Post on 31-Jul-2021
BUKU AJAR
HUKUM DAN KEBUDAYAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
JULI – DESEMBER 2015
BUKU AJAR
HUKUM DAN KEBUDAYAAN
Planning Group
Prof. Dr. I Wayan P. Windia, S.H., M.Si
Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H
A.A. Gede Oka Parwatha, S.H., M.Si
I Nyoman Wita, S.H., M.H
I Gst Ngr Dharma Laksana, S.H., M.Kn
I Gst Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn
A.A. Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
KATA PENGANTAR
Atas asung kerta nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas berkenanNya Buku ajar Hukum dan Kebudayaan dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Buku ajar ini merupakan hasil Revisi serta
penggabungan block book dan buku ajar, serta pedoman pelaksanaan proses
pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi dosen dan tutor, sehingga
pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan yang diharapkan
Materi buku ajar Hukum dan Kebudayaan ini meliputi : identitas mata
kuliah, tim pengajar, deskripsi mata kuliah, organisasi materi, metode dan strategi
pembelajaran, tugas-tugas, penilaian, dan bahan bacaan. Buku ajar ini dilengkapi
dengan kontrak perkuliahan dan satuan acara perkulianan yang ditempatkan pada
lampiran.
Kami, tim pengampu mata kuliah Hukum dan Kebudayaan, menyadari
bahwa buku ajar ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun demikian,
kami yakin sekecil apapun usaha yang telah dilakukan, akan mempunyai manfaat
terhadap pelaksanaan proses pembelajaran dan mencapai hasil sesuai dengan
kompetensi yang direncanakan.
Denpasar, 29 Desember 2015
Penyusun.
ii
D A F T A R I S I
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
I . Identitas Mata Kuliah ........................................................................ 1
II . Deskripsi Mata Kuliah ....................................................................... 1
III . Tujuan Mata Kuliah ........................................................................... 2
IV . Organisasi Materi Perkuliahan ......................................................... 2
V . Metode dan Strategi Proses Pembelajaran ...................................... 3
VI . Persiapan Proses Perkuliahan ........................................................... 4
VII . Ujian dan Penilaian ............................................................................ 4
VIII. Bahan Bacaan ..................................................................................... 4
IX . Jadwal Perkuliahan ............................................................................ 6
Pertemuan I : Perkuliahan 1 ( Manusia dan Masyarakat ) ....................... 8
Pertemuan II : Tutorial 1 (Konsep Manusia, Konsep Masyarakat ) .......... 12
Pertemuan III : Tutorial 2 (Persaingan, Pertikaian, Konflik, Akomodasi) . 13
Pertemuan IV : Perkuliahan 2 ( Masyarakat dan Hukum ) ........................ 15
Pertemuan V : Tutorial 3 (Nilai Universal, Norma Sosial) ........................ 25
Pertemuan VI : Tutorial 4 (Tujuan dari Hukum) .......................................... 25
Pertemuan VII : UJIAN TENGAH SEMESTER (Terstruktur)
Pertemuan VIII : Perkuliahan 3 ( Kebudayaan dan Manusia ) ..................... 28
Pertemuan IX : Tutorial 5 (Wujud Kebudayaan, Unsur-Unsur Kebudayaan,
Sistem Nilai Budaya) ........................................................ 41
Pertemuan X : Tutorial 6 ( Kebudayaan Nasional dan Peradaban) .......... 41
Pertemuan XI : Perkuliahan 4 ( Budaya Hukum Sebagai Unsur Dalam
Sistem Kebudayaan ) ......................................................... 43
Pertemuan XII : Tutorial 7 (Pengertian Budaya Hukum, Type Budaya
Hukum ............................................................................... 54
Pertemuan XIII : Tutorial 8 (Kesadaran Hukum Sebagai Bagian Dari
Budaya Hukum ................................................................... 54
Pertemuan XVI : UJIAN AKHIR SEMESTER ( Terstruktur )
1
I. IDENTITAS MATA KULIAH
Nama Mata Kuliah : Hukum dan Kebudayaan.
Kode Mata Kuliah : BII 1204
SKS : 2 SKS
Semester : I ( Satu )
Status Mata Kuliah : Wajib Institusional (Universitas/Fakultas)
Tim Pengajar : 1. Prof. Dr. I Wayan P. Windia, S.H., M.Si
2. Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H
3. A.A. Gede Oka Parwatha, S.H., M.Si
4. I Nyoman Wita, S.H., M.H
5. I Gst Ngr Dharma Laksana, S.H.,M.Kn
6. I Gst Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn
7. A.A. Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H
II. DESKRIPSI MATA KULIAH
Mata kuliah Hukum dan Kebudayaan mengkaji aspek teoritis dan aspek
praktis Hukum dan Kebudayaan. Aspek teoritis meliputi beberapa pokok bahasan
seperti: manusia dan masyarakat, masyarakat dan hukum serta manusia dan
kebudayaan.
Aspek praktis meliputi hubungan hukum dan kebudayaan dan analisis
aturan perundang-undang jaman dulu (atita), kini (wartamana) dan akan datang
(nagata), dari perspektif nilai budaya lokal dan nasional. Selain itu, analisis atas
nilai budaya lokal akan dilakukan dari perspektif HAM, pluralisme hukum dan
nilai universal. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat Indonesia yang terdiri
dari berbagai etnis dengan kebudayaannya masing-masing, tidak hidup sendiri
melainkan hidup ditengah-tengah ”kampung dunia” atau komunitas global.
Untuk menambah pemahaman tentang materi yang disajikan, kepada
mahasiswa juga diwajibkan membuat tugas menganalisis aturan perundang-
undangan yang kurang memberi ruang pada pluralisme hukum.
2
III. TUJUAN MATA KULIAH
Setelah menyelesaikan mata kuliah Hukum dan Kebudayaan, mahasiswa
diharapkan dapat memahami hakikat hukum dan hakikat kebudayaan serta makna
hubungan hukum dan kebudayaan, peranan kebudayaan terhadap hukum, dan
memahami eratnya hubungan hukum dan kebudayaan.
IV. ORGANISASI MATERI PERKULIAHAN
1. Manusia dan Masyarakat
a. Manusia dan orang.
b. Hidup bermasyarakat.
(Pesaingan, Pertikaian, Konflik,Akomodasi).
2. Masyarakat dan Hukum
a. Pengertian hukum.
b. Fungsi hukum.
c. Sanksi hukum.
3. Kebudayaan dan Manusia
a. Pengertian kebudayaan, wujud kebudayaan dan unsur-unsur
kebudayaan, sistem nilai budaya
b. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional (Indonesia).
c. Local genius dan peradaban.
4. Budaya Hukum Sebagai Unsur Dalam Sistem Hukum
a. Pengertian Budaya Hukum
b. Type Budaya Hukum
c. Kesadaran Hukum Srbagai Bagian dari Budaya Hukum
V. METODE DAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN
Metode Perkuliahan. Perkuliah dilaksanakan dengan metode Problem
Based Learning (PBL), yang berarti bahwa pusat pembelajaran ada pada
3
mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah “belajar” (learning) dan bukan
“mengajar” (teaching).
Strategi Pembelajaran. Kombinasi perkuliahan 50% (6 kali pertemuan
perkuliahan) dan tutorial 50% (6 kali pertemuan tutorial). Satu pertemuan untuk
Tes Tengah Semester, dan satu kali pertemuan untuk Tes Akhir Semester (TAS).
Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial. Perkuliahan Hukum Hukum dan
Kebudayaan dilaksanakan sebanyak 12 kali tatap muka, dengan rincian sebagai
berikut. Perkuliahan berlangsung selama 6 kali yaitu pertemuan ke 1,3,5,7,9, dan
ke 11. Tutorial 6 kali pertemuan yaitu: pertemuan ke 2, 4,6,8, 10 dan ke 12.
Strategi Perkuliahan. Perkuliahan berkaitan dengan pokok bahasan akan
dipaparkan dengan alat bantu media berupa papan tulis, power point slide, serta
penyiapan bahan bacaan tertentu yang dapat diakses oleh mahasiswa. Sebelum
mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self study) mencari
bahan materi, membaca dan memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan
sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Tekhnik perkuliahan:
pemaparan materi, tanya jawab dan diskusi (proses pembelajaran dua arah).
Strategi Tutorial. Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas: (discuccion
task, study task dan problem task) sebagai bagian dari self study, kemudian
berdiskusi di kelas tutorial dan presentasi power point. Dalam 6 kali tutorial di
kelas, mahasiswa diwajibkan:
o Menyetor karya tulis sesuai dengan topik tutorial 4, 6 dan 8. Memilih
salah satu topik tersebut dan disetor paling lambat pada tutorial ke 6.
o Mempresentasikan tugas tutorial dalam bentuk power point untuk
tugas tutorial 4 dan 6. Presentasi dilakukan saat tutorial 4 dan 6.
4
VI. PERSIAPAN PROSES PERKULIAHAN
Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa diwajibkan memiliki Block Book
mata kuliah Hukum dan Kebudayaan, dan sudah mempersiapkan materi, sehingga
perkuliahan dan tutorial dapat terlaksana dengan lancar dan mahasiswa memiliki
persepsi dasar yang mendekati persamaan tentang satu pokok bahasan.
VII. UJIAN DAN PENILAIAN
Ujian. Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian
Tengah Smester (UTS) dan Ujian Akhir Smester (UAS).
Penilaian. Penilaian akhir dari proses pembelajaran ini berdasarkan rumus
nilai akhir sesuai buku pedoman yaitu:
(UTS + TT ) + 2 (UAS)
2
NA =
3
Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan rincian dan
kesetaraan sebagai berikut :
Skala Nilai Penguasaan
Kompetisi
Keterangan dengan skala nilai
Huruf Angka 0-10 0-100
A
B
C
D
E
4
3
2
1
0
Sangat baik
Baik
Cukup
Sangat kurang
Gagal
8,0-10,0
7,0-7,9
5,5-6,4
5,0-5,4
0,0-4,9
80-100
70-79
55-64
50-54
0-49
VIII. BAHAN BACAAN
1. Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta.
2. Alisyahbana, S. Takdir, 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan
Indonesia. Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai. Jakarta, Idayu Press.
