Post on 13-Mar-2019
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur,
Kabupaten Karawang)
ANNEKE PUSPASARI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur,
Kabupaten Karawang)
ANNEKE PUSPASARI
H44080103
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
ANNEKE PUSPASARI. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang). Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT.
Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian saat ini terus mengalami peningkatan. Sejalan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan kebutuhan lahan meningkat. Adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi nasional juga mengalami alih fungsi lahan pertanian terutama lahan sawah. Dari tahun 2001-2010 luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi sebesar 317,10 hektar. Terjadinya alih fungsi lahan akan memberikan dampak baik pada lingkungan maupun pendapatan petani. Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu kecamatan yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi.
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memberikan informasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Tujuan khusus dari penelitian ini: (1) mengkaji laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, (3) menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani, (4) menganalisis dampak lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya.
Penelitian ini dilakukan di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Pengambilan data dilakukan selama bulan Februari - April 2012. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui dinas-dinas terkait serta studi literatur atau referensi lainnya berupa jurnal dan penelusuran data melalui internet. Laju alih fungsi lahan dianalisis dengan persamaan laju alih fungsi lahan, pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan menggunakan model regresi linier berganda dan model regresi logistik, dampak alih fungsi lahan dianalisis dengan analisis uji beda rata-rata. Pengolahan data dilakukan secara manual serta komputerisasi dan melalui program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 20.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren laju alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur mengalami fluktuasi dari tahun 2006-2011. Laju alih fungsi lahan tahun 2006-2011 sebesar 0,47 persen per tahun. Laju alih fungsi lahan sawah paling tinggi terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar 5,58 persen. Hal ini disebabkan karena adanya pembangunan pemukiman akibat peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Karawang Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah adalah jumlah industri, dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani dipengaruhi oleh tingkat usia, luas lahan, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Namun, terjadinya alih fungsi lahan tidak berpengaruh terhadap pendapatan petani. Keterampilan rendah dan
pendidikan rendah yang dimiliki oleh responden menyebabkan perubahan mata pencaharian tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan responden. Pembangunan terus-menerus menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya. Alih fungsi lahan sawah menyebabkan dampak lingkungan. Dampak lingkungan dilihat dari kondisi air, udara, dan terjadinya banjir. Namun, dampak lingkungan yang terjadi tidak terlalu dirasakan oleh responden untuk saat ini.
Kata Kunci: Alih Fungsi Lahan, Pendapatan Petani, Lingkungan
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi kasus: Desa
Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang)
Nama : Anneke Puspasari
NRP : H44080103
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
NIP. 19660717 199203 1 003
Diketahui,
Ketua Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap
Pendapatan Petani (Studi kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur,
Kabupaten Karawang) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Anneke Puspasari H44080103
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan selama proses
penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan,
saran, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
2. Ir. Ujang Sehabudin selaku dosen penguji utama dan pembimbing akademik.
3. Novindra, Sp, M.si selaku dosen penguji perwakilan departemen.
4. Ibu (Fahriana), Bapak (Budy Christianto), kakak (Lieke Puspasari dan Deni
Angela), adik (Debrina Puspasari), dan Nenek (Ny. Desman) atas doa, saran,
dukungan dan motivasinya selama ini.
5. Kecamatan Karawang Timur dan Desa Kondangjaya.
6. Bapak Aat selaku Ketua Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan
Karawang Timur serta para penyuluh pertanian Kecamatan Karawang Timur
yang telah membantu penulis dalam pengambilan data.
7. Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Karawang, Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Karawang, Dinas Pertanian,
Kehutanan, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang.
8. Rekan satu bimbingan Ria Kantri, Esti Rahmaniah, Anggi Presti A,
Miftahurohmah, Arindy Pratiwi, dan Ai Surya terima kasih atas bantuan, saran
dan semangatnya selama ini.
9. Nurul Wulan S, Dwipanca P, Pradipta, Evi N, Vicky A, Erwan P, Dhilla,
Andri L dan Ade atas dukungan dan doanya selama ini.
10. Teman-teman ESL 45 atas kebersamaannya selama ini.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Dan
Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya,
Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang). Skripsi ini disusun untuk
memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan dari penelitian didalam skripsi ini adalah mengetahui laju alih
fungsi lahan yang terjadi di wilayah tersebut, mengidentifikasi faktor-faktor yang
diduga mendorong terjadinya alih fungsi lahan, menganalisis dampak alih fungsi
lahan pertanian terhadap pendapatan petani, serta menganalisis dampak
lingkungan dari alih fungsi lahan pertanian.
Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini dari awal hingga akhir penulisan.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Akhir kata, penulis berharap
skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukan.
Bogor, Juni 2012
Anneke Puspasari
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 9 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 10 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 12
2.1. Lahan Pertanian ............................................................................ 12 2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian ........................................................ 13 2.3. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian …………………………. 15 2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan ............... 17 2.5. Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan ......................................... 21 2.6. Penelitian Terdahulu …………………………………………… 23
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................. 25
IV. METODE PENELITIAN .................................................................. 28
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 28 4.2. Jenis dan Sumber Data …………………………………………. 28 4.3. Metode Pengambilan Sampel ………………………………….. 29 4.4. Metode dan Prosedur Analisis ………………………………….. 30
4.4.1. Analisis Deskriptif ……………………………………… 30 4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi ………………………………. 31 4.4.3. Analisis Regresi Berganda ……………………………… 32 4.4.4. Analisis Regresi Logistik ……………………………….. 40 4.4.5. Analisis Uji Beda Rata-Rata ……………………………. 45
V. GAMBARAN UMUM ……………………………………………… 47
5.1. Gambaran Umum Kabupaten Karawang ………………………. 47 5.2. Gambaran Umum Kecamatan Karawang Timur ………………. 48
5.2.1. Gambaran Umum Desa Kondangjaya …………………... 53 5.3. Karakteristik Umum Responden ……………………………….. 54
5.3.1. Tingkat Usia …………………………………………….. 55 5.3.2. Pendidikan ………………………………………………. 56 5.3.3. Lama Bertani ……………………………………………. 57 5.3.4. Luas Lahan Sawah .……………………………………… 58
ix
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….. 59
6.1. Laju Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur ..……… 59 6.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian Tingkat Wilayah ………………… 66 6.3. Alih Fungsi Lahan Pertanian Tingkat Petani …………………... 74
6.3.1. Proses Alih Fungsi Lahan ……………………………….. 77 6.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Tingkat Petani …………………………………………… 79 6.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani ……... 83 6.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Lingkungan ……………. 89
6.5.1. Dampak Terhadap Sampah ……………………………… 90 6.5.2. Dampak Terhadap Kondisi Udara ...….…………………. 91 6.5.3. Dampak Terhadap Ketersediaan Air ……………………. 92 6.5.4. Dampak Terhadap Banjir ……………………………….. 95
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 97
7.1. Kesimpulan …………………………………………………….. 97 7.2. Saran ……………………………………………………………. 98
VIII. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….. 99
LAMPIRAN …………………………………………………………….. 104
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………….. 120
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai PDB Indonesia Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000........................................................................................... 2
2. Nama-Nama Perusahaan di Desa Kondangjaya 2000-2011...... 9
3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang ……….. 48
4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010 ..... 49
5. Luas wilayah Desa dan Kelurahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010 .…………………………………………. 51
6. Jumlah Penduduk Masing-masing Kelurahan dan Desa di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010 ..………………… 51
7. Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Timur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011 ....…………….. 52
8. Data Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2011 ………………………………………….. 53
9. Mata Pencaharian Penduduk Desa Kondangjaya Tahun 2011.. 54
10. Luas Lahan Pemukiman (Bangunan, dan Pekarangan) di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006-2011 ..……….…. 65
11. Jumlah Perusahaan Pembangun Perumahan di Lahan Sawah Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011 ......……….. 66
12. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memperngaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah ...……............................... 69
13. Luas Perubahan Lahan Sawah Menjadi Perumahan Tahun 2001-2010 …........................................................................... 72
14. Luas Lahan yang Mengalami Alih Fungsi ………................. 75
15. Penggunaan Hasil Pengalih Fungsian Lahan Oleh Petani ...... 79
16. Proses Alih Fungsi Lahan Oleh Petani Responden di Kecamatan Karawang Timur ...…………………………….. 80
17. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik Terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petan ....................................................................................... 83
18. Sumber Pendapatan Utama Petani yang Melakukan Alih Fungsi Lahan Pertanian .…………………………................... 88
19. Perbandingan Rata-rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan ……….....………… 89
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang ………………….. 4
2. Diagram Alur Pikir ………………………………………… 27
3. Tingkat Usia Responden Tahun 2012 …………………..…. 54
4. Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2012 …...…………. 55
5. Lama Bertani Responden …………………...……………... 56
6. Luas Lahan Sawah Responden …..…………….………..…. 57
7. Laju Luasan Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur . 59
8. Tren Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006-2010 ………………………………….……….. 64
9. Tren Perubahan Luas Lahan Tegalan dan Kebun Campuran Tahun 2001-2010 ..................................................................... 71
10. Kondisi Sampah di Desa Kondangjaya Tahun 2012 …......... 90
11. Kondisi Udara di Desa Kondangjaya Tahun 2012 ……….... 91
12. Perolehan Air Responden di Desa Kondangjaya …………... 93
13. Kualitas Air di Desa Kondangjaya Tahun 2012 ………….... 94
14. Kejadian Banjir di Desa Kondangjaya Tahun 2012 .………. 95
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Daftar Kebutuhan Data, Jenis Data, Sumber Data .……..……. 105
2. Peta Kabupaten Karawang ........................................................ 106
3. Laju Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur .......... 107
4. Jumlah Penduduk Kecamatan Karawang Timur 2006-2010 ..... 107
5. Penurunan Luas Lahan Sawah Kabupaten Karawang .............. 107
6. Data Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah ....................................................................... 108
7. Data Pendapatan Sebelum dan Sesudah Melakukan Alih Fungsi Lahan ............................................................................ 109
8. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah ...………………………………..... 111
9. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani ..........………………………....…...... 115
10. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Total ..…... 117
11. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Usaha Tani . 118
12. Dokumentasi Penelitian ............................................................ 119
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis
utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah
memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, seperti peningkatan
ketahanan nasional, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan
masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB),
perolehan devisa melalui ekspor-impor, dan penekanan inflasi.
Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor
kedua setelah sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi besar
terhadap peningkatan PDRB Indonesia. PDRB merupakan salah satu indikator
yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 1. dimana pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan pada tahun 2010 dan 2011 menyumbang masing-masing sebesar Rp
985,40 triliyun dan Rp 1.039,50 triliyun. Sumbangan sektor pertanian ini naik
sebesar Rp 54,10 triliyun. Jika berdasarkan harga konstan, pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan menyumbang sebesar Rp 304,70 triliyun dan Rp 313,70
triliyun. Sumbangan sektor pertanian berdasarkan harga konstan naik sebesar
Rp9,00 triliyun. Hal ini menunjukkan bahwa sector pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan masih memberikan sumbangan yang besar terhadap
pembangunan di Indonesia.
2
Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000.
Lapangan Usaha
Atas dasar harga berlaku
Atas dasar harga konstan
2000 2010 2011 2010 2011
Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
985,40 1093,5
304,7
313,7
Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3 186,6 189,2Industri pengolahan 1595,8 1803,5 597,1 634,2Listrik, gas dan air bersih 49,1 55,7 18,1 18,9Bangunan 660,9 756,5 150,0 160,1Perdagangan, hotel, restoran 882,5 1.022,1 400,5 437,2Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2 218 241,3Keuangan, persewaan, jasa perusahaan 466,6 535,0 221,0 236,1Jasa-jasa 654,7 783,3 217,8 232,5
Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1 2.313.8 2.463,2PDB Tanpa Migas 5936,2 6794,4 2.171 2.321,8
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)
Dalam menghadapi pembangunan, sektor pertanian masih terdapat banyak
persoalan besar yang harus diselesaikan, salah satu diantaranya adalah
permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang saat
ini terus mengalami peningkatan. Menurut Utomo (1992) Alih fungsi lahan atau
konversi lahan adalah berubahnya satu penggunanaan lahan ke penggunanaan
lahan lainnya. Banyak faktor baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi
terjadinya alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Sejalan
dengan adanya peningkatan jumlah penduduk serta meningkatnya kebutuhan
infrastruktur seperti, perumahan, jalan, industri, perkantoran, dan bangunan lain
menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi
yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang sangat cepat di beberapa sektor
ekonomi. Pertumbuhan tersebut juga membutuhkan lahan yang lebih luas
sehingga terjadi peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara
3
ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan
lahan. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan umumnya adalah lahan-lahan
pertanian karena land rent (sewa lahan). Menurut Barlowe, sewa ekonomi lahan
(land rent) mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh oleh satu bidang
lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Land rent
lahan pertanian relatif lebih tinggi penggunaannya untuk non-pertanian
dibandingkan dengan lahan pertanian yang dikelola oleh petani (Putri 2009).
Fenomena alih fungsi lahan pertanian merupakan dampak dari
transformasi sruktur ekonomi (pertanian ke industri), dan demografi (pedesaan ke
perkotaan) yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari
pertanian ke non-pertanian (Supriyadi 2004). Persoalan ini harus dicarikan solusi
pemecahannya karena melihat juga dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi
lahan ini dapat merugikan petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah akan
mempengaruhi produksi beras yang mana merupakan makanan pokok masyarakat
Indonesia sehingga akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian saat
ini terjadi sangat pesat di beberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa.
Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa sebesar 54 persen lebih tinggi
dibandingkan Pulau Sumatera sebesar 38 persen dan beberapa daerah di seluruh
wilayah Indonesia (Anugrah 2005). Dalam sepuluh tahun terakhir, konversi lahan
sawah di sentra utama penghasil beras Indonesia yakni Pulau Jawa, rata-rata lebih
dari 22.000 hektar/tahun (Sumaryanto et all 2006), dan Karawang sebagai salah
4
1600000
1700000
1800000
1900000
2000000
2100000
2200000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Jum
lah
Pend
uduk
jumlah penduduk
1600000
1700000
1800000
1900000
2000000
2100000
2200000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Jum
lah
Pend
uduk
jumlah penduduk
satu wilayah penyumbang beras tertinggi khususnya di Jawa Barat sampai saat ini
tetap mengalami alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.
Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami alih fungsi lahan
pertanian adalah kabupaten Karawang. Wilayah ini juga terkenal sebagai lumbung
padi nasional. Kabupaten Karawang menjadi penghasil padi terbesar ketiga
setelah Indramayu dan Subang di Jawa Barat1. Selain itu, lahan pertanian terutama
lahan sawah cukup luas. Sebesar 55,62 persen luas wilayah Kabupaten Karawang
merupakan lahan sawah. Namun, Kabupaten Karawang merupakan wilayah yang
rawan akan masalah lahan, terutama karena adanya kawasan industri serta
pemukiman penduduk. Adanya pertambahan jumlah penduduk Kabupaten
Karawang setiap tahun dengan laju rata-rata setiap tahun sebesar 1,75 persen
menyebabkan kebutuhan baik pemukiman maupun perumahan terus meningkat.
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang 2011 (diolah)
Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang Tahun 2001-2010
Selain itu, kemudahan akses serta letak geografis yang berada di dua kota
besar yaitu Jakarta dan Bandung mengakibatkan daerah ini menjadi daerah
penyangga yang strategis untuk menjadi salah satu pusat perekonomian sehingga
1 www.BPS.go.id. Diakses pada tanggal 14 Februari 2012 pukul 20.00
5
sektor-sektor ekonomi pun menjadi tumbuh (Sandi 2009). Sejak dibangunnya
jalan tol Jakarta-Cikampek telah menjadikan kabupaten Karawang sebagai salah
satu lokasi strategis untuk kegiatan industri (Jamal 1999).
1.2 Rumusan Masalah
Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi selama ini di
Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Adanya alih
fungsi lahan justru menimbulkan dampak negatif karena dapat menurunkan hasil
produksi pertanian dan daya serap tenaga kerja sehingga akan berpengaruh
terhadap keberlanjutan hidup petani. Namun, potensi dampak yang akan terjadi
kurang diperhatikan masyarakat ataupun pemerintah dan upaya untuk
pengendalian terhadap alih fungsi lahan sepertinya diabaikan. Inilah yang menjadi
konsentrasi pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah
Kabupaten Karawang terutama di wilayah Kecamatan Karawang Timur.
Perkembangan Kabupaten Karawang telah mengakibatkan terjadinya
persaingan dalam penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permintaan lahan dimana luas lahan tetap, yaitu seluas 175.327 hektar. Sebagai
konsekuensi dari hal ini maka terjadilah alih fungsi lahan pertanian. Berdasarkan
data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2011) menunjukkan
bahwa secara umum luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi dari tahun
2001-2010 mencapai 346,9 hektar atau 34,69 hektar per tahun2.
Perubahan penggunaan lahan dilakukan pada lahan pertanian yang
bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan industri
maupun pemukiman. Penetapan zonasi wilayah diatur pada Peraturan Daerah
2 Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2011)
6
Kabupaten Karawang mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 berdasarkan perda no 19
tahun 2004 memiliki zonasi industri lebih besar dibandingkan RTRW Kabupaten
Karawang sebelumnya, yaitu 1999 (Ervani 2011).
Perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan non-pertanian di
Kabupaten Karawang tidak saja menghilangkan kesempatan dalam memproduksi
padi dan komoditas pertanian lainnya, namun juga menghilangkan kesempatan
usaha yang akan mengancam kelangsungan hidup petani. Sebanyak 61,9 persen
penduduk Kabupaten Karawang bergerak di bidang usaha pertanian dengan
presentasi buruh tani sekitar 59,43 persen3. Akibat adanya alih fungsi lahan ini,
banyak petani yang kehilangan mata pencahariaannya. Sebagian besar dari
mereka beralih dari petani pemilik menjadi petani penggarap ataupun beralih
profesi menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap
pendapatan petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
Petani yang sebelumnya sangat bergantung pada sektor pertanian sebagai
mata pencahariannya kini banyak diantara mereka tidak bisa bertani kembali.
