Post on 26-Mar-2018
JURNAL
PERAN BRAND AWARENESS, PERCEIVED QUALITY, BRAND USAGE,
BRAND PERFORMANCE, BRAND INNOVATION, DAN CSR
AWARENESS DALAM MEMBENTUK BRAND EQUITY
PRODUK ROKOK
(Studi Deskriptif Kuantitatif tentang Kekuatan Merek Produk Rokok Kretek, Kretek
Filter, Mild dan Rokok Putih di Kota Surakarta dan Sekitarnya Tahun 2013)
Oleh:
I WAYAN GILANG ADITYA SUBAWA
D0209040
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
PERAN BRAND AWARENESS, PERCEIVED QUALITY, BRAND USAGE,
BRAND PERFORMANCE, BRAND INNOVATION, DAN CSR
AWARENESS DALAM MEMBENTUK BRAND EQUITY
PRODUK ROKOK
(Studi Deskriptif Kuantitatif tentang Kekuatan Merek Produk Rokok Kretek,
Kretek Filter, Mild dan Rokok Putih di Kota Surakarta dan Sekitarnya
Tahun 2013)
I Wayan Gilang Aditya Subawa
Diah Kusumawati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractThe background of this study is that there are so many activities has been done by
the tobacco company to form and obtain a Brand Equity in order to have a solid foundation so they can be a leader in the cigarette market. David A. Aaker (1996 : 8) considers that Brand Equity is “a set of brand assets and liabilities linked to a brand, its name and symbol that add to or subtract from the value provided by a product or service to a firm/or to that firm’s customers”. This sudy analyzed whether is there a contribution between the variables that form brand equity in cigarette product. Variables used in this study was developed from the David Aaker’s Brand Equity model and added by variables that arise due to the development of communication strategies of tobacco products. These variables are Brand Awareness, Perceived Quality, Brand Usage, Brand Performance, Innovation and CSR Awareness.
The data that used in this research is a secondary data, obtained from the Solo Best Brand Index (SBBI) 2013, organized by PT. Aksara Solopos. In this research, there are four categories in cigarette products: Kretek, Kretek Filter, Mild, and White Cigarettes. The sampling method that being used in this research is multi stage random sampling, with total 203 respondents, and the Margin Of Error (MOE) by 5,37.The data is analyzed with Structural Equational Modelling (SEM ) method to find out which element that has strongest role in building brand equity.
The result in this study are in the kretek category, people tend to see experience in Brand Usage (1,03) as an element that have a significant role in building brand equity. In kretek filter category, people tend to see the company responsibility in CSR Awareness (1,04) as the element that have a significant role in kretek filter’s Brand Equity. In mild category, people also consider CSR Awareness (1,00). Meanwhile in white cigarettes category, people tend to see the user experience in Brand Usage (1,01).Key words : Brand Awareness, Perceived Quality, Brand Usage, Brand Performance,
Brand Innovation, CSR Awareness, Brand Equity.
1
PendahuluanTerdapat banyak konsep yang dikemukakan oleh para ahli untuk
membantu produsen memenangkan persaingan di pasar, dan meningkatkan
loyalitaas konsumennya, salah satunya adalah konsep kekuatan atau ekuitas merek
(brand equity) (Erdem, et al., 1999: 302).
Konsep ekuitas merek telah menarik perhatian dari banyak peneliti dan
produsen terkemuka, terutama untuk membantu membangun, mengoptimalkan,
dan mempertahankan keunggulan produk untuk memperoleh keuntungan strategis
di pasar. Jika sebuah merek mempunyai kekuatan yang kuat, merek tersebut akan
memiliki berbagai keuntungan seperti membantu konsumen menafsirkan,
memproses, dan menyimpan informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan
merek, memberikan rasa percaya diri kepada konsumen dalam mengambil
keputusan pembelian, baik karena pengalaman masa lalu dalam karakteristiknya,
dan bisa menguatkan kepuasan konsumen dengan pengalaman menggunakannya
(Aaker, 1991: 16-17).