5
3. Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya
Paramita.
4. Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar,
Pustaka bali Post.
5. ____________, 2004. Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan. Denpasar,
Sinay.
6. Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta,
Pustaka Jaya.
7. Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung
Jakarta.
8. _________, 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta, Bumi
Aksara.
9. Alfian. 1984. “Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional”, dalam Alfian
(Ed), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta :
Gramedia
10. Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta,
Gramedia.
11. ____________, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
12. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982. Perihal Kaedah
Hukum. Bandung, Alumni.
13. Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Alumni,
Bandung.
14. ____________, 1982. Ilmu Hukum. Bandung, Alumni.
15. Sudikan, Setyo Yuwana, 2001. Metode Penelitian Kebudayaan,
Surabaya, Citra Wacana.
16. Soerjono Soekanto, 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan
Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
17. _______________, 2005. Faktor-faktor yang Mempenaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
6
18. Lawrence. M. Friedman. 1989. The Legal Syetem : A Social Science
Preventive. New York : Russel
19. Ronny Hanitijo Soemitro, 1984. Masalah-Masalah Sosiologi Hukum.
Bandung : Sinar Baru
20. Soejono Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1982. Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat. Jakarta : Rajawali
21. T.O. Ihromi. 1986. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia
22. Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Proyek
Pembinaan Mutu Pendidikan Dikti, Dep. P & K, 1994.
23. Wiranata, I Gede A.B.2002. Antropologi Budaya. Bandung, Citra Aditya
Bakti.
XI JADWAL PERKULIAHAN
Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:
NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN
1 I Pendahuluan
Manusia dan Masyarakat
Persaingan, Pertikaian, Konflik,
Akomodasi
Perkuliahan 1
2 II Konsep Manusia, Konsep Masyarakat Tutorial 1
3 III Persaingan, Pertikaian, Konflik,
Akomodasi
Tutorial 2
4 IV Pengertian Nilai dan Norma atau
Kaedah, PengertianHukum, Fungsi
Hukum, Sanksi Hukum
Perkuliahan 2
5 V Nilai Universal, Norma Sosial Tutorial 3
6 VI Tujuan dari Hukum Tutorial 4
7 VII UJIAN TENGAH SEMESTER Terstruktur
8 VIII Kebudayaan dan Manusia, Konsep Perkuliahan 3
7
Kebudayaan, Local Genius dan
Peradaban
9 IX Wujud Kebudayaan, Unsur-Unsur
Kebudayaan, Sistem Nilai Budaya,
Tutorial 5
10 X Kebudayaan Nasional dan Peradaban Tutorial 6
11 XI Budaya Hukum Sebagai Unsur Dalam
Sistem Hukum, Pengertian Budaya
Hukum, Type Budaya Hukum, , Syarat-
Syarat Efektifitas Hukum
Perkuliahan 4
12 XII Pengertian Budaya Hukum, Type
Budaya Hukum
Tutorial 7
13 XIII Kesadaran Hukum Sebagai Bagian Dari
Budaya Hukum
Tutorial 8
14 XIV UAS Terstruktur
8
Pertemuan I : Perkuliahan. 1
Manusia dan Masyarakat
A. Manusia dan orang.
B. Hidup bermasyarakat.
(Pesaingan, Pertikaian, Konflik dan Akomodasi).
A. Manusia
Manusia menunjuk kepada pengertian biologis. Dari sudut biologis,
manusia satu dengan yang lainnya, tidak berbeda. Manusia laki,
perempuan, dewasa, anak-anak, sama saja.
Orang menunjuk kepada pengertian yuridis atau hukum. Dari sudut
hukum, manusia tidak sama.
Dalam kepustakaan Sosiologi, manusia itu disebut ”individu”. Berasal dari
bahasa Latin individum yang artinya: satuan kecil yang tidak dapat dibagi
lagi. Individu menurut konsep Sosiologi berarti manusia yang hidup
berdiri sendiri, tidak mempunyai kawan (Abdulsyani, 2002: 25).
Manusia memiliki beberapa kebutuhan. Maslow (1984) mengemukakan
ada 5 kebutuhan dasar individu manusia, yaitu: (1) Kebutuhan psikologis
(faal); (2) Kebutuhan keselamatan; (3) Kebutuhan akan rasa memiliki dan
rasa cinta; (4) Ketubuhan akan harga diri; (5) Kebutuhan akan perwujudan
diri. Disamping 5 kebutuhan itu, ada dua kebutuhan lagi yaitu kebutuhan
untuk mengetahui dan memahami serta kebutuhan estetis (seni).
Malinowski mengemukakan ada beberapa kebutuhan dasar manusia,
seperti: makanan, reproduksi (seks), kenyamanan tubuh, keamanan,
kebutuhan gerak dan kebutuhan untuk tumbuh. Dalam memenuhi
kebutuhan tersebut, manusia menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungan setempat, sehingga manifestasinya berbeda-beda. Jika
9
kebutuhan tersebut secara minimal tidak terpenuhi, akan terjadi
penyimpangan, baik dalam tingkah laku tertutup maupun dalam tingkah
laku terbuka. Kebutuhan itu menimbulkan dorongan (drive) untuk
memenuhi dalam bentuk usaha atau aktivitas. Ada tiga dorongan dasar
(basic drive) manusia, yaitu: basic drive untuk, mempertahankan diri,
basic drive untuk melanjutkan keturunan dan basic drive untuk
menyatakan diri.
Manusia atau individu menunjuk pengertian biologis, sedangkan orang
menunjuk pengertian yuridis. Dari sudut biologis manusia itu sama tetapi
dari sudut yuridis, manusia tidak sama. Seorang manusia laki-laki
kedudukan hukumnya berbeda dengan seorang manusia perempuan.
Seorang manusia dewasa kedudukan hukumnya berbeda dengan manusia
anak-anak. Contoh: Orang dewasa dapat melakukan perbuatan hukum,
sedangkan orang yang belum dewasa (anak-anak) tidak dapat melakukan
perbuatan hukum.
Perbuatan hukum artinya perbuatan tertentu yang sesuai dengan aturan
hukum, seperti: perkawinan, jual-beli, sewa-menyewa, dll. Perbuatan
tertentu yang tidak sesuai dengan hukum atau dilarang oleh hukum,
disebut perbuatan melawan hukum, seperti: pemerkosaan, pembunuhan,
penipuan, dll.
B. Masyarakat
Manusia adalah mahluk sosial. Aristoteles menyebutnya sebagai zoon
politicon atau mahluk bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, tak
selamanya berjalan mulus. Kadang-kadang ada pesaingan, pertikaian,
konflik, dan akomodasi (penerimaan kembali). Itu sebabnya diperlukan
adanya aturan hukum.
10
Pertanyaannya, apa yang disebut masyarakat dan kenapa manusia hidup
bermasyarakat? Masyarakat dalam bahasa Inggris disebut society yang
berasal dari kata Latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat
sendiri berasal dari akar kata Arab, syaraka yang berarti “ikut serta”,
“berpartisipasi”.
Beberapa difinisi masyarakat:
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan
istilah ilmiah saling “berinteraksi” (Koentjaraningrat, 1986: 144).
Mac Iver: Masyarakat adalah suatu sistem kebiasaan dan tatacara, dari
wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan,
dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia. Keseluruhan yang
selalu berubah ini, kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan
jalinan hubungan sosial. Masyarakat selalu berubah.
Koentjaraningrat (1986) mengemukakan bahwa dalam hal menganalisa
proses interaksi antara individu dalam masyarakat harus membedakan dua
hal yaitu: (1) kontak dan (2) komunikasi. Kontak dapat dilakukan secara
langsung dan tidak langsung (SMS, telpon, TV, koran, buku, dll). Dalam
hal kontak, belum tentu ada komunikasi. Komunikasi timbul setelah
kontak terjadi. Dalam proses itu Pihak I mengatakan sesuatu dengan
bahasa atau melakukan sesuatu yang berupa tindakan (gerak, ekspresi
mukda, ucapan, dll), dan dapat dimengerti serta dapat ditangkap oleh
Pihak II. Manusia dapat melakukan kontak dan komunikasi dengan sesama
manusia. Manusia tidak dapat melakukan kontak dengan anjing, karena
anjing tidak mengerti bahasa, tidak dapat membaca, tetapi dapat
berkumonikasi dengan anjing, dengan menggunakan isyarat. Prinsip
komunikasi adalah ”kesamaan pengertian”.
11
Ralph Linton: Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang tlah lama
hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu mengorgasisasikan dirinya
dan berfikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-
batas tertentu.
Selo Soemardjan: Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama
yang menghasilkan kebudayaan.
Berdasarkan difinisi tersebut, Soerjono Soekanto (1982), memerinci
unsur-unsur masyarkat adalah sbb:
- Manusia hidup bersama.
- Bercampur untuk waktu yang cukup lama.
- Sadar mereka merupakan satu kesatuan.
- Mereka merupakan sitem hidup bersama, shg menimbulkan
kebudayaan.
Menurut Bouman, P.J (1976), ada beberapa unsur biologis menyebabkan
manusia hidup bersama.
- Dorongan untuk makan.
- Dorongan untuk mempertahankan diri.
- Dorongan untuk memiliki keturunan.
Dalam hidup bersama atau bermasyarakat, manusia melakukan interakasi
satu dengan yang lainnya. Dalam berinteraksi, dapat terjadi beberapa
kemungkinan.
o Kerja sama (cooperative): masing-masing memiliki kepentingan
sama dan harus dicapai secara bersama.
o Persaingan (compotation): masing-masing memiliki kepentingan
sama dan harus dicapai atau dimenangkan oleh salah satu pihak,
seperti dalam olahraga.
12
o Pertikaian (conflict): persaingan yang mengarah pada kekerasan
dan pihak satu berusaha meniadakan pihak yang lainnya.
o Akomodasi (accommodation): proses penyesuaian setelah melewati
persaingan atau pertikaian.
Bahan Bacaan
1. Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung
Jakarta.
2. Kontjarningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
3. Soerjono Soekanto, 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
4. Wila Huky, 1982. Pengantar Sosiologi. Usaha Nasional, Surabaya.
5. Wiranata, I Gede A.B, 2002. Antroologi Budaya. Bandung, Citra Aditya
Bakti.
