Post on 29-Jun-2022
EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN
YANG DIBUDIDAYAKAN TEKNIK KONVENSIONAL
DAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
SKRIPSI
WAWAN SETIYAWAN
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN
YANG DIBUDIDAYAKAN TEKNIK KONVENSIONAL
DAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
Wawan Setiyawan
1113096000017
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
i
ABSTRAK
WAWAN SETIYAWAN. Emisi Gas Metana dari Varietas Padi Mutan BATAN
yang Dibudidayakan Teknik Konvensional Dan System Of Rice Intensification
(SRI). Dibimbing oleh IRAWAN SUGORO dan HENDRAWATI
Salah satu penyebab pemanasan global adalah gas rumah kaca (GRK), seperti gas
metana (CH4) yang merupakan kontributor kedua terbesar penyebab pemanasan
global setelah karbon dioksida (CO2). Sumber emisi metana dapat berasal dari
lahan basah seperti pertanian. Lahan sawah di Indonesia menyumbang emisi
GRK sebesar 69%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui emisi gas metana
dari berbagai jenis tanaman padi yang dibudidayakan menggunakan teknik SRI
dan Konvensional. Penelitian ini dilakukan secara ex situ, dengan variasi
pengukuran pada umur 7, 14, 28, 56 dan 84 HST (hari setelah tanam). Hasil
penelitian kondisi media tanam menunjukan pH berkisar 6,93 – 7.04, suhu 30-
310C, karbon (C) 3,01-3,34%, nitrogen (N) 0,16-0,23%, rasio C/N 13,05-16,29 dan
Volatile Fatty Acids (VFA) total 13,39-3,29. Tingkat emisi metana dipengaruhi
oleh jumlah kandungan C pada tanah. Kebutuhan C ditunjukkan dengan nilai rasio
C/N dan VFA total. Hasil analisis sedimen menunjukkan rasio C/N dan VFA total
tertingi pada varietas Ciherang Konvensional dan terendah pada Sindenuk SRI.
VFA parsial memiliki konsentrasi asam asetat yang lebih tinggi dibandingkan
propionat. Hasil analisis emisi metana menunjukan bahwa sedimen perlakuan
menghasilkan nilai fluks yang berbeda dan meningkat seiring dengan
bertambahnya umur tanam. Emisi metana tertinggi dihasilkan oleh varietas
Ciherang Konvensional (111,67 mg/m2jam) dan terendah pada varietas Sidenuk
SRI (47,61 mg/m2jam). Teknik SRI dapat menekan emisi metana hingga 29,27 %
pada varietas Sidenuk dan 5,35 % pada varietas Ciherang.
Kata kunci: Gas metana, ex situ, lahan sawah
ii
ABSTRACT
WAWAN SETIYAWAN. The Emission of Methane Gas From Variety Paddy
Mutan BATAN Cultivated by Conventional Techniques and System Of Rice
Intensification (SRI). Guided by IRAWAN SUGORO and HENDRAWATI
One of the causes of global warming is greenhouse gas (GHG), like methane gas
(CH4), methane is the second largest contributor to global warming after carbon
dioxide (CO2). Sources of methane emissions can come from wetlands such as
agriculture. Indonesia's rice fields contribute 69% of GHG emissions. The purpose
of this research was to know the emission of methane gas from various types of rice
cultivated using SRI and Conventional techniques. This research was conducted ex
situ, with variation measurement at age 7, 14, 28, 56 and 84 HST (days after
planting). Result of research condition on planting medium showed pH ranged from
6.93 - 7.04, temperature of 30-31C, carbon (C) 3,01-3,34%, nitrogen (N) 0,16-
0,23%, rasio C/N 13,05-16,29 and total of Volatile Fatty Acids 13,39 -3.29.
Methane emission levels are affected by the amount of C content on the soil.
Requirement C is indicated by the total C / N and VFA ratio. The result of sediment
analysis showed the highest total C / N and VFA ratio on Conventional Ciherang
varieties and lowest on SRI Sindenuk. Partial VFA has a higher concentration of
acetic acid than propionate. The methane emission analysis results show the
treatment sediments yield different flux values and increase with increasing age of
planting. The highest methane emissions were produced by Conventional Ciherang
varieties (111.67 mg / m2 hour) and the lowest on Sidenuk SRI variety (47.61 mg /
m2 hour). SRI techniques can reduce methane emissions by up to 29,27 % in
Sidenuk varieties and 5,35 % in Ciherang varieties.
Keywords: Methane gas, ex situ, wetland
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul ‘Emisi Gas Metana Varietas Padi Mutan BATAN yang
dibudidayakan dengan teknik konvensional dan System Of Rice Intensification
(SRI)’. Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar S1
bagi mahasiswa pada program Studi Kimia. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga
pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung
kepada penulis dalam penyusunan skripsi hingga selesai, terutama kepada yang
saya hormati.
1. Dr. Irawan Sugoro, M.Si, selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama berlangsungnya penelitian
serta meluangkan waktunya untuk berdiskusi.
2. Dr. Hendrawati, M.Si, selaku Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan, pengetahuan, serta bimbingannya sehingga banyak membantu
penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan laporan
ini.
iv
3. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Nurhasni, M.Si dan Nurmaya Arofah, M.Eng selaku penguji yang akan
memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
6. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta Bapak Dimin dan Ibu Suminah
atas segala cinta, doa, pengorbanan, nasihat dan motivasinya kepada penulis.
7. Seluruh staf PAIR BATAN, Pak Dono, Ibu Ania, Pak Dika dan Pak Dinar yang
telah memberikan bantuan dan bimbingannya selama penelitian berlangsung.
8. Teman-teman kimia angkatan 2013 dan teman-teman seperjuangan di PAIR
BATAN yang senantiasa memberi dukungan dan keceriaan selama berjalannya
penelitian.
9. Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Untuk itu kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril
maupun materil, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT membalas
semua amal baik yang telah diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, Mei 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
LAMPIRAN .................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah.................................................................................... 4
1.3 Hipotesis .................................................................................................. 5
1.4 Tujuan ...................................................................................................... 5
1.5 Manfaat .................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6
2.1. Gas Rumah Kaca ..................................................................................... 6
2.2. Gas Metana ............................................................................................. 7
2.3. Metanogen dan Metanotrof ..................................................................... 9
2.4. Emisi Metana dari Lahan Sawah............................................................. 12
2.5. Lahan Sawah dan Tanaman Padi ............................................................ 15
2.5.1 Lahan Sawah .................................................................................. 15
2.5.2 Tanaman Padi ................................................................................. 15
2.5.3 Varietas Padi Unggul ..................................................................... 17
2.5.3.1 Padi Ciherang .................................................................... 18
2.5.3.2 Padi Inpari Sidenuk ........................................................... 19
2.5.4 Sistem Budidaya Tanaman Padi .................................................... 20
2.5.4.1 Sistem Pertanian Konvensional ......................................... 20
2.5.4.2 Metode System Of Rice Intensification (SRI) .................... 20
2.6 Spektofotometer UV-VIS......................................................................... 21
2.7 Gas Chromatograph (GC) ....................................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 23
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 23
vi
3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................ 23
3.3. Diagram Alir Penelitian .......................................................................... 23
3.3.1. Pembuatan Media Tanam Tanah Sawah ....................................... 23
3.3.2. Perawatan Tanaman Padi .............................................................. 24
3.4. Metode Penelitian ................................................................................... 25
3.4.1. Pemeliharaan Tanaman Padi ......................................................... 25
3.4.1.1.Pembuatan Media Simulasi Tanah Sawah ......................... 25
3.4.1.2.Persemaian Padi dan Perawatan Padi ................................. 25
3.4.2. Uji parameter ................................................................................. 26
3.4.2.1 Pengukuran Sifat Fisika Kimia Tanah ............................. 26
3.4.2.1.1 pH dan Suhu tanah ........................................... 26
3.4.2.1.2.Pengukuran Kadar Air ...................................... 26
3.4.2.1.3 Pengukuran Karbon Organik Tanah ................. 26
3.4.2.1.4 Pengukuran Kadar Nitrogen Total Tanah......... 27
3.4.2.1.5 Pengukuran Rasio C/N ..................................... 28
3.4.2.2 Analisa Volatil Fatty Acids (VFA) Parsial ........................ 28
3.4.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Sampel Gas Metana .......... 29
3.4.2.4 Kondisi Setalah Masa Panen ............................................. 30
3.4.2.4.1 Tinggi Tanaman Dan Jumlah Anakan ............................ 30
3.4.2.4.2 Pengukuran Karbon Organik Jerami dan Gabah 30
3.4.2.4.3 Pengukuran Kadar Nitrogen Jerami dan Gabah 31
3.4.2.4.4 Pengukuran Kadar Fosfor Jerami dan Gabah ... 32
3.3.3. Analisa Data ......................................................................................... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 34
4.1 Sifat Fisika dan Kimia Sedimen Perlakuan .............................................. 34
4.1.1 pH dan Suhu Tanah ........................................................................ 34
4.1.2 Karbon, Nitrogen dan Rasio C/N Tanah ........................................ 37
4.2 Volatile Fatty Acids (VFA) Parsial Sedimen Perlakuan .......................... 42
4.3 Emisi Metana ........................................................................................... 46
4.4 Kondisi Setelah Masa Panen .................................................................... 51
4.4.1 Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan ............................................ 51
4.4.2 C-Organik, Nitrogen, Fosfor Padi Gabah dan Jerami .................... 53
vii
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 57
5.1 Simpulan .................................................................................................. 57
5.2 Saran ......................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 58
LAMPIRAN .................................................................................................. 67
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik ............ 8
Gambar 2. Skema alur produksi metan di lahan sawah ............................... 13
Gambar 3. Bentuk arenkim padi umur 21 hari. Ae = aerenkim ................... 13
Gambar 4. Mekanisme emisi metana melalui aerenkima pada jaringan
tanaman padi ................................................................................. 14
Gambar 5. Varietas sidenuk umur 56 HST (dokumen pribadi) .................... 18
Gambar 6. Varietas ciherang umur 56 HST (dokumen pribadi) .................. 19
Gambar 7. Reaktor penampung gas metana ................................................. 28
Gambar 8. Persamaan reaksi aminasi, amonifiaksi dan nitrifikasi ............... 40
Gambar 9. Tinggi tanaman .......................................................................... 51
Gambar 10. Jumlah anakan .......................................................................... 52
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik beberapa bakteri metanogen ..................................... 10
Tabel 2. Perbedaan bakteri metanogen dan bakteri metanotrof ................... 11
Tabel 3. pH simulasi tanah sawah ................................................................. 34
Tabel 4. Suhu simulasi tanah sawah .............................................................. 36
Tabel 5. Kadar karbon, nitrogen dan rasio C/N pada sedimen perlakuan ..... 38
Tabel 6. Kadar VFA pada sedimen perlakuan............................................... 43
Tabel 7. Emisi metana satu musim tanam ..................................................... 47
Tabel 8. Jumlah biji tanaman padi pada 5 malai, kadar C jerami, C gabah, P
gabah, P jerami, N jerami dan N gabah ........................................... 54
x
LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Uji ANOVA nilai pH (perbedaan umur tanam).............................. 67
Lampiran 2. Uji ANOVA nilai pH (pebedaan perlakuan) .................................. 67
Lampiran 3. Uji t pH Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional .......................... 68
Lampiran 4. Uji t pH Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional ....................... 68
Lampiran 5. Uji ANOVA nilai suhu (perbedaan umur tanam) ........................... 68
Lampiran 6. Uji ANOVA nilai suhu (pebedaan perlakuan) ................................ 69
Lampiran 7. Uji t suhu Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional ....................... 69
Lampiran 8. Uji t suhu Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .................... 69
Lampiran 9. Kadar VFA total pada tanah sawah ................................................ 70
Lampiran 10. Uji ANOVA emisi metana (perbedaan umur tanam) ................... 70
Lampiran 11. Uji ANOVA emisi metana (pebedaan perlakuan) ........................ 71
Lampiran 12. Uji t emisi metana Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional........ 71
Lampiran 13. Uji t emisi metana Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .... 72
Lampiran 14. Uji ANOVA tinggi tanaman (perbedaan umur tanam) ................. 72
Lampiran 15. Uji ANOVA nilai tinggi tanaman (pebedaan perlakuan) ............. 72
Lampiran 16. Uji t tinggi tanaman Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional ..... 73
Lampiran 17. Uji t tinggi tanaman Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .. 74
Lampiran 18. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan umur tanam) .................. 74
Lampiran 19. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan perlakuan) ...................... 74
Lampiran 20. Uji t jumlah anakan Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional ..... 75
Lampiran 21. Uji t jumlah anakan Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .. 76
Lampiran 22. Perhitung kadar air tanah dan faktor koreksi ................................ 76
Lampiran 23. Perhitungan C organik dan N organik tanah ................................. 77
Lampiran 24. Perhitungan Rasio C/N ................................................................. 78
Lampiran 25. Perhitungan emisi metana ............................................................. 79
Lampiran 26. Perhitungan C organik gabah dan jerami ...................................... 80
Lampiran 27. Perhitungan Nitrogen gabah dan padi ........................................... 81
Lampiran 28. Perhitungan fosfor gabah dan padi ............................................... 82
Lampiran 29. Penekanan emisi metana teknik SRI ............................................. 83
Lampiran 30. Kondisi penelitian emisi metana dari lahan sawah secara ex situ . 84
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Istilah pemanasan global digunakan untuk menggambarkan peningkatan
suhu akibat efek rumah kaca (Indrawan et al., 2007; Marhan et al., 2015; Xiao et
al., 2018). Penyebab pemanasan global adalah Gas Rumah Kaca (GRK). GRK
merupakan gas yang mempunyai kemampuan untuk meneruskan energi cahaya
matahari dan menahan energi tersebut di dalam permukaan bumi sehingga
menyebabkan kenaikan suhu (Indrawan et al., 2007). Gas-gas yang termasuk GRK
yaitu uap air, CO2, metana, nitrooksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs),
perfluorokarbon (PCFs), sulfoheksafluorida (SF6) (Yamin. 2012). Gas metana lebih
efektif menyebabkan efek rumah kaca dibandingkan CO2 (Tang et al., 2014; Zhang
et al., 2018). Metana adalah kontributor kedua terbesar penyebab pemanasan global
setelah CO2. Metana berpotensi 25-30 kali lebih besar menyebabkan pemanasan
global dibandingkan CO2 (Basu, 2013; Myhre et al. 2013; Tang et al., 2014; Zhang
et al., 2018).
Pertanian menyumbang sekitar 50% dan 60% dari emisi antropogenik
global masing-masing untuk metana dan nitrogen oksida (Reay et al., 2007). Lahan
sawah menyumbang emisi 15-20% dari total emisi antropogenik global (Xu et al.,
2007; Li et al., 2011). Tanaman padi memegang peranan penting dalam melepaskan
metana ke atmosfer dari lahan sawah (Watanabe et al., 2005; Kerdchoechuen, 2005;
Alberto et al., 2009; Cobena et al., 2014) dan emisi metana tahunan diperkirakan
sebesar 25-100 Tg (Xu et al., 2007). (Han et al., 2016) menjelaskan emisi metana
2
dari lahan pertanian berjumlah 33-112 Tg pertahun, atau 9-19% dari total emisi
antropogenik global. Ekosistem dengan kondisi anaerob akibat penggenangan
seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya merupakan sumber utama emisi
metana.
Indonesia memiliki luas lahan sawah 8.112.103 Ha yaitu sekitar 6,50% dari
ladang beras dunia (Kementerian Pertanian Indonesia, 2014). Lahan sawah
menyumbang emisi GRK sebesar 69% di Indonesia (Kementerian Lingkungan
Hidup, 2009). Hal itu disebabkan oleh kondisi sawah yang selalu tergenang
sehingga menghasilkan gas seperti CO2, N2O, dan metana (Ussiri & Lal, 2012).
Pengolahan lahan sawah dan keadaan tanah sawah yang dapat memacu
metanogenesis yaitu pengelolaan air, pengolahan tanah, varietas, penggunaan
pupuk, dan iklim (Panjaitan et al., 2015). Setiap varietas mempunyai umur dan
aktivitas akar yang berbeda yang erat kaitannya dengan emisi metana, karena akar
tanaman padi menyediakan substrat berupa karbohidrat, asam organik, asam amino,
dan senyawa fenolik untuk bakteri metanogen sehingga dapat meningkatkan
emisi metana (Das & Baruah, 2008). Rizosfer tanaman padi merupakan habitat
penting bagi bakteri metanogen (Timmis et al., 2010; Watanabe et al., 2010; Ma &
Lu, 2011), karena dekomposisi akar padi serta produksi H2 dan CO2, yang
merupakan substrat untuk metanogenesis (Watanabe et al., 2010).
Metanogen bertanggung jawab atas produksi metana melalui jalur
metabolisme yang disebut proses metanogenesis (Singh, 2009). Laju emisi metana
dari tanah sawah juga ditentukan oleh kombinasi berbagai faktor alami seperti
redoks potensial tanah (Eh), tingkat keasaman (pH) tanah, kondisi iklim, suhu udara
(Watanabe et al., 2005; Huang et al., 2005), sumber karbon, karakteristik tanah,
3
serta kondisi pertanaman padi yang besarnya berbeda tergantung pengelolaan lahan
dan air serta budidaya tanaman yang diterapkan (Susilokarti, 2007; Kim et al.,
2012; Begum et al., 2014; Cobena et al., 2014; Zhou et al., 2014; Hu et al., 2016).
Pertanian di Indonesia, terdapat berbagai macam teknik dalam menanam
padi, salah satunya dengan cara Konvensional dan System of Rice Intensification
(SRI). Teknik Konvensional menggunakan 3 malai dalam satu sistem penanaman
padi, sedangkan SRI menggunakan 1 malai (Uphoff et al., 2009; Thiyagarajan &
Gujja, 2012). Budidaya secara SRI secara umum memunyai keuntungan yaitu
mampu meningkatkan jumlah anakan, pertumbuhan akar yang besar, meningkatkan
jumlah gabah, kualitas gabah yang lebih tinggi dan lebih berat, cepat panen, hemat
air dan tidak mudah rebah (Thiyagarajan & Gujja, 2012). Sekian banyak varietas,
Sidenuk dan Ciherang merupakan salah satu varietas unggul yang banyak
digunakan oleh masyarakat Indonesia. Varietas Ciherang merupakan hasil
persilangan anatara IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-31//IR19661-131-3-
1///IR64////IR64 (Suprihatno et al., 2010), sedangkan varietas Sidenuk merupakan
hasil dari varietas Diah Suci yang diiradiasi gamma 60Co dengan dosis 0,20 kGy
(Suprihatno et al., 2010).
Kerusakan yang diakibatkan oleh GRK terus meningkat, khususnya gas
metana yang dihasilkan oleh antropogenik dibidang pertanian, maka perlu
dilakukan sebuah tindakan pencegahan, agar kerusakan tidak semakin parah. Allah
SWT telah memerintah manusia untuk selalu bertanggung jawab. Seperti yang di
jelaskan pada surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi :
4
‘Telah nampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’ (QS Ar-Ruum: 41)
Berdasarkan ayat tersebut, manusia diwajibkan menjaga bumi salah satunya dari
kerusakan yang diakibatkan GRK, khususnya gas metana dari lahan pertanian.
Masalah tersebut perlu dilakukan sesuatu penelitian, tujuannya agar emisi
metana dari lahan sawah dapat dipelajari sehingga dimasa mendatang dapat
diminimalisir atau dihilangkan. Studi tentang penelitian emisi gas metana dari lahan
sawah sudah banyak dilakukan, namun pengaruh sistem tanam dengan varietas padi
yang berbeda dalam menghasilkan gas metana secara ex situ masih belum
dilakukan. Berdasarkan pemaparan di atas maka perlu diteliti pengaruh variasi padi
Sidenuk dan Ciherang dengan sistem tanam yang berbeda dalam menghasilkan
emisi gas metana.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana produksi gas metana dari jenis padi Sidenuk dan Ciherang ?
