Post on 14-Jan-2020
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
LAPORAN KASUS
Cedera Kepala Berat dengan Secondary Brain Injury
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Saraf Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp. S, M. Sc
Disusun Oleh: Amri Ashshiddieq
1810221009
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UPN
“VETERAN” JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
TAHUN 2018/2019
1
LEMBAR
PENGESAHAN
LAPORAN KASUS CEDERA KEPALA BERAT
DENGAN
SECONDARY BRAIN INJURY
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian
Kepaniteraan Klinik di Departemen Saraf
Rumah Sakit Umum
Daerah Ambarawa
Disusun Oleh:
Amri Ashshiddieq
1810221009
Telah Disetujui Oleh
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp. S, M. Sc
Tanggal:
Oktober 2019
1
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tangkil 1/4 Pringapus, Pringapus, Kabupaten Semarang
Pekerjaan : Wirausaha
Pendidikan : SD
Status : Sudah menikah
No RM : 15 *****
Masuk RS : 10 Oktober 2019
2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan Alloanamnesis serta
catatan medik pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 08.00 di bangsal Mawar.
Keluhan utama :
Penurunan kesadaran (Kecelakaan tunggal sepeda motor)
Riwayat Penyakit Sekarang :
Anamnesis pada tanggal 10 Oktober 2019
9 jam sebelum masuk rumah sakit pasien sedang mengendarai sepeda
motor, pasien terjatuh dan tidak mengingat kejadian. Tidak ada saksi mata
yang melihat kejadian tersebut, saat ditemukan pasien dalam kondisi tidak
sadar. Pasien tidak mengenai benda tajam. Beberapa saat setelah kejadian,
pasien dibawa ke RSKS dan mendapat terapi sebagai Cedera Kepala Ringan
di IGD, selanjutnya dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Karena dinilai
sudah stabil, pasien dipulangkan.
Sesampainya di rumah pasien muntah bercampur darah dua kali tanpa
didahului mual. Pasien kembali tidak sadarkan diri. Kemudian pasien
dibawa ke RSUD Ambarawa dan mendapatkan terapi segera di IGD dan
dan didiagnosa sebagai Cedera Kepala Ringan.
Di ruangan pasien baru sadar keesokan harinya dan mengeluhkan nyeri
kepala seperti dicengkeram, nyeri bertambah hebat jika pasien pindah
posisi.
2
Kelemahan anggota gerak maupun kejang disangkal. Kesemutan dan baal
juga disangkal. Seluruh anggota gerak dapat digerakkan dengan baik,
namun terasa sangat nyeri karena terdapat luka lecet. Tidak terdapat darah
segar yang keluar dari telinga, pasien sempat keluar darah dari hidung . Gigi
pasien tidak ada yang patah atau tanggal namun terasa lebih kendur, dan bibir pasien
mengalami luka. Terdapat beberapa luka lecet di bagian wajah . Pasien
mengeluhkan penglihatan ganda.
Sesak napas dan nyeri dada disangkal. BAK dan BAB secara normal tanpa
ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat epilepsi : disangkal
- Riwayat kejang : disangkal
- Riwayat stroke : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat kejang : disangkal
- Riwayat stroke : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat pribadi sosial ekonomi
Pasien adalah seorang pedagang kaki lima, sehari-harinya bekerja keliling
berjualan cilok dari jam lima pagi hingga jam sembilan malam. Dalam
kesehariannya pasien beraktivitas tinggi, sering berjalan kaki. Selama ini
pasien tidak mengeluh apapun mengenai kondisi kesehatannya dan pasien
dalam kondisi sehat menurut keluarga. Pasien datang dengan status pasien
BPJS non PBI, kesan ekonomi rendah. Pasien tinggal berdua dengan anak
paling bungsu yang berusia sekitar 15 tahun. Pasien dan keluarga cukup
dekat satu sama lain.
3
Anamnesis sistem
1. Sistem cerebrospinal
Nyeri kepala (+), muntah menyemprot tiba-tiba (+), pingsan (+),
kelemahan anggota gerak (-), perubahan tingkah laku (-), wajah merot
(-), bicara pelo (-), kesemutan/baal (-), kejang (-), penurunan kesadaran
(+)
2. Sistem kardiovaskuler
Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-)
3. Sistem respirasi
Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-)
4. Sistem gastrointestinal
Mual (-), muntah (+), BAB (+)
5. Sistem muskuloskeleteal
Kelemahan anggota gerak (-)
6. Sistem integumen
Terdapat luka robek di dahi kiri yang sudah terjahit. Terdapat memar
dan luka lecet pada dahi kiri, pipi kanan dan kiri, bagian atas bibir,
pundak kiri depan belakang, lengan atas kanan, tangakn kanan-kiri,
kaki kiri.
7. Sistem urogenital
BAK (+)
4
RESUME
ANAMNESIS
Pasien laki-laki berusia 59 tahun , 9 jam sebelum masuk rumah sakit
terjatuh dari sepeda motor. Pasien tidak mengingat kejadian. Pasien
datang ke IGD RSUD Ambarawa dalam kondisi tidak sadar.
Sebelumnya pasien sudah dibawa ke RSKS dalam kondisi tidak sadar.
Setelah mendapatkan penangan awal dan dilakukan CT Scan, kondisi
pasien membaik dan diputuskan untuk dilakukan rawat jalan oleh
dokter di RSKS. Sesampainya dirumah, pasien tiba-tiba muntah
bercampur darah dan seketika itu juga pasien kembali tidak sadar.
Pasien mendapat terapi sebagai cedera Kepala ringan dengan laseratum
dan multiple vulnus ekskoriatum. Sampai saat pasien akan dibawa ke
bangsal, pasien masih belum sadar.