Pertemuan II : Tutorial 1
Manusia dan Masyarakat
1. Study Task
Diskusikan pertanyaan dibawah ini :
1. Jelaskan pada saat kapan sekumpulan manusia dapat dikatakan sebagai
masyarakat!
2. Jelaskan mengapa manusia hidup bermasyarakat!
3. Jelaskan pada saat kapan seseorang dikatakan manusia dan pada saat
kapan dikatakan masyarakat!
4. Jelaskan apakah kerumunan manusia yang menunggu kendaraan/halte
untuk berangkat ke suatu tempat tujuan dapat dikatakan sebagai
masyarakat!
5. Ada orang tua, pasangan suami istri, remaja, anak-anak dan bayi yang
masih dalam kandungan. Pada dasarnya semua mereka adalah manusia,
13
tetapi dalam hal-hal tertentu tidak semua mereka dapat disebut orang.
Jelaskan kapan dan dalam keadaan bagaimana mereka dapat disebut orang.
Pertemuan III : Tutorial 2
Persaingan, Pertikaian, Konflik, Akomodasi
1. Discussion Task - Study Task
Ada pertandingan sepak sepak bola perebutan piala di sebuah lapangan
sepak bola di ibu kota negara. Penonton penuh sesak, ada orang berjualan sendiri
maupun bersama temannya, kesebelasan dan permainan sepak bola yang penuh
semangat, karena masing-masing ingin menciptakan gol kemenangan. Perhatikan
mereka itu dengan seksama, kemudian jelaskan bahwa di tempat itu ada individu,
kelompok, masyarakat, kerjasama, persaingan, pertentangan dan konflik.
2. Discussion Task - Study Task
Sengketa berawal dari tukar menukar/tukar guling tanah milik salah satu
warga Desa Pakraman Bebetin yang bernama Pan Negara dengan tanah milik
Desa Pakraman Bebetin. Pada tahun 2010 kejadiannya hampir bersamaan dengan
sengketa tanah yang terjadi di Desa Pakraman Lemukih, pihak/si pemilik tanah
mengingkari kesepakatan tukar menukar/tukar guling tanah yang telah
ditandatangani 32 tahun silam, mungkin karena nilai ekonomis tanah milik (Pan
Negara) lebih tinggi dibandingkan dengan tanah milik Desa Pakraman Bebetin.
Tanah yang mulanya akan ditukar tersebut diambil alih kembali oleh
pemiliknya, dipagar dan ditanami pisang dengan alasan dia berkeberatan
disebabkan tanah yang ditukarnya tersebut belum bersertifikat. Pada saat itu
masyarakat Desa Pakraman Bebetin menjadi marah karena di atas tanah tersebut
telah didirikan bangunan (balai banjar) dan selebihnya dipergunakan untuk sarana
olah raga, aparat desa pada saat itu dapat meredam kemarahan dari warga,
akhirnya kami (masyarakat Desa Pakraman Bebetin) mengadakan mediasi dengan
pemilik tanah, supaya tidak terjadi bentrokan antara pemilik tanah dengan
masyarakat Desa Pakraman Bebetin.
14
Dengan diadakan mediasi kedua belah pihak, yang dihadiri oleh Kepala
Desa, Bedesa Adat, Muspika, Kapolsek, Danramil dan masyarakat Desa
Pakraman Bebetin, akhirnya terjadilah kesepakatan semula bahwa obyek yang
dijadikan tukar guling disepakati 1 (satu) banding 2 (dua). Pan Negara
mengeluarkan tanah 45 are dan Desa Pakraman Bebetin mengeluarkan tanah 90
are dengan catatan bahwa pemilik tanah (Pan Negara) bebas/berhak memilih
lokasi yang diinginkan. Dalam proses pensertifikatan pihak BPN meminta Surat
Pernyataan/Berita Acara tukar menukar/tukar guling yang disaksikan oleh Kepala
Desa, Bendesa Adat, Muspika, Kapolsek, Danramil, yang sampai saat penelitian
ini dilakukan proses terbitnya sertifikat masih dalam proses di BPN. Perhatikan
kasus diatas selanjutnya mengapa sampai terjadi konflik antara kedua belah pihak
dan jelaskan bagaimana proses akomodasi kedua belah pihak yang berkonflik!
15
Pertemuan IV : Perkuliahan 2
Masyarakat dan Hukum
A. Pengertian nilai dan norma atau kaedah
B. Pengertian hukum.
C. Fungsi hukum.
D. Sanksi hukum.
A. Pengertian Nilai
Wila Huky (1982) dalam bukunya Pengantar Sosiologi, mengemukakan
bahwa “nilai” selalu berkaitan dengan “norma”. Walaupun demikian,
keduanya dapat dibedakan.
Nilai merupakan sikap dan perasaan perorangan dan masyarakat secara
keseluruhan, tentang baik buruk, benar salah serta suka dan tidak suka,
terhadap obyek materiil dan non materiil.
Nilai cendrung berkaitan satu dengan yang lainnya secara komunal untuk
membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam masyarakat. Bila tidak
terdapat keharmonisan yang intregral diantara nilai-nilai dalam
masyarakat, akan terjadi problem sosial.
Norma merupakan aturan dengan sanksi, dimaksud untuk mendorong atau
menekan orang dan masyarakat untuk mencapai nilai-nilai sosial. Nilai
dan norma bergandengan dalam mendorong masyarakat untuk mencapai
keadaan yang dianggap lebih baik dalam masyarakat. Contoh nilai bagi
orang Bali-Hindu: Arah Utara, Timur, danau, laut, diyakini memiliki nilai
kesucian. Timur Laut, paling bernilai suci. Kepala lebih bernilai dari kaki.
Atas dasar bahwa arah Utara dan Timur dianggap lebih bernilai dari pada
Selatan dan Barat, kemudian Timur Laut, yang dianggap paling bernilai,
kemudian muncul norma atau kaedah yang menentukan: Tempat suci
16
(pura) dibangun di Utara atau Timur. Kalau tidur kepala/bantal
ditempatkan di Timur.
Atas dasar bahwa kepala (atas) lebih bernilai dari kaki (bawah) bagi orang
Bali, kemudian muncul sikap: Orang Bali tidak mau lewat (masulub) di
tempat jemuran. Sebagian laki-laki Bali tidak rela mencuci “cd”
wanita/istrinya.
Tipe-Tipe Nilai
Nilai Utama atau nilai dominan: merupakan susunan inti sistem nilai yang
mengekspresikan pandangan umum suatu masyarakat terhadap alam,
agama, keluarga, dll. Contoh: Utara/Timur lebih bernilai dibandingkan
Selatan/Barat, dll.
Nilai Antara (Intermediate): Nilai ini ditarik dari nilai utama yang lebih
mudah dipahami dan dimgnerti. Contoh: Membangun tempat suci di
Utara/Timur, danau, laut, dll.
Nilai Khusus: sangat terbatas jumlahnya, untuk orang atau kelompok
tertentu. Contoh: kepala/bantal ada di Utara, dll. Ada orang atau keluarga
tertentu yang sangat fanatik tentang hal ini, tetapi ada juga yang tidak
begitu hirau, yang penting tempat tidurnya tidak kotor.
Fungsi Nilai
• Penentu terakhir bagi manusia dalam menentukan peranan sosialnya. Dalam
arti, menentukan cara berfikir dan bertindak yang baik dalam masyarakat
tertentu. Sebagai alat pengawas bagi tindakan manusia. Nilai dapat
menimbulkan rasa bersalah bagi pelanggarnya. Sebagai alat pemersatu atau
solidaritas di alangan masyarakatnya.
17
Norma atau Kaidah
• Kata kaedah berasal dari bahasa Arab dan norma dari bahasa Latin, yang
berarti “Ukuran”. Dimaksudkan dengan kaedah atau norma adalah ketentuan
yang mengatur tingkah laku, sifat, tindak tanduk manusia dalam masyarakat
• Kaedah diperlukan untuk mengatur prilaku manusia. Salah satu unsur dari
prilaku itu adalah gerak sosial, yang pada hakekatnya merupakan sistem yang
mencakup hirarki pengaturan.
• Di dalam prilaku manusia (interraksi sosial terlihat prilaku beberapa
pihakyang kemudian mungkin pula terjadi proses saling mempengaruhi,
interaksi sosial antar pribadi-pribadi kadang-kadang disebut juga sebagai
hubungan interpersonal. Intinya adalah adanya hubungan antar manusia
yangn didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan tertentu. Kebutuhan
interpersonal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang
lain yang apabila tidak dilaksanakan akan menghasilkan gangguan atau
keadaan yan tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan. Walaupun
kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut menghasilkan prilaku yang
beranekaragam tetapi pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup
teratur.
• Untuk tercapainya keteraturan tersebut, di dalam pergaulan hidup diperlukan
suatu pedoma atau patokan yang akan memberikan wwadah bagi aneka
pandangan mengenai keteraturan yang semula merupakan pandangan pribadi.
Pedoman atau patokan tersebut lasim disebut norma atau kaedah.norma atau
kaedah tersebut ada 4 macam, diantaranya norma agama, norma kesusialaan,
norma kesopanan, dan norma hukum,
• Norma hukum menetapkan pola hubungan-hubungan antar manusia da juga
merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat kedalam pola-pola
18
tertentu sehingga ada batasan-batasan yang jelas tentang pola-pola prilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah diterima oleh masyarakat
yang bersangkutan. Hubungan disini mengandung makna tentang kontak
secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon individu-individu dan
kelompok.
• Dalam interaksi sosial yang berlangsung demikian, selalu terjadi empat
kemungkinan yang merupakan bentuk interaksi sosial itu sendiri, yaitu
kerjasama, kompetisi, konflik, dan akomodasi.
• Kerjasama dalam hal ini hubungan individu dalam pergaulan terjalin
kerjasama yang baik, sehingga segala sesuatunya belangsung secara
harmonis, serasi dan tidak ada ketegangan-ketegangan berarti. Kompetisi atau
persaingan dimana unsur-unsur dalam pergaulan hidup, antara kekuatan yang
satu dengan kekuatan yang lain sudah mulai ada perasaan ingin unggul.
