Post on 01-Apr-2016
description
ETNONESIA
JALAN CERDIK MENTAWAI
Memahami alam, mengikuti pemerintah, mencari penghidupan.
Saat PenentuanKalimantan
ETNONESIA.ORG JUNI 2014
ETNONESIALocal Exploration
ETNONESIA merupakan organisasi non-profit yang bertujuan memberikan pe-mahaman perihal kajian-kajian dalam ranah sosial, kultural, geografi, antariksa, dan sains. Menerbitkan Majalah ETNONESIA setiap bulannya sebagai jurnal re-smi bagi seluruh kalangan masyarakat. Eksplorasi lokal merupakan misi kami, dalam upaya memahami setiap jengkal kehidupan bermasyarakat setiap umat manusia dulu, kini, dan nanti.
Saat Penentuan Kalimantan hal 5
Jalan Cerdik Mentawai hal 26
Sajian Utama
2 ETNONESIA
DARI EDITOR
3 ETNONESIA
Berubah Cerita tentang suku terasing adalah cerita-cerita tentang kekaguman kita, manusia kota perihal cara hidup mereka. Berburu, meramu, dan berladang dengan skala kecil merupakan sebuah kiasan yang tak berujung manaka-la kita membicarakan mereka. Dan tentu, alangkah sedihn-ya jika cerita tentang mereka, kita dengarkan dengan nara-si-narasi yang diluar ekspektasi kita. Tapi, itulah yang terjadi. Kita boleh saja memiliki imajinasi tingkat tinggi tentang kehidupan yang harmo-nis tentang mereka. Tapi lagi-lagi, kenyataan berkata lain. Modernisasi telah sejak lama mengunjungi mereka. Ditam-bah kenyataan lainnya, bahwa mereka dianggap terbel-akang, dianggap “bukan manusia” dan anggapan lainnya yang mengucilkan mereka. Akibatnya mudah ditebak, ke-hidupan mereka, yang belakangan kita tahu merupakan ke-hidupan terbaik dalam mengatasi segala masalah-masalah alam, harus dipaksa dimusnahkan. Pemerintah bergeming, mereka menganggap apa yang dilakukan adalah sema-ta-mata memanusiakan mereka. Ironis, Mentawai telah berubah.
Ahmad ZaenudinEditor in Chief
Rimba raya tengah menghilang dalam asap dan serbuk gergaji, tetapi masih ada harapan bagi keanekaragaman hayati Kalimantan yang melegenda itu—jika demam kelapa sawit dapat diredakan.
Saat Penentuan Kalimantan
Oleh Mel White Foto oleh Mattias Klum
Hari itu bermula beberapa jam sebelum fajar menyingsing
dengan riuh rendah bunyi ungka, jam weker khas hutan
hujan. Kekasih dan seteru saling merayu dan mengancam
dari puncak pepohonan dalam bahasa monyet yang kepepet,
bahasa yang hanya dapat saya tebak-tebak, sebagai kerabatnya
yang hidup di atas tanah.
Dari kemah saya, jalan di tepi anak sungai membentang ke dalam
hutan, melalui pepohonan yang batang besarnya menjulang 30
meter hingga dahan yang terendah. Saat sinar surya samar-
samar menembus tajuk hijau yang rimbun, primata yang lain,
seekor monyet ekor panjang, berjalan di tanah di sepanjang
aliran sungai, mencari ikan atau katak untuk sarapan. Entah
berhasil atau tidak, raut mukanya yang selalu kesal tak pernah
berubah. Begitu monyet itu menghilang ke hulu, sepasang
cerpelai ekor pendek berlari turun ke tepi sungai, sepertinya
lebih ingin bersenang-senang daripada mencari makanan.
Di suatu daerah terbuka, sepasang rangkong badak terbang dengan
sayap menderu ke pohon yang berbuah dan mulai makan. Burung
ini hampir sebesar kalkun, warnanya sebagian besar hitam, serta
memiliki tanduk besar berwarna merah dan kuning di atas paruhnya
yang berkilat terkena sinar mentari, seperti pernis mengilap. Kedua
burung ini lebih cerah daripada semua hal lain di dalam rimba,
sampai satu sosok sebesar telapak tangan terbang ke sana kemari
setinggi pinggang, warnanya hitam beludru pekat, tetapi juga ada
merah tua dan hijau elektrik, hijau neon mencolok, warna yang
sama berlagaknya dengan nama makhluk ini: kupu-kupu raja
Brooke. Dengan lebar hampir 18 sentimeter, satwa ini adalah
salah satu kupu-kupu terbesar di dunia. Jika rangkong badak tidak
memukau Anda—jika kupu-kupu raja Brooke juga tidak—mintalah
seseorang memegang pergelangan dan memeriksa nadi Anda.
Kemudian saya menumpang perahu kecil menghiliri sungai lebar
yang bernama Kinabatangan, lalu masuk ke arah hulu anak
sungai yang sesempit gang. Sepasukan bekantan memanjat di
cabang-cabang pohon di atas kepala kami, tempat primata-
primata itu melewatkan malam di atas kayu-kayu tinggi di tepian
sungai. Si jantan berperut buncit, dengan hidung kebesaran yang
menggantung di wajahnya seperti buah matang, tampak demikian 6 ETNONESIA
jelek sehingga menimbulkan rasa sayang, seperti pada nenek-nenek yang
cerewet. Sebagian besar betina berhidung runcing dalam kelompoknya
menggendong bayi di dadanya. Beberapa lutung hitam mengawasi
kami dari atas, sementara seekor babi hutan berdiri tak jauh di dalam
hutan mengawasi kami lewat. Saat perahu hanyut di kolong dahan yang
melintasi sungai, seekor biawak sepanjang dua meter masuk ke air.
Seekor gajah kalimantan masuk ke sungai dan berenang di depan
perahu, mengembuskan napas seperti seekor paus. Ukuran gajah ini
kecil jika dibandingkan dengan gajah lain, tetapi saat satwa yang gelap
dan berkilat ini muncul di seberang sungai, gajah kalimantan tersebut
terlihat seperti pulau yang muncul dari dalam laut. Saya tahu ke mana
tujuannya: sekawanan gajah yang terdiri atas sekitar 30 ekor—seekor
jantan bergading panjang, betina dewasa dalam jumlah besar, dan
beberapa anak beragam usia—mengunyah tanaman merambat di tepi
sungai besar, dingin seperti patung dan hanya sedikit lebih hidup.
Inilah Kalimantan yang melegenda, pulau fantasi dunia, dan memang
sama menakjubkannya dengan yang terdengar. Namun, jika Anda
ingin melihat Kalimantan sesungguhnya, Kalimantan di dasawarsa
pertama abad ke-21, cobalah menjadi elang-ular bido yang bertengger
di atas pohon di seberang sungai. Lalu Anda dapat membubung
tinggi di atas Sungai Kinabatangan dan melihat betapa cepat rimba
yang semrawut berubah menjadi barisan pohon kelapa sawit yang
ditanam rapi, membentang berkilo-kilometer ke semua jurusan.
Perkebunan sawit itu tampak rimbun dan hijau, pelepahnya yang melengkung
menampilkan keindahan eksotis, tapi bagi keanekaragaman hayati
Kalimantan yang tiada bandingannya, hal itu merupakan maut tanpa ampun.
Terletak di antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa serta
dibelah dua oleh Khatulistiwa, Pulau Kalimantan telah berbakti
di sepanjang sejarah manusia, terutama lewat eksploitasi
sumber daya alamnya—banyak yang menganggapnya dijarah—
oleh berbagai bangsa dari seluruh dunia yang silih berganti.
