Post on 12-Mar-2019
55
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Daerah Penelitian
1. Kondisi Umum Kota Bandung
. Kota Bandung yang terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibukota
Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi
komunikasi, perekonomian maupun keamanan. Secara geografis wilayah Kota
Bandung berada antara 107°36’ 00” BT dan 6° 55’ 00”LS dengan luas wilayah
167,45 km. Wilayah Kota Bandung terbagi dalam 26 Kecamatan, 139 Kelurahan /
Desa, 1.494 Rukun Warga dan 4. 9.205 Rukun Tetangga. Iklim Kota Bandung
dipengaruhi oleh iklim pegunungan yang lembab dan sejuk. Temperatur rata-rata
23,10 C, curah hujan rata-rata 204,11 mm, dan jumlah hari hujan
rata-rata 18 hari per bulannya.
Dominasi penggunaan lahan di kota Bandung adalah tanah pekarangan
dengan prosentase 56,76% atau seluas 9.487 Ha. Lahan sawah seluas 1.290 Ha atau
12,73%. Penggunaan lahan Kota Bandung adalah berupa Sawah 2.128 12,73, Kebun
/Tegalan 1.290 7,72, Ladang / Huma 13 0,08, Pekarangan 9.487 56,76, Perkantoran /
Rekreasi - 0,00, Kolam / Tebat / Empang 69 0,41, Tambak 2 0,01, Lainnya 3.762
22,29 dengan jumlah 16.715 100,00.
56
Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 meter di atas
permukaan laut (dpl), titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 meter
dan terendah di sebelah Selatan 675 meter di atas permukaan laut. Di wilayah Kota
Bandung bagian selatan sampai lajur lintasan kereta api, permukaan tanah relatif
datar sedangkan di wilayah kota bagian Utara berbukit-bukit yang menjadikan
panorama indah.
Keadaan geologis dan tanah yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya
terbentuk pada jaman kwarter dan mempunyai lapisan tanah alluvial hasil letusan
Gunung Tangkuban Perahu. Jenis material di bagian utara umumnya merupakan jenis
andosol, di bagian selatan serta di bagian timur terdiri atas sebaran jenis alluvial
kelabu dengan bahan endapan liat. Di bagian tengah dan barat tersebar jenis tanah
andosol.
2. Kondisi Umum Kecamatan Ciwidey
Posisi geografis Kecamatan Ciwidey 31’30” BB – menurut Peta Rupa Bumi
adalah antara 1070 31’30” BB - 1070 31’30” BT dan 70 2’15” LU – 70 18’00”LS.
Kecamatan Ciwidey mempunyai luas wilayah yaitu 40.674,67 Ha.
Penggunaan lahan di wilayah Ciwidey ini di dominasi oleh penggunaan lahan
untu kebun teh, yaitu seluas 12.771,1 Ha atau sebesar 31,4 % dari total luas
penggunaan lahan. Kawasan ruang terbangun adalah sebesar 4,79 % yang digunakan
untuk pemukiman.
57
Topografi wilayah Ciwidey merupakan daerah dengan topografi relative
bergelombang dan sedikit datar. Daerah ini terletak pada ketinggian kurang lebih
1100 meter di atas permukaan air laut. Bentuk wilayah yang terdapat di ketiga
kecamatan tersebut adalah berbukit (15 – 25 %), bergelombang (8 – 15 %), berombak
(3 – 8 %), dan datar (0 – 3 %). Daerah bergelombang dan berombak sebagian besar
terdapat di Kecamatan Pasirjambu, yaitu seluas 12749,6 Ha untuk luas wilayah
bergelombang (8 – 15%).
Keadaan hidrologi dari suatu wilayah mencerminkan kondisi tata air dan
wilayah tersebut yang terlihat dari keadaan sungai-sungai yang mengalir disamping
faktor iklim terutama curah hujan. Daerah penelitian merupakan daerah aliran
sungai (DAS) Citarum.
58
59
Gambar 4.1 Peta Jalur kereta Bandung-Ciwidey
60
3. Penggunaan Lahan Sepanjang Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey
Lahan menurut Arsyad (1989:207) merupakan suatu lingkungan fisik yang
terdiri atas iklim, relief, tanah, air, flora dan fauna, serta bentukan hasil budaya
manusia. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang atau tempat.
Adapun penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi
(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik materil maupun spiritual.
Penggunaan lahan yang terdapat disepanjang jalur Kereta api Bandung-
Ciwidey berdasarkan Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 lembar 1208-633 Soreang,
1208-634 Pakutandang, 1208-222 Cililin, 1208-544 Pasirjambu. 1208-631
Pangalengan, 1208-632 Lebaksari, 1208-524 Cibuluh, 1208-542 Baru Tunggul, 1209-
311 Bandung dan 1209-312 Ujungberung, serta hasil observasi terdiri atas
permukiman, sawah, kebun, ladang, semak dan lahan kosong. Penggunaan Lahan
tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Penggunaan Lahan Di Sepanjang jalur Kereta Bandung-Ciwidey
No. Penggunaan Lahan Luas Lahan (Ha) (%)
1 Sawah Tadah Hujan 10.344 4.47
2 Sawah Irigasi 45.523 19.66 3 Kebun 44.201 19.09 4 Ladang/Huma 19.711 8.51 5 Semak 1.233 0.53 6 Perkebunan 38.212 16.51 7 Tanah Kosong 36 15.55 8 Kolam/Empang 1.139 0.49 9 Permukiman 35.139 15.18
Jumlah 231.502 100 Sumber: Kabipaten Bandung Dalam Angka 2009
61
Sumber:Kabupaten Bandung dalam Angka, 2009
Gambar 4.2 Gambar Persentase Penggunaan Lahan Di Kabupaten Bandung
Berdasarkan grafik di atas penggunaan lahan di Kabupaten Bandung sebagian besar
merupakan sawah irigasi sebesar 45.523 Ha dengan presentase 19,66% dari total
keseluruhan luas lahan.
62
Gambar 4.3
Peta Penggunaan Lahan Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey
63
B. Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Penelitian
1. Jumlah Dan Kepadatan Penduduk
Jalur kereta api Bandung-Ciwidey terdapat pada 7 Kecamatan yang dilalui. Berikut ini
data dari ke 7 Kecamatan yang dilalui oleh jalur kereta api Bandung-Ciwidey:
Tabel 4.2 Sebaran Penduduk di Sepanjang Jalur Kereta Bandung-Ciwidey
No Nama Kecamatan
Luas Wilayah
(Km)
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk
1 Bojongsoang 27.81 83.950 3.019 2 Dayeuhkolot 11.03 120.251 10.902 3 Baleendah 41.56 189.533 4.560 4 Banjaran 42.92 112.388 2.619 5 Pameungpeuk 14.62 66.559 4.553 6 Soreang 25.51 102.690 4.025 7 Pasirjambu 239.58 81.914 0.342
Jumlah 403.03 757.285 30.02 Sumber: Kabupaten Bandung dalam Angka, 2000-2010.
Dari ke 7 kecamatan tersebut berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat luas wilayah terbesar
adalah Kecamatan Pasijambu yaitu 239,58 km2 dengan jumlah penduduk 81.914 jiwa.
Sedangkan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Dayeuhkolot yaitu 11,03 km2 dengan jumlah
penduduk 120.251 jiwa.