Apabila hal ini berlangsung secara sehat, tentu tidak akan terjadi ketegangan.
Konflik atau pertikaian dimana terjadi pertentangan antara kekuatan sosial
tertentu dengan yang lain, sampai menimbulkan ketegangan-ketegangan saial.
Akomodasi atau terjadinya penyelesaian kembali, sehingga keadaan tegang
akan menjadi reda karena ditangani oleh unsur-unsur pergaulan hidup,
sehinnga masyarakat mmenjadi tertib kembali.
Jenis Norma atau Kaedah
• Kaedah atau borma dapat digambarkan sebagai aturan tingkah laku: sesuatu
yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
keadaan tertentu. Ada juga yang menyebut kaedah petunjuk hidup yang
mengikat. Kaedah berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dalam
masyarakat. Gustav Radbruch (Ahmad Ali : 2002) membedakan kaedah
menjadi empat:
19
1. Kaedah/norma agama
Sumbernya: ajaran agama, yang menentukan perbuatan baik dan buruk
berdasarkan ajaran agama. Sanksinya dari Tuhan. Kuat : kalau percaya,
lemah : kalau tidak percaya
2. Kaedah/norma etika/kesusialaan
Sumbernya: hati nurani, menentukan perbuatan baik buruk berdasarkan
hati nurani.kuat: kalau punya hati nurani, lemah: tidak punya hati nurani.
Sanksinya: sanksi moral
3. Kaedah/norma kesopanan
Sumbernya: lingkungan sosial, menentukan perbuatan benar dan salah
berdasarkan lingkungan sosial. Sanksinya : sanksi sosial. Kuat : kalau
punya rasa malu, lemah; kalau tidak punya rasa malu
4. Kaedah/norma hukum
Sumbernya pihak berwenang. Menentukan perbuatan benar dan salah
berdasarkan aturan hukum. Sanksinya : jelas dan tegas sesuai hukum.
Kuat : kalau penegak hukum bermoral ataun sesuai dengan budaya hukum
masyarakat, lemah : kalau sebaliknya.
B. Pengertian Hukum
• Membaca buku Ahmad Ali berjudul Menguak Tabir Hukum (2002), akan
diketahui ada banyak difinisi hukum. Beberapa diantaranya adalah:
• P. Bors
Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan
manusia didalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan
bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.
• Van Kan
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
20
• Karl von Savigny
Keseluruhan hukum sungguh-sugguh terbentuk melalui kebiasaan dan
perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-
diam.
• Emmnuel Kant
Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi
antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan
pribadi orang lain sesuai dengan hukum tentang kemerdekaan.
• John Austin
Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak
langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang
merupakan masyaraka tpolitik yang independen, dimana otoritasnya
(pihak yang berkuasa) meruapakan otoritas tertinggi.
• Hans Kelsen
Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia.
Hukum adalah kaedah primer yangmenetapkan sanksi-sanksi.
Berdasarkan beberapa difinisi di atas, dapat dikemukakan bahwa hukum
adalah Himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, dengan tujuan
untuk mengatur tata kehidupan masyarakat yg mempunyai ciri memerintah dan
melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman
bagi yang mereka yang melanggarnya. Mac Iver (Ahmad Ali: 2002),
membedakan ada dua jenis hukum, yaitu: (1) Hukum di atas politik adalah
konstitusi negara (seperti UUD 1945), dan (2) hukum di bawah politik adalah
undang-undang, dan berbagai perangkat aturan hukum yang lainnya.
21
C. Fungsi hukum
• Membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum (subyek
hukum),menjamin kepentingan dan hak-hak mereka masing-masing, dan
menciptakan pertalian-pertalian guna mempererat hubungan antar manusia
dan menentukan arah bagi adanya kerjasama.
Tujuan hukum
• Mencapai perdamaian, keadilan, kesejahtraan dan kebahagiaan bersama
dengan dilengkapi bentuk-bentuk sanksi yg bersifat tegas dan nyata.
D. Sanksi hukum
• Agar fungsi dan tujuan hukum tercapai, maka setiap aturan hukum disertai
dengan ancaman sanksi yang tegas. Sanksi dalam hal ini berarti, akibat
dalam bentuk penderitaan (nestapa) yang dijatuhkan oleh penegak hukum,
terhadap pelaku pelanggaran hukum.
• Mengutip pendapat L. Pospisil (1956) dalam disertasinya yang berjudul
The Kapauku Papuans and Their Law, Koentjaraningrat (1984)
mengemukakan bahwa hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka
suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk
membedakan suatu aktivitas itu dan aktivitas-aktivitas kebudayaan lain
yang mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang
peneliti harus mencari akan adanya empat ciri dari hukum, atau
attributes of law.
• Attribute yang terutama disebut atributte of law authority. Atribut otoritas
menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah
keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi kuasa dan
pengaruh dalam masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi
pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena ada,
22
misalnya: (i) serangan-serangan terhadap diri individu, (ii) serangan-
serangan terhadap hak orang, (iii) sedangan-serangan terhadap pihak yang
berkuasa, (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umum.
• Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal
application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari
pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-
keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan yang harus
dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam
masa yang akan datang.
• Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini
menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus
mangandung perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap pihak
kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak
kesatu. Di dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari
individu-individu yang hidup. Kalau keputusan tidak mengandung
perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan tak
akan ada akibatnya, dan karena itu keputusan tidak akan merupakan
keputusan hukum. Kalau pihak kedua itu, misalnya nenek moyang yang
sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan kewajiban pihak
kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum, tetapi hanya
suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.
• Attribute yang keempat disebut attribute of sanction, dan menentukan
bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasan harus dikuatkan
dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi
jasmaniah berupa hukuman tubuh dan depriviasi dari milik (yang
misalnya amat dipentingkan dalam sistem hukum bangsa-bangsa
Eropa), tetapi juga berupa sanksi rohani, seperti misalnya menimbulkan
rasa takut, rasa malu, rasa benci dan sebagainya. Dengan demikian
23
jelaslah kalau hukum dan sanksi seperti satu paket. Hukum selalu disertai
sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang mengingkari hukum yang
dimaksud.
• Para ahli ilmu sosial sanksi ini diberi arti yang lebih luas dari
penggunaannya dalam hukum. Radcliffe-Brown menguraikan sanksi
menjadi dua yaitu: sanksi negatif dan sanksi positif. Sanksi negatif
diberikan bagi orang yang berlaku tidak sesuai dengan aturan hukum.
Sanksi positif (pujian) bagi orang yang berlaku taat, tanpa merinci siapa
yang memberi pujian ataupun hukuman. (Ihromi, 1984). Jadi sanksi
adalah perangkat aturan-aturan yang mengatur bagaimana lembaga-
lembaga hukum mencapuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu
sistem sosial sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam
sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan.
Mengacu pada pendapat Radcliffe-Brown, dapat dikemukakan bahwa
yang disebut sanksi negatif dari sudut hukum pidana, disebut “hukuman”
atau “pidana”.
• Dimaksudkan dengan hukuman (pidana) dalam pengertian Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) ialah : “Suatu perasaan tidak enak
(sengsara) yang dijatuhkan oleh hakin dengan ponis kepada orang yang
telah melanggar undang-undang hukum pidana”. Hukuman yang biasa
dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman disiplinair yang
diberikan oleh penjabat polisi kepada bawahannya, karena telah
melanggar peraturan tata-tertib kepolisian, tidak masuk dalam
pengertian ini.
24
Bahan bacaan
1. Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta.
2. Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung
Jakarta.
3. Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya
Paramita Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia.
Bandung, Alumni.
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1983. Prihal Kaidah Hukum.
Bandung: Alumni.
5. Ihromi, T.O, 1986. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia
6. Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta,
Gramedia.
7. ____________, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
8. Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung.
9. Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 1983. Hukum Adat Indonesia.
Jakarta: Rajawali.
10. Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Proyek
Pembinaan Mutu Pendidikan Dikti, Dep. P & K, 1994.
11. Wila Huky, 1982. Pengantar Sosiologi. Usaha Nasional, Surabaya.
25
Pertemuan V : Tutorial 3
Nilai Universal, Norma Sosial
Study Task - Diskusikan pertanyaan dibawah ini :
1. Faktor apakah yang mempengaruhi munculnya nilai tertentu dalam suatu
masyarakat?
2. Adakah ”nilai universal” dalam kehidupan umat manusia?
3. Jelaskan perbedaan nilai dengan norma!
4. Faktor apa yang paling membedakan antara norma hukum dengan norma-
norma lainnya dalam kehidupan bermasyarakat
5. Bagaimana kemungkinannya apabila norma hukum kurang sejalan dengan
norma-norma lainnya?
Pertemuan VI : Tutorial 4
Tujuan dari Hukum
1. Discussion Task – Study Task
Dalam banyak hal, tatanan kehidupan masyarakat tradisional, masyarakat
hukum adat (desa pakraman di Bali), berbeda dengan tatanan kehidupan
masyarakat modern. Beberapa ciri masyarakat modern antara lain, lebih
menghargai keindividuan, lebih mengutamakan kepastian dengan cara berfikir
yang rasional. Sementara itu, yang terjadi dalam masyarakat tradisional adalah
situasi yang sebaliknya. Betapapun besar perbedaannya, pada dasarnya kedua
masyarakat tersebut ada persamaannya, terutama kalau dilihat dari sudut hukum.
Pertanyaan/diskusi
1. Jelaskan bahwa dalam masyarakat yang paling terkebelakang sekalipun,
sebenarnya kehidupan mereka juga diatur oleh hukum.
2. Bagaimana harus dijelaskan bahwa tujuan hukum masyarakat yang paling
terkebelakang sekalipun, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
masyarakat modern.
26
3. Bacalah dengan seksama Pasal 10 KUHP. Perhatikan situasi dan kondisi
kelompok masyarakat yang dikenal dengan sebutan ”Petisi 50” pada
zaman Orde Baru. Cari beberapa sumber bacaan tentang ”embargo
ekonomi” terhadap negara Libya dan Irak, pada tahun 1980-an. Baca juga
berita tentang penganaan sanksi adat ”kasepekang” oleh desa pakraman di
Bali, terhadap warganya yang dianggap telah melakukan pelanggaran adat.
