Post on 12-Mar-2019
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING LANGSUNG DI SEKTOR INDUSTRI
MANUFAKTUR NON MIGAS DI INDONESIA
MOHAMMAD AMIN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa tesis “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman
Modal Asing Langsung di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia”
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar
pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
NRP. H151064224 Mohammad Amin
ABSTRACT
MOHAMMAD AMIN. The Determinants of Foreign Direct Investment Inflows in Non Oil Manufacturing Sector in Indonesia. (R.NUNUNG NURYARTONO as Chairman and DEDI BUDIMAN HAKIM as member of the advisory comittee)
The phenomena of de-industrialization as shown by the decrease of the contribution of the manufacturing sector to national GDP, could be one of the factors which is caused by the decrease of the proportion of FDI in the manufacturing industry to the overall foreign direct investment in non-oil manufacturing sector in Indonesia. This study analise the factors that influence FDI in non-oil manufacturing sector in Indonesia by using panel data from the period 1993 to 2008 with a unit cross section includes 26 main provinces (provinces that formed prior to the implementation of regional autonomy) in Indonesia .In addition to knowing the factors that affect of FDI in the manufacturing industry, this research is also expected to know the effect of decentralization on FDI in the manufacturing sector in Indonesia. Regression results using panel data indicate that the pull factors of FDI in non-oil manufacturing sector is the market size and infrastructure. While main push factor influencing FDI in non-oil manufacturing sector is wages and inflation. Fixed Effect Model output results show that decentralization (regional autonomy) significantly negative impact on FDI.
Key Words : FDI in manufacturing industry, panel data, regional autonomy
RINGKASAN
MOHAMMAD AMIN. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia (R.NUNUNG NURYARTONO sebagai Ketua dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai anggota Komisi Pembimbing)
Gejala de-industrialisasi yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional salah satunya dapat disebabkan oleh semakin menurunnya proporsi PMA di sektor industri manufaktur terhadap keseluruhan PMA di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian RI, pertumbuhan industri manufaktur selama 2004-2008 lebih rendah daripada pertumbuhan PDB. Dimana industri manufaktur tumbuh 5,6 persen, sedangkan PDB Nasional tumbuh 5,7 persen. Di sisi lain, persentase PMA di sektor industri manufaktur terhadap total PMA semakin menurun, dari 60,4 persen pada tahun 2006 menjadi hanya 30,4 persen pada tahun 2008.
Penelitian ini melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia dengan menggunakan data panel dari periode tahun 1993 sampai dengan 2008 dengan unit cross section meliputi 26 propinsi induk (propinsi yang terbentuk sebelum pelaksanaan otonomi daerah) di Indonesia. Selain untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur, penelitian ini juga diharapkan dapat mengetahui pengaruh otonomi daerah terhadap PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia.
Hasil regresi menggunakan data panel menunjukkan bahwa faktor penarik yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur non migas adalah market size dan infrastruktur. Sedangkan faktor pendorong yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur non migas adalah upah dan inflasi. Hasil output Model Fixed Effect menunjukkan bahwa otonomi daerah signifikan berpengaruh negatif terhadap PMA. Hasil ini bertolak belakang dari tujuan kebijakan otonomi daerah, yang diharapkan dapat memacu pembangunan ekonomi di daerah luar Jawa.
Otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap PMA karena implementasi otonomi daerah mempunyai berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum penguasa lokal daerah. Locus praktek korupsi menyebar hampir merata di seluruh daerah propinsi dan kabupaten se-Indonesia dengan berbagai modus operandi. Permasalahan lain dalam implementasi kebijakan otonomi daerah adalah maraknya perda pungutan dan retribusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini mendorong terciptanya high cost economy, sehingga pelaku usaha harus membayar biaya tambahan yang membuat ongkos melakukan usaha menjadi lebih mahal. Selain itu, permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut kapasitas aparatur daerah sehingga pekerjaan yang didesentralisasikan kewenangannya kepada daerah, tidak terselesaikan secara optimal. Kata Kunci : PMA di sektor industri manufaktur, data panel, Otonomi Daerah
@ Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING LANGSUNG DI SEKTOR INDUSTRI
MANUFAKTUR NON MIGAS DI INDONESIA
MOHAMMAD AMIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sain
Pada
Program Studi Ilmu EKonomi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis:
Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Langsung di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia Nama : Mohammad Amin NIM : H151064224 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua Anggota
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim,M.Ec
Mengetahui Ketua Program Studi Dekan SPs IPB Ilmu Ekonomi Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si NIP. 196909091994031001 NIP. 1965081441990021001
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc,Agr
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2011 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan karena berkat pertolongan, hidayah dan
rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Semoga
selanjutnya Allah senantiasa berkenan memberikan pertolongan, hidayah, rahmat dan
ridlo dalam setiap proses hidup yang kita jalani.
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur di Indonesia dalam
kurun tahun 1993-2008. Topik penelitian ini relevan sebagai bahan masukan bagi
pengambil kebijakan untuk membenahi sektor industri dari sisi penanaman modal
asingnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah studi
penanaman modal asing di Indonesia.
Tulisan ini merupakan hasil dari proses yang cukup panjang, dengan berbagai
kesulitan karena awamnya pengetahuan penulis. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan
dari banyak pihak, terutama komisi pembimbing melalui saran, masukan dan
pemikiran untuk memperkaya tesis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Dr. R. Nunung Nuryartono sebagai ketua
komisi pembimbing dan Bapak Dr. Dedi Budiman Hakim sebagai anggota komisi
pembimbing, serta Bapak Dr. Sri Hartoyo sebagai dosen penguji luar komisi.
Ucapan terimakasih khususnya penulis sampaikan kepada :
1. Rektor, Dekan dan seluruh keluarga besar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
program Pasca Sarjana di IPB.
2. Pengelola program beserta seluruh staf pengajar Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan selama masa perkuliahan serta staf
sekretariat Pasca Sarjana Program Ilmu Ekonomi atas dukungan dan bantuan
selama perkuliahan.
3. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB.
4. Teman-teman di BKPM, BPS, Kementerian Perindustrian, PLN dan pihak-pihak
lain yang telah membantu data.
5. Sahabat Ir.Sutarmin, Ir. Syarif Syahrial, Nur Kholis, SE dan Ir. Indra, teman
diskusi informal yang telah membantu penulis memahami matematika dan
ekonometrika, walaupun masih jauh dari sempurna.
6. Sahabat Nusron Wahid yang telah membantu biaya kuliah.
7. Ibu, Bapak, Ibu Mertua, saudara dan semua insan yang telah memberikan budi baik
kepada penulis. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa memberi balasan dengan berlipat
ganda.
8. Terakhir tetapi teramat penting, terimakasih saya sampaikan ke pada istri saya
Yustiti Mufidah atas dukungan yang telah diberikan untuk menyelesaikan studi.
Juga untuk amanah Tuhan yang mewujud dalam diri anak-anak kami, Mohammad
Rajendra Jati dan Indira Shofia Wardani. Semoga kelak engkau berdua lebih baik
daripada Ibu Bapakmu.
Tulisan ini saya yakini sangat banyak kekurangan dan keterbatasan, namun
demikian penulis berharap walaupun kecil ada manfaat yang dapat diambil dari
tulisan ini. Semoga kelak penulis dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Amin
Bogor, Juli 2011
Mohammad Amin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Desember 1980 di Demak, Jawa Tengah,
sebagai anak kelima dari enam bersaudara keluarga Bapak Mat Hasyim dan Ibu Siti
Muslichah.
Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Merak,
Dempet Demak. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1
Godong, Grobogan, dan Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU
Negeri 1 Demak, Jawa Tengah. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan tinggi di
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Diponegoro Semarang, dan lulus
sebagai Sarjana Sosial pada tahun 2004. Penulis mulai bekerja pada tahun 2004 sebagai
Asisten Anggota DPRRI, dan mulai tahun 2005 bekerja sebagai staf Yayasan MataAir
Jakarta sampai sekarang.
Penulis menikah dengan Yustiti Mufidah pada tahun 2005, dan dikaruniai dua
orang anak, Mohammad Rajendra Jati dan Indira Shofia Wardani.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................
BAB. I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Permasalahan Penelitian ..................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................................. 5
1.5 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................... 6
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritik ............................................................................................... 7
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................................ 26
2.3. Kerangka Penelitian ......................................................................................... 30
BAB.III METODE PENELITIAN
3.1. Data................................................................................................................... 32
3.2 Metode Analisis Data ........................................................................................ 33
3.3 Model Penelitian ............................................................................................... 35
BAB.IV GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PMA
4.1.Industri Manufaktur dan Perekonomian Nasional............................................. 37
4.2 Gambaran Penanaman Modal di Indonesia........................................................ 44
BAB.V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Pemilihan Model Terbaik................................................................................... 56
5.2 Estimasi dan Interpretasi.................................................................................... 56
BAB VI. OTONOMI DAERAH DAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
6.1.Desentralisasi sebagai Substansi Otonomi Daerah............................................ 64
6.2 Definisi dan Tujuan Desentralisasi.................................................................... 65
6.3 Permasalahan Otonomi Daerah.......................................................................... 67
BAB.VII.KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN
7.1.Kesimpulan......................................................................................................... 72
7.2 Implikasi Kebijakan........................................................................................... 73
7.3 Saran untuk Penelitian Lebih Lanjut.................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 74
LAMPIRAN ....................................................................................................................... 76
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan 12 Besar Hasil Industri............................................ 39
2. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB................................ 42
3. Realisasi PMA Langsung di Sektor Industri Manufaktur ............... 48
4. Realisasi PMA berdasarkan Negara Asal ........................................ 49
5. Distribusi PMA Langsung............................................................... 54
6. Hasil Regresi Data Panel ................................................................ 57
7. Produktivitas Tenaga Kerja Negara ASEAN .................................. 61
8. Contoh Kasus Korupsi Setelah Otonomi Daerah ............................ 68
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Keterkaitan Industri dengan Penanaman Modal................................ 1
2. Persebaran PMA berdasarkan Lokasi ............................................... 4
3. Marginal Efficiency of Investment .................................................... 8
4. Visious circle of cumulative development ........................................ 18
5. Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................................ 30
6. Pengujian Penentuan Model ............................................................. 33
7. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap Ekspor ............................. 39
8. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB ................................. 41
9. Realisasi PMDN dan PMA ............................................................... 45
10. Prosentase realisasi PMA berdasarkan Sektor................................... 47
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1. Hasil Output Eviews
2. Index Persepsi Korupsi Tahun Tahun 2004-2008
3. Data Perda yang Dikaji Pemerintah Pusat
4. Data Perda yang Dibatalkan Pemerintah Pusat
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penanaman modal sangat penting untuk membiayai pembangunan dan
untuk membiayai industri, karena dana yang dimiliki negara terbatas sehingga tidak
cukup untuk membiayai keseluruhan sektor belanja pembangunan, membayar
pinjaman luar negeri dan membiayai subsidi. Jika tidak didukung dengan
penanaman modal dari swasta, program-progam pembangunan nasional akan
berjalan lambat. Untuk menutup kekurangan dana pembangunan tersebut,
pemerintah dapat mengandalkan dari sektor swasta domestik, yakni bank, non bank
dan pasar modal maupun dari swasta asing, baik berupa pinjaman ataupun investasi
langsung.
Terkait dengan sumber pembiayaan pembangunan, Lutfi (2006)
mengklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, sumber internal dalam negeri, dari
tabungan domestik. Kedua, sumber eksternal (luar negeri), dari pinjaman luar
negeri dan penanaman modal asing. Ketiga, dari hasil ekspor. Hubungan antara
industri dengan penanaman modal ditunjukkan pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 : Keterkaitan Industri dengan Penanaman Modal
Sumber : Lutfi (2006) dengan modifikasi.
2
Penanaman modal asing langsung (PMAL) merupakan sumber pembiayaan
yang paling berkualitas. PMAL lebih mampu menjamin kelangsungan
pembangunan daripada bantuan atau modal portofolio, karena PMAL akan diikuti
dengan pengembangan SDM negara tujuan PMAL melalui transfer teknologi,
pengetahuan dan kemampuan manajerial dari perusahaan yang melakukan PMAL
(Panayotou, 1998). Biasanya negara-negara yang akumulasi modal (kapital) dan
pengembangan teknologinya lemah, akan tumbuh lebih lambat daripada negara-
negara yang mempunyai tingkat investasi tinggi dan belanja untuk penelitian dan
pengembangannya tinggi (Udo & Obiora, 2006).
Indonesia memiliki modal dasar yang cukup kuat untuk menarik minat
swasta agar menanamkan modal di sektor riil yang meliputi potensi pasar yang
sangat besar, tenaga kerja yang murah dan sumber daya alam yang melimpah.
Dalam konteks potensi pasar, Indonesia memiliki jumlah penduduk mencapai 230
juta jiwa, akibat langsung dari jumlah penduduk ini adalah jumlah permintaan
terhadap berbagai produk barang dan jasa juga sangat besar. Dengan jumlah
permintaan yang sangat besar, produksi barang dan jasa yang harus dihasilkan juga
sangat besar. Biasanya, ongkos produksi dalam jumlah besar jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan ongkos produksi barang dan jasa dalam jumlah lebih sedikit.
Dalam konteks tenaga kerja, selain melimpah jumlah tenaga kerja Indonesia juga
murah. Hal ini sangat cocok bagi perusahaan untuk menekan biaya produksi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja Indonesia pada
bulan Februari 2009 ini mencapai 113.744.408 jiwa. Sedangkan dalam konteks
sumber daya alam, ketersediaan potensi alam Indonesia berperan penting dalam
penyediaan bahan baku industri manufaktur, baik dari hasil hutan, pertanian,
perikanan dan kelautan, tambang dan perkebunan.
Modal dasar tersebut merupakan daya tarik bagi pelaku usaha untuk
menanamkan modal usahanya, tetapi ada faktor lain yang menjadi pertimbangan
bagi pelaku usaha. Prinsip pokok yang menjadi pertimbangan dalam melakukan
kegiatan penanaman modal adalah ekspektasi terhadap keuntungan yang mungkin
diperoleh. Jika lebih menguntungkan untuk melakukan kegiatan penanaman modal
di luar negeri dari pada di dalam negeri, maka investor akan melakukan kegiatan
3
penanaman modal di luar negeri, yang lazim disebut dengan penanaman modal
asing.
1.2 Permasalahan
Isu yang paling krusial dalam strategi pembangunan pada era orde baru
adalah terjadinya sentralisasi pembangunan di Jawa. Akibatnya, terjadi
ketimpangan sosial ekonomi antara daerah di Jawa dan di luar Jawa. Tidak hanya
dalam hal infrastruktur ekonomi, tetapi juga meluas dalam sektor lain, termasuk
dalam hal jumlah penduduk dan sarana pendidikan. Permasalahan sentralisasi di
Jawa ini yang diperbaiki melalui kebijakan otonomi daerah pada era reformasi.
Praktek sentralisasi pada era orde baru juga terjadi pada sektor penanaman
modal asing. Penanaman modal asing di Indonesia tidak tersebar secara seimbang
di setiap propinsi. Terjadi kesenjangan yang sangat mencolok antara satu propinsi
dengan propinsi lainnya, terutama kalau dikelompokkan menjadi Jawa dan Luar
Jawa. Secara rata-rata pada periode 1993-2008, prosentase distribusi penanaman
modal asing di Jawa mencapai 81 persen sedangkan di luar Jawa hanya 19 persen.
Fakta ini menjadi jawaban terhadap lambatnya pembangunan dan kemajuan di
daerah luar Jawa.
Gambaran tentang kondisi penanaman modal asing di atas memperlihatkan
bahwa permasalahan pokok dalam PMAL di Indonesia adalah tidak terjadinya
unsur pemerataan dalam konteks persebaran geografis dari realisasi PMAL di
propinsi-propinsi di Indonesia. Dengan mempertimbangkan manfaat PMAL
langsung bagi pembangunan, khususnya dalam hal pengembangan industri, tidak
terjadinya pemerataan realiasi PMAL dapat menjadi penyebab terjadinya
kesenjangan ekonomi yang cukup tajam di antara kawasan di Indonesia. Untuk
mendapatkan gambaran lebih jelas tentang terkonsentrasinya realisasi PMAL di
propinsi tertentu saja, dapat dilihat pada Gambar 1.2 tentang persebaran realisasi
PMA berdasarkan lokasi.
4
Gambar 1.2 : Konsentrasi PMAL di Lima Propinsi Sumber : BKPM (diolah)
Gambar di atas memperlihatkan secara jelas bahwa persebaran tidak terjadi
secara merata di semua propinsi. Bahkan terlihat ketimpangan yang sangat tajam.
Realisasi PMAL berdasarkan lokasi di lima besar propinsi, selama sepuluh tahun
terakhir rata-rata mencapai 84,9 persen dari keseluruhan realisasi PMAL di
Indonesia. Itu artinya, selama sepuluh tahun terakhir ini hanya rata-rata sebesar
15,1 persen dari keseluruhan realisasi PMAL yang terdistribusi ke 28 propinsi
lainnya di Indonesia.
Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, dari peringkat besar 5 propinsi
dengan realisasi PMAL terbesar tersebut, daerah yang menjadi langganan 5 besar
tidak banyak mengalami perubahan. Hanya Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan
Banten yang selalu masuk peringkat 5 besar. Catatan cukup baik diraih oleh Riau,
Jatim dan Kaltim yang masing masing masuk 7 kali (Riau), 6 kali (Jatim) dan 3
kali (Kaltim) ke jajaran peringkat 5 besar. Sedangkan Sumut, Sulteng, Jateng,
Papua, Sumsel dan Sulsel masing-masing hanya sekali masuk 5 besar. Bahkan, jika
dilihat dari prosentase setiap provinsi dari 5 besar tersebut, DKI Jakarta
mendominasi realisasi PMA dengan rata-rata mencapai 33,47 persen, disusul Jawa
Barat (24,8 persen), Jawa Timur (10,7 persen), Banten (9,6 persen), dan Riau (7,1
persen).
Persen
5
Berdasarkan gambaran tersebut, permasalahan yang secara khusus dikaji
lebih jauh adalah :
1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya PMAL di sektor industri
manufaktur non migas ke propinsi di Indonesia?
2. Apakah kebijakan otonomi daerah berpengaruh terhadap perubahan distribusi
realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di
Indonesia?
3. Kebijakan apa yang seharusnya diterapkan untuk meningkatkan PMAL di sektor
industri manufaktur non migas di Indonesia?
Dugaan awal terkait dengan permasalahan tersebut adalah bahwa terjadinya
perbedaan mencolok jumlah realisasi PMAL di daerah-daerah di Indonesia karena
adanya perbedaan kondisi variabel-variabel yang berpengaruh. perbedaan yang
paling mencolok terdapat pada aspek infrastruktur dalam hal ini adalah listrik dan
jalan. Sebagai contoh akumulasi jumlah listrik yang terjual di Pulau Jawa, lebih
tinggi daripada jumlah listrik terjual di seluruh Indonesia selain Jawa. Hal ini
mengindikasikan bahwa variabel infrastruktur mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap PMAL di Indonesia. Selain itu, dalam aspek upah, besar UMP
di Jawa lebih murah daripada wilayah lain di Indonesia selain Bali dan Nusa
Tenggara. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat upah mempunyai pengaruh
negatif terhadap PMAL.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA langsung di sektor industri
manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perubahan distribusi
realisasi PMA langsung di Indonesia.
3. Merekomendasikan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan PMA langsung di
sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Dalam konteks akademik, penelitian ini diharapkan berguna bagi
pengembangan teori tentang penanaman modal, dan sekaligus
diharapkan akan dapat menjadi referensi akademik bagi mahasiswa dan
pengajar yang menggeluti bidang ekonomi.
2. Dalam konteks praksis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan dan referensi bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan-
kebijakan ekonomi, khususnya yang terkait dengan penanaman modal
dan pengembangan industri nasional.
1.5 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pembatasan sebagai berikut :
1. Jumlah propinsi yang dipilih untuk penelitian ini hanya 26 Propinsi, yaitu
propinsi-propinsi yang sudah terbentuk sebelum tahun 2000. Jadi
propinsi baru hasil pemekaran, tidak diikutsertakan dalam analisis
penelitian ini.
2. Periode waktu penelitian ini hanya pada rentang waktu tahun 1993
sampai dengan 2008, dengan menggunakan data tahunan (annual).
Secara khusus untuk mengkaji realisasi PMAL di sektor industri
manufaktur non migas sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan
(1993-2000) dan setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan (2001-
2008).
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teoritik
2.1.1 Investasi atau penanaman modal
Fisher (1930) dalam teori yang dikenal sebagai “second approximation to
the theory of interest’ berpendapat bahwa pada dasarnya semua modal adalah modal
yang berputar, atau dengan kata lain semua modal digunakan dalam proses
produksi, jadi dalam istilah Fisher, tidak ada yang namanya stock of capital (K).
Dalam pengertian ini, secara faktual semua modal merupakan investasi. Dalam
pengertian yang lebih mudah, Fisher ingin menjelaskan bahwa investasi yang
dilakukan dalam bentuk membeli saham di pasar modal (bursa efek) tidak dapat
dikategorikan sebagai modal, karena investasi jenis ini dapat diambil sewaktu-
waktu oleh pemegang saham sehingga tidak dapat digunakan untuk proses
produksi.
Keown et.al dalam Lutfi (2006) mendefinisikan penanaman modal sebagai
tindakan mengorbankan dana yang dikeluarkan pada saat ini untuk mendapatkan
imbalan dana di waktu yang akan datang. Hal ini berkaitan dengan nilai waktu dari
uang, dimana uang yang kita terima saat ini akan jauh lebih berharga dibandingkan
dengan uang akan kita terima tahun depan.
