Post on 03-Mar-2019
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG
MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO
(KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN)
SKRIPSI
Oleh :
Fitri Wulandari
K1207018
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG
MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO
(KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN)
Oleh:
Fitri Wulandari
K1207018
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta dan diterima untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan.
Surakarta, Mei 2011
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I,
Drs. Amir Fuady, M. Hum. NIP 195207291980101001
Pembimbing II,
Dr. Andayani, M. Pd. NIP 196010301986012001
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari : Rabu
Tanggal : 25 Mei 2011
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Raheni Suhita, M.Hum. ...................................
Sekretaris : Budi Waluyo, S.S, M.Pd. ...................................
Anggota I : Drs. Amir Fuady, M.Hum. ...................................
Anggota II : Dr. Andayani, M.Pd. ..................................
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
ABSTRAK
Fitri Wulandari, K 1207018. NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN) . Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (2) persamaan dan perbedaan struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (3) kajian intertekstualitas antara novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; dan (4) nilai pendidikan novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yang sebelumnya didahului dengan pendekatan struktural. Sumber data adalah novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik analisis dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir. Teknik validitas data yang digunakan adalah trianggulasi teori. Hasil temuan penelitian dengan kajian intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut: (1) struktur kedua novel terdiri atas tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat; (2) persamaan struktur kedua novel tersebut berupa tema. Kedua novel mempunyai tema yang sama yakni pendidikan. Amanat, kedua novel mengamanatkan untuk berani bercita-cita dan berusaha keras mewujudkan cita-cita tersebut. Terkait dengan alur, kedua novel menggunakan alur maju. Penokohan dalam kedua novel memiliki persamaan yakni pada teknik karakterisasi. Baik itu Laskar Pelangi maupun Orang Miskin Dilarang Sekolah karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi dapat diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh utama yaitu berkemauan keras. Perbedaan kedua novel terletak pada sudut pandang. Laskar pelangi menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”, sedangkan Orang Miskin Dilarang Sekolah menggunakan sudut pandang campuran. Latar cerita dalam novel Laskar Pelangi di Pulau Belitong, Sumatera Selatan, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah berlatar di Semarang, Jawa Tengah; (3) dari hasil kajian intertekstualitas dapat disimpulkan bahwa novel Laskar Pelangi merupakan hipogram, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan teks transformasi; dan (4) nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah yaitu: nilai pendidikan religius, sosial, moral, dan kebudayaan.
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
MOTTO
aku ingin hidup dalam keagungan cinta,
dan cahaya keindahan, karena keduanya,
merupakan pengejawantahan tuhan,
di situlah aku hadir, hidup,
dan aku tak kan mungkin dapat diasingkan dari wilayah hidup,
karena dengan amanah yang berkumandang itu
aku akan hidup kekal di alam baka.
(Suara Sang Guru, Kahlil Gibran)
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku yang senantiasa
mendoakanku
2. Kakak-kakakku, Ayuri, Iyiq, Hoho, dan
adikku Sayang yang selalu memberikan
cinta, semangat dan doa
3. Teman-temanku, Haning, Fajar, Heri,
Salmah, Rumi, Hanimun, Desinta, Yunianto,
Adi, Kejora, Mei, Ratih, Adit, Ervin
Hariningtyas untuk bantuannya selama ini
4. Teman-teman P. BASTIND 2007
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah S.W.T.
yang Maha Rahman dan Rahim yang telah melimpahkan rahmat dan Karunia-
Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi yang berjudul Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan
Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas
dan Nilai Pendidikan), disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk
mencapai derajat Sarjana Pendidikan pada Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas bimbingan dan bantuan
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin penulisan skripsi ini;
2. Drs. Soeparno, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan izin penulisan skripsi kepada penulis;
3. Drs. Slamet Mulyono, M.Pd, selaku ketua Progam Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
kesempatan studi;
4. Drs. Amir Fuady, M.Hum dan Dr. Andayani, M.Pd selaku pembimbing I dan
II yang telah sabar meluangkan pemikiran dan waktunya untuk memberikan
arahan, petunjuk, dan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini;
5. Para dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Prof. Dr. Herman J. Waluyo., Dr. Nugraheni Eko Wardhani,
M.Hum., Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Dr. Budhi Setiawan, M.Pd., yang
telah memberikan ilmu, motivasi, dan bimbingannya selama menempuh studi;
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
6. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd yang telah bersedia memberikan respons terhadap
novel Orang Miskin Dilarang Sekolah;
7. Mas Wiwid Prasetyo yang telah berbagi informasi mengenai karyanya;
8. Teman-teman Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
2007.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan, pembaca, dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Surakarta, Mei 2011
Penulis
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................... ii
PERSETUJUAN ............................................................................................. iii
PENGESAHAN .............................................................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
MOTTO ....................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
DAFTAR SINGKATAN
BAB I PEDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR ......... ............... 7
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 7
1. Hakikat Novel ................................................................................ 7
2. Hakikat Pendekatan Struktural ....................................................... 29
3. Hakikat Kajian Intertekstualitas ..................................................... 31
4. Hakikat Nilai Pendidikan ............................................................... 36
B. Penelitian yang Relevan ...................................................................... 42
C. Kerangka Berpikir ................................................................................ 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................... ............................... 47
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 47
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ....................................................... 48
C. Sumber Data ......................................................................................... 48
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
D. Teknik Sampling .................................................................................. 48
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 49
F. Teknik Validitas Data .......................................................................... 49
G. Teknik Analisis Data ............................................................................ 49
H. Prosedur Penelitian .............................................................................. 52
BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN ............. .................... 53
1) Deskripsi Data ...................................................................................... 53
1. Struktur Novel LP dan OMDS ....................................................... 53
2. Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS ................ 139
3. Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS .................... 159
4. Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS ............................... 141
2) Pembahasan Hasil Temuan Penelitian ................................................. 159
3) Struktur Novel LP dan OMDS ....................................................... 159
4) Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS ................ 205
5) Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS ................... 220
6) Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS ............................... 211
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ............... ........................ 228
A. Simpulan .............................................................................................. 228
B. Implikasi ............................................................................................... 229
C. Saran ..................................................................................................... 231
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ................................................. 47
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berpikir .......................................................................... 46
Gambar 2. Skema Analisis Mengalir (Flow Model of Analysis) ..................... 51
Gambar 3. Skema Plot Novel LP Karya Andrea Hirata .................................. 127
Gambar 4. Skema Plot Novel OMDS Karya Wiwid Prasetyo ......................... 134
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Sinopsis Novel LP ....................................................................... 233
Lampiran 2. Sinopsis Novel OMDS ................................................................ 236
Lampiran 3. Profil Andrea Hirata .................................................................... 239
Lampiran 4. Profil Wiwid Prasetyo ................................................................. 245
Lampiran 5. Artikel Internet “Mengapa Harus Novel Pendidikan?” ............... 272
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
DAFTAR SINGKATAN
LP= Laskar Pelangi (Novel)
OMDS= Orang Miskin Dilarang Sekolah (Novel)
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra terdiri dari berbagai jenis, salah satunya adalah novel. Burhan
Nurgiyantoro (2005: 4) menyatakan bahwa novel sebagai suatu karya fiksi yang
menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan,
dunia imajiner, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti
peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang yang bersifat imajiner.
Mengacu pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel sebagai sebuah dunia
hasil rekaan pengarangnya yang dibangun oleh sebuah jalinan struktur yang
ditawarkan pengarang untuk dijadikan teladan bagi pembacanya.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M (dalam Herman J. Waluyo) menyebutkan
tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yaitu: plot, tema, karakter, setting, point of
view, gaya, dan suasana cerita (2002: 140). Unsur-unsur inilah yang menyebabkan
sebuah novel menjadi lebih hidup sehingga pembaca seolah merasakan kehidupan
yang digambarkan oleh pengarang dalam suatu rangkaian peristiwa. Dengan
demikian, pembaca akan terbawa ke dalam sebuah permenungan tentang
kehidupan manusia yang ditulis pengarang. Hingga akhirnya pembaca dapat
memperoleh suatu pesan dalam kehidupan nyata.
Arifin (2009) menyatakan bahwa novel pada umumnya dianggap sebagai
karya sastra yang bersifat menghibur. Selain itu, novel sebagai salah satu bentuk
karya sastra mempunyai fungsi bermanfaat. Dikatakan menghibur karena dengan
membaca novel, seseorang bisa menikmati keindahan cerita yang terkandung di
dalam novel tersebut. Novel memiliki keindahan dalam alur cerita, konflik yang
dibangun, dan hal lain yang dituangkan dalam tema yang beragam. Tema tersebut
dapat berupa percintaan, persahabatan, kritik sosial, maupun pendidikan.
Sedangkan dikatakan bermanfaat karena novel tercipta melalui permenungan
yang sungguh-sungguh. Sehingga pembaca dapat mengambil nilai-nilai yang
bermanfaat yang terkandung di berbagai novel, salah satunya novel LP.
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Novel LP merupakan novel perdana dari Andrea Hirata yang memiliki
banyak nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik. Hal ini dikarenakan novel LP
menyoroti dunia pendidikan yang dikemas sangat menarik dan sarat dengan nilai
kehidupan yang bermanfaat bagi pembacanya. St. Muttia A. Husain (2010) dalam
karya tulisnya menyatakan bahwa membaca novel LP juga dapat menimbulkan
kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya dengan melakukan berbagai hal
untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan. Mengacu pendapat tersebut tak
heran jika dalam waktu singkat, LP menjadi bahan pembicaraan para penggemar
novel.
Berdasarkan uraian di atas, Fajar Aryanto (2009) dalam menyatakan
bahwa dalam waktu seminggu, LP mampu terjual lebih dari satu juta eksemplar
sehingga termasuk dalam best seller. Pendapat tersebut sejalan dengan Sainul
Hermawan yang menyatakan bahwa novel LP menjadi novel terlaris di Indonesia
serta melampaui rekor Ayat-ayat Cinta dan Saman (2009: 103). Hal ini
disebabkan LP menyuguhkan sebuah cerita yang dikemas sangat menarik oleh
pengarangnya. Novel ini mengisahkan semangat anak-anak kampung Gantung
Kabupaten Belitong Timur yang tak mengenal menyerah dalam berjuang meraih
cita-cita. Mereka adalah sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi yang
hidup serba kekurangan dan penuh keterbatasan. Akan tetapi, segala
keterbatasannya itu tidak sedikitpun menyurutkan niat mereka dalam belajar dan
kemauan keras merubah nasib. Isi novel LP menegaskan bahwa kemiskinan
bukanlah hambatan seseorang meraih kesuksesan asalkan tetap mempunyai cita-
cita dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya.
Setelah kemunculan novel LP yang fenomenal ini, kontan saja dunia sastra
banyak diramaikan dengan kemunculan novel-novel sejenis, yakni novel
bertemakan pendidikan. Asrori S. Karni menyatakan bahwa kisah Ikal yang
diceritakan dengan lincah oleh Andrea Hirata telah menginspirasi jutaan orang
(2008: 1). Banyak pengarang terinspirasi untuk menulis kisah-kisah sejenis,
seperti novel Perahu Kertas oleh Dewi Lestari, Negeri Lima Menara oleh A
Fuadi, Ma Yan oleh Sanie B. Kuncoro, Sang Pelopor, Titian Sang Penerus, Jejak
Sang Perintis oleh Alang-alang Timur dan masih banyak lagi. Salah satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pengarang yang juga terinspirasi dari novel LP adalah Wiwid Prasetyo. Beberapa
karya Wiwid yang sudah terbit antara lain Orang Miskin Dilarang Sekolah, Sup
Tujuh Samudra, Chicken Soup Asma’ul Husna, Miskin Kok Mau Sekolah…?!,
Idolaku Ya Rasulullah Saw…!, Demi Cintaku pada-Mu, Aha, Aku Berhasil
Kalahkan Harry Potter, The Chronicle of Kartini, dan Nak, Maafkan Ibu Tak
Mampu Menyekolahkanmu.
Salah satu karya Wiwid yang menarik adalah novel yang berjudul Orang
Miskin Dilarang Sekolah (OMDS). Novel yang terbit pertama kali pada tahun
2009 ini, kini di tahun 2011 sudah mencapai cetakan keenam dan oleh Diva Press
diberikan gelar nasional best seller. Novel ini mengangkat tema yang sama
dengan novel LP, yakni masalah pendidikan yang diramu dengan persahabatan,
cinta, dan fenomena sosial, khususnya masalah kemiskinan. Tak kalah dengan
novel LP, novel OMDS juga sarat dengan muatan nilai pendidikan. Novel OMDS
menceritakan kegigihan seorang anak yang berasal dari golongan miskin yang
berjuang untuk dapat mengenyam pendidikan. Novel OMDS mempunyai banyak
kemiripan dengan novel LP. Wiwid (2010) mengaku terinspirasi setelah membaca
novel LP hingga kemudian ia bertekad untuk membuat karya yang sejenis.
Kemiripan-kemiripan antara dua novel tidak hanya ditemui pada novel LP
dan OMDS saja. Dalam khazanah sastra Indonesia tidak jarang ditemui banyak
karya dalam berbagai genre yang mempunyai kemiripan. Hal ini bukan berarti
bahwa karya yang lahir kemudian merupakan hasil penjiplakan dari karya
sebelumnya. Pradopo (dalam B. Trisman) menyatakan bahwa kelahiran suatu
karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya satra yang
mendahuluinya yang pernah diserap oleh sang sastrawan (2003: 81). Jadi, pada
mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi, dan
menyerap teks-teks lain yang menarik perhatiannya, baik yang dilakukan secara
sadar maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi sastranya, konvensi
estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian
mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri. Pengkajian
terhadap dua karya sastra atau lebih tersebut sering disebut dengan pengkajian
sastra dengan pendekatan intertekstualitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis,
ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A. Teeuw (dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 126) karya sastra itu merupakan response pada
karya sastra yang terbit sebelumnya. Intertekstualitas merupakan salah satu sarana
pemberian makna kepada sejumlah teks, dengan cara membandingkan dan
menemukan hubungan-hubungan kebermaknaan antara teks yang ditulis lebih
dulu (hipogram) dengan teks sesudahnya (teks transformasi).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji novel LP karya
Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo dengan menggunakan
pendekatan intertekstualitas yang diawali dengan pendekatan struktural. Untuk
mengetahui struktur yang terdapat dalam novel LP dan OMDS, peneliti perlu
mengkaji unsur intrinsiknya yang berupa: tema, penokohan, latar, alur, sudut
pandang, dan amanat. Hal ini penting dilakukan sebagai langkah awal untuk
memenuhi kebutuhan makna karya sastra yang dilihat dari segi karya itu sendiri.
Dengan pendekatan struktural, karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang
otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembacanya.
Dalam penerapannya, pendekatan ini memahami karya sastra secara close reading
(membaca karya sastra secara tertutup tanpa melihat pengarangnya dan berbagai
konteks di luar karya itu sendiri). Dari hasil pendekatan struktural akan terlihat
jelas struktur yang membangun novel tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan
pendekatan intertekstualitas. Dari pendekatan intertekstualitas ini akan dapat
diketahui perbandingan struktur kedua novel serta persamaan, perbedaan, nilai
pendidikan, dan hubungan intertekstualitas antara novel LP dan OMDS. Oleh
karena itu penelitian ini berjudul “Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata
dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian
Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan)” .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
beberapa masalah berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1. Bagaimanakah struktur novel novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya
Wiwid Prasetyo?
2. Persamaan dan perbedaan apa yang terdapat dalam struktur novel LP karya
Andrea Hirata dan novel OMDS karya Wiwid Prasetyo?
3. Bagaimanakah hubungan intertekstualitas antara novel LP karya Andrea
Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo?
4. Bagaimanakah nilai pendidikan novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS
karya Wiwid Prasetyo?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan struktur novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya
Wiwid Prasetyo.
2. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam struktur
novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo.
3. Mendeskripsikan hubungan intertekstualitas antara novel LP karya Andrea
Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo.
4. Mendeskripsikan nilai pendidikan novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS
karya Wiwid Prasetyo.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi
secara teoretis dan praktis.
1. Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi bidang
kajian sastra yakni memperkaya masalah telaah sastra khususnya pendekatan
intertekstualitas dan nilai pendidikan dalam novel.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Hasil penelitian ini memberikan gambaran atau deskripsi mengenai
struktur novel LP dan OMDS. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat
memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai struktur kedua novel
sehingga dapat membantu siswa melakukan apresiasi terhadap kedua novel.
b. Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran teori
dan apresiasi sastra dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas
XI SMA, khususnya pada Kompetensi Dasar menjelaskan unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.
c. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembanding atau
referen bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian sastra dengan
permasalahan yang serupa, yaitu mengenai kajian intertekstualitas dan nilai
pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Novel merupakan jenis karya sastra yang tergolong baru. Herman J.
Waluyo (2002: 36) menyatakan “novel berasal dari bahasa latin novellas yang
kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru”. Perkataan baru ini
dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang
muncul belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman. Karena muncul
belakangan, novel pun juga menawarkan hal-hal yang baru yang membedakan ia
dengan roman dan cerpen. Apabila dalam roman dikisahkan sebagian besar dari
kisah hidup manusia, maka dalam novel dikisahkan beberapa episode kehidupan
manusia. Sedangkan dalam cerita pendek hanya salah satu episode kehidupan saja
yang dikisahkan. Dengan begitu jelaslah perbedaan novel dengan bentuk karya
sastra yang lain.
Henry Guntur Tarigan (1993: 164) berpendapat “novel adalah suatu cerita
dengan suatu alur yang cukup panjang, berisi satu buku atau lebih, yang
mengisahkan tentang kehidupan dan bersifat imajinatif”. Mengacu pendapat
tersebut, novel memang merupakan sebuah karya sastra yang bersifat imajinatif
yang merupakan hasil pengimajian pengarangnya. Imajinasi pengarang kemudian
dituangkan ke dalam sebuah jalinan cerita yang cukup panjang dengan banyak
detail cerita. Itulah yang disebut dengan novel.
Hal ini diperkuat lagi oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) yang
mengungkapkan “novel sebagai suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia,
yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan, dunia imajiner, yang
dibandingkan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh
dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja
bersifat imajiner”. Mengacu pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel
sebagai sebuah dunia hasil rekaan pengarangnya, di mana ia dibangun oleh sebuah
7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
jalinan struktur yang ditawarkan pengarang untuk dijadikan teladan bagi
pembacanya.
Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam
sebuah novel, yaitu adanya: (a) perubahan nasib tokoh cerita; (b) ada beberapa
episode dalam kehidupan tokoh utamanya; dan (c) biasanya tokoh utama tidak
sampai mati. Senada dengan Herman J. Waluyo, Abrams (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 11) menyatakan bahwa “novel mengemukakan sesuatu
secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan
lebih melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks”. Dalam hal ini
berarti mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu Mengacu dua
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel memang berbeda dengan karya
sastra yang lain. Novel cenderung menitikberatkan kompleksitas yang di
dalamnya memungkinkan adanya penyajian yang panjang lebar mengenai tokoh
dan segala konflik yang dialaminya.
Sebagai suatu karya sastra, novel mengandung nilai-nilai moral yang
berguna bagi pembacanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo
(2002: 37) “novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni, yang
mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai baik buruk (moral) dalam
kehidupan ini dan mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan
budi luhur”. Mengacu pendapat di atas maka novel selain menawarkan sebuah
seni atau alat hiburan, novel juga mempunyai misi untuk pembacanya yakni untuk
mendidik pembaca melalui kisah-kisah yang disuguhkan dalam novel.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa novel adalah jenis cerita fiksi yang tergolong baru, yang
menyuguhkan suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang dengan
memasukkan berbagai unsur intrinsik di dalamnya, yang meliputi tema, alur,
penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat.
b. Struktur Novel
Suatu karya fiksi terwujud karena disusun dengan meramukan berbagai
unsur di dalamnya. Zulfahnur (1996: 24) menyatakan “pengorganisasian berbagai
unsur sastra menjadi suatu kebulatan utuh dan mencerminkan kepribadian karya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
fiksi yang menarik dan bermakna disebut struktur fiksi”. Maka dengan kata lain
hal tersebut berlaku juga dengan novel. Novel sebagai salah satu bentuk karya
sastra juga tersusun atas sebuah struktur. Ada banyak pendapat mengenai struktur
sebuah novel.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M (dalam Herman J. Waluyo) menyebutkan
tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yaitu: plot, tema, karakter, setting, point of
view, gaya, dan suasana cerita (2002: 140). Sementara itu Marjorie Boulton
membagi cerita rekaan menjadi enam unsur, yakni: point of view, plot, character,
percakapan, latar dan tempat kejadian, dan tema yang dominan (dalam Herman J.
Waluyo, 2002: 139).
Burhan Nurgiyantoro (2005: 23) mengatakan “unsur-unsur pembangun
sebuah novel secara garis besar dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik”. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai
jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur intrinsik sebuah novel adalah
unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Di lain
pihak, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu,
tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang
mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi
bagian di dalamnya.
Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Zulfahnur juga menyatakan bahwa
sebuah karya fiksi dibangun oleh dua unsur yakni unsur ekstrinsik dan intrinsik.
Unsur ekstrinsik yang meliputi permasalahan kehidupan, falsafah, cita-cita, ide-
ide dan gagasan serta latar budaya yang menopang kisahan cerita. Sedangkan
unsur intrinsik (unsur dalam dari sebuah fiksi) terdiri atas tema dan amanat, alur,
perwatakan, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa (1996: 24 – 25). Wahyudi
Siswanto juga membagi unsur intrinsik atas alur, tokoh, watak, penokohan, latar,
sudut pandang, gaya bahasa, amanat dan tema (2008: 142). Zainuddin Fananie
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
(2000: 77) menambahkan “faktor ekstrinsik adalah segala faktor luar yang
melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilai-nilai,
struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik,
lingkungan hidup, agama dan sebagainya”. Wellek dan Warren (1990: 75 – 130)
menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna
karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan
filosofis.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra
(novel) dibangun atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan
unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, meliputi tema, penokohan, latar,
sudut pandang, alur, amanat, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik merupakan faktor
luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilai-
nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik,
lingkungan hidup, agama dan sebagainya. Kedua unsur ini bersama-sama
membangun sebuah struktur karya fiksi khususnya novel. Telaah struktur novel
pada penelitian ini dibatasi pada unsur-unsur yang penulis rasa cukup penting
yang berkaitan dengan kajian novel dengan menggunakan pendekatan
intertekstualitas yaitu tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat.
a. Tema
Tema merupakan salah satu unsur dalam karya sastra. Panuti Sudjiman
(1984: 50) menyatakan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang
mendasar suatu karya sastra. Sangidu (1995: 154) menyatakan “tema adalah apa
yang menjadi persoalan utama di dalam sebuah karya sastra”. Sedangkan
Zainuddin Fananie (2000: 84) menyatakan “tema adalah ide, gagasan, pandangan
hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra”. Brooks, Purser, dan
Waren (dalam Henry Guntur Tarigan) mengemukakan bahwa tema adalah
pandangan hidup yang tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai
tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu
karya sastra (1993: 125). Mengacu beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa tema merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Sebagai sebuah gagasan dasar, tema merupakan sesuatu yang netral, belum
ada sikap, belum ada kecenderungan untuk memihak. Oleh karena itu persoalan
apa saja dapat dijadikan tema di dalam sebuah karya sastra. Zainuddin Fananie
menyatakan bahwa karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka
tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam (2000: 84). Tema
bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang
terkait erat dengan masalah kehidupan. Senada dengan Zainuddin Fananie,
Herman J. Waluyo (2002: 142) juga menyatakan “tema adalah masalah hakiki
manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan,
keterbatasan, dan sebagainya”. Mengacu pendapat di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pesoalan apa saja dapat dijadikan sebagai tema dalam sebuah karya sastra.
Di dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Oleh karena itu tema
dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi
mana penggolongan itu dilakukan. Di dalam kajian teori ini, dipaparkan jenis-
jenis tema dipandang dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley. Berikut
adalah penjelasan tentang tingkatan tema menurut Shipley (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 80 – 81) yang meliputi tema tingkat fisik, tema tingkat
organik, tema tingkat sosial, tema tingkat egois, dan tema tingkat devine.
1) Tema tingkat fisik. Tema ini lebih banyak mengarang dan ditujukan oleh
banyaknya aktivitas fisik daripada tokoh cerita bersangkutan.
2) Tema tingkat organik (kejiwaan). Tema ini menyangkut aspek kejiwaan tokoh
cerita.
3) Tema tingkat sosial (makhluk sosial). Tema ini menyangkut masalah sosial,
ekonomi, politik, budaya, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan
atasan bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lain.
4) Tema tingkat egois (persona). Manusia sebagai makhluk individu senantiasa
menuntut pengakuan hak individualitas. Tema ini antara lain mengangkat
masalah martabat, egoistis, harga diri, sifat batin, misalnya jati diri atau sosok
kepribadian seseorang.
5) Tema tingkat divine (manusia sebagai makhluk tingkat tinggi). Masalah yang
menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
pencipta alam, masalah religiusitas, atau masalah yang bersifat filosofis seperti
pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Selain itu, Burhan Nurgiyantoro juga menggolongkan tema dari tingkat
keutamannya, yaitu: tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan
tema minor bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama keseluruhan
cerita (2005: 82 – 83) Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Marjorie Boulton
(dalam Herman J. Waluyo) juga menyebutkan adanya tema dominan (sentral) dan
tema-tema lainnya (2002: 144). Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa di dalam sebuah karya sastra bisa mengandung banyak tema.
Adanya beberapa tema dalam sebuah karya sastra justru akan menunjukkan
kekayaan karya sastra tersebut.
Sebagai sebuah karya imajinatif, tema dapat diungkapkan melalui berbagai
cara. Menurut Zainuddin Fananie, tema dapat diungkapkan melalui dialog tokoh-
tokohnya, melalui konflik-konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara
tidak langsung (2000: 84). Dari pendapat Zainuddin Fananie tersebut dapat
dimakanai bahwa tema yang baik pada hakikatnya adalah tema yang tidak
diungkapkan secara langsung dan jelas. Tema bisa disamarkan sehingga
kesimpulan tentang tema yang diungkapkan pengarang harus dirumuskan sendiri
oleh pembaca.
Bertolak dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema di dalam
sebuah karya sastra merupakan hal yang sangat penting. Tema merupakan
gagasan utama yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya
sastra. Tema merupakan dasar bagi seorang pengarang untuk mengungkapkan
permasalahan dalam sebuah cerita yang dapat diungkapkan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
b. Sudut Pandang atau Point of View
Sudut pandang atau disebut juga point of view merupakan salah satu unsur
novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Herman J. Waluyo (2002: 184)
menyatakan “sudut pandang atau point of view adalah sudut pandang dari mana
pengarang bercerita”. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
mendefinisikan sudut pandang itu sebagai cara dan atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.
Sementara itu Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001: 249)
mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan
pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk
dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Burhan Nurgiyantoro (2005:
250) memberikan pengertian tentang sudut pandang “sudut pandang adalah
strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya”. Mengacu beberapa pendapat di atas maka
dapat disimpulkan secara sederhana bahwa sudut pandang adalah cara pandang
pengarang dalam menyajikan sebuah cerita.
Pemilihan sudut pandang harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh
pengarang. Menurut Stevick (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 251) “sudut
pandang mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca”. Maksud dari
pengertian di atas bahwa pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang
sudut pandang cerita. Pemahaman pembaca pada sudut pandang akan menentukan
seberapa jauh persepsi dan penghayatan, bahkan juga penilaiannya terhadap novel
yang bersangkutan
Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 256 – 266) membedakan sudut pandang menjadi
tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama
“aku”, dan sudut pandang campuran.
1) Sudut pandang persona ketiga “Dia”
Sudut pandang persona ketiga “Dia” yaitu pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah
seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Hal ini akan mempermudah
pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Sudut pandang ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu “Dia” Mahatahu dan “Dia”
terbatas (“dia” pengamat).
Dalam sudut pandang “Dia” Mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut
pandang “dia”, namun pengarang, narator , dapat menceritakan apa saja hal-hal
yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mampu menceritakan sesuatu baik
yang bersifat fisik, dapat diindra, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati
dan pikiran tokoh. Lebih dari itu, ia tak hanya mampu melapor dan menceritakan
kisah tentang tokoh-tokoh saja, melainkan juga dapat mengomentari dan menilai
secara bebas dengan penuh otoritas, seolah-olah tak ada satu rahasia pun rahasia
tentang tokoh yang tidak diketahuinya.
Sedangkan dalam sudut pandang “Dia” terbatas (“Dia” pengamat),
pengarang hanya melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja.
Pengarang tidak “mengganggu” dengan memberikan komentar dan penilaian yang
bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang
diceritakannya. Ia hanya menjadi pengamat, observer, melaporkan sesuatu yang
dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang bertindak sebagai pusat kesadaran.
2) Sudut pandang persona pertama “aku”
Sudut pandang persona pertama “aku” yaitu pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona pertama, gaya “aku”. Posisi narator
adalah ikut terlibat dalam cerita, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri,
mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, didengar, dan dirasakan,
serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca menerima apa yang
diceritakan oleh si “aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan
secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Dalam
sudut pandang ini, sifat kemahatahuannya terbatas. Sudut pandang persona
pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan
kedudukan si “aku” dalam cerita, yakni “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh
tambahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
3) Sudut pandang campuran
Sudut pandang campuran yaitu penggunaan sudut pandang lebih dari satu
teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain
untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Misalnya campuran “Aku” dan “Dia”.
Penggunaan kedua sudut pandang tersebut terjadi karena pengarang ingin
memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Si “aku” adalah tokoh
utama protagonis, dan ini memungkinkan pengarang membeberkan berbagai
pengalaman batinnya. Namun, jangkauan si “aku” terhadap tokoh lain terbatas,
tak bersifat Mahatahu. Padahal, pembaca menginginkan informasi penting dari
tokoh-tokoh lain, atau narator yang ingin menceritakannya kepada pembaca,
terutama yang dalam kaitannya dengan tokoh “aku”. Agar hal itu dapat dilakukan,
pengarang sengaja beralih ke sudut pandang yang lain yang memungkinkan
memberinya kebebasan, dan teknik ini berupa “Dia” Mahatahu. Dengan demikian
pembaca memperoleh cerita secara detil baik dari tokoh “aku” maupun “dia”. Hal
ini juga berarti pembaca menjadi lebih tahu tentang berbagai persoalan hubungan
tokoh-tokoh tersebut daripada tokoh-tokoh itu sendiri.
Selain itu, Herman J. Waluyo (2002: 184 – 185) juga membagi sudut
pandang menjadi tiga, yaitu teknik akuan, teknik diaan, dan teknik pengarang
serba tahu.
1) Teknik akuan
Teknik akuan menempatkan pengarang sebagai orang pertama dan
menyebut pelakunya sebagai “aku”. Panuti Sudjiman menambahkan, pencerita
akuan cepat membina keakraban antarcerita dan pembaca. Namun, ada semacam
keterbatasan yang disebabkan sudut pandangnya yang bersifat sepihak (1984: 73).
Pencerita akuan secara langsung dan dengan bebas dapat menyatakan sikap,
pikiran, dan perasaannya sendiri kepada pembaca, tetapi tentang tokoh-tokoh lain
ia hanya dapat memberikan pandangan dari pihaknya sendiri. Ia tidak dapat
menduga dalam-dalam sikap dan pikiran tokoh yang lain. Sebaliknya karena ia
harus membatasi penceritaan dengan cara memandang segala sesuatu dari satu
sudut, ceritanya menjadi padat-padu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
2) Teknik diaan
Teknik diaan menempatkan pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut
pelaku utamanya sebagai “dia”.
3) Teknik pengarang serba tahu (omniscient narrative)
Teknik pengarang serba tahu menempatkan pengarang sebagai pencerita
segalanya dan memasuki sebagai peran yang bebas. Panuti Sudjiman
mengibaratkan teknik ini, seolah-olah pengarang berdiri di atas segala-galanya
dan dari tempatnya yang tinggi itu ia dapat mengamati segala sesuatu yang terjadi,
bahkan dapat menembusi pikiran dan perasaan para tokoh (1984: 73 – 74).
Dengan sudut pandang ini si pencerita dapat berkomentar dan memberikan
penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya itu. Ketiga jenis metode
ini dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita rekaan dengan tujuan
untuk membuat variasi cerita agar tidak membosankan.
Menurut Panuti Sudjiman (1984: 72) penggunaan sudut pandang yang
berbeda menghasilkan versi yang berbeda dari peristiwa atau rentetan peristiwa
yang sama, dan menyajikan rincian yang berbeda dari peristiwa yang sama. Lebih
lanjut ia mengungkapkan bahwa seorang pencerita harus menentukan sudut
pandang; ia harus menentukan dari sudut mana (atau siapa) sebaiknya cerita itu
dihidangkan. Pemilihannya itu didasarkan faktor-faktor tertentu, seperti suasana
cerita, kategori, atau jenis ceritanya, serta maksud tujuan cerita.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan
sudut pandang dalam cerita rekaan menjadi sangat penting karena akan
berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut pandang difungsikan pengarang
untuk sarana penyajian tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa dalam cerita
rekaan kepada pembaca. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya,
bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian
cerita.
c. Penokohan
Berbicara tentang sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh karena
tokoh merupakan unsur yang penting dalam cerita. Atar Semi (1993: 36)
mengatakan bahwa, masalah penokohan dan perwatakan merupakan salah satu hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan
karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan
dan tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita.
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.
Menurut Burhan Nurgiyantoro istilah-istilah tersebut ada yang pengertiannya
menyaran pada tokoh cerita, dan pada “teknik” pengembangannya dalam sebuah
cerita (2005: 164 – 165). Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.
Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti
yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang
tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan
karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu
dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 165) menyatakan “penokohan adalah pelukisan gambaran
yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Mengacu
pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah
penempatan/pelukisan/penyajian tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak
tertentu.
Watak-watak tertentu inilah yang akan menghidupkan tokoh di dalam
cerita. Herman J. Waluyo (2002: 171 – 172) menyatakan bahwa pendeskripsian
watak tokoh dengan tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dan dimensi
sosiologis. 1) Dimensi fisik, artinya keadaan fisik tokohnya yang meliputi: usia
(tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh (tinggi, pendek, pincang,
gagah, tampan, menarik, dan sebagainya), ciri-ciri wajah (cantik, jelek, keriput,
dan sebagainya , dan ciri khas yang spesifik; 2) Dimensi psikis dari tokoh
melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat dan karakteristiknya, seperti
misalnya mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan, temperamen, keinginan, dan
perasaan pribadi, serta kecakapan dan keahlian khusus; 3) Dimensi sosiologis
menunjukkan latar belakang kedudukan tokoh dalam masyarakat dan hubungan
dengan tokoh-tokoh lainnya. Misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
dalam masyarakat, pendidikan, pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi,
aktivitas sosial, organisasi, kesenangan, suku bangsa, keturunan dan sebagainya.
Tokoh-tokoh cerita tidak begitu saja secara serta merta hadir kepada
pembaca. Mereka memerlukan sarana penyajian yang memungkinkan
kehadirannya. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh atau metode
penokohan. Atar Semi (1993 : 39 – 40) menyampaikan ada dua macam cara
dalam memahami tokoh atau perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkan yaitu
secara analitik dan secara dramatik. 1) Secara analitik, yaitu pengarang langsung
menceritakan karakter tokoh-tokoh dalam cerita; 2) Secara dramatik, yaitu
pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan tokoh-tokohnya, tetapi
hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, melalui penggambaran fisik
tokoh dan melalui dialog.
Senada dengan Atar Semi, Herman J. Waluyo (2002: 164) mengatakan
bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk
menampilkan tokoh-tokohnya yaitu metode analitis, metode tidak langsung, dan
metode kontekstual. (1) Metode analitis: pengarang langsung mendeskripsikan
keadaan tokoh itu dengan terinci (psikis, fisik, dan keadaan sosial); (2) Metode
tidak langsung: penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan
penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan
sebagainya. Lukisan watak tokoh dalam metode ini tidak diberikan langsung oleh
pengarang, tetapi harus disimpulkan sendiri oleh pembaca; dan (3) Metode
kontekstual: metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa
atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Dalam
metode ini penggambaran watak digambarkan secara panjang lebar melalui
tingkah laku dari tokoh-tokohnya
Panuti Sudjiman (1984: 23 – 27) menyatakan bahwa terdapat dua cara
penyajian watak tokoh yaitu metode analitis dan metode tak langsung. 1) Metode
analitis, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif yaitu metode di
mana pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga
menambahkan komentar tentang watak tersebut. Cara yang mekanis ini
menurutnya memang sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si
tokoh; 2) Metode tak langsung, metode ragaan, metode dramatik yaitu metode
penyajian watak tokoh di mana pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari
pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari
penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Ketiga
metode ini pada umumnya dipakai bersama-sama dalam sebuah karya sastra, atau
dua di antaranya berkombinasi, kadang-kadang dengan penggunan salah satu
metode secara dominan
Zainuddin Fanani (2000: 87 – 92) juga mengungkapkan bahwa ada 2
model cara mengekspresikan karakter tokoh yang dipakai pengarang yaitu melalui
tampilan fisik dan secara tidak langsung. (a) Tampilan Fisik yakni pengarang
menguraikan gambaran fisik tokoh, termasuk di dalamnya uraian mengenai ciri-
ciri khusus yang dipunyai tokoh. Dalam hal ini, pengarang biasanya menguraikan
pula secara rinci perilaku, latar belakang, keluarga, kehidupan tokoh pada bagian
awal cerita. Model ini dalam telaah sastra sering disebut dengan istilah analitik,
yaitu tokoh-tokoh cerita sudah dideskripsikan sendiri oleh pengarang; (2)
Pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan karakter tokohnya. Dalam
model ini, karakter dibangun melalui kebiasaan berpikir, cara pengambilan
keputusan dalam menghadapi setiap peristiwa, perjalanan karir, dan hubungannya
dengan tokoh-tokoh lain, termasuk komentar dari tokoh yang satu ke tokoh yang
lainnya.
Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar ada dua cara metode penyajian watak tokoh atau metode penokohan,
yaitu: 1) metode analitik, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif
yaitu pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terperinci
(psikis, fisik, dan keadaan sosial); 2) metode dramatik, metode tak langsung,
metode ragaan yaitu pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan
tokoh-tokohnya, tetapi pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari pikiran,
cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari
penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat diklasifikasikan dalam
beberapa jenis. Herman J. Waluyo (2002: 167 – 168) mengklasifikasikan tokoh
menjadi beberapa macam, antara lain berdasarkan peranannya terhadap jalan
cerita, terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis. 1) Tokoh protagonis,
yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis
utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai
pendukung cerita; 2) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada
seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang
ikut menentang cerita; dan 3) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk
protagonis dan untuk tokoh antagonis
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 176 – 194) tokoh-tokoh dalam
sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh
protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan
tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral.
a) Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh
tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam
cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
b) Tokoh protagonis dan antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh baik yang mendatangkan simpati para
pembacanya, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita.
Penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis, atau tokoh jahat yaitu yang
menimbulkan perasaan antipati dan benci pada pembacanya.
c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh
sederhana boleh saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu
akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang diformulakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
itu. Tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
d) Tokoh statis dan tokoh berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami
perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-
peristiwa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa
dan plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan
lingkungan sehingga akan mempengaruhi sikap, watak dan tingkah lakunya.
e) Tokoh tipikal dan tokoh netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili. Tokoh netral
merupakan tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar
merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinterksi dalam dunia fiksi.
Tokoh netral dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan tokoh inilah yang
sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya
tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar
dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata.
Berdasarkan uraian mengenai penokohan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa penokohan merupakan faktor yang penting di dalam sebuah cerita.
Penokohan sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan,
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu
dalam sebuah cerita. Penokohan inilah yang sebenarnya merupakan batang dari
sebuah cerita. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, pengarang berusaha
menjadikannya seperti hidup, yang mempunyai perasaan, memiliki etika, dan
keterikatan pada lingkungannya, sehingga menjadikan sebuah novel terasa hidup.
d. Latar atau setting
Dalam karya sastra, latar merupakan satu elemen pembentuk cerita yang
sangat penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum
sebuah karya. Burhan Nurgiyantoro (2005: 217) mengungkapkan “latar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas”. Mengacu pendapat tersebut,
konret dan jelas dipandang penting untuk memberikan kesan realistis kepada
pembaca untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan
terjadi. Maksud pernyataan tersebut adalah penggambaran seorang pengarang
tentang latar tempat dan waktu dimaksudkan agar pembaca dapat memahami
secara jelas tempat dan waktu terjadinya peristiwa yang digambarkan oleh
pengarang.
W. H. Hudson (dalam Herman J. Waluyo) menyatakan bahwa pada novel,
latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di
lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut
(2002: 198). Ia juga menyatakan bahwa latar adalah keseluruhan lingkungan
cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan hidup tokohnya serta
selalu berkaitan dengan waktu, tempat penceritaan, tempat terjadinya cerita,
misalnya siang, malam atau pagi, hari, bulan atau tahun, di desa, kota, atau
wilayah tertentu, di pantai, gunung, danau, sungai atau lingkungan masyarakat
tertentu dan sebagainya.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 227 – 235) “latar dalam novel
menyangkut keterangan mengenai sosial budaya, tempat dan waktu di mana
peristiwa itu terjadi”. Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu:
tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut, walaupun masing-masing
menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara
sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan
yang lain.
1) Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama
jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan
geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki
karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
2) Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi
dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan
dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan
menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat
menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu yang lain
tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren
dengan unsur cerita yang lain.
3) Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan
dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana
kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial
masyarakat. Selain itu dapat pula berupa penggunaan bahasa daerah atau dialek-
dialek tertentu. Di samping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh
dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial.
Walaupun latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang
tergambar dalam cerita, keberadaan elemen latar hakikatnya tidaklah hanya
menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung.
Zainuddin Fananie berpendapat bahwa selain menyatakan di mana, kapan, dan
bagaimana situasi peristiwa berlangsung, latar berkaitan juga dengan gambaran
tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita
ditulis (2000: 97 – 98). Mengacu pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa dari
kajian mengenai latar akan dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan
pandangan masyarakatnya. Di samping itu, kondisi wilayah, letak geografi,
struktur sosial juga akan menentukan watak-watak atau karakter tokoh-tokoh
tertentu. Karena itu fungsi latar dalam sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari
masalah yang lain seperti tema, tokoh, bahasa, medium sastra yang dipakai, dan
persoalan-persoalan yang muncul yang kesemuanya merupakan satu bagian yang
tidak terpisahkan. Hal ini diperkuat oleh Montaque dan Henshaw (dalam Herman
J. Waluyo) yang menyatakan tiga fungsi latar, yaitu: mempertegas watak para
pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang
disampaikan (2002: 198).
Kenney (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198). juga menyebutkan tiga
fungsi latar, yaitu: sebagai metafora, sebagai atmosphere, dan sebagai unsur
dominan yang mendukung plot dan perwatakan. 1) Sebagai metafora (setting
spiritual) yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita.
Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi; 2)
Sebagai atmosphere atau kreasi, yang lebih memberi kesan dan tidak hanya
memberi tekanan kepada sesuatu; 3) setting sebagai unsur yang dominan yang
mendukung plot dan perwatakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa latar atau
setting adalah keseluruhan lingkungan cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi
baik itu lingkungan tempat, waktu, sosial maupun segala sesuatu yang menjadi
latar belakang terjadinya peristiwa. Di mana kesemuanya mempunyai peran
tersendiri dalam mendukung struktur utuh cerita.
e. Alur atau Plot
Alur merupakan bagian penting dalam suatu fiksi. Ia adalah penghubung
suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Siti Sundari (dalam Zainuddin Fananie,
2000: 93).) memberikan batasan mengenai alur, “alur merupakan keseluruhan
rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita”. Stanton (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 113). mengemukakan ”plot adalah cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Senada dengan Stanton, Atar Semi juga menyatakan bahwa alur adalah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi
(1993: 43). Alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang
merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik
yang terdapat di dalamnya. Alur memegang peranan penting dalam sebuah cerita
rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan
mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan. Mengacu
beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa alur adalah keseluruhan
rangkaian kejadian dan tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut
tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2005: 153 – 163)
mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan
waktu, jumlah, kepadatan, dan isi. Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kronologis dan tak kronologis. Kategori
kronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau progresif, sedang kategori tak
kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flash-back; atau regresif.
Alur maju atau progresif, terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir
terjadinya peristiwa; alur mundur atau regresif atau flash back, alur ini terjadi
jika dalam cerita tersebut dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian
menuju awal cerita.
Istilah plot tunggal dan subplot digunakan untuk menilik plot berdasarkan
kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan
sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero.
Namun sebuah fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang
dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan
hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu
menandakan adanya sub-subplot.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 160) juga membagi alur berdasarkan
kepadatannya menjadi dua, yaitu: alur padat dan alur longgar. Alur padat yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susul menyusul dengan cepat
dan terjalin erat, sehingga apabila ada salah satu cerita dihilangkan, maka cerita
tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya. Sedangkan alur longgar
adalah alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat.
Sedangkan menurut Herman J. Waluyo (2002: 153 – 156) menyatakan
beberapa teknik penyusunan alur, yaitu teknik progresif, teknik umpan balik, dan
teknik compound plot. Teknik progresif atau kronologis, artinya cerita berurutan
dari awal hingga akhir. Teknik umpan balik atau flash back, artinya cerita yang
seharusnya ada pada bagian akhir diletakkan di depan. Teknik compound plot atau
alur majemuk, artinya di samping mengandung alur utama juga terdapat alur
bawahan, yakni cerita tambahan yang dikisahkan pengarang untuk memberikan
latar belakang dan kesinambungan.
Secara teoretis plot dapat diurutkan atau dikembangkan ke dalam tahap-
tahap tertentu secara kronologis. Burhan Nurgiyantoro (2005: 142 – 146)
membagi alur menjadi tiga tahap, yakni tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.
Tahap Awal, biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada
umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal
yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal
(atau: pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan
penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
Tahap Tengah, yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan
pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap
sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang
dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik pertentangan
yang terjadi antara tokoh-tokoh cerita. Tahap Akhir, atau dapat juga disebut
sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
Jadi bagian ini berisi bagaiman kesudahan cerita, atau menyaran pada hal
bagaimanakah akhir sebuah cerita.
Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membagi alur cerita menjadi tujuh
bagian, yaitu Eksposisi, Inciting Moment, Rising Action, Complication, Climax,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Falling Action, dan Denouement. Ketujuh alur cerita tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Eksposisi artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan
tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang
sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman.
2) Inciting Moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai
ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan.
3) Rising Action adalah penanjakan konflik, selanjutnya terus terjadi peningkatan
konflik.
4) Complication adalah konflik yang semakin ruwet.
5) Climax adalah puncak penggawatan, klimaks cerita harus merupakan puncak
dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa sebelumnya ditahan untuk
dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut.
6) Falling Action adalah konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah
mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang.
7) Denouement artinya penyelesaian, unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang
dapat juga oleh pembaca, karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan
sendiri penyelesaian cerita.
Lubis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149 – 150) membagi plot
menjadi lima bagian, meliputi: (1) Situation (tahap penyituasian); (2) Generating
Circumstance (tahap pemunculan konflik); (3) Rising Action (tahap peningkatan
konflik); (4) Climax (tahap klimaks); (5) Denouement (tahap penyelesaian).
Berdasarkan beberapa pandapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
plot adalah urutan atau rangkaian kejadian dan peristiwa dalam suatu karya fiksi
yang memiliki tahapan-tahapan tertentu secara kronologis untuk mencapai efek
emosional dan efek artistik tertentu. Ragam plot ada berbagai macam tergantung
pengarang ingin menyuguhkan cerita yang seperti apa kepada pembacanya.
Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita sedangkan kesederhanaan plot berarti
kemudahan cerita untuk dipahami. Sebaliknya, sebuah fiksi yang rumit, komplit,
dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperistiwanya akan sulit untuk dicerna
dan dipahami oleh pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
f. Amanat
Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh
penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto ( 1986: 10) amanat atau pesan
yang dalam bahasa Inggris disebut message adalah pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang lewat karyanya (cerpen atau novel) kepada pembaca atau
pendengar.
Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Hal baik itu dapat berupa
pengajaran tentang moral. Hal ini sesuai dengan pendapat Panuti Sudjiman (1984:
57) yang menyatakan “amanat adalah suatu pesan moral yang ingin disampaikan
oleh pengarang”. Mengacu pendapat di atas, wujud amanat dapat berwujud kata-
kata mutiara, nasihat, firman Tuhan sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat
dari tindakan tokoh cerita. Jadi amanat adalah pesan yang disampaikan penulis
yang berupa nasihat
Esten (dalam Sangidu) mengemukakan bahwa pemecahan masalah yang
dihadapi dan pemberian jalan keluar di dalam sebuah karya sastra yang diberikan
oleh si pengarang terhadap tema yang dikemukakan disebut amanat (1995: 154).
Amanat adalah hal tersirat atau tersurat dalam suatu cerita, sebuah amanat dalam
cerita meskipun ada yang diungkapkan secara terang-terangan tetapi jarang
terjadi. Amanat merupakan pemecahan suatu tema. Di dalam amanat terlihat
pandangan hidup dan cita-cita pengarang. A. Teeuw (1984: 27) menyatakan
“amanat berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang khas, umum, subjektif,
sehingga harus dilakukan dengan penafsiran”.
Burhan Nurgiyantoro menyamakan amanat dengan moral.
“Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi tentulah berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan non fiksi” (2005: 321). Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1984: 57) menyatakan bahwa amanat
atau hikmah cerita dapat disajikan secara eksplisit dan implisit. mengatakan,
implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita
menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan
sebagainya. Amanat dapat ditangkap langsung melalui dialog antartokoh. Amanat
yang disampaikan secara langsung ini mudah ditangkap. Sebaliknya, amanat
kadang-kadang dapat ditangkap melalui perenungan atau pemikiran atas apa yang
terjadi dalam cerita. Seorang pembaca atau pendengan sastra harus menemukan
hikmah, pesan, atau ajaran di balik kejadian-kejadian atau perilaku para tokohnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang
ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Di dalam amanat akan
terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang yang disajikan secara implisit
dan eksplisit. Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Amanat suatu cerita
berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis, karena amanat
merupakan pemecahan suatu tema.
2. Hakikat Pendekatan Struktural
Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 36) menjelaskan “struktur
karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua
bahan dan bagian yang menjadi komponennya serta secara bersama membentuk
kebulatan yang indah. Mengacu pendapat tersebut setiap karya sastra mempunyai
unsur pembangun yang secara bersama-sama membentuk kesatuan dan susunan
yang indah sehingga dapat dinikmati oleh pembaca.
Di pihak lain, Burhan Nurgiyantoro menyatakan bahwa struktur karya
sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang
bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara
bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (2005: 36). Secara sendiri, terisolasi
dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting,
bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah
ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana
sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Mengacu pendapat di atas bahwa
struktur karya sastra baru akan bermakna apabila ada hubungannya dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
bagian-bagian lain hingga menjadi satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, dan
saling menopang satu sama lain.
Konsep dasar dari pendekatan struktural menurut Atar Semi dalam
bukunya yang berjudul Metode Penelitian Sastra yaitu: (1) karya sastra dipandang
dan diperlakukan sebagai sebuah sosok yang berdiri sendiri, yang mempunyai
dunianya sendiri, mempunyai rangka dan bentukya sendiri; (2) memberikan
penilaian terhadap keserasian atau keharmonisan semua komponen membentuk
keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan penulis
menjalin hubungan antarkomponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan
yang padu dan bernilai estetik; (3) memberikan penilaian terhadap keberhasilan
penulis menjalin hubungan-hubungan harmonis antara isi dan bentuk, karena
jalinan isi dan bentuk merupakan hal yang amat penting dalam menentukan mutu
sebuah karya sastra; (4) walaupun memberikan perhatian istimewa terhadap
jalinan hubungan antara isi dan bentuk, namun pendekatan ini menghendaki
adanya analisis yang objektif sehingga perlu dikaji atau diteliti setiap unsur yang
terdapat dalam karya sastra tersebut; (5) pendekatan struktural berusaha berlaku
adil terhadap karya satra dengan jalan hanya menganalisis karya sastra tanpa
mengikutsertakan hal-hal yang berada di luar karya sastra; (6) yang dimaksud isi
dalam kajian struktural adalah persoalan, pemikiran, falsafah cerita, pusat
pengisahan, tema. Sedangkan yang dimaksud bentuk adalah alur (plot), bahwa
sistem penulisan, dan perangkat perwajahan sebagai karya tulis; (7) peneliti boleh
melakukan analisis komponen yang diinginkan (1988: 67).
Pendekatan struktural atau objektif atau pendekatan formal adalah
pendekatan kajian sastra yang paling popular di antara pendekatan kajian sastra
yang lain. Pendekatan ini berasumsi bahwa karya sastra kreatif memiliki otonomi
penuh yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari hal-
hal lain yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Burhan Nurgiyantoro (2005:
37) menyatakan “analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur
intrinsic fiksi yang bersangkutan”. A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu
Sastra menyatakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
memaparkan secermat, seteliti dan semendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh (1984: 135).
Senada dengan A. Teuuw, Zainuddin Fananie (2000: 112) juga
mengungkapkan “pendekatan struktural adalah pendekatan yang mendasarkan
pada suatu karya sastra secara keseluruhan”. Hal ini mengisyaratkan untuk
melihat eksistensi karya sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang
berlaku. Konvensi yang dimaksud yaitu meliputi aspek-aspek intrinsik sastra yang
meliputi kebulatan makna, tema, plot, setting, sudut pandang dan sebagainya.
Untuk mengetahui kebulatan makna, maka unsur-unsur tersebut harus
dihubungkan satu sama lain. Burhan Nurgiyantoro (2005: 37 – 38):
“analisis struktural tak cukup dilakukan hanya mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping setiap karya mempunyai ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri dan hal inilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan karya yang lain”. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan struktural adalah pendekatan
yang memandang karya sastra memiliki otonomi penuh yang harus dipandang
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar
karya sastra itu sendiri. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur
tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan
satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, dan saling menopang satu sama lain.
3. Hakikat Kajian Intertekstualitas
Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Pradopo (dalam
B. Trisman) menyatakan bahwa kelahiran suatu karya sastra tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah
diserap oleh sang sastrawan (2003: 81). Mengacu pendapat di atas dapat dimaknai
bahwa karya sastra yang kemudian, harus dikaitkan dengan karya sastra yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
mendahuluinya. Dalam hal ini pada mulanya sastrawan dalam menciptakan
karyanya melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks lain yang menarik
perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia
menggumuli konvensi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang
dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan,
karyanya sendiri.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis,
ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A. Teeuw (dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 126) “karya sastra itu merupakan respon pada
karya sastra yang terbit sebelumnya”. Burhan Nurgiyantoro (2005: 51)
memberikan contoh, misalnya sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis
novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti
pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya,
di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama. Kemudian, sebelum Chairil
Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa, di masyarakat
juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga Baru, begitu seterusnya. Dari sini
terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur
kesejarahannya.