Selain itu, bertambahnya wilayah terbangun (built up area) menyebabkan muka
tanah yang merupakan peresapan akan jauh berkurang luasannya (Achard et
al.1987) dalam (Barbier 1999). Rendahnya daya resapan air menyebabkan
peningkatan aliran air permukaan. Tingginya aliran permukaan akan
menyebabkan terjadinya banjir. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap
kondisi lingkungan wilayah sekitar.
3 www.pelitakarawang.com “Wilayah Lumbung Padi Karawang” . Diakses pada tanggal 14 Februari 2012 pukul 21.30
7
Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu wilayah yang
mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang. Pada tahun 2011,
wilayah ini mengalami alih fungsi lahan tertinggi mencapai 254,60 hektar
berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten
Karawang. Lahan yang mengalami alih fungsi sebagian besar adalah lahan sawah
produktif. Saat ini luas lahan pertanian khusunya lahan sawah sebesar 69,8 persen.
Namun seiring dengan adanya pembangunan, banyak lahan yang beralih fungsi
terutama untuk pembangunan perumahan.
Sejak adanya penetapan RTRW tahun 2004, Kecamatan Karawang Timur
terus mengalami pembangunan. Wilayah ini memiliki peluang yang tinggi untuk
investor dalam menanamkan modalnya karena wilayah ini merupakan pusat bisnis
dan tata niaga. Selain itu, wilayah ini juga merupakan pusat kota dari
pemerintahan Kabupaten Karawang dan pintu gerbang ibu kota Jakarta. Hal
tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur,
khususnya Desa Kondangjaya.
Desa Kondangjaya merupakan desa yang mengalami alih fungsi lahan
pertanian paling tinggi di Kecamatan Karawang Timur. Sebagian besar lahan di
wilayah ini merupakan lahan sawah. Pada tahun 2011, lahan pertanian khususnya
sawah yang mengalami alih fungsi seluas 130 hektar. Lahan yang dialihfungsikan
berupa lahan sawah produktif, yakni lahan sawah irigasi teknis. Saat ini, luas
lahan sawah di Desa Kondangjaya hanya tinggal 33 persen dari luas wilayah4.
Pembangunan di wilayah ini lebih banyak untuk perumahan. Banyak
kontraktor perumahan (developer) yang membangun perumahan karena wilayah
4 Kantor Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, 2011
8
ini sangat strategis, dekat dengan pusat Kabupaten Karawang dan dekat dengan
jalan alternatif (By Pass). Namun, penggunaan lahan sawah yang dilakukan
developer menimbulkan banyak dampak, terutama terhadap lingkungan dan
pendapatan yang dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya.
Berikut nama-nama perusahaan atau developer dari perumahan yang di bangun
diatas lahan sawah di Desa Kondangjaya:
Tabel 2. Nama Perusahaan Perumahan di Desa Kondangjaya 2000-2011
Nama Perusahaan Luas (Hektar)
PT Trimertta Griya Lestari 8,19
PT Tawakal Griya Husada 6,32
PT Griya Tata Mandiri 7,20
PT Tawakal Griya Husada 11,00
PT Cipta Cakti Carono 3,10
PT Sinar Kompas Utama 10,00
PT Daun Permata Mulia 10,00
PT Ristia Bintang Mahkota Sejati Tbk 15,00
HENDRIK UTAMA 5,12
PT Perkasa Internusa Mandiri 150,00
PT Duta Bersama 40,00
PT Arrayan Nusantara Development 300,00
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2011
Berdasarkan Tabel 2, pembangunan perumahan-perumahan di lahan sawah
tetap dibiarkan atau diberikan izin oleh pemerintah daerah. Padahal adanya
pembangunan di lahan sawah dapat memberikan dampak terhadap lingkungan.
Dampak lingkungan dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya,
yaitu, udara yang mulai tercemar, air yang mulai sulit diperoleh, serta ancaman
terhdadap banjir.
Pergeseran penggunaan lahan dari lahan sawah ke non-pertanian di Desa
Kondangjaya menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan dan pergeseran mata
9
pencaharian penduduk. Pada awalnya sebagian besar penduduk berprofesi sebagai
petani, namun saat ini hanya 19,40 persen penduduk yang memiliki mata
pencaharian di bidang pertanian. Saat ini, sebagian besar penduduk memiliki mata
pencaharian di bidang perdagangan, industri, wiraswasta, dan jasa seperti tukang
ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh penduduk
sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan di Desa Kondangjaya. Kondisi
ini menggambarkan bahwa terjadinya alih fungsi lahan sawah justru merugikan
petani.
Berdasarkan berbagai kenyataan dan permasalahan di atas maka rumusan
masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian?
3. Bagaimana dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa
Kondangjaya?
4. Bagaimana dampak akibat alih fungsi lahan terhadap lingkungan di Desa
Kondangjaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hasil uraian rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengkaji laju alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Karawang Timur.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pada
tingkat wilayah maupun tingkat petani.
3. Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di
Desa Kondangjaya.
10
4. Menganalisis dampak lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian di
Desa Kondangjaya.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sarana dalam
mengaplikasikan ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi sumberdaya
dan lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut
Pertanian Bogor.
2. Bagi pemerintah, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan
kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan pembangunan
pertanian.
3. Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih
Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi
Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang)
diperlukan batasan penelitian agar lebih fokus dalam penelitian. Adapun
pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dilakukan di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang
Timur, Kabupaten Karawang.
2. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan sawah di Kecamatan
Karawang Timur.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor
yang mempengaruhi alih fungsi lahan ditingkat wilayah dan faktor-faktor
11
yang mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan
pertanian.
4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah
tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan
pertanian khususnya lahan sawah.
5. Dampak lingkungan yang dinilai dari dampak yang dirasakan langsung
oleh masyarakat dilihat dari kondisi udara, air, sampah, dan banjir.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Pertanian
Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki
banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup, tempat mencari
nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir
semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian,
kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.
Lahan mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang
memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan
sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi
makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk
mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu
negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang
saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang
tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerinntah dalam
memanfaatkan lahan.
Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan
pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia.
Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa manfaat lahan
pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai
penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini
dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada
sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai
intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan
13
sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari
pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini.
Salah satu lahan pertanian yang banyak terdapat di Indonesia khusunya
Pulau Jawa adalah lahan sawah. Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan
yang untuk pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu, lahan
sawah selalu memiliki permukaan datar atau yang didatarkan dan dibatasi oleh
pematang untuk menahan air genangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat 2003).
Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto et al
(2005) bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat
berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali
keseimbangan tata air, pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan
yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang
berasal dari gas buangan.
2.2 Alih Fungsi Lahan pertanian
Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan
semakin meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk
menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin banyaknya investor
ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, maka
semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Dipihak lain jumlah lahan yang
terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya beralih ke
penggunaan non-pertanian.
Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan isu yang perlu
diperhatikan karena ketergatungan masyarakat terhadap sektor pertanian.
14
Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan
ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi
lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi 2005). Menurut
Kustiawan (1997) alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut
transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke
penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar
perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan
jasa.
Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan
dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan
permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas
menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor faktor yang
mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah, faktor ekonomi,
faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan
teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan
pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang
disebabkan oleh perkembangan usia.
Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi
lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung
oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3: (a) untuk
pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan
pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti
pembangunan rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini
15
terjadi disembarang tempat, kecil-kecil, dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan
dengan pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk
jangka waktu lama.
Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik
menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non-
pertanian atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini
terjadi dalam hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi
positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap
eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.
Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat
sementara (Utomo 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi
kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen.
Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih
fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya
dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar
dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara.
2.3 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Di satu sisi alih fungsi lahan ini
menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa
konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang
kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat
alih fungsi lahan, antara lain:
16
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang
mengganggu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja
dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang
ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran.
Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan
sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya
berpotensi meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun
indusri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan
mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga
meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan
konflik sosial seperti penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang
terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru
yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah,
tidak memuaskan hasilnya.
Sumaryanto et al (2005) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari
konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional,
pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal.
Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem sawah, serta adanya
17
perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya
kriminalitas.
Menurut Firman (2005) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan
dampak langsung maupun dampak tidak langsung. Dampak langsung yang
diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur,
hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan
masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa
inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.
Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap
lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-petanian akan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Menurut Ruswandi et al
(2007) secara faktual alih fungsi lahan atau konversi lahan menimbulkan beberapa
konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan
tata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit.
Furi (2007) menjelaskan bahwa konversi lahan atau alih fungsi lahan yang
terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan
dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan
pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator
kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan
menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi
modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke
sektor non-pertanian (sektor informal).
18
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan
pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut
Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi
lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu
faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan
konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat
petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan
alih fungsi.
Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan sawah secara tidak langsung
dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus
urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan secara
tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi,
pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran
lahan sawah.
Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan
struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan
pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus
urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah
kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan
ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah.
19
Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah terjadi
peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap perekonomian dapat mempercepat
perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan. Selanjutnya, perubahan
struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya pertumbuhan
ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat terjadinya struktur
ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor non-pertanian lainnya.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih
fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain:
1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah
meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup
masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.
2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non-
pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani
disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian
relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga
petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga
lainnya.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum
skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan.
Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non-
pertanian.
20
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law
Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.
Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada
faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu
(1) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan,
demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke
penggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial
ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya
kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah.
Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi
dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih
sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas,
koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undang-
undang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakan hukum yang masih lemah.
Menurut Winoto (1996) dalam hasil penelitiannya alih fungsi lahan sawah
ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada
seperti halnya perubahan di dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem
ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-
faktor perkotaan menjelaskan 32,17 persen dan faktor demografis hanya
menjelaskan 8,75 persen.
2.5 Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 mengenai Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi,
21
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya
pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara
memberikan wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Menurut Widjanarko et al. (2006) ada tiga kebijakan nasional yang
berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
ialah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan
industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak
kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak
tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari
ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan
fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar
dan kota baru. Akibat penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang
mendorong minat petani menjual lahannya.
22
3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman
modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun
1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan
perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata
dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman
skala besar, maupun kawasan pariwisata.
Landasan Hukum dan Kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA,
antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-
undang ini merupakan penggantian dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 Tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa RTRW
mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang
kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan
industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan
fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat.
c. Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
d. Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Lahan Terlantar. Pasal 11 ayat (3b) yang berbunyi: ” tanah
yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang-perseorangan yang tidak
menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya atau tidak memelihara dengan baik atau tidak mengambil
langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi,
23
maka Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah
agar kepada pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah
menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya”.
e. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Pasal 6
ayat 1 yang berbunyi: ”izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan
mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah meliputi keadaan
hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah,
penggunaan tanah, serta kemampuan tanah”.
2.6 Penelitian Terdahulu
Solihah (2002) dalam penelitiannya bahwa terjadi penurunan luas lahan
sawah sebanyak 2.946 hektar di Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang
berpengaruh positif penurunan luas lahan jumlah penduduk, panjang jalan
kabupaten, dan sarana pendidikan. Serta faktor-faktor yang berpengaruh negatif
terhadap penurunan luas lahan adalah produktivitas tanaman padi sawah. Dalam
menganalisis faktor-faktor ini menggunakan analisis regresi berganda. Kemudian
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani adalah pendidikan,
kepala keluarga, jumlah tangungan, persentase pendapatan usaha tani padi
terhadap pendapatan total petani, jarak lahan dari pusat pertumbuhan ekonomi,
dan pengaruh tetangga yang melakukan alih fungsi lahan. Dalam menganalisis
faktor-faktor di tingkat petani menggunakan analisis fungsi logit.
Ruswandi (2005) dalam penelitianya bahwa terjadi konversi lahan
pertanian di Kecamatan Lembang dan Parompong sebesar 3.134,39 hektar dengan
laju sebesar 2,96 persen per tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi konversi
24
lahan pertanian adalah kepadatan petani pemilik 1992, kepadatan petani non
pemilik 1992, jumlah masyarakat miskin, jarak desa ke kota kecamatan, luas
lahan guntai dari luas wilayah desa tahun 1992, dan peningkatan persentase luas
lahan guntai. Dalam menganalisis faktor-faktor ini digunakan analisis regresi
berganda. Secara umum konversi lahan berpeluang menurunkan kesejahteraan
petani yang dianalisis dengan metode logistik binari.
Barokah et al (2010) dalam penelitiannya Dampak Konversi Lahan
Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Di Kabupaten Karanganyar
menjelaskan bahwa terjadi perubahan alih fungsi lahan pertanian menyebabkan
penurunan luas lahan pertanian di wilayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa selama kurun waktu 12 tahun dari 1998-2010 telah terjadi perubahan
fungsi lahan sawah 0,120 hektar per rumah tangga petani, proporsi pendapatan
usahatani berkurang 8,30 persen dari 42 persen menjadi 33,7 persen dan proporsi
pendapatan luar usahatani meningkat 10,30 persen dari 54 persen menjadi 64,30
persen). Berdasarkan hasil analisis uji t dengan α = 5 persen menunjukkan
pendapatan rumah tangga petani sebelum konversi tidak sama dengan sesudah
konversi lahan pertanian (pendapatan bertambah Rp 1.482.000 per tahun). Metode
yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan pendapatan
digunakan uji beda rata-rata.
Sitorus (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa telah terjadi
konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor sebesar 2.520,40 hektar dengan laju
konversi 81,95 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
lahan sawah adalah PDRB sektor bangunan dan harga GKG. Analisis data yang
digunakan adalah analisis regresi linear berganda.
25
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi
pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong
perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Perkembangan sektor ekonomi
mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai
ekonomi lebih tinggi. Pertumbuhan sektor ekonomi yang paling terlihat adalah
industri. Pertumbuhan sektor industri menyebabkan lahan untuk kebutuhan
industri semakin meningkat. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian
khususnya lahan sawah kini berubah menjadi bentuk lain yang memiliki nilai
ekonomi lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat
maka kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana dan prasarana untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari juga meningkat. Peningkatan kebutuhan tempat
tinggal membutuhkan jumlah lahan yang luas sehingga permintaan akan lahan
meningkat. Keberadaan lahan yang sifatnya relatif tetap, sedangkan permintaan
atas sumberdaya lahan meningkat mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian ke non-pertanian. Alih fungsi lahan bisa terjadi alami atau alih fungsi
lahan buatan yang telah direncanakan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW).
Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di
sektor non-pertanian seperti, industri, perumahan, dan lain-lain. Hal ini
mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan. Penyempitan pada lahan akan
berdampak langsung terhadap volume produksi padi yang dilakukan petani di
wilayah tersebut. Penyempitan lahan ini juga akan berdampak pada kondisi
ekonomi petani. Petani yang pada awalnya merupakan petani pemilik kini secara
26
perlahan mereka mulai berubah kedudukannya menjadi petani penggarap, buruh
tani, pengangguran ataupun pindah ke pekerjaan lain. Hal ini tentunya
menggambarkan bahwa telah terjadinya transformasi dari sektor pertanian ke non-
pertanian. Adanya transformasi ini disebabkan karena dalam usaha pertanian,
lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah produksi. Penurunan
volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian dan
pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
juga akan berpengaruh juga terhadap kondisi lingkungan secara fisik, seperti:
banjir, kekurangan air, dan pencemaran air. Hal ini akan berpengaruh terhadap
kondisi lingkungan masyarakat.
Adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun faktor
yang mempengaruhi di tingkat petani. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan di tingkat wilayah, yaitu faktor yang secara tidak secara langsung
mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang
mempengaruhi alih fungsi di tingkat petani, yaitu faktor yang secara langsung
mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan.
Skema faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan
dampaknya terhadap pendapatan petani ditampilkan secara sederhana dalam
Gambar 2.
27
Pembangunan sektor ekonomi
Gambar 2. Diagram Alur Pikir
Laju Alih Fungsi Lahan
Pertanian
Dampak Ekonomi
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dampak Lingkungan
Rekomendasi Kebijakan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan
Perubahan Pendapatan Petani
Menurunnya Kondisi Lingkungan
Peningkatan Kebutuhan Pemukiman
Peningkatan Kebutuhan Lahan Industri
Pertumbuhan Penduduk
28
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kecamatan
Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas
wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan
kawasan industri berskala kecil berdasarkan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Karawang. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu, wilayah ini juga merupakan
pusat pemerintahan Kabupaten Karawang sehingga memberikan implikasi
terjadinya perubahan tata guna lahan.
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel Desa Kondangjaya.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atau disebut juga
judgemental sampling karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang
mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang pada tahun 2011.
Proses pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan Februari
hingga April 2012.
4.2 Jenis dan Sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, dampak lingkungan dari alih
fungsi lahannya, serta dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap pendapatan
petani. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dari pemilik lahan
baik melalui kusioner maupun melalui wawancara mendalam. Data sekunder
digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan dan faktor-faktor yang
29
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah dengan menggunakan data
time series 2001– 2010. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)
nasional, BPS kabupaten Karawang, Dinas Pertanian, kehutanan, perkebunan, dan
Peternakan Kabupaten Karawang, Kantor Kecamatan Karawang Timur, dan
Kantor Desa Kondangjaya, Bappeda Kabupaten Karawang dan dinas-dinas terkait
lainnya. Data sekunder berupa data kebijakan alih fungsi lahan yang berlaku,
harga lahan, dan kependudukan, serta data-data lain yang di anggap mendukung
dalam menjawab pertanyaan penelitian.
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sample yang dilakukan kepada petani pemilik lahan yang
mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan dilakukan
secara purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan bentuk dari
non-probability sampling method. Penelitian dilaksanakan menggunakan metode
sampling non-probability disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang
akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Sampel pada sampling tidak acak akan
menyebabkan populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama
untuk dipilih sebagai sampel.
Responden dalam penelitian ini adalah petani setempat yang lahan usaha
taninya pernah mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi
lahan. Penelitian yang dilaksanakan mengambil responden berjumlah 40
responden. Penetapan sampel ini disasarkan pada pendapat Bailey dalam Hasan
(2002) yang menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang menggunakan
analisis data statistik ialah 30 responden dimana populasi menyebar normal.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu
30
yang juga mewakili karateristik tertentu, jelas, dan lengkap yang bisa dianggap
bisa mewakili populasi.
Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dengan
bantuan kuisioner kepada responden. Responden merupakan pihak yang
memberikan informasi dan dapat mewakili dalam menjawab permasalahan
penelitian.