Pedagang Tiongkok datang mencari cula badak, kayu gaharu, serta
sarang burung untuk sup. Kemudian, saudagar Muslim dan Portugis
bergabung untuk mengekspor lada dan emas. Inggris dan Belanda 7 ETNONESIA
mengendalikan pulau itu selama masa penjajahan pada abad ke-19
hingga awal abad ke-20, saat pembalak mulai menebangi hutan kayu keras
tropis yang menyelimuti pulau tersebut. Pembagian Kalimantan secara
politis saat ini—tiga perempat di selatan masuk Indonesia, sebagian
besar sisanya masuk Malaysia, dan sebagian kecil menjadi Brunei
Darussalam—mencerminkan persekutuan zaman penjajahan Inggris dan
Belanda yang berakhir dengan kemerdekaan setelah Perang Dunia II.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan-perusahaan dari Eropa,
Amerika Serikat, dan Australia telah menggali minyak dan gas alam yang
melimpah serta batubara di tambang terbuka. Banyak rumah mewah
mulai dari Amsterdam hingga Melbourne, dari Singapura hingga Houston,
yang dibangun dengan kekayaan dari Kalimantan. Rumah mewah yang
dibangun dengan kekayaan Kalimantan juga berdiri di Jakarta dan Kuala
Lumpur, karena Indonesia dan Malaysia, atau setidaknya elite ekonomi
dan politiknya, adalah yang paling banyak melakukan eksploitasi di
antara semuanya.
Kekayaan dalam jenis yang berbeda menarik orang yang lain,
termasuk naturalis besar Alfred Russel Wallace, yang menghabiskan
waktu di sini pada pertengahan 1850-an saat dia mengembangkan
teori yang penting bagi pemahaman modern tentang evolusi dan
biogeografi. Wallace mengumpulkan lebih dari seribu spesies yang
saat itu belum dikenal oleh ilmu pengetahuan, termasuk kupu-kupu
raja Brooke. Para ilmuwan terus menemukan spesies baru sejak saat
itu, membuktikan bahwa hutan hujan Kalimantan termasuk salah
satu tempat yang secara biologis paling beraneka ragam di Bumi.
Kalimantan memiliki lebih dari 15.000 spesies tumbuhan yang sudah
dikenal, termasuk lebih dari 2.500 spesies anggrek. Hutan dataran
rendah Asia Tenggara, termasuk Kalimantan, merupakan hutan
hujan tropis paling jangkung di dunia, dan bisa ditumbuhi hingga
240 spesies pohon dalam kawasan seluas satu setengah hektare.
Kalimantan memiliki bunga terbesar di dunia, anggrek terbesar di
dunia, tanaman karnivora terbesar di dunia, serta rama-rama terbesar
di dunia. Dalam struktur bertingkat-tingkat hutan hujan Kalimantan,
hidup kumpulan satwa peluncur terbesar di dunia: Selain beberapa
spesies tupai terbang, ada kubin, kubung, dan katak pohon, serta—
sumber mimpi buruk bagi sebagian orang—ular pohon surga. 8 ETNONESIA
Beruang madu dan macan dahan berkeliaran di hutan Kalimantan,
sementara dua spesies ungka dan delapan spesies monyet dan
lutung memanjat pepohonan. Sekitar 1.000 ekor gajah masih bertahan
di salah satu sudut pulau itu—sebagian besar di negeri Sabah,
Malaysia, tempat Sungai Kinabatangan mengalir hingga ke Laut Sulu.
Badak sudah nyaris punah, tak sampai empat lusin yang tersisa.
Namun, adalah satwa yang lebih berkarisma—orangutan—yang menjadi
simbol Kalimantan. Matanya yang ekspresif menatap dari lembaran laporan
berkala dan permohonan dana kelompok konservasi di seluruh dunia.
Mengingat keanekaragaman hayati pulau itu yang tiada bandingannya—
dari orangutan dan badak hingga lumut daun dan kumbang kecil yang
belum ditemukan—serta laju penyusutan hutan, masa depan Kalimantan
mungkin menjadi masalah pelestarian paling kritis di planet kita.
Dari sudut pandang satelit, ancaman penggundulan hutan Kalimantan
mungkin tampak berlebihan. Pulau ini setengahnya masih diliputi hutan
dan di dataran tinggi pedalamannya terbentang ratusan kilometer persegi
hutan perawan yang hampir tak pernah didatangi siapa pun selain pemburu
pribumi, pemburu liar, dan pencari gaharu. Untuk mencapai beberapa
kawasan tertentu, perlu menumpang perahu selama beberapa hari atau
terseok-seok menembus belantara yang tak memiliki jalan setapak.
Namun ceritanya sungguh berbeda dan semakin memilukan untuk hutan
dataran rendah yang merupakan habitat utama sebagian besar kekayaan
keanekaragaman hayati Kalimantan, termasuk orangutan dan gajah.
Dalam dua dasawarsa terakhir, diperkirakan 8.000 kilometer persegi hutan
dataran rendah dibuka setiap tahun, sebuah kawasan yang nyaris satu
setengah kali Pulau Bali. Sebuah makalah dalam majalah Science pada
2001—dengan judul yang mengancam “Akhir Hutan Dataran Rendah
Indonesia?”—memperingatkan “konsekuensi buruk” akibat “kondisi anarki
sumber daya saat ini” dan mengutip kajian yang memperkirakan bahwa
hutan dataran rendah di Kalimantan Indonesia akan hancur total pada
2010. Walau tindakan tegas pemerintah telah mengurangi pembalakan
liar dan ekspor ilegal, hasilnya hanya menunda ramalan kiamat.
Faktor-faktor lain dapat ikut mempercepat tingkat deforestasi. Dalam
20 tahun terakhir, perkebunan homogen kelapa sawit yang luas tersebar 9 ETNONESIA
di seluruh Kalimantan untuk memenuhi permintaan minyak serba guna
(dan sangat menguntungkan) tersebut yang dihasilkan dari buahnya.
Minyak sawit digunakan untuk memasak dan menjadi kandungan
kosmetik, sabun, penganan ringan, serta produk lain yang daftarnya
seperti tak ada habis-habisnya, termasuk bahan bakar hayati. Indonesia
dan Malaysia menyumbang 86 persen pasokan dunia minyak sawit;
sementara kondisi pertumbuhan emas hijau itu sempurna di Kalimantan.
Bahkan saat pelestari lingkungan menyebarkan berita tentang kontribusi
kelapa sawit terhadap deforestasi global—beberapa mengimbau
pemboikotan produk minyak sawit—Indonesia malah menjadi negara
produsen terbesar di dunia, dengan 60.000 kilometer persegi yang
dibudidayakan, angka yang dapat berlipat dua sebelum 2020.
Seakan monokultur kelapa sawit saja tidak cukup, Kalimantan juga
memiliki sumber daya lain yang memberi berkah ekonomi sekaligus
bahaya lingkungan, yaitu sisa-sisa tumbuhan berusia 300 juta tahun
yang dulu tumbuh di tempat yang kini ada di perut Kalimantan, berubah
menjadi batubara. Tambang permukaan—untuk mencari emas dan juga
batubara—tersebar di seluruh Kalimantan timur dan selatan seperti
bopeng, menggantikan hutan dan mencemari sungai dengan limbahnya.
