Post on 21-Aug-2018
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kota Depok, Provinsi Jawa Barat
4.1.1. Sejarah Singkat Pembentukan Kota Depok
Kota Depok merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bogor pada masa
yang lalu. Perkembangan wilayah Depok yang cukup pesat telah menjadikan Kota
Depok ditetapkan sebagai Kota Administratif pada tahun 1981 mencakup tiga
kecamatan, yaitu Kecamatan Beji, Kecamatan Pancoran Mas, dan Kecamatan
Sukmajaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981. Perkembangan
selanjutnya memunculkan aspirasi masyarakat yang menyuarakan kebutuhan akan
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan
termasuk peningkatan pelayanan dan peran aktif masyarakat. Oleh karena itu,
kebijakan pembentukan Kotamadya Dati II Depok dikeluarkan melalui penetapan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kotamadya Daerah Tingkat II Depok. Wilayah Kotamadya Dati II Depok pun
meluas menjadi enam kecamatan dengan dimasukkannya sebagian wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.
Pemekaran wilayah Kota Depok kembali terjadi pada akhir tahun 2009
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kecamatan di Kota Depok. Peraturan ini telah membagi Kota
Depok dari enam kecamatan menjadi sebelas kecamatan. Adapun kecamatan-
kecamatan tersebut adalah: 1) Sawangan; 2) Bojongsari; 3) Pancoran Mas; 4)
Cipayung; 5) Sukmajaya; 6) Cilodong; 7) Cimanggis; 8) Tapos; 9) Beji; 10)
Limo; dan 11) Cinere. Pemekaran tersebut diharapkan dapat berdampak positif
terhadap efektivitas pelayanan dan koordinasi antara aparatur pemerintah dalam
menjalankan program-program Pemerintah Kota Depok, termasuk dalam hal
pengelolaan sumber daya alam serta berbagai potensi yang dimiliki oleh wilayah
Depok (Bappeda Kota Depok 2003; BPS Kota Depok 2011).
40
4.1.2. Batas Administrasi Kota Depok
Kota Depok mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2. Wilayah Kota
Depok berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu Provinsi (BPS Kota Depok
2011). Batas-batas wilayah Kota Depok secara jelas adalah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten
Tangerang Selatan dan Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondokgede Kota Bekasi
dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan
Bojonggede Kabupaten Bogor.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan
Gunungsindur Kabupaten Bogor.
4.1.3. Kondisi Geografi Kota Depok
Kota Depok terletak pada koordinat 6° 19’00’’ - 6° 28’00’’ Lintang Selatan
dan 106° 43’00’’ - 106° 55’00’’ Bujur Timur. Bentang alam Depok merupakan
daerah dataran rendah hingga perbukitan bergelombang lemah dari selatan ke
utara, dengan elevasi antara 50 – 140 meter di atas permukaan laut dan dengan
kemiringan lereng kurang dari 15%. Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-
sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sub Satuan
Wilayah Aliran Sungai. Selain itu, terdapat pula 26 situ dengan luas situ pada
tahun 2005 sebesar 169,68 Ha dan kualitas air situ rata-rata buruk akibat tercemar.
Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng
yang landai menyebabkan terjadinya banjir pada beberapa wilayah, terutama
kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju
utara, yaitu Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, dan Kali Cikeas
(BPS Kota Depok 2011; BLH Kota Depok 2011).
4.1.4. Kondisi Iklim Kota Depok
Wilayah Depok memiliki iklim tropis yang dipengaruhi iklim musim,
sehingga secara normatif terdapat dua musim di wilayah Depok yaitu musim
hujan antara bulan Oktober-Maret dan musim kemarau antara bulan April-
41
September (Bappeda Kota Depok 2003; BLH Kota Depok 2011). Data
klimatologi dari stasiun klimatologi klas 1 Dramaga dan stasiun pemeriksaan
Pondok Betung Kabupaten Bogor menunjukkan keadaan klimatologi Kota Depok
sebagai berikut:
Temperatur rata-rata : 24,3 – 33,0°C
Kelembaban udara rata-rata : 82%
Penguapan rata-rata : 3,9 mm/tahun
Kecepatan angin rata-rata : 3,3. knot
Penyinaran matahari rata-rata : 49,8%
Jumlah curah hujan : 2.684 mm/tahun
Jumlah hari hujan : 222 hari/tahun
4.1.5. Kondisi Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Depok
Jumlah penduduk Kota Depok cenderung mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun (BPS Kota Depok 2010, 2011). Jumlah penduduk Kota Depok
mencapai 1.813.613 jiwa dengan kepadatan penduduk 9.055 jiwa/km2 pada tahun
2011. Kecamatan Cimanggis merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk
terbesar yaitu 252.424 jiwa, sedangkan Kecamatan Limo adalah kecamatan
dengan jumlah penduduk terkecil yaitu 91.749 jiwa. Kecamatan terpadat diduduki
oleh Kecamatan Sukmajaya dengan tingkat kepadatan 13.433 jiwa/km2,
sedangkan Kecamatan Sawangan merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan
penduduk terendah yaitu 4.977 jiwa/km2. Jumlah penduduk Kota Depok tahun
2011 menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya (Tabel 2). Laju pertumbuhan penduduk Kota Depok pada tahun 2009
dan 2010 masing-masing adalah sebesar 2,21% dan 3,64%.
Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi setiap tahun ditengarai telah
menjadi salah satu faktor penyebab terdegradasinya kualitas lingkungan hidup di
Kota Depok. Kebutuhan akan permukiman, air bersih, serta sarana dan prasarana
pun meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Ruang Terbuka Hijau
Kota Depok tengah mendapat tekanan yang cukup tinggi akibat hal ini sehingga
luasnya diperkirakan semakin berkurang. Selain itu, sampah dan limbah sebagai
42
hasil dari aktivitas manusia pun semakin bertambah jumlahnya dan dapat
mencemari lingkungan.
Tabel 2 Jumlah dan kepadatan penduduk Kota Depok, tahun 2010 dan 2011
No. KecamatanJumlah penduduk (jiwa)
Kepadatanpenduduk(jiwa/km2)
2009 2010 2011 2010 20111 Sawangan
173.362123.356 128.905 4.721 4.977
2 Bojongsari 99.768 104.040 5.101 5.2573 Pancoran Mas
281.005210.204 219.601 11.568 12.059
4 Cipayung 127.707 133.439 10.953 11.4745 Sukmajaya
358.110232.895 242.335 12.945 13.433
6 Cilodong 123.713 130.410 7.666 8.1057 Cimanggis
421.630242.214 252.424 11.374 11.896
8 Tapos 216.581 225.547 6.717 6.9769 Beji 146.441 164.682 173.064 11.516 12.10210 Limo
156.43287.615 91.749 7.226 7.447
11 Cinere 107.830 112.099 10.096 10.707Kota Depok 1.536.980 1.736.565 1.813.613 8.670 9.055Sumber : Depok Dalam Angka Tahun 2010 dan 2011 (BPS Kota Depok 2010, 2011)
4.1.6. Kondisi Sumberdaya Lahan Kota Depok
Sumberdaya lahan yang dimiliki oleh Kota Depok mengalami tekanan
seiring dengan perkembangan kota yang semakin pesat. Permasalahan
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya pun bermunculan.
Sebagai contoh, daerah pertanian lahan basah berubah menjadi permukiman atau
justru diperuntukkan bagi industri. Hal serupa terjadi pada kawasan lindung
seperti sempadan situ dan sungai yang justru dimanfaatkan untuk permukiman
dan industri. Luasan beberapa tipe pemanfaatan lahan serta perubahan terhadap
tipe-tipe pemanfaatan lahan tersebut selama kurun waktu 2002-2010 di Kota
Depok disajikan pada Tabel 3.
Inkonsistensi telah terjadi dalam pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Depok Tahun 2000-2010. Oleh karena itu, evaluasi terhadap
RTRW tersebut telah dilakukan pada tahun 2005 sehingga dihasilkan Revisi
RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 yang dituangkan dalam Perda Kota Depok
Nomor 2 Tahun 2009 (Tabel 4).
43
Tabel 3 Luasan beberapa tipe pemanfaatan lahan di Kota Depok selama kurunwaktu 2002-2010
No.Tipe pemanfaatan
lahanLuas (Ha)
2002 2004 2006 2007 2008 2009 20101 Hutan/Vegetasi
hutan2.088,00 897,68 414,60 410,58 410,58 410,58 410,58
2 Semak belukar 1.266,14 765,35 3.723,80 3.658,76 3.640,33 3.630,32 -3 Kebun 4.608,47 5.055,79 2.781,07 2.728,04 2.693,62 2.641,01 2 641,014 Rumput 753,97 516,24 573,38 567,36 554,79 552,68 552,685 Sawah 1.228,25 455,85 943,35 943,34 939,58 938,57 923,00
6Lahankering/ladang
3.665,11 3.205,38 1.430,08 1.430,07 1.415,32 1.405,16 -
7 Lahan terbangun 6.054,99 8 196,96 9.968,44 10.098,57 10.190,78 10.270,80 10.785,008 Badan air 342,32 837,55 168,24 168,24 168,24 168,24 168,249 Lahan terbuka 21,75 98,19 26,04 24,04 15,76 14,65 -
Sumber: Hasil Revisi RTRW Kota Depok 2000-2010, Perda Kota Depok No. 12 Tahun 2001 danHasil Analisis Tim Penyusun SLHD Kota Depok 2010 dan 2011 (BLH Kota Depok 2010,2011).Keterangan: (-) Tidak ada data
Tabel 4 Rencana pemanfaatan ruang Kota Depok tahun 2010
No. Jenis penggunaan lahanLuasan
Tahun 2005Revisi
Tahun 2010Ha % Ha %
I Kawasan Terbangun 9.968,43 (49,77) 9.900 (49,88)1 Perumahan + Kampung 8.874,85 (44,31) 7.919 (39,54)2 Pendidikan Tinggi 230,33 (1,15) 448 (2,24)3 Jasa dan Perdagangan 300,44 (1,50) 296 (1,48)4 Industri 308,45 (1,54) 1.100 (5,49)
5Kawasan Strategis (Gandul,Cilodong, Depo KRL, Brimob,Radar AURI)
254,37 (1,27) 227 (1,13)
II Ruang Terbuka Hijau 10.060,57 (50,23) 10.040 (50,12)1 Sawah Teknis dan Non Teknis 967,40 (4,83) 1.313 (6,56)
2Tegalan/LadangKebunTanah Kosong
7.078,25 (35,34) 3.3602.507
457
(16,78)(12,52)
(2,28)3 Situ dan Danau 168,24 (0,84) 139 (0,69)
4Pariwisata, Lapangan Golf,Kuburan
388,56 (1,94) 836 (4,18)
5 Hutan 26,04 (0,13) 7 (0,04)6 Kawasan Strategis (TVRI, RRI) 176,26 (0,88) 242 (1,21)7 Sungai 82,12 (0,41) - -
8Garis Sempadan (Sungai,Tegangan Tinggi, Pipa Gas)
1.171,70 (5,85) 1.178 (5,88)
Total 20.029,00 (100,00) 20.029,00 (100,00)Sumber: Hasil Revisi RTRW Kota Depok 2000-1010 dalam Perda Kota Depok Nomor 2 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Perda Kota Depok Nomor 12 Tahun 2001 tentang RTRWKota Depok Tahun 2000-2010.
4.1.7. Sumberdaya Air Kota Depok
Sumberdaya air Kota Depok terdapat dalam beberapa bentuk, yaitu air
tanah, mata air, dan air permukaan. Air tanah merupakan sumber penyedia air
44
utama di Kota Depok. Beberapa mata air dengan debit kecil ditemukan di
beberapa Kecamatan di Kota Depok, seperti Kecamatan Sawangan, Pancoran
Mas, Cilodong, Sukmajaya, dan Cipayung. Jumlah keseluruhan mata air di Kota
Depok adalah sebanyak 106 lokasi mata air dengan debit antara 0,05 – 1,5 L/detik
(BLH Kota Depok 2011). Sumberdaya air permukaan di Kota Depok terdiri dari
dua sumber, yaitu sungai dan situ.
Sumberdaya air permukaan Kota Depok termasuk ke dalam Satuan Wilayah
Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane yang selanjutnya dibagi menjadi 13 Satuan
Wilayah Aliran Sungai, diantaranya ialah Kali Baru, Pesanggrahan, Angke,
Sugutamu, Sunter, dan Krukut. Badan Lingkungan Hidup Kota Depok (2011)
menyebutkan bahwa terdapat 26 buah situ di Kota Depok yang tersebar di enam
kecamatan, diantaranya ialah Situ Bojongsari, Situ Pengasinan, dan Situ Pasir
Putih di Kecamatan Sawangan dan Situ Citayam, Situ Pitara, Situ Rawa Besar,
dan Situ Pulo/Asih di Kecamatan Pancoran Mas. Situ-situ merupakan lokasi
penampungan air di Kota Depok sehingga berfungsi untuk mencegah terjadinya
banjir di DKI Jakarta maupun di Kota Depok itu sendiri. Fungsi ini sesuai dengan
salah satu fungsi/peran yang diemban oleh Kota Depok, yaitu sebagai kota
resapan air.
4.2. Situ di Kota Depok
4.2.1. Kondisi Situ di Kota Depok
Kondisi situ-situ di Kota Depok membutuhkan perhatian lebih dari
pemerintah dan masyarakat saat ini untuk mempertahankan keberadaan dan
fungsinya. Sebagian besar situ di Kota Depok berada dalam kondisi kritis, seperti
mengalami pendangkalan, penyusutan volume air, pencemaran sampah, dan
ditumbuhi gulma (BLH Kota Depok 2011). Menurut LSM Dewa Kota Depok
(2011), beberapa permasalahan yang dihadapi oleh situ-situ di Kota Depok
berdasarkan pengamatan langsung di lapangan adalah sebagai berikut:
1. Pencemaran situ oleh sampah, baik sampah rumah tangga maupun sampah-
sampah lainnya
2. Penyempitan situ yang diakibatkan oleh pendangkalan situ dan kemudian
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan pribadinya
45
3. Belum jelasnya atau belum adanya patok-patok batas situ yang berakibat pada
pemanfaatan lahan situ untuk kepentingan lain seperti pendirian bangunan
atau lahan pertanian
4. Keberadaan Pokja Situ yang belum diperhatikan sehubungan dengan
operasional kegiatan serta payung hukumnya
5. Program pembangunan situ yang belum optimal untuk mendukung program
pelestarian dan penghijauan situ.
Terdapat 19 situ yang telah memiliki Pokja, namun hanya 6 situ yang memiliki
kondisi fisik tergolong baik, sedangkan lainnya 4 situ tergolong kurang baik, 4
situ mengalami kondisi rusak/kualitas buruk, dan 5 situ sudah tidak berfungsi.
Kondisi masing-masing situ secara umum sangat dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat di sekitarnya, termasuk kinerja Pokja Situ, serta upaya pengelolaan
dan pemeliharaan yang dilakukan oleh pemerintah.
4.2.2. Situ Salah Satu Potensi Pariwisata
Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Seni Budaya (Disporasenbud)
Kota Depok terus mengembangkan situ di Kota Depok sebagai salah satu aset
pariwisata daerah saat ini. Situ merupakan sumberdaya perairan di Kota Depok
yang memiliki daya tarik berupa keasrian alam, keanekaragaman flora dan fauna,
serta sosial-budaya masyarakat setempat. Perbaikan kondisi situ serta
pembangunan sarana penunjang wisata dan akses jalan menuju situ terus
dilakukan dalam rangka mengembangkan situ sebagai kawasan wisata air. Situ
yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata air dipilih berdasarkan
pertimbangan potensi yang dimiliki oleh situ tersebut. Hal ini dilakukan karena
Kota Depok memiliki banyak situ, sehingga pengembangan wisata tidak dapat
dilakukan sekaligus secara bersamaan di semua situ. Pertimbangan tersebut antara
lain meliputi jalan atau kemudahan akses menuju situ dan besarnya daya tarik situ
untuk menarik minat pengunjung.
Pengembangan situ sebagai salah satu lokasi tujuan wisata sebenarnya tidak
terlepas dari tujuan Pemerintah Kota Depok untuk melindungi keberadaan situ-
situ di Kota Depok. Pengembangan kegiatan wisata di kawasan situ diharapkan
dapat membuat masyarakat tergerak untuk berupaya melestarikan situ karena
46
kondisi situ yang baik merupakan modal bagi kemajuan pariwisata situ.
Peningkatan pariwisata situ memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri, baik
manfaat ekonomi maupun ekologi. Adapun tujuan pengembangan situ-situ
sebagai kawasan wisata air di Kota Depok adalah sebagai berikut:
a) Menyelamatkan situ-situ di Kota Depok yang saat ini telah banyak beralih
fungsi; b) Menjaga kebersihan situ; c) Memperbaiki estetika dan;
d) Meningkatkan ekonomi masyarakat setempat (BLH Kota Depok 2011).
4.2.3. Pengelolaan Situ di Kota Depok
Pengelolaan situ di Kota Depok tidak sepenuhnya diserahkan kepada
Pemerintah Kota Depok, melainkan melibatkan beberapa lembaga di luar
Pemerintah Kota Depok. Pengelolaan fisik atau infrastruktur situ di Kota Depok
sebagian besar adalah wewenang dari Pemerintah Pusat melalui Balai Besar
Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWS CC) di bawah Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, sedangkan dari Pemerintah
Kota Depok kewenangan dimiliki oleh Dinas Bina Marga dan Sumberdaya Air
(Dinas Bimasda). Hal ini sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2004 tantang
Sumberdaya Air, yang menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya air
permukaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan
didasarkan pada wilayah sungai (Pasal 12). Selain itu, pengelolaan situ-situ di
Kota Depok sudah tentu melibatkan lembaga yang menaungi persoalan Daerah
Aliran Sungai (DAS) dimana situ-situ tersebut berada, sebab situ merupakan
bagian dari DAS. Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung adalah lembaga yang
ikut terlibat dalam pengelolaan situ-situ di Kota Depok dan bertugas menyusun
rencana pengelolaan, pengembangan kelembagaan, dan evaluasi pengelolaan
DAS Citarum-Ciliwung.
Selain itu, terdapat beberapa instansi lain dari berbagai sektor yang terlibat
secara langsung dalam pengelolaan situ-situ di Kota Depok, seperti Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Depok, Dinas Tata Ruang dan Permukiman
(Dintarkim) Kota Depok, Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Seni dan Budaya
(Disporasenbud) Kota Depok, dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota
Depok. Badan Lingkungan Hidup Kota Depok berwenang dalam hal pengelolaan
47
lingkungan hidup pada situ, sedangkan Dintarkim Kota Depok bertugas dalam hal
penataan dan pengembangan tata ruang kota termasuk wilayah-wilayah situ di
Kota Depok. Pihak Disporasenbud Kota Depok memiliki kewenangan dalam hal
penataan dan pengembangan pariwisata situ dan DKP Kota Depok berwenang
dalam mengatasi permasalahan sampah dan kebersihan pada situ.
Pelaksanaan pengelolaan situ di Kota Depok memerlukan koordinasi lintas
sektoral. Koordinasi antar instansi di Kota Depok dirasakan masih belum
dilaksanakan secara maksimal. Contoh nyata yang dapat diberikan yaitu
pembangunan infrastruktur situ dilaksanakan oleh Dinas Bimasda Kota Depok,
kemudian pembangunan IPAL dan penghijauan sempadan situ diprakarsai oleh
BLH Kota Depok, kebersihan situ dari sampah ditangani oleh DKP Kota Depok,
dan pengembangan pariwisata situ dilakukan oleh Disporasenbud Kota Depok.
Tujuan pengelolaan situ menjadi tidak sempurna ketika Dinas Bimasda Kota
Depok melakukan normalisasi dan rehabilitasi situ, namun industri yang ada tetap
membuang limbahnya ke perairan situ tanpa melalui IPAL terlebih dahulu, atau
DKP Kota Depok tidak menyelesaikan permasalahan sampah rumah tangga di
permukiman tepi situ. Berbagai program pemerintah tersebut saling memiliki
keterkaitan satu dengan lainnya untuk mewujudkan penjagaan dan pemanfaatan
situ yang optimal.
Sumber dana pengelolaan atau pembangunan infrastruktur situ dapat berasal
dari empat sumber, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Depok, APBD Provinsi Jawa Barat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
(APBN) Pemerintah Pusat, dan dari Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP)
DKI Jakarta sebagai bentuk kontribusi Pemerintah DKI Jakarta kepada
Pemerintah Kota Depok untuk menjaga fungsi Kota Depok sebagai daerah
resapan air dan daerah penyangga bagi ibukota.
Pengelolaan situ di Kota Depok juga tidak terlepas dari peran Pokja Situ.
Kelompok Kerja Situ merupakan lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Kota
Depok pada tahun 1999 melalui penetapan SK Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999 tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan, dan Pelestarian Fungsi Situ-situ
sebagai tindak lanjut dari Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1998 tentang
48
Pembinaan Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabodetabek (Listiani 2005; Sucipto
& Prygina 2009). Tugas dan fungsi Pokja Situ sebagaimana ditetapkan dalam
Surat Keputusan tersebut adalah:
1. Menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi
pengelolaan situ-situ di Kota Depok
2. Menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan,
pemeliharaan, dan pemberdayaan fungsi situ-situ secara tepat berdaya guna
dan berhasil guna, dan
3. Melaporkan setiap kegiatannya kepada Walikota Depok secara berkala setiap
dua bulan sekali.
Keanggotaan Pokja Situ direstrukturisasi pada tahun 2005 atas dasar
dorongan konsorsium LSM bernama Gugus Kerja Good Governance Jaringan
Advokasi Anggaran (GGKG-Jangkar) yang ikut terlibat aktif dalam kerja
advokasi pelestarian situ di Kota Depok. Salah satu alasan dari restrukturisasi
tersebut adalah karena semenjak pembentukannya, yaitu dalam kurun waktu tahun
1999 sampai 2005, kinerja Pokja Situ dirasakan stagnan dan tidak melibatkan
partisipasi masyarakat. Keanggotaan Pokja Situ yang awalnya diisi oleh pejabat
Dinas/Instansi yang merupakan Perangkat Daerah Pemerintah Kota Depok
kemudian digantikan dan diisi dengan unsur-unsur masyarakat murni agar lebih
efektif dan partisipatif (Sucipto & Prygina 2009). Pengalihan keanggotaan Pokja
Situ kepada masyarakat telah menyebabkan Pemerintah Kota Depok mulai
melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam hal pengawasan dan
pengendalian situ. Forum Pokja Situ Kota Depok yang merupakan wadah
advokasi bagi seluruh Pokja Situ yang ada di Kota Depok dibentuk melalui
Lokakarya Pokja Situ se-Kota Depok pada tahun 2007. Lembaga Swadaya
Masyarakat jelas merupakan mitra pemerintah yang dapat menjadi fasilitator
antara masyarakat dengan pemerintah.
Integrasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dengan program pelestarian situ
telah diupayakan oleh pemerintah semenjak restrukturisasi Pokja Situ
berlangsung. Pelestarian situ dibutuhkan untuk tujuan konservasi fungsi dan
manfaat situ pada satu sisi, namun kebutuhan ekonomi masyarakat telah memaksa
masyarakat untuk mengkonversi lahan situ menjadi lahan pertanian atau tambak
49
ikan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup situ di sisi lainnya. Kedua
hal itulah yang diupayakan hingga kini agar dapat berjalan sinergis dalam suatu
hubungan simbiosis mutualisme, salah satunya adalah dengan jalan
memanfaatkan situ sebagai kawasan wisata air berwawasan lingkungan. Jika situ
berada dalam kondisi yang baik, maka situ akan memiliki daya tarik sebagai
tempat wisata. Hal yang diharapkan terjadi adalah masyarakat akan membangun
kesadarannya sendiri karena merasa turut berkepentingan dalam menjaga
kelestarian situ yang merupakan salah satu sumber mata pencaharian mereka.
Upaya penyelarasan antara kepentingan konservasi situ dan pemanfaatan situ
sebagai kawasan wisata air telah diterapkan di beberapa situ di Kota Depok,
diantaranya adalah di Situ Pengasinan dan Situ Pendongkelan.
4.3. Situ Sawangan-Bojongsari
4.3.1. Gambaran Umum Situ Sawangan-Bojongsari
Situ Sawangan-Bojongsari terletak di Kecamatan Sawangan dan Kecamatan
Bojongsari, Kota Depok dan merupakan situ yang terluas di Kota Depok.
(Gambar 3). Situ ini merupakan situ alami yang dikenal oleh masyarakat setempat
semenjak dahulu sebagai sumber air dan perikanan. Situ ini dikenal juga dengan
nama Situ Tujuh Muara, karena dipercaya terdapat tujuh muara (teluk) yang
menjadi sumber air situ. Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan tujuh muara adalah tujuh mata air. Masyarakat mengenal situ ini dengan
nama Situ Sawangan atau Situ Bojongsari. Situ ini lebih sering tercatat dengan
nama Situ Bojongsari di catatan pemerintah sejak dahulu, namun kini penggunaan
nama Situ Sawangan atau Situ Bojongsari lebih disukai.