2. Bagaimana produksi gas metana dari sistem tanam Konvensional dan
SRI ?
3. Bagaimana pengaruh pH, suhu, tinggi tanaman, jumlah anakan, rasio
C/N, total Volatil Fatty Acids (VFA) terhadap produksi gas metana ?
5
1.3. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perbedaan jenis padi Sidenuk dan Ciherang menghasilkan produksi gas
metana yang berbeda.
2. Perbedaan sistem tanam Konvensional dan SRI menghasilkan kondisi
tanah yang berbeda, semakin besar kandungan oksigen pada tanah maka
semakin besar penekanan gas metana.
3. Perbedaan pH, suhu, tinggi tanaman, jumlah anakan, rasio C/N, total
Volatil Faty Acid (VFA) berpengaruh terhadap produksi gas metana.
1.4. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan, tujuan penelitian ini adalah
1. Mengetahui emisi gas metana dari padi Sidenuk dan Ciherang
2. Mengetahui emisi gas metana dari teknik Konvensional dan SRI
3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi emisi gas metana
1.5 Manfaat
Berdasarkan tujuan yang diuraikan, manfaat dari penelitian ini adalah dapat
mengetahui emisi gas metana pada varietas Sidenuk dan Ciherang, dapat
mengetahui emisi gas metana dari teknik Konvensional dan SRI kemudian dapat
mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi emisi gas metana.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gas Rumah Kaca
Radiasi matahari yang masuk ke bumi dengan menembus atmosfer berupa
gelombang pendek akan menjadi gelombang panjang ketika mencapai
permukaan bumi dan sebagian gelombang lainnya dipantulkan kembali ke
atmosfer. Tidak semua gelombang tersebut dapat menembus atmosfer bumi karena
sebagian ditahan dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer, yang disebut
sebagai Gas Rumah Kaca (GRK) (Kodoatie & Sjarief, 2010). Gas ini disebut GRK
karena fungsinya seperti rumah kaca. Rumah kaca akan meneruskan cahaya
matahari tetapi menahan energi di dalam ketika suhu mulai menghangat atau
memanas. Dampak penghangatan yang sama juga terjadi di bumi oleh gas-gas
atmosfer, sehingga disebut efek rumah kaca (Indrawan et al., 2007). Istilah
pemanasan global digunakan untuk menggambarkan peningkatan suhu akibat efek
rumah kaca (Indrawan et al., 2007; Marhan et al., 2015; Xiao et al., 2018).
Saat ini, konsentrasi gas-gas rumah kaca bertambah banyak, sehingga
mempengaruhi iklim di bumi. Berdasarkan protokol Kyoto, gas-gas rumah kaca
utama meliputi uap air, karbon dioksida, metana, nitrogen dioksida,
hidrofluorokarbon, perfluorokarbon dan sulfoheksafluorida (Yamin, 2012).
Konsentrasi metana di atmosfer kurang dari 0,02% dari jumlah CO2, namun
metana menunjukkan 2 5 - 30 kali lebih berpotensi merusak dibandingkan CO2
(Tang et al., 2014; Zhang et al., 2018). Diketahui pula bahwa keberadaan
konsentrasi metana di atmosfer saat ini meningkatkan temperatur permukaan bumi
sebesar 1,3°C lebih tinggi dibandingkan tanpa meta32na (Basu, 2013).
7
2.2. Gas Metana
Metana merupakan hidrokarbon yang terdiri dari molekul organik berupa satu
karbon dan empat molekul hidrogen. Sifat dari metana yaitu berupa gas, tidak
bewarna, tidak aromatis, dan merupakan gas alam (Raven et al., 2012).
metana memiliki berat molekul sebesar 16,04 g/mol, titik lebur -182,5°C, titik
didih -161,5°C, dan densitas 0,717 kg/m3 (Campbell & Farrell 2015; Capareda,
2013). Metana memiliki waktu paruh di atmosfer selama 12 tahun (Oliver, 2008).
Metan adalah gas rumah kaca yang dihasilkan melalui dekomposisi bahan organik
secara anaerobik (Levy et al., 2007; Susilokarti, 2007; Bridgham et al., 2013; Yuan
et al., 2014; Singh et al., 2015; Breidenbach & Conrad, 2015).
Mikroorganisme mengkonversi zat organik menjadi asam organik, kemudian
diubah menjadi metana (Yuan et al., 2014). Proses dekomposisi anaerobik untuk
menghasilkan metana terbagi ke dalam 4 fase yaitu hidrolisis, asidogenesis,
asetogenesis, dan metanogenesis (Gambar 1) (Ahring, 2003; Singh et al,. 2015).
Hidrolisis merupakan tahapan awal dalam degredasi anaerobik dari substrat
organik kompleks. Selama hidrolisis, bakteri mengubah substrat organik kompleks
ke senyawa sederhana. Hidrolisis dari molekul kompleks dibantu oleh enzim
ekstraseluler yang diproduksi mikroorganisme hidrolisis (Singh et al., 2015).
Contoh dari bakteri hidrolitik adalah Clostridium spp, Bacilus spp, Probacteria,
(Carballa et al., 2015). Tahapan kedua adalah asidogenesis yang akan
mengkonversi bahan terlarut organik hasil hidrolisis menjadi asam lemak rantai
pendek dan alkohol (Capareda, 2013). Selama proses asidogenesis terjadi proses
fermentasi molekul organik terlarut, dengan bantuan bakteri Pseudomonas,
Bacillus, Clostridium, Micrococcus, dan Flavobacterium (Zieminski & Frac, 2012)
8
Gambar 1. Proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik (Ahring, 2003;
Al Saedi, 2008).
Tahap selanjutnya adalah asetogenesis yang merupakan suatu tahapan dimana
Volatile Fatty Acid (VFA) terdegradasi secara total menjadi asam asetat, hidrogen,
dan karbon dioksida (Cheng, 2009). Produk sampingan dari fase asetogenesis
adalah asam propionat, asam butirat, dan alkohol. Bakteri yang terlibat dalam
proses ini bersifat fakultatif, hidup berkolaborasi dengan bakteri metanogen, dan
hanya dapat bertahan dalam simbiosis dengan jenis yang mengkonsumsi hidrogen.
Mikroorganisme yang berperan dalam tahap asetogenesis adalah bakteri dari genus
Syntrophomonas, Syntrophobacter, Methanobacillus, dan Desulfovibrio
(Suriawiria, 2008).
Metanogenesis adalah tahapan terakhir dengan 2 proses, yaitu konversi asam
asetat menjadi metana (asetotropik) dan konversi dari hidrogen menjadi metana
dengan memanfaatkan karbon dioksida (hidrogenotropik) (Capareda, 2013).
Selain asam asetat dan hidrogen terdapat substrat lain yang memungkinkan untuk
proses metanogenesis, yaitu asam format, metanol, karbon monoksida, dan
9
metilamin (Rao et al., 2013). Kelompok organisme metanogenesis berasal dari
genus Methanosaeta, Methanosarcina, Methanobacterium, Methanococcus,
Methanogenium, dan Methanobrevibacter (Liu & Whitman, 2008).
2.3. Metanogen dan Metanotrof
Bakteri metanogen adalah mikroorganisme prokariotik filum Euryarchaeota
yang menggunakan beberapa substrat dalam menghasilkan metana sebagai produk
akhir metabolisme (Tabel 1). Bakteri metanogenik adalah organisme uniselular
anaerobik (Singh et al., 2015) yang termasuk dalam kerajaan Euryarchaeota dari
domain Archaea (Ferry, 2010). Sebagian besar bakteri metanogen bersifat
mesofilik, dapat berfungsi pada rentang suhu 20 – 40oC (Puspitasari et al., 2012).
Methanogen bertanggung jawab atas produksi metana melalui jalur metabolisme
yang disebut proses metanogenesis (Singh, 2009). Jalur metanogenesis meliputi
metanogenesis asetoklastik (konversi asetat menjadi metana dan karbon dioksida),
dan methanogenesis hidrogenotrofik (konversi hidrogen dan karbon dioksida
menjadi metana) (Dubey, 2005; Nguyen et al., 2015; Breidenbach & Conrad,
2015). Meskipun, ada jalur metanogenesis lain yang melibatkan pengurangan zat
seperti, karbon monoksida, format, methanol, ethanol, isopropanol dan
methylamides (Conrad, 2007; Borrel et al., 2011), tetapi asetat dan CO2 + H2
merupakan sumber karbon utama menghasilkan metana, dibandingkan substrat
yang lain (Yuan et al., 2014).
10
Tabel 1. Karakteristik beberapa bakteri metanogen
Ordo/Genus Jumlah Spesies Substrat
Metanogenesis
DNA (mol% GC)
Methanobacteriales
Methanobacterium 19 H2 + CO2, format 29‒61 27‒31
Methanobrevibacter 7 H2 + CO2, format 26
Methanosphaera 2 Metanol + H2
H2+CO2; dapat
mereduksi S0
33
Methanothermus 2 H2 + CO2, format 29‒34
Methanococcales
Methancoccus 11 H2+CO2,
piruvat+CO2,
format
45‒49
Methanomicrobiales
Methanomicrobium
2 H2 + CO2, format 51‒61
Methanogenium 11 H2 + CO2, format
Methanospirillium 1 46‒50
Methanocorpusculum 5 H2 + CO2, format
H2+CO2, format,
alcohol
48‒52
Methanoculleus H2+CO2, format, 54‒62
Methanosarcinales
Methanosarcina 8 H2+CO2, metanol,
metilamin, asetat
41-43
Methanolobus 5 metanol,
metilamin
38-42
Methanahalobium 1 metanol,
metilamin
44
Methanococides 2 metanol,
metilamin
42
Methanohalophilus 3 metanol,
metilamin, metil
sulfide
41
Madigan et al. (2000)
Lingkungan akuatik seperti tanah sawah, emisi metana ditentukan oleh dua
proses mikroorganisme yang berbeda, yaitu produksi metana oleh bakteri
metanogen secara anaerobik (Bridgham et al., 2013; Breidenbach & Conrad, 2015)
dan oksidasi metana oleh bakteri metanotrof secara aerobik (Tabel 2) (Yun et al.,
11
2013; Knief, 2015). Selain oksidasi secara aerobik, metana juga dapat dioksdasi
dalam kondisi anaerob (Luke et al., 2010; Knief, 2015). Oksidasi aerobik dilakukan
oleh bakteri metanotrof yang memanfaatkan metana sebagai satu-satunya sumber
karbon dan sumber energi (Chen et al., 2014; Nguyen et al., 2015), sedangkan
oksidasi anaerobik digunakan dalam mereduksi sulfat, logam dan nitrit didalam
tanah (Ettwig et al., 2010; Joye, 2012; Scheller et al., 2016). Akan tetapi, sebagian
besar metana yang diproduksi secara biogenik akan teroksidasi secara aerobik oleh
bakteri metanotrof pada permukaan tanah (Conrad, 2007; Yun et al., 2013).
Tabel 2. Perbedaan bakteri metanogen dan bakteri metanotrof
Ciri Metanogen Metanotrof
Bentuk sel Batang, kokus, spiral Batang, kokus, vibrio
Reaksi gram gram +/- gram -
Klasifikasi Arkaeabakteria Eubakteria
Dinding sel Pseudomurein, protein,
heteropolisakarida,
Peptidoglikan
Metabolisme Anaerobik Aerobik
Sumber karbon
dan energi
H2, CO2, H2+metanol; format;
metilamin; metanol, asetat
metana; metanol; dimetil-eter,
metil format, dimetil
karbonat
Produk katabolik metana atau metana + CO2 CO2
Siklus TCA Tidak kompleks Tidak kompleks (tipe I) atau
kompleks (tipe II) ribulosa
monofosfat
Isi GC mol % 20 – 60 50 – 62.5
Spesies Methanobacterium bryanthii
Methanobrevibacter smithii
Methanomicrobium mobile
Methylosinus trichosporium
Methylomonas methanica
Methylocystis minimus
Dubey, 2005
12
2.4. Emisi Metana Dari Lahan Sawah
Emisi metana tahunan diperkirakan sebesar 25-100 Tg (Xu et al., 2007). Han
et al., (2016) menjelaskan emisi metana dari lahan pertanian berjumlah 33-112 Tg
pertahun, atau 9-19% dari total emisi antropogenik global. Dekomposisi bahan
organik dalam tanah sawah dapat menghasilkan produksi metana, yang merupakan
gas rumah kaca potensial dan penyumbang terbesar kedua setelah CO2 (Myhre et
al. 2013). Di Indonesia, lahan sawah menyumbang emisi gas rumah kaca
sebesar 69% (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Lahan sawah padi
merupakan kontributor penyumbang emisi gas rumah kaca, mengingat kondisinya
yang selalu tergenang sehingga menghasilkan gas seperti karbon dioksida, N2O,
dan metana yang berpotensi menimbulkan pemanasan global (Ussiri & Lal, 2012;
Zhou et al., 2014; Sukmawati et al., 2016). Sekitar 90% metana terlepas dari tanah
sawah ke atmosfer lewat tanaman padi (Anitha & Bindu, 2016; Zhang et al., 2018)
karena tanaman padi mempunyai ruang aerenkim dan intersel sebagai media
pengangkutan metana dari tanah tereduksi ke atmosfer.
Metana diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfer melalui tiga cara,
yaitu: (1) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan
melalui mekanisme ebulisi, (2) proses difusi melalui air genangan, dan (3) metana
yang terbentuk masuk ke dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak
secara difusi dalam pembuluh aerenkimia untuk selanjutnya dilepaskan ke
atmosfer (Gambar 2) (Sharkey et al., 2012).
13
Gambar 2. Skema alur emisi metana di lahan sawah (Dubey, 2005; Liu et al., 2017).
Menurut Handayani et al., (2013) keberadaan aerenkim digunakan untuk
mendistribusikan oksigen ke zona akar sebagai bentuk adaptasi sistem perakaran
di tanah yang lembab (Gambar 3). Keberadaan oksigen di zona perakaran
memungkinkan terjadinya oksidasi metana di zona tersebut. Pada saat yang sama,
metana yang ada di zona perakaran ditransportasikan menuju atmosfer dengan
melewati zona aerob melalui jaringan aerenkim (Anitha & Bindu, 2016).
ae = aerenkim
Gambar 3. Bentuk aerenkim padi umur 21 hari. (Handayani et al., 2013)
Rizosfer tanaman padi merupakan habitat penting bagi Methanocellales yang
merupakan salah satu bakteri metanogen (Watanabe et al., 2010; Ma & Lu, 2011),
14
karena dekomposisi akar padi memproduksi H2 dan CO2, yang merupakan substrat
untuk metanogenesis (Watanabe et al., 2010). Perbedaan gradien konsentrasi air di
sekitar akar dengan ruang antar sel pada akar menyebabkan metana terlarut
terdifusi. Pada dinding korteks, metana terlarut berubah menjadi gas dan disalurkan
ke batang melalui pembuluh aerenkima, kemudian lepas ke udara melalui pori-pori
mikro tanaman pada pelepah daun bagian bawah (Gambar 4) (Nouchi, 1992; Lai,
2009).
Gambar 4. Mekanisme emisi metana melalui aerenkima pada jaringan tanaman
padi (Nouchi, 1992)
Pengolahan lahan sawah atau keadaan tanah sawah yang dapat memacu
metanogenesis yaitu pengelolaan air, pengolahan tanah, varietas, penggunaan
pupuk, dan iklim (Okubo et al., 2014; Begum et al., 2014; Cobena et al., 2014;
Zhou et al., 2014; Panjaitan et al., 2015; Hu et al., 2016). Lahan sawah yang
diberikan pupuk organik mempunyai struktur yang baik, dan tanah yang kecukupan
bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar dari pada tanah
yang kandungan organiknya rendah. Umumnya pupuk organik mengandung hara
15
makro nitrogen, fospat dan kalium rendah, tetapi mengandung hara mikro dalam
jumlah cukup. Bahan organik yang tersedia di tanah tersebut akan dimanfaatkan
mikroorganisme dalam memproduksi metana (Yuan et al., 2014).
2.5. Lahan Sawah dan Tanaman Padi
2.5.1 Lahan sawah
Menurut Hardjowigweno dan Rayes (2005), tanah sawah (paddy soil)
merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk menanam padi
sawah. Dalam definisi ini tanah sawah mencangkup semua tanah yang terdapat
dalam zona iklim dengan rezim temperatur yang sesuai untuk menanam padi paling
tidak satu kali dalam setahun (sesuai dengan tersedianya air untuk menggenangi
tanah selama waktu yang diperlukan oleh tanaman padi sawah tersebut). Dengan
demikian temparatur dan air sawah merupakan pembatas utamanya. Salah satu sifat
khas yang dimiliki tanaman padi sawah yakni dapat tumbuh dengan baik pada tanah
yang tergenang. Penggenangan dan pengolahan tanah untuk menanam padi dapat
menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah. Perubahan tersebut meliputi sifat
morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain yang berbeda dari
sifat asalnya (Damanik et al., 2010; Pardosi et al., 2013)
2.5.2. Tanaman Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan penting yang
telah menjadi makanan pokok lebih dari setengah penduduk dunia. Tanaman padi
mengalami tiga fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif aktif, fase reproduktif dan
fase pemasakan. Fase vegetatif aktif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi
primordia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai
rampak, dan fase pemasakan dimulai dari rampak sampai masak (Yoshida, 1981).
16
Tanaman padi merupakan tanaman semusim, termaksud golongan rumput-
rumputan dengan klarifikasi sebagai berikut ( Tjitrosoepomo, 2004,):
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Ordo : Graminales
Family : Graminea
Class : Monocotyledonae
Syb Family : Oryzae
Genus : Oryzae
Spesies : Oryza sativa, L.
Adapun morfologi Tanaman padi meliputi :
a. Akar
Padi mempunyai tiga jenis akar, yaitu akar radikal, akar mesokotil dan
akar buku (adventiv). Ruang udara berhubungan dengan batang dan daun
yang merupakan sistem penyaluran udara yang efisien dari tajuk ke akar.
Akar tanaman memberikan pengaruh yang besar terhadap proses
pembentukan metana oleh bakteri metanogen karena dalam
metabolismenya, akar tanaman akan menghasilkan substrat (eksudat akar)
yang mempercepat proses pembentukan metana. Substrat akar merupakan
hasil samping metabolisme karbon berupa senyawa organik yang
mengandung gula, asam organik dan asam amino (Das & Baruah, 2008).
Kemampuan fotosistesis yang baik pada tanaman akan menyebabkan
substrat akar yang dihasilkan mudah terdegradasi. Kapasitas pengoksidasi
akar yang baik menyebabkan konsentrasi oksigen di sekitar akar meningkat
dan metana teroksidasi secara biologis oleh bakteri metanotrof.
b. Batang
Batang padi terdiri dari suatu rangkaian buku dan ruas yang terbungkus
dalam pelepah daun. Pemanjangan batang hanya terjadi pada beberapa ruas
atas, sedangkan ruas bagian bawah pendek dan tebal. Pembentukan ruang
udara di dalam ruas tergantung pada lingkungan tumbuh dan varietasnya.
17
c. Daun
Daun padi terdiri dari pelepah, helaian, lidah dan teliga daun.
Pertambahan panjang daun bersamaan dengan pertambahan jumlah daun.
Pada helaian dan pelepah daun terdapat ruang udara. Ruang udara pada
pelepah daun berhubungan dengan stomata dan ruang udara pada batang
dan akar.