Dalam dunia yang baru menyadari bahaya perubahan iklim, Kalimantan
menarik perhatian dunia karena alasan yang lain, yaitu ekosistem khas
yang disebut hutan rawa gambut yang meliputi sekitar 11 persen pulau
tersebut. Dalam ekosistem ini, pepohonan tumbuh di atas tanah organik
yang terbentuk akibat berabad-abad akumulasi bahan tumbuhan yang
jenuh air. Tanah gambut yang terkadang mencapai kedalaman 20 meter
ini merupakan persediaan raksasa karbon dunia. Jika pepohonannya
ditebang dan lahannya dikeringkan, gambut tropis akan melapuk dan
melepaskan karbonnya ke atmosfer, dan saat kering gambut sangat
mudah terbakar, baik disengaja ataupun tidak. Pembakaran tahunan
besar-besaran yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit baru—dan diperparah oleh seringnya
musim kemarau—menjadi tak terkendali dan memenuhi langit Kalimantan
dengan asap, menutup bandara, serta menyebabkan gangguan
pernapasan bagi jutaan orang hingga sampai ke Asia daratan. Karbon
yang dilepaskan oleh tanah gambut yang membusuk, api, dan deforestasi
telah mendorong Indonesia menjadi negara sumber gas rumah kaca ketiga
terbesar, hanya kalah oleh negara industri China dan Amerika Serikat. 10 ETNONESIA
Waktu sudah hampir habis bagi hutan hujan Kalimantan. Model
konvensional tak memberi banyak harapan. Menyisihkan sejumlah
kawasan luas sebagai taman nasional atau cagar alam, yang menjadi
praktik umum di AS dan negara-negara lain, kebanyakan tidak efektif,
setidaknya di Kalimantan bagian Indonesia karena digerogoti oleh
kekurangan dana, kurangnya dukungan penduduk lokal, serta korupsi
di pemerintahan. Namun, banyak pelestari lingkungan mengatakan
bahwa pembalakan, yang sering dicap sebagai kutukan bagi alam liar,
sebenarnya dapat, jika dilaksanakan secara berkelanjutan, membantu
melindungi sebagian besar keanekaragaman hayati pulau tersebut.
“Hutan hujan perawan adalah konsep yang sudah mati di Kalimantan,”
ujar Glen Reynolds, ilmuwan kepala di Pusat Kajian Lapangan Lembah
Danum di Sabah. “Semua belantara hutan dataran rendah yang bisa
dikonservasi telah dikonservasi. Memang sulit, tetapi yang harus dilakukan
sekarang adalah meyakinkan masyarakat bahwa yang dianggap sebagai
hutan terdegradasi ini dapat melestarikan keanekaragaman hayati."
Pesannya kompleks, tetapi sangat jelas. Untuk melindungi hutan dan
margasatwa Kalimantan, kita perlu merenungkan ulang gagasan lama,
menerima kebenaran baru, dan menggunakan model pelestarian yang
baru. Dan pada akhirnya, nasib Kalimantan mungkin ditentukan di tempat
yang jauh dari hutan, di kantor pemerintahan dan ruang rapat direktur dari
New York hingga Jenewa. Karena banyaknya jumlah karbon yang terikat
oleh tanah dan tanaman, harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan
Kalimantan mungkin tidak terletak pada imbauan emosional melalui
tampang orangutan, tetapi pada fakta nyata perubahan iklim—dan tekad
serta kemampuan kita sendiri untuk melindungi diri dari bencana.
Di seberang Sabah, di provinsi Kalimantan Barat yang masuk Indonesia,
jalan aspal sempit memanjang dari Pontianak, sebuah kota di dekat
Laut China Selatan. Jalan yang dipadati truk dan sepeda motor yang
bising itu melewati toko dan rumah kayu di desa-desa kecil yang
dipisahkan oleh sawah. Panen baru mulai dan di mana-mana terlihat
orang mengempaskan padi ke bidai kayu atau menampi beras untuk
membuang sekam. Hampir tak ada jejak hutan yang dulu tumbuh di sini.
Saya ditemani Dessy Ratnasari, seorang ilmuwan dari organisasi 11 ETNONESIA
riset setempat, pemilik wajah penuh semangat yang berkerudung
biru muda. Sopir kami, Harun—yang seperti banyak orang
Indonesia, namanya hanya satu kata—mengatakan sesuatu
ketika kami melewati bangunan besar yang ditumbuhi rumput liar.
“Ini penggergajian tempat dia dulu bekerja,” terjemah Ratnasari. “Kilang ini
bangkrut karena tak ada lagi pohon untuk bahan kayu. Pabrik ini memiliki 1.300
pekerja dan membayar gaji 800 juta rupiah sebulan”. Beberapa kilometer
kemudian kembali kami melewati dua tempat penggergajian, gerbangnya
terkunci, jendelanya pecah, tempat parkirnya kosong melompong.
“Ada sejumlah perusahaan besar dan beberapa
kilang kecil di sekitar Pontianak,” ujar Harun.
“Kini hanya tinggal satu perusahaan besar yang masih beroperasi.”
Bagaimana bisa hampir sepertiga hutan hujan yang ada di Kalimantan
pada 1985 musnah pada 2005? Jawaban yang mudah dan agak terlalu
menyederhanakan dapat ditemukan dalam singkatan yang digunakan
orang Indonesia sebagai penjelasan atas berbagai masalah di negara itu:
KKN, korupsi, kolusi, nepotisme. Selama 32 tahun masa pemerintahan
Soeharto sampai dia dilengserkan pada 1998, hutan Indonesia termasuk
salah satu sumber daya yang dianggapnya sebagai harta pribadi,
keluarganya, atau pejabat militer yang mendukung agar dia tetap
berkuasa. Setelah era Soeharto, kekuatan politik terdesentralisasi dan
penentuan kebijakan tentang sumber daya alam jatuh ke tangan daerah.
Sayangnya, seringkali hasilnya adalah yang disebut pelestari lingkungan
sebagai “demokratisasi korupsi.”
Pejabat daerah, setelah melihat bagaimana Soeharto dan kroni-
kroninya merampok negara tersebut selama sekian dasawarsa, mulai
ikut ambil bagian. Banyak gubernur, bupati, dan polisi yang dengan
senang hati menerima suap: dari perusahaan kayu untuk memberi izin
penebangan di kawasan yang resminya hutan lindung; dari pembalak
liar agar dibiarkan memasuki taman nasional; dan dari perusahaan
kelapa sawit agar diizinkan membabat habis dan membakar hutan
untuk perkebunan. Masalah kepemilikan lahan dan yurisdiksi yang
centang-perenang memperparah keadaan. Walaupun pemerintah pusat
mengklaim telah menegakkan hukum kehutanan, provinsi dan kabupaten
12 ETNONESIA
kerap menerbitkan hak guna tanah secara mandiri, sementara keputusan
pengadilan yang bertentangan menambah suasana hukum rimba.
Di seberang perbatasan, di Kalimantan Malaysia, negara bagian
Sarawak telah diperintah selama 27 tahun oleh Ketua Menteri Abdul
Taib Mahmud, yang pemerintahannya secara umum dianggap
sebagai lalim dan korup. Pembalakan tak terkendali demikian
menggembosi hutan Sarawak, sehingga sebagian besar pelestari
lingkungan yang berusaha menyelamatkan keanekaragaman hayati
Kalimantan telah, berdasarkan prioritas lingkungan, pada dasarnya
menyerah dan memusatkan perhatian ke tempat lain di pulau itu.
Setelah menjarah hutannya, Sarawak kini mengalihkan perhatian ke
kawasan hutan rawa gambutnya yang luas di pesisir, dengan cepat
mengubah petak demi petak menjadi kebun kelapa sawit, tanpa
mengindahkan keberatan para pakar lingkungan mengenai emisi karbon.