Situ Sawangan-Bojongsari memiliki bentuk yang unik, yaitu seperti tapal
kuda, dengan luas + 28,25 Ha dan kedalaman rata-rata 3-4 meter (BLH Kota
Depok 2011). Perairan situ dikelilingi oleh area perkebunan di sebelah utara,
timur, barat, dan barat daya. terdapat Lahan kosong milik pribadi yang luas, diberi
batas pagar berkawat, dan tampak tidak terawat terdapat pada sisi utara dan barat
laut situ. Area wisata Situ Sawangan terdapat pada sisi tenggara situ, sedangkan
area wisata Situ Bojongsari berada di sisi barat laut situ. Padang golf dan beberapa
cottage/villa milik swasta (Telaga Golf Sawangan) terdapat di sebelah selatan
50
situ. Permukiman penduduk terdapat di sebelah barat daya, barat, dan barat laut
situ. Beberapa kondisi di sekitar Situ Sawangan-Bojongsari disajikan pada
Gambar 4.
Gambar 3 Peta lokasi Situ Sawangan-Bojongsari.
Gambar 4 Padang golf di tepi selatan situ (kiri atas); kebun milikmasyarakat (kanan atas); area wisata Situ Sawangan (kiribawah); permukiman berbatasan dengan situ (kanan bawah).
Sumber: Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000 (Bakosurtanal 2005)
51
Situ Sawangan-Bojongsari terletak secara administratif di Kelurahan
Sawangan Lama, Kecamatan Sawangan dan Kelurahan Bojongsari Lama,
Kecamatan Bojongsari. Situ ini berbatasan dengan Kelurahan Kedaung,
Kecamatan Sawangan pada sisi utara. Situ ini dikelola oleh dua Pokja Situ yang
melaksanakan tugas masing-masing pada dua sisi situ yang berbeda, Pokja Situ
Sawangan pada sisi yang berbatasan dengan Kelurahan Sawangan Lama dan
Pokja Bojongsari pada sisi yang berbatasan dengan Kelurahan Bojongsari Lama.
Kelurahan Kedaung tidak memiliki Pokja Situ.
Tiga akses jalan dapat dilalui untuk mencapai Situ Sawangan-Bojongsari.
Akses pertama adalah melalui Jalan Abdul Wahab yang kemudian langsung
menuju jalan masuk Situ Sawangan. Akses kedua yaitu melalui jalan alternatif
yang menghubungkan Jalan Abdul Wahab dengan Jalan Cinangka Raya (Jalan
Raya Ciputat-Parung) yang memang melintasi tepi Situ Bojongsari sekaligus
menjadi jalan masuk menuju situ, khususnya Situ Bojongsari. Lokasi jalan
alternatif ini terletak persis di samping lokasi jalan masuk ke Situ Sawangan.
Akses ketiga adalah sama dengan akses jalan kedua, namun dari arah sebaliknya,
yaitu dari Jalan Cinangka Raya (Jalan Raya Ciputat-Parung) menuju Situ
Bojongsari atau Jalan Abdul Wahab dengan melalui Gang/Jalan H. Kenan.
Kondisi jalan menuju situ tampak masih belum baik seluruhnya, bahkan
cenderung rusak untuk akses menuju Situ Bojongsari. Hal ini perlu mendapat
perhatian dari Dinas/Instansi terkait untuk kemudian dapat memperbaiki kondisi
jalan menuju situ. Situ dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan angkutan
umum yang melintasi Jalan Abdul Wahab atau Jalan Raya Ciputat-Parung atau
menggunakan kendaraan pribadi.
4.3.2. Pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari
Pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari tidak jauh berbeda dengan
pengelolaan situ-situ lain di Kota Depok, yang membedakan yaitu hanya pada
tingkat masyarakat dimana Situ Sawangan-Bojongsari dikelola oleh dua Pokja
Situ: Pokja Situ Sawangan dan Pokja Situ Bojongsari. Keberadaan dua Pokja Situ
ini tentu berpengaruh terhadap tipe pengelolaan dan pemanfaatan situ. Masing-
masing Pokja Situ melaksanakan tugas di wilayahnya masing-masing dan dapat
52
dikatakan jarang melakukan koordinasi untuk melakukan suatu pengelolaan situ
secara bersama-sama, sehingga seringkali pengelolaan yang dilakukan bukanlah
merupakan hasil integrasi dari keduanya. Penanganan satu situ oleh dua pihak
pengelola, seperti di Situ Sawangan-Bojongsari, menunjukkan bahwa sumberdaya
alam yang potensial akan selalu menarik keinginan berbagai pihak untuk
memanfaatkannya. Pihak yang memahami pentingnya ekosistem situ akan
mengupayakan aktivitas-aktivitas untuk menjaga kelestarian fungsi dan manfaat
situ bagi generasi yang akan datang selain hanya sekedar memanfaatkan situ.
Kegiatan yang ditujukan untuk menjaga kelestarian situ kerap kali dilakukan
oleh Pokja Situ Sawangan-Bojongsari. Kegiatan rutin yang dilakukan oleh
masing-masing Pokja Situ adalah kegiatan pembersihan situ dari gulma air (kapu-
kapu dan eceng gondok) dan pengawasan terhadap aktivitas masyarakat terhadap
situ. Pihak Pokja Situ bersama Forum Pokja Situ Kota Depok berusaha
berkoordinasi baik dengan pihak pemerintah pusat maupun daerah dalam
pelaksanaan program-program pelestarian dan pengembangan wisata air situ,
namun peran pemerintah seringkali dianggap belum optimal dalam menangani
permasalahan situ. Pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi anggaran yang
minim untuk pengelolaan situ, situ di Kota Depok yang berjumlah banyak, serta
pembagian kewenangan pengelolaan situ yang sering membingungkan pihak
Pokja Situ disebabkan oleh banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan
situ. Kegiatan pengelolaan situ yang pernah dilakukan di Situ Sawangan-
Bojongsari antara lain yaitu penurapan sebagian sisi situ, penghijauan, perbaikan
pintu air (outlet), dan aksi kebersihan situ. Kegiatan berskala kecil seperti
pembersihan gulma air dilakukan secara rutin dengan sumber dana berasal dari
masyarakat sendiri, sedangkan kegiatan berskala besar seperti penurapan dan
penghijauan tentu memiliki sumber dana berasal dari pemerintah. Pihak Pokja
Situ merasa sangat jarang berkoordinasi dengan pihak swasta yang memiliki lahan
di salah satu sisi situ dalam upaya pengelolaan situ, bahkan pihak swasta
cenderung bersifat eksklusif.
Kedua Pokja Situ telah mengantongi Surat Keputusan dari Kelurahan atas
wewenang untuk melakukan tugas pengawasan dan pengamanan situ, namun
Surat Keputusan ini dirasakan masih belum cukup kuat bagi pengakuan
53
keberadaan Pokja Situ dan untuk menindak oknum-oknum yang melakukan
perusakan terhadap lingkungan situ. Tidak hanya kedua Pokja tersebut yang
menuntut kejelasan batas wewenang Pokja Situ, namun seluruh Pokja Situ melalui
Forum Pokja Situ Kota Depok menginginkan adanya Surat Keputusan yang
berasal dari Walikota Depok yang berisi pengakuan terhadap keberadaan dan
wewenang Pokja Situ di Kota Depok.
Anggota Pokja Situ tidak seluruhnya aktif dalam menjalankan tugasnya. Hal
ini disebabkan oleh kesadaran anggota Pokja Situ yang masih rendah akan
pentingnya menjaga kelestarian situ dan kesadaran untuk menjalankan tugasnya
sebagai anggota Pokja Situ. Satu kondisi yang tidak dapat dipungkiri yaitu
anggota Pokja Situ yang didominasi oleh kaum pria, bahkan dapat dikatakan
seluruhnya adalah pria, sibuk melakukan pekerjaan di luar Pokja Situ untuk tetap
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dan keluarganya. Hal inilah yang
kemudian memunculkan isu bahwa ada baiknya jika Pokja Situ ditetapkan sebagai
satu profesi melalui suatu Surat Keputusan. Hal ini masih menjadi wacana di
pihak pemerintah, sebab jika hal tersebut dilakukan maka akan muncul isu lain
mengenai upah yang harus diberikan kepada anggota Pokja Situ.
Situ Sawangan-Bojongsari saat ini tengah mendapat perhatian yang cukup
besar dari pemerintah, baik Pemerintah Kota Depok maupun Pemerintah Pusat,
sebagai salah satu situ yang patut untuk dijaga kelestariannya. Hal ini tidak
terlepas dari peran aktif Forum Pokja Situ dan Pokja Situ Sawangan-Bojongsari
dalam memperkenalkan Situ Sawangan-Bojongsari. Dokumentasi berbagai
kegiatan yang pernah dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari selama
penelitian berlangsung dapat dilihat pada Lampiran 6. Berikut ini adalah beberapa
kegiatan atau program yang dijalankan terkait pelestarian Situ Sawangan-
Bojongsari selama penelitian ini berlangsung:
a. Pemasangan penahan tebing pada salah satu sisi situ dengan menggunakan
batu bronjong kawat oleh Pemerintah Pusat (Gambar 5). Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya kebocoran situ dikarenakan pada sisi tersebut
terdapat pohon besar yang akarnya dikhawatirkan akan semakin meretakkan
turap yang telah ada.
b. Kegiatan penanaman pohon
tanggal 5 Juni 2012 yang lalu
Hidup Sedunia dan program bulan bersih Situ Bojongsari. Kegiatan ini
terlaksana atas kerjasama Pokja Situ Bojongsari, Forum Pokja Situ Kota
Depok, dan BLH Kota Depok.
Walikota dan Wakil Walikota Depok, turut hadir melakukan penanaman
pohon secara simbolik
sebanyak 200 pohon, sebagai tahap pertama, berasal dari BLH Kota Depok.
Selain itu, Walik
sampah yang masing
organik kepada pihak Pokja Situ Bojongsari.
c. Program revitalisasi Situ Sawangan
program lain yang akan dilaksanakan
desain situ telah mulai dilakukan semenjak tahun 2012 ini.
akan dijalankan dalam program tersebut antara lain ialah penurapan seluruh
sisi situ, pembangunan jalan setapak pada tepi situ, pengerukan untuk
mengatasi pendangkalan situ, dan pengembalia
kala. Masyarakat pun menginginkan adanya pembangunan IPAL pada
saluran buangan yang berasal dari gedung milik pemerintah dan saluran
buangan dari perumahan.
sepanjang beberapa
Gambar 5 Suasana pembangunantanggul batu bronjong.
egiatan penanaman pohon dilakukan di sempadan Situ Bojongsari
tanggal 5 Juni 2012 yang lalu dalam rangka memperingati Hari Lingkungan
unia dan program bulan bersih Situ Bojongsari. Kegiatan ini
terlaksana atas kerjasama Pokja Situ Bojongsari, Forum Pokja Situ Kota
Depok, dan BLH Kota Depok. Jajaran Pemerintah Kota Depok, termasuk
Walikota dan Wakil Walikota Depok, turut hadir melakukan penanaman
pohon secara simbolik pada kesempatan tersebut (Gambar 6). Bantuan pohon
sebanyak 200 pohon, sebagai tahap pertama, berasal dari BLH Kota Depok.
Selain itu, Walikota Depok juga menyerahkan bantuan berupa 5 unit tempat
sampah yang masing-masing terdiri dari tempat sampah organik dan non
organik kepada pihak Pokja Situ Bojongsari.
rogram revitalisasi Situ Sawangan-Bojongsari pada tahun 2013
program lain yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat
situ telah mulai dilakukan semenjak tahun 2012 ini.
akan dijalankan dalam program tersebut antara lain ialah penurapan seluruh
sisi situ, pembangunan jalan setapak pada tepi situ, pengerukan untuk
mengatasi pendangkalan situ, dan pengembalian batas-batas situ seperti sedia
kala. Masyarakat pun menginginkan adanya pembangunan IPAL pada
saluran buangan yang berasal dari gedung milik pemerintah dan saluran
buangan dari perumahan. Outlet situ pun diharapkan dapat dinormalisasi
sepanjang beberapa ratus meter untuk melancarkan aliran air dari situ.
Gambar 6 Penanaman pohon oleh Walikotadan Wakil Walikota Depok diSitu Sawangan
Suasana pembangunantanggul batu bronjong.
54
di sempadan Situ Bojongsari pada
dalam rangka memperingati Hari Lingkungan
unia dan program bulan bersih Situ Bojongsari. Kegiatan ini
terlaksana atas kerjasama Pokja Situ Bojongsari, Forum Pokja Situ Kota
intah Kota Depok, termasuk
Walikota dan Wakil Walikota Depok, turut hadir melakukan penanaman
). Bantuan pohon
sebanyak 200 pohon, sebagai tahap pertama, berasal dari BLH Kota Depok.
ota Depok juga menyerahkan bantuan berupa 5 unit tempat
masing terdiri dari tempat sampah organik dan non-
Bojongsari pada tahun 2013 merupakan
oleh Pemerintah Pusat. Persiapan
situ telah mulai dilakukan semenjak tahun 2012 ini. Kegiatan yang
akan dijalankan dalam program tersebut antara lain ialah penurapan seluruh
sisi situ, pembangunan jalan setapak pada tepi situ, pengerukan untuk
batas situ seperti sedia
kala. Masyarakat pun menginginkan adanya pembangunan IPAL pada
saluran buangan yang berasal dari gedung milik pemerintah dan saluran
situ pun diharapkan dapat dinormalisasi
ratus meter untuk melancarkan aliran air dari situ.
Penanaman pohon oleh Walikotadan Wakil Walikota Depok diSitu Sawangan-Bojongsari.
55
Perbaikan kondisi situ yang akan dilakukan diharapkan akan memudahkan
pengelola Situ Sawangan-Bojongsari, baik itu Pokja Situ maupun Pemerintah
Kota Depok, untuk dapat mengembangkan potensi lain yang dimiliki oleh Situ
Sawangan-Bojongsari, yaitu Situ Sawangan-Bojongsari sebagai kawasan wisata
air di Kota Depok. Situ Sawangan-Bojongsari memang telah menjalankan
kegiatan wisatanya hingga saat ini, namun hal tersebut dirasakan masih belum
optimal sehingga perlu untuk ditingkatkan, dengan begitu masyarakat dapat
merasakan manfaat lebih dari kelestarian situ.
4.3.3. Wisata Air Situ Sawangan-Bojongsari
Kegiatan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari tergolong masih bersifat
terbatas dan sederhana. Hanya terdapat beberapa jenis wahana wisata air di dua
sisi situ yang dijadikan sebagai lokasi wisata. Pengunjung yang datang dengan
tujuan berwisata di Situ Sawangan diwajibkan untuk membayar tiket masuk
kawasan situ yang tergolong murah, yaitu Rp 2.000,00 untuk pengendara sepeda
motor dan Rp 5.000,00 untuk pengunjung yang menggunakan kendaraan beroda
empat. Pengelola Situ Sawangan tidak pernah menetapkan harga tiket masuk
untuk perorangan hingga saat ini, bahkan pengelola Situ Bojongsari tidak
menetapkan harga tiket masuk bagi pengunjung. Hal ini disebabkan karena Situ
Bojongsari dilintasi oleh jalan alternatif Sawangan-Bojongsari yang memang
ramai dilalui oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat dengan leluasa singgah
di tepi situ ketika melewati jalan tersebut. Selain itu, alasan dari pihak pengelola
Situ Bojongsari tidak menetapkan biaya masuk situ adalah karena pengelola
merasa belum mampu menyediakan sarana dan prasarana wisata yang lengkap
bagi pengunjung, seperti lahan parkir yang luas, wahana wisata air yang lengkap,
dan lain sebagainya.
Situ Sawangan tampak lebih ramai dikunjungi oleh masyarakat
dibandingkan dengan Situ Bojongsari pada hari libur atau akhir minggu. Kawasan
wisata Situ Sawangan menawarkan fasilitas sepeda air, flying fox, dan warung-
warung makan di sepanjang tepi situ. Warung makan berupa saung bambu
menyajikan sajian khas kuliner Jawa Barat seperti ayam bakar, ikan bakar,
lalapan, dan sambal yang cukup menjadi daya tarik bagi pengunjung. Jika
56
pengunjung tidak ingin menyantap sajian tersebut, mereka dapat bersantai
menikmati keindahan alam situ sambil menikmati air kelapa muda yang memang
disajikan hampir di setiap warung makan yang terdapat di Situ Sawangan.
Situ Bojongsari memiliki kondisi yang berbeda dengan Situ Sawangan.
Hanya terdapat beberapa saung bambu yang dapat digunakan oleh pengunjung
untuk bersantai di Situ Bojongsari dan dua buah sepeda air, bahkan saat ini hanya
tinggal satu buah sepeda air karena satu sepeda air telah rusak. Kedua sepeda air
tersebut merupakan bantuan dari Disporasenbud Kota Depok dengan pembagian
awal satu buah sepeda air untuk Situ Sawangan dan satu buah untuk Situ
Bojongsari. Sepeda air milik Situ Sawangan dititipkan di Situ Bojongsari karena
Situ Sawangan telah memiliki banyak armada sepeda air. Hal tersebut
menyebabkan adanya pembagian hasil penggunaan sepeda air oleh pengunjung
antara Pokja Situ Sawangan dengan Pokja Situ Bojongsari.
Warung makan yang menyajikan kuliner di Situ Bojongsari jumlahnya jauh
lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah warung makan di Situ Sawangan
dan cenderung hanya menjual makanan dan minuman ringan. Pengunjung yang
ingin menyantap kuliner khas seperti ikan bakar asap dapat memesan kepada
pengelola beberapa hari sebelum kedatangan mereka ke situ. Ikan bakar asap khas
Situ Bojongsari cukup terkenal di kalangan masyarakat yang sering mengunjungi
situ ini, bahkan kerapkali disajikan dalam acara-acara pertemuan yang diadakan di
saung tepi situ, seperti acara keluarga, ataupun acara pertemuan antara kelompok
masyarakat dengan aparat pemerintah. Ikan bakar asap ini memanfaatkan hasil
perikanan Situ Bojongsari. Hasil perikanan Situ Sawangan-Bojongsari memang
cukup terkenal di kalangan para pemancing dan dinyatakan memiliki rasa yang
masih enak karena kualitas air situ yang masih baik. Area wisata yang terdapat di
Situ Sawangan-Bojongsari dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
57
4.3.4. Pengelolaan Wisata Air Situ Sawangan-Bojongsari
Pengelolaan wisata air di Situ Sawangan-Bojongsari secara umum masih
belum berkembang. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini terjadi diantaranya
adalah pengetahuan masyarakat atau Pokja Situ mengenai manajemen wisata yang
masih rendah dan perhatian pemerintah khususnya Disporasenbud Kota Depok
terhadap pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari yang dianggap
masih kurang. Pengorganisasian wisata yang dijalankan oleh masyarakat masih
tergolong sederhana, namun tampak belum tertata dengan baik. Baik di Situ
Sawangan maupun Situ Bojongsari belum terdapat peraturan dan pembagian tugas
yang jelas di dalam organisasi pengelolanya. Pihak Disporasenbud Kota Depok
dirasa masih belum maksimal dalam mengembangkan wisata air pada situ-situ di
Kota Depok. Pihak Pokja Situ Bojongsari berharap sebaiknya Disporasenbud
Kota Depok dapat mencanangkan program pengembangan wisata yang terfokus
pada satu situ dahulu sehingga hasilnya dapat lebih maksimal dan cepat terlihat.
Gambar 7 Area wisata Situ Sawangan (kiri) dan armada sepeda air di SituSawangan (kanan).
Gambar 8 Area wisata di Situ Bojongsari.
58
Sebagai contoh, Disporasenbud dapat sekaligus memberikan bantuan sepeda air
dalam jumlah yang cukup banyak, perahu naga, dan pembangunan dermaga di
satu situ untuk pengembangan situ tersebut. Pihak Disporasenbud Kota Depok
menyatakan bahwa hal ini sudah terpikirkan dan akan dipertimbangkan
pelaksanaannya.
Situ Sawangan dengan sempadan situnya yang luas lebih leluasa untuk
mengembangkan kegiatan wisatanya dibandingkan dengan Situ Bojongsari.
Warga masyarakat diperbolehkan untuk membangun saung atau warung di area
wisata Situ Sawangan hanya dengan meminta izin kepada pihak pengelola,
sedangkan Situ Bojongsari dengan luas sempadan situ yang terbatas membuat
pihak pengelola sedikit kesulitan untuk mengembangkan sarana wisatanya. Para
pemilik saung di Situ Sawangan dikenakan biaya pengangkutan sampah setiap
minggunya sebesar Rp. 5.000,00 dan iuran atas dihadirkannya panggung dengan
hiburan musik dangdut setiap hari Minggu sebesar Rp. 15.000,00. Satu Yayasan
Panti Asuhan diizinkan oleh Pokja Situ Sawangan untuk mengoperasikan sarana
sepeda air dan flying fox di Situ Sawangan tanpa ada perjanjian sistem bagi hasil
antara Pokja Situ dengan pemilik sarana. Hal tersebut dilakukan atas dasar
kepedulian sosial sehingga semua hasil dari penggunaan sarana-sarana tersebut
dimanfaatkan oleh pihak Yayasan. Pemasukan bagi kas Pokja Situ dari kegiatan
wisata hanya berasal dari pembayaran tiket masuk dan iuran kebersihan dari para
pemilik saung. Pemasukan tersebut digunakan oleh Pokja Situ Sawangan untuk
membiayai kegiatan pengelolaan situ. Pemancingan ikan milik salah seorang
warga ditemukan terdapat pada salah satu sisi Situ Sawangan. Pemancingan ini
selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat di setiap waktu.
Kondisi Situ Bojongsari berbeda dengan kondisi Situ Sawangan. Warung-
warung yang ada di Situ Bojongsari jumlahnya jauh lebih sedikit dan dimiliki
langsung oleh salah satu anggota Pokja Situ Bojongsari, maka biaya untuk
kebersihan situ ditangani langsung oleh pemilik saung tersebut. Hal yang serupa
juga diterapkan pada hasil penggunaan sepeda air yaitu hasil yang diperoleh
dimanfaatkan kembali oleh pihak pengelola untuk dana pengelolaan situ atau
wisata. Pengadaan sarana flying fox sedang dilakukan di Situ Bojongsari dengan
bantuan dari suatu Lembaga Kemanusiaan Nasional bernama Pos Keadilan Peduli
59
Ummat (PKPU), yang berniat untuk menjadikan Situ Bojongsari sebagai lokasi
pelatihan Tim Rescue PKPU. Sarana flying fox tersebut akan diserahkan
pengelolaannya kepada Pokja Situ Bojongsari untuk kemudian dimanfaatkan
sebagai sarana wisata. Pihak PKPU juga berencana membantu Pokja Situ
Bojongsari dalam menata lahan untuk area camping (camping ground). Pihak
Pokja Situ Bojongsari juga tengah mengajukan permohonan bantuan kepada
Disporasenbud Kota Depok berupa sepeda air, perahu naga, dan pembangunan
dermaga. Perkembangan wisata air di Situ Bojongsari sekilas tampak jauh
tertinggal di belakang perkembangan wisata Situ Sawangan, namun bukan tidak
mungkin dengan penataan dan sistem pengelolaan yang baik, Situ Bojongsari
dapat berkembang menjadi kawasan wisata air yang ramai.
Pengelolaan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari tidak terlepas dari
pengelolaan situ tersebut untuk tujuan konservasi situ. Situ yang terjaga dengan
baik akan mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata di situ dan lebih jauh
lagi akan berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat sekitar situ.
Masyarakat sekitar Situ Sawangan-Bojongsari yang tergabung dalam Pokja Situ
merupakan aktor utama penggerak kegiatan pengelolaan situ dan pengembangan
wisata air situ, diharapkan dapat tetap mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian
situ selain berupaya untuk meningkatkan perekonomian melalui pemanfaatan
sumberdaya alam situ sebagai kawasan wisata air.
4.4. Kegiatan Antropogenik Sekitar Situ Sawangan-Bojongsari
Kegiatan antropogenik sekitar Situ Sawangan-Bojongsari berlangsung di
permukiman penduduk, kawasan wisata situ, lapangan rumput, dan kebun milik
masyarakat. Kegiatan rumah tangga atau domestik cukup mendominasi di
lingkungan sekitar Situ Sawangan-Bojongsari. Kegiatan wisata juga diketahui
berlangsung di dua wilayah situ. Kegiatan pertanian sudah jauh berkurang
disebabkan oleh peralihan mata pencaharian masyarakat yaitu dari petani menjadi
pegawai/karyawan, buruh, atau pekerjaan lainnya. Persawahan di sekitar situ
memang sudah tidak ada, namun masih terdapat kegiatan pertanian tanaman hias
yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan kegiatan pertanian di kebun dan
lahan pertanian yang terbentuk akibat pendangkalan situ (Gambar 9). Peternakan
bebek diketahui juga terdapat pada lahan
kegiatannya tetap perlu diwaspadai agar jangan sampai mencemari perairan situ.
Kegiatan antropogenik sekitar situ yang dilakukan oleh pihak swast
terbatas pada area yang diklaim dimiliki oleh pihak swasta tersebut, yaitu di area
lapangan golf dan area
puing bangunan ke sempadan situ dan pendirian bangunan dimana saluran air
buangan dari bangunan tersebut diarahkan menuju perairan situ
di area milik swasta (Gambar
Kegiatan domestik yang tidak mengindahkan aspek kelestarian situ tentu
dapat menurunkan kualitas perairan situ.
kegiatan mencuci pakaian dan kendaraan bermotor di wilayah situ.
dapat berakibat pada
lainnya. Warung-warung makan
Gambar 9 Alih fungsi lahan situ menjadimenyiram tanaman perkebunan oleh masyarakat (kanan).