Kemudian jelaskan hal itu dan kaitkan dengan Radcliffe-Brown tentang
sanksi.
2. Discussion Task – Study Task
Kemampuan kehidupan abad ke Sembilan belas yang penuh dengan
kemajuan di banyak bidang kehidupan bukan akhir dan puncak dari peradaban
umat manusia. Dan kodifikasi tidak juga merupakan puncak dan akhir dari
perkembangan hukum. Kepuasan dengan ilmu hukum yang ada telah mampu
menyusun bahan hukum kedalam kodifikasi dan penggunaan metoda yang
spesifik mulai mengalami goncangan memasuki abad kedua puluh.
Masyarakat yang berbudaya tidak hanya melihat hukum sebagai suatu
system perundang-undangan belaka atau lazim disebut dengan pemahaman
hukum secara normatif, karena sebetulnya kehidupan hukum itu lebih luas dan
tidak hanya sebatas perundang-undangan saja.
Untuk mengerti dan memahami hukum tidak cukup hanya dengan
membaca undang-undang saja, tetapi perlu ilmu lain sebagai pembantu agar
tujuan hukum, penegakan hukum dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan,
apakah tentang penerapannya di masyarakat ataukah dalam rangka menyelesaikan
sesuatu kasus yang menyangkut hukum sesuai dengan fungsi maupun tujuan
hukum itu sendiri.
27
Diskusikan mengenai pengertian manusia, masyarakat, hukum dan
kebudayaan? Jelaskan mengapa untuk mengerti hukum dan masyarakat tidak
cukup hanya dengan membaca dan mengerti undang-undang saja?. Dan
bagaimanakah hubungan antara masyarakat dengan hukum serta dimana letak
hubungan antara hukum dengan kebudayaan?.
28
Pertemuan VIII : Perkuliahan 3
Kebudayaan dan Manusia
A. Pengertian kebudayaan, wujud kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaan.
Sistem nilai budaya
B. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional (Indonesia).
C. Local genius dan peradaban.
• Dikalangan ahli, masih ada perdebatan istilah: ”kebudayaan” atau
”budaya”. Ada yang mengatakan budaya dan ada juga kebudayaan. Ada
yang mengatakan “budaya” itu kata sifat dan “kebudayaan” kata benda.
Dalam uraian selanjutnya, akan digunakan istilah “kebudayaan”.
• Kebudayaan:
Arti sempit = kesenian.
Arti luas = hal-hal yang mengakut akal dan budi serta keseluruhan aspek
kehidupan.
• Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan menjelaskan bahwa kata “kebudayaan”, berasal dari kata
Sansekerta “buddhayah”, bentuk jamak dari “budi” atau akal. Maka dari
itu, kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal
atau budi.
A. Beberapa Difinisi Kebudayaan
• Ada banyak difinisi kebudayaan. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn
mencatat, sampai tahun 1950, menemukan 179 buah difinisi kebudayaan.
Pemikirannya kemudian diterbitkan dalam buku berjudul: Culture,a
critical Review of Concepts and Difinitions (1952).
29
• E.B.Taylor
Kebudayaan sebagai kompleks mencakup pengetahuan,kepercayaan, seni,
moral hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yg didapatkan manusia sebagai warga masyarakat.
• Herkovits dan Malinowski
Kebudayaan super organik, yg hidup turun temurun dan terus menerus
berkesinambungan walau anggota masyarakat silih berganti karena irama
kematian dan kelahiran.
R.Linton, 1947
Kebudayaan adalah konfigurasi tingka laku yang dipelajar dan hasil
tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh
anggaota masyarakat tertentu.
• W.H. Kelly dan C. Kluckhon,
Kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit,
implisit, rasional, irrasional dan non rasional yang terdapat pada setiap
waktu sebagai pedoman yan gpotensial bagi tingkah laku manusia.
• Ariojono Sujono, .
Kebudayaan adalah keseuruhan hasil daya budi cipta, karya dan karsa
manusia yang dipergunakan untuk memahami lingkungan, serta
pengalamannya agar menjadi pedoman bagi tingkah lakunya, sesuai
dengan unsur-unsur universal di dalamnya.
Koentjaraningrat.
Kebudayaan itu adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yg harus
dibiasakan dengan belajar,beserta dari keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu.
30
• Ki Hadjar Dewantara
Kebudayaan adalah buah budi manusia (jiwa yang masak dan cerdas dan
mampu mencipta), atau hasil perjuangan hidup manusia yang kuat dan
abadi yakni alam dan zaman.dan bisa mengatasi pengaruh alam dan zaman
yang menyukarkan hidupnya lahir dan bathin dan memperbesar hasil
hidupnya.
Dari beberapa difinisi kebudayaan tsb di atas dapat diketahui beberapa
kesamaan, terkait dengan manusia dan kebudayaan: Bahwa kebudayaan hanya
dimiliki oleh masyarakat manusia. Kebudayaan yang dimiliki manusia diturunkan
melalui proses belajar dari tiap individu dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan merupakan pernyataan perasaan dan pikiran manusia. Kebudayaan
meliputi seluruh eksistensi manusia, mencakup semua aspek kehidupan manusia
sebagai anggota masyarakat, sebagai hasil karya, rasa dan cipta manusia dalam
masyarakat yg bertujuan meningkatkan mutu hidup dan kehidupan manusia dlm
masyarakat.
Wujud dan Unsur Kebudayaan
a. Wujud Kebudayaan
Ditinjau dari dimensi wujud, Kuncaraningrat (1981: 5 & Alfian (Ed):100),
mengemukan tiga wujud kebudayaan:
1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan, dan sebagainya;
2. Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat;
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan sehari-hari
tidak dapat dipisahkan dan dapat saling mempengaruhi. Hal ini dapat kita
gunakan dua pendekatan:
31
Pendekatan dengan model idealisme/ideasional/kognisi dan pendekatan
materialisme. Model ideasional/kognisi, mempunyai arti lapisan atas
(system budaya/ideology) mempengaruhi lapisan tengah dan lapisan
bawah. Sedangkan pendekatan dengan model materialisme budaya
mengandung arti bawa basis/lapisan bawah (benda budaya/artefak)
mempengaruhi bangunan basis atas (system budaya/ideology).
Walaupun ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan
sehari-hari tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, tetapi untuk
kepentingan analisis, dipandang perlu diadakan pemisahan secara tajam.
b. Isi (unsur) Kebudayaan
Dalam menganalisa isi dari kebudayaan manusia pada umumnya ataupun
isi dari suatu kebudayaan tertentu, sebaiknya kita mempergunakan konsep
“unsur-unsur kebudayaan universal” (cultural universals), yaitu unsur-
unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik pada
masyrakat yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar dan
kompleks.
Konsep unsur kebudayaan universal mula-mula dikemukakan oleh ahli
antropologi bernama B. Malinoski, kemudian oleh G.P. Murdock dan C.
Kluckhohn.
Dengan mengambil contoh konsepsi B. Malinowski, dengan beberapa
perubahan, dalam semua kebudayaan di dunia ada 7 unsur universal,
(Koentaraningrat dalam Alfian (ed), 1984 :101, yaitu:
32
1. Bahasa;
2. Sistem Teknologi;
3. Sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi;
4. Organisasi social;
5. Sistem pengetahuan;
6. Relegi; dan
7. Kesenian.
Urutan tersebut di atas mempunyai maksud tertentu, yaitu berdasarkan
teori bahwa rupa-rupanya bahasa merupakan unsur kebudayaan yang paling dulu
timbul dalam kebudayaan manusia.
Menurut Koentjaraningrat (1981) unsur-unsur kebudayaan universal ini
merupakan unsur yang pasti bisa ditemukan disemua kebudayaan manusia di
dunia.
Koentaraningrat mengemukakan susunan dari unsure-unsur kebudayaan
yang berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Malinowski, sebagai berikut:
1. Sistem relegi dan upacara keagamaan;
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan;
3. Sistem pengetahuan;
4. Bahasa;
5. Kesenian;
6. Sistem mata pencaharian hidup;
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Susunan tersebut di atas menurut Koentaraningrat dibuat untuk
menggambarkan unsur-unsur mana yang paling sukar berubah atau kena pengaruh
33
kebudayaan lain, dan mana yang paling mudah berubah atau diganti dengan
unsure-unsur kebudayaan lain. Lebih lanjut dinyatakan bahwa urutan yang paling
atas adalah unsur kebudayaan yang paling sukar berubah, makin ke bawah makin
mudah berubah serta kena pengaruh unsur-unsur kebudayaan lain.
Apabila dimensi wujud dan unsur (isi) kebudayaan tersebut di atas
dikombinasikan dalam suatu bagan, maka akan nampak dalam bagan sebagai
berikut dibawah ini.
1 2
7
III II I 3
6
4
5
I. Sistem Budaya, 1 – 7 Unsur-unsur kebudayaan universal
II. Sistem Sosial
III. Kebudayaan Fisik
Sistem Nilai Budaya
Dalam setiap kebudayaan terkandung nilai-nilai dan norma social yang
merupakan factor pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku dan mencapai
kepuasan tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
34
Nilai merupakan ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang
berhubungan keadaan baik-buruk, benar-salah atau suka-tidak suka terhadap suatu
obyek baik material maupun non material.
Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan-peraturan yang
selalu disertai oleh sanki-sanksi yang merupakan factor pendorong bagi individu
atau kelompok masyarakat untuk mencapai ukuiran nilai social tertentu yang
dianggap terbaik untuk dilakukan. Alvin L. Bertrans mendifinisikan norma
sebagai suatu standard-standard tingkah laku yang terdapat di dalam semua
masyarakat (Abdulsyani, 1994 :49 & 54).
Norma-norma tersebut biasanya oleh masyarakat dinyatakan dalam
bentuk-bentuk kebiasaan, tata kelakuan, dan adat-istiadat atau hukum adat. Pada
awalnya norma terbentuk tidak sengaja, akan tetapi dalam proses social yang
relatif lama, tumbuhlah berbagai aturan yang kemudian diakui bersama secara
sadar, kekuatan daya ikat suatu norma tidak sama satu dengan lainnya ada yang
lemah ada yang kuat sampai masyarakat tidak berani melanggarnya. Norma
dimaksudkan agar dalam suatu masyarakat terjadi hubungan-hubungan yang lebih
teratur antar manusia sebagaimana yang diharapkan bersama.
Untuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara
sosiologis dikenal ada empat (4) bagian norma-norma social, yaitu:
a. Cara berbuat (usage), mempunyai kekuatan sangat lemah dibandingkan
norma yang lainnya.
b. Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways). Mempunyai
daya pengikat yang lebih kuat disbanding usage.
35
c. Tata kelakuan (mores), adalah kebiasaan yang diakui oleh masyarakat
sebagai norma pengatur dalam setiap berprilaku. Tata kelakuan lebih
menunjukkan fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap
anggota-anggotanya. Tata kelakuan ini mempunyai kekuatan pemaksa
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatau; jika terjadi pelanggaran dapat
dikenakan sanksi berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali
menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah
digariskan.
d. Adat-istiadat (custom), adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan
yang mempunyai sanksi yang lebih lebih keras. Anggota masyarakat yang
melanggar adat-istiadat, akan mendapatkan sanksi hukum, baik formal
maupun informal. (Usman Pelly, 1997:55-56).
Secara difinitif Theodorson (dalam Usman Pelly & Asih Menanti, 1997)
mengemukakan bahwa nilai merupakan suatu yang abstrak yang dijadikan
pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku.
C. Klukhohn mendifinisikan nilai budaya sebagai”…konsepsi umum yang
terorganisir, yang mempengaruhi tingkah laku yang berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan manusia dengan sesamanya, dan
tentang hal-hal yang diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antara
orang dengan lingkungan dan sesama manusia”. (dalam Usman Pelly & Asih
Menanti, 1997).
36
Koentjaraningrat (1981:25) mengemukakan suatu system nilai budaya
terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai
dalam hidup. Kerana itu, suatu system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
peoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Itulah sebabnya nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhi
dalam menentukan alternatif, cara-cara, dan tujuan dari perbuatannya.
Sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatannya lebih konkrit, seperti aturan-
aturan khusus, hukum, dan norma-norma semuanya juga berpedoman pada system
nilai budaya itu. Secara fungsional system nilai mendorong individu untuk
berprilaku seperti apa yang telah ditentukan. Mereka percaya hanya dengan
berprilaku seperti apa yang telah ditentukan mereka akan berhasil.
Yang perlu dikemukan dalam pembahasan ini adalah suatu system nilai
budaya dalam kebudayaan mengatur masalah apa saja? Untuk menjawab
pertanyaan ini dapat diacu kerangka masalah yang dapat diterapkan secara
universal untuk menganalisa semua semua system nilai budaya yang ada di dunia.
Kerangka itu pertama dikemukakan oleh seorang ahli antropologi C.
Kluckhohn. Menurutnya semua system nilai budaya dalam semua kebudayaan di
dunia, sebenarnya mengatur lima masalah pokok dalam kehidupan manusia.
Kelima masalah pokok tersebut adalah:
1. Masalah hakekat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH);
2. Masalah hakekat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK);
37
3. Masalah hakekat dari kedudukan manusia dalam rung dan waktu
(selanjutnya disingkat MW);
4. Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
(selanjutnya disingkat MA);
5. Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya
(selanjutnya disingkat MM).
Cara kebudayaan masing-masing kebudayaan di dunia itu
mengkonsepsikan masalah universal ini dengan variasi yang berbeda-beda.
TEBEL
Kerangka Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar
Dalam Hidup Yang mennetukan Orientasi
Nilai Budaya Manusia
No
Masalah Dasar Dalam
Hidup
Orientasi Nilai Budaya
1
Hakekat Hidup (MH) Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk ttp
manusia wajib
berusaha agar
hidup menjadi baik
2 Hakekat Karya (MK)
Karya untuk
hidup
Karya untuk
kedudukan,
kehormatan,
dsb
Karya untuk
menambah karya
3
Hakeka Waktu (MW) Masa Lalu Masa Kini Masa Depan
4
Hakekat Hubungan
Manusia dengan Alam
(MA)
Takluk pada
Alam
Menguasai
Alam
Selaras dengan
Alam
5
Hakekat Hubungan
Manusia dengan
Sesamanya (MM)
Orientasi
Vertical
Orientasi
Horizontal
Individualisme,
menilai tinggi
usaha atas
kekuatan sendiri
38
B. Kebudayaan Nasional dan Kebudayaan Daerah
• Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, terdapat tiga golongan
kebudayaan yang masing-masing mempunyai corak sendiri-sendiri. Ketiga
golongan itu satu sama lain saling berbeda tetapi saling berkaitan
merupakan satu kesatuan yang namanya kebudayaan Indonesia (Sudikan,
2001). Ketiga golongan kebudayaan tersebut adalah (1) kebudayaan suku
bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indoensia dengan nama
kebudaan daerah); (2) kebudayaan umum lokal dan (3) kebudayaan
nasional.
Kebudayaan Daerah
• Suasana suku bangsa merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan
kehidupan dari para warga masyarakat suku bangsa yang berlandaskan
pada pranata sosial yang bersumberkan pada kebudayaan suku bangsa.
Suasana ini terwujud dalam kehidupan keluarga, kehidupan komunitas
desa khususnya, hubungan-hubungan kekerabatan, dan dalam berbagai
upacara dan ritual sosial dan keagamaan. Dalam interaksi sosial para
pelakunya menggunkan identitas yang sesuai, yang berdasarkan atas
sistem penggolongan sosial dan pranata yang ada dalam kebudayaan suku
bangsanya. Inilah yang disebut kebudayaan daerah.
Kebudayaan Lokal
• Suasana umum lokal merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan
kehidupan dari para warga sesuatu bagian dari masayarakat yang
masyarakatnya terdiri atas lebih dari satu suku bangsa, sehingga kegiatan-
kegiatan kehidupan tersebut berlandaskan atas pranata-pranata sosial yang
bersumberkan atas kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang berlaku
setempat dan dalam beberapa juga dipengaruhi oleh kebudayan nasional.
Suasana umum lokal yang terwujud ditempat-tempat umum, pasar, dan di
tempat-tempat pergaulan terjadi. Suasana umum lokal dapat didominasi
oleh salah satu kebudayaan suku bangsa yang ada setempat, tetapi dapat
39
juga merupkan hasil perpaduan dari berbagai unsur kebudayaan bangsa
yang ada setempat tergantung pada corak hubungan kekuatan yang berlaku
diantara suku-suku bangsa tersebut. Ini yang disebut kebudayaan lokal.
Kebudayaan Nasional
• Suasana nasional bisa terwujud dalam berbagai kegiatan-kegiatan
pemerintah, sekolah, universitas, ABRI, dan berbagai kegiatan-kegiatan
upacara yang bersifat nasional. Karena pada umumnya pusat dari pada
kegiatan-kagiatan tersebut adanya di perkotaan dengan kota Jakarta
menjadi pusatnya karena kedudukannya sebagai ibu kota Negara
Indonesia, maka suasana nasional biasanya juga lebih terwujud
diperkotaan dari pada di pedesaan. Dalam suasana nasional, identitas yang
digunakan oleh para pelakunya dalam interaksi adalah bersumber pada
sistem penggolongan dan pranata yang ada dalam kebuadayaan nasional.
C. Local Genius atau Kearifan Lokal dan Peradaban
• Istilah yang kini lebih dikenal dengan “kearifan lokal”, berasal dari istilah
asing local genius. Istilah local genius pertama kali diperkenalkan oleh Dr.
H.G. Quaritch Wales (1948), dalam bukunya The Making of Greater
India: A Study in South- East Asia Culture Change. Istilah local genius
dipergunakan untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan asli (pribumi)
dalam proses akulturasi dengan kebudayaan India. (Poespowardojo, 1986:
30; Muljana, 2006: 232). Dari lokal genius, muncul beberapa istilah dalam
bahasa Indonesia, seperti “keperibadian kebudayaan lokal” (Muntardjito,
1986), “cerlang budaya” (Ayatrohaedi, 1986), yang umum digunakan
sekarang adalah “kearifan lokal”.
• Kearifan lokal (local genius) adalah unsur-unsur budaya atau ciri-ciri
tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk
mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta
40
mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli (Poespowardojo, 1986).
Kearifan lokal (local genius) Bali adalah unsur-unsur budaya Bali atau
ciri-ciri tradisional Bali yang mampu bertahan dan bahkan memiliki
kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta
mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Contoh kearifal lokal atau
lokal genius Bali seperti satya, tri hita karana, paras paros.
Peradaban
• Koentjaraningrat (1974:10) mengemukakan bahwa istilah peradaban
biasanya diperguakan untuk bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan
yang halus, dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun
dan sistem pergaulan yang kompleks dalam satu masyarakat dengan
struktur yang kompleks. Sering kali peradaban dipergunakan untuk
menyebut sistem teknologi seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan
dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Berdasarkan pendapat di
atas, dapat dikemukakan bahwa peradaban, relatif lebih sulit berubah
dibandingkan kebudayaan. Contoh: manusia berpakaian, memiliki rumah,
berkeluarga sesuai norma yang berlaku, sedangkan cara berkaian, tipe
rumah, dapat disebut sebagai kebudayaan.
Bahan Bacaan :
1. Alisyahbana, S. Takdir, 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan
Indonesia. Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai. Jakarta, Idayu Press.
2. Alfian. 1984. ”Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional”, dalam Alfian
(Ed), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia
3. Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta.
4. Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya
Paramita.
5. Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar,
Pustaka bali Post.
41
6. Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung.
7. Soerjono Soekanto, 2005. Faktor-faktor yang Mempenaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
8. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1982. Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat. Jakarta : Rajawali.
Pertemuan IX : Tutorial 5
Wujud Kebudayaan, Unsur-Unsur Kebudayaan, Sistem Nilai dan Budaya
Study Task
1. Kajilah dengan contoh bahwa ketujuh unsur kebudayaan mengandung
ketiga wujud kebudayaan.