Sedangkan untuk perusahaan, manfaat yang dapat diambil adalah bisa
menguatkan program memikat konsumen baru atau merangkul kembali
konsumen lama, mampu menguatkan loyalitas merek, bisa memberikan alasan
untuk membeli dan mempengaruhi kepuasan penggunaan, memungkinkan margin
yang lebih tinggi dengan memungkinkan harga optimum (premium pricing) dan
mengurangi ketergantungan pada promosi, serta memberikan landasan untuk
pertumbuhan melalui perluasan merek, dan memberikan dorongan dalam saluran
distribusi (Aaker, 1991: 17).
Ada banyak cara untuk meningkatkan kekuatan merek sebuah produk,
dan juga ada banyak cara untuk mengukur elemen-elemen yang dapat
meningkatkan kekuatan merek agar dapat meningkatkan keuntungan bagi
perusahaan. Meskipun ada banyak pendekatan untuk memahami kekuatan merek,
kebanyakan pendekatan tersebut memiliki inti yang sama, yaitu bergantung pada
pengetahuan dan pengalaman mengenai merek di benak konsumen, sebagai dasar
dari kekuatan merek (Keller, 1993: 2). Dengan kata lain, kekuatan sesungguhnya
dari sebuah merek berada di dalam pikiran, perasaan, gambaran mengenai produk,
2
tingkat kepercayaan, dan pengalaman yang menancap di benak konsumen (Keller,
1993 : 3). Pengetahuan dan pengalaman mengenai sebuah merek inilah yang
kemudian menjadi tolok ukur respon konsumen mengenai produk, harga,
komunikasi, saluran pemasaran dan berbagai kegiatan pemasaran yang dilakukan
oleh produsen.
Seperti yang telah disebutkan di atas, memiliki basis kekuatan merek
yang kuat dapat memberikan keuntungan yang sangat strategis dalam persaingan
di pasar. Apalagi, pasar di Indonesia adalah pasar yang sangat besar, dan ketat,
namun juga sangat menjanjikan jika dapat dikuasai dengan cara yang tepat. Salah
satunya adalah pangsa pasar produk rokok di Indonesia.
Menurut data yang dikutip dari Industry Update Volume 3 Februari 2013
yang dirilis oleh Office Of Chief Economist Bank Mandiri, Indonesia merupakan
salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China, AS, dan
Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia mengalami
peningkatan dari 182 miliar batang pada 2001 (Tobacco Atlas, 2002) menjadi
260,8 miliar batang pada 2009 (Tobacco Atlas, 2012). Sementara itu, Gabungan
Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) memperkirakan konsumsi rokok
pada 2012 telah mencapai 300 miliar batang.
Konsumsi rokok tumbuh rata-rata 4,4% per tahun selama 2005- 2012 dan
diperkirakan tumbuh 4%-5% di 2013. Global Adult Tobacco Survey (GATS)
Indonesia tahun 2011 juga menunjukkan bahwa prevalensi merokok di Indonesia
secara umum meningkat dari 27% pada 1995 menjadi 36,1% di 2011. Apabila
dilihat lebih detail, prevalensi merokok pada laki-laki di Indonesia meningkat dari
53,4% pada 1995 menjadi 67,4% pada 2011. Angka prevalensi merokok pada
laki-laki di Indonesia tahun 2011 tersebut sekaligus merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan Rusia (60,6%), Banglades (58%), dan China (52,9%).
Sedangkan pada perempuan di Indonesia, angka prevalensi meningkat dari 1,7%
pada 1995 menjadi 4,5% di 2011.
Peran komunikasi dalam strategi pemasaran rokok sangat besar, terutama
dalam membangun brand awareness merek rokok tersebut di benak masyarakat.
Salah satu kegiatan komunikasi yang gencar dilakukan produsen rokok untuk
3
mengenalkan produknya adalah kegiatan beriklan, kegiatan sosial, dan inovasi
produk rokok.
Seiring dengan perkembangan dinamika pasar dan konsumen, serta
semakin ketatnya persaingan produk rokok di Indonesia, dan banyaknya tindakan
yang telah dilakukan oleh produsen rokok dalam mengembangkan kekuatan
mereknya, peneliti merasa tertarik untuk mengetahui mengenai “Peran Brand
Awareness, Perceived Quality, Brand Usage, Brand Performance, Brand
Innovations, dan CSR Awareness Secara Simultan Dalam Membentuk Brand
Equity Produk Rokok Di Kota Surakarta dan sekitarnya”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Adakah peran Brand Awareness, Perceived Quality, Brand Usage, Brand
Performance,Brand Brand Innovations, dan CSR Awareness secara simultan
dalam membentuk Brand Equity produk rokok di Kota Surakarta dan sekitarnya?