Pasien baru sadar kembali keesokan harinya, mengeluhkan nyeri
kepala, mual tanpa muntah, dan pandangan ganda. Tidak ada kejang,
kesemutan atau mati rasa, tidak ada gangguan ingatan selain tentang
kejadian kecelakaan. Pasien masih bisa BAB dan BAK.
DIAGNOSIS SEMENTARA (SAAT DI IGD)
Diagnosis klinis : cephalgia dan muntah proyektil post kecelakaan
lalu lintas
Diagnosis Topis : intracranial
Diagnosis etiologi : Cedera Kepala Rimgan
5
DISKUSI I
Dari anamnesa didapatkan seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun, 9 jam
sebelum masuk rumah sakit terjatuh sepeda motor dan tidak mengenakan
helm. Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dalam keadaan tidak sadar.
Sebelumnya pasien sempat dibawa ke RSKS dalam kondisi tidak sadar, setelah
mendapatkan terapi di IGD, kondisi pasien stabil, kemudian dipulangkan.
Saat di rumah pasien muntah bercampur darah dua kali berwarna merah terang
dan beberapa gumpalan darah tanpa didahului mual, kita sebut sebagai muntah
proyektil. Kemudian pasien tidak sadar kembali. Dalam hal ini terdapat kondisi
sadar di antara kondisi tidak sadar pada pasien setelah mengalami cedera kepala.
Fenomena ini disebut sebagai lucid interval.
Muntah proyektil yang dialami pasien merupakan tanda adanya peningkatan
tekanan intra kranial akibat terkumpulnya volume perdarahan pada rongga intra
kranial. Rongga intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
dengan kapasitasnya dengan unsur sebagai berikut: cairan serebrospinal (± 75
ml), dan darah (± 75 ml), otak (1400 g). Peningkatan volume dari salah satu di
antara ketiga unsur utama ini mengakibatkan tekanan yang meningkat pada
rongga intra kranial, jika tidak ada penekanan pada unsur lainnya. Doktrin
Monro–Kellie menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan
volume yang tetap. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon
kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan tekanan intra
kranial.
Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan
serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi
menurunkan aliran darah otak.
Perdarahan yang terjadi di dalam rongga intra kranial pada pasien ini
diakibatkan oleh cedera kepala yang dialami pasien pada saat kecelakaan
.Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Perdossi,
2006). Cedera kepala dapat menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang
tengkorak, dan jaringan otak, oleh karenanya dinamakan juga cedera
6
kranioserebral yang masuk dalam lingkup neurotraumatologi yang
menitikberatkan cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan pembuluh darah
otak.
Sampai saat ini belum ada definisi yang dapat mencakup seluruh rumusan cedera
kepala, tetapi menurut strubb, ada 2 pandangan pokok yang penting, yaitu:
1. Adanya cedera yang disebabkan karena benturan pada kepala atau
akselerasi-deselerasi yang tiba-tiba dari otak di dalam rongga tengkorak
2. Adanya gangguan fungsi saraf yang terjadi. Gangguan fungsi saraf ini
secara klinis dapat berwujud berbagai macam bentuk, namun biasanya
penurunan kesadaran merupakan gambaran utama.
Terdapat darah segar yang keluar dari hidung pasien. Perdarahan yang terjadi
kemungkinan akibat fraktur os nasal atau dinding sinus paranasal sehingga
merusak pembuluh darah pada cavum nasi, atau jika ternyata ditemukan hallo
sign positif, menandakan adanya fraktur basis kraniis fossa anterior. Dari hasil
CT Scan pasien mengalami fraktur komplit dengan dispacement dinding
posterolateral et medial sinus maxilla kanan dan posterolateral sinus maxilla kiri,
fraktur linier os zygomaticum kiri.
Keluhan pandangan ganda pada pasien disebabkan oleh adanya ketidakserasian
gerakan bola mata, pada pasien ini terjadi parese pada musculus rectus lateralis
kanan.
Terdapat memar kebiruan dan beberapa luka lecet pada daerah wajah, terdapat
luka robek pada dahi kiri yang sudah terjahit.
7
Landasan Teori
Langkah-langkah sistematis manajemen pasien cedera
kepala, antara lain:
1. Mengetahui mekanisme cedera kepala
2. Memastikan beratnya cedera
Memastikan beratnya cedera kepala dapat menggunakan pemeriksaan
kesadaran Glascow Coma Scale (GCS) untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neorologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedara kepala. Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap
kepala secara langsung. Berikut merupakan klasifikasi cedera kepala
berdasarkan GCS:
Cedera kepala ringan: GCS: 14-15
Cedera kepala sedang: GCS: 9-13
Cedera kepala berat: GCS: ≤ 8
3. Mencari morfologi cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
1) Fraktur kranium:
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
tengkorak biasanya terlihat pada pemeriksaan CT Scan. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.
2) Perdarahan epidural:
Hematoma epidural terletak di antara dura dan calvaria. Umumnya terjadi
pada regio temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri
meningea media. Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar
dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul
oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral
yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa
pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi
transcentorial.
8
3) Perdarahan subdural:
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater
atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan
SDH ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang
makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan
jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran.
Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit.
Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.
4) Perdarahan subarachnoid:
Terjadi pada ruang subarachnoid (pia meter dan araknoid). Biasanya
kondisi ini disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh darah.
Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi pada kondisi nontrauma
seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Gejala yang ditimbulkan
antara lain nyeri kepala didaerah suboksipital secara tiba-tiba, pusing,
mual, muntah, demam, reflek patologi (+), ganguan kesadaran dan kaku
kuduk. Pemeriksaan CT scan untuk kondisi ini memiliki spesifitas yang
rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT angiografi untuk
mengecek perdarahan subarachnoid.