2. Jelaskan perbedaan nilai dengan norma, jelaskan pula macam-macam
norma dari sudut pandang sosiologis..
3. Dalam perjudian di Bali, khususnya sabungan ayam (tajen), dikenal
adanya istilah-istilah seperti “cok”, “gasal”, “pada baret”. Jelaskan hal ini
dari sudut kebudayaan.
4. Hubungkan kerangka Kluckhon mengenai masalah dasar dalam hidup
manusia dengan konsepsi Tri Hita Karana
5. Ada “tri hita karana”, “desa pakraman”, “satya”, “eda ngaden awak bisa”.
Jelaskan istilah-istilah tersebut dari sudut kearfan lokal (local genius)
Bali?
Pertemuan X : Tutorial 6
Kebudayaan Nasional dan Peradaban
Discussion Task - Study Task
Dalam temu wirasa Gubernur Bali, Mangku Pastika di Kabupaten Bangli
bulan Desember 2009 terungkap bahwa banyak warga desa pakraman yang stress.
Salah satu penyebabnya adalah beban adat yang berat, dan adanya berbagai
42
ketentuan awig-awig dan pararem desa pakraman yang cendrung sangat ketat
mengikat warganya dengan berbagai kewajiban terhadap desa pakraman.
Kecendrungan akan banyaknya warga masyarakat yang stress dapat diketahui dari
pasien yang menghuni rumah sakit jiwa di Bangli dari tahun ke tahun semakin
meningkat.
Dilain pihak, ada yang mengatakan bahwa desa pakraman sebagai
komunitas lokal di Bali adalah salah satu local genius yang dapat berfungsi
sebagai benteng terakhir untuk melestarikan kebudayaan Bali.
Topik Diskusi
1. Apakah awig-awig dan pararem dapat disebut kebudayaan?
2. Mungkinkan desa pakraman dapat melestarikan kebudayaan Bali?
3. Bagaimanakah komentar Anda terhadap pendapat Sutan Takdir
Alisyahbana tentang kebudayaan dilihat dari sudut nilai?
43
Pertemuan XI : Perkuliahan 4
Budaya Hukum Sebagai Unsur Dalam Sistem Hukum
A. Pengertian Budaya Hukum
B. Type Budaya Hukum
C. Kesadaran Hukum Sebagai Bagian Dari Budaya Hukum
D. Syarat-Syarat Efektifnya Hukum
A. Pengertian Budaya Hukum
Dewasa ini kajian tenatng hukum telah berkembang dengan pesat.
Berbagai perspektif tentang hukum yang digunakan oleh para pengkaji hukum
menambah suburnya perkembangan hukum itu sendiri. Salah satu perspektif yang
mulai dikembangkan dewasa ini adalah hukum dalam perspektif budaya. Dalam
perspektif ini hukum tidak saja dilihat sebagai bagian dari kebudayaan, tetapi
hukum itu sendiri mengandung suatu komponen budaya yang disebut budaya
hukum (legal culture).
Apabila suatu masyarakat kita perhatikan akan nampak walaupun sifat-
sifat individu berbeda-beda, namun para para warga secara keseluruhan akan
memberikan reaksi yang sama terhadap gejala-gejala tertentu. Dengan adanya
reaksi yang sama itu maka mereka memiliki sikap yang umum sama. Hal-hal yang
merupakan milik bersama itu dalam antropologi budaya dinamakan kebudayaan
(T.O. Ihromi, 1986:13)
Budaya hukum bukanlah merupakan budaya pribadi, melainkan budaya
menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai suatu kesatuan sikap dan prilaku.
Oleh karenanya dalam membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan
masyarakat yang mengandung budaya hukum itu. Misalnya bagaimana tentang
44
sikap prilaku dan tanggapan masyarakat tertentu terhadap sikap prilaku dan
pandangan masyarakat lain. Tanggapan yang sama itu dapat bersifat menerima
atau menolak budaya hukum lain, begitu pula halnya terhadap norma-norma
hukum sendiri yang dikehendaki berlaku.
Sebelum diperkenalkan budaya hukum, sarjana hukum mengadakan
wacana mengenai hukum dengan terfokus hanya pada pengertian hukum sebagai
aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas. Mereka seolah-olah tidak menyadari
bahwa kenyataan social mempunyai pengaruh besar terhadap “beroperasinya”
hukum dalam kehidupan sehari-hari. Mereka beranggapan bahwa tidak ada
perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan
perilaku-perilaku orang dalam menyikapi aturan-aturan dan norma-norma
tersebut.
Untuk dapat melakukan kajian yang holistic tentang hukum dan kenyataan
social, diperlukan suatu pendekatan empiris yang memungkinkan untuk dapat
dilakukan pengamatan terhadap beroperasinya hukum. Untuk itu hukum harus
dipandang sebagai suatu system yang terdiri dari tiga komponen. Menurut
Friedman (1975) (ahli sosiologi hukum yang pertama kali mengemukakan konsep
budaya hukum), komponen tersebut adalah: legal structure/komponen struktural
(institusi atau penegak hukum), seperti Polisi, Hakim, Jaksa, pengacara, dan
sebagainya; legal substantive/komponen substantif (aturan-aturan, dan norma-
norma); dan legal culture/budaya hukum, meliputi ide-ide, sikap-sikap,
kepercayaan, nilai-nilai, harapan, dan pandangan tentang hukum. (Sulistyowati
Irianto, dalam Masinambow (Ed), 2000: 70; Hanitijo Soemitro, 1984: 10)
45
Pendapat friedman kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa sarjana
seperti Daniel S. Lev, dan khusus untuk Indonesia konsep tersebut dikemukakan
oleh Satjipto Rahardjo bersamaam dengan usaha pengembangan studi hukum dan
masyarakat.
Budaya hukum ini oleh Friedman disebut dengan “bensinnya motor
keadilan” yang selanjutnya dirumuskan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang
memberikan pengaruh positif dan negatif kepada tingkah laku yang berkaitan
dengan hukum. Demikian juga kesenangan dan ketidak senangan berperkara
adalah bagian dari budaya hukum.
Dengan demikian mengacu dari pendapat Friedman apa yang dimaksud
dengan budaya hukum adalah: keseluruhan sikap masyarakat dan system nilai
yang ada pada masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum
itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Atau keseluruhan factor-faktor
yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempat yang sesuai dan
dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat (Ronny Hanitijo Soemitro,
1984:10). Atau menurut Hilman Hadikusuma (1986:52) adalah: tanggapan yang
bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Ia
merupakan sikap dan prilaku manusia terhadap masalah hukum yang terbawa ke
dalam masyarakat. Oleh karena system hukum itu merupakan hubungan yang
berkaitan di antara manusia, masyarakat, kekuasaan, dan aturan-aturan, maka titik
perhatian dalam hal ini adalah prilaku manusia yang terlibat dalam peristiwa
hukum. Kaitan antara prilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya terletak
46
pada tanggapan terhadap hukum yang ideologis dan hukum yang praktis. Antara
keduanya bertemu dalam peristiwa hukum yang terjadi.
Kalau kita melihat bekerjanya hukum harus melihat dari ketiga komponen
tersebut di atas, dalam arti ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Bilamana kita melihat bekerjanya hukum semata-mata dari segi
strukturalnya saja, maka kita akan terpaku pada kerangka bekerjanya system
hukum sebagaimana digambarkan oleh peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Begitu juga kalau kita hanya melihat dari segi substantifnya saja maka yang
nampak adalah hukum sebagai seperangkat norma yang logis dan bersifat otonom.
Dari itu hukum kebanyakan dilihat sebagai suatu yang bersifat dogmatis sehingga
realita masyarakat menjadi terlupakan.
Dengan dimasukkannya komponen budaya, kita akan melihat hukum
tersebut secara lebih realitis, yaitu melihat hukum sebagaimana adanya dalam
kehidupan masyarakat. Atau dalam istilah yang lebih khusus melihat hukum
sebagai suatu yang “terpasang dalam masyarakat”. Melalui pendekatan yang
demikian itu dapat diketahui apakah hukum itu digunakan atau tidak dalam
kehidupan masyarakat.
Dengan demikian budaya hukum akan berfungsi sebagai “jiwa” yang akan
menghidupkan seluruh mekanisme hukum, akan tetapi juga dapat “mematikan”
seluruh mekanisme pelaksanaan hukum yang ditetapkan unutk berlaku dalam
masyarakat. Selain itu melalui budaya hukum kita akan dapat melakukan
monitoring terhadap tingkat pelaksanaan atau penegakkan hukum dalam
masyarakat, apakah hukum itu efektif atau tidak.
47
Dengan melihat komponen-komponen dalam system hukum yang saling
mempengaruhi, maka akan dapat dikaji bagaimana beroperasinya hukum dalam
praktek sehari-hari. Hukum adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat, oleh
karenanya kita tidak mungkin mengkaji hukum secara terisolasi tanpa
memperhatikan kekuatan-kekuatan social yang ada dalam masyarakat. Secara
khusus budaya hukum adalah bagian dari kekuatan-kekuatan social tersebut, yang
dapat memberi masukan, menjadi penggerak, dan selanjutnya memberi out put
kepada system hukum.
B. Type Budaya Hukum
Untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan luas tentang budaya
hukum, kiranya perlu dikemukakan pendapat Daniel S. Lev yang mencoba untuk
mempergunakan konsep budaya hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedman
untuk menganalisa perubahan system hukum di Indonesia semenjak revolusi.
Dalam tulisannya ia membagi budaya hukum atas “nilai-nilai hukum prosedural”
dan “nilai-nilai hukum substantif”
Satjipto Rahardjo telah membuat analisa bagaimana sebenarnya budaya
hukum yang berlaku dalm masyarakat Indonesia pada umumnya. Landasan
pendapatnya bertolak dari anggapan bahwa dalam hal berlakunya hukum hal-hal
yang tidak dapat diabaikan disamping mereka-mereka yang menjalankan hukum
positif, juga peranan orang-orang atau anggota masyarakat yang menjadi sasaran
berlakunya hukum positif tersebut. Apakah hukum itu dijalankan atau tidak dalam
48
masyarakat, banyak ditentukan oleh sikap, nilai serta pandangan yang dihayati
oleh anggota masyarakat.