Telaah Pustaka
1. Brand Equity
Brand equity atau kekuatan merk memiliki peran yang sangat penting
dalam usaha produsen menguasai pasar. Merk yang memiliki kekuatan yang
besar dapat menguasai pasar dimana merk tersebut terlibat. East (1997)
menganggap kekuatan merk sebagai aset yang dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan pendapatan. Kotler dan Keller (2008: 334-336) berpendapat
bahwa ekuitas merek adalah nilai tambah yang diberikan pada produk dan
jasa. Nilai ini bisa dicerminkan dalam cara konsumen berpikir, merasa dan
bertindak terhadap, merek, harga, pangsa pasar dan profitabilitas yang
dimiliki perusahaan. Ekuitas merek merupakan aset tidak berwujud yang
penting yang memiliki nilai psikologis dan keuangan bagi perusahaan.
Brand equity sangat berkaitan dengan seberapa banyak pelanggan
suatu merk merasa puas dan merasa rugi bila berganti merk (brand
4
switching), menghargai merk itu dan menganggapnya sebagai teman, dan
merasa terikat kepada merk itu (Kotler, 2002).
Sedangkan dalam sudut pandang David A. Aaker (1991: 16-17) brand
equity didefinisikan sebagai serangkaian aset dan kewajiban (liabilities)
merk yang terkait dengan sebuah merk, nama dan simbol, yang menambah
atau mengurangi nilai yang diberikan sebuah produk atau jasa kepada
perusahaan dan atau pelanggan dari perusahaan tersebut. Dari sisi perilaku,
ekuitas merk penting untuk memberikan diferensiasi yang mampu
menciptakan keunggulan kompetitif berdasrkan persaingan non harga
Jadi dapat disimpulkan bahwa brand equity adalah hal-hal yang
berkaitan dengan merk yang dapat menambah atau mengurangi nilai merk
di benak konsumen.
Komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam usaha
membangun kekuatan merek. Proses-proses komunikasi merupakan inti dari
kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan, terutama untuk
membangun brand awareness di benak konsumen. Kegiatan komunikasi
pemasaran membantu membangun kekuatan merek dengan cara membentuk
dan membangun image merek di benak konsumen.
Iklan dan promosi adalah cara yang selama ini dipakai oleh
perusahaan untuk membantu perusahaan berkomunikasi dan memasarkan
produknya ke masyarakat. Dan selama ini iklan telah berkembang menjadi
sistem komunikasi yang sangat penting tidak saja untuk produsen tapi juga
konsumen. Pada sistem ekonomi yang berlandaskan pada pasar, konsumen
semakin mengandalkan iklan dan bentuk promosi lainnya untuk
mendapatkan informasi yang akan mereka gunakan untuk membuat
keputusan mengenai pembelian (Morrisan, 2010: 1).
2. Variabel Pembentuk Brand Equity
David Aaker telah mendefinisikan beberapa variabel pembentuk
Brand Equity atau Kekuatan merek. Variabel tersebut adalah Brand
5
Awareness, Perceived Quality, Brand Loyalty, Brand Association, dan
Other Propietary Assets.
a) Brand Awareness
Aaker (1991: 61) mendefinisikan brand awareness atau
kesadaran merek sebagai kemampuan dari calon pembeli untuk
mengenali dan mengingat sebuah merek dalam sebuah kategori
produk tertentu. Sangat penting bagi calon pembeli untuk mengenali
sebuah merek supaya merek tersebut dapat masuk menjadi bahan
pertimbangan dalam pembelian. Hal ini dikarenakan adanya fakta
yang dikemukakan oleh Blackwell (2001) dalam Fouladivanda dkk
(2013: 948) bahwa sebuah produk harus masuk ke dalam pikiran
konsumen sebelum konsumen mulai mempertimbangkan merek
tersebut, dan semakin tinggi tingkat awareness dapat meningkatkan
peluang pembelian merek (Nedungadi, 1990: Yasin, 2007, dalam
Fouladivanda: 2013: 948). Hal ini dapat menjelaskan mengapa
konsumen cenderung membeli merek yang terkenal dibandingkan
merek yang kurang terkenal (Hoyer, 1990: Macdonald dan Sharp,
2000, dalam Fouladivanda: 2013: 948).
