Post on 08-Dec-2015
description
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sentrifuge, pengaduk/stirrer, oven, dan
plate stirrer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biomasa Spirulina basah, aquades, dan
dekstrin.
1.2. Metode
1
8 gram biomasa Spirulina dimasukkan dalam Erlenmeyer
Dilarutkan dalam aquades (biomasa : aquades = 1 : 10)
Diaduk dengan stirrer selama ± 2 jam
2
Disentrifugasi 5000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh endapan dan supernatan
Supernatan diencerkan dan divortex hingga pengenceran 10-2
Diukur kadar fikosianinnya dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm
8 ml supernatan ditambah dekstrin (supernatan : dekstrin = 1 : 1)
3
Dicampur rata dan dituang ke wadah
Dioven pada suhu 45ºC hingga kadar air ± 7%
Diperoleh adonan kering yang gempal
Dihancurkan dengan alat penumbuk hingga berbentuk powder
4
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan mengenai OD, Konsentrasi Fikosianin, Yoeld, dan Warna dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran OD, Konsentrasi Fikosianin (KF), Yield, dan Warna Fikosianin
KelompokBerat
Biomassa (gram)
Jumlah Akuades
(ml)
Total Filtrat (ml)
OD 615
OD 652
KF (mg/ml)
Yield (mg/g)
Warna
Sebelum di oven
Setelah dioven
B1 8 80 56 0,1521 0,1094 1,877 13,139 + +B2 8 80 56 0,1481 0,1094 1,800 12,600 ++ ++B3 8 80 56 0,1393 0,1732 1,071 7,497 + +B4 8 80 56 0,1676 0,1749 1,586 11,103 + +B5 8 80 56 0,1217 0,1743 0,732 5,124 + +
Keterangan :Warna :+ : biru muda++ : biru+++ : biru tua
Dari Tabel 1. di atas dapat dilihat bahwa dengan berat biomassa sebesar 8 gram,
jumlah akuades yang digunakan sebagai pelarut sebesar 80 ml dan filtrat yang
dihasilkan sebesar 56 ml pada semua kelompok menghasilkan data pengukuran OD,
KF (konsentrasi fikosianin), yield dan warna yang berbeda-beda tiap kelompok. Hasil
OD615 pada kelompok B1 adalah sebesar 0,1521, OD652 yang dihasilkan sebesar 0,1094
sehingga konsentrasi fikosianinnya sebesar 1,877 dan menghasilkan yield sebesar
13,139. Hasil OD615 pada kelompok B2 adalah sebesar 0,1481, OD652 yang dihasilkan
sebesar 0,1094 sehingga konsentrasi fikosianinnya sebesar 1,800 dan menghasilkan
yield sebesar 12,600. Hasil OD615 pada kelompok B3 adalah sebesar 0,1393, OD652
yang dihasilkan sebesar 0,1732 sehingga konsentrasi fikosianinnya sebesar 1,071 dan
menghasilkan yield sebesar 7,497. Hasil OD615 pada kelompok B4 adalah sebesar
0,1676, OD652 yang dihasilkan sebesar 0,1749 sehingga konsentrasi fikosianinnya
sebesar 1,586 dan menghasilkan yield sebesar 11,103. Hasil OD615 pada kelompok B5
adalah sebesar 0,1217, OD652 yang dihasilkan sebesar 0,1743 sehingga konsentrasi
fikosianinnya sebesar 0,732 dan menghasilkan yield sebesar 5,124. Hasil hasil KF
dan yield terbesar diperoleh kelompok B4, sedangkan pada kelompok B5
menghasilkan nilai KF dan yield terendah. Pada pengujian warna fikosianin secara
5
6
visual, dapat dilihat bahwa warna biru muda diperoleh kelompok B1, B3, B4 dan B5,
sedangkan pada kelompok B2 memiliki warna biru muda.
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut kali ini, akan dibahas mengenai pigmen
fikosianin sebagai pewarna alami dari blue-green microalga spirulina.Pigmen atau
bahan pewarna dibutuhkan oleh industri pangan untuk memberikan warna pada
produk makanan agar lebih menarik. Produsen makanan memberikan pewarna
padaproduknyadengan tujuan untuk menggugah selera konsumennya, karena
penampakan produk termasuk warnanya mempengaruhi penerimaankonsumen
(Candra, 2011). Secara umum, pigmen digolongkan menjadi 2 jenis yaitu pigmen
buatan / sintetis dan pigmen alami / biopigmen (Mohammad, 2007). Industri pangan
berkembang dengan pesat di Indonesia begitu pula dengan tuntutan penggunaan
pigmen pun juga meningkat pesat. Pada umumnya, pigmen sintetis lebih banyak
digunakan karena mudah didapat, mudah digunakan serta memiliki stabilitas yang
tinggi. Namun penggunaan pigmen sintetis yan berlebihan dan kurang terkontrol
dapat menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan, karena pigmen sintetis
seperti tartrazin, alluora red dan rodhamin B bersifat karsinogenik serta dapat
menyebabkan alergi hingga penyakit kanker (Tim IPPOM MUI, 2005). Untuk
mengatasi masalah tersebut, maka penggunaan pewarna alami dianjurkan untuk
digunakan. Selain itu, saat ini masyarakat juga semakin sadar akan pentingnya
kesehatan dan keamanan pangan, maka penggunaan bahan baku atau produk yang
bersifat alami seperti biopigmen terus meningkat.