2.5.3 Varietas Padi Unggul
Sifat fisiologis dan morfologis suatu varietas mempengaruhi besarnya emisi
metana. Selain itu, tiap varietas mempunyai umur dan aktivitas akar yang berbeda
yang erat kaitannya dengan emisi metana. Seperti yang dipaparkan oleh Panjaitan
et al., (2015) bahwa perbedaan varietas mempengaruhi emisi metana. Penggunaan
varietas yang tepat diharapkan dapat menekan emisi metana. Ada beberapa aspek
yang perlu mendapat pertimbangan dalam menentukan pilihan, misalnya potensi
hasil, umur tanaman, ketahanan terhadap hama dan penyakit, mutu beras, selera
konsumen, dan kondisi ekosistem (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, 2006). Penelitian Produk Rekayasa Genetik (PRG) tanaman di Indonesia
dimulai sejak pertengahan 1990-an pada komoditas padi. Dinamika persepsi
terhadap tanaman PRG merupakan tantangan dalam pengembangan teknologi
pertanian secara komersial, meskipun pengalaman beberapa negara selama 17
tahun (1996- 2012), termasuk Indonesia, menunjukkan pengembangan tanaman
PRG tidak terbukti mengganggu lingkungan dan kesehatan manusia (Estiati &
Herman, 2015).
18
2.5.3.1 Padi Ciherang
Ciherang adalah hasil persilangan antara varietas IR64 dengan
varietas/galur lain. Sebagian sifat IR64 juga dimiliki oleh Ciherang, termasuk hasil
dan mutu berasnya yang tinggi. Karakteristik varietas padi Ciherang dipaparkan
oleh Suprihatno et al., (2010):
Gambar 5. Varietas Ciherang umur 56 HST (dokumen pribadi)
a. Asal persilangan : IR18349-53-1-3-
1-3/IR19661-131-
31//IR196611331
///IR64////IR64
b. Umur tanaman : 116-125 hari
c. Bentuk tanaman : tegak
d. Tinggi tanaman : 91-106 cm
e. Anakan produktif : 14-17 batang
f. Warna kaki : hijau
g. Warna batang : hijau
h. Warna lidah daun : putih
i. Warna daun : hijau
j. Muka daun : kasar pada
sebelah bawah
k. Posisi daun : tegak
l. Daun bendera : tegak
m. Bentuk gabah : panjang ramping
n. Warna gabah : kuning bersih
o. Kerontokan : sedang
p. Kerebahan : sedang
q. Tekstur nasi : pulen
r. Kadar amilosa : 23%
s. Bobot 1000 butir : 27-28 gram
t. Potensi hasil : 5-8.5 ton/ha
u. Ketahanan hama : tahan terhadap
wereng coklat
biotipe 2 dan
3
v. Dilepas tahun : 2000
19
2.5.3.2 Padi Inpari Sidenuk
Padi inpari sidenuk merupakan padi unggul hasil pemanfaat teknologi
nuklir. Induk dari padi sidenuk merupakan padi diah suci yang diiradiasi gamma
60Co dengan dosis 0,20 kGy (Suprihatno et al., 2010). Karakteristik varietas padi
inpari sidenuk yaitu berdasarkan Suprihatno et al., (2010):
Gambar 6. Varietas Sidenuk umur 56 HST (dokumen pribadi)
a. Status pelepasan : 2257Kpts/SR.
120/5/2011/2
Mei 2011
b. Nomor Seleksi :Obs-1703/Ps.J
c. Asal Usul : Diah Suci yang
Diiradiasi
gamma 60Co
0,20 kGy
d. Umur tanaman : ± 103 hari
e. Bentuk tanaman : tegak
f. Tinggi tanaman : ±104 cm
g. Anakan produktif : ±15 malai
h. Warna kaki : hijau
i. Warna batang : hijau
j. Warna daun : tidak berwarna
k. Warna daun : hijau
l. Muka daun : kasar
m. Posisi daun : tegak
n. Daun bendera : tegak
o. Bentuk gabah : ramping
p. Warna gabah : kuning bersih
q. Kerontokan : sedang
r. Kerebahan : tahan
s. Tekstur nasi : pulen
t. Kadar amilosa : 20,6 %
u. Bobot 1000 butir : ±25,9 gram
v. Potensi hasil : 9,1 ton/ha
w. Ketahanan t hama : tahan terhadap
wereng coklat
biotipe 1, 2 dan
3
20
2.5.4 Sistem Budidaya Tanaman Padi
2.5.4.1 Sistem Pertanian Konvensional
Sistem konvensional merupakan sistem yang sudah lama dilakukan oleh
petani-petani di dunia. Penanaman padi metode konvensional dimulai dengan
penyemaian, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan dengan pupuk kimia.
Terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan metode Konvensional yaitu
(Bouman et al., 2005; Stoop et al., 2009) :
a. Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda,
biasanya saat berumur 20-30 hari.
b. Bibit ditanam 3-4 benih
c. Jarak tanam lebar minimal 10 x 10 cm hingga 20 x 20 cm
d. Kondisi tanah selalu tergenang
2.5.4.2 Metode System of Rice Intensification (SRI)
SRI adalah cara budidaya tanaman padi yang efisien dengan proses
manajemen perakaran yang berbasis terhadap tanah, tanaman, dan air. Metode SRI
mulai dikembangkan sejak awal tahun 1980 di Madagaskar oleh biarawan Yesuit
asal Perancis bernama Fr. Henri de Laulanie, S.J. Sistem intensfikasi padi ini
memungkinkan petani yang mempunyai lahan sempit dapat meningkatkan hasil
padi sampai 50 atau 100% dengan merubah cara pengelolaan tanaman, air, dan hara
(Uphoff et al., 2009). Secara umum keuntungan metode SRI yaitu meningkatkan
jumlah anakan, pertumbuhan akar yang besar, meningkatkan jumlah gabah, kualitas
gabah yang lebih tinggi dan lebih berat, cepat panen, hemat air, tidak mudah rebah,
dan tidak memerlukan pupuk kimia (Thiyagarajan & Gujja, 2012). Terdapat
beberapa komponen penting dalam penerapan metode SRI yaitu (Bouman et al.,
2005; Stoop et al., 2009) :
21
a Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda,
biasanya saat berumur 8-12 hari.
b Bibit ditanam satu benih
c Jarak tanam lebar minimal 25 x 25 cm hingga 50 x 50 cm agar akar tanaman
tidak berkompetisi dan mempunyai cukup ruang untuk berkembang
sehingga anakan maksimum dapat dicapai.
d Kondisi tanah tidak tergenang, tetapi tetap lembab (irigasi berselang).
e Petak sawah diairi mulai 25 hari sebelum panen.
2.6 Spektrofotometer UV–VIS
Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi
yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet (190-375 nm) dan sinar
tampak (375-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja et al.,
1995) Prinsip dari spektrofotometer UV-Vis adalah mengukur jumlah cahaya yang
diabsorbsi atau ditransmisikan oleh molekul-molekul di dalam larutan berdasarkan
pada hukum Lambert Beer. Ketika panjang gelombang cahaya ditransmisikan
melalui larutan, sebagian energi cahaya tersebut akan diserap (diabsorbsi).
Besarnya kemampuan molekul-molekul zat terlarut untuk mengabsorbsi cahaya
pada panjang gelombang tertentu dikenal dengan istilah absorbansi (A), yang setara
dengan nilai konsentrasi larutan tersebut dan panjang berkas cahaya yang dilalui
(biasanya 1 cm dalam spektrofotometri) ke suatu titik dimana persentase jumlah
cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi diukur dengan phototube (Khopkar,
2003). Hukum Lambert Beer dikembangkan pada tahun 1852 oleh Beer dan
Lambert yang menyatakan secara kuantitatif absorbsi ini sebagai :
Log Io/It = €.L.C
Keterangan :
Io = Intensitas cahaya sebelum melewati sampel
It = Intensitas cahaya setelah melewati sampel
€ = Koefesien ekstingsi, yaitu konstanta yang tergantung pada sifat alami
senyawa substansi dan panjang gelombang yang digunakan untuk analisis.
L = Panjang atau jarak cahaya yang melewati sampel
C = Konsentrasi dari larutan yang dianalisa
22
Hubungan Io/It akan lebih cepat dipahami dengan melihat kebalikan dari
perbandingan tersebut yakni It/Io sebagai transmisi (T) dari larutan, sedangkan log
(Io/It) dikenal sebagai absorbansi (A) larutan (Khopkar, 2003). Sumber radiasi
untuk spektroskopi UV-Vis adalah lampu tungsten. Cahaya yang dipancarkan
sumber radiasi adalah cahaya polikromatik. Cahaya polikromatik UV akan
melewati monokromator yaitu suatu alat yang paling umum dipakai untuk
menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang gelombang (Day dan Underwood,
1989).
2.7 Gas Chromatograph (GC)
Kromatogram gas merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk
mengidentifikasi senyawa kimia yang bersifat mudah menguap. Kromatogram gas
(GC) merupakan suatu metode pemisahan campuran yang terdiri dari dua jenis
komponen atau lebih, yang didasarkan pada perbedaan migrasi di antara dua fase,
yaitu fase diam yang berupa padatan dan fase gerak berupa gas. Gas yang digunakan
harus bersifat inert. Gas yang umumnya digunakan adalah helium, nitrogen, argon
atau hidrogen. (Leba, 2017). Prinsip pemisahan kromatografi gas didasarkan atas
distribusi komponen-komponen senyawa dalam campurannya terhadap fase diam
di dalam kolom. Pada pemisahan dengan metode ini, analit dalam sampel akan
dibawa oleh fase gerak bermigrasi melalui fase diam didalam kolom dengan
kecepatan tertentu dan akan terelusi berdasarkan kenaikan titik didih dan
interaksinya dengan fase diam (Leba, 2017).
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September
2017 di green house dan Laboratorium Biologi, Pusat Aplikasi Isotop dan
Radiasi Badan Teknologi Nuklir Nasional (PAIR–BATAN), Pasar Jumat, Jakarta
Selatan.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah kromatografi gas (GC) Shimadzu tipe GC
8A, spektrofotometer UV-VIS Shimadzu UV 2450, ember (20 buah), kaca
penampung gas emisi gas metana (3 buah), kantung gas (12 buah), alat destilasi,
pH meter, termometer digital, neraca analitik, alat gelas kimia lainnya, dan alat
tulis. Bahan- bahan yang digunakan adalah bibit padi sidenuk dan ciherang, pupuk
NPK, glukosa, selenium, aquadest, molibdat vanadat, K2Cr2O7, HNO3, H2SO4,
NaOH, dan HCl.
3.3 Diagram Alir Penelitian
3.3.1 Pembuatan Media Tanam Tanah Sawah
15 kg tanah dikeringkan
Dimasukkan kedalam pot
Proses Penyawahan
Uji awal tanah sawah
1. Karbon Organik
2. Kadar Nitrogen total
3. Rasio C/N
4. Volatile Fatty Acids
(VFA)
5. Emisi metana
24
3.3.2 Perawatan tanaman padi
SD.S SD.K CH.S CH.K
Penyemaian
Masuk ke dalam pot
1. Karbon Organik
2. Kadar Nitrogen total
3. Rasio C/N
4. Volatile Fatty Acids (VFA)
Pengukuran pada hari ke- 84 HST
1. Gas Metana
2. pH
3. Suhu
Pengukuran pada hari ke- 7, 14, 28, 56
dan 84 HST
1. Tinggi Tanaman
2. Jumlah Anakan
Pengukuran pada hari ke- 7, 14, 21, 28, 35, 42,
49, 56, 63 dan 84 HST
Pengukuran parameter
Data dianalisa menggunakan SPSS
Sidenuk Ciherang
Pemberian pupuk NPK
25
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Pemeliharaan Tanaman Padi
3.3.1.1 Pembuatan Media Simulasi Tanah Sawah
Tanah yang berasal dari kawasan PAIR-BATAN Pasar Jumat dikeringkan
pada suhu ruang green house ±30oC selama 2 minggu, kemudian ditimbang
sebanyak 15 kg dan dimasukan ke dalam pot. Tanah kering diberi air hingga
terendam dan didiamkan selama 2 minggu agar tanah berubah menjadi media tanah
sawah.
3.3.1.2 Persemaian dan Perawatan Padi
Penyemaian dilakukan pada lahan basah, kedua jenis variasi padi yang
berbeda yaitu Sidenuk dan Ciherang disemai selama 12 hari. Padi berumur 12 hari
dipindahkan ke dalam pot yang berukuran lebih besar. Padi yang sudah
dipindahkan ke dalam media tanam berupa pot, diperhatikan ketinggian air, untuk
metode SRI ketinggian air hanya berupa mencak-mencak atau lembab. Pemberian
pupuk menggunakan NPK, dimana N = urea, P = TSP dan K = KCl. Pengukuran
sampel gas metana dilakukan selama perawatan padi, yaitu pada hari ke -0, 7, 14,
28, 56 dan 84 hari setelah tanam (HST). Sampel tanah diukur pada umur 0 dan 84
HST. Pengukuran meliputi karbon organik, kadar nitrogen total, rasio C/N dan
Volatile Fatty Acids (VFA). pH dan suhu diukur pada umur ke- 0, 7, 14, 28, 56 dan
84 HST, sedangkan untuk tinggi tanaman, jumlah anakan diukur pada umur 7, 14,
21, 28, 35, 42, 49, 56, 63 dan 84 HST (Hari Setelah Tanam)
26
3.3.2 Uji Parameter
3.3.2.1 Pengukuran Sifat Fisika Kimia Tanah
3.3.2.1.1 Pengukuran Suhu dan pH (SNI 06-6989.23-2005 dan SNI 03-6787-2002)
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termomter digital dan
pH menggunakan pH mater. Pengukuran dilakukan pada pot saat uji metana sedang
dilakukan. Pengukuran dilakukan pada pagi, siang dan sore pada umur 0, 7, 14, 28,
56 dan 84 HST
3.3.2.1.2 Pengukuran kadar air
Timbang 5,000 g sampel tanah media tanam kedalam cawan yang telah
diketahui bobotnya. Keringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 3 jam. Angkat
cawan dengan penjepit dan masukkan ke dalam deksikator. Setelah dingin cawan
ditimbang. Bobot yang hilang adalah bobot air. Pengukuran kadar air diukur
menggunakan rumus berikut
Perhitungan Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) x 100%.......... (1)
koreksi kadar air (fk) = 100 / (100 – kadar air) .................................................. (2)
3.3.2.1.3 Pengukuran Karbon Organik Tanah (Agus et al., 2005).
Pengukuran karbon organik dilakukan dengan metode
spektrofotometri (Agus et al., 2005). Sampel sedimen dimasukkan sebanyak 0,5 g
dalam labu ukur 100 ml, lalu ditambahkan berturut-turut 5 ml larutan K2Cr2O7 2N
dan 7 ml H2SO4 pekat kemudian dikocok dan dibiarkan 30 menit. Untuk standar
sebanyak 5 ml larutan standar glukosa 5000 ppm C dimasukkan ke dalam labu takar
100 ml lalu ditambahkan 5 ml H2SO4 dan 7 ml larutan K2Cr2O7 2N. Dikerjakan
pula blanko yang digunakan sebagai standar 0 ppm C. Masing- masing diencerkan
27
dengan air bebas ion dan setelah dingin volume ditera hingga 100 ml, kemudian
dikocok dan dibiarkan semalam. Sehari kemudian diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 561 nm. Kadar C organik dapat diukur dengan
perhitungan sebagai berikut
Kadar C organik (%) = ppm kurva x 10 /mg sampel x fk................................... (3)
Keterangan:
ppm = kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antara
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi
blanko.
fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – %ka).
3.3.2.1.4 Pengukuran Kadar Nitrogen Total Tanah (Sudarmadji et al., 1996)
Pengukuran kadar nitrogen total menggunakan metode Kjedahl.
Dimasukkan sampel tanah sebanyak 1 g tanah dengan ukuran < 0,5 mm kedalam
tabung digest. Ditambahkan 1 g campuran selenium dan 10 ml H2SO4 (pekat),
didekstruksi hingga suhu 350 oC (3-4 jam). Dekstruksi selesai bila keluar uap putih
dan didapat ekstrak jernih kehijauan. Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian
ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 100 ml. Setelah homogen dan
dingin dipipet sebanyak 5 mL, masukkan ke dalam labu destilasi. Tambahkan 10
mL larutan NaOH 30% melalui dinding dalam labu destilasi hingga terbentuk
lapisan dibawah larutan asam. Labu destilat dipasang dan dihubungkan dengan
kondensor, lalu ujung kondensor dibenamkan dalam cairan penampung. Uap dari
cairan yang mendidih akan mengalir melalui kondensor menuju erlemeyer
penampung. Erlenmeyer penampung diisi dengan 10 mL larutan HCl 0,1 N yang
telah ditetesi indikator metil merah. Cek hasil destilasi dengan kertas lakmus, jika
hasil sudah tidak bersifat basa, maka penyulingan dihentikan. Setelah proses
28
destilasi, tahap selanjutnya adalah titrasi. Hasil destilasi yang ditampung dalam
erlemeyer berisi HCl 0,1 N ditambahkan indikator metil merah sebanyak 5 tetes
dan langsung dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N. Titik akhir titrasi
ditandai dengan warna merah muda menjadi kuning, kemudian dihitung kadar N%
dengan rumus.
Kadar N (%) = (V.HCL – V.NaOH)x 0,1 x BM Nitrogen
𝑤 𝑥 100 % .................. (4)
Keterangan:
V. HCl = volume HCl (ml)
V. NaOH = volume NaOH (ml)
BM Nitrogen = berat molekul
w = berat sampel (mg)
3.3.2.1.5 Pengukuran Rasio C/N (Agus et al., 2005)
Rasio C/N merupakan indikator yang menunjukan proses mineralisasi-
immobilisasi unsur hara oleh bakteri dekomposer bahan organik. Rasio C/N
optimal diantara 10-20 yang berarti telah terjadi proses dekomposisi bahan organik
menjadi anorganik (Pramaswari et al., 2011). Perhitungan rasio C/N menggunakan
rumus
𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 (𝐶)
𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 (𝑁)=
𝑥
𝑦 ....................................................................................... (5)
Keterangan:
X = Kadar karbon (C),
Y = Kadar nitrogen (N)
3.3.2.2 Analisa Volatil Fatty Acid (VFA) Parsial (Bachruddin, 1996)
Analisis konsentrasi VFA parsial menggunakan alat kromatografi gas (GC).
Sampel sebanyak 5 ml sampel sedimen dimasukkan ke dalam tabung eppendorf,
29
kemudian ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 15%. Tabung eppendorf disentrifus
pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Setelah itu, ekstrak sebanyak 0.4 µl
cairan jernih diinjeksikan ke dalam GC. Perbedaan partisi atau absorbsi pada fase
diam (kolom) dan fase gerak (gas) memunculkan puncak pada layar monitor GC.
VFA sampel dapat diukur dengan membaca kromatogram standar acuan VFA yang
konsentrasinya telah diketahui.
3.3.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Gas Metana (Minamikawa et al., (2015)
Sampel gas diambil dengan menancapkan kaca penampung gas ke dalam
pot. Masing-masing kaca penampungan ditancapkan dengan kedalaman sekitar 5
cm. Bagian ujung selang dihubungkan dengan kantung penampung gas. Sampel gas
diambil setelah 1 jam, dan gas metana diambil pada pagi, siang dan sore hari.
Pengambilan sampel dilakukan pada umur ke-0, 7, 14, 28, 56 dan 84 HST.