Penanaman modal mempunyai karakter khusus sebagai instrumen
perekonomian yang paling sering berubah, dan sekaligus sebagai penghubung
antara komponen fiskal dengan moneter. Fungsi investasi Keyness menyebutkan
bahwa investasi (I) merupakan fungsi dari suku bunga (r), dengan menotasikan:
I = I (r)................................................. (2.1)
Blanchard (2006) memberi ilustrasi bahwa dalam melakukan investasi,
suatu perusahaan akan menggunakan pertimbangan yang sebenarnya sederhana.
Tindakan yang pertama kali dilakukan perusahaan adalah menghitung nilai saat ini
(present value) dari keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut,
diperbandingkan dengan biaya melakukan investasi tersebut. Jika nilai saat ini dari
keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut melebihi biaya investasi, maka
perusahaan akan melakukan investasi. Sebaliknya, jika nilai saat ini lebih rendah
8
dari biaya dalam melakukan investasi, maka perusahaan tidak akan melakukan
investasi.
Lebih jauh, Blanchard menotasikan fungsi investasi sebagai:
It=I(V(∏et) ........................................................................(2.2)
Maksud dari fungsi tersebut adalah bahwa investasi tergantung pada nilai
sekarang yang diharapkan dari keuntungan masa depan. Semakin tinggi nilai saat
ini dan nilai yang diharapkan dari keuntungan, maka akan semakin tinggi tingkat
investasi yang dilakukan. Dan semakin tinggi nilai suku bunga saat ini, berarti
semakin rendah nilai saat ini yang diharapkan, oleh karenanya semakin rendah
tingkat investasi yang dilakukan.
Sedangkan dalam perspektif Fisher, fungsi maksimisasi keuntungan
perusahaan dapat dituliskan dengan persamaan:
Max ∏ = f (I1)- (1+r) I1 ........................................................(2.3)
Fungsi tersebut menggambarkan keputusan optimal untuk melakukan
investasi akan terjadi pada saat : f’ = (1+r). Lebih lanjut Fisher menjelaskan bahwa
f’-1 sebagai marginal rate of return over cost, atau dalam istilah lain Keyness
menyebutnya sebagai the “marginal efficiency of investment”. Jadi, kondisi
optimum dari investasi suatu perusahaan akan terjadi pada saat MEI = r. Ini artinya
bahwa investasi berkaitan dengan tingkat suku bunga. MEI ini merupakan indikator
untuk melihat apakah nilai tambah yang diperoleh ketika melakukan investasi lebih
besar daripada nilai tambah yang diperoleh ketika seseorang memilih menabung
uangnya di bank. Secara grafis, MEI dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Marginal Efficiency of Investment (MEI)
9
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa jika diperkirakan keuntungan yang
diperoleh ketika melakukan investasi lebih besar daripada perolehan dari suku
bunga bank (r) yang diperoleh seseorang ketika menyimpan uangnya di bank,
dengan asumsi pelaku ekonomi bertindak rasional, maka seseorang akan terdorong
untuk berinvestasi. Sebaliknya, jika keuntungan yang mungkin diterima ketika
melakukan investasi lebih kecil daripada keuntungan ketika menyimpan uangnya di
bank, maka pilihan yang rasional adalah menyimpan uang di bank.
2.1.2 Investasi Asing atau Penanaman Modal Asing
Accoley (2005) mendefinisikan penanaman modal asing sebagai penanaman
modal yang dilakukan di luar negeri baik dengan membangun fasilitas poduksi
baru, ataupun dengan mengakuisisi saham perusahaan yang sudah mapan dalam
jumlah minimum tertentu. Tidak jauh berbeda dengan Accoley, UU No 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal mengartikan penanaman modal asing sebagai
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang
menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam
modal dalam negeri.
Lebih jauh, Asiedu (2002) berpendapat bahwa dalam menentukan faktor-
faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing, sangat penting untuk
membedakan dua jenis PMAL, yaitu market seeking dan non market seeking.
Tujuan utama dari jenis PMAL market seeking adalah untuk memenuhi kebutuhan
pasar domestik. Barang-barang diproduksi di negara tujuan PMAL (host country)
dan dijual di negara tersebut. Konsekwensinya, permintaan pasar domestik yang
terlihat dari populasi yang besar dan pendapatan yang tinggi dari masyarakat host
country sangat menentukan keberadaan PMAL. Oleh karena itu, di negara-negara
miskin, jenis PMAL market seeking sangat kecil jika dibandingkan dengan jenis
PMAL non market seeking. Di negara-negara miskin, barang-barang diproduksi di
host country, tetapi di jual ke luar negeri. Sedangkan untuk jenis PMAL non market
seeking, penanaman modal lebih dominan berbasis sumber daya alam dan
berorientasi ekspor. Oleh sebab itu, faktor permintaan pasar domestik tidak
berpengaruh terhadap PMAL jenis ini. Faktor yang lebih berpengaruh terhadap
10
PMAL jenis non market seeking adalah kemudahan bagi perusahaan untuk meng-
export barang-barang yang diproduksinya ke luar negeri.
Teori-teori tentang faktor yang mempengaruhi PMAL dapat diklasifikasikan
menjadi dua kategori yaitu, micro level theory yang fokus pada keadaan yang
membuat perusahaan melakukan produksi di luar negeri, dan macro level theory
yang mencoba mencari faktor-faktor apa yang menentukan tingkat PMAL yang
terjadi pada suatu negara (Accoley, 2005). Teori-teori yang termasuk dalam
kategori micro level theory adalah the internationalizaton models of the Uppsala
School, Vernon’s product life cycle hypothesis, dan the industrial organization
theories. Sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kategori macro level theory
adalah Exchange Rate, Economic Growth, Market Size dan Faktor-faktor lainnya
(tingkat keterbukaan ekonomi, tingkat upah, privatisasi, hambatan-hambatan
perdagangan, stabilitas makro ekonomi dan kebijakan pemerintah tentang
penanaman modal asing.
The Internalization Models of the Uppsala School.
Model ini dikembangkan oleh Johanson dan Widersheim-Paul (1975) dari
Universitas Uppsala Swedia. Mereka menjelaskan bahwa perusahaan multi nasional
biasanya tidak memulai aktivitas usahanya dengan melakukan PMAL ke negara
lain. Melainkan melalui empat tahapan proses untuk masuk ke pasar internasional.
Pada tahap pertama perusahaan beroperasi di pasar domestik dan secara perlahan
memperluas aktivitas usahanya ke pasar luar negeri. Selama tahapan pertama ini,
perusahaan multi nasional hanya akan memproduksi dan menjual produknya di
dalam negeri. Pada tahapan kedua perusahaan mulai melibatkan diri dalam
perdagangan internasional dengan melakukan ekspor produknya ke negara tetangga
dan negara-negara yang dikenal dengan baik melalui kantor perwakilan atau agen di
negara tersebut. Perbedaan antara negara asal dengan negara tujuan ekspor, baik
dalam hal perbedaan bahasa, budaya, sistem politik, tingkat pendidikan dan tingkat
industrialisasi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap keputusan
melakukan ekspor.
Tahapan ketiga dari penanaman modal asing ditandai dengan pendirian
perusahaan penjualan di luar negeri. Besar atau kecilnya potensi pasar akan menjadi
faktor yang menentukan lokasi didirikannya perusahaan penjualan tersebut.
11
Sedangkan pada tahap keempat, perusahaan mulai mendirikan perusahaan atau
melakukan akuisisi terhadap perusahaan industri di luar negeri. Keputusan untuk
mendirikan atau melakukan akuisisi perusahaan manufaktur di luar negeri
dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jarak, hambatan tarif dan non tarif, biaya
transportasi dan lain-lain.
The Industrial Organization Theories
Kerangka teori ini berangkat dari argumentasi bahwa penyebab perusahaan
melakukan penanaman modal asing sama dengan penyebab perusahaan ini
melakukan perluasan usaha di dalam negeri. (Penrose, 1956; Caves, 1971; Accoley,
2005). Caves meneliti karakteristik intrinsik dari industri yang mempunyai potensi
menarik PMAL. Caves membagi PMAL menjadi dua, yaitu horizontal investment
dan vertical investment. Untuk horizontal investment, PMAL terjadi pada industri
yang mempunyai karakter oligopoli dengan diferensiasi produk, baik di host
country maupun di home country. Sedangkan untuk vertical investment, PMAL
akan lebih menyukai industri yang mempunyai karakter oligopoli, dengan tidak ada
diferensiasi produk di home country.
Menurut Hymer (1960), perusahaan melakukan horizontal investment
karena mereka memiliki aset-aset khusus yang menghasilkan return tinggi di pasar
luar negeri dengan hanya melalui produksi di luar negeri. Sebagaimana yang terjadi
dalam kasus ekspansi di pasar domestik, alasan dibalik terjadinya integrasi vertikal
di antara perusahaan domestik adalah untuk menghindari ketidakpastian pasar
oligopolistik dan untuk menghindari ketegangan dengan pesaing baru karena ada
hambatan untuk masuk ke pasar.
Product Life Cycle Theory
Pada tahun 1960-an, Raymond Vernon mengembangkan teori yang populer
dengan nama product life cycle theory. Teori ini menggabungkan antara kaidah
inovasi, ekspansi pasar, keunggulan komparatif dan respon strategis terhadap
persaingan global dalam hal keputusan industri, perdagangan dan investasi.
Teori product life cycle ini menggambarkan bahwa pergeseran produksi,
perdagangan dan investasi internasional terbentuk melalui tiga tahapan. Tahapan
pertama, the new product stage. Dalam tahap ini, perusahaan mengembangkan dan
12
memperkenalkan produk baru untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Karena
produk baru, belum dapat dipastikan penerimaan produk dan keuntungan
perusahaan yang memproduksinya. Perusahaan harus memantau secara dekat dan
langsung untuk mengetahui kepuasan konsumen terhadap produk tersebut. Umpan
balik dari pasar yang cepat sangat penting. Awalnya produk baru diproduksi di
negara yang tradisi penelitian dan pengembangannya sangat kuat. Seperti Jepang,
Jerman dan USA. Kemudian, karena pasar juga tidak pasti, perusahaan biasanya
akan meminimalisasi kapasitas investasi untuk produk baru tersebut. Sehingga
sebagian besar produk awalnya dijual di pasar domestik, dan hanya sedikit yang
dijual di pasar ekspor.
Tahap kedua dari product life cycle theory adalah the maturing product
stage. Permintaan pasar terhadap produk meningkat secara tajam setelah konsumen
mengetahui nilai produk tersebut, sehingga perusahaan harus membangun pabrik
baru untuk meningkatkan kapasitas produk dan memenuhi permintaan konsumen,
baik permintaan domestik maupun permintaan luar negeri. Dalam tahap ini, pesaing
bisnis mulai bermunculan, karena prospek bisnis yang menjanjikan keuntungan
besar.
Tahapan ketiga dari teori ini adalah the standardized product stage. Dalam
tahap ini, produk menjadi lebih dari sekedar komoditas, dan perusahaan dipaksa
untuk menurunkan biaya produksinya semurah mungkin, sehingga perusahaan
harus memindahkan atau mengalihkan produksinya ke negara yang ongkos tenaga
kerjanya murah. Konsekwensinya, negara asal (home country) tempat perusahaan
induk harus mengimpor produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Ilustrasi dari tahap ini misalnya terjadi dalam kasus industri komputer, di
mana perusahaan di Amerika Serikat harus meng-impor dari produsen baru seperti
Hyundai dan Samsung (Korea Selatan) atau Lenovo dari China. Perusahaan-
perusahaan industri manufaktur Taiwan seperti MITAC International, Tatung dan
TECO Information System secara rutin setiap tahun mengekspor jutaan komputer
ke Amerika Serikat, beberapa diantara perusahaan manufaktur Taiwan melakukan
kontrak produksi dengan distributor asing.
Berdasarkan teori Product Life Cycle ini, secara ringkas dapat dijelaskan
bahwa produksi domestik mulai tumbuh pada tahap 1, mencapai puncaknya pada
13
tahap 2 dan merosot pada tahap 3. Ekspor oleh perusahaan inovatif (innovating
firms) mulai pada tahap 1, mencapai puncak pada tahap 2, dan pada tahap 3,
perusahaan inovatif itu menjadi net importir produk yang pertama kali
diperkenalkannya. Kompetitor asing mulai tumbuh pesat pada akhir tahap 1, karena
perusahaan di negara industri lain mulai mengetahui potensi pasar produk tersebut,
pada tahap 2, kompetitor asing mulai memperluas kapasitas produksi untuk
memenuhi peningkatan permintaan pasar domestik, dan mungkin juga menjadi net
eksportir. Karena kompetisi yang sangat ketat pada tahap 2, the innovating firms
dan pesaing-pesaingnya (baik lokal maupun asing) berupaya menurunkan biaya
produksinya dengan mengalihkan produksinya di negara-negara berkembang yang
masih murah upah tenaga kerjanya. Sehingga pada tahap ketiga, negara-negara
berkembang dapat menjadi net eksportir produk tersebut.
Teori Eklektik Dunning
Dunning (1960) dengan teori eklektik untuk menjelaskan tentang kenapa
dalam melakukan produksi suatu perusahaan memilih di luar negeri. Dalam teori
ini, perusahaan akan melakukan proses produksi di luar negeri jika tiga hal berikut
memuaskan: 1). Ownership advantage. Perusahaan harus memiliki keunggulan
kompetitif yang unik daripada perusahaan di negara tujuan (host country). 2).
Location advantage. Aktivitas usaha di luar negeri harus menguntungkan daripada
aktivitas usaha di negara asal. Contohnya, PT. Caterpillar memproduksi Buldoser di
Brazil karena upah tenaga kerja lebih murah dan untuk menghindari tarif ekspor
yang tinggi di Amerika Serikat. 3). Internalization advantage. Aktivitas perusahaan
mengelola atau mengawasi langsung usaha di luar negeri harus lebih
menguntungkan daripada menyewa perusahaan lokal untuk menyediakan jasa
tersebut.
Ownership Advantages merupakan kekayaan yang dimiliki oleh
perusahaan, baik yang tangible maupun yang intangible yang mempunyai
keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Dengan asumsi
bahwa perusahaan lokal di negara tujuan (host country) lebih memahami kondisi di
dalam negerinya dari pada perusahaan asing, maka perusahaan asing yang ingin
masuk ke pasar host country harus mempunyai ownership advantage agar dapat
mengatasi hambatan-hambatan tentang kondisi pasar yang belum diketahuinya
14
dengan baik, baik menyangkut informasi tentang negara tujuan, kondisi politik
maupun budaya-budaya negara tujuan.
Location Advantages merupakan faktor-faktor yang membuat perusahaan
lebih lebih menguntungkan melakukan produksi di negara tujuan (host country) dari
pada di negara asal (home country). Dalam menentukan tempat melakukan
produksi, perusahaan-perusahaan secara seksama membandingkan karakter
ekonomi dan non ekonomi dari negara asal (home country) dengan karakter negara
tujuan (host country). Jika melakukan produksi di negara asal lebih menguntungkan
daripada melakukan produksi di negara tujuan, perusahaan akan lebih memilih
masuk ke pasar negara tujuan melalui ekspor. Pilihan seperti ini dilakukan oleh
Siam Cement-perusahaan semen Thailand- yang lebih mengandalkan ekspor untuk
memasok semen ke Kamboja, Semen dan Laos. Namun jika melakukan produksi di
negara tujuan lebih menguntungkan, maka perusahaan asing akan memilih
melakukan penanaman modal di negara tujuan atau memberikan lisensi penggunaan
teknologi dan merk kepada perusahaan lokal di negara tujuan.
Banyak faktor yang digunakan sebagai pertimbangan untuk sampai kepada
pilihan yang lebih menguntungkan tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya
adalah tingkat upah, harga sewa lahan, peluang pasar di negara tujuan, akses
terhadap pengembangan SDM, dukungan logistik, biaya administrasi, resiko politik,
keamanan, korupsi birokrasi, stabilitas pemerintahan dan kebijakan pemerintah.
Internalization advantages merupakan faktor-faktor yang membuat
perusahaan lebih menguntungkan untuk melakukan sendiri proses produksi barang
dan jasa daripada menyerahkan proses produksi kepada perusahaan di negara
tujuan. Besarnya biaya produksi, baik biaya negosiasi, biaya pengawasan dan biaya
enforcing agreement menjadi faktor penentu untuk memilih model dalam
melakukan penanaman modal. Jika biaya-biaya tersebut mahal, perusahaan asing
akan lebih memilih penanaman modal asing secara penuh atau joint venture. Namun
jika biaya-biaya tersebut murah, maka perusahaan asing akan lebih memilih model
franchising, lisencing atau contract manufacturing.
Griffin & Pustay (2007) membuat klasifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi PMA langsung ke dalam tiga kategori, yaitu supply factors, demand
factors dan political factors. Faktor yang termasuk ke dalam kategori supply factors
15
adalah biaya produksi, logistik, ketersediaan sumber daya alam dan akses terhadap
teknologi. Sedangkan faktor yang termasuk ke dalam demand factors adalah akses
kepada pelanggan, keunggulan pemasaran, exploitation of competitive advantages
dan mobilitas pelanggan. Sedangkan faktor yang termasuk dalam political factors
adalah penghilangan hambatan perdagangan dan insentif pengembangan ekonomi.
Lebih jauh, Griffin & Pustay menjelaskan ada tiga metode dalam melakukan
PMA langsung. Yaitu, greenfield strategy, Acquisition strategy dan joint venture.
Pada prinsipnya, greenfield strategy ini adalah metode PMA langsung dengan cara
membangun sarana & prasarana produksi baru. Perusahaan membeli atau menyewa
lahan, membangun fasilitas baru menyewa atau menempatkan manajer dan pekerja
di tempat baru ini, lalu melakukan operasi bisnis baru.
Greenfield strategy mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, perusahaan
dapat memilih tempat yang terbaik untuk bertemu langsung dengan pelanggan
(pasar), dan membangun fasilitas produksi yang modern dan canggih. Kedua,
biasanya pemerintahan di suatu negara menawarkan insentif bagi kegiatan
pengembangan ekonomi, karena menciptakan lapangan kerja baru. Ketiga,
perusahaan tidak memulai usaha dengan permasalahan warisan. Seperti peralatan
yang usang, tanggung jawab terhadap utang ataupun permasalahan dengan
karyawan. Keempat, perusahaan juga dapat menemukan atau menciptakan budaya
bisnis yang baru. Faktor adanya perbedaan budaya yang sangat tajam antara home
country dengan host country, biasanya membuat perusahaan multinasional memilih
membangun perusahaan baru daripada memebli perusahaan yang sudah berjalan.
Tetapi, green field strategy juga mempunyai kelemahan. Pertama, untuk
meraih keberhasilan membutuhkan waktu dan kesabaran. Dalam hal ini, perusahaan
baru harus memulai semua proses dari nol, sehingga tidak bisa langsung meraih
keberhasilan. Kedua, lokasi yang diinginkan seringkali tidak tersedia (unavailable)
atau sangat mahal. Ketiga, dalam membangun pabrik baru, perusahaan harus
menyesuaikan dg berbagai macam peraturan lokal dan peraturan perundang-
undangan nasional, seperti AMDAL, ijin gangguan dan lain-lain. Keempat,
perusahaan harus mengawasi proses pembangunan gedung dan sarana perusahaan,
agar sesuai dengan kualifikasi dan standard yang ditetapkan. Kelima, perusahaan
harus merekrut pekerja lokal dan melatihnya sesuai dengan standard perusahaan.
16
Keenam, dengan membangun pabrik baru, anggapan masyarakat bahwa pabrik
tersebut merupakan perusahaan asing akan sangat kuat.
Strategi kedua dikenal dengan akuisi. Pada prinsipnya, srategi akusisi ini
adalah dengan mengambil alih perusahaan yang sudah berjalan di host country.
Proses akuisisi sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak, mulai dari bankir,
pengacara, dan ahli-ahli merger & akuisisi perusahaan. Motivasi dasar dari akuisisi
ini sederhana, melalui akuisisi perusahaan yang sudah berjalan, pembeli dapat
langsung melakukan kontrol terhadap perusahaan, tenaga kerja, teknologi dan
jaringan kerja perusahaan. Tidak seperti greenfield strategy, tidak ada penambahan
kapasitas produksi baru dalam industri. Seringkali, perusahaan asing melakukan
akuisisi sebagai cara untuk masuk ke pasar baru. Sebagai contohnya, Produsen
semen asal Mexico, Cemex SA, pada tahun 1998 membeli 14 persen saham PT
Semen Gresik, untuk mendapatkan keuntungan dari penguasaan pasar PT Semen
Gresik di Indonesia. Atau juga, PT. Philip Morris yang mencoba masuk ke pasar
rokok kretek Indonesia dengan membeli 40 persen saham PT. HM. Sampoerna
pada tahun 2005. Dalam kepentingan yang lain, akuisisi dilakukan untuk melakukan
perubahan strategis secara besar-besaran. Seperti yang dilakukan perusahaan
minyak Arab Saudi, dengan membeli perusahaan pemurnian Korea Selatan, untuk
mengurangi ketergantungan terhadap produksi minyak mentah.