Pigmen alami (biopigmen) merupakan jenis pigmen yang tidak memiliki sifat
karsinogenik, tidak memiliki efek samping negatif jika dikonsumsi, serta dapat
diuraikan.Pewarna alami yang banyak digunakan di masyarakat umumnya berasal
dari pigmen daun, buah, batang, atau umbi-umbian. Namun demikian, pewarna alami
dari bahan-bahan tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu stabilitasnya terhadap
panas, pH, dan cahaya kurang, ketersediaannya terbatas, serta lebih mahal sehingga
kurang cocok untuk produksi massal. Oleh karenanya, perlu dicari sumber pewarna
alami lain yang ketersediaannya melimpah. Salah satunya yaitu dari mikroalga,
produksi biopigmen mikroalga memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah
tidak bergantung pada iklim dan cuaca, waktu tumbuh cepat sehingga dapat dipanen
dalam waktu yang tidak terlalu lama, dapat diproduksi terus menerus, tidak
menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan, produksinya dapat dikendalikan sesuai
7
8
kebutuhan dan keinginan, serta memiliki fungsi kesehatan sebagai antikanker, anti
hyperkolesterol,dan mampu meningkatkan daya tahan tubuh (Arylza, 2005). Salah
satu spesies mikroalga yang mampu menghasilkan bahan pewarna (pigmen) adalah
spirulina.Spirulina mampu menghasilkan pigmen fikosianin berwarna biru. Spolaore
et al. (2006) melaporkan bahwa pigmen ini berpotensi digunakan sebagai pewarna
alami.
2.1. Spirulina
Spirulina sendiri adalah organisme yang termasuk kelompok alga hijau biru (blue-
green algae). Spirulina termasuk organisme multiseluer, tubuhnya berupa filamen
berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang (Richmond 1988).
Spirulina mempunyai ukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia.
Spirulina berwarna hijau tua di dalam koloni yang besar. Warna hijau tua ini berasal
dari klorofil dalam jumlah tinggi. Secara alami, Spirulina mampu tumbuh di perairan
danau yang bersifat alkali dan suhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis.
Spirulina mempunyai membran sel yang tipis dan lembut sehingga mudah dicerna
(Tietze 2004). Karakteristik ini juga menyebabkan Spirulina tidak membutuhkan
proses pengolahan khusus (Richmond 1988).
Spirulina termasuk ke dalam kelompokblue-green algae/ cyanophyta yang telah ada
di bumi sejak 3500 juta tahun lalu. Mikroorganisme ini berukuran 3,5-10 mikron dan
memiliki filamen berbentuk spiral dengan diameter 20-100 mikron. Spirulina
mengandung 60% protein dengan asam-asam amino esensial, sepuluh vitamin, juga
berkhasiat sebagai obat (therapeutic). Selain itu pula, Spirulina memiliki pigmen
fikosianin yang merupakan antioksidan dan antiinflamatori, polisakarida yang
memiliki efek antitumor dan antiviral, γ-asam linoleat (GLA) dari Spirulina dapat
berfungsi sebagai penurun kolesterol (Desmorieux 2006).
Spirulina memiliki membran tilakoid. Pada membran tilakoid terdapat struktur
granula berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk
menyerap cahaya dan diduga dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari
oksidasi pada cahaya berintensitas tinggi. Cahaya yang diserap oleh fikosianin akan
ditransfer kepada allofikosianin kemudian diteruskan menuju pusat reaksi yaitu
klorofil di membran tilakoid. Klorofil merupakan pigmen fotosintesis mikroalga
9
Pigmen spirulina terletak pada membran tilakoid yang tersebar di dalam kromoplasma
(Diharmi, 2001).
Spirulina fusiformis merupakan salah satu spesies Spirulina yang banyak ditemukan
di perairan tawar. Spirulina fusiformis adalah salah satu varian mikroalga Spirulina
yang berasal dari Madurai. Tiga varian dari Spirulina fusiformis, yaitu: Varian tipe S,
varian tipe C, dan varian tipe H (Richmond 1988). Secara taksonomi Spirulina
fusiformis (Pamungkas, 2005), diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Protista
Filum : Cyanobacteria
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Nostocales
Famili : Oscillatoriaceae
Genus : Spirulina
Spesies : Spirulina sp.
Gambar 1. Spirulina sp.