4.4 Metode dan Prosedur Analisis Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis, yaitu metode analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan dengan
tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi atas data dan informasi pada
tabulasi data. Kemudian metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui
laju alih fungsi lahan, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan, mengetahui dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan
lingkungan. Metode analisis kuantitatif menggunakan persamaan laju alih fungsi
lahan, analisis regresi berganda, analisis regresi logistik. dan analisis uji beda rata-
rata.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan
komputer dengan program microsoft office exel 2007 dan Statistical Program and
Service Solution (SPSS) 20.0.
4.4.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi
yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang
berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap,
31
pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena
(Withney 1960) dalam (Nazir 2005). Data yang diperoleh dari hasil penelitian
kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan
tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan.
2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari
kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah
interpretasi data.
3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran
yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi
interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.
Dengan menggunakan analisis deskriptif ini maka akan diperoleh gambaran
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan
dampaknya terhadap pendapatan petani.
4.4.1 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan
Dalam penghitungan laju alih fungsi lahan pertanian digunakan persamaan
alih fungsi lahan yang digunakan oleh sutandi (2009) dalam Astuti (2011). Laju
alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi lahan
secara parsial. Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan sebagai
berikut:
.................................................................................. (4.1)
32
dimana:
V = laju alih fungsi lahan (%)
Lt = Luas lahan tahun ke-t (ha)
Lt-1 = Luas lahan sebelumnya (ha)
Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan melalui selisih antara luas
lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya (t-1). Kemudian dibagi
dengan luas lahan tahun sebelumnya dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini
dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi
lahan setiap tahun.
4.4.1 Analisis Regresi Linear Berganda
Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat
alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linear berganda.
Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan
tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih). Tujuan dari analisis
regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu variabel. Metode ini sebenarnya
menggambarkan hubungan antara peubah bebas atau independent (Y) dengan
peubah tak bebas atau dependent (X) dan sering disebut dengan peubah penjelas.
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan
di tingkat wilayah adalah:
1. Laju Pertumbuhan Penduduk (persen)
Jumlah penduduk mempengaruhi permintaan lahan. Semakin meningkat
jumlah penduduk maka permintaan lahan terutama untuk pembangunan
perumahan akan semakin tinggi sehingga mendorong penurunan luas
lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang semakin tinggi.
33
2. Jumlah Industri (unit)
Adanya peningkatan jumlah industri mendorong terjadinya peningkatan
permintaan lahan. Semakin tinggi jumlah industri maka semakin tinggi
penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi.
3. Produktivitas Lahan Pertanian (ton/ha)
Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka diduga akan
meningkatkan penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan karena
lahan dianggap memiliki opportunitunity cost.
4. Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah (persen)
Peningkatan luas lahan sawah karena adanya pencetakan sawah baru
menyebabkan terjadinya pembangunan yang dilakukan di atas lahan sawah
akan semakin besar. Semakin luas proporsi luas lahan sawah terhadap luas
wilayah maka akan semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih
fungsi lahan yang terjadi.
5. Kebijakan pemerintah (dummy)
Adanya kebijakan pemerintah mengenai tata ruang wilayah pada saat ini
dan saat tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk membedakan
penggunaan lahan pertanian berdasarkan kebijakan tata ruang wilayah saat
ini dan tahun sebelumnya. Adanya perubahan kebijakan menyebabkan
terjadinya peningkatan penggunaan lahan sawah untuk keperluan non-
pertanian.
Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:
Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5D + ε ........................................... (4.2)
34
Tanda yang diharapkan:
β1 > 0
β2 > 0
β3 < 0
β4 > 0
D > 0
Dimana:
Y = Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan (m2 )
α = Intersep
Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan
βi = Koefisien Regresi
D = Dummy
ε = Eror Term
Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang
didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode least
square adalah menduga koefisien regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan
(error). Ordinary least square (OLS) dapat menduga koefisien regresi dengan
baik karena: (1) memiliki sifat tidak bias dengan varians yang minimum (efisien)
baik linear maupun bukan, (2) konsisten, dangan meningkatknya ukuran sampel
maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi yang sebenarnya, serta (3) β0
dan β1 terdistribusi secara normal (Gujarati 2002).
Model ini mencangkup hubungan banyak variabel terdiri dari satu variabel
dependent dan berbagai variabel independent. Penggunaan metode ini saling
terikat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Jika dijumpai bahwa saat satu
35
variabel terikat yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam
mempengaruhi variabel terikat itu bermacam maka bentuk hubungan antar
variabel pun juga akan berbeda. Dalam regresi linear berganda sifat hubungan
berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial.
Sebagai langkah awal pengujian dilakukan pengujian ketelitian dan
kemampuan model regresi. Pengujian model regresi diperlukan dalam penelitian
ini terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R-squared), Uji F,
dan Uji t.
Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh peubah-peubah dalam
persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian akan uji statistik
sebagai berikut:
1. Uji Koefisien Determinasi (R-squared)
Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel
dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R-squared
memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 < R-squared < 1. Jika nilai
R-squared bernilai nol maka artinya keragaman variabel dependen tidak dapat
dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai
satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat
diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). R-
squared dapat dirumuskan sebagai berikut:
....................................................................................................(4.3)
Dimana:
ESS = Explained of Sum Squared
TSS = Total Sum of Squared
36
2. Uji t
Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing
variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen
tersebut terhadap variabel dependennya. Adapun prosedur pengujiannya yang
diungkap Gujarati (2002):
H0 : β1 = 0
H0 : β1 ≠ 0
.................................................................................................... (4.4)
Dimana:
b = Parameter dugaan
βt = Parameter Hipotesis
Seβ = Standar error parameter β
Jika t hitung (n-k) < t tabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel berarti variabel
(Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika t hitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0
ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y)
3. Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independent atau
bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependent atau tidak bebas (Y).
Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002):
H0 = β1 = β2 = β3 = .... = βi = 0
H1 = minimal ada satu βi ≠ 0
..................................................................................... (4.5)
37
Dimana:
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKG = Jumlah Kuadrat Galat
k = jumlah variabel terhadap intersep
n = jumlah pengamatan/sampel
Apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti
bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas
(Y). Sedangkan apabila F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti bahwa variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel (Y).
Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik. Jika
tidak baik maka akan mempengaruhi interpretasinya. Interpretasi ini menjadi tidak
benar apabila terdapat hubungan linear antara variabel bebas (Chatterjee and price
dalam Nachrowi et all 2002) Namun, agar diperoleh model regresi linear
berganda yang baik, maka model harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear
Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji
asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk
mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan kemudian dilakukan
uji penyimpangan asumsi.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah model tersbut baik atau
tidak. Model dikatakan baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir
normal. Uji yang dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.
Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut:
H0 : Error term terdistribusi normal.
38
H1 : Error term tidak terdistribusi normal.
Dengan kriteria uji :
Jika P-value < α maka tolak H0
Jika P-value > α maka terima H0
Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan
persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji
Kolmogorov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak
terdapat pebedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal
baku, artinya data tersebut normal.
b. Uji Autokorelasi
Menurut Nachrowi et all (2002), Autokorelasi adalah adanya korelasi
antara variabel itu sendiri, pada pengamatan berbeda waktu dan individu.
Umumnya, kasus autokorelasi terjadi pada data time series. Ada beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi. Salah satu cara
yang digunakan adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Uji ini hanya digunakan
untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan
adanya intercept dalam model regresi dan tidak ada variabel lag diantara variabel
penjelas. Jika pengujian autokorelasi diabaikan, maka akan berdampak terhadap
pengujian hipotesis dan proses peramalan. Besarnya nilai statistik DW dapat
diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002):
.........………………………………………...... (4.6) Dimana:
d = statistik Durbin-Watson
ut dan ut-1 = Gangguan estimasi
39
Pengambilan keputusannya:
− Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka
koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi
positif.
− Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lower bound (dl),
maka koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, berarti ada
autokorelasi positif.
− Jika DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil
dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif.
− Jika nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih
kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
− Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW
terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
c. Uji Multikolinearitas
Jika suatu model regresi berganda terdapat hubungan linear sempurna
antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut
mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan R-
squared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Ada
berbagai cara untuk menentukan apakah suatu model memiliki gejala
multikolinearitas. Salah satu cara yang digunakan adalah uji Varian Infiaction
Factor (VIF). Cara ini sangat mudah, hanya melihat apakah nilai VIF untuk
masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar
dari 10 maka diindikasikan model tersebut mengalami multikolinearitas.
40
Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka diindikasikan bahwa model tersebut
tidak mengalami multikolinearitas yang serius.
d. Uji Heteroskedastisitas
Asumsi penting dari regresi linear klasik adalah bahwa gangguan yang
muncul dalam fungsi regresi adalah heteroskedastisitas. Menurut Juanda (2009),
heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan ke-
i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Masalah heteroskedastisitas
biasanya sering terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi
heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dilakukan
dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogeny pada peubah respon
hasil transformasi tersebut. Namun, dalam mendeteksi terjadinya
heteroskedastisitas dalam model dapat digunakan juga metode grafik (Nachrowi et
all 2002). Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser. Uji Glejser
dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolute
residualnya (Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejser lebih besar
dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.
4.4.2 Analisis Regresi Logistik
Dalam mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam
mengalihfungsikan lahan sawah digunakan analisis regresi logistik. Menurut
Nachrowi et all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam
paramater maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi
peluang logistik yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009):
....................................... (4.7)
41
Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718...).
Kemudian dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan dapat ditunjukkan
menjadi:
................................................................................................. (4.8)
Peubah Pi / 1 – Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yang
sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang
terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter
model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML).
Jika persamaan ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:
................................................... (4.9)
Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:
= Z = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + ε ...... (4.10)
Dimana:
Z = Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)
α = Intersep
Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan
βi = Koefisien Regresi
ε = Eror Term
Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam
mengalihfungsikan lahan, antara lain:
42
1. Tingkat Usia (Tahun)
Tingkat usia menunjukkan produktivitas seseorang dalam bekerja.
Semakin tinggi usia seseorang maka produktivitas dalam bekerja akan
semakin menurun. Hal ini akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan
yang dilakukan.
2. Lama Pendidikan Petani (Tahun)
Lama pendidikan diduga berpengaruh terhadap keputusan petani dalam
melakukan alih fungsi lahan. Lama pendidikan menunjukkan tingkat
pendidikan yang dicapai. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka
akan semakin bijaksana dalam pengambilan keputusan alih fungsi lahan.
3. Luas Lahan (Hektar)
Petani yang memiliki ukuran lahan yang luas cenderung untuk
mempertahankan lahannya karena semakin luas lahan maka usaha tani
akan semakin efisien dan relatif lebih besar keuntungannya. Semakin luas
lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin kecil alih fungsi lahan yang
terjadi.
4. Proporsi pendapatan hasil usaha tani (Persen)
Semakin rendah pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani, maka
akan semakin tinggi peluang petani dalam melakukan alih fungsi lahan.
Jika pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani rendah maka ada
kecenderungan untuk memilih pendapatan di luar sektor pertanian dan
lahan yang dimiliki dialihfungsikan karena pendapatan usaha tani tidak
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
43
5. Jumlah tanggungan petani (Jiwa)
Jumlah tanggungan yang harus ditanggung petani mempengaruhi alih
fungsi lahan dimana semakin banyak jumlah tanggungan yang harus
ditanggung, maka alih fungsi lahan akan semakin tinggi. Semakin banyak
tanggungan yang dimiliki maka biaya yang dibutuhkan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari semakin banyak sehingga petani akan cenderung
untuk mengalih fungsikan lahannya.
6. Pengalaman bertani (Tahun)
Semakin lama petani pengalaman dalam bertani, maka akan semakin berat
dalam pengambilan keputusan untuk alih fungsi lahan. Hal ini disebabkan
karena semakin lama pengalaman bertani, maka keahlian yang dalam
bertani akan semakin tinggi sehingga petani akan cenderung untuk terus
mempertahankan lahannya.
7. Produktivitas (Ton/Ha)
Semakin tinggi tingkat produktivitas lahan maka keputusan petani untuk
melakukan alih fungsi lahan akan semakin rendah. Hal tersebut
disebabkan karena semakin tinggi produktivitas, pendapatan yang
diperoleh dari sektor pertanian akan semakin tinggi sehingga petani akan
cenderung mempertahankan lahannya.
Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan
pengujian. Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan
secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Dalam
hal ini pilihan yang digunakan untuk melakukan alih fungsi lahan atau tidak
melakukan. Pengujian parameter dilakukan dengan menguji semua parameter
44
secara keseluruhan dan menguji masing-masing parameter secara terpisah.
Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Odds Ratio
Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadi sukses (terjadinya pristiwa
y=1) terhadap peluang terjadi gagal (terjadinya pristiwa y=0) (Nachrowi et all.
2002). Odds ratio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang
sering ditemukan dalam epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk
melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit.
Nilai tersebut dapat diperoleh dari perhitungan eksponensial dari koefisien
estimasi (βi) atau exp (βj). Odds Ratio dapat didefinisikan sebagai berikut:
dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan
peluang tidak terjadinya peristiwa.
b. Likelihood Ratio
Likelihood Ratio merupakan suatu rasio kemungkinan maksimum yang
digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak (Hosmer dan
Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai likelihood ratio
adalah Uji G. Rumus umum Uji G adalah:
......................................................................................... (4.11)
Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li
merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran
chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G
> chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa
45
minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat
menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan.
4.4.3 Uji Beda Rata-rata
Perubahan pendapatan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga
petani sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan. Untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan tingkat pendapatan petani sebelum alih fungsi lahan dan
setelah alih fungsi lahan yang dimilikinya digunakan pendekatan perbedaan dua
rata-rata. Pengujian ini dilakukan dengan uji T-test baik untuk menguji data
sampel masing-masing jenis alih fungsi lahan maupun untuk menguji data sampel
secara keseluruhan (Sutrisno 1995).
Persamaan uji T adalah sebagai berikut:
................................................ (4.12)
Dimana:
X1 = Rata-rata pendapatan sebelum terjadinya alih fungsi lahan
X2 = Rata-rata pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan
n1 = Jumlah responden sebelum terjadinya alih fungsi lahan
n2 = Jumlah responden setelah terjadinya alih fungsi lahan
s1 = Standar deviasi sebelum terjadinya alih fungsi lahan
s2 = Standar deviasi setelah terjadinya alih fungsi lahan
Hipotesis:
H0 = X1 = X2
H1 = X1 ≠ X2
46
Apabila t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak
ada perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan.
Sedangkan apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada
perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan.
V. GAMBARAN UMUM
5.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang
Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa
Barat. Secara geografis, wilayah Kabupaten Karawang terletak antara 107002’ –
1070040’ Bujur Timur dan 5056 – 6034’ Lintang Selatan. Wilayah ini termasuk
daerah dataran yang relatif rendah dimana mempunyai variasi ketinggian wilayah
antara 0 – 1279 m di atas permukaan laut dengan kemiringan wilayah 0 – 20, 2 –
150, 15 – 400, dan diatas 400. Secara topografi, Kabupaten Karawang termasuk
daratan rendah yang relatif datar. Sekitar 94 persen memiliki tingkat kemiringan
lereng maksimum 8 persen dan 83,4 persen berada pada kisaran lereng 0 – 3
persen. Suhu rata-rata wilayah mencapai 270 C.
Luas wilayah Kabupaten Karawang 1.753,27 km2 atau 175.327 hektar.
Luas wilayah tersebut merupakan 3,73 persen dari luas provinsi Jawa Barat dan
memiliki laut seluas 4 mil x 84,23 km. Sebagian besar lahan di Kabupaten
Karawang merupakan lahan sawah yaitu sebesar 54 persen atau 94.311 hektar
yang terdiri dari lahan sawah irigasi teknis (88 persen), setengah teknis (4 persen),
irigasi sederhana (3 persen), irigasi desa (1 persen), dan tadah hujan (3 persen).
Sedangkan luas lahan kering di Kabupaten Karawang sebesar 81.016 hektar.
Secara umum, jenis tanah di Kabupaten Karawang terdiri dari alluvial terutama
pada lahan sawah dataran rendah, sedangkan untuk daerah pegunungan atau
berbukit-bukit terdiri dari podsolik dan latosol.
Pada tahun 2010 Kabupaten Karawang terdiri dari 30 kecamatan dengan
jumlah desa seluruhnya 297 desa dan 12 kelurahan (BPS 2010). Batas-batas
wilayah Kabupaten Karawang secara geografis sebagai berikut:
48
• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Jawa
• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Subang
• Sebelah Tenggara : Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta
• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur
• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
Jumlah penduduk Kabupaten Karawang 2.127.791 jiwa dengan kepadatan
penduduk 1.213,61 per km2. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian.
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 3
dibawah ini:
Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang
Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Presentase (%) Petani 587.878 29,19
Pedagang 529.078 26,27 Buruh pabrik 398.772 19,80 Penyedia jasa 234.229 11,63
Lainnya 263.834 13,10 Jumlah 2.013.800 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang (2009)
Potensi suatu daerah dapat dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di
daerah yang bersangkutan. Pola penggunaan lahan itu pun juga dapat
menggambarkan kondisi sosial ekonomi dari masyarakatnya.
Penggunaan lahan di Kabupaten Karawang dapat dibedakan menjadi lahan
untuk sawah irihasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana,
sawah non PU, sawah tadah hujan, lahan kering (tegalan), lahan untuk perumahan
dan pekarangan sekitarnya, tambak, kolam, lahan sementara tidak diusahakan,
lahan hutan, rawa-rawa dan perkebunan. Penggunaan lahan ini dapat dilihat pada
Tabel 4.
49
Tabel 4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010
5.2 Gambaran Wilayah Kecamatan Karawang Timur
Kecamatan Karawang Timur adalah salah satu kecamatan dari 30
kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Karawang. Kecamatan Karawang
Timur merupakan pemekaran dari Kecamatan Karawang, Kecamatan Klari, dan
Kecamatan Majalaya pada tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor: 2
tahun 2005 yaitu tentang Pembentukan kecamatan pada Daerah Kabupaten
Karawang dan diresmikan pada tanggal 29 Maret 2005 oleh Bupati Karawang.
Wilayah ini merupakan letak pusat pemerintahan Kabupaten Karawang.