Nyoman Kutha Ratna (2003: 184.) memberikan pengertian
intertekstualitas:
“dalam kajian intertekstualitas, setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri; dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki atau pun disimpangi”. Senada dengan Nyoman Kutha Ratna, Suwardi Endraswara juga
menyatakan bahwa secara garis besar penelitian intertekstualitas memiliki dua
fokus: pertama, meminta perhatian tentang pentingnya teks yang terdahulu (prior
text). Tuntutan adanya otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih
dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti
untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang
memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi. Dari dua fokus ini, tampak
bahwa karya sastra sebelumnya berperan dalam sebuah penciptaan. Lebih lanjut
Suwardi (2003: 136) mengungkapkan bahwa pada dasarnya, baik studi interteks
maupun sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian,
kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2)
pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang
lain dan sebaliknya (2003: 133).
Karya sastra yang baru dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan
pada kerangka karya sastra pendahulunya (Dick Hartoko dan B. Rahmanto).
Karya sastra yang dijadikan kerangka bagi penulisan karya yang berikutnya
disebut hipogram. Istilah tersebut sering diterjemahkan menjadi latar, yaitu dasar
bagi penciptaan karya lain walaupun mungkin tidak secara eksplisit. Karya
pendahulu yang melatari atau menjadi hipogram karya berikutnya inilah yang
menjadi fokus penelitian intertekstualitas (1986: 67). Melalui penjajaran karya
sastra yang satu dengan karya sastra yang lain yang menghipogrami, maka karya
sastra yang bersangkutan dapat dipahami secara penuh.
Julia Kristeva (dalam Suwardi Endraswara) mengatakan bahwa munculnya
intertekstualitas sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya
terdapat teks lain (2003: 131). Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang
masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Karya itu diprediksikan
sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dan karya-karya yang lain. Julia
Kristeva (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 52 – 53) mengungkapkan bahwa:
“tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks (-teks) sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya sastra berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreatifitas sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya”. Senada dengan Julia Kristeva, Nyoman Kutha Ratna juga mengatakan
bahwa interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
yang lain (2009: 172 – 173). Teks itu sendiri secara etimologis berarti tenunan,
anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam
interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian
dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua
teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas
sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-
luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram.
Rachmat Djoko Pradopo juga mendefinisikan bahwa intertekstual
merupakan ringkasan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti
(dalam Sangidu, 1995: 151). Menurutnya, arti suatu teks tergantung pula teks-teks
lain yang diserap dan yang ditransformasi. Oleh karena itu, hubungan intertekstual
atau hubungan antarteks karya sastra dipandang penting untuk memperjelas
maknanya sebagai karya sastra sehingga memudahkan pemahamannya, baik
pemahaman makna teks maupun makna dan posisi kesejarahannya. Hubungan
antarteks tersebut dapat berupa hubungan karya-karya sastra sejaman, hubungan
karya-karya sastra yang mendahului, dan hubungan karya-karya sastra yang
kemudian. Dengan perkataan lain, hubungan antarteks tersebut dapat berupa
hubungan karya-karya sastra masa lampau, hubungan karya-karya sastra masa
kini, dan hubungan karya-karya sastra masa depan. Hubungan kesejarahan ini
dapat berupa penerusan tradisi atau konvensi sastra sehingga karya sastra tidak
begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta
berdasarkan konvensi dan tradisi sastra suatu masyarakat yang bersangkutan.
Julia Kristeva (dalam Umar Junus, 1985: 87 – 88) menjelaskan ciri-ciri
intertekstualitas sebagai berikut: (1) kehadiran fisikal suatu teks dalam teks
lainnya; (2) pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita tetapi juga mungkin
berupa teks bahasa; (3) adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan
perseimbangan dan pemisahan antara suatu teks dengan teks yang telah terbit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
lebih dulu; dan (4) dalam membaca buku teks, pembaca tidak hanya membaca
teks itu saja tapi harus membacanya secara berdampingan dengan teks-teks yang
lainnya, sehingga interpretasi pembaca terhadap bacaannya tidak dapat dilepaskan
dari teks-teks lain.
Studi intertekstualitas menurut Frow (dalam Suwardi Endraswara, 2003:
131) didasarkan beberapa asumsi kritis: (1) Konsep intertekstualitas menuntut
peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek
perbedaan dan sejarah teks, (2) teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama
lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks, (3)
ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada
teks tertentu merupakan proses waktu yang menentukan, (4) bentuk kehadiran
struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai yang implisit. Teks
boleh saja diciptakan ke bentuk lain: di luar norma ideolog dan budaya, di luar
genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain, (5) hubungan
teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut
bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi penghilangan-
penghilangan bagian tertentu, (6) pengaruh mediasi dalam interteks sering
memengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun norma-norma sastra, (7)
dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, (8) analisis
intertekstualitas berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada
konsep pengaruh.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa intertekstualitas
merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sejumlah teks, dengan cara
membandingkan dan menemukan hubungan-hubungan bermakna antara teks
yang ditulis lebih dulu (hipogram) dengan teks sesudahnya (teks transformasi).
4. Hakikat Nilai Pendidikan
a. Pengertian Nilai
Banyak ahli mendefinisikan pengertian nilai. Nilai adalah sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu
bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah
yang terjadi pada objek yang dikenai nilai.
Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) adalah: (a) Nilai itu
suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat
abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai
itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi
manusia tidak bisa mengindra kejujuran itu; (b) Nilai memiliki sifat normatif,
artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai
memiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai
landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang
berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan; (c)
Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung
nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya.
Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong
untuk bisa mencapai derajat ketakwaan (http:// uzey.blogspot.com).
Konsep nilai merupakan salah satu topik yang penting dalam studi sastra.
Albert Memmi (dalam Rien T. Segers) mengemukakan alasan bahwa nilai yang
dilekatkan pada teks sastra oleh pembaca membedakan teks-teks tersebut dari
bentuk-bentuk wacana yang lain (2000: 61). Sastra sebagai produk kehidupan,
mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya. Nurseno juga
menambahkan bahwa nilai menjadi dasar pengarang dalam mengembangkan
karangannya. Nilai merupakan sesuatu yang dianggap abstrak dan dijadikan
pedoman, serta prinsip- prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku dalam
kehidupan serta keterikatan orang terhadap nilai sangat kuat, bahkan bersifat
emosional (2004: 3).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Konsep
nilai menjadi penting dalam studi sastra karena nilai yang dilekatkan pada teks
sastra dapat membedakan teks-teks tersebut dari bentuk-bentuk wacana yang lain.
Sastra dan tata nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi
dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
b. Pengertian Pendidikan
Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedagogike”
yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti “Anak” dan kata “Ago” yang berarti
“Aku membimbing”. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa pendidikan ialah
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan
adalah mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang
dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya
sendiri belum dewasa (2000: 11).
H.M. Arifin (2000: 7) mengartikan pendidikan sebagai latihan mental,
moral, dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka
pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan
rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan
yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia.
H.A.R Tilaar (2002: 435) menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah
memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat
manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Proses pendidikan
sebagai proses humanisasi menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah suatu yang
telah tertentu (given), tetapi merupakan suatu aksi yang berkelanjutan. Hal ini
senada dengan yang diungkapkan H.M. Arifin bahwa dalam masyarakat yang
dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan terhadap eksistensi dan
perkembangan masyarakatnya, hal ini karena pendidikan merupakan proses usaha
melestarikan, mengalihkan, serta mentransformasikan nilai-nilai kehidupan dalam
segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus (2000: 8).
Segala sesuatu yang digunakan untuk mendidik harus yang mengandung
nilai didik, termasuk dalam pemilihan media. Novel sebagai suatu karya sastra,
yang merupakan karya seni juga memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang
seninya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 30). Sastra sebagai hasil kehidupan
mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Sastra tidak lahir
begitu saja, melainkan memerlukan proses yang panjang. Sastrawan dalam
menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikiran,
pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesannya terhadap sesuatu yang nanti sekiranya
dapat diambil manfaatnya oleh pembaca.
Nyoman Kutha Ratna (2007: 155) juga menyinggung mengenai aspek
fungsi karya sastra yaitu hampir sebagian besar didominasi oleh aspek etika, yang
dijabarkan ke dalam berbagai dimensinya, seperti: pendidikan, pengajaran, dan
berbagai perkembangan masyarakat yang bersifat positif, termasuk agama. Ciri-
ciri pendidikan dan pengajaran dan aspek-aspek moral lainnya tentu tidak bisa dan
tidak harus dikeluarkan dari hakikat karya sastra secara keseluruhan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan proses usaha melestarikan, mengalihkan, serta mentransformasikan
nilai-nilai kehidupan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus.
Dari rumusan mengenai nilai dan pendidikan, maka dapat disimpulkan
bahwa nilai pendidikan adalah segala sesuatu yang baik atau pun buruk yang
berguna bagi kehidupan seseorang yang diperoleh melalui sebuah proses
pengubahan sikap dan tata laku untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal diantaranya
melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Karya sastra digunakan
sebagai media dalam mentransformasi sebuah nilai termasuk halnya nilai
pendidikan.
c. Macam-macam Nilai Pendidikan
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan
penjelasan secara jelas menngenai sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan
perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan
dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan
dalam novel sebagai berikut:
1) Nilai Pendidikan Religius
Nilai religius merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta
bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia (Uzey: 2010). Kehadiran
unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 326). Atar Semi (1993: 21) menyatakan, agama merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
kunci sejarah, seseorang baru memahami jiwa suatu masyarakat apabila seseorang
memahami agamanya. Seseorang tidak mengerti hasil-hasil kebudayaannya,
kecuali bila seseorang paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya.
Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri.
Sri Sutjiatiningsih menyamakan religius dengan keagamaan. Menurutnya
agama memberikan suatu perspektif bagi manusia untuk menafsirkan seluruh
kejadian yang dialaminya setiap saat. Dalam fungsinya sebagai kerangka
penafsiran terhadap kenyataan sosial yang bersifat faktual, agama dianggap
sebagai suatu sistem kultural atau sistem budaya. Manusia yang mempercayai dan
menghayati ajaran suatu agama akan memperoleh kerangka acuan untuk memberi
makna seluruh kejadian yang dialaminya sepanjang hidup manusia. Agama juga
memberikan arti atau makna tentang hakekat dari kenyataan, sekaligus
mendorong manusia untuk berbuat ke arah yang seharusnya dilakukan (1999: 91).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai agama yaitu
nilai yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh anggota
masyarakat dan merupakan nilai kerohanian tertinggi serta mutlak. Nilai ini
bersumber dari masing-masing ajaran agama yang menjelaskan sikap, perilaku,
perbuatan, perintah, dan larangan bagi umat manusia.
2) Nilai Pendidikan Moral
Moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata
mores ini mempunyai sinonim mos, moris, manner mores atau manners, morals.
Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan
yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani
sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran
tentang baik buruk, yang diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan,
kewajiban, dan sebagainya.
Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya:
akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994 dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 320).
Uzey juga mendefinisikan moral sebagai ajaran yang mengharuskan manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
untuk mengetahui hal yang baik dan buruk. Moral didefinisikan sebagai kebiasaan
baik yang diwujudkan dalam perilaku (2010).
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan
hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita
menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro) biasanya dimaksudkan sebagai
suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis,
yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh
pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap,
tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu
dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata,
sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah
laku tokoh-tokohnya (2005: 321).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya
fiksi ditulis oleh pengarang antara lain untuk menawarkan model kehidupan yang
diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku
para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan
tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah
dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Bondet Wrahatnala (2010) menyatakan bahwa nilai sosial adalah segala
sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat. Agar
nilai-nilai sosial itu dapat tercipta dalam masyarakat, maka perlu diciptakan norma
sosial dengan sanksi-sanksi sosial. Nilai sosial merupakan penghargaan yang
diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas, dan
mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup
bersama.
Bondet Wrahatnala juga menyebutkan ciri–ciri dari nilai sosial sebagai
berikut : (1) Dipelajari melalui sosialisasi; (2) Disebarkan dari individu yang satu
ke individu yang lain, yang merupakan warga masyarakat; (3) Merupakan hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
interaksi antar warga masyarakat; (4) Mempengaruhi perkembangan diri
seseorang; (5) Pengaruh dari nilai tersebut berbeda pada setiap anggota
masyarakat; (6) Berbeda antara kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain;
(7) merupakan bagian dari usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya; (8)
cenderung berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk kesatuan
nilai. Sedangkan fungsi Nilai Sosial adalah : (a) Sebagai petunjuk arah bertindak
dan bersikap; (b) Sebagai pemandu serta pengontrol sikap dan tindakan manusia;
(c) Sebagai motivator.
Mengacu pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
pendidikan sosial adalah nilai-nilai yang dipelajari melalui sosialisasi dengan
masyarakat yang berfungsi sebagai petunjuk arah bertindak dan bersikap.
4) Nilai Pendidikan Budaya
Keesing sering mengartikan kebudayaan sebagai pola kehidupan
masyarakat yang meliputi kegiatan dan pengaturan material dan sosial.
Kebudayaan juga dianggap merupakan kekhususan suatu kelompok manusia
tertentu. Dalam pengertian ini, kebudayaan diartikan sebagai pola dari perilaku
(pattern of behavior) kelompok sosial tertentu (dalam Sri Sutjiatiningsih, 1999:
107).
Nugroho Susanto (dalam Rosyadi, 1995: 174) menyatakan bahwa sistem
nilai budaya merupakan inti kebudayaan. Sebagai intinya, ia akan mempengaruhi
dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan (surface
structure) dari kehidupan manusia, yang meliputi: perilaku sebagai kesatuan
gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Ahli yang lain juga
memberikan batasan, bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat,
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena
itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi
kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya
lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya
juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu (Koentjaraningrat dalam
Rosyadi, 1995: 174).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Giddens (dalam Sri Sutjiatiningsih, 1999: 90 – 91) menyatakan bahwa
nilai budaya merupakan abstraksi dari segala sesuatu yang dianggap bermakna
dan bernilai tinggi dalam kehidupan suatu masyarakat. Nilai budaya itu sifatnya
abstrak, berada di alam pikiran kepala-kepala manusia, nilai budaya ada dalam
alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan
hidup.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan
budaya adalah nilai yang bersumber pada kebudayaan manusia yang merupakan
suatu kekhususan suatu kelompok manusia tertentu.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
Rasyid Manshur pada tahun 2007 dalam bentuk skripsi dengan judul “Kajian
Intertekstualitas dan Nilai Edukatif Novel Alivia dan Libby Karya Langit Kresna
Hariadi (Berdasarkan Pendekatan Struktural)”. Penelitian tersebut menghasilkan
simpulan berupa: pertama, struktur novel Alivia dan Libby yang meliputi alur,
tema, penokohan, latar, sudut pandang, gaya dan suasana cerita, sudah bagus
sehingga pembaca mudah untuk memahaminya. Kedua, persamaan struktur novel
Alivia dan Libby terletak pada tema, alur, sudut pandang dan gaya. Perbedaannya
terletak pada penokohan, latar tempat dan suasana cerita. Ketiga, nilai pendidikan
dalam novel Alivia dan Libby meliputi nilai pendidikan moral, sosial, religi dan
budaya.
Pendekatan penelitian yang digunakan Rasyid Manshur sama dengan
penelitian ini, yakni intertekstualitas. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian Rasyid Manshur. Penelitian Rasyid
Manshur hanya sebatas menganalisis struktur kedua novel dan persamaan serta
perbedaan struktur kedua novel. Sedangkan penelitian ini, tidak hanya berhenti
mengkaji struktur kedua novel dan persamaan serta perbedaan struktur kedua
novel, selain itu juga mengkaji hubungan intertekstualitas antara kedua novel,
novel yang menghipogrami dan novel yang mentransformasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Ririh
Yuli Atminingsih pada tahun 2008 dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis
Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”.
Penelitian tersebut menghasilkan simpulan berupa: pertama, dalam novel Laskar
Pelangi digunakan beberapa gaya bahasa sebagai cara pengarang untuk
memudahkan pembaca dalam memahami isi novel tersebut, yaitu simile,
metafora, dipersonifikasi, antitesis, parifrasis, tautologi, koreksio, personifikasi,
pleonasme, hiperbola, ironi, paradoks, satire, hipalase, inuoendo, metonomia,
sinekdoke pars pro toto, sinekdoke totum pro parte, alusio, epitet, eponim,
antonomasia, elipsis, asidenton, tautotes, anafora, epizeukis, dan pertanyaan
retoris. Kedua, nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi terdiri
dari tiga nilai, yaitu: nilai religious, nilai moral, dan nilai sosial.
Novel yang dikaji oleh Ririh Yuli Atminingsih sama dengan penelitian ini,
yakni novel Laskar Pelangi. Penelitian Ririh Yuli Atminingsih hanya
menganalisis tubuh novel tersebut, sedangkan penelitian ini selain menganalisis
tubuh novel, juga mengaitkannya dengan novel yang lain. Penggunaan pendekatan
intertekstualitas ini akan memberikan cara pandang yang berbeda terhadap novel
Laskar Pelangi. Hal ini diharapkan dapat memberikan pemaknaan yang lebih
terhadap novel Laskar Pelangi dalam kaitannya dengan novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Anne M. Downey (1994) dalam bentuk jurnal yang berjudul “"A
broken and bloody hoop": the intertextuality of 'Black Elk Speaks' and Alice
Walker's 'Meridian.'(Intertextualities)”. Dari hasil penelitian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa novel karya Alice Walker yang berjudul Meridian yang terbit
pada tahun 1976 memiliki hubungan intertekstualitas dengan novel karya John
Neihardt yang berjudul Black Elk Speaks yang terbit pada tahun 1932.
Kedua novel memiliki persamaan pada struktur cerita dan isi cerita. Kedua
novel menceritakan mengenai tradisi spiritual masyarakat asli Amerika, yakni
mengenai kisah sebuah pohon suci. Dalam novel Black Elk Speaks, Sioux adalah
orang yang mampu berbicara tentang nasib orang lain. Dalam novel karya Walker,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Meridian adalah seorang wanita kulit hitam di Selatan yang modern, yang
memiliki ketertarikan pada gundukan pemakaman India. Perbedaan antara kedua
novel yaitu, pada Meridian ceritanya berkisar pada masyarakat Amerika Afrika,
sedangkan pada Black Elk Speaks ceritanya berkisar pada masyarakat asli
Amerika saja. Persamaan keduanya terletak pada persambungan isi budaya
Amerika.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Missy Dehn Kubitschek (2004) dalam bentuk jurnal yang berjudul
“Toward a new order: Shakespeare, Morrison, and Gloria Naylor's 'Mama Day.'
(Toni Morrison) (Intertextualities)”. Dari hasil penelitian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa novel Mama Day karya Gloria Naylor memiliki hubungan
intertekstualitas dengan novel-novel karya William Shakespeare (Hamlet, King
Lear dan The Tempest) dan penulis modern karya Toni Morrison. Kesamaannya
terletak pada isi cerita, yaitu menyangkut kehidupan seorang wanita kulit hitam
yang berpindah dari desa ke lingkungan perkotaan Amerika.
C. Kerangka Berpikir
Salah satu karya sastra adalah novel. Novel merupakan sebuah bangun
cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang.
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang
mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang
lain secara erat dan saling menggantungkan.
Sebuah novel yang bermutu, di dalamnya pasti akan terkandung nilai-nilai
pendidikan yang berguna bagi kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu
maupun makhluk sosial. Begitu pula dengan novel LP dan OMDS, kedua novel ini
memberikan manfaat bagi pembaca dalam kehidupan. Manfaat yang terkandung
dalam karya sastra menunjukkan bahwa karya sastra yang bermutu akan
mengandung nilai didik yang berguna bagi pembaca.
Novel LP karya Andrea Hirata dan novel OMDS karya Wiwid Prasetyo,
kedua novel ini mengangkat tema yang sama yaitu masalah pendidikan, yaitu
perjuangan kaum marginal dalam meraih pendidikan. Dapat dikatakan masalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
pendidikan untuk kaum marginal lebih dahulu ditulis oleh Andrea Hirata dalam
novelnya yang berjudul LP. Masalah pendidikan untuk orang miskin kemudian
diangkat lagi oleh Wiwid Prasetyo dalam OMDS.
Dengan pendekatan intertekstualitas, dimungkinkan penelitian ini dapat
mengungkapkan fungsi teks-teks tersebut, sebagai teks yang melatarbelakangi
penciptaan (hipogram) atau sebagai teks yang mentransformasi teks-teks yang
menjadi hipogramnya (transformasi). Unsur intrinsik kedua novel dibandingkan
untuk mencari persamaan dan perbedaannya. Selain itu, juga dilakukan penelitian
secara cermat dan menyeluruh terhadap nilai pendidikan yang terkandung dalam
kedua novel tersebut.
Gambar 1: Kerangka Berpikir
Novel
Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata
Struktur Novel
- Tema
- Alur/plot
- Penokohan
- Latar
- Sudut Pandang
- Amanat
Orang Miskin Dilarang Sekolah
karya Wiwid Prasetyo
Struktur Novel
- Tema
- Alur/plot
- Penokohan
- Latar
- Sudut Pandang
- Amanat
Simpulan
Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen
berupa dua novel yaitu novel LP dan OMDS. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis. Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini tidak terikat
atau terpancang tempat.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, mulai dari bulan Januari
2011 sampai dengan bulan Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi pengajuan
judul, penyusunan proposal, perizinan, analisis data, dan penyusunan laporan hasil
penelitian. Sesuai dengan karakter penelitian kualitatif, waktu dan kegiatan
penelitian bersifat fleksibel.
N
o
Waktu
Jenis
Kegiatan
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan Judul
x x
2 Pembuatan Proposal
x x x x
3 Perizinan x x
4 Pengumpulan data
x x x x
5 Analisis data
x x x x x x x
6 Penyusunan Laporan
x x x
7 Ujian
Skripsi
x
8 Revisi
Laporan
x x x x
Tabel 2: Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu bentuk penelitian
yang menekankan pada catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan
mendalam, yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian
data. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata atau kalimat yang
memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang
lebih nyata daripada sekadar sajian angka dan frekuensi.
Penelitian dengan pendekatan intertekstualitas ini merupakan jenis
penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan konvensi-konvensi
kesastraan antarteks yang menjadi objek penelitian. Kajian ini didahului dengan
analisis struktural guna mempermudah kajian intertekstualitas. Selain mengkaji
hubungan intertekstualitas antara novel LP dan OMDS, dikaji pula nilai
pendidikan yang terkandung di dalamnya.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen yakni
novel LP karya Andrea Hirata dan novel OMDS karya Wiwid Prasetyo.
D. Teknik Sampling (Cuplikan)
Teknik sampling berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan sumber data
yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini mengambil sampel dengan
menggunakan purposive sampling, yaitu mengacu pada tujuan penelitian. Patton
(dalam Sutopo, 2006: 64) menyatakan bahwa purposive sampling adalah
pemilihan sampel yang disesuaikan dengan masalah, kebutuhan, dan kemantapan
peneliti dalam memeroleh data.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mencatat dokumen
atau arsip (content analysis). Teknik ini dipilih karena data yang akan dianalisis
berupa dokumen atau arsip yaitu novel LP dan OMDS. Content analysis adalah
peneliti bukan hanya mencatat isi yang penting yang tersurat dalam dokumen atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
arsip, tetapi juga maknanya yang tersirat (Sutopo, 2006: 66-67). Tujuan content
analysis adalah peneliti mencari kedalaman makna yang ada dalam dokumen atau
arsip yang diteliti. Adapun langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut:
(1) membaca novel LP dan OMDS berulang-ulang; (2) mencatat kata-kata atau
kalimat-kalimat yang menggambarkan semua unsur struktur yang ada serta
membandingkannya, dicari persamaan dan perbedaan keduanya; (3) mencatat
kata-kata atau kalimat yang menggambarkan nilai pendidikan yang terkandung
dalam kedua novel tersebut.
F. Validitas Data
Data yang terkumpul diperiksa keabsahannya dengan trianggulasi. Sutopo
(2006: 92) menyatakan bahwa trianggulasi merupakan cara yang paling umum
digunakan bagi peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif. Patton
(dalam Sutopo, 2006: 92) mengemukakan bahwa ada empat macam teknik
trianggulasi, yaitu trianggulasi data (sumber), trianggulasi peneliti, trianggulasi
metode, dan trianggulasi teori.
Dalam penelitian ini digunakan trianggulasi data (sumber) dan trianggulasi
teori. Trianggulasi data (sumber) adalah mengecek kebenaran data dari beberapa
sumber yang berbeda untuk menggali data yang sejenis. Sedangkan trianggulasi
teori adalah mengecek kebenaran data berdasarkan perspektif teori yang berbeda.
Menurut Lincoln dan Guba (dalam Lexy J. Moleong, 2005: 331), berdasarkan
anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu
atau lebih teori. Untuk itu trianggulasi teori diperlukan untuk memperoleh
keabsahan data. Dari perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang
lebih lengkap, tidak hanya sepihak sehingga dapat dianalisis dan ditarik simpulan
yang lebih utuh dan menyeluruh
G. Teknik Analisis Data
Analisis data bertujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik analisis mengalir (flow model of analysis), yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
meliputi tiga komponen yaitu: 1) Reduksi data; 2) penyajian data; dan 3)
penarikan simpulan (Matthew B. Miles dan A. Milles Huberman, 1992: 16-20).
Ketiga komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Reduksi data (data reduction)
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan,
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari data
yang diperoleh dari sumber data penelitian. Data yang terdapat dalam dokumen
dan hasil wawancara tidak semua diambil, namun direduksi terlebih dahulu agar
data lebih sederhana. Data yang kurang mendukung dibuang sehingga data
menjadi lebih fokus dan jelas. Reduksi data sudah termasuk dalam proses analisis
data. Proses analisis ditunjukkan dengan adanya proses pemilahan dan pemilihan
data yang penting untuk digunakan dalam penelitian.
2. Penyajian data (data display)
Data yang telah direduksi atau dirangkum kemudian disusun secara teratur
dan terperinci dalam beberapa bagian sesuai dengan permasalahannya. Data
tersebut kemudian dijabarkan dan dibandingkan antara yang satu dan yang lain
untuk dicari persamaan dan perbedaannya. Kegiatan analisis sudah termasuk
dalam sajian data. Adapun langkah-langkah analisis dalam sajian data sebagai
berikut:
a. Data hasil reduksi yang berupa dialog atau narasi novel LP dan OMDS
dikelompokkan berdasarkan strukturnya.
b. Data hasil pengelompokan tersebut kemudian dijabarkan atau diuraikan dalam
kelompoknya masing-masing untuk mendukung analisis struktural.
c. Berdasarkan langkah (b) tersebut akan didapat deskripsi atau interpretasi
mengenai struktur kedua novel. Deskripsi tersebut kemudian dibandingkan
satu sama lain dengan menitikberatkan pada prinsip kajian intertekstualitas.
Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan kedua
novel.
3. Verifikasi dan penarikan simpulan (conclution drawing)
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun kesimpulan dari data yang telah
diperoleh sejak awal penelitian. Kesimpulan yang ditarik merupakan kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
yang bersifat sementara. Oleh karena itu, kesimpulan yang telah dibuat, dicek
kembali. Jika terdapat hal atau fakta yang masih diragukan, dilakukan pengkajian
ulang terhadap data yang telah terkumpul tersebut. Langkah terakhir adalah
penarikan simpulan hasil analisis terhadap novel LP dan OMDS tersebut.
Kesimpulan merupakan tahap akhir atau hasil dari penelitian yang dilakukan.
Ketiga langkah di atas merupakan tahap yang saling berhubungan. Tahap-
tahap tersebut dilakukan terus-menerus mulai dari awal penelitian, saat penelitian
berlangsung, sampai dengan akhir penelitian. Adapun gambar dari model analisis
mengalir sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Antisipasi Selama Pasca
Penyajian Data
Analisis
Selama Pasca
Penarikan Kesimpulan
Selama Pasca
Gambar 3. Flow Model of Analysis (Miles dan A. Huberman, 1992: 18)
H. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap berikut ini:
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini penulis menentukan permasalahan dan objek kajian yang
berupa novel LP dan OMDS. Selain itu, dilanjutkan dengan pengajuan judul yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
disusul dengan pengajuan proposal penelitian. Setelah proposal penelitian
disetujui, dilanjutkan dengan langkah berikutnya.
2. Tahap Pengumpulan Teori
Tahap ini dilakukan dengan mengumpulkan teori-teori yang berhubungan
dan menunjang penelitian. Teori yang telah terkumpul kemudian diseleksi dan
dipilih berdasarkan kedekatan hubungan dengan permasalahan yang diangkat.
Teori-teori tersebut diambil dari buku-buku mengenai kajian prosa fiksi.
3. Tahap Pengumpulan Data
Data yang diambil berupa kutipan dialog atau narasi dari novel LP dan
OMDS yang menunjukkan adanya gambaran unsur-unsur struktur novel.
4. Tahap Penyeleksian Data
Data yang telah terkumpul kemudian diseleksi dan dipilih berdasarkan
topik yang akan dianalisis.
5. Tahap Analisis Data
Data yang telah dipilih kemudian dianalisis dengan teknik analisis
mengalir. Data berupa unsur struktur kedua novel kemudian dibandingkan
sehingga didapat persamaan dan perbedaan keduanya. Selain itu dikaji pula
hubungan intertekstualitas dan nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua
novel.
6. Tahap Penarikan Simpulan
Hasil analisis yang telah diperoleh kemudian disimpulkan sehingga
menjadi sebuah kesimpulan yang mewakili penelitian.
7. Tahap Penyusunan Laporan
Langkah akhir adalah penulisan laporan mengenai hasil analisis dengan
kajian intertekstualitas dan nilai pendidikan pada novel LP dan OMDS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Struktur Novel LP dan OMDS
a. Tema
Tema merupakan ide pokok sebuah cerita. Burhan Nurgiyantoro (2005: 82
– 83) menggolongkan tema dari tingkat keutamaannya, yaitu: tema mayor dan
tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau
gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor bersifat mendukung atau
mencerminkan makna utama keseluruhan cerita
1) Novel LP
Untuk menuju pada kesimpulan tentang tema novel LP terlebih dahulu
dikemukakan beberapa hal setelah membaca novel tersebut, yaitu: Pengarang
ingin menyampaikan tentang pendidikan, pengarang ingin memaparkan masalah
kemiskinan, persahabatan , dan cinta kasih.
Dalam sebuah novel dapat ditemukan tema utama dan tema-tema
sampingan (kecil) yang disisipkan pengarang. Tema utama novel LP cenderung
pada permasalahan yang pertama yaitu tentang pendidikan. Seperti kutipan
berikut:
Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan. Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah (LP: 17). Penyimpulan mengenai tema pendidikan, dapat dilihat dari beberapa hal di
antaranya terlihat dari kutipan di atas. Dari kutipan di atas terlihat bahwa latar
yang digunakan adalah sekolah Muhammadiyah, di mana sekolah sebagai tempat
berlangsungnya pendidikan formal. Di sekolah seorang anak dididik dan
ditransfer berbagai macam ilmu pengetahuan.
Pendidikan dalam konteks ini dapat bermakna luas. Selain pendidikan
dalam arti pendidikan formal, namun pendidikan di sini juga bermakna sebagai
52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
proses pendewasaan peserta didik atau proses memanusiakan manusia. Sepeerti
kutipan di bawah ini:
Dalam pendidikan, tidak jarang bakat seorang siswa diketahui secara tidak sengaja. Hal ini karena pada hakikatnya pendidikan adalah sebuah proses pencarian identitas. Di dalam novel Laskar Pelangi, fenomena semacam ini juga muncul, yakni ketika Ikal dan kawan-kawan sedang mengikuti pelajaran seni suara. Saat itu secara tidak sengaja bakat Mahar di bidang seni tergali. (LP: 129). Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan berarti pencarian identitas.
Dalam hal ini bakat serta potensi Mahar tergali secara tidak sengaja pada saat
pelajaran seni suara.
Sedangkan subtema dalam novel LP adalah kemiskinan, persahabatan dan
percintaan. Novel ini menceritakan kehidupan masyarakat asli Belitong pada
waktu itu yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Karena semua
aset pulau Belitong yakni tambang timah telah dikuasai secara eksklusif oleh PN
Timah. Masyarakat asli Belitong hanya menjadi karyawan rendahan dan buruh
kasar saja, di mana gajinya pun terkadang untuk makan saja kurang. Tak ayal
masyarakat Belitong diibaratkan sebagai tikus yang mati di lumbung padi sendiri.
Perhatikan kutipan berikut:
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci? (LP: 19). Dari kutipan di atas terlihat jelas bagaimana kondisi sekolah
Muhammadiyah yang hampir roboh karena tidak ada biaya untuk memperbaiki
bangunan sekolah. Hal ini disebabkan karena masyarakat Melayu Belitong pada
saat itu sangat miskin, sehingga tidak mampu membayar uang sekolah. Akibatnya
sekolah tidak mempunyai dana untuk memperbaiki dirinya sendiri. Selain itu,
kemiskinan ini pulalah yang mengharuskan Mahar bekerja sebagai pesuruh tukang
parut kelapa karena ayahnya telah lama sakit-sakitan sehingga mengharuskan ia
bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Perhatikan kutipan berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu mengepulkan asap hitam dan harus dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulang-ulang. Bunyi mesin itu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras dan hidup tanpa pilihan. Ia membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan (LP: 135). Dalam novel ini kemiskinan masyarakat Belitong dibahas dan disinggung
terus menerus, tentang putus sekolah karena miskin, tak bisa makan karena miskin
hingga yang paling parah tak berani bercita-cita karena miskin.
Adapun subtema yang lain yaitu masalah percintaan. Diceritakan bahwa
tokoh Ikal jatuh cinta ketika ia duduk di bangku SMP. Cinta itu berawal dari
kegiatan membeli kapur di toko Sinar Harapan yang secara tak sengaja
mempertemukannya dengan seorang wanita yang digambarkan berkuku cantik. Ia
lah A Ling atau Michele Yeoh cinta pertama Ikal. Cinta pertama yang indah,
mengesankan dan akan terus ia ingat hingga kelak ia dewasa (203 – 214).
Aku siap menerima hukuman seberat apa pun-termasuk jikalau harus mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh, Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta detik-detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan menambah sentimental suasana romantis di mana aku rela masuk sumur maut dunia lain sebagai pahlawan cinta pertama … Ah! Cinta … (LP: 214). Dari kutipan di atas digambarkan perasaan cinta Ikal kepada A Ling.
Perasaan jatuh cinta yang membuatnya melayang-layang dan mau melakukan
apapun demi cinta. Kisah cinta Ikal dan A Ling pun berlanjut. Setiap Senin ia rela
mengayuh sepeda ke Toko Sinar harapan hanya untuk melihat pujaan hatinya. Tak
dinyana ternyata A Ling adalah saudara A Kiong. Ia pun kemudian menitip surat
dan mengirimkan puisi untuk A Ling. Kisah cinta Ikal dan A Kiong memberi
warna yang berbeda dalam kisah ini.
Subtema lainnya adalah persahabatan. Perhatikan kutipan berikut:
Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang liliput, Kucai yang sok gengsi, Sahara yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapan- yaitu Samson- yang duduk seperti patung Ganesha (LP: 85). Diceritakan dalam novel ini sebuah jalinan persahabatan di antara sepuluh
orang anak yang dijuluki Laskar Pelangi, karena kebiasaan mereka melihat
pelangi secara bersama-sama. Kesepuluh anak tersebut yaitu Ikal, Lintang, Mahar,
Sahara, Harun, A Kiong, Kucai, Trapani, Samson, dan Syahdan. Kesepuluh anak
ini bersahabat sejak pertama masuk SD. Sebuah persahabatan yang indah. Semua
individu punya karakteristik tertentu. Lintang Si jenius, Samson Si Pria perkasa,
Trapani Si pria flamboyan, Kucai yang oportunis dan bermulut besar, Sahara yang
temperamental, Harun Si Pria santun dan murah senyum, Mahar sang seniman, A
Kiong yang sangat naif, Syahdan yang tak punya sense of fashion, serta Ikal yang
memang berambut Ikal (66 – 86). Sebuah persahabatan yang indah dan tak
terpisahkan.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema pokok dalam
novel LP adalah masalah pendidikan, yang diramu dengan subtema persahabatan,
cinta, dan fenomena sosial yakni masalah kemiskinan. Adanya beberapa subtema
merupakan sarana untuk menyangkutkan atau mengikat makna. Persoalan-
persoalan tersebut saling berkait, saling mendukung dan menopang sehingga
tercipta jalinan cerita yang kompleks.
2) Novel OMDS
Hampir sama dengan LP, novel OMDS juga merupakan sebuah novel yang
menyoroti masalah pendidikan. Menyoroti wajah pendidikan di mata orang
marjinal. Mengenai perjuangan sekelompok anak yang berjuang mati-matian
untuk bisa mengenyam pendidikan.
Tema mayor atau tema utama dalam OMDS adalah pendidikan. Namun
jika diteliti lebih dalam ternyata novel ini memiliki tema minor yang berbeda-
beda, namun tetap tidak terlepas dari tema utamanya yaitu pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Pendidikan sebagai tema utama novel ini dapat dilihat dari banyaknya hal
yang mengandung masalah pendidikan yang tersebar merata pada keseluruhan
bab. Seperti kutipan di bawah ini:
Habis gelap terbitlah terang seakan-akan mengandaikan pendidikan itu ibaratnya pelita yang akan menuntun manusia buta, bodoh, menuju cahaya ilmu yang gilang gemilang. Seperti pagi itu, selepas membuka kancing atas agar bebas gerah dan angin bisa masuk, mereka tergopoh-gopoh memasuki gerbang sekolah. Mereka bertiga memandang sebentar patung Kartini untuk menitiskan ruh semangat sekolah sebelum di Senin ini mereka memasuki dunia yang penuh gairah (OMDS: 244)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan di sini diibaratkan ”pelita
yang akan menuntun manusia buta, bodoh, menuju cahaya yang gilang gemilang”.
Dan memang itulah hakikat dari pendidikan, yakni ”pendidikan sebagai latihan
mental, moral, dan fisik yang mampu menghasilkan manusia berbudaya tinggi
maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta
menanamkan rasa tanggung jawab”.
Selain itu novel ini juga banyak mengambil latar di kelas 1-2 khususnya
dan SD Kartini pada umumnya, di mana notabene sekolah merupakan tempat
memperoleh pendidikan. Perhatian kutipan berikut:
Kami berjalan kembali di ruangan kelas pertama yang kami lewati tadi. Pak Zainal masuk ke ruangan 1-2 atau kelas satu ruangan kedua, bekas kelasku dulu. Kulihat Bu Mutia masih menuliskan sesuatu di papan tulis berkapur, melihat kehadiran kami, Bu Mutia menghentiukan pekerjaannya, ia berusaha ramah kepada Pak Kepala Sekolah yang datang mendadak (OMDS: 92). Hal ini semakin memperkuat tema novel ini adalah pendidikan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2006: 28) yang menyatakan bahwa
latar berfungsi untuk memperjelas tema dalam novel.
Sedangkan tema minor atau subtema dalam novel ini adalah kemiskinan.
Kemiskinan yang senantiasa menggelayuti tokoh utama dan mewarnai setiap
kisah dalam novel ini. Kemiskinan yang mengiringi perjuangan dalam meraih
pendidikan. Seperti dalam kutipan berikut ini:
”Astaghfirullahal ’azhim, aku lupa, mereka bertiga memang tidak sekolah, sampai sebesar ini mereka belum pernah sekolah sekalipun. Orang tua mereka tak sanggup menyekolahkan karena tak ada biaya. Sekolah bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
mereka tidak penting dan membuang-buang waktu, tubuh-tubuh kecil mereka kadang diperas untuk membantu orang tua mereka, entah mengangkut kotoran, memeras susu sapi, bahkan sampai mengangkat rumput-rumput di depan moncong sapi (OMDS: 23). Dari kutipan di atas terlihat bahwa kemiskinan menjadi masalah yang
pelik bagi ketiga Anak. Di satu sisi Anak Alam ingin sekolah, tapi di sisi lain
orang tua mereka tidak mampu membiayai karena memang gaji mereka menjadi
buruh di peternakan hanya cukup untuk makan. Begitu juga terlihat pada kutipan
berikut ini:
Sepagi itu, mereka sudah melakoni hidup dengan susah payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tetapi mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang selalu di bawah. Kebodohannya membuat pola pikirnya begitu pendek, setiap kali mereka menemui kesusahan, dianggapnya itu sebagai takdir dari yang di atas. Kebodohannya pula yang menyebabkan ia menganggap rezekinya sudah diatur hanya segitu-gitunya, tak pernah nambah (OMDS: 135).
Kemiskinan yang sudah melekat erat di tubuh ketiga Anak Alam.
Kemiskinan yang berakibat pada kebodohan, dan kebodohan yang membuat pola
pikir menjadi pendek.
Adapun tema minor lainnya adalah percintaan. Diceritakan bahwa tokoh
Pambudi mempunyai cinta pertama dengan tokoh Kania. Seperti kutipan berikut
ini:
Kania, tiba-tiba nama itu yang selalu berdengung-dengung di telinga Yudi, Pambudi, dan Pepeng. Di mana pun tempat dan keadaan, nama Kania begitu enak disebut, renyah di telinga, dan nyaman di hati. Bahkan, bayang-bayang Kania hadir di mana pun mereka berada...... Rasa rindu yang membuncah itu semakin menggebu saat ia membayangkan bagaimana dengan tangkasnya Kania membela mereka. Hari pertama mereka sekolah, mereka langsung terkesan kepada Kania, mereka langsung jatuh hati kepada murid berlesung pipit dan suka mengepang rambutnya itu (OMDS: 109).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa perasaan cinta Pambudi berawal ketika
Kania membela Pambudi yang sedang dicela oleh teman-teman sekelasnya. Di
mana sejak kejadian itu tumbuhlah perasaan cinta itu.
Perasaan cinta di antara Pambudi dan Kania, dimaknai Kania sebagai
penyemangat Pambudi untuk semakin meningkatkan prestasinya dalam belajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Hal ini membuktikan bahwa subtema percintaan tidak terlepas dari tema pokok
yaitu mengenai pendidikan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Panuti
Sudjiman (1988: 55) bahwa ”tema sampingan atau subtema berfungsi sebagai
sarana untuk menyangkutkan atau mengikat makna”. Seperti kutipan percakapan
antara Pambudi dan Kania di bawah ini:
”Biarlah cinta kita ada di dalam hati saja....” ”Sampai semuanya memungkinkan, kita bisa pacaran.” ”Tidak boleh ada pacaran, aku tak mau pacaran.” ”Lalu?” ”Ya, kita tumbuhkan hal-hal positif saja dari hubungan ini, seperti yang pernah aku minta padamu dahulu, kau boleh berhubungan denganku, asalkan kau bisa mengimbangiku, kau juga harus pintar, harus rajin belajar, nilai-nilai ulanganmu juga harus baik, dan yang penting, besok kau harus sekolah... ” ”Iya Kan, aku mau. Kalau ada kau, mana ada rintangan yang sulit? Semua pasti mudah dijalani.” ”Aku tak ingin gara-gara kau nilaiku jadi jelek ...” ”Tidak, aku tak akan mengganggumu.” ”Yang penting, aku tak mau setelah ini kau jadi tak terkendali, kau jadi mabuk kepayang. Aku ingin kenal Pam yang sekarang, yang jujur, yang polos, dan apa adanya.” (OMDS: 215 – 216).
Dari kutipan di atas terlihat sikap Kania kepada Pambudi. Kania memacu
semangat Pambudi untuk belajar giat. Perasaan cinta di antara keduanya dimaknai
positif oleh Kania untuk menumbuhkan hal-hal positif dari hubungan tersebut.
Selain percintaan dan masalah kemiskinan, novel ini juga bertemakan
persahabatan, yakni persahabatan Faisal dengan ketika anak alam (Pambudi,
Yudi, dan Pepeng). Meskipun mempunyai status sosial ekonomi yang berbeda,
mereka tetap bersahabat dengan baik. Mereka rela berkorban satu sama lain dan
setia kawan. Faisal yang berasal dari keluarga mampu, selalu memikirkan nasib
teman-temannya dan mengusahakan pendidikan untuk teman-temannya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tema mayor atau tema
pokok dalam novel ini adalah pendidikan. Sedangkan tema minornya yaitu
kemiskinan, percintaan, dan persahabatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
b. Sudut Pandang
Pada dasarnya sudut pandang dalam karya sastra fiksi diartikan sebagai
strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang merupakan masalah teknis
yang digunakan pengarang untuk menyampaikan makna karya artistiknya untuk
sampai dan berhubungan dengan pembaca. Burhan Nurgiyantoro membagi sudut
pandang menjadi tiga yakni sudut pandang persona ketiga “Dia”, Sudut pandang
persona pertama “Aku”, dan sudut pandang campuran (2005: 256 – 271).
1) Novel LP
Berdasarkan keterangan di atas dapat dikemukakan bahwa novel LP
menggunakan sudut pandang persona pertama pertama “Aku” yang berarti
pengarang terlibat dalam cerita secara langsung. Pengarang adalah tokoh yang
mengisahkan kesadaran dunia, menceritakan peristiwa yang dialami, dirasakan,
serta sikap pengarang (tokoh) terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Hal
ini tampak dalam kutipan berikut ini:
Pagi itu, ketika aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas (LP: 1).
Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru baru … semuanya bercampur aduk (LP: 12). Dari kutipan di atas terlihat bahwa pengarang selalu menyebut dirinya
“Aku”. “Aku” mengisahkan peristiwa yang dialami dan dirasakannya ketika hari
pertama masuk sekolah.
Dalam novel ini, pengarang yaitu Andrea Hirata merupakan pengisah
seluruh kejadian yang terdapat dalam novel LP. Di dalam novel ini pengarang
mempunyai nama tokoh “Ikal”. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Tabahkan hatimu, Ikal….., “ itulah nasihat Trapani pelan padaku. (LP: 366 – 367). Bagian lain yang juga menunjukkan bahwa si “aku” bernama Ikal tampak
dalam kutipan berikut:
Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form x13. Tanda terima kiriman penting.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
“Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak ‘kan kuhabiskan waktuku di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah …”
Pak pos belum puas dengan godaannya. Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota! Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?” (LP: 280).
Berdasarkan peran, novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama
(teknik akuan) bernama Ikal, namun pada bab terakhir, tokoh aku berganti dengan
tokoh yang lain yaitu Syahdan.
Aku bangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku:
Syahdan Noor Aziz Bin
Syaharani Noor Aziz
Panelis (LP: 489).
Jadi, dalam kisah ini pengarang menggunakan dua tokoh “Aku” yakni
tokoh “Aku” Ikal dan tokoh “Aku” Syahdan.
2) Novel OMDS
Novel OMDS gaya penceritaannya menggunakan sudut pandang campuran
yakni persona pertama “Aku” dan persona ketiga “Dia” Mahatahu. Sudut pandang
persona pertama yang berarti pengarang terlibat dalam cerita secara langsung.
Pengarang adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dunia, menceritakan
peristiwa yang dialami, dirasakan, serta sikap pengarang (tokoh) terhadap orang
(tokoh) lain kepada pembaca. Seperti kutipan berikut ini:
Aku terus meraut batang lidi hingga batangnya terlihat mengecil dan kurus, aku diam-diam geli mendengar perkataan mereka, ternyata kebodohan membuat kita gampang tertipu, gampang naik pitam, dan mudah sekali diombang-ambingkan (OMDS: 46).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa tokoh “Aku” menceritakan apa yang
dipikirkannya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Ia memberikan penilaian
bahwa kebodohan membuat orang mudah tertipu, mudah naik pitam, dan mudah
terombang-ambing.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Wiwid Prasetyo merupakan pengisah seluruh kejadian yang terdapat
dalam novel OMDS. Di dalam novel ini Wiwid mempunyai nama tokoh “Faisal”.
Perhatikan kutipan berikut ini:
Napas kelegaan menghampiri kami. Aku yang berada di belakang bisa menyusul di antara mereka, terengah-engah, dan saling melepaskan lelah di sebuah reruntuhan gedung yang tak terpakai. “Dasar kamu Sal, payah… Mengambil layangan saja tidak bisa…,” ledek Pambudi. “Iya Sal, coba kalau aku yang mengambil, kita pulang dengan membawa layang-layang itu dan besok kita akan menantang Mat Karmin yang sombong itu. “Kali ini, Pepeng ikut-ikutan memarahiku (OMDS: 8).
Selain menggunakan sudut pandang persona pertama, pengarang
menambahkan lagi dengan teknik sudut pandang persona ketiga “Dia” Mahatahu.
Dengan teknik ini narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia,
dia, mereka. Narator bersifat mahatahu. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh,
peristiwa, dan tindakan. Perhatikan kutipan berikut ini:
Aneh, mendengar perintah Mat Karmin, bocah itu seperti robot Jepang yang dikendalikan oleh remote control, selanjutnya ia melangkah menghampiri pintu dengan rasa perih di duburnya, berjalan tertatih-tatih seperti orang habis sunat, kemudian meninggalkan teman-temannya tanpa ekspresi. Panji hanya diam, ia membayangkan seisi langit runtuh menimpanya, masa depannya jelas suram, kesedihannya menggelegak, seluruh air di dalam tubuhnya seakan-akan menghempaskannya ke dalam jurang yang teramat dalam (OMDS: 232)
Dari kutipan di atas, pengarang berusaha menembusi pikiran Panji dan
lebih dari sepuluh orang yang menjadi korban Mat Karmin. Yaitu
menggambarkan bagaimana perasaan Panji setelah disodomi Mat Karmin, dengan
membayangkan seisi langit runtuh menimpanya. Pengarang menceritakan betapa
sakit dan hancur perasaan Panji, masa depan yang suram, dan kepedihan tiada
akhir serta rasa malu yang akan dipikulnya hingga kelak ia dewasa.
Dari kutipan-kutipan di atas, dapat ditegaskan bahwa pengarang
menggunakan sudut pandang campuran yakni mengkombinasikan sudut pandang
persona pertama dengan teknik pengarang “Dia” Mahatahu. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Herman J Waluyo (2002: 184 – 185) yang menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
ketiga jenis metode ini (akuan, diaan, dan pengarang serba tahu) dapat
dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita rekaan dengan tujuan untuk
membuat variasi cerita agar tidak membosankan.
c. Penokohan
Dalam penelitian ini peneliti membedakan tokoh menjadi dua macam,
yaitu (a) tokoh utama, dan (b) tokoh tambahan. Penggunaan pembagian tokoh ini
brtujuan untuk memudahkan dan membedakan mana tokoh yang perlu mendapat
perhatian khusus dan mana yang tidak, didasarkan atas seberapa jauh keterlibatan
seorang tokoh dalam jalinan cerita.
1) Novel LP
Tokoh-tokoh utama dalam novel LP yaitu sebelas anggota Laskar Pelangi
yakni Ikal, Lintang, Mahar, Trapani, Syahdan, Sahara, Borek, Kucai, A Kiong,
Harun, dan Flo, Pak Harfan, Bu Mus, dan A Ling. Sedangkan tokoh tambahan
yaitu Drs Zulfikar, ayah Ikal, ayah Lintang, ibu Ikal serta beberapa tokoh lain.
Karena banyaknya tokoh, paparan hasil penelitian mengenai watak tokoh peneliti
batasi hanya pada tokoh-tokoh utama saja. Tidak dipaparkannya karakter tokoh
pendamping tidak akan mengurangi keutuhan isi laporan. Berikut akan
dideskripsikan tokoh beserta wataknya:
a) Ikal (Aku)
Tokoh Ikal merupakan pencerita dalam kisah ini. Secara fisik ia
digambarkan berambut ikal. Perhatikan kutipan berikut ini:
Aku dan Lintang duduk sebangku karena kami sama-sama berambut ikal (LP: 13).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa tokoh tokoh Ikal memang berambut
ikal sesuai dengan julukannya. Ikal juga duduk sebangku dengan Lintang yang
juga sama-sama berambut Ikal. Selain berambut Ikal, Ikal juga berperawakan
kecil dan kurus. Perhatikan kutipan berikut:
Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan Goliath sang raksasa (LP: 81).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Dari kutipan di atas, pengarang mencoba membandingkan besar tubuh
antara Ikal dengan Samson. Samson diibaratkan seperti Goliath sang raksasa dan
Ikal diibaratkan David si kecil.
Ikal memiliki kegemaran dan keahlian dalam bidang olahraga bulutangkis
dan dunia tulis menulis. Perhatikan kutipan berikut:
Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulutangkis dan aku punya minat yang sangat besar pada bidang tulis-menulis. Kesimpulan itu aku peroleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulutangkis kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku (LP: 339).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa bakat Ikal pada bidang olahraga bulu
tangkis. Hal ini terlihat dari banyaknya piala hasil memenangkan pertandingan
bulu tangkis di kampungnya.
Secara psikologis, tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad
kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Seperti kutipan berikut:
Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah surat pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah Negara asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusia-siakan selain untuk belajar. Aku membaca sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca (LP: 458 – 459).
Dari kutipan di atas memang terlihat bahwa Ikal mempunyai tekad dan
kemauan yang keras. Salah satu tekadnya adalah ia ingin belajar setinggi-
tingginya untuk menjadi orang pintar untuk menebus cita-cita Lintang yang gagal
untuk mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang mengharuskannya seperti
itu. Ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan
apa saja agar cita-citanya ini dapat tercapai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai sosok yang perhatian. Peduli
dan memikirkan keadaan temannya. Perhatikan kutipan berikut:
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smith-ku, Andre Ampere-ku (LP: 431).
Melalui kutipan di atas digambarkan bahwa Ikal sangat peduli dengan Lintang. Ia
merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu, namun di
tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia juga
memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya
meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah
menghidupi keluarga (429 – 434).
b) Lintang
Lintang yang bernama lengkap Lintang Samudra Basara bin Syahbani
Maulana Basara, secara fisik digambarkan berperawakan kecil, berkulit hitam,
kotor, bertubuh kurus, dan berambut ikal kemerahan. Perhatikan kutipan berikut
ini:
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya (LP: 3).
Secara psikologis, ia merupakan seorang tokoh yang lucu, semarak, dan
penuh vitalitas. Ia sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan. Perhatikan kutipan
berikut:
Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik (LP: 109).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Lintang mempunyai ketertarikan yang
tinggi terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak hari pertama masuk sekolah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Karena ketertarikannya dengan ilmu pengetahuan, ia rela menempuh perjalanan
jauh ke sekolah. Perhatikan kutipan berikut:
Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilo meter pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya (LP: 93).
Dari kutipan di atas terlihat gambaran perjuangan keras Lintang untuk
sampai di sekolah. Walaupun rumahnya sangat jauh 80 km pulang pergi ke
sekolah, ia tetap sangat bersemangat untuk menuntut ilmu. Ia tekun belajar. Ia tak
pernah membolos barang sehari pun. Ia tidak putus asa dengan kemiskinan yang
membelitnya (LP: 93 – 95).
Penggambaran tokoh Lintang begitu terperinci, terutama mengenai
kejeniusannya
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan intelegensi, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat ia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan anka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar membagi angka decimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma (LP: 106).
Dari kutipan di atas tergambar kejeniusan Lintang. Ia mempunyai
kemampuan otakn di atas rata-rata jauh melebihi umurnya, kecerdasan hampir di
segala bidang, kalkulus, linguistik, kecerdasan spasial, maupun cerdas secara
eksperimenntal. Bibit genius asli yang lahir dari sebuah keluarga yang tak satu
pun bisa membaca. Segala bentuk kejeniusannya diuraikan secara mendetail.