2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Komposisi penduduk berdasarkan pada usia dan jenis kelamin diperlukan untuk
mengetahui angka ketergantungan dan rasio jenis kelamin. Penjelasan mengenai komposisi
penduduk di Kabupaten Bandung berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
4.3 Berikut ini:
64
Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Sepanjang Jalur Kereta Bandung-
Ciwidey
No. Nama Kecamatan Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Bojongsoang 62.082 58.169 120.251 2 Dayeuhkolot 61.885 61.001 122.886 3 Baleendah 92.950 96.583 189.533 4 Pameungpeuk 33.013 33.546 66.559 5 Banjaran 54.998 57.390 112.388 6 Soreang 50.702 51.988 102.690 7 Pasirjambu 40.810 41.104 81.914
Jumlah 396.44 399.781 796.221 Sumber: Kabupaten Bandung dalam Angka, 2000-2010.
Dari tabel tersebut dapat diketahui rasio jenis kelamin (sex ratio) untuk penduduk yang
ada di daerah penelitian, dengan menggunakan rumus:
Sr = ����ℎ �� − ��
����ℎ �������� � 100
(Sunarto, 1985 :34)
�� =396.44
399.781 � 100
= 99,16 dibulatkan menjadi 99
Dari perhitungan di atas, diperoleh ratio jenis kelamin yaitu 99 yang berarti pada tiap 99
orang perempuan terdapat 99 laki-laki. Komposisi penduduk ini memegang peranan penting
dalam produktifitas dengan memberikan kemungkinan-kemungkinan pertumbuhan penduduk
dimasa mendatang.
65
3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata Pencaharian merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kabupaten
Bandung, dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian Jumlah % 1 Pertanian 499.520 50.11 2 Perdagangan 148.633 14.91 3 Pertambangan dan Penggalian 3.296 0.33 4 Jasa 184.479 18.51 5 Bangunan 37.068 3.72 6 Komunikasi 2.380 0.24 7 Industri Pengolahan 92.287 9.26 8 Angkutan 27.772 2.79 9 Hotel dan Restoran 1.452 0.15
Jumlah 996.887 100 Sumber:Kabupaten Bandung Dalam Angka 2009
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk di Kabupaten
Bandung memilih mata pencaharian di bidang pertanian yaitu sebanyak 499.520 atau 50,11%.
Banyaknya penduduk yang bekerja di bidang pertanian disebabkan oleh penggunaan lahan di
Kabupaten Bandung sebagian besar masih berupa lahan pertanian. Sedangkan mata pencaharian
lainnya yaitu berupa perdagangan, jasa, bangunan dan lain-lain seperti yang sudah disebutkan
pada tabel diatas.
66
4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sumberdaya manusia yang berkualitas dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki
oleh setiap individu. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada
tabel 4.5 berikut ini:
Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Nama Kecamatan
Tingkat Pendidikan Tidak Punya
Ijazah SD SLTP SLTA PT
1 Bojongsoang 21.969 19.64 14.237 12.802 5.564 2 Dayeuhkolot 8.133 21.964 27.112 27.983 1.775 3 Baleendah 19.076 45.937 41.314 36.674 5.794 4 Banjaran 10.765 27.320 23.189 22.335 2.355 5 Pameungpeuk 12.600 14.138 10.599 12.86 2.001 6 Soreang 14.517 32.32 15.932 12.94 5.510 7 Pasirjambu 14.619 17.17 19.991 6.740 1.026
Jumlah 101.697 178.489 152.374 132.334 24.025 Sumber: Kabupaten Bandung Dalam Angka 2009
C. Sejarah PT. Kereta Api (Persero)
Menurut PT. Kereta Api (Persero) kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan
pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di Desa Kemijen Jum’at tanggal 17 Juni
1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele.
Pembangunan diprakarsai oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij” (NV. NISM) yang di pimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju Desa
Tanggung(26km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum
pada Hari Sabtu, 10 Aguatus 1867.
67
Keberhasilan NV. NISM membangun jalan kereta api antara Kemijen – Tanggung, yang
kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan Kota Semarang – Surakarta
sepanjang 110 km akhirnya mendorong minat investor asing untuk membangun jalan kereta api
didaerah lainnya. Tidak mengherankan, jika terjadi pertumbuhan pesat panjang rel antara tahun
1864-1900. Jika tahun 1867 panjang rel baru 25 km, maka tahun 1870 menjadi 110 km.
Kemudian, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada tahun 1900
menjadi 3.338 km.
Selain di Jawa, pembangunan jalan kereta api juga dilakukan diberbagai daerah. Sampai
pada tahun 1939, panjang jalan kereta api di Indonesia mencapai 6.811 km. Tetapi, pada tahun
1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km raib, yang diperkirakan
karena dibongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan
Jepang (1942 – 1943) sepanjang 473 km, sedangkan jalan kereta api yang dibangun semasa
pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah – Cikara dan 220 km antara Muaro – Pekanbaru.
Dari segi pengelolaannya perkeretaapian pada zaman Hindia Belanda dikelola oleh
Pemerintah dan swasta. Pemerintah mengelola melalui Perusahaannya yaitu Staats Spoorwegen
(SS). Sedangkan perusahaan swasta tergabung dalam Vereniging Van Nederlands Indische Spoor
en Tramweg Maatschappij atau disebut juga Verenigde Spoorwegbedrijf (VS).
Perusahaan kereta api pertama dibangun oleh perusahaan swasta yang dimulai dari
Semarang. Dilakukan oleh N.V. Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS)
berkedudukan di Negeri Belanda. Berdasarkan Gouverment Besluit No. 1 tahun 1862, tanggal 28
Agustus 1892 pemerintah Hindia Belanda menyerahkan tanah dan member konsesi kepada NIS
untuk membangun jalan kereta api di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemudian bermunculan
68
perusahaan-perusahaan kereta api swasta lainnya yang beroperasi di Wilayah Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Barat termasuk juga Madura. Jumlah perusahaan kereta api swasta ada 12
perusahaan, selain NIS yaitu :
1. N.V Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS);
2. N.V Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS);
3. N.V Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS);
4. N.V Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS);
5. N.V Pasoeroean Stoomtram Maatschappij (Ps.SM);
6. N.V Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM);
7. N.V Probolinggo Stoomtram Maatschappij (Pb.SM);
8. N.V Modjokerto Stoomtram Maatschappij (MSM);
9. N.V Malang Stoomtram Maatschappij (MS);
10. N.V Madoera Stoomtram Maatschappij (Mad.SM);
11. N.V Deli Spoorweg Maatschappij (DSM).
Perusahaan kereta api negara (SS) mulai membangun jalan kereta api pada tahun 1875
dari Surabaya, Jawa Timur. Berdasarkan Staatsblad 1875 No. 141 oleh Pemerintah diserahkan
tanah kepada SS untuk pembangunan jalan kereta api lintas Surabaya-Malang, peresmian
pertama tanggal 16 Mei 1878 adalah jalur Surabaya-Pasuruan. Selanjutnya SS membangun jalan
kereta api di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Sumatera Barat, Lampung
dan Sumatera selatan.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada jepang.
Perusahaan kereta api SS dan VS pengelolaannya disatukan oleh Pemerintah Jepang. Kereta api
69
di Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang diberi nama Rikuyu Sokyoku dan dibagi dalam tiga
daerah eksploitasi yaitu 1) Seibu Kyoku di Jawa Barat; 2) Chubu Kyoku di Jawa Tengah dan 3)
Tobu Kyoku di Jawa Timur. Kereta api di Sumatera dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang dan
dibagi dalam tiga daerah eksploitasi, yaitu 1) Nanbu Sumatora Tetsudo di Sumatera Selatan
termasuk Lampung; 2) Seibu Sumatora Tetsudo di Sumatera Barat; dan 3) Kita Sumatora
Tetsudo di Aceh dan Sumatera Utara.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, karyawan
kereta api yang bergabung dalam “Angkatan Moeda Kereta Api” (AMKA) mengambil alih
kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peritiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28
September 1945, pembacaan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya,
menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan
bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan berada lagi campur tangan dengan urusan
perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai
Hari Kereta Api di Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Maklumat Kementrian Perhubungan RI
No. 1/KA Tanggal 23 Oktober 1946 Perusahaan Kereta Api SS dan VS dikelola oleh Djawatan
Kereta Api RI (DKARI).