Aaker (1991: 64) menyatakan ada 4 tingkatan kesadaran merek,
mulai dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi sebagai berikut:
1) Tidak menyadari suatu merek
Tingkat dimana calon pembeli sama sekali tidak menyadari
adanya merek.
2) Mengenal merek
Konsumen dapat mengenali sebuah merek apabila konsumen
diberi bantuan agar dapat mengenali merek tersebut.
3) Mengingat merek
Konsumen dapat mengingat merek tanpa bantuan apapun.
4) Puncak pikiran
Tingkat dimana sebuah merek menjadi merek yang pertama
disebutkan atau yang pertama kali muncul dalam benak
6
konsumen. Dalam tingkatan ini merek telah menjadi pokok
utama dalam pikiran konsumen.
b) Perceived Quality
Aaker (1991: 85-86) menyatakan bahwa perceived quality atau
persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas atau
keunggulan suatu produk atau jasa layanan ditinjau dari fungsinya
secara relatif dengan produk-produk lain.
Persepsi ini muncul dari beberapa konsep seperti (Aaker 1991:
86-87):
1) Kualitas aktual atau obyektif, yaitu sejauh mana sebuah produk
atau jasa mampu memberikan layanan yang unggul.
2) Kualitas berbasis produk, yaitu sifat dan kualitas bahan,
termasuk fitur dan layanan.
3) Kualitas manufaktur, yaitu usaha dari produsen untuk
memberikan produk yang tanpa cacat.
c) Brand Loyalty
Aaker (1991: 17) mendefinisikan brand loyalty atau loyalitas
merek sebagai tingkat keterikatan konsumen dengan suatu merek
produk. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mampu
tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk lain. Bila
loyalitas terhadap suatu merek meningkat, kerentanan terhadap
serangan pesaing dapat dikurangi. Selanjutnya Aaker (1991)
mengatakan bahwa perasaan suka terhadap merek dan komitmen
dapat digunakan untuk mengukur loyalitas merek, untuk perasaan
suka tersebut diukur dari liking, respect, friendship dan trust.
Loyalitas erat kaitannya pengalaman dari pengguna merek dan tidak
bisa terjadi tanpa adanya pengalaman sebelumnya, penekanan
loyalitas merek hanya tertuju pada merek tertentu dan sulit dialihkan
perhatiannya pada simbol lain tanpa adanya pengorbanan dalam nilai
yang besar.
7
d) Brand Association
Aaker (1991: 109) mendefinisikan brand association atau
asosiasi merek sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan
ingatan mengenai merek. Asosiasi merek memegang peranan penting
dalam evaluasi dan pemilihan produk oleh konsumen. Dikutip dari
penelitian Osselaer dan Janiszewski (2001: 202), asosiasi merek
merupakan dasar untuk pemahaman konsumen tentang pembuatan
referensi merek (Alba, Hutchinson, dan Linch 1991), kategorisasi
(Sujan, 1985), evaluasi produk (Broniarczyk dan Alba, 1994), persuasi
(Greenwald dan Levitt, 1984), dan kekuatan merek (Aaker,1991 dan
Keller, 1993: 1998).
Asosiasi mengenai merek sendiri memiliki tingkatan. Kesan-
kesan yang terkait pada sebuah merek akan semakin meningkat
dengan semakin banyaknya penampakan merek tersebut dalam
strategi komunikasi. Asosiasi merek berbeda dengan citra merek dan
positioning, tetapi masih memiliki kaitan. Citra merek adalah
seperangkat asosiasi yang dikelola dengan beberapa cara-cara tertentu.
Asosiasi dan citra merek keduanya mungkin dapat merepresentasikan
realitas dari sebuah objek (Aaker, 1991: 110).
e) Other Propietary Assets
Aaker (1991) mengatakan bahwa Other Propietary Assets
adalah aset-aset lain yang dimiliki oleh perusahaan. Aset tersebut bisa
berupa hak paten, jaringan distribusi, atau hal-hal lainnya. Aaker juga
meninggalkan variabel ini untuk kemudian dapat dikembangkan
dengan mengikuti tren-tren pemasaran produk.
