Post on 27-Dec-2015
description
1
Komang Shary K., 1206238633
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
LTM Pemicu 1 Imunologi Dasar
Hipersensitivitas
Penyakit hipersensitivitas adalah kesalahan fungsi pada respons imun. Penyakit
hipersensitivitas mencakup penyakit yang diakibatkan respons berlebihan dan tak terkontrol
terhadap antigen tertentu dan penyakit autoimun. Pada reaksi hipersensitivitas, mekanisme
respons imun untuk melindungi tubuh dari mikroba membuat kerusakan pada jaringan.1
Hipersensitivitas dapat dibagi menjadi empat tipe:
1. Hipersensitivitas Tipe I (Alergi dan Anafilaksis)2
Hipersensitivitas tipe I terjadi secara cepat (hanya dalam hitungan menit). Reaksi ini
diperoleh dari ikatan silang antara alergen (sebagai antigen) dengan IgE yang sebelumnya
berikatan pada permukaan basofil dan sel mast.2 Ikatan ini menyebabkan sel-sel
berdegranulasi dan mengeluarkan substansi seperti histamin, leukotrien, dan faktor
kemotaktis eosinofil yang memicu anafilaksis, asma, alergi serbuk sari, atau gatal-gatal.3
Tergantung jalur masuknya, reaksi ini dapat memicu reaksi lokal yang mengganggu
(misalnya rhinitis musiman) atau bahkan gangguan sistemik (anafilaksis).2
Anafilaksis sistemik dapat disebabkan oleh racun serangga, memakan jenis makanan
tertentu, atau hipersensitivitas terhadap obat dan membutuhkan penanganan secara cepat.3
Alergi kronis yang menyebabkan kerusakan dan perubahan jaringan dapat terjadi apabila
reaksi alergi terjadi terus menerus dalam waktu singkat.1
Gejala klinis yang timbul dari reaksi ini ada bermacam-macam, meliputi reaksi pada
otot polos dan pembuluh darah yang dipicu aktivasi sel mast. Respons ini akan meningkat
apabila seseorang terus menerus terpajan alergen. Bentuk manifestasinya ada bermacam-
macam, tergantung jaringan yang diserang. Reaksi tersebut bisa berupa ruam,
tersumbatnya sinus, konstriksi bronkus, sakit perut, diare, dan syok sistemik.1
2. Hipersensitivitas Tipe II (Bergantung Antibodi)2
Hipersensitivitas tipe II dihasilkan oleh pembentukan kompleks dari antigen dengan
IgM atau IgG.3 Respons dapat disebabkan oleh salah satu dari tiga mekanisme berikut2:
2
a. reaksi yang bergantung komplemen. Fiksasi komplemen pada sel akibat
terangsang antigen yang mengikat antibodi dapat menyebabkan lisis atau
opsonisasi.2 Contoh manifestasi klinisnya adalah hemolisis saat transfusi, anemia
hemolitik dan purpura trombositopenik.1 Pada saat transfusi, antibodi berikatan
dengan antigen sel darah merah yang mengaktivasi kaskade komplemen dan
kemudian menyebabkan sel darah merah tersebut lisis.3
b. sitotoksisitas selular bergantung antibodi (ADCC). Pada reaksi ini, sel dilisiskan
tanpa fagositosis ataupun fiksasi dan dibunuh oleh sel yang membawa reseptor
untuk Fc IgG, misalnya sel NK.2 Contoh manifestasi klinis dari mekanisme ini
adalah glomerulonefritis.1
c. disfungsi sel yang diperantarai antibodi. Reaksi ini terjadi ketika antibodi
merusak reseptor sel dan mengacaukan fungsinya tanpa menyebabkan jejas.2
Contoh penyakitnya adalah myasthenia gravis dan Graves’ disease.1
Hipersensitivitas tipe II juga bisa dipicu oleh obat, misalnya administrasi penisilin
untuk pasien alergi.3
3. Hipersensitivitas Tipe III (Diperantarai Kompleks Imun)2
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh endapan kompleks antigen-antibodi.2
Deposisi kompleks imun mengaktifkan sistem komplemen yang memproduksi zat-zat
yang dapat melakukan aktivitas anafilatoksik dan kemotaktis sehingga permeabilitas
vaskuler meningkat dan neutrofil tertarik ke area deposisi.3
Gejala klinis hipersensitivitas tipe III dapat dilihat dari model eksperimentalnya.