Penampungan gas metana digambarkan pada Gambar 7 yang direkomendasi oleh
Minamikawa et al., (2015)
Gambar 7. Reaktor penampung gas
metana
Keterangan:
a. Karet (tempat mengambil gas
menggunakan siring)
b. Kipas (menghomogenkan
kondisi udara di dalam kaca)
c. Dudukan batrai (sumber energi
penggerak kipas)
d. Selang (menampung gas di gas
bag)
e. Tabung kaca (reaktor
penampungan gas metana
Jumlah produksi gas metana yang dihasilkan dapat diketahui dengan
melihat penambahan volume gas pada gas bag. Gas yang tertampung ditarik
sebanyak 20 ml menggunakan siring dan dimasukkan secara perlahan ke dalam gas
30
bag 10 ml. Kemudian, gas pada gas bag tersebut diuji dengan alat kromatografi
gas untuk mengetahui konsentrasi gas metana yang dihasilkan. Kromatografi yang
digunakan berjenis Shimadzu 8A dengan detektor flame ionization detector (FID)
dan kolom terbuat dari stainless steel dengan ukuran 6m x 2mm. Perhitungan emisi
gas metana dilakukan dengan persamaan yang digunakan oleh Minamikawa et al.,
(2015)
E CH4 = dc
dtx
V
Ax 𝜌 x [
273,2
273,2+𝑇] ...................................................................... (6)
Keterangan :
E CH4 = emisi gas metana (mg/m2/menit)
dc/dt = ppm/jam
V/A = volume boks/luas boks (m3/m2)
T = temperatur rata-rata dalam pengambilan contoh gas (oC)
ρ = densitas CH4 (0.717 kg/m3)
3.3.2.4. Uji Kondisi Setalah Masa Panen
3.3.2.4.1. Pengukuran Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan mulai dari permukaan tanah
hingga ujung daun, sedangkan jumlah anakan dihitung setiap batang padi yang
muncul pada satu tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dan jumlah anakan
dilakukan pada pagi hari hingga umur ke 84 HST.
3.3.2.4.2. Pengukuran Karbon Organik Padi Jerami dan Gabah (Agus et al., 2005).
Pengukuran karbon organik dilakukan dengan metode
spektrofotometri (Agus et al., 2005). Sampel padi dan gabah dimasukkan sebanyak
0,10 g dalam labu ukur 100 ml, lalu ditambahkan berturut-turut 5 ml larutan
K2Cr2O7 2N dan 7 ml H2SO4 (pekat) kemudian dikocok dan dibiarkan 30 menit.
31
Untuk standar sebanyak 5 ml larutan standar glukosa 5000 ppm C dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml lalu ditambahkan 5 ml H2SO4 dan 7 ml larutan K2Cr2O7
2N. Dikerjakan pula blanko yang digunakan sebagai standar 0 ppm C. Masing-
masing diencerkan dengan air bebas ion dan setelah dingin volume ditera hingga
100 ml, kemudian dikocok dan dibiarkan semalam. Sehari kemudian diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm. Kadar C organik
dapat diukur dengan perhitungan sebagai berikut
Kadar C organik (%) = ppm kurva x 100 /mg sampel x Fk .............................. (7)
Keterangan:
ppm = kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antara
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi
blanko.
Fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – %ka).
3.3.2.4.3. Pengukuran Kadar Nitrogen Padi Jerami dan Gabah (Agus et al. 2005)
Pengukuran kadar nitrogen total menggunakan metode Kjedahl.
Dimasukkan sampel tanah sebanyak 1 g jerami dan gabah dengan ukuran < 0,5 mm
kedalam tabung digest. Ditambahkan 1 g campuran selenium dan 10 ml H2SO4
(pekat), didekstruksi hingga suhu 350 oC (3-4 jam). Dekstruksi selesai bila keluar
uap putih dan didapat ekstrak jernih kehijauan. Tabung diangkat, didinginkan dan
kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 100 ml. Setelah
homogen dan dingin dipipet sebanyak 5 mL, masukkan ke dalam labu destilasi.
Tambahkan 10 mL larutan NaOH 30% melalui dinding dalam labu destilasi hingga
terbentuk lapisan dibawah larutan asam. Labu destilat dipasang dan dihubungkan
dengan kondensor, lalu ujung kondensor dibenamkan dalam cairan penampung.
Uap dari cairan yang mendidih akan mengalir melalui kondensor menuju erlemeyer
32
penampung. Erlenmeyer penampung diisi dengan 10 mL larutan HCl 0,1 N yang
telah ditetesi indikator metil merah. Cek hasil destilasi dengan kertas lakmus, jika
hasil sudah tidak bersifat basa, maka penyulingan dihentikan. Setelah proses
destilasi, tahap selanjutnya adalah titrasi. Hasil destilasi yang ditampung dalam
erlemeyer berisi HCl 0,1 N ditambahkan indikator metil merah sebanyak 5 tetes
dan langsung dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N. Titik akhir titrasi
ditandai dengan warna merah muda menjadi kuning, kemudian dihitung kadar N%
dengan rumus.
Kadar N (%) = (V.HCL – V.NaOH)x 0,1 x BM Nitrogen
𝑤 𝑥 100 % .................. (8)
Keterangan:
V. HCl = volume HCl (ml)
V. NaOH = volume NaOH (ml)
BM Nitrogen = berat molekul
w = berat sampel (mg)
3.3.2.4.4 Pengukuran Kadar Fosfor Padi Jerami dan Gabah (Helrich, 1990).
Sampel jerami atau gabah sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam cawan
porselen, kemudian dipanaskan di atas hot plate sampai kering. Sampel diabukan
dengan temperatur 500oC selama 5 jam. Setelah dingin, abu ditambahkan 5 ml
HNO3 (1:1), kemudian diuapkan pada hot plate sampai kering dan dimasukkan
kembali ke dalam tanur dengan suhu 500oC selama 1 jam (Helrich, 1990). Sampel
hasil destruksi dilarutkan dalam 5 ml HNO3 (1:1), lalu dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 ml dan diencerkan dengan aquadest hingga garis tanda (Helrich, 1990).
Larutan disaring dan ditampung dalam botol. Larutan sampel dipipet 10 ml,
dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml dan ditambahkan akuades sehingga volume
33
larutan menjadi 50 ml. Larutan pereaksi molibdat vanadat ditambahkan sebanyak
13 ml, kemudian dikocok, dan ditambahkan dengan aquades hingga batas tera.
Sampel didiamkan hingga membentuk warna, dan diukur dengan menggunakan
spektofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Kadar fosfor diperoleh dengan
rumus
% P = 𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝑓𝑝
W x 1000 𝑥 100% .................................................................... (9)
Keterangan :
C = konsentrasi fosfor (ppm)
V = volume labu ukur (ml)
W = berat Sampel (g)
fp = faktor pengenceran
3.3.2 Analiss Data (ANOVA)
Penetapan pH, suhu, tinggi tanaman dan jumlah anakan dalam
menghasilkan emisi gas metana dianalisis menggunakan program Statistical
Package for the Social Science (SPSS) 20 dengan uji analisis variansi satu arah
(ANOVA) pada batas kepercayaan 95% (α=0,05). Apabila terdapat perbedaan
maka dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mendeterminasi perbedaan tersebut.
Pengambilan keputusan apakah terdapat perbedaan pada perlakuan SRI dan
Konvensional pada varietas Ciherang dan Sidenuk yang diuji menggunakan H0
(sig>0.05) dan H1 (sig<0.05), dengan keterangan hipotesis sebagai berikut:
H0 = parameter kimia dan biologi tidak berpengaruh terhadap reduksi gas
metana pada sedimen sawah
H1 = parameter kimia dan biologi berpengaruh terhadap reduksi gas metana
pada sedimen sawah.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat Fisika dan Kimia Sedimen Perlakuan
4.1.1 pH dan Suhu Tanah
Hasil uji nilai pH tanah menunjukkan terjadinya perubahan selama masa
tanam sampai 84 HST (Tabel 3). Rentang pH pada semua sampel berkisar antara
6,10 hingga 7,67. Peningkatan pH terjadi mulai dari umur 7 hingga 36 HST dan
terus menurun hingga umur 84 HST. Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa,
perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada nilai pH
setiap umur tanam (p≥0,05) (Lampiran 1). Contoh perlakuan Sidenuk SRI dan
Sidenuk Konvensional dengan pH masing-masnig 6,77 dan 6,80. Akan tetapi,
perubahan nilai pH setiap umur tanam menunjukkan adanya perbedaan untuk
masing-masing perlakuan (p≤0,05) (Lampiran 2). Contoh perlakuan Sidenuk SRI
pada umur 7 HST dan umur 36 HST dengan masing-masing memiliki nilai pH
yaitu 6,77 dan 7,63. Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI dan
Konvensional baik pada varietas Sidenuk dan Ciherang tidak menghasilkan
perbedaan nilai pH yang signifikan (Lampiran 3 dan 4).
Tabel 3. pH simulasi tanah sawah
Sampel pH Sedimen Perlakuan Pada Waktu (HST)
7 14 28 56 84
Sidenuk SRI
6,77 a 7,00 a 7,63 a 6,97 a 6,30 a
B B C B A
Sidenuk Konvensional
6,80 a 7,30 a 7,50 a 7,00 a 6,10 a
B CD D BC A
Ciherang SRI
6,63 a 7,67 a 7,67 a 7,03 a 6,23 a
AB C C B A
Ciherang Konvensional
6,83a 7,30 a 7,53 a 7,00 a 6,23 a
B BC C BC A
Keterangan : Angka yang ditandai huruf sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Huruf kecil dibaca
ke arah vertikal, huruf besar dibaca ke arah horisontal.
35
pH tanah mengalami nilai yang fluktuasi pada satu masa tanam. Peningkatan
pH khususnya di umur 14 dan 28 HST selain adanya penambahan pupuk NPK, juga
dikarenakan pembentukan akar padi yang masih rendah. Menurunnya pH pada
umur 56 dan 84 HST disebabkan oleh perakaran tanaman yang sudah lebih besar
dibandingkan sebelumnya yang menyebabkan kandungan eksudat akar akan lebih
meningkat berupa asam-asam organik di dalam tanah. Menurut Das & Baruah
(2008) eksudat akar menyediakan berupa karbohidrat, asam organik, asam amino,
dan senyawa fenolik. Senyawa-senyawa tersebut akan diubah menjadi asam butirat,
propionat dan asetat oleh mikroorganisme di dalam tanah. Peningkatan pH pada
umur 28 HST sesuai seperti yang dilakukan oleh (Husny, 2010) yang menyatakan
bahwa, pH tanah untuk semua perlakuan baik Konvensional dan SRI akan
mengalami peningkatan dari umur 28 HST sampai dengan umur 56 HST, kemudian
mengalami penurunan sampai dengan umur ke- 84 HST.
Pada umur 28 HST, perlakuan SRI memiliki pH yang lebih tinggi
dibandingkan Konvensional, dimana nilai pH Sidenuk SRI sebesar 7,63 dan
Sidenuk Konvensional adalah 7,50 sedangkan pH Ciherang SRI yaitu 7,67 dan
Ciherang Konvensional sebesar 7,53. Hal tersebut karena, pada teknik SRI
tumbuhan padi masih dalam tahap penyesuaian. Hal tersebut menyebabkan
pembentukan eksudat akar pada teknik Konvensional lebih baik dibandingkan
teknik SRI, sehingga nilai pH teknik SRI lebih tinggi dibandingkan teknik
Konvensional. Pada umur 56 dan 84 HST, tidak ada perbedaan yang signifikan
terhadap semua perlakuan, hal tersebut karena akar tanaman padi sudah tumbuh
secara sempurna baik pada teknik SRI maupun Konvensional, yang menyebabkan
kandungan asam-asam organik didalam tanah lebih banyak dibandingkan umur
36
tanam sebelumnya. Tingkat keasaman mempengaruhi terjadinya emisi metana yang
dihasilkan bakteri metanogen. pH optimum bakteri metanogen pada kisaran
mendekati netral. Panjaitan et al., (2015) menjelaskan bahwa bakteri metanogen
pada umumnya tumbuh pada kisaran pH mendektai 6-8, dengan pH optimum
pembentukan gas metana adalah pH netral. Selain mempengaruhi emisi metana,
tingkat keasaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Padi dapat
tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan tanahnya antara 18-22 cm
dengan pH antara 4-7 (Helmi, 2015).
Selain pH, salah satu faktor yang mempengaruhi emisi metana adalah suhu
tanah. Suhu tanah mengalami perubahan hingga umur 84 HST pada semua
perlakuan (Tabel 4). Nilai suhu tertinggi adalah 330C di umur 7 HST dan terendah
sebesar 290C di umur 84 HST.
Tabel 4. Suhu simulasi tanah sawah
Sampel Suhu (0C) Sedimen Perlakuan pada Waktu (HST)
7 14 28 56 84
Sidenuk SRI 33a 31 a 32 a 30 a 29 a
A A A A A
Sidenuk Konvensional 31 a 30 a 31 a 30 a 29 a
A A A A A
Ciherang SRI 32 a 29 a 32 a 30 a 29 a
A A A A A
Ciherang Konvensional 32 a 29 a 32 a 29 a 29 a
A A A A A Keterangan : Angka yang ditandai huruf sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Huruf
kecil dibaca ke arah vertikal, huruf besar dibaca ke arah horisontal.
Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang
signifikan pada nilai suhu pada setiap umur tanam (p≥0,05) (Lampiran 5). Contoh
pada umur 56 HST, sampel Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional memiliki nilai
suhu sebesar 300C. Hasil statistik pada setiap perlakuan juga tidak menghasilkan
perbedaan nilai suhu yang signifikan (p≥0,05) (Lampiran ). Contoh perlakuan
37
Sidenuk SRI, pada umur 7 HST dan 28 HST suhu yang dihasilkan masing-masing
yaitu 33 dan 320C. Untuk hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI
dan konvensional pada padi Sidenuk dan Ciherang tidak terjadi adanya perbedaan
nilai suhu yang nyata (Lampiran 7 dan 8).
Semua sampel baik varietas Ciherang maupun Sidenuk yang dibudidayakan
dengan teknik SRI atau Konvensional, mengalami penurunan pada umur 56 dan
84 HST. Umur tersebut kondisi padi sudah mengalami fase generatif. Fase ini
merupakan fase dimana tanaman sudah tumbuh secara sempurna, sehingga cahaya
yang masuk kedalam tanah terhalangi oleh tanaman padi. Suhu merupakan salah
satu faktor penting bagi bakteri metanogen (Wang et al., 2018). Bakteri metanogen
umumnya bersifat mesofilik, dengan aktivitas optimal terjadi pada suhu 20-30°C
(Wihardjaka, 2015; Liu et al., 2016). Bakteri mesofilik merupakan bakteri yang
tumbuh optimal pada kisaran 20-30°C dan suhu optimum pada 40°C (Puspitasari et
al., 2012). Berdasarkan nilai suhu pada setiap perlakuan, maka pada umur 56 dan
84 HST memiliki potensi penghasil metana paling tinggi dibandingkan minggu-
minggu sebelumnya.
4.1.2 Karbon, Nitrogen dan Rasio C/N Tanah
Bahan organik berperan dalam aktivitas biologi dengan meningkatkan
aktivitas tanah melalui pelepasan unsur-unsur hara. Salah satu unsur tersebut adalah
karbon organik (C-organik). Pengukuran C organik pada umur 84 HST, mengalami
perubahan pada setiap sampelnya (Tabel 5). Rentang C organik pada umur 84 HST
adalah 2,5648% hingga 3,3413% dengan kadar awal yaitu 3,0126%. Kandungan C
organik setiap sampel selama masa tanam masuk dalam kategori rendah. Hal
tersebut dibandingkan dengan data kategori C organik dalam buku Rosmarkam &
38
Yuwono (2002) bahwa lahan sawah atau pertanian memiliki kandungan C organik
yang sangat rendah (<0,8%), rendah (0,8-3%), sedang (3-9%), tinggi (9-25%) dan
sangat tinggi (>25%).
Tabel 5. kadar karbon, nitrogen dan rasio C/N pada sedimen perlakuan
Perlakuan C Organik % N% rasio C/N
Tanah Awal 3,0126 0,2308 13,0499
Sidenuk SRI 84 HST 2,6130 0,1959 13,3366
Sidenuk Konvensional 84 HST 3,3413 0,2239 14,9225
Ciherang SRI 84 HST 2,9530 0,2169 13,6145
Ciherang Konvensional 84 HST 2,5648 0,1575 16,2867
Didalam tanah, C organik dihasilkan melalui metabolisme tumbuhan yang
dilepas melalui akar. Akar-akar yang baik menyediakan substrat berupa
karbohidrat, asam organik, asam amino yang digunakan untuk metabolisme bakteri
(Das & Baruah, 2008). Kandungan C organik digunakan oleh mikroorganisme
untuk menghasilkan energi, sehingga penambahan bahan organik akan
meningkatkan populasi mikroorganisme, salah satunya bakteri metanogen
(Yulipriyanto, 2010; Liu et al., 2016). Pada 84 HST, C organik mengalami
penurunan pada sampel Sidenuk SRI, Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional,
sedangkan untuk sampel Sidenuk Konvensional mengalami kenaikan yang
dibandingkan dengan data tanah awal. Masing-masing sampel memiliki nilai yaitu
2,6130; 2,9530; 2,5648 dan 3,3413%
Kenaikan kadar C organik pada Sidenuk Konvensional dapat dihasilkan
karena adanya penambahan sisa-sisa batang padi atau jerami (Yuan et al., 2014;
Islam et al., 2018). Pada saat sampling metana banyak jerami padi yang rusak dan
dibiarkan membusuk di dalam pot, sehingga dapat meningkatkan kadar C organik
tanah. Hal ini sesuai yang dilakukan oleh Pane et al., (2014) bahwa pemberian
39
jerami padi dapat meningkatkan kandungan C organik mencapai 7,2%. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kadar C organik baik sampel SRI maupun
Konvensional, dimana pada varietas Sidenuk yang ditanam dengan SRI memiliki
konsentrasi C organik yang lebih rendah, sedangkan varietas Ciherang teknik SRI
memiliki konsentrasi C organik yang lebih tinggi dibandingkan Konvensional.
Kandungan nitrogen (N) semua sampel mengalami penurunan pada umur
84 HST. Kehilangan kandungan nitrogen pada tanah perlakuan menandakan adanya
penyerapan oleh tanaman padi, dengan rentang nilai dari 0,1575% hingga 0,2239%
dan kandungan awal sebesar 0,2308%. Hasil tersebut masuk kategori rendah hingga
sedang berdasarkan kategori N dalam buku Rosmarkam & Yuwono (2002) yang
menyatakan bahwa tanah pertanian memiliki kandungan N organik apabila sangat
tinggi (>0,75%), tinggi (0,51-0,75%), sedang (0,21-0,50%), rendah (0,10-0,20%)
dan sangat rendah (<0,10%). Untuk sampel Sidenuk SRI, Sidenuk Konvensional,
Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional masing-masing yaitu 0.1959, 0.2239,
0.2169 dan 0.1575%.
Kandungan N pada setiap sampel tidak semuanya langsung dimanfaatkan
oleh tumbuhan, karena hilangnya nitrogen dapat disebabkan oleh nitrifikasi,
denitrifikasi dan erosi (Sari & Prayudyaningsih, 2015; Pambudi et al., 2017)
Penyerapan nitrogen oleh tanaman dilakukan dalam bentuk ion nitrat dan ion
ammonium (Patti et al., 2013). Sumber N dapat dihasilkan dari pupuk urea yang
mengalami proses mineralisasi dengan tahapan aminasi, amonifikasi dan nitrifikasi
(Gambar 8) (Rosmarkam & Yuwono, 2002; Suyasa et al., 2011).