5) Perdarahan intraserebral dan kontusio:
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau vena
yang ada di bagian parenkim otak. Region frontal dan temporal
merupakan daerah yang paling sering terkena namun selain itu dapat pula
terjadi di lobus parietalis maupun pada serebellum. Kontusio
intraserebral yang dapat terjadi karena trauma melalui jejas coup
atau Jika kepala bergerak saat terjadi jejas, kemungkinan kontusio
terjadi disisi yang jauh dari tempat terjadinya jejas (countercoup).
Apabila dua pertiga lesi adalah darah, jejas terseebut disebut perdarahan.
Gejala klinis pada perdarahan Intraserebral yaitu: adanya penurunan
kesadaran, defisit neurologis, tanda-tanda peningkatan TIK, hemiplegi
(gangguan fungsi motoric/sensorik pada satu sisi tubuh), papilledema
(pembengkakan mata).
9
Cedera Kepala
Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48 %-53% dari
insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
dise babkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data
epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap,
terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan
CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10%
CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
Klasifikasi
a) Berdasarkan mekanisme
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus.
- Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
- Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan
benda tumpul.
10
Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
b) Berdasarkan beratnya
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala.
- Ringan (GCS 13-15)
- Sedang (GCS 9-12)
- Berat (GCS 3-8)
c) Lesi intrakranial
1. Fokal
a. Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.Umumnya
terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya
arteri meningea media.Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran
sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa
jam.Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai
kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala
neurologiyang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese,
papil edema dan gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural
difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika
terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri
perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung.
b. Subdural
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan sinus venosus dura mater
atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan
araknoidea. SDH ada yang akutdan kronik Gejala klinis berupa nyeri
11
kepalayang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa
menekan jaringan otak mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupalesi hiperdens berbentuk
bulan sabit. Biladarah lisis menjadi cairan, disebut higroma(hidroma)
subdural.
Perdarahan subdural terbagi atas 3
bagian yaitu:
o Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan
kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak
besar dan cedera batang otak.
o Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari
setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang
agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
o Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki
ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar
membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas. Gejala
mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik.
c. Perdarahan Subarachnoid
Terjadi pada ruang subarachnoid (piameter dan arachnoid). Etiologi yang
paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (MAV). Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh trauma
yang merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga sering
12
terjadi pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-
vena. Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala yang hebat dan
mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual, dan
muntah. Pemeriksaan CT scan untuk kondisi ini memiliki spesifitas yang
rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT angiografi untuk
mengecek perdarahan subarachnoid.
Komplikasi yang paling sering pada perdarahan subarachnoid adalah
vasospasme dan perdarahan ulang. Tanda dan gejala vasospasme dapat
berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan
menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu
infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah
harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin,
dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi).
Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua
pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik
harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala
vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-220
mmHg.
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.
d. Difussa axonal injury
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera
dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan
disorientasi tanpa amnesia.
13
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia
retrograde dan amnesia antegrad.
e. Komosio serebri
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan
oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan
otak. Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam
rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen
magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak
teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap
sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih
menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh
karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier
pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan
batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi
gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit
penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi
bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang.
Gejala: pening/nyeri kepala, tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit,
amnesia retrograde: hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama
sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini
menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus
temporalis. Post traumatic amnesia (anterograde amnesia): lupa peristiwa
beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang dialaminya
mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia,
post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan
disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan
menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah
diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan
lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari
14
situ ke korteks orbitofrontal. Amnesia retrograde dan anterograde terjadi
secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri
76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi
daripada amnesia anterograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih
dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan: bradikardi
dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo (vertigo
dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan
komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat
ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis)
adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara,
iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah
beberapa hari atau beberapa minggu; bisa di dapat gangguan fungsi
kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi,
iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan
kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik: 1). X foto
tengkorak 2). LP, jernih, tidak ada kelainan 3). EEG normal Terapi untuk
komosio serebri yaitu: istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi
bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi
selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik
fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematoma.
f. Komosio klasik
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera.
Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa
waktu defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
15
g. Cedera aksonal difusa
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury) adalah keadaan dimana
pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis
tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
Cedera Otak Sekunder
Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi
berturut-turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral.8
Klasifikasi etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab
ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia,
hipotensi, hiponatremi, hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia.
Penyebab intrakranial meliputi perdarahan ekstradural, subdural,
intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu cedera
sekunder juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan infeksi.
Pembengkakan intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema
vasogenik, edema sitotoksik, dan edema interstisial. Infeksi yang
mengakibatkan cedera otak sekunder antara lain meningitis dan abses otak.
Cedera kepala berat memicu terjadinya respon simpatik dan hormonal
dengan level katekolamin yang berbanding terbalik dengan tingkat
keparahan cedera. Hiperglikemia umum terjadi setelah cedera primer dan
berhubungan dengan keparahan cedera dan buruknya prognosis mortalitas
dan perbaikan fungsional pada orang dewasa dan anak-anak. Sekitar 50%
pasien menunjukkan kadar glukosa darah > 11,1 mmol-1 (200mg dl-1),
dan level puncak yang lebih tinggi dari angka tersebut pada 24 jam pertama
16
setelah masuk rumah sakit berhubungan dengan peningkatan resiko
mortalitas dan status fungsional hingga 1 tahun pasca trauma.
Manifestasi cedera otak sekunder berhubungan dengan
terganggunya fungsi serebral dan terganggunya persediaan energi serebral.
Manifestasinya antara lain peningkatan tekanan intrakranial, kerusakan
otak iskemik, hipoksia serebral dan hiperkarbi, serta terganggunya
autoregulasi serebral.