Pada masa perjuangan revolusi fisik dengan datangnya kembali Belanda bersama sekutu,
kekuasaan kereta api terpecah dua. Di daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik kereta api
dioperasikan oleh DKARI, sedangkan di daerah-daerah yang diduduki kembali oleh Belanda,
kereta api dioperasikan oleh SS dan VS. Setelah terjadi pegakuan kedaulatan, perusahaan kereta
api dikuasai kembali oleh Pemerintah RI. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan,
Tenaga dan Pekerjaan Umum RI tanggal 6 Januari 1950 No.2 tahun 1950, terhitung 1 januari
70
1950 DKARI dan SS serta VS digabung menjadi satu Djawatan dengan nama Djawatan Kereta
Api (DKA). Selanjutnya terjadi perubahan perusahaan sampai menjadi PT. Kereta Api (Persero).
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 dan 41
Tahun 1959 asset dari 12 perusahaan kereta api swasta Belanda yang tergabung dalam verenigde
Spoorwegbedrijf (VS) tersebut diserahkan pengelolaannya kepada DKA, sehingga sejak
berlakunya PP ini maka secara yuridis semua asset VS sudah menjadi asset DKA yang sekarang
sudah menjadi PT.Kereta Api (Persero).
Pada saat ini perkeretaapian di Indonesia dikelola oleh PT. Kereta Api (Persero) yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 tentang Penngalihan Bentuk
Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan berkantor
Pusat di Jl. Perintis No.1 Bandung.
D. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan oleh penulis berdasarkan informasi dari PT. Keret Api
(Persero) yaitu adanya penguasaan tanah yang dilakukan oleh penduduk yang menempati rel
kereta api yang sudah dinonaktifkan pada tahun 1979 yaitu jalur rel kereta Bandung-Ciwidey
seperti yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Setelah data berhasil dikumpulkan,
langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah mencoba mengolah untuk menjawab
pertanyaan yang telah diajukan pada BAB I.
71
1. Karakteristik penduduk yang membangun permukiman di sepanjang jalur kereta
Bandung-Ciwidey.
a. Identitas Responden
Sesuai dengan teknik pengambilan sampel pada Bab III, penelitian ini mengambil sampel
penduduk dari Kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung, atas dasar pertimbangan letak
dan jarak, serta kondisi daerah, maka untuk sampel wilayah diambil 7 kecamatan (Kecamatan
Bojongsoang, Dayeuhkolot, Baleendah, Pameungpeuk, Banjaran, Soreang, Pasirjambu). Dari
setiap Kecamatan hanya diambil satu Desa yang dilihat bahwa desa-desa tersebutlah yang
banyak menempati jalur kereta api Bandung-Ciwidey yang sudah tidak aktif. Dari ke 7
desa/kelurahan tersebut diambil sampel 81 orang yang terdiri atas 12 orang dari Desa
Bojongsoang, 10 orang dari Desa Dayeukolot, 29 orang dari Kelurahan Baleendah, 7 orang dari
Desa Pameungpeuk, 7 orang dari Desa Banjaran, 7 orang dari Desa Soreang dan 9 orang dari
Desa Pasirjambu. Adapun karakteristik dari responden dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Jumlah Responden berdasarkan umur di sepanjang jalur kereta Bandung-Ciwidey
merupakan data yang diperoleh saat penelitian berlangsung yang telah memberikan jawaban dari
wawancara. Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.6 Berikut ini:
72
Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur
No. Kelompok Umur F (%) 1 <26 tahun 5 6 2 26-35 tahun 20 25 3 36-45 tahun 32 40 4 46-55 tahun 16 20 5 >55 tahun 8 10
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa <setengahnya (40%) adalah responden
yang berumur 36-45 tahun dan sebanyak (25%) adalah responden kelompok umur 26-35 tahun.
Adapun sebagian kecil lainnya. Responden berumur 46-55 tahun (20%), >55 tahun (10%) dan
<26 tahun (6%).. Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 4, berikut ini:
Sumber: Hasil Penelitia, 2011
Gambar 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan hal yang penting bagi kualitas sumber daya manusia
menjadi lebih unggul dan kaitannya dengan kemajuan dibidang pendidikan penduduk. Tingkat
73
pendidikan menunjukkan kecakapan seseorang. Adapun jumlah responden berdasarkan
pendidikan terakhir di sepanjang jalur kereta api Bandung-Ciwidey dapat dilihat pada tabel 4.7
berikut ini:
Tabel 4.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Pendidikan F (%) 1 Tidak Sekolah 1 1 2 Sekolah Dasar 35 43 3 Sekolah Menengah Pertama 33 41 4 Sekolah Menengah Atas 12 15 5 Perguruan Tinggi 0 0
Jumlah 81 100 Sumber : Hasil Penelitian 2011
Sumber: Hasil Penelitian, 2011
Gambar 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa mayoritas responden di daerah penelitian
hanya mencapai jenjang Sekolah Dasar yaitu <setengahnya (43%) dan Sekolah Menengah
Pertama (41%). Adapun sebagian kecil lainnya yaitu responden yang berpendidikan Sekolah
Menengah Atas (15%), Tidak sekolah (1%). Sedangkan responden yang pendidikannya di
tingkat Perguruan tinggi tidak ada.
74
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata Pencaharian merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Mata Pencaharian/pekerjaan biasanya disesuaikan dengan latar
belakang pendidikan, jenis kelamin, umur, keahlian dan keterampilan seseorang. Responden
berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.8 Karakteristik Responden Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian f (%) 1 Buruh 10 12 2 Wiraswasta 55 68 3 Karyawan 13 16 4 TNI/Polri 2 2 5 Swasta 1 1
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian, 2011
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa lebih dari setengahnya (68%) responden
bermata pencaharian sebagai wiraswasta. Adapun sebagian kecil responden yang
bermatapencaharian sebagai karyawan (16%), buruh (12%), TNI/Polri (2%) dan swasta (1%).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 4.7 berikut ini:
75
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Mata Pencaharian
e. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan merupakan jumlah hasil nafkah dalam jangka waktu tertentu (harian,
mingguan, bulanan, dsb). Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh tingkat pendapatan.
Pendapatan yang tinggi biasanya memiliki kesejahteraan yang baik, begitu pula sebaliknya.