Alam liar bernasib lebih baik di Sabah, negara bagian Malaysia di
Kalimantan bagian timur laut. Walaupun perkebunan sawit berkembang
di sini, lebih dari setengah Sabah masih merupakan hutan. Sebagian
besar hutan ini dibalak secara intensif, dan semakin banyak hektare
dialihfungsikan menjadi perkebunan tanaman komersial, tetapi
Sabah terus menopang beberapa contoh hutan hujan kualitas tinggi
yang masih bertahan: Kawasan Konservasi Lembangan Maliau dan
Lembah Danum. Sementara itu, Brunei Darussalam memiliki begitu
banyak uang dari minyak bumi sehingga tidak perlu mengeksploitasi
hutannya. Negara itu masih memiliki sebagian hutan hujan terbaik di
Kalimantan, tetapi, karena luasnya tak sampai satu persen pulau itu,
kontribusinya terhadap konservasi secara keseluruhan bisa diabaikan.
“Tata kelola pemerintahan” merupakan frasa birokratis yang sering
digunakan oleh diplomat dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja
di Indonesia dan Malaysia. Maksudnya dalam bahasa sederhana adalah
mengenyahkan tangan politikus dan kroninya dari kantong masyarakat
miskin, serta mengizinkan masyarakat mengawasi kebijakan pemerintah
dan memperdebatkannya secara bebas. Semua orang yang bekerja
dalam lingkungan konservasi di Kalimantan sepakat bahwa tidak ada
upaya—baik peraturan, taman nasional atau hutan lindung baru—yang
akan efektif tanpa hal itu.
13 ETNONESIA
“Pengelolaan pemerintahan nyaris menentukan semuanya, yang
bermakna jika kita salah melaksanakannya, hal lain tak ada artinya,”
ujar Frances Seymour dari Center for International Forestry Research
(CIFOR), satu organisasi internasional yang bermarkas di Indonesia
dan menekuni pelestarian hutan dan perbaikan kehidupan masyarakat
di daerah tropik. Sudah ada tanda-tanda kemajuan yang membesarkan
hati di Indonesia—setidaknya di tingkat atas pemerintahan—terutama
sejak 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden.
Langkah besar lainnya dimulai pada 2000 saat Polri, organisasi yang
terkenal korup yang sejak lama terkait dengan penyelundupan dan
pembalakan liar, memisahkan diri dari ABRI. Berita yang lebih baik
muncul pada 2005, ketika Jenderal Sutanto ditunjuk sebagai Kapolri.
“Tidak ada kepala penegak hukum lain di dunia yang membuat kemajuan
seperti dia,” tutur seorang staf senior AS di Jakarta kepada saya.
Ratusan penangkapan terhadap kegiatan pembalakan liar telah dilakukan
sejak saat itu, tidak hanya membidik pekerja lapangan (yang mungkin
hanya menerima delapan belas ribu rupiah sehari), namun juga,
terkadang, pejabat pemerintah dan pembeli kayu tingkat menengah,
termasuk mantan gubernur Kalimantan Timur dan banyak pegawai di
Departemen Kehutanan yang tercoreng korupsi. Taman Nasional Gunung
Palung di Kalimantan Barat yang dulu pernah menjadi cerita seram
tentang perburuan dan pembalakan liar telah mengalami perubahan
besar berkat direkturnya yang jujur dan berdedikasi, dengan pasukan
jagawana yang berpatroli dengan pesawat ultraringan dan perahu motor.
Pada tingkat nasional, banyak menteri Indonesia yang mendapat nilai
tinggi, atau setidaknya lulus pas-pasan, dalam hal dedikasi mereka
bagi reformasi. “Namun begitu, saya jamin di desa ini pasti mustahil
meminta aparat polisi melakukan sesuatu tanpa dimintai sogokan,”
tutur seseorang yang terkait dengan kelompok konservasi kecil kepada
saya. (Saat saya berbicara dengan aktivis, sering saya diminta untuk
tidak menyebutkan namanya.) “Bupati punya teman-teman di Jakarta
yang bisa membubarkan kami,” ujar pekerja LSM yang lain. “Kami harus
hati-hati melangkah. Kalau mau, mereka dapat menghancurkan kami.”
Di beberapa ibukota kabupaten yang saya kunjungi, hasil paling nyata dari
otonomi daerah yang meningkat adalah kompleks kantor pemerintahan
baru yang mentereng; berikutnya yang paling terlihat adalah rumah baru 15 ETNONESIA
yang mentereng milik bupati. “Tantangannya,” ujar Frances Seymour,
“adalah bagaimana cara membantu masyarakat dan pemerintah daerah
mengambil keputusan yang lebih baik untuk jangka panjang karena yang
terjadi sekarang hanyalah masa panen uang yang singkat, sementara
sepuluh tahun dari sekarang pekerjaan tak akan lagi tersedia dan sumber
pendapatan juga akan mengering.” Sementara pedalaman Indonesia
akan tetap miskin seperti sediakala.
Jalan raya berkelok-kelok melalui barisan bukit batu gamping di Kalimantan
Timur, mengikuti rute yang lima tahun sebelumnya adalah jalan tanah
untuk mengangkut kayu. Kini sejauh mata memandang, tak ada apa-apa
selain belukar. Kurang lebih setiap satu kilometer, saat jalan raya melintasi
jurang, ada amblesan kecil yang menyebabkan bagian jalan di tepi tebing
longsor. Namun, kami jarang harus memperlambat kecepatan karena
hampir tak ada kendaraan lain. Terkadang, lubang sebesar bus ini ditandai
dengan ranting-ranting yang ditumpuk di jalan, tetapi terkadang tidak.
“Kontraktornya memberi bayaran kepada pemerintah untuk mendapatkan
kontrak pembuatan jalan dan kemudian sengaja membuatnya dengan
jelek agar mendapat proyek perbaikan beberapa tahun kemudian,
sehingga semua pihak bisa mendapatkan uang lebih banyak,”
kata salah satu rekan saya. Hingga kini, saya sudah begitu sering
mendengar cerita seperti ini sehingga hal tersebut terasa biasa.
Setelah menyeberangi jembatan Sungai Telen, kami berhenti di
dekat rumah di pinggir jalan yang hampir tak layak disebut rumah.
Bangunan itu hanyalah dangau kayu tak berdinding yang paling banter
hanya semeter persegi, lantai panggungnya ditopang gelondongan
kayu setinggi orang dewasa dari atas tanah. Atapnya terpal plastik
biru yang ditunjang galah. Seorang perempuan dan dua orang anak
berada di atas lantai, sementara tiga anak lain bermain di bawahnya.
Batang pohon yang tergeletak bertebaran di ladang di balik dangau
ini; tanahnya hitam baru dibakar, sementara asap mengepul di sana-
sini. Beberapa lelaki dan perempuan bekerja di ladang dengan parang
dan tugal yang terbuat dari belian atau kayu besi. Perusakan hutan
dan pemusnahan habitat tersebut terjadi tepat di depan mataku.
Dua laki-laki datang untuk mengobrol dengan kami—Udan Usat 17 ETNONESIA
dan Ismael, paman dan kemenakan. Mereka memakai caping untuk
berlindung dari sengatan matahari. Wajah dan tangan mereka berlapis
jelaga, sementara keringat bercucuran di kulitnya.