Penggunaan Lahan Luas (Hektar)
Lahan Sawah Irigasi teknis 83.021Irigasi setengah teknis 3.853Irigasi sederhana 2.986Irigasi desa 1.179Tadah hujan 3.273Lahan bukan sawah Tegal/kebun 5.374ladang/huma 3.203Perkebunan 412Ditanami pohon/ hutan rakyat 1.566Tambak 13.264Kolam/ Tebet/ Empang 587Sementara tidak diusahakan 33Lainnya 10.704Lahan bukan pertanian Rumah, bangunan dan halaman 23.398Hutan negara 14.601Rawa-rawa 197Lainnya 7.367Total 175.327Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kab. Karawang
50
Kecamatan Karawang (kecamatan Karawang Timur) termasuk ke dalam
pusat pertumbuhan bersama kecamatan lain, yaitu Kecamatan Teluk Jambe, Tegal
sari, Pangkalan, Klari, dan Ciampel. Berdasarkan Perda Kabupaten Karawang No.
2 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, Kecamatan Karawang
diarahkan untuk pengembangan kawasan pemukiman skala besar dan skala
menengah. Selain itu, Kecamatan Karawang termasuk dalam zona industri dalam
skala kecil mengingat dominasi wilayah ini ditetapkan sebagai pusat pelayanan,
permukiman, perdagangan dan jasa.
Letak Geografis Kecamatan Karawang Timur berada terletak disebelah
timur Kabupaten Karawang dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Majalaya dan
Kecamatan Rawamerta;
• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Klari;
• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Telukjambe Timur;
• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Karawang Barat.
Luas Wilayah Kecamatan Karawang Timur adalah 2.697,980 hektar
terdiri dari lahan sawah seluas 1.882,790 hektar dan lahan darat seluas 875,190
hektar. Permukaan tanah Karawang Timur termasuk dataran tinggi yang terdiri
dari sebagian besar persawahan dengan ketinggian dari permukaan laut kurang
lebih 15 m. Suhu rata-rata maksimum 33 0C dan minimum 27 0C.
Secara administratif, Kecamatan Karawang Timur membawahi 4 Desa dan
4 Kelurahan meliputi 82 Rukun Warga (RW) dan 377 Rukun Tetangga (RT).
Jarak Kecamatan Karawang Timur ke ibu kota kabupaten lebih kurang 3 km. Desa
dan Kelurahan di Kecamatan Karawang Timur terdiri dari: Desa Margasari, Desa
51
Tegal Sawah, Desa Kondangjaya, Desa Warungbambu, Kelurahan Karang Wetan,
Kelurahan Adiarsa Timur, Kelurahan Palumbonsari, dan Kelurahan Plawad. Luas
wilayah masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas Desa di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010
Desa dan Kelurahan Luas (Km2) Margasari 2,80 Tegal Sawah 4,32 Kondangjaya 2,69 Warungbambu 1,20 Karang wetan 3,20 Adiarsa timur 2,31 Palumbonsari 4,02 Palawad 7,01
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2011
Kecamatan Karawang Timur memiliki kepadatan penduduk tertinggi
kedua dari seluruh kecamatan di Kabupaten Karawang, yaitu sebesar 3.963,76 per
km2. Jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 118.001 jiwa yang terdiri atas
61.643 laki-laki dan 56.358 perempuan. Jumlah rumah tangga yang berada di
kecamatan ini sebanyak 26.786 rumah tangga. Jumlah penduduk masing-masing
desa dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Penduduk Masing-Masing Kelurahan dan Desa di Kecamatan Karawang Timur
Desa dan Kelurahan Jumlah Penduduk Margasari 8.643 Tegal Sawah 5.134 Kondangjaya 15.642 Warungbambu 12.071 Karang wetan 29.870 Adiarsa timur 16.701 Palumbonsari 19.286 Palawad 10.654
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2011
52
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Karawang Timur sebagian
besar bergerak di sektor pertanian. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7
dibawah ini.
Tabel 7. Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Timur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah KK (Orang) Persentase (%) 1 Pertanian 4.157 15,00 2 Industri/Perdagangan 5.730 20,70 3 Wiraswasta 6.149 22,30 4 Jasa 5.123 18,50 5 Lain-lain 6.495 23,50
Jumlah 27.654 100,00 Sumber : BP3K Kecamatan Karawang Timur
Sebagian besar penduduk yang bergerak di bidang pertanian merupakan
petani penggarap/buruh tani. Kepemilikan lahan di Kecamatan Karawang Timur,
sebagian besar dimiliki oleh masyarakat diluar Karawang Timur bahkan di luar
Kabupaten Karawang.
Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Karawang yang terus mengalami alih fungsi lahan terutama lahan
pertanian ke non-pertanian. Sejak adanya pemekaran Kecamatan Karawang dan
RTRW 2004 yang menjadikan Kecamatan Karawang Timur sebagai kawasan
pemukiman menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Berdasarkan data dari
Dinas Pertanian, peternakan, dan kehutanan Kabupaten Karawang, Kecamatan
Karawang Timur pada tahun 2011 mengalami alih fungsi lahan sebesar 254,6
hektar. Alih Fungsi Lahan yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur dapat
dilihat pada Tabel 8.
53
Tabel 8. Data Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2011
No Kelurahan/Desa Luas Lahan Alih Fungsi (Hektar)
1 Margasari 20,002 Tegal Sawah 3,123 Kondangjaya 130,004 Warungbambu 12,005 Karang wetan 25,006 Adiarsa timur 4,007 Palumbonsari 60,008 Palawad 0,50
Jumlah 254,62Sumber : Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kab. Karawang 2011
5.2.1 Gambaran Umum Wilayah Desa Kondangjaya
Desa Kondangjaya merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Luas wilayahnya sebesar 269 hektar
yang terdiri dari lahan sawah irigsi teknis sebesar 33 persen atau 100 hektar, lahan
pemukiman 62 persen atau 166 hektar, dan lainnya 3 hektar. Desa ini terdiri dari
5 Rukun Warga (RW) dan 40 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk Desa
Kondangjaya mencapai 12.557 orang dengan jumlah laki-laki 6.779 orang dan
perempuan 5.778 orang. Kepadatan penduduk sebesar 1.000 per km.
Mata pencaharian penduduk Desa Kondangjaya cukup bervariasi.
Sebelumnya sebagian besar penduduk bekerja dibidang pertanian namun saat ini
akibat jumlah lahan pertanian terus berkurang sehingga banyak penduduk yang
beralih profesi. Mata Pencaharian penduduk Desa Kondangjaya dapat dilihat pada
Tabel 9.
54
Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk Desa Kondangjaya Tahun 2011 (Persen)
No Jenis Mata Pencaharian Persentase (%) 1 Pertanian 19,4 2 Industri/Perdagangan 22,3 3 Wiraswasta 24,2 4 Jasa 15,8 5 Lain-lain 18,3
Jumlah 100,00 Sumber : BP3K Kecamatan Karawang Timur 2012
Secara geografis, Desa Kondangjaya berbatasan dengan Desa Margasari
sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Anggadita, sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Klari, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Warungbambu. Adanya pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan
Klari sebagai Kawasan Industri dengan pusat kota menyebabkan pembangunan di
wilayah ini terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Dinas
Pertanian, peternakan, dan Kehutanan tahun 2011, Desa Kondangjaya mengalami
alih fungsi lahan pertanian tertinggi sebesar 103 hektar. Lahan-lahan sawah
tersebut dijadikan perumahan ataupun sektor jasa.
5.3 Karakteristik Umum Responden
Karakteristik responden di daerah penelitian ini diperoleh berdasarkan
survei yang dilakukan kepada 40 responden yang termasuk dalam petani yang
melakukan alih fungsi lahan sawah dan tidak melakukan alih fungsi lahan sawah.
Karakteristik umum tersebut terdiri dari tingkat usia, tingkat pendidikan, lama
bertani, dan luas lahan yang dimiliki.
55
5.3.1 Tingkat Usia
Tingkat usia menggambarkan perilaku kemampuan dalam berkerja.
Semakin tua seseorang menggambarkan kemampuan tubuhnya semakin lemah
dalam bekerja. Keadaan usia responden yang melakukan alih fungsi lahan sawah
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5, dibawah ini :
a. Alih Fungsi Lahan b. Tidak Alih Fungsi Lahan Sumber : Data Primer (Diolah)
Gambar 3. Tingkat Usia Responden Tahun 2012 (diolah)
Berdasarkan Gambar 3 diatas diperoleh bahwa sebagian besar responden
yang melakukan alih fungsi lahan adalah petani pada sebaran usia 51 – 60 tahun
sebesar 44 persen dan > 61 tahun sebesar 33,00 persen. Sisanya adalah responden
yang memiliki umur dibawah 50 tahun. Sedangkan bagi responden yang tidak
melakukan alih fungsi lahan memiliki sebaran umur 51-60 tahun sebesar 80
persen dan > 61 tahun sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar responden adalah petani yang memiliki usia cukup tua. Usia petani yang
cukup tua akan mempengaruhi kegiatan bertani. Kegiatan bertani akan berkurang
sehingga diduga mempengaruhi petani dalam melakukan alih fungsi lahan.
56
5.3.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan menentukan cara berpikir seseorang dalam
pengambilan keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan
menentukan sikap dan mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.
a. Alih Fungsi Lahan b. Tidak Alih Fungsi Lahan Sumber : Data Primer (Diolah)
Gambar 4. Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2012 (diolah)
Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa responden di Desa
Kondangjaya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebesar 77 persen
responden tidak tamat SD (Sekolah Dasar) dan 10 persen responden tamat SD.
Sedangkan responden yang mencapai tingkat pendidikan SMP (Sekolah
Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) masing-masing sebesar
10 persen dan 3 persen. Tingkat pendidikan yang rendah disebabkan karena
tingkat pendapatan yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk bersekolah.
Bagi responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan, tingkat pendidikan
tertinggi tamat SD sebesar 50 persen. Sedangkan responden yang tidak tamat SD
sebesar 40 persen dan tamat SMP 10 persen.
57
5.3.3 Lama Bertani
Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian berprofesi sebagai petani.
Kebanyakan dari mereka sudah menjadi petani sejak kecil. Kegiatan pertanian
sudah merupakan kegiatan turun temurun yang telah dilaksanakan. Lama bertani
menunjukkan seberapa lama petani telah melakukan kegiatan pertanian.
a. Alih Fungsi Lahan b. Tidak Alih Fungsi Lahan
Sumber : Data Primer (Diolah)
Gambar 5. Lama Bertani Responden Tahun 2012 (diolah)
Lama bertani bagi responden sangat bervariasi. Gambar 5 menunjukkan
bahwa sebesar 40 persen responden telah melakukan kegiatan bertani selama 31-
40 tahun dan 27 persen responden telah bertani selama 46-60 tahun. Kegiatan
bertani telah mereka lakukan sejak mereka SD ataupun lulus SD untuk membantu
orang tua mereka. Bagi petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan juga
memiliki pengalaman bertani yang cukup lama dilihat dari lama bertani. Sebesar
80 persen responden telah bertani selama 31-45 tahun.
5.3.4 Luas Lahan Sawah
Luas lahan yang dimiliki responden yang melakukan alih fungsi lahan dan
tidak melakukan alih fungsi lahan bervariasi. Kisaran luas lahan yang mereka
miliki dari 0,023 hektar sampai dengan lebih dari 1,00 hektar dengan rata-rata
58
kepemilikan 0,737 hektar. Namun, hampir seluruh luas lahan yang mereka miliki
dialihfungsikan.
a. Alih Fungsi Lahan b. Tidak Alih Fungsi Lahan
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 6. Luas Lahan Sawah Responden (diolah)
Berdasarkan Gambar 6 luas lahan yang dimiliki petani tergolong rendah.
Sebesar 57 persen responden memiliki lahan dengan luas 0,1 – 0,5 hektar.
Kemudian sebanyak 23 persen responden memiliki luas lahan 0,6 – 1,0 hektar dan
sisanya memiliki lahan seluas >1,0 hektar. Sedangkan bagi responden yang tidak
melakukan alih fungsi lahan memiliki lahan yang cukup luas. Sebesar 60 persen
responden memiliki lahan dengan luas > 1,0 hektar dan sisanya sebesar 40 persen
memiliki luas lahan 0,6 – 1,0 hektar.
59
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kecamatan Karawang Timur
Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan di Kecamatan
Karawang Timur terjadi hampir setiap tahun terutama pada lahan sawah.
Perubahan penggunaan lahan tersebut menjadi industri, pemukiman, maupun
sarana dan prasarana seperti restoran, bengkel, dan lain-lain. Secara umum
peruntukkan lahan di Kecamatan Karawang Timur adalah sawah, tegalan,
pekarangan, bangunan, kolam, dan lain-lain. Sebagian besar lahan yang ada di
wilayah ini merupakan lahan sawah yaitu sebesar 58,60 persen dari luas wilayah.
Laju alih fungsi lahan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Sumber : Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2011
Gambar 7. Laju Luasan Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006 – 2011
Gambar 7 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan jumlah lahan
sawah di Kecamatan Karawang Timur. Laju alih fungsi lahan sawah selama enam
tahun terakhir 2006-2011 sejak terbentuknya Kecamatan Karawang Timur
mengalami penurunan sebesar 0,47 persen. Adanya penambahan jumlah lahan
sawah pada tahun 2009 menyebabkan peningkatan drastis terhadap luas lahan
sawah di Kecamatan Karawang Timur. Berdasarkan Dinas Pertanian, Peternakan,
dan Kehutanan Kabupaten Karawang pertambahan luas lahan sawah disebabkan
1680170017201740176017801800182018401860
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Luas
Lah
an S
awah
Lahan Sawah
60
karena adanya perubahan lahan dari lahan kering ke lahan sawah seluas 3.387
hektar di Kabupaten Karawang yang dilakukan pada beberapa kecamatan salah
satunya Kecamatan Karawang Timur. Pertambahan luas lahan sawah oleh Dinas
Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang
dilakukan untuk mempertahankan kondisi Kabupaten Karawang sebagai lumbung
padi nasional.
Alih fungsi lahan paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar
254,60 hektar. Lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi adalah lahan
sawah irigasi teknis. Penurunan luasan lahan sawah menunjukkan bahwa
terjadinya pembangunan di sektor non-pertanian yang dilakukan pada lahan sawah
produktif. Sebagian besar lahan yang dialifungsikan dijadikan sebagai pemukiman
atau perumahan. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
(PERMENDAGRI) No 5 Tahun 1974 bahwa lokasi pembangunan kompleks
perumahan oleh perusahaan sedapat mungkin menghindari lahan pertanian subur
dan mengutamakan tanah yang kurang produktif.
Penambahan luas lahan sawah yang dilakukan pada tahun 2009 tidak
mampu dipertahankan oleh pemerintah daerah. Hal ini terbukti dari penurunan
yang sangat drastis luas lahan sawah sebesar 5,57 persen pada tahun 2011
(Gambar 9) dibandingkan tahun sebelumnya. Adanya Undang-Undang No 24
Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang sepertinya belum diaplikasikan sepenuhnya.
Dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa seharusnya dalam
penyusunan RTRW mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana
perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan,
pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian
61
atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan
terpusat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan yang mengalami
perubahan penggunaan merupakan lahan sawah. Dalam mengimplementasikan
peraturan dan kebijakan sepertinya pemerintah masih mengalami banyak kendala.
Pemerintah daerah menghadapi kendala dimana disatu sisi perlu memacu
pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan penduduk namun juga perlu
mempertahankan lahan sawah. Inilah yang menjadi masalah di Kecamatan
Karawang Timur dimana wilayah ini diperuntukan sebagai wilayah pemukiman
perkotaan, tetapi penggunaan lahan dilakukan di lahan sawah.
Dalam proses alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur
seringkali menyebabkan tumpang tindih kepentingan antara aktor-aktor terkait,
yaitu petani, pemerintah, dan pihak swasta atau pembeli. Pemerintah sebagai
pemberi izin, memberikan izin terhadap pembangunan yang disesuaikan dengan
tata ruang wilayah. Petani sebagai pemilik lahan seringkali merasa sebagai pihak
yang selalu dirugikan akibat adanya perubahan penggunaan lahan dan pihak
swasta selalu menjadi pihak yang diuntungkan. Adanya bujukan dari berbagai
pihak terutama makelar (calo) yang memaksa petani untuk menjual lahannya
seperti harga lahan serta masih dapatnya petani menggarap lahan yang dimiliki
selama lahan tersebut belum mengalami pembangunan menjadi pendorong
penjualan lahan oleh petani. Adanya keterpaksaan inilah yang pada akhirnya
merugikan petani. Petani menjadi kehilangan mata pencaharian.
Saat ini sebagian besar lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur
dimiliki oleh pihak swasta dan orang-orang di luar kecamatan ataupun kabupaten.
Wibowo (1996) dalam Irawan (2005) mengungkapkan bahwa pelaku pembelian
62
tanah biasanya bukan penduduk setempat sehingga mengakibatkan terbentuknya
lahan-lahan guntai yaitu lahan yang dimiliki oleh orang-orang di luar kecamatan
atau kabupaten yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Saat
ini, hanya 14,29 persen lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur yang dimiliki
oleh petani5. Sisa lahan sawah banyak dimiliki oleh pihak-pihak swasta dan
perseorangan diluar Kabupaten Karawang. Akan tetapi masih terdapat banyak
lahan yang belum mengalami pembangunan. Lahan-lahan yang belum mengalami
pembangunan tetap dibiarkan untuk digarap oleh petani dengan syarat bagi hasil.
Sistem bagi hasil yang banyak diterapkan oleh sebagian besar petani di
Kecamatan Karawang Timur adalah 1/3 dari hasil diberikan oleh pemilik dan
sisanya (2/3) dimiliki petani. Namun, saat lahan tersebut akan dibangun petani
harus mencari lahan baru. Inilah yang banyak merugikan petani akibat adanya alih
fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur.
Meskipun ada aturan bahwa adanya larangan penggunaan lahan sawah
untuk pembangunan non-pertanian. Namun, pembangunan terutama perumahan
atau pemukiman baik di lahan sawah ataupun lahan darat di Kecamatan Karawang
Timur tetap terjadi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang
RTRW bahwa kawasan ini memang dijadikan sebagai kawasan permukiman
perkotaan dan industri. Selain itu, Kecamatan Karawang Timur memiliki akses
jalan yang lebih mudah dan wilayah ini memang merupakan pusat Kabupaten
Karawang. Luas pemukiman yang terbangun di Kecamatan Karawang Timur
dapat dilihat pada Tabel 10.