Adapun data mengenai jumlah pendapatan berdasarkan tingkat pendapatan di daerah penelitian
dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini:
Tabel 4.9 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
No. Pendapatan f (%) 1 <500.000 20 25 2 500.000-1.000.000 37 46 3 1.000.000-2.000.000 21 26 4 >2.000.000 3 4
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
76
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Berdasarkan tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa kurang dari setengahnya
(46%) responden berpendapatan 500.000-1.000.000, responden berpendapatan 1.000.000-
2.000.000 (25%), berpendapatan <500.000 (25%). Sedangkan hanya sebagian kecil (4%)
responden yang berpendapatan >2.000.000.
f. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan
Jumlah tanggungan dalam keluarga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kesejahteraan penduduk di suatu daerah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.10
berikut ini:
77
Tabel 4.10 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan
No. Jumlah Tanggungan F (%) 1 1 23 28 2 2 29 36 3 3 18 22 4 4 7 9 5 5 3 4 6 >5 1 1
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa <setengahnya responden yang memliki jumlah
tanggungan 2 orang (36%) dan jumlah tanggungan 1 orang (28%). Adapun sebagian kecil
responden memiliki jumlah tanggungan 3 orang (22%), jumlah tanggungan 4 (9%), jumlah
tanggungan 5 (4%) dan jumlah tanggungan >5 orang (1%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada grafik 4. berikut ini:
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.8 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tnggungan
78
g. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah
Status kepemilikan rumah merupakan salah satu hal yang mempengaruhi tingkat
kemapanan seseorang. Adapun status kepemilikan rumah responden ditunjukkan pada Tabel 4.11
Berikut ini:
Tabel 4.11 Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah
No. Status Kepemilikan Rumah F (%) 1 Milik Sendiri 71 88 2 Sewa 10 12
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.9 Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah
Tabel dan gambar tersebut menunjukkan status kepemilikan rumah responden di lokasi
penelitian. Sebagian besar responden (88%) status kepemilikan rumahnya yaitu milik sendiri
sedangkan hanya sebagian kecil (12%) responden dengan status rumah menyewa.
79
h. Karakteristik Responden Berdasarkan Kondisi Rumah
Tingkat kesejahteraan seseorang dapat dilihat salah satu nya dari kondisi rumah itu
sendiri. Kondisi rumah yang baik juga akan mencerminkan kehidupan yang layak atau sejahtera.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut ini:
Tabel 4.12 Karakteristik Responden Berdasarkan Kondisi Rumah
No. Kondisi Rumah F (%)
1 Permanen 52 64 2 Semi Permanen 29 36 3 Tidak permanen 0 0
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa >setengahnya (64%) kondisi rumah
responden di daerah penelitian kondisinya sudah permanen. Sedangkan <setengahnya (36%)
kondisi rumah responden yaitu semi permanen.Dan tidak ada responden yang kondisi rumahnya
tidak permanen.
i. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Rumah
Ukuran luas rumah pun berpengaruh kepada respon penduduk terhadap rencana
pengaktifan rel kereta tersebut. Berikut ini adalah tabel luas rumah di daerah penelitian.
Tabel 4.13 Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Rumah
No. Luas Rumah f % 1 12 m2 - 20 m2 40 49 2 21 m2 - 30 m2 23 28 3 31 m2 - 40 m2 2 3 4 41 m2 - 50 m2 8 10 5 >50 m2 8 10
Jumlah 81 100 Sumber : Hasil Penelitian 2011
80
Berdasarkan tabel tersebut, <setengahnya responden memiliki rumah dengan luas 12 m2
– 20 m2 (49%) dan 21 m2 - 30 m2 (28%). Adapun sebagian kecil lainnya yaitu responden dengan
luas rumah >50 m2 (10%), 41 m2 - 50 m2 (10%) dan 31 m2 - 40 m2 (3%).
j. Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Rumah ke Bekas Rel Kereta Api
Di daerah penelitian diketahui jarak rumah responden ke bekas rel kereta api yang sudah
non aktif ini beragam. Hal ini juga akan mempengaruhi respon penduduk terhadap rencana
pengaktifan rel kereta tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.14 berikut ini:
Tabel 4.14 Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Rumah ke Bekas Rel Kereta Api
No. Jarak Rumah f (%)
1 < 1 meter 61 75
2 1 - 2 meter 14 17
3 > 2 meter 6 8 Jumlah 81 100
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar (75%) rumah
responden di daerah penelitian memiliki jarak kurang dari satu meter. Sedangkan sebagian kecil
lainnya responden dengan jarak rumah ke bekas rel antara 1 – 2 meter (17%) dan lebih dari 2
meter (8%).
Dari berbagai sumber diketahui bahwa selama ini penggunaan tanah bekas rel oleh
penduduk telah berlangsung lama. Terhadap hal tersebut selama ini belum pernah ada
pertentangan atau konflik antara penduduk dengan PT. Kereta Api (Persero) dan belum pernah
ada larangan atau imbauan agar tanah tersebut tidak digunakan oleh pihak manapun.
Jalur kereta Bandung-Ciwidey sepanjang 40,396 km, sekitar 80% dari jalur tersebut telah
dikuasai penduduk dan berubah fungsi menjadi permukiman. Jalur ini tadinya merupakan bagian
81
dari jalur kereta api yang menghubungkan Bandung-Ciwidey. Di atas tanah tersebut sekarang
sudah tidak kelihatan sebagai jalan kereta api, tetapi sudah menjadi permukiman penduduk.
Bahkan pada sebagian tempat, besi yang merupakan sarana rel kereta api tidak kelihatan karena
tertutup bangunan dan bila ditelusuri berada dalam bagian rumah penduduk. Penduduk
menggunakan tanah tersebut untuk berbagai keperluan. Dari hasil pengamatan dilapangan,
sebagian besar tanah tersebut digunakan untuk permukiman dan di atasnya berdiri bangunan
rumah semi permanen dan sebagian besar permanen. Bahkan ada juga sebidang tanah yang
digunakan untuk pabrik tahu. Selain itu banyak juga yang digunakan untuk tempat usaha seperti
rumah makan, warung, dan toko – toko. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di daerah
penelitian adapun latar belakang penduduk membangun permukiman di sepanjang jalur tersebut
yaitu dapat dilihat pada Tabel 4.15 berikut ini:
Tabel 4.15 Alasan Penduduk Tinggal Di Sepanjang Jalur Kereta Bandung-Ciwidey
No Alasan Tinggal f (%)
1 Peninggalan Orang tua 15 18.52
2 Harga Tanah Murah 38 46.91
3 Tidak ada pilihan lain 21 25.93
4 Letaknya Strategis 7 8.64
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Pada tabel 4.19 dapat diketahui bahwa alasan responden membangun permukiman di
jalur rel kereta api Bandung-Ciwidey yaitu hampir setengahnya menjawab harga tanah di daerah
tersebut murah. Sedangkan beberapa responden menjawab alasan lain yaitu permukiman yang
mereka tinggali merupakan peninggalan dari orangtua mereka dan beberapa responden
menjawab bahwa tidak punya pilihan lain untuk membangun rumah di tempat lain. Dan selain
82
itu ada pula yang mengatakan bahwa daerah tersebut letaknya strategis dari fasilitas-fasilitas
yang ada.
Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat diketahui bahwa hampir semua
dari mereka yang tinggal di sepanjang jalur tersebut adalah mereka yang bukan melakukan
okupasi langsung terhadap tanah PT. Kereta Api (Persero). Mereka menempati tanah
berdasarkan jual beli yang hanya dengan bukti kwitansi dengan pengguna sebelumnya atau ada
pula yang mengaku mereka mendapatkannya dari orang tua mereka seperti yang sudah
diungkapkan di atas. Penggunaan tanah pada waktu mereka membeli tanah tersebut digunakan
untuk berbagai penggunaan. Mereka mengaku bahwa pada waktu mereka membeli di atas tanah
tersebut ada yang digunakan untuk kebun, sawah, alang-alang ataupun sudah ada bangunan
rumah baik yang sudah permanen maupun berupa rumah berdinding bilik.
Berdasarkan hasil wawancara di daerah penelitian pada mulanya tanah tersebut
digunakan sebagai prasarana operasional dari kereta api yaitu berupa jalan rel. Tanah- tanah
disamping kiri dan kanan rel yang merupakan tanah PT. Kereta Api (Persero) digarap oleh para
pekerja PJKA waktu itu. Mereka menggunakan tanah tersebut dengan ijin perusahaan untuk
kolam, kebun dan sawah. Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan tanah disekitar rel tersebut.