Secara sosiologis, Lintang merupakan sosok yang rendah hati, tidak
sombong, dan bersedia membantu teman yang kesulitan dalam memahami
pelajaran dengan senang hati. Kejeniusan yang dimilikinya tidak membuatnya
tinggi hati dan mabuk kepayang. Semua teman menyukai dan menyayanginya.
Lintang merupakan pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya (LP: 108).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa sebagai seorang yang jenius, Lintang
tidak pernah menyombongkan kejeniusannya itu. Semua keunggulannya ini tidak
menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya.
c) Mahar
Mahar yang bernama lengkap Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair
bin Awam, secara fisik ia digambarkan sebagai sosok seorang lelaki tampan
berwajah manis, bertubuh ceking dan bergaya eksentrik.
Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar berseni, tapi keras pendiriannya (LP: 349).
Karakter yang menonjol dari tokoh Mahar adalah jiwa seninya yang tinggi
dan sangat imajinatif dan kreatif. Perhatikan kutipan berikut:
Imajinasi mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat seni yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa (LP: 139 – 140).
Dari kutipan di atas, digambarkan bakat Mahar di bidang seni yang sangat
menonjol. Intelegensinya di bidang seni sungguh meloncat-loncat. Di otaknya
banyak tersimpan ide-ide cemerlang yang terkadang lucu dan absurd.
Mahar mempunyai musikalitas yang tinggi. Ia sangat berbakat hampir di
segala bidang kesenian, misalnya menggambar, menyanyi, bermusik, dan lain-
lain. Ia pernah bergabung dengan grup rebana, pernah menyutradarai grup teater
kecil di SD Muhammadiyah, dan puncaknya ketika ada karnaval tingkat sekolah,
ia dipercaya untuk menjadi pemimpin di acara karnaval tersebut, dan berhasil
membawa harum sekolah Muhammadiyah dengan menjadi juara pertama (145 –
155).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Mahar merupakan seorang seniman sejati. Ia sangat tertarik dengan dunia
mistik dan segala macam yang berbau klenik. Perhatikan kutipan berikut:
Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat, arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual dan kepercayaan berhala. Maka sedikit banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan spiritual (LP: 361).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Mahar sangat tertarik dengan dunia
supranatural. Ia sangat menyukai cerita-cerita sejarah, segala ritual-ritual dan
sebagainya. Oleh karena itu, untuk menampung jiwa kleniknya ini, maka ia
mendirikan sebuah organisasi penggemar dunia supranatural yang dinamai
Societeit de Limpai. Perhatikan kutipan berikut:
Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasak kusuk sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota sepaham yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam (LP: 361).
d) Sahara
Sahara bernama lengkap N. A. Sahara Aulia Fadillah binti K. A. Muslim
Ramdhani Fadillah. Ia merupakan satu-satunya perempuan dalam anggota Laskar
Pelangi. Secara fisik ia digambarkan berparas cantik, bertubuh ramping dan
berjilbab.
Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey checked green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab dan sedikit lebih beruntung, bapaknya seorang Taikong (LP: 75).
Secara psikologis ia digambarkan sebagai seorang yang keras kepala,
temperamental, skeptis, pintar, jujur dan penuh perhatian, terutama kepada
Harun.
Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temperamental, tapi ia pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Kebalikan dari A Kiong. Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibuat terkesan (LP: 75).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Sahara mempunyai musuh abadi, yakni A Kiong. Mereka selalu
bertengkar hebat jika bertemu. Sepertinya mareka dipertemukan nasib untuk
selalu berselisih. Sebaliknya, Sahara akan bersikap lembut jika berhadapan
dengan Harun. Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan
tupai dan kura-kura (LP: 76 – 77).
e) Trapani
Trapani bernama lengkap Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham
Jamari. Secara fisik ia adalah seorang anak laki-laki anggota Laskar Pelangi yang
berwajah rembulan. Perhatikan kutipan berikut:
Duduk di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia memesona seumpama bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki dan sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin (LP: 74).
Kutipan di atas memberikan gambaran ketampanan Trapani. Trapani
bertubuh ramping, berkulit putih bersih, tinggi, rambutnya hitam lebat, bermata
indah dan berwajah tampan. Nama Trapani diambil dari nama sebuah kota pantai
nan elok di Sisilia. Ia berpenampilan rapi dan sangat memesona.
Trapani merupakan sosok yang pintar dan pendiam. Perhatikan kutipan
berikut:
Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga (LP: 75).
Trapani merupakan anak berbakti. Satu karakter yang paling menonjol
darinya adalah ia sangat bergantung dengan ibunya. Ia tak mau jauh-jauh dari
ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya. Perhatikan kutipan berikut:
Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah tapi sampai kelas tiga ia masih diantar kemput ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya (Lp: 74 – 75).
Sifat Trapani yang serba tergantung dengan ibunya, serta tak mau lepas
barang sebentar pun dari ibunya, menyebabkan Trapani menderita penyakit
mother complex yang sangat ekstrem. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia
menjerit-jerit histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
sendiri hampir terganggu jiwanya. Hal ini menyebabkan mereka harus dirawat di
Zaal batu, yakni rumah sakit jiwa di Sungai Liat (LP: 446 – 453).
f) A Kiong
A kiong merupakan keturunan hokian, ia seorang Kong Hu Cu. Bapaknya
bernama A Liong seorang hokian kebun yang miskin. Secara fisik ia digambarkan
berwajah aneh dan horor. Perhatikan kutipan berikut:
Wajahnya seperti baru keluar dari bengkel ketok magic, alias menyerupai Frankenstein. Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite dan markacite dari air minum. Guru manapun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala alumuniumnya itu (LP: 68).
Secara psikologis, ia merupakan sosok yang polos, naif, cengeng, baik hati
dan ramah. Ia adalah musuh bebuyutan Sahara. Perhatikan kutipan berikut:
Dia sangat naïf dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kita mengatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya hitam putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa, ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara (LP: 68 – 69).
Permusuhannya dengan Sahara semasa kecil, ternyata menjadi berbeda
ketika dewasa. Ternyata ia mencintai Sahara tetapi tidak berani
mengungkapkannya. Hampa karena cinta membuatnya menjalani hidup sebagai
seorang agnostic, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk
agama apa pun. Hingga kemudian ia mendapat hidayah Allah, ia pun memeluk
Islam, disunat dan mengucapkan syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu
Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron
Nur Zaman. Kemudian ia mempunyai keberanian untuk mengungkapkan cintanya
kepada Sahara. Dan ternyata Sahara mempunyai perasaan yang sama. Mereka
kemudian berkeluarga dan punya anak lima (LP: 463 – 466).
g) Kucai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Kucai bernama lengkap Mukharam Kucai Khairani, ia adalah seorang
ketua kelas. Secara fisik, ia digambarkan mempunyai gangguan dengan
penglihatnnya akibat kekurangan gizi yang parah semasa kecil. Perhatikan kutipan
berikut:
Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopi alias rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat (LP: 69).
Kucai merupakan seorang anak yang kurang pintar. Nilai-nilai ulangannya
tidak pernah melampaui angka enam. Perhatikan kutipan berikut:
Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai (LP: 69).
Secara psikologis, Kucai digambarkan sebagai sosok yang selalu optimis,
memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori,punya
network yang luas, dan sok tahu. Jika digabungkan ia memiliki semua kualitas
untuk menjadi seorang politisi (69 – 70). Dan memang benar, setelah ia dewasa ia
menjadi politisi, menjadi seorang ketua fraksi di DPRD Belitong (LP: 490).
h) Borek (Samson)
Borek adalah salah satu anak laki-laki anggota Laskar pelangi. Kelakuan
dan prestasinya rata-rata air. Borek yang sering dijuluki Samson, memiliki bentuk
tubuh besar sesuai julukannya. Karakternya yang paling menonjol adalah ia sangat
terobsesi memiliki tubuh besar dan kekar. Ia terobsesi terhadap usaha pembesaran
otot (body buiding) dan citra cowok macho.
Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil dan mendapat julukan Samson (LP: 78). Samson demikian terobsesi dengan body building dan tergila-gila dengan citra cowok macho (LP: 79).
Ketika dewasa ia menjadi pekerja atau seorang kuli yang perkasa seperti
cita-citanya dulu. Dan ia bekerja di toko kelontong Sinar Perkasa milik A Kiong
dan Sahara (LP: 466).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
i) Syahdan
Syahdan yang mempunyai nama lengkap Syahdan Noor Aziz bin Syahari
Noor Aziz. Ia merupakan anak seorang nelayan miskin. Ia bekerja sebagai tukang
dempul perahu. Ia digambarkan sebagai tokoh yang berpembawaan ceria,
bertubuh kecil, tidak punya sense of fashion. Perhatikan kutipan berikut:
Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda milik Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal (LP: 477). Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkan bahwa sekolah berbeda dengan keramba (LP: 68).
Dari kutipan di atas digambarkan kondisi tubuh Syahdan yang kecil dan
tidak memperhatikan penampilan. Akan tetapi di balik tubuhnya yang kecil,
Syahdan merupakan seorang pribadi yang bertekad kuat, tak mudah putus asa dan
menjadi pecundang dalam kelompoknya. Ia bercita-cita menjadi seorang aktor.
Perhatikan kutipan berikut ini:
Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun dan lemah lembut agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang, pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat dan jika makan paling belakangan. Ia adalah kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekali pun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dari itu ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis (LP: 477 – 478).
Syahdan yang dulunya sangat gagap teknologi, ternyata setelah dewasa
menjelma menjadi seorang network designer dan mendapat beasiswa short course
di bidang computer network di Kyoto University, Jepang. Dan memperoleh
sertifikasi Sisco Expert Network dan menduduki posisi sebagai Information
Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka. Namun,
sedektik pun ia tak melepaskan cita-citanya untuk menjadi seorang aktor (LP: 477
– 479).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
j) Harun
Harun mempunyai nama lengkap Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul
Hazana Ramadhan. Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang anak laki-laki
yang berbadan kurus, tinggi, kaki dan langkahnya membentuk huruf x, bergigi
kuning dan panjang-panjang.
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat (LP: 6 – 7).
Ia digambarkan memiliki keterbelakangan mental. Ia tidak bisa membaca
maupun menulis. Pada waktu pembelajaran berlangsung ia malah tidur, terkadang
tertawa dan bertepuk tangan tanpa alasan yang jelas, menceritakan sesuatu secara
berulang-ulang.
Pria jenaka sahabat kami semua yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya (LP: 7). Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa (LP: 78).
Karena “keistimewaaannya” ini, teman-teman terutama Sahara sangat
menyayanginya. Bu Mus memperlakukan Harun layaknya anak biasa. Ia
mendapat perlakuan yang sama dengan yang lain.
k) Flo
Flo atau Floriana merupakan anak orang kaya. Ia murid pindahan dari
sekolah PN. Ia kemudian bergabung dengan anggota Laskar Pelangi dan
bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Perhatikan kutipan berikut:
Dia sudah tak ingin lagi sekolah di PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras hanya ingin sekolah di sini (LP: 353).
Flo berkeinginan keras meninggalkan sekolah PN karena didorong oleh
kepribadiannya yang pembosan, pemberontak dan keinginannya menjadi anggota
Laskar Pelangi yang unik, terutama pada Mahar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang remaja putri yang cantik,
berpostur tinggi, berkulit putih bersih, dan berbadan kurus. Ia sangat memesona.
Perhatikan kutipan berikut:
Meskipun seperti laki-laki tetapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar biasa (LP: 354).
Karakternya yang menonjol adalah sifat tomboynya. Perhatikan kutipan
berikut:
Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena pengaruh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajahnya agar merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang dibelikan ibunya (LP: 47 – 48).
Kutipan di atas menggambarkan asal muasal sifat tomboy Flo, yang
mungkin disebabkan karena ia merupakan anak perempuan satu-satunya dalam
keluarganya, sehingga terpengaruh saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya
laki-laki.
Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai seorang pribadi yang ekstrovert,
mudah bergaul, mudah beradaptasi, rendah hati, suka menolong orang lain dan
rela berkorban. Perhatikan kutipan berikut:
Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar (LP: 359).
Dari kutipan di atas, tokoh Flo digambarkan sebagai seorang yang mudah
beradaptasi dengan lingkungan baru. Walaupun ia kaya, ia tetap mau bergaul
dengan anggota Laskar Pelangi. Selain itu hampir sama dengan Mahar, ia juga
mempunyai ketertarikan yang besar dengan dunia klenik, mistik, supranatural.
Perhatikan kutipan berikut:
Dalam kelas ia duduk sebangku dengan Mahar karena memiliki hobi yang hampir sama, yaitu mengenai hal-hal yang berbau ghaib (LP: 356).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap mistik dan klenik (LP: 360).
l) A Ling
A Ling merupakan seorang gadis keturunan tionghoa. Ia merupakan anak
dari pemilik toko Sinar Harapan A Miauw, tempat sekolah Muhammadiyah
membeli kapur. A Ling merupakan sepupu A Kiong. Ia merupakan cinta pertama
Ikal. Secara fisik ia digambarkan berparas cantik, bermata sipit, berkulit putih,
berkuku cantik, berbadan ramping dan tinggi.
Seperti kebanyakan ras mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh, bintang film Malaysia yang cantik itu (LP: 210 – 211).
Karena kecantikannya inilah, Ikal menjulukinya Michelle Yeoh, yakni
seorang artis cantik asal Malaysia. Ia jatuh cinta pada A Ling berawal dari
pertemuannya di toko Sinar Harapan. Pertemuan dengan kuku-kuku yang cantik.
Perhatikan kutipan berikut:
Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku-kuku nirwana itu. Apakah wajahnya seindah kuku-kukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya seindah jari-jari tangan kanannya? (LP: 206).
Kuku-kuku cantik inilah yang membuat Ikal jatuh cinta dengan A Ling.
Perasaan cinta yang juga disambut baik oleh A Ling. Perasaan cinta yang mampu
membuat Ikal berlama-lama di toko bobrok Sinar Harapan. Ia rela menjalankan
tugas membeli kapur tulis untuk sekolah Muhammadiyah, tidak lain hanya untuk
bertemu kuku-kuku cantik ini.
Secara psikologis, A Ling merupakan seorang wanita yang misterius,
tertutup, memiliki pendirian yang kuat, dan penuh percaya diri. Perhatikan kutipan
berikut:
Ia bukanlah pribadi mekanis yang mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang pertanggungjawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang meluncur dari mulutnya (LP: 338).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Tokoh A Ling digambarkan memliki kepribadian yang tertutup dan
misterius. Karena misterius inilah yang membuat Ikal semakin terkesan dengan A
Ling.
m) Bu Muslimah
N. A. Muslimah Hafsari Hamid binti K. A. Abdul Hamid atau yang biasa
dipanggil Bu Mus, merupakan salah seorang guru di sekolah Muhammadiyah.
Dialah yang menjadi guru kesepuluh anggota Laskar Pelangi.
Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang guru muda yang jangkung
dan berjilbab.
Ibu Muslimah yang beberapa menit yang lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum Giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga Crinum, demikian pula bau bajunya (LP: 9).
Secara psikologis, ia merupakan sosok yang mempunyai tekad kuat dalam
hal memajukan pendidikan Islam. Ia pandai, karismatik dan memiliki pandangan
jauh ke depan. Perhatikan kutipan berikut:
… Beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya- K. A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong- untuk terus mengobarkan pendidikan islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru- lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? (LP: 30). Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan (LP: 30).
Dari dua kutipan di atas, terlihat jelas karakter Bu Mus. Sebagai seorang
guru, ia sangat lemah lembut dan sayang dengan muridnya. Ia seorang guru yang
kharismatik. Murid-murid menaruh hormat kepadanya. Murid-murid juga sangat
segan kepadanya. Dalam hidupnya, ia mempunyai tekad untuk terus mengobarkan
pendidikan islam demi melanjutkan cita-cita ayahnya.
n) Pak Harfan
K. A. Harfan Efendy Noor atau biasa dipanggil Pak Harfan, merupakan
kepala sekolah Muhammadiyah. Ia merupakan seorang bapak tua yang berwajah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
sabar, kumisnya tebal, cambangnya tersambung pada jenggot lebat. Perhatikan
kutipan berikut:
Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K. A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah… (LP: 2). Kumisnya tebal, cambangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecoklatan yang kusam dan beruban (LP: 20).
Dari kutipan di atas tergambar kondisi fisik Pak Harfan yang sudah tua,
berkumis, bercambang, berjenggot, dan beruban. Sungguh mengesankan seorang
bapak yang sudah tua.
Karakter utama yang menonjol darinya adalah sifat sabar, bersahaja, bijak,
pintar, dan berdedikasi tinggi untuk memajukan pendidikan ikhlas tanpa
mengharap imbalan. Perhatikan kutipan berikut:
Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudera, bijak, berani mengambil resiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti (LP: 23). Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan dalam pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya (LP: 21).
Dari kutipan di atas terlihat sifat Pak Harfan. Di balik tubuh tuanya
tersimpan kekayaan batin yang sungguh tak ternilai. Ia merupakan seorang kepala
sekolah sekaligus pengajar yang baik, lembut, penuh semangat, penuh kasih
sayang kepada muridnya. Ia sangat berharga. Ia mengabdi di sekolah
Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan. Tapi hal ini tidak menyurutkan
semangatnya. Justru hal ini semakin mengobarkan semangatnya untuk tetap
memberikan pendidikan islam di sekolah Muhammadiyah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
2) Novel OMDS
Novel OMDS memiliki penokohan yang relatif banyak yang berpengaruh
terhadap jalannya cerita serta amanat yang hendak disampaikan. Adapun tokoh
utama dalam novel ini adalah Faisal, ketiga Anak Alam (Pambudi, Yudi, Pepeng),
Kania, Bu Mutia, Rena, Pak Cokro, Mat Karmin, Yok Bek, dan Karisma.
Sedangkan tokoh tambahan dalam novel ini adalah Pak Yadi, Ki Hajar Ladunni,
Ayah Pambudi (Samijan), ayah Yudi (Giatno), ayah Pepeng (Sukisno), Ibu Yudi,
Pak Zainal, Candil, A Kiong, Sinyo dandy, Ustadz Muhsin, Kiai Khadis, Bang
Anan, Denok, Warti, Guruh, Fajar, Anton, dan masih banyak lagi. Karena
banyaknya tokoh, paparan hasil penelitian mengenai watak tokoh peneliti batasi
hanya pada tokoh-tokoh utama saja. Tidak dipaparkannya karakter tokoh
pendamping tidak akan mengurangi keutuhan isi laporan. Berikut akan
dideskripsikan tokoh beserta wataknya:
a) Faisal (Aku)
Tokoh Faisal merupakan pencerita kisah ini. Tokoh Faisal yang bernama
lengkap Faisal Ridowi secara fisik tidak diuraikan secara mendetail. Yang lebih
diuraikan adalah keadaan psikis dan sosiologisnya.
Secara psikis ia digambarkan memiliki pandangan hidup yang progresif
dan berkemauan keras. Hal ini tampak pada kemauan kerasnya untuk dapat
mewujudkan cita-cita. Perhatikan kutipan berikut:
Tubuhku telah terbanting-banting demi cita-citaku sendiri yang terlalu kuat untuk terus sekolah, terus belajar dan mempelajari sesuatu, serta dibuat penasaran oleh buku. Itu semua demi satu keyakinan, aku akan bangkit dan meraih mimpi itu demi sebuah cita-cita yang akan kurengkuh kelak (OMDS: 239 – 240).
Dari kutipan di atas tergambar tekad Faisal untuk dapat meraih cita-cita. Ia
rela melakukan apa saja untuk mewujudkan cita-citanya. Segala halangan tidak
menyurutkan semangatnya.
Selain itu Faisal juga berjiwa pemberani. Terbukti ketika Gedong Sapi
diamuk warga, ia berusaha menengahi. Ia tidak takut sedikitpun, karena ia
membela kebenaran. Ia membela mati-matian nasib ketiga Anak Alam.
(OMDS:154 – 155).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Secara sosiologis, sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli
dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak
Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia
juga berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam
mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani
kehidupan ini. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya di
mana masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung
memberikan pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta
huru. Ia ingin menjadikan Kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi
Kampung Genteng yang melek huruf (OMDS: 18).
Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap
orang miskin. Perhatikan kutipan berikut:
Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang yok Bek-perempuan Cina itu- berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17). Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan
pekerjanya semena-mena. Yok Bek memperlakukan orang tua ketiga Anak Alam
dengan semaunya. Faisal memberikan label untuk orang kaya, yaitu “orang kaya
itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati”.
Selain sifat-sifat positif Faisal di atas, ia juga mempunyai sifat negatif,
yakni mencuri. Perhatikan kutipan berikut:
Ah, buku ini harus aku miliki, tetapi bagaimana ya? Apakah harus kucuri? Aku mencoba bertanya ke dalam hatiku sendiri, tetapi rasa-rasanya gelap, aku benar-benar bingung. Boleh nggak ya? Jangan. Curi. Jangan. Curi. Jangan. Curi. Jangan. Curi. Jangan. Curi! Akhirnya, aku menentukan perbuatanku sambil berhitung dengan sepuluh jariku. Dan kata-kata terakhir: curi, aku konsekuen dengan kekonyolanku sendiri. Kucuri buku keterampilan itu, kuselipkan ke dalam celanaku, lalu kusamarkan dengan baju seragam yang aku keluarkan, agar terlihat longgar dan tonjolan buku itu tak nampak (OMDS: 14).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Pada bagian awal cerita, Faisal mencuri sebuah buku yang berjudul
Keterampilan Sederhana untuk Anak Usia SD dari seorang pemulung. Ia mencuri
buku ini karena didorong perasaan untuk membantu ketiga Anak Alam membuat
layang-layang. Ia bimbang antara mencuri dan tidak. Batinnya bergejolak antara
berdosa dan tidak. Namun pada bagian akhir ia putuskan untuk mencuri buku
tersebut.
b) Pambudi
Pambudi merupakan salah satu anggota Anak Alam. Secara fisik
digambarkan bergigi kelinci dan berambut jagung. Perhatikan kutipan berikut:
Si gigi kelinci alias pambudi mencoba berpikir bagaimana cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorang pun dari kami yang merasa terbebani (OMDS: 8).
“Ya, nggak apa-apa, kita harus ke sana.” Pambudi langsung saja membuat keputusan, rambut jagungnya tersiram cahaya matahari, membuatnya semakin cokelat (OMDS: 30). Gigi kelinci dan rambut jagung inilah yang membedakan Pambudi dengan
teman-teman yang lain. Secara psikologis, Pambudi digambarkan sebagai seorang
pribadi yang dewasa, polos, apa adanya, keras kepala dan bertekad kuat. Sikap
keras kepalanya ditunjukkan ketika ia menyatakan cintanya kepada Kania. Ia
secara blak-blakan mengutarakan isi hatinya, dan bersikeras agar Kania mau
menerima cintanya. Pada awalnya Kania tidak menanggapinya, tapi Pambudi
tidak patah arang, ia tetap mendekati Kania, hingga akhirnya Kania mau
menerima cintanya (OMDS: 213 – 216).
Tekad Pambudi yang kuat ditampilkan ketika ia akan menempuh ujian
semester. Ia ingin belajar, tapi catatannya kurang lengkap. Ia ingin meminjam
Kania, tapi ia sadar selama ini sudah menyusahkan Kania. Ia kemudian berusaha
meminjam Rena. Bukannya dipinjami catatan, ia malah dicaci maki seenaknya
oleh Rena. Mendapat cacian seperti itu ia tidak marah ataupun patah arang. Ia
kemudian berpikir untuk meminjam catatan pada Bu Mutia. Oleh Bu Mutia ia
disambut baik dan dengan senang hati Bu Mutia meminjaminya catatan. Ia sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
senang, karena sebentar lagi ia bisa belajar. Ia ingin membuktikan walaupun
mereka miskin, mereka tetap bisa berprestasi (OMDS: 340 – 354).
Secara sosiologis, tokoh Pambudi merupakan seorang yang mempunyai
jiwa pemimpin. Ia menjadi pemimpin bagi teman-temannya (Anak Alam), ia juga
rela berkorban untuk temannya. Perhatikan kutipan berikut:
Si gigi kelinci alias pambudi mencoba berpikir bagaimana cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorang pun dari kami yang merasa terbebani. Memang, kami tak pernah merasa menganggap Pambudi sebagai pemimpin kami, tetapi secara tak sadar, aku merasa segan dengan Pambudi. Ia sering kali yang banyak berkorban, selalu memutuskan sesuatu, dan memecahkan persoalan-persoalan pelik (OMDS: 8). Jiwa pemimpin Pambudi selalu muncul ketika sekumpulan anak miskin ini
mengalami masalah. Pambudi, pemimpin yang tak pernah diangkat secara
langsung. Teman-teman segan dengan kedewasaan Pambudi dalam menghadapi
masalah. Pambudilah yang selalu berkorban untuk teman-teman yang lain.
c) Yudi
Tokoh Yudi mempunyai nama lengkap Wahyudi. Secara fisik, Yudi
digambarkan sebagai seorang anak laki-laki yang berwajah lucu bertahi lalat,
berambut ikal dan mempunyai kecacatan tubuh, yakni kulitnya albino, putih pucat
seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti kulit babi. Hal ini menjadi ciri
khasnya, yang membedakan ia dari teman-temannya. Perhatikan kutipan berikut:
“Aku mengenalmu dari kulitmu yang putih pucat seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti kulit bule, dan yang paling tak bisa kulupakan adalah rambut ikalmu yang seperti sarang lebah.” (OMDS: 69). Yudi adalah seorang pribadi yang ramah, pandai bergaul, tempat berkeluh
kesah, dan idenya cemerlang. Seperti kutipan berikut ini:
Seandainya tidak ada Pambudi yang berjiwa leader, Pepeng yang lucu, pendiam, dan sok aksi, dan Yudi yang selain enak kalau diajak ngobrol dan kadang idenya cemerlang ini, aku tidak bakal menginjakkan kakiku ke tempat ini (OMDS: 21).
Yudi merupakan seorang anak yang penurut. Ia sangat menghormati orang
tuanya. Ia selalu menuruti apa yang menjadi perintah orang tuanya. Seperti
misalnya ketika ia diminta ayahnya untuk berhenti sekolah. Ia pun menurut,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
meskipun hatinya hancur karena harus memupus cita-cita yang sudah ia bangun
begitu rupa. Sifat penurutnya yang lain yaitu ditunjukkan pada saat menjelang
ujian semester. Ibunya menyarankan untuk bisa sukses ujian ia harus meminum
segelas air yang sudah diangin-anginkan semalaman di atas genteng. Ia pun
menuruti perintah ibunya karena tidak ingin membuatnya kecewa. Meskipun ia
tahu bahwa yang wajib dimintai tolong adalah Allah S.W.T., bukan hal-hal
takhayul seperti itu.
Yudi juga merupakan seorang anak yang rajin belajar dan rajin membantu
orang tua. Ayah Yudi bekerja sebagai buruh di peternakan sapi sedangkan ibunya
bekerja membuat pisang goreng dan menjualnya keliling kampung. Bahkan ia
juga menjual pisang goreng itu ke sekolah untuk dijual pada teman-temannya. Ia
tidak malu sedikitpun. Semuanya ini ia lakukan untuk meringankan beban orang
tua.
d) Pepeng
Tokoh Pepeng mempunyai nama lengkap Marpepeng. Secara fisik, Pepeng
digambarkan sebagai seorang anak yang ceking, berambut ikal, berhidung pesek,
bermata besar. Perhatikan kutipan berikut:
Pepeng tersipu malu, seperti gadis kecil yang disanjung puji hingga pipinya berwarna merah, tetapi Pepeng jelas bukan gadis kecil berwajah cantik, ia adalah lelaki ceking berwajah aneh, paduan dari ikan mas koki di matanya dan jambu mete di hidungnya yang nongkrong tetapi tulang hidungnya melesak ke bawah alias pesek (OMDS: 337). Dari penggambaran keadaan fisik Pepeng di atas, tergambar keanehan
wajah Pepeng. Komposisi wajah yang aneh dan secara keseluruhan wajah Pepeng
digambarkan menyerupai ikan mas koki.
Secara psikologis, Pepeng digambarkan sebagai sosok yang pendiam. Di
antara Yudi, Pambudi, dan Faisal, ialah yang paling pendiam. Perhatikan kutipan
berikut:
Yudi dan pambudi tak bisa menahan tawa, mereka tak menyangka, Pepeng yang pendiam itu bisa juga marah, tadinya mereka pikir Pepeng tak menganggap aksi perkenalan di depan kelas bukan suatu pengalaman seru, tak tahunya justru anak pendiam itu yang lebih banyak memendam kebencian di dalam dadanya (OMDS: 110).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Secara sosiologis, Pepeng merupakan sosok yang pemalu. Sifat pemalunya
terlihat pada saat perkenalan memasuki sekolah baru. Perhatikan kutipan berikut:
Pepeng yang pemalu ini terlihat paling gugup, tubuhnya menggigil hingga keluar keringat dingin semua. Ia benar-benar seperti seorang artis amatiran yang mengalami demam panggung, dalam hati ia bersumpah lebih mamilih memandikan sapi, menyabiti rumput di pematang, dan membersihkan kandangnya dari kotoran daripada disuruh memperkenalkan dirinya di depan kelasnya yang baru. Untuk beberapa lamanya ia hanya terdiam, semua mata tertuju pada dirinya. “Ayo, sebutkan namamu!” perintah Bu Mutia berusaha membujuk Pepeng. “Namaku jelek Bu.” Pepeng berusaha menolaknya. “Hei jangan gitu lho, jelek-jelek namamu itu kan pemberian orang tuamu, harus kau hargai itu, orang tuamu pasti punya maksud tersendiri dengan namanu.” “Aku malu Bu.”.(OMDS: 93 – 94). Dari kutipan di atas terlihat sifat pemalu Pepeng. Ia malu untuk
memperkenalkan diri. Ia malu dan tidak percaya diri dengan nama Marpepeng
yang disandangnya.
e) Kania
Kania merupakan sosok yang secara fisik cantik, tubuhnya mungil,
kulitnya bersih. Rambutnya lurus dan suka dikepang dua. Perhatikan kutipan
berikut:
Tanpa sadar merka menoleh ke arah Kania. Wow, gadis yang cantik, cerdas, dan lihat…, kepang dua dengan pita merah hati itu terukir manis di rambutnya yang hitam. Suatu kesempurnaan yang tiada bandingannya. Kania… selain cantik, tetapi juga berhati emas, dan satu lagi ia berani menantang arus di tengah dominasi suara-suara minor tentang anak-anak alam (OMDS: 97). Kania merupakan seorang anak yang pintar dan rajin. Bahkan tidak hanya
pintar, ia juga jenius, ia juara satu di sekolahnya. Selain cantik parasnya, ia juga
berhati “cantik”. Teman-teman menjulukinya si bintang jatuh. Perhatikan kutipan
berikut:
Kania anak pandai, ia tak melewatkan sedikitpun aksara demi aksara ilmu yang tereja dalam lisan Bu Mutia. Ilmu yang diberikan Bu Mutia tak boleh sedikitpun lepas. Bu Mutia juga paham, muridnya yang satu ini luar biasa, bisa dilihat dari sorot matanya yang nyaris tak berkedip, dari cara dia memandang ke papan tulis sambil tangannya tak lepas dari coretan di atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
buku bergaris,semua menandakan si bintang jatuh itu anak yang keras kepala untuk menuntut ilmu (OMDS: 115 – 116). Kutipan di atas memberikan gambaran tentang kejeniusan Kania beserta
kebaikan hatinya. Selain itu, Kania juga merupakan sosok yang mudah bergaul,
bijak, selalu membela kebenaran. Ia berani membela ketiga Anak Alam ketika
diolok-olok oleh teman-teman sekelas karena kemiskinan mereka. Perhatikan
kutipan berikut:
“Cukup… cukup… sudah… sudah… Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.” “Hei, Kania rupanya membela mereka ya, hingga berani menentang kai.’ “Aku tak membela siapa-siapa, aku hanya membela kebenaran. Sudahlah, omongan anak-anak jangan dimasukkan hati ya, anak-anak kalau bercanda memang suka kelewatan,” kata Kania kepada anak-anak alam, mengobati rasa ragu yang selalu menggelayuti dada-dada mereka untuk kembali ke kehidupan liar mereka (OMDS: 97). Kutipan di atas memberikan gambaran tentang keberanian Kania dalam
membela kebenaran. Ia membela ketiga Anak Alam yang sedang diolok-olok
teman satu kelas. Ia tidak takut sedikitpun.
f) Bu Mutia
Bu Mutia merupakan guru kelas 1-2 di SD Kartini. Ia mempunyai nama
lengkap Muzdalifah Hatta Sandyani. Secara fisik ia digambarkan berwajah cantik,
berbulu mata lentik, berkacamata minus, beralis tebal, dan rambutnya selalu
disanggul. Perhatikan kutipan berikut:
Sejenak aku bingung dengan kata-kata itu, tetapi setelah aku tanyakan pada Bu Mutia, Muzdalifah Hatta Sandyani lengkapnya,, ibu guru dengan bulu mata lentik di balik kaca mata minus, beralis mata tebal, dan rambut yang tersanggul seperti Ibu Kartini itu hanya tersenyum penuh arti (OMDS: 60 – 61). Secara psikologis, Bu Mutia digambarkan memiliki pribadi yang
sederhana, lemah lembut dan penyayang. Namun ia juga tegas ketika menghadapi
sesuatu hal yang memang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Perhatikan kutipan
berikut:
Ibu guruku, Ibu Mutia, di kelas satu adalah sosok ibu yang tak pernah tergantikan. Beliau adalah sosok penyayang dan lemah lembut. Selama empat puluh tahun mengabdi, sejak sekolah ini dibangun di masa awal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
kemerdekaan, sudah berapa murid yang diajarkannya membaca. Aku bisa membaca karena Bu Mutia, aku benar-benar bangga Bu Mutia (OMDS: 89). Sikap tegas Bu Mutia ditunjukkan ketika peristiwa penerimaan rapor, yaitu
pada saat ia berhadapan dengan ayah Karisma yang tetap ngotot ingin anaknya
naik kelas. Padahal Bu Mutia sudah meyakinkan bahwa keputusannya untuk tidak
menaikkan Karisma ke kelas selanjutnya adalah semata-mata untuk kebaikan
Karisma sendiri. Tetapi ayah Karisma malah marah-marah serta memaki maki Bu
Mutia dan tetap meminta untuk menaikkan anaknya. Bu Mutia yang selalu
memikirkan murid-muridnya serta taat pada peraturan yang berlaku tidak mau
menuruti perintah ayah Karisma. Karena jika ia tetap meloloskan permintaan ayah
karisma itu berarti ia menyalahi aturan. Ia tetap tegas dan patuh pada
pendiriannya. Hingga kemudian ayah Karisma sadar bahwa ialah yang salah. Ialah
yang harus mengkoreksi diri, mencari sebab kenapa anaknya bisa tidak naik kelas
(OMDS: 381 – 399).
Sosok Bu Mutia secara sosiologis merupakan pribadi yang ramah dan
menjadi guru yang bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Ia merupakan
seorang pemandu bakat yang baik dan seorang pendidik sejati. Perhatikan kutipan
berikut:
Bu Mutia benar-benar seorang pemandu bakat yang luar biasa. Kau bisa melihat dari sorot matanya, ia benar-benar menginginkan mereka menjadi murid-murid luar biasa, menyanjung-nyanjung mereka, mengibarkan dan mengunggulkan bakat-bakat terpendam mereka agar nampak berkilat. Mereka merasa senang sebab Bu Mutia benar-benar seorang pendidik sejati. Ia tak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi sorot matanya yang meneduhkan itu membuat mereka percaya diri (OMDS: 115). Kutipan di atas memrikan gambaran bagaimana sosok Bu Mutia yang luar
biasa. Seorang guru yang berdedikasi tinggi. Ia melakukan apa saja untuk bisa
membuat murid-muridnya pandai. Murid-murid sangat menyayanginya.
g) Mat Karmin
Mat Karmin secara fisik digambarkan sebagai seorang laki-laki yang
berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun dan bulu sudah tumbuh yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
berarti menandakan ia sudah dewasa. Wajahnya tirus dengan tonjolan tulang pipi
dan geraham yang bergemeletukan. Perhatikan kutipan berikut:
Seorang laki-laki yang dilihat dari wajahnya, usianya tak lagi muda, sekitar 30-an tahun lebih, senyum-senyum sendiri sambil tertidur di rumput perdu, tubuhnya terguncang-guncang oleh tawa yang tak bisa ditahan dari diafragma perutnya (OMDS: 227). Mat Karmin merupakan penjual mainan anak-anak di Kampung Genteng.
Ia digambarkan sebagai seorang yang licik. Hal ini terlihat ketika pertandingan
layang-layang. Ketika ada layang-layang putus, otomatis siapa saja boleh
memilikinya asalkan dapat menangkapnya. Tetapi tidak dengan Mat Karmin. Ia
tidak rela layang-layang itu jatuh ke tangan orang lain. Sehingga ia mengutus anak
SMP untuk merebut layang-layang tersebut, atau bahkan merampasnya sendiri.
Layang-layang itu kemudian diperbaiki dan dijualnya lagi (OMDS: 8).
Mat Karmin ditemukan warga ketika masih bayi. Kemudian diangkat anak
oleh salah seorang warga kampung Genteng. Namun ketika bicaranya masih
cedal, orang tua angkatnya meninggal. Akhirnya ia hidup sebatang kara dan hanya
berteman dengan kesunyian. Tiga tahun pertamanya dihabiskan dengan
kesendirian. Ia menjadi manusia kamar, ia tumbuh menjadi pribadi yang introvert
yang tak mengenal dunia luar selain kamarnya. Ia hidup damai di dalam
kegelapan dan kesunyian. Lima tahun kemudian ia tumbuh menjadi remaja, tetapi
ia kesulitan berbicara karena tidak pernah bergaul dengan manusia satupun.
Hingga kemudian ia tertarik dengan dunia anak-anak saat melihat kegembiraan
mereka bermain hujan. Mat Karmin sangat tertarik dengan dunia anak-anak yang
penuh kegembiraan. Ia seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang
dewasa, masa kecil yang kurang bahagia (OMDS: 55 – 57).
Karena sering bergaul dengan anak kecil mengakibatkan ia tertarik dengan
anak kecil. Belakangan diketahui bahwa ia seorang pedophilia, yakni seorang
yang mengalami penyimpangan seksual pada seorang anak yang tak berdosa.
Laboratorium forensik kepolisian berhasil mengungkap satu kejahatan kriminal yang dilakukan oleh seorang pedophilis. Mat Karmin begitu mengagetkan karena lelaki pendiam itu punya kecenderungan aneh. Ia tidak normal karena menyukai anak-anak kecil untuk dijadikan objek birahinya (OMDS: 235).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Kutipan di atas memberikan kejelasan mengenai perilaku Mat Karmin
yang aneh. di satu sisi Mat Karmin seorang yang pendiam, namun di sisi lain ia
menyimpan perilaku menyimpang yang sangat merugikan orang lain, terlebih
anak-anak.
h) Karisma
Karisma merupakan teman sekelas Anak Alam yakni kelas 1-2. Ia adalah
anak orang kaya. Ayahnya adalah seorang juragan sablon yang beromzet
lumayan. Secara fisik, ia digambarkan sebagai seorang anak laki-laki yang
bertubuh kurus, berkulit hitam dan berambut jagung. Perhatikan kutipan berikut:
Semua pendangan menoleh ke arah anak kecil bertubuh tipis seperti triplek, berkulit hitam, dan rambut jagungnya sangat khas sekali (MDS: 392). Karisma merupakan anak yang usil, pemalas, pemberontak, berotak
tumpul, ketika diberi pelajaran tidak mau mendengarkan. Seperti kejadian saat
Yudi dan Pepeng disuruh mandi di sekolah karena tubuhnya bau sebab di rumah
mereka tidak sempat mandi. Karisma malah ingin ikut keluar jam pelajaran.
Kemudian ia memboreh-borehi tubuhnya dengan daun kentut. Hal ini
mengakibatkan tubuhnya bau. Sehingga mau tak mau ia diharuskan ikut mandi
bersama Yudi dan Pepeng. Ia merasa senang sekali karena diperbolehkan tidak
ikut pelajaran. Ia sangat tidak suka dengan pelajaran matematika. Pelajaran
matematika merupakan momok baginya, dan ingin sekali ia menghindari mata
pelajaran yang satu ini ( OMDS: 258 – 271).
Karisma malas mengikuti palajaran. Malah ia juga malas untuk sekolah.
Yang ada di dalam pikirannya adalah bermain game. Ketika diberi pelajaran,
pikirannya selalu kemana-mana. Tidak pernah konsentrasi. Tak satu pun pelajaran
masuk ke otaknya. Perhatikan kutipan berikut:
Semua murid sibuk mendengarkan dengan seksama, tetapi pikiran Karisma melayang entah ke mana, walaupun matanya memandangi huruf-huruf pada buku cetak bagai serombongan semut hitam yang sedang berbaris rapi. Pikiran Karisma melayang di rumahnya, membayangkan keasyikan selepas pulang sekolah ia akan segera main video game bersama teman-temannya (OMDS: 285).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana bentuk kemalasan Karisma. Ia
malas sekolah. Walaupun masuk sekolah pikirannya tidak pernah fokus ke
pelajaran. Akibatnya pada saat kenaikan kelas, ia tidak naik kelas. Ini merupakan
buah kemalasannya selama ini.
i) Rena
Rena merupakan teman sekelas anak alam yakni di kelas 1-2. Ia
digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang cantik, berasal dari keluarga
kaya. Ia adalah anak semata wayang. Orang tuanya berprofesi sebagai dokter gigi.
Mungkin karena merasa berasal dari keluarga yang kaya raya, ia hanya
mau berteman dengan orang yang sederajat saja. Ia sangat tidak menyukai
keberadaan Anak Alam yang notabene berasal dari keluarga tidak mampu bahkan
bisa dikatakan gembel yang hidupnya di bawah kolong jembatan.
Rena digambarkan sebagai seorang yang ketus, tinggi hati, asosial, pilih-
pilih dalam berteman, suka menghina orang lain terutama yang miskin, dan egois.
Perhatikan kutipan berikut:
Ia sedang di alam mimpi, setengah mengantuk hingga suara daun pintu yang berkeretan merobek alam bawah sadarnya. Rena ternyata yang keluar, menunjukkan sikap yang tak berubah, ketus dan tinggi hati, apalagi tahu siapa yang dihadapinya, anak dekil, kumuh, dan tukang cari perhatian di kelas. Ini merupakan kesempatan besar melampiaskan uneg-uneg yang dipendam dalam dadanya (OMDS: 343). Pambudi segera menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminjam
buku. Mendengar maksud kedatangan Pambudi ke sini, jangankan meminjami
buku, tapi Rena malah memaki-makinya dan langsung meninggalkan Pambudi.
Rena juga suka merendahkan orang lain yang derajatnya lebih rendah dari
dia. Ia suka menghina Anak Alam, memaki-maki tak karuan tanpa peduli.
Perhatikan kutipan berikut:
“Ah, masa bodoh. Anak-anak kampung itu membuat selera belajarku turun, mataku seperti mengganjal sesuatu, hidungku seperti tidak bebas menghirup udara di kelas ini, ada bau-bau yang bikin aku sesak napas, telingaku juga nggak terbiasa mendengar bunyi-bunyi asing yang membuatku harus menutupnya. Dan itu semua disebabkan oleh kedatangan anak-anak kampung itu, anak-anak sok pintar dan tukang cari perhatian” (OMDS: 326).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Kutipan di atas memberikan gambaran mengenai sifat Rena yang sangat
tidak terpuji. Ia berasal dari keluarga kaya, sehingga ia enak saja merendahkan
orang lain.
j) Yok Bek
Yok Bek merupakan pemilik peternakan sapi di Gedong Sapi, tempat
orang tua ketiga Anak Alam bekerja dan menggantungkan hidup. Ia adalah
seorang keturunan Cina. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang
sudah uzur, berusia sekitar tiga perempat abad, yaitu sekitar 75-an tahun.
Tubuhnya kurus dan kulitnya sudah mulai keriput, menandakan bahwa usianya
memang sudah senja. Perhatikan kutipan berikut:
Wajah Yok Bek kian hari kian pucat seputih kertas, tubuh tuanya seperti pohon kayu yang meranggas, kerut-merut di wajahnya semakin nampak kusut, matanya yang tenggelam dalam cekungan rongga matanya terlihat seperti tengkorak hidup, ia terus saja menatap para pekerja setianya dengan sorot mata tajam, namun tak lagi bersinar (OMDS: 136). Seperti layaknya kebanyakan orang Cina, ia digambarkan sebagai sosok
yang ulet dalam bekerja, karena sampai usianya sudah uzur ia tetap masih
mengurusi peternakannya, walaupun bisa saja ia ikut anaknya dan menikmati sisa
hidupnya dengan bahagia. Perhatikan kutipan berikut:
Yok Bek adalah peternak sapi yang ulet, susu sapinya sudah terkenal se-Jawa Tengah dan selalu dipasok setiap pagi hari, ditempatkan dalam termos-termos besar dan diangkut dengan mobil bak terbuka (OMDS: 16). Yok Bek merupakan pribadi yang keras, suka memeras, pelit dan
terkadang kasar terhadap pekerjanya. Sering memaki-maki pekerjanya bila
pekerjaannya tidak sempurna. Perhatikan kutipan berikut:
Ayah ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang Yok Bek- perempuan Cina-itu berdiri berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Secara sosiologis, ia digambarkan sangat menjaga jarak, tertutup dan
jarang bersosialisasi dengan kaum pribumi di sekitarnya. Ia hanya mau bergaul
dengan kaum yang sejenis atau bahkan sederajat dengannya. Hal ini digambarkan
melalui rumahnya di Gedong Sapi. Rumahnya dipagari tembok-tembok tinggi
yang di sini disebut dengan ghetto-ghetto. Hanya ada satu pintu untuk akses
masuk ke dalam. Itu pun selalu tertutup. Tidak seperti rumah warga pribumi yang
terbuka, kalaupun berpagar hanya rendah.
Orang-orang Cina memang sengaja menjaga jarak dengan kami, orang Jawa. Budaya mereka sangat tertutup, terhalang oleh tembok-tembok tinggi, ghetto-ghetto yang sengaja dibangun untuk menutup diri dari dunia luar. Apa yang mereka lakukan, orang-orang kampung tak pernah tahu, kecuali hanya para pekerja, ketiga ayah temanku itu. Aku sebagai orang luar dan hanya baru-baru ini saja bermain ke Gedong Sapi dibuat terheran-heran, mengapa rumah orang-orang Cina begitu tertutup (MDS: 18).
k) Pak Cokro
Dalam cerita ini, Pak Cokro merupakan seorang lelaki tua, ia merupakan
seorang dukun yang sangat dipercaya warga kampung Genteng untuk mengobati
berbagai penyakit dan tempat berkonsultasi dengan sesuatu yang bersifat gaib.
Seperti layaknya dukun kebanyakan, ia digambarkan berpenampilan nyentrik dan
misterius. Kukunya panjang dan hitam, tidak pernah memakai alas kaki, giginya
geripis dan berwarna hitam, dan tubuhnya berbau tak sedap. Perhatikan kutipan
berikut:
Dari ujung kaki dengan kuku-kuku berwarna hitam panjang dan tak beralas kaki, aku sudah tahu, pasti orang paling menjijikkan sedunia itu yang hadir, bau udang busuk santer menusuk hidungku. Pak Cokro terkekeh melihatku, deretan gigi-giginya yang geripis dan berwarna hitam arang itu membuat penampilannya semakin menjijikkan (OMDS: 175). Pak Cokro dipercaya untuk menjadi perantara dengan dunia gaib. Padahal
sebenarnya ia tidak mempunyai kemampuan dalam hal itu. Ia hanya seorang lelaki
tua yang bodoh, yang pekerjaannya hanya menipu dan mengakali warga dengan
praktik perdukunannya itu. Hal ini diakuinya ketika ia berusaha menyembuhkan
Faisal. Namun keadaan kemudian terbalik, Faisal berpura-pura kesurupan jin
Belanda yang kemudian menakut-nakuti dan mengancam Pak Cokro agar tidak
membohongi dan membodohi warga lagi. Ia pun bertekuk lutut di hadapan Faisal,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
yang dikiranya sudah dirasuki jin Belanda. Ia kemudian taubat dari praktik
perdukunannya (OMDS: 171 – 179).
Setelah menyadari kesalahannya selama ini, Pak Cokro bertaubat dan
ingin sekolah. Ia bertekad untuk sekolah. Di sini digambarkan kegigihan dan
tekad kuat Pak Cokro untuk bisa membaca dan menulis. Hingga kemudian ia telah
mahir membaca dan menulis, ia bertekad untuk mengajarkan warga kampung
Genteng membaca dan menulis. Cita-citanya adalah menjadikan kampung
Genteng menjadi kampung yang melek huruf (OMDS: 217 – 227).
d. Latar
Burhan Nurgiyantoro (2005: 227 – 235) menyatakan bahwa latar dalam
novel menyangkut keterangan mengenai sosial budaya, tempat dan waktu di mana
peristiwa itu terjadi. Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu:
tempat, waktu dan sosial.
1) Novel LP
a) Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
sebuah karya fiksi. Secara umum novel LP berlatar tempat di Belitong. Belitong
dipaparkan sedemikian luas dan terperinci. Letak geografis, kekayaan alam dan
potensi yang dimiliki, suku bangsa yang mendiami, serta kebudayaan yang
melekat di Belitong. Perhatikan kutipan berikut ini:
Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua (LP: 41). Lingkungan hidup anggota Laskar Pelangi adalah pedesaan, yang dalam
novel ini disebut sebagai kampung. Dari hasil penelitian, sepanjang cerita
pengarang tidak menyebutkan nama kampung tempat tinggal anggota Laskar
Pelangi. Satu-satunya kampung yang disebutkan hanyalah tempat tinggal Lintang.
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut (LP: 11).
(1) Sekolah Muhammadiyah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Sekolah Muhammadiyah merupakan tempat para tokoh cerita yakni
kesepuluh anggota Laskar Pelangi bersekolah. Tempat ini merupakan tempat yang
paling banyak digunakan sebagai latar cerita. Sekolah ini merupakan sekolah
Islam pertama di Belitong, mungkin juga di Sumatera Selatan. Merupakan sekolah
miskin, tanpa fasilitas, kondisinya sangat memprihatinkan seperti layaknya
gudang kopra. Kosen pintu yang miring karena seluruh bangunan sekolah sudah
doyong seolah akan roboh. Perhatikan kutipan berikut:
Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, mungkin di Sumatera Selatan (LP: 23). Tak susah melukiskan sekolah kami karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau bahkan ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan (LP: 17). Dari kutipan di atas digambarkan keadaan sekolah Muhammadiyah. Di
sekolah ini kesepuluh anggota Laskar pelangi menjalani pendidikannya dari SD
hingga SMP. Sekolah ini menjadi latar yang menempati posisi penting dalan kisah
ini. Sekolah sebagai tempat berlangsungnya pembelajaran bagi kesepuluh siswa
miskin ini. Deskripsi yang menunjukkan cerita ini berlangsung di sekolah
diperlihatkan hampir dalam setiap bab, hal tersebut terlihat melalui percakapan
dalam proses pembelajaran berikut ini:
Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguruan miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar (LP: 129). Dari kutipan di atas digambarkan keadaan pada saat pelajaran seni suara
yang berlangsung siang hari. Pada pelajaran seni suara inilah secara tidak sengaja
bakat Mahar tergali.
(2) Pohon Filicium
Pohon filicium juga menjadi latar kesepuluh anak miskin ini dalam
melakoni pendidikannya selama di perguruan Muhammadiyah. Di bawah pohon
ini mereka bisa bermain, melepas lelah seusai pelajaran, mengadakan rapat,
mencari inspirasi. Perhatikan kutipan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Jika istirahat siang Sahara dan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium (LP: 77). Selain digunakan untuk rapat, bermain, melepas lelah, di pohon ini pula
mereka sering melihat pelangi seusai hujan reda. Perhatikan kutipan berikut:
Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi, dan makhluk lainnya terhadap filicium karena dari dahan-dahannya kami dapat dengan leluasa memandang pelangi (LP: 159). Dari kutipan di atas tergambar bagaimana kegemaran mereka melihat
pelangi dari pohon filicium. Oleh karena kegemaran mereka ini, Bu Mus
memberikan julukan “Laskar Pelangi:.
(3) Gedong
Gedong merupakan sebuah kawasan eksklusif yang dihuni oleh kaum
borjuis penguasa PN Timah. Di dalam kawasan ini penuh dengan fasilitas mewah
dan serba lengkap. Rumah-rumahnya mewah bergaya Victorian dengan sarana
dan prasarana yang superlengkap. Sangat mencolok mata jika dibandingkan
dengan keadaan di luar Gedong. Perhatikan kutipan berikut:
Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilase yang dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain (LP: 42). Kemewahan yang ada di Gedong sangat berkebalikan dengan keadaan di
luar Gedong. Perbedaan ini bagaikan langit dan bumi. Dari kutipan di atas,
pengarang membandingkan keadaan Gedong dengan orang-orang kulit putih di
wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Sungguh ketimpangan yang mencolok
mata.
(4) Sekolah PN
Sekolah PN merupakan sekolah yang berada di kawasan Gedong, dengan
kualitas terbaik di seantero Belitong. Perhatikan kutipan berikut:
Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis tua berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
excellen atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN TImah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina (LP: 57). Dari kutipan di atas digambarkan sekolah PN. Sekolah ini didukung
sepenuhnya oleh PN Timah. Sekolah ini berdiri megah dengan fasilitas yang super
lengkap. Sebuah institusi pendidikan yang sangat modern dan hendaknya
dijadikan percontohan. Yang bisa bersekolah di sini hanyalah orang-orang borjuis
saja, yakni petinggi-petinggi di PN Timah.
(5) Toko Sinar Harapan
Toko Sinar Harapan menjadi latar ketika murid sekolah Muhammadiyah
membeli kapur tulis. Tempat ini juga yang menjadi latar ketika Ikal bertemu
dengan A Ling, cinta pertamanya (200 – 214).
Toko Sinar harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya (LP: 195). Toko Sinar harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia berada di antara pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan (LP: 200). Kutipan di atas menggambarkan keadaan toko Sinar Harapan. Di toko ini
setiap senin murid sekolah Muhammadiyah membeli kapur tulis. Keadaan toko ini
sangat sesak dengan barang-barang yang bertumpuk-tumpuk sehingga
menimbulkan bau yang tidak sedap. Sehingga orang tidak akan betah berlama-
lama di dalam toko ini. Namun, di tengah tumpukan barang-barang dagangan ini,
Ikal menemukan cinta pertamanya yakni A Ling. Ikal jatuh cinta dengan kuku-
kuku cantik yang senantiasa menyodorkan kapur tulis kepadanya.
(6) Pangkalan Punai
Pangkalan Punai merupakan salah satu pantai di daerah Belitong timur
yang biasa menjadi tempat rekreasi murid sekolah Muhammadiyah. Perhatikan
kutipan berikut:
Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa (LP: 179).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu terkejut, persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai (LP: 179). Dari kutipan di atas digambarkan peristiwa ketika anggota Laskar Pelangi
pergi liburan dengan naik sepeda menuju Pangkalan Punai. Di tempat ini mereka
biasa menghabiskan masa liburan.