Mereka dari suku Kenyah dan pindah ke sini tahun lalu. Sebelumnya,
mereka tinggal di desa yang bernama Long Noran di Sungai Wahau
di pedalaman Kalimantan. Hutan di sana telah lama musnah, dibabat
oleh perusahaan kayu besar yang dimiliki oleh Bob Hasan yang
reputasinya buruk, seorang kroni Soeharto dan mantan menteri
yang kemudian divonis bersalah melakukan korupsi. Karena hanya
tersisa belukar, seluruh kawasan di sekitar desa mereka, yang
berada di dalam wilayah konsesi kayu perusahaan itu, terbakar
dalam kebakaran besar tahun 1997-98. Kebakaran itu dipicu oleh
beberapa perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan dan
dengan cepat menyebar ke tanah sekitarnya selama musim kemarau.
“Kami punya kebun, pohon buah-buahan, pohon karet, kebun
sayur, semuanya terbakar,” ujar Udan Usat. “Terjadi konflik dengan
perusahaan kayu. Mereka menuduh kami yang menyebabkan kebakaran,
tetapi bukan kami yang melakukannya. Apinya datang dari jauh.”
Keadaan menjadi sangat sulit setelah itu. “Di tempat
kami tinggal, perlu satu jam perjalanan perahu dan 15
kilometer jalan darat untuk mencapai permukiman terdekat
yang ada pasarnya,” katanya. “Mahal kalau pakai kapal.”
Pemerintah menjanjikan setiap keluarga mendapat lima hektare
di sepanjang jalan ini jika mereka ingin pindah. Beberapa
penduduk desa datang melihat tanah ini, berunding, lalu 169
keluarga memutuskan untuk memulai awal baru di tempat ini.
“Di sini, kami berada di antara dua kota, jadi lebih mudah menjual
hasil panen kami saat ladang mulai menghasilkan,” kata Ismael.
Keluarga yang berdekatan bergotong royong, menggilir ladang yang
dikerjakan bersama setiap hari. Mereka akan menanam padi, pisang,
dan rambutan. Pembakaran yang baru mereka lakukan akan menambah
kesuburan tanah dan mereka berharap dapat menikmati panen pertama
tahun depan. Keluarga-keluarga tinggal di dangau sementara saat ini,
karena lebih penting menanami ladang daripada membangun rumah 18 ETNONESIA
permanen. Ismael adalah kepala sekolah dasar di Long Noran, dan
suatu hari nanti, jika ada cukup anak-anak di sini di Sungai Telen,
keluarga-keluarga tersebut mungkin akan membangun sekolah.
“Semoga hidup di sini lebih baik—itulah harapan kami,” ujar Ismael.
Saya berterima kasih kepada mereka atas perbincangan itu dan bertanya-
tanya apakah perlu memberi uang untuk menggantikan waktu mereka
yang tersita. Teropong saya lebih mahal daripada penghasilan keduanya
selama setahun. Saat saya bersiap pergi, seorang anak perempuan kira-
kira umur tujuh tahun membawa kantong plastik berisi dua untuk, kue
tepung goreng, dan sebuah lemper—hadiah makanan untuk saya. Dia
menyodorkan kantong itu. Senyumnya membuat hati saya remuk redam.
Biarpun gedung pencakar langit yang menakjubkan bermunculan di
sekitar Jakarta, biarpun mobil-mobil baru berjejalan di jalan, fakta penting
yang memengaruhi pelestarian di Kalimantan adalah kemiskinan ekstrem
pada sebagian besar orang Indonesia yang mendiami tiga perempat
pulau tersebut. Apapun strategi yang dipakai para pakar lingkungan untuk
menyelamatkan keanekaragaman hayati Kalimantan harus terlebih dahulu
memberi jalan kepada penduduknya untuk meningkatkan taraf hidup.
“Tak ada yang lebih penting dari rasa lapar,” ujar Albertus dari Green
Borneo, kelompok yang berbasis di Pontianak. “Lembaga donor
perlu mengubah cara berpikir mereka tentang hal ini. Kesehatan
yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, kondisi ekonomi
yang lebih baik—itu yang akan membantu melindungi hutan.”
Bahkan saat memperlihatkan ekosistem dan ekonomi Kalimantan Barat
yang hancur akibat pembalakan tak berkelanjutan, Dessy Ratnasari
memastikan bahwa saya memahami manfaat yang dibawanya. “Banyak
orang di Kalimantan Barat dibesarkan dengan uang dari perusahaan
kayu,” ujarnya. “Saya menikmati imbasnya karena ayah saya memiliki kios
pakaian dan uang yang dibelanjakan orang di kios itu berasal dari kayu.
Itulah mengapa saya dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan.”
Salah satu dari sedikit frasa bahasa Indonesia yang saya pelajari adalah
hati-hati, sebagaimana tertera pada papan petunjuk di sepanjang
jalan tanah yang tidak rata ini, yang berbunyi “Hati-Hati Logging". 19 ETNONESIA
Pagi itu cuaca panas di Kalimantan Timur dan saya naik truk bersama
Erik Meijaard, seorang ilmuwan pelestarian lingkungan warga Belanda
di The Nature Conservancy yang telah bekerja di Kalimantan selama
15 tahun, serta rekan kerjanya Nardiyono. Kami melintasi berkilo-
kilometer semak belukar, tetapi bentang alam belum memperlihatkan
tanda akan segera berubah. Kawasan yang dulu merupakan hutan hujan
daratan rendah ini dibabat habis dan tak pernah dihutankan kembali.
Saat kebakaran tahun 1997-98, kawasan ini termasuk dalam 2,6 juta
hektare hutan yang terbakar di Kalimantan Timur. Sekarang kawasan ini
hanya berupa semak, pepohonan kecil, pakis, dan rerumputan, yang
terbungkus tumbuhan merambat. Saat menatap pemandangan yang
kami lintasi, saya berpikir, paling tidak, pemerintah yang bertanggung
jawab dalam membiarkan ini terjadi bersalah karena telah bertindak abai.
“Menyedihkan, ya?” tanya Meijaard yang seolah
membaca pikiran saya. “Meski begitu,” lanjutnya,
“inilah jenis hutan tempat saya dan Nardi
menemukan jumlah orangutan terbanyak.” Kata
“menemukan” di sini maksudnya adalah mereka menghitung sarang
yang dibuat orangutan setiap malam atau menemukan tanda lain yang
menandakan kehadiran satwa itu. Orangutan merupakan kera besar yang
paling penyendiri dan sulit ditemukan sekalipun di lokasi yang jumlah
orangutannya bagus. Meijaard sudah menceritakan bahwa sebenarnya
dia baru melihat dua orangutan liar selama dua setengah tahun terakhir
di kerja lapangan reguler.
Truk sampai di puncak tanjakan kecil di jalan dan—saya hampir
merasa harus menjelaskan bahwa saya tidak mengarang-
ngarang—ada sosok cokelat kemerah-merahan di jalan di depan
kami. Saya melihatnya, tetapi pikiran seperti buntu. Tengah hari...
belukar tak berharga... binatang di tengah jalan... Apa? Ungka?
“Orangutan!” teriak Erik dan Nardi bersamaan. Truk direm mendadak dan
kami semua melompat keluar sementara orangutan itu kabur ke hutan di lereng
landai di samping jalan. Saya mengikutinya melalui teropong sementara
orangutan itu berlari menjauh, beberapa kali berhenti untuk melihat ke arah
kami, sampai kera tersebut menuruni lereng dan hilang dari pandangan. 20 ETNONESIA
Nardi yang biasanya pendiam lepas kendali. “Anda sungguh
beruntung!” ujarnya berulang-ulang. “Orangutan, di jalan!” Berbagai
ungkapan dan pujian ramai terlontar. Pengunjung di Kalimantan
jarang melihat orangutan liar; kebanyakan melihat binatang
setengah jinak di pusat rehabilitasi terkenal seperti Sepilok di
Sabah atau Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah.