3. Model Hybrid Brand Equity
Model hybrid Brand Equity merupakan model yang dikembangkan
oleh peneliti untuk memperluas cakupan penelitian, namun tetap
berdasarkan teori-teori yang telah ada dan berkaitan dengan pengembangan
Brand Equity. Elemen tersebut adalah :
8
a) Brand Usage
Menurut Romaniuk dan Gaillard (2007: 271) salah satu kunci
untuk dapat memahami performa dari sebuah merk adalah personal
experience atau pengalaman pribadi dari konsumen atas penggunaan
dari merek tersebut. Pendapat ini diperkuat oleh Alba dan Hutchinson
(1987) dalam Romaniuk dan Gaillard (2007: 271) yang menyatakan
bahwa konsumen dari sebuah merek memiliki pengetahuan yang kuat
mengenai sebuah merek. Pengetahuan ini bisa menjadi hal yang
sangat berguna, terutama jika pengalaman yang timbul adalah
pengalaman yang positif. Aaker (1996) dalam Kartono dan Rao (2006:
21) mengatakan bahwa customer satisfaction merupakan salah satu
kunci dalam membangun brand equity berdasarkan konsumen, karena
sangat berkaitan dengan brand loyalty.
b) Brand Performance
Performa dari produk merupakan elemen kunci dari Brand
Equity, karena hal mengenai performa produk lah yang akan dirasakan
oleh konsumen ketika menggunakan sebuah merk, apa yang mereka
dengan dari orang lain mengenai sebuah merek, dan apa yang
dijanjikan oleh produsen kepada konsumennya dalam setiap
komunikasi mengenai merk (Keller, 2001: 10).
Menurut Keller (2001: 10), Brand Performance berhubungan
dengan bagaimana usaha produk atau jasa dalam memenuhi
kebutuhan fungsional dari para konsumen. Dengan demikian, Brand
Performance dapat mengacu pada sifat-sifat intrinsik yang melekat
pada produk atau karakteristik layanan.
c) Brand Innovations
David Aaker (1991) menjelaskan bahwa inovasi produk seperti
penambahan fitur-fitur baru (seperti pilihan rasa dan aroma pada
rokok), dapat menciptakan diferensiasi, memperkuat brand value,
9
memperlebar konteks pemakaian, dan menghambat perkembangan
produk lain.
Stephen Robins dalam buku Gede Prama yang berjudul “Inovasi
Atau Mati” halaman 13 mengungkapkan bahwa inovasi sebagai suatu
gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki
suatu produk atau proses dan jasa
d) CSR Awareness
CSR menurut Lord Holme dan Richard Watt, dalam Nor Hadi
(2011: 46) adalah komitmen berkelanjutan dari perusahaan yang
berjalan secara etis dan memiliki kontribusi terhadap pembangunan
untuk meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarga mereka,
dan juga komunitas lokal serta masyarakat luas. Hal yang
menghubungkan antara CSR dan brand equity adalah komunikasi dan
pemasaran. Brown dan Dacin (1997) mengungkapkan bahwa
komunikasi mengenai CSR ke masyarakat merupakan hal yang sangat
penting dalam membentuk brand equity. Oleh karena itu, produsen
diharapkan tidak hanya berhenti pada tahap dimana mereka
melakukan kegiatan CSR, tapi juga menyebarkan berita mengenai
kegiatan.
Sajian dan Analisis Data
Dari data yang telah dikumpulkan dari responden, peneliti melakukan
proses koding dan pengolahan data koding supaya dapat dianalisis menggunakan
metode Structural Equational Modelling (SEM) menggunakan aplikasi Lisrel.
Sajian data hasil pengolahan data tersebut adalah sebagai berikut.