Prinsip umum penanganan awal cedera kepala adalah perfusi
serebral yang stabil dan adekuat, oksigenasi yang adekuat, mencegah
hiperkapni dan hipokapni, mencegah hipoglikemi dan hiperglikemia, serta
mencegah cedera iatrogenik.
Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai
berikut:
Minimal (Simple head injury) Tidak ada penurunan kesadaran
Tidak ada amnesia post trauma
Tidak ada defisit neurologi
GCS = 15
Ringan (Mild head injury) Kehilangan kesadaran <10 menit
Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau
hematom
Amnesia post trauma < 1 jam.
GCS = 13-15
Sedang (Moderate head
injury)
Kehilangan kesadaran antara >10 menit
sampai 6 jam
Terdapat lesi operatif intrakranial atau
abnormal CT Scan
Dapat disertai fraktur tengkorak
Amnesia post trauma 1 – 24 jam
GCS = 9-12
17
Berat (Severe head injury) Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam
Terdapat kontusio, laserasi, hematom, edema
serebral
abnormal CT Scan
Amnesia post trauma > 7 hari
GCS = 3-8
Adapun bila didapat penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai
defisit neurologis dan abnormalitas CT Scan berupa perdarahan
intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera kepala berat
(Perdossi, 2006). Tujuan klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase
di gawat darurat.
Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup.
Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. 1) Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Lebih lanjut
keadaan Trauma kepala menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan
intrakranial yang ditandai adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla
edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada cedera kepala
adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.
1. Perdarahan serebral
Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang
menimbulkan perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan
hematoma seperti pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara
lapisan periosteum tengkorak dengan duramater akibat pecahnya pembuluh darah
yang paling sering adalah arteri media meningial. Subdural hematoma adalah
berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan subarahnoid. Sementara
intracereberal hematoma adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral.
Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan
tetapi apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan
gangguan perfusi jaringan otak.
2. Edema Serebri
Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam
ruang intraseluler, ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai
4 hari setelah trauma kepala. Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena
dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan perfusi jaringan serebral
yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan infark serebral. Ada 4 tipe
edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial, dan gabungan.
Perdebatan tentang jenis edema yang dominan dalam TBI telah berlangsung selama
beberapa dekade. Dari penelitian dihasilkan edema vasogenik sebagai akibat
terbukanya BBB merupakan dampak utama berikutya dari cedera otak traumatik.
Diakui bahwa TBI kompleks dengan cedera heterogen dan baru-baru ini lebih
banyak lagi dilakukan penelitian untuk fitur klinis TBI termasuk kondisi sekunder
terkait seperti hipotensi arteri, hipoksia atau iskemia. Pada MRI, edema vasogenik
menunjukkan terjadinya peningkatan difusi air dalam beberapa jam pertama setelah
TBI, diikuti oleh edema sitotoksik yang berkembang lebih lambat selama beberapa
hari ke depan dan bertahan hingga 2 minggu.
Pengamatan difusi air dikonfirmasi melalui pengukuran permeabilitas,
dimana sawar terbuka untuk protein plasma besar hanya beberapa jam setelah TBI.
Namun, BBB tidak hanya menutup setelah pembukaan awal ini, dengan bukti
terbaru menunjukkan bahwa BBB menutup secara bertahap, dengan komponen
vaskular kecil menjadi permeabel sampai 7 hari setelah TBI. Apa yang mendasari
permeabilitas persisten tidak jelas, meskipun pasca trauma terjadi perubahan pada
sitoskeleton endotel menyebabkan terbukanya barrier endotel. Dengan demikian,
BBB permeabel maksimal pada 4-6 jam setelah TBI, sebelum mulai menutup dan
menjadi diferensial permeabel terhadap molekul yang lebih kecil selama 7 hari.
Mengingat peran penting vaskular yang memainkan perubahan kadar air
otak dan ICP, jelas bahwa pemahaman tentang perubahan BBB pada TBI dan
kontribusi mereka terhadap edema, adalah penting untuk mengembangkan potensi
intervensi. Sekarang ada banyak bukti yang mendukung bahwa kadar air otak
setelah TBI meningkat maksimal pada 2-3 hari setelah trauma, yang juga
merupakan puncak ICP. Kadar air otak dan pembengkakan menjadi maksimal pada
waktu ini, kontribusi vaskular masih harus aktif meskipun BBB ditutup untuk
molekul plasma besar setelah 6 jam.
Meskipun kedua pembukaan BBB telah diperdebatkan, peristiwa semacam
itu tidak penting mengingat penutupan bertahap barrier untuk molekul vaskular
yang lebih kecil dari waktu ke waktu. Oleh karena itu disimpulkan bahwa
pembukaan transient awal BBB adalah terkait dengan periode singkat edema
vasogenik, keadaan yang akan memungkinkan untuk pengembangan setiap edema
sitotoksik berikutnya. Edema sitotoksik memang akan berkembang bertahap ke
arah cedera seluler dari waktu ke waktu, dan akan menjadi lebih menonjol karena
lebih banyak sel yang terpengaruh. Pergeseran ion dan air intraselular dari
kompartemen ekstraselular secara tidak langsung akan mendorong masuknya lebih
banyak ion dan air dari pembuluh darah. Hal tersebut difasilitasi oleh BBB yang
menjadi permeabel terhadap ion dan molekul kecil, meskipun tidak lebih besar dari
protein plasma yang biasa digunakan untuk mengukur permeabilitas BBB. Dengan
demikian, fase vasogenik murni akan digantikan oleh fase sitotoksik atau fase
vasogenik campuran yang akan didominasi oleh sitotoksik, atau selular, komponen
sel menjadi lebih disfungsional dan mati.
