Post on 05-Dec-2014
Kisi” perjanjian internasional
1. Definisi perjanjian int yaitu perjanjian yang dilakukan antar Negara mengenai suatu
objek/masalah tertentu dengan membentuk hubungan hukum/melahirkan hak dan
kewajiban yang diatur oleh hukum internasional
2. Unsur”a adalah adanya kata sepakat, subjek hukum, berbentuk tertulis, objek
tertentu, diatur oleh HI
3. 5 istilah yaitu treaty, konvensi, konvenan, deklarasi, statute
4. Subjek’a yaitu Negara, Negara bagian, tahta suci , wilayah perwalian, organisasi
internasional
5. Tahap” dalam pasal 6 ayat 1 yaitu penjajakan, perundingan, perumusan naskah,
penerimaan, penandatanganan
6. Full power yaitu kuasa penuh yang dijadikan bukti bahwa seseorang yg bersangkutan
secara sah mewakili negaranya dalam perundingan untuk merumuskan naskah
perjanjian
7. Yang punya kuasa penuh yaitu kepala Negara, kepala pemerintahan, kepala misi
diplomatic, kepala perwakilan yg diakreditasi oleh Negara
8. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
9. Reservasi adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya
ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika
menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian
internasional yang bersifat multilateral;
10. Perbedaan reservasi dan deklarasi adalah kalau reservasi pernyataan sepihak suatu
Negara u/ menolak ketentuan tertentu dlm perjanjian, sedangkan deklarasi itu
adalah pernyaan sepihak suatu Negara tentang penafsiran suatu ketentuan dalam
perjanjian
11. ….
12. ….
13. Tidak. Asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt
14. Prepatory works yaitu ???
15.
reservasi (perjanjian internasional)
Dalam praktek internasional menunjukkan kenyataan bahwa suatu negara
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu tidak dapat menerima atau menyetujui
sepenuhnya isi dari suatu perjanjian internasional. Salah satu cara yang dapat ditempuh
oleh suatu negara ketika ingin mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional tetapi
tidak setuju atau tidak ingin terikat pada ketentuan tertentu dalam perjanjin tersebut
maka negara tersebut dimungkinkan untuk mengajukan pensyaratan atau reservasi terhadap
ketentuan tersebut. Ketentuan yang mengatur tentang pensyaratan atau reservasi dalam
Konvensi Wina 1969, terdapat pada bagian II seksi 2, pasal 19-23.
pasal 2 ayat (1) butir d, konvensi wina 1969 menyatakan bahwa reservasi adalah
suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara,
ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas
suatu perjanjian internasional, yang dimaksudkan untuk mengesampingkan atau mengubah
akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap
negara yang bersangkutan
KUASA PENUH (FULL POWER)
Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan salah satu kaidah hukum
internasional yang menganggap tidak semua warga negara dapat mewakili suatu
Negara dalam pembuatan hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat
beberapa orang dengan jabatan (amtenar) kenegaraanya yang mendapatkan kuasa
yang utuh untuk mewakili negaranya.
Full Power telah lama dikenal sejak kerajaan Romawi, pada saat itu dikenal dengan
sebutan plena potentas yang digunakan untuk melakukan transaksi-transaksi yang
bersifat hokum, yang diberikan secara langsung kepada Duta Besar.
Full power sebagaimana UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24
TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Surat Kuasa (Full
Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan
kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik
Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan
persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan
hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.
Kusa Penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konfrensi Wina 1969 :
Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk mengesahkan
atau mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian atau dengan maksud untuk
menyatakan kesepakatan dari suatu Negara untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian jika :
Ia memberikan surat kuasa penuh selayaknya; atau
Nampaknya dari praktek Negara-negara yang bersangkutan atau dari lingkungan-
lingkungan lainnya, maksud mereka itu adalah menganggap bahwa seseorang yang
mewakili Negara untuk maksud-maksud semacam itu dan melepaskan surat kuasa
penuh.
Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya menyatakan Nilai default
(kebiasaan Internasional yang dikodifikasikan) mereka yang mendapatkan kuasa
penuh untuk mewakili Negara adalah :
•Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para mentri luar negeri,
dengan maksud untuk melaksanakan semua tindakan yang berhubungan dengan
pembuatan perjanjian
•Kepala-kepala perwakilan diplomatic dengan maksud untuk mengesahkan naskah
suatu perjanjian antara Negara yang memberikan akreditasi dan Negara dimana
mereka diakreditasikan;
•Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu konferensi
internasional atau organisasi internasional, atau salah satu badannya, dengan maksud
untuk mengesahkan naskah dari suatu perjanjian di konfrensi, organisasi atau badan
tersebut.
Contohnya ialah:
•Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan : Susilo Bambang Yudhoyono
•Mentri Luar Negeri : Fernandes Raja Saor, S.H., LL.M.
•Kepala Perwakilan Diplomatik : Duta Besar Indonesia untuk Jepang dalam perjanjian
bilateral Indinesia-Jepang seputar pertukaran pelajar.
•Wakil-wakil yang terakreditasi : Duta Indonesia Untuk Persatuan Bangsa Bangsa
Berakhirnya Perjanjian Internasional
Muchtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa, perjanjian internasional berakhir karena
hal berikut :
1. telah tercapai tujuan
2. berakhirnya masa berlaku
3. salah satu pihak menghilang dan punahnya objek perjanjian
4. adanya persetujuan peserta untuk mengakhiri perjanjian
5. adanya perjanjian baru yang kemuadian membatalkan perjanjian terdahulu
6. syarat-syarat perjanjian terpenuhi
7. perjanjian secara sepihak diakhiri oleh suatu negara peserta dan disetujui oleh
peserta perjanjian lain
PENAFSIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
JIKA 2 NEGARA MELAKUKAN PERJANJIAN (BILATERAL) ATAU BEBERAPA
NEGARA MELAKUKAN PERJANJIAN (MULTILATERAL), BAHASA APAKAH
YANG DIGUNAKAN?
CONTOH
- PIAGAM PBB, DISUSUN DALAM 5 BAHASA (CINA, PERANCIS, RUSIA,
INGGRIS, DAN SPANYOL) DAN DITETAPKAN BAHWA KELIMA NASKAH SAMA
OTENTIKNYA (PASAL 111)
- KONVENSI-KONVENSI ILO, BIASANYA DIBUAT DALAM BAHASA INGGRIS
DAN SPANYOL
ATURAN UMUM
Viena Convention on the Law of Treaties 1969, Pasal 33:
1. Apabila suatu perjanjian disahkan dalam beberapa bahasa, maka
naskah tersebut sama sahihnya dalam setiap bahasa kecuali perjanjian
tersebut menentukan dan disepakati para peserta bahwa hanya satu
naskah yang harus berlaku dalam hal timbulnya silang pendapat.
1. Istilah-istilah dari perjanjian harus dianggap memiliki arti yang sama dalam
setiap naskah.
2. Suatu penafsiran yang diberikan harus yang paling sesuai dengan naskah-
naskah itu berkenan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut
ATURAN TAMBAHAN
KONFERENSI DIPLOMATIK YANG MENGHASILKAN SUATU PERJANJIAN
INTERNASIONAL MENYADARI BAHWA BANYAK KELEMAHAN DALAM
NASKAH, SEHINGGA BIASANYA DIBUAT ATURAN TAMBAHAN, UMUMNYA
DALAM BENTUK PROTOCOL, FINAL ACT ATAU PROCES-VERBAL
Pasal 31 Ayat 1 Konvensi Wina:“suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan makna wajar yang diberikan padistilah itu dalam hubungan kata-kata dan mengingat tujuan serta maksudnya.”