10
1. Rokok Kretek
2. Rokok Kretek Filter
11
3. Rokok Mild
4. Rokok Putih
12
Dari data-data di atas dapat diperoleh hasil analisis data sebagai berikut :
1. Hubungan Antara Variabel Indepeden Brand Equity dengan
Variabel Laten Eksogen
a) Rokok Kretek
Variabel Laten Eksogen Variabel Independen
Nilai Muatan
Brand Awareness
Brand Equity
0,95Brand Perceive Quality 0,30Usage 1,03Brand Performance 0,56Innovation 1,00CSR Awareness 0,80
b) Rokok Kretek Filter
Variabel Laten Eksogen Variabel Independen
Nilai Muatan
Brand Awareness
Brand Equity
1,00Brand Perceive Quality 0,07Usage 1,01Brand Performance 0,65Innovation 0,99CSR Awareness 1,04
c) Rokok Mild
Variabel Laten Eksogen Variabel Independen
Nilai Muatan
Brand Awareness
Brand Equity
0,96Brand Perceive Quality 0,37Usage 0,93Brand Performance 0,49Innovation 0,97CSR Awareness 1,00
d) Rokok Putih
Variabel Laten Eksogen Variabel Independen
Nilai Muatan
Brand AwarenessBrand Equity
0,97Brand Perceive Quality 0,61Usage 1,01
13
Variabel Laten Eksogen Variabel Independen
Nilai Muatan
Brand Performance 0,84Innovation 0,96CSR Awareness 0,73
2. Hubungan Antara Variabel Laten dengan Indikator Variabel
Laten
a) Rokok Kretek
Variabel Laten Variabel Indikator
Nilai Muatan
Brand AwarenessTOM Brand 1,02TOM Advertising 0,96
Perceived QualityPersepsi Kualitas 0,95Trust Ad 0,56
Usage
Everuse 1,00BUMO 0,99BUMO Before 0,99Future Brand 0,96
Brand Performance
Satisfaction 0,78Values 0,96Loyalty 0,78Recommendation 0,29
Brand InnovationManfaat Lebih 0,98Prestis 0,79
Corporate Social Responsibility Social Activity 1,02
b) Rokok Kretek Filter
Variabel Laten Variabel Indikator
Nilai Muatan
Brand Awareness TOM Brand 1,00TOM Advertising 1,00
Perceived Quality Persepsi Kualitas 1,41Trust Ad 0,37
Usage
Everuse 0,99BUMO 1,00BUMO Before 0,99Future Brand 0,99
Brand Performance Satisfaction 0,75Values 0,74
14
Variabel Laten Variabel Indikator
Nilai Muatan
Loyalty 0,55Recommendation 1,00
Brand Innovation Manfaat Lebih 0,99Prestis 1,00
Corporate Social Responsibility Social Activity 0,93
c) Rokok Mild
Variabel Laten Variabel Indikator
Nilai Muatan
Brand AwarenessTOM Brand 1,00TOM Advertising 1,00
Perceived QualityPersepsi Kualitas 0,88Trust Ad 0,86
Usage
Everuse 0,98BUMO 1,00BUMO Before 0,95Future Brand 1,01
Brand Performance
Satisfaction 1,02Values 1,03Loyalty 0,44Recommendation 0,81
Brand InnovationManfaat Lebih 0,97Prestis 1,01
CSR Awareness Social Activity 0,91
d) Rokok Putih
Variabel Laten Variabel Indikator Nilai Muatan
Brand AwarenessTOM Brand 1,01TOM Advertising 0,98
Perceived QualityPersepsi Kualitas 0,65Trust Ad 0,38
Usage
Everuse 0,99BUMO 1,00BUMO Before 1,00Future Brand 0,98
Brand PerformanceSatisfaction 0,55Values 0.53Loyalty 1,10
15
Variabel Laten Variabel Indikator Nilai Muatan
Recommendation 0,15
InnovationManfaat Lebih 1,00Prestis 1,00
CSR Awareness Social Activity 0,99
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan uji statistik dengan menggunakan
Structural Equation Model (SEM) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa “Ada
peran Brand Awareness, Brand Perceive Quality, Brand Usage, Brand
Performance, Brand Innovation, dan CSR Awareness secara simultan dalam
membentuk Brand Equity produk rokok di Kota Surakarta dan sekitarnya” atau
dengan kata lain bahwa hipotesis dalam penelitian ini terbukti.
Hal tersebut terbukti dari koefisien masing- masing variabel pembentuk
brand equity dalam penelitian ini yang menunjukkan angka p-value dan RMSEA
yang cukup besar. Sedangkan temuan dalam penelitian ini diantaranya ialah
sebagai berikut :
1. Rokok Kretek
Dari kategori rokok kretek, variabel pembentuk Brand Equity yang
memiliki kontribusi paling besar adalah variabel Brand Usage, kemudian
diikuti oleh Brand Innovation dan Brand Awareness. Brand Usage dan
Brand Innovation merupakan dua variabel yang berkaitan dengan faktor
penggunaan produk oleh konsumen, dan dari besarnya peran kedua variabel
tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat cenderung melihat market
share dan fitur yang dapat diberikan oleh produk sebagai faktor penting
dalam membentuk Brand Equity.