40
NH2NH2
O
OH2 2 NH3 + CO2
NH3 OH2 OH-
+ +NH4
+
NH4
+0,5 O2 NO2
-2H
+ H2O
NO2
-0,5 O2
NO3
-
+ + +
+
Gambar 8. Persamaan reaksi aminasi, amonifiaksi dan nitrifikasi (Pramaswari et al., 2011)
Selain dimanfaatkan oleh tumbuhan. nitrogen juga digunakan oleh mikroorganisme
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Eskawidi et al., (2005) menjelaskan ion
nitrat akan berubah menjadi ion nitrit oleh nitrat reduktase. Reaksi selanjutnya nitrit
akan diubah menjadi amonia yang kemudian bergabung dengan kerangka karbon
hasil respirasi. Kerangka karbon ini digunakan untuk pembentukan asam amino,
sebagai bahan dasar protein (Eskawidi et al., 2005)
Jumlah N pada sampel SRI maupun Konvensional memiliki nilai yang tidak
signifikan, dimana pada varietas Sidenuk, sistem SRI memiliki konsentrasi nitrogen
yang lebih rendah dibandingkan Konvensional. Sedangkan varietas Ciherang,
teknik SRI memiliki nilai yang lebih tinggi dari Konvensional. Hubungan antara
konsentrasi N dan emisi metana, harus dilihat terlebih dahulu melalui rasio C/N.
Hal tersebut karena, peningkatan potensi produksi metana dari tanah sawah
dipengaruhi secara nyata oleh tingginya kandungan C organik (Wihardjaka et al.,
2012; Liu et al., 2016). Bila konsentrasi C organik tinggi, maka kadar N akan
rendah. Hubungan antara C organik dan N dinyatakan melalui rasio C/N.
Aminasi
Amonifikasi
Nitrikasi
41
Rasio C/N adalah perbandingan antara banyaknya kandungan unsur C
terhadap banyaknya kandungan unsur N yang ada pada suatu bahan organik
(Widarti et al., 2015). Rentang rasio C/N sedimen perlakuan pada umur 84 HST
adalah 13,3366 hingga 16,2867, dengan rasio awal 13,0499 %. Rata-rata kandungan
C/N semua sampel termaksud dalam kategori sedang. Hal tersebut dibandingakan
dengan data Rosmarkam & Yuwono (2002) yang menyebutkan bahwa kadar C/N
tanah sawah sangat tinggi (>25), tinggi (15-25), sedang (10-15), rendah (8-10) dan
sangat rendah (<8). Sampel Sidenuk Konvensional dan Ciherang Konvensional
memiliki potensi yang cukup tinggi menghasilkan emisi metana dilihat dari rasio
C/N-nya yaitu 14,9225 dan 16,2867 %. Sedangkan sampel Sidenuk SRI dan
Ciherang SRI memiliki rasio sebesar 13,3366 dan 13,6145 %.
Rasio C/N yang rendah menandakan kandungan N yang tinggi. Konsentrasi
N tinggi akan menekan emisi metana (Wihardjaka et al., 2012; Xiao et al., 2018).
Hal tersebut karena N dalam bentuk ion nitrat atau nitrit yang tidak digunakan
dalam proses pertumbuhan, akan digunakan oleh bakteri metanotrof untuk bereaksi
dengan metana dengan hasil CO2 dan N2 dalam kondisi aerobik (Ettwig et al., 2010;
Vaksmaa et al., (2017).
4NO3- + CH4 4NO2
- + CO2 + 2H2O
8NO2- + 3CH4 + 8H+ 4N2 + 3CO2 + 10H2O
Apabila konsentrasi nitrat yang berlebih pada kondisi anaerobik maka bakteri
denitrifikasi akan mereduksi nitrat dengan bantuan asam asetat dan hidrogen
(Gambar 10) (Xiao et al., 2018). Penggunaan asam asetat dan hidrogen oleh bakteri
42
denitrifikasi membuat bakteri metanogen tidak dapat memanfaatkannya dalam
menghasilkan metana (Yuan et al., 2014).
0,84 CH3COOH + NO3- 0,08 C5H7O2N + HCO3 + 0,3 CO2 + 0,92 H2O + 0,46 N2
0,85 CH3COOH + NO3- + H+ 0,1 C5H7O2N + 1,2 CO2 + H2O + 0,45 N2
Teknik Konvensional menghasilkan rasio C/N yang lebih tinggi
dibandingkan SRI karena, pada teknik Konvensional kondisi tanah lebih bersifat
anaerob. Kondisi anaerob akan menghambat pertumbuhan bakteri nitrifikasi
sehingga meningkatkan jumlah bakteri metanogen (Rosmarkam & Yuwono, 2002;
Nguan et al., 2010). Rasio C/N terbesar ada pada sampel Ciherang Konvensional
sebesar 16,2867 % yang menandakan bahwa perlakuan tersebut memiliki potensi
menghasilkan emisi metana tertinggi di umur 84 HST.
4.2 Volatile Fatty Acids (VFA) Parsial Sedimen Perlakuan
Nilai VFA parsial pada media tanam setiap perlakuan memiliki konsentrasi
yang berbeda (Tabel 6). Dari tabel penelitian dapat dilihat bahwa kandungan VFA
total umur 84 HST tertinggi pada sampel Ciherang SRI. Kandungan VFA total
adalah asam asetat, propionat, butirat, iso butirat, valerat dan iso valerat (Lampiran
9), sedangkan VFA parsial hanya asam asetat, propionat dan butirat. VFA parsial
positif mempengaruhi emisi metana, dibandingkan asam-asam organik lainnya
Deublein & Steinhauser, 2008). Setiap perlakuan memiliki konsentarsi VFA total
yaitu Sidenuk SRI (3,29), Sidenuk Konvensional (3,27), Ciherang SRI (4,57) dan
Ciherang Konvensional (4,81) dengan kandungan VFA total tanah awal yaitu 13,9
mM. Teknik SRI akan menghasilkan asam VFA total yang lebih tinggi karena akar
43
pada teknik SRI lebih sehat yang menghasilkan substrat lebih besar dibandingkan
Konvensional.
Varietas Ciherang memiliki potensi penghasil metana yang lebih banyak
dibandingkan Sidenuk, yang dilihat dari nilai total VFA. Windyasmara, (2015)
menjelaskan bahwa produksi gas tergantung pada produksi VFA, semakin tinggi
VFA total maka semakin tinggi emisi metana yang dihasilkan. Menurunnya
konsentrasi VFA pada umur 84 HST diduga berhubungan dengan penurunan
degradasi bahan organik yang terdapat dalam tanah sawah (Windyasmara, 2015).
Tabel 6. Kadar VFA parsial pada sedimen perlakuan
Sampel
Asam asam VFA parsial (mM) VFA
Total Asetat propionat butirat
Tanah Awal 9,4 2,95 0,53 13,9
Sidenuk SRI
84 HST 2,37 0,23 0,18 3,29
Sidenuk Konvensional
84 HST 2,06 0,51 0,17 3,27
Ciherang SRI
84 HST 2,73 0,79 0,39 4,57
Ciherang Konvensional
84 HST 2,32 1,04 0,37 4,18
Konsentrasi asam butirat lebih rendah dibandingkan asam asetat dan asam
propionat pada setiap sampel, hal ini dikarenakan asam butirat merupakan salah
satu asam organik pertama yang diproduksi dari hasil degradasi bahan organik di
dalam tanah (Al-Saedi, 2008). Kadar asam butirat pada sampel Sidenuk
Konvensonal, Sidenuk SRI, Ciherang Konvensional dan Ciherang SRI berturut-
turut yaitu 0,18; 0,17; 0,39 dan 0,37 mM. Kadar asam butirat pada teknik SRI lebih
tinggi dibandingkan dengan Konvensional baik pada varietas Sidenuk maupun
44
Ciherang. Hal tersebut karena pada teknik SRI memiliki zona perakaran yang lebih
baik, sehingga akan mengahasilkan eksudat yang lebih banyak dibandingkan
Konvensional, sedangkan varietas Ciherang menghasilkan asam butirat yang lebih
besar dibandingkan varietas Sidenuk. Hal tersebut menandakan jumlah eksudat
akar pada varietas Ciherang lebih banyak dibandingkan Sidenuk. Asam butirat
dapat dijadikan prekursor awal dalam menentukan emisi metana (Rahman et al.,
2013). Akan tetapi besarnya emisi metana tergantung dari konsentrasi asam asetat
yang dihasilkan (Capareda, 2013)
Kandungan asam asetat memiliki kadar yang lebih banyak dibandingkan
asam VFA lainnya, karena hasil semua degradasi substrat akan mengahasilkan
asam asetat pada tahap asetogenesis (Deublein & Steinhauser, 2008). Asam asetat,
CO2 dan H2 digunakan dalam memproduksi metana oleh bakteri metanogen (Yuan
et al., 2014).
2CH3COOH 2CH4 + 2CO2
4H2 + CO2 CH4 + 2H2O
Konsentrasi asam asetat pada sampel Sidenuk Konvensonal, Sidenuk SRI, Ciherang
Konvensional dan Ciherang SRI di umur 84 HST sebesar 2,37; 2,06; 2,73 dan 2,32
mM. Kandungan asam asetat pada tanah awal yaitu 9,4 mM memiliki kandungan
yang lebih besar dibandingkan pada umur 84 HST. Hal tersebut karena, kondisi
tersebut tingkat kandungan substrat tanah masih tinggi dan jumlah bakteri yang
sedikit membuat degradasi yang baru dimulai akan menghasilkan kandungan asam
VFA lebih banyak.
Bakteri metanogen
Bakteri metanogen
45
Kandungan asam asetat pada sampel yang ditanam dengan teknik SRI lebih
besar dibandingkan teknik konvensional baik pada varietas Ciherang maupun
Sidenuk. Hal tersebut karena pada tanaman padi yang dibudidayakan dengan SRI
menghasilkan substrat perakaran yang lebih banyak. Banyaknya kandungan
substrat akan meningkatkan nutrisi mikroorganisme didalam tanah, sehingga
produk hasil metabolismenya seperti asam asetat akan semakin tinggi
(Windyasmara, 2015). Zona perakaran pada teknik SRI, akan lebih bersifat aerobik
yang menyebabkan bakteri metanogen tidak dapat hidup. Keberadaan bakteri
metanogen yang sedikit, menyebabkan kebutuhan H2 hanya dimanfaatkan oleh
bakteri asetogenik untuk menghasilkan asam asetat (Windyasmara, 2015). Pada
teknik Konvensional, kandungan asam asetat varietas Ciherang lebih besar
dibandingkan Sidenuk yang menandakan bahwa varietas Ciherang berpotensi
menghasilkan emisi metana yang lebih tinggi.
Asam propionat merupakan salah satu jenis asam VFA pasial selain asetat
dan butirat. Asam propionat dihasilkan pada tahap asidogenesis dari perombakan
bahan organik hasil hidrolisis di dalam tanah (Romli, 2010). Konsentrasi asam
propionat pada umur 84 HST sampel Sidenuk Konvensonal, Sidenuk SRI, Ciherang
Konvensional dan Ciherang SRI yaitu 0,23; 0,51; 0,79 dan 1,04 mM. Asam
propionat merupakan kebalikan dari asam asetat, bila kandungan asam asetat kecil
maka konsentrasi asam propionat akan besar. Hal tersebut yang menyebabkan pada
teknik SRI nilai asam propionat lebih rendah dibandingkan Konvensional.
Meningkatnya asam asetat diimbangi dengan menurunnya asam propionat, karena
asam propionat akan terdegradasi menjadi asetat, CO2 dan H2 (Deublein &
Steinhauser, 2008). Renhua et al., (2013) menjelaskan bahwa penghambatan asetat
46
oleh peningkatan asam propionat dapat menjadi indikasi produksi gas metana yang
lebih rendah.
4.3 Emisi Metana
Emisi metana selama satu musim tanam berbeda pada setiap sampelnya dan
memiliki nilai yang tertinggi pada umur 84 HST (Tabel 7). Variasi metana tidak
hanya dipengaruhi oleh jenis tanah, tetapi cara pengolahan dan varietas tanaman
mempunyai peran penting terhadap emisi metana yang dihasilkan (Panjaitan et al.,
2015). Gas metana dihasilkan dengan bantuan bakteri metanogen dengan
mengubah asam asetat, CO2 dan H2 menjadi metana (Capareda, 2013). Pemberian
pupuk tidak hanya meningkatkan pertumbuhan padi, namun dapat membuat
komposisi bahan organik tanah lebih tinggi, yang secara langsung dapat
meningkatkan emisi metana. Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa,
perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai emisi metana pada setiap
umurnya (p≤0,05), kecuali minggu ke-2 (p≥0,05) (Lampiran 10). Contoh pada
umur 7 HST, Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional memiliki nilai emisi metana
masing - masing sebesar 1,86 dan 3,66 mg/m2jam. Perubahan umur pada setiap
perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nilai emisi metana untuk masing-masing
perlakuan (p≤0,05) (Lampiran 11). Contoh untuk sampel Ciherang SRI pada umur
28 dan 56 HST, nilai emisi metana masing-masig sebesar 8,46 dan 53,59
mg/m2jam. Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI dan
Konvensional pada varietas Sidenuk menghasilkan perbedaan nilai emisi metana
yang signifikan, sedangkan varietas Ciherang tidak menghasilkan perbedaan yang
signifikan (Lampiran 12 dan 13).
47
Tabel 7. Emisi metana satu musim tanam
Sampel
HST (mg/m2jam) Rata-
rata 0 7 14 28 56 84
Sidenuk SRI 2,52a 1,87 a 35,33 b 11,32 a 34,87 a 47,62 a 22,25
A A B A B B
Sidenuk
Konvensional 2,52 a 3,67 a 50,73 c 6,54 a 60,19 a 65,13 a
31,46
A A B A B B
Ciherang SRI 2,52 a 2,01 a 48,22 bc 8,47 a 53,60 a 67,52 a 30,39
A A BC AB C C
Ciherang
Konvensional 2,52 a 2,47 a 12,09 a 8,65 a 55,29 a 111,67 a
32,11
A A A A B C Keterangan : Angka yang ditandai huruf sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Huruf
kecil dibaca ke arah vertikal, huruf besar dibaca ke arah horisontal.
Berdasarkan data emisi metana pada satu musim masa tanam, umur 7 HST
merupakan hasil yang paling rendah. Emisi yang dihasilkan pada umur 7 HST
sudah menghasilkan perbedaan antara teknik SRI dengan Konvensional, dimana
teknik Konvensional menghasilkan emisi yang lebih besar dibandingkan teknik
SRI. Tanah pada teknik SRI bersifat aerobik yang membuat kandungan oksigen
pada tanah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan teknik Konvensional (Nguan et al.,
2010). Hal tersebut membuat bakteri metanogen tidak tumbuh, karena bakteri
metanogen akan tumbuh pada zona yang bersifat anaerobik (Yuan et al., 2014;
Singh et al., 2015).
Kenaikan signifikan emisi metana terjadi pada umur 14 HST yang
menyebabkan terdapat perbedaan antara penggunaan varietas dan teknik tanam
terhadap emisi metana yang dilihat berdasarkan uji ANOVA. Hal tersebut terjadi
karena adanya penambahan pupuk pada umur tersebut, yang membuat kandungan
bahan organik dan jumlah mikroorganisme di dalam tanah meningkat. Pupuk sangat
mempengaruhi emisi metana yang dihasilkan (Son et al., 2015), salah satunya
48
adalah aplikasi pupuk N seperti urea (Gagnon et al., 2011). Pemberian urea selain
menyumbang kadar N untuk pertumbuhan padi dan bakteri, pupuk urea juga
melepaskan CO2 pada proses aminasi (Pramaswari et al., 2011) CO2 merupakan
bahan utama bagi bakteri metanogen dalam pembentukan gas metana sehingga jika
pemberian pupuk N pada sedimen yang bersifat anaerobik, maka jumlah bakteri
metanogen akan meningkat. Masing-masing perlakuan pada 14 HST mempunyai
nilai emisi metana yaitu Sidenuk SRI 35,32; Sidenuk Konvensional 50,73;
Ciherang SRI 48,22 dan Ciherang Konvensional 12,08 mg/m2jam.
Emisi metana pada umur 28, 56 dan 84 HST terus mengalami kenaikan
pada setiap umurnya. Bila dilihat dari pola emisi metana pada satu musim tanam,
umur 28 HST hingga 56 HST mengalami peningkatan emisi metana yang tinggi.
Hal tersebut karena, umur tersebut merupakan fase vegetatif, yaitu fase dimana
tanaman padi dalam tahap anakan maksimum hingga pembentukan malai. Besarnya
tinggi tanaman dan meningkatnya jumlah anakan, akan membuat jalur transportasi
metana akan semakin banyak yang menyebabkan emisi metana akan naik. Pada
umur 84 HST kenaikan emisi metana relatif konstan kecuali pada perlakuan
Ciherang Konvensional. Hal tersebut karena, pada umur 84 HST masuk ke proses
pematangan atau fase generatif. Fase generatif merupakan fase dimana tinggi
tanaman dan jumlah anakan sudah tidak mengalami perubahan. Emisi metana pada
umur 56 HST sebesar 34,86; 60,18; 53,59 dan 55,28 mg/m2jam, sedangkan pada
umur 84 HST yaitu 47,61; 65,12, 67,52 dan 111,67 mg/m2jam untuk masing-
masing sampel Sidenuk SRI, Sidenuk Konvensional, Ciherang SRI dan Ciherang
Konvensional.
49
Bila dilihat dari jumlah rata-rata emisi metana selama satu musim tanam,
teknik SRI memiliki emisi yang lebih rendah dibandingkan teknik Konvensional
pada semua varietas. Karena pada teknik SRI tanah bersifat aerobik sehingga
bakteri metanogen tidak dapat hidup (Yuan et al., 2014; Singh et al., 2015). Selain
itu, tanah yang banyak mengandung oksigen, juga akan membuat metana mudah
teroksidasi (Lofton et al., 2014; Chen et al., 2014; Nguyen et al., 2015). Teknik SRI
dapat menekan emisi metana hingga 29,27 % pada varietas Sidenuk dan 5,35 %
pada varietas Ciherang. Rata-rata misi metana pada satu musim tanam sebesar
22,25; 31,46; 30,39 dan 32,11 mg/m2jam, untuk masing-masing sampel Sidenuk
SRI, Sidenuk Konvensional, Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional.
Berdasarkan uji t, varietas Sidenuk menghasilkan perbedaan yang
signifikan dalam menghasilkan emisi metana, dibandingkan varietas Ciherang. Hal
tersebut karena, varietas Sidenuk pada teknik SRI lebih kuat saat pindah masa
tanam, sehingga pertumbuhan akar pada varietas Sidenuk lebih baik dibandingkan
Ciherang. Berdasarkan perbedaan varietas dalam satu teknik, emisi metana lebih
tinggi terletak pada varietas Ciherang. Hal ini sesuai dengan nilai rasio C/N dan
VFA total yang dihasilkan, bahwa varietas Ciherang mempunyai nilai yang lebih
besar dibandingkan Sidenuk. Besarnya nilai C/N dan VFA total dapat menghasilkan
emisi metana yang lebih tinggi (Yuan et al., 2014). Hal tersebut karena C organik
dan asam asetat merupakan sumber utama energi bagi bakteri, salah satunya bakteri
metanogen. (Wihardjaka et al., 2012; Yuan et al., 2014; Windyasmara, 2015).
Namun bila dilihat menggunakan data ANOVA (p≤0,05), semua perlakuan kecuali
umur 14 HST tidak adanya perbedaan dalam menghasilkan emisi metana pada satu
musim tanam.
50
Tidak adanya perbedaan karena semua perlakuan dilakukan secara ex situ.