Pada Tahun 1979 operasi kereta api jalur Bandung-Ciwidey berhenti. Dengan
berhentinya jalur tersebut, maka otomatis rel tersebut tidak berfungsi sesuai tujuannya. Tanah
sebagai lahan rel dibiarkan begitu saja, sampai tahun 1990 menurut keterangan penduduk
setempat bahwa tanah bekas rel tersebut tidak dikelola dan hanya ditumbuhi oleh rumput dan
alang-alang. Sementara tanah-tanah disampingnya masih tetap dikelola oleh pegawai atau
pensiunan dari PJKA untuk kebun, kolam ataupun sawah.
83
Pada tahun – tahun berikutnya disekitar tanah bekas rel yang mulanya digarap bukan
untuk pertanian, mulai berdiri bangunan rumah. Walaupun pada mulanya lahan bekas rel belum
digunakan untuk apapun. Pada tahun – tahun selanjutnya tanah-tanah disekitar rel kereta api
telah berubah fungsi menjadi tempat tinggal yang akhirnya sampai juga pada tanah – tanah bekas
lahan yang digunakan rel kereta api.
Menurut hasil wawancara di daerah penelitian bahwa pada mulanya tanah-tanah yang
dikuasai oleh pegawai ataupun pensiunan PJKA digarap oleh mereka sendiri. Lambat laun
dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, mereka ada yang mendirikan bangunan di
atasnya. Lalu dari mereka ada yang mengkavling-kavling tanah tersebut untuk kemudian dijual
kepada pihak lain. Untuk tanah bekas rel yang tadinya tidak digarap, mulai mereka garap dengan
tujuan untuk dipakai sendiri ataupun dijual. Bahkan banyak bekas pegawai PJKA yang menjual
tanah – tanah bekas lahan rel kereta api dengan cara mengkavling masing-masing seluas 60 m2.
Bangunan di atas tanah rel kereta api tersebut pada mulanya mungkin baru satu atau dua
unit, tetapi hal ini tidak ada teguran atau larangan baik dari pihak PT.Kereta Api (Persero)
maupun dari pihak lain termasuk desa. PT. Kereta Api (Persero) sendiri mengetahui bahwa
tanahnya sekarang telah dikuasai oleh penduduk. Sikap permisif dari PT. Kereta Api (Persero)
inilah yang kemudian menjadi seakan – akan “izin” untuk menggunakan tanah tersebut, sehingga
penduduk dengan bebas tanpa ada larangan dalam menggunakan tanah tersebut termasuk
melakukan jual beli. Sehingga lama-kelamaan tanah tersebut telah banyak berpindah tangan.
84
2. Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana respon Penduduk di
sekitar jalur rel kereta Bandung-Ciwidey terhadap rencana pengaktifan kembali rel kereta
tersebut.
Adapun untuk mengukur respon penduduk terhadap rencana pengaktifan kembali rel
kereta Bandung-Ciwidey penulis hubungkan dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
mata pencaharian, status kepemilikan rumah dan jarak rumah ke bekas rel.
a. Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan sumberdaya
manusia menjadi lebih unggul. Tingkat kehidupan seseorang dapat dilihat dari bagaimana tingkat
pendidikan yang pernah mereka tempuh. Maka tingakat pendidikan pun mampu menjadi sebuah
parameter seseorang untuk mengemukakan pendapat ataupun merespon hal-hal yang terjadi di
sekitar mereka. Oleh karena itu, tingkat pendidikan dapat mempengaruhi respon seseorang
terhadap suatu hal. Dalam hal ini, tingkat pendidikan dapat mempengaruhi respon penduduk
disepanjang jalur kereta api Bandung-Ciwidey terhadap rencana pengaktifan kembali rel
tersebut. Penulis beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan
semakin melek terhadap hak dan kewajiban mereka serta semakin tau tentang kedudukan lahan
yang mereka kuasai. Sehingga respon yang terjadi akan berbeda dengan mereka yang tingkat
pendidikannya yang lebih rendah. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui respon penduduk
terhadap rencana pengaktifan rel kereta berdasarkan tingkat pendidikan. Respon penduduk
85
tersebut berdasarkan tingkat pendidikan terhadap rencana ini ditunjukkan pada Tabel 4.16
berikut ini:
Tabel 4.16 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan
Respon Terhadap Rencana Pengaktifan
Jumlah Setuju Kurang
Setuju Tidak Setuju
1 Tidak Sekolah 0 0 1 1
2 SD 6 2 27 35
3 SMP 9 2 22 33
4 SMA 1 1 10 12
5 PT 0 0 0 0 Jumlah 16 5 60 81
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.10 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pada Tabel 4.16 dan Gambar 4.11 Dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk tidak
setuju dengan rencana pengaktifan rel kereta Bandung-Ciwidey. Penduduk dengan tingkat
86
pendidikan SD mendominasi menjawab tidak setuju. Sedangkan respon tidak setuju banyak
dijawab oleh responden dengan tingkat pendidikan SMP.
Jika dihubungkan antara respon penduduk dengan tingkat pendidikan penduduk diketahui
dengan menggunakan rumus theta. Perhitungnnya dapat dilihat pada Lampiran. Hasil dari
perhitungannya menunjukkan angka 0,0679. Angka ini menunjukkan bahwa di antara variabel X
dan Y terdapat hubungan yang lemah sekali. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat
pendidikan responden maka jawabannya yaitu semakin tidak setuju terhadap rencana pengaktifan
rel tersebut. Adapun tingkat signifikansi hubungan antara kedua variable diatas yang dihitung
dengan menggunakan uji statistik t menghasilkan angka 0,6054. Jika dibandingkan dengan t
tabel dengan taraf nyata 5% dengan skor standar 1,671, maka t hitung lebih kecil dari t tabel,
yakni 0,6054 < 1,671. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak. Ini berarti antara
tingkat pendidikan dengan respon penduduk terhadap rencana pengaktifan rel kereta Bandung-
Ciwidey terdapat hubungan yang tidak signifikan.
Adapun hasil wawancara dengan responden jika dilihat dari tingkat pendidikan yang
pernah mereka tempuh hal ini mempengaruhi respon penduduk terhadap rencana tersebut karena
rendahnya tingkat pendidikan di daerah penelitian yaitu didominasi oleh lulusan SD dan SMP
maka pemahaman dan pengetahuan mereka terhadap penguasaan lahan tersebut sangatlah
kurang. Sehingga mereka tinggal di lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya tanpa
mengetahui prosedur yang benar. Dengan kata lain mereka bisa disebut sebagai penghuni liar.
87
b. Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Rel Kereta Bandung-Ciwidey Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan merupakan jumlah hasil nafkah dalam jangka waktu tertentu (harian,
mingguan, bulanan, dsb). Tingkat pendapatan dapat berpengaruh terhadap respon seseorang
terhadap rencana pengaktifan Rel kereta api Bandung-Ciwidey. Penulis beranggapan bahwa
semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka mereka tidak akan memanfaatkan lahan yang
statusnya belum jelas, sehingga penduduk yang berpendapatan tinggi akan memilih untuk tidak
tinggal di lahan tersebut. Sebaliknya, penduduk yang tingkat pendapatannya lebih rendah akan
lebih tertarik untuk tinggal d lahan tersebut karena pendapatan mereka yang terbatas. Adapun
hubungan antara tingkat pendapatan dengan rencana tersebut dapat dilhat pada Tabel 4.17
berikut ini:
Tabel 4.17 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Tingkat Pendapatan
No. Pendapatan
Respon Terhadap Rencana Pengaktifan
Jumlah Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
1 <500.000 3 1 16 20 2 500.000-1.000.000 6 3 28 37 3 1.000.000-2.000.000 6 1 14 21 4 >2.000.000 1 0 2 3
Jumlah 16 5 60 81 Sumber:Hasil Penelitian, 2011.