Sumber: Mussagy et al. 2006
Spirulina adalah salah satu mikroalga penghasil fikosianin yang relatif cepat
bereproduksi dan mudah dalam sistem pemanenannya. Jenis ini hidup dalam
lingkungan yang sangat basa (pH 8-11) dengan kandungan senyawakarbonat-
bikarbonat yang tinggi, dalam hiduonya spirulina memerlukan cahaya dan CO2 untuk
berfotosintesis. Oksigen yang dihasilkan dari fotosintesis dapat meningkatkan
kandungan O2 dalam medium pertumbuhannya. Unsur nitrogen juga harus dipasok
karena mikroalga ini tidak dapat mengkonsumsinya dari udara dan jika kondisi
pertumbuhan telah sesuai, biomasa kering spirulina yangdidapat bisa mencapai 60-70
ton/hektar kolam (Tri-Panji et. al. 1996).
Menurut penelitian Boussiba dan Richmond (1980), diketahui bahwa biomasaa sel
spirulina lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan buffer bila
dibandingkan dengan pelarut yang kurang polar. Besar maupun kecilnya keberadaan
fikosianin yang terkandung dalam biomasa sel tergantung dari banyak sedikitnya
suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh spirulina.Spirulina merupakan alga mesofilik.
Mikroorganisme mesofilik dapat tumbuh optimal pada temperatur antara 35-40 °C.
10
Kultur Spirulina di laboratorium memiliki suhu optimum pertumbuhannya antara 35-
37 °C. Suhu minimum berkisar antara 18-20 °C (Richmond 1988).
Ukuran spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari medium melalui
filtrasi. Di negara berkembang seperti Chad Afrika, pemisahan spiruinacukup
dilakukan dengan kain penyaring sederhana (Angka &Suhartono, 2000). Spirulina
segar difiltrasi dengan filter berukuran 20 μm (Desmorieux & Decaen, 2006). Proses
pengeringan pada produksi spirulina komersial merupakan pertimbangan ekonomi
yang sangat penting dan dapat mencapai 30% dari biaya produksi.Spirulina platensis
juga sering disebut dengan sebutan Arthospira platensis, selain menghasilkan protein
dan pigmen, mikroalga ini juga memiliki aktivitas antioksidan yang mampu
memerangkap radikal bebas karena memiliki komponen fenolik. Jumlah komponen
fenolik dapat ditingkatkan dengan mengubah kondisi kultur (Colla et al., 2007).Ada
empat kelas utama phycobiliproteins seperti allophycocyanin (APC hijau kebiruan),
phycocyanin (PC: biru), phycoerythrin (PE: merah tua) dan phycocyanobilin (PCB:
oranye). Cyanobacteria dengan tingkat tinggi tertentu phycobiliproteins yang
menarik. Potensi utama dari molekul ini sebagai pewarna alami dalam industri
makanan Hemlata, 2011.Phycocyanins memiliki massa molekul jelas 140-210 kDa.
Maksimal penyerapan untuk C-PC adalah antara 610 dan 620 nm, dan C-PC biasanya
tampak gelap biru kobalt. C-PC tidak hanya digunakan sebagai bahan nutrisi dan
pewarna alami untuk makanan dan kosmetik, tetapi juga digunakan dalam diagnostik,
penelitian biomedis dan terapi yang mungkin (Song, 2013).Menurut Moraes, (2010)
C-phycocyanin (C-PC) dapat diekstraksi dari cyanobacteria seperti Spirulina
platensis, yang telah banyak digunakan dalam aplikasi komersial di industri makanan
dan kosmetik sebagai pewarna biru alami. Phycocyanin adalah pigmen biru alam yang
paling penting yang digunakan dalam makanan dan bioteknologi karena warna
mereka, fluorescence dan sifat antioksidan. Cyanobacteria, sebagai sumber PC sedang
dieksploitasi untuk waktu yang lama (Kumar, 2014).Phycocyanin (PC) digunakan
untuk pewarna makanan, aplikasi diagnostik nutraceutical dan immuno dan terutama
diekstrak dari Spirulina. Struktur sel Spirulina dikelompokkan menjadi bakteri
prokariotik. Dalam Spirulina sel, karotenoid, klorofil, dan phycocyanin (PC) adalah
pigmen utama sebesar 0,4, 1,0 dan 14% berat kering, masing-masing PC adalah (biru)
protein pigmen (biliprotein) terletak di sistem tilakoid atau lamellas fotosintesis dalam
membran sitoplasma Duangsee, 2009.