Metode ini menggunakan media tanah yang di masukkan ke dalam pot, dan diubah
menjadi simulasi tanah sawah. Pot yang digunakan pada semua sampel memiliki
ukuran yang sama, dengan kedalaman tanah yang sama tingginya. Kedalaman tanah
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses metanogenesis dengan
kedalaman optimum pada 30 cm (Bednarik et al.,2015). Keterbatasan volume tanah
yang dibatasai oleh pot, membuat akar dari varietas padi Sidenuk dan Ciherang
yang ditanam dengan teknik SRI maupun Konvensional memiliki kedalaman yang
sama, sehingga emisi metana yang dihasilkan pada setiap perlakuan tidak memiliki
perbedaan signifikan. Panjaitan et al., (2015) menjelaskan bahwa sifat fisiologis
dan morfologis suatu varietas mempengaruhi besarnya emisi metana. Akan tetapi,
varietas Sidenuk dan Ciherang merupakan varietas unggul yang memiliki tinggi dan
jumlah anakan yang hampir sama, sehingga tidak ada perbedaan dalam
menghasilkan emisi metana pada kedua varietas yang ditanam secara ex situ ketika
diuji dengan ANOVA (P>0,05)
Emisi metana ditentukan oleh dua proses mikroorganisme yang berbeda,
yaitu produksi metana oleh bakteri metanogen dan konsumsi metana oleh bakteri
metanotrof (Nonci et al., 2015). Bakteri metanotrof merupakan bakteri
pengkonsumsi metana (Krause et al., 2010) yang bersifat aerobik (A. Hu & Lu,
2015). Bakteri metanotrof menjadikan metana untuk menghasilkan sumber karbon
dan sumber energi (Chen et al., 2014; Nguyen et al., 2015). Hal tersebut sesuai
dengan hasil metana pada umur 56 dan 84 HST, dimana sampel Sidenuk ataupun
Ciherang yang ditanam dengan teknik SRI memiliki nilai emisi metana yang lebih
rendah dibandingkan dengan teknik Konvensional.
51
4.4 Kondisi Setelah Masa Panen
4.4.1 Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan
Pertumbuhan tanaman padi terus meningkat dan konstan dimulai umur tanam
28 hingga 84 HST (Gambar 7). Hasil statistik ANOVA memperlihatkan bahwa,
masing-masing perlakuan menunjukkan adanya perbedaan dalam menghasilkan
tinggi tanaman pada setiap umur tanam (p≤0,05) (Lampiran 14). Perubahan tinggi
pada setiap umur tanam, juga menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing
perlakuan (p≤0,05) (Lampiran 15). Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa
perlakuan SRI dan Konvensional baik pada padi Sidenuk dan Ciherang
mengahasilkan perbedaan nilai tinggi tanaman yang signifikan (Lampiran 16 dan
17).
Gambar 9. Tinggi tanaman padi varietas Sidenuk dan Ciherang
Pertumbuhan tinggi tanaman didapatkan hasil bahwa, pada umur 7 hingga
42 HST setiap perlakuan mengalami peningkatan. Hal ini karena tanaman padi
masuk pada fase pertumbuhan dan kemudian stabil di umur 49 hingga minggu 84
HST, yang merupakan fase pematangan. Lita et al., (2013) memaparkan bahwa
tanaman padi menghasilkan tinggi tanaman yang berbeda nyata pada umur 14
hingga 49 HST dan tidak berpengaruh nyata pada 63 dan 84 HST. Teknik
0
20
40
60
80
100
120
140
7 14 21 28 35 42 49 56 63 84
Tin
ggi
tanam
an (
cm)
HST
Sidenuk SRI (A) Sidenuk Konvensional (B) Ciherang SRI (C) Ciherang Konvensional (D)
52
Konvensional memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan teknik SRI,
karena pada teknik SRI pada masa pindah tanam, tumbuhan masih menyesuaikan
kondisi lingkungan yang baru, sehingga pertumbuhannya sedikit terhambat.
Varietas Sidenuk memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan
Ciherang (Suprihatno et al., 2010). Tinggi tanaman akan mempengaruhi emisi
metana, karena semakin tinggi tumbuhan akan memperbesar bentuk aerenkim pada
tanaman padi. Arenkim merupakan jalur lepasnya metana dari dalam tanah ke udara
(Sharkey et al., 2012). Selain tinggi tanaman, emisi metana juga dipengaruhi oleh
jumlah anakan yang secara langsung meningkatkan aerenkim pada tumbuhan padi.
Jumlah anakan, mengalami peningkatan pada setiap minggunya dengan
teknik SRI yang memiliki jumlah lebih banyak dibandingkan Konvensional
(Gambar 8). Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa, perlakuan mengalami
perbedaan dalam menghasilkan jumlah anakan pada setiap umur tanam (p≥0,05),
kecuali di umur 28 HST (p≤0,05) (Lampiran 18). Perubahan jumlah anakan setiap
umur tanam, juga menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing perlakuan
(p≤0,05) (Lampiran 19). Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI dan
Konvensional baik pada padi Sidenuk dan Ciherang mengahasilkan perbedaan nilai
emisi metana yang signifikan (Lampiran 20 dan 21).
Gambar 10. Jumlah anakan varietas Sidenuk dan Ciherang
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
7 14 28 28 35 42 49 56 63 84
Jum
lah
an
akan
HSTSidenuk SRI Sidenuk Konvensional Ciherang SRI Ciherang Konvensional
53
Jumlah anakan pada teknik SRI baik untuk varietas Sidenuk maupun Ciherang
mempunyai jumlah yang paling banyak dibandingkan teknik konvensional (Lita et
al., 2013). Banyaknya jumlah anakan pada teknik SRI karena pada sistem budidaya
SRI, tanaman padi mampu menghasilkan pertumbuhan akar yang lebih baik dan
lebih sehat, serta menghasilkan anakan yang lebih banyak (Uphoff et al., 2009).
Jumlah benih yang ditanam pada teknik SRI hanya 1 anakan, sehingga tidak terjadi
perebutan nutrisi pada simulasi tanah sawah. Berbeda dengan teknik konvensional,
dimana jumlah benih yang ditanam berjumlah 3 anakan. Banyaknya nutrisi yang
digunakan oleh tanaman padi pada teknik SRI, menyebabkan pertumbuhan akar
dan jumlah anakan yang besar (Thiyagarajan & Gujja, 2012)
4.4.2 Nilai C-Organik, Nitrogen, Fosfor Padi Gabah dan Jerami
Tumbuhan padi akan mengalami masa panen setelah masuk fase generatif.
Jerami dan gabah merupakan salah satu bagian padi yang dimanfaatkan setalah
masa panen. Gabah dan jerami memiliki kadar air sebesar 19,56 dan 15%
(Oktavianty & Wildian, 2016; Aprintasari et al., 2012). Pada masa panen dilakukan
pengukuran kadar C jerami, C gabah, P (fosfor) jerami, P gabah, N jerami dan N
gabah yang memiliki perbedaan nilai pada setiap sampelnya (Tabel 8). Kadar C
organik, P dan N merupakan nutrisi penting yang dibutuhkan tanaman padi untuk
memenuhi kebutuhan bagi pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan.
54
Tabel 8. Jumlah biji tanaman padi pada 5 malai, kadar C jerami, C gabah, P
gabah, P jerami, N jerami dan N gabah
Sampel C organik (%) Fosfor (%) Nitrogen (%)
Jerami gabah jerami Gabah Jerami gabah
Sidenuk SRI 10,19 10,26 5,07 8,87 1,95 1,37
Sidenuk
Konvensional 10,50 11,28 5,31 9,72 1,08 1,25
Ciherang SRI 10,36 10,73 5,42 8,42 1,61 1,32
Ciherang
Konvensional 9,73 9,80 4,77 9,32 1,56 0,99
Kandungan C organik jerami pada setiap perlakuan Sidenuk SRI, Sidenuk
Konvensional, Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional masing-masing adalah
10,19; 10,50; 10,36 dan 9,73% sedangkan kadar C organik pada gabah yaitu 10,26;
11,28; 10,73 dan 9,80%. Jerami ataupun gabah merupakan salah satu bagian
tanaman padi dengan kandungan mineral yang cukup tinggi. Menurut (Sitepu et al.,
2017) komponen utama jerami padi adalah selulosa, hemiselulosa, lignin serta
protein dalam jumlah kecil. Senyawa tersebut bila dilakukan pengujian kadar C
organik, memiliki nilai yang cukup tinggi. Pane et al., (2014) menjelaskan bahwa
kandungan C organik jerami dapat mencapai sekitar 7,2%. Hasil C organik tidak
menghasilkan perbedaan yang signifikan pada perbandingan jenis varietas maupun
teknik tanam, namun Sidenuk Konvensional memiliki kandungan C organik yang
lebih tinggi baik dari gabah ataupun jerami, karena varietas Sidenuk mempunyai
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan Ciherang.
Selain C organik, unsur P merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh
tumbuhan karena P berguna sebagai batas antara pertumbuhan dengan
perkembangan. (Aisyah et al., 2010). Perlakuan A, B, C dan D menghasilkan
55
kandungan pada gabah padi yaitu 8,87; 9,72; 8,42 dan 9,32 %. Kadar kesemua
sampel memiliki hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan data Aisyah et al.,
(2010), bahwa pemberian pupuk P dengan takaran rekomendasi dapat
menghasilkan kandungan pada gabah yaitu 10,54 %. Kandungan P pada gabah lebih
banyak dibandingkan jerami. Hal ini karena, peran P yang membantu pembentuk
bulir dan gizi gabah menjadi lebih baik (Aisyah et al., 2010). Kandungan P jerami
pada sampel A, B, C dan D yaitu 5,07; 5,31; 5,42 dan 4,77 %. Hasil tersebut lebih
kecil dibandingkan data Aisyah et al., (2010), yaitu 0,57 %. Hal tersebut karena
tanaman padi pada semua sampel belum masuk masa panen secara sempurna.
Seperti pada C organik, hasil analisa P jerami juga tidak memiliki perbedaan
yang signifikan terhadap perbedaan varietas maupun teknik tanam. Namun pada P
gabah, teknik Konvensional memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan
SRI. Hal tersebut karena pada nilai rasio C/N sistem Konvensional memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan SRI. Rasio C/N mempengaruhi jumlah
mikroorganisme didalam tanah, sehingga bakteri pelarut P lebih banyak terjadi pada
teknik Konvensional. Varietas Sidenuk mempunyai konsentrasi P yang lebih tinggi
dibandingkan Ciherang. Hal tesebut karena varietas Sidenuk memiliki waktu masa
tanam yang lebih sebentar, sehingga penyerapan P gabah lebih cepat pada varietas
Sidenuk dibandingkan Ciherang.
Selain C dan P, serapan N juga mempunyai peranan penting bagi tanaman
padi, yaitu mendorong pertumbuhan tanaman dengan cepat (Suharno et al., 2007;
Patti et al., 2013) Kadar N pada semua sampel A, B, C dan D baik dari jerami
maupun gabah pada masing-masing sampel yaitu 1,95; 1,08; 1,61 dan 1,56 %
sedangkan untuk sampel gabah yaitu 1,37; 1,25; 1,32 dan 0,99 %. Konsentrasi N
56
pada semua perlakuan baik gabah atau jerami, memiliki kandungan yang sesuai
dengan data Patti et al., (2013) yang mejelaskan bahwa tanaman hanya mampu
menyerap unsur N dari tanah sekitar 19 – 47%, dan kadar N rata-rata dalam jaringan
tanaman adalah 2 – 4% dari berat kering.
Konsentrasi N pada teknik SRI lebih tinggi dibandingkan Konvensional baik
pada varietas Ciherang maupun Sidenuk. Hal ini disebabkan bahwa, SRI
menghasilkan zona akar yang lebih besar dan lebih sehat, sehingga penyerapan N
akan lebih banyak. Selain itu, teknik SRI menghasilkan zona akar yang banyak
mengandung oksigen, sehingga hasil degradasi bahan organik tanah lebih banyak
dimanfaatkan oleh bakteri aerobik, seperti bakteri amonifikasi dan nitrifikasi (Hink
et al., 2016). Sedangkan berdasarkan varietas, Sidenuk menghasilkan penyerapan
yang lebih tinggi karena pertumbuhan tanaman varietas Sidenuk lebih tinggi
dibandingkan Ciherang.
57
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Emisi gas metana rata rata pada varietas Sidenuk teknik SRI dan Konvensional
adalah 22,54 dan 31,46 mg/m2jam, sedangkan untuk varietas Ciherang teknik
SRI dan Konvensional yaitu 30,39 dan 32,11 mg/m2jam.
2. Emisi gas metana pada media tanam yang dibudidayakan dengan teknik SRI
dapat menekan emisi sebesar 29,27 % pada varietas Sidenuk dan 5,35 % pada
varietas Ciherang.
3. Emisi metana dipengaruhi oleh rasio C/N dan VFA total, sedangkan pH, suhu,
C, N, tinggi tanaman dan jumlah anakan tidak mempengaruhi emisi metana
pada umur tanam yang sama.
5.2 Saran
Emisi metana sangat berpengaruh terhadap bakteri metanogen. Agar lebih
optimal maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang mempelajari karakteristik
bakteri metanogen pada tanah sawah secara ex situ, baik menggunakan teknik SRI
maupun Konvensional
58
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah D, Suyono AD & Citraresmini A. (2010). Komposisi Kandungan Fosfor
Pada Tanaman Jagung Sawah (Oryza sativa L.) Berasal Dari Pupuk P dan
Bahan Organik., 12(3), 126–135.
Anitha K & Bindu G. (2016). Effect of Controlled-release Nitrogen Fertilizer on
Methane Emission from Paddy Field Soil. Procedia Technology, 24, 196–202.
Agus F, Sulaeman, Suparto & Eviati. (2005). Petunjuk Teknis Analisis Kimia
Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Jakarta: Balai Penelitian Tanah, BPPT,
Departemen Pertanian.
Al Saedi. (2008). Biogas Handbook. Denmark : University of Southern Denmark
Esbjerg, Niles Bohrs
Aprintasari R, Sutrisno CL & Tampoeboelon. (2012). Uji Total Fungi Dan
Organoleptik Pada Jerami Padi Dan Jerami Jagung Yang Difermentasi Dengan
Isi Rumen Kerbau. Animal Agriculture Journal, 1(2), 311–321.
Bachruddin Z. (1996). Pengukuran pH dan Asam Lemak Terbang (Volatile Fatty
Acid – VFA) Cairan Rumen dengan Gas Khromatografi (Kursus Singkat
Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia). Fakultas Peternakan. UGM.
Yogyakarta.
Basu A, ( 2013). An Analysis of The Global Atmospheric Methane Budget
Under Different Climates. Jülich: Forschungszentrum Jülich.
Bednařík A, Čáp L, Maier V & Rulík M. (2015). Contribution of Methane Benthic
and Atmospheric Fluxes of an Experimental Area (Sitka Stream). Clean - Soil,
Air, Water, 43(8), 1136–1142.
Begum N, Guppy C, Herridge D & Schwenke G. (2014). Influence of source and
quality of plant residues on emissions of N2O and CO2 from a fertile, acidic
Black Vertisol. Biology and Fertility of Soils, 50(3), 499–506.
Borrel G, Jézéquel D, Biderre-Petit C, Morel-Desrosiers N, Morel JP, Peyret P,
Fonty G. Lehours, AC. (2011). Production and consumption of methane in
freshwater lake ecosystems. Research in Microbiology, 162(9), 833–847.
Bouman BAM, Peng S, Castañeda AR & Visperas RM. (2005). Yield and water
use of irrigated tropical aerobic rice systems. Agricultural Water Management,
74(2), 87–105.
Breidenbach B & Conrad R. (2014). Seasonal dynamics of bacterial and archaeal
methanogenic communities in flooded rice fields and effect of drainage.
Frontiers in Microbiology, 5(DEC), 1–17.
59
Bridgham SD, Cadillo-Quiroz H, Keller JK & Zhuang Q. (2013). Methane
emissions from wetlands: Biogeochemical, microbial, and modeling
perspectives from local to global scales. Global Change Biology, 19(5), 1325–
1346.
Campbell MK & Farrell SO. 2015. Biochemistry 8th Edition. USA: Delmar
Cengage.
Capareda SS. 2013. Introduction to Biomass Energy Conversions. New York: CRC
Press.
Carballa M, Regueiro L & Lema JM. (2015). Microbial management of anaerobic
digestion: Exploiting the microbiome-functionality nexus. Current Opinion in
Biotechnology, 33, 103–111.
Chen R, Wang Y, Wei S, Wang W, & Lin X. (2014). Windrow composting
mitigated CH4emissions: Characterization of methanogenic and
methanotrophic communities in manure management. FEMS Microbiology
Ecology, 90(3), 575–586.
Cheng J. (2009). Biomass to Renewable Energy Processes. New York: CRC Press
Cobena AS, Marco GS, Quemada M, Gabriel JL, Almendros P & Vallejo A. (2014).
Do Cover Crops Enhance N2O, CO2 or CH4 Emissions From Soil In
Mediterranean Arable Systems. Science of The Total Environment 466–467,
164-174
Conrad R. (2007). Microbial Ecology of Methanogens and Methanotrophs.
Advances in Agronomy, 96(07), 1–63.
Das K & Baruah KK. (2008). A comparison of growth and photosynthetic
characteristics of two improved rice cultivars on methane emission from
rainfed agroecosystem of northeast India. Agriculture, Ecosystems and
Environment, 124(1–2), 105–113.
Day RA & Underwood AL. (1996). Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi ke-empat.
Erlangga : Jakarta. Hal. 390
Damanik MMB, Hasibuan BE, Fauzi, Sarifuddin & Hanum H. (2010). Kesuburan
Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.
Deublein D, Steinhauser A. (2008). Biogas From Waste And Renewable Resources.
Morlenbach: WILEY-VCH
Dubey SK. (2005). Microbial ecology of methane emission in rice agroecosystem:
A review. Applied Ecology and Environmental Research, 3(2), 1–27.
Eskawidi MR, Anggarwulan E & Solichatun. (2005). Pengaruh Vermikompos
terhadap Kadar Nitrogen Tanah , Aktivitas Nitrat Reduktase dan Pertumbuhan
Caisin ( Brassica rapa L . cv . caisin ). BioSMART, 7(April), 32–36.
Estiati A & Herman DM. (2015). Regulasi keamanan hayati produk rekayasa
genetik di indonesia. Analisis Kebijakan Pangan, 13(2), 129–146.
60
Ettwig KF, Butler MK, Le Paslier D, Pelletier E, Mangenot S, Kuypers MMM, …
Strous M. (2010). Nitrite-driven anaerobic methane oxidation by oxygenic
bacteria. Nature, 464(7288), 543–548.
Ferry JG. (2010). The chemical biology of methanogenesis. Planetary and Space
Science, 58(14–15), 1775–1783.
Gagnon B, Ziadi N, Rochette P, Chantigny MH & Angers DA. (2011). Fertilizer
Source Influenced Nitrous Oxide Emissions from a Clay Soil under Corn. Soil
Science Society of America Journal, 75(2), 595.
Hardjowigeno S & Rayes L. (2005). Tanah Sawah. Malang. Bayumedia Publishing
Han X, Sun X, Wang C, Wu M, Dong D, Zhong T, … Wu W. (2016). Mitigating
methane emission from paddy soil with rice-straw biochar amendment under
projected climate change. Scientific Reports, 6(April), 1–10.
Handayani F, Maideliza T & Mansyurdin. (2013). The study of root aerenchyma
development of wetland and upland paddy on nursery stage by flooding
treatment. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.), 2(2), 145–152.