5 Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Kecamatan Karawang Timur
63
Tabel 10. Luas Lahan Pemukiman (Bangunan, Pekarangan) di Kecamatan Karawang timur Tahun 2006-2011
Tahun Luas Lahan Pemukiman(Bangunan, Pekarangan)
2006 646 2007 1073 2008 873 2009 227 2010 227 2011 322
Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2011(diolah)
Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan luas lahan sawah
pada tahun 2009 menyebabkan penurunan luas lahan pemukiman yang sangat
drastis dengan laju 74,00 persen. Kemudian penurunan luas lahan yang terjadi
pada tahun 2011 di wilayah ini disebabkan karena adanya peningkatan luas lahan
pemukiman sebesar 41,85 persen.
Adanya pembangunan jalan karawang bypass dengan tujuan untuk
memudahkan jalur transportasi juga menjadi salah satu pemicu banyak investor
yang tertarik berinvestasi di bidang property atau perumahan di Kecamatan
Karawang Timur. Sampai tahun 2011, jumlah perusahaan yang membangun
perumahan di Kecamatan Karawang Timur terus bertambah. Namun, jumlah
perusahaan pembangun perumahan yang membangun diatas lahan sawah
mencapai 29 perusahaan yang tersebar di 4 desa dan 4 kelurahan. Berdasarkan
data dari Badan Pertanahan Nasional (2012), total luas perumahan yang dibangun
diatas lahan sawah luasnya mencapai 235,54 hektar . Jumlah perusahaan
pembangun perumahan di setiap desa dan kelurahan di Kecamatan Karawang
timur dapat dilihat pada Tabel 11.
64
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Jum
lah
Pend
uduk
(Jiw
a)
Jumlah Penduduk
Tabel 11. Jumlah Perusahaan Pembangun Perumahan di Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011
Desa/ kelurahan Jumlah Perusahaan Luas Perumahan (Ha) Margasari 1 8,50Kondangjaya 12 124,94Warungbambu 1 12,00Karang wetan 5 25,38Adiarsa timur 1 3,78Palumbonsari 9 57,82
Jumlah 29 232,42Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2012 (diolah)
Pembangunan pemukiman di wilayah ini dipicu oleh jumlah penduduk
yang terus meningkat setiap tahun. Tahun 2006 jumlah penduduk Kecamatan
Karawang Timur mencapai 90.485 jiwa dan mengalami peningkatan sebesar
27.516 jiwa sehingga pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai 118.001 jiwa.
Tren pertumbuhan penduduk di Kecamatan Karawang Timur dapat dilihat pada
gambar 8 berikut ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik 2011
Gambar 8. Tren Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006-2010
Rata- rata peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Karawang Timur
sebesar 103.293 jiwa dengn laju 5,76 persen setiap tahun. Peningkatan ini terjadi
seiring dengan adanya kelahiran serta banyak penduduk pendatang yang tinggal di
65
wilayah ini. Letak wilayah yang strategis juga mendorong terjadinya pertambahan
jumlah penduduk di wilayah ini.
Penurunan luas lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang
Timur terjadi tidak hanya disebabkan oleh pembangunan pemukiman atau
perumahan namun juga disebabkan karena adanya pembangunan jalan, rumah
sakit, gudang dan lain-lain. Pembangunan jalan karawang bypass yang baru
diresmikan 17 Agustus 2009 dimana jalan ini menghubungkan Desa Warung
Bambu dan Kelurahan Tanjung Pura juga menyebabkan terjadinya alih fungsi
lahan pertanian. Lahan seluas 36,0304 hektar yang digunakan untuk pembangunan
jalan, sebagian besar lahan yang digunakan adalah lahan sawah yang berada di
Kecamatan Karawang Barat dan Karawang Timur. Tujuan pembangunan ini
sebenarnya untuk meningkatkan prasarana transportasi yang memadai dan layak
di Pulau Jawa khususnya Pantai Utara Pulau Jawa6.
Selain pembangunan jalan, lahan pertanian khususnya lahan sawah juga
dialihfungsikan menjadi rumah sakit umum di Kelurahan Palumbonsari. Lahan
pertanian yang mengalami alih fungsi adalah lahan sawah seluas 1,70 hektar.
Gudang Penyimpanan dan sumur eksploitasi yang berada di Desa Tegal Sawah
dan Kelurahan Margasari juga dibangun diatas lahan sawah. Luas lahan sawah
yang terbangun seluas 6,21 hektar (Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Karawang 2012).
Adanya perubahan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Karawang
Timur menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan sawah. Selain itu, hal ini
6 www.ibrd-srip.com/...karawang/TRACER%20Krwng%20Bypas.pdf. “Laporan Survai Kaji Ulang Sosial Rencana Pembangunan Jalan Karawang By Pass”. Diakses pada 9 April 2012 pukul 19.45
66
juga menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan lahan dan penurunan luas
lahan sawah yang dimiliki oleh petani. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap
hasil produksi dan pendapatan yang dimiliki oleh petani. Dalam jangka panjang,
hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan.
6.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Wilayah
Alih fungsi lahan pertanian terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Alih
fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur tidak hanya
disebabkan oleh faktor mikro yang berasal dari petani sendiri namun faktor makro
yang berasal dari tingkat wilayah juga turut mempengaruhinya. Kabupaten
Karawang sebagai tingkat wilayah turut mempengaruhi terjadinya alih fungsi
lahan pertanian. Kabupaten Karawang yang mengarahkan penataan ruangnya
untuk menjadikan pertanian dan industri sebagai basis perekonomiannya ingin
mensinergikan keduanya sehingga alih fungsi lahan pertanian tidak terjadi.
Namun dalam kenyataannya hal tersebut justru mendorong terjadinya alih fungsi
lahan pertanian khususnya lahan sawah. Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten
Karawang pada tahun 2001 – 2010 dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor
yang diduga mempengaruhi penurunan lahan sawah di Kabupaten Karawang
adalah laju pertambahan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas padi
sawah, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah, dan kebijakan tata ruang
wilayah.
Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan pertanian di tingkat wilayah digunakan analisis regresi linear berganda. Data
yang digunakan dalam menentukan model tersebut merupakan data time series
tahun 2001 – 2010. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
67
lahan pertanian ke non-pertanian (Industri, permukiman, dan sarana prasarana
lainnya) dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini.
Tabel 12. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Wilayah
Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas VIF Intersep -141524,521 -4,404 0,012 Laju Pertumbuhan Penduduk 113,619 0,315 0,769 1,328 Jumlah Industri -13,226 -2,794 0,049*) 5,992 Produktivitas Lahan 88,008 0,054 0,959 4,184 Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah Total 2701,764 4,841 0,008*) 2,169 Kebijakan Pemerintah 1762,822 1,762 0,153 2,059 R-squared 86,6% F-Statistik 5,155 Adj-R-squared 69,8% Prob (F-stat) 0,069 Durbin-Watson 1,603
Sumber: Data Sekunder (diolah) Keterangan: *) nyata pada taraf 10 %
Hasil estimasi memperlihatkan bahwa model yang digunakan dalam
penelitian ini baik. Berdasarkan Tabel 12 diperoleh koefisien determinasi (R-
Squared) sebesar 86,60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman variabel
dependen yang dimasukkan ke dalam model dapat diterangkan oleh variabel
independen mencapai 86,60 persen dan sisanya 13,40 persen diterangkan oleh
variabel lain di luar model. Adj-R-squared yang diperoleh bernilai 69,8 persen.
Nilai peluang uji F statistik yang diperoleh sebesar 0,069 yang lebih kecil dari
taraf nyata yang digunakan, yaitu 10 persen memiliki arti bahwa dari hasil
estimasi regresi minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi
variabel dependennya.
Guna melihat signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel
independen terhadap variabel dependennya dapat dilihat dari uji-T setiap variabel
independennya. Berdasarkan Tabel 12 variabel-variabel independen yang
berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah, yaitu jumlah
68
industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas lahan total berpengaruh nyata
pada taraf α= 10 persen. Sedangkan variabel kebijakan pemerintah, laju
pertumbuhan penduduk, dan produktivitas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap
penurunan luas lahan sawah.
Dalam membuktikan tidak terjadi multikolinearitas dalam model maka
digunakan nilai VIF dengan kriteria apabila nilai VIF yang dihasilkan dibawah 10
maka dapat disimpulkan bahwa didalam model tidak mengalami multikolinearitas
yang serius. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa laju
pertumbahan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas, proporsi luas lahan
sawah terhadap luas wilayah dan kebijakan pemerintah masing-masing diperoleh
nilai VIF dibawah 10. Dalam menguji tidak terjadinya autokorelasi digunakan uji
statistik Durbin-Watson. Berdasarkan hasil pengolahan diperoleh nilai statistik
Durbin-Watson sebesar 1,603 yang menunjukkan bahwa tidak terjadinya
autokorelasi. Nilai tersebut berada pada kisaran 0 sampai 4, dan nilai tersebut
mendekati 2. Artinya, tidak terjadi autokorelasi ordo kesatu. Pemeriksaan asumsi
sisaan menyebar normal dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z. Output
SPSS 20 dengan melihat Asymp. Sig (2-tailed) menunjukkan nilai 0,716. Nilai
tersebut berada diatas 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa galat menyebar normal.
Berdasarkan hasil penelitian model tidak mengalami heteroskedastisitas dimana
dari grafik scatterplots (Lampiran 8) terlihat bahwa titik-titik menyebar secara
acak serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y dan tidak
membentuk pola apapun. Model hasil estimasi regresi faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tingkat wilayah, sebagai berikut:
Y = -141524,521 + 113,619 X1 – 13,226 X2 + 88,008 X3 + 2701,764 X4 + 1762,822 X5 + ε .. (6.1)
69
Berdasarkan hasil estimasi koefisien laju pertumbuhan jumlah penduduk
berpengaruh positif (+) namun tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas
lahan pertanian dimana nilai probabilitas 0,769 > taraf nyata 10 persen. Hal ini
logis dimana adanya peningkatan laju pertumbuhan jumlah penduduk
menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Luas lahan yang tetap sedangkan
kebutuhan lahan meningkat sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
terutama lahan pertanian. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk menunjukkan
adanya peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya di Kabupaten Karawang.
Hal ini berkaitan dengan peningkatan kebutuhan lahan untuk penyediaan
pemukiman, sarana dan prasarana. Meningkatnya permintaan lahan tersebut
secara otomatis akan meningkatkan permintaan lahan pertanian sehingga
menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan pertanian.
Letak Kabupaten Karawang yang strategis mampu menarik pertambahan
jumlah penduduk. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk akan meningkatakan
alokasi penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk seperti
perumahan serta sarana dan prasarana untuk menunjang kehidupan penduduk.
Pada awalnya, pembangunan menggunakan lahan non-pertanian seperti lahan-
lahan tandus, lahan kering, dll, namun seiring permintaan lahan yang terus
meningkat terjadilah pergeseran penggunaan lahan ke pertanian khususnya lahan
sawah. Alih fungsi lahan sawah ini pada akhirnya menjadi sulit dihindari karena
semakin langkanya lahan non-pertanian yang layak untuk dialihfungsikan menjadi
perumahan.
Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dikembangkan unit-
unit perumahan yang mayoritas menggunakan lahan sawah. Berkembangnya
70
kebutuhan perumahan, sejak tahun 2001-2010 sudah ada 317,10 hektar lahan
sawah yang dibangun menjadi perumahan di Kabupaten Karawang.
Tabel 13. Luas Perubahan Lahan Sawah Menjadi Perumahan Tahun 2001-2010
No Tahun Luas Lahan Perumahan (Ha) 1 2001 10,002 2002 30,003 2003 38,004 2004 45,005 2005 67,006 2006 22,007 2007 0,008 2008 37,009 2009 15,00
10 2010 53,10Total 317,10
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (diolah)
Berdasarkan Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa terjadinya perubahan
peruntukan lahan yang awalnya berupa sawah menjadi perumahan. Peningkatan
kebutuhan lahan terutama untuk perumahan terus mengalami peningkatan
sehingga terjadi pergeseran ke lahan sawah dalam pembangunannya. Perubahan
luas lahan setiap tahun sebesar 31,71 hektar dengan laju 32,13 persen per tahun.
Pembangunan perumahan yang cukup pesat terjadi di beberapa kecamatam,
diantaranya Kecamatan Karawang Timur, Karawang Barat, dan Teluk Jambe
Timur.
Variabel jumlah industi berpengaruh negatif (-) dan signifikan terhadap
penurunan luas lahan sawah nilai probabilitas 0,015 lebih kecil dari taraf nyata
yang digunakan 10 persen (0,029 < 0,10). Hal ini berarti adanya peningkatan
jumlah industri terutama industri besar dimana membutuhkan luas lahan lebih
besar menyebabkan sedikit penurunan luas lahan sawah. Variabel jumlah industri
71
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Luas
laha
n
Luas lahan tegalan dankebun campuran
tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana pada hipotesis awal disebutkan bahwa
jumlah industri berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah atau
semakin meningkat jumlah industri maka semakin meningkat pula penurunan luas
lahan pertanian.
Adanya sedikit penurunan luas lahan sawah terhadap peningkatan jumlah
industri terutama industri besar mengindikasikan bahwa pembangunan industri
tidak hanya dilakukan pada lahan sawah. Pembangunan industri yang ada di
Kabupaten Karawang banyak juga dilakukan pada lahan-lahan non-sawah.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Karawang bahwa lahan lahan non-sawah yang digunakan untuk pembangunan
industri, yaitu berupa lahan tegalan dan kebun campuran sehingga jumlah industri
besar tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan luas lahan sawah. Lahan
tegalan dan kebun campuran yang banyak digunakan sebagai industri berada di
daerah Kecamatan Pangkalan, Ciampel, dan Klari. Hal ini memang didasarkan
bahwa ketiga kecamatan tersebut merupakan kawasan industri yang tertulis dalam
Peraturan daerah No 19 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Laju
perubahan luas lahan tegalan dan kebun campuran dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 9. Tren Perubahan Luas Lahan Tegalan dan Kebun Campuran Tahun 2000-2010
72
Berdasarkan Gambar 9 diatas menunjukkan bahwa tren perubahan luas
lahan tegalan dan kebun campuran terus mengalami penurunan. Namun, terjadi
peningkatan luas lahan pada tahun 2005 dan 2009. Laju rata-rata perubahan luas
lahan tegalan dan kebun campuran sebesar 0,52 persen per tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa pembangunan industri tidak hanya menggunakan lahan
sawah tetapi juga dilakukan pada lahan-lahan non-sawah, seperti lahan tegalan
dan kebun campuran.
Produktivitas lahan sawah berpengaruh positif terhadap penurunan lahan
sawah. Namun tidak berpengaruh nyata dimana nilai probabilitas 0,959 lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan 10 persen (0,959>0,10). Semakin tinggi
produktivitas lahan sawah maka menunjukkan penurunan lahan sawah yang cukup
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah di Kabupaten
Karawang justru terjadi pada lahan yang memiliki produktivitas tinggi. Dalam
lima tahun terakhir menunjukkan bahwa wilayah yang banyak mengalami
pembangunan terutama perumahan atau pemukiman berada di Kecamatan
Karawang Barat dan Kecamatan Karawang Timur. Kedua kecamatan tersebut
memiliki produktivitas yang tinggi sebesar 7,131 Ton/hektar dan 6,720
Ton/hektar. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa banyak lahan yang
memiliki produktivitas yang tinggi berada di jalan utama. Hal ini menyebabkan
lahan memiliki opportunity cost yang tinggi. Para pemilik lahan cenderung untuk
mengalihfungsikan lahan yang dimiliki karena walaupun lahan yang mereka
punya memiliki produktivitas yang tinggi namun hasil penjualan lahan masih
lebih tinggi daripada hasil produksi padi yang mereka peroleh.
73
Koefisien parameter proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah
berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah. Nilai probabilitas yang
diperoleh dari hasil estimasi sebesar 0,008 lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan 10 persen yang berarti variabel ini berpengaruh nyata. Hal ini sesuai
dengan hipotesis awal dimana semakin luas lahan sawah maka semakin tinggi
penurunan luas lahan sawah. Semakin luas lahan sawah dapat diartikan bahwa
luas lahan non-sawah semakin sempit. Hal tersebut mengindikasikan adanya
perubahan lahan sawah untuk pembangunan diberbagai sektor yang membutuhkan
lahan yang cukup luas seperti sektor industri, perumahan, dan jasa.
Kabupaten Karawang yang terkenal sebagai lumbung padi nasional
menjadikan wilayah ini sebagian besar merupakan lahan sawah. Hal tersebut
mendorong wilayah Kabupaten Karawang untuk terus mempertahankan lahan
sawah. Namun, kebutuhan lahan di Kabupaten Karawang untuk pembangunan
baik industri, perumahan, dan sarana prasarana juga semakin meningkat. Proporsi
luas lahan sawah terhadap luas wilayah yang semakin tinggi dan kebutuhan lahan
untuk pembangunan semakin tinggi mendorong terjadinya penurunan luas lahan
sawah lebih besar dibandingkan dengan lahan kering (ladang, padang rumput,
tegalan, hutan, perkebunan, rawa, tambak, kolam, dan lainnya) yang jumlahnya
lebih sedikit. Pada tahun 2010, proporsi luas lahan sawah sebesar 53,79 persen
lebih besar dari setengah luas wilayah, namun terjadi penurunan luas lahan sawah
yang cukup tinggi, yaitu sebesar 3.218 hektar.
Peubah dummy terhadap kebijakan pemerintah berpengaruh positif
terhadap besaran luas lahan sawah yang dialihfungsikan dan tidak berpengaruh
nyata. Nilai probabilitas 0,153 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5
74
persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai andil yang cukup
besar akan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten
Karawang. Adanya kebijakan pemerintah mengenai rencana tata ruang wilayah
tahun 1999 dan 2004 berpengaruh terhadap meningkatnya alih fungsi lahan sawah
di Kabupaten Karawang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak terkait (BAPPEDA)
menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan dalam pengalokasian penggunaan
lahan dalam RTRW tahun 1999 dan RTRW tahun 2004. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Karawang.