Gambar 10 Pembangunan di kawasan Telaga Golf Sawangan:pembuatan saluran buangan menuju perairan situ (kiri);pembuangan puing bangunan di tepi situ (kanan).
diketahui juga terdapat pada lahan yang berbatasan dengan wilayah situ dan
kegiatannya tetap perlu diwaspadai agar jangan sampai mencemari perairan situ.
Kegiatan antropogenik sekitar situ yang dilakukan oleh pihak swast
area yang diklaim dimiliki oleh pihak swasta tersebut, yaitu di area
lapangan golf dan area cottage/villa milik mereka. Kegiatan pembuangan puing
puing bangunan ke sempadan situ dan pendirian bangunan dimana saluran air
dari bangunan tersebut diarahkan menuju perairan situ ditemukan terjadi
(Gambar 10).
Kegiatan domestik yang tidak mengindahkan aspek kelestarian situ tentu
dapat menurunkan kualitas perairan situ. Masyarakat diketahui masih melakukan
kegiatan mencuci pakaian dan kendaraan bermotor di wilayah situ.
dapat berakibat pada pencemaran air situ oleh detergen atau oleh bahan pencemar
warung makan di Situ Sawangan diketahui menyalurkan air
lih fungsi lahan situ menjadi perkebunan (kiri); kegiatanmenyiram tanaman perkebunan oleh masyarakat (kanan).
Pembangunan di kawasan Telaga Golf Sawangan:pembuatan saluran buangan menuju perairan situ (kiri);pembuangan puing bangunan di tepi situ (kanan).
60
yang berbatasan dengan wilayah situ dan
kegiatannya tetap perlu diwaspadai agar jangan sampai mencemari perairan situ.
Kegiatan antropogenik sekitar situ yang dilakukan oleh pihak swasta berlangsung
area yang diklaim dimiliki oleh pihak swasta tersebut, yaitu di area
egiatan pembuangan puing-
puing bangunan ke sempadan situ dan pendirian bangunan dimana saluran air
ditemukan terjadi
Kegiatan domestik yang tidak mengindahkan aspek kelestarian situ tentu
masih melakukan
kegiatan mencuci pakaian dan kendaraan bermotor di wilayah situ. Hal ini tentu
pencemaran air situ oleh detergen atau oleh bahan pencemar
menyalurkan air
perkebunan (kiri); kegiatanmenyiram tanaman perkebunan oleh masyarakat (kanan).
Pembangunan di kawasan Telaga Golf Sawangan:pembuatan saluran buangan menuju perairan situ (kiri);pembuangan puing bangunan di tepi situ (kanan).
61
buangan bekas pencucian peralatan makan ke dalam perairan situ. Selain itu,
terdapat kamar kecil/wc di area wisata situ yang memiliki saluran buangan yang
diarahkan langsung ke perairan.
Kegiatan perikanan di Situ Sawangan-Bojongsari meliputi kegiatan
memancing oleh masyarakat di beberapa bagian sempadan situ, baik di kawasan
pemancingan maupun di berbagai tepi situ lainnya, kegiatan menjala ikan, dan
budidaya ikan pada keramba atau tambak ikan. Wawancara dengan responden
pakar memberikan informasi mengenai pemanfaatan situ, yaitu Pemerintah Kota
Depok sebenarnya hanya diperbolehkan untuk memanfaatkan air bagian
permukaan situ saja dan dilarang untuk mendirikan keramba jaring apung.
Namun, Perda Kota Depok No. 22 Tahun 2003 tentang Izin Usaha Perikanan,
Peternakan, dan Pemotongan Hewan memperbolehkan pembuatan keramba jaring
apung asalkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pada peraturan tersebut,
meskipun tidak disebutkan secara khusus mengenai situ sebagai lokasi pendirian
keramba jaring apung. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian isi
peraturan dengan pendapat responden pakar. Hal ini harus diluruskan agar tidak
menimbulkan kerancuan pada pihak masyarakat dan demi menghindari konflik
yang mungkin terjadi.
Pelarangan pendirian keramba jaring apung yang disebutkan dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan, seperti terjadinya upwelling
yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal dan eutrofikasi. Oleh
karena itu, solusi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Depok hingga saat ini
adalah melalui program re-stocking, yaitu menebar benih ikan di situ-situ di Kota
Depok, minimal 3 situ setiap tahunnya, sehingga nantinya masyarakat dapat
memanfaatkan ikan-ikan tersebut. Pemerintah Kota Depok juga mengeluarkan
larangan terhadap kegiatan menjala atau menjaring ikan di areal situ. Hal tersebut
tampaknya tidak dipatuhi oleh masyarakat sekitar situ. Hal ini dibuktikan dengan
masih banyaknya warga yang melakukan kegiatan menjala dan menjaring ikan
pada areal situ.
62
4.5. Permasalahan Kualitas dan Lingkungan Perairan Situ Sawangan-Bojongsari
Kualitas perairan situ dapat menjadi salah satu faktor yang paling penting
dalam upaya pengembangan situ sebagai kawasan wisata air. Kualitas perairan
yang baik dan sesuai dengan kriteria wisata air tentu akan memudahkan pihak
pengelola untuk mengembangkan kegiatan wisata air pada perairan tersebut.
Kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari berdasarkan beberapa parameter
fisik, kimia, dan biologi disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari pada beberapa stasiunpengambilan sampel air
Keterangan:1. Stasiun pengambilan sampel :
1. Area wisata air Situ Sawangan 5. Dekat permukiman warga Bojongsari2. Dekat warung-warung Situ Sawangan 6. Bagian inlet situ3. Dekat lapangan golf 7. Bagian outlet situ4. Tengah situ
2. Hasil pemantauan kualitas air Situ Sawangan-Bojongsari pada bagian outlet oleh BLH KotaDepok pada tahun 2010.
3. Baku Mutu Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 bagi air dengan peruntukan sebagaiprasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan air untukmengairi pertanaman.
No Parameter SatuanStasiun pengambilan sampel1
BLH20102
BMKelas
II3
1 2 3 4 5 6 7
I FISIKA
1 Suhu °C 28,25 29,15 29,70 29,60 29,95 30,15 30,25 - dev. 3
2 TSS mg/L 6,5 9,0 7,0 6,0 9,0 12,0 9,5 6,0 50
3 Kecerahan m 1,365 1,190 1,665 1,075 0,700 0,505 0,810 - -
4 Kedalaman m 3,35 3,80 3,10 7,50 2,60 1,00 1,00 - -
II KIMIA
1 pH - 6,170 6,30 6,130 6,430 6,305 6,345 6,595 7,510 6 - 9
2 DO mg/L 6,50 6,20 4,55 5,85 6,05 3,65 3,85 7,57 Min 4
3 BOD5 mg/L 2,640 3,085 2,020 3,170 3,940 1,640 2,015 8,140 3
4 Total Fosfat mg/L 0,155 0,195 0,158 0,219 0,172 0,194 0,186 <0,006 0,2
5 Amonia (NH3-N) mg/L 0,367 0,324 0,231 0,448 0,354 0,370 0,423 0,050 0,02
6 Nitrat (NO3-N) mg/L 1,260 1,531 1,296 1,642 1,982 2,070 1,580 1,590 10
7 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,030 0,036 0,019 0,041 0,100 0,116 0,065 0,040 0,06
8 Minyak dan lemak mg/L <1 <1 <1 <1 <1 <1 <1 <1 1
9 Klorofil a µg/L 44,685 39,710 12,285 18,460 17,930 23,565 20,435 - -
III MIKROBIOLOGI
1 Fecal ColiMPN/100mL 808 2.210 148 2.765 675 2.550 2.719 900 1.000
63
4.5.1. Suhu air
Suhu air permukaan Situ Sawangan-Bojongsari adalah antara 28,25 –
30,25°C dengan rata-rata suhu sebesar 29,58°C. Kisaran suhu tersebut masih
memenuhi Baku Mutu untuk air Kelas II yang ditetapkan dalam PP No. 82 tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Hasil
pengukuran ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh Effendi et al.
(1996) yaitu 28,9 – 29,4°C. Menurut Vaas dan Sachlan (1949) suhu Situ
Sawangan-Bojongsari di perairan terbuka adalah 24,1°C. Peningkatan suhu
perairan Situ Sawangan-Bojongsari diduga disebabkan oleh perubahan
lingkungan sekitar situ. Situ Sawangan-Bojongsari dikelilingi oleh perkebunan
karet di masa yang lalu, namun kini telah berubah menjadi lahan terbuka,
permukiman, dan lapangan golf. Perubahan tatanan lahan sekitar situ diduga telah
meningkatkan suhu udara dan suhu perairan situ. Pertukaran panas antara udara
dan air merupakan faktor utama yang mempengaruhi kondisi suhu air. Suhu
udara, kondisi meteorologi lokal, dan morfometri perairan, dapat mempengaruhi
suhu air (Dobiesz & Lester 2009).
Perubahan suhu air akan mempengaruhi proses fisika, kimia, dan biologi di
dalam perairan. Suhu erat kaitannya dengan tingkat kelarutan gas dalam air,
seperti O2, CO2, N2, dan CH4. Ketika suhu meningkat, jumlah oksigen terlarut
akan menurun, kecepatan respirasi dan metabolisme organisme air pun
meningkat, dan proses dekomposisi bahan organik pun ikut meningkat (Effendi
2012). Peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan konsentrasi zat organik
terlarut dalam air, total bakteri, dan biomassa bakterioplankton (Dunalska et al.
2012). Peningkatan suhu air juga dapat mempengaruhi perkembangan dan
pertumbuhan organisme air, seperti waktu penetasan telur ikan menjadi lebih awal
atau pada kecepatan dan masa pertumbuhan mikroalga (Mooij et al. 2008;
Rengefors et al. 2012).
4.5.2. Total Suspended Solid (TSS)/Padatan Tersuspensi Total, Kecerahan,dan Kedalaman
Padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1µm)
dalam air yang terdiri dari lumpur, pasir halus, dan jasad-jasad renik, yang
terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air
64
(Effendi 2012). Padatan tersuspensi dapat meningkatkan nilai kekeruhan air, tidak
terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Kekeruhan yang terjadi kemudian
dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air sehingga
mempengaruhi proses fotosintesis dalam air.
Nilai TSS pada semua stasiun menunjukkan nilai di bawah batas maksimal
Baku Mutu Air Kelas II yang ditetapkan dalam PP No. 82 Tahun 2001 sebesar 6
mg/L. Nilai TSS tertinggi diperoleh dari sampel yang berasal dari bagian inlet situ
yaitu sebesar 12 mg/L. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pendangkalan pada
bagian inlet situ. Pendangkalan yang terjadi akibat ulah manusia ini telah
menyebabkan air situ tampak keruh. Bagian inlet situ merupakan bagian situ yang
banyak mengalami pengurukan tanah untuk dijadikan sebagai lahan pertanian
masyarakat. Selain itu, hal ini terjadi karena inlet merupakan lokasi awal
masuknya aliran air menuju situ dari sungai kecil yang membawa berbagai
padatan tersuspensi dan limbah. Nilai TSS tertinggi kedua diperoleh dari sampel
outlet situ yaitu sebesar 9,5 mg/L. Bagian outlet situ yang menyempit merupakan
tempat terakumulasinya berbagai zat yang terdapat di dalam badan air menuju
saluran air keluar situ. Nilai TSS terendah diperoleh dari stasiun tengah situ yaitu
sebesar 6 mg/L. Hal ini terjadi karena stasiun tengah situ merupakan bagian situ
yang lebih dalam dibandingkan dengan stasiun pengambilan sampel lainnya,
sehingga padatan tersuspensi dalam air lebih terencerkan pada bagian ini.
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan yang diperoleh berkisar
antara 0,505 – 1,665 m. Nilai kecerahan tersebut cenderung berkurang seiring
dengan peningkatan nilai TSS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Borkman dan
Smayda (1998) yaitu peningkatan nilai kecerahan pada perairan terjadi ketika
pemasukan padatan tersuspensi menuju perairan berkurang atau dalam kata lain
nilai TSS pada perairan menurun. Nilai kecerahan pada inlet merupakan yang
terendah seiring dengan tingginya kandungan padatan tersuspensi. Nilai
kecerahan yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan nilai
kecerahan pengamatan Effendi et al. (1996), yaitu 0,407 – 0,597 m. Perbedaan
waktu pengamatan diduga menjadi penyebab dari perbedaan hasil tersebut.
Kecerahan suatu perairan tentunya menjadi faktor yang penting untuk membentuk
65
daya tarik situ sebagai tempat berwisata. Perairan yang tampak keruh tentunya
tidak akan lebih menarik bagi pengunjung dibandingkan dengan perairan yang
jernih.
Kedalaman maksimum terukur ada pada bagian tengah situ, yaitu sedalam
7,5 m. Kedalaman rata-rata Situ Sawangan-Bojongsari adalah 3-4 m, dengan
kedalaman maksimum 8 m (Fakhrudin 1989; BLH Kota Depok 2011). Situ
Sawangan-Bojongsari dikenal sebagai situ yang terluas di Kota Depok. Selain itu,
situ ini juga diketahui sebagai situ yang cukup dalam. Menurut masyarakat sekitar
kedalaman maksimum Situ Sawangan-Bojongsari adalah sekitar 10 m. Hal ini
dianggap menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan wisata air di situ
tersebut, karena perairan yang dalam dianggap dapat menimbulkan bahaya bagi
pengunjung atau wisatawan. Sebagian masyarakat pun masih menganggap situ ini
sebagai daerah yang menakutkan. Oleh karena itu, pengelola situ
mengembangkan wisata hanya pada bagian situ dengan kedalaman rata-rata.
4.5.3. Nilai pH
Nilai pH air Situ Sawangan-Bojongsari berkisar antara 6,13 – 6,59. Nilai ini
masih berada di dalam batas kisaran pH yang ditetapkan dalam baku mutu air
yaitu antara 6 – 9. Hasil pengukuran pH yang dilakukan oleh BLH Kota Depok
juga masih sesuai dengan baku mutu air. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa
air Situ Sawangan-Bojongsari masih berada dalam kondisi yang baik dari aspek
pH air untuk pemanfaatan rekreasi.
Nilai pH menjadi faktor yang penting dalam perairan karena nilai pH
menggambarkan suasana asam atau basa pada air. Suasana air akan
mempengaruhi kehidupan biologi di dalam air. Perubahan keasaman air, baik ke
arah alkali maupun asam, akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air
lainnya. Kondisi pH dapat mempengaruhi tingkat toksisitas suatu senyawa kimia,
proses biokimiawi perairan, dan proses metabolisme organisme air. Toksisitas
akut aluminium tertinggi bagi ikan terjadi pada pH antara 5 – 6 melalui
polimerisasi aluminium pada insang (Poléo 1995). Toksisitas aluminium
dipengaruhi oleh konsentrasi aluminium dalam air, pH, dan jenis organisme yang
terpapar (Dietrich & Schlatter 1989; Stephens & Ingram 2006). Jumlah amonia
66
tak terionisasi yang bersifat toksik bagi organisme perairan akan meningkat
seiring dengan peningkatan pH dan temperatur. Ikan yang hidup pada perairan
dengan nilai pH tinggi (alkalin) memiliki kandungan amonia yang lebih tinggi
pada tubuhnya dibandingkan dengan ikan yang hidup di perairan netral dan
mengalami gangguan ekskresi amonia tubuh (Scott et al. 2005). Air yang
memiliki pH sangat rendah atau bersifat asam dapat bersifat korosif yang
menyebabkan pengkaratan pada besi atau baja dan tentunya berbahaya pula bagi
manusia.
4.5.4. Oksigen Terlarut/Dissolved Oxygen (DO)
Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut menunjukkan nilai yang
bervariasi, namun sebagian besar telah memenuhi baku mutu air untuk kebutuhan
rekreasi. Konsentrasi oksigen terlarut pada bagian inlet adalah 3,65 mg/L dan
pada bagian outlet adalah 3,85 mg/L. Kedua nilai tersebut berada di bawah nilai
baku mutu air sebesar 4 mg/L. Hal ini mengindikasikan tingginya kandungan
bahan organik yang terkandung dalam air pada dua bagian situ tersebut. Bagian
inlet adalah lokasi aliran masuk air menuju situ, sedangkan outlet adalah tempat
terakumulasinya berbagai zat yang terbawa aliran air situ menuju saluran keluar.
Data pemantauan BLH Kota Depok tahun 2010 justru menunjukkan konsentrasi
oksigen terlarut yang jauh lebih tinggi dari hasil pengukuran pada penelitian ini
untuk bagian outlet situ. Perbedaan waktu pengambilan sampel dan metode yang
digunakan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan tersebut.
Konsentrasi oksigen terlarut pada stasiun dekat lapangan golf menunjukkan
nilai yang hampir mendekati batas minimum yang ditetapkan dalam baku mutu.
Gulma air yang dibiarkan tumbuh begitu saja oleh pihak pengelola, baik oleh
Pokja Situ Sawangan maupun oleh pihak swasta, diduga menjadi penyebab
rendahnya kandungan oksigen terlarut pada daerah tersebut. Selain itu, waktu
pengambilan sampel yang bertepatan dengan pagi hari juga mempengaruhi
rendahnya oksigen terlarut yang terukur. Perairan dengan vegetasi akuatik
mengapung memiliki fluktuasi nilai oksigen terlarut yang lebih besar (rendah di
pagi hari dan tinggi di sore hari) dan memiliki periode anoksia yang lebih panjang
pada malam hari dibandingkan dengan konsentrasi oksigen terlarut di perairan
67
terbuka (Reeder 2011). Populasi gulma air dapat mengurangi difusi oksigen ke
dalam air dan menurunkan oksigen terlarut pada air di bawahnya. Gulma air yang
mati akan tenggelam dan didegradasi oleh mikroorganisme air. Proses tersebut
membutuhkan sejumlah besar oksigen, sehingga konsentrasi oksigen terlarut
dapat menurun (Agustiyani 2004; Reeder 2011).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar bagi organisme air. Kehidupan
organisme air bergantung pada kemampuan perairan untuk mempertahankan
konsentrasi oksigen pada tingkat kebutuhan hidup mereka. Konsentrasi oksigen
terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan organisme air
lainnya menderita, bahkan dapat berujung pada kematian. Hal ini menjadi
menarik ketika kondisi perairan dikaitkan dengan daya tarik wisata. Sumberdaya
perikanan yang dimiliki oleh Situ Sawangan-Bojongsari merupakan daya tarik
tersendiri bagi wisatawan yang mengunjungi situ tersebut, dan telah dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai bahan kuliner khas yang ditawarkan. Oleh karena itu,
perairan situ perlu dijaga kualitasnya agar pemanfaatan sumberdaya perikanan
lokal dapat tetap berlangsung.
4.5.5. Kebutuhan Oksigen Biologis/Biological Oxygen Demand (BOD)
Nilai BOD air Situ Sawangan-Bojongsari telah berada di atas Baku Mutu
Air Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 pada beberapa stasiun
pengambilan sampel, yaitu pada lokasi dekat saung-saung atau warung makan di
Situ Sawangan (3,085 mg/L), bagian tengah situ (3,170 mg/L), dan dekat
permukiman warga Bojongsari (3,940 mg/L). Ketiga nilai BOD tersebut hanya
sedikit melebihi nilai BOD maksimal yang ditetapkan dalam baku mutu air yaitu
sebesar 3 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa Situ Sawangan-Bojongsari tidak
berada dalam kondisi tercemar berat. Meskipun begitu, kegiatan antropogenik
sekitar situ tetap perlu diwaspadai sebagai penyebab bertambahnya bahan
pencemar dalam perairan. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan tingginya bahan
buangan atau bahan organik mudah urai di dalam air. Bahan organik tersebut
dapat berasal dari kegiatan antropogenik di area saung-saung Situ Sawangan dan
area permukiman warga. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik
dalam air yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen
68
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik melalui proses
mikrobiologis (Fardiaz 2006).
4.5.6. Total Fosfat
Hasil pengukuran total fosfat permukaan Situ Sawangan-Bojongsari
menunjukkan nilai yang berkisar antara 0,155 – 0,219 mg/L dan hanya sampel
stasiun tengah situ yang memiliki nilai melebihi baku mutu air Kelas II PP No. 82
Tahun 2001 sebesar 0,2 mg/L. Konsentrasi total fosfat pada stasiun tengah situ
adalah 0,219 mg/L, sedangkan konsentrasi total fosfat stasiun dekat warung-
warung adalah 0,194 mg/L. Konsentrasi total fosfat yang tinggi tersebut dapat
disebabkan oleh aktivitas masyarakat di kawasan wisata Situ Sawangan. Limbah
hasil pencucian peralatan dapur dan lain sebagainya yang berasal dari warung-
warung di tepi situ dapat menyumbangkan sejumlah polutan fosfor ke dalam air.
Fosfor banyak digunakan sebagai bagian dari sabun atau detergen, pupuk, minyak
pelumas, produk makanan dan minuman, katalis, dan lain sebagainya (Perk 2006;
Effendi 2012). Pemupukan intensif yang biasa dilakukan pada rumput lapangan
golf tampaknya tidak memberikan dampak langsung terhadap peningkatan total
fosfat dalam air situ. Nilai kandungan total fosfat stasiun dekat lapangan golf yang
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kandungan total fosfat di stasiun-
stasiun lainnya. Hal ini diduga terjadi karena lokasi lapangan golf cukup jauh dari
tepi situ dan terdapat komunitas tumbuhan akuatik pada tepi situ (tumbuhan
riparian). Tumbuhan riparian dimungkinkan mampu mengurangi pencemaran air
yang terjadi di sungai atau situ pada beberapa kasus (Wiriadinata & Setyowati
2003). Fosfat akan mengendap bersama beberapa logam pada kondisi oksik, dan
kompleks fosfat-logam tersebut akan kembali terdisosiasi ketika berada pada
lapisan anoksik (Dodds 2002).
Penyuburan perairan atau eutrofikasi dapat disebabkan oleh peningkatan
konsentrasi fosfor bersama dengan nitrogen (Sulastri 2003). Fosfor merupakan
salah satu unsur hara utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton dan tumbuhan
perairan untuk pertumbuhannya serta sering menjadi faktor pembatas
pertumbuhan. Situ Sawangan-Bojongsari cenderung kuat mengalami kondisi
hipereutrofik dengan kadar rata-rata Total Fosfor >0.1 mg/L sesuai dengan
69
kriteria status trofik danau dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009. Meskipun total fosfor tidak diukur pada
penelitian ini, namun konsentrasi total fosfat yang terukur sudah melebihi batas
minimum total fosfor untuk kondisi hipereutrofik. Hal ini berbeda dengan kondisi
Situ Sawangan-Bojongsari pada akhir tahun 1980-an, dimana hasil penelitian oleh
Hartoto dan Lubis (1989) menunjukkan konsentrasi ortofosfat pada air di
permukaan Situ Sawangan-Bojongsari berkisar antara 0,046 – 0,055 mg/L yang
menyebabkan situ dinyatakan berada pada kondisi eutrofik. Hal ini kemudian
diperkuat oleh hasil pengamatan Effendi et al. (1996) untuk total ortofosfat yaitu
berkisar antara 0,03 – 0,1 mg/L. Peningkatan konsentrasi total fosfor dan total
fosfat di dalam air Situ Sawangan-Bojongsari diduga terjadi seiring dengan
peningkatan aktivitas manusia di sekitar Situ Sawangan-Bojongsari. Konsentrasi
total fosfat akan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi
total fosfor di dalam perairan (Hudson et al. 2000).
4.5.7. Nitrogen
Nitrogen yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tiga bentuk, yaitu
amonia (NH3), nitrat (NO3-), dan nitrit (NO2
-). Hasil pengukuran amonia
menunjukkan bahwa konsentrasi amonia pada air situ dari semua stasiun
pengambilan sampel berkisar antara 0,231 – 0,448 mg/L dan telah melampaui
Baku Mutu Air Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 sebesar 0,02 mg/L.
Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek kandungan amonia dalam air, Situ
Sawangan-Bojongsari tidak memenuhi peruntukkannya bagi sarana/prasarana
rekreasi air. Hasil pengukuran kandungan nitrat pada air situ dari semua stasiun
pengambilan sampel memperlihatkan nilai berkisar antara 1,259 – 2,07 mg/L dan
berada jauh di bawah baku mutu air yang ditetapkan yaitu sebesar 10 mg/L. Hasil
pengukuran terhadap kandungan nitrit menunjukkan nilai berkisar antara 0,019 –
0,116 mg/L dan konsentrasi nitrit pada stasiun inlet, dekat permukiman warga
Bojongsari, dan outlet telah melebihi baku mutu air yang ditetapkan yaitu sebesar
0,06 mg/L. Konsentrasi nitrit pada stasiun inlet adalah 0,116 mg/L, dekat
permukiman warga Bojongsari adalah 0,100 mg/L, dan outlet adalah 0,065 mg/L.