88
Gambar 4.11 Gambar Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Pada Tabel 4.17 dan Gambar 4.12 yaitu menunjukkan bahwa sebagian besar responden
dengan pendapatan rendah maupun tinggi menjawab tidak setuju terhadap rencana pengaktifan
rel kereta tersebut dan hanya beberapa responden yang menjawab setuju dan kurang setuju.
Jika dihubungkan antara respon penduduk dengan tingkat pendapatan penduduk
diketahui dengan menggunakan rumus theta. Perhitungnnya dapat dilihat pada Lampiran. Hasil
dari perhitungannya menunjukkan angka 0,1191. Angka ini menunjukkan bahwa di antara
variabel X dan Y terdapat hubungan yang lemah sekali. Maka tingkat pendapatan pengaruhnya
sangat lemah terhadap respon penduduk terhadap rencana tersebut. Adapun tingkat signifikansi
hubungan antara kedua variable diatas yang dihitung dengan menggunakan uji statistik t
menghasilkan angka 1,0737. Jika dibandingkan dengan t tabel dengan taraf nyata 5% dengan
skor standar 1,671, maka t hitung lebih kecil dari t tabel, yakni 1,0737 < 1,671. Hal ini
menunjukkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak. Ini berarti antara tingkat pendapatan dengan
89
respon penduduk terhadap rencana pengaktifan rel kereta Bandung-Ciwidey terdapat hubungan
yang tidak signifikan.
Adapun hasil wawancara langsung dengan responden di daerah penelitian bahwa mereka
tidak setuju terhadap rencana tersebut karena dilihat dari jumah pendapatan yang mereka peroleh
kebanyakan responden berpendapatan tidak terlalu tinggi sehingga mereka tidak mampu untuk
memiliki rumah yang selayaknya. Mereka tidak mampu untuk membeli tanah ataupun rumah di
daerah yang lebih layak. Hal ini mempengaruhi respon tidak setuju terhadap rencana pengaktifan
rel kereta Bandung-Ciwidey walaupun lemah hubungannya. Mereka yang tidak setuju
kebanyakan beralasan karena khawatir pemerintah tidak akan memberikan ganti rugi yang sesuai
pada mereka jika rencana tersebut terealisasi.
c. Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata Pencaharian merupakan salah satu faktor penting bagi peningkatan sosial ekonomi
di suatu daerah, maka dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang orientasi
perekonomian di suatu daerah. Adapun penduduk yang tinggal di daerah penelitian sebagian
besar bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang. Banyaknya penduduk yang bermatapencaharian
sebagai pedagang dikarenakan tempat tinggal mereka dekat dengan pasar dan lokasi penelitian
merupakan daerah yang padat penduduk sehingga akan menimbulkan banyak kebutuhan mulai
dari makanan sampai kebutuhan lainnya. Namun adapula penduduk yang bekerja sebagai
karyawan karena tempat tinggal mereka dekat dengan pabrik. Mata pencaharian ini tentunya
berpengaruh terhadap respon penduduk terhadap rencana pengaktifan rel kereta Bandung-
Ciwidey. Penulis beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat mata pencaharian penduduk maka
jumlah pendapatan yang mereka peroleh akan semakin besar sehingga matapencaharian yang
90
mereka miliki akan mempengaruhi penduduk untuk tidak tinggal di jalur kereta tersebut.
Sehingga penduduk dengan mata pencaharian rendah akan lebih memilih untuk tinggal di jalur
tersebut. Adapun tabel respon penduduk terhadap rencana tersebut berdasarkan mata
pencaharian ini ditunjukkan pada Tabel 4.18.
Tabel 4.18
Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengatifan Rel Kereta Bandung-Ciwidey Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata
Pencaharian
Respon Terhadap Rencana Pengaktifan
Jumlah Setuju Kurang
Setuju Tidak Setuju
1 Buruh 1 2 7 10
2 Wiraswasta 12 3 40 55
3 Karyawan 2 0 11 13
4 TNI/POLRI 1 0 1 2
5 Swasta 0 0 1 1 Jumlah 16 5 60 81
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.12 Gambar Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengatifan Rel Kereta Bandung-
Ciwidey Berdasarkan Mata Pencaharian
91
Tabel 4.18 dan Gambar 4.12 Menunjukkan respon penduduk terhadap rencana
pengaktifan rel kereta berdasarkan mata pencaharian. Sebagian besar penduduk yang tidak setuju
terhadap rencana tersebut adalah penduduk bermata pencaharian wiraswasta atau pedagang yaitu
dengan 40 responden, buruh sebanyak 7 responden, karyawan 11 responden sedangkan
TNI/POLRI dan swasta masing-masing hanya yang menjawab tidak setuju hanya 1 responden
saja. Hanya sebagian kecil saja dari penduduk disekitar jalur rel kereta tersebut menjawab setuju.
Untuk mengetahui korelasi antara keduanya dapat dihitung dengan menggunakan rumus
chi kuadrat (X2). Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran . Hasil perhitungan chi kuadrat
dengan menggunakan SPSS menunjukkan nilai hitung ci kuadrat 6.459 dan nilai signifikansi 0,
596. Karena nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima. Hal ini menunjukkan
bahwa antara mata pencaharian dengan respon penduduk terdapat hubungan yang tidak
signifikan.
Berdasarkan hasil wawancara, penduduk yang tidak setuju terhadap rencana
diaktifkannya kembali rel kereta Bandung-Ciwidey ini beralasan jika diaktifkan, maka mereka
akan digusur sehingga tidak menutup kemungkinan mereka akan kehilangan pekerjaan
sebelumnya atau jarak ke tempat kerja pun akan berubah sehingga biaya hidup akan bertambah.
Dengan demikian, mata pencaharian akan berpengaruh terhadap respon penduduk disepanjang
jalur rel kereta terhadap rencana pengaktifan kembali rel tersebut.
92
d. Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah
Status kepemilikan rumah pada dasarnya dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap
rencana pengaktifan rel kereta. Penduduk yang rumah yang mereka tempati milik sendiri
tentunya akan berbeda responnya dengan mereka yang status rumah yang ditempatinya sewa.
Penulis beranggapan bahwa dengan status rumah milik sendiri maka responden akan menolak
terhadap rencana tersebut karena mereka sudah merasa meliki atas rumah tersebut. Sedangkan
responden yang status rumahnya menyewa mungkin akan lebih pasrah terhadap hal yang akan
terjadi jika rencana pengaktifan ini direalisasikan. Adapun jika dilihat respon penduduk terhadap
rencana pengaktifan rel ini berdasarkan status kepemilikan rumah dapat dilihat pada Tabel 4.19.
Tabel 4.19 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah
No. Status
Kepemilikan Rumah
Respon Terhadap Rencana Pengaktifan
Jumlah Setuju Kurang
Setuju Tidak Setuju
1 Milik Sendiri 11 5 55 71
2 Sewa 5 0 5 10
Jumlah 16 5 60 81 Sumber: Hasil Penelitian 2011
93
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.13
Gambar Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah
Pada Tabel 4.19 dan Gambar 4.15 Dapat diketahui bahwa penduduk yang memiliki
rumah sendiri sebanyak 92 % menjawab tidak setuju rel kereta tersebut diaktifkan dan 8%
menjawab setuju. Sedangkan penduduk yang rumahnya menyewa jawabannya seimbang antara
setuju dengan tidak setuju, yaitu 50% setuju dan 50% sisanya menjawab tidak setuju.