Sebenarnya ada makna yang lebih di balik peristiwa ini, selain nasib saya
yang sangat baik. Apa yang baru saya lihat mencerminkan salah satu
isu penting keanekaragaman hayati Kalimantan—dan harapan tipis untuk
melestarikannya. “Hutan industri merupakan masa depan kehidupan
liar di Kalimantan,” ujar Siew Te Wong, yang bekerja dalam pelestarian
beruang madu yang terancam punah.
“Di Kalimantan, spesies dalam kawasan luas tidak punah oleh satu,
bahkan dua, atau mungkin tiga pembalakan,” ujar Junaidi Payne dari
kantor WWF Sabah. “Keseimbangan spesies berubah secara drastis,
tetapi bahkan burung yang khusus, epifit, atau anggrek masih tetap
ada jika kita cari di lembah-lembah kecil atau kawasan basah. Jadi,
kita dapat membalak hutan dan tetap melestarikan keanekaragaman
hayati. Namun, yang tak dapat dilakukan adalah mengubah semuanya
menjadi perkebunan monokultur,” seperti kelapa sawit. “Dengan
begitu, kita kehilangan semuanya. Itu adalah gurun biologis.”
Ahli geografi WWF Raymond Alfred mengajak saya berkeliling Hutan
Lindung Ulu Segama milik pemerintah Sabah, tempat di mana rimba
sepenuhnya—dan secara legal—dibalak, menyisakan hutan yang
tampak sangat kerdil bila dibandingkan dengan hutan hujan pencakar
langit di Lembah Danum yang letaknya tak jauh dari situ. Meski
demikian, para peneliti menemukan konsentrasi orangutan terpadat di
sini dan spesies itu berkembang biak di kawasan yang serupa di seluruh
pulau. Alfred dan para pelestari lingkungan lainnya di Sabah berhasil
membujuk pemerintah untuk menyelamatkan hutan terdegradasi ini
yang sebelumnya direncanakan dikonversi menjadi lahan kebun sawit.
Moratorium penebangan selama sepuluh tahun memberi mereka waktu
untuk mempelajari orangutan dan mereka berharap dapat mendirikan
penginapan dan menarik wisatawan yang mengunjungi pusat rehabilitasi
Sepilok di Sungai Kinabatangan yang letaknya tak jauh dari situ. 21 ETNONESIA
Di Kalimantan Timur, Meijaard menghabiskan sebagian besar
waktunya dalam beberapa tahun terakhir, bekerja dengan perusahaan
penebangan hutan untuk membantu mereka menebang pohon secara
berkelanjutan, dan dengan desa-desa setempat untuk mencarikan
cara agar mereka mendapatkan penghasilan dari hutan. Kaum puritan
mungkin membayangkan tujuan pelestarian utama di Kalimantan
adalah menyisihkan kawasan luas hutan belantara yang tidak tersentuh,
tetapi bagi para ahli biologi yang berurusan dengan kenyataan sehari-
hari, kompromi merupakan satu-satunya alternatif yang realistis.
Saat Meijaard menghabiskan waktu di desa-desa, mendiskusikan pilihan
antara pelestarian hutan dan perkebunan kelapa sawit, dia tidak pernah
menyebut-nyebut orangutan. “Orang akan bosan dalam waktu lima
menit. Bagi mereka, orangutan itu hanyalah satu jenis monyet di pohon
yang membuat orang Barat ingin datang dan melihatnya. Namun, jika
saya bicara dengan mereka tentang ikan di sungai atau babi di hutan,
baru mereka memperhatikan, karena itulah sumber daya yang dapat
mereka ambil dari hutan.”
Meijaard tidak sentimental tentang penebangan pohon dan
kesucian hutan hujan perawan. “Hei, ini daerah tropis, Bung.
Tanaman akan tumbuh kembali,” ujarnya. “Bagaimanapun, hutan
ini harus menghasilkan uang.” Kalau tidak, tak bisa dihindari
hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit atau kayu pulp.
“Cobalah yakinkan orang yang sekarang memiliki kesempatan
ekonomi untuk melepaskan keuntungan-keuntungan itu demi
keuntungan yang lain beberapa tahun kemudian,” kata Paul
Hartman, seorang pelestari orangutan. “Bupati menjabat selama
lima tahun, dan katanya ‘Aku harus menghasilkan uang sekarang.’”
Pengelolaan hutan berkelanjutan—penebangan yang memberi
penghasilan tanpa mengorbankan keberlangsungan ekosistem dalam
jangka panjang—takkan mudah diterima. Di Sangatta, Kalimantan
Timur, saya berbicara dengan Daddy Ruhiyat, seorang staf ahli
pemda bidang pelestarian lingkungan hidup. “Kami telah meminta
perusahaan kehutanan untuk memperlihatkan kepada kami, bagaimana
hutan dapat menjadi semenguntungkan kelapa sawit,” ujarnya. 22 ETNONESIA
“Namun, saat ini tidak ada ide segar dari sektor kehutanan untuk
membuat tanah lebih produktif. Pilihan kami cuma hutan subur tanpa
uang atau membabat hutan untuk kelapa sawit. Ada banyak sekali
perusahaan yang meminta tanah untuk pengembangan kelapa sawit.”
Ruhiyat melihat peran kehutanan di kabupatennya, tetapi terutama untuk
penanaman jati super yang dapat ditebang setiap 15 tahun. “Kami
ingin spesies yang bisa menghasilkan dalam putaran waktu yang relatif
singkat,” ujarnya. “Kami harus menanam hutan dalam perkebunan.
Itulah jalan satu-satunya.”
Saya bertanya bagaimana perasaannya tentang orang seperti
saya, dari Amerika Serikat, negara yang membabat hutannya,
menambang batubara, menguras kehidupan liar, lalu menjadi
makmur, dan datang ke Kalimantan untuk mempertanyakan
keputusan masyarakat setempat tentang pelestarian.
“Masuk akal jika orang dari negara-negara lain memiliki keprihatinan
tentang lingkungan hidup di Kalimantan,” ujarnya. “Saya tidak ada
ganjalan soal itu. Namun, langkah terpenting adalah membuat
masyarakat punya penghasilan lebih. Itu dimulai dengan perkebunan
kelapa sawit yang menghasilkan uang sehingga orang bisa
menikmati hidup. Sulit bagi orang lapar untuk menghargai alam.”
Glen Reynolds dari Pusat Kajian Lapangan Lembah Danum berkata
bahwa, “pembayaran jasa lingkungan hidup” merupakan satu-satunya
cara yang bisa mengimbangi pembabatan hutan dan perkebunan sawit.
Dia menggunakan istilah umum itu untuk menemukan cara membayar
masyarakat, wilayah, atau negara agar menjaga ekosistemnya tetap
sehat dan berfungsi. “Tanpa itu, tak akan ada hutan hujan dataran
rendah yang tersisa di Kalimantan sepuluh tahun lagi,” kata Reynolds.
Protokol Kyoto 1997 tentang pengurangan gas rumah kaca untuk
memerangi perubahan iklim secara kontroversial tidak mencantumkan
ketentuan tentang membayar perlindungan hutan yang ada—“deforestasi
yang dihindari”—namun konferensi multinasional Desember 2007 di Bali
mengangkat masalah itu, karena dianggap sebagai revisi atas pakta
Kyoto.