Strategi akuisisi mempunyai beberapa kelemahan. Dalam proses akuisisi,
perusahaan yang mengakuisisi harus mengambil alih semua tanggung jawab
perusahaan yang diakuisisi. Jika perusahaan yang diakuisisi mempunyai catatan
yang buruk terkait dengan hubungan industrial (hubungannya dengan tenaga kerja)
atau catatan buruk dalam pengelolaan lingkungan, maka perusahaan akan terbebani
untuk mengambil alih tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Strategi lain untuk melakukan penanaman modal adalah melalui joint
venture. Joint venture terbentuk ketika dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk
bekerja bersama dan membuat perusahaan bersama yang terpisah dari perusahaan
induknya untuk mempromosikan kepentingan bersama mereka. Beberapa
pertimbangan yang digunakan dalam melakukan joint venture adalah perkembangan
yang sangat cepat dalam hal teknologi, komunikasi dan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang melampaui kemampuan perusahaan internasional untuk
17
mendapatkan keuntungan atau peluang bisnis. Bentuk pengelolaan perusahaan joint
venture ini ada tiga. Pertama, perusahaan pendiri bergabung bersama-sama dengan
melakukan share manajemen, dengan masing-masing menempatkan key person
yang mewakili perusahaan pendiri. Kedua, salah satu perusahaan pendiri diberi
tanggung jawab untuk mengelola perusahaan secara lebih dominan. Atau ketiga,
menyewa tim manajemen independen untuk mengelola perusahaan joint venture
tersebut. Joint venture mempunyai beberapa keunggulan, yaitu, dapat menjadi pintu
masuk untuk masuk ke pasar potensial, dan kemudahan berbagi pengetahuan dan
pengalaman antar partner perusahaan, meningkatkan sinergi dan keunggulan
kompetitive dari pasangan bisnis.
2.1.3 Aglomerasi Ekonomi
Secara sederhana, aglomerasi didefinisikan sebagai berkumpulnya aktivitas-
aktivitas kegiatan ekonomi pada satu lokasi. Aktivitas tersebut dapat berupa
kegiatan produksi yang menghasilkan barang, atau juga dapat berupa kegiatan
penjualan barang yang berada pada satu lokasi. Agglomeration economies atau
localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi
untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka
panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila
mengikuti tindakan mendirikan usaha di sekitar lokasi tersebut.
Sedangkan menurut Weber ( ), pemilihan lokasi industri didasarkan atas
prinsip minimisasi biaya. Terutama dalam hal total biaya transportasi dan tenaga
kerja. Berdasarkan asumsi tersebut, faktor yang mempengaruhi lokasi industri ada
tiga, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi atau
deaglomerasi. Biaya transportasi dan biaya upah tenaga kerja merupakan faktor
umum yang secara fundamental menentukan lokasi. Sedangkan kekuatan
aglomerasi dan deaglomerasi merupakan kekuatan lokal yang berpengaruh
menciptakan konsentrasi atau pemencaran berbagai kegiatan dalam ruang.
Myrdal ( ) dalam Capello (2007), membuat virtuous circle of cumulative
development untuk menjelaskan proses terjadinya fenomena daerah kaya yang
semakin kaya dan daerah yang miskin semakin miskin. Model ini sekaligus untuk
membantah pandangan neoklasik yang meyakini bahwa adanya proses yang
spontan dalam terjadinya kondisi re-equilibrium. Daerah-daerah kaya yang
18
mempunyai tingkat produksi tinggi menarik minat tenaga kerja untuk memenuhi
permintaan pasar tenaga kerja di daerah kaya. Migrasi tenaga kerja ini akan
memperluas local market di daerah kaya. Di satu sisi hal ini akan meningkatkan
permintaan barang dan jasa, di sisi lain, hal ini akan mendorong masuknya investasi
baru dan juga capital baru.
Peningkatan kegiatan produksi di daerah kaya ini akan memicu timbulnya
aglomerasi ekonomi yang akan meningkatkan produktivitas, kerjasama dan
persaingan antar pelaku usaha sehingga akan memicu pertumbuhan ekonomi daerah
kaya. Sebaliknya,di daerah miskin akan semakin tertinggal, karena mengalami
emigrasi tenaga kerja dan capital loss, karenanya akan terjadi penurunan
permintaan barang dan jasa di daerah miskin dan penurunan produktivitas.
Gambar 2.2. Virtuous circle of cumulative development
2.1.4 Data Panel
Ruang lingkup studi ekonometrika mengenal tiga macam jenis data, yaitu
data time series, cross section dan data panel (pooled data). Regresi yang
menggabungkan data time series dengan data cross section, dikenal sebagai regresi
data panel. Seringkali, dalam penelitian terdapat permasalahan tentang ketersedian
data yang dapat digunakan untuk mewakili variabel-variabel dalam penelitian. Baik
dalam bentuk pendeknya data time series yang tersedia, sehingga proses analisis
tidak dapat dilakukan karena terkait dengan persyaratan jumlah data minimum.
Ataupun dalam bentuk jumlah unit cross section yang juga terbatas, sehingga
Peningkatan produksi
Peningkatan produktifitas
Peningkatan produksi
Peningkatan labour supply
Peningkatan market size
Peningkatan investasi
Peningkatan Capital
19
analisis yang bertujuan untuk mendapatkan informasi perilaku dari model yang
hendak diteliti. Model ekonometrika yang dapat mengatasi permasalahan tersebut
adalah model data panel. Dengan menggunakan data panel, akan dapat diperoleh
hasil estimasi yang lebih baik, karena terjadi peningkatan jumlah observasi yang
berimplikasi pada peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom).
Data panel melakukan observasi berulang pada setiap unit cross-section
yang sama. Bila data yang diobservasi memiliki karakteristik dimana N (jumlah unit
cross-section) hanya satu dan T (jumlah unit time series) besar (lebih dari satu),
maka data tersebut dikenal sebagai data time series murni.
Sebaliknya, bila T hanya satu dan N lebih besar dari satu, maka data tersebut
dikenal sebagai data cross-section murni. Sedangkan data panel memiliki
karakteristik N > 1 dan T > 1. Notasi yang biasanya digunakan dalam estimasi panel
data adalah Yit = variabel dependen dan Xjit
Misalnya Y
= variabel penjelas.
it merupakan nilai variabel dependen untuk unit cross-section
ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T. Dan terdapat K
variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2, ..., K serta
didenotasikan sebagai Xjit
Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan
menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:
, yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit
ke-i pada waktu ke-t.
1 21 1 11 11 2
2 22 2 2
1 2
; ;
Ki i ii i
Ki ii i i
i i i
KiT iTiT iT iT
X X Xyy X X X
y X
y X X X
εε
ε
ε
= = =
.................................... (2.4)
dengan εit menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Selanjutnya
data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut:
20
1 1 1
2 2 2; ;
N N N
y Xy X
y X
y X
εε
ε
ε
= = =
.......................................................... (2.5)
dengan y adalah matriks berukuran 1NT × , X adalah matriks berukuran NT K× ,
danε adalah matriks berukuran 1NT × . Model standar data panel linier dapat
diekspresikan sebagai
'y X β ε= + .......................................................................................... (2.6)
dengan β adalah matriks berukuran 1NT × yang diekspresikan sebagai
1
2
N
ββ
β
β
=
.............................................................................................. (2.7)
Verbeek (2004) menyebutkan bahwa terdapat dua keuntungan menggunakan
data panel. Pertama, data panel yang merupakan gabungan dari data time series dan
cross section mampu menyediakan data yang lebih banyak dan variabel penjelas
dapat diselang-seling antara dua dimensi (individual dan waktu). Oleh karenanya
estimasi dengan menggunakan data panel seringkali lebih akurat jika dibandingkan
dengan estimasi menggunakan jenis data lain.
Kedua, data panel dapat mengurangi permasalahan identifikasi. Meliputi
identifikasi terhadap adanya variabel endogen dalam model atau kesalahan dalam
pengamatan (measurement error), ketahanan terhadap penghilangan variabel dan
identifikasi pada dinamika individu.
Sedangkan menurut Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan
banyak keuntungan baik secara statistik maupun secara teoritik. Manfaat
penggunaan data panel menurut Baltagi adalah sebagai berikut :
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi
kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat kebebasan dan lebih
efisien.
21
3. Lebih baik untuk mempelajari studi yang bersifat dinamis.
4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak
dapat diperoleh dari data murni cross section dan time series.
5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.
Namun, data panel juga mempunyai beberapa kelemahan dan keterbatasan.
Kelemahan tersebut sebagai berikut:
(1) Masalah dalam kesulitan desain survey panel, pengumpulan dan manajemen
data (masalah yang umumnya dihadapi diantaranya: coverage, nonresponse,
kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara.
(2) Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi
karena kegagalan respon (contohnya: pertanyaan yang tidak jelas,
ketidaktepatan informasi, dan lain-lain).
(3) Masalah selektifitas, yakni: self-selectivity, nonresponse, attrition (jumlah
responden yang terus berkurang pada survey lanjutan).
(4) Kemungkinan terjadinya cross-section dependence (contoh: apabila macro
panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang
panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Oleh karena itu,
orang-orang yang menggunakan data panel juga harus memahami bahwa tidak
semua masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh metode time series dan cross
section dapat diselesaikan dengan metode analisis data panel.
Analisis model data panel menggunakan tiga pendekatan untuk melakukan
estimasi model regresi. Yaitu, pendekatan Pooled Least Square, Fixed Effect dan
Random Effect. Ketiga-tiganya mempunyai karakter yang berbeda.
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square)
Pendekatan Pooled Least Square atau juga disebut sebagai pendekatan
kuadrat terkecil merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan
data panel. Pendekatan ini tidak melihat adanya perbedaan antar waktu dan antar
individu. Dalam pendekatan ini, diasumsikan bahwa perilaku data antar perusahaan
sama antar waktu.
22
Model yang dibangun dengan dasar susunan data sebagaimana persamaan
(2.6) adalah
'y X β ε= + ...........................................................................................(2.8)
Dimana sekarang diasumsikan εit ~ iid (0,σ2
Pendekatan ini mempunyai kelemahan mendasar dalam melakukan asumsi.
Dimana intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan. Implikasi
penggunaan asumsi ini adalah tidak terlihatnya variasi atau perbedaan, baik antara
individu maupun antar waktu. Ini berarti tidak sesuai dengan tujuan penggunaan
data panel. Bahkan dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui metode
Pooled Least Square ini akan bias sebagai akibat dari kesalahan spesifikasi data.
Kelemahan yang terjadi pada metode pendekatan kuadrat terkecil, biasanya dapat
diatasi dengan menggunakan metode fixed effect (fixed effect) dan metode efek
random (random effect).
) untuk semua i dan t. Dalam hal
ini untuk given individual, observasi tidak berkorelasi secara serial, dan untuk
pengamatan lintas individu dan lintas waktu, terjadi homoscedastisity pada error-
nya.
Pendekatan Fixed Effect, menggunakan variabel dummy untuk menangkap
adanya perbedaan intersep antara individu (propinsi), namun intersepnya sama antar
waktu (time invariant). Di samping itu, model ini juga mengasumsikan bahwa
koefisien regresi (slope) tetap antar individu dan antar waktu. Model estimasi ini
juga sering disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variables (LSDV).
Namun, penggunaan variabel dummy di dalam model fixed effect dapat berimplikasi
pada berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom), yang pada akhirnya akan
mengurangi efisiensi parameter.
Persamaan 2.9 menjelaskan tentang struktur model fixed effect.
'it it ity X β ε= + ..................................................................................... (2.9)
dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model
sebagai berikut:
it i ituε α= + .......................................................................................... (2.10)
23
dan diasumsikan bahwa itu merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi
dengan itX . Sedangkan iα disebut sebagai efek individual (atau time-invariant
person-specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan
satu diantara asumsi mengenai efek individual. Asumsi tersebut adalah:
1). Jika iα diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar
1, 2, ,i N= , maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM).
Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar
individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan
adanya perbedaan intersep α pada setiap i. Penduga dari model ini
ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam
bentuk deviasi rata-rata individual.
Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu,
yakni menjelaskan bagaimana ity berbeda dari iy , dan tidak menjelaskan kenapa
iy berbeda dari jy (Verbeek, 2004).
Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β , menekankan bahwa perubahan
yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, baik perubahan dari satu
periode ke periode lainnya ataupun perubahan dari satu individu ke individu
lainnya.
2). Jika iα diperlakukan sebagai parameter random, maka model disebut
sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu
diakomadasi oleh error dalam model. REM umumnya digunakan bila N relatif
besar dan T relatif kecil. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai
'it it it iy X uα β τ= + + + ...................................................................... (2.15)
dengan i iα α τ= + dan memiliki rata-rata nol. Di sini, iτ merepresentasikan
gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa
asumsi yang melekat dalam model efek andom antara lain:
( )| 0it iE u τ = ....................................................................................... (2.16)
24
( )2 2|it i uE u τ σ= ..................................................................................... (2.17)
( )| 0 ; ,i itE x i tτ = ∀ .............................................................................. (2.18)
( )2 2|it itE x ττ σ= .................................................................................... (2.20)
( ) 0 ; , ,it jE u i t jτ = ∀ ............................................................................. (2.21)
( ) 0 ; atau it jsE u u i j t s= ≠ ≠ .............................................................. (2.22)
Pendugaan REM umumnya menggunakan metode generalized least square
(GLS). Misalkan kombinasi error pada Persamaan (3.12) dituliskan menjadi
it it iw u τ= + , dengan
( ) 0itE w = .......................................................................................... (2.23)
( )2 2 2 ; ,it uE w i tτσ σ= + ∀ ........................................................................ (2.24)
( ) 2 ;it isE w w t sτσ= ∀ ≠ ........................................................................ (2.25)
( ) 0 ; untuk atauit jsE w w i j t s= ≠ ≠ .................................................. (2.26)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor
( )1 2, , 'i i i iTw w w w= maka dapat dituliskan bahwa
( )'i iE w w = Ω ...................................................................................... (2.27)
dengan
2 2 2 2 2
2 2 2 2 2
2 2 2 2 2
2 2 2 2 2
u
u
u
u
τ τ τ τ
τ τ τ τ
τ τ τ τ
τ τ τ τ
σ σ σ σ σσ σ σ σ σσ σ σ σ σ
σ σ σ σ σ
+
+ Ω = + +
.......................... (2.28)
25
Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error
( )1 2, , , 'Nw w w w= dapat diturunkan sebagai
0 0 00 0 00 0 0
00 0 0
NNT NT
V I×
Ω Ω = = ⊗ΩΩ Ω
............................................ (2.29)
dengan NI menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan
Kronecker product. Misalkan Y pada Persamaan (3.12) direpresentasikan sebagai
vektor stack dari ity yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan
struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan
sebagai
Y X wβ= + ......................................................................................... (2.30)
dapat diestimasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS
untuk persamaan regresi (3.26) memerlukan transformasi untuk menghilangkan
struktur yang tidak baku dari matriks kovarian ( )'E ww V= . Kemudian dengan
mendefinisikan matriks penimbang 1/2P V −= dan mengalikannya ke kedua ruas
pada persamaan (3.26) akan diperoleh hasil transformasi sebagai berikut
PY PX Pwβ= + .................................................................................. (2.31)
atau
* * *Y X wβ= + .................................................................................. (2.32)
sekarang
( ) ( )( )
* * ' '
'
NT
E w w E Pww P
PE ww PPVPI
=
=
==
26
Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (2.30) dapat dituliskan sebagai
( ) 11 1ˆ ' 'GLS X V X X V Yβ−− −= ............................................ (2.33)
Penggunaan model random effect dapat menghemat pemakaian derajat
kebebasan dan tidak mengurangi jumlah unit datanya sehingga parameter hasil
estimasi akan menjadi semakin efisien.
2.3. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini sangat penting untuk mengetahui bukti-bukti
empirik dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik penelitian yang
dilakukan dengan kasus Indonesia maupun penelitian yang dilakukan dengan kasus
di luar negeri.
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal
asing yang mengambil kasus Indonesia tergolong masih jarang. Untuk mendapatkan
gambaran dan landasan empirik yang lebih kuat, penulis juga menggunakan hasil
penelitian yang dilakukan di negara lain dengan metode penelitian dan periode
waktu yang beragam.
2.3.1 Market Size
Market size menunjukkan aktivitas perekonomian suatu wilayah, baik dalam
lingkup negara maupun provinsi. Semakin tinggi aktivitas perekonomian suatu
wilayah, berarti semakin besar market wilayah tersebut.
Tingginya aktivitas perekonomian suatu wilayah akan menjadi daya tarik
bagi penanaman modal karena memberikan peluang bagi industri dan usaha di
wilayah tersebut mendapatkan keuntungan dari terjadinya economies of scale dan
dampak lanjutannya (spillover effects) (Firdaus:2006)
Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dari market size
terhadap arus masuknya PMA langsung. Dengan mengambil lokus penelitian yang
berbeda, Aqeel & Nishat (2005) di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) di Turki,
Firdaus (2006) di Indonesia, Tsen (2006) di Malaysia dan Udo & Obiora (2006) di
Kawasan Afrika Barat, menemukan bukti adanya pengaruh positif tersebut. Hanya
saja, Erdal & Tatoglu (2001) dan Tsen (2006) memberikan catatan tambahan bahwa
market size mempunyai pengaruh positif terhadap PMA namun secara statistik tidak
signifikan.
27
Aqeel dan Nishat (2005) menggunakan PDB perkapita sebagai proxy untuk
variabel market size di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) menggunakan laju
pertumbuhan PDB riil, Firdaus (2006) menggunakan PDB riil, Tsen (2006)
menggunakan gross national index (GNI) dan Udo & Obiora menggunakan PDB
perkapita. Sedangkan Sarwedi (2002), walaupun tidak menggunakan istilah market
size, dalam penelitiannya juga menemukan bukti adanya pengaruh positif dari PDB
dan pertumbuhan ekonomi dengan PMA langsung. Dalam penelitiannya ini,
Sarwedi mengklasifikasikan faktor yang mempengaruhi PMA menjadi dua, yaitu
faktor ekonomi dan non ekonomi. Variabel PDB dan pertumbuhan ekonomi ke
dalam kategori faktor ekonomi.
2.3.2 Infrastruktur
Iklim investasi yang baik perlu ditopang dengan tersedianya infrastruktur
yang memadai. Kondisi infrastruktur yang buruk merupakan ekstra biaya yang
ditanggung oleh pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karenanya, penyediaan
infrastruktur yang ada saat ini harus segera ditingkatkan seperti membangun jalan
baru dan memperbaiki jalan yang rusak, menyediakan alat transportasi massal yang
murah, aman dan nyaman untuk mengurangi kemacetan jalan, mengembangkan
pembangkit listrik denga energi alternatif, memperbaiki sistem irigasi dan pengairan
dan lain-lain (Departemen Keuangan RI, 2007).
Terjadinya perbedaan pembangunan di antara Asia dan Afrika selama
beberapa dekade bisa ditelusuri sebagiannya akibat ketidaksamaan infrastruktur di
kedua kawasan tersebut, dan perbedaan prioritas sektor yang memperoleh investasi
di negara di dua kawasan tersebut. Infrastruktur yang baik menjadi esensi bagi
pengurangan waktu transportasi dan komunikasi serta efisiensi distribusi pasokan
energi, sedangkan infrastruktur yang lemah dipandang sebagai hambatan besar bagi
pertumbuhan sektor swasta di sebagian besar negara di kawasan Amerika Latin.
Hampir semua hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya
hubungan positif antara infrastruktur dengan PMA. Tsen (2006) menggunakan
proxy panjang jalan, Erdal & Tatoglu (2002) menggunakan share of transportation,
energy and communication expenditures in GDP, dan Firdaus (2006) menggunakan
prosentase rumah tangga yang menggunakan listrik.
28
Berbeda dengan mereka, Asiedu (2002) dengan menggunakan jumlah
sambungan telepon sebagai proxy infrastruktur, menemukan bukti bahwa
infrastruktur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PMA langsung di
negara kawasan Sub Sahara Afrika. Dalam analisisnya, Asiedu menjelaskan bahwa
infrastruktur tidak berpengaruh signifikan di negara kawasan Sub Sahara karena
PMA langsung di kawasan ini berbasiskan pada exploitasi sumber daya alam, selain
itu juga karena proxy yang digunakan tidak relevan dengan penanaman modal yang
berbasiskan sumber saya alam.
2.3.3 Tingkat Pendidikan
Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah
tersedianya SDM berkualitas dalam jumlah yang cukup memadai. Kualitas SDM ini
akan dapat diraih melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal.
Merujuk pada jenjang pendidikan formal, penduduk usia sekolah biasanya
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok umur, yaitu 7-12 tahun untuk jenjang
sekolah dasar), 13-15 tahun untuk jenjang sekolah menengah pertama, 16-18 tahun
untuk jenjang sekolah menengah atas dan 19-24 tahun untuk jenjang pendidikan
perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tsen (2006) di Malaysia dan Firdaus (2006) di Indonesia, menunjukkan bahwa
variabel pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap PMA.
2.3.4 Tingkat Upah
Penanaman modal asing yang jenis non market seeking akan mencari daerah
tempat melakukan usaha yang dapat meminimumkan biaya usaha. Tenaga kerja
sebagai salah satu faktor produksi mempunyai peran penting dalam struktur biaya
usaha, karena perusahaan harus membayarkan upah sebagai kompensasi terhadap
kontribusi tenaga kerja sehingga upah menjadi salah satu faktor yang sangat
sensitif. Besaran atau tingkat upah dapat ditentukan melalui berbagai cara.
Seringkali upah ditentukan melalui collective bargaining, di mana upah pekerja
tidak ditentukan oleh kondisi kesetimbangan penawaran dan permintaan, tetapi
ditentukan oleh posisi tawar menawar kolektif antara pimpinan serikat pekerja dan
manajemen perusahaan (Mankiw, 2006). Model ini populer di Jepang dan negara-
negara Eropa (Blanchard, 2006).