Korelasi chi kuadrat antara respon terhadap rencana pengaktifan rel dengan status
kepemilikan rumah menunjukkan nilai X2 hitung chi kuadrat 6.881 dan nilai signifikansi 0,032.
Karena nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05, maka Ha diterima dan H0 ditolak yang berarti
bahwa status kepemilikan rumah dapat mempengaruhi respon penduduk sepanjang jalur rel
kereta terhadap rencana pengaktifan kembali rel tersebut. Perhitungan chi kuadrat ini dapat
dilihat pada Lampiran . Dengan memperhatikan hubungan antara keduanya, maka dapat
diketahui bahwa penduduk yang sudah memiliki rumah sendiri di jalur tersebut menolak atau
tidak setuju terhadap rencana tersebut karena mereka menolak untuk digusur dengan alasan
mereka sudah merasa nyaman tinggal di tempat tersebut dan jika digusur mereka tidak punya
94
pilihan tempat lain untuk pindah. Tetapi jika hal ini ternyata terealisasi maka mau tidak mau
mereka harus terima untuk digusur dari tempat tersebut, karena mereka menyadari bahwa lahan
yang mereka tempati tersebut bukan lahan yang selayaknya untuk dihuni. Sedangkan untuk
penduduk yang rumahnya menyewa dengan hasil yang seimbang antara setuju dan tidak setuju
karena mereka merasa tidak terikat sehingga mereka tidak memiliki rumah sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di daerah penelitian mengenai rencana
pengaktifan kembali rel kereta api jalur Bandung-Ciwidey ini, penduduk yang menempati rel
tersebut ada yang mengetahui dan ada yang tidak mengetahui. Namun sebagian besar penduduk
mengetahui mengenai rencana tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.20 berikut ini:
Tabel 4.20 Sosialisasi Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey
No. Sosialisasi Rencana Pengaktifan f (%)
1 Pernah 79 98 2 Tidak Pernah 2 2
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Pada tabel 4.20 di atas sebanyak 98 % penduduk mengatakan bahwa sosialisasi terhadap
rencana pengaktifan tersebut sudah pernah dilakukan baik oleh pihak PT. KAI (Persero) maupun
pemerintah daerah setempat. Hanya beberapa responden yang tidak mengetahui mengenai
rencana tersebut. Sumber informasi yang mereka dapatkan bermacam-macam. Hal tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
95
Tabel 4.21 Sumber Informasi Mengenai Rencana Pengaktifan Rel Kereta Bandung-Ciwidey
No. Sumber Informasi f (%) 1 Media Elektronik 2 3 2 Media Massa 9 11 3 Pemerintah 22 27 4 Orang lain 48 59
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan data pada tabel 4.21 di atas mereka mengetahui adanya rencana pengaktifan
rel tersebut yaitu dari media elektronik hanya sedikit responden yang mendapat informasi ini dari
media elektronik seperti berita di televisi dan radio, sedangkan sumber lainnya yaitu berasal dari
berita di media massa yaitu berita di Koran dan pemerintah daerah pun sering memberikan
selebaran atau surat edaran berupa pemberitahuan mengenai rencana tersebut. Dan kebanyakan
penduduk mengetahui informasi mengenai rencana tersebut dari orang lain yang sudah
mengetahui informasi mengenai rencana ini sebelumnya.
e. Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey Berdasarkan Jarak Rumah Ke Bekas Rel
Rumah yang nyaman memang memiliki kriteria tertentu. Salah satunya yaitu faktor jarak.
Baik jarak rumah dengan rumah yang lainnya, jarak rumah dengan fasilitas kehidupan, dll.
Dalam penelitian ini jarak rumah dengan bekas rel kereta api akan dihubungkan dengan respon
penduduk terhadap rencana pengaktifan rel kereta Bandung-Ciwidey. Penulis beranggapan
bahwa semakin jauh jarak rumah dengan bekas rel kereta di jalur tersebut maka mereka tidak
masalah dengan rencana pengaktifan tersebut. Namun semakin dekat jarak rumah dengan bekas
rel tersebut maka mereka akan menolak terhadap rencana pengaktifan tersebut. Adapun
96
hubungan antara jarak rumah ke bekas rel dengan respon penduduk terhadap rencana tersebut
ditunjukkan pada Tabel 4.22 berikut ini:
Tabel 4.22 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Jarak Rumah ke Bekas Rel
No. Jarak Rumah
Respon Terhadap Rencana Pengaktifan
Jumlah Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
1 < 1 meter 12 3 46 61
2 1 - 2 meter 2 1 11 14
3 > 2 meter 2 1 3 6 Jumlah 16 5 60 81
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Sumber: Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.14 Gambar Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-
Ciwidey Berdasarkan Jarak Rumah ke Bekas Rel
Berdasarkan Tabel 4.27 tersebut menunjukkan bahwa responden yang jarak rumah ke rel
< 1 meter sebanyak 76% menjawab tidak setuju terhadap rencana pengaktifan rel kereta tersebut
97
dan sisanya sebanyak 24% menjawab setuju. Sebagian besar rumah yang berada di daerah
penelitian memiliki jarak < 1 meter dengan bekas rel kereta tersebut bahkan tidak sedikit pula
rumah yang berdiri tepat di atas bekas rel tersebut. Sedangkan untuk rumah yang jaraknya agak
jauh sekitar 1-2 meter dan > 2 meter beberapa dari mereka menjawab setuju terhadap rencana
tersebut.
Korelasi antara respon terhadap rencana pengaktifan rel dengan jarak rumah ke bekas rel
dihitung dengan menggunakan theta. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran. Hasil
perhitungan theta menunjukkan angka 0,2901. Angka ini menunjukkan bahwa korelasi antara
keduanya rendah atau lemah tapi pasti. Adapun tingkat signifikansi hubungan antara kedua
variable diatas yang dihitung dengan menggunakan uji statistik t menghasilkan angka 2,8151.
Jika dibandingkan dengan t tabel dengan taraf nyata 5% dengan skor standar 1,671, maka t
hitung lebih besar dari t tabel, yakni 2,8151 > 1,671. Hal ini menunjukkan bahwa Ha diterima
dan H0 ditolak. Ini berarti antara jarak rumah ke bekas rel dengan respon penduduk terhadap
rencana pengaktifan rel kereta Bandung-Ciwidey terdapat hubungan yang signifikan.
Responden yang menjawab tidak setuju sebagian besar penduduk yang jarak rumahnya
ke bekas rel < 1 meter dengan alasan jika rel tersebut diaktifkan mereka tidak ingin terusir dari
daerah tersebut karena mereka tidak punya alternatife lain untuk pindah ke lokasi lain.
Sedangkan mereka yang menjawab setuju sebagian besar responden yang jarak rumahnya > 2
meter dengan alasan karena jaraknya jauh sehingga mereka tidak khawatir akan terusir dari
daerah tersebut, mungkin rumah mereka hanya akan mundur beberapa meter dari rel tersebut.