70
Nitrogen pada perairan Situ Sawangan-Bojongsari dapat berasal dari limbah
kegiatan antropogenik di sekitar situ maupun aliran permukaan menuju perairan
situ. Amonia pada perairan dapat berasal dari dekomposisi bahan organik oleh
mikroorganisme, pupuk, limbah industri dan domestik, serta limbah aktivitas
metabolisme (air seni dan tinja) (Alaerts & Santika 1984). Nitrat dapat berasal
dari partikel-partikel yang terbawa aliran permukaan menuju perairan atau pun
dari air hujan (Dodds 2002). Nitrat dan nitrit merupakan bentuk amonia yang
teroksidasi. Nitrit adalah bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat
sehingga keberadaannya bersifat sementara dan jumlahnya biasanya sedikit.
Konsentrasi nitrogen anorganik (amonia, nitrat, dan nitrit) yang tinggi pada
perairan menunjukkan adanya pencemaran. Amonia tak terionisasi adalah bentuk
nitrogen anorganik yang paling toksik, sedangkan nitrat dan ion amonium adalah
bentuk dengan tingkat toksisitas paling rendah. Amonia tak terionisasi (NH3)
merupakan senyawa nitrogen yang dapat menjadi ion amonium (NH4+) ketika
kondisi pH dan suhu menjadi rendah. Menurut Camargo dan Alonso (2006)
pencemaran nitrogen anorganik di perairan dapat menyebabkan terjadinya
asidifikasi perairan, eutrofikasi, dan efek toksik pada biota perairan, bahkan dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia dan
perekonomian masyarakat.
4.5.8. Minyak dan Lemak
Pencemaran minyak dan lemak akan sangat merugikan bagi pemanfaatan
perairan sebagai kawasan wisata. Pencemaran minyak dan lemak akan
menurunkan nilai estetika dari badan air dan menimbulkan gangguan kesehatan
terhadap manusia, bahkan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap (Suprijadi
1997). Kerugian lain yang ditimbulkan adalah terganggunya kehidupan biota air
dan berbagai proses yang berlangsung di dalam perairan sebagai akibat penurunan
penetrasi cahaya matahari dan oksigen ke dalam air (Fardiaz 2006).
Kandungan minyak dan lemak pada air permukaan situ menunjukkan nilai
yang masih berada di bawah Baku Mutu Air Kelas II yang ditetapkan dalam PP
No. 82 tahun 2001 yaitu sebesar 1 mg/L. Kandungan minyak dan lemak yang
rendah pada perairan Situ Sawangan-Bojongsari menunjukkan bahwa situ tersebut
71
masih dalam kondisi baik untuk dijadikan sebagai lokasi wisata air. Pencemaran
minyak dan lemak pada Situ Sawangan-Bojongsari dapat berasal dari limbah hasil
aktivitas masyarakat, baik limbah domestik maupun limbah kegiatan wisata.
Warung-warung makan di kawasan wisata situ memiliki saluran buangan menuju
perairan situ.
4.5.9. Klorofil-a
Klorofil-a adalah pigmen yang berperan langsung di dalam reaksi terang
fotosintesis. Kandungan klorofil-a sering dijadikan sebagai indikator produktivitas
primer atau indikator tingkat trofik (kesuburan) suatu perairan karena klorofil-a
mutlak diperlukan dalam proses fotosintesis (Nontji 1989). Pengukuran
kandungan klorofil-a pada perairan Situ Sawangan-Bojongsari menghasilkan nilai
berkisar antara 12,285 – 44,685 µg/L dengan rata-rata 25,296 µg/L. Nilai tersebut
menyebabkan perairan Situ Sawangan-Bojongsari tergolong ke dalam perairan
dengan status eutrofik (kadar rata-rata klorofil-a <15 µg/L) yang mengarah ke
hipereutrofik (kadar rata-rata klorofil-a >200 µg/L) berdasarkan kriteria status
trofik yang ditetapkan dalam Permen LH No. 28 Tahun 2009 tentang Daya
Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk. Pola variasi spasial
klorofil-a pada danau dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti distribusi sumber
pencemar, aliran air, dan angin pada area tersebut (Wang & Liu 2005). Menurut
Pan et al. (2009) faktor utama yang mempengaruhi konsentrasi klorofil-a pada
perairan lentik seperti danau adalah kandungan total fosfor perairan.
Hasil pengukuran klorofil-a pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
hasil pengukuran klorofil-a oleh Nontji dan Sunanisari (1989) yang menyebutkan
bahwa nilai rata-rata klorofil-a permukaan Situ Sawangan-Bojongsari bervariasi
antara 1,98 – 47,50 µg/L. Variasi nilai klorofil-a tersebut dinyatakan tidak
memiliki pola yang jelas terhadap variasi waktu. Tingkat trofik Situ Sawangan-
Bojongsari pada saat itu adalah mesotrofik yang mengarah pada eutrofik.
Perubahan kecenderungan tingkat trofik Situ Sawangan-Bojongsari diduga
disebabkan oleh peningkatan aktivitas masyarakat di sekitar situ dan perubahan
penggunaan lahan di sekitar situ. Indikator lain dari eutrofikasi ialah terdapatnya
72
populasi tumbuhan air, Salvinia molesta, dalam jumlah besar yang sering
menutupi sebagian permukaan Situ Sawangan-Bojongsari.
4.5.10. Fecal Coli
Hasil pengukuran kandungan fecal coli pada air situ memperlihatkan bahwa
kandungan fecal coli telah melebihi Baku Mutu Air Kelas II berdasarkan PP No.
82 Tahun 2001 sebesar 1 000 Most Probable Number (MPN)/100 mL pada
beberapa stasiun pengambilan sampel. Kandungan fecal coli pada stasiun dekat
warung-warung Situ Sawangan adalah 2.210 MPN/100 mL, pada tengah situ
adalah 2.765 MPN/100 mL, pada inlet adalah 2.550 MPN/100 mL, dan pada
outlet adalah 2.719 MPN/100 mL. Pencemaran fecal coli diduga terjadi di bagian
situ yang berdekatan dengan saung-saung di area wisata Situ Sawangan, sebab
pada area tersebut terdapat kamar kecil/wc di tepian situ yang mana salah satu
saluran buangannya mengalir ke perairan situ. Pencemaran fecal coli juga terjadi
pada bagian inlet dan outlet situ yang merupakan tempat terakumulasinya limbah
dan buangan. Kandungan fecal coli yang tinggi pada bagian tengah situ diduga
disebabkan oleh akumulasi limbah atau buangan yang mengandung fecal coli dari
berbagai sumber sebelum akhirnya menuju outlet situ. Faktor lingkungan
eksternal, seperti tingkat presipitasi dan lokasi, serta faktor lingkungan internal,
yaitu komponen fisik-kimia air, mampu mempengaruhi kandungan dan distribusi
fecal coli di perairan. Padatan tersuspensi, suhu, pH, nutrien organik, dan nutrien
anorganik berkorelasi dengan konsentrasi fecal coli di perairan (Hong et al. 2010).
Bakteri pathogen perairan yang berasal dari pencemaran tinja manusia atau
hewan dapat dideteksi keberadaannya melalui keberadaan bakteri fecal coli
sebagai bakteri indikator (Madigan et al. 2009). Hal ini disebabkan oleh
keberadaan bakteri pathogen yang sulit untuk dideteksi dan konsentrasinya
cenderung rendah di perairan. Bakteri pathogen dapat menimbulkan penyakit atau
gangguan kesehatan secara umum pada manusia jika masuk ke dalam tubuh.
Bakteri Vibrio cholera dapat menyebabkan penyakit kolera pada manusia,
sedangkan beberapa galur (strain) dari bakteri Escherichia coli dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal dan diare berdarah (Mahin & Pancorbo
1999).
73
Kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari secara umum masih layak
untuk dimanfaatkan sebagai lokasi wisata air, namun hasil pengukuran kualitas air
pada beberapa pengamatan telah melebihi atau tidak sesuai dengan baku mutu air
yang ditetapkan. Penurunan kualitas air Situ Sawangan-Bojongsari dapat terjadi
dan prosesnya dipercepat oleh berbagai kegiatan antropogenik terhadap situ.
Kegiatan masyarakat yang berdampak negatif terhadap kualitas perairan situ
antara lain ialah pengurukan tepi atau sempadan situ menjadi lahan pertanian dan
peralihan sempadan situ menjadi lahan terbangun. Keduanya merupakan bentuk
pelanggaran terhadap Perda Kota Depok No. 18 Tahun 2003 tentang Garis
Sempadan. Selain itu, pembuangan limbah dan sampah domestik ke dalam
perairan situ juga dapat menurunkan kualitas air situ. Pemberian pakan ikan oleh
para pemilik keramba ikan di Situ Sawangan-Bojongsari dikhawatirkan juga dapat
menurunkan kualitas air situ jika dilakukan secara berlebihan.
Hal yang serupa dapat terjadi pada perairan yang menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakat di sekitarnya. Danau Ranau, Provinsi Sumatera
Selatan, yang merupakan sumber air vital bagi masyarakat lokal dan merupakan
aset pariwisata provinsi, mengalami penurunan kualitas air akibat pencemaran
limbah domestik (Zulkarnain et al. 2006). Menurut Sharma et al. (2010) kualitas
air di Danau Gundolav, India, telah menurun dari waktu ke waktu disebabkan oleh
masuknya sampah domestik, limbah rumah tangga, aliran permukaan dari
pertanian, dan limbah organik dari hewan dan manusia ke dalam perairan. Danau
Gundolav merupakan bagian dari kehidupan masyarakat setempat dalam hal
budaya, ekonomi, dan rekreasi serta mengalami tekanan akibat pertambahan
populasi penduduk. Danau Kalar Kahar, Pakistan mengalami degradasi kualitas
fisik, kimia, dan biologi perairan akibat sampah dan limbah yang berasal dari
berbagai kegiatan antropogenik, seperti kegiatan domestik, wisata, maupun
penambangan (Khan et al. 2011). Peristiwa-peristiwa tersebut tidak jauh berbeda
dengan yang terjadi di Situ Sawangan-Bojongsari yang juga menerima dampak
dari kegiatan masyarakat sekitar terhadap situ.
Hasil pengukuran total fosfat maupun klorofil-a pada perairan Situ
Sawangan-Bojongsari memberikan informasi dan menguatkan pernyataan bahwa
Situ Sawangan-Bojongsari tergolong perairan yang subur. Hampir sepanjang
74
waktu pada permukaan air situ dapat ditemui gulma air, sebagian besar berupa
tumbuhan kapu-kapu dan eceng gondok. Keberadaan gulma air tersebut dapat
mengurangi estetika perairan dan mengganggu kegiatan wisata air situ. Jika gulma
air tersebut mati, maka gulma akan mengendap pada dasar perairan dan
menyebabkan pendangkalan situ. Oleh karena itu, kondisi trofik atau kesuburan
situ perlu mendapat perhatian dari pihak pengelola agar kualitas perairan dapat
selalu terjaga dan kegiatan wisata air pada situ tidak terhambat oleh hal tersebut.
4.6. Pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari
Hasil wawancara dengan pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari
memberikan informasi mengenai karakteristik pengunjung dan persepsi
pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari. Data persepsi pengunjung mengenai Situ
Sawangan-Bojongsari sebagai kawasan wisata mencakup persepsi mengenai
kondisi situ, kondisi fasilitas penunjang di area situ, biaya berwisata, serta
pengelolaan kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari.
4.6.1. Karakteristik Pengunjung
Kondisi umum pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari dijabarkan dalam
berbagai aspek sehingga diperoleh karakteristik pengunjung Situ Sawangan-
Bojongsari (Tabel 6). Karakteristik pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari secara
umum terlihat bervariasi, meskipun ada karakter yang bersifat dominan pada
beberapa parameter tertentu. Jumlah pengunjung laki-laki hampir berimbang
dengan jumlah pengunjung perempuan, yaitu masing-masing sebesar 58,33% dan
41,67%. Hal ini menunjukkan bahwa Situ Sawangan-Bojongsari memiliki daya
tarik tidak hanya bagi kaum laki-laki, namun juga bagi kaum perempuan.
75
Tabel 6 Karakteristik pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari
ParameterJumlah pengunjung (%) Total pengunjung
Situ Sawangan Situ Bojongsari (%)
Jenis kelaminLaki-laki 16 (53,33) 19 (63,33) 35 (58,33)
Perempuan 14 (46,67) 11 (36,67) 25 (41,67)
Usia (tahun)
15 – 24 8 (26,67) 15 (50,00) 23 (38,33)
25 – 34 8 (26,67) 13 (43,33) 21 (35,00)
35 – 44 10 (33,33) 2 (6,67) 12 (20,00)
> 44 4 (13,33) 0 (0,00) 4 (6,67)
Pendidikan terakhir
SD 2 (6,67) 0 (0,00) 2 (3,33)
SMP 8 (26,67) 16 (53,33) 24 (40,00)
SMA/SMK 18 (60,00) 13 (43,33) 31 (51,67)
Tidak diketahui 2 (6,67) 1 (3,33) 2 (5,00)
Pekerjaan
PNS 1 (3,33) 0 (0,00) 1 (1,67)
Karyawan swasta 14 (46,67) 16 (53,33) 30 (50,00)
Wiraswasta 8 (26,67) 0 (0,00) 8 (13,33)
Pelajar 4 (13,33) 13 (43,33) 17 (28,33)
Lainnya 3 (10,00) 1 (3,33) 4 (6,67)
Pendapatan(Rp/bulan)
< 1 juta 9 (30,00) 15 (50,00) 24 (40,00)
1 – 2.5 juta 18 (60,00) 14 (46,67) 32 (53,33)
>2.5 juta 3 (10,00) 1 (3,33) 4 (6,67)
Tujuan kunjungan
Sekedar lewat 3 (10,00) 5 (16,67) 8 (13,33)
Wisata 26 (86,67) 20 (66,67) 46 (76,67)
Tidak tahu 0 (0,00) 5 (16,67) 5 (8,33)
Lainnya 1 (3,33) 0 (0,00) 1 (1,67)
Situ sebagai lokasiwisata
Tahu 25 (83,33) 22 (73,33) 47 (78,33)
Tidak tahu 5 (16,67) 8 (26,67) 13 (21,67)
Informasi situ
Teman 29 (96,67) 24 (80,00) 53 (88,33)
Keluarga 1 (3,33) 4 (13,33) 5 (8,33)
Lainnya 0 (0,00) 2 (6,67) 2 (3,33)
Frekuensikunjungan (dalam1 bulan)
1 – 2 kali 17 (56,67) 14 (46,67) 31 (51,67)
3 – 4 kali 5 (16,67) 1 (3,33) 6 (10,00)
Lainnya 8 (26,67) 15 (50,00) 23 (38,33)
Jarak situ daritempat tinggal (km)
<1 0 (0,00) 2 (6,67) 2 (3,33)
1 – 10 16 (53,50) 20 (66,67) 36 (60,00)
11 – 20 14 (46,67) 4 (13,33) 18 (30,00)
>20 0 (0,00) 4 (13,33) 4 (6,67)
Kegiatan di situBersantai 29 (96,67) 25 (83,33) 54 (90,00)
Bersepedaair/flying fox
1 (3,33) 5 (16,67) 6 (10,00)
Karakter pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari dapat dinilai melalui
parameter usia dan jenis pekerjaan pengunjung. Situ Sawangan-Bojongsari kerap
76
kali dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai tingkatan usia. Situ Sawangan
terlihat memiliki jumlah pengunjung yang lebih tersebar merata pada variasi usia
dibandingkan dengan Situ Bojongsari yang didominasi oleh pengunjung berusia
15-24 tahun (50%) dan 25-34 tahun (43,33%). Hal ini sesuai dengan jenis
pekerjaan pengunjung yang dominan di Situ Bojongsari, yaitu karyawan swasta
(53,33%) dan pelajar (43,33%). Situ Bojongsari terlihat memiliki jumlah
pengunjung berusia muda dan berstatus pelajar lebih banyak dibandingkan dengan
Situ Sawangan yang memiliki pengunjung dominan berstatus karyawan swasta
(46,67%) diikuti wiraswasta (26,67%). Hal ini diduga disebabkan oleh
kenyamanan yang dirasakan oleh masing-masing individu di setiap lokasi situ,
termasuk fasilitas yang ditawarkan di dalamnya, biaya berwisata, arah
kedatangan, atau daerah asal pengunjung.
Kondisi pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, dan pendapatan pengunjung
situ dapat saling dikaitkan untuk melihat bentuk karakteristik pengunjung situ.
Sebagian besar pengunjung situ memiliki riwayat pendidikan terakhir setingkat
sekolah menengah, yaitu 51,67% pengunjung adalah lulusan Sekolah Menengah
Atas/Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK) atau sederajat dan 40,00%
pengunjung merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat.
Jenis pekerjaan pengunjung situ yang dominan adalah karyawan swasta yaitu
sebanyak 50% dari total pengunjung. Data pendapatan pengunjung menunjukkan
bahwa sebanyak 53,33% pengunjung memiliki pendapatan Rp 1.000.000,00 –
2.000.000,00 per bulan, sedangkan 40% pengunjung memiliki pendapatan lebih
kecil dari Rp 1.000.000,00. Kondisi riwayat pendidikan terakhir, jenis pekerjaan,
dan jumlah pendapatan pengunjung mengindikasikan bahwa pengunjung Situ
Sawangan-Bojongsari sebagian besar berasal dari masyarakat golongan
menengah, baik golongan pendidikan menengah maupun perekonomian
menengah. Biaya yang dibutuhkan untuk berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari
memang cukup terjangkau, terutama bagi masyarakat golongan menengah ke
bawah. Hal serupa terjadi di kawasan wisata Situ Babakan, Jakarta Selatan.
Menurut Indrasti (2002) pengunjung Situ Babakan didominasi oleh masyarakat
berpendidikan menengah dengan pendapatan yang tidak terlalu besar. Situ
77
Babakan adalah tempat rekreasi dengan biaya terjangkau yang dapat didatangi
oleh masyarakat dengan karakteristik tersebut.
Tujuan berwisata menjadi tujuan yang dipilih oleh 76,67% pengunjung situ.
Hal ini menunjukkan bahwa Situ Sawangan-Bojongsari telah dikenal oleh
pengunjung sebagai salah satu destinasi wisata yang ada dalam daftar pilihan
mereka. Hal ini juga dapat dibuktikan oleh data yang menyatakan bahwa
sebanyak 78,33% responden pengunjung telah mengetahui bahwa Situ Sawangan-
Bojongsari merupakan salah satu situ yang dijadikan sebagai lokasi wisata air.
Sebanyak 83,33% pengunjung memperoleh informasi mengenai keberadaan Situ
Sawangan-Bojongsari dari teman mereka (83,33%), dan tidak ada responden yang
menyatakan memperoleh informasi tersebut dari media publikasi seperti
pamphlet, majalah, koran, dan sejenisnya. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
untuk memperkenalkan Situ Sawangan-Bojongsari kepada masyarakat luas,
termasuk potensi situ sebagai daerah tujuan wisata, masih perlu dikembangkan.
Menurut Rahman (2010) promosi suatu objek wisata perlu memuat daya tarik dan
keunikan dari objek wisata tersebut sehingga mampu mengundang wisatawan
untuk datang berkunjung. Promosi dapat dijalankan apabila komponen pariwisata
yang ada telah dibenahi, disertai dengan atraksi menarik, aksesibilitas yang mudah
dan lancar, infrastruktur yang mantap serta fasilitas penunjang pariwisata yang
dapat memenuhi kebutuhan wisatawan.
Data frekuensi kunjungan menunjukkan bahwa sebanyak 51,67%
pengunjung memiliki rutinitas untuk mengunjungi Situ Sawangan-Bojongsari
dalam waktu 1-2 kali dalam sebulan. Frekuensi kunjungan yang tidak menentu
dimiliki oleh 38,33% pengunjung yang menyatakan bahwa mereka mengunjungi
Situ Sawangan-Bojongsari jika merasa ingin saja. Kenyamanan yang dirasakan
saat berada di situ serta jarak antara situ dengan tempat tinggal yang tidak terlalu
jauh dapat menjadi alasan bagi rutinitas kunjungan maupun keinginan untuk
mengunjungi situ.
Jarak yang ditempuh oleh pengunjung dari tempat tinggal mereka menuju
situ bervariasi. Sebanyak 60% pengunjung menempuh jarak berkisar antara 1-10
km dari tempat tinggal mereka menuju situ. Hal ini memperlihatkan bahwa
pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari dominan berasal dari masyarakat yang
78
berdomisili di Kota Depok dan daerah sekitarnya, seperti Kota Tangerang Selatan
dan Kabupaten Bogor. Lokasi Situ Sawangan-Bojongsari memang cukup strategis
dan tidak terlalu jauh dari Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor.
Pengunjung Situ Bojongsari tampak lebih beragam dibandingkan dengan
pengunjung Situ Sawangan dalam hal ukuran jarak situ dengan tempat tinggal
pengunjung. Data pengunjung yang menempuh jarak lebih dari 20 km diperoleh
dari Situ Bojongsari, yaitu sebanyak 6,67% pengunjung. Hal ini disebabkan oleh
sesuatu hal yang bersifat kondisional, seperti ditemukannya beberapa pengunjung
situ yang sedang mengunjungi kerabatnya yang berdomisili di sekitar Situ
Bojongsari sehingga menyempatkan diri untuk berkunjung ke Situ Bojongsari,
atau diduga karena faktor Situ Bojongsari yang dilalui oleh jalan alternatif
sehingga dirasa lebih mudah untuk dicapai.
Adapun kegiatan yang umumnya dilakukan oleh pengunjung selama
melakukan kunjungan ke situ, baik Situ Sawangan maupun Situ Bojongsari,
adalah bersantai (90%) dan kegiatan bersepeda air atau berseluncur di udara
dengan flying fox (10%). Kegiatan bersantai yang dimaksudkan adalah menikmati
keindahan alam dari tepian situ seperti bersantai di saung-saung tepi situ.
Kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung selain bersantai yaitu bersepeda air
serta menaiki wahana flying fox tergolong rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurangnya jumlah armada fasilitas wisata air, kondisi fasilitas yang kurang baik,
atau kurang bervariasinya jenis fasilitas wisata air yang ada.
4.6.2. Persepsi Pengunjung terhadap Kondisi Situ Sawangan-Bojongsari
Persepsi seseorang akan kawasan wisata yang dikunjunginya tentu akan
mempengaruhi motivasi orang tersebut untuk kembali mengunjungi tempat
tersebut atau tidak. Data persepsi pengunjung dapat digunakan untuk
menggambarkan permasalahan yang ada di suatu kawasan wisata maupun potensi
yang dimiliki oleh kawasan wisata tersebut.
4.6.2.1. Persepsi pengunjung mengenai kondisi umum Situ Sawangan-Bojongsari sebagai kawasan wisata air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53,33% pengunjung menyatakan
kondisi jalan menuju Situ Sawangan-Bojongsari cukup baik dan 51,67%
79
pengunjung menyatakan merasa mudah untuk mencapai Situ Sawangan-
Bojongsari (Tabel 7). Persepsi tersebut dapat terbentuk atas dasar kondisi akses
menuju Situ Sawangan-Bojongsari saat ini. Jalan menuju situ memang hampir
seluruhnya berada dalam kondisi beraspal, namun telah mengalami kerusakan
atau bahkan belum beraspal pada beberapa bagian. Betonisasi hanya dilakukan
pada sebagian Jalan Abdul Wahab yang menuju situ oleh Dinas Bimasda Kota
Depok pada tahun 2011. Oleh karena itu, peningkatan kualitas jalan menuju situ
masih perlu dilakukan. Lokasi Situ Sawangan-Bojongsari tidak jauh dari jalan
raya utama dan mudah dicapai baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan
umum.
Tabel 7 Persepsi pengunjung mengenai kondisi Situ Sawangan-Bojongsarisebagai kawasan wisata air
ParameterJumlah pengunjung (%) Total
pengunjung(%)Situ Sawangan Situ Bojongsari
Kondisi jalan menujusitu
Buruk 5 (16,67) 11 (36,67) 16 (26,67)
Cukup baik 19 (63,33) 13 (43,33) 32 (53,33)
Baik 6 (20,00) 6 (20,00) 12 (20,00)
Kemudahan mencapaisitu
Sulit 0 (0,00) 1 (3,33) 1 (1,67)
Cukup mudah 14 (46,67) 14 (46,67) 28 (46,67)
Mudah 16 (53,33) 15 (50,00) 31 (51,67)
Keindahan alam
Buruk 1 (3,33) 0 (0,00) 1 (1,67)
Cukup indah 22 (73,33) 15 (50,00) 37 (61,67)
Indah 7 (23,33) 15 (50,00) 22 (36,67)
Kebersihan lokasi Kotor 5 (16,67) 4 (13,33) 9 (15,00)
Cukup bersih 15 (50,00) 18 (60,00) 33 (55,00)
Bersih 10 (33,33) 8 (26,67) 18 (30,00)
KenyamananCukup nyaman 14 (46,67) 18 (60,00) 32 (53,33)
Nyaman 16 (53,33) 12 (40,00) 28 (46,67)
Kualitas air mendukungsitu sebagai kawasanwisata air
Tidak setuju 1 (3,33) 0 (0,00) 1 (1,67)
Kurang setuju 4 (13,33) 6 (20,00) 10 (16,67)
Setuju 25 (83,33) 24 (80,00) 49 (81,67)
Keanekaragaman floradan fauna di situmendukung situ sebagaikawasan wisata
Tidak setuju 2 (6,67) 2 (6,67) 4 (6,67)
Kurang setuju 3 (10,00) 5 (16,67) 8 (13,33)
Setuju 25 (83,33) 23 (76,67) 48 (80,00)
80
Aksesibilitas kawasan wisata merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi keinginan seseorang untuk mengunjungi suatu kawasan wisata.