29
Upah yang rendah akan secara langsung berpengaruh terhadap biaya usaha
yang rendah. Namun diskursus tentang upah tidak cukup sekedar dikaitkan dengan
biaya usaha. Upah juga harus dilihat keterkaitannya dengan produktivitas tenaga
kerja. Teori efisiensi upah menekankan bahwa upah yang tinggi akan membuat
pekerja lebih produktif, karena dengan upah yang tinggi pekerja akan mempunyai
kesempatan untuk membeli nutrisi yang lebih baik. Dengan nutrisi yang lebih baik,
maka hasil kerja pekerja akan meningkat.
Studi yang dilakukan oleh Aqeel & Nishat (2005) menunjukkan bahwa upah
mempunyai pengaruh positif terhadap PMA langsung, itu artinya bahwa semakin
tinggi tingkat upah, maka PMA langsung juga akan semakin tinggi. Lebih jauh,
Aqeel & Nishat (2005) menjelaskan bahwa PMA langsung lebih menyukai tenaga
kerja yang mempunyai keterampilan tinggi, walaupun tingkat upahnya lebih tinggi
daripada tenaga kerja yang keterampilannya rendah. Berbeda dengan temuan Aqeel
& Nishat (2005), Tsen (2006) dalam penelitiannya di Malaysia justru menemukan
hubungan negatif antara tingkat upah dengan PMA langsung.
Sedangkan Sarwedi (2002) menemukan bukti bahwa tingkat upah
mempunyai hubungan positif dengan PMA langsung dalam hubungan jangka
pendek, namun dalam jangka panjang hubungan tingkat upah dengan PMA
langsung mempunyai hubungan negatif. Sarwedi menjelaskan bahwa perbedaan
pengaruh tersebut terjadi karena terjadinya fluktuasi nilai variabel yang mendorong
terjadinya perubahan dalam keseimbangan jangka panjang.
2.3.6 Stabilitas Sosial Politik
Pengusaha dalam melakukan penanaman modal berharap return di waktu
yang akan datang. Oleh karenanya, penanam modal lebih menyukai kondisi stabil.
Studi yang dilakukan Sarwedi (2002) menunjukkan bahwa jumlah kerusuhan yang
digunakan sebagai proxy stabilitas politik mempunyai hubungan negatif dengan
PMA langsung baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Senada
dengan itu, Vittorio & Ugo (2008) juga menemukan bukti adanya hubungan negatif
antara arus masuk PMA langsung dengan tingkat kriminalitas di Italia. Berbeda
dengan kedua penelitian tersebut, hasil studi Asiedu (2002) di negara kawasan Sub
Sahara Afrika menunjukkan bahwa stabilitas politik yang dilihat dari jumlah
30
pembunuhan dan revolusi pemerintahan tidak berpengaruh signifikan terhadap
masuknya PMA langsung ke negara di kawasan Sub Sahara Afrika.
Terkait dengan iklim investasi di daerah, KPPOD melakukan kajian secara
rutin setiap tahun mulai 2001. Berdasarkan kajian KPPOD, terdapat 5 (lima) faktor
yang dianggap mempengaruhi daya tarik investasi di daerah. Pertama, faktor
kelembagaan. Faktor ini mencakup aspek kepastian hukum, aparatur dan pelayanan,
kebijakan daerah dan kepemimpinan lokal. Kedua, faktor keamanan, politik dan
sosial budaya. Faktor ini mencakup aspek keamanan, politik dan budaya. Ketiga,
faktor ekonomi daerah. Faktor ini mencakup aspek potensi ekonomi dan struktur
ekonomi. Keempat, faktor tenaga kerja. Faktor ini meliputi aspek ketersediaan
tenaga kerja, kualitas dan biaya tenaga kerja. Kelima, faktor infrastruktur fisik.
Faktor ini meliputi aspek ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur
fisik.
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Berdasarkan studi pustaka dan penelitian terdahulu, untuk mempermudah
dalam melakukan analisis, penulis membuat klasifikasi faktor yang mempengaruhi
pemilihan lokasi menjadi dua sektor, yaitu pull factors dan push factors. Dalam
penelitian ini, pull factors merupakan faktor-faktor yang terkait dengan tingkat
Kebijakan Otonomi Daerah
Push Factors Upah Inflasi Stabilitas sosial politik
Pull Factors Market Size Tingkat Pendidikan Infrastruktur
Lokasi PMA
Jumlah & Persebaran PMA di daerah
31
output dari aktivitas penanaman modal di suatu daerah, baik output dalam bentuk
tingkat penjualan maupun output dalam bentuk tingkat produksi. Sedangkan push
factor merupakan faktor-faktor yang terkait dengan biaya yang mungkin
dikeluarkan oleh penanam modal dalam menjalankan usahanya di suatu daerah,
baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.
Variabel yang termasuk dalam kategori pull factor adalah market size,
tingkat pendidikan dan infrastruktur. Sedangkan variabel yang termasuk dalam
kategori push factor adalah upah, inflasi dan jumlah kriminalitas. Kedua faktor
tersebut, secara bersama-sama akan menentukan minat investor untuk menanamkan
modalnya di suatu daerah.
Kebijakan otonomi daerah yang efektif mulai berjalan pada tahun 2001
salah satunya diharapkan untuk meningkatkan jumlah penanaman modal di daerah-
daerah di luar Jawa. Melihat potret pelaksanaan kebijakan otonomi daerah selama
2001-2009, kebijakan otonomi daerah mengandung dua dimensi sekaligus, baik
sebagai pull factor dan sebagai push factor. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan
otonomi daerah terhadap jumlah dan persebaran realisasi PMA langsung di
propinsi-propinsi di Indonesia, penelitian ini akan menggunakan variabel dummy
kebijakan otonomi daerah.
32
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Data
Analisis penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari data
sekunder 26 propinsi di Indonesia dalam bentuk data panel, yaitu gabungan time
series dan cross section tahunan periode tahun 1993 sampai tahun 2008 untuk
mendapatkan tujuan penelitian. Propinsi-propinsi yang baru terbentuk pada tahun
2000 dan setelahnya, tidak diikutkan dalam penelitian ini. Periode ini dipilih
untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman
modal asing langsung di sektor manufaktur pada periode setelah krisis ekonomi.
Berbagai data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai
sumber yang credible dan terpercaya, diantaranya Badan Pusat Statistik (BPS),
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Departemen Perindustrian.
Selain melakukan analisis dengan menggunakan data statistik yang
diperoleh dari sumber-sumber tersebut, penulis juga melakukan studi pustaka,
baik yang bersumber dari buku, jurnal ilmiah, artikel internet, dan bahan bacaan
lain yang relevan dengan permasalahan penelitian ini.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Market Size
b. Upah
c. Tingkat Pendidikan
d. Inflasi
e. Infrastruktur
f. Stabilitas Sosial
Penelitian ini akan dikhususkan untuk mengkaji faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap penanaman modal asing langsung di sektor industri
manufaktur non migas. Maksud dari penekanan pada sektor industri manufaktur
non migas adalah untuk benar-benar melihat sektor industri kreatif yang
prospektif dan layak dikembangkan sebagai basis industri nasional.
Sebagian data dalam penelitian ini dirubah ke dalam bentuk logaritma
natural (ln). Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan adanya
permasalahan heteroscedasticity. Dengan melakukan transformasi data ke dalam
33
bentuk logaritma natural, akan menekan skala yang akan membuat variabel-
variabel itu menjadi measured.
3.2 Metode Analisis Data
Faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing langsung di
sektor industri manufaktur non migas akan diuji dengan melakukan analisis data
panel.
3.2.1 Penentuan Metode Estimasi
Prosedur dalam penelitian ini akan diawali dengan terlebih dulu
melakukan penentuan metode estimasi data panel yang paling tepat untuk
mendapatkan hasil yang paling baik. Penentuan dilakukan melalui pengujian
statistik. Secara grafis pengujian dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Gambar. 3.1 Pengujian penentuan model dalam pengolahan data panel
Keterangan Gambar :
1. Untuk menentukan pilihan antara model PLS atau fixed effect, dilakukan
dengan Chow Test. Hipotesis yang dibangun dalam uji ini sebagai berikut :
Pooled Least Square
Fixed Effect
Random Effect
Chow Test
Hausman Test
LM Test
34
H0 = Model PLS (restricted)
H1 = Model fixed effect (Unrestricted).
Sebagai dasar untuk menolak H0 adalah dengan melihat nilai Chow
Statistik dengan nilai F tabel. Jika Chow Statistik (F Statistik) lebih besar dari F
tabel, maka H0 ditolak, sehingga yang dipilih model fixed effect, dan sebaliknya.
Penentuan model terbaik juga dapat menggunakan nilai probabilitas F hitung, jika
nilainya lebih kecil dari alpha 0,05 maka tolak H0,artinya model fixed effect lebih
baik daripada PLS.
2. Untuk menentukan pilihan antara fixed effect atau random effect, dilakukan
dengan menggunakan Uji Hausmann.
Uji Hausman dilakukan dengan terlebih dahulu membangun hipotesis
sebagai berikut:
H0 : Model Random effect
H1 : Model Fixed effect.
Sebagai dasar untuk menolak hipotesa nol, statistik Hausman akan
diperbandingkan dengan nilai Chi Square. Jika statistik Hausman ˃ Chi Square
Table maka hipotesis nol ditolak, berarti lebih baik menggunakan model fixed
effect. Selain dengan membandingkan Statistik Hausman, dasar menolak hipotesis
nol juga dapat menggunakan nilai probabilitas (p-value). Jika (p-value) ˂ tingkat kritis α, maka hipotesis nol ditolak.
3. Untuk menentukan pilihan antara PLS dengan random effect dilakukan dengan
lagrange multiplier test (LM Test).
Hipotesis yang dibangun dalam uji ini sebagai berikut :
H0 : Model PLS
H1 : Model random effect
Sebagai dasar untuk menolak H0, nilai statistik LM diperbandingkan
dengan nilai kritis statistik chi square. Jika nilai LM statistik lebih besar dari nilai
kritis statistik chi square, maka H0 ditolak, sehingga model yang digunakan
adalah random effect.
Walaupun demikian, dasar untuk menentukan pemilihan model
sebenarnya tidak hanya dengan uji statistik saja. Tetapi juga dapat diidentifikasi
dengan beberapa guidance berikut (Judge, 1985) :
35
1. Jika T (banyaknya unit time series) besar, sedangkan N (jumlah unit
cross section) kecil, maka hasil fixed effect dengan random effect tidak
akan jauh berbeda, sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih
mudah, yaitu fixed effect.
2. Jika N besar dan T kecil, hasil estimasi pendekatan fixed effect dengan
random effect akan berbeda jauh. Jadi apabila diyakini bahwa unit cross
section yang kita pilih dalam penelitian diambil secara acak, maka
random effect yang lebih baik digunakan. Sebaliknya, jika diyakini
bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil
secara acak, maka model fixed effect yang lebih baik digunakan.
3. Jika komponen error individual (εi) berkorelasi dengan variabel bebas
X, parameter yang diperoleh dengan model fixed effect akan bias,
sementara parameter yang diperoleh dengan model fixed effect tidak
bias. Oleh karena itu model fixed effect lebih tepat untuk digunakan.
Sebaliknya, jika εi dan variabel bebas X tidak berkorelasi maka model
random effect yang lebih tepat untuk dipilih.
4. Jika N besar dan T kecil, dan jika asumsi yang mendasari model
random effect dapat terpenuhi, maka model random effect lebih efisien
untuk digunakan jika dibandingkan dengan model fixed effect.
3.3 Model Penelitian
Salah satu tahapan paling penting dalam penelitian ini adalah menentukan
model umum yang akan digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel
dependent terpilih, akan dimasukkan ke dalam model umum ini. Untuk
mendapatkan tujuan penelitian ini digunakan metode ekonometrika yaitu regresi
linier berganda. Data yang digunakan untuk regresi adalah data panel, yang
merupakan kombinasi antara data time series periode 1993-2008 dan data cross
section 26 provinsi di Indonesia, dengan memasukkan kebijakan otonomi daerah
sebagai variabel dummy.
Model yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi
dari model yang dikembangkan dalam penelitian empiris sebelumnya oleh
Sarwedi (2002), Asiedu (2002), Aqeel & Nishat (2005), Firdaus (2006), Tsen
36
(2006), Udo & Obiora (2006) dan Vittorio & Ugo (2008). Spesifikasi model yang
digunakan dalam penelitian ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai
berikut :
LOGPMALit = α0 + α1LOGPDRBRKit + α2LOGIHKit + α3LOGUPAHit +
α4PENDIKit + α5JALANit + α6LogLISTRit + α7Dpelab + α8Dkrim + Dotda + ε
Dimana: it
PMALit
periode t (dalam ribu US $).
= Jumlah PMA langsung di sektor manufaktur di provinsi i pada
PDRBRKit
periode t (dalam ribu rupiah)
= Produk domestik regional bruto perkapita di provinsi i pada
IHKit
UPAH
= Index harga konsumen di provinsi i pada periode t.
it
PENDIK
= Upah minimum di provinsi i pada periode t (dalam Rp/bulan).
it
SLTA Terhadap total jumlah penduduk di provinsi i pada periode
= Prosentase penduduk yang lulus sekolah paling rendah setingkat
t (dalam persen).
JALANit
panjang jalan di provinsi i pada periode t (dalam persen).
= Prosentase panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total
LISTRit
(dalam KVA).
= Jumlah kapasitas listrik tersambung di provinsi i pada periode t
Dpelab 1 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan kelas 1 atau yang
= Dummy Pelabuhan
lebih baik.
0 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan di bawah kelas 1
Dkrim
1 untuk Propinsi yang rawan
= Index Kerawanan daerah
0 untuk Propinsi yang tidak rawan
Dotda = Variabel dummy, kebijakan otonomi daerah
1 untuk periode 2001-2008
0 untuk periode 1993-2000
α
ε
= Koefisien Regresi
it = Error term
37
BAB IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PENANAMAN MODAL ASING DI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR
4.1. Industri Manufaktur dan Perekonomian Nasional
Badan Pusat Statistik (2009) mendefinisikan industri manufaktur atau industri
pengolahan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu
barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang
jadi/setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih
tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir, termasuk dalam kegiatan
ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan (assembling).
Eksistensi industri manufaktur di Indonesia sudah mapan jauh sebelum
Indonesia merdeka. Namun sejak merdeka sampai dengan berakhirnya rezim orde lama,
industri manufaktur di Indonesia tidak mengalami perkembangan berarti. Pada masa ini,
sumbangan industri manufaktur terhadap PDB nasional kurang dari 10 persen. Wee
(1994) berpendapat bahwa hal itu terjadi karena rezim orde lama lebih menekankan
pada aspek politik daripada aspek ekonomi, dan karena kebijakan pemerintah yang
mengarah kepada intervensi dalam segala aspek ekonomi, inward oriented dan
penguasaan kepemilikan oleh pemerintah.
Prawiro (2004) menyatakan bahwa evaluasi pembangunan ekonomi seringkali
dilakukan dengan melihat seberapa jauh sebuah negara berorientasi ke dalam (inward
looking) atau berorientasi ke luar (outward looking). Biasanya negara yang berorientasi
ke dalam adalah negara yang mencoba untuk mempromosikan industrialisasi melalui
substitusi impor. Dalam prakteknya seringkali berpedoman pada perencanaan ekonomi
dan industri milik negara. Perekonomian yang berorientasi ke dalam biasanya tidak
ramah terhadap investasi asing dan cenderung mempertahankan rezim perdagangan
yang restriktif. Sebaliknya negara yang berpola dasar dan berorientasi ke luar berusaha
untuk memperluas perdagangan luar negeri dengan tetap membuka ekspor dan
penanaman modal asing.
Industrialisasi di Indonesia baru berkembang pesat setelah rezim orde baru
mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Pada periode awal kekuasaan
orde baru (1966-1969), pemerintah berusaha memulihkan stabilitas makro ekonomi
dengan melakukan deregulasi di bidang intervensi perdagangan internasional dan sistem
38
devisa, serta dengan memberikan insentif terhadap penanaman modal, baik PMA
maupun PMDN.
Kontribusi industri manufaktur terhadap total ekspor nasional sangat kecil pada
periode awal pemerintahan orde baru sampai dengan awal tahun 1980an terjadi karena
strategi pengembangan industri yang dilakukan, pada masa itu melalui program
pembangunan Repelita I sampai dengan Repelita III lebih menitik beratkan pada
pembangunan industri substitusi impor dan berorientasi inward looking sehingga output
industrialisasi lebih banyak dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan domestik.
Industri nasional baru melakukan penguatan struktur industri dan pengembangan
industri berbasis teknologi tinggi mulai tahun 1982, dan sekaligus merubah orientasi
menjadi outward looking (berorientasi ekspor) pada tahun 1986. Implikasi positifnya,
tahun 1987 menjadi titik balik kontribusi sektor non migas terhadap total ekspor. Dari
total ekspor senilai US $ 17.135,6 Juta, jumlah ekspor non migas mencapai 50,1 persen
dari total ekspor, dengan nilai US $ 8.579,6 Juta. Dari total ekspor non migas tersebut,
industri manufaktur menyumbang 77,90 persen, dengan nilai mencapai US $ 6.683,7
Juta.
4.1.1 Kontribusi Industri Manufaktur terhadap Ekspor
Industri manufaktur terbukti mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi.
Setidaknya, hal itu terlihat dari catatan kontribusi industri manufaktur terhadap ekspor
nasional. Dimana, pada periode puncak krisis tahun 1997-1999 nilai ekspor industri
manufaktur stabil pada kisaran 33.330 US $ sampai dengan 34.840 US $. Prosentase
kontribusi ekspor industri manufaktur bahkan membukukan catatan paling tinggi pada
tahun 1998 dengan kontribusi sebesar 70,8 persen.
Justru setelah periode krisis, trend kontribusi manufaktur terhadap ekspor
semakin menurun, walaupun secara nominal jumlah ekspor industri manufaktur
mengalami peningkatan. Untuk gambaran lebih lengkap, berikut Gambar 4.1
menunjukkan kontribusi industri manufaktur non migas terhadap ekspor nasional tahun
1993-2008 (dalam persen).
39
Gambar 4.1 : Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Non Migas Terhadap Ekspor
Sumber : BPS (diolah)
Selama lima tahun terakhir, ekspor industri manufaktur didominasi oleh 12
sektor saja dengan proporsi ekspor mencapai 89,5 persen dari ekspor total industri
manufaktur. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak sektor industri manufaktur yang
perlu dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan bagi
perekonomian nasional. Seperti misalnya sektor pengolahan rotan olahan, rokok dan
pupuk. Tabel 4.1 menunjukkan data perkembangan 12 besar ekspor hasil industri tahun
2004-2008. Angka rata-rata selama lima tahun (2004-2008) menunjukkan bahwa sektor
industri tekstil menunjukkan kontribusi yang paling besar, di susul sektor pengolahan
kelapa/sawit, sektor industri besi baja, mesin dan otomotif, sektor elektronika, sektor
industri pengolahan kayu, sektor pengolahan tembaga dan timah, sektor industri pulp
dan kertas, sektor industri kimia dasar, sektor industri makanan dan minuman, disusul
industri kulit dan barang kulit dan sektor yang paling kecil dari dua belas sektor tersebut
adalah industri alat-alat listrik.
58
60
62
64
66
68
70
72
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
persen
40
Tabel.4.1 Perkembangan 12 Besar Ekspor Hasil Industri Tahun 2004-2008
Dalam US$ Juta
No Sektor
Tahun rata-rata
2004 2005 2006 2007 2008
1 Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit 4840,3 5419,2 6407,3 10476,8 16168,1 8662,34
2 Besi Baja, Mesin-Mesin dan Otomotif 4581,8 5949,7 7712,7 9606,9 11814,9 7933,21
3 Tekstil 7626,2 8584,9 9422,8 9790,1 10116,4 9108,08
4 Pengolahan Karet 2954,1 3545,8 5465,2 6179,9 7579,7 5144,94
5 Elektronika 7142,5 7853,0 7200,2 6359,7 6806,7 7072,42
6 pengolahan Tembaga,Timah dll 2165,1 3133,5 4133,9 6156,0 5660,7 4249,84
7 Pulp dan Kertas 2817,6 3257,5 3983,3 4440,5 5219,6 3943,71
8 Pengolahan Kayu 4461,6 4476,3 4757,6 4485,1 4206,1 4477,34
9 Kimia Dasar 2640,1 2750,2 3521,4 4492,5 3738,4 3428,52
10 Makanan dan Minuman 1440,1 1647,9 1866,0 2374,8 3104,9 2086,74
11 Alat-alat listrik 1232,7 1456,0 1770,9 2148,9 2390,2 1799,74
12 Kulit,Barang Kulit dan Sepatu/Alas Kaki 1553.0 1683,7 1913,2 2006,6 2260,5 1883,41
12 Besar Industri 43455,2 49757,7 58154,4 68517,9 79066,1 59790,26
Total Industri 48660,1 55566,9 64990,3 76429,6 88351,7 66799,72
Peran 12 besar thd total industri (persen) 89,3 89,6 89,5 89,7 89,5 89,52 Peran industri terhadap ekspor non migas
(persen) 86,99 83,7 81,7 83,1 81,9 83,48
Peran industri terhadap total ekspor (persen) 67,98 64,9 64,5 66,9 64,5 65,76
Sumber : BPS diolah Pusdatin Depperin (2009)
Selama periode 2004-2008, sektor yang meningkat paling tajam dari 12 sektor
industri itu adalah pengolahan kelapa/kelapa sawit dengan prosentase peningkatan
mencapai 234 persen, atau nilai ekspor pengolahan kelapa/kelapa sawit pada tahun 2008
meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2004. Di bawah pengolahan kelapa/kelapa
sawit berturut-turut adalah sektor pengolahan tembaga, timah dan lain lain (161 persen),
besi baja, mesin-mesin dan otomotif (157 persen), pengolahan karet (156 persen), alat-
alat listrik (93 persen), pulp dan kertas (85 persen), kulit, barang kulit dan sepatu (45
persen), kimia dasar (41 persen) dan tekstil (32 persen). Sedangkan sektor yang
mengalami penurunan dari 12 sektor tersebut adalah elektronika (4 persen) dan
pengolahan kayu (5 persen).