Selain jarak rumah ke bekas rel kereta api, ukuran luas rumah juga dapat mempengaruhi
respon penduduk terhadap rencana pengaktifan kembali rel kereta Bandung-Ciwidey tersebut.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.28 berikut ini:
98
Tabel 4.23 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-
Ciwidey Berdasarkan Luas Rumah
No. Luas Rumah
Respon Terhadap Rencana Pengaktifan
Jumlah Setuju Kurang
Setuju Tidak Setuju
1 12 m2 - 20 m2 8 3 29 40
2 21 m2 - 30 m2 3 1 19 23
3 31 m2 - 40 m2 1 0 1 2
4 41 m2 - 50 m2 1 1 6 8
5 >50 m2 3 0 5 8
Jumlah 16 5 60 81 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kebanyakan penduduk memiliki luas
rumah seluas 12 m2 - 20 m2. Dan dapat diketahui pula baik rumah dengan ukuran kecil maupun
yang besar, mereka menjawab tidak setuju terhadap rencana pengaktifan kembali rel tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara kepada responden bahwa mereka yang menjawab tidak
setuju dengan alasan sama seperti sebelumnya bahwa mereka tidak mau kehilangan rumah yang
sudah mereka tempati jika rel tersebut diaktifkan. Namun luas rumah yang tidak terlalu besar
bukan berarti mereka bangun dengan kondisi yang tidak permanen. Walaupun luasnya kecil
mereka membangun rumah secara permanen. Kondisi rumah pula dapat mempengaruhi respon
penduduk terhadap rencana tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.29 berikut ini:
99
Tabel 4.24 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Kondisi Rumah
No. Kondisi Rumah
Respon Terhadap Rencana Pengaktifan
Jumlah Setuju Kurang
Setuju Tidak Setuju
1 Permanen 10 2 40 52 2 Semi Permanen 6 3 20 29 3 Tidak Pemanen 0 0 0 0
Jumlah 16 5 60 81 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk memiliki rumah
dengan kondisi yang sudah permanen. Dari sisi kualitas bangunan, banyak rumah permanen yang
kualitasnya bagus bahkan ada yang bisa dikatakan sangat bagus untuk kalangan di
perkampungan. Hal inilah yang memicu penduduk untuk merespon tidak setuju terhadap rencana
pengaktifan kembali rel tersebut.
Rencana pengaktifan kembali rel Kereta jalur Bandung-Ciwidey ini tentu saja akan
menimbulkan berbagai konflik didalamnya. Dari hasil penelitian diatas bahwa berdasarkan
berbagai hal ternyata penduduk kebanyakan tidak setuju terhadap rencana tersebut, hal ini
mungkin terjadi karena menyangkut kepentingan mereka.
Berbagai respon muncul dari penduduk setempat jika terjadi penggusuran. Hal ini dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
100
Tabel 4.25 Kesiapan Penduduk Jika Terjadi Penggusuran
No. Kesiapan Penggusuran F (%) 1 Ya 67 83 2 Tidak 14 17
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel 4.29 tersebut bahwa lebih dari setengahnya responden menjawab
mereka siap untuk digusur dari rumah mereka. Mereka menjawab siap untuk digusur dari temapt
tinggal mereka karena mereka meyatakan bahwa sebenarnya mereka salah telah memakai tanah
tersebut atau menempati lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya yaitu tanah milik PT.
KAI (Persero). Namun secara kemanusiaan mereka ingin diberikan ganti rugi terhadap bangunan
yang mereka punya, karena mereka merasa bahwa merekapun tinggal disana tidak ada yang
melarang dan membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) tiap tahunnya.
Rencana pengaktifan rel kereta Bandung-Ciwidey ini jika dilihat dari segi manfaat atau
kepentingannya bagi penduduk setempat maka hal ini akan mempertimbangkan berbagai aspek
yaitu antara lain apakah keuntungan atau manfaat yang akan diperoleh oleh penduduk yang
berada disekitar jalur tersebut. Maka pertanyaan yang muncul yaitu perlukah rel kereta ini
diaktifkan kembali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.31 berikut ini:
Tabel 4.26 Respon Penduduk Terhadap Rencana Pengaktifan Kembali Rel Kereta Bandung-Ciwidey
Berdasarkan Manfaat Kereta Api
No. Rel perlu aktif F (%) 1 Ya 8 9 2 Tidak 73 91
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Penelitian 2011
101
Berdasarkan tabel 4.26 tersebut dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden
menjawab bahwa rel kereta api Bandung-Ciwidey tidak perlu di aktifkan kembali yaitu sebanyak
91% responden. Sedangkan sisanya yaitu 9% menjawab ya bahwa mereka merasa perlu rel
tersebut diaktifkan kembali.
Dari hasil wawancara terhadap responden dapat diketahui untuk mereka yang menjawab tidak
perlu ada berbagai alasan yang dikemukakan. Adapun alasan tersebut antara lain mereka merasa
sudah cukup puas dengan transportasi lain yang sudah ada selain kereta api yaitu
motor,mobil,bus, angkutan umum dan lain-lain. Jika rel tersebut di aktifkan mereka menganggap
keberadaanya akan percuma saja karena mereka lebih tertarik pada alat transportasi lain. Selain
alasan tersebut ada beberapa alasan lain pula yaitu diantaranya bahwa jalur tersebut jaraknya
terlalu dekat yaitu dari Kota Bandung menuju Ciwidey, kecuali jika jarak jalurnya ditambah
dengan daerah tujuan lain mungkin kereta ini akan lebih efektif. Selain itu jika jalur tersebut
diaktifkan hal ini diperkirakan hanya memberikan keuntungan beberapa pihak saja. Tetapi selain
jawaban responden yang mengatakan tidak perlu beberapa responden juga menjawab bahwa rel
tersebut perlu diaktifkan kembali dengan alasan yaitu banyak keuntungan yang bisa diperoleh
yaitu memudahkan pengangkutan barang dan jasa, selain itu kereta api akan menjadi salah satu
pilihan alternatif jika terjadi kemacetan di jalur jalan raya.
102
E. Implikasi Hasil Penelitian Bagi Pendidikan Geografi
Menurut Sumaatmadja (1996:12) “pada hakikatnya pengajaran geografi adalah
pengajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan bumi yang merupakan keseluruhan gejala
alam dan kehidupan umat manusia dengan variasi kewilayahannya”.
Materi pengajaran geografi selalu digali dari permukaan bumi pada suatu lokasi untuk
mengungkapkan corak kehidupan manusia yang memberikan ciri khas terhadap wilayah yang
bersangkutan sebagai hasil interaksi faktor-faktor geografi pada lokasi yang bersangkutan.
Dalam penelitian ini objek geografi yang dikaji adalah:
1. Fenomena fisik, seperti kondisi iklim, hidrologi, penggunaan lahan.
2. Fenomena sosial, seperti kondisi keadaan penduduk dengan berbagai aktivitasnya, serta
respon penduduk terhadap rencana pengaktifan kembali rel kereta api..
Berdasarkan hakikat dan ruang lingkup geografi di atas, jelas bahwa materi dan bahan
pengajaran geografi adalah segala kenyataan yang ada di permukaan bumi yang berkenaan
dengan kehidupan masyarakat manusia maupun yang berkenaan dengan keadaan alam dengan
segala prosesnya. Fungsi dari pengajaran geografi yakni mengembangkan sikap rasional dan
tanggung jawab dalam menghadapi gejala geosfer dan permasalahan yang timbul akibat dari
interaksi manusia dengan lingkungan. Sedangkan tujuan dari pengajaran geografi yaitu agar
siswa memiliki pengetahuan sikap dan keterampilan untuk mengembangkan pengetahuan secara
analisis geografis dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul akibat manusia dan
lingkungan.
Secara khusus materi yang dikaji oleh geografi yang berkaitan dengan penelitian ini
terdapat dalam mata kuliah Geografi Penduduk, Geografi Perilaku dan Geografi Ekonomi.
103
Adapun materi pelajaran geografi di sekolah terdapat pada pendidikan SLTA kelas XI semester 1
materi Antroposfer.
Standar Kompetensi: Menganalisis fenomena biosfer dan antroposfer
Kompetensi Dasar: - Menjelaskan pengertian fenomena antroposfer
- Menganalisis aspek kependudukan