(7) Gunung Selumar
Gunung Selumar merupakan gunung yang sering dikunjungi anggota
Laskar pelangi. Perhatikan kutipan berikut:
Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi “telah mampu menaklukkan”. Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah aku mendaki gunung setinggi ini? (LP: 291). Selain di Pangkalan Punai, anggota Laskar Pelangi juga sering
mengunjungi Gunung Selumar. Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi
puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur. Dari kejauhan gunung
ini tampak seperti perahu terbalik, kukuh, biru, dan samara-samar. Di sepanjang
tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumah-
rumah penduduk Selinsing dan Selumar.
(8) Pulau Lanun
Pulau Lanun merupakan sebuah pulau terpencil di Belitong tempat seorang
dukun yang melegenda berada, yakni Tuk Bayan Tula. Perhatikan kutipan berikut:
“Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan kesana (LP: 316).
Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam keadaan terengah-engah, compang-camping dan berantakan (LP: 420).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Kutipan di atas menggambarkan peristiwa ketika anggota Sicieteit de
Limpai pergi ke Pulau Lanun untuk menemui Tuk Bayan Tula. Mereka ingin
meminta bantuan kepada Tuk Bayan Tula agar nilai ulangannya membaik.
(9) Halaman Kelenteng
Latar halaman kelenteng digunakan tempat peristiwa ketika A Ling
membuat janji dengan Ikal untuk bertemu ketika sembahyang rebut. Perhatikan
kutipan berikut:
Aku berdiri tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu.(LP: 265). Ia datang dari arah yang sama sekali tidak kuduga karena tadi ia sudah berada di dalam kelenteng memperhatikanku (LP: 268). Di halaman kelenteng ini Ikal menunggu A Ling dengan sabar. Ikal
menunggu A Ling dengan hati yang berdebar-debar, Karena ini kali pertama ia
membuat janji bertemu dengan A Ling pujaan hatinya.
(10) Tempat Lomba Kecerdasan (Tanjong Pandan)
Latar ini digunakan sebagai tempat murid sekolah Muhammadiah
berlomba cerdas cermat melawan sekolah lain, yakni di kota kabupaten Tanjong
Pandan.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke ibu kota kabupaten ini, Tanjong Pandan, ia membisu seperti orang sakit gigi parah (LP: 367). Dalam sebuah ruangan berasitektur art deco, di ruangan oval yang ingar-bingar, kami terpojok: aku, Sahara, dan Lintang. Kembali kami berada dalam situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lomba kecerdasan (LP: 363). Di acara lomba kecerdasan ini, Ikal, Sahara dan Lintang mewakili sekolah
Muhammadiyah untuk melawan sekolah-sekolah lain se Kabupaten. Di ajang ini
mereka membuktikan diri bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bukan menjadi
penghalang untuk tetap bisa berprestasi. Lintang si jenius berhasil mengharumkan
nama baik sekolah Muhammadiyah dengan membawa sekolah ini ke gerbang
kemenangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
(11) Zaal Batu
Zaal batu merupakan nama sebuah rumah sakit jiwa yang sudah sangat tua
yang letaknya di sungai Liat, Bangka. Di sinilah tempat Trapani dan ibunya
dirawat. Trapani yang memang sejak kecil tidak bisa lepas dari ibunya, ternyata
menderita mother complex yang ekstrem. Ia akan berteriak-teriak ketika bangun
tidur tidak ada ibu disampingnya. Perhatikan kutipan berikut:
Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran genjang simetris (LP: 446).
Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati. …. Aku ingin berteriak dan meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka adalah Trapani dan ibunya (LP: 452 – 453). Peristiwa di atas adalah peristiwa Ikal ketika mengantar keponakannya ke
rumah sakit jiwa Zaal Batu untuk melakukan penelitian mengenai suatu penyakit
langka. Tak disangka-sangka, ternyata penderita yang akan menjadi objek
penelitian adalah Trapani dan ibunya. Ini membuat Ikal sangat kaget. Ia tak
menyangka nasib Trapani akan berakhir di rumah sakit ini.
(12) Kota Bogor
Selain berlatar tempat di Pulau Belitong, ada juga sebagian kecil yang
berlatar tempat di kota Bogor, yakni pada waktu Ikal dewasa dan bekerja menjadi
pegawai kantor pos. Perhatikan kutipan berikut ini:
Setiap pulang kerja, Aku sering duduk melamun di pokok pohon randu, di pinggir lapangan Sempur. Dekat kamar kontrakanku. Menghadap kali Ciliwung aku memperotes Tuhan (LP: 441). Aku merangkak-rangkak kedinginan. Terseok-seok menuju kantor pos melewati bantaran kali Ciliwung (LP: 442). Di kota Bogor ini, Ikal menjalani masa dewasanya. Setelah lulus SMA, I
pergi ke Bogor untuk melanjutkan pendidikannnya di perguruan tinggi. Setelah
lulus dari perguruan tinggi dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi, ia bekerja
sebagai pegawai pos.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
b) Latar Waktu
Burhan Nurgiyantoro (2005: 227 – 235) menyatakan bahwa latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi
dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan
dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan
menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat
menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu yang lain
tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren
dengan unsur cerita yang lain.
Dalam cerita ini, pengarang tidak secara eksplisit menyebut kapan (tahun)
terjadinya peristiwa ini. Akan tetapi di dalam novel ini disinggung-singgung
mengenai masa pemerintahan presiden Soeharto dan ada beberapa bagian yang
juga menyebut tahun yakni tahun 1987 dan tahun 1991. Jadi hal ini bisa dijadikan
petunjuk bahwa kisah ini diperkirakan mengambil latar waktu pada masa itu,
yakni masa pemerintahan Seharto yaitu kurun waktu 1966 – 1998.
Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran-koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tidak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama (LP: 277 – 278). Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK (LP: 482). Tahum 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup (LP: 486).
Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang,
menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang
menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi,
siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah
umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul
jam tertentu.
c) Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, bahasa sehari-hari, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
Latar belakang sosial budaya novel LP adalah sebuah kehidupan
masyarakat yang ada di Belitong, dengan kesederhanaan masyarakat dan
heterogennya suku bangsa yang tinggal. Masyarakat dalam novel ini dikisahkan
sebagai masyarakat yang miskin, penuh dengan keterbatasan ekonomi.
Masyarakat Belitong kebanyakan berasal dari suku Melayu, Sawang, dan
keturunan Cina (Hokian). Karena ada berbagai suku bangsa yang tinggal di
Belitong, maka percampuran budaya tidak terhindarkan, baik itu adat istiadat/
kepercayaan, sikap hidup, dan bahasa yang dipakai.
(1) Adat istiadat/Kepercayaan
Adat istiadat yang menjadi latar novel LP yaitu adat istiadat Melayu dan
Tionghoa. Sebuah komunitas Melayu dengan setia memelihara jenis musik atau
seni tertentu yang secara sadar maupun tidak telah menjadi bagian tak terpisahkan
dalam kehidupannya. Perhatikan kutipan berikut:
Kami orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat maghrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid. Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon – dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu – tapi kami tak membesar-besarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
hal itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi kami, orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai ke Malaysia adalah Melayu – atas dasar ketergila-gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan pantun yang sambut-menyambut – bukan atas dasar bahaa, warna kulit, kepercayaan, atau struktur bangun tulang-belulang (LP: 162 – 163). Mengenai kepercayaan, masyarakat Pulau Belitong percaya terhadap
seekor burung yang disebut burung Pelintang Pulau. Menurut kepercayaan
masyarakat, apabila burung Pelintang Pulau singgah di kampung mereka, maka di
tengah laut sedang terjadi badai atau angin puting beliung yang ganas. Perhatikan
kutipan berikut:
Nama burung Pelintang Pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk ghaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir, sehubungan dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya (LP: 183).
Orang-orang melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin putting beliung. Seringkali kedatangannya membatalkan niat para nelayan yang akan melaut (LP: 183). Kepercayaan lain yang juga tumbuh di Belitong adalah tentang adanya
penganut ilmu buaya. Menurut kepercayaan masyarakat Belitong, para penganut
ilmu buaya apabila mati maka akan menjadi buaya. Perhatikan kutipan berikut:
Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang, memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan kayu baker yang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini bunting (LP: 92). Selain kepercayaan terhadap burung Pelintang Pulau dan ilmu buaya,
masyarakat Belitong juga mempercayai adanya seorang dukun yang sakti
mandraguna, yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan apa saja dan dapat
dimintai petunjuk. Dalam cerita ini sang dukun bernama Tuk Bayan Tula yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
hidup di pulau terpencil di Belitong yakni di pulau Lanun. Perhatikan kutipan
berikut:
Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini dianggap raja ilmu ghaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh (LP: 312).
Selain adat istiadat Melayu, dalam novel ini juga dihadirkan adat istiadat
Tionghoa. Hal ini terlihat ketika peristiwa pertemuan Ikal dengan A Ling di
halaman kelenteng dalam suasana Kong Hu Cu, yakni pada saat upacara
sembahyang rebut. Seperti kutipan berikut ini:
Meja itu diletakkan di sepan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di depan Thai Tse Ya ini (LP: 260).
(2) Bahasa
Novel LP mengambil setting di Indonesia. Maka tak heran ceritanya pun
disampaikan dalam bahasa Indonesia. Tapi karena novel ini mengambil latar di
Belitong yang diceritakan terdiri dari banyak suku yang mendiaminya, maka
pengarang tak segan-segan memberikan sentuhan dialek Cina, bahasa Kek campur
Melayu, dan bahasa Belanda. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Kiak-kiak!” A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya. “Magai di Manggaro masempo linna?” Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka. “Kito lui ba, Ngape de Manggar harge e lebe mura?” Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya, dalam bahasa Kek campur Melayu (LP: 202).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Kata-kata seperti Kiak-kiak, Magai di Manggaro masempo linna, dan Kito
lui ba, Ngape de Manggar harge e lebe mura merupakan kosa kata bahasa Kek
campur Melayu. Selain itu ada juga sentuhan bahasa Belanda. Perhatikan kutipan
berikut:
“Tapi sekian lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih. “!!” Hardiknya sambil melengos pergi. Benarkan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru ! (LP: 438).
(3) Kebiasaan
Dilihat dari kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dalam masyarakat
Belitong, di mana masyarakat yang melingkupi para tokoh Laskar Pelangi adalah
para buruh yang bekerja di tambang timah milik PN Timah. Mereka hidup di
bawah garis kemiskinan. Mereka mayoritas sebagai buruh kasar di PN Timah, tak
terkecuali orang tua anggota Laskar Pelangi. Karena orang tua mereka bekerja
sebagai buruh kasar di PN Timah, maka kebiasaan dan pola hidupnya pun banyak
dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan itu. Perhatikan
kutipan berikut:
Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kantor desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk kampung, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni dan kusam (LP: 51). Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kentor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour (LP: 51).
Selain itu, anggota Laskar Pelangi juga punya kebiasaan tersendiri.
Mereka punya kebiasaan unik yaitu suka menyaksikan pelangi secara beramai-
ramai dengan memanjat pohon filicium (LP: 159 – 160). Oleh karena kebiasaan
unik ini, maka Bu Mus memberi julukan kepada mereka “Laskar Pelangi”.
(4) Pandangan hidup tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Tokoh yang peneliti angkat untuk menelusur latar tentang pandangan
hidup tokohnya yaitu Ikal. Tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad
kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Salah satu tekadnya
adalah ia ingin belajar setinggi-tingginya untuk menjadi orang pintar untuk
menebus cita-cita Lintang yang gagal untuk mendapat pendidikan gara-gara
keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Ia bertekad untuk mendapatkan
beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan apa saja agar cita-citanya ini dapat
tercapai. Perhatikan kutipan berikut:
Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah surat pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusia-siakan selain untuk belajar. Aku membaca sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca (LP: 458 – 459).
Ia juga digambarkan sebagai sosok yang perhatian, peduli dan memikirkan
keadaan temannya. Di dalam cerita ini ia digambarkan sangat peduli dengan
Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu,
namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia
juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya
meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah
menghidupi keluarga (429 – 434). Perhatikan kutipan berikut:
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smith-ku, Andre Ampere-ku (LP: 431).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
2) Novel OMDS
a) Latar Tempat
Secara umum novel OMDS berlatar tempat di Semarang, Jawa Tengah.
Kejadian dalam novel ini, mulai dari bab pertama sampai terakhir bertempat di
Semarang. Perhatikan kutipan berikut ini:
Kampung Genteng, itulah asal mula nama kampungku, entah dari mana nama itu berasal, konon menurut ayahku, kampungku itu pemasok genteng yang tiada duanya di Semarang…….. ah gelap, aku masih kecil tak tahu sejarah, hanya saja nama-nama kampung sepanjang tiga kilometer ke sebuah pasar Semarang terbesar itu, yaitu pasar Johar, menarikku untuk meneliti nama-nama kampung itu satu persatu (OMDS: 11).
Dari kutipan di atas, nama-nama tempat seperti kampung Genteng dan
pasar Johar cukup memperkuat bahwa latar tempat cerita dalam novel ini adalah
di Semarang.
Selain itu, ada beberapa tempat khusus atau spesifik yang menjadi latar
cerita novel ini. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:
(1) Sekolah Dasar Kartini
Sekolah ini merupakan tempat yang paling sering menjadi latar tempat
dalam novel ini karena sekolah ini merupakan tempat di mana tokoh utama belajar
menuntut ilmu. Perhatikan kutipan berikut:
Tak heran, Yudi terkaget-kaget dengan SD Kartini, sekolah kami tak ubahnya seperti sekolah yang baru saja terkena gempa bumi. Mulai dari atapnya, engkau bisa melihat eternit yang jebol. Tembok-tembok di keempat sisinya seperti meneriakkan keprihatinan yang mendalam, retakan seperti tanah liat di musim kemarau itu menjelma lukisan abstrak yang aku bayangkan bentuknya mirip helikopter, kadang mirip sulaman rumah Spiderman. Ubin di kelas kami adalah jenis teraso yang baru mengkilat jika dipel dengan ampas kelapa, ubin itu pada mulanya berwarna abu-abu dengan busam di sana-sini akibat cairan semen kering ataupun pasir. Kotak-kotak segi empat dua puluh senti meter persegi itu dipasang sekenanya, bahkan beberapa di antaranya lapisan semen di pinggirannya terkelupas, hingga sekali waktu terlihat menganga dan bisa menyandung siswa-siswi yang tak melihat ke bawah (OMDS: 88) Dari kutipan di atas SD Kartini digambarkan sebagai sekolah sederhana
dengan kondisi fisiknya yang sudah mulai rapuh, seperti eternit yang jebol, cat
yang mulai mengelupas, lantai dari ubin teraso yang sebagian lapisan semen di
pinggirannya terkelupas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
(2) Gedong sapi
Gambaran umum Gedong Sapi
Gedong sapi merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk beternak
sapi. Perhatikan kutipan berikut:
Aku menemui ketiga temanku itu di sebuah tempat yang disebut Gedong Sapi. Tiga ratus meter dari tempat tinggalku ke arah selatan, melewati lapangan tempat kami beradu layang-layang sebelum menuju ke temapt mereka. Dinamai Gedong Sapi, karena tempat itu adalah pusat ternak sapi (OMDS: 16).
Dari kutipan di atas, letak Gedong Sapi digambarkan tiga ratus meter dari
tempat tinggal Faisal yaitu di kampung Genteng, atau dapat dikatakan jauh dari
perkampungan penduduk. Di dalam Gedong Sapi terdapat rumah orang Cina yaitu
Yok Bek yang merupakan pemilik peternakan di Gedong Sapi. Selain rumah Yok
Bek, ada juga rumah ketiga pegawai Yok Bek yakni Samijan, Sukisno, dan
Giatno. Selain itu pastinya juga ada kandang-kandang sapi ternak.
-Rumah Yok Bek
Rumah Yok Bek digambarkan sangat megah dan tertutup tembok-tembok
tinggi atau ghetto-ghetto, yang seolah memberi kesan tidak ingin bergaul dengan
sekelilingnya. Perhatikan kutipan berikut ini:
Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota Semarang yang berarsitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan sempit (OMDS: 18). Rumah Yok Bek, ketika aku berhasil mengintipnya ke dalam adalah sebuah rumah yang sejuk dari serapan batu marmer di bawahnya. Di ruang tamu itu terpajang foto, seseorang yang mirip dengan Yok Bek, foto itu dipigura yang pinggirnya bermotif kembang-kembang, kemudian di kiri kanannya ada lilin-lilin kecil berwarna merah yang menyala redup, kemudian ada dupa di depan fotonya dan berbagai alat-alat sembahyang yang tak aku ketahui namanya satu persatu. Jika kau mengitari pintunya, kau akan kecewa, sebab pintu itu tertutup rapat. Di depan pintunya ada terali besi, mirip pintu lipat yang pernah aku lihat di ruko-ruko sepanjang Mataram (OMDS: 18 – 19).
Rumah Yok Bek dijadikan latar ketika ada peristiwa warga menyerbu
rumah Yok Bek. Warga mengamuk membabi buta karena peringatan yang selama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
ini disampaikan yakni untuk memindah peternakan sapi tersebut tidak diindahkan
Yok Bek. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Alaaah… sudah, jangan banyak cingcong, sikat saja!” seru yang lain. Aku tak sempat menghindar ketika gelombang massa yang beringas kemudian merangsek maju ke arah rumah Yok Bek. Rumah Yok Bek hancur, kaca-kacanya pecah, guci keramiknya juga pecah, dan altar petilasan suaminya diobrak-abrik, fotonya dilempar ke tanah dan diinjak-injak ()MDS: 155).
-Rumah Pambudi, Yudi dan Pepeng
Rumah Pambudi, Yudi dan Pepeng berada di dalam kawasan Gedong
Sapi, karena ayah ketiganya merupakan pekerja Yok Bek. Rumah ketiganya
digambarkan kumuh, pengap, kotor, dan sempit. Sungguh berbeda dengan rumah
Yok Bek yang kesemuanya serba indah dan mewah. Perhatikan kutipan berikut
ini:
Sejak dari pintu masuk Gedong Sapi tadi, suara kecilku sudah begitu nyaring terdengar, menyibak dedaunan, anslup ke balik dedaunan yang rimbun, lantas menggema hingga ke depan rumah Yok Bek. Mataku terus mengedarkan pandangan sekeliling, tetapi ketiga anak sialan itu tidak nampak sekali batang hidungnya, hingga aku cari-cari ke dalam rumah mereka yang kumuh dan sempit itu hanya ada ranjang dengan kasur kempet dan seprai acak-acakan, dinding-dinding gedhek itu seakan menampung kesendirianku, tetapi aku tak peduli, aku longok sampai ke bawah kolong tempat tidur, ke dapur, ke dalam gentong air, di balik rak piring, semuanya tak ada (OMDS: 22).
Kutipan di atas memberikan gambaran kekumuhan rumah Pambudi, Yudi,
dan Pepeng. Sebenarnya rumah mereka tidak layak huni karena sangat sempit dan
pengap. Namun keadaanlah yang mengharuskan mereka tetap bertahan di tempat
ini.
(4) Rumah Faisal
Latar rumah Faisal berisi peristiwa ketika Faisal jatuh sakit akibat dipukuli
warga yang sedang menyerbu Gedong sapi. Akibatnya ia harus beristirahat sekitar
seminggu di rumah. Ayahnya mengundang seorang Psikiater untuk mengecek
kondisi Faisal. Tetapi kemudian warga sekitar bertanya-tanya tentang keberadaan
psikiater itu, hingga akhirnya ayah Faisal memutuskan bahwa Faisal akan dirawat
oleh Pak Cokro. Perhatikan kutipan berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Suara adzan isya’ terdengar, aku berusaha meresapinya dalam hati. Dan belum juga kepalaku terasa ringan untuk kuangkat, tiba-tiba pintu kamarku terbuka, suara deritnya yang lebih mirip desekan biola yang menyayat itu membuat kepalaku kupaksa mendongak. Dari ujung kaki dengan kuku-kuku berwarna hitam panjang dan tak beralas kaki, aku sudah tahu, pasti orang paling menjijikkan sedunia itu yang hadir, bau udang busuk santer menusuk hidungku. Pak Cokro terkekeh… (OMDS: 175).
Selain peristiwa ketika Faisal jatuh sakit dan harus dirawat di rumah,
rumah Faisal juga menjadi latar ketika peristiwa Faisal sunat. Perhatikan kutipan
berikut ini:
Ketika sampai di rumah, tak ada pesta, tratak, atau kursi yang berjejer di jalan. Sunatanku diselenggarakan dengan cara sederhana, tak ada kemeriahan apa pun … Ibu menyambut tetangga kiri kanan yang menyumbang dari ruangan tamu yang dudah dilesehkan, kursi dan meja sudah diangkat ke luar. Ruangan tamu yang tak begitu luas itu sesak menampung para tamu yang duduk di tikar palstik (OMDS: 436).
(5) Rumah Bu Mutia
Latar rumah Bu Mutia berisi peristiwa ketika Pambudi meminjam catatan
Bu Mutia untuk disalin di rumah, karena catatannya banyak yang tertinggal.
Perhatikan kutipan berikut ini:
Sebuah rumah mungil yang nomor rumahnya tertutup oleh anggrek yang menjalar hingga ke tembok-temboknya. Dari depan, rumah itu begitu rimbun karena beberapa buah pot gantung yang dipajang di luar. Tak ada identitas siapa pemilik rumah itu selain nomor rumah itu sendiri. Pambudi yakin itu rumah Bu Mutia, apalagi ia melihat sepeda motor yang parkir di dalamnya, persis seperti yang dinaiki oleh suami Bu Mutia (OMDS: 345).
Bu Mutia kemudian bangkit, ia kemudian masuk ke dalam meninggalkan Pambudi duduk di ruang tamu sendirian. Rasa haus membuatnya tanpa sungkan segera meminum segelas teh yang ada di depannya. Apalagi… mumpung Bu Mutia ada di dalam, ia jadi punya kebebasan dan tanpa malu-malu menenggak teh di dalam gelas itu (OMDS: 351). Inilah kali pertama Pambudi berkunjung ke rumah Bu Mutia. Rumah Bu
Mutia yang mungil dan bersih. Di rumah ini Pambudi menemui Bu Mutia untuk
meminjam catatan. Bu Mutia dengan senang hati menyambut kedatangan
Pambudi dan meminjamkan catatannya kepada Pambudi.
(6) Pondok Baca Pak Cokro
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Pondok baca Pak Cokro menjadi latar peristiwa ketika Pak Cokro
mengajari warga kampung Genteng belajar membaca dan menulis. Seperti kutipan
berikut ini:
Sepuluh orang kepercayaannya ini melayani para pasien dengan ramah. Sebelum pasien itu dipersilakan bertemu langsung dengan Pak Cokro, ia diharuskan untuk mencelupkan kepalanya dulu dalam kolam buatan yang mendapat aliran langsung dari tendon air. Kemudian ia akan masuk ke dalam sebuah ruangan aneh, di kanan kirinya banyak terdapat poster huruf latin, huruf jawa, huruf Arab. Kemudian ada foto sepuluh orang abdi setianya yang berpose bersama dengan Pak Cokro yang duduk di tengah, kenudian sebelum memasuki ruangan yang tertutup gorden itu, ada rak besar dengan tumpukan buku-buku mujarobat cetakan lama (OMDS: 222). Pak Cokro sudah bertaubat dari dunia perdukunan, ia kemudian ikut
sekolah membaca dan menulis. Hingga kemudian ia tersadar tentang arti penting
bisa membaca dan menulis. Kemudian ia mencoba mengganti metode
penyembuhan penyakit yang dulunya hanya membohongi masyarakat lewat
praktik perdukunan, maka sekarang ia berusaha untuk menggunakan buku-buku
pengobatan.dengan cara mendirikan pondok baca. Pondok baca ini didirikan
dengan misi utama membantu warga yang belum bisa membaca dan menulis.
(7) Rumah Mat Karmin
Latar rumah Mat Karmin berisi peristiwa ketika ketiga Anak Alam dan
Faisal ingin menantang Mat Karmin beradu layang-layang. Perhatikan kutipan
berikut:
Langkah-langkah kami semakin cepat, geliatnya meninggalkan debu-debu yang bertaburan di atas kepala, becek tanahnya menyipratkan lumpur ke kaki kami yang terbungkus celana tiga perempat, khas anak kota. Sesampai di rumah Mat Karmin, rumah itu tampak sepi-rumah warisan orang tua angkatnya yang sudah tak punya siapa-siapa lagi selain Mat Karmin (OMDS: 54 – 55).
Selain itu, latar rumah Mat Karmin juga digunakan ketika ia menyodomi
anak-anak tak berdosa di kampungnya. Ia melakukan perbuatan ini di kamarnya
yang gelap dan pengap.
Kamar Mat Karmin gelap dan pengap, hanya ada sebuah lampu meja yang setelah dipanjar terus menerus selama sembilan bulan, kini rusak dan tak bisa dinyalakan. Di sekelilingnya berserakan buku-buku sampah yang tak jelas lagi jenisnya, semua tampak kabur dan gelap. Dalam kegelapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
seperti ini susah bagi Panji untuk menerka maksud tersembunyi dari Mat Karmin, yang jelas dalam suasana gelap seperti ini Panji merasa tak enak saja (OMDS: 231).
Ada juga peristiwa ketika warga masyarakat murka dengan perbuatan Mat
Karmin yang telah menyodomi anak-anak. Mereka lantas menghancurkan rumah
tersebut dan membakarnya, serta abunya pun dilarung di kali besar Banjir Kanal.
Puluhan massa yang marah mengepung rumah Mat Karmin, tetapi rumah itu telah dihancurkan rata dengan tanah, massa yang beringas dan tak punya sesuatu untuk dilampiaskan tiba-tiba menuang jerigen minyak tanah ke reruntuhan rumah yang memang sudah reot itu. Sekali menjentikkan korek api, api langsung membakar lumat papan dan kayu-kayu….. Secara beramai-ramai mereka kemudian mengarak abu itu keliling kampung sebelum dilarung di kali Banjir Kanal (OMDS: 237).
(8) Kelurahan
Latar kelurahan berisi peristiwa ketika Faisal mengajar membaca menulis
untuk warga kampung Genteng yang masih buta huruf.
Aku memenuhi janjiku untuk menjadi tentor bagi orang-orang tua yang tak pernah sekolah sehingga sulit membaca. Maka sore ini aku sudah mengayuh sepedaku ke kelurahan, kira-kira dua kilometer dari tempat tinggalku. Aku sedikit terlambat, puluhan orang tua sudah menunggu di kursi yang telah disediakan panitia, yakni di aula kelurahan yang tempatnya lumayan luas juga (OMDS: 205).
(9) Gogik Ungarang (Rumah Ki Hajar Ladunni)
Ki hajar Ladunni merupakan seorang penulis buku mengenai keterampilan
membuat layang-layang. Faisal dan ketiga anak alam ingin belajar kepadanya,
sehingga mereka pergi ke rumah Ki Hajar Ladunni, yakni di Gogik Ungaran.
Deskripsi mengenai rumahnya berikut ini:
Gogik adalah nama desa dari sebuah wana wisata terkenal di kaki Gunung Ungaran, yakni air terjun Semirang (OMDS: 33).
Lalu terpampanglah sebuah rumah, beratap dari selonjor batang kelapa, rangkanya dari bambu, temboknya dari gedhek, lantainya dari pasir dan semen yang telah dihaluskan, bebatuan kali kecil-kecil berjajar rapi di halamannya. Rumah itu diapit oleh pohon jati tua yang tumbuh subur di belakang dan meneduhi sekitarnya, cahaya mataharu nyaris tak dapat menembus kelebatan pohon, hingga suasana gelap dalam rumah itu terasa sekali (OMDS: 38).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Di rumah Ki Hajar Ladunni ini Faisal dan ketiga Anak Alam menginap
setelah seharian belajar membuat layang-layang. Mereka telah mempunyai bekal
yang cukup untuk membuat layang-layang serupa. Mereka tak akan melupakan
peristiwa malam itu, tidur bersama orang yang mereka kagumi.
b) Latar Waktu
Apabila latar waktu dalam novel LP dikaitkan dengan masa pemerintahan
presiden Soeharto, latar waktu dalam novel OMDS dikaitkan dengan peristiwa
reformasi 1998. Seperti kutipan berikut ini:
Yok Bek merasa terusik dengan tidur siangnya akibat polah anak-anak alam yang cekikikan dalam bekerja membantu ayah mereka di dalam kandang sapi. Matanya tak juga terpejam, pikirannya masih melayang ke mana-mana memikirkan nasib kehidupannya yang sungguh tragis. Tempat usahanya beternak sapi mulai diganggu warga, mereka mulai berani menganggapnya bukan tokoh penting dalam Kampung Genteng setelah reformasi 1998 (OMDS: 123). Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar waktu peristiwa ini
yakni pada era reformasi 1998, kurun waktu 1988 sampai 1996.
Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang,
menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan
kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang
menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi,
siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah
umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul
jam tertentu.
c) Latar Sosial
Berikut ini diuraikan latar sosial dalam novel OMDS yang berupa adat
istiadat/kepercayaan, bahasa, kebiasaan dan pandangan hidup tokoh.
(1) Adat istiadat dan Kepercayaan
Adat istiadat dapat didefinisikan sebagai perilaku yang turun temurun dari
generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola
perilaku masyarakatnya. Adapun adat istiadat yang menjadi latar novel ini yaitu
adat istiadat masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dikenal sebagi masyarakat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
menjunjung tinggi adab kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan
bertingkah laku yang halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.
Berikut ini penulis kutipkan bagaimana seharusnya kaum muda bagaimanapun
keadaannya harus menghormati yang tua. Perhatikan kutipan berikut ini:
Ketika aku berpapasan dengan murid-muridku yang rata-rata sudah beruban dan berjenggot, mereka kemudian memperlihatkan sikapnya yang mundhuk-mundhuk, dengan badan mencoba dibungkukkan sedikit sambil melewatiku. Ayah menasihatiku untuk jangan suka diperlakukan oleh murid-muridku dengan cara yang aneh seperti itu. Kata ayah, kita ini manusia dan punya kedudukan sama di mata Tuhan, hanya ketakwaan yang akan membedakannya (OMDS: 415).
Kutipan di atas memberikan informasi mengenai adat istiadat orang Jawa.
Meskipun yang muda lebih berilmu, tapi tetap harus menghormati yang lebih tua.
Seperti yang dinasihatkan ayah Faisal kepada Faisal agar jangan suka
diperlakukan mundhuk-mundhuk oleh muridnya. Karena sikap mundhuk-mundhuk
layaknya diterapkan yang muda kepada yang tua.
Selain berlatarkan masyarakat Jawa, pengarang juga memberikan sentuhan
lain dalam novelnya, yakni pemunculan budaya orang Cina pinggiran, yang dalam
novel ini digambarkan manjaga jarak dengan warga pribumi, tidak mau membaur
dengan masyarakat lainnya. Perhatikan kutipan berikut ini:
Aku kemudian berlari-lari ingin segera sampai ke tempat mereka kali ini. Setelah melewati tanah lapang, tembok-tembok Gedong Sapi kira-kira setinggi tiga meteran itu seakan-akan sebuah benteng Belanda, atau bisa juga ghetto-ghetto kaum Cina yang sengaja memisahkan diri dari orang-orang Jawa, apalagi dari perkampungan kami yang sempit. Orang Jawa itu kan identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan primitif, bahkan pembagian pekerjaannya pun pasti kebagian pekerjan-pekerjaan kotor, seperti ketiga temanku yang telah mengabdi kepada Yok Bek semenjak mereka masih bujang. Kesetiaan zaman feodal itu adalah kesetiaan kacung dan siap menjadi keset, atau diinjak-injak seenaknya (OMDS: 17 – 18). Yok Bek merupakan etnis cina, oleh karena itu ada juga penggambaran
alat peribadatan orang Cina di rumah Yok Bek. Perhatikan kutipan berikut ini:
Rumah Yok Bek, ketika aku berhasil mengintipnya ke dalam adalah sebuah rumah yang sejuk dari serapan batu marmer di bawahnya. Di ruang tamu itu terpajang foto, seseorang yang mirip dengan Yok Bek, foto itu dipigura yang pinggirnya bermotif kembang-kembang, kemudian di kiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
kanannya ada lilin-lilin kecil berwarna merah yang menyala redup, kemudian ada dupa di depan fotonya dan berbagai alat-alat sembahyang yang tak aku ketahui namanya satu persatu. Jika kau mengitari pintunya, kau akan kecewa, sebab pintu itu tertutup rapat. Di depan pintunya ada terali besi, mirip pintu lipat yang pernah aku lihat di ruko-ruko sepanjang Mataram (OMDS: 18 – 19).
(2) Bahasa
Novel OMDS mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah, serta
pengarangnya pun juga asli orang Semarang. Maka tidak heran apabila novel ini
banyak diwarnai istilah-istilah bahasa Jawa. Hampir di setiap babnya dijumpai
kata-kata dalam bahasa Jawa. Seperti kutipan berikut ini:
Aku nyelusup di antara tumpukan kertas hingga nyundul sampai ke atas rumah (OMDS: 14).
Sejak dari pintu masuk Gedong Sapi tadi, suara kecilku sudah begitu nyaring terdengar, menyibak dedaunan, angslup ke balik dedaunan yang rimbun (OMDS: 21).
Kata-kata nyelusup, nyundul, angslup menunjukkan bahwa cerita ini
berlatar di pulau Jawa, karena bahasa yang dipakai banyak diwarnai kosa kata
dalam bahasa Jawa. Selain dijumpai istilah dalam bahasa Jawa, di dalam novel ini
juga dijumpai kata-kata dalam bahasa Cina. Istilah-istilah dalam bahasa Cina ini
dipergunakan oleh tokoh Yok Bek yang notabene merupakan keturan Cina.
Seperti kutipan berikut ini:
“Owe perlu nyiapin tempatnya dulu, nggak bisa sekali tempo.” (OMDS: 124).
“Hayya janganlah … Aku minta waktu sampai bulan Agustus.” (OMDS: 125).
“Apa Engkoh pernah menyumbangkan susu-susu sapi Engkoh untuk perbaikan gizi sehari saja, agar anak-anak kampung bisa pintar?” OMDS: 125). Kata-kata seperti Owe, Hayya, Engkoh merupakan kosa kata bahasa Cina.
Kata Owe sama artinya dengan saya dalam bahasa Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
(3) Kebiasaan
Dilihat dari segi kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dan masyarakat
Jawa pada umumnya yang tidak terlepas dari keadaan sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah masyarakat marjinal,
yakni kaum buruh, yang untuk bisa makan sesuap nasi harus bekerja keras
setengah mati. Ayah ketiga Anak Alam setiap hari bekerja mengurus peternakan
sapi milik Yok Bek. Jadi kebiasaan mereka sehari-hari hanya begitu-begitu saja,
memandikan sapi, membersihkan kotoran sapi, membajak tanah, dan mencari
rumput. Juga kebiasaan ketiga Anak Alam yang bekerja untuk membantu
perekonomian keluarga. Perhatikan kutipan berikut ini:
Pagi yang cerah, ayah Pambudi, Pepeng, dan Yudi kembali bekerja seperti biasa. Pagi itu ayah Yudi, Giatno, membersihkan kandang yang dipenuhi kotoran dan membuat sapi-sapi itu jadi tak nyaman. Lalat-lalat hijau yang berpesta kotoran dan membuat sapi-sapi itu jadi tak nyaman. Lalat-lalat hijau yang berpesta kotoran di bawah tubuh sapi yang gemuk itu segera meloncat terbang dan mencari lumbung kotoran lainnya. Sementara Samijan, ayah Pambudi sibuk menggosok-gosok punggung sapi yang warnanya mulai kecoklatan karena terkena kotoran, peluhnya bercucuran hingga ia menyeka dengan tangannya yang basah, ia tampak kepayahan sekali. Sementara itu, Sukisno, ayah Pepeng sibuk membajak tanah pupuk dengan cangkulnya. Hal ini tak lain agar tanah, jerami, dan kotoran sapi bisa bercampur jadi satu menjadi pupuk yang subur (LP: 135). Selain memandikan sapi, membersihkan kotoran sapi, membajak tanah,
dan mencari rumput, ketiga Anak Alam juga bekerja serabutan. Pambudi menjadi
tukang loper Koran. Yudi berkeliling kampung menjual pisang goreng, dan
Pepeng setiap malam diajak ayah untuk mengangkuti kelapa-kelapa dari
pelabuhan ke pasar-pasar malam dengan becak sejauh 25 kilometer.
(4) Pandangan Hidup Tokohnya
Tokoh yang peneliti angkat untuk menelusur latar tentang pandangan
hidup tokohnya yaitu Faisal, tokoh utama novel OMDS. Sebagai seorang pribadi
yang sedang mempersiapkan masa depannya. Ia memiliki pandangan hidup yang
progresif, berkemauan keras, dan berjiwa sosial tinggi. Hal ini tampak pada
kemauan kerasnya untuk dapat mewujudkan cita-cita. Melalui pandangan hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
tokohnya, novel ini memberikan motivasi kepada siapa saja untuk maju mengejar
cita-cita dan mimpi-mimpi.
Tubuhku telah terbanting-banting demi cita-citaku sendiri yang terlalu kuat untuk terus sekolah, terus belajar dan mempelajari sesuatu, serta dibuat penasaran oleh buku. Itu semua demi satu keyakinan, aku akan bangkit dan meraih mimpi itu demi sebuah cita-cita yang akan kurengkuh kelak(OMDS: 239 – 240).
Sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di
sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap anak alam yang
hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia juga
berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat anak alam
mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani
kehidupan nantinya. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya
yang masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung
memberikan pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta
huruf. Ia ingin menjadikan kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi
kampung Genteng yang melek huruf (OMDS: 18).
Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap
orang miskin. Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan
pekerjanya semena-mena. Ia juga memberikan label untuk orang kaya, yaitu orang
kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati
Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang yok Bek-perempuan Cina itu- berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17)
e. Alur atau Plot
Menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) plot adalah
cerita yang berisi tentang urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
terjadinya peristiwa yang lainnya. Herman J. Waluyo (2002: 15 – 19) membagi
alur cerita menjadi tujuh bagian, yaitu Exposition (paparan awal cerita), Inciting
Moment (konflik mulai muncul), Rising Action (peningkatan konflik),
Complication (konflik semakin rumit), Climax (puncak konflik), Falling Action
(konflik menurun), dan Denouement. Berdasarkan pendapat tersebut, jalinan
konflik yang membangun cerita dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Novel LP
Tahapan-tahapan alur dalam novel LP akan diuraikan sebagai berikut:
a) Eksposition (Paparan Awal Cerita)
Kisah dalam novel LP diawali dengan paparan ketika hari pertama masuk
sekolah, yaitu pagi hari saat pendaftaran siswa baru di SD Muhammadiyah.
Perhatikan kutipan berikut ini:
Pagi itu, ketika aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon filicium yang rindang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orang tua dan anak-anaknya yang berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD (LP: 1).
Sebuah awal cerita yang cukup ringan untuk dijadikan pembuka kisah.
Peristiwa hari pertama masuk sekolah merupakan peristiwa yang dialami oleh
semua orang yang pernah sekolah. Semua perasaan campur aduk. Ada cemas,
suka, bingung, malu, salah tingkah dan lain-lain. Pada bagian awal mulai
diperkenalkan tokoh dalam novel ini yakni Pak Harfan sang kepala sekolah, Bu
Mus ibu guru kelas 1, orang tua siswa, dan beberapa calon siswa. Pada bagian
awal ini mulai diperkenalkan pula latar tempatnya yakni di SD Muhammadiyah
yang bangunan sekolahnya sudah doyong seolah akan roboh dan kondisinya
sangat memperihatinkan.
b) Inciting Moment (Muncul Konflik)
Pada tahap pemunculan konflik, dapat diungkapkan beberapa peristiwa
yang merupakan gambaran bahwa ada suatu masalah yang mulai muncul dari
setiap bagian-bagian cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Tahap pemunculan konflik dimulai dengan kecemasan Bu Mus dan Pak
Harfan karena murid baru yang mendaftar baru sembilan orang. Padahal
Depdikbud Sumsel mempersyaratkan minimal harus ada 10 murid baru, kalau
tidak SD Muhammadiyah akan ditutup. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi dua
orang guru tersebut, orang tua dan kesembilan murid baru, karena ini berarti akan
memupus harapan mereka. Cita-cita kandas akibat sekolah ditutup tepat ketika
mereka ingin sekolah. Perhatikan kutipan berikut:
Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaknya didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orang tua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam (LP: 5).
Pemaparan masalah lainnya yang dapat dicermati dari peristiwa dalam
novel ini adalah ketika anak-anak SD Muhammadiyah Gantong mengeluh kepada
Bu Mus mengapa sekolahnya tidak seperti sekolah lain.
Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan (LP: 31).
Secara implisit, munculnya masalah yang dihadapi tokoh ini sebagai
akibat dari kemiskinan yang melanda masyarakat Belitong pada waktu itu.
Kemiskinan yang sudah menjadi endemi. Para orang tua lebih rela menyerahkan
anknya pada juragan-juragan daripada menyekolahkan anaknya yang berarti
mengikatkan diri pada biaya sekolah. Gambaran kemiskinan inilah yang
mengawali jalinan cerita novel LP.
c) Ricing Action (Penanjakan Konflik)
Penanjakan konflik terjadi ketika Pak Harfan sudah berputus asa dengan
jumlah siswa yang mendaftar di SD Muhammadiyah dan bermaksud memberikan
pidato terakhir sebagai perpisahan sekaligus penutupan sekolah.
Pak Harfan menghampiri orang tua murid dan menyalami mereka satu persatu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua yang wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir (LP: 6).
Masalah kemiskinan yang mengawali konflik dalam novel ini kemudian
diuraikan lebih mendetail dalam bab-bab berikutnya. Pengarang menyoroti
perbedaan keadaan ekonomi antara kaum borjuis dan masyarakat Melayu
Belitong. Kaum borjuis yang tinggal di kawasan Gedong dengan segala macam
fasilitas yang mewah dan serba lengkap, sangat mencolok jika dibandingkan
dengan keadaan masyarakat Melayu Belitong yang serba miskin, serba tidak
mampu. Jangankan untuk sekolah, untuk hanya makan saja terkadang tidak
terpenuhi. Kesenjangan sosial yang sangat mencolok. Perhatikan kutipan berikut
ini:
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kotapraja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitong yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga- termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong- sebuah pulau kecil- seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak (LP: 50).
d) Complication (Konflik Makin Rumitt)
Pada tahap complication ini, konflik semakin rumit. Kemiskinan yang
melanda masyarakat asli Belitong semakin menjadi-jadi. Sementara itu kekayaan
warga Gedong pun juga sama menjadi-jadi. Sehingga jurang kesenjangan sosial
semakin terbentang lebar.
Kemiskinan juga tidak lepas melanda semua anggota Laskar Pelangi,
terutama tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan miskin yang tinggal di
pesisir di desa Tanjong Kelumpang. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 80
kilometer pulang pergi yang ditempuh dengan sepeda. Jarak sekolah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
sedemikian jauh dan kondisi ekonomi orang tua menjadi permasalahan tersendiri
bagi tokohnya.
e) Climax (Puncak Ketegangan)
Puncak ketegangan terjadi ketika Lintang putus sekolah. Lintang terpaksa
putus sekolah karena ayahnya meninggal. Kematian ayahnya adalah puncak
permasalahan yang akan mengubah jalan hidup Lintang. Sehingga mau tidak mau
ia yang harus menggantikan posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi
keluarganya. Ia yang mempunyai cita-cita tinggi dan mempunyai motivasi belajar
yang luar biasa harus takhluk di tangan nasib. Hal ini membuat duka bagi seluruh
anggota Laskar Pelangi dan Bu Mus. Mereka kehilangan sosok sahabat,
pemimpim, guru, seorang teman yang genius luar biasa.
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi (LP: 430).
Selain itu puncak ketegangan yang kedua adalah ketika PN Timah
penguasa eksklusif tambang timah di Belitong lumpuh total. Hal ini dikarenakan
pada tahun 1987 harga timah dunia merosot tajam. Sehingga dalam sekejap PN
Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena
PHK. Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah
tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil ini. Pulau Belitong yang dulu
laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-
apung tak tentu arah, gelap, dan sendirian (LP:481 – 482).
Masyarakat pribumi yang memang sudah menahankan sakit hati karena
kesenjangan selama puluhan tahun menyerbu Gedong. Mereka menghancurkan
rumah dan menjarah isinya.
Bentangan kawat telepon digulung. Kabel listrik yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak sehingga menimbulkan bunga api seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji dan menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah (LP: 484).
f) Falling Action (Penurunan Konflik)
Penurunan konflik terjadi setelah PN Timah gulung tikar. Kehancuran PN
Timah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat pribumi Belitong yang selama
ini terpinggirkan. Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka
suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi bakar.
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi
karena aktivitas para pendulang (LP: 485 – 488).
Penurunan konflik yang lain adalah ketika Lintang masuk sekolah untuk
berpamitan dengan teman-teman dan ibu gurunya.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. ... semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran pendidikan. Ketika kami satu persatu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah (LP: 433).
g) Denouement (Penyelesaian)
Novel LP merupakan sebuah novel yang berusaha mengangkat realitas
kehidupan manusia secara nyata. Realitas kehidupan manusia sebagaimana
digambarkan melalui tokoh-tokoh anggota Laskar Pelangi adalah gambaran nyata
tentang kehidupan manusia. Lintang yang super genius akhirnya harus putus
sekolah karena ayahnya meninggal, sehingga terpaksa ia harus menggantikan
posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi ibu, adik-adik, dan saudaranya,
yaitu dengan menjadi seorang sopir truk pengangkut pasir gelas (LP: 467). Hal ini
merupakan realitas hidup yang banyal dialami oleh anak-anak di Indonesia.
Banyak anak-anak Indonesia yang terpaksa membuang jauh-jauh keinginannya
untuk menempuh pendidikan gara-gara kemiskinan yang tak henti merundungnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Akhir cerita dikisahkan mengenai kehidupan para tokoh setelah 12 tahun
kemudian. Ketika itu tokoh utama telah menjadi seorang pemuda dan bekerja
sebagai tukang pos di Pulau Jawa. Perhatikan kutipan berikut ini:
Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun di poko pohon randu, di pinggir lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes Tuhan: ”Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan pemain bulu tangkis maka jadikanlah aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh... Tuhan menjawab doaku dulu persis sama dengan yang tak kuminta (LP: 441).
Walaupun sudah menjadi pegawai pos dengan NIP 967275337, Ikal masih
memendam obsesi untuk bisa kuliah. Ia ingin kehidupan yang dijalaninya lebih
baik, dengan cara belajar setinggi-tingginya untuk membayar hutang pada sekolah
Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, serta
Heriot dan Edensor.
Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Meskipun hanya langkah kecil aku merasa telah membuat kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dari perspektif yang sama sekali berbeda. Aku lega terutama karena aku telah membayar hutangku pada sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Liong, bahkan Herriot dan Edensor (LP: 462).
Selain tokoh Lintang dan Ikal, di akhir cerita juga dikisahkan kehidupan
para anggota Laskar Pelangi setelah dewasa. Mahar menjadi seorang penulis dan
budayawan Melayu, Kucai menjadi anggota dewan, Syahdan menjadi ahli
telekomunikasi, A Kiong menikah dengan Sahara dan mendirikan sebuah toko
yang diberi nama Sinar Perkasa, Borek menjadi kuli panggul di toko tersebut.
Trapani yang sampai dewasa masih sangat bergantung pada ibunya menderita
mother complex (LP: 455 – 494).
Kejadian yang menjalin plot di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Climax (e)
Complication (d)
Rising Action (c) Falling Action (f)
Inciting Moment (b)
Exposition (a)
Denouement (g)
Gambar 3 : Skema Plot Novel LP Karya Andrea Hirata
Keterangan:
(a) Perkenalan tokoh dan latar kejadian di SD
Muhammadiyah pada waktu hari pertama masuk
sekolah.
(b) Kecemasan guru SD Muhammadiyah karena murid
yang mendaftar belum lengkap 10, dan pemunculan
masalah akibat kemiskinan.
(c) Keputusasaan Pak Harfan akan nasib sekolah
Muhammadiyah dan kesenjangan sosial yang
semakin lebar.
(d) Masalah kemiskinan yang melingkupi anggota
Laskar Pelangi, terutama Lintang.
(e) Lintang putus sekolah, PN Timah lumpuh.
(f) Setelah PN Timah lumpuh, perekonomian Belitong
menggeliat. Lintang berpamitan kepada guru dan
teman-teman.
(g) Kehidupan anggota Laskar Pelangi ketika dewasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
2) Novel OMDS
Tahapan-tahapan alur dalam novel OMDS diuraikan sebagai berikut:
a) Eksposition (Paparan Awal Cerita)
Cerita dalam novel OMDS dimulai dengan penceritaan kemeriahan musim
layang-layang di kampung. Cerita awal berlangsung siang hari ketika sekumpulan
anak-anak kampung bermain layang-layang. Permainan layang-layang yang
dibagian akhirnya menimbulkan kekacauan karena layang-layang yang putus dan
hinggap di kabel listrik. Anak-anak berebut meraih layang-layang dengan
menggunakan galah. Tak ayal aliran listrik terputus dan sontak warga marah.
Musim layang-layang telah tiba. Di kampung kami, jika musim layang-layang tiba, langit tiba-tiba penuh dengan hiasan warna-warni. Layang-layang yang terbuat dari kertas minyak dan ditarik dengan benang gelasan itu ada yang berbentuk ikan dengan mata yang bisa berkedip-kedip, ular naga, barongsai, capung, Superman, bahkan ada yang berbentuk Gatotkaca (OMDS: 5). Pada paparan awal ini, pengarang sudah coba memperkenalkan tokoh-
tokoh yang ada dalam cerita, yaitu Faisal, Pambudi, Yudi, Pepeng, Koh A Kiong,
serta Mat Karmin. Diperkenalkan pula tempat terjadinya cerita ini, yakni di
Semarang lebih tepatnya di Kampung Genteng. Kampung Genteng merupakan
tempat tinggal Faisal dan Gedong sapi yang merupakan tempat tinggal Anak
Alam (sebutan yang diberikan Faisal untuk Pambudi, Yudi, dan Pepeng).
Pengarang mulai menceritakan persahabatan mereka. Diceritakan setelah mereka
berempat (Faisal, Pambudi, Yudi, dan Pepeng) kalah merebut layang-layang
mereka sangat terpukul, karena niatnya untuk balas dendam ke Mat Karmin gagal.
Mereka ingin membeli layang-layang tapi tidak punya uang, akhirnya mereka
memutuskan untuk membuat sendiri layang-layangnya (OMDS 5 – 10).
Faisal kemudian mencari buku untuk dijadikan panduan untuk membuat
layang-layang. Pada saat membaca buku itu, Faisal baru sadar kalau Anak Alam
tidak bisa membaca karena memang tidak sekolah. Kemudian mereka mencoba
berguru kepada penulis buku itu secara langsung, yaitu Ki Hajar Ladunni yang
tinggal di Gogik Ungaran. Di perjalanan mereka bertemu dengan Candil. Ia
kemudian mengantar mereka ke rumah Ki Hajar Ladunni. Akhirnya mereka sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
sampai di rumah yang bertuliskan ”Ki Hajar Ladunni”. Karena Anak Alam tidak
bisa membaca, mereka menurut saja ketika dipermainkan Candil dengan
mengatakan bahwa rumah Ki Hajar Ladunni masih beberapa kilo lagi. Tapi
karena Faisal bisa membaca, ia tidak terjebak dengan permainan Candil. Setelah
berputar-putar cukup lama, mereka kembali ke rumah tadi, dan baru sadar kalau
mereka dipermainkan. (OMDS: 25 – 50).
b) Inciting Moment (Muncul Konflik)
Pengalaman dibohongi ini terjadi karena mereka buta huruf, tidak bisa
membaca papan nama yang ada di atas pintu. Di sini mulai disinggung-singgung
ketidakbisaan anak alam dalam hal membaca, sehingga mengakibatkan mereka
mudah dibohongi. Mereka tidak bisa membaca karena memang mereka tidak
sekolah. Mereka tidak bisa sekolah karena memang kondisi ekonomi keluarga
mereka yang tidak memungkinkan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja
terkadang masih susah.
Anak alam berasal dari keluarga buruh yang teramat miskin, orang tuanya
seumur hidup mengabdi pada Yok Bek, pemilik peternakan sapi di Gedong sapi.
Hidup mereka serba kekurangan, rumah mereka sempit serta kumuh, sungguh berbeda dengan kondisi rumah Yok Bek (OMDS: 16 – 18).
Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar (OMDS: 20). Faisal sangat prihatin melihat nasib ketiga sahabatnya yang sudah sebesar
itu tapi belum bisa membaca menulis. Ia kemudian bertekad mengajak ketiga
temannya tersebut untuk sekolah, agar tidak buta huruf lagi. Tapi sekali lagi
mereka terbentur dengan masalah dana. Kemiskinan selalu menghantui kehidupan
mereka. Jangankan berpikir sekolah, untuk makan saja terkadang masih susah
(OMDS: 59 – 66).
Faisal mempunyai tekad kuat kuat untuk mengajak ketiga temannya itu
bersekolah. Sehingga ia mengusahakan berbagai cara untuk itu, salah satunya
dengan menemui Pak Zainal, kepala sekolah SD Kartini untuk meminta
keringanan biaya bagi ketiga temannya tersebut.hingga kemudian akhirnya anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
alam bisa sekolah. Keputusan untuk sekolah bukanlah tanpa resiko. Mereka harus
membiayai sendiri, dengan cara sekolah sambil bekerja. Hal yang tak pernah
mereka bayangkan sebelumnya. Selama ini yang mereka tahu hanyalah bekerja
membantu orang tua untuk makan. Tidak terlintas sama sekali mereka harus
bekerja keras untuk bisa sekolah. Karena sangat mustahil jika mengandalkan
penghasilan orang tua yang hanya jadi buruh Yok Bek (OMDS: 67 – 82).
Ketika mereka sudah masuk sekolah, mereka pun juga belum lepas dari
hambatan. Mereka sering diejek teman-temannya yang notabene berasal dari
keluarga menengah ke atas. Mereka selalu diejek karena orang tua mereka
seorang pembantu yang mengabdi untuk Yok Bek. Karena mereka miskin, mereka
dianggap tidak pantas untuk sekolah di SD Kartini. Ini membuat mereka bertiga
minder dan sempat down.
”Iya, tapi yang jelas orang miskin seperti kalian tidak pantas sekolah di sini,” sambil berkata begitu Rena tengah asyik membolak-balik sersil Kho Ping Hoo-nya. Tanpa melihat tampang ketiga anak alam itu, kata-kata Rena telah membuat mereka menjadi minder, angan-angan melambung, cita-cita setinggi gunung, harapan memeluk rembulan dan memetik bintang di angkasa perlahan-lahan menciptakan mimpi buruk bagi mereka (OMDS: 95 – 96).
c) Ricing Action (Peningkatan Konflik)
Yok Bek merupakan seorang pengusaha peternakan sapi di Gedong Sapi.
Ia kaya raya. Ia mempunyai tiga orang pekerja yang tak lain tak bukan adalah
ayah ketiga Anak Alam itu. Tiga orang pekerja itulah yang setiap hari mengurus
peternakan, mulai dari membersihkan kandang, memberi makan, memerah susu,
dan membuat pupuk dari kotoran sapinya. Gedong Sapi letaknya agak jauh dari
pemukiman warga agar baunya tidak mengganggu warga Kampung Genteng.