41
4.1.2 Kontribusi Industri Manufaktur Terhadap PDB
Sedangkan dari aspek kontribusi terhadap PDB Nasional, pada periode tahun
1993 sampai dengan 2008, kontribusi industri manufaktur non migas rata-rata mencapai
23,32 persen. Sampai tahun 2004, kontribusi industri manufaktur menunjukkan trend
meningkat. Namun, memasuki tahun 2005 sampai 2008, terjadi perubahan yang cukup
mengkhawatirkan. Trend kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Nasional mulai
menurun. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat selama tahun-tahun krisis
ekonomi tahun 1997-1999, kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian
selalu menunjukkan trend positif. Jika tidak disikapi dengan tepat, permasalahan ini
dapat menjadi penyebab tidak optimalnya pencapaian target-target pertumbuhan
ekonomi Pemerintah. Gambar 4.2 menunjukkan kontribusi industri manufaktur non
migas terhadap PDB Tahun 1993-2008 (dalam persen).
Gambar 4.2 : Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB
Sumber : Departemen Perindustrian RI (diolah)
Fenomena menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB
nasional selama empat tahun terakhir ini diidentifikasi sebagai gejala deindustrialisasi
(Kompas, 26 Oktober 2009). Gejala deindustrialisasi ini ditunjukkan dengan
pertumbuhan industri manufaktur yang menurun drastis sejak krisis moneter 1997/1998.
Sepuluh tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur nonmigas tumbuh
rata-rata 12 persen per tahun, lebih tinggi 5,1 persen daripada PDB nasional saat itu
yang tumbuh rata-rata sebesar 6,9 persen.
Sedangkan setelah krisis (2000-2008), industri manufaktur nonmigas rata-rata
hanya tumbuh 5,7 persen per tahun, hanya sedikit lebih tinggi dari rata-rata
pertumbuhan PDB 5,2 persen. Bahkan kini pertumbuhan industri manufaktur cenderung
lebih rendah daripada PDB. Selama lima tahun terakhir (2004-2008), industri
18
20
22
24
26
28
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
persen
42
manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 5,6 persen per tahun, lebih rendah daripada rata-
rata pertumbuhan PDB 5,7 persen. Lebih jauh, Basri menjelaskan bahwa gejala
deindustrialisasi ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari struktur industri yang
rapuh, infrastruktur yang buruk, lemahnya dukungan perbankan, krisis energi, masalah
ketenagakerjaan hingga ketergantungan pada produk impor, terutama pada produk
pangan.
Sektor industri yang paling dominan kontribusinya terhadap PDB adalah
industri makanan, minuman dan tembakau. Walaupun demikian, kontribusinya
menunjukkan trend yang semakin menurun dalam rentang waktu 2004-2008, dengan
besaran penurunan mencapai 3,74 persen. Sektor lain yang kontribusinya terhadap PDB
menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2004-2008) adalah industri pupuk,
kimia dan barang dari karet dengan penurunan mencapai 0,12 persen, dan industri
logam dasar besi dan baja dengan penurunan sebesar 0,33 persen. Sedangkan sektor
yang mengalami peningkatan kontribusinya terhadap PDB adalah industri alat angkut,
mesin dan peralatannya dengan peningkatan sebesar 5,41 persen, industri barang kayu
dan hasil hutan lainnya dengan peningkatan sebesar 0,82 persen, industri kertas dan
barang cetakan dengan peningkatan sebesar 0,6 persen, industri tekstil, bahan kulit dan
alas kaki dengan peningkatan sebesar 0,58 persen, industri semen dan barang galian
bukan logam dengan peningkatan sebesar 0,06 persen. Berikut tabel kontribusi industri
manufaktur terhadap PDB berdasarkan sektor.
Sedangkan jika dilihat dari rata-rata kontribusi ekspor sektor industri
manufaktur, sektor yang paling tinggi kontribusinya adalah sektor industri makanan dan
minuman (8,25 persen), alat angkut, mesin dan peralatannya (6,16 persen), pupuk,
kimia dan barang dari karet (3,29 persen),tekstil, barang kulit dan alas kaki (2,59
persen), barang kayu dan hasil hutan lainnya (1,39 persen), kertas dan barang cetakan
(1,15 persen), semen dan barang galian bukan logam (0,93 persen), logam dasar besi
dan baja (0,75 persen), dan jenis barang industri manufaktur lainnya (0,10 persen).
43
Tabel 4.2 Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB Berdasarkan Sektor
(dalam persen)
No Sektor Industri
Tahun Rata-Rata 2004 2005 2006 2007 2008
1 Makanan, Minuman dan Tembakau
11,56
7,23
7,17
7,48
7,82
8,25
2 Tekstil, Brg. kulit & Alas kaki
1,79
3,14
3,04
2,65
2,37
2,59
3 Brg. kayu & Hasil hutan lainnya.
0,83
1,43
1,50
1,55
1,65
1,39
4 Kertas dan Barang cetakan
0,57
1,38
1,34
1,29
1,17
1,15
5 Pupuk, Kimia & Barang dari karet
3,60
3,10
3,17
3,14
3,48
3,29
6 Semen & Brg. Galian bukan logam
0,85
1,00
0,98
0,93
0,91
0,93
7 Logam Dasar Besi & Baja
0,99
0,75
0,70
0,65
0,66
0,75
8 Alat Angkut, Mesin & Peralatannya
2,04
7,04
7,06
7,20
7,45
6,16
9 Barang lainnya
0,06
0,24
0,24
0,21
0,21
0,19
Sumber : BPS (diolah)
4.1.3 Kebijakan Pengembangan Industri Manufaktur
Peran penting dan strategis industri manufaktur bagi perekonomian nasional
dan tantangan terjadinya deindustrialisasi dini membuat Departemen Perindustrian RI
berupaya memperkuat lagi sektor industri manufaktur sehingga dapat kembali menjadi
andalan industri nasional. Dalam rangka meraih semua capaian itu, pembangunan
industri manufaktur di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan pemikiran-
pemikiran terbaru yang berkembang, mengutamakan daya kreasi dan ketrampilan serta
profesionalisme sumber daya manusia.
Format yang digunakan dalam pembangunan industri manufaktur adalah konsep
clustering industry, dengan membangun kluster-kluster industri berdasarkan
karakteristik teknis industri, kondisi ekonomi serta perkembangan industri yang telah
dicapai, dengan esensi pembangunan jejaring untuk memaksimalkan daya saing secara
kolektif.
Klaster-klaster inti industri manufaktur tersebut adalah:
1. industri makanan dan minuman.
2. indusri pengolahan hasil laut.
44
3. industri tekstil dan produk tekstil.
4. industri alas kaki.
5. industri kelapa sawit.
6. industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu)
7. industri karet dan barang karet.
8. industri pulp dan kertas.
9. industri mesin listrik dan peralatan listrik.
10. industri petrokimia.
Tujuan dari diterapkannya model clustering industry ini adalah untuk
meningkatkan daya saing industri nasional, sebagai hasil dari efisiensi biaya produksi
seluruh industri dalam satu cluster, dan untuk meningkatkan nilai tambah serta
produktivitas seluruh industri dalam satu cluster baik industri inti maupun industri
penunjang.
Hal itu secara tegas dituangkan dalam rancang bangun kebijakan industri
nasional tahun 2005-2009. Di mana sasaran pembangunan sektor industri yang menjadi
titik berat adalah :
1. Kuatnya industri yang mempunyai daya saing berkelanjutan sehingga menjadi
industri kelas dunia dengan didukung basis ilmu pengetahuan yang kuat.
2. Kuatnya struktur industri manufaktur, termasuk kuatnya jaringan kerjasama
antara industri kecil & menengah (IKM) dengan industri besar.
3. Seimbangnya sumbangan IKM terhadap PDB dibandingkan dengan
sumbangan industri besar.
4. Terdistribusinya industri ke seluruh wilayah tanah air, sesuai dengan daya
dukung dan potensi setiap wilayah.
Pada tahun 2025, secara internal, industri manufaktur diharapkan sudah mampu
berperan sebagai mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional,
sehingga dapat menjadi tumpuan dalam penciptaan lapangan kerja, penciptaan nilai
tambah (added value), penguasaan pasar domestik dan penghasil utama devisa.
Sedangkan secara eksternal, pada tahun 2025, industri manufaktur diharapkan
mampu menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia dan mampu memenangkan
persaingan di pasar internasional. Faktor input mempunyai peran penting dan signifikan
dalam menentukan output dari sistem industri yang berjalan. Jika faktor input baik, dan
45
proses yang terjadi juga baik, dapat dipastikan output yang dihasilkan juga baik.
Sebaliknya, jika input buruk dan proses yang berlangsung juga buruk, dapat dipastikan
output yang dihasilkan juga buruk.
Faktor penting yang akan menentukan terwujud atau tidaknya visi 2025 di
bidang industri manufaktur itu adalah kecukupan dana untuk menjalankan
usaha/industri tersebut. Tanpa adanya dukungan modal yang cukup, niscaya industri
manufaktur akan berjalan lambat.
4.2. Gambaran Penanaman Modal di Indonesia (PMDN & PMA)
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi PMDN
mengalami fluktuasi yang cukup variatif, sayangnya realisasi PMDN tahun 2008
mengalami penurunan yang cukup signifikan, mencapai 41,62 persen daripada realisasi
PMDN tahun 2007. Sedangkan realisasi jumlah penanaman modal asing dalam kurun
waktu tahun 1990 sampai dengan 2008 mengalami fluktuasi dengan trend pertumbuhan
yang menunjukkan arah yang positif. Hal itu diperkuat dengan kenaikan realisasi PMA
selama dua tahun terakhir (2007-2008) dari US $ 5.991,7 pada tahun 2006 menjadi US
$ 10.341,4 pada tahun 2007 dan US $ 14.871,4 pada tahun 2008. Gambar 4.3
menunjukkan jumlah realisasi PMDN & PMA periode tahun 1990-2008
Gambar 4.3 : Realisasi PMDN & PMA Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (diolah)
Penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang dimaksud menggunakan
asumsi sebagai berikut :
-
5.000,0
10.000,0
15.000,0
20.000,0
25.000,0
30.000,0
35.000,0
40.000,0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
PMDN (Rp. Milyar) PMA (US $ Juta)
46
1. Diluar Investasi Sektor Minyak & Gas Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non
Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya,
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, investasi yang perizinannya
dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor,Investasi Porto Folio (Pasar Modal) dan
Investasi Rumah Tangga.
2. Sejak September 1999 tidak termasuk Timor Timur.
3. Proyek : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan.
4. Data BKPM sampai dengan 31 Desember 2008.
Data tersebut memperlihatkan bahwa arus penanaman modal di Indonesia, baik
PMDN maupun PMA sangat dinamis. Walaupun secara umum mempunyai trend
meningkat, namun jika dilihat setiap tahun, laju penanaman modal dalam negeri terlihat
lebih fluktuatif daripada laju penanaman modal asing. Fenomena yang menarik, pada
saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai dengan 1999, laju penanaman modal
terlihat tidak terpengaruh efek krisis. Dari data statistik, bahkan PMA meningkat pada
periode krisis ini.
Tidak adanya efek krisis juga dapat diidentifikasi dari relatif stabilnya jumlah
realisasi PMDN. PMDN pada tahun 1997 hanya turun sebesar 11,53 persen
dibandingkan realisasi PMDN tahun 1996. Justru penurunan tajam terjadi pada tahun
2001 yang turun mencapai 55,12 persen dari realisasi tahun 2000. Begitu juga dengan
PMA yang pada tahun 2001 turun mencapai 64,47 persen dari realisasi tahun 2000.
4.2.1 Dinamika PMA di Sektor Industri Manufaktur
Realisasi PMA langsung di sektor industri manufaktur menunjukkan trend yang
menurun, berbeda dengan realisasi di sektor tersier yang menunjukkan trend yang
meningkat. Bahkan sejak tahun 2006, prosentase PMA di sektor manufaktur terus
mengalami penurunan, sedangkan sektor tersier terus meningkat1
1 BKPM mengklasifikasikan penanaman modal menjadi tiga sektor. Pertama, sektor primer yang terdiri dari tanaman pangan & perkebunan, peternakan, perikanan dan pertambangan. Kedua, sektor sekunder yang terdiri dari industri makanan, industri tekstil, industri kulit & barang dari kulit & sepatu, industri kayu, industri kertas, barang dari kertas dan percetakan, industri kimia dasar, barang kimia & farmasi, industri barang karet & barang plastik, industri mineral non logam, industri logam dasar, barang logam, mesin & elektronika,industri alat kedokteran, optik, alat ukur & jam, industri alat angkutan & transport lainnya. Ketiga, sektor tersier yang terdiri dari elektrik, gas & air, konstruksi, perdagangan & reparasi, hotel & restoran, pengangkutan, gudang & komunikasi, real estate, kawasan industri & perkantoran dan jasa lainnya.
.
47
Selama dua tahun terakhir, prosentase PMA di sektor industri manufaktur
terhadap total realisasi PMA menunjukkan penurunan yang cukup tajam, dari angka
60,4 persen pada tahun 2006 menjadi 45,4 persen pada tahun 2007 dan menurun lagi
menjadi hanya 30,4 persen pada tahun 2008. Sebaliknya, sektor tersier mengalami
kenaikan yang cukup signifikan. Prosentase sektor tersier terhadap total realisasi PMA
mengalami kenaikan dari hanya 30,7 persen pada tahun 2006 menjadi 48,8 persen pada
tahun 2007 dan melesat lagi mencapai 67,3 persen pada tahun 2008. Walaupun
demikian, kondisi ini belum terlalu mengkhawatirkan, karena secara nominal, realisasi
PMA di sektor industri manufaktur mengalami peningkatan sebesar 23 persen pada
tahun 2007, dari US $ 3.619,7 juta pada tahun 2006 menjadi US$ 4.697,0 juta,
walaupun turun lagi sebesar 3,6 persen pada tahun 2008, hingga menjadi US$ 4.527,2
juta. Sektor industri manufaktur yang memberikan kontribusi paling besar terhadap total
realisasi industri manufaktur non migas dalam 5 (lima) tahun terakhir ini adalah sektor
industri kimia dasar, barang kimia & farmasi, dengan rata-rata kntribusi mencapai 21,8
persen, disusul sektor industri industri logam dasar, barang logam, mesin dan
elektronika dengan rata-rata kontribusi 19,3 persen dan industri makanan dengan rata-
rata kontribusi 14,9 persen.
Gambar berikut menunjukkan dinamika realisasi PMA langsung berdasarkan sektor.
Gambar 4.4: Prosentase realisasi PMA berdasarkan sektor terhadap realisasi total PMA (dalam persen). Sumber : BKPM (diolah)
Sektor industri manufaktur yang memberikan kontribusi paling besar terhadap
total realisasi industri manufaktur non migas dalam 5 (lima) tahun terakhir ini adalah
-
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sektor sekunder Sektor Primer Sektor Tersier
48
sektor industri kimia dasar, barang kimia & farmasi, dengan rata-rata kontribusi
mencapai 21,8 persen, disusul sektor industri industri logam dasar, barang logam, mesin
dan elektronika dengan rata-rata kontribusi 19,3 persen dan industri makanan dengan
rata-rata kontribusi 14,9 persen.
Tabel 4.3 Realisasi PMA Langsung di Sektor Industri Manufaktur Tahun 2004-2008
(US $ Juta)
No Sektor sekunder 2004 2005 2006 2007 2008
1 Ind. Makanan 604.733 603.202 354.431 704.121 491.376
2 Ind. Tekstil 165.542 71.166 423.953 131.744 210.186
3 Ind. Kulit & barang dari
kulit & sepatu 13.155 47.760 51.800 95.935 145.850
4 Ind. Kayu 4.114 75.498 58.898 127.853 119.470
5 Ind. Kertas, barang dari
kertas & percetakan 414.510 9.957 747.000 672.486 294.716
6 Ind. Kimia dasar, barang
kimia & farmasi 583.439 1.152.863 264.610 1.611.740 627.769
7 Ind. Barang karet &
barang plastik 79.590 392.609 112.744 157.868 271.570
8 Ind.min.non logam 108.117 66.176 94.768 27.783 266.404
9
Ind. Logam dasar, brg
logam, mesin &
elektronika
314.676 521.768 955.732 714.115 1.293.372
10 Ind. Alat kedokteran,
optik, alat ukur & jam 12.991 3.121 191 10.850 15.631
11 Ind. Alat angkutan &
transport lainnya 402.720 360.561 438.476 412.300 756.238
12 Ind. Lainnya 101.207 195.945 117.081 30.188 34.652
Jumlah 2.804.795 3.500.625 3.619.683 4.696.984 4.527.233
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
49
4.2.2 Negara Asal PMA yang Dominan pada periode 2005-2008
Selain terlihat dari kontribusi terhadap perekonomian, jumlah realisasi dan
sektor yang dominan, fluktuasi PMA juga terlihat dari negara asal penanaman modal.
Secara jelas, dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 4.4 Realisasi PMA berdasarkan negara asal tahun 2005-2008
(US$ Juta)
No Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Negara Jumlah Negara Jumlah Negara Jumlah Negara Jumlah
1 Singapura 2.163,4 Jepang
902,8 Singapura
3.748,0 Mauritius
6.477,9
2 Inggris 1.274,2 Inggris
660,5 Inggris
1.685,8 Singapura
1.487,3
3 Jepang 1.144,0 Singapura
508,3 Korsel
627,7 Jepang
1.365,4
4 Mauritius 943,8 Korsel
475,7 Jepang
618,2 Inggris
513,4
5 Belanda 920,7 Malaysia
407,6 Taiwan
469,7 Malaysia
363,3
6 Korsel 429,5 Mauritius
385,6 Seychel
281,0 Korsel
301,1
7 Hongkong 396,0 Seychel
306,9 Mauritius
223,9 Jerman
198,3
8 Swiss 94,7 Hongkong
187,8 Malaysia
217,3 Perancis
164,0
9 Malaysia 92,6 Perancis
104,9 Australia
195,3 USA
151,3
10 USA 88,6 India
88,4 Brazil
165,1 RRC
139,6
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (diolah)
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa jika dilihat dari rangking realisasi PMA
berdasarkan negara asal investasi, tercatat hanya 6 (enam) negara saja yang selalu
masuk dalam peringkat sepuluh besar negara dengan jumlah realisasi penanaman modal
asing paling besar. Keenam negara itu adalah Singapura, Inggris, Jepang, Mauritius,
Korea Selatan dan Malaysia. Data yang cukup mengejutkan adalah kontribusi yang
cukup besar dan relatif stabil dari negar kecil seperti Mauritius dan Seychel.
4.2.3 Kebijakan menarik PMA
Negara sedang berkembang senantiasa mengalami kekurangan modal, sehingga
investasi asing menjadi bagian penting untuk memajukan pembangunan ekonomi.
50
Walaupun demikian, kebijakan investasi Indonesia sebelum pemberlakuan UU No 25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal tergolong restriktif, karena ditujukan untuk
melindungi infant industries. Baru pada tahun 1985, pemerintah mulai berusaha secara
intensif untuk mengadakan reformasi dalam iklim investasi negara. Salah satu terobosan
yang dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah surat izin yang diperlukan dari 26
menjadi 13 buah. Langkah ini merupakan respon terhadap keinginan investor agar
proses investasi disederhanakan.
Tetapi sebenarnya, langkah ini masih belum menyentuh inti permasalahan,
seperti peraturan tentang investasi kepemilikan saham serta divestasinya. Baru pada
tahun 1986 Pemerintah meluncurkan kebijakan Paket 6 Mei yang mulai mengarah pada
inti permasalahan penanaman modal di Indonesia. Substansi pokok dari Paket 6 Mei
adalah sebagai berikut ;
1. Peningkatan kepemilikan untuk investor asing, paket ini mengizinkan investor
asing memiliki saham sampai 95 persen dari perusahaan yang berorientasi
ekspor, yaitu perusahaan yang mengekspor paling sedikit 85 persen dari
produknya. Untuk perusahaan yang bernilai US$ 10 juta atau lebih, atau yang
berlokasi di provinsi tertentu, biasanya di Indonesia Timur, investor asing juga
boleh memiliki saham sampai dengan 95 persen. Namun dalam lima tahun,
bagian dari kepemilikan domestik harus bertambah sampai sekurangnya 20
persen. Untuk investasi lainnya minimum 20 persen dari modal harus dari pihak
Indonesia dan setelah 10 tahun meningkat sampai 51 persen.
2. Akses di bidang keuangan untuk perusahaan patungan asing. Perusahaan
patungan harus diperlakukan sama seperti perusahaan domestik dan diizinkan
untuk meminjam dari bank negara dan berpartisipasi dalam rencana kredit
pemerintah (government credit schemes). Syaratnya mitra asing paling sedikit
mendivestasi 75 persen dari perusahaan atau mendaftarkan paling sedikit 51
persen dari sahamnya untuk dijual di bursa saham.
3. Masa berlakunya izin. Izin investasi diberikan untuk jangka waktu 30 tahun
sejak berdirinya perusahaan atau sejak diperluas.