11
2.2. Fikosianin dan Karakteristiknya
Pigmen yang terdapat di dalam spirulina dikelompokkan menjadi tiga kelas: (1)
klorofil a terdiri dari 1,7% dari berat sel, (2) karotenoid dan xantofil yang berkisar
antara 0,5% berat sel, (3) fikobiliprotein yaitu fikosianin dan allofikosianin yang
secara normal terdiri dari 20% protein seluler dan secara kuantitatif merupakan
pigmen yang paling dominan pada spirulina (Richmond 1988).Keberadaan fikosianin
ini adalah sebagai komponen penyimpan nitrogen pada spirulina. Ketika ketersedian
nitrogen di dalam media menurun atau secara keseluruhan media pertumbuhan
kehilangan nitrogen, maka fikosianin mengalami penurunan dan penurunan jumlah ini
berkaitan dengan meningkatknya aktivitas protease yang bertindak dalam purifikasi c-
fikosianin (Richmond 1988).
Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis spirulina yang terletak pada tilakoid tunggal
dan tersebar di dalam kromoplasma. Pada permukaan tilakoid terdapat struktur
granula berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk
menyerap cahaya dan diduga melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi
pada cahaya berintensitas tinggi. Lipofilik pigmen seperti klorofil dan karoten
terkandung sebesar 5% dari biomasa kering. Secara umum, bentuk pigmen pada
chlorophyceace serupa dengan yang ditemukan pada tanaman tingkat tinggi.
Cyanobacteria tidak mengandung klorofil b. Degradasi komponen klorofil seperti
phaeophorbide a dapat menyebabkan iritasi kulit pada manusia. Degradasi tersebut
terjadi karena pemindahan magnesium dan pembelahan enzimatis phytol ester oleh
chlorophyllase. Perlakuan pemanasan selama 3 menit pada suhu 100oC dibutuhkan
untuk menginaktivasi enzim chlorophyllase (Richmond 1988).
Pigmen fikosianin berwarna biru tua yang dapat memancarkan warna merah tua (Ó
Carra & Ó hEocha 1976). Fikosianin termasuk golongan biliprotein. Fikosianin
sebagai biliprotein diketahui mampu menghambat pembentukan koloni kanker
(kupka, 2007). Biliprotein atau biasa dikenal dengan fikobiliprotein adalah kelompok
pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga hijau-biru)
dan Cryptophyta (alga crytomonad). Pigmen ini berfungsi sebagai penyerap cahaya
pada sistem fotosintesis (Ó Carra &Ó hEocha 1976). Kelompokpigmen ini
12
diantaranya adalah R-phycoerythrin, C-phycoerythrin B-phycoerythrin,
allophycocyanin, R-phycocyanin dan C-phycocyanin.
Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada alga hijau biru, dan jumlahnya
lebih dari 20% berat kering alga (Richmond 1990). Fikosianin adalah pigmen
dominan pada Spirulina (Richmond 1988). Kandungan fikosianin dalam 500 mg
tablets spirulina adalah sebanyak 333,0 mg (Tietze 2004). Fikosianin mempunyai
absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm. Berat bobot molekul
fikosianin (C-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa, namun ditemukan bobot molekul
yang lebih besar (262kDa) dari ekstrak fikosianin segar pada banyak spesies. Bobot
molekul yang lebih besar ini diduga disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom
(Ó Carra &Ó hEocha, 1976).
Gambar 2. Struktur fikosianin (Sumber : Goodwin, 1976 danO Carra & O Heocha,
1976).
Struktur fikosianin mengandung rantai tetraphyrroles terbuka yang mungkin
mempunyai kemampuan menangkap radikal oksigen (Romay et al. 1998). Struktur
kimia chromophores pada c-fikosianin, (tetraphyrroles terbuka) sangat mirip dengan
bilirubin. Romay et al. (1998) melaporkan bahwa bilirubin adalah antioksidan yang
penting untuk fisiologis manusia karena mampu mengikat radikal peroksi dengan cara
mendonorkan atom hidrogen yang terikat pada atom C ke 10 pada molekul
tetraphyrroles.
13
Fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang
mampu menangkap radiasi sinar matahari paling efisien (Kupka, 2007). Fikosianin
merupakan kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan dan terlibat dalam
pemanenan cahaya dan energi transduksi. Fikosianin dapat bertindak sebagai bahan
penyimpan nitrogen karena konsentrasi fikosianin tinggi bila Spirulina platensis
ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal (Boussiba & Richmond 1980).
Pigmen fikosianin dapat larut pada pelarut polar seperti air. Kupka (2007) dan El-
Baky (2003), juga melaporkan bahwa pemanfaatan pigmen fikosianin sebagai bahan
pewarna alami pada bahan makanan telah lama dilakukan. Perusahaan Dainippon Ink
& Chemicals (Sakura), bahkan telah mengembangkan produk dengan bahan dasar
pigmen fikobiliprotein dengan nama Lina Blue. Produk ini telah diaplikasikan pada
permen karet, ice sherberts, popsicles, permen, minuman ringan, dairy product, dan
wasabi. Sebagai pewarna alami, pigmen fikosianin juga berpotensi menjadi pewarna
untuk produk kosmetika yang bernilai jual tinggi. Contoh produk yang telah mereka
kembangkan adalah lispstick dan eyeliners (Spolaore et al. 2006).