23 ETNONESIA
Akronim baru, REDD (Reducing Emissions from Deforestation
and forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan), muncul di garis depan perdebatan perubahan
iklim, dan para pelestari lingkungan di Kalimantan segera melihatnya
mungkin sebagai harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan—
menawarkan kemungkinan rencana kerja di mana negara-negara
kaya memerangi perubahan iklim dengan membayar pelestarian
kawasan yang signifikan dari hutan hujan tropis. Berbagai masalah
besar menghalangi pelaksanaan REDD, tetapi bagi masyarakat
yang melihat hutan Kalimantan menghilang, ini adalah kesempatan.
“REDD, menurut pendapat saya, adalah satu prospek besar yang terlihat,”
kata Frances Seymour dari CIFOR. “Mari kita luruskan duduk perkaranya:
Mengapa orang menebang pohon? Demi uang. Jika Anda dapat memberi
masyarakat kesempatan memperoleh uang yang sama atau lebih banyak
dengan membiarkan pohon itu berdiri, itulah jawaban yang Anda cari.”
Pada akhirnya, konservasi di Kalimantan bukanlah tentang keindahan
hutan hujan, orangutan, gajah, atau bahkan kelapa sawit. Tak seorang
pun pelestari lingkungan yang saya wawancarai berpendapat bahwa
minyak sawit pada hakikatnya buruk dan sebagian besar sepakat bahwa
industri yang dikelola secara benar akan menguntungkan rakyat miskin
tanpa mengorbankan kekayaan biologis Kalimantan. Anne Casson, salah
satu pendiri kelompok lingkungan hidup SEKALA, mewakili pandangan
umum saat dia berkata, “Kukira tak ada yang berkata kita tak boleh
menanam kelapa sawit lagi. Namun, ditanam di mana? Kelapa sawit
dapat ditanam di lahan terdegradasi, bukannya di hutan. Hingga saat
ini, izin perkebunan kelapa sawit masih diberikan secara khusus, tanpa
mempertimbangkan masalah lingkungan. Ini dapat berubah jika ada
kemauan politik yang cukup dan perencanaan wilayah yang baik.”
Namun, semuanya itu bermuara ke satu hal. “Semuanya tentang uang,”
ujar Casson. “Uang, uang, uang.”
Berikut ini mimpi yang lain. Di pinggir jalan tanah di Kalimantan bagian
selatan, berdiri sebuah rumah kayu satu kamar, disertai beberapa
pohon pisang di halaman dan kebun sayur kecil di belakangnya.
Di samping rumah itu ada seorang lelaki yang berjongkok mencuci
sepeda motor Yamaha Jupiter Z. Warnanya merah, dan berkilat
di bawah terik mentari saat lelaki itu membilas busa sabun.
24 ETNONESIA
Nama lelaki itu, sebut saja Pak Wang. Dengan motor barunya,
dia bisa pergi ke desa terdekat dalam beberapa menit, alih-alih
berjalan di pinggir jalan raya selama hampir satu jam. Di desa itu
dia bisa berkumpul dengan teman-temannya, membeli keperluan,
mengunjungi kedai karaoke, dan menonton televisi di rumah makan
milik pamannya. Dia bisa merasa menjadi bagian dari dunia ini.
Pak Wang ingin ponsel. Sebagian besar temannya telah punya, dan jika
dia juga punya, akan lebih mudah baginya membuat rencana dengan
mereka, bertanya mau malam mingguan ke mana, atau mengapel
Unita, gadis cantik penjual buah di warung pinggir jalan di kota.
Jadi. Begini pesan bagi dunia. Jika kita ingin melindungi hutan Kalimantan,
melestarikan bagian yang esensial dari keanekaragaman hayatinya yang
mengagumkan, menjamin bahwa orangutan punya tempat untuk membuat
sarang setiap malam, dan burung enggang punya buah untuk dimakan,
katak terbang punya pohon untuk tempat tinggal, hanya ada satu cara
untuk melakukannya. Kita perlu menemukan cara agar Pak Wang dapat
membeli ponsel yang diinginkannya. Dan, setelah dia menikahi penjual
buah yang cantik itu, temukan cara agar mereka bisa menjaga kesehatan
anak-anak dan menyekolahkan mereka. Cara yang menawarkan masa
depan yang lebih baik, tanpa harus mengubah hutan mereka menjadi
perkebunan kelapa sawit atau lubang-lubang steril tambang terbuka.
Dan kita harus melakukannya saat masih ada yang bisa dilindungi.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Majalah National Geographic Indonesia edisi November 2008. Diterbit-ulang ETNONESIA atas izin yang diberikan pihak National Geographic Indonesia.
25 ETNONESIA
JALAN CERDIK MENTAWAI
Memahami alam, mengikuti pemerintah, mencari penghidupan.
Oleh Andara Paramitha Foto oleh C.B. Nieuwenhuis
Saat mendengar frase-fraese tentang “suku”,
“pedalaman”, dan lain hubungannya, tentulah
rujukan kita tak akan jauh-jauh dari sesuatu yang
terlintas dipikiran kita seperti “terbelakang”, “primitif”,
“subsisten”, dan lainnya yang merujuk pada keadaan
paling dasar. Tentu, ini pula tak terkecuali saat kita
menyebut nama Mentawai dalam tulisan ini. Mungkin,
banyak yang akan mengasosiasikan Mentawai dengan
pedalaman hutan Siberut dan hidup secara subsisten
dengan keharmonisannya dengan alam. Mungkin, kita juga
bisa membicarakan Mentawai dengan cerita-cerita menarik
tentang bagaimana tato begitu melekat dalam kehidupan
mereka dan menjadi semacam sibol pembeda. Dan tentu
saja, mungkin banyak pula yang tak tahu apa itu Mentawai.
MENTAWAI adalah nama suku atau dengan mudah dikatakan
sebagai penduduk yang mendiami wilayah pulau Siberut
di sebelah barat lepas pantai Sumatera Barat. Tepatnya,
pulau Siberut berada di utara pulau Sipora dan pulau Pagai.
Di sebelah selatan pulau Siberut, juga terdapat beberapa
pulau-pulau kecil lainnya. Umumnya, dalam memaknai
kata Mentawai, orang-orang akan mengasosiasikan
dengan orang-orang yang bermukim di pulau Siberut,
dan beberapa juga mengasosiasikan Mentawai dengan
pengguhi pulau Sipora serta Pagai. Namun paling kuat
dalam memaknai Mentawai adalah tentu saja Siberut.
Tentu, pulau Siberut tak hanya dihuni masyarakat Mentawai,
ada beberapa suku lain yang juga mendiami wilayah di
pulau Siberut. Beberapa suku yang bisa kita jumpai
misalnya Jawa, Batak, dan tentu saja masyarakat Minang.
Umumnya, masyarakat non-Mentawai yang tinggal di
siberut, terkonsentrasi di wilayah pesisir pulau tersebut.
Lebih tepatnya, orang-orang non-Mentawi bermukim di
sekitaran pelabuhan di Siberut. Bukan tanpa alasan mereka
27 ETNONESIA
tinggal di wilayah demikian. Stereotip yang melekat kuat
dalam memahami masyarakat Mentawai sedikit banyak
berperan dalam “meredam” penyebaran orang-orang
non-Mentawai untuk berpencar. Juga, kepemilikan tanah
secara adat yang masih dipegang kuat orang-Orang
Mentawai membuat masyarakat luar sulit memperoleh
kesempatan tinggal di tempat-tempat diluar wilayah pesisir
pulau Siberut.