Pertama adalah model eksperimental penyakit serum (serum sickness). Dengan injeksi
serum terhadap hewan percobaan, terbentuk kompleks antibodi-antigen pada tubuh.
Gejala klinis meliputi vaskulitis, nefritis, dan artritis karena penimbunan kompleks ini
biasanya ada pada arteri kecil, glomerulus, dan minyak sinovial. Gejala klinis tidak
bertahan lama kecuali antigen diinjeksi kembali. Pada penyakit serum kronis, kompleks
biasanya terbentuk di dalam ginjal, arteri, dan paru-paru.1
Model eksperimental yang kedua adalah reaksi Arthus (Arthus reaction) yang
bersifat lokal. Antigen membentuk kompleks imun yang disimpan pada dinding arteriol
pada situs injeksi, menimbulkan vaskulitis dan nekrosis jaringan.1
4. Hipersensitivitas Tipe IV (Tipe Lambat)2
Berbeda dengan tipe-tipe hipersensitivitas sebelumnya, hipersensitivitas tipe IV yang
dikenal dengan DTH (delayed-type hypersensitivity) dimediasi oleh sel. Hipersensitivitas
ini disebut hipersensitivitas lambat karena biasanya baru berkembang dalam waktu 24
3
sampai 48 jam setelah pajanan antigen. DTH diakibatkan oleh sel TH1 yang spesifik
terhadap antigen tertentu. Sel ini menghasilkan inflamasi lokal yang menyebabkan
kerusakan jaringan.3
Fungsi utama sel T sitotoksik sebenarnya adalah mengeliminasi mikroba, terutama
virus. Akan tetapi, sel T sitotoksik tidak bisa membedakan virus mana yang sitopatik dan
mana yang tidak sehingga sel tersebut membunuh sel lain yang terinfeksi virus tanpa
mempedulikan apakah infeksi tersebut menyakiti inang atau tidak. Sel T sitotoksik dapat
menyerang antigen self sehingga menimbulkan reaksi autoimun. Penyakit-penyakit yang
terjadi berdasarkan mekanisme ini adalah rheumatoid arthritis, multiple sclerosis,
diabetes tipe I, dan penyakit autoimun lainnya. Selain itu, kontak antara sel T sitotoksik
dan antigen asing juga dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan, misalnya
pada tuberkulosis.1
Contoh lainnya adalah pada penyakit kulit yang diakibatkan oleh pajanan dengan
antigen dari lingkungan yang mengakibatkan inflamasi. Peristiwa ini disebut juga
sensitivitas kontak (contact sensitivity), Gejala-gejala yang timbul di antaranya ruam
yang dapat berubah menjadi eczema apabila kronis. 1
Penanganan Pasien dengan Alergi Udang Diagnosis
Ada enam cara yang dapat digunakan untuk memastikan pasien benar-benar
mengalami reaksi alergi: mengetahui riwayat mendetail, buku harian diet, diet eliminasi, skin
prick test, tes darah, dan oral food challenge.4
Dalam mengetahui riwayat mendetail, kita akan mencari tahu apakah gejala-gejala
yang dialami pasien merupakan food intolerance, alergi, atau masalah kesehatan lainnya.
