan program pengembangan dan pelatihan staf secara konsisten.
RS melakukan workshop keselamatan pasien secara in-house training dan melibatkan
Tim KKPRS atau mengirim 2-3 orang staf untuk mengikuti workshop keselamatan pasien
yang diselenggarakan KKPRS-PERSI.
RS mempunyai program orientasi yang memuat topik keselamatan pasien bagi
staf yang baru masuk/pindahan/mahasiswa. Staf yang bertugas di unit khusus (ICU,
ICCU, IGD, HD, NICU, PICU, OK) harusmendapat pelatihan keselamatan pasien.
11. Penutup
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan
kesehatan maupun keperawatan, dan sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen
kualitas. Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk
meminimalkan risiko.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien,
tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error) maupun
yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam
sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang
dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan
pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety
Standards” yang dikeluarkan oleh Join Commision on Accreditation of Health
Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan
kondisi di Indonesia. Pada akhirnya untuk mewujudkan keselamatan pasien butuh upaya
dan kerjasama berbagai pihak dari seluruh komponen pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2
edn, Bakti Husada, Jakarta.
_____. 2008, Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety
Incident Report), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.
IOM, 2000. To Err Is Human: Building a Safer Health System
http://www.nap.edu/catalog/9728.html
___, 2004. Patient Safety: Achieving a New Standard for Care
http://www.nap.edu/catalog/10863.html
Kemkes RI. 2010. Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B. Pusat Sarana,
Prasarana dan Peralatan Kesehatan, Sekretariat Jenderal, KEMKES-RI
Manojlovich, M, et al 2007, ‘Healthy Work Environment, Nurse-Phycisian Communication,
and Patient’s Outcomes’, American Journal of Critical Care vol. 16, pp. 536-43.
Millar, J, et al 2004, ‘Selecting Indicators for Patient Safety at the Health Systems Level in
OECD Countries’. DELSA/ELSA/WD/HTP, Paris, OECD Health Technical Paper.
Pallas, LOB, et al 2005, Nurse-Physician Relationship Solutions and Recomendation for
Change, Nursing Health Services Research Unit, Ontario. database.
Parwijanto, H 2008, ‘Kajian Komunikasi Dalam Organisasi’, in Perilaku Organisasi.
uns.ac.id, Jakarta, 10 Desember 2009.
Robbins, SP 2003, Perilaku Organisasi, 10 edn, PT. Indeks Gramedia, Jakarta.
Vazirani, S, et al 2005, ‘Effect of A Multidicpinary Intervention on Communication and
Collaboratoriumoration’, American Journal of Critical Care, Proquest Science Journal, vol.
14, p. 71.
Wakefield, JG & Jorm, CM 2009, ‘Patient Safety – a balanced measurements framework’,
Australian Health Review, vol. 33, no. 3.
Yahya, A. 2009 Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko. Workshop Keselamatan
Pasien&Manajemen Risiko Klinis. PERSI: KKP-RS