Meskipun demikian, kekuatan pendorong untuk meningkatkan kadar air
otak, pembengkakan otak dan peningkatan ICP, akan menjadi kontribusi dari
vaskular. Dengan demikian, intervensi yang menargetkan kontribusi vaskular pada
edema, walaupun edema yang dominan adalah seluler, mungkin sangat efektif
dalam pengelolaan pembengkakan otak
3. Peningkatan tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga
tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan
pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi
volume yang relatif konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu atau lebih dari
komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi proses kompensasi agar
volume otak tetap konstan. Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami edema
serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini berarti akan terjadi penambahan volume
otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka akan menimbulkan desakan
atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral. Keadaan herniasi serebral
merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan organ-
organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan
pernapasan maupun kardiovaskuler. Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan
tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu dirawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat
inap antara lain :
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktur tengkorak
7. Kebocoran CSS< otorrhea atau rhinorrhea
8. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
9. CT Scan Abnormal
10. Anak-anak
11. Umur pasien di atas 50 tahun
12. Indikasi sosial
Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala
Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan apabila :
- Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
- Tidak ada gejala neurologis
- Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
- Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
- Ada yang mengawasi di rumah
- Tempat tinggal dalam kota
Pemeriksaan Fisik, 15 Oktober 2019
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis/ GCS E4V5M6
Tanda vital
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 70x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Kepala : normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor 3mm/3mm, RC +/+, refleks kornea (+/+),
racoon eye sign (-/-), subjoncungtival bleeding (-/+), fraktur
maxilofacial (-), bloody otorhe (-/-), hematoma (-), batttle
sign (-), epistaksis (-), vulnus ekskoriatum (+) multiple.
Leher : pembesaran KGB (-), vulnus ekskoriatum (-)
Thoraks : normochest, simetris, pulmo VBS +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-, cor S1-S2 normal, reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen : datar, BU (+) normal, supel, nyeri tekan 9 regio (-),
hepatomegali (-), splenomegali (-)
Urogenital : nyeri ketok CVA -/-
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Status Neurologis
Sikap tubuh : lurus dan simetris
Gerakan abnornal : tidak ada
Kaku kuduk : negatif
Nervus kranialis
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri N. I Olfaktorius Daya penghidu N N N. II Optikus Daya penglihatan N N
Penglihatan warna N N Lapang pandang N N
N. III Okulomotorius Ptosis – – Gerakan mata ke medial N N Gerakan mata ke atas N N Gerakan mata ke bawah N N Ukuran pupil 3 mm 3 mm Refleks cahaya langsung N N
N. IV Trokhlearis Gerakan mata ke lateral
bawah
N N
Menggigit N Membuka mulut N
N. V Trigeminus Sensibilitas muka N N Refleks kornea N N Trismus – –
N. VI Abdusens Gerakan mata ke lateral _ N Strabismus konvergen – –
N. VII Fasialis Kedipan mata N N Sudut mulut N N Mengerutkan dahi N N Menutup mata N N Meringis Simetris Menggembungkan pipi N N Daya kecap lidah 2/3 depan N N
N. VIII Vestibulo-
kokhlearis
Mendengar suara berbisik N N Mendengar detik arloji N N Tes Rinne Tidak dilakukan
Tes Schwabach Tes Weber
N. IX
Glossofaringeus
Arkus faring Simetris Daya kecap lidah 1/3
belakang
N N
Refleks muntah N Sengau – Tersedak –
N. X Vagus Denyut nadi 70 x/menit, reguler, kuat
angkat Arkus faring Simetris Bersuara N Menelan N
N. XI Aksessorius Memalingkan kepala N N Sikap bahu N N Mengangkat bahu N N Trofi otot bahu – –
N. XII Hipoglossus Sikap lidah N Artikulasi N Tremor lidah – Menjulurkan lidah N Trofi otot lidah – – Fasikulasi lidah –
Foto 1. CT scan kepala non kontras 10/10/2019
Kesan Head Ct scan Non kontras:
Subaracnoid hemorrhage kecil pada interpendicular sisterna
Tak tampak brain swelling maupun tanda peningkatan tekanan
intrakranial saat ini
Fraktur komplit dengan displacemet dinding posterolateral et medial
sinus maxilla kanan dan posterolateral sinus maxilla kiri
Fraktur linier os zygomaticum kiri (dinding lateral cavum orbita kiri)
Hematosinus maxilla dan ethmoid kanan kiri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 11 Oktober 2019
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hematologi
Hemoglobin
12.6 g/dl
11.7 – 15.5
Leukosit
16.4 ribu H
3.6 – 11.0
Eritrosit
4.64
3.8 – 5.2
Hematokrit
39.3 %
35 – 47
Trombosit
205
150 – 400
Kimia Klinik
Ureum
41 mg/dl
10 – 50
Kreatinin
1.11 mg/dl
0.45 – 0.75
DISKUSI II
Berdasarkan dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien yang sudah
membaik, GCS pada pasien adalah E4V5M6 sehingga pasien dalam keadaan
compos mentis. Ini menandakan adekuatnya terapi pada pasien dalam mencegah
kerusakan sekunder akibat trauma kepala. Ditunjang dengan pemeriksaan CT
scan menunjukkan perdarahan yang terjadi pada subaracnoid pasien ini minimal,
sehingga volume perdarahan ini tidak sampai membuat pasien mengalami
penurunan kesadaran progresif, tidak juga didapatkan kaku kuduk.
Adanya diplopia pada pasien diakibatkan adanya pares pada nervus kranilais
VI sehingga.
Selain itu, pada pemeriksaan kita juga mendapatkan adanya perdarahan pada
hidung sudah berhenti. Hal tersebut mengindikasikan adanya kerusakan pada
pembuluh darah cavum nasal yang bisa diakibatkan adanya frakur pada os nasal
maupun dinding sinus paranasal, dan hal ini terkonfirmasi pada pemeriksaan CT
Scan.