6.3 Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Petani
Sebanyak tiga puluh responden dalam penelitian ini adalah petani yang
sebelumnya merupakan petani pemilik penggarap dan telah mengalihfungsikan
lahannya ke non-pertanian. Sebelumnya, petani pemilik penggarap tersebut
bergantung hidup sepenuhnya pada sektor pertanian. Mereka menganggap bahwa
bertani merupakan mata pencaharian pokok. Adanya alih fungsi lahan yang terjadi
akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka.
Pola alih fungsi lahan yang terjadi di tingkat petani menurut luas lahan
bahwa seluruh petani responden mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya secara
keseluruhan. Besaran lahan sawah yang mengalami alih fungsi dapat dilihat pada
Tabel 14 dibawah ini.
Tabel 14 . Luas Lahan yang Mengalami Alih Fungsi
Luas Lahan (Ha) Persentase (%) 0,1 – 0,5 56,67
> 0,5 43,33 Jumlah 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
75
Hal ini mengindikasikan adanya perubahan besar terhadap suatu kawasan
dimana sebelumnya kawasan ini merupakan persawahan menjadi kawasan
terbangun. Seharusnya ini perlu mendapatkan perhatian lebih serius dari
pemerintah akan adanya dampak negatif yang akan timbul. Pola alih fungsi lahan
tersebut mengakibatkan penurunan luas lahan sawah secara besar-besaran yang
berdampak pada penurunan luas kepemilikan lahan. Nantinya, hal ini akan
mengurangi ketersediaan lahan yang akan mempengaruhi mata pencaharian petani
dimana lahan merupakan sumber utama mata pencaharian petani. Lebih lanjut
lagi, keadaan ini akan mempengaruhi kesempatan kerja di sektor pertanian dimana
akan terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Furi
(2007) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status
kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di
pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja
masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat.
Petani pemilik yang telah menjual seluruh lahannya banyak yang berubah
menjadi petani penggarap ataupun buruh tani. Hal tersebut disebabkan karena
mereka kurang memanfaatkan hasil penjualan lahannya. Selain itu kurangnya
keterampilan yang mereka peroleh karena pendidikan mereka yang rendah
sehingga sulit bagi mereka untuk beralih profesi ke sektor lain.
Penerimaan dari hasil penjualan lahan yang mereka peroleh cukup
bervariasi. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan luas lahan
yang dijual dan harga lahan. Luas lahan sawah yang beralih fungsi rata-rata 0,737
hektar atau 7.370 m2 setiap petani. Tahun penjualan lahan yang dilakukan oleh
petani berbeda-beda. Penjualan lahan tersebut terjadi sejak tahun 1997-2011.
76
Harga lahan yang diterima petani juga berbeda-beda tergantung letak lahan yang
dijual. Harga lahan rata-rata yang diterima oleh petani berdasakan hasil penelitian
di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur mulai dari Rp 25.000,00 per
m2 pada tahun 2001 hingga Rp 90.000,00 per m2 pada tahun 2010. Jika harga
lahan di wilayah ini dibandingkan dengan di Kabupaten Bogor dimana kedudukan
Kabupaten Bogor hampir sama dengan Kabupaten Karawang sebagai penyangga
DKI Jakarta maka diperoleh adanya perbedaan. Berdasarkan hasil penelitian
Astuti (2011) bahwa harga rata-rata lahan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten
Bogor mulai dari Rp 82.000,00 per m2 pada tahun 2001 hingga Rp 270.000,00 per
m2 pada tahun 2010. Tingkat harga yang lebih rendah menjadi pendorong bagi
para pembeli yang sebagian besar berasal dari luar wilayah untuk membeli lahan
di Kecamatan Karawang Timur khususnya Desa Kondangjaya.
Lahan-lahan yang memiliki lokasi dekat dengan jalan raya maka akan
memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang letaknya jauh dari
jalan raya. Keadaan ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Von Thunen
dimana lokasi merupakan faktor yang menentukan sewa lahan.
Penggunaan hasil penjualan lahan yang diterima petani berbeda-beda. Hal
ini disebabkan karena memang penerimaan yang diperoleh juga berbeda-beda.
Bagi petani (responden) yang memiliki lahan cukup luas, hasil penjualan tersebut
akan digunakan untuk membeli lahan sawah di wilayah lain yang memiliki harga
lahan lebih murah. Namun, bagi petani yang tidak memiliki lahan luas, hasil
penjualan lahan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau
keperluan lainnya. Penggunaan hasil penjualan lahan yang dilakukan petani dapat
dilihat pada Tabel 15 dibawah ini.
77
Tabel 15 . Penggunaan Hasil Pengalihfungsian Lahan oleh Petani
Penggunaan Responden (%) Membeli sawah baru 33,33 Memperbaiki Rumah 20,00 Membeli Alat Transportasi dan modal usaha 20,00 Lainnya 26,67 Jumlah 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 15 diatas sebesar 33,33 persen petani responden
menggunakan hasil penjualan lahannya untuk membeli sawah. Pembelian lahan
sawah banyak dilakukan di wilayah Desa Bengle, Desa Pasir Jengkol dengan
harga yang lebih murah. Sebanyak 20,00 persen petani responden
menggunakannya untuk memperbaiki rumah dan 20,00 persen digunakan untuk
membeli alat transportasi dan modal usaha. Pembelian kendaraan berupa motor,
mobil, dan angkutan dapat digunakan sebagai sumber mata pencaharian baru dari
hasil penjualan lahan. Sisanya, sebanyak 26,67 persen petani menggunakan hasil
penjualan lahan untuk membiayai biaya sekolah anak, biaya naik haji, membeli
rumah, biaya pernikahan anak dan keperluan lainnya.
6.3.2 Proses Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya berupa lahan sawah.
Hal ini terjadi pada kisaran waktu 1997–2011. Sebagian besar lahan yang
dialihfungsikan dijadikan sebagai perumahan. Hanya 6,67 persen dari tiga puluh
responden yang alih fungsi lahan untuk jasa berupa klinik, bank, kontrakan dan
lain-lain.
Alih fungsi lahan sawah yang dilakukan petani responden pada dasarnya
dapat terjadi secara sukarela ataupun secara terpaksa. Alih fungsi lahan sawah
secara sukarela adalah proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh petani atas
78
dasar keinginan dari petani tanpa ada pengaruh dari orang lain. Sedangkan secara
terpaksaan adalah proses alih fungsi lahan karena adanya paksaan pihak lain atau
pengaruh dari kondisi wilayah.
Tabel 16 . Proses Alih Fungsi Lahan Oleh Petani Responden di Kecamatan Karawang Timur
Sumber: Data Primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 16 diatas menunjukkan bahwa proses alih fungsi lahan
yang dilakukan oleh sebagian besar petani karena terpaksa. Sebenarnya, petani
tidak ingin menjual lahannya karena pertanian merupakan sumber mata
pencaharian pokok. Namun, akibat adanya bujukan dari makelar (calo) agar
petani mau menjual lahannya sehingga petani terbujuk dan mau menjual lahannya.
Hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan daerah pengembangan
perumahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak adanya bargaining position
yang dimiliki petani sehingga petanilah yang menjadi sasaran bagi berbagai pihak
baik pemerintah maupun swasta untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Selain
itu, lahan sawah yang mereka miliki berdekatan dengan pembangunan perumahan.
Dengan adanya pembangunan perumahan di sekitar lahan pertanian menyebabkan
terhalangnya saluran irigasi. Terhalangnya saluran irigasi ini mengakibatkan tidak
adanya aliran air ke lahan pertanian tersebut. Hal ini mengakibatkan lahan
menjadi tidak produktif lagi yang pada akhirnya akan merugikan petani..
Selain itu, ada juga petani yang proses alih fungsi lahan pertaniannya
secara sukarela. Hal ini diseabkan karena adanya kebutuhan-kebutuhan petani
yang membutuhkan biaya tinggi. Sebesar 43,33 persen responden melakukan alih
Proses Responden Persentase (%) Secara Sukarela 13 43,33 Secara Paksaan 17 56,67
Jumlah 30 100,00
79
fungsi lahan karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak seperti biaya hidup
sehari-hari, biaya sekolah, biaya pernikahan, biaya berobat, biaya naik haji, modal
usaha, dan sebagainya.
6.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani
Alih fungsi lahan yang terjadi dipedesaan tidak hanya dipengaruhi oleh
tingkat wilayah namun juga dipengaruhi oleh keputusan petani sendiri. Hal ini
disebabkan karena lahan yang mengalami alih fungsi dimiliki oleh petani
sehingga petani sendirilah yang menjual lahannya. Keputusan petani dalam
melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi oleh tingkat usia, lama pendidikan, luas
lahan, produktivitas, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman
bertani.
Dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani
melakukan alih fungsi lahan digunakan metode analisis regresi logistik dengan
memasukkan variabel independent ke dalam variabel dependent. Adapun variabel-
variabel independent yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam
mengalihfungsikan lahannya adalah usia, lama pendidikan, luas lahan,
produktivitas, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman bertani.
Variabel dependent yang digunakan terdapat dua kemungkinan. Bagi responden
yang melakukan alih fungsi lahan pertanian diberi nilai 1 (Y=1) dan bagi
reponden yang tidak melakukan alih fungsi lahan diberi nilai 0 (Y=0). Hasil
pengolahan data dengan menggunakan Metode Enter disajikan pada Tabel 17.
80
Tabel 17 . Hasil Estimasi Model Regresi Logistik Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Mengalih fungsikan Lahan Pertanian
Variabel Koefisien Sig Exp (β) Keterangan Constant 1863,533 0.989 (-) Tingkat Usia (X1) 0,117 0,136 1.124 Berpengaruh nyata ** Lama Pendidikan (X2) - 0,749 0,100 0,473 Berpengaruh nyata ** Luas Lahan (X3) - 1.262 0,014 0,283 Berpengaruh nyata * Proporsi Pendapatan Sektor Pertanian (X4)
- 18.518
0,989
0,000
Berpengaruh tidak nyata
Tanggungan Keluarga (X5) - 0,151 0,743 0,860 Berpengaruh tidak nyata Pengalaman Bertani (X6) -0,102 0,130 0,903 Berpengaruh nyata** Produktivitas (X7) -1.613 0,158 0,199 Berpengaruh tidak nyata
Sumber : Data Primer (olahan) Keterangan : * nyata pada taraf 5% ** nyata pada taraf 15%
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dengan menggunakan metode
enter diperoleh nilai -2 Log likelihood sebesar 21.730, Cox &Snell R Square
sebesar 0,441, dan Nagelkerke R Square sebesar 0,653. Nilai Nagelkerke R Square
yang lebih besar dari nilai Cox&Snell R Square menunjukkan kemampuan ketujuh
variabel bebas dalam menjelaskan varians alih fungsi lahan sebesar 65,3 persen
dan terdapat 34,7 persen faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel
dependen. Kemudian dalam pengujian goodness of fit (uji akurasi model)
dilakukan dengan memperhatikan nilai sebaran chi-square . Nilai chi-square yang
diperoleh dari Hosmer and Lemeshow Test sebesar 0,413 dimana nilai Sig tersebut
lebih besar dari taraf nyata yang digunakan α=15 persen. Selanjutnya nilai Overall
Percentage yang diperoleh sebesar 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa model
yang dihasilkan baik. Model yang diperoleh dari hasil analisis regresi logistik
adalah sebagai berikut:
Y = 1863.533 + 0.117 X1 – 0.749 X2 – 1262 X3 – 0.102 X6 + ε …...……….(6.2)
Berdasarkan model yang diperoleh dapat terlihat bahwa dari tujuh variabel
independent yang diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk alih
81
fungsi lahan sawah di daerah penelitian ternyata hanya empat variabel yang
berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya
alih fungsi lahan sawah di tingkat pertani adalah usia, luas lahan yang dimiliki,
lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Signifika atau tidaknya pengaruh suatu
variabel dilihat dari nilai Sig < α (taraf nyata yang digunakan).
Variabel usia memiliki nilai Sig sebesar 0,136. Hal ini berarti bahwa
tingkat usia berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan
sawah pada taraf (α) 15 persen. Koefisien hasil output diperoleh bertanda positif
(+) dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 1,124 berarti bahwa
untuk petani yang usianya lebih tua akan meningkatkan peluang untuk alih fungsi
lahan sebesar 1,124 lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak
mengalihfunsikan lahan . Semakin tinggi tingkat usia maka semakin tinggi tingkat
alih fungsi lahan. Ini terjadi disebabkan karena semakin tinggi tingkat usia
seseorang maka kondisi fisik akan semakin lemah. Mereka sudah tidak kuat lagi
bekerja di sektor pertanian yang membutuhkan tenaga yang kuat. Kondisi ini
membatasi kemampuan responden untuk menghasilkan sesuatu sehingga akan
cenderung mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya. Apalagi dengan melihat
kondisi saat ini dimana anak-anak mereka yang tidak lagi mengikuti jejak orang
tua mereka untuk bekerja di sektor pertanian. Dengan mengalihfungsikan lahan,
mereka dapat bekerja di sektor lain yang tidak membutuhkan tenaga lebih.
Variabel luas lahan memiliki nilai Sig sebesar 0,014 yang berarti bahwa
variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan di
tingkat petani pada taraf nyata (α) 5 persen. Nilai koefisien bertanda (-) dan nilai
Exp (β) atau odds ratio sebesar 0,283 menunjukkan peluang terjadinya alih fungsi
82
lahan akan semakin kecil. Semakin luas kepemilikan lahan maka peluang petani
untuk mengalihfunsikan lahannya lebih kecil 0,283 kali dibandingkan petani yang
melakukan alih fungsi lahan. Dalam tingkat luas pemilikan lahan, petani yang
memiliki lahan cukup luas cenderung untuk tetap mempertahankan lahannya
sehingga peluang terjadinya alih fungsi lahan kecil. Sedangkan bagi petani yang
memiliki lahan kecil cenderung untuk menjual lahannya. Hal ini diduga
disebabkan karena luas lahan sangat berhubungan dengan penerimaan.
Petani yang memiliki lahan lebih luas memiliki perolehan hasil produksi
lebih besar sehingga penerimaan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan
petani yang memiliki luas lahan lebih sempit. Hasil panen dari pengolahan lahan
yang lebih sempit tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan petani
sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi penerimaan yang diperoleh
dalam mencukupi kehidupan sehari-hari. Saat ini, biaya usaha tani rata-rata
sebesar Rp 5.500.000,00 per hektar dengan harga jual beras rata-rata Rp 3.300,00
– Rp 4.000,00 per kg. Jika hasil produksi yang dihasilkan besar, penerimaan yang
diperoleh bisa menguntungkan petani. Namun, jika lahan sawah dilanda puso
biaya usaha tani yang dikeluarkan akan semakin besar akan tetapi hasil yang
diperoleh rendah.
Variabel lama pendidikan memiliki nilai Sig sebesar 0,100 menunjukkan
bahwa variabel proporsi pendapatan sektor pertanian berpengaruh nyata terhadap
alih fungsi lahan pada taraf (α) 15 persen. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dan
nilai Exp (β) atau odds ratio 0,473 menunjukkan peluang responden
mengalihfungsikan lahan semakin kecil. Semakin lama pendidikan yang
ditempuh, maka peluang petani untuk mengalihfungsikan lahan lebih kecil 0,473
83
kali dibandingkan petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan. Lama
pendidikan menunjukkan tingkat pendidikan yang dicapai seseorang. Semakin
lama pendidikan yang ditempuh menunjukkan tingkat pendidikan yang semakin
tinggi. Terjadinya penurunan alih fungsi lahan disebabkan karena semakin tinggi
pendidikan yang diperoleh maka semakin bijaksana dalam mengambil keputusan
dalam mengalihfungsikan lahan yang dimiliki. Bagi seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki rasionalitas berpikir yang tinggi
dalam melakukan suatu tindakan sehingga mereka akan berpikir berkali-kali
dalam mengambil sebuah keputusan. Petani tentunya akan lebih memilih untuk
tidak melakukan alih fungsi lahan karena mereka belum tentu berhasil dalam
melakukan pekerjaan yang belum dikuasai. Pada hakekatnya, sebenarnya alih
fungsi lahan sangat berhubungan dengan penghasilan yang diterima petani.
Variabel independen lain yang berpengaruh terhadap terjadinya alih fungsi
lahan di tingkat petani adalah pengalaman bertani. Variabel pengalaman bertani
memiliki nilai Sig sebesar 0,130 menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh
nyata pada taraf nyata (α) 15 persen. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dan nilai
Exp (β) atau odds ratio sebesar 0,903 menunjukkan peluang responden
mengalihfungsikan lahan semakin menurun. Petani yang memiliki pengalaman
bertani cukup lama memiliki peluang mengalihfungsikan lahan lebih rendah 0,903
kali dibandingkan petani yang tidak mengalihfungsikan lahan. Hal ini
mengindikasikan petani yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam bertani
akan cenderung mempertahankan lahan yang dimilikinya. Bagi petani yang
memiliki pengalaman bertani lebih lama cenderung memiliki keahlian yang tinggi
di sektor pertanian sedangkan di luar sektor pertanian keahlian yang dimiliki
84
cukup minim. Hal ini menyebabkan mereka akan memilih untuk mempertahankan
lahan dibandingkan harus menjual lahanya dan bekerja disektor lain selain
pertanian.
6.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Pendapatan Petani
Sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan bagi masyarakat
Indonesia. Sekitar 70 persen masyarakat Indonesia bergantung hidup pada sektor
pertanian. Lahan merupakan faktor produksi utama dalam pertanian dimana
berfungsi sebagai sumber mata pencaharian bagi para petani. Adanya alih fungsi
lahan pertanian khususnya lahan sawah ke non-pertanian secara langsung akan
berdampak pada penurunan luasan lahan. Selain itu, adanya alih fungsi lahan
menyebabkan terjadinya perubahan manfaat yang diperoleh dari adanya
penggunaan lain. Hal ini mengakibatkan hilangnya hasil produksi yang
berbanding lurus dengan luas lahan yang dialihfungsikan. Alih fungsi lahan ini
juga akan berdampak langsung pada pendapatan usaha tani, lapangan pekerjaan,
dan kesempatan kerja yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai
kaitan ke depan dan ke belakang dari kegiatan usahatani. Pendapatan usaha tani
menjadi berkurang ataupun hilang, lapangan pekerjaan serta kesempatan bekerja
di sektor pertanian menjadi berkurang. Selain itu, hal ini akan mendorong
terjadinya perpindahan kesempatan kerja petani dari sektor pertanian ke non-
pertanian.