Menurut Khan et al. (1993) aksesibilitas adalah salah satu elemen yang dimiliki
oleh tempat tujuan wisata untuk membentuk faktor penarik pengunjung.
Aksesibilitas dapat meliputi jaringan angkutan, jaringan jalan, dan jaringan
pelayanan (Warpani & Warpani 2007). Akses yang mudah, aman, dan nyaman
menuju kawasan wisata tentu merupakan hal yang diharapkan dari pengunjung.
Persentase jumlah pengunjung yang menyatakan bahwa Situ Sawangan-
Bojongsari memiliki panorama alam yang cukup indah adalah 61,67%. Dari segi
kebersihan situ, hanya 55% pengunjung yang menyatakan bahwa lokasi situ
berada dalam kondisi cukup bersih. Pengunjung Situ Sawangan-Bojongsari
menyatakan senang merasakan udara sejuk di sekitar situ dan menikmati
pemandangan Situ Sawangan-Bojongsari yang tergolong masih alami. Pepohonan
yang tumbuh cukup rimbun di sempadan situ memberikan kesan sejuk dan juga
nyaman dipandang mata. Hal inilah yang mendasari 53,33% pengunjung
menyatakan bahwa mereka merasa cukup nyaman selama berada di Situ
Sawangan-Bojongsari. Meskipun sebagian besar pengunjung berpendapat bahwa
kondisi lokasi Situ Sawangan-Bojongsari telah cukup bersih, namun kondisi
kebersihan tersebut tetap perlu dibenahi. Sampah yang dibuang tidak pada
tempatnya masih dapat ditemukan di area wisata Situ Sawangan-Bojongsari, baik
dibuang ke perairan situ maupun ke sempadan situ.
Persepsi pengunjung terhadap parameter keindahan alam dan kebersihan
lokasi dapat menjadi indikator bagi tingkat kenyamanan pengunjung selama
berada di Situ Sawangan-Bojongsari. Suasana dan kondisi kawasan wisata
(termasuk keindahan alam, kondisinya terawat atau tidak) serta faktor kebersihan
terbukti berperan dalam menentukan tingkat kepuasan pengunjung selama berada
di suatu kawasan wisata (Putri et al. 2008). Kontribusi masing-masing faktor
tersebut terhadap tingkat kepuasan pengunjung berbeda-beda untuk setiap
kawasan wisata, sebab setiap kawasan wisata memiliki karakteristik tersendiri.
Kondisi kualitas air dan keanekaragaman flora dan fauna yang ada di situ
dapat mempengaruhi perkembangan pariwisata di Situ Sawangan-Bojongsari.
Sebanyak 81,67% dari total pengunjung situ menyatakan setuju bahwa kualitas air
81
Situ Sawangan-Bojongsari telah mendukung situ sebagai kawasan wisata air. Hal
ini didasari oleh penampakan kondisi perairan situ yang luas dan airnya cukup
terbebas dari sampah dan limbah, sehingga tidak berbau dan mengganggu
kenyamanan pengunjung situ. Sebanyak 80% pengunjung setuju bahwa
keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat di Situ Sawangan-Bojongsari telah
mendukung situ tersebut sebagai kawasan wisata. Pengunjung merasa senang
dengan kesejukan yang ditimbulkan oleh keberadaan pepohonan di sekitar area
situ. Keragaman jenis biota perairan Situ Sawangan-Bojongsari pun telah cukup
dikenal masyarakat, terutama bagi pecinta kegiatan memancing. Berbagai jenis
ikan dapat ditemukan di Situ Sawangan-Bojongsari, antara lain ikan mas, nilem,
mujair, nila, dan lain sebagainya. Selain itu, pengunjung juga kerap kali
disuguhkan pemandangan berupa anak-anak kecil atau masyarakat sekitar situ
yang sibuk menyelam mencari udang/lobster air tawar dan belut. Kualitas air situ
yang baik serta keanekaragaman flora dan fauna dapat menjadi daya tarik wisata
situ bagi pengunjung.
Persepsi pengunjung terhadap kondisi Situ Sawangan-Bojongsari sebagai
kawasan wisata air secara umum telah cukup baik, namun kondisi kebersihan
lokasi situ dan kualitas air situ perlu mendapat perhatian khusus dalam hal ini.
Kebersihan lokasi situ akan menentukan kenyamanan pengunjung Situ Sawangan-
Bojongsari. Kebersihan lokasi situ juga dapat mempengaruhi kualitas air situ.
Kualitas air situ dianggap masih layak untuk mendukung kegiatan wisata air. Hal
ini perlu dipertahankan, seiring dengan upaya peningkatan kualitas kebersihan
lokasi Situ Sawangan-Bojongsari. Baik pihak pengelola maupun pengunjung
perlu memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan lokasi situ, jangan
sampai kegiatan wisata justru menurunkan kualitas lingkungan situ.
4.6.2.2. Persepsi pengunjung mengenai fasilitas di Situ Sawangan-Bojongsari
Persepsi pengunjung mengenai fasilitas wisata air dan kebersihan di Situ
Sawangan-Bojongsari menunjukkan bahwa masih perlu ada peningkatan kondisi
fasilitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Fasilitas penunjang kegiatan
wisata air dirasakan kurang lengkap oleh 73,33% pengunjung (Tabel 8).
Meskipun begitu, sebanyak 56,67% pengunjung menyatakan fasilitas penunjang
wisata air tersebut berada dalam kondisi cukup baik. Hal yang serupa terjadi pada
82
kondisi fasilitas kebersihan di Situ Sawangan-Bojongsari. Fasilitas kebersihan
dirasakan kurang lengkap, namun kondisinya cukup baik. Hal ini dinyatakan
masing-masing oleh 68,33% dan 63,33% pengunjung.
Tabel 8 Persepsi pengunjung mengenai fasilitas di Situ Sawangan-Bojongsari
ParameterJumlah pengunjung (%) Total
pengunjung(%)Situ Sawangan Situ Bojongsari
Fasilitas penunjangwisata air
Kurang lengkap 23 (76,67) 21 (70,00) 44 (73,33)
Cukup lengkap 6 (20,00) 5 (16,67) 11 (18,33)
Lengkap 1 (3,33) 4 (13,33) 5 (8,33)
Kondisi fasilitaspenunjang wisata air
Buruk 4 (13,33) 3 (10,00) 7 (11,67)
Cukup baik 15 (50,00) 19 (63,33) 34 (56,67)
Baik 11 (36,67) 8 (26,67) 19 (31,67)
Fasilitas kebersihanKurang lengkap 22 (73,33) 19 (63,33) 41 (68,33)
Cukup lengkap 8 (26,67) 7 (23,33) 15 (25,00)
Lengkap 0 (0,00) 4 (13,33) 4 (6,67)
Kondisi fasilitaskebersihan
Buruk 3 (10,00) 4 (13,33) 7 (11,67)
Cukup baik 18 (60,00) 20 (66,67) 38 (63,33)
Baik 9 (30,00) 6 (20,00) 25 (25,00)
Hal yang mendasari persepsi pengunjung terhadap fasilitas penunjang wisata
air dapat dilihat langsung dari kondisi fasilitas tersebut di Situ Sawangan-
Bojongsari. Sejumlah armada sepeda air Situ Sawangan sudah tidak digunakan
karena rusak, padahal pengadaan fasilitas sepeda air tersebut baru berusia sekitar
satu tahun. Perawatan yang minim dari pihak pengelola fasilitas sepeda air diduga
sebagai penyebabnya. Kondisi serupa juga terjadi pada fasilitas flying fox di Situ
Sawangan yang tampak kurang terawat. Hal ini tentu sangat disayangkan ketika
fasilitas tersebut menjadi tidak dapat termanfaatkan secara maksimal. Hal yang
berbeda ditemukan di Situ Bojongsari yang justru mengalami kekurangan armada
fasilitas sepeda air.
Fasilitas kebersihan pun mengalami kondisi yang serupa. Kondisi kamar
kecil/WC yang ada cukup memprihatinkan dan terkesan tidak terawat. Belum lagi
sering tidak tersedia cukup air bersih yang dapat digunakan oleh pengunjung di
dalam kamar kecil/WC tersebut. Selain itu, terdapat lubang besar yang
dimanfaatkan oleh para pemilik warung sebagai tempat pembuangan sampah, baik
sampah berupa dedaunan maupun sampah hasil aktivitas wisata pengunjung, di
83
area wisata Situ Sawangan (Gambar 11). Tempat pembuangan sampah tersebut
menyebabkan berkurangnya estetika area wisata situ dan tidak menutup
kemungkinan dapat menimbulkan kerugian lainnya, seperti bau yang tidak sedap
ataupun berkembangnya bibit penyakit.
Menurut Azkha (2007) terdapat beberapa prasarana dasar yang termasuk ke
dalam ruang lingkup pariwisata sehat yaitu :
a. Tersedia sarana air bersih yang terjamin jumlah maupun kualitasnya.
b. Tersedia kamar mandi/WC yang bersih, tidak berbau, cukup air, dan cukup
cahaya serta mencukupi untuk jumlah pengunjung.
c. Terdapat Tempat Pembuangan Sampah sementara yang bersih dan tertutup
setiap jarak 100 m, dan dapat dilengkapi dengan papan himbauan agar setiap
orang membuang sampah pada tempatnya.
d. Terdapat saluran pembuangan yang bersih dan mengalir.
Kebersihan lingkungan sangat berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Pembuangan dan penanganan sampah yang tidak tepat akan mengurangi
kebersihan, kesehatan, dan estetika lingkungan. Limbah cair domestik yang
berasal dari kamar mandi/WC, pencucian, dan dapur dapat menimbulkan
pencemaran air, baik air tanah, sumur, atau air permukaan. Tidak tersedianya
tempat pengelolaan sampah, kurang baiknya sarana sanitasi seperti kamar
mandi/WC, dan saluran air yang tidak baik juga dapat mengurangi kebersihan di
kawasan wisata. Berbagai kondisi fisik tersebut dapat memicu lingkungan
Gambar 11 Tempat pembuangan sampah di area wisata Situ Sawangan.
84
biologis untuk memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan. Virus, bakteri,
cacing, dan parasit lainnya dapat menimbulkan penyakit. Begitu juga dengan
hewan seperti nyamuk, lalat, tikus, dan lain sebagainya dapat berperan sebagai
perantara penyakit menular.
Peningkatan kondisi fasilitas penunjang wisata air perlu dilakukan oleh
pengelola Situ Sawangan-Bojongsari. Pengelola wisata Situ Sawangan-Bojongsari
perlu untuk menambah jumlah dan jenis fasilitas wisata air yang ditawarkan,
selain itu perawatan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut juga perlu dilakukan..
Adapun fasilitas wisata yang diharapkan oleh pengunjung dapat tersedia di Situ
Sawangan-Bojongsari adalah permainan anak-anak, taman, flying fox (untuk Situ
Bojongsari), perahu, serta lahan parkir yang lebih luas dan teratur. Perbaikan
terhadap kondisi fasilitas kebersihan Situ Sawangan-Bojongsari juga perlu
dilakukan. Pengunjung mengharapkan ada perbaikan pada kondisi kamar
kecil/WC yang disediakan di area situ dan penambahan jumlah tempat sampah
yang disediakan di beberapa sudut area wisata.
Kondisi fasilitas penunjang wisata dan kebersihan merupakan faktor penting
di dalam pengembangan wisata suatu area. Keragaman jenis atraksi wisata yang
ditawarkan akan menarik keinginan masyarakat untuk mengunjungi area wisata
tersebut. Selain itu, kondisi fasilitas wisata juga perlu diperhatikan sebab faktor
kenyamanan dan keamanan pengunjung adalah yang terpenting. Kebersihan
lingkungan kawasan wisata sangat penting untuk diperhatikan dan dijaga oleh
segenap pihak yang bersentuhan dengan kawasan tersebut. Kondisi fasilitas
kebersihan yang ada mencerminkan sistem pengelolaan kawasan wisata. Fasilitas
kebersihan yang ada diharapkan memperhatikan aspek kesehatan pengunjung dan
sanitasi lingkungan.
4.6.2.3. Persepsi pengunjung mengenai keberadaan gulma air dan kerambaikan di Situ Sawangan-Bojongsari
Gulma air dan keramba ikan yang terdapat di Situ Sawangan-Bojongsari
perlu mendapat perhatian yang cukup serius. Keberadaan gulma air dan keramba
ikan dapat mengurangi nilai estetika situ. Selain itu, ledakan populasi gulma air
juga dapat menjadi indikasi bahwa telah terjadi peristiwa pengayaan unsur hara
pada perairan (Gambar 12). Jumlah keramba ikan di Situ Sawangan-Bojongsari
85
tidak terlalu banyak, tetapi keberadaannya tetap harus diwaspadai terutama dalam
hal penggunaan pakan ikan. Keramba ikan yang telah tidak digunakan namun
dibiarkan terbengkalai begitu saja sangat mengganggu pemandangan dan dapat
menurunkan nilai estetika situ (Gambar 13). Kedua peristiwa tersebut tentu akan
mempengaruhi pemanfaatan dan pengembangan Situ Sawangan-Bojongsari
sebagai kawasan wisata air.
Persepsi pengunjung terhadap keberadaan gulma air dan keramba ikan
menyiratkan bahwa perlu ada pengawasan terhadap hal-hal yang dapat
mengurangi estetika situ. Pendapat setuju dikemukakan oleh 63,33% pengunjung
terhadap pernyataan bahwa ledakan populasi gulma air, seperti kapu-kapu dan
eceng gondok, dapat mengurangi keindahan situ (Tabel 9). Alasannya adalah situ
menjadi terlihat kotor dan tidak terawat jika permukaannya tertutupi oleh gulma
air. Namun, sebanyak 10% responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan
tersebut. Tumbuhan kapu-kapu atau eceng gondok dianggap justru dapat
menambah keindahan situ sebab menambah nuansa hijau dan segar pada situ.
Pendapat serupa ditemukan pada perihal keberadaan keramba ikan di Situ
Sawangan-Bojongsari. Sebanyak 61,67% pengunjung menyatakan setuju bahwa
keberadaan keramba ikan di Situ Sawangan-Bojongsari dapat mengurangi
keindahan situ. Hal ini diiringi dengan pernyataan oleh 58,33% pengunjung yang
merasa perlu untuk diadakan pengaturan lokasi dan jumlah keramba ikan di Situ
Sawangan-Bojongsari. Pengelola Situ Sawangan-Bojongsari diharapkan dapat
Gambar 12 Ledakan populasi gulma airdi Situ Sawangan.
Gambar 13 Keramba ikan yang dibiarkanterbengkalai di tepi situ.
86
menyikapi pendapat pengunjung terkait keindahan situ tersebut ke dalam bentuk
pengelolaan situ yang lebih baik.
Tabel 9 Persepsi pengunjung mengenai keberadaan gulma air dan keramba ikandi Situ Sawangan-Bojongsari
ParameterJumlah pengunjung (%)
Totalpengunjung
Situ Sawangan Situ Bojongsari (%)
Ledakan populasi gulma airmengurangi keindahan situ
Tidak setuju 3 (10,00) 3 (10,00) 6 (10,00)
Kurang setuju 11 (36,67) 5 (16,67) 16 (26,67)
Setuju 16 (53,33) 22 (73,33) 38 (63,33)
Keberadaan keramba ikanmengurangi keindahan situ
Tidak setuju 4 (13,33) 8 (26,67) 12 (20,00
Kurang setuju 7 (23,33) 4 (13,33) 11 (18,33)
Setuju 19 (63,33) 18 (60,00) 37 (61,67)
Perlu ada pengaturan lokasidan jumlah keramba ikan
Tidak perlu 5 (16,67) 11 (36,67) 16 (26,67)
Cukup perlu 6 (20,00) 3 (10,00) 9 (15,00)
Perlu 19 (63,33) 16 (53,33) 35 (58,33)
Gulma air hampir selalu menutupi permukaan air Situ Sawangan-
Bojongsari, bahkan terkadang dalam luasan yang cukup besar. Hartoto dan
Sunanisari (1989) menyebutkan bahwa ledakan populasi tumbuhan mengapung,
Salvinia molesta, telah sering terjadi di Situ Sawangan-Bojongsari, dan terkadang
menutupi sebagian besar permukaan air situ. Hal ini menunjukkan bahwa ledakan
populasi gulma air diketahui telah lama menjadi permasalahan di Situ Sawangan-
Bojongsari. Oleh sebab itu, pengelola situ tidak boleh berhenti berupaya
mengatasi permasalahan eutrofikasi ini. Eutrofikasi dapat menurunkan kualitas
lingkungan perairan situ dan mampu mengurangi keindahan situ menurut
pengunjung situ.
Penanggulangan pertumbuhan gulma air yang melimpah dapat dilakukan
dengan cara fisik, kimia, maupun biologi. Penanggulangan secara fisik dilakukan
dengan sistem pengangkatan langsung tumbuhan dari air, kemudian dibuang ke
lokasi tertentu di luar perairan situ. Cara ini adalah yang paling umum digunakan
oleh pengelola Situ Sawangan-Bojongsari. Cara ini membutuhkan pengorbanan
tenaga yang cukup besar ditambah dengan pengeluaran dana masyarakat untuk
biaya pelaksanaannya. Tumbuhan air yang sudah diangkat diletakkan di tepi situ
dan dibiarkan hingga membusuk. Pengelola Situ Sawangan mengaku bahwa
87
terkadang ada pihak yang datang untuk meminta tumbuhan tersebut untuk
kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk atau untuk kebutuhan lainnya. Menurut
Widjaja (1999) massa tumbuhan air yang melimpah tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai pakan hewan, kompos, biogas, kerajinan tangan, dan lain sebagainya,
meskipun hal ini biasanya hanya terdapat dalam skala kecil. Penanggulangan
secara kimiawi dapat dilakukan dengan zat-zat kimia penghambat pertumbuhan
atau pembasmi gulma air, namun hal ini diketahui belum pernah dilakukan di Situ
Sawangan-Bojongsari.
Menurut Pokja Situ Bojongsari penanggulangan gulma air secara biologi
sudah pernah dilakukan di Situ Sawangan-Bojongsari. Introduksi ikan herbivora
grass carp (Ctenopharyngodon idella) ke perairan Situ Sawangan-Bojongsari
pernah dilakukan untuk memangsa gulma air, namun tampaknya penanggulangan
tersebut belum berhasil untuk mengendalikan gulma air pada situ.
Penanggulangan gulma air secara biologi juga dapat dilakukan dengan
memanfaatkan serangga musuh alami gulma air. Julien et al. (2002) menyebutkan
bahwa terdapat beberapa jenis serangga yang dapat bertindak sebagai agen
pengendali hayati (biological control agent) yang merupakan musuh alami dari
tumbuhan S. molesta, yaitu Cyrtobagous salviniae, Samea multiplicalis, dan
Paulinia acuminata. Cyrtobagous salviniae terbukti berhasil mengendalikan S.
molesta di beberapa negara tropis, subtropis, bahkan beriklim sedang.
Penanggulangan permasalahan gulma air eceng gondok (Eichhornia crassipes)
pada perairan dapat dilakukan melalui introduksi agen pengendali hayati berupa
serangga Neochetina eichhorniae dan N. bruchi, pengikutsertaan masyarakat lokal
dalam upaya tersebut, serta melalui program-program edukasi kepada masyarakat
(Nang’alelwa 2008).
Keberadaan keramba ikan dapat memberikan dampak negatif terhadap
kualitas perairan situ, bahkan terhadap perekonomian, ketika tidak ditangani
dengan teknik pengelolaan yang baik. Kasus kematian ikan yang dipelihara di
keramba jaring apung (KJA) secara massal pernah terjadi di Danau Maninjau
pada tahun 1997 dan tahun 2009 (Pusat Penelitian Limnologi-LIPI 2009).
Kematian ikan tersebut disebabkan oleh naiknya kolom air lapisan bawah yang
miskin oksigen dan mengandung senyawa toksik seperti H2S, NO2, dan NH3 ke
88
lapisan atas (upwelling). Penumpukan bahan organik pada dasar danau berasal
dari sisa pakan dari aktivitas pemeliharaan ikan di KJA. Jumlah KJA yang ada di
Danau Maninjau pada saat itu mencapai sekitar 15.000 unit dan telah melebihi
daya dukung KJA yang hanya sebanyak 6.500 unit. Pengembangan KJA secara
terus-menerus tanpa memperhatikan daya dukung perairan sudah jelas tidak hanya
berdampak buruk bagi kualitas perairan, tetapi juga dapat menimbulkan kerugian
dari segi ekonomi.
Kematian ikan secara massal juga diberitakan pernah terjadi pada keramba-
keramba ikan di Situ Rawa Besar, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok pada
tahun 2004 (Anonim 2004). Hal tersebut disebabkan salah satunya oleh
perputaran lapisan air akibat turunnya hujan sehingga lapisan dasar perairan yang
mengandung banyak endapan sisa pakan ikan naik ke atas. Ikan-ikan tersebut
diduga mati akibat kadar oksigen yang rendah pada air situ. Pembongkaran
terhadap kurang lebih 1.500 keramba ikan di Situ Rawa Besar dilakukan pada
tahun 2008 (Virdhani 2008), namun diketahui bahwa keramba-keramba ikan di
situ tersebut kini telah mulai bermunculan kembali dengan jumlah kurang lebih 50
unit (LSM Dewa Kota Depok 2011). Peristiwa-peristiwa seperti yang diuraikan di
atas adalah hal yang ingin dihindari oleh Pemerintah Kota Depok, seperti yang
disampaikan oleh pihak Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok.
Hasil wawancara dengan responden pakar memberikan informasi bahwa
pengembangan keramba ikan di situ-situ di Kota Depok merupakan satu bentuk
pelanggaran terhadap Perda Kota Depok Nomor 14 tahun 2001 tentang Ketertiban
Umum. Namun, jika melihat kepada isi dari peraturan itu sendiri, hanya
ditemukan bagian yang mengatur ketertiban umum pada sungai, saluran, dan
kolam dan tidak ada bagian yang menyebutkan atau menyiratkan bahwa dilarang
mendirikan keramba ikan pada situ-situ di Kota Depok. Meskipun Pemerintah
Kota Depok berpendapat bahwa keberadaan keramba ikan pada situ telah
dilarang, di dalam Peraturan Kota Depok Nomor 22 tahun 2003 tentang Izin
Usaha Perikanan, Peternakan, dan Pemotongan Hewan justru disebutkan bahwa
usaha perikanan diperbolehkan dengan aturan sebagai berikut:
1. Usaha perikanan dapat diselenggarakan dalam bentuk: a) Usaha perseorangan;
b) Usaha kelompok; c) Perusahaan/Badan (Pasal 2 ayat (1)).
89
2. Usaha perikanan terdiri atas: a) Usaha pembudidayaan ikan di air tawar; b)
Usaha pemasaran/penampungan hasil-hasil perikanan; c) Usaha pengolahan
ikan (Pasal 2 ayat (2)).
3. Setiap penyelenggara usaha perikanan wajib memiliki izin Usaha Perikanan
dari Walikota atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 3 ayat (1)).
4. Izin Usaha Perikanan tidak diperlukan bagi:
Usaha pembudidayaan ikan pada keramba jaring apung tidak lebih dari 4 unit
(1 unit = 7x7x2,5 m3), keramba tidak lebih dari 50 buah (1 buah = 4x2 m2)
(Pasal 3 ayat (2) butir d).
Pemerintah Kota Depok perlu memperjelas dan mensosialisasikan aturan
mengenai KJA ini kepada masyarakat. Jangan sampai terjadi kesalahpahaman
atau penghilangan hak masyarakat akibat kerancuan aturan tersebut.
Dalam pengembangan KJA diperlukan perhatian terhadap beberapa faktor
penting. Menurut Nurhakim (2004) faktor yang harus dipertimbangkan dalam
penentuan lokasi penempatan KJA pada situ adalah: 1) kualitas air yang
mendukung kehidupan ikan; 2) faktor kedalaman dan tata ruang perairan situ
berkaitan dengan rencana pengembangan situ yang akan dilakukan; 3) pola aliran
air dan kecepatan arus air; dan 4) Jumlah KJA maksimal yang dapat ditampung
oleh lokasi yang dipilih (daya dukung untuk KJA). Usaha budidaya ikan dengan
sistem KJA membutuhkan kedalaman air minimum 4-5 m dan kecepatan arus di
lokasi keramba tidak kurang dari 5-10 m/detik (Suyanto 1999). Saputra (1988)
dalam Ismane (2002) menyebutkan bahwa usaha budidaya ikan dalam KJA perlu
mempertimbangkan aspek ekologi, biologi, dan ekonomi. Aspek ekologi
berkaitan dengan kualitas air yang merupakan lingkungan hidup bagi ikan. Aspek
biologi berhubungan dengan pemilihan benih yang baik dari sisi genetik dan
fisiologi sehingga memiliki pertumbuhan yang baik. Pertimbangan ekonomi
berhubungan dengan usaha menekan biaya produksi, perhitungan biaya investasi,
pemilihan jenis usaha, dan perkiraan keuntungan usaha.