Terdapat beberapa indikasi lain dilakukannya pemeriksaan CT-scan pada kasus
trauma kepala adalah seperti berikut:
- GCS ≤ 13 setelah resusitasi
- Deteorisasi neurologis : penurunan GCS ≥ 2poin, heimaparese, kejang
- Nyeri kepala, muntah yang menetap
- Terdapat tanda fokal neurologis
- Terdapat tanda fraktur atau kecurigaan fraktur
- Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
- Evaluasi pasca operasi
- Pasien multiple trauma
- Indikasi sosial
DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : Nyeri kepala, Muntah Proyektil, Dplopia
Diagnosis Topik : Intrakranial
Diagnosis Etiologik : Cedera kepala berat
PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
• Bed rest
Medikamentosa
• IVFD Asering 20 tpm
• Inj. Citicolin 2 x 500 mg
• Inj. Omeprazole 1x1
• Inj. Mecobalamin 1x1
• Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
• Inj. Metil prednisolone 4 x 125 mg (tap off)
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
• Inj. Asam Tranexamat 3x1 gr
• PO. Flunarizine 2 x 5 mg
Prognosis
Death : dubia ad bonam
Disease : dubia ad bonam
Disability : dubia ad bonam
Discomfort : dubia ad malam
Dissatisfaction : dubia ad bonam
Distitution : dubia ad bonam
DISKUSI III Pasien pertama kali bertemu dengan tenaga medis dalam keadaan tidak sadar yaitu
di IGD RSKS, setelah resusitasi, dilakukan pemeriksaan Head CT Scan. .Pasien
didiagnosis sebagai cedera kepala ringan, maka dari itu dokter jaga memutuskan
untuk rawat jalan. Sessampainya di rumah pasien tiba-tiba muntah bercampur
darah, kemudian pingsan. Penyebab pingsan pertama adalah pingsan akibat trauma
itu sendiri, yaitu adanya peregangnan pada Ascending Reticular Activation System,
sedangkan pingsan yang kedua, kemungkinan adalah akibat peningkatan tekanan
intrakranial akibat adanya suatu efek desak ruang adanya perdarahan intrakranial
yang meninmbulkan herniasi batang otak. Penurunan kesadaran kedua ini juga bisa
merupakan efek dari cedera otak sekunder,
Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat
terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri.Melalui mekanisme
Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas
dan peroxidasi lipid. Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak
sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan
tekanan perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan Tinggi
Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang (Cohadon, 1995).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine deadly
H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia, gangguan
jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea (hiperventilasi),
hipertermi (hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia, hipoglikemia,
hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon, 1995).Beratnya cedera
primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera
sekunder (Li, 2004).
Sesampainya di IGD RSUD Ambarawa pasien masih belum sadar. Oleh dokter
jaga, pasien di diagnosis sebagai Cedera Kepala Ringan dengan Vulus Laceratum
dan multiple vulnus ekskoriatum,. Pasien diputuskan untuk rawat inap. Pasien baru
sadar keesokan harinya.
Saat visit hari pertama, pasien mengeluhkan nyeri kepala seperti dicengkeram, mual
namun sudah tidak muntah. Ketika ditanya tentang kejadiannya, pasien lupa. Ini
menandakan adanya retrograde amnesia. Pasien didiagnosis dan diterapi sebagai
cedera kepala sedang oleh dokter saraf, sambil menunggu hasil Head CT Scan dari
RSKS untuk mementukan terapi lebh lanjut.
Hari ketiga perawatan di bangsal, hasil Head CT Scan sudah keluar, terdapat
subarachnoid hemorrhage kecil pada interpendicular sisterna, tidak ada tanda
peningkatan intrakranial, terdapat fraktur dinding sinus maxilla kanan kiri, dan
hematosinus maxilla dan ethmoid kanan kiri. Pasien didiagnosa sebagai cedera
kepala berat.
1. Citicolin
Citicolin yang berperan untuk perbaikan membran sel saraf melalui
peningkatan sintesis phosphatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik
yang rusak melalui potensiasi dari produksi asetilkolin. Citicoline juga
menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, Citicoline
diharapkan mampu membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada
kepala dengan cara membantu dalam pemulihan darah ke otak. Studi klinis
menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan motorik yang lebih baik
pada pasien yang terluka di kepala dan mendapatkan citicoline. Citicoline
juga meningkatkan pemulihan ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.
2. Omeprazole
Merupakan obat golongan Proton pumpm inhibitor (PPI) yang bekerja dengan
berikatan H+/K+ exchanging ATPase dalam sel parietal gaster, mengakibatkan
supresi sekresi asam lambung.
3. Mecobalamin
Memiliki kandungan yang merupakan metabolit dan vitamin B12 yang berperan
sebagai koenzim dalam proses pembentukan methionin dari homosistein. Reaksi ini
berguna dalam pembentukan DNA, serta pemeliharaan fungsi saraf. Mekobalamin
berperan pada neuron susunan saraf melalui aksinya terhadap reseptor
NMDA dengan perantaraan S- adenosilmehione (SAM) dalam mencegah
apoptosis akibat glutamateinduced neurotoxicity.
4. Ketorolac
Ketorolak yang merupakan analgetik jangka pendek untuk nyeri akut sedang
sampai berat. Ketorolak adalah golongan obat nonsteroidal anti-inflammatory
drug (NSAID) yang bekerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh
yang menyebabkan inflamasi. Efek ini membantu mengurangi bengkak, nyeri, atau
demam. Ketorolac memperlihatkan efektivitas sebanding morfin, masa kerjanya
lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Karena ketorolac sangat
selektif menghambat COX-1, maka obat ini hanya dianjurkan dipakai tidak
lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak lambung dan iritasi lambung besar
sekali.