4. Pembebasan dari pajak pertambahan nilai (PPN). Semua investasi asing
langsung dibebaskan dari pembayaran PPN untuk barang modal yang diimpor.
51
Satu hal lain di luar substansi kebijakan yang cukup fundamental adalah
dilakukannya perubahan paradigma dalam hal penentuan sektor yang tertutup bagi
PMA. Jika sebelumnya BKPM mengeluarkan daftar skala prioritas untuk merinci sektor
apa saja yang boleh dimasuki oleh perusahaan asing, dilakukan perubahan dengan
mengeluarkan daftar negatif investasi. Dalam perspektif hukum, pergeseran ini dari
sebelumnya “investasi yang diusulkan bersalah, kecuali dibuktikan tidak bersalah
(guilty until proven innocent), menjadi investasi boleh dilakukan disektor manapun,
kecuali yang disebutkan tidak boleh dimasuki.
Perubahan kebijakan penanaman modal yang paling fundamental terjadi pada
tahun 2007 dengan pemberlakuan Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Undang-undang ini merupakan landasan hukum yang baru bagi
segala jenis kegiatan penanaman modal di Indonesia menggantikan Undang Undang No
1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Beberapa perubahan penting dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal adalah :
1. Pemberian fasilitas kepada penanam modal, terutama fasilitas pajak,
amortisasi dan bea masuk.
2. Perpanjangan waktu hak atas tanah, baik Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai. Aturan yang tertuang dalam UU no 25 tahun 2007
ini sebenarnya tergolong sangat progresif dan sangat menarik bagi penanam
modal. Di mana penanam modal asing diberikan kesempatan untuk
mendapatkan hak guna usaha selama 95 (sembilan puluh lima) tahun
sekaligus, hak guna bangunan selama 80 (delapan puluh) tahun sekaligus dan
hak pakai selama 70 (tujuh puluh) tahun sekaligus. Namun hal ini dibatalkan
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21-22/PUU-V 2007 pada
tanggal 25 Maret 2008, karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 tahun 1960.
3. Prosedur perizinan dengan menggunakan konsep pelayanan satu atap,
4. Kemudahan pelayanan keimigrasian dan perizinan impor.
52
Berbagai macam fasilitas atau insentif yang diberikan kepada penanam modal
tertuang dalam Pasal 18 ayat 4. Secara rinci, fasilitas yang diberikan adalah sebagai
berikut:
a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat
tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu
tertentu. Ada tiga bentuk fasilitas perpajakan yang diberikan kepada investor.
Pertama, pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30 persen dari jumlah
penanaman yang dilakukan. Kedua, kompensasi kerugian yang lebih lama
tetapi tidak lebih dari sepuluh tahun. Ketiga, pengenaan pajak penghasilan
atas dividen sebesar 10 persen, kecuali apabila tarif menurut perjanjian
perpajakan yang ebrlaku menetapkan lebih rendah.
b. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam
negeri. Fasilitas ini berupa pelepasan kewajiban atau pengurangan beban dari
penanam modal untuk membayar bea masuk atas barang modal yang
dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Jenis-jenis barang
yang dibebaskan dari pembebasan atau keringanan bea impor ini adalah
barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum
bisa diproduksi di dalam negeri. Hanya saja pembebasan ini hanya berlaku
untuk dua tahun, terhitung sejak tanggal keputusan pembebasan bea masuk.
c. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong
untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan
tertentu. Fasilitas ini berupa pelepasan kewajiban atau pengurangan beban
dari penanam modal untuk membayar pungutan kepada negara terhadap
bahan baku atau bahan penolong yang diimpor oleh investor untuk keperluan
produksi. Jenis barang yang termasuk kategori ini misalnya bahan baku untuk
pembuatan komponen kendaraan bermotor, bahan baku untuk pembuatan
komponen elektronika, dan bahan baku untuk pembuatan alat-alat besar.
d. Pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang
modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. Barang dan jasa
yang dapat diberikan fasilitas ini dibedakan menjadi tiga. Pertama, barang
53
kena pajak tertentu yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan pajak
pertambahan nilai. Misalnya senjata, amunisi, alat angkutan di air dan di
bawah air yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI, POLRI dan PT
Pindad atau oleh pihak lain yang ditunjuk. Kedua, barang kena pajak tertentu
yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai.
Misalnya, rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana,
asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri
Perumahan Rakyat. Ketiga, Jasa kena pajak tertentu yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Misalnya, jasa
perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT. Kereta Api
Indonesia.
e. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat. Fasilitas penyusutan atau
amortisasi merupakan kemudahan yang diberikan kepada penanam modal
berupa pengurangan atau penghapusan terhadap harta kekayaan yang dimiliki
penanam modal yang digunakan dalam pelaksanaan penanaman modal.
Pengurangan ini dilakukan terhadap nilai aktiva tidak berwujud seperti merek
dagang, hak cipta dan lain-lain. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap
dalam jangka waktu tertentu pada setiap periode akuntansi. Pengurangan ini
dilakukan dengan mendebit akun beban amortisasi terhadap akun aktiva.
f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha
tertentu, pada wilayah atau daerah tertentu atau kawasan tertentu. Fasilitas ini
diberikan kepada penanam modal dalam penggunaan hak atas tanah.
Keringanan diberikan dalam bentuk pengurangan sebesar 50 persen atas pajak
bumi dan bangunan selama 8 (delapan) tahun, dihitung sejak diperoleh izin
peruntukan atas tanah.
Fasilitas-fasilitas tersebut diberikan kepada penanam modal yang memenuhi
salah satu dari sepuluh kriteria sebagai berikut :
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;
c. termasuk pembangunan infrastruktur;
d. melakukan alih teknologi;
54
e. merupakan industri pionir;
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi;
i. bermitra dengan UKM atau koperasi;
j. industri yang menggunakan barang modal atau peralatan yang diproduksi
dalam negeri.
Pemerintah dapat memberikan fasilitas atau kemudahan kepada penanam modal
apabila salah satu dari sepuluh kriteria tersebut dipenuhi.
4.2.4 Kebijakan yang menghambat masuknya PMA langsung
Berbagai fasilitas dan insentif yang diberikan kepada penanam modal secara
efektif baru berlaku pada tahun 2008 sehingga dampak dari UU no 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal baru dapat dirasakan paling awal pada tahun 2008. Di sisi
lain, sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001, sudah banyak bermunculan
kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan daerah tentang pajak, retribusi dan
berbagai pungutan lain yang justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Berdasarkan kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, sejak tahun
2001 sampai dengan 2010 terdapat 13.622 perda pajak atau retribusi. Dari jumlah itu
sudah 13.252 perda yang dievaluasi oleh Departemen Keuangan dengan hasil 4.855
perda direkomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri agar dibatalkan. Namun sampai
saat ini, baru 1.843 perda yang dibatalkan, sedangkan yang 3.042 tidak jelas statusnya.
Kondisi semakin sulit karena berdasarkan UU no 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah
dan Retribusi Daerah, sejak 1 Januari 2010 pembatalan perda menjadi kewenangan
Presiden, tidak lagi menjadi kewenangan Mendagri. Secara teknis hal ini akan membuat
proses pembatalan perda bermasalah menjadi semakin lama.
Barangkali munculnya ribuan perda pajak daerah dan retribusi daerah ini yang
menyebabkan terjadinya penurunan porsi PMA langsung di luar Jawa pada era otonomi
daerah dibandingkan dengan periode sebelum otonomi daerah. Data BKPM
menunjukkan prosentase realisasi PMA langsung yang terjadi di luar Jawa pada era
otonomi daerah justru lebih rendah daripada prosentase realisasi PMA langsung yang
terjadi di luar Jawa pada era sebelum otonomi daerah. Tabel 4.5 menunjukkan distribusi
PMA langsung sebelum dan sesudah otonomi daerah.
55
Tabel 4.5 Distribusi PMA Langsung Tahun 1993-2008
Daerah Tahun (persen) 1993-2000 2001-2008
Jawa 78 84 Luar Jawa 22 16
Sumber : BKPM (diolah)
Tabel 4.5 menjadi bukti bahwa otonomi daerah belum mampu memberikan
kontribusi positif bagi peningkatan PMA langsung di luar Jawa. Padahal ide dasar dari
pelaksanaan otonomi daerah adalah agar terjadi pemerataan pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di luar Jawa yang selama rezim pemerintahan
orde baru kurang terurus. PMA langsung sebagai salah satu komponen pembiayaan
pembangunan merupakan salah satu aspek yang penting dan strategis sebagai indikator
perekonomian di daerah. Penurunan realiasi PMA langsung di luar Jawa pada era
otonomi daerah ini tentu berpengaruh pada akselerasi pembangunan di daerah.
64
BAB VI. OTONOMI DAERAH DAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
6.1 Desentralisasi sebagai Substansi Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan salah satu buah paling penting dari gerakan reformasi
1998. Otonomi daerah dianggap sebagai jawaban paling tepat dari tidak terjadinya
pemerataan pembangunan nasional dan pemerataan kesejahteraan masyarakat selama rezim
pemerintahan orde baru. Walaupun pedoman pembangunan nasional pada masa orde baru
menggunakan trilogi pembangunan. Ringkasnya trilogi pembangunan ini berisi tentang
pemeraataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Kebijakan otonomi daerah ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pemerintahan
yang lebih dekat dengan rakyat akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat karena
pemerintah dapat membuat dan melaksanakan rancangan program yang sesuai dengan
kebutuhan rakyat. Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya berdasarkan
kebijaksanaannya sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Dalam konteks
hubungan struktural, konsekwensi dari otonomi daerah adalah pemerintah kabupaten/kota
tidak lagi sekedar menjadi wakil atau perpanjangan tangan pemerintah pusat. Lebih dari itu,
pemerintah daerah memiliki kewenangan otonom untuk menjalankan roda pemerintahan dan
pembangunan di daerahnya masing-masing.
Melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999
tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, kebijakan otonomi
daerah secara resmi diberlakukan di Indonesia. Pada dasarnya semua wewenang
didesentralisasikan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten/kota, dan hanya lima
bidang strategis yang kewenangannya dipertahankan sebagai kewenangan pemerintah pusat,
yaitu politik/hubungan luar negeri, agama, keuangan, pertahanan dan keamanan, dan
hukum/peradilan.
Basri (2009) membagi pelaksanaan otonomi daerah menjadi dua periode, yaitu
otonomi daerah gelombang pertama (2001-2004) dan gelombang kedua (2005 sampai
sekarang). Pada gelombang pertama otonomi daerah semangat dan harapan perubahan
bercampur dengan perasaan khawatir dan perasaan skeptis atas keberhasilan otonomi daerah
ini. Hal ini terjadi karena masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa masalah yang harus
65
dihadapi dan aneka pekerjaan yang harus dilaksanakan sangat banyak dan simultan. Padahal
pemerintah daerah perlu waktu untuk belajar memikul tanggung jawab yang lebih besar dan
berkreasi secara mandiri dalam mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing.
Kesan yang dominan dari pelaksanaan otonomi daerah pada gelombang pertama ini
adalah ketidaksiapan aparat pemerintah daerah termasuk pimpinan-pimpinan politik dan
pemerintahan lokal dalam menyambut otonomi daerah. Akibatnya otonomi daerah
diterjemahkan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip good governance. Penguasa
lokal cenderung menganggap dirinya sebagai penguasa baru.
Gelombang kedua pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan revisi paket undang-
undang otonomi daerah dari UU nomor 22/1999 dan UU nomor 25/1999 menjadi UU nomor
32/2004 dan UU nomor 33/2004. Perubahan paling fundamental dari revisi UU otonomi
daerah itu adalah diberlakukannya mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat. Hal ini semakin menegaskan bahwa keberadaan kepala daerah merupakan
representasi dari kehendak rakyat di daerah tersebut, bukan representasi dari pemerintah
pusat. Namun, terdapat kontradiksi dalam hal kewenangan pengangkatan sekretaris daerah,
dimana pengangkatan sekretaris kabupaten/kota menjadi kewenangan gubernur, dan
pengangkatan sekretaris provinsi menjadi kewenangan Presiden RI. Pengangkatan Sekda oleh
Pejabat pemerintahan satu tingkat di atas ini menunjukkan bahwa Pemerintah masih tidak
rela terhadap desentralisasi secara penuh.
Otonomi daerah di Indonesia diwujudkan dengan melakukan desentralisasi
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kewenangan yang
didesentralisasikan meliputi desentralisasi administrasi, desentralisasi fiskal dan
desentralisasi politik. Dengan adanya desentralisasi tersebut yang sebelumnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat bergeser menjadi kewenangan daerah. Sebagai konsekwensi
dari penyerahan kewenangan tersebut, pemerintah pusat memberikan dana yang dibutuhkan
oleh pemerintah daerah untuk pelaksanaan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat
kepada daerah.
6.2 Definisi dan Tujuan Desentralisasi
6.2.1 Definisi Desentralisasi
Desentralisasi sebagai substansi otonomi daerah sudah dikenal sejak lama dalam
khazanah ilmu sosial. Pakar-pakar ilmu sosial juga sudah memberikan definisi yang beragam.
Parsons mendefinisikan sebagai pembagian kekuasaaan pemerintahan oleh sekelompok
penguasa pusat dengan kelompok lainnya, masing-masing memiliki otoritas dalam wilayah
tertentu dari suatu negara. Sedangkan Mawhood (1987) memberikan definisi yang agak
66
berbeda dan membedakannya dengan dekonsentrasi. Menurut Mawhood desentralisasi adalah
pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal. Sedangkan
dekonsentrasi menurut Mawhood merupakan desentralisasi administratif. Dalam istilah
Mawhood dekonsentrasi didefinisikan sebagai pengalihan tanggung jawab administratif dari
pemerintah pusat kepada pemerintah lokal.
6.2.2 Tujuan Desentralisasi
Brian C Smith dalam Hidayat (2010) membedakan tujuan desentralisasi menjadi dua
kategori. Yaitu tujuan dari sisi kepentingan pemerintah pusat dan dari sisi kepentingan
pemerintah daerah. Dari perspektif kepentingan pusat, terdapat tiga tujuan utama dari
desentralisasi. Pertama, pendidikan politik. Pendapat Brian C Smith ini diperkuat oleh
Maddick (1963). Menurut Maddick (1963) tujuan hakiki dari desentralisasi adalah untuk
menciptakan pemahaman politik yang sehat bagi masyarakat, khususnya terkait dengan
mekanisme penyelenggaraan negara. Kedua, sebagai media pelatihan kepemimpinan politik.
Asumsi yang digunakan sebagai pijakan adalah bahwa pemerintah daerah merupakan media
yang tepat bagi politisi dan birokrat sebelum terjun ke level nasional. Dalam konteks ini
desentralisasi diharapkan dapat memotivasi dan melahirkan calon-calon pemimpin nasional
di berbagai sektor. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik. Kebijakan desentralisasi akan
mampu mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil.
Partisipasi masyarakat lokal yang diimbangi dengan kepekaan dan kemampuan
penyelenggara pemerintahan di daerah akan menghasilkan rasa aman, nyaman dan
kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini merupakan prasyarat dari terciptanya stabilitas
politik.
Tujuan desentralisasi jika dilihat dari perspektif kepentingan daerah, terdapat tiga
tujuan penting. Pertama, untuk mewujudkan kesetaraan politik. Dalam hal ini, desentralisasi
diharapkan mampu membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal dan membuka ruang kebebasan bagi
masyarakat dalam mengekspresikan kepentingannya. Kedua, untuk menciptakan
akuntabilitas lokal. Desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah
berpotensi untuk disalahgunakan oleh aparatur daerah. Namun karena desentralisasi ini
berjalan seiring dengan demokratisasi di tingkat lokal, peran serta masyarakat untuk
melakukan pengawasan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah, diharapkan mampu
mewujudkan keterbukaan dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan dan
pertanggungjawabannya. Ketiga, Untuk meningkatkan local responsiveness. Pemerintah
daerah dianggap lebih tahu dan mengetahui lebih banyak masalah yang dihadapi masyarakat
67
di daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah dapat merancang program-program
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerahnya, sehingga
permasalahan-permasalahan masyarakat dapat lebih mudah diselesaikan.
6.3 Permasalahan Otonomi Daerah
6.3.1. Korupsi
Dugaan korupsi yang terjadi tidak lama setelah pelaksanaan otonomi daerah
memperlihatkan terjadinya locus dan modus baru kasus korupsi di Indonesia. Setelah
otonomi daerah, korupsi di tingkat lokal terjadi dalam jumlah dan cakupan yang
sangat luas. Jika pada era orde baru korupsi terjadi terpusat di pemerintah pusat, pada
era otonomi daerah, korupsi menyebar di daerah, baik yang dilakukan oleh lembaga
eksekutif daerah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau pemerintah kota),
maupun yang dilakukan oleh lembaga legislatif daerah (Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah) dengan modus operandi yang beragam.
Berdasarkan hasil pengamatan Indonesian Corruption Watch dan Komite
Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah salah satu simpul utama korupsi di era
otonomi daerah ini adalah otoritas daerah (Pemda dan DPRD). Implementasi otonomi
daerah yang diiringi dengan peningkatan dana yang dikelola daerah berimplikasi pada
terbukanya peluang oleh pemegang otoritas daerah untuk melakukan korupsi.
Pergeseran penting dalam penyelenggaraan kekuasaan daerah adalah
diberikannya kewenangan kepada DPRD untuk memilih dan memberhentikan Kepala
Daerah. Hal ini membuat DPRD mempunyai kedudukan politik yang sangat kuat.
Kewenangan DPRD memilih kepala daerah ini dicabut sejak tahun 2005, namun
posisi politik DPRD masih tetap kuat, karena DPRD masih mempunyai kewenangan
untuk menyusun dan mengesahkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah dan
kewajiban kepala daerah untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
DPRD. Posisi politik yang kuat ini mendorong anggota DPRD melakukan abuse of
power, sehingga marak dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.
Padahal seharusnya DPRD bertindak sebagai pengawas penyelenggaraan kekuasaan
oleh pemerintah daerah.
68
Tabel 6.1 Contoh Kasus Korupsi Setelah Pelaksanaan otonomi daerah
Daerah Jenis Kasus dan Tahun Peristiwa Diungkap ke Publik Nilai Kerugian
Negara (Rp.
Miliar)
Aceh Korupsi Pembelian Helikopter M2, tahun 2004 12,5
Sumatera Barat Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001 2,78
Cirebon Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001 0,99
DI Yogyakarta Korupsi Dana asuransi sebagai APBD oleh DPRD,
tahun 2001
4
Padang Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002 4,67
Kalimantan
Selatan
Korupsi penyalahgunaan anggaran belanja rutin pos
kepala daerah, tahun 2001-2004
5,47
Toli-Toli Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002 4,5
Mentawai Manipulasi Keuangan oleh Sekda,tahun 2002 7,9
Sumatera Barat Perjalanan dinas fiktif DPRD, tahun 2003 5,93
Donggala Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2003 5,2
NTB Korupsi APBD oleh DPRD,tahun 2004 23
Sumbawa Manipulasi APBD oleh DPRD,tahun 2004 6,4
Madiun Markup proyek APBD oleh DPRD, tahun 2004 8,8
Blitar Manipulasi APBD oleh Bupati, tahun 2004 73
Kapuas Hulu Korupsi dana sumber daya hutan oleh Bupati, Tahun
2005
150
Sukabumi Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2007 3,6
Situbondo Korupsi APBD, tahun 2005-2007 45,75
Makassar Pengadaan mobil pemadam kebakaran, tahun 2003 4,31
Kendal Korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), Dana Tak Tersangka (DTT) dan
Dana Alokasi Umum (DAU) dalam APBD Kabupaten
Kendal, 2003-2005
52,9
Boven Digul
Papua
penunjukan langsung pengadaan kapal tanker LCT 180
dan penggelapan dana kas daerah, 2006-2007
Tidak ada data
Sumber : dari berbagai sumber (diolah)
69
Namun tidak tepat jika dikatakan bahwa korupsi di daerah baru saja terjadi
setelah ditetapkannya kebijakan desentralisasi. Tidak adanya pengungkapan kasus-
kasus korupsi di daerah pada era orde baru, bukan karena benar-benar tidak terjadi
korupsi, melainkan karena faktor dominasi birokrasi yang sangat kuat dan sekaligus
penegakan hukum yang lemah. Akibatnya, kasus-kasus korupsi pada era orde baru
tidak tersentuh dan tidak ter-ekspose media massa. Dalam konteks ini, desentralisasi
hanya memberikan panggung baru bagi pentas korupsi di tingkat lokal.
Hasil Survey rutin dua tahunan yang dilakukan oleh Transparency
International Indonesia memperlihatkan bahwa kondisi daerah terkait dengan korupsi
masih memprihatinkan. Dengan range skor 0 sampai dengan 10, dimana 0
menyatakan kondisi paling korup dan 10 menyatakan kondisi paling bersih, selama
survey tahun 2002, 2004, 2006 dan 2008, skor paling tinggi yang berhasil dicapai oleh
suatu daerah adalah 6,61.Skor ini diraih oleh Kota Palangkaraya pada tahun 2006.
Sedangkan skor paling rendah dibukukan oleh Kabupaten Maumere Propinsi Nusa
Tenggara Timur dengan nilai 3,22 pada tahun survey 2006. Data lengkap pada
lampiran 3 dan 4.