Penertiban keramba ikan membutuhkan kehati-hatian dalam
pelaksanaannya. Keramba ikan merupakan salah satu sumber pendapatan bagi
segelintir warga masyarakat meskipun persepsi sebagian besar pengunjung
menyatakan keberadaan keramba ikan dapat mengurangi keindahan situ.
90
Informasi yang diperoleh dari Forum Pokja Situ menyebutkan bahwa penertiban
dapat dilakukan pada situ yang akan dikembangkan secara serius menjadi
kawasan wisata air di Kota Depok. Namun, pelaksanaan hal tersebut sebaiknya
mempertimbangkan kepentingan masyarakat pemilik keramba. Uang ganti rugi
dapat diberikan jika memang keramba ikan milik warga masyarakat akan
dibenahi, tentunya berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak pengelola
dengan warga. Ketegasan dari pihak pengelola dibutuhkan dalam hal ini, termasuk
terhadap keramba-keramba yang sudah tidak digunakan.
Pengaturan lokasi dan jumlah keramba ikan dapat menjadi salah satu
alternatif dalam upaya penertiban keramba ikan pada situ agar tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap kelestarian situ. Hal ini dapat diwujudkan melalui
penerapan sistem zonasi situ. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan
potensi sumberdaya, daya dukung, dan proses-proses ekologis (KLH 2011).
Pedoman zonasi ekosistem situ memang belum tersedia hingga saat ini. Namun,
tidak ada salahnya jika hal tersebut mulai dikembangkan dari sekarang,
mengingat pentingnya pemanfaatan situ yang berkelanjutan. Penetapan zonasi situ
akan mempertimbangkan kajian-kajian aspek ekologi, sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat. Nurhakim (2004) memberikan beberapa bentuk strategi
pengelolaan keramba jaring apung (KJA) yang dapat dilakukan untuk mendukung
Situ Babakan sebagai kawasan wisata, yaitu melalui perbaikan pengelolaan
budidaya ikan, pembentukan kelembagaan petani ikan, dan pembagian perairan
Situ Babakan ke dalam dua zona, yaitu zona rekreasi dan zona budidaya (KJA).
Jumlah keramba ikan di Situ Sawangan-Bojongsari tidak sebanyak keramba ikan
di Situ Babakan, namun pembagian perairan menjadi beberapa zona juga dapat
diterapkan di Situ Sawangan-Bojongsari. Pemanfaatan perairan Situ Sawangan-
Bojongsari meliputi wisata air, keramba ikan, pemancingan, penangkapan ikan,
dan pertanian.
4.6.3. Persepsi Pengunjung terhadap Biaya Berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari
Persepsi pengunjung terhadap jumlah biaya yang harus dikeluarkan selama
berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari disajikan pada Tabel 10. Jumlah
91
pengunjung yang menyatakan biaya berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari
adalah murah (38,33%) hampir imbang dengan jumlah pengunjung yang
berpendapat bahwa biaya berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari adalah sedang
atau cukup terjangkau (36,67%). Namun, ada juga responden yang menyatakan
bahwa biaya berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari adalah sangat murah, yaitu
sebanyak 25% dari total responden pengunjung. Tidak ada responden yang
berpendapat bahwa biaya berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari adalah mahal
atau sangat mahal. Baik pengelola Situ Sawangan maupun Situ Bojongsari
memang tidak menetapkan biaya masuk yang tinggi, bahkan Situ Bojongsari tidak
menetapkan adanya biaya masuk situ.
Tabel 10 Persepsi pengunjung mengenai biaya berwisata di Situ Sawangan-Bojongsari
ParameterJumlah pengunjung (%) Total
pengunjung(%)Situ Sawangan Situ Bojongsari
Biaya berwisata/berekreasidi situ
Sangat murah 4 (13,33) 11 (36,67) 15 (25,00)
Murah 12 (40,00) 11 (36,67) 23 (38,33)
Sedang 14 (46,67) 8 (26,67) 22 (36,67)
4.6.4. Persepsi Pengunjung terhadap Pengelolaan Kualitas Perairan SituSawangan-Bojongsari
Persepsi pengunjung terhadap berbagai hal terkait kondisi situ maupun
wisata air situ pada akhirnya membentuk suatu persepsi mengenai kepentingan
pengelolaan kualitas perairan di Situ Sawangan-Bojongsari. Tabel 11
memperlihatkan bahwa 95% pengunjung setuju jika akan dilakukan pengelolaan
kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari. Berbagai alasan diberikan oleh
responden, diantaranya adalah agar situ tampak lebih indah dan rapi serta untuk
mendukung situ sebagai kawasan wisata. Namun ternyata, sejumlah 5%
pengunjung menyatakan tidak setuju jika diadakan pengelolaan kualitas perairan
Situ Sawangan-Bojongsari. Adapun alasan yang diutarakan oleh sebagian kecil
responden pengunjung tersebut yaitu pengelolaan situ justru dianggap akan
mengurangi kealamian Situ Sawangan-Bojongsari.
92
Tabel 11 Persepsi pengunjung mengenai akan dilakukannya pengelolaan kualitasperairan Situ Sawangan-Bojongsari
ParameterJumlah pengunjung (%) Total
pengunjung(%)Situ Sawangan Situ Bojongsari
Dilakukan pengelolaankualitas perairan SituSawangan-Bojongsari
Tidak setuju 0 (0,00) 3 (10,00) 3 (5,00)
Setuju 30 (100,00) 27 (90,00) 57 (95,00)
Data persepsi pengunjung yang telah dijabarkan dapat dijadikan sebagai
bahan evaluasi untuk pengelolaan situ dan wisata air situ yang telah berjalan
selama ini, bahkan menjadi bahan acuan untuk pengembangan pemanfaatan situ,
terutama situ sebagai kawasan wisata air. Upaya peningkatan perlu dilakukan
terhadap parameter kondisi jalan menuju situ, kebersihan lokasi situ, fasilitas
penunjang wisata air, dan fasilitas kebersihan. Kualitas perairan situ yang
dirasakan telah cukup baik untuk mendukung situ sebagai kawasan wisata air
perlu dijaga melalui serangkaian kegiatan pengelolaan kualitas perairan situ.
Permasalahan gulma air dan keramba ikan pada situ juga diharapkan dapat diatasi
melalui hal tersebut.
Situ Sawangan-Bojongsari sebagai suatu kawasan wisata berbasiskan alam
dapat dikelola dengan konsep ekowisata. Ekowisata sebagai pendekatan
pengembangan merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
pariwisata secara ramah lingkungan (Damanik & Weber 2006). Beeton (2000)
menyatakan bahwa terdapat tiga elemen utama di dalam ekowisata yaitu
ekowisata adalah berbasiskan alam, bersifat edukatif (edukasi mengenai
lingkungan), dan dikelola dengan cara-cara berkelanjutan. Persepsi pengunjung
terhadap kondisi situ dan pengembangan wisata air situ secara tidak langsung
menunjukkan tingkat kepedulian dan pengetahuan pengunjung mengenai
lingkungan perairan situ. Sebagai contoh, pengunjung memandang tumbuhan air
sebagai komponen penambah keindahan situ tanpa mengetahui kerugian yang
dapat ditimbulkan dari ledakan populasi tumbuhan air tersebut, atau pengunjung
menganggap pengelolaan kualitas perairan justru dapat merusak kealamian situ
dan bukan justru menambah nilai manfaat situ. Ada baiknya jika pihak pengelola
berusaha memasukkan nilai-nilai pendidikan lingkungan perairan situ ke dalam
kegiatan wisata air yang mereka jalankan, sehingga pengunjung dapat
93
memperoleh pengetahuan mengenai lingkungan perairan situ. Hal selanjutnya
yang diharapkan akan timbul yaitu keinginan pengunjung untuk ikut serta dalam
pelestarian situ. Edukasi mengenai lingkungan perairan situ dapat diwujudkan
antara lain dengan cara-cara sederhana seperti pemberian informasi mengenai
fungsi dan manfaat situ atau keanekaragaman hayati pada situ melalui papan
informasi yang disediakan oleh pihak pengelola atau bisa juga melalui pemberian
contoh tindakan cinta lingkungan oleh pengelola situ kepada para pengunjung.
4.7. Masyarakat Sekitar Situ Sawangan-Bojongsari
Data mengenai masyarakat sekitar Situ Sawangan-Bojongsari meliputi data
karakteristik masyarakat, tingkat pengetahuan masyarakat tentang situ dan
pengembangan wisata air, persepsi masyarakat tentang Situ Sawangan-Bojongsari
sebagai kawasan wisata air, dan kesediaan masyarakat dalam pengelolaan situ dan
pengembangan Situ Sawangan-Bojongsari sebagai kawasan wisata air.
Masyarakat sekitar situ yang dimaksud adalah masyarakat yang biasa melakukan
aktivitas kesehariannya di area Situ Sawangan-Bojongsari. Penelitian terhadap
berbagai parameter tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
kondisi masyarakat di sekitar Situ Sawangan-Bojongsari.
4.7.1. Karakteristik Masyarakat Sekitar Situ Sawangan-Bojongsari
Masyarakat yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini sebagian
besar terdiri dari warga Kelurahan Sawangan Lama dan Kelurahan Bojongsari
Lama, dan hanya beberapa yang merupakan warga daerah-daerah lain di sekitar
Sawangan dan Bojongsari, seperti Kelurahan Kedaung atau Kelurahan Cinangka.
Jumlah warga masyarakat yang diamati adalah 53 orang, terdiri dari 62,26% laki-
laki dan 37,74% perempuan (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa warga
masyarakat yang lebih sering beraktivitas di sekitar Situ Sawangan-Bojongsari
berasal dari kaum laki-laki. Variasi kegiatan masyarakat yang biasa dilakukan di
sekitar situ yaitu memancing, menjala ikan, berjualan makanan dan minuman,
atau sekedar berkumpul dan mengobrol. Anggota-anggota Pokja Situ yang
bertanggung jawab terhadap kegiatan wisata air situ juga berada di dalam
kelompok masyarakat tersebut.
94
Tabel 12 Karakteristik masyarakat yang biasa beraktivitas di sekitar SituSawangan-Bojongsari.
Karakteristik Jumlah warga (%)
Jenis kelaminLaki-laki 33 (62,26)
Perempuan 20 (37,74)
Pendidikan terakhir
SD 5 (9,43)
SMP 15 (28,30)
SMA/SMK 29 (54,72)
Diploma 1 (1,89)
S1 3 (5,66)
Pekerjaan
PNS 1 (1,89)
Karyawan swasta 8 (15,09)
Wirausaha/pedagang 21 (39,62)
Pelajar 6 (11,32)
Buruh 2 (3,77)
Lainnya 15 (28,30)
Penghasilan(Rp/bulan)
<1 juta 35 (66,04)
1 – 2.5 juta 11 (20,75)
>2.5 juta 1 (1,890
Tidak tentu 6 (11,320
Usia (tahun)
15 – 24 21 (39,620
25 – 34 7 (13,210
35 – 44 18 (33,960
44< 7 (13,210
Lama menetap (tahun)
<1 1 (1,809
1 – 3 2 (3,707
>3 50 (94,304
Jarak tempat tinggal-situ(m)
<50 15 (28,300
50 – 200 15 (28,300
>200 23 (43,40)
Manfaat situ
Sumber penghasilan 21 (39,620
Lokasi wisata 11 (20,75)
Udara sejuk 12 (22,640
Sumber air 9 (16,98)
Masyarakat sekitar situ tergolong ke dalam masyarakat berpendidikan
menengah. Hal ini dibuktikan dengan persentase jumlah anggota masyarakat yang
menempuh pendidikan terakhir SMA/SMK atau sederajat adalah sebesar 54,72%,
kemudian diikuti dengan masyarakat dengan tingkat pendidikan SMP atau
95
sederajat sebanyak 28,30%. Hal ini sesuai dengan data BPS Kota Depok untuk
persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di
Kota Depok pada tahun 2010 yaitu penduduk dengan ijazah tertinggi
SMA/MA/sederajat adalah yang tertinggi dengan persentase 23,79%, diikuti
dengan ijazah tertinggi SLYP/MTs/sederajat dan SD/MI/sederajat masing-masing
sebesar 18,18% (BPS Kota Depok 2011).
Mayoritas pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat sekitar situ adalah
sebagai wirausahawan atau pedagang, yaitu oleh sebesar 39,62% warga. Sebagian
besar dari mereka memiliki warung yang menyediakan makanan dan minuman
bagi pengunjung di lokasi wisata situ, sedangkan sisanya memiliki usaha di luar
wilayah situ. Cukup banyak warga masyarakat Sawangan memilih untuk
berdagang dengan cara membuka warung kecil ataupun warung makan di tepi
Situ Sawangan. Hal ini dapat dilakukan karena Situ Sawangan memiliki area
sempadan situ yang luas, sehingga masyarakat pun melihat peluang ekonomi dari
keberadaan Situ Sawangan, terutama setelah kegiatan wisata air situ berkembang.
Responden yang termasuk ke dalam kategori lainnya terdiri dari warga
masyarakat yang menganggur, ibu rumah tangga, atau tidak memiliki perkerjaan
tetap. Kategori lainnya diisi oleh sebanyak 28,30% warga masyarakat.
Menurut BPS Kota Depok (2011) terdapat sebanyak 714.891 orang
penduduk Kota Depok yang bekerja, 65.072 orang menganggur, dan 441.891
orang termasuk ke dalam bukan angkatan kerja (not economically active)
termasuk di dalamnya yaitu pelajar dan ibu rumah tangga. Banyaknya warga
masyarakat yang membuka usaha sendiri atau berdagang menunjukkan kondisi
status pekerjaan masyarakat Kota Depok secara umum. Pekerjaan utama dengan
status berusaha sendiri menduduki jumlah terbanyak kedua dengan jumlah
138.813 orang atau sebesar 19,42% berada di bawah status pekerjaan sebagai
buruh/karyawan/pegawai dengan jumlah 450.320 orang atau sebesar 62,99%.
Data pendapatan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat sekitar situ
tergolong ke dalam masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini ditunjukkan dengan
sebanyak 66,04% warga memiliki pendapatan lebih kecil dari Rp 1.000.000,00
per bulan. Rendahnya pendapatan warga masyarakat diduga ada kaitannya dengan
tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan warga masyarakat. Tingkat pendidikan
96
masyarakat yang tidak terlalu tinggi serta jenis pekerjaan dengan nilai pemasukan
yang rendah, seperti berdagang di warung-warung kecil, menjadi buruh, bahkan
ditemukan pula warga masyarakat yang mengganggur menjadi penyebab dari hal
tersebut.
Potensi sumberdaya manusia sekitar Situ Sawangan-Bojongsari cukup
menjanjikan bagi pengembangan situ sebagai kawasan wisata air. Masyarakat
yang biasa beraktivitas di sekitar situ hampir seluruhnya berada pada usia
produktif, yaitu usia 15 – 24 tahun sebanyak 39,62% dan usia 35 – 44 tahun
sebanyak 33,96%. Oleh karena itu, dibutuhkan pihak-pihak yang dapat
menangkap peluang ini dan kemudian menyusun serta melaksanakan
pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi sumberdaya manusia di daerah
tersebut. Pihak tersebut dapat berasal dari kelompok masyarakat itu sendiri atau
dari luar kelompok. Warga masyarakat berusia muda biasanya memiliki semangat
yang kuat serta kreativitas yang tinggi, sedangkan warga yang berusia lebih
matang disinyalir telah lebih mengenal kondisi Situ Sawangan-Bojongsari
sehingga dapat lebih bijaksana dalam menyikapi pengembangan situ. Pengalaman
yang dimiliki oleh warga masyarakat yang telah lebih lama mengenal Situ
Sawangan-Bojongsari dapat saja dijadikan sebagai penyeimbang bagi semangat
kaum muda di dalam proses-proses pengelolaan dan pengembangan situ.
Masyarakat sekitar Situ Sawangan-Bojongsari sebagian besar mengaku telah
menetap di daerah sekitar situ sejak lebih dari 3 tahun yang lalu, bahkan sejak
mereka dilahirkan (94,34%). Hanya sedikit anggota masyarakat yang mengaku
sebagai pendatang di daerah tersebut. Hal ini tampak dari jumlah responden
masyarakat yang menetap di bawah waktu tiga tahun yaitu hanya 3 orang.
Data jarak tempat tinggal dengan perairan situ menunjukkan bahwa masih
ada warga masyarakat yang mendirikan bangunan tempat tinggalnya berdekatan
dengan bibir situ, bahkan kurang dari 50 meter yang merupakan batas garis
sempadan situ seperti yang ditetapkan dalam Perda Kota Depok No. 18 Tahun
2003 tentang Garis Sempadan. Hal ini dinyatakan oleh 28,30% warga masyarakat.
Permukiman masyarakat Bojongsari memang berbatasan sangat dekat dengan
perairan situ, berbeda dengan permukiman masyarakat Sawangan yang sebagian
besar terletak cukup jauh dari perairan situ. Garis sempadan situ merupakan garis
97
batas luar pengamanan situ dimana wilayah di dalam garis tersebut merupakan
kawasan lindung situ. Masyarakat tidak diperbolehkan mendirikan bangunan di
kawasan lindung situ karena dikhawatirkan akan merusak kelestarian situ.
Okupasi masyarakat terhadap kawasan lindung merupakan bukti kurangnya
pengawasan dan ketegasan pemerintah dalam menegakkan peraturan yang telah
dibuat. Kurang pahamnya masyarakat mengenai fungsi situ dan kawasan lindung
situ juga dapat menjadi penyebab dari terganggunya kawasan lindung situ.
Kawasan lindung situ dapat semakin terdegradasi kualitas dan
keberadaannya akibat peningkatan laju tekanan terhadap ruang dan tanah di
wilayah perkotaan. Penyelenggaraan penataan ruang yang kurang optimal juga
dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dan jumlah situ. Permana et al.
(2008) menyebutkan bahwa jika dilihat dari segi peraturan dan perundang-
undangan yang mengatur keberadaan situ, maka hampir tidak ada lagi celah yang
dapat mendorong terjadinya kerusakan situ di wilayah Jabodetabek, baik secara
alamiah maupun akibat perubahan fungsi lahan oleh manusia. Namun,
kenyataannya adalah kawasan situ hanya berfungsi sekitar 70,73% dari kapasitas
maksimum. Salah satu faktor penyebabnya adalah keterlambatan penjabaran dan
implementasi peraturan dan perundangan pengaturan situ yang telah ditetapkan.
Jadi jelas peran pemerintah sangat besar dalam upaya menyelamatkan kawasan
lindung serta keberadaan situ melalui penegakan peraturan perundangan dan
penyadaran masyarakat sekitar situ.
Keberadaan Situ Sawangan-Bojongsari telah mendatangkan berbagai
manfaat bagi masyarakat sekitar situ semenjak dahulu. Namun, nilai manfaat
tersebut diduga telah bergeser ke arah nilai ekonomi, dimana keberadaan situ
diharapkan dapat membantu peningkatan perekonomian mereka. Hal ini
ditunjukkan oleh pernyataan 39,62% warga masyarakat bahwa manfaat terbesar
dari keberadaan situ adalah sebagai sumber penghasilan bagi mereka. Manfaat
situ sebagai sumber air bagi masyarakat semakin minim dirasakan kini, yaitu
hanya dinyatakan oleh 16,98% warga masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh
perubahan pola pikir masyarakat akibat berbagai perubahan dalam tatanan sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Kegiatan bertani dan berkebun yang
merupakan mata pencaharian masyarakat sekitar situ di masa yang lalu
98
mengandalkan situ sebagai sumber air. Namun, perubahan fungsi lahan menjadi
lapangan berumput dan permukiman kini telah mengubah bentuk mata
pencaharian masyarakat dan pada akhirnya mengubah kebutuhan masyarakat akan
keberadaan situ. Masyarakat diharapkan tidak hanya memiliki pola pikir ekonomi
dalam memanfaatkan situ, namun juga dituntut untuk mau berpikir tentang
kelestarian situ agar situ juga dapat mendatangkan manfaat selain manfaat
ekonomi.
4.7.2. Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Situ dan PengembanganWisata
Pemerintah Kota Depok telah mulai membenahi sistem pengelolaan situ-situ
di Kota Depok selepas tahun 2005. Hal yang dilakukan mulai dari restrukturisasi
kelembagaan Pokja Situ, pembentukan Forum Pokja Situ, hingga dialokasikannya
berbagai program pelestarian situ melalui pemanfaatannya sebagai obyek wisata
di dalam APBD (Sucipto & Prygina 2009). Pemberdayaan masyarakat merupakan
salah satu isu yang paling diusung dalam upaya meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan situ di Kota Depok. Hal ini didasari oleh alasan
bahwa masyarakat adalah salah satu elemen penting dalam sistem tersebut.
Oleh karena itu, kapasitas masyarakat sebagai bagian dari sistem juga perlu
ditingkatkan untuk memudahkan pemerintah dalam melaksanakan berbagai
program pelestarian situ dan pemanfaatannya sebagai obyek wisata air. Salah satu
kapasitas masyarakat yang perlu dipenuhi ialah pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang situ dan pengembangan wisata air. Menurut Suriasumantri
(2005) pengetahuan (knowledge) pada hakikatnya adalah segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu objek, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Pengukuran
pengetahuan masyarakat tentang situ dan wisata air diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai pemahaman masyarakat mengenai hal tersebut. Data tingkat
pengetahuan masyarakat sekitar Situ Sawangan-Bojongsari mengenai situ dan
pengembangan wisata air disajikan pada Tabel 13 dan Lampiran 5.
99
Tabel 13 Jumlah dan persentase responden masyarakat untuk tingkatpengetahuan mengenai situ dan pengembangan wisata air
ParameterJumlah warga (%)
Kurang tahu Cukup tahu Tahu
Pengetahuan tentang situ 16 (30,19) 27 (50,94) 10 (18,87)
Pengetahuan tentangpengembangan wisata air
12 (22,64) 26 (49,06) 15 (28,30)
Pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dilakukan dengan
menggunakan kuisioner berisi materi situ dan pengembangan wisata air. Setiap
materi terbagi lagi menjadi beberapa parameter. Parameter materi situ yang diukur
adalah pengetahuan mengenai fungsi dan manfaat situ, kualitas perairan situ, dan
upaya pelestarian situ. Berbagai parameter tersebut dianggap dapat memberikan
gambaran mengenai tingkat pengetahuan mayarakat sekitar situ tentang situ,
terutama terkait pelestarian Situ Sawangan-Bojongsari. Adapun parameter materi
pengembangan wisata air yang diukur meliputi pengetahuan responden terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi upaya pengembangan wisata air, kriteria
kualitas perairan situ yang mendukung pengembangan wisata air, dan manfaat
yang diperoleh sebagai akibat dari pengembangan wisata air pada situ.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat
sekitar situ terhadap materi situ dan pengembangan wisata air secara umum telah
cukup baik namun tetap perlu ditingkatkan. Tingkat pengetahuan sebagian besar
masyarakat baik terhadap materi situ maupun pengembangan wisata air berada
pada kategori cukup tahu yaitu masing-masing sebesar 50,94% dan 49,06%.
Meskipun tidak tergolong buruk, namun hanya 18,87% warga masyarakat yang
tahu mengenai materi situ. Hal yang sedikit berbeda ditemukan pada tingkat
pengetahuan pengembangan wisata air, dimana hanya 28,30% warga masyarakat
yang dinyatakan tahu mengenai pengembangan wisata air di Situ Sawangan-
Bojongsari.
Tingkat pengetahuan masyarakat yang terukur diduga terkait dengan
karakteristik masyarakat dalam hal tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, usia, serta
tujuan pemanfaatan situ. Pendidikan terakhir warga masyarakat didominasi oleh
pendidikan setingkat sekolah menengah (SMP, SMA, SMK), kemudian jenis
pekerjaan warga masyarakat sebagian besar kurang menyediakan akses informasi
100
bagi peningkatan pengetahuan mereka, seperti pedagang kecil atau justru tidak
memiliki pekerjaan. Warga masyarakat yang berusia muda diduga memiliki
tingkat pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan dengan warga masyarakat
yang berusia lebih tua karena minimnya pengalaman yang dimiliki. Tujuan
pemanfaatan situ yang dimiliki oleh masing-masing individu dapat menjadi
motivasi individu tersebut untuk mencari tahu serta memahami materi situ dan
pengembangan wisata air. Tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh
faktor pendidikan, akses informasi, sosial budaya, ekonomi, lingkungan,
pengalaman, dan usia. Menurut Sudarminta (2010) terdapat beberapa hal yang
berperan dalam kemunculan pengetahuan pada manusia yaitu pengalaman,
ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika,
bahasa, serta kebutuhan hidup manusia.