Helmi. (2015). Peningkatan Produktivitas Padi Lahan Rawa Lebak Melalui
Penggunaan Varietas Unggul Padi Rawa. Jurnal Pertanian Tropik, 2(2), 78–
92.
Helrich K. (1990). Official Methods of Association of Official Analytical Chemist.
Edisi ke-15. Arlington: Virginia USA
Hink L, Nicol GW & Prosser JI. (2016). Archaea produce lower yields of N2O than
bacteria during aerobic ammonia oxidation in soil. Environmental
Microbiology, 19(12), 4829–4837.
Hu A & Lu Y. (2015). The differential effects of ammonium and nitrate on
methanotrophs in rice field soil. Soil Biology and Biochemistry, 85, 31–38.
Hu X, Liu L, Zhu B, Du E, Hu X, Li P, … Fang J. (2016). Asynchronous responses
of soil carbon dioxide, nitrous oxide emissions and net nitrogen mineralization
to enhanced fine root input. Soil Biology and Biochemistry, 92, 67–78.
Huang Y, Wang H, Huang H, Feng ZW, Yang ZH & Luo YC. (2005).
Characteristics of methane emission from wetland rice-duck complex
ecosystem. Agriculture, Ecosystems and Environment, 105(1–2), 181–193.
Husny Z. (2010). Fluks Gas Metan (Ch4) Pada Budidaya Padi Secara System Of
Rice Intensification Dan Konvensional Pada Sawah Pasang Surut, Lebak Dan
Beririgasi. Jur. Agroekotek, 2(2), 38–45.
Indrawan M, Primack RB & Supriatna J. (2007). Biologi Konservasi. Jakarta:
Buku Obor.
Islam SFU, Van Groenigen JW, Jensen LS, Sander BO & de Neergaard A. (2018).
The effective mitigation of greenhouse gas emissions from rice paddies
without compromising yield by early-season drainage. Science of the Total
Environment, 612, 1329–1339.
61
Joye SB. (2012). Microbiology: A piece of the methane puzzle. Nature, 491(7425),
538–539.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Summary for Policy Makers: Indonesia
Second National Communication Under The United Nation Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta.
Kerdchoechuen O. (2005). Methane emission in four rice varieties as related to
sugars and organic acids of roots and root exudates and biomass yield.
Agriculture, Ecosystems and Environment, 108(2), 155–163.
Khopkar SM. (2003). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : Universitas Indonesia
Pers
Kim SY, Gutierrez J & Kim PJ. (2012). Considering winter cover crop selection as
green manure to control methane emission during rice cultivation in paddy
soil. Agriculture, Ecosystems and Environment, 161, 130–136.
Knief C. (2015). Diversity and habitat preferences of cultivated and uncultivated
aerobic methanotrophic bacteria evaluated based on pmoA as molecular
marker. Frontiers in Microbiology, 6(DEC).
Kodoatie RJ, Sjarief R. (2010). Tata Ruang Air. Yogyakarta: ANDI.
Krause S, Lüke C & Frenzel P. (2010). Succession of methanotrophs in oxygen-
methane counter-gradients of flooded rice paddies. ISME Journal, 4(12),
1603–1607.
Lai DYF. (2009). Methane Dynamics in Northern Peatlands: A Review.
Pedosphere, 19(4), 409–421.
Leba, MAU. 2017. Buku Ajar Ekstraksi dan Real Kromatografi. CV BUDI
UTAMA. yogyakarta
Levy PE, Mobbs DC, Jones SK, Milne R, Campbell C & Sutton MA. (2007).
Simulation of fluxes of greenhouse gases from European grasslands using the
DNDC model. Agriculture, Ecosystems and Environment, 121(1–2), 186–192.
Li D, Liu M, Cheng Y, Wang D, Qin J, Jiao J, … Hu F. (2011). Methane emissions
from double-rice cropping system under conventional and no tillage in
southeast China. Soil and Tillage Research, 113(2), 77–81.
Lita TN, Soekartomo S & Guritno B. (2013). Pengaruh perbedaan sistem tanam
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi ( Oryza Sativa L) di lahan
sawah. JURNAL PRODUKSI TANAMAN, 1(4), 361–368.
Liu S, Feng X, & Li X. (2017). Bioelectrochemical approach for control of methane
emission from wetlands. Bioresource Technology, 241(June), 812–820.
Liu Y, Liu X, Cheng K, Li L, Zhang X, Zheng J, … Pan G. (2016). Responses of
methanogenic and methanotrophic communities to elevated atmospheric
Co2and temperature in a paddy field. Frontiers in Microbiology, 7(NOV), 1–
14.
62
Liu Y & Whitman WB. (2008). Metabolic, phylogenetic, and ecological diversity
of the methanogenic archaea. Annals of the New York Academy of Sciences,
1125, 171–189.
Lofton DD, Whalen SC & Hershey AE. (2014). Effect of temperature on methane
dynamics and evaluation of methane oxidation kinetics in shallow Arctic
Alaskan lakes. Hydrobiologia, 721(1), 209–222.
Lüke C, Krause S, Cavigiolo S, Greppi D, Lupotto E & Frenzel P. (2010).
Biogeography of wetland rice methanotrophs. Environmental Microbiology,
12(4), 862–872.
Ma K & Lu Y. (2011). Regulation of microbial methane production and oxidation
by intermittent drainage in rice field soil. FEMS Microbiology Ecology, 75(3),
446–456.
Marhan S, Auber J & Poll C. (2015). Additive effects of earthworms, nitrogen-rich
litter and elevated soil temperature on N2O emission and nitrate leaching from
an arable soil. Applied Soil Ecology, 86(3), 55–61.
Madigan MT, Martinko JM & Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms.
Ed Ke 49. New Jersey (US) : Prentice Hall
Minamikawa K, Tokida T, Sudo S, Padre A & Yagi K. (2015). Guidelines for
Measuring CH4 and N2O Emissions From Rice Paddies By a Manually
Operated Closed Chamber Method. National Institute for Agro-Evironmental
Science, Japan
Nguan TS, Gypmantasiri G, Boonkerd N, Thies JE & Teaumroong N. (2010).
Changes in Bacterial Community Composition in the System of Rice
Intensification (SRI) in Chiang Mai, Thailand. Microbes and Environments,
25(3),
Nguyen SG, Guevarra RB, Kim J, Ho CT, Trinh MV & Unno T. (2015). Impacts
of Initial Fertilizers and Irrigation Systems on Paddy Methanogens and
Methane Emission. Water, Air, and Soil Pollution, 226(9).
Nouchi I. (1992). Mechanism of CH4 Transport Through Rice Plants. CH4 and N2O
Workshop. National Instirute of Agro-Environmental Science, Tsukuba,
Japan
Nonci M, Baharuddin, Rasyid B & Pirman. (2015). Seleksi Bakteri Methanotrof (
Pereduksi Emisi Gas Metan Di Lahan Sawah ) Berdasarkan Aktivitas Enzim
Methan. Ilmu Lingkungan, 13(2), 86–91.
Oktavianty NU & Wildian. (2016). Rancang Bangun Alat Ukur dan Indikator Kadar
Air Gabah Siap Giling Berbasis Mikrokontroler dengan Sensor Fotodioda.
Jurnal Fisika Unand, 5(1), 94–100.
Okubo T, Tokida T, Ikeda S, Bao Z, Tago K, Hayatsu M, … Minamisawa K.
(2014). Effects of Elevated Carbon Dioxide, Elevated Temperature, and Rice
Growth Stage on the Community Structure of Rice Root–Associated Bacteria.
Microbes and Environments, 29(2), 184–190.
63
Oliver JE. (2008). Encyclopedia of World Climatology. Heidelberg: Springer
Pambudi A, Susanti & Priambodo TW. (2017). Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri
Tanah Sawah Di Desa. Al-Kauniyah; Journal of Biology, 10(2), 105–113.
Pane MA, Damanik MMB & Sitorus B. (2014). Pemberian Bahan Organik Kompos
Jerami Padi Dan Abu Sekam Padi dalam Memperbaiki Sifat Kimia Tanah
Ultisol Serta Pertumbuhan Tanaman Jagung. Jurnal Online Agroekoteknologi
., 2(2337), 1426–1432.
Panjaitan E, Indradewa D, Martono E & Sartohadi J. (2015). Sebuah dilema
pertanian organik terkait emisi metan. Jurnal Manusia Dan Lingkungan,
22(1), 66–72.
Pardosi E, Jamilah & Lubis KS. (2013). Kandungan Bahan Organik Dan Beberapa
Sifat Fisik Tanah Sawah Pada Pola Tanam Padi-Padi Dan Padi Semangka.
Jurnal Online Agroekoteknologi, 1(3), 429–439.
Patti PS, Kaya E & Silahooy C. (2013). Analisis Status Nitrogen Tanah Dalam
Kaitannya Dengan Serapan N Oleh Tanaman Padi Sawah Di Desa Waimital,
Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Agrologia, 2(1), 51–58.
Pramaswari IAA, Putra AAB & Suyasa IWB. (2011). Kombinasi Bahan Organik
(Rasio C:N) Pada Pengolahan Lumpur (Sludge) Limbah Pencelupan. Jurnal
Kimia, 5(1), 64–71.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. (2006). Varietas Unggul
Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Puspitasari FD, Shovitri M & Uswytasari NDK. (2012). Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Aerob. Sains Dan Seni ITS, 1(1), 3–6.
Rahman MM, Salleh MAM, Sultana N, Kim MJ & Ra CS. (2013). Estimation of
total volatile fatty acid (VFA) from total organic carbons (TOCs) assessment
through in vitro fermentation of livestock feeds. African Journal of
Microbiology Research, 7(15), 1378–1384.
Rao DG, Senthilkumar R, Byrne JA & Feroz S. (2013). Wastewater Treatment:
Advanced Processes and Technologies. New York: CRC Press.
Raven PH, Hassenzahl DM & Berg LR. ( 2012). Environment 8th Edition. USA:
Wiley.
Renhua N, Dong R, Zhu Z & Chen YHX. (2013). Effects of Forage Type and
Dietary Concentrate to Forage Ratio on Methane Emissions and Rumen
Fermentati. Transactions of the ASABE, 56, 1115–1122.
Reay D S, Hewitt N, Smith KA & Grace J. (2007). Greenhouse Gas Sinks.
Wallingford: CABI.
Rosmarkam A & Yuwono NW. (2002). Ilmu Kesuburan Tanah. KANISIUS.
Yogyakarta
64
Romli M. (2010). Teknologi Penanganan Limbah Anaerobik. Bogor: TML
Publikasi
Sari R & Prayudyaningsih R. (2015). Rhizobium: Pemanfaatannya Sebagai Bakteri
Penambat Nitrogen. Info Teknis EBONI, 12(1), 51–64.
Scheller S, Yu H, Chadwick GL, McGlynn SE, Orphan V. . (2016). Artificial
Electron Acceptors Decouple Archaeal Methane Oxidation from Sulfate
Reduction. Science, 351(6274), 1754–1756.
Sharkey TD, Holland EA & Mooney HA. (2012). Trace Gas Emissions by Plants.
San Diego: Academic Press
Singh B, Bauddh K & Bux F. (2015). Algae and Environmental Sustainability. New
Delhi: Springer.
Singh SN. (2009). Environmental Science and Engineering. Climate Change and
Crops. Springer
Sitepu RB, Anas I & Djuniwati S. (2017). Pemanfaatan Jerami Sebagai Pupuk
Organik Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Dan Produksi Padi (Oryza
Sativa), Buletin Tanah dan Lahan, 1(1), 100–108.
SNI 03-6787-2002 Metode pengujian pH tanah dengan alat pH meter
SNI 06-6989.23-2005 Air dan air limbah - Bagian 23: Cara uji suhu dengan
termometer
Son G, Nguyen RB, Guevarra JK, Cuong T, Ho MV & Tatsuya U. (2015). Impacts
of Initial Fertilizers and Irrigation Systems on Paddy Methanogens and
Methane Emission. Water Air Soil Pollut 226: 309
Stoop WA, Adam A & Kassam A. (2009). Comparing rice production systems: A
challenge for agronomic research and for the dissemination of knowledge-
intensive farming practices. Agricultural Water Management, 96(11), 1491–
1501.
Sudarmadji S, Haryono B & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Suharno, Mawardi I, Setiabudi, Lunga N & Tjitrosemito S. (2007). Nitrogen–use
efficiency in different vegetation type at Cikaniki Research Station, Halimun-
Salak Mountain National Park, West Java. Biodiversitas, Journal of Biological
Diversity, 8(4), 287–294.
Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Behaki, Suprihatno, Setyono A, Indrasari SD,
Wardana IP & Sembiring H. (2010). Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Subang
Suriawiria U. (2008). Mikrobiologi Air. Bandung: PT ALUMNI.
65
Susilokarti D. (2007). Konservasi Air dalam Menanggulangi Kelangkaan Air
Sebagai Upaya Adaptasi Perubahan Iklim. Departemen Pertanian. Jakarta.
Tjitrosoempomo G. (2004). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Sukmawati, Rusmana I & Mubarik NR. (2016). The effectiveness of
methanotrophic bacteria and Ochrobactrum anthropi to reduce CH4 and N2O
emissions and to promote paddy growth in lowland paddy fields. Malaysian
Journal of Microbiology, 12(1), 50–55.
Tang HM, Xiao XP, Tang WG, Wang K, Sun JM, Li WY & Yang GL. (2014).
Effects of winter cover crops straws incorporation on CH4 and N2O emission
from double-cropping paddy fields in southern China. PLoS ONE, 9(10).
Timmis, Kenneth N, McGenity, Terry J, Meer VD. Roelof J, Lorenzo D & Victor.
(2010). Handbook of Hydrocarbon and Lipid Microbiology-Taxonomy of
Methanogens. Springer-Verlag, Heidelberg. 549-558
Uphoff N, Anas I, Rupela OP, Thakur AK & Thiyagarajan TM. (2009). Learning
about positive plant-microbial interactions from the System of Rice
Intensification (SRI). Aspects of Applied Biology, (98), 29–53.
Ussiri D & Lal R. (2012). Soil Emission of Nitrous Oxide and Its Mitigation.
Heidelberg: Springer.
Vaksmaa A, Guerrero-Cruz S, van Alen TA, Cremers G, Ettwig KF, Lüke C &
Jetten MSM. (2017). Enrichment of anaerobic nitrate-dependent
methanotrophic ‘Candidatus Methanoperedens nitroreducens’ archaea from an
Italian paddy field soil. Applied Microbiology and Biotechnology, 101(18),
7075–7084.
Wang C, Jin Y, Ji C, Zhang N, Song M, Kong D, … Pan G. (2018). An additive
effect of elevated atmospheric CO2and rising temperature on methane
emissions related to methanogenic community in rice paddies. Agriculture,
Ecosystems and Environment, 257(January), 165–174.
Watanabe A, Yamada H & Kimura M. (2005). Analysis of temperature effects on
seasonal and interannual variation in CH4emission from rice-planted pots.
Agriculture, Ecosystems and Environment, 105(1–2), 439–443.
Watanabe T, Kimura M & Asakawa S. (2010). Diversity of methanogenic archaeal
communities in Japanese paddy field ecosystem, estimated by denaturing
gradient gel electrophoresis. Biology and Fertility of Soils, 46(4), 343–353.
Widarti BN, Wardhini WK & Sarwono E. (2015). Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku
Pada Pembuatan Komppos Dari Kubis Dan Kulit Pisang. Integrasi Proses,
5(2), 77.
Wihardjaka A, Tandjung SD, Sunarminto BH & Sugiharto E. (2012). Methane
Emission From Direct Seeded Rice Under the Influences of Rice Straw and
Nitrification Inhibitor, (Sahrawat 2004).
66
Wihardjaka A. (2015). Mitigation of Methane Emission Through Lowland
Management. Journal Litbang Pertanian, 32(2), 95–104.
Windyasmara L. (2015). Pengaruh jenis kotoran ternak sebagai substrat dan
penambahan serasah daun jati (. Buletin Peternakan, 39(3), 199–204.
Xiao Y, Zhang F, Li Y, Li T, Che Y & Deng S. (2018). Influence of winter crop
residue and nitrogen form on greenhouse gas emissions from acidic paddy soil.
European Journal of Soil Biology, 85(October 2017), 23–29.
Xu S, Jaffé PR & Mauzerall DL. (2007). A process-based model for methane
emission from flooded rice paddy systems. Ecological Modelling, 205(3–4),
475–491.
Yamin F. (2012). Climate Change and Carbon Markets: A Handbook of Emissions
Reduction Mechanisms. New York: Routledge.
Yoshida S. (1981). Fundamental of Rice Crop Science. IRRI, Los Banos,
Philippines.
Yuan Q, Pump J & Conrad R. (2014). Straw application in paddy soil enhances
methane production also from other carbon sources. Biogeosciences, 11(2),
237–246.
Yun J, Yu Z, Li K & Zhang H. (2013). Diversity, abundance and vertical
distribution of methane-oxidizing bacteria (methanotrophs) in the sediments
of the Xianghai wetland, Songnen Plain, northeast China. Journal of Soils and
Sediments, 13(1), 242–252.
Yulipriyanto H. (2010). Biologi Tanah Dan Strategi Pengelolaannya. Graha Ilmu.
Yogyakarta
Zhang W, Sheng R, Zhang M, Xiong G, Hou H, Li S & Wei W. (2018). Effects of
continuous manure application on methanogenic and methanotrophic
communities and methane production potentials in rice paddy soil.
Agriculture, Ecosystems and Environment, 258(February), 121–128.
Zhou T, Pan G, Li L, Zhang X, Zheng J, Zheng J & Chang A. (2014). Changes in
greenhouse gas evolution in heavy metal polluted paddy soils with rice straw
return: A laboratory incubation study. European Journal of Soil Biology, 63,
1–6.
Zieminski & Frac M. (2012). Methane Fermentation Process as Anaerobic
Digestion of Biomass: Transformations, Stages and Microorganisms. African
Journal of Biotechnology, 11(18), 4127 – 41.