Tetapi bagaimanapun juga bau itu tetap tercium juga. Hingga kemudian warga
mengadu pada ketua RT agar memperingatkan Yok Bek untuk memindah
peternakan sapinya. Masyarakat tidak tahan karena setiap hari mereka harus
melahap bau kotoran sapi (OMDS: 123 – 127).
Mendengar pengaduan masyarakat itu, Yok Bek sadar bahwa sekarang
zaman sudah berubah. Sudah banyak pribumi yang bersekolah. Mereka tidak
dapat dibohongi seperti dulu lagi. Sehingga ketika melihat ketiga Anak Alam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
sekolah, ia tidak suka dan segera memanggil orang tua mereka. Dia menyuruh
ketiga orang tua itu untuk melarang Anak Alam sekolah, dengan dalih ia butuh
tenaga banyak serta berjanji di kemudian hari akan menyekolahkan ketiga Anak
Alam itu. Ketiga orang tua itu pun bak dicocok hidungnya, mereka menuruti apa
yang diperintahkan Yok Bek. Mereka menyuruh ketiga anak mereka untuk
berhenti sekolah saja. Padahal pada saat itu ketiga Anak Alam sedang semangat-
semangatnya sekolah. Harapan mereka untuk sekolah pun pupus lagi. Mereka
patah arang dengan cita-cita yang dibangunnya selama ini (OMDS: 128 – 140).
d) Complication (Konflik Semakin Rumit)
Belum habis duka anak alam karena putus sekolah, Gedong Sapi tempat
orang tua mereka bekerja menggantungkan hidup, didemo warga sekitar karena
peringatan yang disampaikan selama ini tidak digubris. Mereka pun bertindak
anarki. Mereka merusak apa saja yang ada di rumah Yok Bek (OMDS: 143 – 15).
Faisal yang mencoba melerai tindak anarki tersebut malah ikut dipukuli
warga. Akibatnya ia jatuh sakit, akibat benda tumpul yang menghantam
kepalanya. Ia kemudian dirawat Pak Cokro, padahal ia sangat tidak suka
kepadanya. Menurutnya Pak Coro adalah seorang dukun gadungan yang
kerjaannya adalah membodohi warga. Ia juga biang kerok semua kejadian demo
Gedong Sapi ini. Maka bertambah marahlah Faisal (OMDS: 157 – 179).
e) Climax (Puncak konflik)
Kehidupan berubah drastis semenjak Gedong Sapi diamuk warga. Yok
Bek menjual semua sapi-sapinya. Ia pun hidup ikut anaknya. Hal ini secara
otomatis berimbas pada keluarga ketiga anak alam tersebut, yang notabene
mereka selama ini hidup menggantungkan diri dan mengabdi penuh untuk Yok
Bek. Duka anak alam semakin mendalam. Sudah digusur masih ditambah lagi
dengan putus sekolah.
Mereka sempat terkatung-katung karena tidak punya rumah. Hingga
akhirnya mereka tinggal di bawah kolong jembatan. Mereka harus membanting
tulang untuk bisa bertahan hidup.
Di bawah jembatan hingga di bibir sungai, puluhan rumah kumuh semi permanen berjajar tak rapi. Daerah itu sengaja ditempati oleh tunawisma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
yang bingung mau tinggal di mana, tetapi mereka menjadi berani tinggal dan mendirikan rumah di sana karena banyak yang mengikutinya. ”Kau tinggal di sana Peng...?” ”Iya Sal, habis mau bagaimana lagi... ? ”Sekolahmu?” ”Terpaksa berhenti, karena tak punya biaya, aku harus membantu orang tua bekerja seadanya...” ”Masih narik becak untuk mengangkuti kelapa kan, Peng?” ”Masih, tapi itu kalau malam, kalau siang hari aku menganggur, terpaksa aku jadi penjual koran di lampu lalu lintas.” (OMDS: 188). Puncaknya lagi ketika warga dihebohkan dengan perbuatan Mat Karmin
yang ternyata seorang pedhopilia. Ia mencabuli anak-anak yang tengah bermain di
rumahnya. Hal ini sontak mengundang kemurkaan warga untuk yang kedua
kalinya setelah aksi di Gedong Sapi dulu. Mat Karmin pun digelandang ke balai
desa. Rumahnya pun tak lepas dari amuk massa. Massa yang terbakar emosinya
pun merusak rumah Mat Karmin. Tak cukup sampai di situ, mereka
membakarnya, abunya dilarung di sungai Banjir Kanal, agar semua hal buruk dari
Mat Karmin ikut lenyap (OMDS: 227 – 238).
Esok paginya penduduk gempar, banyak orang tua yang merasa kehilangan anaknya, ada lebih dari sepuluh anak yang dinyatakan hilang, dan semua itu dimulai ketika mereka bermain-main ke rumah Mat Karmin. Rumah Mat Karmin digedor-gedor, penduduk yang marah tak sabar dan segera mengobrak-abrik seisi rumah, seluruh rak buku dijungkirbalikan, rumah berdinding papan itu dicincang dengan kapak dan golok. Tak hanya itu, mereka menggebrak kamar pribadi Mat Karmin yang pengap dan menemukan kejanggalan di sana, bau sperma kering dan beberapa celana dalam laki-laki. Ini semua menjadi barang bukti di kepolisian. Mat Karmin sendiri dibetot tangannya oleh beberapa anak muda, diikat tangannya ke belakang dengan tali tambang, kemudian digelandang ke balai desa dengan segenggam sesal yang tak terperi (OMDS: 233).
f) Falling Action (Konflik Menurun)
Setelah kejadian pengrusakan rumah Yok Bek, Faisal mencari tempat
tinggal Anak Alam. Ternyataa mereka tinggal di kolong jembatan. Mereka pun
kemudian berbagi cerita. Faisal sangat prihatin dengan kondisi ketiga Anak Alam
tersebut. Ia prihatin dengan nasib pendidikan ketiga Anak Alam tersebut.
Kemudian ia kembali menyemangati ketiganya untuk bisa kembali sekolah
mewujudkan cita-cita mereka yang sempat terputus (OMDS: 187 – 194).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk sekolah kembali, dengan
beban dua kali lebih berat. Kalau dulu orang tua mereka masih punya penghasilan
dari bekerja kepada Yok Bek, sekarang orang tua mereka tidak bekerja. Otomatis
mereka harus bekerja ekstra keras untuk bisa tetap sekolah. Pambudi menjual
koran, Yudhi berjualan pisang goreng, serta Pepeng yang menjadi tukang becak
mengangkuti kelapa dari pasar induk ke pasar-pasar yang lebih kecil.
Kembalinya mereka ke sekolah disambut hangat oleh Bu Mutia dan
teman-teman sekelasnya. Mereka pun kembali bersama-sama belajar, menjalani
segala suka duka sekolah sambil bekerja. Pada bagian ini diceritakan teman-teman
sekelas Anak Alam yaitu Karisma yang malas, Rena yang tinggi hati, Guruh sang
ketua kelas, dan lain-lain. Hingga tak terasa mereka sudah bersekolah hampir satu
tahun dan sebentar lagi akan menempuh ujian kenaikan kelas. Mereka
mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian ini. Mereka ingin membuktikan
bahwa di tengah kondisi yang serba sulit ini mereka masih bisa berprestasi. Di sisi
lain Karisma yang malas tidak mau belajar sedikit pun. Akibatnya ketika ujian
berlangsung ia tidak dapat mengerjakan. Yang lebih parah lagi Rena kepergok
mencontek.
g) Denouement (Penyelesaian)
Perjuangan keras belajar sambil bekerja akhirnya membuahkan hasil.
Anak Alam yang di tengah situasi serba sulit masih punya semangat belajar yang
tinggi bisa naik ke kelas dua dengan nilai yang memuaskan. Kharisma yang
kerjanya hanya bermalas-malasan tidak naik kelas. Begitu juga Rena, selama ini ia
dikenal sebagai seorang siswa yang cantik, kaya, pintar, tapi karena kepergok
mencontek ia jadi tidak naik kelas. Kania, yang juga berasal dari keluarga kurang
mampu, berhasil meraih juara satu paralel, disusul kemudian Faisal diurutan
kedua. Atas prestasinya, Faisal berkesempatan mengikuti lomba olimpiade
eksakta yang akan menjadi pintu gerbang meraih golden tiket menuju ke SMP
akselerasi. Benar kata pepatah ’siapa yang menanam akan mengetam’. Orang
meraih sesuatu, setimpal dengan apa yang sudah diusahakan.
Siapa yang menyangka, aku mendapat kenikmatan yang bertubi-tubi, selain sekolah ini. Lomba Olimpiade Eksakta yang akan menjadi pintu gerbang meraih golden tiket menuju ke SMP Akselerasi, tentu ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan, kesempatan yang hanya diberikan oleh orang-orang seberuntung aku (OMDS: 439 – 430). Kejadian yang menjalin plot di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Climax (e)
Complication (d)
Rising Action (c) Falling Action (f)
Inciting Moment (b)
Exposition (a)
Denouement (g)
Gambar 4 : Skema Plot Novel OMDS Karya Wiwid Prasetyo
Keterangan:
(h) Perkenalan tokoh dan latar kehidupan para
tokohnya.
(i) Anak Alam tidak bisa membaca karena tidak
sekolah.
(j) Akhirnya Anak Alam bisa sekolah, namun
mendapat tentangan dari Yok Bek.
(k) Gedong Sapi tempat orang tua ketiga Anak Alam
bekerja didemo warga.
(l) Anak alam sudah tidak punya rumah lagi dan
tinggal di kolong jembatan. Mat Karmin
menyodomi anak-anak di kampung Genteng.
(m) Faisal membantu Anak Alam untuk bisa sekolah
lagi. Anak Alam sekolah sambil bekerja.
(n) Perjuangan keras belajar sambil bekerja akhirnya
berbuah manis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut
tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995: 153 – 154) membagi
plot berdasarkan kriteria urutan waktu menjadi dua macam plot, yaitu alur maju
(progresif) dan alur mundur (regresif atau flash back). Alur maju atau progresif,
terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa; alur
mundur atau regresif atau flash back, alur ini terjadi jika dalam cerita tersebut
dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita.
Berdasarkan kriteria ini, novel LP dan OMDS beralur maju atau progresif.
Karena peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam novel LP dan OMDS bersifat
kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang kemudian. Atau, secara runtut cerita dimulai dari tahap paparan
awal, konflik mulai muncul, peningkatan konflik, konflik semakin rumit, puncak
konflik, konflik menurun, dan penyelesaian.
f. Amanat
Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh
penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1985: 10) amanat atau pesan
yang dalam bahasa Inggris Message adalah pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang lewat karyanya (cerpen atau novel) kepada pembaca atau pendengar.
1) Novel LP
Amanat yang terdapat di dalam novel LP, yaitu bahwa dalam hidup kita
harus berani bermimpi, mempunyai cita-cita dan berusaha untuk mewujudkan
cita-citanya itu sesulit apapun. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimanapun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah membayangkan sekolah kampong Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tapi keinginan yang kuat, yang kami pelajari dari petuah Pak Harfan Sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti.” (LP: 383 – 384).
Pada bagian lain, novel LP juga memberikan amanat agar pemerintah lebih
berlaku adil dan bijaksana dalam menentukan kebijakan, dan hendaknya selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
memikirkan masyarakat yang kurang mampu, sehingga peristiwa tragis yang
menimpa tokoh Lintang tidak terjadi lagi. Lintang, seorang anak super genius
terpaksa harus berhenti sekolah karena keadaan ekonominya yang tidak
memungkinkan. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini , hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin Sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak ‘kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama Sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.” (LP: 432 – 433).
Karena novel ini bertema pendidikan, maka sepanjang ceritanya pun sarat
dengan amanat bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Pelajaran dapat
dipetik pada saat PN Timah sedang berjaya. Mereka meyombongkan diri seolah
harta benda yang dimilikinya tak akan habis, seolah-olah mereka tak akan mati
(LP: 36 – 55). Tapi kemudian Tuhan membalikkan semuanya. Harga timah dunia
turun drastis dan mengakibatkan PN Timah gulung tikar (481 – 486).
Di titik tertinggi komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects (LP: 39 – 40). Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti halnya Babylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang menghinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat sebelumnya, perusahaan Gulliver yang telah Berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi, sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi di Babylonia seperti Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong (LP: 481 – 482).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Hal ini menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mabuk dengan harta dan
kekuasaan. Hendaknya seseorang itu sadar bahwa hidup layaknya roda yang
berputar, terkadang di atas terkadang di bawah. Ketika sedang di atas jangan
sampai mabuk dengan ketinggian. Ketika di bawah jangan sampai menyalahkan
Tuhan. Hendaknya menyikapi setiap keadaan dengan sebaik-baiknya.
2) Novel OMDS
Amanat yang dapat diambil dari novel OMDS yaitu untuk berani
bermimpi, berani bercita-cita, menggantungkan cita-cita setinggi langit. Karena
orang yang tak punya mimpi berarti orang yang tidak punya cita-cita. Seperti
kisah Faisal ketika membuat layang-layang. Ia membayangkan kalau hari ini ia
membuat layang-layang, maka esok hari ia akan membuat pesawat terbang.
Perhatikan kutipan berikut ini:
Aku tak mengucap apa-apa, tapi aku hanya membatin dalam hati, hampir seperti Pambudi. Kali ini, aku harus bisa membuat layang-layang. Tetapi besok, aku harus bisa membuat pesawat terbang. Mungkin ini hanyalah mimpi kami, tetapi bukankah segala sesuatunya harus dimulai dari mimpi? Betapa banyak ilmuwan yang memulai ilmu pengetahuan dari sebuah mimpi. Aku yakin, suatu saat bisa keluar dari tempurung kampungku untuk mewujudkan mimpiku. Jangan takut untuk bermimpi besar, sebab orang yang tak punya mimpi berarti tak punya cita-cita! Itulah kata-kata yang menghunjam di hatiku, saat ibu guruku memacu semangatku untuk terus maju (OMDS: 10). Hal senada juga dinasihatkan ibu Yudi kepada Yudi. Perhatikan kutipan
berikut:
Satu hal yang masih diingat Yudi adalah perkataan ibunya yang menyesakkan dada. Ibu dilumuri pupuk kotoran sapi yang ditumpuk-tumpuk, dicampur dengan tanah dan jerami kering hingga Yudi bisa melihat sendiri bagaimana pohon itu tumbuh subur dengan dahan-dahan yang gemuk, batang pohon seluas bentangan tangan orang dewasa, dan cabang-cabang yang menjulang ke langit. Seperti itulah cita-cita Yudi digantung, ditambatkan, dan suatu saat dipetik. Yudi harus memusatkan pikirannya untuk menggapai tujuan terdekatnya dulu, baru kemudian melewati proses mata rantai yang teramat panjang (OMDS: 365).
Selain mengajarkan untuk tidak takut bermimpi, kisah ini juga
mengamanatkan untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan. Hidup adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
perjuangan. Jadi untuk terus hidup, segala sesuatu perlu diperjuangkan, termasuk
perjuangan untuk mewujudkan cita-cita. Seperti perjuangan tokoh Kania dan
Pambudi untuk terus berjuang melawan kemiskinan yang menjeratnya. Perhatikan
kutipan berikut ini:
Sehabis kata-kata Kania yang terakhir, Pambudi tak berkata-kata lagi, entah ada perasaan sungkan, sebab lagi-lagi Kania menunjukkan keberaniannya, seakan-akan ia berkata: “Ayo Pam, siapa di antara kita yang lebih miskin, siapa yang lebih parah penderitaannnya, pasti aku Pam, pasti… Hanya saja kemiskinan tak akan membuat kita menyerah pada kehidupan, kita harus berjuang bukan untuk melepaskan kemiskinan, tetapi membiarkan kemiskinan itu mendera dan melecut mata hati kita agar terus berpacu seperti kuda terbang (OMDS: 291). Kemiskinan tak menghalangi kita untuk terus maju, engkau harus bisa membuktikan pada orang-orang kalau kita mampu. Tekad itu yang membuat Pambudi mampu menantang jalan raya, menakhlukkan rintangan yang sesungguhnya hanya sebesar biji sawi saja. Jika kita mau menguatkan tekad kita, semua masalah akan terasa mudah. Keinginan untuk terus sekolah setinggi mungkin menuntaskan cita-cita yang sepertinya sulit terwujud, dunia bukan omong kosong lagi (OMDS: 317 – 318).
Selain itu, novel ini juga mengamanatkan untuk terus belajar. Menuntut
ilmu sampai akhir hayat. Menuntut ilmu walau harus ke negeri Cina. Tidak pernah
ada kata terlambat untuk belajar. Seperti keteladanan yang ditunjukkan Pak Cokro
dan orang-orang tua yang lain, yang masih gigih belajar membaca walaupun usia
mereka sudah senja. Perhatikan kutipan berikut ini:
Aku menatap mereka satu persatu, kulihat mereka benar-benar berharap denganku kelak mereka bisa membaca. Semangat ini yang tak pernah kutemui sewaktu aku berkumpul dengan teman-temanku di Kampung Genteng. Sehari-harinya mereka terjebak dengan virus kemalasan yang membuat cahaya di Kampung Genteng menyala remang-remang. Berbeda dengan orang-orang tua yang telah sadar, semangat mereka begitu muda, seakan-akan mereka tak akan mati sebelum mempersembahkan sesuatu yang berharga untuk anak cucu kelak (OMDS: 207).
Bertolak dari analisis struktural novel LP dan OMDS di atas, dapat
disimpulkan bahwa kedua novel tersebut dibangun oleh unsur-unsur yang berupa
tema, sudut pandang, penokohan, laur, latar dan amanat. Unsur-unsur tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
saling terkait dan menjalin menjadi kesatuan yang utuh dan padu yang
mendukung totalitas makna.
2. Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS
Pada kenyataannya novel LP dan OMDS memiliki persamaan pada
beberapa aspek. Aspek tersebut yaitu:
a. Kedua novel tersebut memiliki persamaan tema yaitu masalah pendidikan
yang diramu dengan fenomena sosial, yakni persahabatan, percintaan, dan
kemiskinan.
b. Kedua novel tersebut menggunakan alur progresif atau alur maju. Alur kedua
novel tersebut dianalisis dalam tujuh bagian yaitu eksposition, inciting
moment, ricing action, complication, climax, falling action, dan denouement.
Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa yang ada berdasarkan hubungan
sebab-akibat (kausalitas).
c. Kedua novel tersebut mempunyai amanat yang sama yaitu untuk jangan takut
bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk mewujudkan
mimpi-mimpi itu.
d. Kedua novel tersebut dalam menampilkan tokoh menggunakan metode
langsung dan metode tidak langsung. Perwatakan kedua novel ditinjau dari
aspek fisiologis, aspek psikologis, dan aspek sosial. Penokohan yang menjadi
fokus utama penelitian ini adalah tokoh utama (Ikal dan Faisal). Ditinjau dari
aspek fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel berjenis kelamin sama yakni
laki-laki. Ditinjau dari aspek psikologis tercermin watak tokoh utama dalam
kedua novel yaitu berkemauan keras. Ditinjau dari aspek sosiologis, watak
dari tokoh utama dalam kedua novel tersebut yaitu sama-sama punya jiwa
sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama.
e. Latar waktu kedua novel ini tidak disebutkan secara langsung oleh
pengarangnya, tetapi dapat dianalisis dari cerita dan kutipan-kutipan yang ada
di dalamnya. Kedua novel sama-sama mengambil latar waktu pada masa
pemerintahan Soeharto. Kisah dalam novel LP terjadi sekitar kurun waktu
tahun 1966 – 1998. Sedangkan kisah dalam novel OMDS terjadi antara kurun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
waktu 1988 – 1996. Keduanya sama-sama terjadi selama kurun waktu
pemerintahan Soeharto.
Novel LP dan OMDS selain memiliki persamaan, juga memiliki
perbedaan. Perbedaan yang paling menonjol antara kedua novel ini terletak pada
aspek sudut pandang, latar tempat dan latar sosial.
a. Sudut Pandang
Sudut pandang kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel
LP digunakan sudut pandang persona pertama sedangkan dalam OMDS digunakan
sudut pandang campuran antara persona pertama dan persona ketiga “Dia”
Mahatahu.
b. Latar Tempat
Latar tempat kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel LP
berlatar di Pulau Belitong, dan kota Bogor, sedangkan dalam novel OMDS latar
tempatnya di kota Semarang, Jawa Tengah.
c. Latar Sosial
Kedua novel ini mempunyai latar tempat yang berbeda, maka secara
otomatis kedua novel ini menghadirkan latar sosial yang berbeda pula. Novel LP
yang notabene berlatar tempat di Belitong menghadirkan latar sosial kebudayaan
Melayu. Sedangkan dalam novel OMDS yang mengambil latar di Semarang, Jawa
tengah mengambil latar sosial kebudayaan Jawa.
3. Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS
Novel LP karya Andrea Hirata yang diterbitkan penerbit Bentang pada
tahun 2008 (cetakan keduapuluh tiga) merupakan hipogram, sedangkan novel
OMDS yang diterbitkan oleh Diva Press pada tahun 2010 (cetakan keenam)
merupakan teks transformasi.
4. Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS
Ada banyak sekali nilai pendidikan yang dapat diteladani dari novel LP
dan OMDS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
a. Novel LP
1) Nilai Pendidikan Religius/Agama
Dalam kehidupan seseorang, agama merupakan faktor sangat penting yang
akan memberi warna dalam hidupnya. Bahkan agama dapat menjadi dasar
bersikap bagi seseorang untuk menilai berbagai fenomena kehidupan. Dalam
novel LP, Andrea Hirata menunjukkan hal itu, baik melalui tokoh Pak Harfan, Bu
Muslimah, maupun tokoh-tokoh anggota Laskar Pelangi. Orang Melayu
mayoritasnya beragama Islam, maka dalam novel ini banyak terkandung ajaran
Islam. Seperti kutipan di bawah ini:
Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemayam, adalah metaphor dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor keagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daun yang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasib akan membawa sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib termasuk dalam Zat-Nya (LP: 105). Dari kutipan di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa Allah Maha Agung,
Allah Maha Mengetahui, Allah Maha Kuasa. Allah yang menuliskan nasib
makhluknya. Tidak ada satu lembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan-Nya.
Manusia hanya menjalani apa yang sudah ditakdirkan. Manusia diwajibkan untuk
berusaha, tetapi hasil akhirnya tetap di tangan Allah.
Dalam agama Islam, banyak aturan atau etika yang harus dipatuhi. Dalam
novel ini banyak dipenuhi nilai pendidikan keagamaan, diantaranya untuk selalu
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Perhatikan kutipan berikut:
Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama “Hiduplah hanya dari ajaran Al-Qur’an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok-pokok tuntunan Muhammadiyah (LP: 350).
Selain berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, agama Islam juga
mengajarkan untuk selalu melaksanakan sholat tepat waktu, dan seorang muslim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
dianjurkan untuk diam dan menghentikan sejenak aktivitasnya ketika mendengar
suara azan. Perhatikan kutipan berikut:
“Sholatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami (LP: 31).
Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan maghrib menggema dipantulkan tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut menyahut dari masjid ke masjid. Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara ketika azan berkumandang. “Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu …,” pesan orang tua kami (LP: 162). Dalam ajaran Islam, Allah sangat membenci syirik, yaitu perbuatan yang
menyekutukan Allah dengan sesuatu selain Allah. Bu Mus mengajarkan kepada
siswanya untuk jangan mendekati perbuatan syirik. Perhatikan kutipan berikut:
“Camkan ini anak muda, tidak ada hikmah apa pun dari kemusyrikan, yang akan kau dapat dari praktik-praktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipas-ngipasimu setiap kali kaukipasi bara api kemenyan-kemenyan itu”. (LP: 352).
Seorang muslim laki-laki juga disunahkan untuk memelihara jenggot.
Seperti kisah Pak Harfan berikut ini. Pak Harfan sebagai penganut agama Islam
mencoba untuk mengikuti sunah nabi Muhammad S.A.W., yakni memelihara
jenggot.
Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awutan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah, R.A yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya (LP: 20 – 21). Amar Makruf Nahi Mungkar adalah sebuah ajaran agama islam yang
sangat dalam maknanya. Arti umum dari ayat itu adalah “mengajak sesama pada
kebenaran atau kebaikan dan menjauhi segala yang buruk dan dilarang oleh Allah
SWT. Jadi sebagai manusia harus selalu berjalan, bertindak, dan bertingkah laku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
sesuai dengan jalan kebenaran dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak
sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti kutipan berikut ini:
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat (LP: 32). 2) Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai
moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari
(Uzey: 2010). Dalam kehidupan sehari-hari kejujuran harus selalu dijunjung
tinggi. Inilah yang coba dihadirkan pengarang melalui novel ini. Novel ini
mengajarkan untuk selalu berkata jujur dan tidak berkata dusta. Kejujuran harus
tetap diungkapkan sepahit apa pun itu. Perhatikan kutipan berikut ini:
Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri (LP: 82).
Manusia dalam menjalani kehidupan harus mempunyai pendirian yang
teguh. Jangan sampai terombang-ambing tak tentu arah. Seseorang harus tekun,
harus punya keinginan yang kuat untuk menggapai cita-cita, juga keikhlasan
berkorban untuk sesama.
Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama (LP: 24).
Pelajaran moral dapat pula diambil dari tokoh Lintang. Lintang merupakan
sosok yang super jenius. Namun dengan kejeniusannya itu tidak menjadikannya
kalap. Ia beranggapan bahwa kepandaian bukan untuk disombongkan.
Pengetahuan yang dimilikinya belum seberapa dibandingkan lautan ilmu yang
terbentang sangat luas.
Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena Ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya (LP: 108). Pelajaran moral dari tokoh Lintang adalah untuk selalu berani bermimpi,
berangan-angan, dan bercita-cita bagaimanapun terbatasnya keadaan.
Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan (LP: 383).
Pelajaran moral lain dari tokoh Lintang adalah janganlah bersedih apabila
tidak dapat menggapai cita-cita besar yang sudah diperjuangkan, karena paling
tidak dapat mewujudkan keinginan dan membahagiakan orang-orang yang
dicintai. Kutipan berikut ini mengisyaratkan kepada kita untuk tidak menyia-
nyiakan kesempatan yang diberikan, karena kesempatan tidak datang dua kali.
Dan penyesalan pasti akan datang terlambat.
Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan… “ Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi (LP: 472).
Pak Harfan juga memberikan ajaran yang mempunyai nilai pendidikan
moral yang tinggi yakni hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan
untuk menerima sebanyak-banyaknya. Maksudnya sebagai manusia yang hidup di
tengah-tengah manusia lain, harus dapat memberi sebanyak-banyaknya bukan
untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya (LP: 24).
Selain Pak Harfan, Bu Mus juga memberikan pendidikan moral kepada
pembaca. Bu Mus berlaku sangat demokratis dalam pemilihan ketua kelas, karena
tahu Harun tidak dapat menulis maka sebagai penggantinya ia memberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
kesempatan kepada Harun untuk menggunakan hak politiknya yaitu dengan cara
lisan.
Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada Harun. Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjangnya dan berteriak pasti. “Kucai … !” (LP: 73).
Tokoh Kucai juga memberikan pelajaran moral, yakni untuk selalu
menghormati guru. Karena guru adalah pengganti orang tua di sekolah, sehingga
menghormati guru sama artinya dengan menghormati orang tua. Seperti kutipan
berikut ini:
Kucai selaku ketua kelas ambil bagian, suaranya menggelegar, “Melawan guru sama hukumnya dengan melawan orang tua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! (LP: 351).
Sebuah pelajaran moral yang menarik dari petikan teks di atas, bahwa
setiap orang bagaimanapun terbatas keadaannya berhak memiliki cita-cita dan
keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Novel LP banyak menyoroti fenomena sosial yang terjadi di masyarakat
Melayu Belitong pada waktu itu, yakni menyoroti ketimpangan sosial yang ada
dalam tatanan masyarakat Belitong. Ketimpangan sosial itu tampak adanya jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan sosial antara sebuah komunitas
masyarakat yang tinggal di Gedong yang hidup makmur, dengan masyarakat asli
Melayu Belitong yang berada di bawah garis kemiskinan.
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kotapraja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitong yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga- termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong- sebuah pulau kecil- seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
berkepanjangan sejak pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak (LP: 50). Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak
mungkin hidup sendiri. Manusia merupakan anggota masyarakat. Dalam bergaul
di masyarakat, manusia harus memegang tinggi kejujuran. Karena apabila sekali
pernah berbohong, maka setelahnya walaupun seseorang itu mengatakan
kejujuran pasti dianggap sebagai sebuah kebohongan. Seperti kisah Mahar berikut
ini:
Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya (LP: 186).
Selain diperlukan kejujuran, dalam kehidupan sosial seseorang harus
menjalin komunikasi dengan sesamanya. Dalam berkomunikasi seseorang tidak
bisa terhindar dari berbagai polemik yang muncul. Novel ini mengamanatkan
untuk tidak berpolemik terhadap sesuatu yang tidak dipahami dan benar-benar
dikuasai, karena hal ini hanya akan memperlihatkan kebodohan. Seperti kutipan
berikut ini:
Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang jenius seperti Lintang (LP: 382).
Nilai sosial yang dapat diambil dari kisah ini yaitu rasa peduli dan
solidaritas di antara tokohnya, yakni anggota Laskar Pelangi. Solidaritas ini
ditunjukkan ketika anggota Laskar Pelangi ikut mencari ketika Flo hilang di hutan
sekitar Gunung Selumar. Perhatikan kutipan berikut ini:
Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut sungai Buta. Belasan ladang terutama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
yang dekat sungai- telah kami kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megaphone yang dibekali posko telah habis baterainya (LP: 320).
4) Nilai Pendidikan Kebudayaan
Kebudayaan yang tumbuh pada suatu masyarakat berbeda satu sama lain.
Setiap kelompok masyarakat membawa corak kebudayaannya masing-masing.
Demikian pula corak kebudayaan yang diangkat dalam novel LP, yakni
kebudayaan masyarakat Melayu Belitong. Dalam novel ini, masyarakat Melayu
Belitong digambarkan mempercayai adanya seorang dukun sakti mandraguna
yang hidup menyendiri di Pulau Lanun. Keberadaan dukun ini sudah melegenda
di kalangan masyarakat Melayu Belitong. Ia diyakini sakti dalam hal ilmu ghaib
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam lain hingga dijuluki dukun
siluman, dialah Tuk Bayan Tula.
Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri (LP: 314).
Karena kepercayaan yang sudah melegenda itulah maka pada suatu saat
Mahar, yang memang sangat mempercayai takhayul seperti ini, tertarik untuk
meminta bantuan Tuk Bayan Tula agar nilai-nilai sekolahnya membaik. Maka
mereka pergi ke Pulau Lanun untuk menemui Tuk Bayan Tula. Bukan jampi-
jampi untuk menaikkan nilai yang didapat, tetapi malah sebuah gulungan kertas
yang berisi sebuah pesan. Perhatikan kutipan berikut:
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas dunia ghaib perdukunan. Sebuah cara yang tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya (LP: 404).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR !! (LP: 424).
Kutipan di atas memberikan didikan untuk tidak mempercayai segala
sesuatu yang belum tentu kebenarannya, sesuatu yang tidak dapat diterima logika.
Bahwa segala sesuatu tidak bisa diperoleh dengan cara yang instan, semuanya
memerlukan usaha dan doa. Jika ingin pandai, maka sudah seharusnya belajar.
Jika ingin kaya, maka sudah seharusnya bekerja.
Selain kepercayaan terhadap dukun, masyarakat Melayu Belitong ada juga
yang mempercayai adanya ilmu buaya, di mana buaya mereka sembah layaknya
Tuhan. Mereka punya keyakinan bahwa setelah mati dirinya akan berubah
menjadi buaya.
Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya keluarga yang pernah diketahui orang adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya. Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan (LP: 91).
Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa budaya terkadang tidak masuk
akal. Namun harus dipahami dan dimaklumi karena budaya adalah bagian dari
sebuah kepercayaan dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat. Dari kutipan di atas memberi pemahaman bahwa ada sebagian
masyarakat pulau Belitong yang mempercayai adanya penganut ilmu buaya,
mereka mempercayai nanti ketika sudah mati akan menjadi seekor buaya. Sebagai
sebuah kepercayaan, terlepas benar atau tidaknya kepercayaan itu nyatanya ada
dan hidup berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu harus dihormati.
Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan logis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulau terpencil maka badai laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain (LP: 184).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
Kepercayaan lain yang tak kalah menarik terdapat dalam kutipan di atas.
Kepercayaan masyarakat Melayu pesisir yang mempercayai adanya tentang
keberadaan burung Pelintang Pulau, nyatanya sangat mempengaruhi pola
kehidupannya. Orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung Pelintang Pulau
singgah di kampung maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin
puting beliung. Sering sekali kehadiran burung ini membatalkan niat nelayan yang
akan melaut. Sehingga burung ini dianggap keramat karena keberadaannya dapat
mengingatkan hal buruk yang akan terjadi di tengah laut.
Rumah juga merupakan salah satu jenis kebudayaan. Setiap daerah di
Indonesia mempunyai bentuk rumah yang berbeda-beda. Jawa Tengah sangat
khas dengan rumah joglonya, Jawa Timur dengan rumah Limasannya, Irian Jaya
dengan Honainya. Maka cerita ini pun yang notabene menjadikan pulau Belitong
sebagai latar cerita juga mempunyai rumah Panggung. Di pemukiman komunitas
orang Melayu Belitong rumah Panggung adalah bagian dari budaya tinggalan
leluhur yang harus diikuti. Kebiasaan mendirikan rumah Panggung yang diikuti
dari leluhurnya, ternyata disesuaikan dengan keadaan geografis di mana suku
bangsa ini tinggal.
Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiang-tiang tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat kerajaan(LP: 98).
Dalam cerita ini, pulau Belitong diceritakan didiami oleh banyak suku.
Suku Sawang salah satu contohnya. Suku ini digambarkan mempunyai integritas
yang tinggi, memiliki etos kerja yang tinggi, jujur, tidak usil dengan urusan orang
lain, dan tak pernah berurusan dengan hukum.
Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan urusan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya (LP: 164 – 165).
b. Novel OMDS
1) Nilai Pendidikan Religi/Agama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
Sri Sutjiatiningsih (1999: 91) menyamakan religius dengan keagamaan.
Menurutnya agama memberikan suatu perspektif bagi manusia untuk menafsirkan
seluruh kejadian yang dialaminya setiap saat. Agama juga memberikan arti atau
makna tentang hakikat dari kenyataan, sekaligus mendorong manusia untuk
berbuat ke arah yang seharusnya dilakukan.
Dalam kehidupan seseorang, agama merupakan faktor yang sangat penting
yang akan memberi warna dalam hidupnya. Bahkan agama menjadi dasar
bersikap bagi seseorang untuk menilai berbagai fenomena kehidupan. Dalam
novel OMDS, pengarang ingin menunjukkan bahwa Allah Maha Esa, Maha
Pemurah, Mahakuasa, berkehendak atas segala. Manusia hanya wajib berusaha
sebaik mungkin. Allah lah yang menentukan semuanya. Seperti ketika Anak Alam
dan teman-temannya menunggu hasil rapor. Perhatikan kutipan berikut ini:
Anak-anak yang duduk di bawah pohon bambu itu mengangguk setuju dengan yang dikatakan fajar. Ya, mereka harus berdoa, setelah perjuangan yang panjang selama satu semester, dan diujung ikhtiar ini semua urusan wajib kita serahkan pada Allah. Tanpa diperintah pun sebetulnya mereka sudah berdoa dalam hati masing-masing, doa akan menambah keyakinan dan kebulatan tekad dengan langkah yang akan ditempuh. Doa akan membuat mereka berani untuk menghadapi tantangan sebesar apa pun di depan mereka (OMDS: 400).
Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa Allah Maha Esa. Tiada Tuhan
selain Allah. Tidak boleh percaya kekuatan-kekuatan lain selain Allah (dukun,
paranormal, ahli nujum dan sebagainya), karena semuanya berasal dari Allah.
Selain itu kita juga diajarkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Allah Maha
Pemurah. Allah akan mengabulkan apa yang diminta makhlukNya, karena Allah
Mahakuasa dan Maha Berkehendak atas makhluk ciptaan. Manusia hanya wajib
berikhtiar sebaik mungkin, dalam kondisi apa pun, walaupun sepertinya tidak
mungkin. Tapi Allah Kuasa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.
Selain itu, Islam juga mengajarkan “ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri
Cina”. Hal ini mengisayaratkan bahwa manusia sebagai makhluk Allah
diperintahkan untuk menuntut ilmu walau sampai harus ke tempat yang sangat
jauh sekalipun. Karena Allah tidak menyukai kebodohan. Allah akan mengangkat
derajat orang berilmu. Seperti kutipan berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Semenjak peristiwa dengan Pak Cokro kemarin, sikap ayah sudah berubah padaku, apalagi aku mampu mengendalikan Pak Cokro hingga dia bertekuk lutut di hadapanku, itu membuat ayah terbengong-bengong. Aku menjadi semakin yakin, orang pintar atau berilmu kan diangkat derajatnya oleh Allah, ia akan menjadi jalan terang bagi orang-orang bodoh, karena orang bodoh itu buta dan butuh penerangan jalan, maka orang pintarlah yang akan menjadi juru penerangnya itu (OMDS: 185) Penganut agama yang taat adalah pribadi yang menghormati segala aturan
agamanya. Dalam agama Islam, banyak aturan yang harus dipatuhi, misalnya
ketika sholat Jumat, dianjurkan untuk datang lebih awal jika masih menginginkan
pahala sebesar gunung. Karena apabila khatib berkutbah dan makmun terlambat,
maka pahalanya hanya seperti shalat jamaah biasa. Perhatikan kutipan berikut ini:
Bu Wiryo begitu jengkel, kalimat terakhirnya tak didengar Bang Anan. Ia langsung masuk dan menutup pintunya karena shalat jumat segera dimulai. Saat khatib berkhutbah dan muadzin sudah melakukan adzan yang kedua kalinya saat itu pintu catatan amal ditutup, malaikat sudah tak lagi berdiri di pintu, begitu khatib berkhutbah dan makmum terlambat, sudah tak ada pahala sebesar gunung lagi, makmum hanya mendapat pahala shalat jamaah biasa (OMDS: 145). 2) Nilai Pendidikan Moral
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan
hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita
menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 321) biasanya dimaksudkan
sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh
pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap,
tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu
dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata,
sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah
laku tokoh-tokohnya.
Novel OMDS merupakan novel humanis yang di dalamnya banyak
mengandung nilai-nilai pendidikan yang berharga, salah satunya nilai pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
moral. Novel ini menceritakan persahabatan tokoh utamanya yakni Faisal dengan
ketiga Anak Alam yakni Pambudi, Yudi dan Pepeng. Ketiga Anak Alam tersebut
berasal dari keluarga tidak punya, padahal di kelas 1-2 rata-rata berasal dari
keluarga menengah ke atas, hingga pada suatu saat ketiga anak alam tersebut
diejek oleh teman sekelas karena miskin. Kemudian Bu Mutia hadir memberikan
petuah bahwa di dalam bergaul tidak boleh pilih-pilih, membeda-bedakan, tidak
boleh pandang bulu. Perhatikan kutipan berikut ini:
Bu Mutia hanya geleng-geleng kepala, guru yang lemah lembut perangainya itu merasa harus menerangkan sebuah akhlak yang harus mereka teladani, anak-anak kelas menengah itu harus paham kalau dalam pergaulan itu tak hanya dengan orang-orang sederajat saja, tapi juga dengan orang-orang miskin dan berasal dari orang tua yang berprofesi rendah, atau dengan model dan gaya berbeda dalam berpakaian, itu harus mereka maklumi. (OMDS: 265).
Pada bagian lain, tokoh Bu Mutia juga memberikan pelajaran moral yakni
untuk jangan mudah percaya pada orang lain, yaitu melalui cerita Mat Karmin.
Mat Karmin yang di luarnya lugu, seperti anak kecil, ternyata di dalamnya
mempunyai penyakit penyimpangan seksual yakni pedhopilia. Perhatikan kutipan
berikut ini:
Mat Karmin menjadi cerita tersendiri yang sarat renungan, pelajaran moral nomor tiga yang diajarkan oleh Bu Mutia ketika aku duduk di bangku kelas satu terngiang lagi, jangan mudah percaya sama orang meskipun kelihatannya orang itu baik padamu, justru di balik kebaikan itu sebetulnya tersimpan maksud tersembunyi, mungkin bisa kejahatan seperti yang dilakukan Mat Karmin pada anak-anak itu (OMDS: 238).
Selain itu ada juga pelajaran moral lain yang terkandung dalam novel ini,
yakni janganlah suka menyebar fitnah dan menghasut orang lain. Hal ini terlihat
dari kisah ketika Pak Cokro taubat dari praktik dukunnya dan berusaha
membenahi diri dengan cara membantu warga untuk bisa membaca dan menulis.
Pak Cokro kemudian difitnah oleh warga yang tidak menyukainya. Perhatikan
kutipan berikut:
Orang-orang pembelot inilah yang yang pertama kali menyebarkan fitnah, karena otaknya yang tumpul dan tak bisa lagi diajak kompromi seperti anak sekolah yang harus belajar, ia malah mengajak orang lain menghembuskan isu tak sedap, dituduhnya Pak Cokro sedang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
menyebarkan aliran agama yang baru. Aliran ini bernama Islam, tetapi isinya menyimpang, aliran ini tertutup dan menggunakan dalih pengobatan untuk menutupi tujuan utamanya (OMDS: 226).
Kisah ini memberikan isyarat untuk jangan suka berbicara asal saja tanpa
disertai bukti. Jangan suka menghasut dan memfitnah orang lain. Karena
perbuatan fitnah itu amat keji dan harus dihindari.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Brondet Wrahatnala (2010) menyatakan bahwa nilai sosial adalah segala
sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat,
merupakan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang
baik, penting, luhur, pantas, dan mempunyai daya guna fungsional bagi
perkembangan dan kebaikan hidup bersama.
Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari novel OMDS terutama dari
segi pelajaran sosialnya. Hal ini terlihat dari pemikiran juga perilaku yang
ditunjukkan tokoh Faisal. Faisal mempunyai solidaritas dan jiwa sosial yang
tinggi. Ia peduli dengan sesamanya, peduli dengan nasib ketiga Anak Alam yang
tidak bisa mengenyam pendidikan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Ia
bersusah payah mengusahakan agar Anak Alam bisa sekolah. Karena tanpa
sekolah mereka hanya akan teronggok dalam kemiskinan dan kebodohan.
Perhatikan kutipan berikut ini:
“Aku tak tahu nasib mereka, yang jelas kehidupan mereka akan semakin mengenaskan, masa depan yang tak jelas, kehidupan yang suram, karena tak ada yang bisa diharapkan selain cita-citanya itu. Beberapa bulan ini mereka mulai sekolah, mereka kelihatan semangat sekali, tetapi orang-orang kampung itu mengubur semangatnya dan mencampakkannya di tempat sampah. Kau bisa bayangkan sendiri bagaimana kecewanya aku, aku susah payah mengembalikan rasa percaya dirinya, aku juga menjamin pada kepala sekolah kalau anak-anak alam ini sungguh-sungguh untuk sekolah.” (OMDS: 165 – 166). Selain tokoh Faisal, ada juga tokoh pak Cokro yang juga mempunyai sifat
kepedulian dengan sesama. Setelah ia pensiun dari praktik perdukunannya, ia
ingin memberikan sesuatu yang berharga bagi kampungnya, ia bercita-cita untuk
membuat kampung Genteng menjadi kampung melek huruf. Perhatikan kutipan
berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
“Ia berprinsip, tak mau mati dulu sebelum mewariskan ilmu pengobatan itu kepada sepuluh muridnya. Sebab kehidupan ini seperti orang berlari menuju garis finish, kita semua sedang menuju kematian, tetapi di dalam proses itu banyak orang yang terlena, ada yang menghabiskan waktunya dengan tidur sepanjang waktu. Bisa dibayangkan sendiri, jika sehari semalam kita tidur delapan jam, berapa tahun umur kita telah tersia-sia? (OMDS: 222)
Selain itu, pengarang juga menyoroti masalah ketimpangan sosial yakni
masalah kesenjangan sosial yang ada dalam tatanan masyarakat di Semarang
khususnya Gedong Sapi. Kesenjangan sosial itu tampak antara kaum Cina
pinggiran dengan masyarakat pribumi, yaitu antara Yok Bek dan keluarga anak
alam. Perhatikan kutipan berikut ini:
Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota Semarang yang berarsitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan sempit. Jurang kesenjangan itu sedemikian lebar, hingga aku kerap menangis sendiri menyaksikan keadaan tiga temanku yang sama sekali tidak bersedih dengan keadaannya, mereka justru tertawa-tawa, gembira, dan menatap matahari esok dengan raut muka sumringah (OMDS: 18).
Kesenjangan sosial yang sudah ada ini sebaiknya jangan semakin
dibiarkan menganga lebar. Yang kaya hendaknya senantiasa membantu yang
kurang mampu. Yang kurang mampu hendaknya senantiasa berusaha keras agar
jurang kesenjangan sosial ini tidak semakin lebar.
4) Nilai Pendidikan Kebudayaan
Keesing sering mengartikan kebudayaan sebagai kekhususan suatu
kelompok manusia tertentu. Dalam pengertian ini, kebudayaan diartikan sebagai
pola dari perilaku (pattern of behavior) kelompok sosial tertentu (dalam Sri
Sutjiatiningsih, 1999: 107).
Dari pendapat Keesing di atas dapat dimaknai bahwa setiap kelompok
sosial tertentu mempunyai kebudayaan tertentu pula. Cerita dalam novel OMDS
mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Sehingga kebudayaan yang
diangkat pun juga kebudayaan masyarakat Jawa yakni budaya kejawen.
Masyarakat Jawa dikenal sangat kental dengan dunia mistik atau kebatinan,
seperti adanya semedi, kemenyan, sesajen, kondangan, ruwatan, juga dukun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Sebagian masyarakat Jawa kuno/tradisional masih sangat percaya dengan dukun,
yang diyakini sebagai “orang pintar” yang dipercaya menjadi perantara antara
manusia dengan alam gaib. Sehingga dukun sering dimintai pertolongan, entah itu
untuk pengobatan, ataupun mengusir roh halus. Ada dua kubu yakni kubu yang
percaya dan kubu yang tidak percaya dengan hal-hal semacam ini.
Di dalam novel ini ada juga bagian yang menyinggung-nyinggung
masalah dukun, yakni melalui keberadaan tokoh Pak Cokro yang merupakan
sesepuh atau dukun di Kampung Genteng. Perhatikan kutipan berikut ini:
Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia sering kali mengobati pasien dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air berubah. Tetapi, bukan itu yang membuatnya heboh, konon Pak Cokro mewarisi ilmunya setelah bertapa di Gunung Srandil dan Kemukus. Hanya dengan bertapa, tanpa perlu susah payah belajar seperti anak sekolah, konon ia sudah mendapat ilmu yang selama ini dicarinya. Bagaimana mungkin tanpa belajar dan proses berlatih ia bisa mendapatkan ilmu yang canggih? Padahal, jika dibandingkan dengan Kiai Khadis atau Ustadz Muhsin saja, sebelumnya harus mondok dulu belasan tahun (OMDS: 160).
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang melekat
dalam suatu kelompok masyarakat tidak ada yang salah. Namun sebagai
masyarakat yang hidup di dalamnya seseorang harus dapat menyaring, harus
berpikir rasional, tidak boleh asal percaya saja dengan sesuatu yang belum
terbukti kebenarannya dan tidak dapat diterima akal sehat.
B. Pembahasan Hasil Temuan Penelitian
1. Struktur Novel LP dan OMDS
Berdasarkan hasil penelitian terhadap novel LP dan OMDS, di bawah ini
peneliti sajikan pembahasan terhadap temuan-temuan yang telah peneliti paparkan
sebelumnya.
a. Tema
Menurut Zainuddin Fananie (2000: 84) tema adalah ide, gagasan,
pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Burhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
Nurgiyantoro (2005: 68) juga memiliki pendapat yang hampir sama tentang tema,
yaitu tema sama-sama merupakan dasar bagi pengembangan sebuah cerita.
1) Novel LP
Mengacu pada pendapat di atas, maka berdasarkan hasil penelitian yang
telah peneliti laksanakan, tema utama novel LP adalah pendidikan. Tanda-tanda
yang menunjukkan hal itu sangat banyak, baik secara eksplisit maupun implisit.
Tanda-tanda eksplisit dapat ditemukan pada paparan yang ada hampir di semua
bab. Paparan yang menunjukkan setting tempat terjadinya cerita yaitu di Sekolah
Muhammadiyah, yakni tempat anggota Laskar Pelangi yang terdiri dari Ikal,
Lintang, Mahar, Syahdan, A Kiong, Trapani, Sahara, Harun, Kucai, Borek
menimba ilmu selama 9 tahun. Di sekolah Muhammadiyah ini anggota Laskar
Pelangi dididik oleh Bu Mus dan Pak Harfan.
Selain tema pokok mengenai pendidikan, novel ini juga memiliki subtema
yakni persahabatan, percintaan, fenomena sosial yakni masalah kemiskinan.
Novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Belitong pada waktu itu yang pada
umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Karena semua aset pulau Belitong
yakni tambang timah telah dikuasai secara eksklusif oleh PN Timah. Masyarakat
asli Belitong hanya menjadi karyawan rendahan dan buruh kasar saja, di mana
gajinya pun terkadang untuk makan saja kurang. Tak ayal masyarakat Belitong
diibaratkan sebagai tikus yang mati di lumbung padi sendiri.
Seperti halnya dengan masyarakat Melayu Belitong, anggota Laskar
Pelangi pun juga hidup di bawah garis kemiskinan, karena orang tua mereka rata-
rata hanya bekerja sebagai kuli di PN Timah. Yang paling parah dari kesepuluh
anggota Laskar Pelangi adalah Lintang. Ia adalah anak dari nelayan miskin yang
tinggal di pesisir di daerah terpencil Tanjong Kelumpang. Bagi Lintang,
pendidikan ibarat bintang di puncak langit, dia harus menyerah kepada nasib
karena tragedi keluarga menimpa dirinya. Saat jiwanya bergelora untuk meraih
pendidikan, saat ia telah menggantungkan cita-citanya di langit untuk menjadi
matematikawan, ayahnya meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan
yang harus dihidupi sebanyak empat belas orang. Sebagai anak tertua, ia harus
bertanggung jawab terhadap semua itu. Akhirnya ia putus sekolah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
menggantikan ayahnya untuk mencari nafkah menghidupi keempat belas anggota
keluarganya.
Adapun subtema yang lain yaitu masalah percintaan. Diceritakan bahwa
tokoh Ikal jatuh cinta ketika ia duduk di bangku SMP. Cinta itu berawal dari
kegiatan membeli kapur di toko Sinar Harapan yang secara tak sengaja
mempertemukannya dengan seorang wanita yang digambarkan berkuku cantik. Ia
lah A Ling atau Michele Yeoh cinta pertama Ikal. Cinta pertama yang indah,
mengesankan dan akan terus ia ingat hingga kelak ia dewasa.
Kisah cinta Ikal dan A Ling pun berlanjut. Setiap senin ia rela mengayuh
sepeda ke Toko Sinar harapan hanya untuk melihat pujaan hatinya. Tak dinyana
ternyata A Ling adalah saudara A Kiong. Ia pun kemudian menitip surat dan
mengirimkan puisi untuk A Ling. Kisah cinta Ikal dan A Ling memberi warna
yang berbeda dalam kisah ini.
Subtema lainnya adalah persahabatan. Diceritakan dalam novel ini sebuah
jalinan persahabatan di antara sepuluh orang anak yang dijuluki Laskar Pelangi,
karena kebiasaan mereka melihat pelangi secara bersama-sama. Kesepuluh anak
tersebut yaitu Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Harun, A Kiong, Kucai, Trapani,
Samson, dan Syahdan. Kesepuluh anak ini bersahabat sejak pertama masuk SD.
Sebuah persahabatan yang indah. Semua individu punya karakteristik tertentu.
Lintang Si jenius, Samson Si Pria perkasa, Trapani Si pria flamboyan, Kucai yang
oportunis dan bermulut besar, Sahara yang temperamental, Harun Si Pria santun
dan murah senyum, Mahar sang seniman, A Kiong yang sangat naïf, Syahdan
yang tak punya sense of fashion, serta Ikal yang memang berambut ikal. Sebuah
persahabatan yang indah dan tak terpisahkan.
Sehingga dari hasil penelitian yang peneliti lakukan dapat disimpulkan
bahwa tema pokok dalam novel LP adalah masalah pendidikan, yang diramu
dengan subtema persahabatan, cinta, dan fenomena sosial yakni masalah
kemiskinan. Adanya beberapa subtema merupakan sarana untuk menyangkutkan
atau mengikat tema. Sehingga persoalan-persoalan tersebut saling berkait, saling
mendukung dan menopang sehingga tercipta jalinan cerita yang kompleks.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
2) Novel OMDS
Sama halnya dalam novel LP, secara garis besar tema novel OMDS juga
bertemakan pendidikan. Novel ini menceritakan perjuangan Anak Alam dalam
memperjuangkan pendidikan. Hampir di semua bagian dalam kisah ini
menceritakan masalah pendidikan. Mengenai pendaftaran siswa baru, semangat
menuntut ilmu, arti penting pendidikan, dan sebagainya. Selain itu novel ini juga
banyak mengambil latar di kelas 1-2 khususnya dan SD Kartini pada umumnya, di
mana notabene sekolah merupakan tempat memperoleh pendidikan.
Sedangkan tema minor atau subtema dalam novel ini adalah kemiskinan.
Namun demikian, ketika masalah kemiskinan ini dikaitkan dengan fenomena
sosial yakni status sosial ekonomi Anak Alam, persoalan menjadi amat pelik.
Sebab bagi Anak Alam, pendidikan bukanlah hak asasi yang menjadi hak setiap
warga Negara. Bagi mereka pendidikan adalah impian dan angan-angan yang
harus diperebutkan. Agar terus bisa mengenyam pendidikan, mereka harus
bermimpi lebih dulu, mengubah angan-angan menjadi konsep yang kuat dalam
diri pribadi agar semangat untuk meraih pendidikan tetap membara. Jika mereka
tak berani bermimpi, tak mau berangan-angan, tak mau bercita-cita, maka
kesempatan itu niscaya tertutup rapat karena keputusasaan menghancurkan
semangat mereka.
Adapun tema minor lainnya adalah percintaan. Diceritakan bahwa tokoh
Pambudi mempunyai cinta pertama dengan tokoh Kania. Cinta itu berawal ketika
Kania membela Pambudi yang sedang dicela oleh teman-teman sekelasnya. Di
mana sejak kejadian itu tumbuhlah perasaan cinta itu.
Perasaan cinta di antara Pambudi dan Kania, dimaknai Kania sebagai
penyemangat Pambudi untuk semakin meningkatkan prestasinya dalam belajar.