Berdasarkan anggapannya, Satjipto mengemukakan pembedaan budaya
hukum yang berlaku dalam masyarakat tradisional, masyarakat modern, dan pada
masyarakat yang sedang mengalami perkembangan. Dalam masyarakat tradisional
berlaku “budaya hukum absolut”; dalam masyarakat modern berlaku” budaya
hukum terbuka”; dan dalam masyarakat yang sedang mengalami perkembangan
berlaku “budaya hukum personal”.
Tiga bentuk budaya hukum yang disebutkan Satjipto, secara umum dapat kita
sebut sebagai bentuk-bentuk dari “budaya hukum local”, dan “budaya hukum
umum”
Hilman Hadikusuma (1986: 54-59) mengemukakan tiga type budaya
hukum sebagai berikut:
1. Budaya Parokial/Picik (parochial culture). Cara berfikir masyarakat masih
terbatas. Kaidah hukum peninggalan leluhur pantang dirubah atau dilanggar,
sebab penyimpangan terhadap kaidah tersebut akan mendapat kutukan gaib.
Dalam masyarakat dengan type budaya hukum seperti ini belum banyak
diadakan pembagian kerja, pemimpinnya bersifat multi fungsi atau serba
guna. Masyarakat lebih mengutamakan dan membagakan budaya hukumnya
sendiri, serta mengganggap hukumnya lebih baik dari hukum orang lain. In
put dari warga masyarakat yang berkaitan dengan hukum dan keadilan sangat
kecil, apalagi terhadap system hukum tidak ada sama sekali, mereka
percayakan saja kepada pemimpin.
49
2. Budaya Subjek (takluk). Cara berfikir sudah ada perhatian dan mungkin juga
sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa
yang lebih tinggi. Orientasi pandangan terhadap aspek hukum yang baru
sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, Cuma cara
pengungkapannya secara pasif.
3. Budaya Partisipan (berperan Serta). Cara berfikir dan berperilaku masyarakat
ada yang berbudaya takluk, namun sudah banyak masyarakat merasa berhak
dan berkewajiban berperan serta, karena sudah banyak yang merasa berhak
dan berkewajiban berperan serta. Orang-orang sudah merasa mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Mereka merasa terlibat dalam masukan dan keluaran hukum, serta ikut
menilai peristiwa hukum dan peradilan, serta terlibat dalam kehidupan hukum
baik yang menyangkut kepentingan umum, maupun keluarga dan dirinya
sendiri.
C. Kesadaran Hukum Bagian Dari Budaya Hukum
Suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah yang
mempengaruhi “jalannya” peraturan hukum itu dalam masyarakat? Berfungsi atau
tidaknya hukum dalam masyarakat, efektif atau tidaknya peraturan itu di tengah-
tengah kehidupan masyarakat, adalah sederetan pertanyaan yang berkaitan dengan
kaidah hukum itu sendiri.
Karena kaidah hukum itu dibentuk berdasarkan kemauan hukum
masyarakat, berdasarkan kemauan bersama (kolektif), maka dalam
50
pembentukannya harus berdasarkan “asas” yang hidup di tengah-tengah
masyarakat sebagai tempat menyendikan norma hukum itu.
Azas yang hidup dimaksudkan disini adalah kenyataan yang
mempengaruhi penerapan hukum dalam masyarakat, serta dengan dasar ini pula
hukum itu dibentuk agar sesuai dengan kemauan hukum masyarakat.
Pembentukan kaidah hukum yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan
“menyendikan hukum berdasarkan atas kesadaran hukum”
Dalam Tap MPR. No II/MPR/1983 tentang GBHN, ada disebutkan bahwa:
“Dalam pembangunan dan pembinaan hukum ini akan dilanjutkan usah-usaha
untuk meningkatkan dan menyempurnakan hukum nasional dalam rangka
pembangunan hukum, antara lain dengan mengadakan kodifikasi serta univikasi
hukum dibidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang
berkembang dalam masyarakat”.
Disana dikatakan bahwa ”Azas kesadaran hukum itu adalah bahwa tiap-
tiap waraga Negara Indonesia harus selalu sadar dan taat kepada hukum dan
mewajibkan negara untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum”.
GBHN tidak memperinci lebih lanjut tentang pengertian kesadaran hukum, hanya
saja pada bagian lain ada disinggung tentang “azas kesadaran hukum” yang
menurut Chairuddin (1991) pengertian yang diberikan tidak membantu dalam
menjelaskan masalah tersebut. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa pengertian
tersebut di atas adalah pengertian dalam arti operasional, bukan dalam arti “azas”
yang melandasi dari norma hukum yang kita maksudkan semula.
51
Menurut Scholten sebagaimana yang dikutip oleh Abdurahman (dalam
Chairuddin, 1991:106), bahwa “kesadaran hukum masyarakat dalam masa transisi
memberikan batasan bahwa pengertian kesadaran hukum itu meliputi,
pengetahuan tentang hukum, penghayatan terhadap hukum, dan ketaatan terhadap
hukum.
Jika demikian batasan yang diberikan, maka permasalahannya adalah
bagaimana menyusun norma hukum, yang didasarkan asas kesadaran hukum.
Untuk dapat menghayati dan mentaati norma hukum, orang harus terlebih dahulu
mengetahuinya. Hukum yang disusun tanpa memperhatikan aspek ini justru akan
menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Orang yang mengetahui tentang
sesuatu justru akan lebih mudah untuk memahami yang menimbulkan keinginan
untuk menghayati dan mematuhinya, ketimbang orang yang tidak mengetahui
sama sekali.
Jika dalam suatu masyarakat masing-masing individu telah “mengetahui” yang
sampai mentaatinya, maka terciptalah dalam masyarakat itu perasaan kolektif
untuk menghormati hukum.
Tepat sekali yang dikemukakan oleh Betrand Russel (dalam Seorjono
Soekanto & Mustafa Abdullah, 1982:211-212) “ hukum hampir-hampir tidak ada
gunanya apabila tidak didukung oleh perasaan daripada masyarakat”
Berkaitan dengan kesadaran hukum kiranya penting untuk dikemukakan
pendapat Von Savigny dan Eugen Ehrlich. Savigny (dalam Hanitijo Soemitro,
1984:17) berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran
hukum masyarakat (Volgeist). Semua hukum berasal dari adat-istiadat dan
52
kepercayaan dan bahkan tidak berasal daro pembentuk undang-undang..
Menurutnya betapa pentingnya untuk meneliti hubungan antara hukum dengan
struktur beserta system nilai-nilainya.
Eugen Ehrlich (dalam Hanitijo Soemitro, 1984 : 19) menyatakan bahwa
hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. selanjutnya dikemukakan bahwa pusat perkembangan hukum
bukanlah terletak pada badan-badan legislative, keputusan-keputusan badan
yudikatif, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. Tata tertib di
dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang diterima oleh
masyarakat, dan bukan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.
D. Syarat-syarat yang menentukan efektifnya hukum
• Berlakunya hukum sebagai kaedah (gelding/bhs Belanda atau geltung/bhs
Jerman), hendaknya memenuhi syarat, agar dapat berlaku efektif.
• Syarat itu adalah
(1) Syarat yuridis: memiliki landasan hukum yang lebih tinggi.
(2) Syarat sosiologis: sesuai dengan keadaan masyarakat.
(3) Syarat filosofis: bermakna bagi masyarakat.
• Menurut Soekanto & Musta Adullah (1982), bila hanya memenuhi salah
satu syarat, kemungkinannya adalah
a. Bila kaedah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan
kaedah merupakan kaedah mati.
b. Bila hanya berlaku secara sosiologis, maka kaedah hukum menjadi
aturan pemaksa.
53
c. Bila hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum hanya
merupakan hukum yang dicita-citakan.
Agar kaedah hukum dapat berfungsi seperti yang diharapkan, menurut
Soerjono Soekanto (2005), tergantung dari 4 faktor, yaitu:
a. Faktor hukum itu sendiri, yaitu undang-undang atau peraturan.
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang
membentuk dan penegak hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan atau
penegakan hukum;
d. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Bahan Bacaan :
1. Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta.
2. Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya
Paramita.
3. Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar,
Pustaka bali Post.
4. ____________, 2004. Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan. Denpasar,
Sinay.
5. Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta,
Pustaka Jaya.
6. Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung,
Alumni.
7. Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung.
8. Soerjono Soekanto, 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan
Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
9. _______________, 2005. Faktor-faktor yang Mempenaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
54
Pertemuan XII : Tutorial 7
Pengertian Budaya Hukum, Type Budaya Hukum
Study Task
1. Jelaskan Konsep budaya hukum.
2. Bandingkan pendapat Satjito Rahardjo dengan pendapat Himan
Hadikoesoema tentang type budaya hukum.
3. Ulaslah mengapa budaya hukum berkaitan dengan kekuatan-kekuatan
sosial yang ada dalam masyarakat
4. Jelaskan bahwa kesadaran hukum merupakan bagian dari budaya hukum.
5. Ulaslah pendapat Von Savigny dan Eugan Ehrlich dalan kaitannya dengan
kesadaran hukum
Pertemuan XIII : Tutorial 8
Kesadaran Hukum Sebagai Bagian Dari Budaya Hukum. Analisis undang-
undang (dulu, kini dan akan datang), perspektif nilai budaya (lokal, nasional dan
internasional).
Discussion Task - Study Task
Ada beberapa ketentuan awig-awig dan undang-undang (dulu, kini dan
akan datang), yang layak dianalisis dari perspektif nilai budaya (lokal, nasional
dan internasional), seperti:
• Sanksi adat kasepekang (dikucilkan) yang dikenal dalam masyarakat
hukum adat atau desa pakraman di Bali.
• Paswara tentang perkawinan asupudung dan alangkahi karanghulu
(larangan perkawinan antarkasta di Bali).
• Pasal Undang-Undang No 1/1974 tentang Perkawinan, khususnya ketetuan
tentang pendaftaran perkawinan, upacara perkawinan dan perceraian.
• Pasal 10 KUHP tentang ketentuan pidana.
• Undang-undang Pornografi di Indonesia.