5. Metilprednisolon
Metil prednisolone merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang
memiliki efek glukokortikoid. Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon
jaringan terhadap poses inflamasi. Karena itu menurunkan gejala inflamasi
tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel
inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi.
Metilprednisolon menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis
dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme
yang pastinya belum diketahui, kemungkinan efek tersebut ditimbulkan
melaluui blokade faktor penghambat makrofag, menurunkan dilatasi permeabilitas
kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler
serta hambatan terhadap sintesis asam arakhidonat-derivat mediator inflamasi
(prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien). Lameson mengandung 6α-
methylprednisolone, obat ini untuk indikasi seperti Kondisi alergi dan inflamasi,
penyakit reumatik yang memberi respon terhadap terapi kortikosteroid, penyakit
kulit dan saluran napas, penyakit endokrin, penyakit autoimun, gangguan
hematologik, sindroma nefrotik
6. Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah golongan cefalosporin dengan spektrum luas, yang membunuh
bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ceftriaxone secara relatif
mempunyai waktu paruh yang panjang dan diberikan dengan injeksi dalam bentuk
garam sodium. Ceftriaxone secara cepat terdifusi kedalam cairan jaringan,
diekskresikan dalam bentuk aktif yang tidak berubah oleh ginjal (60%) dan hati
(40%). Setelah pemakaian 1 g, konsentrasi aktif secara cepat terdapat dalam urin
dan empedu dan hal ini berlangsung lama, kira-kira 12-24 jam. Rata-rata waktu
paruh eliminasi plasma adlah 8 jam. Waktu paruh pada bayi dan anak-anak adalah
6,5 dan 12,5 jam pada pasien dengan umur lebih dari 70 tahun. Jika fungsi ginjal
terganggu, eliminasi biliari terhadap Ceftriaxone meningkat.
Indikasi cefriaxone adalah sepsis, meningitis, infeksi abdominal, infeksi tulang,
persendian, jaringan lunak, kulit, dan luka-luka, pencegah infeksi prabedah, infeksi
dengan pasien gangguan mekanisme daya tahan tubuh, infeksi ginjal dan saluran
kemih, infeksi saluran pernafasan, infeksi kelamin.
7. Asam Tranexamat
cara kerja asam tranexamat adalah dengan menghambat fibrinolisis dengan cara
mencegah perubahan plaminogen menjadi plamsin.
8. Flunarizine
Flunarizine merupakan salah satu antagonis kalsium terbaru
dengan efek antimigrain. Flunarizine adalah penghambat selektif masuknya
kalsium dengan cara ikatan calmodulin dan aktivitas hambatan histamin H1.
Flunarizine dapat mencegah terjadinya kerusakan sel akibat overload kalsium
dengan menghalangi secara selektif masuknya kalsium ke dalam jaringan sel.
Flunarizine juga terbukti dapat menghambat kontraksi otot polos pembuluh
darah, melindungi kekakuan sel-sel darah merah serta mampu melindungi sel-sel
otak dari efek hipoksia (kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi
akibat pengaruh perbedaan ketinggian).
Prognosis
Cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan
cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih
kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pasca konkusi
berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-
tindih dengan gejala depresi.
Kelainan dan Komplikasi Trauma Kapitis
1. Tekanan Intrakranial (TIK) Meninggi
Pada Trauma kapitis yang dapat meningkatkan TIK adalah hematoma yang
besar (lebih dari 50cc), edema yang berat, kongesti yang berat dan
perdarahan subarakhnoidal yang mengganggu aliran cairan otak di dalam
ruangan subarakhnoidea. Bila TIK meninggi, mula-mula absorbsi cairan
otak meningkat kemudian bagianbagian sinus venosus di dalam dura meter
tertekan. Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi daya
kompensasi maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri-arteri pia-
arahnoidea melebar. Bila autoregulasi baik aliran darah akan
dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume darah otak bertambah.
Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran darah akan menurun dan TIK
akan tetap rendah meskipun tekanan darah naik. Bila kenaikannya sangat
lambat seperti pada neoplasma jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi
banyak karena selain penyerapan otak yang meningkat, otak akan
mengempes dan mengalami artrofi ditempat yang tertekan yang dapat
menetralisir volume massa desak ruang yang bertambah.
2. Komplikasi Infeksi pada Trauma Kapitis
Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat bila
durameter robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya
berdekatan dengan sinus- sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini juga bisa
terjadi bila ada fraktur basis kranii.
3. Lesi Akibat Trauma Kapitis pada Tingkat Sel
Lesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron
dengan dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun
sel-sel yang membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron
rusak, maka seluruh dendrit dan aksonnya juga akan rusak. Kerusakan dapat
mengenai percabangan dendrit dan sinapsis-sinapsinya, dapat pula mengenai
aksonnya saja. Dengan kerusakan ini hubungan antar neuron pun akan
terputus. Lesi sekunder juga dapat mengakibatkan kerusakankerusakan
demikian.
4. Epilepsi Pasca Trauma Kapitis
Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang.
Serangan ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma,
mungkin pula timbul kasip berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi kasip
cenderung terjadi pada pasien yang mengalami serangan kejang dini, fraktur
impresi dan hematoma akut. Epilepsi juga lebih sering terjadi pada trauma
yang menembus durameter. Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung
menimbulkan epilepsi fokal.