67
LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji ANOVA nilai pH (perbedaan umur tanam)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
SS
Between Groups 2,773 4 ,693 31,515 ,000
Within Groups ,220 10 ,022
Total 2,993 14
SK
Between Groups 4,903 4 1,226 8,244 ,003
Within Groups 1,487 10 ,149
Total 6,389 14
CS
Between Groups 4,804 4 1,201 19,582 ,000
Within Groups ,613 10 ,061
Total 5,417 14
CK
Between Groups 2,964 4 ,741 8,821 ,003
Within Groups ,840 10 ,084
Total 3,804 14
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
Lampiran 2. Uji ANOVA nilai pH (pebedaan perlakuan)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
HST7
Between Groups ,041 3 ,014 ,233 ,871
Within Groups ,468 8 ,059
Total ,509 11
HST14
Between Groups 1,072 3 ,357 1,482 ,291
Within Groups 1,930 8 ,241
Total 3,002 11
HST28
Between Groups ,018 3 ,006 ,144 ,930
Within Groups ,338 8 ,042
Total ,357 11
HST56
Between Groups ,006 3 ,002 ,057 ,981
Within Groups ,274 8 ,034
Total ,280 11
HST84
Between Groups ,058 3 ,019 ,770 ,542
Within Groups ,199 8 ,025
Total ,257 11
68
Lampiran 3. Uji t pH Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
SS -
SK
-
,09333 ,45272 ,11689 -,34404 ,15737 -,798 14 ,438
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
Lampiran 4. Uji t pH Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
CS -
CK ,06667 ,34983 ,09033 -,12706 ,26040 ,738 14 ,473
Keterangan:
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
Lampiran 5. Uji ANOVA nilai suhu (perbedaan umur tanam)
ANOVA
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
SS
Between Groups 36,933 4 9,233 1,592 ,251
Within Groups 58,000 10 5,800
Total 94,933 14
SK
Between Groups 15,733 4 3,933 1,475 ,281
Within Groups 26,667 10 2,667
Total 42,400 14
CS
Between Groups 30,000 4 7,500 4,891 ,019
Within Groups 15,333 10 1,533
Total 45,333 14
CK
Between Groups 21,600 4 5,400 4,765 ,021
Within Groups 11,333 10 1,133
Total 32,933 14
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
69
Lampiran 6. Uji ANOVA nilai suhu (pebedaan perlakuan)
ANOVA
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
HST7
Between Groups 4,917 3 1,639 ,937 ,467
Within Groups 14,000 8 1,750
Total 18,917 11
HST14
Between Groups 8,000 3 2,667 ,314 ,815
Within Groups 68,000 8 8,500
Total 76,000 11
HST28
Between Groups 2,000 3 ,667 ,320 ,811
Within Groups 16,667 8 2,083
Total 18,667 11
HST56
Between Groups ,667 3 ,222 ,178 ,908
Within Groups 10,000 8 1,250
Total 10,667 11
HST84
Between Groups ,000 3 ,000 ,000 1,000
Within Groups 2,667 8 ,333
Total 2,667 11
Lampiran 7. Uji t suhu Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
SS -
SK ,86667 1,55226 ,40079 ,00705 1,72628 2,162 14 ,048
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
Lampiran 8. Uji t suhu Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
CS -
CK ,26667 ,59362 ,15327 -,06207 ,59540 1,740 14 ,104
Keterangan:
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
70
Lampiran 9. Kadar VFA total pada tanah sawah
Sampel
Asam asam VFA (mM)
VFA total C2 C3 1C4 nC4 1C5 nC5
Tanah Awal 9,4 2,95 0,57 0,53 0,15 0,3 13,9
Sidenuk SRI (A)
84 HST 2,37 0,23 0,04 0,18 0,27 0,2 3,29
Sidenuk
Konvensional (B)
84 HST 2,06 0,51 0,18 0,17 0,19 0,16 3,27
Ciherang SRI (C)
84 HST 2,73 0,79 0,23 0,39 0,15 0,28 4,57
Ciherang
Konvensional (D)
84 HST 2,32 1,04 0,22 0,37 0,11 0,12 4,18
Keterangan:
C2 : Asam asetat
C3 : Asam propionat
1C4 : Iso asam butirat
nC4 : Asam butirat
1C5 : Iso asam valerat
nC5 : Asam valerat
Lampiran 10. Uji ANOVA emisi metana (perbedaan umur tanam)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
SS
Between Groups 5693,082 5 1138,616 12,618 ,000
Within Groups 1082,861 12 90,238
Total 6775,944 17
SK
Between Groups 13682,533 5 2736,507 10,838 ,000
Within Groups 3029,973 12 252,498
Total 16712,506 17
CS
Between Groups 12894,291 5 2578,858 4,507 ,015
Within Groups 6866,876 12 572,240
Total 19761,166 17
CK
Between Groups 28716,749 5 5743,350 15,955 ,000
Within Groups 4319,697 12 359,975
Total 33036,446 17
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
71
Lampiran 11. Uji ANOVA emisi metana (pebedaan perlakuan)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
HST0
Between Groups ,000 3 ,000 ,000 1,000
Within Groups 3,272 8 ,409
Total 3,272 11
HST7
Between Groups 6,019 3 2,006 1,966 ,198
Within Groups 8,166 8 1,021
Total 14,185 11
HST14
Between Groups 2812,108 3 937,369 15,211 ,001
Within Groups 493,009 8 61,626
Total 3305,116 11
HST28
Between Groups 34,796 3 11,599 1,456 ,298
Within Groups 63,752 8 7,969
Total 98,548 11
HST56
Between Groups 1109,389 3 369,796 1,430 ,304
Within Groups 2069,082 8 258,635
Total 3178,472 11
HST84
Between Groups 6694,330 3 2231,443 1,410 ,309
Within Groups 12662,126 8 1582,766
Total 19356,456 11
Lampiran 12. Uji t emisi metana Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences T df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 SS -
SK
-
9,2083
3
15,00693 3,53717 -16,67111 -1,74556 -2,603 17 ,019
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
72
Lampiran 13. Uji t emisi metana Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 CS –
CK
-
1,72444 25,89562 6,10366 -14,60203 11,15314 -,283 17 ,781
Keterangan:
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensiona
Lampiran 14. Uji ANOVA tinggi tanaman (perbedaan umur tanam)
ANOVA
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
SS
Between Groups 52204,700 9 5800,522 349,204 ,000
Within Groups 996,643 60 16,611
Total 53201,343 69
SK
Between Groups 58578,914 9 6508,768 318,711 ,000
Within Groups 1225,329 60 20,422
Total 59804,243 69
CS
Between Groups 53639,760 9 5959,973 159,832 ,000
Within Groups 2237,334 60 37,289
Total 55877,094 69
CK
Between Groups 42546,796 9 4727,422 168,040 ,000
Within Groups 1687,963 60 28,133
Total 44234,758 69
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
Lampiran 15. Uji ANOVA nilai tinggi tanaman (pebedaan perlakuan)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
HST7
Between Groups 759,714 3 253,238 18,656 ,000
Within Groups 325,786 24 13,574
Total 1085,500 27
73
HST14
Between Groups 814,630 3 271,543 13,294 ,000
Within Groups 490,220 24 20,426
Total 1304,850 27
HST21
Between Groups 1132,804 3 377,601 14,936 ,000
Within Groups 606,763 24 25,282
Total 1739,567 27
HST28
Between Groups 698,741 3 232,914 9,991 ,000
Within Groups 559,500 24 23,313
Total 1258,241 27
HST35
Between Groups 1827,536 3 609,179 25,408 ,000
Within Groups 575,429 24 23,976
Total 2402,964 27
HST42
Between Groups 1374,964 3 458,321 18,117 ,000
Within Groups 607,143 24 25,298
Total 1982,107 27
HST49
Between Groups 2505,598 3 835,199 22,944 ,000
Within Groups 873,643 24 36,402
Total 3379,241 27
HST56
Between Groups 1439,571 3 479,857 10,145 ,000
Within Groups 1135,143 24 47,298
Total 2574,714 27
HST63
Between Groups 1648,170 3 549,390 26,557 ,000
Within Groups 496,500 24 20,688
Total 2144,670 27
HST84
Between Groups 610,107 3 203,369 10,229 ,000
Within Groups 477,143 24 19,881
Total 1087,250 27
Lampiran 16. Uji t tinggi tanaman Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair 1 SS –
SK
-
5,00000 7,07670 ,84583 -6,68738 -3,31262 -5,911 69 ,000
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
74
Lampiran 17. Uji t tinggi tanaman Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair
1
CS -
CK
-
5,16571 8,26343 ,98767 -7,13606 -3,19537 -5,230 69 ,000
Keterangan:
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
Lampiran 18. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan umur tanam)
ANOVA
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
SS
Between Groups 2131,371 9 236,819 46,134 ,000
Within Groups 308,000 60 5,133
Total 2439,371 69
SK
Between Groups 261,086 9 29,010 27,318 ,000
Within Groups 63,714 60 1,062
Total 324,800 69
CS
Between Groups 2050,071 9 227,786 25,718 ,000
Within Groups 531,429 60 8,857
Total
2581,500 69
CK
Between Groups 346,057 9 38,451 44,611 ,000
Within Groups 51,714 60 ,862
Total 397,771 69
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
Lampiran 19. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan perlakuan)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
HST7
Between Groups 12,964 3 4,321 7,408 ,001
Within Groups 14,000 24 ,583
Total 26,964 27
HST14
Between Groups 12,964 3 4,321 7,408 ,001
Within Groups 14,000 24 ,583
Total 26,964 27
75
HST21
Between Groups 18,964 3 6,321 7,586 ,001
Within Groups 20,000 24 ,833
Total 38,964 27
HST28
Between Groups 48,964 3 16,321 3,695 ,026
Within Groups 106,000 24 4,417
Total 154,964 27
HST35
Between Groups 216,000 3 72,000 15,311 ,000
Within Groups 112,857 24 4,702
Total 328,857 27
HST42
Between Groups 284,857 3 94,952 16,934 ,000
Within Groups 134,571 24 5,607
Total 419,429 27
HST49
Between Groups 396,000 3 132,000 24,052 ,000
Within Groups 131,714 24 5,488
Total 527,714 27
HST56
Between Groups 528,107 3 176,036 31,800 ,000
Within Groups 132,857 24 5,536
Total 660,964 27
HST63
Between Groups 528,107 3 176,036 31,800 ,000
Within Groups 132,857 24 5,536
Total 660,964 27
HST84
Between Groups 792,964 3 264,321 40,665 ,000
Within Groups 156,000 24 6,500
Total 948,964 27
Lampiran 20. Uji t jumlah aanakan Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
SS -
SK
5,8571
4 4,45358 ,53230 4,79522 6,91906 11,003 69 ,000
Keterangan:
SS: Sidenuk SRI
SK: Sidenuk Konvensional
76
Lampiran 21. Uji t jumlah anakan Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
CS -
CK
4,1571
4 4,47096 ,53438 3,09108 5,22320 7,779 69 ,000
Keterangan:
CS: Ciherang SRI
CK: Ciherang Konvensional
Lampiran 22. Perhitung kadar air tanah dan faktor koreksi
tanah awal cawan kosong setelah
dipanaskan kadar air (%) Rata-rata
3,38 33,16 34,93 52
52,95
3,11 40,27 41,94 54
Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) x 100
= 34,92−33,16
3,38 𝑥 100%
= 52%
Faktor koreksi air
Faktor koreksi air (fk) = 100 / (100 – kadar air)
= 100 / (100 – 52,95)
= 2,13
77
Lampiran 23. Perhitungan C organik dan N organik tanah
1. C organik tanah
Sampel ABS ppm C fk air % C
Awal 0,13 70,87 2,13 3,01
A 0,11 61,47 2,13 2,61
B 0,14 78,60 2,13 3,34
C 0,12 69,47 2,13 2,95
D 0,11 60,33 2,13 2,56
Sampel Awal
Kadar C organik (%) = ppm kurva x 10 /mg sampel x Fk
= 70,87 x 10/500 x 2,13
= 70,87 x 0,2 x 2,13
= 3,01 %
2. N organik tanah
Sampel Berat Sample HCL NaOH % N Total
Awal 1 25 23,35 0,23085
A 1 25 23,6 0,195924
B 1 25 23,4 0,22391
C 1 25 23,45 0,216905
D 1 25 23,875 0,157477
Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH)x 0,1 x BM Nitrogen
𝑤 𝑥 100 %
Sampel awal
Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH) x 0,1 x BM Nitrogen x 100 / 1000
= (25 – 23,35) x 0,1 x 14 x 100 / 1000
= 1,65 x 0,1 x 1,4
= 0,231%
78
Lampiran 24. Perhitungan Rasio C/N
Perlakuan C Organik % N% rasio C/N
Tanah Awal 3,01 0,23 13,05
Sidenuk SRI 84 HST 2,61 0,20 13,34
Sidenuk Konvensional 84 HST 3,34 0,22 14,92
Ciherang SRI 84 HST 2,95 0,22 13,61
Ciherang Konvensional 84 HST 2,56 0,16 16,29
Rasio C/N tanah awal
𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 (𝐶)
𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 (𝑁)=
𝑥
𝑦
Rasio C/N = C organik / N
= 3,01% / 0,23%
= 13,05%
79
Lampiran 25. Perhitungan emisi metana
ulangan 0 HST 7 HST 14 HST 28 HST 56 HST 84 HST
Ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam
Sidenuk SRI
1 2,83 1,82 2,85 1,84 30,15 19,35 15,35 9,92 53,14 34,44 47,25 30,73
Sidenuk SRI
2 4,2 2,68 3,21 2,05 58,16 36,96 21,2 13,61 60,83 39,43 73,4 47,57
Sidenuk SRI
3 4,82 3,07 2,7 1,72 76,12 49,67 16,43 10,44 47,88 30,73 99,6 64,56
Sidenuk
Konvensional
1
2,83 1,82 2,75 1,78 83,73 53,56 5,45 3,52 91,26 59,15 37,54 24,41
Sidenuk
Konvensional
2
4,2 2,68 7,03 4,51 74,03 47,82 11,7 7,51 85,32 55,30 108,86 70,56
Sidenuk
Konvensional
3
4,82 3,07 7,35 4,72 77,88 50,81 13,39 8,59 102,68 66,11 154,93 100,42
Ciherang SRI
1 2,83 1,82 3,08 1,99 70,68 45,51 8,61 5,54 34,05 22,07 15,48 10,07
Ciherang SRI
2 4,2 2,68 2,69 1,72 77,68 50,18 18,81 12,07 90,14 58,23 135,5 87,82
Ciherang SRI
3 4,82 3,07 3,62 2,32 75,06 48,97 12,13 7,78 124,59 80,49 161,51 104,68
Ciherang
Konvensional
1
2,83 1,82 5,77 3,72 17,54 11,29 9,4 6,05 66,61 43,17 103,76 67,48
Ciherang
Konvensional
2
4,2 2,68 2,38 1,52 19,79 12,78 18,81 12,11 98,44 63,80 169,64 109,95
Ciherang
Konvensional
3
4,82 3,07 3,4 2,18 18,665 12,18 12,13 7,78 91,16 58,89 243,13 157,58
80
Perhitungan emisi metana pada Sidenuk SRI 1 umur 0 HST
E CH4 = dc
dtx
V
Ax 𝜌 x [
273,2
273,2+𝑇]
E CH4 = 2,83
1 jamx
0,04
0,04 x 0.717 x [
273,2
273,2+31]
= 2,83 x 1 x 0,717 x 0,90
= 1,82 mg/m2 jam
Lampiran 26. Perhitungan C organik gabah dan jerami
3. C orgnaik gabah
No Berat sampel Absorbace Konsentarsi
(ppm) C %
1 0,5 0,582 435 10,78228
2 0,5 0,546 407 10,09551
3 0,5 0,4607 341 8,468246
4 0,5 0,5351 399 9,887569
5 0,5 0,5212 388 9,6224
6 0,5 0,6653 499 12,37138
7 0,5 0,5708 426 10,56862
Rata - rata 10,25657
Fk gabah = 100 /(100 – ka% gabah)
Ka gabah = 19,56 %
Fk gabah = 100/(100-19,56%)
= 1,24 %
Sampel gabah Sidenuk SRI 84 HST no 1
Kadar C organik (%) = ppm kurva x 100 /mg sampel x Fk
Kadar C organik (%) = 435 x 10/500 x 1,24
= 435 x 0,02 x 1,24
= 10,78 %
81
4. C organik jerami
No Berat sampel Absorbace Konsentrasi (ppm) C %
1 1 0,639 479 11,30
2 1 0,6193 463 10,94
3 1 0,5298 395 9,31
4 1 0,6189 463 10,93
5 1 0,5532 413 9,74
6 1 0,5536 413 9,74
7 1 0,5321 396 9,35
Rata - rata 10,18714
Fk jerami = 100 /(100 – ka%)
Ka jerami = 15 %
Fk jerami = 100/(100-15%)
= 1,18 %
Sampel jerami Sidenuk SRI 84 HST no 1
Kadar C organik (%) = 479 x 10/500 x 1,18
= 479 x 0,02 x 1,18
= 11,3 %
Lampiran 27. Perhitungan Nitrogen gabah dan padi
1. Nitrogen Gabah
Berat (g) NaOH HCL konsentrasi N %
1 17,87975 25 0,9968
1 15,68569 25 1,3040
1 12,11851 25 1,8034
1 15,88567 25 1,2760
1 15,07543 25 1,3894
1 11,74842 25 1,8552
1 17,91199 25 0,9923
rata-rata 1,3739
Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH) x 0,1 x BM Nitrogen x 100 / 1000 (mg)
= (25 – 17,87) x 0,1 x 14 x 0,1
= 7,13 x 0,1 x 14 x 0,1
= 0,99 %
82
2. Nitrogen Jerami
Berat (g) NaOH HCL konsentrasi N %
1 12,64202 25 1,7301
1 0,0499 25 3,4930
1 15,23321 25 1,3674
1 12,42766 25 1,7601
1 12,0078 25 1,8189
1 14,09163 25 1,5272
1 11,0056 25 1,9592
rata-rata 1,9508
Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH) x 0,1 x BM Nitrogen x 100 / 1000 (mg)
= (25 – 12,46) x 0,1 x 14 x 0,1
= 12,54 x 0,1 x 1,4
= 1,75 %
Lampiran 28. Perhitungan fosfor gabah dan padi
a. Fosfor Gabah
No Berat sampel Adsorbansi Konsentrasi
(ppm) P total (100)
1 1 0,2793 471 11,77
2 1 0,1527 260 6,49
3 1 0,2101 355 8,88
4 1 0,2296 388 9,70
5 1 0,1801 305 7,63
6 1 0,1848 313 7,83
7 1 0,2325 393 9,82
Rata - rata 8,874286
Sampel Sidenuk SRI 84 HST no 1
% P = 𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝑓𝑝
W x 1000 𝑥 100%
= 471 x 0,25 x 100
1 𝑥 1000
= 11,75 %
83
b. Fosfor Jerami
No Berat sampel Absorbace Konsentrasi
(ppm) P total (100)
1 1,0011 0,0926 171 4,28
2 1,0018 0,1265 239 5,96
3 1,0012 0,059 104 2,60
4 1,0013 0,1117 209 5,23
5 1,0018 0,0993 185 4,61
6 1,0004 0,1446 275 6,88
7 1,0001 0,1262 238 5,96
Rata - rata 5,074286
Sampel Sidenuk SRI 84 HST no 1
% P = 𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝑓𝑝
W x 1000 𝑥 100%
= 171 x 0,25 x 100
1 𝑥 1000
= 4,27 %
Lampiran 29. Penekanan emisi metana teknik SRI
1. Varietas Sidenuk
Sampel
HST (mg/m2jam) Rata-
rata 0 7 14 28 56 84
Sidenuk SRI 2,52a 1,87 a 35,33 b 11,32 a 34,87 a 47,62 a 22,25
A A B A B B
Sidenuk
Konvensional 2,52 a 3,67 a 50,73 c 6,54 a 60,19 a 65,13 a
31,46
A A B A B B
Penekanan emisi metana = 𝑆𝑖𝑑𝑒𝑛𝑢𝑘 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙−𝑆𝑖𝑑𝑒𝑛𝑢𝑘 𝑆𝑅𝐼
𝑆𝑖𝑑𝑒𝑛𝑢𝑘 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 x 100%
= (31,46 – 22,25)/31,46 x 100%
= 29,27%
84
2. Ciherang
Sampel
HST (mg/m2jam) Rata-
rata 0 7 14 28 56 84
Ciherang SRI 2,52 a 2,01 a 48,22 bc 8,47 a 53,60 a 67,52 a 30,39
A A BC AB C C
Ciherang
Konvensional 2,52 a 2,47 a 12,09 a 8,65 a 55,29 a 111,67 a
32,11
A A A A B C
Penekanan emisi metana = 𝐶𝑖ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙−𝐶𝑖ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑅𝐼
𝐶𝑖ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 x 100%
= (32,11-30,39)/32,11 x 100%
= 5,35%
Lampiran 30. Kondisi penelitian emisi metana dari lahan sawah secara ex situ
Tanah awal yang sudah dikeringkan
Proses penggenangan tanah sawah
85
Tanaman padi umur 7 HST
Sampling metana umur 7 HST
Pengukuran pH dan suhu tanah
Tanaman padi umur 21 HST
Sampling metana umur 28 HST
Tanaman padi umur 35 HST
86
h an
Sampling metana umur 56 HST
Tanaman padi umur 84 HST