Metode ini dilaksanakan dengan pemberian pertanyaan dan dapat dibantu dengan buku harian
diet. Buku harian diet merupakan cara yang lebih mendetil daripada mengetahui riwayat
pasien. Dalam buku ini, pasien akan mencatat apa saja yang ia makan sehingga dokter bisa
mengetahui pola-pola reaksi yang ia alami. Langkah berikutnya adalah menggunakan diet
eliminasi, yaitu dengan mengeliminasi makanan yang diduga mengakibatkan alergi dari diet
pasien (proses ini harus dikawal oleh tenaga kesehatan).4
Dalam skin prick test, makanan yang diduga merupakan alergen akan dijadikan
ekstrak dan diteteskan pada permukaan kulit lengan bawah atau punggung. Apabila benar
4
bahwa pasien alergi terhadap makanan tersebut, maka daerah yang ditetes akan membengkak
dan memerah. Ini adalah pertanda bahwa IgE pada kulit bersifat spesifik terhadap makanan
yang dites. Akan tetapi, seseorang baru dinilai alergi terhadap makanan tertentu apabila ia
mendapatkan hasil positif dalam tes ini dan mempunyai riwayat mengalami reaksi alergi
terhadap makanan tersebut.4
Tes juga bisa dilakukan dengan tes darah, yaitu mengetahui jumlah IgE pada darah
seseorang, misalnya pada bayi. Semakin banyak jumlah IgE, semakin mungkin bayi tersebut
akan memiliki reaksi alergi. Agar lebiha kurat, tes ini juga bisa ditambah dengan mengetahui
jumlah sel T supresor. Apabila jumlah keduanya tinggi, maka terdapat 90% kemungkinan
bahwa bayi tersebut mengalami alergi.5
Cara terakhir adalah oral food challenge. Pada metode ini, tenaga kesehatan akan
memberikan dosis tertentu untuk berbagai jenis makanan yang diduga merupakan alergen
kemudian mengamati apa yang berikutnya terjadi. Cara ini harus dilaksanakan dengan
pengawasan tenaga kesehatan karena dapat menimbulkan reaksi yang berbahaya.4
Pengobatan
Pengobatan pasien alergi bisa dilakukan dengan kortikosteroid untuk meemberikan
efek supresif pada inflamasi, antihistamin untuk melawan efek mediator histamin, dan
bronchodilators (zat yang dapat membuat bronkus berdilatasi) untuk pasien yang mengalami
asma.5
Pada dasarnya, degranulasi sel mast adalah komponen utama dalam semua reaksi
alergi. Manifestasi klinis maupun patologis dari pemecahan sel mast ini bergantung pada
jaringan tempat sel mast tersebut mengeluarkan efek. Selain itu, tingkat kronisitas proses
inflamasi juga mempengaruhi manifestasi klinis. Manifestasi tersebut bergantung pada situs
anatomik dari reaksi, misalnya titik kontak dengan alergen dan konsentrasi sel mast pada
organ. Maka dari itu, seseorang dapat mengalami alergi tanpa mengalami gejala-gejala
tertentu saja dalam alergi, misalnya atopic dermatitis tanpa asma.1
Pengobatan Asma
Beberapa tahun ini, terapi asma bergeser fokusnya menuju agen antiinflamasi sebagai
cara utama dalam pengobatan. Salah satu jenis obat yang digunakan adalah kortikosteroid
yang dihirup (untuk memblok produksi sitokin inflamasi) dan penggunaan cromolyn untuk
menghambat aktivasi sel mast. Selain itu, digunakan juga epinefrin dan theophylline yang
mengaktifkan adenlylate cyclase untuk relaksasi sel otot polos. Theophylline dapat digunakan
5
pula untuk efek antiinflamasi. Kemudian, bisa juga digunakan inhibitor leukotrien untuk
menghambat leukotrien mengkonstriksi bronkus. Antibodi anti-IgE monoklonal (humanized
monoclonal anti-IgE antibody) juga dapat menurunkan jumlah IgE. Proses yang membatasi
reaksi alergi dengan menurunkan jumlah IgE ini disebut juga imunoterapi.1
Penggunaan Antihistamin
Pencegahan dan penanganan gejala-gejala reaksi alergi biasanya pertama kali
dilakukan menggunakan agen antihistaminik H1 (H1 antihistaminic agents). Antagonis
reseptor H1 akan memblokade aksi histamin dengan berikatan secara antagonisme kompetitif
reversible pada reseptor H1. Agen antihistaminik ini terutama digunakan untuk reaksi alergi
rhinitis dan urticaria yang mediator utamanya adalah histamin. Agen antagonis H1 tidak
efektif dalam mengatasi asma bronkial yang memiliki beberapa mediator. Angioedema tidak
dapat dipengaruhi zat-zat antihistamin karena meskipun dihasilkan oleh histamin, ia
dipertahankan menggunakan kinin peptida. Akan tetapi, antihistamin dapat digunakan untuk
menurunkan rasa gatal pada atopic dermatitis.3
Pencegahan dan Penanganan
Untuk mencegah gejala-gejala reaksi alergi makanan, pasien yang memiliki alergi
harus menghapus makanan tersebut dalam dietnya. Pasien harus diimbau untuk
memperhatikan daftar bahan makanan yang digunakan dalam makanan yang ia temui.