2. Rokok Kretek Filter
CSR Awareness, Usage, dan Brand Awareness menjadi variabel yang
memiliki kontribusi paling besar dalam membangun Brand Equity produk
rokok kretek filter. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai
menyadari pentingnya kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh perusahaan,
sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada lingkungan atau masyarakat.
16
Untuk menyebarkan awareness mengenai kegiatan sosial yang dilakukan
oleh perusahaan, maka perusahaan perlu memiliki strategi komunikasi untuk
menyebarkan informasi mengenai kegiatan sosial yang telah dilakukan.
3. Rokok Mild
Dalam kategori produk rokok mild, variabel yang memiliki kontribusi
paling besar adalah CSR Awareness, yang kemudian diikuti oleh Brand
Innovation dan Brand Awareness. Sama seperti rokok kretek filter,
responden menganggap bahwa penting bagi sebuah merek/ perusahaan
pemegang merek untuk melakukan kegiatan sosial
4. Rokok Putih
Dalam kategori produk rokok putih, variabel yang memiliki peran
yang cukup besar dalam membentuk Brand Equity adalah variabel Brand
Usage, Brand Innovations dan Brand Awareness. Dari keunggulan variabel-
variabel tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat cenderung
memandang experience terhadap produk sebagai variabel yang berperan
besar dalam membentuk Brand Equity produk rokok putih.
Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti setelah menganalisis data adalah
sebagai berikut :
1. Penelitian ini terbatas pada daerah Kota Surakarta dan sekitarnya,
sehingga model yang digunakan untuk menganalisis tidak sepenuhnya
akurat jika diterapkann di daerah lain. Oleh karena itu penelitian
selanjutnya dapat dilakukan dengan memperbesar wilayah cakupan
atau memilih lokasi lain untuk diuji, atau dibandingkan hasilnya
dengan penelitian di kota lain.
2. Model yang digunakan dalam penelitian ini masih menggabungkan
antara user dan non-user, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan
perbedaan pendapat antara pemakai dan non pemakai merek.
Disarankan agar penelitian selanjutnya dapat meneliti antara kategori
user/ pemakai dengan non user/ bukan pemakai sehingga dapat
melihat adakah perbedaan pendapat antara user dan non user.
17
Daftar Pustaka
Aaker, David. (1991). Managing Brand Equity; Capitalizing on the Value of
Brand Name. New York: Free Press.
Erdem, T., Joffre, S., Broniarczyk, S., Kapferer, J.N., Keane, M., Roberst, J.,
Steenkamp, J.B. & Zettelmeyer, F. (1999). Brand Equity: Consumer
Learning and Choice. Marketing Letters 10 (3).
Fouladivanda, F., Pashandi, M.A., Hooman, A., & Khanmohammadi, Z. (2013).
The Effect of Brand Equity on Consumer Buying Behaviour of FMGC in
Iran. Interdisciplinary Journal of Contemprary Research in Business
4(9)
Gaillard, E. Romaniuk, J., & Sharp, A. (2005). Exploring Consumer Perceptions
of Distinctiveness. Australia: The University of Western Australia.
Kartono, B. & Rao, V.R. (2006). Linkin Consumer Based Brand Equity to Market
Performance: An Integrated Approach to Brand Equity Management.
Technical Report, Zyman Institute of Brand Science.
Keller, Kevin Lane. (1993). Conceptualizing, Measuring, and Managing
Customer Based Brand Equity. Journal of Marketing.
Keller, Kevin Lane. (2001). Building Costumer Based Brand Equity: A Blueprint
for Creating Strong Brands. Report Issues 107 Marketing Science
Institute, Cambridge Massachusetes.
Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. (2008). Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT
Indeks.
Morrisan, Alexander. (2010). Periklanan: Komunikasi Pemasaran Terpadu.
Jakarta: Ramdina Prakarsa.
Hadi, Nur. (2011). Corporate Social Responsibility. Yogyakarta: Graha Ilmu
18