LEMBAGA PENAFSIR
SECARA UMUM PENAFSIRAN SUATU PERJANJIAN DILAKUKAN OLEH:
1. BADAN YANG DITETAPKAN DALAM PERJANJIAN TERSEBUT
(ORGAN-ORGAN TEKNIS INTERNASIONAL – ILO – , DIREKTUR
EKSEKUTIF DAN DEWAN GUBERNUR SUATU ORGANISASI
INTERNASIONAL – IMF )
2. MAHKAMAH INTERNASIONAL (Pasal 36 Statuta),
3. KOMITE AHLI HUKUM AD HOC
ALIRAN DALAM PENAFSIRAN
Dalam Hukum Internasional dikenal tiga school of thoughts” aliran/approach
mengenai interpretasi, yaitu :
1. Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian itu.
Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux
preparatories” pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang
menggambarkan kehendak para pihak.
2. “Textual school”, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian
hendaknya diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu
(ordinary and apparent meaning of the words). Jadi unsur pentingnya
adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para pihak
pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu.
3. “Teleogical thought”, cara penafsiran ini menitik beratkan pada
interpretasi dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu
yang berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula pembuat perjanjian
itu. Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara
luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan
dengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian.
Menurut Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, tahap-tahap Perjanjian Internasional (proses pembuatan
perjanjian Internasional) adalah sebagai berikut :
Tahap Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak
yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian
internasional.
Tahap Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan
masalah2 teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
Tahap Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu
perjanjian internasional.
Tahap Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah
dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,
kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan”
yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah
perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam
perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya
merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan
perjanjian internasional.
Tahap Penandatanganan: merupakan tahap akhir da1am perundingan bilateral
untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah
disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandantanganan
perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara
pihak. Keterikatan terhadap perjanjian Internasional (Menurut Pasal 6 Ayat 1)
Tahap Pengesahan: Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan
berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian
internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah
terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini. Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan perjanjian
internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian
dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian.
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian
hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional
dengan undang-undang. Mekanisme dan prosedur pinjaman dan/atau hibah
luar negeri beserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan
diatur dengan undang-undang tersendiri. (Menurut Pasal 9).
Vatikan adalah subjek hukum internasional karena diakui oleh negara-negara di dunia dan menjadi
pihak pada perjanjian-perjanjian internasional and anggota pada beberapa organisasi internasional.
Negara yang pertama mengakui Vatikan sebagai subjek hukum internasional adalah Italia melalui
Pakta Lateran yang ditandatangani pada 1929, yang secara historis Pakta Lateran juga menjadi
dasar berdirinya negara kota Vatikan (Vatican city state). Dalam hubungan internasional negara
Vatikan dikenal juga dengan nama “Tahta Suci”.
Dasar lain yang menjadikan Tahta Suci (Holy See) sebagai subjek hukum internasional adalah dengan
mengacu juga kepada Konvensi Montevideo 1933 yang mana Vatikan merupakan pihak dan memenuhi
ketentuan-ketentuan pada Konvensi tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain:
1. memiliki populasi permanen yang secara faktual penduduk tetap Vatikan adalah 800 orang,
2. memiliki suatu wilayah tertentu yang dalam hal ini Tahta Suci terletak di atas lahan seluas 44
hektar / 0,44 Kilometer yang terletak di tengah-tengah Kota Roma, Italia,
3. terdapat suatu bentuk pemerintahan yang dalam hal ini bentuk negara Vatikan adalah Monarki
Absolut yang dikepalai oleh seorang Paus (kepala negara) yang memiliki kekuasan absolut atas
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif,
4. serta memiliki kapasitas untuk terlibat dalam hubungan internasional dengan negara lain, dalam
hal ini selain Vatikan adalah pihak pada perjanjian-perjanjian internasional seperti “The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination” dan
“Vienna Convention on Diplomatic Relations” Selain itu Vatikan adalah anggota pada organisasi-
organisasi internasional seperti World Organization of Intellectual Properties (WOIP) dan
UNESCO. Vatikan juga memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara di dunia, sebagai
contoh Indonesia yang memiliki perwakilan diplomatik khusus untuk Vatikan begitu juga Vatikan
terhadap Indonesia.