Hal ini membuktikan bahwa subtema percintaan tidak terlepas dari tema pokok
yaitu mengenai pendidikan
Selain percintaan dan masalah kemiskinan, novel ini juga bertemakan
persahabatan, yakni persahabatan Faisal dengan ketika anak alam (Pambudi,
Yudi, dan Pepeng). Meskipun mempunyai status sosial ekonomi yang berbeda,
mereka tetap bersahabat dengan baik. Mereka rela berkorban satu sama lain dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
setia kawan. Faisal yang berasal dari keluarga mampu, selalu memikirkan nasib
teman-temannya dan mengusahakan pendidikan untuk teman-temannya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema mayor atau
tema pokok dalam novel ini adalah pendidikan. Sedangkan tema minornya yaitu
kemiskinan, percintaan, dan persahabatan.
b. Sudut Pandang
1) Novel LP
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, novel LP
menggunakan sudut pandang persona pertama. Dalam novel ini, pengarang yaitu
Andrea Hirata merupakan pengisah seluruh kejadian yang terdapat dalam novel
LP. Di dalam novel ini ia mempunyai nama tokoh “Ikal”. Namun pada bagian
akhir cerita, tokoh “aku” digantikan oleh tokoh Syahdan.
Penggunaan sudut pandang tertentu dalam sebuah karya fiksi memang
merupakan masalah pilihan. Sebagaimana pemakaian sudut pandang dua “aku”
(Ikal dan Syahdan) dalam novel LP merupakan suatu penyimpangan dan
pembaharuan dari sudut pandang yang sudah ada. Sebagaimana yang
diungkapkan Burhan Nurgiyantoro bahwa pengarang dapat saja melakukan
penyimpangan (mungkin berarti pembaharuan) terhadap penggunaan sudut
pandang dari yang telah biasa dipergunakan orang. Dengan cara ini ia ingin
menarik perhatian pembaca sehingga segala sesuatu yang diceritakan dapat lebih
memberikan kesan (2005: 253).
2) Novel OMDS
Sudut pandang yang digunakan pada novel OMDS adalah sudut pandang
campuran antara persona pertama dan persona ketiga “Aku” Mahatahu. Dengan
sudut pandang persona pertama, novel ini memunculkan beberapa segi positif.
Pertama, dengan teknik ini pengarang bisa lebih mudah dan lebih bebas
mengeksploitasi kemampuan dan karakter tokoh utamanya, karena ia tidak perlu
mencari-cari sosok tokoh imajiner yang mampu membawa misi cerita. Tokoh aku
dalam novel ini diwakili oleh tokoh Faisal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
Selain menggunakan sudut pandang teknik akuan, pengarang
menambahkan lagi dengan teknik persona ketiga “Dia” Mahatahu. Dengan sudut
pandang ini si pencerita dapat berkomentar dan memberikan penilaian
subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya itu. Penggunaan kedua sudut
pandang tersebut terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih
banyak kepada pembaca.
Misalnya pada saat peristiwa Mat Karmin menyodomi anak-anak di
kampung Genteng. Panji merupakan salah satu dari anak-anak tersebut. Dalam
menceritakan sosok Panji, pengarang mempunyai keterbatasan karena ia tidak
melihat atau mendengar kejadian itu secara langsung. Maka dengan teknik “dia”
mahatahu ini pengarang menjadi serbatahu tentang sosok Panji. Pengarang bisa
menembusi pikiran Panji dan lebih dari sepuluh orang yang menjadi korban Mat
Karmin. Yaitu menggambarkan bagaimana perasaan Panji setelah disodomi Mat
Karmin, dengan membayangkan seisi langit runtuh menimpanya. Pengarang
menceritakan betapa sakit dan hancur perasaan Panji, masa depan yang suram,
dan kepedihan tiada akhir serta rasa malu yang akan dipikulnya hingga kelak ia
dewasa. Dengan demikian pembaca memperoleh cerita secara detil.
Jadi, dapat ditegaskan bahwa pengarang menggunakan sudut pandang
campuran, dengan mengkombinasikan sudut pandang persona pertama dengan
teknik persona ketiga “Dia” Mahatahu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Herman
J Waluyo (2002: 184 – 185) bahwa ketiga jenis metode sudut pandang (akuan,
diaan, dan pengarang serba tahu) dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam
suatu cerita rekaan dengan tujuan untuk membuat variasi cerita agar tidak
membosankan.
c. Penokohan
1) Novel LP
Dari hasil penelitian terhadap penokohan yang ada dalam novel LP,
Tokoh-tokoh utama dalam novel LP yaitu sebelas anggota Laskar Pelangi yakni
Ikal, Lintang, Mahar, Trapani, Syahdan, Sahara, Borek, Kucai, A Kiong, Harun,
dan Flo, Pak Harfan, Bu Mus, dan A Ling. Sedangkan tokoh tambahan yaitu Drs
Zulfikar, ayah Ikal, ayah Lintang, ibu Ikal serta beberapa tokoh lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
a) Ikal
Tokoh Ikal merupakan pencerita dalam kisah ini. Secara fisik ia
digambarkan berperawakan kecil, berbadan kurus, dan berambut ikal. Ikal
memiliki kegemaran dan keahlian dalam bidang olahraga bulutangkis. Ia selalu
memenangkan kejuaraan bulutangkis di kampungnya. Selain itu ia juga menaruh
minat yang besar pada dunia tulis menulis. Hingga pada suatu saat kegemarannya
ini ia satukan yakni menjadi penulis buku olahraga khususnya olahraga
bulutangkis. Ikal merupakan anak dari seorang ayah yang bekerja sebagai pegawai
rendahan di PN Timah.
Secara psikologis, tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad
kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Salah satu tekadnya
adalah ia ingin belajar setinggi-tingginya untuk menjadi orang pintar. Ia tidak
terima dengan perlakuan orang kaya terhadap orang miskin. Oleh karena itu ia
ingin menjadi seorang yang pintar dan sukses di kemudian hari. Ia juga trauma
dengan kemiskinan. Ia ingin menebus cita-cita Lintang yang gagal untuk
mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Ia
bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan apa
saja agar cita-citanya ini dapat tercapai.
Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai sosok yang perhatian. Peduli
dan memikirkan keadaan temannya. Di dalam cerita ini ia digambarkan sangat
peduli dengan Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan
anak tidak mampu, namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak
yang super jenius. Ia juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah
karena ayahnya meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk
mencari nafkah menghidupi keluarga. Sikap kepeduliannya ini tidak hanya
diberikan kepada Lintang saja. Ia juga peduli dengan Mahar sang seniman. Mahar
selalu dianggap remeh oleh teman-temannya karena ia suka mengkhayal. Tapi
Ikal tidak menganggapnya remeh, ia menghargai jiwa seniman Mahar.
b) Lintang
Lintang adalah teman sebangku Ikal yang luar biasa jenius. Ayahnya
bekerja sebagai nelayan miskin. Sebagai seorang nelayan miskin ia tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
mempunyai perahu dan harus menanggung kehidupan 14 jiwa anggota keluarga.
Keluarga Lintang tinggal di Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut.
Mereka hidup serba kekurangan. Lintang lah satu-satunya harapan keluarga untuk
bisa keluar dari jerat kemiskinan ini. Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang
anak yang berambut keriting merah, tubuhnya kurus serta perawakannya kecil dan
berbau hangus seperti karet terbakar. Ia merupakan anak kecil yang sangat aktif,
lincah dan gesit.
Lintang telah menunjukkan minat besar untuk bersekolah semenjak hari
pertama masuk sekolah. Ia selalu aktif di kelas dan mempunyai cita-cita menjadi
seorang matematikawan. Ia haus dengan ilmu pengetahuan yang begitu luas. Ia
merupakan anak yang super jenius. Kejeniusannya hampir di semua bidang, baik
matematika, linguistik, astronomi, dan lain-lain. Ia adalah seorang jenius asli
didikan alam. Dan dengan kepolosannya ia mengembangkan ilmu menurut
kemampuannya, sehingga menjadikannya seorang yang berkualitas di segala
bidang.
Secara psikologis sosok Lintang merupakan pribadi yang rendah hati.
Meskipun ia pintar luar biasa tidak lantas ia menyombongkannya. Ia selalu rendah
hati, karena menurutnya ilmu terlalu luas untuk disombongkan. Lintang dengan
senang hati membagi ilmunya kepada teman-teman. Ia suka menolong teman-
teman yang kesusahan belajar dan memahami materi pelajaran di sekolah. Ia
merupakan teladan yang baik bagi teman-temannya. Ia juga lah yang
mengantarkan perguruan Muhammadiyah ke gerbang kemenangan pada saat
lomba kecerdasan tingkat kabupaten.
Akan tetapi segala kejeniusannya ini tidak didukung oleh keadaan.
Ayahnya yang sudah tua meninggal dunia dan mengharuskannya meninggalkan
bangku sekolah dan menggantikan posisi ayah mencari nafkah untuk menghidupi
keluarganya. Pada saat dewasa Lintang menjadi sopir truk di sebuah tambang
pasir gelas di Belitong.
c) Mahar
Secara fisik Mahar digambarkan sebagai seorang pemuda yang tampan,
bertubuh kurus dan berpenampilan menarik. Ia bekerja sebagai tukang parut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
kelapa, sehingga digambarkan mempunyai jari-jari kurus yang berminyak seperti
lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas luka kecil sehingga seluruh
kukunya hampir cacat karena kena parut.
Pria tampan bertubuh kurus ini memiliki bakat dan minat besar pada seni.
Bakat itu pertama kali ditemukan ketika pelajaran seni suara. Ia selalu mendapat
nilai tertinggi untuk pelajaran kesenian. Kejeniusannya dalam bidang seni hampir
menyamai kejeniusan Lintang di dalam ilmu eksakta. Keduanya sama-sama jenius
luar biasa. Ia sangat kreatif dan inovatif. Ide-ide yang berasal darinya selalu
menimbulkan inspirasi, hal-hal aneh, lucu, janggal dan bahkan sesuatu yang ganjil
serta menggoda keyakinan.
Sosok Mahar juga digambarkan sebagai pribadi yang menyukai klenik. Ia
mempunyai pikiran yang sangat imajinatif dan terkadang tak logis. Ia menyukai
cerita-cerita legenda, dukun, takhayul, semua yang berada di kawasan ghaib. Ia
terkenal suka membual. Jadi ketika ia mengatakan suatu kebenaran seringkali
tidak dipercaya temannya.
Selain mempunyai karakter seperti tersebut di atas, Mahar juga merupakan
seorang anak yang pintar dan apabila mempunyai suatu keyakinan atau pendirian
ia akan memegangnya dengan teguh. Sebagai seorang seniman ia mempunyai
idealisme yang tinggi. Ia tidak tergiur ketika diiming-imingi uang oleh sebuah
parpol di kala itu. Ia menolak dengan tegas tawaran tersebut dan mengatakan
dengan tegas bahwa seni bukan untuk politik.
Ketika dewasa ia sempat menganggur menunggu nasib menyapanya
karena tak bisa kemanapun lantaran ibunya yang sakit-sakitan. Akan tetapi
kemudian nasib baik menyapanya dan ia diajak petinggi untuk membuat
dokumentasi permainan anak tradisional setelah membaca artikel yang ia tulis di
majalah. Pada akhirnya ia menjadi seorang budayawan Melayu dan berhasil
meluncurkan sebuah buku tentang persahabatan.
d) Sahara
Sahara merupakan satu-satunya wanita di dalam kelompok Laskar Pelangi.
Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang gadis yang cantik dengan tubuh
ramping dan berjilbab. Karakternya yang paling menonjol adalah sifat keras
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
kepalanya alias kepala batu. Ia mempunyai pendirian yang kuat. Ia tidak mudah
tergoyahkan dengan iming-iming apa pun.
Ia adalah gadis yang ramah, pandai dan baik pada siapa saja kecuali pada
A Kiong yang semenjak mereka masuk sekolah pertama kali sudah ia basahi
dengan air dari tempat minumnya. Dan ini menandai perseteruan di kemudian
hari. Sebaliknya ia sangat lemah lembut jika berhadapan dengan Harun.
Sahara digambarkan sebagai seorang pribadi yang temperamental, sangat
skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibuat berkesan. Ia memiliki kejujuran
yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Dalam kesehariannya ia
pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api
yang berkobar-kobar tak satu pun dusta keluar dari mulutnya.
Perseteruannya dengan A Kiong di masa kecil ternyata membawa perasaan
cinta di kala dewasa. Keduanya ternyata saling mencintai dan akhirnya
memutuskan untuk menikah. Mereka dikaruniai 5 orang putra. Mereka
mendirikan sebuah toko yang diberi nama toko Sinar Perkasa. Di toko inilah
Borek bekerja menjadi kuli panggul pengangkut barang.
e) Trapani
Secara fisik Trapani digambarkan sebagai seorang anak yang memiliki
tubuh tinggi kurus, berbahu bidang, berkulit putih bersih dan berwajah tampan.
Selain itu Trapani digambarkan pula sebagai seorang lelaki yang selalu
berpenampilan rapi karena baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan sepatunya
selalu bersih, rapi, serasi warnanya dan licin. Rambutnya lurus pendek dan selalu
disisir ke belakang. Karena ketampanannya ia diidolakan banyak wanita.
Trapani adalah seorang pribadi yang pendiam. Jika angkat bicara, ia akan
menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Di balik sifat pendiamnya, ia
adalah anak yang pandai. Di kelasnya ia selalu menduduki peringkat ketiga. Ia
bercita-cita menjadi seorang guru.
Pria tampan yang pandai dan baik hati ini sangat mencintai ibunya. Apa
pun yang ia lakukan harus didampingi ibunya. Ia tidak bisa terlepas dari ibunya.
Ketika bersekolah pun ibunya menungguinya di sekolah. Ibu adalah pusat
gravitasi hidupnya. Ia mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
ibunya. Ketergantungan yang sangat kronis ini mengakibatkan ia dan ibunya harus
masuk rumah sakit jiwa karena ternyata setelah diteliti ia mengidap sejenis
penyakit jiwa yang disebut mother complex yakni suatu ketergantungan kepada
ibu yang sangat akut.
f) A Kiong
A Kiong adalah anak Hokian keturunan Tionghoa. Secara fisik A Kiong
digambarkan berwajah buruk. Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya
serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tak
punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti
phyrite dan markacite dari air minum. Ia diibaratkan baru keluar dari bengkel
ketok magic.
Watak A Kiong digambarkan tidak jauh dari keadaan fisiknya. Ia sangat
naif dan tak peduli pada sekitarnya. Namun di balik wajahnya yang buruk,
tersimpan kebaikan hati yang luar biasa, ramah dan suka menolong. Ia lah yang
menjadi perantara antara Ikal dan A Ling. Ia dengan senang hati membantu Ikal
untuk bisa berkenalan dengan A Ling.
A Kiong merupakan pengikut sejati Mahar sejak kelas satu. Ia terkagum-
kagum pada Mahar. Baginya Mahar adalah suhunya yang agung. Kebalikannya ia
suka bermusuhan dengan Sahara. Mereka tidak pernah akur dan selalu bertengkar
sekalipun itu masalah sepele.
A Kiong beragama konghucu hingga kemudian ia menjadi seorang
agnostic yakni percaya pada Tuhan tapi tak memeluk agama apapun. Walaupun
selalu bertengkar dengan Sahara, ternyata ia menyimpan rasa cinta padanya, akan
tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkannya. Ia kemudian
masuk Islam dan memberanikan diri melamar Sahara. Dan ternyata diam-diam
Sahara juga mencintainya. Akhirnya mereka berdua menikah dan mempunyai
sebuah toko yang diberi nama Sinar Perkasa di mana Borek bekerja.
g) Kucai
Secara fisik Kucai digambarkan sebagai pria berwajah manis. Ia
mempunyai kecacatan fisik pada matanya. Kekurangan gizi ketika kecil
menyebabkan dirinya menderita myopia alias rabun jauh. Selain rabun jauh,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
pandangan matanya juga tidak jauh, melenceng sekitar 20 derajat. Sehingga kalau
ia memandang ke depan, ia terlihat memandang ke kanan 20 derajat.
Walaupun mempunyai kecacatan fisik, ia mempunyai banyak kelebihan. Ia
adalah seorang yang selalu optimis dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi.
Ia adalah seorang pribadi yang populis, mempunyai network yang luas, pintar
bermain kata-kata, oportunis, bermulut besar, banyak teori dan sok tahu. Sangat
mewakili kualifikasi seorang politikus. Maka sejak kecil ia bercita-cita menjadi
seorang politikus. Dan benar saja ketika dewasa ia menjadi ketua fraksi anggota
dewan di DPRD Belitong.
h) Borek (Samson)
Secara fisik Borek memiliki tubuh yang tinggi besar dan kurapan. Karena
berbadan besar maka oleh teman-temannya ia dijuluki Samson. Ia sangat tergila-
gila dengan citra pria macho. Ia sangat tertarik dengan body building. Ia akan
melakukan apa saja demi mendapat bentuk tubuh yang diinginkannya itu.
Sifat Borek yang tidak disukai oleh teman-temannya adalah susah diatur
dan keras kepala. Ia mempunyai pendirian yang kuat. Sejak kecil ia sudah
menemukan jati dirinya. Maka ketika sudah dewasa ia memilih pekerjaan sesuai
jati dirinya, yakni menjadi seorang kuli panggul di toko Sinar Perkasa milik
pasangan A Kiong dan Sahara.
i) Syahdan
Secara fisik Syahdan digambarkan bertubuh kecil, mempunyai kulit
berwarna gelap, berambut keriting dan deretan giginya hitam keropos dan
runcing-runcing seperti dimakan kutu.
Anak nelayan yang ceria ini tak pernah menonjol. Kalau ada apa-apa dia
pasti yang paling tidak diperhatikan. Prestasinya rata-rata air. Ia mempunyai
kepedulian yang tinggi terhadap teman-temannya. Ia santun dan merupakan
seorang pribadi yang lemah lembut. Tetapi memang sepertinya Syahdan
dilahirkan untuk menjadi seorang pecundang karena bagaimana pun keadaannya
dia hanya diperintah dan menjadi orang paling tidak penting.
Ia memiliki cita-cita menjadi seorang aktor. Teman-teman sering
mengolok-oloknya karena cita-cita Syahdan ini dianggap tidak realistis. Namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
dengan kerja kerasnya pada akhirnya ia bisa menjadi seorang aktor sungguhan
walaupun hanya mendapatkan peran kecil seperti menjadi tuyul atau jin.
Pada waktu masih sekolah ia merupakan anggota Laskar Pelangi yang
paling gagap teknologi. Sekadar membetulkan rantai sepeda pun tak bisa. Namun
setelah dewasa ia mengikuti kursus komputer dan ternyata ia sangat berbakat
dalam bidang ini dan dengan cepat ia menyerap pelajaran hingga nantinya ia
menjadi seorang network designer.
j) Harun
Secara fisik harun digambarkan sebagai pria dengan tubuh tinggi kurus
dan memiliki cacat di kaki yakni mengidap polio sehingga kakinya berbentuk X.
Hal ini berakibat pada saat berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat.
Selain memiliki kecacatan fisik, ia juga mempunyai kecacatan mental. Ia
merupakan anak yang mengidap keterbelakangan mental. Usianya sudah dewasa
tapi sifatnya masih seperti balita. Anak kecil yang terperangkap dalam tubuh
orang dewasa.
Harun digambarkan sebagai lelaki santun, pendiam dan murah senyum.
Dalam berpakaian ia selalu rapi dengan rambut yang disisir model Chairil Anwar.
Salah satu hobinya yaitu menyunyah permen asam jawa. Karena keterbelakangan
mental inilah ia tidak bisa menangkap pelajaran membaca dan menulis.
Harun sangat dekat dengan Sahara. Sahara dengan sabar menghadapi
Harun. Ia selalu menceritakan kepada Sahara hal yang sama yakni cerita tentang
kucingnya yang berbelang tiga dan melahirkan tiga anak yang masing-masing
berbelang tiga pada tanggal tiga. Ia senang sekali menanyakan kepada Bu Mus
kapan libur lebaran. Ia menyetor tiga buah botol kecap ketika disuruh
mengumpulkan karya seni di kelas enam.
k) Flo
Secara fisik Flo digambarkan sebagai seorang anak perempuan cantik yang
berpostur tinggi dan kurus. Kulit tubuhnya sangat bersih dan halus. Ia mempunyai
bahu yang kurus dan mempunyai bola mata yang gelap coklat. Rambutnya
dipotong pendek menyerupai laki-laki.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
Flo bernama asli Floriana, seorang anak tomboy yang berasal dari keluarga
kaya raya yang tinggal di Gedong. Dia merupakan pindahan dari sekolah PN. Ia
mempunyai karakter seperti laki-laki dan memang ia tak suka menerima dirinya
sebagai seorang perempuan. Oleh karena itu, dalam berpakaian ia selalu ingin
seperti laki-laki yakni bercelana jeans, kaos oblong, dan tidak memakai anting-
anting. Flo belajar mengubah ekspresi wajahnya agar menyerupai laki-laki. Sifat
tomboynya ini mungkin muncul karena seluruh kakaknya adalah laki-laki. Ia
mempunyai ketertarikan dengan dunia tinju-meninju.
Keinginannya untuk menjadi laki-laki membuatnya mempunyai karakter
yang tegas, pasti, tahu apa yang diinginkan, dan tak pernah ragu-ragu. Ia juga
merupakan pribadi yang menyenangkan, rendah hati, suka menolong, dan rela
berkorban. Ia juga mempunyai kemampuan beradaptasi yang luar biasa dengan
teman-temannya di perguruan Muhammadiyah.
Hampir sama dengan Mahar, ia juga mempunyai ketertarikan yang lebih
terhadap bidang klenik. Hingga kemudian ia menjadi partner Mahar dalam hal
yang berbau klenik. Ia mempunyai keberanian dan keinginan untuk
menakhlukkan dan mencari kebenaran terhadap sesuatu yang berbau ghaib.
l) A Ling
A Ling merupakan seorang gadis keturunan tionghoa. Ia merupakan anak
dari pemilik toko Sinar Harapan A Miauw, tempat sekolah Muhammadiyah
membeli kapur. A Ling merupakan sepupu A Kiong. Ia merupakan cinta pertama
Ikal.
Secara fisik ia digambarkan berparas cantik, bermata sipit, berkulit putih,
berkuku cantik, berbadan ramping dan tinggi. Karena kecantikannya inilah, Ikal
menjulukinya Michelle Yeoh, yakni seorang artis cantik asal Malaysia. Ia jatuh
cinta pada A Ling berawal dari pertemuannya di toko Sinar Harapan. Pertemuan
dengan kuku-kuku yang cantik.
Secara psikologis, A Ling merupakan seorang wanita yang misterius, tertutup,
memiliki pendirian yang kuat, dan penuh percaya diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
m) Ibu Muslimah
Bernama lengkap N. A. Muslimah Hafsari Hamid binti K. A. Abdul
Hamid. Dia adalah Ibunda Guru bagi Laskar Pelangi. Wanita lembut ini adalah
pengajar pertama anggota Laskar Pelangi. Dalam novel ini sosok Bu Muslimah
digambarkan sebagai seorang guru yang pandai, dalam pribadinya penuh karisma
dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Secara fisik tokoh Bu Mus digambarkan sebagai sosok gadis muda yang
memiliki wajah cantik dengan postur tubuh tinggi jangkung. Selain itu Bu Mus
juga termasuk wanita yang berpenampilan sederhana, dan dalam keseharian tutur
katanya religius.
Bu Muslimah adalah sosok guru yang dihormati oleh murid-muridnya dan
secara kepribadian beliau adalah sosok yang lembut dan sabar dalam menghadapi
anak didiknya. Selain itu, Bu Mus juga sosok yang sangat demokratis dan tidak
membeda-bedakan hak dari setiap siswa.
n) Pak Harfan
Nama lengkap K. A. Harfan Efendy Noor bin K. A. Fadillah Zein Noor.
Kepala sekolah dari sekolah Muhammadiyah. Ia adalah sosok orang yang sangat
baik hati dan penyabar, meski awalnya murid takut melihatnya. Secara fisik Pak
Harfan digambarkan memiliki wajah yang menakutkan karena kumisnya yang
panjang dan jenggotnya lebat serta buruk rupanya. Namun semua itu tertutupi
oleh pemikirannya yang jernih dan kata-katanya yang indah, sehingga setiap kali
bercerita siswa selalu terpana dan menunggu setiap kata yang diucapkan beliau.
Kepribadian Pak Harfan adalah sosok yang lembut dan baik. Sebagai orang yang
sudah kenyang akan pengalaman hidup Pak Harfan sangat pandai merangkai kata
dan setiap gerak lakunya juga memikat.
Secara penampilan Pak Harfan adalah tokoh yang sederhana. Tidak
mementingkan kemewahan dan tampil apa adanya. Hal itu dapat dilihat dari
pakaian dan beberapa aksesoris busana yang dikenakannya.
2) Novel OMDS
Dari hasil penelitian terhadap penokohan yang ada dalam novel OMDS,
Tokoh-tokoh utama dalam novel OMDS yaitu Faisal, ketiga Anak Alam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
(Pambudi, Yudi, Pepeng), Kania, Bu Mutia, Rena, Pak Cokro, Mat Karmin, Yok
Bek, dan Karisma. Sedangkan tokoh tambahan dalam novel ini adalah Pak Yadi,
Ki Hajar Ladunni, Ayah Pambudi (Samijan), ayah Yudi (Giatno), ayah Pepeng
(Sukisno), Ibu Yudi, Pak Zainal, Candil, A Kiong, Sinyo Dandy, Ustadz Muhsin,
Kiai Khadis, Bang Anan, Denok, Warti, Guruh, Fajar, Anton, serta beberapa
tokoh lain.
a) Faisal
Tokoh Faisal merupakan pencerita kisah novel ini. Tokoh Faisal yang
bernama lengkap Faisal Ridowi merupakan sosok yang digambarkan memiliki
pandangan hidup yang progresif dan berkemauan keras. Ketika ia memiliki
sebuah keinginan, maka ia akan berusaha dengan keras untuk mewujudkan
keinginannya itu. Selain itu dia juga berjiwa pemberani. Terbukti ketika Gedong
sapi diamuk warga, ia berusaha menengahi. Ia tidak takut sedikitpun, karena ia
membela kebenaran. Ia membela mati-matian nasib ketiga Anak Alam.
Secara sosiologis, sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli
dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak
Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia
juga berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam
mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani
kehidupan ini. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya yang
masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung memberikan
pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta huruf. Ia ingin
menjadikan Kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi Kampung
Genteng yang melek huruf.
Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap
orang miskin. Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan
pekerjanya semena-mena. Ia juga memberikan label untuk orang kaya, yaitu orang
kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati
Selain sifat-sifat positif Faisal di atas, ia juga mempunyai sifat negatif,
yakni mencuri. Hal ini dapat dijumpai pada bagian awal cerita ketika ia mencuri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
sebuah buku yang berjudul Keterampilan Sederhana untuk Anak Usia SD dari
seorang pemulung, juga mencuri buku di perpustakaan daerah.
b) Pambudi
Pambudi merupakan salah satu anggota Anak Alam. Secara fisik
digambarkan bergigi kelinci dan berambut jagung. Secara psikologis, Pambudi
digambarkan sebagai seorang pribadi yang dewasa, polos, apa adanya, keras
kepala dan bertekad kuat. Sikap keras kepalanya ditunjukkan ketika ia
menyatakan cintanya kepada Kania. Ia secara blak-blakan mengutarakan isi
hatinya, dan bersikeras agar Kania mau menerima cintanya. Pada awalnya Kania
tidak menanggapinya, tapi Pambudi tidak patah arang, ia tetap mendekati Kania,
hingga akhirnya Kania mau menerima cintanya. Ini membuktikan bahwa Pambudi
mempunyai sifat pantang menyerah dan keras kepala.
Tekad pambudi yang kuat ditampilkan ketika ia akan menempuh ujian
semester. Ia ingin belajar, tapi catatannya kurang lengkap. Ia ingin meminjam
Kania, tapi ia sadar selama ini sudah menyusahkan Kania. Ia kemudian berusaha
meminjam Rena. Bukannya dipinjami catatan, ia malah dicaci maki seenaknya
oleh Rena. Mendapat cacian seperti itu ia tidak marah ataupun patah arang. Ia
kemudian berpikir untuk meminjam catatan pada Bu Mutia. Oleh Bu Mutia ia
disambut baik dan dengan senang hati Bu Mutia meminjaminya catatan. Ia sangat
senang, karena sebentar lagi ia bisa belajar. Ia ingin membuktikan walaupun
mereka miskin, mereka tetap bias berprestasi.
Secara sosiologis, tokoh Pambudi merupakan seorang yang dewasa dan
mempunyai jiwa pemimpin. Ia menjadi pemimpin bagi teman-temannya (Anak
Alam). Walaupun tidak ada pengangkatan pemimimpin secara langsung, Yudi dan
Pepeng sudah otomatis menjadikan Pambudi sebagai pemimpin mereka. Selain
berjiwa pemimpin, ia juga rela berkorban untuk temannya. Ia tidak setengah-
setengah jika menolong temannya. Karena sifatnya ini tak heran ia disukai teman-
temannya.
c) Yudi
Tokoh Yudi mempunyai nama lengkap Wahyudi. Secara fisik, Yudi
digambarkan sebagai seorang anak laki-laki yang berwajah lucu bertahi lalat,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
berambut ikal dan mempunyai kecacatan tubuh, yakni kulitnya albino, putih pucat
seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti kulit babi. Hal ini menjadi ciri
khasnya, yang membedakan ia dari teman-temannya.
Yudi merupakan seorang anak yang penurut. Ia sangat menghormati orang
tuanya. Ia selalu menuruti apa yang menjadi perintah orang tuanya. Seperti
misalnya ketika ia diminta ayahnya untuk berhenti sekolah. Ia pun menurut,
meskipun hatinya hancur karena harus memupus cita-cita yang sudah ia bangun
begitu rupa. Sifat penurutnya yang lain yaitu ditunjukkan pada saat menjelang
ujuan semester. Ibunya menyarankan untuk bisa sukses ujian ia harus meminum
segelas air yang sudah diangin-anginkan semalaman di atas genteng. Ia pun
menuruti perintah ibunya karena tidak ingin membuatnya kecewa. Meskipun ia
tahu bahwa yang wajib dimintai tolong adalah Allah S.W.T., bukan hal-hal
takhayul seperti itu.
Yudi juga merupakan seorang anak yang rajin belajar dan rajin membantu
orang tua. Ayah Yudi bekerja sebagai buruh di peternakan sapi sedangkan ibunya
bekerja membuat pisang goreng dan menjualnya keliling kampung. Sebagai anak
yang tahu diri, ia selalu membantu ibunya menggoreng dan menjual pisang
keliling kampung. Bahkan ia juga menjual pisang goreng itu ke sekolah untuk
dijual pada teman-temannya. Ia tidak malu sedikitpun. Semuanya ini ia lakukan
untuk meringankan beban orang tua.
d) Pepeng
Tokoh pepeng mempunyai nama lengkap Marpepeng. Secara fisik, Pepeng
digambarkan sebagai seorang anak yang ceking, berambut ikal, berhidung pesek,
bermata besar. Secara keseluruhan wajah Pepeng digambarkan aneh menyerupai
ikan mas koki. Semua orang yang melihat wajahnya pasti akan tertawa terpingkal-
pingkal
Pepeng merupakan pribadi yang lucu dan polos. Ia sering bertingkah
kocak untuk menghibur teman-temannya. Dengan kepolosannya, ia sering
membuat lelucon di kelas. Selain itu, Pepeng juga merupakan sosok yang pemalu.
Sifat pemalunya terlihat pada saat perkenalan memasuki sekolah baru. Ia malu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
untuk memperkenalkan diri. Ia malu dan tidak percaya diri dengan nama
Marpepeng yang disandangnya.
e) Kania
Kania merupakan sosok yang secara fisik cantik, tubuhnya mungil,
kulitnya bersih, rambutnya lurus dan suka dikepang dua. Kalau berpakaian selalu
rapi dan bersih. Semua yang ia pakai mengesankan enak dilihat. Ditambah lagi
dengan pembawaannya yang kalem dan santun.
Kania merupakan seorang anak yang pintar dan rajin. Bahkan tidak hanya
pintar, ia juga jenius, ia juara satu di sekolahnya. Selain cantik parasnya, ia juga
berhati “cantik”. Teman-teman menjulukinya si bintang jatuh. Ia selalu baik pada
teman-temannya. Meskipun ia pandai, ia tidak menyombongkan kepandaiannya
itu. Ia suka membantu teman yang kesusahan mengenai materi yang disampaikan
Bu Mutia.
Selain itu, Kania juga merupakan sosok yang mudah bergaul, bijak, selalu
membela kebenaran. Ia berani membela ketiga Anak Alam ketika diolok-olok
oleh teman-teman sekelasnya karena kemiskinan mereka. Ia dengan terang-
terangan membela kebenaran bahwa di kelas itu kedudukan semua siswa sama
yakni sebagai murid Bu Mutia. Tidak ada istilah kaya miskin. Semuanya sama.
Inilah sifat Kania yang selalu bijak dan berani melawan ketidakadilan.
f) Bu Mutia
Bu Mutia merupakan guru kelas 1-2 di SD Kartini. Ia mempunyai nama
lengkap Muzdalifah Hatta Sandyani. Secara fisik ia digambarkan berwajah cantik,
berbulu mata lentik, berkacamata minus, beralis tebal, dan rambutnya selalu
disanggul. Keseluruhannya mengesankan cantik dan penuh wibawa.
Secara psikologis, Bu Mutia digambarkan memiliki pribadi yang
sederhana, lemah lembut dan penyayang. Namun ia juga tegas ketika menghadapi
sesuatu hal yang memang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Sikap tegas Bu
Mutia ditunjukkan ketika peristiwa penerimaan rapor, yaitu pada saat ia
berhadapan dengan ayah Karisma yang tetap ngotot ingin anaknya naik kelas.
Padahal Bu Mutia sudah meyakinkan bahwa keputusannya untuk tidak menaikkan
Karisma ke kelas selanjutnya adalah semata-mata untuk kebaikan Karisma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
sendiri. Tetapi ayah Karisma malah marah-marah serta memaki maki Bu Mutia
dan tetap meminta untuk menaikkan anaknya. Bu Mutia yang selalu memikirkan
murid-muridnya serta taat pada peraturan yang berlaku tidak mau menuruti
perintah ayah Karisma. Karena jika ia tetap meloloskan permintaan ayah karisma
itu berarti ia menyalahi aturan. Ia tetap tegas dan patuh pada pendiriannya. Hingga
kemudian ayah karisma sadar bahwa ialah yang salah. Ialah yang harus
mengkoreksi diri, mencari sebab kenapa anaknya bisa tidak naik kelas.
Sosok Bu Mutia secara sosiologis merupakan pribadi yang ramah dan
menjadi guru yang bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Ia merupakan
seorang pemandu bakat yang baik dan seorang pendidik sejati. Banyak teladan
yang ia berikan untuk murid-muridnya. Semua itu karena jiwa pendidik yang
sudah mengakar kuat dalam dirinya. Ia tidak hanya membelajarkan siswa agar
bisa pandai, ia juga mendidik siswa, mengarahkan siswa, mengajarkan budi
pekerti dan lain-lain.
g) Mat Karmin
Mat Karmin secara fisik digambarkan sebagai seorang laki-laki yang
berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun dan bulunya sudah tumbuh yang
berarti menandakan ia sudah dewasa. Wajahnya tirus dengan tonjolan tulang pipi
dan geraham yang bergemeletukan .
Mat Karmin merupakan penjual mainan anak-anak di Kampung Genteng.
Ia digambarkan sebagai seorang yang licik. Hal ini terlihat ketika pertandingan
layang-layang. Ketika ada layang-layang putus, otomatis siapa saja boleh
memilikinya asalkan dapat menangkapnya. Tetapi tidak dengan Mat Karmin. Ia
tidak rela layang-layang itu jatuh ke tangan orang lain. Sehingga ia mengutus anak
SMP untuk merebut layang-layang tersebut, atau bahkan merampasnya sendiri.
Layang-layang itu kemudian diperbaiki dan dijualnya lagi.
Mat Karmin ditemukan warga ketika masih bayi. Kemudian diangkat anak
oleh salah seorang warga Kampung Genteng. Namun ketika bicaranya masih
cedal, orang tua angkatnya meninggal. Akhirnya ia hidup sebatang kara dan hanya
berteman dengan kesunyian. Tiga tahun pertamanya dihabiskan dengan
kesendirian. Ia menjadi manusia kamar, ia tumbuh menjadi pribadi yang introvert
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
yang tak mengenal dunia luar selain kamarnya. Ia hidup damai di dalam
kegelapan dan kesunyian. Lima tahun kemudian ia tumbuh menjadi remaja, tetapi
ia kesulitan berbicara karena tidak pernah bergaul dengan manusia satupun.
Hingga kemudian ia tertarik dengan dunia anak-anak saat melihat kegembiraan
mereka bermain hujan. Mat Karmin sangat tertarik dengan dunia anak-anak yang
penuh kegembiraan. Ia seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang
dewasa, masa kecil yang kurang bahagia.
Karena sering bergaul dengan anak kecil mengakibatkan ia tertarik dengan
anak kecil. Belakangan diketahui bahwa ia seorang pedophilia, yakni seorang
yang mengalami penyimpangan seksual pada seorang anak yang tak berdosa. Ia
menyodomi anak-anak yang bermain di rumahnya. Hingga pada suatu saat warga
mencium gelagat tidak baik darinya. Warga kemudian menangkapnya dan
menyerahkan ke polisi. Rumahnya dibakar warga kampung Genteng. Abu dan
sisa-sisa rumahnya di larung di sungai Banjir Kanal.
h) Karisma
Karisma merupakan teman sekelas anak alam yakni kelas 1-2. Ia adalah
anak orang kaya. Ayahnya adalah seorang juragan sablon yang beromzet
lumayan. Secara fisik, ia digambarkan sebagai seorang anak laki-laki kecil yang
bertubuh kurus, berkulit hitam dan berambut jagung.
Karisma merupakan anak yang usil, pemalas, pemberontak, berotak
tumpul, dan ketika diberi pelajaran tidak mau mendengarkan. Seperti kejadian
saat Yudi dan Pepeng disuruh mandi di sekolah karena tubuhnya bau sebab di
rumah mereka tidak sempat mandi. Karisma malah ingin ikut keluar jam
pelajaran. Kemudian ia memboreh-borehi tubuhnya dengan daun kentut. Hal ini
mengakibatkan tubuhnya bau. Sehingga mau tak mau ia diharuskan ikut mandi
bersama Yudi dan Pepeng. Ia merasa senang sekali karena diperbolehkan tidak
ikut pelajaran. Ia sangat tidak suka dengan pelajaran matematika. Pelajaran
matematika merupakan momok baginya, dan ingin sekali ia menghindari mata
pelajaran yang satu ini.
Karisma malas mengikuti palajaran. Yang lebih parah lagi ia juga malas
untuk sekolah. Yang ada di dalam pikrannya adalah bermain game. Ketika diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
pelajaran, pikirannya selalu kemana-mana. Tidak pernah konsentrasi. Tak satu
pun pelajaran masuk ke otaknya. Bu Mutia sering mendapatinya melamun ketika
mengikuti pelajaran di kelas. Bahkan Bu Mutia tak segan-segan memperingatkan
atas sikapnya yang tidak baik itu. Karisma yang memang anak yang susah diatur
tak menggubris omongan Bu Mutia. Ia tetap saja seperti itu. Hingga kemudian
pada saat kenaikan kelas, ia dinyatakan tidak naik kelas. Itulah buah dari
kemalasan.
i) Rena
Rena merupakan teman sekelas Anak Alam yakni di kelas 1-2. Ia
digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang cantik, berasal dari keluarga
kaya. Ia adalah anak semata wayang. Orang tuanya berprofesi sebagai dokter gigi.
Mungkin karena merasa berasal dari keluarga yang kaya raya, ia hanya
mau berteman dengan orang yang sederajat saja. Ia sangat tidak menyukai
keberadaan Anak Alam yang notabene berasal dari keluarga tidak mampu bahkan
bisa dikatakan gembel yang hidupnya di bawah kolong jembatan.
Rena digambarkan sebagai seorang yang ketus, tinggi hati, asosial, pilih-
pilih dalam berteman, suka menghina orang lain terutama yang miskin, dan egois.
Rena juga suka merendahkan orang lain yang derajatnya lebih rendah dari dia. Ia
suka menghina Anak Alam, memaki-maki tak karuan tanpa peduli
j) Yok Bek
Yok Bek merupakan pemilik peternakan sapi di Gedong Sapi, tempat
orang tua ketiga Anak Alam bekerja dan menggantungkan hidup. Ia adalah
seorang keturunan Cina. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang
sudah uzur, berusia sekitar tiga perempat abad, yaitu sekitar 75-an tahun.
Tubuhnya kurus dan kulitnya sudah mulai keriput, menandakan bahwa usianya
memang sudah senja.
Seperti layaknya kebanyakan orang Cina, ia digambarkan sebagai sosok
yang ulet dalam bekerja, karena sampai usianya sudah uzur ia tetap masih
mengurusi peternakannya, walaupun bisa saja ia ikut anaknya dan menikmati sisa
hidupnya dengan bahagia. Ia merupakan pribadi yang keras, suka memeras, pelit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
dan terkadang kasar terhadap pekerjanya. Sering memaki-maki pekerjanya bila
pekerjaannya tidak sempurna
Secara sosial, ia digambarkan sangat menjaga jarak, tertutup dan jarang
bersosialisasi dengan kaum pribumi di sekitarnya. Ia hanya mau bergaul dengan
kaum yang sejenis atau bahkan sederajat dengannya. Hal ini digambarkan melalui
rumahnya di Gedong Sapi. Rumahnya dipagari tembok-tembok tinggi yang di sini
disebut dengan ghetto-ghetto. Hanya ada satu pintu untuk akses masuk ke dalam.
Itu pun selalu tertutup. Tidak seperti rumah warga pribumi yang terbuka, kalaupun
berpagar hanya rendah.
k) Pak Cokro
Dalam cerita ini, Pak Cokro merupakan seorang lelaki tua, ia merupakan
seorang dukun yang sangat dipercaya warga kampung Genteng untuk mengobati
berbagai penyakit dan tempat berkonsultasi dengan sesuatu yang bersifat ghaib.
Seperti layaknya dukun kebanyakan, ia digambarkan berpenampilan nyentrik dan
misterius. Kukunya panjang dan hitam, tidak pernah memakai alas kaki, giginya
geripis dan berwarna hitam, dan tubuhnya berbau tak sedap.
Pak Cokro dipercaya untuk menjadi perantara dengan dunia gaib. Padahal
sebenarnya ia tidak mempunyai kemampuan dalam hal itu. Ia hanya seorang lelaki
tua yang bodoh, yang pekerjaannya hanya menipu dan mengakali warga dengan
praktek perdukunannya itu. Hal ini diakuinya ketika ia berusaha menyembuhkan
Faisal. Namun keadaan kemudian terbalik, Faisal berpura-pura kesurupan jin
Belanda yang kemudian menakut-nakuti dan mengancam Pak Cokro agar tidak
membohongi dan membodohi warga lagi. Ia pun bertekuk lutut di hadapan Faisal,
yang dikiranya sudah dirasuki jin Belanda. Ia kemudian taubat dari praktek
perdukunannya.
Setelah menyadari kesalahannya selama ini, Pak Cokro bertaubat dan
ingin sekolah. Ia bertekad untuk sekolah. Di sini digambarkan kegigihan dan
tekad kuat Pak Cokro untuk bisa membaca dan menulis. Hingga kemudian ia telah
mahir membaca dan menulis, ia bertekad untuk mengajarkan warga Kampung
Genteng membaca dan menulis. Cita-citanya adalah menjadikan kampung
Genteng menjadi kampung yang melek huruf.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
d. Latar atau Setting
Latar cerita secara garis besar dibedakan menjadi tiga yakni latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial.
1) Novel LP
a) Latar Tempat
Latar tempat terjadinya kisah ini adalah di pulau Belitong, Sumatera
Selatan yakni di sebuah komunitas Melayu Belitong. Berdasarkan penelitian,
tidak disebutkan nama kampung tempat Ikal dan kawan-kawan bersekolah atau
bertempat tinggal. Pengarang hanya menyebutkan tempat tinggal anggota Laskar
pelangi di kampung yang tidak jauh dari Gedong, yakni tempat para petinggi PN
Timah hidup dalam kemewahan. Satu-satunya nama tempat tinggal anggota
Laskar Pelangi yang disebut oleh Pengarang adalah desa tempat tinggal Lintang,
yaitu Tanjong Kelumpang.
Dalam cerita ini juga dikisahkan suata kawasan yang disebut Gedong.
Gedong merupakan sebuah kawasan eksklusif yang dihuni oleh kaum borjuis
penguasa PN Timah. Di dalam kawasan ini penuh dengan fasilitas mewah dan
serba lengkap. Rumah-rumahnya mewah bergaya Victorian dengan sarana dan
prasarana yang superlengkap. Sangat mencolok mata jika dibandingkan dengan
keadaan di luar Gedong.
Diceritakan pula mengenai Sekolah PN. Sekolah PN merupakan sekolah
yang berada di kawasan Gedong, dengan kualitas terbaik di seantero Belitong.
Sekolah ini didukung sepenuhnya oleh PN Timah. Sekolah ini berdiri megah
dengan fasilitas yang super lengkap. Sebuah institusi pendidikan yang sangat
modern dan hendaknya dijadikan percontohan. Yang bisa bersekolah di sini
hanyalah orang-orang borjuis saja, yakni petinggi-petinggi di PN Timah.
Salah satu setting tempat yang mendapat porsi besar yakni Sekolah
Muhammadiyah. Di sekolah ini kesepuluh anggota Laskar pelangi menjalani
pendidikannya dari SD hingga SMP. Sekolah sebagai tempat berlangsungnya
pembelajaran bagi kesepuluh siswa miskin ini. Dari segi fisik, bangunan sekolah
Muhammadiyah kondisinya sangat menyedihkan. Sekolah ini merupakan sekolah
islam pertama di Belitong, mungkin juga di Sumatera Selatan. Merupakan sekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
miskin, tanpa fasilitas, kondisinya sangat memprihatinkan seperti layaknya
gudang kopra. Kosen pintu yang miring karena seluruh bangunan sekolah sudah
doyong seolah akan roboh.
Sarana dan prasarananya pun tidak pantas disebut sebagai sebuah sekolah.
Di sekolah tempat kesepuluh anggota Laskar pelangi menuntut ilmu tidak terdapat
gantungan-gantungan gambar apa pun. Misalnya kalender pendidikan, papan
absensi siswa, poster operasi hitung, lambang negara atau gambar presiden dan
wakil presiden. Satu-satunya gambar yang menempel di dinding hanyalah gambar
seorang pria berjenggot lebat, yakni Rhoma Irama.
Di halaman sekolah Muhammadiyah tumbuh pohon Filicium. Di bawah
pohon ini biasanya kesepuluh anggota Laskar Pelangi menghabiskan waktu di
sela-sela belajarnya. Bermain, bercanda, bercerita, mengadakan diskusi,
bertengkar dan lain-lain. Satu hal yang menarik, mereka biasa memanjat pohon ini
untuk melihat pelangi seusai hujan turun di siang hari.
Selain itu ada juga latar tempat di Toko Sinar Harapan tempat sekolah
biasa membeli kapur tulis, sekaligus menjadi tempat bertemunya Ikal dengan cinta
pertamanya yakni A Ling. Pulau Lanun yang merupakan tempat tinggal sang
dukun sakti mandraguna yakni Tuk Bayan Tula yang dipercaya bisa menerawang
kejadian yang akan terjadi maupun masa lampau. Gunung Selumar dan pantai
Pangkalan Punai, tempat biasa anggota Laskar Pelangi berlibur. Halaman
kelenteng yang menjadi tempat bertemunya Ikal dengan A Ling. Tempat lomba
kecerdasasan yang menjadi latar ketika sekolah Muhammadiyah mengikuti
perlombaan adu kecerdasan. Zaal Batu, rumah sakit jiwa di mana Trapani dan
ibunya dirawat karena menderita penyakit mother complex. Bogor yang menjadi
latar tempat ketika Ikal dewasa dan menjadi pegawai kantor pos.
b) Latar Waktu
Dalam cerita ini, pengarang tidak secara eksplisit menyebut kapan (tahun)
terjadinya peristiwa. Akan tetapi di dalam novel ini disinggung-singgung
mengenai masa pemerintahan presiden Soeharto dan ada beberapa bagian yang
juga menyebut tahun yakni tahun 1987 dan tahun 1991. Jadi hal ini bisa dijadikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
petunjuk bahwa kisah ini mengambil latar waktu pada masa itu, yakni masa
pemerintahan Seharto yaitu kurun waktu 1966 – 1998.
Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang,
menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan
kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang
menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi,
siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah
umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul
jam tertentu.
c) Latar Sosial
Latar sosial meliputi kepercayaan/adat istiadat, bahasa, kebiasaan, dan
pandangan hidup tokoh
(1) Kepercayaan/Adat Istiadat
Latar belakang sosial budaya novel LP adalah sebuah kehidupan
masyarakat yang ada di Belitong, dengan kesederhanaan masyarakat dan
heterogennya suku bangsa yang tinggal. Masyarakat dalam novel ini dikisahkan
sebagai masyarakat yang miskin, penuh dengan keterbatasan ekonomi.
Masyarakat Belitong kebanyakan berasal dari suku Melayu, Sawang, dan
keturunan Cina (Hokian). Karena ada berbagai suku bangsa yang tinggal di
Belitong, maka percampuran budaya tidak terhindarkan, baik itu adat istiadat/
kepercayaan, sikap hidup, dan bahasa yang dipakai.
Adat istiadat Melayu terlihat pada kegemaran masyarakatnya pada irama
semenanjung, dentuman rebana, dan pantun yang sambut-menyambut. Mengenai
kepercayaan, masyarakat Pulau Belitong percaya terhadap seekor burung yang
disebut burung Pelintang Pulau. Menurut kepercayaan masyarakat ini, apabila
burung Pelintang Pulau singgah di kampung mereka, maka di tengah laut sedang
terjadi badai atau angin puting beliung yang ganas.
Kepercayaan lain yang juga tumbuh di Belitong adalah tentang adanya
penganut ilmu buaya. Menurut kepercayaan masyarakat Belitong, para penganut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
ilmu buaya apabila mati maka akan menjadi buaya. Salah satu penganut ilmu ini
adalah Bodengan dan ayahnya.
Selain itu, masyarakat Belitong juga mempercayai adanya seorang dukun
yang sakti mandraguna, yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan apa saja
dan dapat dimintai petunjuk. Dalam cerita ini sang dukun bernama Tuk Bayan
Tula yang hidup di pulau terpencil di Belitong yakni di pulau Lanun.
Selain adat istiadat Melayu, ada juga adat istiadat Tionghoa yang
mewarnai novel ini, yaitu terlihat ketika peristiwa perjumpaan Ikal dan A Ling
pada waktu upacara sembahyang rebut atau Chiong Si Ku di Kelenteng.
(2) Bahasa
Cerita dalam novel ini mengambil latar di Indonesia, yakni di Pulau
Belitong. Pulau ini mayoritas didiami oleh suku bangsa Melayu, tetapi ada juga
sebagian bangsa keturunan Tionghoa. Maka tak heran dalam novel ini selain
menggunakan bahasa Indonesia, juga kental diwarnai oleh dialek Melayu, Cina,
bahasa Kek campur Melayu, dan bahasa Belanda.
(3) Kebiasaan
Dilihat dari kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dalam masyarakat
Belitong, di mana masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah para buruh yang
bekerja di tambang timah milik PN Timah. Mereka hidup di bawah garis
kemiskinan. Mereka mayoritas hidup sebagai buruh kasar di PN Timah, tak
terkecuali orang tua anggota Laskar Pelangi. Karena orang tua mereka bekerja
sebagai buruh kasar di PN Timah, maka kebiasaan dan pola hidupnya pun banyak
dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan itu.
Selain itu, anggota Laskar Pelangi juga punya kebiasaan tersendiri.
Mereka punya kebiasaan unik yaitu suka menyaksikan pelangi secara beramai-
ramai dengan memanjat pohon filicium. Oleh karena kebiasaan unik ini, maka Bu
Mus memberi julukan kepada mereka “Laskar Pelangi”.
(4) Pandangan Hidup Tokoh
Setiap manusia tidak mungkin hidup sendiri. Manusia sebagai makhluk
sosial pasti senantiasa bergaul dengan sesamanya di masyarakat. Dalam bergaulan
itu sedikit banyak mempengaruhi bagaimana seseorang memandang kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
ini. Setidaknya begitulah yang tampak di dalam novel ini seperti dilukiskan
melalui tokoh utamanya, yakni Ikal.
Masyarakat yang menjadi latar cerita ini adalah masyarakat yang hidup
dalam cengkeraman kemiskinan. Pendidikan bagi mereka adalah barang mewah.
Banyak anak-anak yang terpaksa tidak bisa mengenyam pendidikan karena
ketiadaan biaya. Seperti contohnya Lintang. Ia adalah anak super jenius yang
terpaksa putus sekolah karena harus mencari nafkah untuk menghidupi
keluarganya. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi pandangan hidup Ikal.
Tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad kuat dan
berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Salah satu tekadnya adalah ia
ingin belajar setinggi-tingginya untuk menjadi orang pintar untuk menebus cita-
cita Lintang yang gagal untuk mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang
mengharuskannya seperti itu. Ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke
luar negeri. Ia melakukan apa saja agar cita-citanya ini dapat tercapai.
Ia juga digambarkan sebagai sosok yang perhatian. Peduli dan memikirkan
keadaan temannya. Di dalam cerita ini ia digambarkan sangat peduli dengan
Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu,
namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia
juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya
meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah
menghidupi keluarga. Ia sangat menyayangkan kejadian ini. Seorang anak yang
super jenius harus memupus cita-cita karena keadaan yang tidak memungkinkan.
2) Novel OMDS
a) Latar Tempat
Secara umum novel OMDS berlatar tempat di Semarang, Jawa Tengah.
Kejadian dalam novel ini, mulai dari bab pertama sampai terakhir bertempat di
Semarang. Lebih khusus lagi latar tempatnya berada di sebuah kampung di
Semarang, yakni kampung Genteng, di mana sang tokoh Faisal, Mat Karmin, dan
Pak Cokro tinggal. Di kampung ini pula rumah baca milik Pak Cokro didirikan.
Tak jauh dari kampung Genteng terdapat tempat yang bernama Gedong Sapi, di
mana Anak Alam tinggal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
Cerita dalam novel ini pun mengambil latar di SD Kartini. Di sekolah
inilah tokoh utama menuntut ilmu. SD Kartini digambarkan sebagai sekolah
sederhana dengan kondisi fisiknya yang sudah mulai rapuh, seperti eternit yang
jebol, cat yang mulai mengelupas, lantai dari ubin teraso yang sebagian lapisan
semen di pinggirannya terkelupas.
Selain di Kampung Genteng dan Gedong Sapi, cerita ini juga mengambil
latar tempat di Gogik, Ungaran yakni sebuah daerah di bawah kaki gunung
ungaran. Di Gogik ini Ki Hajar Ladunni tinggal. Di tempat ini tokoh utama
belajar membuat layang-layang pada Ki Hajar Ladunni.
b) Latar Waktu
Latar waktu kisah dalam novel ini tidak secara langsung dijelaskan oleh
pengarang. Setting waktu dalam kisah ini dikaitkan dengan peristiwa reformasi
1998, yakni setelah peristiwa reformasi terjadi. Informasi ini didapat dari kisah
Yok Bek yang merasa tidak senang melihat Anak Alam bersekolah serta sikap
warga Kampung Genteng yang mulai berani melawannya setelah reformasi 1998.
Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang,
menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan
kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang
menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi,
siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah
umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul
jam tertentu.
c) Latar Sosial
(1) Adat Istiadat dan Kepercayaan
Adat istiadat yang menjadi latar novel OMDS yaitu adat istiadat
masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dikenal sebagi masyarakat yang menjunjung
tinggi adab kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan bertingkah laku yang
halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.
Selain berlatarkan masyarakat Jawa, pengarang juga memberikan sentuhan
lain dalam novelnya, yakni pemunculan budaya orang Cina pinggiran yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
diwakili oleh tokoh Yok Bek, yang dalam novel ini digambarkan manjaga jarak
dengan warga pribumi, tidak mau membaur dengan masyarakat lainnya.
Masyarakat Cina yang minoritas tinggal bersama masyarakat Jawa yang
mayoritas. Masyarakat Cina cenderung terkesan hanya mau bergaul dengan
sesama orang Cina dan memisahkan diri dengan warga pribumi. Tidak ada sifat
keterbukaan layaknya masyarakat Jawa.
(2) Bahasa
Novel OMDS mengambil latar tempat di Indonesia, tepatnya di Semarang,
Jawa Tengah. Selain itu pengarangnya pun juga asli orang Semarang. Maka tidak
heran apabila novel ini selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai media
penceritaannya, juga banyak diwarnai istilah-istilah bahasa Jawa. Hampir di setiap
bab dijumpai kata-kata dalam bahasa Jawa. Selain dijumpai istilah dalam bahasa
Jawa, di dalam novel ini juga dijumpai kata-kata dalam bahasa Cina. Istilah-istilah
dalam bahasa Cina ini dipergunakan oleh tokoh Yok Bek yang notabene
merupakan keturan Cina.
(3) Kebiasaan
Dilihat dari segi kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dan masyarakat
Jawa pada umumnya yang tidak terlepas dari keadaan sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah masyarakat marjinal,
yakni kaum buruh, yang untuk bisa makan sesuap nasi harus bekerja keras
setengah mati.
Orang tua ketiga Anak Alam setiap hari bekerja sebagai buruh di
peternakan sapi milik Yok Bek. Kegiatan ketiga orang tua ini adalah mengurus
sapi-sapi milik Yok Bek, yaitu membersihkan kandang, memandikan sapi,
mencari rumput,dan masih banyak lagi. Penghasilan dari hasil bekerja mengurus
sapi ini hanya cukup untuk makan saja, sehingga biaya sekolah ketiga Anak Alam
harus diusahakan sendiri. Pambudi menjual Koran, Yudi membuat dan menjual
pisang goreng, sedangkan Pepeng menjadi tukang becak mengangkuti kelapa dari
pelabuhan ke pasar-pasar kecil. Begitulah kebiasaan hidup mereka setiap harinya.
Tidak ada hari tanpa bekerja keras. Semua ini mereka lakukan untuk bisa tetap
bersekolah meraih cita-cita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
(4) Pandangan Hidup Tokoh
Kehidupan yang terjadi di masyarakat, keadaan sosial ekonomi, pribadi
orang-orang dekat biasanya dapat mempengaruhi bagaimana seseorang
mamandang kehidupan ini. Setidaknya begitulah yang tampak di dalam novel ini
seperti dilukiskan melalui tokoh utama novel ini, yakni Faisal.
Sebagai seorang pribadi yang sedang mempersiapkan masa depannya, ia
memiliki pandangan hidup yang progresif, berkemauan keras, dan berjiwa sosial
tinggi. Hal ini tampak pada kemauan kerasnya untuk dapat mewujudkan cita-cita.
Melalui pandangan hidup tokohnya, novel OMDS memberikan motivasi kepada
siapa saja untuk maju mengejar cita-cita.
Sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di
sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang
hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia juga
berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam
mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani
kehidupan ini. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya yang
masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung memberikan
pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta huruf. Ia ingin
menjadikan Kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi Kampung
Genteng yang melek huruf.
Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap
orang miskin. Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan
pekerjanya semena-mena. Ia juga memberikan label untuk orang kaya, yaitu orang
kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati.
e. Alur
1) Novel LP
Alur dalam novel LP dianalisis menjadi tujuh tahapan alur, yaitu
eksposition, inciting moment, ricing action, complication, climax, falling action,
denouement.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
a) Eksposition (Paparan Awal Cerita)
Kisah dalam novel LP diawali dengan paparan ketika hari pertama masuk
sekolah, yaitu pagi hari saat pendaftaran siswa baru di SD Muhammadiyah.
Sebuah awal cerita yang cukup ringan untuk dijadikan pembuka kisah. Peristiwa
hari pertama masuk sekolah merupakan peristiwa yang dialami oleh semua orang
yang pernah sekolah. Semua perasaan campur aduk. Ada cemas, suka, bingung,
malu, salah tingkah dan lain-lain. Pada bagian awal ini mulai diperkenalkan tokoh
dalam novel ini yakni Pak Harfan sang kepala sekolah, Bu Mus ibu guru kelas 1,
orang tua siswa, dan calon siswa. Pada bagian awal ini mulai diperkenalkan pula
latar tempatnya yakni di SD Muhammadiyah yang bangunan sekolahnya sudah
doyong seolah akan roboh dan kondisinya sangat memperihatinkan
b) Inciting Moment (Muncul Konflik)
Pada tahap pemunculan konflik, dapat diungkapkan beberapa peristiwa
yang merupakan gambaran bahwa ada suatu masalah yang mulai muncul dari
setiap bagian-bagian cerita.
Tahap pemunculan konflik dimulai dengan kecemasan Bu Mus dan Pak
Harfan karena murid baru yang mendaftar baru sembilan orang. Padahal
Depdikbud Sumsel mempersyaratkan minimal harus ada 10 murid baru, kalau
tidak SD Muhammadiyah akan ditutup. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi dua
orang guru tersebut, orang tua dan kesembilan murid baru, karena ini berarti akan
memupus harapan mereka. Cita-cita kandas akibat sekolah ditutup tepat ketika
mereka ingin sekolah
Pemaparan masalah lainnya yang dapat dicermati dari peristiwa dalam
novel ini adalah ketika anak-anak SD Muhammadiyah Gantong mengeluh kepada
Bu Mus mengapa sekolahnya tidak seperti sekolah lain. Mereka sering
mengeluhkan atap sekolah yang sering bocor ketika hujan, kondisi sekolahnya
yang lebih mirip gudang kopra daripada sekolah.
Secara implisit, munculnya masalah yang dihadapi tokoh ini sebagai
akibat dari kemiskinan yang melanda masyarakat Belitong pada waktu itu.
Kemiskinan yang sudah menjadi endemi. Para orang tua lebih rela menyerahkan
anaknya pada juragan-juragan daripada menyekolahkan anaknya yang berarti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
mengikatkan diri pada biaya sekolah. Gambaran kemiskinan inilah yang
mengawali jalinan cerita novel LP.
c) Rising Action (Penanjakan Konflik)
Penanjakan konflik terjadi ketika Pak Harfan sudah berputus asa dengan
jumlah siswa yang mendaftar di SD Muhammadiyah dan bermaksud memberikan
pidato terakhir sebagai perpisahan sekaligus penutupan sekolah.
Penanjakan konflik yang lain yaitu masalah kemiskinan yang
mengawali konflik dalam novel ini kemudian diuraikan lebih mendetail dalam
bab-bab berikutnya. Pengarang menyoroti perbedaan keadaan ekonomi antara
kaum borjuis dan masyarakat Melayu Belitong. Kaum borjuis yang tinggal di
kawasan Gedong dengan segala macam fasilitas yang mewah dan serba lengkap,
sangat mencolok jika dibandingkan dengan keadaan masyarakat Melayu Belitong
yang serba miskin, serba tidak mampu. Jangankan untuk sekolah, untuk hanya
sekedar makan saja terkadang tidak terpenuhi. Kesenjangan sosial yang sangat
mencolok.
d) Complication (Konflik Semakin Rumit)
Pada tahap complication ini, konflik semakin rumit. Kemiskinan yang
melanda masyarakat asli Belitong semakin menjadi-jadi. Sementara itu kekayaan
warga Gedong pun juga sama menjadi-jadi. Sehingga jurang kesenjangan sosial
semakin terbentang lebar.
Kemiskinan juga tidak lepas melanda semua anggota Laskar Pelangi,
terutama tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan miskin yang tinggal di
pesisir di desa Tanjong Kelumpang. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 80
kilometer pulang pergi yang ditempuh dengan sepeda. Jarak sekolah yang
sedemikian jauh dan kondisi ekonomi orang tua menjadi permasalahan tersendiri
bagi tokohnya.
e) Climax (Puncak Ketegangan)
Puncak ketegangan terjadi ketika Lintang putus sekolah. Lintang terpaksa
putus sekolah karena ayahnya meninggal. Kematian ayahnya adalah puncak
permasalahan yang akan mengubah jalan hidup Lintang. Sehingga mau tidak mau
ia yang harus menggantikan posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
keluarganya. Ia yang mempunyai cita-cita tinggi dan mempunyai motivasi belajar
yang luar biasa harus takhluk di tangan nasib. Hal ini membuat duka bagi seluruh
anggota Laskar Pelangi dan Bu Mus. Mereka kehilangan sosok sahabat,
pemimpim, guru, seorang teman yang genius luar biasa.
Selain itu puncak ketegangan yang kedua adalah ketika PN Timah
penguasa eksklusif tambang timah di Belitong lumpuh total. Hal ini dikarenakan
pada tahun 1987 harga timah dunia merosot tajam. Sehingga dalam sekejap PN
Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena
PHK. Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah
tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil ini. Pulai Belitong yang dulu
laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-
apung tak tentu arah, gelap, dan sendirian.
Masyarakat pribumi yang memang sudah menahankan sakit hati karena
kesenjangan selama puluhan tahun menyerbu Gedong. Mereka menghancurkan
rumah dan menjarah isinya.
f) Falling Action (Penurunan konflik)
Penurunan konflik terjadi setelah PN Timah gulung tikar. Kehancuran PN
Timah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat pribumi Belitong yang selama
ini terpinggirkan. Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka
suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi bakar.
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi
karena aktivitas para pendulang.
Penurunan konflik yang lain adalah ketika Lintang masuk sekolah untuk
berpamitan dengan teman-teman dan ibu gurunya. Semua hanyut dalam
kesedihan. Semua berat berpisah dengan Lintang si jenius. Semuanya hanya bisa
bersedih, karena kondisi mereka juga sama-sama memprihatinkan.
g) Denouement (Penyelesaian)
Novel LP merupakan sebuah novel yang berusaha mengangkat realitas
kehidupan manusia secara nyata. Realitas kehidupan manusia sebagaimana
digambarkan melalui tokoh-tokoh anggota Laskar Pelangi adalah gambaran nyata
tentang kehidupan manusia. Lintang yang super genius akhirnya harus putus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
sekolah karena ayahnya meninggal, sehingga terpaksa ia harus menggantikan
posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi ibu, adik-adik, dan saudaranya,
yaitu dengan menjadi seorang sopir truk pengangkut pasir gelas. Hal ini
merupakan realitas hidup yang banyak dialami oleh anak-anak di Indonesia.
Banyak anak-anak Indonesia yang terpaksa membuang jauh-jauh keinginannya
untuk menempuh pendidikan gara-gara kemiskinan yang tak henti merundungnya.
Akhir cerita dikisahkan mengenai kehidupan para tokoh setelah 12 tahun
kemudian. Ketika itu tokoh utama telah menjadi seorang pemuda dan bekerja
sebagai tukang pos di Pulau Jawa, yakni di kota Bogor. Selain tokoh Lintang dan
Ikal, di akhir cerita juga dikisahkan kehidupan para anggota Laskar Pelangi
setelah dewasa. Mahar menjadi seorang penulis dan budayawan Melayu, Kucai
menjadi anggota dewan, Syahdan menjadi ahli telekomunikasi, A Kiong menikah
dengan Sahara dan mendirikan sebuah toko yang diberi nama Sinar Perkasa,
Borek menjadi kuli panggul di toko tersebut. Trapani yang sampai dewasa masih
sangat bergantung pada ibunya menderita mother complex. Inilah akhir dari kisah
dalam novel LP.
Berdasarkan tahapan alur yang sudah diuraikan di atas, terlihat bahwa
peristiwa yang terdapat dalam novel LP terjalin berkesinambungan. Peristiwa-
peristiwa dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh atau
menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Oleh karena
kejadian-kejadian yang dikisahkan bersifat kronologis, yang secara istilah berarti
sesuai dengan urutan waktu, maka plot yang demikian disebut sebagai alur maju
atau progresif. Alur progresif dalam novel LP menunjukkan kesederhanaan cara
penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti.
2) Novel OMDS
Tahapan alur dalam novel OMDS diuraikan sebagai berikut:
a) Eksposition (Paparan Awal Cerita)
Cerita dalam novel OMDS dimulai dengan penceritaan kemeriahan musim
layang-layang di kampung. Cerita awal berlangsung siang hari ketika sekumpulan
anak-anak kampung bermain layang-layang. Permainan layang-layang yang
dibagian akhirnya menimbulkan kekacauan karena layang-layang yang putus dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
hinggap di kabel listrik. Anak-anak berebut meraih layang-layang dengan
menggunakan galah. Tak ayal aliran listrik terputus dan sontak warga marah.
Pada paparan awal ini, pengarang sudah coba memperkenalkan tokoh-
tokoh yang ada dalam cerita, yaitu Faisal, Pambudi, Yudi, Pepeng, Koh A Kiong,
serta Mat Karmin. Diperkenalkan pula tempat terjadinya cerita ini, yakni di
Semarang lebih tepatnya di Kampung Genteng. Kampung Genteng merupakan
tempat tinggal Faisal dan Gedong sapi yang merupakan tempat tinggal Anak
Alam (sebutan yang diberikan Faisal untuk Pambudi, Yudi, dan Pepeng).
Pengarang mulai menceritakan persahabatan mereka. Diceritakan setelah mereka
berempat (Faisal, Pambudi, Yudi, dan Pepeng) kalah merebut layang-layang
mereka sangat terpukul, karena niatnya untuk balas dendam ke Mat Karmin gagal.
Mereka ingin membeli layang-layang tapi tidak punya uang, akhirnya mereka
memutuskan untuk membuat sendiri layang-layangnya.
Faisal kemudian mencari buku untuk dijadikan panduan untuk membuat
layang-layang. Pada saat membaca buku itu, Faisal baru sadar kalau Anak Alam
tidak bisa membaca karena memang tidak sekolah. Kemudian mereka mencoba
berguru kepada penulis buku itu secara langsung, yaitu Ki Hajar Ladunni yang
tinggal di Gogik Ungaran. Di perjalanan mereka bertemu dengan Candil. Ia
kemudian mengantar mereka ke rumah Ki Hajar Ladunni. Akhirnya mereka sudah
sampai di rumah yang bertuliskan ”Ki Hajar Ladunni”. Karena Anak Alam tidak
bisa membaca, mereka menurut saja ketika dipermainkan Candil dengan
mengatakan bahwa rumah Ki Hajar Ladunni masih beberapa kilo lagi. Tapi
karena Faisal bisa membaca, ia tidak terjebak dengan permainan Candil. Setelah
berputar-putar cukup lama, mereka kembali ke rumah tadi, dan baru sadar kalau
mereka dipermainkan.
b) Inciting Moment (Muncul Konflik)
Pengalaman dibohongi ini terjadi karena mereka buta huruf, tidak bisa
membaca papan nama yang ada di atas pintu. Di sini mulai disinggung-singgung
ketidakbisaan Anak Alam dalam hal membaca, sehingga mengakibatkan mereka
mudah dibohongi. Mereka tidak bisa membaca karena memang mereka tidak
sekolah. Mereka tidak bisa sekolah karena memang kondisi ekonomi keluarga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
mereka yang tidak memungkinkan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja
terkadang masih susah.
Faisal sangat prihatin melihat nasib ketiga sahabatnya yang sudah sebesar
itu tapi belum bisa membaca menulis. Ia kemudian bertekad mengajak ketiga
temannya tersebut untuk sekolah, agar tidak buta huruf lagi. Tapi sekali lagi
mereka terbentur dengan masalah dana. Kemiskinan selalu menghantui kehidupan
mereka. Jangankan berpikir sekolah, untuk makan saja terkadang masih susah.
Faisal mempunyai tekad kuat kuat untuk mengajak ketiga temannya itu
bersekolah. Sehingga ia mengusahakan berbagai cara untuk itu, salah satunya
dengan menemui Pak Zainal, kepala sekolah SD Kartini untuk meminta
keringanan biaya bagi ketiga temannya tersebut.hingga kemudian akhirnya anak
alam bisa sekolah. Keputusan untuk sekolah bukanlah tanpa resiko. Mereka harus
membiayai sendiri, dengan cara sekolah sambil bekerja. Hal yang tak pernah
mereka bayangkan sebelumnya. Selama ini yang mereka tahu hanyalah bekerja
membantu orang tua untuk makan. Tidak terlintas sama sekali mereka harus
bekerja keras untuk bisa sekolah. Karena sangat mustahil jika mengandalkan
penghasilan orang tua yang hanya jadi buruh Yok Bek.
Ketika mereka sudah masuk sekolah, mereka pun juga belum lepas dari
hambatan. Mereka sering diejek teman-temannya yang notabene berasal dari
keluarga menengah ke atas. Mereka selalu diejek karena orang tua mereka
seorang pembantu yang mengabdi untuk Yok Bek. Karena mereka miskin, mereka
dianggap tidak pantas untuk sekolah di SD Kartini. Ini membuat mereka bertiga
minder.
c) Rising Action (Peningkatan Konflik)
Yok Bek merupakan seorang pengusaha peternakan sapi di Gedong Sapi.
Ia kaya raya. Ia mempunyai tiga orang pekerja yang tak lain tak bukan adalah
ayah ketiga Anak Alam itu. Tiga orang pekerja itulah yang setiap hari mengurus
peternakan, mulai dari membersihkan kandang, memberi makan, memerah susu,
dan membuat pupuk dari kotoran sapinya. Gedong sapi letaknya agak jauh dari
pemukiman warga agar baunya tidak mengganggu warga Kampung genteng.
Tetapi bagaimanapun juga bau itu tetap tercium juga. Hingga kemudian warga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
mengadu pada ketua RT agar memperingatkan Yok Bek untuk memindah
peternakan sapinya. Masyarakat tidak tahan karena setiap hari mereka harus
melahap bau kotoran sapi.
Mendengar pengaduan masyarakat itu, Yok Bek sadar bahwa sekarang
zaman sudah berubah. Sudah banyak pribumi yang bersekolah. Mereka tidak
dapat dibohongi seperti dulu lagi. Sehingga ketika melihat ketiga Anak Alam
sekolah, ia tidak suka dan segera memanggil orang tua mereka. Dia menyuruh
ketiga orang tua itu untuk melarang Anak Alam sekolah, dengan dalih ia butuh
tenaga banyak serta berjanji di kemudian hari akan menyekolahkan ketiga Anak
Alam itu. Ketiga orang tua itu pun bak dicocok hidungnya, mereka menuruti apa
yang diperintahkan Yok Bek. Mereka menyuruh ketiga anak mereka untuk
berhenti sekolah saja. Padahal pada saat itu ketiga Anak Alam sedang semangat-
semangatnya sekolah. Harapan mereka untuk sekolah pun pupus lagi. Mereka
patah arang dengan cita-cita yang dibangunnya selama ini.
d) Complication (Konflik Semakin Rumit)
Pada tahap komplication ini, konflik yang ada semakin rumit. Belum habis
duka anak alam karena putus sekolah, Gedong sapi tempat orang tua mereka
bekerja menggantungkan hidup, didemo warga sekitar karena peringatan yang
disampaikan selama ini tidak digubris. Mereka pun bertindak anarki. Mereka
merusak apa saja yang ada di rumah Yok Bek.
Faisal yang mencoba melerai tindak anarki tersebut malah ikut dipukuli
warga. Akibatnya ia jatuh sakit, akibat benda tumpul yang menghantam
kepalanya. Ia kemudian dirawat Pak Cokro, padahal ia sangat tidak suka
kepadanya. Menurutnya Pak Cokro adalah seorang dukun gadungan yang
kerjaannya adalah membodohi warga. Ia juga biang kerok semua kejadian demo
Gedong sapi ini. Maka bertambah marahlah Faisal.
e) Climax (Puncak Ketegangan)
Puncak ketegangan terjadi setelah adanya kejadian demo para warga
kampung Genteng. Kehidupan berubah drastis semenjak Gedong sapi diamuk
warga. Yok Bek menjual semua sapi-sapinya. Ia pun hidup ikut anaknya. Hal ini
secara otomatis berimbas pada keluarga ketiga anak alam tersebut, yang notabene
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
mereka selama ini hidup menggantungkan diri dan mengabdi penuh untuk Yok
Bek. Duka anak alam semakin mendalam. Sudah digusur masih ditambah lagi
dengan putus sekolah.
Mereka sempat terkatung-katung karena tidak punya rumah. Hingga
akhirnya mereka tinggal di bawah kolong jembatan. Mereka harus membanting
tulang untuk bisa bertahan hidup.
Puncaknya lagi ketika warga dihebohkan dengan perbuatan Mat Karmin
yang ternyata seorang pedhopilia. Ia mencabuli anak-anak yang tengah bermain di
rumahnya. Hal ini sontak mengundang kemurkaan warga untuk yang kedua
kalinya setelah aksi di Gedong sapi dulu. Mat Karmin pun digelandang ke balai
desa. Rumahnya pun tak lepas dari amuk massa. Massa yang terbakar emosinya
pun merusak rumah Mat Karmin. Tak cukup sampai di situ, mereka
membakarnya, abunya dilarung di sungai banjir kanal, agar semua hal buruk dari
Mat Karmin ikut lenyap.
f) Falling Action (Penurunan Konflik)
Tahap penurunan konflik terjadi setelah kejadian pengrusakan rumah Yok
Bek, yakni ketika Faisal mencari tempat tinggal Anak Alam. Ternyataa mereka
tinggal di kolong jembatan. Mereka pun kemudian berbagi cerita. Faisal sangat
prihatin dengan kondisi ketiga Anak Alam tersebut. Ia prihatin dengan nasib
pendidikan ketiga Anak Alam tersebut. Kemudian ia kembali menyemangati
ketiganya untuk bisa kembali sekolah mewujudkan cita-cita mereka yang sempat
terputus.
Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk sekolah kembali, dengan
beban dua kali lebih berat. Kalau dulu orang tua mereka masih punya penghasilan
dari bekerja kepada Yok Bek, sekarang orang tua mereka tidak bekerja. Otomatis
mereka harus bekerja ekstra keras untuk bisa tetap sekolah. Pambudi menjual
koran, Yudhi berjualan pisang goreng, serta Pepeng yang menjadi tukang becak
mengangkuti kelapa dari pasar induk ke pasar-pasar yang lebih kecil.
Kembalinya mereka ke sekolah disambut hangat oleh Bu Mutia dan
teman-teman sekelasnya. Mereka pun kembali bersama-sama belajar, menjalani
segala suka duka sekolah sambil bekerja. Pada bagian ini diceritakan teman-teman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
sekelas Anak Alam yaitu Karisma yang malas, Rena yang tinggi hati, Guruh sang
ketua kelas, dan lain-lain. Hingga tak terasa mereka sudah bersekolah hampir satu
tahun dan sebentar lagi akan menempuh ujian kenaikan kelas. Mereka
mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian ini. Mereka ingin membuktikan
bahwa di tengah kondisi yang serba sulit ini mereka masih bisa berprestasi. Di sisi
lain Karisma yang malas tidak mau belajar sedikit pun. Akibatnya ketika ujian
berlangsung ia tidak dapat mengerjakan. Yang lebih parah lagi Rena kepergok
mencontek.
g) Denouement (Penyelesaian)
Setelah konflik mereda, tahapan selanjutnya adalah tahap penyelesaian.
Penyelesaian masalah merupakan sesuatu yang penting ada dalam karya sastra,
karena seorang pembaca ingin mengetahui penyelesaian masalah dari cerita yang
dibacanya.
Perjuangan keras belajar sambil bekerja akhirnya membuahkan hasil.
Anak Alam yang di tengah situasi serba sulit masih punya semangat belajar yang
tinggi bisa naik ke kelas dua dengan nilai yang memuaskan. Kharisma yang
kerjanya hanya bermalas-malasan tidak naik kelas. Begitu juga Rena, selama ini ia
dikenal sebagai seorang siswa yang cantik, kaya, pintar, tapi karena kepergok
mencontek ia jadi tidak naik kelas. Kania,yang juga berasal dari keluarga kurang
mampu, berhasil meraih juara satu paralel, disusul kemudian Faisal diurutan
kedua. Atas prestasinya, Faisal berkesempatan mengikuti lomba olimpiade
eksakta yang akan menjadi pintu gerbang meraih golden ticket menuju ke SMP
akselerasi. Benar kata pepatah ’siapa yang menanam akan mengetam’. Orang
meraih sesuatu, setimpal dengan apa yang sudah diusahakan.
Berdasarkan tahapan alur yang sudah diuraikan di atas, terlihat bahwa
peristiwa yang terdapat dalam novel OMDS terjalin berkesinambungan. Peristiwa-
peristiwa dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh atau
menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Oleh karena
kejadian-kejadian yang dikisahkan bersifat kronologis, yang secara istilah berarti
sesuai dengan urutan waktu, maka plot yang demikian disebut sebagai plot maju
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
atau progresif. Plot progresif dalam novel OMDS menunjukkan kesederhanaan
cara penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti.
f. Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembacanya. Pesan ini merupakan makna yang terkandung dalam suatu karya
yaitu makna yang disampaikan melalui cerita. Beberapa amanat baik secara
eksplisit maupun implisit dapat kita ambil dari novel LP dan OMDS.
1) Novel LP
Andrea Hirata melalui novel LP ingin menyampaikan amanat. Sepanjang
teks novel ini banyak manfaat yang dapat dipetik oleh pembaca. Karena novel ini
bertemakan pendidikan, maka sepanjang kisahnya banyak memberikan nilai didik
kepada pembacanya. Salah satu amanat yang terdapat di dalam novel LP, yaitu
bahwa dalam hidup harus selalu berani bermimpi, mempunyai cita-cita dan
berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu sesulit apapun.
Pada bagian lain, novel LP juga memberikan amanat agar pemerintah lebih
berlaku adil dan bijaksana dalam menentukan kebijakan, dan hendaknya selalu
memikirkan masyarakat yang kurang mampu, sehingga peristiwa tragis yang
menimpa tokoh Lintang tidak terjadi lagi. Lintang, seorang anak super genius
terpaksa harus berhenti sekolah karena keadaan ekonominya yang tidak
memungkinkan.
Karena novel ini bertema pendidikan, maka sepanjang ceritanya pun sarat
dengan amanat bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Pelajaran dapat
dipetik pada saat PN Timah sedang berjaya. Mereka meyombongkan diri seolah
harta benda yang dimilikinya tak akan habis, seolah-olah mereka tak akan mati.
Tapi kemudian Tuhan membalikkan semuanya. Harga timah dunia turun drastis
dan mengakibatkan PN Timah gulung tikar. Hal ini menegaskan bahwa seseorang
tidak boleh mabuk dengan harta dan kekuasaan. Hendaknya selalu sadar bahwa
hidup itu layaknya roda yang berputar, terkadang di atas terkadang di bawah.
Ketika sedang di atas jangan sampai mabuk dengan ketinggian. Ketika di bawah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
jangan sampai menyalahkan Tuhan. Setiap keadaan hendaknya selalu disikapi
dengan sebaik mungkin dan tidak berlebihan.
2) Novel OMDS
Amanat yang dapat dipetik dari novel OMDS yaitu untuk berani bermimpi,
berani bercita-cita, menggantungkan cita-cita setinggi langit. Karena orang yang
tak punya mimpi berarti orang yang tidak punya cita-cita. Seperti kisah Faisal
ketika membuat layang-layang. Ia membayangkan kalau hari ini ia membuat
layang-layang, maka esok hari ia akan membuat pesawat terbang. Cita-cita dan
mimpi-mimpi ini harus selalu dipupuk agar memacu untuk bisa lebih baik dan
berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita ini.
Selain mengajarkan untuk tidak takut bermimpi, kisah ini juga
mengamanatkan untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan. Hidup adalah
perjuangan. Jadi untuk terus hidup, segala sesuatu perlu diperjuangkan, termasuk
perjuangan untuk mewujudkan cita-cita. Seperti perjuangan tokoh Kania dan
Pambudi untuk terus berjuang melawan kemiskinan yang menjeratnya.
Kemiskinan bagi Kania bukanlah sesuatu yang harus diratapi dan disesali, tetapi
bagaimana caranya harus bangkit, harus berjuang mengalahkan kemiskinan itu.
Tidak boleh menyerah pada nasib. Karena nasib manusia bergantung pada
seberapa besar usaha yang sudah dilakukan. Hal ini diperkuat oleh Yant
Mujiyanto yang menyatakan bahwa “novel OMDS mengamanatkan agar orang
miskin tidak pernah berputus asa dalam memperjuangkan cita-citanya, tetap gigih
dan tawakal, pantang menyerah”.
Selain itu, novel ini juga mengamanatkan untuk terus belajar. Menuntut
ilmu sampai akhir hayat. Menuntut ilmu walau harus ke negeri China. Tidak
pernah ada kata terlambat untuk belajar. Seperti keteladanan yang ditunjukkan
Pak Cokro dan orang-orang tua yang lain, yang masih gigih belajar membaca
walaupun usia mereka sudah senja. Usia Pak Cokro yang sudah senja tidak
menghalanginya dalam menuntut ilmu. Ia bertekad sebelum mati harus
mempersembahkan yang terbaik untuk masyarakat. Ia ingin mengubah dirinya
yang buta huruf menjadi melek huruf. Setelah ia melek huruf, ia berusaha keras
membebaskan kampung Genteng dari kebodohan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
Dari hasil analisis struktural novel LP dan OMDS dapat diketahui
keterjalinan unsur-unsur yang membangun novel. Suatu karya dikatakan memiliki
kesatuan yang utuh apabila memiliki semua unsur dan antarunsurnya saling
berjalin, padu, dan koheren. Unsur harus memiliki makna dalam kaitannya dengan
unsur lain dan keseluruhannya. Untuk memperoleh makna keseluruhan dari suatu
karya sastra, unsur-unsur yang ada harus dihubungkan satu dengan yang lain
untuk mengetahui keterikatan atau keterkaitan antarunsur yang membangun.
Novel LP dan OMDS merupakan novel Indonesia mutakhir. Keduanya
disatukan oleh tema yang sama yakni masalah pendidikan. Tema merupakan
gagasan dasar umum suatu cerita, yang tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk
yang menampungnya. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap
unsur karya sastra yang lain, misalnya dalam novel LP dan OMDS. Dalam
menyajikan tema pendidikan, pengarang menampilkan sebuah potret kehidupan
sekelompok anak yang berjuang untuk memperoleh pendidikan, yaitu anggota
Laskar Pelangi (dalam novel LP) dan Anak Alam (dalam novel OMDS). Tokoh-
tokoh inilah yang bertugas sebagai pembawa dan pelaku cerita. Dengan demikian,
sebenarnya, tokoh-tokoh inilah yang bertugas untuk menyampaikan tema yang
dimaksudkan oleh pengarang.
Amanat juga mempunyai keterkaitan yang erat dengan tema. Tema dalam
karya sastra sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang
kehidupan. Pemikiran tentang kehidupan ini akan memberikan ajaran moral atau
pesan yang ingin disampaikan pengarang. Pesan inilah yang disebut dengan
amanat. Seperti halnya dalam novel LP dan OMDS, pengarang mengangkat tema
pendidikan. Dengan tema ini pengarang ingin mengamantkan kepada pembaca
agar orang miskin jangan pernah berputus asa dalam memperjuangkan cita-
citanya, tetapi harus gigih dan tawakal serta pantang menyerah. Dengan begitu,
amanat yang dikedepankan sangat mendukung tema yang dikembangkan.
Plot, di pihak lain berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya
adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa saja yang terjadi dan
dialami tokoh yang mampu memunculkan konflik. Dalam novel LP dikisahkan
anggota Laskar Pelangi hidup di bawah garis kemiskinan. Masalah kemiskinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
inilah yang menjadi awal munculnya konflik yang akan membawa permasalahan-
permasalahan lainnya, salah satunya adalah peristiwa putus sekolah yang dialami
oleh Lintang (dalam novel LP). Begitu juga dengan novel OMDS. Kemiskinan
yang menghinggapi tokohnya (ketiga Anak Alam) akan membawa permasalahan
yang kompleks nantinya. Tokoh dan segala peristiwa yang dialami tokoh inilah
yang akan menggerakkan plot.
Latar mempunyai hubungan erat dengan tema dan penokohan. Misalnya
dalam novel LP dan OMDS. Tema pendidikan menampilkan latar sekolah. Tema
kemiskinan akan menampilkan latar rumah yang seperti gubuk reyot yang kotor
dan kusam. Jadi, tema dan latar saling berkaitan erat. Selain itu, latar juga
mempunyai hubungan dengan penokohan. Latar akan mempengaruhi cara berpikir
dan karakter tokoh. Misalnya tokoh Ikal. Ikal digambarkan oleh pengarang
sebagai seorang yang memiliki tekad kuat dan pantang menyerah. Karakter
pantang menyerah ini terbentuk karena adanya latar tempat tinggal Ikal yakni
daerah pertambangan timah. Mayoritas warganya bekerja menjadi buruh kasar di
tambang timah ini, termasuk juga orang tua Ikal. Melihat kondisi orang tua yang
tidak mampu ini menimbulkan sifat pantang menyerah. Ikal tidak mau tunduk
dengan nasib. Ia pantang menyerah untuk tetap menuntut ilmu demi meraih cita-
cita merubah nasib menjadi lebih baik. Begitu pula dalam novel OMDS. Tokoh
Faisal juga digambarkan bertekad kuat. Hal ini terbangun dari latar tempat ia
tinggal yakni bersama orang-orang miskin dan tidak sekolah. Hal ini memacu
Faisal untuk pantang menyerah memperjuangkan nasib teman-temannya (Anak
Alam).
2. Persamaan dan PerbedaanNovel LP dan OMDS
Setelah melalui analisis struktur, nyata sekali bahwa antara LP dan OMDS
mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya itu meliputi tema, amanat,
alur, penokohan, dan latar waktu. Berikut rincian persamaan kedua novel ini.
a. Tema
Tema utama yang melingkupi kedua novel adalah masalah pendidikan.
Novel LP menggambarkan perjuangan para tokohnya yakni anggota Laskar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
Pelangi dalam meraih pendidikan. Sedangkan dalam novel OMDS juga
menggambarkan perjuangan ketiga Anak Alam dalam meraih pendidikan.
Pendidikan perlu diperjuangkan, karena tokoh dalam kedua novel sama-sama
dihadapkan pada situasi yang tidak memungkinkan yakni kondisi ekonomi
mereka yang tidak memungkinkan untuk memperoleh pendidikan.
Sementara itu, mengenai subtema-subtema yang lain tidaklah jauh berbeda
dari tema utama yang ditampilkan pengarang. Dalam kedua novel tersebut,
subtema yang lain juga masih berhubungan dengan masalah pendidikan. Dalam
novel LP terdapat subtema persahabatan, yakni persahabatan di antara anggota
Laskar Pelangi. Juga subtema percintaan yakni percintaan antara Ikal dan A Ling.
Selain itu ada juga subtema kemiskinan yakni kemiskinan masyarakat Melayu
Belitong yang menjadi buruh kasar di PN Timah. Dalam novel OMDS juga
dijumpai subtema yang sama. Subtema persahabatan, yakni persahabatan antara
Faisal dan ketiga Anak Alam. Subtema percintaan yakni percintaan antara
Pambudi dan Kania. Subtema kemiskinana yakni kemiskinan masyarakat
kampung Genteng (ayah Anak Alam) yang menjadi buruh seumur hidup di
sebuah peternakan sapi di Semarang.
b. Amanat
Amanat yang diperoleh dari kedua novel ini mempunyai persamaan yaitu
untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk
mewujudkan mimpi-mimpi itu bagaimana pun terbatasnya keadaan. Dari novel
LP, pesan ini diperoleh dari tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan
miskin yang tinggal di pesisir desa Tanjong Kelumpang. Jarak antara rumah ke
sekolahnya delapan puluh kilometer pulang pergi yang ditempuhnya dengan
bersepeda. Kemiskinan dan jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh tidak
mengendurkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di tengah kemiskinan yang
melandanya, ia tetap bersemangat dan bercita-cita menjadi matematikawan.
Sedangkan dari novel OMDS, pesan ini kita peroleh dari ketika Anak
Alam yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Ketiganya berasal dari keluarga miskin.
Bapaknya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi. Ketiganya tetap
berkemauan sekolah walaupun mengharuskan mereka belajar sambil bekerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
untuk membiayai sekolahnya. Keterbatasan tidak menghambat langkah mereka
dalam menggapai mimpi-mimpi mereka.
c. Alur
Dilihat dari penyusunan cerita, alur yang digunakan dalam kedua novel
tersebut adalah alur maju atau alur progresif. Setiap peristiwa yang terdapat dalam
kedua novel terjalin berkesinambungan. Penceritaan dimulai dari tahap
eksposition, inciting moment, rising action, complication, climax, falling action,
dan denouement. Setiap peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa
pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya atau menyebabkan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang kemudian. Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa yang ada
berdasarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas).
d. Penokohan
Terkait dengan penokohan tokoh utama dalam novel LP dan OMDS,
teknik karakterisasi kedua novel menggunakan teknik yang sama yaitu
menggunakan metode langsung dan metode tidak langsung. Baik itu LP maupun
OMDS karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci
tetapi dapat juga diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara
langsung.
Baik novel LP maupun OMDS sama-sama mengisahkan sebuah
persahabatan di antara tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh utama dalam LP antara lain
sepuluh anggota Laskar Pelangi (Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, kucai, Borek, A
Kiong, Sahara, Trapani, dan Harun) serta Flo; sedangkan dalam OMDS
persahabatan terjadi antara anak alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng) serta Faisal
dan Kania. Dari deskripsi itu terlihat bahwa baik novel LP maupun OMDS sama-
sama menceritakan sebuah jalinan persahabatan.
Tokoh utama yang menjadi bahan perbandingan yaitu tokoh Ikal dan
Faisal. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin
yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak
tokoh utama) yaitu berkemauan keras. Keduanya memiliki kemauan yang keras
dalam bercita-cita dan mewujudkan cita-citanya itu. Keduanya tidak mudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
menyerah pada nasib. Keduanya senantiasa berusaha melakukan yang terbaik
demi mewujudkan mimpi-mimpinya.
Ditinjau dari aspek sosiologis, watak dari tokoh utama dalam kedua novel
tersebut yaitu sama-sama punya jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap
sesama. Tokoh Ikal dalam novel LP digambarkan sangat menaruh perhatian dan
peduli dengan keadaan Lintang. Ia sangat prihatin dengan kondisi Lintang,
Lintang terpaksa putus sekolah karena perekonomian keluarganya yang tidak
memungkinkan. Ikal sangat menyayangkan hal ini, karena Lintang adalah seorang
yang superjenius yang harus memupus mimpinya karena keadaan. Sedangkan
dalam novel OMDS tokoh Faisal sangat peduli dengan nasib ketiga Anak Alam
(Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Ia memperjuangkan nasib ketiga Anak Alam agar
bisa sekolah. Karena sekolah adalah jembatan untuk bisa mewujudkan cita-cita.
e. Latar Waktu
Latar waktu dalam kedua novel ini mempunyai persamaan. Dalam novel
LP, pengarang tidak secara eksplisit menyebut kapan (tahun) terjadinya peristiwa
ini. Akan tetapi di dalam novel ini disinggung-singgung mengenai masa
pemerintahan presiden Soeharto dan ada beberapa bagian yang juga menyebut
tahun yakni tahun 1987 dan tahun 1991. Jadi hal ini bisa dijadikan petunjuk
bahwa kisah ini mengambil latar waktu pada masa itu, yakni pada masa
pemerintahan Soeharto yaitu kurun waktu 1966 – 1998.
Latar waktu kisah dalam novel OMDS juga tidak secara langsung
dijelaskan oleh pengarang, namun hal ini dapat dianalisis berdasarkan kutipan-
kutipan yang terdapat dalam cerita. Setting waktu dalam kisah ini dikaitkan
dengan peristiwa reformasi 1998, yakni setelah peristiwa reformasi terjadi. Jadi
dapat disimpulkan bahwa latar waktu dalam kedua novel mempunyai persamaan
yakni sama-sama terjadi pada era pemerintahan Soeharto, sekitar kurun waktu
1966 – 1998.
Novel LP dan OMDS selain memiliki kesamaan, juga memiliki perbedaan.
Perbedaan yang paling menonjol antara kedua novel ini terletak pada aspek sudut
pandang, latar tempat dan latar sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
a. Sudut Pandang
Kedua novel ini menggunakan sudut pandang yang berbeda. Dalam novel
LP pengarang sepenuhnya menggunakan sudut persona pertama “Aku”. Dalam
sudut pandang orang pertama ini pengarang berperan sebagai tokoh utama yakni
Ikal. Dengan sudut pandang ini narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam
cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya
sendiri, Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, sehingga pembaca
hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan
dirasakan tokoh “aku” tersebut. Dalam hal ini Ikal sebagai pencerita mengisahkan.
Sedangkan dalam novel OMDS, pengarang menggunakan sudut pandang
campuran antara persona pertama dengan persona ketiga “Dia” Mahatahu.
Dengan sudut pandang persona pertama ini pengarang mengisahkan peristiwa dan
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan serta sikapnya
terhadap tokoh lain kepada pembaca. Sedangkan dengan sudut pandang persona
ketiga “Dia” Mahatahu, pengarang bersifat mahatahu. Ia bebas bergerak dan
menceritakan apa saja dalam lingkung waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah
dari tokoh “dia” yang satu ke “dia” yang lain. Dengan kedua sudut pandang ini,
Ikal bebas menceritakan apa saja, tidak hanya terbatas pada peristiwa dan
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan saja. Hal ini
menjadikan pembaca tahu keadaan “luar-dalam” masing-masing tokoh.
b. Latar Tempat
Latar tempat kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel LP
berlatar di Pulau Belitong dan kota Bogor. Sedangkan dalam novel OMDS
berlatarkan kota Semarang, Jawa Tengah.
c. Latar Sosial
Kedua novel ini mempunyai latar tempat yang berbeda, maka secara
otomatis kedua novel ini menghadirkan latar sosial yang berbeda pula. Novel LP
yang notabene berlatar tempat di Belitong menghadirkan latar sosial kebudayaan
Melayu. Sedangkan dalam novel OMDS yang mengambil latar di Semarang, Jawa
tengah mengambil latar sosial kebudayaan Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
3. Hubungan Intertekstual antara Novel LP Karya Andrea Hirata dan
OMDS Karya Wiwid Prasetyo
Karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada
karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi budaya masyarakat yang
bersangkutan. Dengan demikian, karya sastra itu meneruskan konvensi yang
sudah ada ataupun menyimpangi meskipun tidak seluruhnya. Hal ini mengingat
bahwa karya sastra itu karya kreatif yang menghendaki adanya kebaruan, namun
tentu tidak baru sama sekali karena apabila sama sekali menyimpang dari
konvensi, ciptaan itu tidak akan dikenal ataupun tidak dapat dimengerti oleh
masyarakatnya. Mengenai konvensi sastra yang disimpangi atau diteruskan, dapat
berupa konvensi bentuk formalnya ataupun isi pikiran, masalah, dan tema yang
terkandung di dalamnya.
Pembicaraan hubungan intertekstual antara novel LP karya Andrea Hirata
dan OMDS karya Wiwid Prasetyo adalah mengenai kesamaan tema di antara
keduanya. Kedua novel sama-sama mengangkat masalah pendidikan yaitu
perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan guna mewujudkan cita-cita
mereka. Masalah perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan lebih dahulu
diangkat dalam LP (2008) oleh Andrea Hirata. Masalah perjuangan orang miskin
dalam meraih pendidikan kemudian diangkat lagi oleh Wiwid Prasetyo dalam
karyanya OMDS (2010). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Wiwid
Prasetyo meneruskan tema yang ditawarkan oleh Andrea Hirata, yakni mengenai
pendidikan dan segala permasalahannya.
Novel LP merupakan sebuah novel memoar kehidupan masa kecil Andrea
Hirata. LP menceritakan kehidupan masyarakat Melayu Belitong yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Perekonomian Belitong yang pada saat itu dipegang
mutlak oleh PN Timah yang tidak membagi kekayaan sedikitpun untuk
masyarakat Melayu Belitong kecuali menjadi buruh kasar di perusahaan tersebut.
Diceritakan kehidupan sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi dalam
upaya mewujudkan cita-cita di tengah himpitan masalah ekonomi. Dalam novel
ini diceritakan berbagai macam kesulitan yang harus dihadapi demi mendapat
pendidikan. Hal ini diwakili oleh tokoh Lintang. Ia merupakan seorang anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
miskin yang harus bekerja untuk bisa tetap sekolah. Ia harus menempuh jarak
delapan puluh kilometer pulang pergi untuk dapat menikmati sekolah.
Pada masa Andrea Hirata menulis LP, 4 tahun kemudian OMDS terbit
yakni di tahun 2009. Begitu halnya dengan LP, novel OMDS juga merupakan
sebuah novel memoar kehidupan masa kecil Wiwid Prasetyo. Wiwid Prasetyo
menulis novel ini karena ia terinspirasi setelah membaca novel LP. Ia kemudian
mengumpulkan remah-remah ingatan masa kecilnya, dan menulis novel serupa,
yakni Novel OMDS.
Apabila dalam LP digambarkan hegemoni PN Timah yang menguasai
perekonomian di Belitong, maka dalam novel OMDS hegemoni perekonomian
dipegang oleh seorang pemilik peternakan sapi terbesar di Semarang. Apabila
dalam LP terdapat sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi, maka dalam
novel OMDS digambarkan kehidupan sekumpulan anak yang dijuluki Anak Alam
di sebuah Kampung di Semarang. Ayah ketiganya bekerja sebagai buruh di
peternakan sapi tersebut. Mereka harus bekerja serabutan untuk bisa sekolah,
karena memang orang tua mereka tidak memungkinkan untuk membiayai
sekolahnya. Mereka matia-matian memperjuangkan sekolahnya demi meraih cita-
cita, untuk bisa keluar dari jerat kemiskinan ini.
Subtema pada kedua novel adalah percintaan. Di dalam novel LP
percintaan terjadi antara Ikal dan Aling. Ikal jatuh cinta pertama kali ketika
kegiatan membeli kapur tulis di toko Sinar Harapan. Di sana ia melihat kuku-kuku
cantik. Ia terpesona melihat keelokan kuku-kuku tersebut dan ingin melihat wajah
pemilik kuku-kuku cantik itu. Ketika melihat A Ling, Ikal langsung jatuh cinta
pada pandangan pertama, dan ternyata selama ini A Ling pun juga
memperhatikannya.
Dalam novel OMDS percintaan terjadi antara Pambudi dan Kania.
Pambudi dan Kania adalah teman sekelas di SD Kartini. Pambudi jatuh cinta
kepada Kania karena jiwa pemberani Kania. Kania dengan berani membela ketiga
Anak Alam yang sedang diolok-olok teman sekelas. Dari peristiwa ini Pambudi
menaruh simpati terhadap Kania. Pambudi mengutarakan cintanya kepada Kania,
dan Kania pun tidak menolaknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
Subtema yang lain adalah persahabatan. Di dalam novel LP persahabatan
yang terjalin yaitu antara kesepuluh anggota Laskar Pelangi dan Flo. Diceritakan
dalam novel ini sebuah jalinan persahabatan di antara sepuluh orang anak yang
dijuluki Laskar Pelangi, karena kebiasaan mereka melihat pelangi secara bersama-
sama. Kesepuluh anak tersebut yaitu Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Harun, A
Kiong, Kucai, Trapani, Samson, dan Syahdan. Kesepuluh anak ini bersahabat
sejak pertama masuk SD. Sebuah persahabatan yang indah. Semua individu punya
karakteristik tertentu. Lintang Si jenius, Samson Si Pria perkasa, Trapani Si pria
flamboyan, Kucai yang oportunis dan bermulut besar, Sahara yang
temperamental, Harun Si Pria santun dan murah senyum, Mahar sang seniman, A
Kiong yang sangat naif, Syahdan yang tak punya sense of fashion, serta Ikal yang
memang berambut Ikal.
Dalam novel OMDS persahabatan yang terjalin yakni antara ketiga Anak
Alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng) dan Faisal. Meskipun mempunyai status
sosial ekonomi yang berbeda, mereka tetap bersahabat dengan baik. Faisal yang
rendah hati, mempunyai kepedulian yang tinggi, suka menolong, dan bertekad
kuat. Pambudi si gigi kelinci dan berambut jagung yang mempunyai jiwa
pemimpin, seorang pribadi yang dewasa, polos, apa adanya, keras kepala dan
bertekad kuat. Yudi yang berwajah lucu bertahi lalat, berambut ikal dan
mempunyai kecacatan tubuh, yakni kulitnya albino, putih pucat seperti sapi,
banyak bintik-bintik merah seperti kulit babi. Pepeng yang berwajah aneh dan
merupakan pribadi yang polos. Mereka rela berkorban satu sama lain dan setia
kawan. Faisal yang berasal dari keluarga mampu, selalu memikirkan nasib teman-
temannya dan mengusahakan pendidikan untuk teman-temannya tersebut.
Terkait dengan tokoh dan penggambarannya dalam novel LP mempunyai
kesamaan dengan tokoh serta cara penggambaran tokoh dalam OMDS. Teknik
karakterisasi kedua novel menggunakan teknik yang sama yaitu menggunakan
metode langsung dan metode tidak langsung. Baik itu LP maupun OMDS karakter
tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi dapat
diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
Baik novel LP maupun OMDS sama-sama mengisahkan sebuah
persahabatan di antara tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh utama dalam LP antara lain
sepuluh anggota Laskar Pelangi (Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, kucai, Borek, A
Kiong, Sahara, Trapani, dan Harun) serta Flo; sedangkan dalam OMDS
persahabatan terjadi antara anak alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng) serta Faisal
dan Kania. Dari deskripsi itu terlihat bahwa baik novel LP maupun OMDS sama-
sama menceritakan sebuah jalinan persahabatan.
Tokoh utama yang menjadi bahan perbandingan yaitu tokoh Ikal dan
Faisal. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin
yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak
tokoh utama) yaitu berkemauan keras. Keduanya memiliki kemauan yang keras
dalam bercita-cita dan mewujudkan cita-citanya itunya. Keduanya tidak mudah
menyerah dengan nasib. Keduanya senantiasa berusaha melakukan yang terbaik
demi mewujudkan mimpi-mimpinya.
Ditinjau dari aspek sosiologis, watak dari tokoh utama dalam kedua novel
tersebut yaitu sama-sama punya jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap
sesama. Tokoh Ikal dalam novel LP digambarkan sangat menaruh perhatian dan
peduli dengan keadaan Lintang. Ia sangat prihatin dengan kondisi Lintang, ia
terpaksa putus sekolah karena perekonomian keluarganya yang tidak
memungkinkan. Ikal sangat menyayangkan hal ini, karena Lintang adalah seorang
yang superjenius yang harus memupus mimpinya karena keadaan. Sedangkan
dalam novel OMDS tokoh Faisal sangat peduli dengan nasib ketiga anak alam
(Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Ia memperjuangkan nasib ketiga anak alam agar
bisa sekolah. Karena sekolah adalah jembatan untuk bisa mewujudkan cita-cita.
Amanat yang diperoleh dari kedua novel ini mempunyai persamaan yaitu
untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk
mewujudkan mimpi-mimpi itu bagaimana pun terbatasnya keadaan. Dari novel
LP, pesan ini diperoleh dari tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan
miskin yang tinggal di pesisir desa Tanjong Kelumpang. Jarak antara rumah ke
sekolahnya delapan puluh meter pulang pergi yang ditempuhnya dengan
bersepeda. Kemiskinan dan jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
mengendurkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di tengah kemiskinan yang
melandanya, ia tetap bersemangat dan bercita-cita menjadi matematikawan.
Sedangkan dari novel OMDS, pesan ini diperoleh dari ketiga Anak Alam
yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Ketiganya berasal dari keluarga miskin.
Bapaknya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi. Ketiganya tetap
berkemauan bersekolah walaupun hal ini mengharuskan mereka belajar sambil
bekerja untuk membiayai sekolahnya. Keterbatasan tidak menghambat langkah
mereka dalam menggapai mimpi.
Alur novel LP dan OMDS mempunyai persamaan yaitu sama-sama
menggunakan alur maju atau progresif. Plot ini dimulai dari tahap eksposition,
Inciting moment, ricing action, complication, climax, dan denouement. Pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa yang ada berdasarkan hubungan sebab-akibat
(kausalitas).
Pradopo (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 133) menyatakan prinsip
dasar intertekstualitas:
“Karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri”.
Mengacu pendapat di atas, maka jelaslah sekarang bahwa LP merupakan
sebuah karya hipogram, yaitu karya yang melatarbelakangi penciptaan karya
selanjutnya. Sementara itu, OMDS disebut dengan karya transformasi karena
mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.
4. Nilai Pendidikan Novel LP dan OMDS
a. Novel LP
1) Nilai Pendidikan Religius/Agama
Dalam novel ini nilai pendidikan agama, khususnya agama Islam sangat
kental. Namun penyajiannya sangat sederhana dan tidak menggurui pembacanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
Sehingga pesan-pesan religi di dalam novel ini dapat dikembangkan atau dipakai
untuk penganut semua agama.
Agama Islam, begitu juga agama lainnya selalu mengajarkan bahwa Tuhan
itu satu. Maka dalam Islam selalu ditekankan bahwa Allah Maha Esa. Allah Maha
Agung. Allah Maha Mengetahui, Maha Kuasa. Allah yang menuliskan nasib
makhluknya. Tidak ada satu lembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan-Nya.
Manusia hanya menjalani apa yang sudah ditakdirkan. Manusia diwajibkan untuk
berusaha, tetapi hasil akhirnya tetap di tangan Allah.
Dalam agama islam, banyak aturan atau etika yang harus dipatuhi. Dalam
novel ini banyak dipenuhi nilai pendidikan keagamaan, diantaranya untuk selalu
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, selalu melaksanakan solat tepat
waktu, dan seorang muslim dianjurkan untuk diam dan menghentikan sejenak
aktivitasnya ketika mendengar suara azan.
Nilai pendidikan agama dapat diambil dari sikap Pak Harfan dalam
memelihara jenggot. Dan ketika ditanya tentang jenggotnya, Pak Harfan
mengatakan bahwa manusia hidup harus mempunyai pegangan, sehingga apa pun
perilaku yang kita kerjakan haruslah mempunyai sebuah dasar. Pak Harfan
sebagai penganut agama islam mencoba untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad
S.A.W. yakni memelihara jenggot. Karena melaksanakan sebuah sunah di dalam
Islam akan mendatangkan pahala.