Lembar Pesanan Saat Pulang
Pasien cedeta kepala yang puland diberi lembar peringatan Harap dibawa ke IGD
apabila :
- Muntah makin sering
- Nyeri kepala atau vertigo memberat
- Gelisah atau kesadaran menurun
- Kejang
- Kelumpuhana anggota gerak
- Bingung atau mengalami perubahan perilaku
- Adanya gannguan penglihatan , gangguan gerakan bola mata dan ukuran
pupil yang tidak sama kanan-kiri
- Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga
- Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat
- Pola nafas abnormal
- Observasi minimal 24 jam pertama, lalu kontrol rumah sakit dalam 5-7
hari
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
11/10/2019 Pusing dan nyeri
kepala (+), mual
(+), muntah darah
(+), lupa dengan
kronologi kejadian
(+), cairan keluar
dari telinga (-),
mimisan (-)
GCS E4M6V5
TD: 110/80
mmHg
FN: 83x/menit
RR: 24x/menit
T : 36,2 C
KM : 5/5 5/5
Bloody otore (+/-)
CKR +
Multiple
VE + VL
Hp1
• IVFD RL 20 tpm
• Inj. Piracetam
2×3 gram
• Inj. Citicolin
2×500 mg
• Inj. Ranitidine
2×1 ampul
• Inj. MP
4 x 125mg
• Inj. Ketorolac
2 x 30mg
• Inj. Ondansentrone
12/10/2019 Pusing dan nyeri
kepala (+), mual
(+), muntah darah
(-),cairan keluar
dari telinga (-),
mimisan (-)
GCS E4M6V5
TD: 130/80 mmHg
FN: 87x/menit
RR: 22x/menit
T : 36,5 C
KM : 5/5 5/5
CKS
Hp 2
• IVFD Asering 20 tpm
• Inj. Ketorolac
2 x 30mg
• Inj. Citicolin
2×500 mg
• Inj. Omeprazole
1×1 ampul
• Inj. mecobalamin
1x1
• Inj. MP
4 x 125mg
• Inj. Kalnex 3x 1
• PO Flunarizin 2x5mg
13/10/2019 Pusing dan nyeri
kepala (+), mual (+),
muntah darah (-
),cairan keluar dari
telinga (-), mimisan
(-)
GCS E4M6V5
TD: 150/80 mmHg
FN: 65x/menit
RR: 18x/menit
T : 37,4 C
KM : SDN
CKB
(SAH)
HP 3
• IVFD Asering 20 tpm
• Inj. Ketorolac
2 x 30mg
• Inj Citicolin
2×500 mg
• Inj. Omeprazole
1×1 ampul
• Inj. mecobalamin
1x1
• Inj. MP
4 x 125mg
• Inj. Kalnex 3x 1
• PO Flunarizin 2x5mg
14/10/2019 Pusing dan nyeri
kepala (+)
berkurang, mual
(+), muntah darah (-
),cairan keluar dari
telinga (-), mimisan
(-)
GCS E4M6V5
TD: 160/90 mmHg
FN: 80 x/menit
RR: 20 x/menit
T : 36,5 C
KM : SDN
CKB
(SAH)
HP 4
• IVFD Asering 20 tpm
• Inj. Ketorolac
2 x 30mg
• Inj. Citicolin
2×500 mg
• Inj. Omeprazole
1×1 ampul
• Inj. mecobalamin
1x1
• Inj. MP
4 x 125mg
• Inj. Kalnex 3x 1
• PO Flunarizin 2x5mg
15/10/2019 Pusing dan nyeri kepala
(+) berkurang, mual (+),
muntah darah (-),cairan
keluar dari telinga (-),
mimisan (-)
GCS E4M4V4
TD: 160/90 mmHg
FN: 70 x/menit
RR: 20x/menit
T : 36,3 C
KM : SDN
CKB
(SAH)
Hp 5
• IVFD Asering 20 tpm
• Inj. Ketorolac
2 x 30mg
• Inj. Citicolin
2×500 mg
• Inj. Omeprazole
1×1 ampul
• Inj. mecobalamin
1x1
• Inj. MP
4 x 125mg
• Inj. Kalnex 3x 1
• PO Flunarizin 2x5mg
16/10/2019 Pusing dan nyeri kepala
(+) berkurang, mual
(+), muntah darah (-
),cairan keluar dari
telinga (-), mimisan (-)
GCS E4M6V5
TD: 125/78 mmHg
FN: 56x/menit
RR: 20x/menit
T : 37,1 C
KM : 5/5 5/5
CKB
(SAH)
Hp 6
• IVFD Asering 20 tpm
• Inj. Ketorolac
2 x 30mg
• Inj. Citicolin
2×500 mg
• Inj. Omeprazole
1×1 ampul
• Inj. mecobalamin
1x1
• Inj. MP
4 x 125mg
• Inj. Kalnex 3x 1
• PO Flunarizin 2x5mg
DAFTAR PUSTAKA
Adam, R.D, Victor, M. Principles of Neurology. 7th ed. Mc Graw Hill Inc.
Singapore. 2005. American College of Surgeon Committee on Trauma, Cedera
Kepala. Dalam: Advanced Trauma
Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisitrauma IKABI,
2004.
Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000.
Chusid JG., Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2000.
Faqih Ruhyanudin, Pemeriksaan Neurologis, Universitas Jendral Soedirman,
Purwokerto, 2011. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti
Press, Yogyakarta, 2011.
Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004.
Japardi Iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif, SumatraUtara,
USU Press, 2004.
Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000.
PERDOSSI Cabang Pekanbaru, Simposium Trauma Kranioserebral, Pekanbaru, 3
November 2007.
Setyopranoto, I., Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid, Continuing Medical
Education,. 2012;39.
Turner DA, Neurological Evaluation of a Patient with Head Trauma, dalam
Neurosurgery 2ndedition, New York: McGraw Hill, 1996.
Utama, Herry SY, Diagnosis and Treatment of Head Injury.
(herryyudha.com/2012/07/cidera- kepala-diagnosa-dan.html)
Wahjoepramono, Eka., Cedera Kepala, Lippokarawaci, Universitas Pelita
Harapan, 2005.