ORANG MENTAWI adalah masyarakat komunal yang hidup
secara berkelompok. Seperti orang Dayak yang hidup
dalam sebuah rumah panjang bersama kelompoknya,
hal demikian juga terjadi dalam kehidupan sosial Orang
Mentawai. Mereka hidup dalam sebuah kelompok yang
disebut sebagai “Uma”. Uma inilah yang dibentuk
dari beberapa inti keluarga atau disebut “Lalep”. Tak
ada patokan baku berapa Lalep yang diperlukan untuk
membentuk sebuah Uma, namun umumnya Uma dibentuk
oleh lebih dari delapan Lalep. Dan bukan sembarang Lalep
yang bisa membentuk sebuah Uma. Lazimnya, sebuah
Uma memiliki kesamaan asal-usul mereka. Artinya, Uma
bisa dkatakan terbentuk oleh ikatan darah leluhur mereka.
Dalam sebuah Uma, orang-Orang Mentawai melaksanakan
kegiatan sosial mereka. Meskipun kesatuan intim tetap
berada di lingkungan Lalep. Uma memiliki peranan yang
sangat krusial dalam kehidupan Orang Mentawai. Disanalah
letak identitas dihadirkan. Juga, dalam sebuah Uma, Orang
Mentawai bertahan hidup dengan cara mereka. Berburu,
berladangan, dan hal-hal menyangkut kepemilikian
dinarasikan dalam sebuah Uma.
Pembentukan sebuah Uma dalam masyarakat Mentawai
sangat terkait sekali dengan kesatuan leluhur mereka.
Dalam buku berjudul “Berebut Hutan Siberut: Orang
28 ETNONESIA
Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi” karya Darmanto
dan Abidah Setyowati dijelaskan bagaimana sebuah Uma
adalah perwujudan kecil dari struktur kekerabatan yang
disebut sebagai “Rak-rak”. Rak-rak inilah yang menjebatani
beberapa Uma yang memiliki garis hubungan kekerabatan.
Biasanya, dalam sebuah Rak-rak berhubungan pula
dengan narasi-narasi kepemilikan tanah di wilayah Siberut.
Lebih lanjut, mayoritas Orang Mentawai percaya bahwa
siapapun Orang Mentawai yang tinggal di pulau Siberut
adalah sebuah keluarga yang memiliki garis kekerabatan.
Mereka menganggap diri mereka bersaudara dan berasal
dari asal-usul yang sama. Mereke menyebut “Sirubeiteteu”
sebagai sturktur sosial tertinggi dalam aspek kehidupan
Orang Mentawai.
SISTEM KEPERCAYAAN Orang Mentawai dikenal dengan
sebutan Arat Sabulungan. Secara temimologi, Arat berarti
Adat, sedangkan Sabilungan berarti daun. Secara kasat,
Arat Sabulungan berarti “Daun Adat Istiadat”. Dalam tulisan
berjudul “Magi Sebagai Acuan Identitas Diri Orang Mentawai
dalam Hubungan Antar Suku Bangsa” yang ditulis oleh
Sidarta Pujiraharjo dan Bambang Rudito dijelaskan bahwa
Arat Sabulungan merupakan suatu pengetahuan, nilai,
aturan, dan norma yang dipergunakan oleh Orang Mentawai
untuk memahami serta menginterpretasi lingkungan hidup
mereka. Pemahaman dan intrepetasi tersebut berhubungan
dengan pola-pola interaksi manusia terhadap binatanga,
tumbuhan, tanah, air, udara, dan benda hasil karya manusia.
Tentu, Arat Sabulungan juga berhubungan dengan dewa-
dewa. Masyarakat Mentawai percaya, selain dunia yang
terlihat ada pula yang disebut sebagai dunia tak terlihat.
Alkisah, menurut kepercayaan Mentawai dahulu kala dunia
yang terlihat dan tak terlihat tak dipisahkan. Mereka sama-
sama hidup berdampingan. Namun, kondisi wilayah yang
terbatas dan pertumbuhan kian tak terbendung membuat
30 ETNONESIA
semuanya berubah. Kehidupan harus dipisahkan, agar
tak ada keresahan antar sesama. Terlihat dan tak terlihat
memasuki dunianya masing-masing. Dan masyarakat
Mentawai percaya, tempat tinggal dunia tak terlihat adalah
sekitaran pedalaman hutan. Pantang bagi mereka untuk
merusak hutan. Kehidupan bisa terganggu dan harmonisasi
yang sudah diraih, bisa rusak seketika.
CERITA TENTANG MENTAWAI adalah cerita tentang
keeksotisan. Kisah ini mungkin akan lebih kita sukai
manakala menceritakan bagaimana kehidupan Mentawai
yang harmonis dengan alam, memiliki kearifan lokal yang
baik, serta kisah-kisah magis perihal kehidupan “Arat
Sabulungan”nya. Kita tentu tak akan suka manakala kisah
Mentawai berkisah tentang kerusakan hutan, bekerja
sama dengan penebang kayu dari Jawa atau Sumatera,
atau bahkan bagaimana masyarakat Mentawai berinteraksi
dengan dunia modern. Menonton TV sambil minum Coca-
Cola misalnya. Tapi percayalah, modernitas dengan
berbagai narasi-narasi tentangnya telah hadir dan lama
menetap di Mentawai. Berawal dari kedatangan petugas-
petugas kolonial ke Mentawai, berasngsur-angsur
setelahnya datanglah yang disebut sebagai “zaman
pencerahan” bagi masyarakat Mentawai.
“Zaman Pencerahan” yang dimaksud bukanlah terwujud
dalam bentuk sebenarnya. Telah lama pemerintah, baik
pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun pemerintah
Indonesia memasukkan Orang Mentawai kedalam
golongan “primitif” dan “tertinggal”. Tentu, konsekuensi
yang logis adalah menjadikan Orang Mentawai “modern”
dan “maju”. Dengan pemahaman yang demikian, tentulah
banyak kalangan menganggap bahwa Mentawai tidaklah
cocok dalam mengelola seluruh sumber daya yang mereka
miliki. Setelahnya, pemerintah tak hanya menjadikan
31 ETNONESIA
mereka seakan maju dan berkembang. Aspek sosial
budaya diterabas tanpa memperdulikan budaya Mentawai.
Perusakan hutan, seakan menjadi saksi kunci bagaimana
Mentawai dimodernkan oleh pemerintah. Penerbitan Hak
Pengolahan Hutan seakan-akan menjustifikasi, Orang
Mentawai tak memiliki Hak untuk mengolah hutan. Biar
orang kota yang lakukan. Dan dengan demikian, rusaklah
pola kehidupan Mentawai yang sangat bergantung pada
hutan. Uang tak lagi benda aneh disana. Dan dengan
demikian, aspek ekonomi Mentawai bukan lagi aspek
ekonomi subsisten, melainkan ekonomi tawar menawar
yang sudah melekat kuat dalam kehidupan masyarakat
kota. Mentawai tercerabut.
Satu-satunya jalan keluar terbaik yang dimiliki Orang
Mentawai tentulah jalan cerdik, jalan yang harus mereka
gapai dengan serta merta mengikuti pola yang terlanjur
dibuatkan pemerintah. Jamak melihat bagaimana Orang
Mentawai bekerja dengan perusahaan-perusahaan kayu
dari Jawa atau Sumatera. Inilah pilihan, mungkin bukan
pilihan suci, tapi inilah kenyataan Mentawai.
33 ETNONESIA