Kondisi kultur dapat mempengaruhi fase pertumbuhan spirulina, mempengaruhi
perubahan komposisi dan dapat meningkatkan atau menurunkan proporsi
phycobiliproteins termasuk fikosianin.Jumlah komponen fenolik dapat ditingkatkan
dengan mengubah kondisi kultur sehingga dapat meningkatkan antioksidan dan
biomassa dari Spirulina platensis. Mikroalga merupakan mikroorganisme fotoautrotof
obligat sehingga dalam hidupnya, mikroalga membutuhkan sinar matahari sebagai
sumber energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon untuk memproduksi
karbohidrat dan ATP. Kultur media dalam air laut yang optimal juga mengandung
nutrisi seperti C, N, O, H, P, dan Ca, S, Mg, dan K sebagai trace metal, serta agen
pengkelat seperti Fe, Mn, Cu, Mo, dan Co (Walter, 2011).
2.3. Ekstraksi Fikosianin
Dalam mengekstrak pigmen fikosianin dari Spirulina sp., yang pertama-tama
dilakukan adalah memasukkan biomassa spirulina ke dalam erlenmeyer. Kemudian
melarutkannya dengan aquades (metode ekstraksi pelarut polar). Hal ini dikarenakan
fikosianindapat larut dalam pelarut polar. Pernyataan tersebut sesuai dengan teori
Syah et al. (2005) yang menyatakan bahwa spirulina mampu menghasilkan pigmen
14
fikosianin berwarna biru. Pigmen ini dapat larut pada pelarut polar seperti air. Hal ini
juga diungkapkan dalam penelitian Walter (2011), yaitu bahwa dalam mengekstrak
fikosianin dari Spirulina digunakan pelarut polar yang memiliki pH netral yaitu buffer
fosfat pH 7.
Langkah selanjutnya yaitu dilakukan pengadukan menggunakan stirrer selama kurang
lebih 2 jam. Pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan untuk
memaksimalkan ekstraksi polar. Setelah itu larutan disentrifugasi 5000 rpm selama 10
menit hingga diperoleh endapan dan supernatant (cairan berisi fikosianin). Hal ini
sesuai dengan teori Silveira et al. (2007) yang menyebutkan bahwa langkah setelah
ekstraksi polar adalah sentrifugasi untuk mengendapkan debris sel dan mengambil
pigmen fikosianin yang larut dalam pelarut polar (air). Tujuan sentrifugasi secara
umum adalah untuk memisahkan padatan dan cairan sehingga tidak mengganggu
proses pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer. Hal ini didukung oleh
Kimball (2005), yang menyatakan bahwa Prinsip utama sentrifugasi adalah
memisahkan substansi berdasarkan berat jenis molekul dengan cara memberikan gaya
sentrifugal sehingga substansi yang lebih berat akan berada di dasar, sedangkan
substansi yang lebih ringan akan terletak di atas. Teknik sentrifugasi tersebut
dilakukan di dalam sebuah mesin yang bernama mesin sentrifugasi dengan kecepatan
yang bervariasi, contohnya 2500 rpm (rotation per minute) atau 3000 rpm. Kemudian
supernatant yang diperoleh diambil dan diukur kadar fikosianinnya dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Hal
ini sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian Bennet & Bogorad (1973)
dalam Antelo et al. (2010) yang menyatakan bahwa supernatan atau filtrat hasil
ekstraksi fikosianin dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang
615 nm dan 652 nm.Setelah diukur dengan spektrofotometer, supernatant
ditambahkan dekstrin dengan perbandingan supernatant : dekstrin = 1 : 1. Tujuan
penambahan dekstrin dalam pembuatan pewarna bubuk fikosianin menurut Murtala
(1999) adalah untuk mempercepat pengeringan danmencegah kerusakan akibat
panas,melapisi komponen flavour,meningkatkan total padatan, danmemperbesar
volume.
Menurut Reynold (1982), dekstrin merupakan polisakarida yang dihasilkan dari
hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam,
15
berwarna putih sampai kuning. Pada pembuatan dekstrin, rantai panjang pati
mengalami pemutusan oleh enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang
lebih pendek, yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus molekul (C6H10O5)n.
Berkurangnya panjang rantai menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari pati yang
tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air, memiliki
kekentalan lebih rendah dibandingkan pati. Dekstrinbersifat mudah larut dalam air,
lebih cepat terdispersi, tidak kental serta lebih stabil daripada pati. Fungsi dekstrin
pada umumnya yaitu sebagai pembawa bahan pangan yang aktif seperti bahan flavor
dan pewarna yang memerlukan sifat mudah larut air dan bahan pengisi (filler) karena
dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk (Ribut dan Kumalaningsih,
2004).Arief, (1987), mengemukakan bahwa struktur molekul dekstrin berbentuk
spiral, sehingga molekul- molekul flavor yang terperangkap di dalam struktur spiral
helix. Dengan demikian penambahan dekstrin dapat menekan kehilangan komponen
volatile selama proses pengolahan.