6.3.2. Perda Pungutan dan Retribusi
Hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
pada tahun 2007 menunjukkan berbagai pungutan dan proses perizinan di daerah
masih menjadi penghambat investasi. Survei ini mencakup 243 kabupaten/kota di
Indonesia dengan melibatkan 12.187 pelaku usaha bidang manufaktur, perdagangan,
dan jasa. Sejalan dengan temuan tersebut, Departemen Keuangan tak segan-segan
menolak peraturan daerah yang kurang mendukung iklim investasi. Peraturan ini
umumnya terkait biaya seperti penambahan biaya administrasi dan retribusi yang
ditarik di awal ketika pengusaha baru mau melakukan investasi.
Hasil dari kajian terhadap peraturan daerah tersebut adalah rekomendasi
terhadap keberadaan peraturan daerah tersebut. Apakah perda tersebut harus direvisi,
dibatalkan atau dapat diimplementasikan. Kewenangan ini mengalami perubahan dari
awalnya menjadi domain Menteri Keuangan menjadi domain Presiden sesuai dengan
Pasal 158 Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Hal ini akan membuat proses kajian terhadap Perda ini akan menjadi lebih
lambat.
Perda itu dinilai menghambat penciptaan iklim investasi yang kondusif di
daerah dan membebani pelaku usaha maupun masyarakat. Rancangan peraturan
70
daerah yang ditolak itu berasal dari sektor perhubungan, pertanian, pekerjaan umum,
perindustrian, perdagangan, dan kehutanan. Sementara itu, rancangan perda yang
paling banyak ditolak berasal dari Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Tengah.
Survei KPPOD ini juga menyimpulkan banyak daerah yang menetapkan biaya
perizinan usaha lebih tinggi dibandingkan dengan keputusan pemerintah. Misalnya,
biaya pengurusan tanda daftar perusahaan (TDP) mencapai Rp 500 ribu, lebih tinggi
dibandingkan Permendag nomor 37/2007 tentang Biaya Pengurusan Izin TDP untuk
jenis perusahaan perseroan sebesar Rp. 100.000,-. Namun, KPPOD juga mencatat ada
juga perda yang mendukung investasi, seperti Perda Kota Balikpapan Nomor 9 Tahun
2004 tentang Insentif bagi Investor.
Fakta yang mengkhawatirkan, jumlah Perda bermasalah dari tahun ke tahun
tidak menunjukan tren penurunan. Pada tahun 2002, jumlah Perda yang dibatalkan
oleh pemerintah pusat tercatat sebanyak 19 buah. Pada 2003 jumlahnya melonjak
drastis menjadi 105 perda. Sedangkan pada 2004 tak kurang dari 236 Perda, dan
menjadi 136 Perda pada 2005. Pada 2005 dan 2006 masing-masing sebanyak 114 dan
151 Perda yang dibatalkan. Realitas yang lebih memprihatinkan lagi, Perda-Perda
yang dibatalkan itu tampaknya masih banyak yang diterapkan di berbagai daerah.
Pungutan resmi yang dituangkan dalam Perda ini di lapangan masih ditambah
lagi dengan masih adanya biaya tak resmi atas pelayanan birokrasi. Dalam hitungan
KPPOD, biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan birokrasi itu bahkan bisa mencapai
2 sampai 3 persen dari total biaya produksi. Menurut Gabungan Pengusaha Makanan
dan Minuman Indonesia (GAPMI) jumlah pungutan tak resmi untuk biaya distribusi
makanan dan minuman mencapai 30 persen dari total biaya distribusi.
6.3.3. Rendahnya Kapasitas Pemerintah Daerah.
Kapasitas pemerintah daerah pada umumnya masih rendah yang ditandai oleh
(1) masih terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia aparatur baik jumlah
maupun yang profesional, (2) masih terbatasnya ketersediaan sumber-sumber
pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan daerah itu sendiri
(internal) maupun sumber dana dari luar daerah (eksternal) dan terbatasnya
kemampuan pengelolaannya; (3) belum tersusunnya kelembagaan yang efektif; (4)
belum terbangunnya sistem dan regulasi tentang aparatur pemerintah daerah yang
jelas dan tegas; (5) kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat (termasuk
71
anggota dewan perwakilan rakyat daerah) dalam pelaksanaan pembangunan secara
lebih kritis dan rasional.
Banyaknya peraturan daerah yang direkomendasikan untuk direvisi atau
bahkan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat menunjukkan bahwa pemerintah daerah
kurang memahami substansi peraturan daerah dan sekaligus menunjukkan bahwa
aparatur daerah tidak kreatif dalam mengoptimalkan peluang dan manfaat otonomi
daerah. Akibatnya, pilihan yang diambil untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD) adalah pilihan instant dan mudah.
56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemilihan Model Terbaik
Tahapan penting dari penelitian kuantitatif dengan menggunakan ekonometri
adalah analisis hasil output ekonometri. Hasil Chow Test yang dilakukan
memperlihatkan nilai probability F hitung (0,000) lebih kecil dari α 0,05. Hasil Chow
Test tersebut menjadi dasar untuk menolak H0. Berdasarkan hasil tersebut, keputusan
yang diambil adalah fixed effect model lebih baik dari pada common effect model.
Selanjutnya untuk menentukan model yang lebih baik antara FEM dengan REM,
dilakukan uji Hausman. Hasil Uji Hausman yang dilakukan menghasilkan nilai chi
square (statistik hausman) sebesar 20,24 lebih besar dari nilai distribusi chi square
sebesar 16,92 dan p-value sebesar 0,016 lebih kecil daripada α 0,05. Hasil Uji Hausman
tersebut menjadi dasar untuk menolak H0, yang berarti FEM lebih baik daripada REM.
5.2 Estimasi & Interpretasi
Setelah mendapatkan FEM sebagai model yang paling baik, tahapan selanjutnya
adalah melakukan estimasi dan interpretasi model. Tahapan estimasi dan interpretasi ini
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan variabel
bebas dengan variabel terikat. Output Eviews harus dilihat terlebih dahulu apakah sudah
sesuai dengan kriteria yang lazim digunakan dalam studi statistika dan ekonometrika,
jika tidak memenuhi kriteria statistika dan kriteria ekonometrika, maka hasil tersebut
tidak layak digunakan untuk menganalisis adanya hubungan antar variabel. Setelah
memenuhi kriteria tersebut, baru dapat dilakukan interpretasi terhadap hasil output
Eviews. Hasil regresi dengan menggunakan Eviews tertuang dalam tabel 5.1.
57
Tabel 5.1 Hasil Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Model
Variable Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRBRK 1,059242 0,632534 1,6746 0,0949 UPAH -0,005649 0,001013 -5,5787 0 IHK -0,732373 0,136614 -5,3609 0 JALAN 3,393428 0,771123 4,40063 0 LISTRIK 0,811087 0,323359 2,50832 0,0126 PELABUHAN 3,65E-06 1,80E-06 2,0239 0,0437 PENDIDIKAN 0,001609 0,00545 0,2952 0,768 KRIMINALITAS -0,295273 0,592413 -0,4984 0,6185 OTDA -0,017696 0,003231 -5,4774 0
Weighted Statistics R-squared 0,978661 Mean dependent var 14,2131 Adjusted R-squared 0,976705 S.D. dependent var 10,4605 S.E. of regression 1,596555 Sum squared resid 917,636 F-statistic 2063,839 Durbin-Watson stat 1,9339
Prob(F-statistic) 0 Unweighted Statistics
R-squared 0,620974 Mean dependent var 10,6436 Adjusted R-squared 0,58623 S.D. dependent var 2,49315 S.E. of regression 1,603721 Sum squared resid 925.892 Durbin-Watson stat 1,923474
Menurut Gujarati (1995), model ekonometri yang baik harus memenuhi kriteria
statistik dan kriteria ekonometrik. Kriteria Statistik terkait dengan probabilitas F
statistik dan koefisien determinasi (nilai R2
Kriteria statistik dalam model ini dilihat dari probabilitas F statistik dan
koefisien determinasi (nilai adjusted R
). Sedangkan kriteria ekonometrik
menyangkut uji asumsi klasik yang menyangkut tiga hal, yaitu autokorelasi,
multikolinieritas dan heteroskedasticitas.
2). Nilai Probabilitas F Statistik model ini sebesar
0,000 sedangkan nilai adjusted R2
Interpretasi dari nilai probabilitas F statisitik dan nilai adjusted R
model ini sebesar 0,976. Hal ini menunjukkan bahwa
model tersebut sudah memenuhi kriteria statistik untuk menjadi model yang layak untuk
menduga parameter yang ada dalam fungsi. 2 tersebut
adalah bahwa pada tingkat kepercayaan 97 persen, variabel-variabel bebas dalam model
tersebut secara bersama-sama signifikan mempengaruhi realisasi PMAL di sektor
58
industri manufaktur non migas di Indonesia. Sedangkan nilai adjusted R2
Sedangkan kriteria ekonometrik dalam model ini dilihat dengan melihat ada atau
tidaknya autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedasticitas. Sudah menjadi
kesepakatan umum bahwa dalam model regresi data panel permasalahan
multikolinieritas dapat diabaikan, karena sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya
multikolinieritas, walaupun masing-masing individu mengandung multikolinieritas
(Sanjoyo, 2009). Ini merupakan salah satu keunikan dari regresi data panel.
Permasalahan autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW). Nilai DW pada
hasil output eviews sebesar 1,93 mengandung pengertian bahwa tidak terjadi
autokorelasi. Permasalahan heteroskedasticitas dalam penelitian ini dapat diabaikan
karena data dirubah ke dalam bentuk logaritma natural dan model diperlakukan dengan
cross section weight dan white heteroscedasticity. Dengan demikian, model penelitian
ini sudah memenuhi kriteria ekonometrik.
sebesar 0,976
menunjukkan bahwa 97,6 persen keragaman nilai realisasi PMAL di sektor industri
manufaktur non migas di Indonesia dapat dijelaskan oleh keragaman nilai variabel
bebasnya. Sedangkan sisanya (2,4 persen) dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Berdasarkan informasi dari Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa variabel-variabel
yang secara nyata mempengaruhi penanaman modal asing di propinsi-propinsi di
Indonesia adalah variabel market size (dengan proxy PDRB riil perkapita), inflasi
(dengan proxy IHK), infrastruktur (dengan proxy prosentase jalan dalam kondisi baik
terhadap total panjang jalan, daya tersambung listrik untuk sektor industri dan dummy
pelabuhan), upah dan otonomi daerah. Sedangkan variabel dalam model yang tidak
berpengaruh terhadap penanaman modal asing adalah tingkat pendidikan (dengan proxy
prosentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan minimal
SLTA/sederajat) dan stabilitas sosial politik (dengan menggunakan index kerawanan
daerah).
Variabel yang mempunyai pengaruh paling besar adalah panjang jalan dalam
kondisi baik. Hal itu terlihat dari koefisien yang paling besar diantara semua variabel
penjelas, yaitu sebesar 3,3934. Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh paling
kecil adalah variabel pelabuhan, yaitu sebesar 3,65E-06.
Market size mempunyai pengaruh positif terhadap penanaman modal asing di
Indonesia pada taraf nyata 10 persen dengan koefisien sebesar 1,059. Hal ini
mengandung pengertian bahwa apabila terjadi peningkatan PDRB riil perkapita sebesar
59
1 persen, maka penanaman modal asing akan naik sebesar 1,06 persen (ceteris paribus).
Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Sarwedi (2002), Firdaus
(2006), Aqeel & Nishat (2005) dan Udo & Obiora (2006). Hal ini mengindikasikan
bahwa output berupa produk barang yang dihasilkan PMAL di sektor industri
manufaktur diorientasikan untuk memenuhi permintaan di pasar domestik. Market
seeking merupakan jenis PMAL yang lazim terjadi dalam kondisi seperti ini. Oleh
karena itu, penanam modal akan lebih memilih melakukan kegiatan penanaman modal
di daerah yang pendapatan perkapita masyarakatnya tinggi agar barang yang dihasilkan
dapat terserap oleh pasar domestik. Hal ini sesuai dengan Teori Eklektik Dunning yang
menyatakan bahwa PMAL akan dilakukan jika terdapat faktor-faktor yang membuat
perusahaan lebih menguntungkan untuk melakukan produksi di negara tujuan (host
country) daripada di negara asal (home country).
Variabel inflasi mempunyai pengaruh negatif terhadap PMAL di Indonesia
dengan koefisien sebesar 0,7323. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa
inflasi mempunyai hubungan yang berlawanan dengan PMAL. ini artinya bahwa,
apabila terjadi inflasi sebesar 1 persen, maka PMAL akan turun sebesar 0,73 persen
(ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan penelitian Tsen (2006) dan Udo & Obiora
(2006). Hasil ini menegaskan bahwa pelaku usaha bertindak rasional, dengan
mempertimbangkan keuntungan sebagai dasar untuk mengambil keputusan berinvestasi.
Inflasi mencerminkan kekuatan daya beli masyarakat, dimana semakin tinggi tingkat
inflasi maka daya beli masyarakat semakin rendah. Dalam kondisi daya beli masyarakat
yang rendah, maka pilihan yang lebih menguntungkan adalah tidak melakukan
investasi. Kalau dilacak lebih jauh, inflasi lebih disebabkan oleh adanya hambatan di
sisi pasokan (supply side) dan persoalan struktural pada jalur distribusi, bukan
disebabkan oleh permintaan (Basri, 2002).
Permasalahan pada sisi penawaran tidak terlepas dari tidak terjadinya pasar
persaingan sempurna. Dalam kasus beberapa komoditi penting seperti minyak goreng,
terigu, mie instan, telur, ayam ras dan gula pasir, struktur pasar yang terjadi adalah
oligopolistik. Hanya beberapa perusahaan saja yang mendominasi pasar, sehingga
mereka dapat leluasa menentukan harga komoditi di pasar dengan mengatur pasokan.
Bahkan, yang terjadi adalah kartel, dimana perusahaan-perusahaan yang terlibat bekerja
sama dalam menjual produk yang sama, sehingga harga yang ditetapkan di pasar bukan
harga yang paling efisien.
60
Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) jenis infrastruktur sekaligus sebagai variabel
bebas. Proxy prosentase panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan
terbukti signifikan berpengaruh positif terhadap PMAL dengan koefisien sebesar
3,3934. Ini artinya, dengan kenaikan proporsi panjang jalan dalam kondisi baik terhadap
total panjang jalan sebesar 1 persen, maka PMAL akan meningkat sebesar 3,39 persen.
Energi listrik sebagai salah satu bagian penting dari infrastruktur mempunyai hubungan
positif dengan PMAL dengan koefisien sebesar 0,8111. Ini berarti jika terjadi
peningkatan jumlah daya tersambung ke sektor industri sebesar 1 persen, maka PMAL
akan naik sebesar 0,8 persen (ceteris paribus).
Sedangkan dummy pelabuhan mempunyai pengaruh positif yang signifikan
terhadap PMAL dengan koefisien 0,00000365. Ini menunjukkan bahwa antara daerah
yang mempunyai pelabuhan kelas 1 dan kelas utama signifikan berbeda lebih besar
daripada propinsi yang tidak mempunyai pelabuhan kelas 1 dan utama. Walaupun
perbedaannya relatif kecil, hanya sebesar 0,00000365 persen. Pengaruh positif dan
signifikan dari variabel infrastruktur terhadap PMAL ini sesuai dengan hasil penelitian
Erdal & Tatoglu (2001), Tsen (2006) dan Firdaus (2006).
Hasil ini sekaligus menegaskan peran vital dari infrastruktur terhadap perputaran
roda perekonomian dan akselerasi pembangunan. Infrastruktur sangat penting untuk
mempermudah mobilitas faktor produksi dan sekaligus mobilitas barang dan jasa,
sehingga mudah difahami jika semakin bagus kondisi infrastruktur di daerah, maka
minat penanam modal untuk melakukan aktivitas usaha di daerah tersebut juga akan
semakin tinggi. Apalagi infrastruktur mempunyai keunikan dalam hal eksternalitas
positif yang tinggi, yaitu dapat mendorong pertumbuhan sektor lain.
Variabel upah berpengaruh negatif terhadap PMAL dengan koefisien sebesar
0,0056, ini artinya jika upah naik sebesar 1 persen, maka PMAL akan turun sebesar
0,0056 persen. Hal ini sesuai dengan pendapat Vernon dan Weber bahwa PMAL akan
mencari daerah-daerah yang ongkos tenaga kerjanya murah agar nilai jual produknya di
pasar dapat kompetitif. Hal ini terutama untuk tenaga kerja dengan skill rendah, berbeda
dengan tenaga dengan skill tinggi. Kecilnya koefisien upah, disebabkan oleh semakin
meningkatnya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia. Di mana produktivitas
mampu mengkompensasi kenaikan upah, sehingga elastisitas pengaruh upah terhadap
PMAL dapat ditekan pada tingkat yang lebih rendah.
61
Tabel 5.2 Produktivitas Tenaga Kerja Beberapa Negara Asia (dalam US $)
Data produktivitas tenaga kerja pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa tingkat
produktivitas tenaga kerja Indonesia pada periode 2003-2007 mengalami peningkatan
sebesar 11,11 persen. Namun, prosentase peningkatan produktivitas tenaga kerja
Indonesia masih jauh di bawah peningkatan produktivitas tenaga kerja Korea Selatan,
Thailand dan Malaysia. Jika ingin menikmati tingkat upah yang tinggi, mau tidak mau
tenaga kerja Indonesia harus terlebih dahulu meningkatkan produktivitasnya.
Kecenderungan bahwa PMAL di Indonesia masih berorientasi pada low skilled
labour dapat dilihat dari tidak signifikannya variabel tingkat pendidikan yang didekati
dengan prosentase jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan
minimal SMA/sederajat terhadap keseluruhan jumlah penduduk. Selain itu juga tidak
signifikannya variabel tingkat pendidikan dapat terjadi karena penanam modal
membawa serta tenaga kerja asing terampil yang dibutuhkannya dari negara asal
penanam modal. Hal ini patut dikhawatirkan karena salah satu dampak positif PMAL
dalam hal transfer of technology kepada tenaga kerja Indonesia akan terhambat.
Variabel dummy status kerawanan daerah terbukti berpengaruh tidak signifikan
berbeda antara daerah yang rawan dengan yang tidak rawan. Ini menunjukkan bahwa
antara daerah yang termasuk kategori rawan tidak signifikan berbeda dengan propinsi
yang tidak termasuk kategori tidak rawan. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian
Vittorio & Ugo (2008) di Italia.
Negara 2003 2007 Perubahan (persen)
Hong Kong 47650 57663 21,01 Singapura 43712 56918 30,21 Brunei 42906 45142 5,21 Taipei 32433 38776 19,56 Korea Selatan 25119 36648 45,90 Malaysia 10649 13940 30,90 Thailand 2471 3327 34,64 China 2093 1921 -8,22 Indonesia 1981 2201 11,11 Mongolia 2205 2766 25,44 Philippines 653 824 26,19 Cambodia 638 824 29,15 Viet Nam 535 645 20,56
Sumber : Asian Development Bank
62
Perbedaan ini barangkali disebabkan karena data kriminalitas yang digunakan
dalam penelitian ini masih bersifat umum, menyangkut berbagai macam jenis
kriminalitas yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha, misalnya tindak pidana
permainan judi, perkosaan dan penghinaan. Hal ini bukan karena faktor kesengajaan
penulis, melainkan karena kesulitan dalam memperoleh data kriminalitas yang secara
khusus dan terinci terkait dengan kegiatan usaha.
Variabel dummy otonomi daerah memiliki probabilitas sebesar 0,00. Ini
menunjukkan bahwa secara signifikan terdapat perbedaan antara periode waktu sebelum
otonomi daerah (1993-2000) dengan periode setelah otonomi daerah (2001-2008). Nilai
koefisien sebesar -0,0176 memperlihatkan bahwa otonomi daerah membuat elastisitas
variabel-variabel independen lebih rendah jika dibandingkan dengan elastisitas sebelum
otonomi daerah. Hasil itu sejalan dengan hasil kajian Basri (2002). Kajiannya tentang
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat propinsi di Indonesia
menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi, yang mana efek negatif tersebut terjadi karena penggunaan dana APBD yang
tidak bertanggung jawab, rendahnya skill aparat pemerintahan daerah dan akuntabilitas
politik yang labil.
Pengaruh negatif otonomi daerah ini kemungkinan terjadi karena otonomi
daerah diterjemahkan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan
menerbitkan kebijakan pungutan baik dalam bentuk pajak ataupun retribusi daerah
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Berdasarkan hasil kajian KPPOD (2011)
selama tahun 2001 sampai dengan 2010 terdapat 13.622 perda tentang pajak daerah dan
retribusi daerah. Pungutan-pungutan baru tersebut, memaksa pelaku usaha untuk
mengeluarkan biaya tambahan yang tidak pernah dikeluarkan sebelum otonomi daerah
diberlakukan. Sedangkan di sisi lain, pembenahan-pembenahan terhadap kebijakan
PMAL di tingkat nasional baru dilakukan pada pertengahan tahun 2007 melalui
pemberlakuan UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Akibatnya, dalam
kurun waktu 2001 sampai dengan 2008, yang lebih dominan dirasakan oleh investor
adalah adanya beban tambahan berusaha di daerah.
Perbedaan pengaruh setiap provinsi dapat dilihat dari koefisien setiap propinsi.
Tetapi, nilai koefisien tersebut adalah nilai relatif. Maksudnya adalah, koefisien tersebut
tidak menggambarkan seberapa besar pengaruh yang diterima setiap propinsi, tetapi
hanya menggambarkan perbedaan pengaruh yang diterima oleh setiap propinsi. Dalam
63
penelitian ini, Provinsi DKI akan digunakan sebagai basis pengukuran dengan
menjadikan nilainya sama dengan 0, dan koefisien provinsi lain mengikuti nilainya.