Pak Harfan dan Bu Mus dalam pertemuan pertama pembelajaran
menjelaskan secara gamblang implikasi amar makhruf nahi mungkar sebagai
pegangan moral anggota Laskar Pelangi sepanjang hayat. Amar makhruf nahi
mungkar adalah sebuah ajaran agama islam yang sangat dalam maknanya. Arti
umum dari ayat itu adalah “mengajak sesama pada kebenaran atau kebaikan dan
menjauhi segala yang buruk dan dilarang oleh Allah S.W.T.”. Implikasinya adalah
bahwa kita sebagai manusia harus selalu berjalan, bertindak, dan bertingkah laku
sesuai dengan jalan kebenaran dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak
sesuai dengan kehendak masyarakat dan Tuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
2) Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral dalam karya sastra biasanya bertujuan untuk mendidik
manusia agar mengenal nilai-nilai budi pekerti dan estetika. Nilai pendidikan
moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang
individu atau dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang
menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.
Demikian pula dalam novel LP karena latar penceritaannya adalah di
lingkungan masyarakat maka ceritanya tentu tidak terlepas dari nilai-nilai moral
yang hidup di tengah masyarakat. Seperti peristiwa ketika Ikal ditanya ibunya
mengenai bekas merah di dadanya. Ikal tetap berkata jujur meskipun sangat malu
untuk membongkar ketololannya yang mempercayai hasutan Borek. Selain itu ada
juga tokoh Sahara yang juga patut dijadikan teladan. Sahara selalu menjunjung
tinggi kejujuran. Pantang baginya untuk berkata bohong. Meskipun diancam
dicampakkan ke dalam api, tidak satupun bohong keluar dari mulutnya. Hal inilah
yang ingin disampaikan pengarang bahwa di dalam hidup ini harus selalu berkata
jujur. Karena apabila sudah berbohong, maka selanjutnya akan berbohong lagi
untuk menutupi kebohongan yang dulu. Begitu seterusnya.
Pelajaran moral lain juga datang dari tokoh Lintang. Lintang merupakan
sosok yang super jenius. Namun dengan kejeniusannya itu tidak menjadikannya
kalap. Lintang selalu beranggapan bahwa kepandaian bukan untuk disombongkan.
Pengetahuan yang dimilikinya belum seberapa dibanding lautan ilmu yang
terbentang sangat luas. Di atas langit masih ada langit.
Pelajaran moral dari tokoh Lintang lainnya yaitu ketika peristiwa Lintang
putus sekolah. Lintang sangat bersedih dengan peristiwa ini, namun tidak
menyesali usaha yang telah dilakukannya selama ini. Hal ini memberikan isyarat
untuk tidak bersedih apabila seseorang tidak dapat menggapai cita-cita besar yang
sudah diperjuangkan, karena paling tidak dapat mewujudkan keinginan dan
membahagiakan orang-orang yang dicintai. Hal ini mengisyaratkan untuk tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan, karena kesempatan tidak datang dua
kali. Penyesalan pasti akan datang terlambat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
Pesan moral yang lain dapat dambil dari peristiwa pemilihan ketua kelas.
Pemilihan ketua kelas dilaksanakan dengan cara voting. Setiap orang bebas
menentukan pilihannya. Tak terkecuali Harun. Meskipun Harun mempunyai
kecacatan, Bu Mus tetap memberikan kesempatan kepada Harun untuk
memberikan suaranya. Hal ini memberikan pendidikan moral untuk menghargai
setiap orang bagaimanapun keadaannya. Bu Mus berlaku sangat demokratis dalam
pemilihan ketua kelas, karena tahu Harun tidak dapat menulis maka sebagai
penggantinya memberi kesempatan kepada Harun untuk menggunakan hak
politiknya yaitu dengan cara lisan.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Nilai pendidikan sosial sebuah cerita novel, dapat diambil dari hal-hal
yang bersifat positif maupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar
pembaca memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus
ditonjolkan sebagai sesuatu yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi
negatif perlu dikatakan serta ditampilkan agar seseorang tidak tersesat, bila
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar,
maka tidak akan berusaha bertindak lebih baik apabila tidak mengetahui hal-hal
jelek yang tidak pantas dilakukan.
Nilai sosial yang dapat diambil dari novel ini yaitu rasa peduli dan
solidaritas di antara tokohnya, yakni anggota Laskar Pelangi. Solidaritas ini
ditunjukkan ketika anggota Laskar Pelangi ikut mencari ketika Flo hilang di hutan
sekitar Gunung Selumar. Mereka bersusah payah mencari Flo karena didorong
oleh rasa perhatian dan kepedulian terhadap teman.
Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak
mungkin hidup sendiri. Manusia merupakan anggota masyarakat. Dalam bergaul
di masyarakat, manusia harus memegang tinggi kejujuran. Karena apabila sekali
seseorang itu pernah berbohong, maka setelahnya walaupun kita mengatakan
kejujuran pasti dianggap sebagai sebuah kebohongan. Begitu juga halnya yang
terjadi pada tokoh Mahar. Karena kebiasaannya membual, maka ketika Mahar
mengatakan sekalipun itu sebuah kebenaran, teman-temannya yang lain tidak
mempercayainya lagi. Jadi dapat diteladani bahwa dalam hidup ini seseorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
harus menjaga kepercayaan yang sudah diberikan kepadanya. Karena sekali
berbohong maka seterusnya sulit untuk dipercaya.
Selain diperlukan kejujuran, dalam kehidupan sosial seseorang harus
menjalin komunikasi dengan sesamanya. Dalam berkomunikasi tidak dapat
dihindari berbagai polemik yang muncul. Novel ini mengamanatkan untuk tidak
berpolemik terhadap sesuatu yang tidak dipahami dan benar-benar dikuasai,
karena hal ini hanya akan memperlihatkan kebodohan. Seperti kisah pada saat
lomba kecerdasan. Drs Zulfikar menantang kecerdasan Lintang. Namun, karena
Drs Zulfikar sendiri sebenarnya kurang memahami permasalahan, ia dipukul
mundur oleh Lintang. Lintang mementahkan semua pendapat yang dinyatakan
oleh Drs Zulfikar.
4) Nilai Pendidikan Kebudayaan
Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi
bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat
diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh
dalam cerita.
Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah yang
dimaksud dalam novel ini adalah budaya yang bernuansa pulau Belitong. Nilai
budaya ini kadang berbenturan dengan nilai-nilai agama yang dipegang oleh
tokohnya. Seperti adanya kepercayaan terhadap dukun yakni Tuk Bayan Tula.
Masyarakat Belitong masih percaya dengan dukun. Mereka percaya bahwa Tuk
Bayan Tula adalah seorang dukun sakti mandraguna yang dapat dimintai
pertolongan apa saja. Maka dari itu Mahar beserta anggota Societeit de Limpai
pergi ke Pulau lanun untuk menemui Tuk Bayan Tula dengan tujuan agar nilai
ulangannya membaik. Bukan jampi-jampi untuk menaikkan nilai yang didapat,
tetapi kekecewaan yang harus mereka telan. Hal ini memberikan pelajaran untuk
tidak mempercayai segala sesuatu yang belum tentu kebenarannya, sesuatu yang
tidak dapat diterima logika. Bahwa segala sesuatu tidak bisa diperoleh dengan
cara yang instan, semuanya memerlukan usaha dan doa. Jika seseorang ingin
pandai, maka sudah seharusnya belajar. Jika seseorang ingin kaya, maka sudah
seharusnya bekerja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
Selain kepercayaan terhadap dukun, masyarakat Melayu Belitong ada juga
yang mempercayai adanya ilmu buaya, di mana buaya mereka sembah layaknya
Tuhan. Mereka punya keyakinan bahwa setelah mati dirinya akan berubah
menjadi buaya. Hal ini memngisyaratkan bahwa budaya terkadang tidak masuk
akal. Namun harus dipahami dan dimaklumi karena budaya adalah bagian dari
sebuah kepercayaan dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat. Sebagai sebuah kepercayaan, terlepas benar atau tidaknya
kepercayaan itu nyatanya ada dan hidup berkembag di tengah masyarakat. Oleh
karena itu kita harus dihormati.
Selain itu dalam cerita ini, pulau Belitong diceritakan didiami oleh banyak
suku. Suku Sawang salah satu contohnya. Suku ini digambarkan mempunyai
integritas yang tinggi, memiliki etos kerja yang tinggi, jujur, tidak usil dengan
urusan orang lain, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Karakter suku
Sawang ini bisa menjadi contoh dalam menjalani kehidupan.
b. Novel OMDS
1) Nilai Pendidikan Religius/Agama
Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan
Tuhan. Manusia senantiasa akan membutuhkan Tuhan karena secara naluri,
manusia akan selalu membutuhkan perlindungan dan pertolongan dari-Nya.
Dalam kehidupan seseorang, agama merupakan faktor yang sangat penting yang
akan memberi warna dalam hidupnya. Bahkan agama menjadi dasar bersikap bagi
seseorang untuk menilai berbagai fenomena kehidupan. Dalam novel OMDS,
pengarang ingin menunjukkan bahwa Allah Maha Esa, Maha Pemurah, Maha
kuasa, berkehendak atas segala. Manusia hanya wajib berusaha sebaik mungkin.
Allah lah yang menentukan semuanya. Seperti ketika Anak Alam dan teman-
temannya menunggu hasil rapor. Mereka sudah berusaha belajar sebaik mungkin
selama satu semester, dan ketika pembagian rapor tiba, mereka menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah. Allah lah yang menentukan hasil semua usaha yang
dilakukan manusia. Allah Maha Esa, Maha Pemurah, Maha kuasa, berkehendak
atas segala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
Selain itu, Islam juga mengajarkan “ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri
Cina”. Hal ini mengisayaratkan bahwa manusia sebagai makhluk Allah
diperintahkan untuk menuntut ilmu walau tempatnya sangat jauh. Jarak tidak
boleh dijadikan penghalang untuk menuntut ilmu. Karena Allah tidak menyukai
kebodohan. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.
Penganut agama yang taat adalah pribadi yang menghormati segala aturan
agamanya. Dalam agama Islam, banyak aturan yang harus dipatuhi, misalnya
ketika sholat jumat, kita dianjurkan untuk datang lebih awal jika masih
menginginkan pahala sebesar gunung. Karena apabila khatib berkutbah dan
makmun terlambat, maka pahalanya hanya seperti shalat jamaah biasa. Semua
aturan-aturan dan perintah-perintah agama harus dipatuhi apabila seseorang ingin
masuk surga.
2) Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral sering disamakan maknanya dengan nilai etika. Nilai moral
atau etika merupakan suatu nilai yang menjadi ukuran pantas atau tidaknya
tindakan seorang manusia dalam kehidupan sosialnya. Moral atau etika juga
menyangkut baik dan buruknya, benar dan salahnya, dan pantas tidaknya perilaku.
Nilai tersebut biasanya dibangun dari kebiasaan yang berkembang dalam
masyarakat tertentu.
Berkaitan dengan penjelasan itu, novel OMDS merupakan novel humanis
yang di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai pendidikan yang berharga, salah
satunya nilai pendidikan moral. Novel OMDS menceritakan persahabatan tokoh
utamanya yakni Faisal dengan ketiga Anak Alam yakni Pambudi, Yudi dan
Pepeng. Ketiga Anak Alam tersebut berasal dari keluarga tidak punya, padahal di
kelas 1-2 rata-rata berasal dari keluarga menengah ke atas, hingga pada suatu saat
ketiga Anak Alam tersebut diejek oleh teman sekelas karena miskin. Kemudian
Bu Mutia hadir memberikan petuah bahwa di dalam bergaul tidak boleh pilih-
pilih, tidak boleh membeda-bedakan, dan tidak boleh pandang bulu. Semua
manusia itu sama, yang membedakan adalah amalannya di hadapan Tuhan.
Pada bagian lain, tokoh Bu Mutia juga memberikan pelajaran moral yakni
untuk jangan mudah percaya pada orang lain, yaitu melalui cerita Mat Karmin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
Mat Karmin yang di luarnya lugu, seperti anak kecil, ternyata di dalamnya
mempunyai penyakit penyimpangan seksual yakni pedhopilia. Jadi, ketika
seseorang bergaul di tengah masyarakat, janganlah asal percaya saja dengan orang
lain. Hendaknya diketahui terlebih dahulu latar belakang orang itu, bagaimana
sikapnya sehari-hari, bagaimana kepribadiannya, dan lain-lain.
Selain itu ada juga pelajaran moral lain yang terkandung dalam novel
OMDS ini, yakni janganlah suka menyebar fitnah dan menghasut orang lain. Hal
ini terlihat dari kisah ketika Pak Cokro taubat dari praktik dukunnya dan berusaha
membenahi diri dengan cara membantu warga untuk bisa membaca dan menulis.
Pak Cokro kemudian difitnah oleh warga yang tidak menyukainya dan dituduh
menyebarkan ajaran sesat pada warga. Kisah ini mengisyaratkan untuk jangan
suka berbicara asal saja tanpa disertai bukti. Jangan suka menghasut dan
memfitnah orang lain. Karena perbuatan fitnah itu amat keji dan harus dihindari.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Nilai pendidikan sosial yang diambil dari sebuah cerita bisa dari hal-hal
yang bersifat positif ataupun negatif. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat
diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Banyak pelajaran yang
dapat kita petik dari novel OMDS, terutama dari segi pelajaran sosialnya. Hal ini
terlihat dari pemikiran juga perilaku yang ditunjukkan tokoh Faisal. Faisal
mempunyai solidaritas dan jiwa sosial yang tinggi. Faisal peduli dengan
sesamanya, peduli dengan nasib ketiga Anak Alam yang tidak bisa mengenyam
pendidikan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Faisal bersusah payah
mengusahakan agar anak-anak alam bisa sekolah. Karena tanpa sekolah mereka
hanya akan teronggok dalam kemiskinan dan kebodohan. Rasa solidaritas tokoh
Faisal memang sangat tinggi. Hal ini diceritakan dari awal hingga akhir cerita.
Selain tokoh Faisal, ada juga tokoh pak Cokro yang juga mempunyai sifat
kepedulian dengan sesama. Setelah Pak Cokro pensiun dari praktik
perdukunannya, Pak Cokro ingin memberikan sesuatu yang berharga bagi
kampungnya dan bercita-cita untuk membuat kampung Genteng menjadi
kampung melek huruf. Didorong oleh rasa kepedulian ini, Pak Cokro berusaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
208
sekuat tenaga untuk membantu warga dengan cara mendirikan pondok baca dan
mengajari warga Kampung Genteng membaca.
Selain itu, pengarang juga menyoroti masalah ketimpangan sosial yakni
masalah kesenjangan sosial yang ada dalam tatanan masyarakat di Semarang
khususnya Gedong Sapi. Kesenjangan sosial itu tampak antara kaum Cina
pinggiran dengan masyarakat pribumi, yaitu antara Yok Bek dan keluarga Anak
Alam. Kesenjangan sosial yang sudah ada ini sebaiknya jangan semakin dibiarkan
menganga lebar. Yang kaya hendaknya senantiasa membantu yang kurang
mampu. Yang kurang mampu hendaknya senantiasa berusaha keras agar jurang
kesenjangan sosial ini tidak semakin lebar.
4) Nilai Pendidikan Kebudayaan
Cerita dalam novel OMDS mengambil latar tempat di Semarang, Jawa
Tengah. Sehingga kebudayaan yang diangkat pun juga kebudayaan masyarakat
Jawa yakni budaya kejawen. Masyarakat Jawa dikenal sangat kental dengan dunia
mistik atau kebatinan, seperti adanya semedi, kemenyan, sesajen, kondangan,
ruwatan, juga dukun. Sebagian masyarakat Jawa kuno/tradisional masih sangat
percaya dengan dukun, yang diyakini sebagai “orang pintar” yang dipercaya
menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib. Sehingga dukun sering
dimintai pertolongan, entah itu untuk pengobatan, mengusir roh halus, ataupun
menerawang masa depann. Tokoh dukun dalam novel ini diwakili oleh tokoh Pak
Cokro yang merupakan sesepuh atau dukun di Kampung Genteng.
Ada dua kubu yakni kubu yang percaya dan kubu yang tidak percaya
dengan hal-hal semacam ini. Terlepas benar atau tidaknya kesaktian dukun ini,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan yang melekat dalam suatu
kelompok masyarakat tidak ada yang salah. Namun, sebagai masyarakat yang
hidup di dalamnya harus dapat menyaring, harus berpikir rasional, jangan asal
percaya saja dengan sesuatu yang tidak dapat diterima akal sehat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
Ada keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Laskar Pelangi dan
Orang Miskin Dilarang Sekolah. Pada novel Laskar Pelangi, alur yang digunakan
adalah alur progresif atau alur maju; tema yang diangkat adalah pendidikan yang
diramu dengan kisah persahabatan, percintaan dan fenomena sosial yakni
kemiskinan; penokohan berdasarkan sifat tokoh utama dalam novel tersebut
digambarkan secara fisiologis, psikologis, dan sosiologis; latar tempat yang
digunakan pengarang, yaitu pulau Belitong. Latar waktu yaitu pada era
pemerintahan Soeharto sekitar kurun waktu 1966-1998. Latar sosialnya
kebudayaan Melayu Belitong; sudut pandang yang digunakan, yaitu sudut
pandang persona pertama atau (teknik akuan); amanat yang ingin disampaikan
pengarang, yaitu untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus
berusaha keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Sedangkan pada novel
Orang Miskin Dilarang Sekolah, alur yang digunakan adalah alur progresif atau
alur maju; tema yang diangkat adalah pendidikan yang diramu dengan kisah
persahabatan, percintaan dan fenomena sosial yakni kemiskinan; penokohan
berdasarkan sifat tokoh utama dalam novel tersebut digambarkan secara fisiologis,
psikologis, dan sosiologis; latar tempat yang digunakan pengarang, yaitu kota
Semarang, Jawa Tengah. Latar waktu yakni kurun waktu 1988-1996. latar
sosialnya kebudayaan Jawa; sudut pandang yang digunakan, yaitu sudut pandang
campuran, yakni persona pertama dan persona ketiga “Dia” Mahatahu; amanat
yang ingin disampaikan pengarang, yaitu untuk jangan takut bermimpi dan
bercita-cita serta harus berusaha keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Persamaan struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah
terletak pada tema, alur, amanat, penokohan tokoh utama, dan latar waktu.
Perbedaannya terletak pada sudut pandang, latar tempat dan latar sosial. Dari
209
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
210
persamaan dan perbedaan struktur kedua novel, maka dapat diketahui bahwa
novel Laskar Pelangi memberikan pengaruh terhadap terciptanya novel Orang
Miskin Dilarang Sekolah. Dengan demikian, novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata merupakan hipogram novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo. Dengan kata lain novel Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan teks
transformasi dari novel Laskar Pelangi.
Nilai pendidikan dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang
Sekolah meliputi nilai pendidikan religius, nilai pendidikan moral, nilai
pendidikan sosial, dan nilai pedidikan kebudayaan. Benang merah cerita dalam
kedua novel ini memberikan pendidikan untuk jangan pernah berhenti berusaha,
serta jangan pernah menyerah pada keadaan. Bagaimanapun susahnya keadaan,
wajib berusaha dan mengusahakan ke arah yang lebih baik. Selain itu kedua novel
ini juga memberikan didikan untuk berani bercita-cita dan berusaha keras
mewujudkan cita-cita itu bagaimanapun keadannya.
B. Implikasi
Penelitian ini merupakan kajian terhadap dua novel, yakni novel Laskar
Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah dengan menggunakan pendekatan
intertekstualitas yang sebelumnya didahului dengan pendekatan struktural. Selain
itu, dikaji pula nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel. Dari hasil
penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dan memiliki
hubungan positif.
Implikasi secara teoretis, bahwa dengan banyaknya penelitian sastra
dengan berbagai pendekatan, kajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas ini
dapat memperkaya masalah telaah sastra. Model kajian secara struktural yang
dilanjutkan dengan pendekatan intertekstualitas ini dapat menjadi acuan
pengkajian sastra dengan pendekatan yang berbeda dan variabel yang berbeda
pula.
Implikasi secara praktis, bahwa hasil penelitian ini memiliki keterlibatan
yang erat dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yakni pembelajaran
teori dan apresiasi novel di kelas XI SMA. Silabus pada jenjang SMA kelas XI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
211
mengandung Standar Kompetensi berupa memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia/terjemahan. Standar Kompetensi tersebut memuat Kompetensi Dasar
berupa menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/
terjemahan.
Hakikat dalam sebuah pembelajaran sastra di sekolah adalah apresiasi
sastra, karena dalam apresiasi sastra siswa melaksanakan aktivitas membaca,
menikmati, menghayati, memahami, serta merespon karya sastra. Melalui
apresiasi sastra diharapkan siswa mampu mengapresiasi dan memberikan
penghargaan yang tulus terhadap karya sastra yang ada. Semua ini dapat dicapai
melalui pergulatan yang intens antara siswa dengan karya sastra yang didasari
rasa suka serta obsesi mendalam terhadapnya hingga pada akhirnya siswa dapat
merasakan kenikmatan estetika dan keharuan akan maknanya. Hal inilah yang
menjadi tujuan akhir dalam pembelajaran sastra di sekolah, yaitu menjadikan
siswa paham dan mengerti apa itu sastra serta dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
Diperlukan karya sastra yang berkualitas dan sarat nilai untuk dapat
mencapai tujuan pembelajaran sastra seperti di atas. Sebuah karya sastra
dikatakan bermutu apabila isi dari karya sastra tersebut lebih mengedepankan
nilai-nilai kehidupan yang bermakna, memikat, menggugah, memotivasi dan
menginspirasi. Karya sastra tersebut disampaikan dengan cara yang lancar, indah,
dan enak dibaca. Diceritakan secara tidak langsung, tidak terang-terangan namun
jernih, bersifat informatif tanpa ada kesan menggurui.
Novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan
dua novel Indonesia mutakhir. Kedua novel relevan untuk dijadikan sebagai
materi pelajaran karena tema cerita yang diangkat dalam kedua novel sangat
dekat dengan dunia siswa yakni masalah pendidikan. Tokoh-tokoh yang
dimunculkan pun anak-anak sekolah layaknya mereka. Cerita yang terjalin pada
kedua novel dikemas ringan, mengalir dan menarik sehingga mudah dipahami
oleh siswa. Bahasa yang digunakan pada kedua novel juga sederhana sehingga
siswa tidak memerlukan waktu lama hanya untuk mendapatkan makna dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
212
kalimat yang terdapat pada kedua novel. Dengan demikian siswa akan lebih
mudah menganalisis struktur kedua novel tersebut.
Dari analisis struktur akan terlihat jelas struktur yang membangun kedua
novel, yang meliputi tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat.
Dari kegiatan membaca dan menganalisis struktur kedua novel, siswa dapat
mempelajari gambaran kehidupan para tokohnya. Siswa dapat mengambil
pelajaran berharga dari berbagai konflik yang dialami para tokohnya juga
berbagai macam karakter positif yang dimunculkan. Selain itu siswa juga dapat
mengambil nilai pendidikan yang terdapat dalam kedua novel, yang meliputi nilai
pendidikan religius, moral, sosial, dan kebudayaan. Nilai-nilai pendidikan ini
dapat dijadikan sebagai bahan perenungan dalam menjalani kehidupan. Sebuah
novel akan bernilai baik dan bermanfaat apabila ia mampu menjadi pencerah bagi
pembacanya. Dalam hal ini novel dapat dijadikan sebagai bahan introspeksi diri
sesuai dengan tujuan pengarang menciptakan novel tersebut.
Akan tetapi, untuk menjadikan kedua novel ini sebagai materi pelajaran,
guru harus jeli, teliti, dan hati-hati agar nilai-nilai yang terdapat dalam kedua
novel tersebut dapat dimaknai dengan benar dan bijak. Guru harus memberikan
pengantar lebih dahulu agar siswa dapat memandang kedua novel dengan tepat
karena pengetahuan yang didapat oleh seseorang dapat mempengaruhi tindakan
seseorang dalam menjalani hidup. Pengantar tersebut dapat berupa penjelasan
mengenai nilai-nilai positif dan negatif yang terdapat dalam kedua novel.
Gambaran nilai positif dapat diteladani dari sifat Ikal dalam novel Laskar
Pelangi dan sifat Faisal dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah. Tokoh Ikal patut
dijadikan teladan karena sifatnya yang bertekad kuat dan berkemauan keras serta
tidak mudah menyerah menggapai cita-cita. Selain itu tokoh Ikal juga
mempunyai jiwa sosial tinggi. Tokoh Ikal selalu perhatian dan peduli dengan
sekitarnya. Selain itu ada pula tokoh Faisal yang juga patut dijadikan panutan.
Faisal merupakan sosok yang memiliki pandangan hidup yang progresif dan
berkemauan keras. Ketika memiliki sebuah keinginan, maka Faisal akan berusaha
dengan keras untuk mewujudkan keinginannya itu. Faisal juga berjiwa sosial
tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya. Dengan meneladani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
213
berbagai macam karakter positif dari tokoh-tokoh pada kedua novel secara
otomatis dapat membantu pengembangkan pendidikan karakter siswa sebagai
generasi penerus bangsa.
Selain gambaran positif, kedua novel ini juga memberikan gambaran yang
negatif. Gambaran negatif tersebut tidak selamanya tidak memberikan kontribusi
apa-apa. Jika siswa mampu mengolah dengan benar maka terdapat pelajaran
hidup yang dapat dipetik. Sebuah gambaran (contoh) terlihat buruk jika ada
contoh baik, dan gambaran (contoh) akan terlihat baik ketika terdapat contoh
buruk. Misalnya mengenai sisi lain dari Faisal. Di satu sisi Faisal merupakan
seorang anak yang baik, pekerja keras, berjiwa sosial tinggi, peka, dan peduli
pada sesama. Akan tetapi, di sisi lain Faisal memiliki sifat suka mencuri. Selain
itu ada pula tokoh Rena yang mempunyai sifat tinggi hati, membeda-bedakan
teman, dan hanya mau bergaul dengan teman yang sederajat. Menyikapi hal ini,
guru dituntut untuk jeli dan teliti dalam menggunakan kedua novel sebagai materi
pelajaran. Guru harus memberi pengarahan agar siswa tidak terjebak dengan
cerita dan mengira semua hal yang terdapat dalam cerita adalah baik dan patut
ditiru.
Selain itu, dengan membaca kedua novel siswa dapat memperoleh
pengetahuan mengenai gambaran kehidupan dua budaya yang berbeda. Novel
Laskar Pelangi yang sangat kental dengan budaya melayunya, serta novel Orang
Miskin Dilarang Sekolah yang sangat kental dengan budaya jawanya. Dengan
membaca novel Laskar Pelangi, siswa akan mendapat banyak pengetahuan
tentang nama-nama ilmiah untuk beberapa tanaman dan hewan, serta belajar
banyak kosakata baru, seperti antediluvium, inisiasi, agnostik, anakronisme, dan
sebagainya. Dengan membaca novel Orang Miskin Dilarang Sekolah, siswa
dapat belajar mengenai istilah-istilah Jawa, serta meneladani sifat dasar orang
Jawa yang terkenal lembut dan halus budi pekertinya.
C. Saran
Saran ditujukan kepada siswa, guru, dan peneliti lain.
1. Untuk Siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
214
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa untuk diambil nilai
positif yang patut diteladani generasi muda. Siswa dapat meneladani sikap dan
watak tokoh pada kedua novel. Selain itu siswa juga dapat mengambil nilai
pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel, baik nilai pendidikan religius,
nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral, maupun nilai pendidikan
kebudayaan. Semuanya memberikan kontribusi yang besar bagi pembentukan
pribadi dan karakter generasi muda Indonesia.
2. Untuk Guru
Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan
pengajaran teori dan apresiasi sastra. Sudah saatnya guru bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah berani menghadirkan novel-novel mutakhir untuk
melengkapi novel-novel yang sudah ada. Agar pengetahuan siswa mengenai
novel-novel Indonesia semakin bertambah.
3. Untuk Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain untuk rujukan
penelitian berikutnya ketika menganalisis karya sastra khususnya penelitian
dengan pendekatan intertekstualitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
215
DAFTAR PUSTAKA
Asrori S. Karni. 2008. Laskar Pelangi The Phenomenon. Jakarta: Mizan Publika A. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Andrea Hirata. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Atar Semi. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya . 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa B. Trisman, dkk. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam sastra Indonesia
Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Bondet Wrahatnala. 2010. “Nilai Sosial”, dalam http://gurumuda.com/bse/nilai-
sosial, diunduh tanggal 10 Januari 2011, pukul 11.05 WIB Burhan Nurgiyantoro. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius Downey, Anne. M. 1994. “"A broken and bloody hoop": the intertextuality of
'Black Elk Speaks' and Alice Walker's 'Meridian.'(Intertextualities)” dalam http://find.galegroup.com, diunduh 31 Mei 2011, pukul 11.05 WIB
H. M Arifin. 2000. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara H.A.R Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Herman J. Waluyo. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari Press Kubitschek, Missy Dehn. 2004. “Toward a new order: Shakespeare, Morrison,
and Gloria Naylor's 'Mama Day.' (Toni Morrison)(Intertextualities)”, dalam http://find.galegroup.com, diunduh 31 Mei 2011, pukul 11.05 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
216
Milles, Mattew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjetjep Rohendi). Jakarta: University Indonesia Press
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja
Karya Ngalim Purwanto. 2000. Ilmu Pendidikan: Teoretis dan Praktis. Bandung:
Remaja Rosdakarya Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar . 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar . 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Panuti Sudjiman. 1984. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Gramedia Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Rasyid Manshur. 2007. “Kajian Intertekstualitas dan Nilai Edukatif Novel Alivia
dan Libby Karya Langit Kresna Hariadi (Berdasarkan Pendekatan Struktural)”. Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Rina Ratih. “Pendekatan Intertekstual dalam Pengkajian Sastra” dalam Jabrohim
dan Ari Wulandari (Ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
Ririh Yuli Atminingsih. 2008. “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel
Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Rosyadi. 1995. Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba. Jakarta: CV Dewi Sri Sainul Hermawan. 2009. Ragam Aplikasi Kritik Cerpen dan Novel. Kalimantan:
Tahura Media Sangidu. 1995. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.
Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
217
St Muttia Ahusain. 2010. “Manfaat Nilai Moral dalam Novel Laskar Pelangi”, dalam http://simutahusain.blogspot.com, diunduh 4 Januari 2010, pukul 10.23 WIB
Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Sebelas Maret
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Umar Junus. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Uzey. 2010. “Pengertian Nilai”, dalam http:// uzey.blogspot.com, diunduh tanggal
12 Januari 2011, pukul 17.20 WIB Wahyudi Siswanto. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Wiwid Prasetyo. 2010. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Diva Press . 2010. “Mengapa Harus Novel Pendidikan?”, dalam http://missi-
online.com/2010/05/04/mengapa-harus-novel-pendidikan, diunduh tanggal 10 Januari 2011, pukul 15.30 WIB
Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University
Press Zulfahnur Z. F, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
218
LAMPIRAN 1
SINOPSIS
Judul Buku : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Jumlah halaman : xiv + 534 hlm ; 20,5 cm
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2008 (Cetakan Kedua Puluh Tiga)
Novel LP menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu
komunitas Melayu yang sangat miskin Belitong. Anak orang-orang ‘kecil’ ini
mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh pendidikan dasar dan
menengah di sebuah lembaga pendidikan yang puritan. Bersebelahan dengan
sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan difasilitasi begitu modern pada
masanya, SD Muhammadiyah-sekolah penulis ini, tampak begitu papa
dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah).
Mereka, para native Belitung ini tersudut dalam ironi yang sangat besar karena
kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah
yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang
dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala
sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu
Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat
besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh
pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan
berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah
mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di
komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas
tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk
menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang
hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
219
sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang
kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari
jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak
hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya
berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas
anak-anak kecil miskin itu.
Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati
kesebelas anak-anak marjinal tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar
menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam
hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah
menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru
itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang
sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak
Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesame dan mereka amat menyayangi
kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu member julukan kesebelas murid itu
sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu
laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban
mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang,
dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-
sekolah PN dan sekolah sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu
digondol sekolah-sekolah PN.
Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah
Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu
harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia
harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga
sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia. Native Belitong kembali dilanda ironi
yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya
dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya
dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
220
Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup
karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri tapi semangat,
integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu
Muslimah tetap hidup dalam hati para Laskar Pelangi. Akhirnya kedua guru itu
bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada
yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager
di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang
mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University
de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah
universitas terkemuka di Inggris. Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan
kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang
hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di
ujung paling Selatan Sumatera sana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
221
LAMPIRAN 2
SINOPSIS
Judul Buku : Orang Miskin Dilarang Sekolah
Pengarang : Wiwid Prasetyo
Jumlah halaman : 450 Halaman
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : 2010 (Cetakan Keenam)
Novel OMDS menceritakan kisah masa kecil anak-anak yang tinggal di
Kampung Genteng, di Semarang. Cerita diawali dengan kisah persahabatan antara
Faisal dan ketiga anak alam yakni Pambudi, Yudi dan Pepeng. Faisal dan ketiga
anak alam mempunyai latar belakang yang berbeda. Faisal berasal dari keluarga
cukup mampu dan ketiga anak alam berasal dari keluarga kurang mampu. Ayah
ketiga anak alam hanya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi.
Walaupun berbeda status ekonomi, mereka tetap bersahabat baik. Faisal
yangn duduk di kelas 2 SD merasa prihatin dengan keadaan ketiga anak alam
yang meskipun sudah besar tetapi belum sekolah. Ketiga anak alam setiap harinya
bekerja membantu ayah mereka, baik itu mennyabit rumput, membersihkan
kandang, maupun memandikan sapi-sapi itu. Orang tua mereka tidak mampu
menyekolahkan mereka karena memang keadaan ekonomi yang tidak memihak.
Faisal yang mempunyai jiwa kepedulian yang tinggi ingin membantu
ketiga anak alam agar bisa sekolah. Karena tanpa sekolah mereka tidak akan bisa
membaca dan menulis. Dan itu berarti tidak ada kesempatan bagi mereka untuk
memperbaiki keadaan hidup mereka agar jauh lebih baik. Ia pun kemudian
meminta bantuan kepala sekolah agar Sekolah Dasar Kartini mau menerima
ketiga anak alam. Hingga pada akhirnya ketiga anak alam pun bisa bersekolah,
dengan konsekuensi bersekolah sambil bekerja.
Di kelas 1-2 ketiga anak alam akhirnya bisa memperoleh pendidikan dari
seorang guru yang bijaksana yakni Bu Mutia. Ketiganya kemudian menjalin
persahabatan dengan teman sekelasnya, terutama Kania. Kania si bintang jatuh,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
222
seorang gadis kecil cantik nan cerdas. Pada awal bersekolah mereka sering diolok-
olok oleh teman sekelasnya karena mereka berasal dari keluarga buruh, sebab
mayoritas siswa berasal dari keluarga meengah ke atas. Kania lah yang membela
ketiganya. Hingga membuat Pambudi jatuh hati kepadanya.
Faisal selain mengusahakan sekolah untuk ketiga anak alam, juga
mempunyai cita-cita luhur ingin mengentaskan masyarakat kampung Genteng dari
buta aksara. Dia kemudian menjadi tenaga pengajar, mengajar baca dan tulis
untuk orang tua di kampungnya. Pak Cokro yang dulunya murid Faisal, setelah
bisa membaca kemudian mendirikan pondok baca. Ia menularkan ilmunya kepada
warga. Ia ingin mengubah kampung Genteng menjadi kampung yang melek huruf.
Ayah ketiga anak alam bekerja sebagai pegawai di peternakan sapi milik
seorang wanita keturunan Cina yaitu Yok Bek. Ketiganya sudah bekerja pada Yok
Bek puluhan tahun. Mereka menggantungkan hidup dari ini. Mereka tinggal di
sebuah kawasan yang disebut Gedong Sapi, yang letaknya beberapa ratus meter
dari Kampung Genteng. Mereka hidup di sebuah petak yang sangat sempit yang
sebenarnya tidak layak disebut rumah. Hal ini karena selama bekerja puluhan
tahun pada Yok bek, gaji mereka begitu-begitu saja bahkan sering dipotong Yok
Bek. Mereka tidak mengeluh karena mereka sudah pasrah menjalani hidup,
mereka beranggapan Tuhan memang menyediakan rejeki untuk mereka hanya
sedikit.
Kondisi ini sangat berbeda dengan rumah Yok Bek yang sangat besar dan
mewah serta lengkap dengan berbagai macam fasilitas. Sebuah kesenjangan yang
teramat sangat. Bisnis peternakan sapi Yok Bek berkembang pesat. Hingga pada
akhirnya warga memberikan peringatan agar Yok Bek memindah peternakannya,
karena setiap hari warga sangat terganggu dengan bau kotoran sapi-sapi itu.
Tetapi mendengar keluhan warga itu, Yok Bek kurang menaruh perhatian. Hingga
pada akhirnya warga berdemo mendatangi rumah Yok Bek dan merusak apa saja
yang ada di sana. Hal ini sangat berdampak pada keluarga ketiga anak alam.
Mereka yang tidak punya tempat tinggal lagi akhirnya harus tinggal di bawah
kolong jembatan, dan secara otomatis kegiatan sekolah mereka berhenti. Mereka
hidup terlunta-lunta di jalanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
223
Sementara itu di kampung Genteng juga dihebohkan dengan terungkapnya
kasus sodomi yang dilakukan Mat Karmin, yang selama ini dikenal bersahabat
dengan anak-anak. Ada juga peristiwa ketika beberapa warga yang memfitnah Pak
Cokro mendirikan aliran sesat dengan praktek rumah bacanya.
Karena kondisi hidup yang berubah drastis menyebabkan ketiga anak alam
putus sekolah. Ayah ketiganya sudah tidak punya mata pencaharian, dan mereka
terpaksa harus bekerja lebih keras untuk membantu menghidupi keluarga. Hingga
kemudian Faisal datang dan memberi semangat agar jangan menyerah keadaan.
Kondisi tidak menjadi penghalang untuk meneruskan sekolah untuk bisa meraih
cita-cita mereka. Akhirnya mereka bertiga kembali sekolah, dengan beban yang
berlipat-lipat. Pagi sampai siang untuk sekolah, sore dan malam untuk bekerja.
Mereka bekerja keras agar bisa tetap sekolah, mereka punya keinginan kuat untuk
mengubah nasib agar lebih baik lagi.
Kerja keras mereka pun membuahkan hasil. Mereka bisa naik ke kelas 2
dengan nilai memuaskan, dan Faisal berhasil mendapat penghargaan sebagai juara
kedua di sekolah dan mendapat penghargaan dari kepala sekolah. Ia juga diberi
kesempatan untuk mengikuti Lomba Olimpiade Eksakta yang akan menjadi pintu
gerbang meraih golden tiket menuju ke SMP Akselerasi. Kerja keras tidak akan
sia-sia. Orang sukses selalu dimulai dengan kerja keras.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
224
LAMPIRAN 3
BIOGRAFI ANDREA HIRATA
Biodata singkat : Nama : Andrea Hirata Seman Said Harun
Tanggal lahir : 24 Oktober
Pendidikan : S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia S2 Universite
de Paris Sorbonne (Perancis) dan Sheffield Hallam
University (Inggris).
Pekerjaan : Staf PT Telkom, Bandung.
Seorang penulis yang sukses dengan novel pertamanya berjudul LASKAR
PELANGI, tentunya sangat menarik untuk diketahui data dirinya. Andrea Hirata
tentunya telah banyak porang yang mengenali nama ini, karena novelnya juga
laris manis. Untuk itu berikut ini merupakan biografinya.
Nama Andrea Hirata Seman Said Harun melejit seiring kesuksesan novel
pertamanya, LASKAR PELANGI. Pria yang berulang tahun setiap 24 Oktober ini
semakin terkenal kala novel pertamanya yang jadi best seller diangkat ke layar
lebar oleh duo sineas Riri Riza dan Mira Lesmana.
Selain LASKAR PELANGI, lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia ini juga
menulis SANG PEMIMPI dan EDENSOR, serta MARYAMAH KARPOV. Keempat
novel tersebut tergabung dalam tetralogi.
Setelah menyelesaikan studi S1 di UI, pria yang kini masih bekerja di kantor pusat
PT Telkom ini mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di
Université de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United
Kingdom.
Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari
kedua universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesis itu telah diadaptasi ke
dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi
pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai
referensi Ilmiah.
Penulis Indonesia yang berasal dari Pulau Belitong, Provinsi Bangka Belitung ini
masih hidup melajang hingga sekarang.Status lajang yang disandang oleh Andrea
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
225
sempat memicu kabar tak sedap. Karena pada bulan November 2008, muncul
pengakuan dari seorang perempuan, Roxana yang mengaku sebagai mantan
istrinya.
Akhirnya terungkap bahwa Andrea memang pernah menikah dengan Roxana
pada 5 Juli 1998, namun telah dibatalkan pada tahun 2000. Alasan Andrea
melakukan pembatalan ini karena Roxana menikah saat dirinya masih berstatus
istri orang lain.
Sukses dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang
pertama, telah diangkat ke layar lebar, dengan judul sama, LASKAR PELANGI
pada 2008. Dengan menggandeng Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana
pada produser, film ini menjadi film yang paling fenomenal di 2008. Dan jelang
akhir tahun 2009, Andrea bersama Miles Films dan Mizan Production kembali
merilis sekuelnya, SANG PEMIMPI. (Kapanlagi.com)
http://lawan.us/2010/biografi-andrea-hirata/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
226
LAMPIRAN 4 BIOGRAFI WIWID PRASETYO
Wiwid Prasetyo atau sering juga menulis dengan nama Prasmoedya Tohari, lahir
pada 9 November 1981 di Semarang. Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo,
Semarang, tahun 2005 ini sehari-harinya aktif di Majalah FURQON, PESANTrend,
Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus Semarang, baik selaku redaktur
maupun reporter. Selain itu, ia juga peduli terhadap dunia pendidikan, terbukti
masih menjadi pengajar di Bimbingan Belajar Smart Kids Semarang.
Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa
karya dalam bentuk buku. Beberapa karyanya yang sudah terbit adalah Orang
Miskin Dilarang Sekolah (DIVA Press, 200), Sup Tujuh Samudra (Bersama Badiatul
Rozikin, DIVA Press, 2009), Chicken Soup Asma’ul Husna (Garailmu, 2009), dan
Miskin Kok Mau Sekolah…?! (DIVA Press, 2009), Idolaku Ya Rasulullah Saw…!
(DIVA Press, 2009), Demi Cintaku pada-Mu (DIVA Press, 2009), Aha, Aku Berhasil
Kalahkan Harry Potter (DIVA Press, 2010), The Chronicle of Kartini (DIVA Press,
2010), dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu (DIVA Press, 2010).
Bagi pembaca yang ingin berdiskusi atau sekadar ngobrol, dapat
menghubunginya melalui email: prasmoedyatohari@gmail.com.
http://blogdivapress.com/dvp/?p=143
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
227
LAMPIRAN 5
Mengapa Harus Novel Pendidikan?
Tanda Baca: dilarang, miskin, novel, orang, sekolah Ditulis oleh missi_holic tanggal 4 May 2010 | 6:52 artikel | 2 Komentar
oleh: wiwid prastyo*
Sudah terlalu banyak pesan yang masuk ke akun saya, entah itu melalui fasilitas
facebook, twitter, chat melalui yahoo messenger sampai email yang menanyakan
mengapa saya harus menulis tentang novel pendidikan? Semua pertanyaan itu
terkadang saya jawab dengan sekenanya atau saya jawab dengan serius, bahkan
memakai landasan normatif segala—itu jika si penanyanya adalah orang punya
latar belakang intelektual yang melebihi saya.
Sekitar tahun 2007, saya berkenalan dengan Laskar Pelangi—hak cipta Andrea
Hirata. Begitu mengesankan novel itu bagi saya, sampai-sampai membuat saya
tak bisa tidur sebelum akhirnya berambisi saya harus menulis novel serupa.
Akhirnya, saya kumpulkan remah-remah ingatan masa kecil, kemudian saya
corat-coret dalam selembar kertas, entah itu tentang kejadian-kejadian unik,
ataupun setting kehidupan tempat saya tinggal, hingga jadilah novel itu berjudul
Orang Miskin Dilarang Sekolah[1]
Betapa saya harus mengucapkan terima kasih pada kenangan masa kecil saya,
karena Ia adalah resources yang sangat kaya bagi pembentukan mental karakter
kita di masa depan. Tentunya, ide yang sedemikian kaya tentang masa kecil itu
tak mungkin rela saya lepas begitu saja. Semua saya brainstorming-kan dalam
coretan kecil yang telah tulis jauh-jauh hari dalam buku kecil yang kemana-mana
selalu saya bawa.
Baiklah, sebelum saya bercerita tentang bagaimana menemukan metode
penulisan yang sangat mengesankan melalui novel Laskar Pelangi, sebelumnya
ketika kuliah, sekitar tahun 2004-an saya juga telah menulis novel yang sangat
panjang—sekitar 600 halaman tentang kehidupan religius di musholla kecil di
kampungku dan segenap intrik-intrik sosial didalamnya. Hanya saja, karena
waktu itu saya tidak tahu novel itu mau diarahkan kemana, apa tujuannya,
bagaimana ideologi yang akan dikembangkan. Maka, ‘novel percobaan’ itu begitu
mengalir ke segala arah. Novel itu selesai, tetapi kabur dan saya tidak tahu lagi
apakah novel itu layak terbit atau tidak.
Ideologi yang terbentuk dalam diskusi Missi—dulu namanya Diskaso (Diskusi
Kamis Sore) juga mengilhami saya untuk menulis novel berikutnya, tentang
kehidupan di zaman 65-an dan geliat-geliat partai politik komunis didalamnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
228
Hanya saja saya kehabisan energi untuk menyelesaikannya, bahkan naskah itu
kemudian hilang bersamaan dengan rusaknya komputer pentium dua—satu-
satunya kekayaan yang diwariskan orangtua waktu itu yang sedianya untuk
menulis skripsi.
Apa yang patut kita renungkan melalui dua pengalaman ‘gagal’ saya di atas?
Setidak-tidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita petik. Yakni, seorang penulis
harus tahu akan kemana arah tujuannya dalam menulis. Arah dan tujuan itu
adalah tenaga yang mampu membuat penulis menyelesaikan karyanya. Sebab,
seperti kata Gus Mus, menulis itu gampang, yang sulit adalah menyelesaikannya.
Sedangkan kedua adalah perlunya prinsip-prinsip ideologi yang akan
dikembangkan oleh penulis itu sendiri. Dulu saya sering bingung, akan menulis
apa, saya merasakan ide yang berlimpah dari segenap kehidupan, tetapi saya
sering kesulitan untuk menuliskannya, karena tidak adanya ideologi yang akan
saya bangun. Andaikan saya seorang pemahat, saya melihat batu berlimpah di
pegunungan, tetapi saya bingung akan memahat apa karena saya tidak
mempunyai gambaran dalam pikiran, apa yang akan saya buat.
Sekarang, begitu orang-orang menjuluki saya sebagai penulis novel pendidikan,
maka saya harus konsen dengan penyematan itu, dan tiap kali saya memandang
sebuah ide, saya kerucutkan atau saya alihkan ke tema-tema pendidikan yang
luar biasa luas itu. Demikian pula ketika saya menulis Orang Miskin Dilarang
Sekolah. Idenya sederhana, kenakalan bocah-bocah kecil di sebuah kampung,
hanya saja karena tema besarnya adalah pendidikan, maka coba saya kerucutkan
ke persoalan-persoalan pendidikan. Saya kemudian teringat dengan Laskar
Pelangi tentang pertentangan Sekolah PN Timah dengan Sekolah
Muhammadiyah Gantong. Saya bayangkan tengah ber-ekstase seperti Andrea
Hirata pula. Saya punya teman-teman kecil yang sedari kecil sudah bekerja untuk
sebuah peternakan sapi milik seorang Singkek.
Hampir sama dengan Andrea, persoalan yang dibidik adalah kemiskinan. Jika
Lintang putus sekolah karena harus membantu ayahnya melaut, maka, teman-
teman kecil saya juga memutuskan sekolah karena harus membantu ayahnya,
ada yang bekerja membersihkan kotoran sapi, membersihkan kandangnya dan
sebagainya. Beruntung sekali, dahulu saya pernah bergaul bersama mereka. Saya
merasakan betul bagaimana mereka tinggal di sebuah rumah petak dan lebih
mirip gubuk derita yang ada di kawasan kumuh bantaran sungai. Anehnya, kami
tak pernah merasakan itu sebagai sebuah kesenjangan. Saya bermain layang-
layang, menjadi liar gara-gara ikut memulung kabel tembaga di sekitar Barito,
ikut mencuri mangga, kresen—dibuat jus kresen, hingga bermain video game di
sekitar kawasan bioskop Manggala. Bahkan tak jarang ikut menjadi kleptomania
saat tergiur melihat barang-barang di Supermarket.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
229
Dan, hasil akhir nasib seseorang ditentukan oleh pendidikan itu ada benarnya
juga. Beberapa teman saya memang ada yang terus sekolah hingga SMA/SMK,
bahkan kebanyakan ada yang bersekolah hanya sampai Sekolah Dasar, semua itu
ternyata berpengaruh bagi masa depan yang dijalani sekarang ini. Mereka yang
sekolah sampai SMA ini bisa bekerja dengan baik, entah itu pabrik mebel, atau
tekstil. Adapun yang dahulu tidak sadar artinya sekolah, mereka ini hanya
lontang-lantung di kampung. Menjadi sponsor kemaksiatan, maupun event-
event kampung yang selaras dengan minuman keras dan perjudian.
Sungguh mengerikan memang, tetapi inilah kenyataan yang saya hadapi
sekarang. Saya menghadapi generasi yang mundur setapak demi setapak,
mereka tidak sadar untuk sekolah bukan sekedar karena alasan kemiskinan,
tetapi lebih karena lingkungan permissif yang begitu menggoda mereka. Jangan
dibayangkan, mereka yang putus sekolah hanya ada di desa-desa terpencil saja,
di kotapun seperti itu sangat banyak. Sekolah seolah-olah menjadi ujian yang
sangat berat, sebab bisa dihitung dengan jari saja mereka yang bisa lulus sampai
menengah atas.
Kebanyakan mereka tidak sabaran, ingin cepat-cepat bekerja, ingin-ingin cepat-
cepat mendapatkan uang, padahal di zaman sekarang, bukankah ijasah SMP dan
SD sudah tidak berlaku lagi? Seorang pekerja kasar di pabrik-pabrik saja
bukankah minimal harus SMA.
Anehnya, orangtua mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya
bilang “Harus bagaimana lagi, di sekolahkan saja tidak mau, penginnya cepat-
cepat bekerja, ya sudah …” siapapun yang mendengar niscaya hanya akan
mengelus dada dengan kenyataan yang ada di depan mata. Sayapun yang
mendengarkan kalimat-kalimat miris itu membayangkan, beberapa dekade ke
depan akan banyak sekali kita jumpai orangtua-orangtua bertubuh bongkok
namun tetap bekerja menghidupi anaknya, sedangkan anaknya sendiri, karena
tidak mampu bekerja—dikarenakan tidak punya ijasah, hanya bisa duduk
ongkang-ongkang kaki menanti uluran sesuap nasi dari orangtuanya. Sikap
‘kasihan’ dan ketidaktegasan orangtua untuk memaksa anak mereka bersekolah,
suatu saat akan menjadi bumerang bagi orangtua sendiri. Karena anak mereka
tidak bisa bekerja dan menggantikan posisi orangtua dalam mencari nafkah,
sampai tuapun, orangtua harus tetap mencari nafkah, ini sungguh
memprihatinkan.
Apalagi persaingan ke depan seperti hukum rimba saja, era pasar bebas AFTA
sudah dimulai tahun ini, mereka yang tidak punya ketrampilan, ijasah, siap-siap
saja gigit jari sebab pasar eropa akan menyerbu indonesia, tenaga indonesia akan
digantikan tenaga-tenaga luar, pengusaha-pengusaha kecil Indonesia tidak
mungkin bisa menang melawan pemodal-pemodal besar dari Eropa. Dalam
keadaan demikian, jangankan mengharapkan tenaga Indonesia menjadi jongos di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
230
negeri sendiri. Bisa-bisa mereka diusir dari negeri yang saat ini kita pijak. Dalam
keadaan seperti ini, kita ini menghadapi masalah yang betul-betul klasik, yakni
kesadaran bersekolah. Bagaimana mungkin kita bersaing di era pasar bebas
kelak, jika sekarang saja untuk menumbuhkan kesadaran pendidikan saja
sedemikian sulitnya.
Saya sering berpesan kepada generasi muda di bawah saya yang sedang tekun-
tekunnya bersekolah, saya besarkan semangat mereka dengan membuka jalan
pikiran mereka, saya nasehatkan nasehat yang benar-benar ekstrem untuk bekal
mereka agar benar-benar kuat menghadapi lingkungan yang bisa melemparkan
mereka ke tempat paling hina “Kamu sekolah, tidak perlu pintar-pintar, asalkan
sudah lulus saja sudah cukup, sebab di masa depan yang dibutuhkan adalah
selembar ijasah, ketika engkau bekerja tak akan ditanyai tentang pelajaran
sekolahmu.” Nasehat yang menjerumuskan sebenarnya, tetapi kita menghadapi
generasi yang mempunyai mental emoh sekolah, jadi saya pikir, nasehat inilah
yang paling tepat.
Akhirnya, tibalah saya menjawab pertanyaan paling sulit dari beberapa teman di
facebook, twitter atau yang sering men-chat saya melalui yahoo messenger,
mengapa saya harus menulis novel tentang pendidikan? Banyak orang yang
menduga saya menulis novel pendidikan karena mengikuti selera pasar yang
begitu larisnya novel-novel tentang pendidikan seperti Perahu Kertas oleh Dewi
Lestari, Negeri Lima Menara oleh A Fuadi, Ma Yan oleh Sanie B Kuncoro, atau
tetralogi Laskar pelangi milik Andrea Hirata.
Bukan, bukan sesederhana itu. Saya menulis novel pendidikan karena ujud
keprihatinan saya dengan lingkungan tempat saya tinggal, zaman saya kecil dulu
di kampung saya, masih sering saya jumpai teman-teman yang bisa bersekolah
sampai memakai celana panjang abu-abu. Sekarang ini begitu sulit
menjumpainya, bahkan justru sekarang pikiran mereka benar-benar berbalik
arah, akan mengejek orang yang masih sekolah, sementara teman-temannya
yang putus sekolah ini sudah berbondong-bondong untuk bekerja.
Belum lagi ekses-ekses yang timbul akibat ketidakterdidikan mengakibatkan
mereka mudah terjerumus dalam lingkungan yang sudah tercemar oleh minum-
minuman keras dan mental bertaruh yang mereka punyai. Dalam keadaan
seperti ini, apakah kita hanya bisa diam? Barangkali ini cara saya dalam melawan
arus, bukankah kita ini Da’i yang bersenjata pena, ladang jihad kita adalah
melawan kebodohan, kemiskinan yang ada di depan kita, mengapa kita tidak
melawan dari sekarang?
*Novelis Pendidikan Nasional Best Seller untuk Novel yang berjudul Orang Miskin
Dilarang Sekolah (dimuat di majalah MISSI edisi 32)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
231
[1] Orang Miskin Dilarang Sekolah sampai sekarang telah mencapai cetakan ke IV
dan oleh Diva Press disematkan nasional best seller. Hanya saja yang sempat
saya heran, kenapa judul buku itu sama dengan buku milik Eko Prasetyo, hanya
saja formatnya adalah seperti buku intelektual (kiri) sedangkan buku saya adalah
novel bertema pendidikan
(http://missi online.com/2010/05/04/mengapa-harus-novel-pendidikan/)