Penambahan dekstrin ke dalam produk dapat mengurangi kerusakan pigmen akibat
oksidasi. Fennema (1976) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa
yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya
proses oksidasi dapat dicegah. Dekstrin memiliki sifat yang dapat larut dalam air,
lebih stabil terhadap suhu panas sehingga dapat melindungi senyawa volatil dan
senyawa yang peka terhadap panas atau oksidasi dalam hal ini adalah untuk
melindungi fikosianin.
Dekstrin mempunyai viskositas yang relatif rendah, sehingga pemakaian dalam
jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini justru akan menguntungkan jika pemakaian
dekstrin ditujukan sebagai bahan pengisi atau sebagai agen entrapment karena dapat
meningkatkan berat produk serta memerangkap senyawa penting untuk
mempertahankan stabilitasnya (Wiyono, 2007).Dekstrin dapat digunakan pada proses
enkapsulasi, untuk melindungi senyawa volatile, melindungi senyawa yang peka
terhadap oksidasi atau panas, karena molekul dari dekstrin stabil terhadap panas dan
oksidasi. Dekstrin dapat melindungi stabilitas flavor selama pengeringan dengan
menggunakan spray dryer (Suparti, 2000).
16
Adapun teknik dalam penuangan supernatant dan dekstrin perlu diperhatikan yaitu
dengan menuangkan dekstrin ke dalam alas / loyang pengering dahulu kemudian
barulah sedikit demi sedikit supernatant dituangkan di atasnya agar pencampuran
supernatant dengan dekstrin dapat tercampur secara sempurna. Setelah tercampur rata,
campuran supernatant dengan dekstrin tadi kemudian dimasukkan ke dalam oven
bersuhu 45°C dan dikeringkan hingga kering ± kadar airnya mencapai 7% (tidak perlu
mengukur kadar air – cukup diambil menggunakan spatula dan dilihat kering atau
masih menggumpal). Setelah dikeringkan maka akan terlihat atau terbentuk adonan
kering yang gempal, maka perlu dihancurkan dengan mengunakan alat penumbuk
hingga berbentuk powder.
Metode pengeringan fikosianin yang dilakukan dalam praktikum ini sudah sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Desmorieux & Decaen (2006), yang menyatakan
bahwa pengeringan sebaiknya dilakukan dengan aliran udara dan pemanasan yang
dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-60°C dan dengan
kecepatan udara 1,9 hingga 3,8m/s karena pengeringan yang dilakukan dalam
praktikum menggunakan suhu 45°C. Suhu pengeringan di atas 60°C akan
menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi maillard. Kondisi
pengeringan secara konfeksi pada lapisan tipis yang paling optimum dilakukan pada
kondisi suhu dibawah 40°C dan kecepatan udara dibawah dan 2,5m/s. Pengeringan
menggunakan cahaya matahari langsung juga dapat dilakukan tetapi tidak
direkomendasikan untuk produk bagi konsumsi manusia selain karena dapat
menimbulkan aroma yang tidak diinginkan juga dapat meningkatkan jumlah
kontaminasi bakteri. Pengeringan spray memberikan hasil yang cukup memuaskan
dan secara umum tidak berakibat buruk terhadap kandungan gizi spirulina.
Penyimpanan spirulina dilakukan dalam keadaan kering karena spirulina kering tidak
mudah terfermentasi (Angka dan Suhartono 2000).
Pada hasil pengamatan yang diperoleh dalam praktikum, diperoleh bahwa dengan
pengukuran optical density (OD615 dan OD652), konsentrasi fikosianin, yield fikosianin
dan warna pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Berdasarkan hasil tersebut
maka dapat diketahui bahwa konsentrasi fikosianin dan yield fikosianin dipengaruhi
langsung oleh optical density, karena menurut Bennet & Bogorad (1973) dalam
17
Antelo et al. (2010), besarnya nilai KF (konsentrasi fikosianin) dapat dihitung dengan
persamaan :
Konsentrasi fikosianin (mg/ml) = OD615 – 0,474 ( OD652 )
5,34
Nilai yield diperoleh dari penghitungan KF (konsentrasi fikosianin) dikalikan dengan
volume filtrat dan dibagi dengan berat biomassa. Dengan demikian, besarnya nilai
OD615dan OD652akan berbanding lurus dengan perolehan KF dan yield
fikosianin.Sedangkan optical density atau absorbansi sendiri sangat dipengaruhi oleh
kejernihan larutan. Hal ini didukung oleh Fox (1991), yang jugamenyatakan bahwa
metode absorbansi dipengaruhi oleh konsentrasi dan kejernihan larutan. Semakin
pekat dan keruh suatu larutan, absorbansinya semakin tinggi. Jadi apabila semakin
tinggi OD maka konsentrasi dan yield fikosianin juga semakin tinggi karena nilai OD
berbanding lurus dengan konsentrasi dan yield fikosianin.