Nilai paling tinggi berdasarkan penyesuaian dari koefisien masing-masing provinsi
adalah Provinsi Maluku dengan nilai 6,53. Interpretasinya apabila ada perubahan
independen variabel secara bersama-sama, maka dampak individu Maluku akan lebih
besar 6,5 kali dibandingkan dengan dampak individu DKI Jakarta. Provinsi Maluku
merupakan daerah yang paling besar nilai dampak individunya, sedangkan DKI Jakarta
merupakan daerah yang paling kecil dampak individunya. Sedangkan daerah-daerah
lain besar pengaruhnya bervariasi, tetapi tidak lebih besar dari Maluku dan tidak lebih
kecil dari DKI Jakarta.
72
VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN & SARAN 7.1 Kesimpulan
1. a. Faktor-faktor yang secara statistik signifikan mempengaruhi penanaman
modal asing langsung di sektor industri manufaktur non migas Indonesia adalah
market size, upah, inflasi, infrastruktur dan otonomi daerah. Faktor yang
berpengaruh negatif terhadap PMA langsung adalah inflasi, upah dan otonomi
daerah.
b. Variabel dalam model yang tidak signifikan berpengaruh terhadap PMA
langsung adalah pendidikan dan kriminalitas.
c. Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap PMA langsung di sektor
industri manufaktur adalah panjang jalan dalam kondisi baik. Sedangkan faktor
yang pengaruhnya paling kecil adalah variabel dummy pelabuhan.
2. Otonomi daerah berpengaruh negatif bagi PMA di Indonesia. Hal ini
mengindikasikan adanya permasalahan dalam implementasi otonomi daerah.
Belum adanya perubahan undang-undang yang mengatur tentang penanaman
modal sampai dengan tahun 2007 menjadi penyebab belum adanya manfaat
positif dari otonomi daerah sampai dengan tahun 2008. Kondisi diperparah lagi
dengan adanya permasalahan dalam implementasi otonomi daerah, yaitu dengan
maraknya kasus korupsi di daerah, pajak, retribusi dan pungutan digunakan
sebagai andalan untuk meningkatkan PAD dan ketidaksiapan aparatur daerah.
3. Hal mendesak yang harus dibenahi untuk meningkatkan realisasi PMA di sektor
industri manufaktur non migas di Indonesia dan sekaligus untuk meningkatkan
pemerataan realisasi PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia adalah
dengan mengupayakan peningkatan government spending untuk kegiatan
pembangunan infrastruktur di daerah. Seperti program stimulus fiskal yang
pernah dilaksanakan pada saat terjadi krisis finansial global pada tahun 2008.
Alternatif kebijakan yang dapat diberlakukan untuk mendorong pertumbuhan
realisasi investasi di luar Jawa adalah dengan memberikan kemudahan dan
insentif khusus, bagi penanam modal di luar Jawa yang melakukan
pembangunan infrastruktur dengan nilai tertentu.
73
7.2 Implikasi Kebijakan
1. Otonomi daerah seharusnya mendorong terjadinya peningkatan pembangunan di
daerah-daerah di luar Jawa. Semakin menurunnya porsi realisasi PMA langsung
di luar Jawa pada masa otonomi daerah harus segera dijawab dengan
mengedepankan pemberian berbagai insentif bagi kegiatan PMA langsung di
luar Jawa sebagaimana tertuang dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Di sisi lain, pemerintah pusat harus lebih tegas dan lebih
menyederhanakan prosedur pembatalan peraturan daerah yang menghambat
investasi.
2. Kegiatan pembangunan infrastruktur, terutama jalan dan listrik harus lebih
dititikberatkan di luar Jawa.
3. Perlu insentif khusus bagi penanam modal yang membangun infrastruktur dalam
nilai tertentu agar penanam modal termotivasi dalam mengeluarkan modal
tambahan untuk membangun infrastruktur sebagai pendukung kegiatan
usahanya.
7.3 Saran Untuk Penelitian Lebih Lanjut
1. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan rentang waktu yang lebih panjang
yaitu dengan memasukkan periode waktu setelah pelaksanaan Undang-Undang
No. 25 tahun 1997 Tentang penanaman modal. Hal ini penting untuk
mengetahui pengaruh otonomi daerah setelah UU No 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal efektif diberlakukan terhadap PMA dan sekaligus pengaruh
UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal itu sendiri terhadap PMA.
2. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data kriminalitas yang secara
spesifik terkait dengan aktivitas usaha untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat
dalam melihat pengaruh stabilitas sosial politik terhadap PMA.
3. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variabel-variabel yang belum
tercakup dalam penelitian ini.
74
DAFTAR PUSTAKA :
Accoley, D (2005), “The Determinants and Impacts of Foreign Direct Investment”,
Thesis of London Metropolitan University.
Aqeel, A & M. Nishat (2005), “The Determinants of FDI in Pakistan”, 20th
Asiedu, E (2002), “ ’On The Determinants of FDI to Developing Countries: is Africa
Different?’’, World Development, Vol 30 No 1, pp.107-19
Annual
PSDE Conference.
Baltagi, BH (2005), “Econometric Analysis of Panel Data”, John Willey & Sons Ltd,
Chicester, 3rd
Basri, F (2002),”Perekonomian Indonesia;Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan
Indonesia”, Penerbit Erlangga, Jakarta
Edition.
BKPM (2006), “Studi Tentang Perbaikan Kebijakan Investasi di Republik Indonesia’,
Jakarta
_______(2008), “Data Perkembangan Penanaman Modal”, Jakarta
BPS (1996),”Indikator Ekonomi”, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik.
____(2007), ”Indikator Ekonomi”, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik.
____(2009), ”Indikator Ekonomi”, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik.
Blanchard, O (2006), “Macroeconomics”, Pearson International Edition, 4th
Capello, R (2007), “Regional Economics”, Routledge, 1
edition. st
Departemen Keuangan (2007), “Pokok Kebijakan Ekonomi Makro”, Jakarta
edition.
Erdal, F & E.Tatoglu (2001), “Locational Determinants of Foreign Direct Investment
in an Emerging Market Economy: Evidence from Turkey”, Multinational
Business Review, Vol.10, No.1.
Firdaus, M (2006), “Impact of Investment Inflows on Regional Disparity in
Indonesia”, Thesis of Universiti Putra Malaysia.
Green,WH (2003), “Econometric Analysis”, Pearson Education International, New
Jersey, 5th
Griffin, RW & MW.Pustay (2007),“International Business”, Pearson Education
International, 5
edition.
th
Gujarati, DN (1995), “Econometrics”, Prentice Hall, Singapore. 3
edition. rd
Hidayat, S (ed) (2004), “Kegamangan Otonomi Daerah”, Pustaka Quantum, Jakarta.
edition
75
_________(2010), “Mengurai Peristiwa-Meretas Karsa; Refleksi Satu Dasawarsa
Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Jurnal Prisma, Vol.29 No. 3.
KPPOD (2002), ‘Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota; Studi Kasus di
90 Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2001’, Publikasi Penelitian, Jakarta
------------(2003), “Daya Tarik Investasi 134 Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2002;
Persepsi Dunia Usaha’, Publikasi Penelitian, Jakarta
________(2004), “Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2002
Persepsi Dunia Usaha; Peringkat 200 Kabupaten/Kota di Indonesia’, Publikasi
Penelitian, Jakarta.
________(2005), “Daya Tarik Investasi 214 Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2004
Persepsi Dunia Usaha; ’, Publikasi Penelitian, Jakarta
________(2006), “Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2005
Persepsi Dunia Usaha; Peringkat 169 Kabupaten dan 59 Kota di Indonesia’,
Publikasi Penelitian, Jakarta.
Hidayat, S (2010), “Mengurai Peristiwa-Meretas Karsa; Refleksi Satu Dasawarsa
Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Jurnal Prisma, Vol.29 No. 3.
Lutfi (2006), “Analisa Pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) dan Ekspor Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi’’, Paper CIDES.
Maddick, H (1963), “Democracy, Decentralization and Development’’, Asia
Publishing House, Bombay, India.
Mankiw, R (2006), “Makroekonomi (terj)”, Penerbit Erlangga, Jakarta, edisi kelima.
McCann, P (2001),” Urban and Regional Economics”, Oxford University Press, 1st
Panayotou, T (1998), “The Role of The Private Sector in Sustainable Infrastructure
Development”, Yale F & S Bulletin, Number 101.
Edition.
Prawiro, R (2004 ),” Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi; Pragmatisme dalam
Aksi”, PT. Primamedia Pustaka, Jakarta.
Sarwedi (2002), “Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor yang
Mempengaruhinya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 4 No. 1 hal.17-35
Tsen, WH (2006), ‘FDI in Manufacturing Industry of Malaysia:an Empirical Study ”,
UNITAR E-Journal, Vol.2 No. 2
76
Udo, EA & Obiora (2006), “ Determinants of FDI and Economic Growth in The West
African Monetary Zone: A System Equation Approach’’ University of Ibadan.
(available at http://www.gtap.agecon.purdue.edu/resources/download/2547.pdf/)
Vittorio, D & Ugo, M (2008), “Organized Crime and Foreign Direct Investment: the
Italian Case”, MPRA Paper, No.7217
Waluyo, J (2007), “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia”, Makalah Diskusi di Wisma
Makara Kampus UI Depok.
Wee, TK (1993), ‘Industrialisasi di Indonesia; Beberapa Kajian’, LP3ES, Jakarta
Wooldridge, JM (2002), “Econometric Analysis of Cros Section and Panel Data’’, The
MIT Press, Cambridge, USA
http://www.kppod.org/index.php?option=com_content&view=article&id=5&Itemid=9
http://www.ipkindonesia.org/report/2005/02/19/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2004
http://www.ipkindonesia.org/report/2007/01/21/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2006
http://www.ipkindonesia.org/report/2009/01/21/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2008
http://sanjoyo55.wordpress.com/2009/03/04/model-panel-data/
77
Daftar Pustaka :
International Business (Griffin)
Investment
Mankiw
Blanchard
Donbursch
Indikator Ekonomi, Buletin statistik Bulanan Badan Pusat Statistik, Juni 2009,
Agustus 2007 & januari 1996.
Gujarati
Depkeu, pokok kebijakan ekonomi makro 2007.
LANJUTAN LAMPIRAN 1
• FIXED EFFECT MODEL
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(PDRBRK?) 1.059242 0.632534 1.674602 0.0949 LOG(WAGE?) -0.005649 0.001013 -5.578706 0.0000
LOG(INFLASI?) -0.732373 0.136614 -5.360912 0.0000 PGROAD? 3.393428 0.771123 4.400631 0.0000
LOG(LISTR?) 0.811087 0.323359 2.508321 0.0126 PELAB? 3.65E-06 1.80E-06 2.023903 0.0437 EDUC? 0.001609 0.005450 0.295199 0.7680 CRIME? -0.295273 0.592413 -0.498425 0.6185 OTDA? -0.017696 0.003231 -5.477407 0.0000
Fixed Effects _NAD—C -51.13495
_SUMUT—C -51.70433 _SUMBAR—C -51.78623
_RIAU—C -50.78557 _JAMBI—C -50.57611
_SUMSEL—C -50.82302 _BENGKULU—C -49.65523 _LAMPUNG—C -49.88969
_DKI—C -55.65711 _JABAR—C -50.02178
_JATENG—C -49.85140 _DIY—C -55.21276
_JATIM—C
-51.58537
_BALI—C -50.33414 _NTB—C -49.46572 _NTT—C -50.23332
_KALBAR—C -52.01931 _KALTENG—C -52.69620 _KALSEL—C -52.31776 _KALTIM—C -54.09574 _SULUT—C -50.15457
_SULTENG—C -52.87533 _SULSEL—C -51.47717 _SULTRA—C -50.81693 _MALUKU—C -49.13260 _PAPUA—C -52.95313
Weighted Statistics R-squared 0.978661 Mean dependent var 14.21314 Adjusted R-squared 0.976705 S.D. dependent var 10.46054 S.E. of regression 1.596555 Sum squared resid 917.6357 F-statistic 2063.839 Durbin-Watson stat 1.933897 Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.620974 Mean dependent var 10.64361 Adjusted R-squared 0.586230 S.D. dependent var 2.493154 S.E. of regression 1.603721 Sum squared resid 925.8919 Durbin-Watson stat 1.923474
LAMPIRAN 1 ; HASIL OUTPUT EVIEWS
• Pooled Least Square
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -14.46454 3.972576 -3.641097 0.0003
LOG(PDRBRK?) 1.243446 0.111869 11.11518 0.0000 LOG(WAGE?) -0.006940 0.001679 -4.134547 0.0000
LOG(INFLASI?) -0.329709 0.270348 -1.219575 0.2234 PGROAD? 0.538491 0.274032 1.965067 0.0501
LOG(LISTR?) 0.419398 0.446261 0.939805 0.3479 PELAB? 8.34E-06 4.04E-06 2.066772 0.0394 EDUC? 0.018882 0.019846 0.951451 0.3420 CRIME? -0.307250 0.205910 -1.492157 0.1365 OTDA? -0.006320 0.008118 -0.778471 0.4368
R-squared 0.510463 Mean dependent var 10.64361 Adjusted R-squared 0.498990 S.D. dependent var 2.493154 S.E. of regression 1.764707 Sum squared resid 1195.849 F-statistic 44.49054 Durbin-Watson stat 1.501764 Prob(F-statistic) 0.000000
LANJUTAN LAMPIRAN 1
• RANDOM EFFECT
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -20.30539 6.245290 -3.251312 0.0013
LOG(PDRBRK?) 1.293599 0.208313 6.209871 0.0000 LOG(WAGE?) -0.005658 0.001726 -3.277820 0.0011
LOG(INFLASI?) -0.509178 0.259479 -1.962312 0.0504 PGROAD? 0.958199 0.464061 2.064813 0.0396
LOG(LISTR?) 0.754312 0.398034 1.895095 0.0588 PELAB? 3.49E-06 4.59E-06 0.760232 0.4476 EDUC? 0.006595 0.026271 0.251035 0.8019 CRIME? -0.369764 0.399846 -0.924767 0.3557 OTDA? -0.015252 0.007767 -1.963873 0.0503
Random Effects _NAD--C 0.070124
_SUMUT--C -0.231949 _SUMBAR--C -0.276296
_RIAU--C 1.710772 _JAMBI--C 0.074377
_SUMSEL--C 0.349534 _BENGKULU--C 0.777510 _LAMPUNG--C 0.425458
_DKI--C -0.749946 _JABAR--C 0.727737
_JATENG--C 0.227734 _DIY—C -0.905078 _BALI--C 0.886746 _NTB--C 0.425656 _NTT--C -0.711774
_KALBAR--C -0.466659 _KALTENG--C -0.678082 _KALSEL--C -0.544097 _KALTIM--C -0.522166 _SULUT--C 0.557242
_SULTENG--C -1.401646 _SULSEL--C -0.563862 _SULTRA--C -0.141691 _MALUKU--C 0.817036 _PAPUA--C -0.306789
GLS Transformed Regression
R-squared 0.594848 Mean dependent var 10.64361 Adjusted R-squared 0.585353 S.D. dependent var 2.493154 S.E. of regression 1.605420 Sum squared resid 989.7111 Durbin-Watson stat 1.801114 Unweighted Statistics
including Random Effects
R-squared 0.613315 Mean dependent var 10.64361 Adjusted R-squared 0.604252 S.D. dependent var 2.493154 S.E. of regression 1.568406 Sum squared resid 944.6011 Durbin-Watson stat 1.887127
LAMPIRAN 2 : INDEX PERSEPSI KORUPSI TAHUN 2004-2008
No Kota Propinsi 2004 2006 2008
1 Jakarta DKI Jakarta 3,87 4 4,06
2 Surabaya Jatim 3,93 4,4 4,26
3 Medan Sumut 4,09 4,67 3,84
4 Semarang Jateng 4,17 5,28 4,58
5 Batam Kepri 4,32 4,51 4,44
6 Pekanbaru Riau 4,37 4,43 3,55
7 Denpasar Bali 4,44 3,67 4,25
8 Yogyakarta DIY 4,51 5,59 6,43
9 Tangerang Banten 4,54 4,51
10 Balikpapan Kaltim 4,59 5,1 4,86
11 Bekasi Jabar 4,61 4,27 3,87
12 Palembang Sumsel 4,67 4,6 3,87
13 Solok Sumbar 4,7 5,51
14 Padang Sumbar 4,83 5,39 4,64
15 Tanah Datar Sumbar 4,87 5,66
16 Manado Sulut 5,12 4,87 3,98
17 Kota Baru Kalsel 5,23 4,94
18 Cilegon Banten 5,28 3,85 4,57
19 Makassar Sulsel 5,31 5,25 4,7
20 Banjarmasin Kalsel 5,39 4,93 5,11
21 Wonosobo Jateng 5,63 5,66
22 Palangkaraya Kalteng 6,61 6,1
23 Pare-pare Sulsel 5,66
24 Kupang NTT 5,51 2,97
25 Ambon Maluku 5,28 4,32
26 Banda Aceh NAD 4,69 5,87
27 Larantuka NTT 4,21
28 Tual Maluku Utara 4,02
29 Pontianak Kalbar 3,95 3,81
30 Gorontalo Gorontalo 3,44 4,83
31 Mataram NTB 3,42 5,41
32 Maumere NTT 3,22
33 bandar lampung Lampung 4,58
34 Palu Sulteng 4,5
35 Bengkulu Bengkulu 4,46
36 Bandung Jabar 3,67
37 Mamuju Sulbar 4,08
38 Jambi Jambi 5,57
39 Samarinda Kaltim 5,03
40 Jayapura Papua 5,01
41 Pangkal Pinang Babel 5,03
42 Ternate Maluku Utara 5,01
43 Surakarta Jateng 5,35
44 Tasikmalaya Jabar 5,12
45 Malang Jatim 5
46 Jember Jatim 4,96
47 Kediri Jatim 4,9
48 Sampit Kalbar 4,6
49 Sorong Papua 4,39
50 Tenggarong Kaltim 4,38
51 Tanjung Pinang Kepulauan Riau 4,35
52 Sibolga Sumatera Utara 4,25
53 Lokseumawe NAD 4,14
54 Pematang Siantar Sumatera Utara 3.,96
55 Kendari Sultra 3,43
56 Manokwari Papua 3,39
57 Tegal Jateng 3,32
58 Purwokerto Jateng 3,54
59 Padang Sidempuan Sumatera Utara 3,66
60 Cirebon Jawa Barat 3,82
Sumber : Transparancy International Indonesia
LAMPIRAN 3 :DATA PERDA YANG DIKAJI PEMERINTAH PUSAT
No Wilayah 2001-2006 2007 2008 Jumlah
1 NAD 10 22 1 33
2 Sumatera Utara 99 70 37 206
3 Sumatera Barat 48 32 11 91
4 Riau 41 23 0 64
5 Kepulauan Riau 6 4 3 13
6 Jambi 37 15 2 54
7 Sumatera Selatan 21 19 0 40
8 Bangka Belitung 11 28 0 39
9 Bengkulu 21 4 2 27
10 Lampung 26 0 0 26
11 DKI Jakarta 1 0 0 1
12 Jawa Barat 65 62 20 147
13 Banten 20 17 6 43
14 Jawa Tengah 70 46 6 122
15 DI Yogyakarta 30 6 6 42
16 Jawa Timur 68 82 49 199
17 Kalimantan Barat 31 19 8 58
18 Kalimantan Tengah 48 49 5 102
19 Kalimantan Selatan 41 19 3 63
20 Kalimantan Timur 39 24 1 64
21 Sulawesi Utara 24 10 0 34
22 Gorontalo 21 12 2 35
23 Sulawesi Tengah 31 1 17 49
24 Sulawesi Selatan 80 30 0 110
25 Sulawesi Barat 7 10 0 17
26 Sulawesi Tenggara 15 15 0 30
27 Bali 27 14 7 48
28 Nusa Tenggara Barat 41 35 2 78
29 Nusa Tenggara
Timur
27 19 0 46
30 Maluku 16 12 0 28
31 Maluku Utara 5 5 0 10
32 Papua 11 44 3 58
33 Irian Jaya Barat 5 25 10 40
TOTAL 1043 773 201 2017
Sumber : Departemen Dalam Negeri
LAMPIRAN 4 : DATA PERDA YANG DIBATALKAN PEMERINTAH PUSAT
No Wilayah 2002-2007 2008 Jumlah
1 NAD 14 0 14
2 Sumatera Utara 74 29 103
3 Sumatera Barat 27 8 35
4 Riau 36 5 41
5 Kepulauan Riau 4 0 4
6 Jambi 35 2 37
7 Sumatera Selatan 25 1 26
8 Bangka Belitung 9 6 15
9 Bengkulu 18 1 19
10 Lampung 33 2 35
11 DKI Jakarta 1 0 1
12 Jawa Barat 47 5 52
13 Banten 18 0 18
14 Jawa Tengah 37 3 40
15 DI Yogyakarta 9 3 12
16 Jawa Timur 50 38 88
17 Kalimantan Barat 26 2 28
18 Kalimantan Tengah 36 6 42
19 Kalimantan Selatan 22 7 29
20 Kalimantan Timur 27 4 31
21 Sulawesi Utara 23 2 25
22 Gorontalo 10 7 17
23 Sulawesi Tengah 28 1 29
24 Sulawesi Selatan 57 7 64
25 Sulawesi Barat 1 1 2
26 Sulawesi Tenggara 8 3 11
27 Bali 15 4 19
28 Nusa Tenggara Barat 32 11 43
29 Nusa Tenggara
Timur
21 6 27
30 Maluku 11 1 12
31 Maluku Utara 7 0 7
32 Papua 6 13 19
33 Irian Jaya Barat 7 16 23
TOTAL 774 194 968
Sumber : Departemen Dalam Negeri