Produksi hasil pertanian yang hilang sebagai dampak langsung dari alih
fungsi lahan tergantung dari luas lahan yang telah mengalami alih fungsi,
produktivitas lahan, dan pola tanam yang dilakukan. Saat ini, Kecamatan
Karawang Timur terus berupaya melakukan peningkatan produksi hasil pertanian
85
khususnya padi sawah dengan sisa lahan yang ada akibat alih fungsi lahan yang
terjadi setiap tahun. Berbagai cara terus dilakukan seperti pengembangaan metode
SRI (System of Rice Intensification), program SL-PTT (Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu), Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu
Tanaman), Pengelolaan lahan dan air, peningkatan sarana dan prasarana,
peningkatan produksi, dan produktivitas dan pemberian benih. Pengembangan
program-program tersebut dilakukan oleh Dinas Pertanian, Kehutanan,
Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang dibantu para penyuluh
Kecamatan karawang Timur untuk disampaikan kepada para petani.
Seluruh petani di wilayah ini tetap mempertahankan komoditas padi
sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena lahan sawah yang ada di
wilayah ini memang cocok untuk produksi padi. Pola tanam yang dilakukan
petani dengan dua kali tanam dalam setahun dan satu kali penanaman palawija.
Namun, penanaman palawija ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para petani
khusunya Desa Kondangjaya. Hal ini disebabkan karena adanya hama seperti
kambing sehingga mereka hanya menanam padi.
Dampak lain yang terjadi akibat alih fungsi lahan sawah di Desa
Kondangjaya adalah terjadinya pergeseran mata pencaharian utama yang
dilakukan petani. Sebagian besar petani responden yang melakukan alih fungsi
lahan, sebelumnya merupakan petani pemilik penggarap. Namun, akibat alih
fungsi lahan pertanian terjadi pergeseran mata pencaharian utama. Sebagian besar
dari mereka tetap bertahan pada sektor pertanian. Akan tetapi, sebagian lagi
beralih mata pencaharian di luar sektor pertanian. Perubahan mata pencaharian
sebagai sumber pendapatan utama dapat dilihat pada Tabel 18.
86
Tabel 18. Sumber Pendapatan Utama Petani Setelah Melakukan Alih Fungsi Lahan Pertanian (Persen)
Sumber Pendapatan Responden (Persen) Petani pemilik penggarap 13,33Penggarap 36,67Buruh Tani 6,67Buruh Pabrik 3,33Buruh Bangunan 6,67Pengangkutan 3,33Pedagang 6,67Lainnya 23,33
Jumlah 100,00Sumber: Data Primer (Diolah)
Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa sebesar 56,67 persen petani
tetap bertahan pada sektor pertanian sebagai sumber pengahasilan utama.
Walaupun tidak semuanya merupakan petani pemilik penggarap, hanya 13,33
persen yang masih menjadi pemilik dan sisanya 36,67 persen dan 6,67 persen
menjadi petani penggarap dan buruh tani. Selain itu, sebagian dari petani
responden juga bermatapencaharian diluar sektor pertanian sebagai sumber mata
pencaharian utama. Pekerjaan diluar sektor pertanian yang dilakukan petani
responden berdasarkan hasil wawancara adalah bekerja sebagai buruh pabrik,
bangunan, pengangkut, pedagang, dan lainnya.
Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan gejala akan terjadinya
transformasi kegiatan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Hal ini dapat
dilihat dari adanya perubahan mata pencaharian utama dari petani. Namun, akibat
keterbatasan keterampilan yang dimiliki serta pendidikan yang rendah, hanya
pekerjaan dengan upah rendah yang bisa mereka peroleh.
Perubahan mata pencaharian utama yang terjadi, secara otomatis akan
berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh saat ini. Pendapatan petani pada
87
dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan
pendapatan diluar usaha tani (non usaha tani). Pendapatan usaha tani merupakan
pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha
tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar sektor pertanian. Pendapatan yang
diperoleh responden sebelum dan sesudah mengalihfungsikan lahan dapat dilihat
pada Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Rata-rata pendapatan Responden
Usaha Tani Non Usaha Tani Rata-Rata Pendapatan
Total Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Sebelum Alih Fungsi
1.205.520,09 84,81
215.933,94 15,19 1.421.514,03 100,00
Setelah Alih Fungsi
532.251,85 40,95
767.444,40 59,04 1.299.796,30 100,00
Perubahan -673.268,24 551.510,46 -121.71773 Sumber: Data Primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa pendapatan total responden
(dari usaha tani dan non usaha tani) sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi
perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Hal ini menunjukkan
adanya penurunan rata-rata pendapatan total yang diperoleh responden sebelum
dan sesudah alih fungsi lahan. Penurunan pendapatan yang diperoleh dari usaha
tani lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh
dari non-usahatani. Namun, berdasarkan hasil uji beda rata-rata dengan uji T-test
terhadap pendapatan petani sebelum dan setelah alih fungsi lahan diperoleh t-
hitung 0,438 dengan Sig 0,632 > taraf nyata (α) 5 persen yang menunjukkan lain
bahwa bahwa pendapatan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan adalah sama.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan tidak
begitu berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani. Hal ini
88
disebabkan karena perubahan mata pencaharian akibat adanya alih fungsi lahan
tidak merubah pendapatan petani. Keterampilan rendah dan pendidikan rendah
yang dimiliki oleh petani menyebabkan perubahan mata pencaharian tidak terlalu
berpengaruh terhadap pendapatan. Petani hanya memperoleh upah yang rendah
atau sama saja dengan pekerjaan sebelumnya dari pekerjaan di luar sektor
pertanian.
Tabel 19 menuliskan bahwa pendapatan baik yang diperoleh dari usaha
tani maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah melakukan
alih fungsi lahan. Sebelum melakukan alih fungsi lahan, sebesar 84,81 persen
pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 15,19 persen pendapatan diperoleh dari
luar usaha tani. Setelah melakukan alih fungsi lahan, sebesar 40,95 persen
pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 59,04 persen pendapatan diperoleh dari
luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur pendapatan
petani dari yang berstrukur agraris ke non agraris dimana pendapatan diluar usaha
tani mengalami peningkatan setelah alih fungsi lahan.
Penurunan kontribusi sektor pertanian menunjukkan beda nyata karena
berdasarkan hasil uji beda rata-rata dengan uji T-test diperoleh t-hitung sebesar
3,676 dengan signifikansi sebesar 0,001 dimana 0,001< taraf nyata yang
digunakan 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya alih fungsi lahan
pertanian sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh sektor
pertanian atau pendapatan usaha tani. Adanya alih fungsi lahan di wilayah
penelitian menyebabkan penurunan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani
sebesar Rp 673.268,24.
89
6.5 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Lingkungan
Alih fungsi lahan pertanian sebagai dampak adanya pembangunan suatu
wilayah tidak hanya mengakibatkan penurunan luas lahan pertanian tetapi juga
berdampak pada lingkungan. Lahan pertanian seharusnya dapat memberikan
manfaat bagi lingkungan dimana berfungsi sebagai daerah resapan air,
mengurangi pencemaran udara, pengendali banjir, dan lain-lain. Namun, setelah
terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non-pertanian
menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi
lingkungan ini paling besar dirasakan oleh masyarakat sekitar. Masyarakatlah
akan dirugi dengan adanya pembangunan di wilayah mereka.
Dalam proses pembangunan, banyak pembangun khususnya di Kecamatan
Karawang Timur yang membangun tidak sesuai dengan ketentuan awal.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Kecamatan Karawang Timur dimana salah satu tugasnya mengawasi
pembangunan mengatakan bahwa banyak pembangun yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditulis dalam surat perizinan pembangunan dimana mereka
melebihi dari ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuknya adalah pembangunan
saluran air. Dalam pembangunan saluran air sebenarnya sudah ada ketentuan yang
berlaku, kemudian mereka mempersempit luas saluran air. Hal ini mungkin
kurang berpengaruh terhadap lingkungan untuk saat ini, namun dalam jangka
panjang dapat menimbulkan dampak yang lebih luas.
Desa Kondangjaya saat ini terus mengalami pembangunan. Pembangunan
yang paling banyak dilakukan adalah perumahan dan pemukiman penduduk.
Adanya pembangunan yang terjadi dapat memberikan dampak negatif terutama
90
terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di wilayah
penelitian menujukkan bahwa sebagian besar responden tidak begitu merasakan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian saat ini.
Para responden masih belum merasakan dampak yang besar dari adanya
pembangunan. Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan perubahan penggunaan
lahan akibat pembangunan, namun sisa lahan khususnya lahan sawah masih cukup
banyak untuk saat ini sehingga fungsi lahan sawah masih berfungsi dengan baik.
Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap lingkungan yang dirasakan
masyarakat Desa Kondangjaya saat ini diantaranya: sampah, kondisi udara,
ketersediaan air, dan banjir.
6.5.1 Dampak Terhadap Sampah
Terjadinya alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya menunjukkan
adanya pembangunan yang dilakukan. Sampah merupakan salah satu dampak dari
adanya pembangunan. Adanya pembangunan menunjukkan terjadinya
peningkatan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat secara langsung
akan mempengaruhi jumlah limbah rumah tangga yang dihasilkan khususnya
limbah padat (sampah). Jumlah sampah yang dihasilkan akan meningkat.
Peningkatan jumlah sampah ini akan mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar
yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 10. Kondisi Sampah di Desa Kondangjaya
91
Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagaimana yang terlihat pada
Gambar 10 bahwa kondisi sampah dirasa tidak mengganggu terhadap kondisi
lingkungan di Desa Kondangjaya. Sebanyak 90,00% responden tidak merasa
terganggu dengan sampah. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar dari
mereka kurang memperhatikan kondisi lingkungan mereka. Berdasarkan hasil
observasi di lapangan masih terlihat banyak sampah yang berserakan di pinggir
jalan ataupun di sekitar halaman rumah. Jika hal ini terus dibiarkan, lama
kelamaan hal ini akan mengganggu kondisi lingkungan sekitar. Akan tetapi,
masih ada beberapa masyarakat yang masih peduli terhadap lingkungan dimana
mereka membuang sampah pada tempat sampah dan melakukan pengelolaan
sampah sehingga sampak tidak mengganggu kondisi setempat. Sebesar 10,00%
responden mengatakan bahwa mereka merasa terganggu dengan adanya sampah.
6.4.2.2 Dampak Terhadap Kondisi Udara
Udara merupakan salah satu indikator lingkungan yang sangat
berpengaruh saat terjadinya pembangunan. Pembangunan menyebabkan wilayah
tersebut menjadi ramai. Mobilitas kendaraan bermotor tinggi sehingga asap yang
dihasilkan juga mempengaruhi udara. Limbah gas yang dihasilkan dari bangunan-
bangunan yang melakukan kegiatan didalamnya turut mempengaruhi kondisi
udara. Kondisi udara yang dirasakan responden dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 11. Kondisi Udara di Desa Kondangjaya
92
Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagimana terlihat pada
Gambar 11 bahwa perubahan kondisi udara tidak dirasakan masyarakat Desa
Kondangjaya. Sebanyak 90,00 persen responden mengatakan bahwa kondisi udara
tidak tercemar. Hal tersebut disebabkan karena perubahan penggunaan lahan di
wilayah penelitian sebagian besar digunakan untuk perumahan. Perumahan
biasanya menghasilkan limbah gas hasil pembakaran dari kegiatan rumah tangga
yang tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi udara. Berbeda halnya jika
peruntukan lahan untuk industri, limbah gas hasil kegiatan industri mengandung
zat-zat kimia berbahaya yang dibuang ke udara akan berpengaruh terhadap
kondisi udara. Udara akan tercemar gas-gas berbahaya.
Sebanyak 10,00 persen responden menjawab bahwa kondisi udara di Desa
Kondangjaya tercemar. Indikator pencemaran udara ini dilihat dari kondisi udara
yang bercampur debu, asap kendaran dan lain-lain sehingga dirasa masyarakat
cukup mengganggu. Hal tersebut disebabkan karena tempat tinggal ataupun
tempat kerja responden yang dekat dengan jalan utama desa dimana mobilitas
kendaraan bermotor sangat tinggi sehingga berpengaruh terhadap kondisi udara.
6.4.2.3 Dampak Terhadap Ketersediaan Air
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Akibat adanya alih fungsi lahan dari lahan pertanian khusunya lahan sawah ke
lahan non-pertanian menyebabkan ketersediaan air di dalam tanah semakin
berkurang. Selain itu, adanya pembangunan juga menunjukkan jumlah penduduk
yang meningkat sehingga konsumsi air akan meningkat. Hal ini menyebabkan
masyarakat akan sulit dalam memperoleh air untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
93
Sumber: Data Primer (diolah)
Gambar 12. Perolehan Air Bagi Responden di Desa Kondangjaya
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 12
menunjukkan bahwa sebanyak 82,5 persen petani tidak merasakan adanya
kesulitan dalam memperoleh air. Hal tersebut disebabkan karena masih
banyaknya lahan-lahan sawah khususnya yang mampu menyerap air sehingga
kondisi air didalam tanah masih dapat memenuhi kebutuhan hidup. Hanya 17,50
persen petani merasakan kesulitan dalam memperoleh air terutama pada musim
kemarau. Tingkat sulit dan mudahnya perolehan air terlihat dari kuantitas air yang
diperoleh. Seluruh responden memperoleh air dengan menggunakan sumur pompa
dimana sumber air berasal dari air tanah. Terjadinya kesulitan air yang dirasakan
oleh masyarakat disebabkan karena akibat pembangunan seperti perumahan.
Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan air untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadi
persaingan dalam memperoleh air semakin tinggi sehingga sebagian kecil
responden merasa kesulitan dalam memperoleh air tanah.
Air yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Kondangjaya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih memiliki kualitas yang baik. Hal ini
ditunjukkan dari respon masyarakat terhadap kualitas air yang digunakan pada
Gambar 13.
94
Sumber: Data Primer (diolah)
Gambar 13. Kualitas Air di Desa Kondangjaya
Berdasarkan Gambar 13 diatas menunjukkan bahwa seluruh responden
mengatakan bahwa kualitas air di wilayah penelitian dalam keadaan baik. Kualitas
air yang baik ini merujuk pada kondisi air yang tidak berbau, tidak berasa, dan
tidak berwarna. Hal ini menunjukkan bahwa adanya alih fungsi lahan pertanian
terhadap kualitas air di dalam tanah tidak begitu dirasakan masyarakat Desa
Kondangjaya.
Air tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, namun air juga
dibutuhkan sektor pertanian untuk irigasi. Akibat adanya pembangunan di sektor
non-pertanian mempengaruhi kualitas dan kondisi air irigasi. Kondisi air irigasi
terhalang oleh bangunan sehingga lahan pertanian kekurangan air. Selain itu,
akibat adanya pembangunan seperti perumahan, limbah cair yang dikeluarkan
akan bercampur dengan air irigasi sehingga air tercemar. Hal inilah yang
mendorong banyak petani pada saat itu menjual lahannya untuk dialihfungsikan.
Namun, menurut beberapa responden yang diwawancarai, bagi lahan pertanian
yang tetap bertahan terhadap kondisi tersebut akan menurunkan hasil produksinya
sehingga merugikan petani.
95
6.4.2.4 Dampak Terhadap Banjir
Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan
peruntukan lahan pertanian ke non-pertanian. Saat ini bangunan-bangunan
semakin bertambah menyebabkan daerah-daerah resapan air semakin berkurang.
Salah satu akibatnya dapat memicu terjadinya banjir. Dampak akibat alih fungsi
lahan terhadap terjadinya banjir di Desa Kondangjaya dapat dilihat pada Gambar
14.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 14. Kejadian Banjir di Desa Kondangjaya
Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagaimana tertlihat pada
Gambar 14 bahwa terjadinya degradasi lingkungan berupa banjir tidak dialami
oleh masyarakat Desa Kondangjaya. Hanya 5,00 persen responden yang
mengatakan bahwa banjir terjadi dengan frekuensi jarang. Banjir yang terjadi
tersebut bukan banjir besar hanya saja saat terjadi hujan yang cukup lebat
menyebabkan genangan air yang cukup banyak. Akibat genangan air yang cukup
banyak, surutnya air pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal inilah yang
disebut oleh sebagian kecil responden sebagai banjir.
Sebagian besar (95 persen) responden yang mengatakan bahwa tidak
pernah terjadi banjir di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena masih
banyaknya wilayah yang menjadi daerah resapan air. Lahan sawah yang masih
96
dapat terbilang cukup banyak sebesar 100 hektar atau 33 persen dari luas wilayah.
Selain itu, walaupun pembangunan terus-menerus dilakukan namun tetap masih
memperhatikan kondisi lingkungan untuk saat ini. Saluran air juga masih cukup
terjaga kebersihannya saat ini sehingga air masih dapat mengalir dan tidak
tersumbat. Akan tetapi, jika pembangunan dilakukan secara terus-menerus dimana
sampai saat ini ada sekitar dua perumahan yang masih dalam proses pembangunan
dan tidak memperhatikan kondisi lingkungan maka banjir kemungkinan dapat
terjadi. Hal ini dapat terjadi karena dampak lingkungan berupa banjir dapat
dirasakan dalam jangka panjang.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur mengalami fluktuasi.
Dari tahun 2006-2011 laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur
sebesar 0,47 persen dan laju alih fungsi lahan sawah paling tinggi terjadi pada
tahun 2011, yaitu sebesar 5,58 persen. Hal ini disebabkan karena adanya
pembangunan pemukiman akibat peningkatan jumlah penduduk.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khusunya lahan
sawah di tingkat wilayah adalah jumlah industri dan proporsi luas lahan
sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi oleh tingkat
usia, luas lahan, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman
bertani.
3. Rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan
terjadi perubahan dari Rp 1.421.512,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Namun,
secara keseluruhan berdasakan hasil penelitian terjadinya alih fungsi lahan
tidak berpengaruh terhadap pendapatan total petani.
4. Pembangunan terus-menerus menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian di Desa Kondangjaya. Namun, dampak alih fungsi lahan sawah
terhadap lingkungan tidak terlalu dirasakan oleh responden untuk saat ini. Hal
ini disebabkan karena masyarakat yang masih kurang peduli terhadap
lingkungan saat ini.