Sejak tahun 2006, Amerika Serikat telah membuat peraturan untuk mendaftarkan bahan
makanan dan menuliskan dengan jelas kandungan yang kemungkinan bersifat alergenik
seperti telur, kacang, dan lain-lain. Pasien juga diimbau untuk tetap menjaga kebersihan
untuk menghindari alergen yang menempel pada kulit, misalnya dengan rajin mencuci
tangan. 4
Untuk mempersiapkan diri terhadap pajanan yang tidak diinginkan, seseorang yang
memiliki alergi bisa menggunakan gelang atau kalung yang dapat mendeteksi alergen
tersebut atau membawa alat autoinjeksi epinefrin. Pasien juga sebaiknya mengetahui tanda-
tanda reaksi alergi. Apabila pasien tersebut mengalami reaksi setelah olah raga, maka ia dapat
memberi jeda antara memakan makanan tersebut dan berolah raga selama beberapa jam.4
6
Kesimpulan
Pada kasus pemicu, kita dapat menegakkan diagnosis bahwa tuan A mengalami alergi
terhadap udang dengan berbagai cara, misalnya skin prick test, tes darah, eliminasi diet, dan
lain-lain yang telah disebutkan.4 Apabila telah terbukti Tuan A memang alergi terhadap
udang, Tuan A dapat mengonsumsi obat kortikosteroid untuk menyupresi reaksi inflamasi
pada tubuhnya atau antihistamin untuk menghambat efek histamin yang membuat gatal-gatal.
Tuan A tidak perlu menggunakan dilator bronkus karena pada pemicu tidak disebutkan
bahwa ia mengalami asma.1,3,5
Untuk menghindari gejala-gejala alergi berikutnya, tuan A harus diimbau untuk
memperhatikan bahan makanan yang hendak ia makan dan menjaga kebersihan. Untuk
menghadapi pajanan yang tidak diinginkan, ia juga dapat menggunakan gelang atau kalung
pendeteksi alergen, mempersiapkan alat autoinjeksi epinefrin, atau mengamati tanda-tanda
reaksi alergi yang muncul dan menghubungi petugas kesehatan.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology, Seventh
Edition. USA: Elsevier Inc.; 2012.
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed 7, Vol. 1 [A.
Prasetyo, B. U. Pendit, T. Priliono, trans]. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2011. Chapter 5, Penyakit Imunitas; p.113-184.
3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.; 2007.
4. National Institute of Allergy and Infectious Disease. Food Allergy – An Overview.
NIH Publication No.12-5518 [internet]. 2012 [cited 2013 April 11]. Available from:
www.niaid.nih.gov/topics/foodallergy/documents/foodallergy.pdf
5. Brostoff J, Gamlin L. The Complete Guide to Food Allergy and Intolerance. London:
Bloomsbury Publishing Limited; 1992.