Pada table 1. hasil pengamatan dapat dilihat bahwa warna yang dihasilkan dari setiap
kelompok berbeda-beda dari yang berwarna biru muda hingga biru tua. Warna biru
tua diperoleh oleh kelompok B2, sedangkan pada kelompok yang lain berkisar antara
warna biru muda. Padahal jumlah sampel dan dekstrin yang ditambahkan pada semua
kelompok sama yaitu 20 ml supernatant dan 20 mg dekstrin. Hal ini dapat terjadi
karenakemungkinan adanya kekurangtelitian praktikan dalam mengambil dan
menimbangdekstrin sehingga dekstrin yang ditambahkan tidak sama karena menurut
Wiyono (2007), penambahan konsentrasi dekstrin yang semakin tinggi akan membuat
bubuk fikosianin menjadi pudar/cenderung cerah, karena warna dekstrin adalah putih
sehingga dengan adanya penambahan dekstrin yang terlalu banyak akan membuat
bubuk fikosianin memudar. Atau juga dapat diakibatkan kesalahan saat
mencampurkan supernantant dengan dekstrin, pencampuran supernatant dengan
dekstrin secara bersamaan dan langsung dapat mengakibatkan pencampuran kurang
sempurna sehingga dekstrin juga kurang dapat memerangkap pigmen fikosianin
dengan sempurna, akibatnya dekstrin juga kurang dapat melindungi pigmen secara
sempurna saat pengeringan berlangsung, hal ini akan memperngaruhi hasil warna
akhir bubuk fikosianin menjadi semakin pudar.
18
4. KESIMPULAN
Spirulina mampu menghasilkan pigmen fikosianin berwarna biru.
Pigmen yang terdapat di dalam spirulina dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu
klorofil a, karotenoid dan xantofil, serta fikobiliprotein yaitu fikosianin dan
allofikosianin yang secara normal terdiri dari 20% protein seluler dan secara
kuantitatif merupakan pigmen yang paling dominan pada spirulina.
Fikosianin dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami dalam bahan pangan
maupun non-pangan.
Pigmen fikosianin dapat larut pada pelarut polar seperti air.
Pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan untuk
memaksimalkan ekstraksi polar.
Tujuan sentrifugasi secara umum adalah untuk memisahkan padatan dan cairan
sehingga tidak mengganggu proses pengukuran absorbansi menggunakan
spektrofotometer.
Hasil ekstraksi fikosianin dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 615 nm dan 652 nm.
Tujuan penambahan dekstrin adalah untuk melindungi pigmen selama pemanasan,
bahan pengisi atau sebagai agen entrapment karena dapat meningkatkan berat
produk serta memerangkap senyawa penting untuk mempertahankan stabilitasnya.
Pengeringan fikosianin dilakukan pada suhu 45oC untuk mencegah terjadi nya
degradasi fikosianin oleh panas yang terlalu tinggi dan timbulnya reaksi maillard.
Besarnya nilai ODberbanding lurus dengan perolehan KF dan yield fikosianin.
Untuk memperoleh hasil warna yang maksimal (hijau tua), maka metode
pencampuran supernatant dan dekstrin perlu diperhatikan.
Semarang, 1Oktober 2015 Praktikan Asisten dosen
Robby Chaniago - Deanna Suntoro (13.70.0179) - Ferdyanto Juwono
19
5. DAFTAR PUSTAKA
Angka SI dan Suhartono MT.(2000). Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor : PKSPL-IPB.
Antelo, F. S., Andreia A., Jorge A. V. C. and Susanna J. K. (2010). Extraction and Purification of C-phycocyanin from Spirulina platensis in Conventional and Integrated Two-Phase Systems. J. Braz. Chem. Soc., Vol. 21, No. 5, 921-926.
Arylza, IS. (2003). Isolasi pigmen bru fikosianin dari mikroalga Spirulina plantesis. Journal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38:79-92.
Arief, M. (1987). Ilmu Meracik Obat Berdasar Teori Dan Praktek. Universitas Gajahmada Press. Yogyakarta.
Bennett, A.; Bogorad, L. (1973)Role of the Linker Polypeptides in the Assembly of Phycocyanin. The Journal of Biological Chemistry, 257, No. 7, 3429.
Boussiba S and Richmond A. (1980). c-Phycocianin as a storage protein in the blue-green alga Spirulina plantesis. Archives of Microbiology 125, 143-147.
Chandra, Budi Atrika. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Colla, Luciane M., Eliana Badiale F., Jorge A. V. Antioxidant Properties of Spirulina platensis Cultivated Under Different Temperatures and Nitrogen Regimes.Z. Naturforsch 59c: 55-59.
Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal Of Food Engineering, 77:64-70.
Diharmi A. 2001. Pengaruh Pencahayaan Terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif Mikrolaga Spirulina platensis Strain Lokal (INK). [Tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Duangsee R., et all. (2009). Phycocyanin extraction from Spirulina platensis and extract stability under various pH and temperature. Asian Journal of Food and Agro-Industry. Thailand.