98
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, beberapa saran
direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan perizinan pembangunan yang
dilakukan di lahan pertanian terutama untuk keperluan industri dan perumahan
di Kabupaten Karawang. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
perlu diperkuat sehingga mampu mengendalikan alih fungsi lahan pertanian.
2. Penyuluhan terhadap petani mengenai pentingnya pertanian terutama sawah
perlu ditingkatkan untuk mempertahankan produktifitas sehingga hasil
produksi yang diperoleh semakin besar, meningkatkan pendapatan petani, dan
menyukseskan program ketahanan pangan.
3. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai kebijakan alih fungsi lahan pertanian ke
non-pertanian di Kabupaten Karawang dan dampaknya terhadap lingkungan.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Anugrah F. 2005. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Ke Pengguna Non Pertanian Di Kabupaten Tanggerang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Astuti DI. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2004. Pemerintah Kabupaten Karawang, Karawang.
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang. 2012. Data Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Karawang Tahun 2001-2011. Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang, Karawang.
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang. 2012. Data Nama Perusahaan Perumahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011. Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang, Karawang.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 2002. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2001. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2003. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2002. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2004. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2003. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2005. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2004. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2006. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2005. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2007. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2006. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
100
------------------------------------------------------. 2008. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2007. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2009. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2008. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2010. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2009. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------. 2011. Kabupaten Karawang dalam Angka Tahun 2010. Kerjasama BPS Kabupaten Karawang dengan Bappeda Kabupaten Karawang, Karawang.
Badan Pusat Statistik. 2012. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_banner1.pdf. diakses pada 15 februari 2012.
Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 2012. Laporan Tahunan. BP3K Kecamatan Karawang Timur.
Barbier EB. 2000. The Economic Linkages Between Rural Poverty and Land Degradation: Some Evidence from Africa. Agriculture, Ecosystems and Environment Journal. vol 82. no 20: 355–370
Barlowe R. 1978. Land Resource economics. Third edition. Prentice. Hall inc, New jersey.
Barokah U, Suprapti, Sugiharti. 2011. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Karanganyar. http://fp.uns.ac.id/jurnal/download.php?file=Umi%20Barokah%20%20Arikel%20Konversi%20KPPMF.pdf. Diakses pada 3 Mei 2012.
Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan. 2001. Laporan Tahunan 2001. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------------. 2002. Laporan Tahunan 2002. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------------. 2004. Laporan Tahunan 2004. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------------. 2005. Laporan Tahunan 2005. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
101
------------------------------------------------------------. 2006. Laporan Tahunan 2006. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------------. 2007. Laporan Tahunan 2007. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------------. 2008. Laporan Tahunan 2008. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------------. 2009. Laporan Tahunan 2009. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
------------------------------------------------------------. 2010. Laporan Tahunan 2010. Distanhutbun Kabupaten Karawang, Karawang.
Ervani AG. 2011. Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Keunggulan Kompetitif Usaha Tani Beras di Kabupaten Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Furi DR. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gujarati D. 2002. Basic Economics. Mc Graw Hill, Singapore.
Hasan MI. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan aplikasinya. Ghalia Indonesia, Bogor.
Hayat D. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hosmer DW, S Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley and Sons Inc, New York.
Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatan dan Faktor Determinan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian, Bogor.
Jamal E. 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Pengguna Non-Pertanian di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Juanda B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor.
Kustiawan A. 1997. Konversi Lahan Pertanian Di Pantai Utara Jawa. Prisma No 1 Tahun XXVII Januari 1197. LP3ES, Jakarta.
102
Mawardi I. 2006. Kajian Pembentukan Kelembagaan Untuk Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan, Peran, dan Fungsinya. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol.7. No. 2: 206-211.
Nachrowi ND, Hardius U. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Rajawali Pers, Jakarta.
Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Pakpahan A, Sumaryanto, Syafaat. 1993. Analisis Kebijakan Konversi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Putri R. 2009. Analisis Konversi Lahan di Kabupaten Tanggerang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ruswandi A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ruswandi M. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kawsan Bandung Utara. Jurnal tanah dan Lingkungan. Vol.9. no.2: 63-70.
Sandi RN. 2009. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sitorus S. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Situmeang M. 1998. Pola Hubungan Antara Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Transformasi Struktur Ekonomi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solihah N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Sawah Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sumaryanto, Tahlim S. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Prosiding seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian pertanian abadi. Satyawan Et al. Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-Institut Pertanian Bogor, Bogor.
103
Supriyadi A. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan (Studi kasus: Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutrisno J. 1995. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kehidupan Petani. Laporan Penelitian, Jakarta.
Utomo. 1992. Alih fungsi Lahan: Tinjauan Analitis dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung.
Widjanarko. 2006. Aspek Pertanahan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Prosiding seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta.
Winoto J. 1995. Alih Guna Lahan Pertanian: Permasalahan dan Implikasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih fungsi Tanah Pertanian Dan Implementasinya. Prosiding seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian pertanian abadi. Satyawan et al. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Kebutuhan Data, Jenis Data, Sumber Data
Tujuan Indikator Parameter Jenis data Sumber data Metode Analisis Mengkaji laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang timur
Luas lahan pertanian dari tahun 2001-2010
Ukuran Lahan Pertanian dalam satuan Hektar
Data Sekunder (Time series)
Dinas Pertanian, petenakan, perkebunan, dan kehutanan
Analisis laju alih fungsi lahan
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
• Faktor di tingkat wilayah (Makro)
• Faktor di tingkat petani (Mikro)
• Produktivitas lahan, jumlah industri, proporsi luas lahan terhadap luas wilayah, jumlah penduduk, kebijakan RTRW
• Usia, Lama Pendidikan, pendapatan usaha tani, pengalaman bertani, jumlah tanggungan,
Data Primer (responden) dan Data Sekunder (Time Series)
BPN, Dinas Pertanian, petenakan, perkebunan, dan kehutanan, BPS
Analisis Regresi Linear Berganda dan Analisis Regresi Logistik
Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa Kondangjaya
• Pendapatan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan
• Pengaruh alih fungsi lahan dengan pendapatan
• Penerimaan yang diperoleh usaha tani dan non-usaha tani
Data Primer (Responden)
Kuisioner Analisis Deskriptif dan Uji T-test
Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap lingkungan
• Banjir • Air • Sampah • Udara
• Dampak lingkungan yang dirasakan masyarakat
Data primer (Responden)
kuisioner Analisis Deskriptif
105
106
Lampiran 2. Peta Kabupaten Karawang
107
Lampiran 3. Laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur
Tahun Luas Sawah Laju (persen)
2006 1798 0,000
2007 1789 -0,501
2008 1789 0,000
2009 1847 3,242
2010 1847 0,000
2011 1744 -5,577
Rata-Rata -0,472 Lampiran 4. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Karawang Timur 2006-
2010
Tahun Jumlah Penduduk Laju (persen)
2006 90.485 0,000
2007 94.410 4,348
2008 96.184 1,889
2009 117.383 22,040
2010 118.001 0,536
Rata-Rata 103.292,6 5,76
Lampiran 5. Perunurunan Luas Lahan Sawah Kabupaten Karawang Tahun 2001-2010
Tahun Luas Lahan Sawah (Hektar)
Total PerubahanIrigasi Teknis
Irigasi Setengah Teknis
Irigasi Sederhana
Tadah Hujan
2001 80.531 5.006 4.218 3.855 93.590 02002 80.556 5.107 4.218 3.249 93.130 -4602003 80.600 5.142 3.888 3.167 92.797 -3332004 80.792 4.944 3.878 3.172 92.786 -112005 81.698 3.595 2.659 3.163 91.090 -16962006 82.285 4.188 4.590 3.322 94.385 32952007 81.595 5.068 4.011 3.218 94.311 -742008 83.021 3.852 4.165 3.273 94.311 02009 85.513 4.009 4.055 3.952 97.529 32182010 83.021 3.852 4.165 3.273 94.311 -3218
108
Lampiran 6. Data Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah
Tahun X1 X2 X3 X4 D
2001 0.00000000 189.00000 5.97199184 53.38025518 0
2002 4.09684134 179.00000 5.99916226 53.11788829 0
2003 2.18338783 247.00000 6.05445350 52.92795747 0
2004 1.61596039 252.00000 6.34416369 52.92168348 0
2005 1.92273889 251.00000 6.45026677 51.95434816 1
2006 1.93683574 259.00000 6.43500209 53.83369361 1
2007 2.28010193 504.00000 6.19962812 53.79148676 1
2008 1.89440950 439.00000 6.50931972 53.79148676 1
2009 1.47182402 653.00000 7.02531402 55.62691428 1
2010 0.12031616 661.00000 7.38395455 53.79148676 1 Keterangan:
X1 = Laju Pertumbuhan Penduduk (persen)
X2 = Jumlah Industri Besar (unit)
X3 = Produktivitas (ton/hektar)
X4 = Proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah (persen)
D = Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
Lampiran 7. Data Pendapatan Sebelum dan Sesudah Melakukan Alih Fungsi Lahan
No Sebelum Alih Fungsi Setelah Alih Fungsi
Pendapatan Usaha Tani*
pendapata non Usaha Tani*
Total Pendapatan Pendapatan usaha tani
Pendapatan non usaha tani
Total Pendapatan
1 4182518.47 0.00 4182518.47 0.00 12000000.00 12000000.00 2 5373365.23 0.00 5373365.23 0.00 13680000.00 13680000.00 3 2313159.82 0.00 2313159.82 0.00 12000000.00 12000000.00 4 10742314.22 2662166.03 13404480.25 12315333.00 4800000.00 17115333.00 5 15524672.31 18000000.00 33524672.31 3040000.00 18000000.00 21040000.00 6 4182518.47 0.00 4182518.47 0.00 7200000.00 7200000.00 7 4182518.47 0.00 4182518.47 3040000.00 9600000.00 12640000.00 8 2597956.09 0.00 2597956.09 1520000.00 8400000.00 9920000.00 9 3238423.75 0.00 3238423.75 1776600.00 6000000.00 7776600.00 10 8327375.37 0.00 8327375.37 2769900.00 0.00 2769900.00 11 2422050.00 0.00 2422050.00 0.00 6000000.00 6000000.00 12 29916717.04 0.00 29916717.04 19702000.00 0.00 19702000.00 13 31314171.62 0.00 31314171.62 8224500.00 10000000.00 18224500.00 14 5782899.56 0.00 5782899.56 0.00 24000000.00 24000000.00 15 1092270.60 36000000.00 37092270.60 0.00 36000000.00 36000000.00 16 19741006.54 14000000.00 33741006.54 0.00 14000000.00 14000000.00 17 46482917.16 0.00 46482917.16 12696000.00 0.00 12696000.00 18 12219606.13 0.00 12219606.13 3000000.00 50000000.00 53000000.00 19 4956238.07 7095653.16 12051891.23 0.00 6000000.00 6000000.00 20 3633075.00 0.00 3633075.00 4120000.00 0.00 4120000.00 21 9384135.26 0.00 9384135.26 3000000.00 0.00 3000000.00 109
22 6273777.70 0.00 6273777.70 7712000.00 0.00 7712000.00 23 35870950.86 0.00 35870950.86 27000000.00 0.00 27000000.00 24 17384423.37 0.00 17384423.37 8200000.00 0.00 8200000.00 25 70216956.28 0.00 70216956.28 14600000.00 0.00 14600000.00 26 9343470.67 0.00 9343470.67 12600000.00 0.00 12600000.00 27 13015795.60 0.00 13015795.60 0.00 8400000.00 8400000.00 28 6273777.70 0.00 6273777.70 5426000.00 3600000.00 9026000.00 29 40732020.43 0.00 40732020.43 31237334.00 24000000.00 55237334.00 30 7266150.01 0.00 7266150.01 9667000.00 2600000.00 12267000.00
Jumlah pendapatan 433987231.80 77757819.19 511745050.98 191646667.00 276280000.00 467926667.00 Pendapatan rata-rata 14466241.06 2591927.31 17058168.37 6388222.23 9209333.33 15597555.57 Rata-rata pendapatan per bulan 1205520.09 215993.94 1421514.03 532351.85 767444.44 1299796.30
Keterangan: * : Pendapatan sebelum dilakukan compounding dengan suku bunga saat ini 5,75 %
110
Lampiran 8. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah
Regression
Variables Entered/Removeda Model Variables
Entered Variables Removed
Method
1 RTRW, LPP, PLLS, P, JIb
. Enter
a. Dependent Variable: PLS b. All requested variables entered.
Model Summaryb Model R R
Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
Change Statistics Durbin-Watson R Square
Change F Change df1 df2 Sig. F
Change 1 .930a .866 .698 1079.89649 .866 5.155 5 4 .069 1.603 a. Predictors: (Constant), RTRW, LPP, PLLS, P, JI b. Dependent Variable: PLS
ANOVAa
Model Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
1 Regression 30055885.158 5 6011177.032 5.155 .069b
Residual 4664705.742 4 1166176.436
Total 34720590.900 9
a. Dependent Variable: PLS b. Predictors: (Constant), RTRW, LPP, PLLS, P, JI
111
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standar
dized
Coeffici
ents
t Sig. 95.0% Confidence Interval for
B
Correlations Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound Zero-
order
Partial Part Toleran
ce
VIF
1
(Cons
tant) -141524.521 32131.917
-4.404 .012 -230737.024 -52312.018
LPP 113.619 361.108 .066 .315 .769 -888.978 1116.216 .168 .155 .058 .753 1.328
JI -13.226 4.734 -1.253 -2.794 .049 -26.369 -.082 -.020 -.813 -.512 .167 5.992
P 88.008 1615.013 .020 .054 .959 -4395.986 4572.002 -.098 .027 .010 .239 4.184
PLLS 2701.764 558.153 1.306 4.841 .008 1152.083 4251.445 .594 .924 .887 .461 2.169
RTR
W 1762.822 1000.183 .463 1.762 .153 -1014.131 4539.776 .120 .661 .323 .486 2.059
a. Dependent Variable: PLS
112
Coefficient Correlationsa
Model RTRW LPP PLLS P JI
1
Correlations
RTRW 1.000 -.195 .144 -.234 -.328LPP -.195 1.000 -.037 .345 .019PLLS .144 -.037 1.000 .176 -.613P -.234 .345 .176 1.000 -.625JI -.328 .019 -.613 -.625 1.000
Covariances
RTRW 1000366.238 -70558.962 80639.366 -377875.276 -1551.417LPP -70558.962 130399.193 -7421.470 201009.698 31.818PLLS 80639.366 -7421.470 311534.689 158490.450 -1620.075P -377875.276 201009.698 158490.450 2608265.893 -4781.423JI -1551.417 31.818 -1620.075 -4781.423 22.410
a. Dependent Variable: PLS
NPar Tests One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 10
Normal Parametersa,b Mean 0E-7Std. Deviation 719.93099531
Most Extreme Differences Absolute .220Positive .177Negative -.220
Kolmogorov-Smirnov Z .697Asymp. Sig. (2-tailed) .716a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. 113
Charts
114
Lampiran 9. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan
Logistic Regression Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1
Step 23.257 7 .002
Block 23.257 7 .002
Model 23.257 7 .002
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R
Square
1 21.730a .441 .653
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 8.207 8 .413
115
Classification Tablea
Observed Predicted
peluang Percentage Correct
Tidak Alih Fungsi Alih Fungsi
Step 1 peluang
Tidak Alih Fungsi 7 3 70.0
Alih Fungsi 1 29 96.7
Overall Percentage 90.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a
Usia .117 .079 2.220 1 .136 1.124LP -.749 .455 2.708 1 .100 .473Produktivitas -1.613 1.142 1.994 1 .158 .199Luas -1.262 .515 5.999 1 .014 .283PPSP -171.148 3023.859 .003 1 .955 .000Tanggungan -.151 .460 .108 1 .743 .860Pengalaman -.102 .067 2.296 1 .130 .903
Constant 17126.538 302385.906 .003 1 .955 .
a. Variable(s) entered on step 1: Usia, LP, Produktivitas, Luas, PPSP, Tanggungan, Pengalaman.
116
Lampiran 10. Dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan total T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error
Mean
Pair 1 Sebelum 1421514.0310 30 1409787.59867 257390.82303
Setelah 1299796.2973 30 1064061.59634 194270.17963
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Sebelum & Setelah 30 .406 .026
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1Sebelum
- Setelah 121717.73367 1379067.59195 251782.14281 -393234.56817 636670.03551 .483 29 .632
117
Lampiran 11. Dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan usaha tani T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Sebelum 14466241.0600 30 16145702.31734 2947788.45532
sesudah 6388222.2333 30 8173296.60852 1492232.97389
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Sebelum & sesudah 30 .692 .000
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig.
(2-
tailed
)
Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Sebelum -
sesudah 8078018.82667 12034744.65261 2197233.70668 3584171.31907 12571866.33427 3.676 29 .001
118
119
Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian
Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur
Alih Fungsi Lahan di Desa Kondangjaya Lahan Sawah di Desa Kondangjaya
Wawancara dengan petani di Desa Kondangjaya
120
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 24 Januari 1991 sebagai putri
kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Budy Christianto dan Ibu
Fahriana. Pada tahun 1994 penulis memulai studinya di TK (Taman Kanak-kanak)
HANG TUAH XI Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan
pendidikan di SDN (Sekolah Dasar Negeri) 07 Pondok Labu, Jakarta Selatan dan
lulus tahun 2002. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMPN (Sekolah
Menengah Pertama Negeri) 96 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2005.
Kemudian penulis bersekolah di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 66
Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah setahun belajar di Tingkat Persiapan Bersama
(TPB-IPB). Pada tahun 2009 penulis memasuki Mayor Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen-IPB. Untuk melengkapi kompetensi Mayor, penulis
mengambil Minor Komunikasi Pengembangan Masyarakat dibawah naungan
Fakultas Ekologi Manusia yang mampu mendukung studi penulis.
Selama kuliah penulis aktif pada lembaga kemahasiswaan intra kampus.
Tercatat penulis pernah menjadi anggota divisi Intenal Development, pada
Resource and Environmental Economics Student Association (REESA)
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM-IPB selama dua
periode tahun 2009-2011. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kegiatan baik
sebagai peserta maupun sebagai panitia.