Pengetahuan masyarakat yang terukur dalam penelitian ini tidak lain adalah
suatu hasil pengukuran kesan atau persepsi pribadi terhadap keberadaan situ dan
perkembangannya hingga saat ini. Kesan pribadi seseorang dalam memandang
sesuatu hal merupakan produk dari hal-hal berikut: 1) lingkungan sosial dan
fisiknya; 2) struktur fisiologisnya; 3) keinginan dan tujuannya; dan 4) pengalaman
masa lalunya (Krech et al. 1996). Anggota-anggota kelompok masyarakat tertentu
dapat saja memiliki kesamaan persepsi, karena mereka memiliki keinginan dan
tujuan yang sama, mengalami lingkungan fisik dan sosial yang sama, atau
memiliki pengalaman belajar yang sama, namun hal tersebut tidaklah mutlak
karena selalu ada perbedaan persepsi seseorang terhadap sesuatu hal. Dua warga
masyarakat sekitar situ dapat saja memiliki tujuan pemanfaatan situ yang sama,
lingkungan sosial yang sama, serta pengalaman yang sama, namun belum tentu
keduanya memiliki tingkat pengetahuan yang sama akan materi situ dan
pengembangan wisata air.
Seseorang yang memiliki cukup pengetahuan tentang suatu objek belum
tentu memiliki pemahaman yang baik terhadap pengetahuan tersebut. Hasil
belajar pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi dibandingkan tipe
belajar pengetahuan. Belajar yang berakhir dengan pemahaman akan
menghasilkan pengertian-pengertian yang jelas, mengenal prinsip-prinsip umum,
dan menemukan metode penyelesaian yang sebenarnya (Soeitoe 1982).
101
Pemahaman pada setiap diri manusia dapat berbeda-beda karena kapasitas
(inteligensi) manusia berbeda-beda. Pengetahuan ditafsirkan ke dalam bentuk
pemahaman oleh individu dengan caranya sendiri. Pengetahuan dan pemahaman
ini akan tercermin di dalam perilaku individu tersebut. Oleh karena itu, sangatlah
penting bilamana pengetahuan yang cukup disertai dengan pemahaman yang baik
pula.
Pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat sekitar Situ
Sawangan-Bojongsari ternyata tidak selalu diaplikasikan oleh setiap individu
masyarakat ke dalam bentuk tindakan nyata. Menurut Waylen et al. (2009) tingkat
pengetahuan (knowledge) masyarakat mengenai suatu sumberdaya alam tidak
selalu dapat dikaitkan dengan perilaku (behaviour) konservasi masyarakat
terhadap sumberdaya alam tersebut. Peningkatan pengetahuan (knowledge)
tentang sumberdaya alam lokal dan sikap (attitude) peduli masyarakat Grande
Riviere, Trinidad terhadap isu konservasi fauna tidak bersesuaian dengan perilaku
(behaviour) konservasi alam oleh masyarakat yang masih tetap melakukan
perburuan terhadap hewan liar salah satunya burung endemik Pipile pipile yang
dilindungi dan populasinya semakin menurun akibat hal ini. Ajzen (2005)
mengemukakan bahwa sikap seseorang berhubungan dengan perilakunya melalui
suatu hubungan kompleks yang dimediasi oleh faktor-faktor lain, oleh karena itu
dibutuhkan kehati-hatian ketika menginterpretasikan keduanya.
Keeratan hubungan terlihat di antara beberapa parameter karakteristik
masyarakat dengan tingkat pengetahuan tentang situ dan tingkat pengetahuan
pengembangan wisata air (Tabel 14). Parameter usia warga masyarakat terbukti
memiliki korelasi positif baik dengan tingkat pengetahuan tentang situ maupun
tingkat pengetahuan tentang pengembangan wisata air dengan nilai koefisien
korelasi masing-masing sebesar 0,401 dan 0,466 (α = 0,05). Pertambahan usia
warga masyarakat akan diiringi dengan peningkatan pengetahuan warga tentang
situ dan pengembangan wisata air situ. Informasi lain yang diperoleh dari hasil uji
korelasi ini yaitu semakin jauh lokasi tempat tinggal warga dari situ maka tingkat
pengetahuan warga akan pengembangan wisata akan menurun, yang artinya jarak
tempat tinggal seseorang dengan situ berkorelasi negatif dengan tingkat
102
pengetahuan pengembangan wisata air. Nilai koefisien korelasi antara dua
parameter tersebut adalah -0,283.
Tabel 14 Korelasi antara parameter karakteristik masyarakat sekitar situ denganskor pengetahuan situ dan pengembangan wisata air
Usia Jarak tempattinggal-situ
Lamamenetap
Tingkatpengetahuantentang situ
Tingkatpengetahuan
tentangwisata air
Koefisien korelasi
Usia - -0,097 0,142 0,401* 0,466*
Jarak tempat tinggal-situ -0,097 - 0,042 -0,108 -0,283*
Lama menetap 0,142 0,042 - -0,029 0,127
Tingkat pengetahuantentang situ
0,401** -0,108 -0,029 - 0778*
Tingkat pengetahuantentang wisata air
0,466** -0,283* 0,127 0,778** -
Keterangan:* Berkorelasi nyata pada α = 0,05 ** Berkorelasi sangat nyata pada α = 0,01 Sumber: Data primer diolah
Satu hal menarik dapat dilihat dari hasil uji korelasi antara parameter tingkat
pengetahuan tentang situ dengan parameter tingkat pengetahuan tentang
pengembangan wisata air. Kedua parameter tersebut berkorelasi positif sangat
nyata pada α = 0,01 dengan nilai koefisien korelasi yang cukup besar yaitu 0,778.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang pengembangan wisata air yang
dimiliki seseorang akan meningkat seiring dengan bertambahnya pengetahuan
tentang fungsi dan manfaat situ pada diri orang tersebut. Hal ini juga dapat
diartikan bahwa semakin tinggi tingkat kepedulian seseorang terhadap situ, maka
orang tersebut akan dapat lebih melihat potensi atau manfaat situ yang ada yang
dapat dikembangkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Zhang dan Lei (2012)
yaitu pengetahuan masyarakat tentang lingkungan mempengaruhi secara positif
sikap masyarakat tersebut terhadap ekowisata, yang kemudian akan
mempengaruhi secara langsung niat masyarakat untuk berpartisipasi dalam
ekowisata serta secara tidak langsung melalui ketertarikan lanskap yang timbul
pada diri masing-masing individu masyarakat.
103
4.7.3. Persepsi Masyarakat Sekitar Situ tentang Situ Sawangan-Bojongsarisebagai Kawasan Wisata Air
Gagasan pengembangan Situ Sawangan-Bojongsari menjadi kawasan wisata
air disetujui oleh hampir semua warga masyarakat sekitar situ. Hal ini dinyatakan
oleh 98,11% warga masyarakat (Tabel 15). Alasan yang diberikan pun beraneka
ragam, namun didominasi oleh pernyataan bahwa upaya pengembangan situ
diharapkan dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, karena situ
merupakan tempat berekreasi atau melepas lelah, dan sebagai salah satu bentuk
upaya pelestarian situ agar situ tetap terjaga. Hanya terdapat satu warga
masyarakat yang menyatakan tidak setuju dengan pengembangan Situ Sawangan-
Bojongsari menjadi kawasan wisata air. Responden tersebut beranggapan bahwa
pengembangan Situ Sawangan-Bojongsari menjadi kawasan wisata air justru
dapat merusak kealamian situ
Tabel 15 Persepsi masyarakat mengenai Situ Sawangan-Bojongsari dijadikansebagai kawasan wisata air
Parameter Jumlah warga (%)
Situ sebagai kawasanwisata air
Setuju 52 (98,11)
Tidak 1 (1,89)
Atraksi wisata yangperlu diadakan
Memancing 5 (9,43)
Berenang 1 (1,89)
Berperahu 9 (16,98)
Kegiatan outbound 28 (52,83)
Rumah makan apung 1 (1,89)
Jogging track 1 (1,89)
Lainnya 8 (15,09)
Berbagai macam atraksi wisata situ yang dikemukakan oleh masyarakat
ditujukan untuk menjadi pendukung bagi suksesnya Situ Sawangan-Bojongsari
sebagai kawasan wisata air. Pendapat masyarakat tersebut mengisyaratkan
harapan akan pengembangan wisata di Situ Sawangan-Bojongsari. Sebagian besar
warga masyarakat menginginkan adanya kegiatan outbound atau kegiatan
permainan dan ketangkasan yang dilakukan di alam terbuka dengan menggunakan
sarana yang dapat memicu kreativitas dan kerjasama (52,83%). Fasilitas outbound
104
yang ada di Situ Sawangan-Bojongsari saat ini hanya fasilitas flying fox yang
melintas di atas danau. Meskipun pihak pengelola merasa sedikit khawatir dengan
kondisi perairan Situ Sawangan-Bojongsari yang cukup dalam, namun ternyata
tetap ada masyarakat sekitar situ yang merasa perlu untuk diadakan kegiatan
wisata berperahu di Situ Sawangan-Bojongsari, yaitu sebanyak 16,98% warga
masyarakat. Selain itu, terdapat beberapa jenis atraksi wisata lain yang dipilih
oleh masyarakat sebagai alternatif kegiatan wisata air situ, yaitu perahu naga
(perahu panjang yang dapat memuat banyak penumpang sekaligus), wahana
permainan anak-anak, pemancingan, hingga peningkatan kualitas dan kuantitas
terhadap fasilitas yang telah ada pada saat ini, yaitu warung makan dan sepeda air.
Berbagai keinginan masyarakat tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari bagi pihak
pengelola Situ Sawangan-Bojongsari, baik dari pihak pemerintah maupun Pokja
Situ.
4.7.4. Kesediaan Partisipasi Masyarakat Sekitar Situ Sawangan-Bojongsaridalam Pengelolaan dan Pengembangan Wisata Air Situ Sawangan-Bojongsari
Kesediaan berpartisipasi dalam menjaga kelestarian Situ Sawangan-
Bojongsari dikemukakan oleh seluruh responden masyarakat (Tabel 16). Bentuk
partisipasi yang dominan dipilih oleh warga masyarakat yaitu tidak membuang
sampah dan limbah ke perairan situ oleh 64,15%, kemudian diikuti dengan
keinginan untuk berpartisipasi sebagai anggota Pokja Situ oleh 28,30% warga
masyarakat. Tidak membuang sampah dan limbah ke perairan situ tampaknya
adalah hal termudah yang mampu dipahami dan dilakukan oleh masyarakat,
namun hal ini tidak akan berjalan jika tidak disertai niat dan komitmen yang kuat.
Larangan membuang sampah dan limbah ke perairan situ telah lama
diketahui oleh masyarakat sebagai suatu bentuk peraturan baik tertulis maupun
tidak tertulis. Papan informasi bertuliskan peraturan larangan membuang sampah
ke situ telah didirikan oleh Pemerintah Kota Depok di tepi situ. Peraturan tersebut
berlaku dalam masyarakat, namun implementasinya tidaklah seperti yang
diharapkan, beberapa warga masyarakat ditemukan masih mengalirkan limbah
buangannya menuju situ.
105
Tabel 16 Kesediaan partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan pengembanganSitu Sawangan-Bojongsari sebagai kawasan wisata air
Parameter Jumlah warga (%)
Kesediaan menjaga situYa 53 (100,00)
Tidak 0 (0,00)
Partisipasi menjaga situ
Menjadi anggota Pokja Situ 15 (28,30)
Tidak membuang sampah dan limbah 34 (64,15)
Tidak mengganggu kawasan lindung situ 4 (7,55)
Kesediaan ikut sertadalam pengembanganwisata
Ya 52 (98,11)
Tidak 1 (1,89)
Partisipasi untuk wisataair
Sebagai pengunjung 6 (11,32)
Penyumbang dana 1 (1,89)
Menjadi anggota Pokja Situ 26 (49,06)
Pedagang barang/jasa 19 (35,85)
Tidak bersedia berpartisipasi 1 (1,89)
Komitmen juga dibutuhkan oleh warga masyarakat jika ingin bergabung
dengan Pokja Situ. Tugas Pokja Situ tidak mudah dan membutuhkan kesungguhan
dalam pelaksanaannya. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh warga
masyarakat atas kesediaannya turut serta menjaga kelestarian situ yaitu agar situ
selalu terjaga keindahan dan kelestariannya, sebab situ merupakan sumber
penghasilan dan sumber air bagi masyarakat.
Kesediaan ikut serta dalam pengembangan wisata air Situ Sawangan-
Bojongsari dinyatakan oleh 98,11% warga masyarakat. Alasannya yaitu
pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari diharapkan dapat membantu
peningkatan perekonomian mereka. Hanya terdapat satu warga yang tidak
bersedia untuk ikut serta dalam pengembangan wisata air situ. Ketidaksediaan
tersebut disebabkan oleh anggapan bahwa situ akan berkurang kealamiannya jika
dikembangkan menjadi kawasan wisata air. Bentuk partisipasi sebagai anggota
Pokja Situ dipilih oleh 49,06% warga masyarakat, diikuti dengan partisipasi
sebagai pedagang barang/jasa sebesar 35,85%, dan partisipasi sebagai pengunjung
sebesar 11,32%. Kesediaan masyarakat untuk menjadi anggota Pokja Situ
diharapkan tidak hanya sebatas keinginan atau status saja. Pada kenyataannya,
anggota Pokja Situ yang bergerak aktif dalam upaya pengawasan situ tidak
mencapai seluruh dari keanggotaan Pokja Situ yang tercatat.
106
4.8. Strategi Pengelolaan Kualitas Perairan untuk Pengembangan WisataAir Situ Sawangan-Bojongsari
Hierarki pengambilan keputusan pengelolan kualitas perairan untuk
pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari disusun berdasarkan
pengamatan dan pengukuran terhadap berbagai parameter terkait kondisi Situ
Sawangan-Bojongsari. Metode analytical hierarchy process (AHP) yang
digunakan merupakan penentuan skala prioritas atas alternatif pilihan berdasarkan
suatu proses analitis berjenjang dan terstruktur (Dermawan 2005). Hierarki
pengambilan keputusan untuk pengelolaan kualitas perairan untuk pengembangan
wisata air Situ Sawangan-Bojongsari disertai dengan bobot masing-masing
jenjang disajikan pada Gambar 14.
Perencanaan (planning) merupakan salah satu fase utama dari pengelolaan.
Fase-fase utama lain dari pengelolaan yaitu pengorganisasian (organizing),
kepemimpinan (directing), pengkoordinasian (coordinating), pengendalian
(controlling), pengawasan (supervising), penganggaran (budgeting), dan
keuangan (financing) (Kodoatie & Sjarief 2008). Proses perencanaan pada
Gambar 14 Hierarki pengambilan keputusan strategi pengelolaan kualitasperairan untuk pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsaribeserta hasil bobot.
107
0.309
0.194
0.176
0.171
0.15
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35
Pemahaman tentang situ
SOSEKBUD
SDM
Kebijakan
Pemahaman pengembangan wisata
Bobot
Fa
kto
r
Hasil pembobotan faktor
umumnya terdiri dari tahap studi, penentuan alternatif dan skala prioritas, dan
implementasi alternatif terpilih. Penentuan strategi pengelolaan kualitas perairan
untuk pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari pada penelitian ini,
yang dilakukan melalui tahap penentuan alternatif prioritas, diharapkan dapat
menjadi tahap awal dalam perencanaan pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari
sebagai kawasan wisata air di Kota Depok.
4.7.1. Analisis Faktor pada Hierarki Pengambilan Keputusan
Hasil analisis faktor menggunakan metode AHP memberikan hasil
pembobotan dari yang terbesar hingga terkecil yaitu pemahaman tentang situ
(0,309), SOSEKBUD (0,194), SDM (0,176), kebijakan (0,171), dan pemahaman
pengembangan wisata (0,150) (Gambar 15). Faktor dengan bobot tertinggi
dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam pencapaian gol utama.
Pemahaman tentang situ dipilih sebagai faktor yang paling menentukan dalam
pelaksanaan pengelolaan kualitas perairan untuk pengembangan wisata air Situ
Sawangan-Bojongsari.
Pemahaman tentang Situ sebagai Faktor Prioritas
Pemahaman tentang situ merupakan faktor yang dipilih oleh responden
sebagai faktor yang paling mempengaruhi upaya pengelolaan kualitas perairan
Gambar 15 Hasil pembobotan faktor pengelolaan kualitas perairan untukpengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari.
108
Situ Sawangan-Bojongsari untuk pengembangan wisata air dengan bobot 0,309.
Pemahaman tentang situ dianggap sebagai dasar dari segala upaya pengelolaan
situ yang akan dilakukan. Tidak hanya masyarakat sekitar situ yang diharapkan
dapat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik akan situ, namun juga
pihak-pihak lain yang terlibat dalam sistem pengelolaan situ tersebut. Tindakan
yang dilakukan terhadap situ diharapkan dapat sesuai dengan kaidah-kaidah
alaminya ketika manusia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik
tentang situ sebagai bagian dari ekosistem alam
Pengetahuan dan pemahaman yang baik akan fungsi dan manfaat situ
dianggap menduduki posisi penting di dalam upaya pengelolaan situ. Situ
Sawangan-Bojongsari sebagai salah satu bentuk ekosistem lahan basah
membutuhkan sistem pengelolaan yang terpadu untuk melindungi fungsi dan
manfaatnya. Polajnar (2008) menyatakan bahwa pengembangan pengetahuan
masyarakat mengenai konsep ekosistem lahan basah diharapkan akan mampu
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap program-program konservasi yang
sesuai dengan lahan basah tersebut. Selain itu, menurut Robertson dan McGee
(2003) pengembangan pengetahuan masyarakat lokal akan lingkungannya adalah
salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi mayarakat dalam pengelolaan
lingkungan. Pengetahuan ekologi masyarakat lokal juga dapat menjadi sumber
informasi penting dalam penyusunan program rehabilitasi lingkungan. Hal
tersebut mempertegas bahwa pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai
ekosistem situ mampu mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan Situ Sawangan-
Bojongsari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sekitar situ
masih berada pada tingkat menengah (cukup tahu) akan pengetahuan materi situ
dan hanya sedikit yang dianggap tahu. Oleh karena faktor pemahaman tentang situ
dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam upaya pengelolaan
kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari, maka sudah sepatutnya upaya
pengelolaan tersebut diawali dengan upaya peningkatan pengetahuan, bahkan
pemahaman masyarakat mengenai materi situ. Pengetahuan yang telah dimiliki
oleh masyarakat sekitar situ harus ditingkatkan dan kemudian digiring menuju
109
0.556
0.254
0.096
0.094
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600
Pemerintah
Masyarakat
Swasta
LSM
Bobot
Ak
tor
Hasil pembobotan aktor
pemahaman yang baik serta tindakan nyata sebagai bentuk kepedulian terhadap
situ.
4.8.2. Analisis Aktor pada Hierarki Pengambilan Keputusan
Terdapat empat pihak yang diketahui terlibat baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari. Setiap pihak tentu
memiliki peran masing-masing dan memberikan pengaruh berbeda dalam upaya
pengelolaan kualitas perairan dan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari selama ini.
Pembobotan oleh responden pakar memberikan hasil yaitu pemerintah menduduki
peringkat pertama sebagai aktor dengan bobot tertinggi sebesar 0,556, diikuti oleh
aktor masyarakat dengan bobot 0,254, aktor swasta sebesar 0,096, dan aktor LSM
sebesar 0,094 (Gambar 16).
Pemerintah sebagai Aktor Prioritas
Pemerintah dianggap sebagai aktor yang paling berperan dalam upaya
pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari dan pemanfaatannya sebagai kawasan
wisata air. Hal ini disebabkan oleh alasan bahwa situ adalah aset milik negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 ayat 1 dalam Undang-
Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air menjelaskan bahwa:
“Sumberdaya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
Gambar 16 Hasil pembobotan aktor pengelolaan kualitas perairan untukpengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari.
110
kemakmuran rakyat”. Ayat berikutnya menyebutkan pula bahwa penguasaan
sumberdaya air diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam hal tersebut harus
mampu melakukan pengamanan situ-situ di Kota Depok melalui kebijakan atau
tindakan lainnya, sedangkan pemanfaatan situ harus ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat. Berbagai tindakan telah dilakukan oleh pemerintah,
tetapi hingga saat ini masih ada anggapan, terutama berasal dari masyarakat,
bahwa pemerintah masih kurang memberikan perhatian terhadap pengelolaan dan
pengembangan situ-situ di Kota Depok. Meskipun Pemerintah Kota Depok tidak
memiliki kewenangan penuh untuk mengurus situ-situ di Kota Depok, tetapi
keterlibatannya dalam hal tersebut tetap merupakan keharusan.
Pihak-pihak selain pemerintah yang bersentuhan langsung dengan Situ
Sawangan-Bojongsari tentu memiliki kepentingan masing-masing terhadap situ
tersebut. Pemerintah adalah pihak yang harus mampu menjembatani berbagai
kepentingan tersebut agar tidak menimbulkan konflik kepentingan akan situ.
Konflik kepentingan dalam kehidupan sosial terjadi ketika terdapat perbedaan
tujuan atau kepentingan dari dua pihak atau lebih (Setiadi & Kolip 2011).
Perbedaan ini kemudian bersinggungan sehingga menimbulkan ketidaksepakatan
di antara pihak-pihak yang berkonflik. Persinggungan kepentingan inilah yang
mampu menimbulkan terjadinya konflik sosial. Konflik kepentingan sebagai
konflik sosial bersifat buruk dan perlu dihindari. Oleh karena itu, pemerintah
perlu membangun sikap yang baik untuk menghindari permasalahan ini.
Pemerintah dianggap memegang peran strategis di antara berbagai pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan pengembangan Situ Sawangan-Bojongsari.
Pemerintah harus mampu menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good
governance) untuk menghindari maupun mengatasi perbedaan kepentingan di
antara berbagai pihak. Menurut Keraf (2002) penyebab hadirnya krisis ekologi
saat ini selain karena kesalahan cara pandang dan perilaku manusia, juga
disebabkan oleh kegagalan pemerintah, salah satunya dalam hal memainkan peran
sebagai penjaga kepentingan bersama, termasuk kepentingan bersama akan
lingkungan hidup yang baik. Pemerintah harus memerintah dengan efektif dan
menyelenggarakan pemerintahan dengan kuat agar pemerintah tidak menjadi alat
111
permainan kepentingan serta mampu bertahan terhadap berbagai tarik-menarik
kepentingan yang berakibat pada penyelewengan tujuan.
Meskipun pemerintah dianggap sebagai aktor yang paling berperan dalam
upaya pengelolaan kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari, namun dukungan
dari masyarakat, pihak swasta, dan LSM juga sangat dibutuhkan. Masyarakat
sekitar situ adalah pihak utama yang diharapkan kerjasamanya dengan pemerintah
dalam strategi pengelolaan situ, sedangkan aktor swasta memiliki tingkat
kepentingan yang hampir sama dengan aktor LSM bahkan cenderung setara.
Pihak swasta seringkali dikatakan memiliki kecenderungan terhadap profit atau
keuntungan semata, sehingga kesadaran akan lingkungan hidup sangat
diharapkan. Keterlibatan LSM terkait situ yang terdapat di Kota Depok cenderung
mengarah kepada kepentingan konservasi situ dan telah memberikan kontribusi
yang cukup besar dalam pelestarian situ dan pembangunan masyarakat sekitar
situ.
Peran pemerintah dalam upaya pengelolaan kualitas perairan Situ
Sawangan-Bojongsari dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan nyata.
Pemerintah harus mampu menghimpun masyarakat, swasta, dan LSM untuk mau
bekerja sama dalam mengelola dan mengembangkan situ, seperti meningkatkan
peran serta pihak swasta yang selama ini dianggap masih kurang, atau
menjembatani kerjasama di antara kedua Pokja Situ yang bertugas di Situ
Sawangan-Bojongsari. Pemerintah juga dapat membangun hubungan kerjasama
dengan LSM dalam upaya pelestarian situ maupun peningkatan partisipasi
masyarakat. Bhuiyan et al. (2011) menyatakan bahwa pemerintah harus
memastikan keterlibatan atau partisipasi masyarakat lokal di dalam
pengembangan ekowisata demi manfaat sosial, ekologi, ekonomi, dan budaya
masyarakat. Pemerintah juga dapat memutuskan untuk melakukan beberapa
tindakan berikut: penetapan kawasan lindung, penyusunan rencana aksi
ekoturisme, promosi daerah tujuan wisata, pengembangan sumberdaya manusia,
serta pengembangan usaha kecil dan menengah oleh masyarakat di daerah tujuan
wisata.
112
0.452
0.288
0.261
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50
Konservasi situ
Peningkatan kegiatan wisata daerah
Peningkatan perekonomian lokal
Bobot
Su
btu
jua
n
Hasil pembobotan subtujuan
4.8.3. Analisis Subtujuan pada Hierarki Pengambilan Keputusan
Subtujuan konservasi situ disepakati sebagai subtujuan terpenting yang
harus dicapai dalam pencapaian gol utama. Adapun bobot yang dimiliki oleh
subtujuan konversi situ adalah sebesar 0,452, diikuti dengan subtujuan
peningkatan kegiatan wisata daerah dengan bobot 0,288, dan terakhir adalah
subtujuan peningkatan perekonomian lokal dengan bobot 0,261 (Gambar 17).
Konservasi Situ sebagai Subtujuan Prioritas
Situ-situ merupakan salah satu kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki
oleh Kota Depok. Situ berfungsi sebagai kawasan resapan air bagi Kota Depok
dan kota di sekitarnya, termasuk DKI Jakarta. Keberlangsungan keberadaan dan
kondisi situ sudah sepantasnya diperhitungkan dalam setiap pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam ini. Pengelolaan situ yang berkelanjutan
diharapkan dapat mempertahankan fungsi dan manfaat yang dapat diberikan oleh
situ tersebut bagi generasi manusia, tidak hanya bagi generasi di masa kini namun
juga di masa yang akan datang.
Menurut responden, kelestarian situ tetap merupakan hal yang paling
diutamakan di dalam upaya pengembangan wisata air di Situ Sawangan-
Bojongsari. Jangan sampai perkembangan kegiatan wisata air justru menurunkan
kualitas perairan dan lingkungan situ. Hal serupa dikemukakan oleh Pusporini
Gambar 17 Hasil pembobotan subtujuan pengelolaan kualitas perairan untukpengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari.
113
(2010) terhadap pengembangan wisata di Situ Pengasinan yaitu konservasi
sumberdaya air merupakan kriteria yang paling utama dalam pengembangan
wisata di Situ Pengasinan. Penetapan konservasi sumberdaya alam sebagai tujuan
atau kriteria utama dalam pengembangan wisata situ didukung oleh pernyataan
Zhenjia (2008) mengenai pentingnya melindungi situs alami untuk pengembangan
pariwisata jenis ekowisata. Perlindungan terhadap situs alami tersebut
menjanjikan keberlangsungan bagi pengembangan ekowisata hingga waktu yang
akan datang dan tidak hanya akan mendatangkan manfaat ekonomi bagi
komunitas lokal, namun juga manfaat bagi elemen sosial, politik, dan bahkan bagi
ekosistem alam itu sendiri.
Kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari telah melebihi Baku Mutu Air
Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air pada beberapa parameter, bahkan beberapa lainnya
sudah mendekati ambang batas yang ditetapkan. Status trofik situ juga
diperkirakan telah meningkat dari waktu ke waktu yang menunjukkan telah terjadi
penurunan kualitas perairan. Penurunan kualitas perairan situ dapat disebabkan
oleh aktivitas antropogenik di sekitar situ dan pada akhirnya akan dapat
mengurangi fungsi dan manfaat situ serta mengancam keberadaan situ. Oleh
karena itu, penetapan konservasi situ sebagai tujuan utama diharapkan dapat
menjadi arahan untuk perwujudan berbagai alternatif solutif untuk mengatasi
permasalahan terkait penurunan kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari
tersebut.
Program normalisasi Situ Sawangan-Bojongsari yang akan dilaksanakan
pada tahun 2013 oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui BBWS-CC
diharapkan akan semakin mempemudah upaya Pemerintah Kota Depok dalam hal
mewujudkan Situ Sawangan-Bojongsari sebagai kawasan wisata air berbasiskan
alam. Pembangunan infrastruktur seperti pembangunan turap untuk mencegah
erosi dan sebagai batas situ, pengerukan situ untuk mengatasi pendangkalan situ,
ataupun pembangunan IPAL untuk mencegah pencemaran air situ, dibutuhkan
oleh Situ Sawangan-Bojongsari untuk mengamankan situ tersebut dari kerusakan
yang seringkali ditimbulkan oleh ulah manusia. Selain itu, berbagai tindakan
tersebut ditujukan untuk mengembalikan fungsi situ yang kini mulai terkikis serta
114
menaikkan nilai manfaat situ. Program tersebut membutuhkan dukungan penuh
dari Pemerintah Kota Depok dan masyarakat Depok, khususnya masyarakat
sekitar Situ Sawangan-Bojongsari, serta pihak-pihak lain yang merasa memiliki
kepentingan atas keberadaan Situ Sawangan-Bojongsari.
4.8.4. Analisis Alternatif pada Hierarki Pengambilan Keputusan
Hasil pembobotan hierarki memberikan hasil akhir berupa bobot pada
masing-masing pilihan alternatif dari yang terbesar hingga yang terkecil sebagai
berikut: pemberdayaan masyarakat (0,261); sosialisasi (0,206); rekomendasi
pengelolaan kawasan (0,181), pemantauan dan pengawasan regulasi (0,169),
IPAL (0,108), dan investor (0,076) (Gambar 18). Adapun tiga alternatif dengan
bobot terbesar dianggap mampu merepresentasikan strategi pengelolaan kualitas
perairan yang sesuai untuk pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari.
Gambar 18 Hasil pembobotan alternatif pengelolaan kualitas perairan untukpengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari.
Pemberdayaan Masyarakat, Sosialisasi, dan Rekomendasi PengelolaanKawasan sebagai Alternatif Terpilih
a. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan alternatif terpilih dengan bobot
terbesar yaitu 0,261. Masyarakat dianggap sebagai pihak yang selalu bersentuhan
langsung dengan situ dan karakteristik masyarakat tersebut tentu akan
mempengaruhi jenis tindakan yang dilakukan terhadap situ. Pengembangan
kapasitas masyarakat sekitar situ adalah hal utama yang perlu dilaksanakan di
0.261
0.206
0.181
0.169
0.108
0.076
0 0.1 0.2 0.3
Pemberdayaan masyarakat
Sosialisasi
Rekomendasi pengelolaan kawasan
Pemantauan dan pengawasan regulasi
IPAL
Investor
Bobot
Alt
ern
ati
f
Hasil pembobotan alternatif
115
dalam strategi pengelolaan kualitas perairan untuk pengembangan wisata air Situ
Sawangan-Bojongsari. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Waryono (2002)
mengenai pemberdayaan masyarakat sekitar Situ Rawa Besar di Kota Depok.
Masyarakat sekitar situ seharusnya dijadikan sebagai subjek pembangunan
melalui program-program pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat
mampu mandiri dengan memanfaatkan potensi-potensi lokal. Pemberdayaan
masyarakat sekitar Situ Rawa Besar diharapkan mampu memicu kesadaran
masyarakat dalam hal-hal berikut: 1) Pemulihan kembali lingkungan Situ Rawa
Besar seperti sedia kala sebelum terokupasi; 2) Pembangunan sumberdaya alam
perairan dan lingkungannya dalam mewujudkan Kota Depok yang indah, nyaman,
bersih, dan menarik; 3) Potensi situ sebagai sumber pendapatan masyarakat dan
Pemerintah Kota Depok salah satunya melalui pemanfaatan situ sebagai kawasan
wisata; dan 4) Pemanfaatan situ yang terpadu berkelanjutan dapat diwujudkan
melalui kemitraan masyarakat sekitar situ dengan pemerintah.
Menurut Mardikanto (2010) pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang saat ini tidak
mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Pemberdayaan dalam arti lain yaitu memberikan daya, memampukan, dan
memandirikan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sekitar situ, bahkan sangat
baik jika dapat meliputi seluruh warga yang berada di catchment area situ, dapat
menjadi bagian dari proses pembangunan masyarakat. Tujuannya tidak hanya
demi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, namun juga pengembangan
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam gerakan cinta lingkungan hidup dan
penyelamatan situ.
Sejarah perkembangan keterlibatan masyarakat dalam program-program
pengelolaan situ di Kota Depok menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan
partisipasi masyarakat berkat dorongan konsorsium LSM di Kota Depok.
Meskipun begitu, pendapat masyarakat masih belum sepenuhnya dianggap
penting dalam penyusunan konsep pembangunan daerah, seperti yang terjadi di
Situ Bojongsari dimana pihak Pokja Situ Bojongsari mengaku tidak memperoleh
undangan untuk menghadiri Musrenbang tingkat kelurahan untuk tahun 2012.
Musrenbang merupakan ajang bagi masyarakat untuk menyampaikan
116
pandangannya mengenai pengembangan potensi-potensi yang dimiliki oleh
daerahnya, termasuk situ. Tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah seringkali
dijadikan sebagai alasan untuk tidak melibatkan masyarakat dalam proses
Musrenbang dan kemudian menjadikan proses Musrenbang lebih didominasi oleh
pihak pemerintah (Sucipto & Prygina 2009). Alasan tersebut seharusnya dijadikan
dasar bagi pelaksanaan program peningkatan kualitas masyarakat oleh
pemerintah, dan bukan justru dijadikan alasan untuk tidak melibatkan mereka
dalam pembangunan daerah, karena sebenarnya warga masyarakat merupakan
potensi sumberdaya manusia yang dapat dijadikan sebagai aktor-aktor (subyek)
pembangunan.
Program-program pemberdayaan masyarakat yang akan dilaksanakan
harus mampu memotivasi masyarakat sekitar Situ Sawangan-Bojongsari untuk
dapat secara kreatif mengembangkan potensi-potensi yang ada, baik yang terdapat
dalam diri mereka sendiri atau yang terkandung dalam lingkungan perairan Situ
Sawangan-Bojongsari. Langkah-langkah nyata berupa penyediaan fasilitas dan
pembukaan akses terhadap informasi dan peluang perlu dilakukan. Menurut
Scheyvens (1999) pemberdayaan komunitas lokal di suatu lokasi tujuan ekowisata
dapat meliputi pemberdayaan ekonomi, psikologi, sosial, dan politik. Program
pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar Situ Sawangan-Bojongsari dapat
dilakukan sekaligus dalam rangka pengembangan wisata air situ melalui kegiatan
pelatihan kewirausahaan. Hal ini akan membuat masyarakat mandiri secara
ekonomi bahkan berpeluang sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Jenis
wirausaha yang dilakukan dapat berupa penyediaan barang dan jasa bagi kegiatan
wisata Situ Sawangan-Bojongsari, seperti membuka warung atau rumah makan
yang menyediakan makanan dan minuman, wirausaha tanaman hias,
pengembangan budidaya ikan hias, penyedia wahana wisata dan olahraga air, dan
lain sebagainya. Pemberdayaan juga perlu dilakukan terhadap pranata-pranata
sosial dan politik di masyarakat, seperti penanaman nilai-nilai budaya kerja keras,
kerjasama dan bertanggung jawab, penguatan lembaga-lembaga sosial
masyarakat, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan dirinya.
117
Pemberdayaan masyarakat juga dapat menjadi solusi untuk mencapai tujuan
konservasi situ. Masyarakat dapat dijadikan sebagai garda terdepan dalam proses
penjagaan situ karena keberadaan mereka yang selalu beraktivitas di sekitar situ.
Program pembentukan kader-kader peduli situ ini dapat saja dilakukan melalui
lembaga yang sudah terbentuk dalam masyarakat seperti Pokja Situ, melalui
kegiatan penyuluhan dan sosialisasi tentang situ, termasuk pengetahuan tentang
situ dan peraturan terkait situ atau melalui pembentukan komunitas khusus yang
memang dididik untuk bertugas sebagai kader situ. Hal ini diharapkan dapat
meringankan tugas pemerintah dalam menjaga kelestarian situ.
Kegiatan-kegiatan edukatif perlu dimasukkan ke dalam rancangan program
pemberdayaan masyarakat sekitar situ. Menurut Zhang dan Lei (2012) program-
program edukatif diharapkan dapat membantu meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai lingkungan dan pada akhirnya berdampak positif terhadap
sikap masyarakat terhadap ekowisata lahan basah. Pengetahuan tentang
sumberdaya alam setempat beserta karakteristiknya dapat dipadukan dengan
prinsip-prinsip pengelolaan wisata dalam tingkat yang dapat diterima oleh
masyarakat lokal, untuk dapat mendorong sikap positif masyarakat dan
meningkatkan keterlibatan mereka di dalam pariwisata lokal. Konsep serupa dapat
diterapkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekitar Situ Sawangan-
Bojongsari untuk pelestarian situ dan pengembangan wisata air situ. Kegiatan
edukatif yang akan dijalankan dapat meliputi edukasi mengenai lingkungan situ,
kewirausahaan, pariwisata, kepemimpinan, dan organisasi.
Kelompok-kelompok masyarakat dapat menjadi wadah bagi pelaksanaan
kegiatan-kegiatan edukatif yang merupakan bagian dari program pemberdayaan
masyarakat untuk berbagai aspek (ekonomi, sosial, politik, pengetahuan
masyarakat). Kelompok masyarakat tersebut meliputi kelompok masyarakat yang
sudah terbentuk (seperti Pokja Situ, Karang Taruna) atau dapat berupa kelompok-
kelompok baru yang juga beranggotakan masyarakat sekitar Situ Sawangan-
Bojongsari. Penguatan daya masyarakat adalah hal yang ingin dicapai sebagai
hasil dari pemberian edukasi kepada masyarakat melalui kelompok-kelompok
masyarakat tersebut.
118
Rencana program pemberdayaan masyarakat di atas akan sangat berkaitan
dengan rancangan program lain yang dibentuk berdasarkan alternatif terpilih
lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat tidak
dapat berdiri sendiri, melainkan harus disertai dengan pelaksanaan program-
program pendukungnya.
b. Sosialisasi
Sosialisasi menjadi alternatif terpilih kedua setelah pemberdayaan
masyarakat dengan bobot 0,206. Sosialisasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai program-program
yang dijalankan oleh pemerintah, peraturan-peraturan, dan mengenai hal-hal lain
yang dianggap perlu. Sosialisasi yang minim dapat menurunkan efektivitas dan
efisiensi dari rancangan program yang telah dibuat. Tidak tercapainya keteraturan
yang merupakan tujuan dari peraturan tidak hanya dapat disebabkan oleh
lemahnya upaya penegakkan peraturan tersebut, namun juga karena minimnya
sosialisasi peraturan tersebut. Masyarakat bisa jadi tidak mematuhi suatu
peraturan bukan karena sengaja melanggar peraturan tersebut, namun karena
mereka memang tidak mengetahui keberadaan peraturan tersebut. Kegiatan
sosialisasi pun harus memperhatikan sasaran yang dituju. Sasaran yang berbeda
tentu memiliki karakteristik yang berbeda, oleh karena itu membutuhkan
pendekatan yang berbeda dalam penyampaian hal yang disosialisasikan.
Sosialisasi diperlukan dalam pelaksanaan program-program pengelolaan
Situ Sawangan-Bojongsari. Sebagai contoh, sosialisasi detail desain Situ
Sawangan-Bojongsari dalam rangka program revitalisasi Situ Sawangan-
Bojongsari tahun 2013 perlu dilakukan kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait
lainnya. Hal ini ditujukan demi kelancaran pelaksanaan kegiatan dan keberhasilan
program. Selain itu, sosialisasi juga diperlukan untuk menghindari terjadinya
konflik di kemudian hari. Sosialisasi rancangan pengembangan wisata air Situ
Sawangan-Bojongsari juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok,
khususnya oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Seni Budaya
(Disporasenbud) Kota Depok. Pihak Disporasenbud Kota Depok setuju untuk
mempertimbangkan pencanangan program pengembangan wisata satu situ setiap
119
tahunnya. Jika Situ Sawangan-Bojongsari terpilih kelak sebagai situ yang akan
dikembangkan oleh Disporasenbud Kota Depok, maka kegiatan sosialisasi sudah
pasti menjadi satu tahap yang harus dijalankan. Kegiatan sosialisasi program
dapat dilakukan secara bertahap bergantung pada kesiapan pelaksanaan program
dan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Kegiatan sosialisasi sebaiknya
juga dilakukan bagi program-program yang bersifat rutin, seperti pemasangan
bando situ (papan nama situ), pemasangan jogging track, dan penebaran benih
ikan pada situ (re-stocking).
Sosialisasi tidak hanya dilakukan terhadap program-program pengelolaan
situ dan pengembangan wisata air situ. Sosialisasi peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan kedua kegiatan tersebut juga harus dilakukan demi menciptakan
masyarakat yang sadar hukum. Peraturan-peraturan tersebut antara lain peraturan
garis sempadan situ, peraturan terkait KJA pada situ, peraturan mengenai
pengolahan air limbah domestik, serta peraturan terkait retribusi dan pajak wisata
pada situ.
Kondisi yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sosialisasi terhadap
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama oleh Pemerintah
Kota Depok, perlu dilakukan. Hal yang pernah terjadi pada saat pelaksanaan
Pertemuan Konsultasi Masyarakat mengenai detail desain Situ Sawangan-
Bojongsari pada saat penelitian berlangsung yaitu masih terdapat anggota
masyarakat yang mempertanyakan berapa jarak garis sempadan situ dari tepi situ.
Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi Peraturan Daerah Kota Depok No. 18
tahun 2003 tentang Garis Sempadan masih diperlukan. Selain itu, peraturan terkait
keberadaan KJA pada situ di Kota Depok, seperti yang telah dijelaskan pada
uraian sebelumnya, juga perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman atau konflik dalam masyarakat. Pembangunan IPAL pada
saluran pembuangan yang mengarah ke Situ Sawangan-Bojongsari seperti yang
diharapkan oleh pihak Pokja Situ dan Forum Pokja Situ juga perlu memperhatikan
peraturan-peraturan terkait pelaksanaan pembangunan IPAL. Program
pengembangan wisata Situ Sawangan-Bojongsari juga perlu memasukkan
sosialisasi peraturan-peraturan terkait izin, retribusi, dan pajak wisata ke dalam
agenda pelaksanannya.
120
Bentuk pengelolaan kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari melalui
alternatif sosialisasi dapat dilakukan melalui forum-forum diskusi kelompok
masyarakat sekitar situ dengan pihak-pihak lain yang terkait pengelolaan dan
pengembangan Situ Sawangan-Bojongsari. Pemerintah Kota Depok dapat
bertindak sebagai pelaksana maupun fasilitator forum diskusi dan dengar
pendapat tersebut.
c. Rekomendasi Pengelolaan Kawasan
Alternatif rekomendasi pengelolaan kawasan menduduki peringkat ketiga
dengan bobot 0,181. Situ sebagai salah satu ekosistem alam tidaklah berdiri
sendiri dan merupakan bagian dari suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), dimana
peristiwa yang terjadi pada bagian lain dari DAS tersebut akan dapat
mempengaruhi kondisi situ baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah
seorang responden menyebutkan bahwa beberapa situ di Kota Depok saling
terhubung satu dengan lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya air
seperti situ haruslah melalui pendekatan terpadu dan menyeluruh (Kodoatie &
Sjarief 2008). Terpadu berarti mencakup keterikatan dengan berbagai aspek,
berbagai pihak (stakeholders), dan berbagai disiplin ilmu. Menyeluruh
mencerminkan cakupan yang sangat luas (broad coverage), melintasi batas antar
sumberdaya, antar lokasi, antar hulu dan hilir, antar kondisi, dan berbagai jenis
tata guna lahan. Pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti situ haruslah
holistik dan berwawasan lingkungan.
Ekosistem situ memiliki karakteristik yang berbeda dengan sumberdaya air–
sumberdaya air lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan situ tentu akan berbeda
dengan pengelolaan danau atau sungai atau ekosistem perairan lainnya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Sulastri (2003) yaitu karakteristik sistem perairan situ
atau danau-danau dangkal perlu dipahami dalam upaya mengelola dan
mempertahankan ekosistem perairan tersebut. Perairan situ merupakan suatu
ekosistem tersendiri yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi serta sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar sistem perairan.
Setiap situ juga memiliki karakteristik tersendiri yang menyebabkan satu situ
membutuhkan pengelolaan yang berbeda dengan situ lainnya. Tidak semua situ
121
memiliki nilai dan tipe pemanfaatan yang sama bagi masyarakat. Ukuran luas dan
kondisi situ (kualitas air, kondisi sempadan, flora dan fauna, dan lain sebagainya)
dapat mempengaruhi nilai situ bagi masyarakat dan tipe pemanfaatan oleh
masyarakat, termasuk pemanfaatannya sebagai tempat wisata.
Pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari telah menimbulkan kesan bahwa
situ terbagi menjadi dua wilayah karena situ dikelola oleh dua Pokja Situ yang
masing-masing berwenang di wilayahnya. Hal ini telah dijelaskan pada uraian
sebelumnya mengenai pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari. Kerjasama di
antara kedua Pokja Situ harus ditingkatkan agar pengelolaan situ dapat berjalan
lebih terpadu. Selain itu, seharusnya dua Pokja Situ tersebut digabungkan dalam
satu wadah pengelola Situ Sawangan-Bojongsari agar hasil pengelolaan lebih
efektif dan efisien. Rasa kebersamaan akan memiliki situ perlu ditumbuhkan pada
diri anggota kedua Pokja Situ. Pemerintah sebagai pihak yang memegang peran
strategis dalam pengelolaan situ perlu menstimulasi pencapaian hal tersebut.
Pelaksanaan alternatif rekomendasi pengelolaan kawasan dapat dilakukan
dengan menyusun suatu pedoman pengelolaan situ di Kota Depok, dan secara
khusus dengan menyusun pedoman pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari.
Rencana penyusunan pedoman pengelolaan situ di Kota Depok telah menjadi
wacana di kalangan Forum Pokja Situ dan Pemerintah Kota Depok hingga saat
ini. Namun, baik pihak pemerintah maupun masyarakat berharap hal tersebut
dapat segera diwujudkan karena akan memberikan pengarahan positif bagi
pengelolaan situ di Kota Depok. Pedoman pengelolaan situ di Kota Depok
tentunya merupakan pedoman yang ditujukan untuk menciptakan pengelolaan situ
yang terpadu dan menyeluruh. Keterlibatan berbagai pihak terkait, berbagai
disiplin ilmu, dan pertimbangan akan cakupan yang luas (situ sebagai bagian dari
DAS) adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan pedoman
pengelolaan situ tersebut. Pedoman pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari yang
akan disusun juga perlu mencakup aturan mengenai keharusan adanya kerjasama
di antara masyarakat di kedua wilayah dalam satu wadah Pokja Situ Sawangan-
Bojongsari. Selain itu, pedoman pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari harus
disusun berdasarkan karakteristik Situ Sawangan-Bojongsari.
122
Pedoman zonasi ekosistem situ juga dapat disusun sebagai bentuk lain dari
pedoman pengelolaan ekosistem situ. Pedoman ini akan dijadikan sebagai
panduan bagi pelaksanaan pemanfaatan ruang pada situ yang disesuaikan dengan
karakteristik masing-masing situ. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia telah
mengeluarkan Pedoman Zonasi Ekosistem Danau yang diperuntukkan bagi
ekosistem danau alami air tawar dan menyebutkan bahwa pedoman zonasi untuk
bentuk perairan lainnya, termasuk situ, akan dilakukan pengaturan secara
tersendiri (KLH 2011). Hal yang sangat baik jika Pemerintah Kota Depok
bersama dengan instansi-instansi lain terkait situ mampu mengembangkan suatu
sistem zonasi pemanfaatan ruang pada situ-situ di Kota Depok yang kemudian
dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi pengelolaan situ di Indonesia.
Berbagai bentuk pedoman pengelolaan kawasan yang ditetapkan kemudian,
diharapkan dapat dikukuhkan dalam bentuk kebijakan yang mengikat.
Upaya pengelolaan kualitas perairan situ untuk pengembangan wisata air
Situ Sawangan-Bojongsari merupakan upaya yang memerlukan kesungguhan dari
semua pihak yang terkait. Optimalisasi pembenahan dan pengembangan pada
elemen-elemen yang dianggap sebagai elemen prioritas dapat dilakukan untuk
kemudian disusun menjadi langkah-langkah penting pada tahap awal perencanaan
pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari sebagai kawasan wisata air. Adapun
langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai strategi pengelolaan kualitas
perairan untuk pengembangan wisata air Situ Sawangan-Bojongsari adalah
sebagai berikut:
1. Penguatan daya masyarakat sekitar situ dilakukan melalui pembentukan atau
penguatan kelompok masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang perlu
diperkuat adalah Pokja Situ Sawangan-Bojongsari. Penggabungan dua Pokja
Situ dapat menjadi satu alternatif yang baik untuk menyelaraskan pengelolaan
situ yang selama ini dilakukan terpisah. Selain itu, peningkatan kualitas
sumberdaya manusia yang tergabung di dalamnya juga harus dilakukan untuk
menunjang pelaksanaan tugas-tugas yang dimiliki oleh Pokja Situ.
Pembentukan suatu kelompok edukasi bagi masyarakat juga dapat dilakukan
untuk mewujudkan tujuan peningkatan pemahaman masyarakat tentang
123
ekosistem situ dan pengembangan wisata air situ. Baik Pokja Situ maupun
kelompok edukasi dapat berperan sebagai wadah untuk menumbuhkan rasa
kerjasama atau kegotongroyongan masyarakat, sehingga partisipasi
masyarakat dalam pelestarian dan pengembangan situ pun meningkat.
2. Penguatan hubungan kerjasama antar semua pihak terkait pengelolaan Situ
Sawangan-Bojongsari melalui forum-forum diskusi. Kelompok masyarakat
yang telah terbentuk kemudian perlu membangun kerjasama dengan pihak
terkait lainnya, yaitu pemerintah, swasta, dan LSM. Forum diskusi dapat
ditujukan untuk mensosialisasikan program-program kerja dan peraturan-
peraturan, serta untuk menyaring aspirasi-aspirasi guna mewujudkan
pengelolaan kualitas perairan situ untuk pengembangan wisata air Situ
Sawangan-Bojongsari. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan peran serta
masing-masing pihak dalam pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari.
3. Penyusunan pedoman pengelolaan kawasan situ di Kota Depok, termasuk
pedoman pengelolaan Situ Sawangan-Bojongsari, oleh Pemerintah Kota
Depok. Pemerintah Kota Depok dapat menjadi pemrakarsa dalam hal
penyusunan pedoman pengelolaan situ yang nantinya juga dapat dimanfaatkan
oleh pihak-pihak lain atau pemerintah daerah lain untuk dijadikan sebagai
contoh bagi daerahnya.