El-Baky HHA. 2003. Over production of phycocyanin pigment in blue green alga Spirulina sp. And it’s Inhibitory effect on growth of Ehrlich Aschites Carcinoma Cells Journal Medical Science 3(4):314-324.
Fennema, O.R. (1976). Principles of Foods Science. Marcel Dekker. Inc. New York.
Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.
Hemlata,et all. (2011). Studies on Anabaena sp. NCCU-9 with special reference to phycocyanin. J. Algal Biomass Utln. India
20
21
Kimball, J.W. (1992). Biologi. Terjemahan oleh: Siti Soetarmi Tjitrosomo & Nawangsari Sugiri. Jakarta: Erlangga.
Kupka, M. and Scheer, H. (2007). Unfolding of C-phycocyanin followed by loss of noncovalent chromophore–protein interactions 1.Equilibrium experiments. Biochimica et Biophysica Acta. 1777: 94–103.
Kumar D.,et all. (2014). Extraction and purification of C-phycocyanin from Spirulina platensis (CCC540). Ind J Plant Physiol
Mohammad, Johan. (2007). Produksi dan Karakteristik Biopigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis serta Aplikasinya Sebagai Pewarna Minuman. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Moraes C.C., et all. (2011). C-PHYCOCYANIN EXTRACTION FROM Spirulina platensis WET BIOMASS. Universidade Federal do Rio Grande. Brazil.
Murtala, S. S. 1999. Pengaruh Kombinasi Jenis Dan Konsentrasi Bahan Pengisi Terhadap Kualitas Bubuk Sari Buah Markisa Siul (Passiflora edulis F. Edulis). Tesis. Pasca Sarjana Universitas Bawijaya Malang. 70 hal.
Ó Carra P, Ó hEocha C.(1976). Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. London: Academic press inc. Hal 328-371.
Pamungkas Estiamboro. 2005. Pengolahan Limbah Cair PT. Pupuk Kujang dengan Spirulina sp. pada Reaktor Curah (Batch). [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Reynolds, James E.F. (1982). Martindale The Extra Pharmacopolia, Edition Twenty Eigth. The Pharmacentical Press. London.
Ribut, S. dan S. Kumalaningsih, (2004). Pembuatan bubuk sari buah sirsak dari bahan baku pasta dengan metode foam-mat drying. Kajian Suhu Pengeringan, Konsentrasi Dekstrin dan Lama Penyimpanan Bahan Baku Pasta. http://www.pustaka-deptan.go.id.
Richmond A. (1988). Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor. Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.
Romay C, Armesto J, Remirez D, González R, Ledón N, García I. (1998). Antioxidant and anti-inflammatory properties of c-phycocyanin from blue-green algae. Inflammation Research 47:36-41.
Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.; Bioresour. Technol. 2007, 98, 1629.
22
Song W., et all. (2013). A Large-Scale Preparation Method of High Purity C-Phycocyanin. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics. China.
Spolaroe P, Joanis CC, Duran E, Isambert A. 2006. Comercial Application of Microalgae Review. J Biosci and Bioeng. 101 (2): 87-96.
Suparti, W. 2000. Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: pengaruh Suhu, Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaaya. Malang.
Syah et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Tietze HW. 2004. Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing.
Tim IPPOM MUI. (2005). Dilema Pewarna Makanan. www.republika-online.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2015.
Walter, Alfredo, Julio Cesar de C., Vanete T. S., Ana B. B., Vanessa G., and Carlos R. S. (2011). Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis Under Different Light Spectra. Vol. 54, pp 675-682.
Wiyono, R. (2007). Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin, Konsentrasi Asam Sitrat dan Na-Bikarbonat.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus perhitungan :
Konsentrasi Fikosianin / KF (mg/ml) = OD615 – 0,474 ( OD652 )
5,34
Yield (mg/g) = KF × Vol (total filtrat)g (berat biomassa)
Kelompok B1
KF= 0,1521 – 0,474 (0,1094)
5,34 = 1,877 mg/ml
Yield = 1 ,877 ×56
8= 13,139 mg/g
Kelompok B2
KF = 0,1481 – 0,474 (0,1094)
5,34 = 1,800 mg/ml
Yield = 1 ,8 00×56
8= 12,600mg/g
Kelompok B3
KF = 0,1393 – 0,474 (0,1732)
5,34 = 1,071 mg/ml
Yield = 1 ,071 ×56
8= 7,497 mg/g
Kelompok B4
23
24
KF = 0,1676 – 0,474 (0,1749)
5,34 = 1,586 mg/ml
Yield = 1 ,586×56
8= 11,103 mg/g
Kelompok B5
KF = 0,1217 – 0,474 (0,1743)
5,34 = 0,732 mg/ml
Yield = 0,732×56
8= 5,124 mg/g
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal