Post on 13-Mar-2019
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN
KOMISI YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
M A S R I P A TT U N N I S A
N I M . 1 6 1 2 0 4 8 0 0 0 0 0 2
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H / 2014 M
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI
YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Ilukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MasripattunnisaN I M. 1612048000002
I
Di Bawah Bimbingan:
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM DOUBLE DEGRBE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARII' HIDAYATULLAH
JAKARTA1435Ht2014 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi ini bedudul EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN
KOMISI YUDISIAL DAI,AM MT]I{GAWASI IIAKIM DAN PIINGARI]IINYA
TERIIADAP KEKUASAAN I(EHAKIMAN, telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah F-akultas Syariah dan Hukum Program Double Degree Ihnu Ilukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Flidayatullah Jal<arta pada langgal 07 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Double Degree Ilmu llukurn.
Jakarta, 07 Mei2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Svariah dan Hukuln
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
PANITIA UJIAN
Dr. Diawahir Hejazziev.S.H..M.A..M.H.
NIP. 1 9500306197603 1001
Drs. Abu Tamrin.S.H..M.Ifum.
NrP. 1 9650908 199503 l00t
NurllaLibi,SJ:t.l-M=tL
NIP" 1 9760 817 2009 t2 1005
Dr. Al Fitra.S.H..M.I Iunr.
NIP. I 97202032007 0t 103 4
Drs. Abu'l'amrin.S.H..M.Hum.
NIP. I 96509081 99503 1001
(
.II. JM. Muslimin. M.
IP. 196808121999903 r 01 4
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi ini bedudul EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN
KOMISI YUDISIAL DAI,AM MT]I{GAWASI IIAKIM DAN PIINGARI]IINYA
TERIIADAP KEKUASAAN I(EHAKIMAN, telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah F-akultas Syariah dan Hukum Program Double Degree Ihnu Ilukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Flidayatullah Jal<arta pada langgal 07 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Double Degree Ilmu llukurn.
Jakarta, 07 Mei2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Svariah dan Hukuln
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
PANITIA UJIAN
Dr. Diawahir Hejazziev.S.H..M.A..M.H.
NIP. 1 9500306197603 1001
Drs. Abu Tamrin.S.H..M.Ifum.
NrP. 1 9650908 199503 l00t
NurllaLibi,SJ:t.l-M=tL
NIP" 1 9760 817 2009 t2 1005
Dr. Al Fitra.S.H..M.I Iunr.
NIP. I 97202032007 0t 103 4
Drs. Abu'l'amrin.S.H..M.Hum.
NIP. I 96509081 99503 1001
(
.II. JM. Muslimin. M.
IP. 196808121999903 r 01 4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UlN)
S yari f Hi dayatul lah J al<arta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dar karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
v
ABSTRAK
MASRIPATTUNNISA. NIM 1612048000002. EFEKTIFITAS
PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL DALAM
MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUASAAN
KEHAKIMAN. Program Double Degree Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. ix + 86 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan, wewenang, dan
urgensi pengawasan Komisi Yudisial serta hubungan dan kerjasama Komisi Yudisial
dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan kehakiman dan
bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam
mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research yang mana melakukan pengkajian mendasarkan pendekatan pada aspek-
aspek: norma-norma hukum, kerangka teori negara hukum, pemisahan kekuasaan,
independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman serta efektifitas dari
implementasi pengawasan hakim yang berhubungan dengan tema sentral skripsi ini
dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Komisi Yudisial dalam mengawasi
hakim belum cukup efektif karena masih terkendala beberapa faktor yaitu faktor
pertama adalah faktor resistensi Mahkamah Agung yang seringkali tidak
menindaklanjuti rekomendasi sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Faktor berikutnya adalah
regulasi. Dalam hal ini disebabkan karena terbatasnya wewenang pengawasan dan
tidak adanya pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang terkait dengan
teknis yudisial dan ranah perilaku. Faktor lainnya adalah faktor internal yang dalam
hal ini meliputi tiga hal. Pertama, tidak massifnya fungsi pencegahan yang dilakukan
Komisi Yudisal dalam mensosialisasikan dan menginternalisasi KE dan PPH. Kedua,
tidak adanya tenaga fungsional khusus investigasi dan pemeriksa yang membantu
Anggota Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim. Ketiga, tidak
adanya perwakilan di daerah juga turut berkontribusi.
Kata Kunci : Efektifitas, Pengawasan, Komisi Yudisial, Hakim, Kekuasaan
Kehakiman.
Pembimbing : Nur Habibi,S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : 1985 sampai dengan 2013
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah
memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis
haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa
tercurahkan kepada umat muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima
kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. H. J.M. Muslimin, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Ketua Program Double Degree Ilmu
Hukum dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Nur Habibi, S.H.I.,M.H., Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang selalu
memberikan saran serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
vii
4. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi
ini dan Staf-staf/Karyawan yang membantu proses administrasi penulis .
5. Ayahanda tercinta H.Hasan Ma’ruf (Alm) dan Ibunda tersayang Hj. Masto’ah,
sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan kalian selama ini,
“allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”.
Nenekku tersayang Emak Jonah dan Anakku tercinta M.Taufiq Sahniyar Nur
Yaasin, Saudara-saudariku Teh Lilis Hasanah,S.Pd., Laelatunnisa,S.Pd.,
Wardatunnisa,S.Pd.I., Mia Fitriatunnisa, dan keponakan Egi, Reza, Rafi,
Septi,Nazwa, Naiyla, Walid keberadaan kalian selalu memberikan support.
6. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus rekan kerjaku di MTs Sirojul Falah, MTs
Asnawiyah, dan MA Sirojul Falah dan teman-teman Double Degree angkatan
Kedua; M.Ishar Helmi, M. Andriansyah, Uuf Rouf, Ihsan Badruni Nasution, dan
Ahmad Farhan Subhi. Thank for all. Kalian selalu setia menemani dari awal
masuk hingga saat ini dan telah memberikan canda dan tawa serta suka duka
dalam berbagi ilmu yang penulis sama sekali belum tahu.
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan
penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, April 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
E. Studi Review ........................................................................................... 9
F. Metode Penelitian ................................................................................. 11
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 15
BAB IIPengawasan Dalam Perspektif Komisi Yudisial dan Kekuasaan
Kehakiman
A. Pengertian Pengawasan ......................................................................... 17
B. UrgensiPengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman
.............................................................................................................. 23
C. Kedudukan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim ..................... 29
ix
D. WewenangPengawasan Hakimdalam Perspektif Perundang-undangan
Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ...................... 35
BAB III Hubungan dan KerjaSama Komisi Yudisial Dalam Pelaksanaan
Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim
A. Mekanisme Pelaksanaan Fungsi PengawasanKomisi Yudisial
dalam Mengawasi Hakim ................................................................... 41
B. Hubungan Kerjasama Komisi Yudisial dengan Kekuasaan
Kehakiman dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim .............. 47
C. Teori Efektifitas Hukum ..................................................................... 52
BAB IV Analisis Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial
dalam MengawasiHakim dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan
Kehakiman
A. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisialdalam Mengawasi
Hakim danPengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman ............... 58
B. Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam
Mengawasi Hakim danPengaruhnya terhadap
Kekuasaan Kehakiman ....................................................................... 59
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ......................................................................................... 81
B. Saran-saran ......................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju
mengembangkan lembaga komisi judisial (judicial commision).1 Latar belakang
pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara tersebut sebagai akibat dari
salah satu atau lebih dari lima hal berikut ini:2
Pertama, lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan
kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; Kedua, tidak
adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah
(executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dari Kekuasaan
Kehakiman (judicial power); Ketiga, kekuasaan kehakiman dianggap tidak
mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya
apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non hukum;
Keempat, tidak adanya konsistensi lembaga peradilan, karena setiap putusan
kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga
1 Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum,
yang berakar pada perkembangan historis, kultural dan sosial dari negara-negara tertentu. Oleh karena
itu, setiap komisi yudisial bersifat unik dan kita tidak dapat melihat lembaga tersebut di luar konteks
negaranya. Hingga saat ini setidaknya sudah ada 43 negara (termasuk Indonesia) yang mengatur
komisi yudisial dalam konstitusinya dengan sebutan yang beragam. Lihat A.Ahsin Thohari, Komisi
Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Elsam, 2004), h, 106.
2 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII
Press, 2007), h, 149.
2
khusus; dan Kelima pola rekrutmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan
masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah
lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan (judicial
corruption) merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan
dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak
boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan
publik yang hilang (publicdistrust) terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya
praktik mafia peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga
pengawasan yang dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.3
Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrol
pun dirasa masih lemah. Ada faktor-faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan
terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan
rakyat itu sendiri. Di tengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang
seolah-olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa
kecuali sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib
menjunjungnya. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat
ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap norma-
3 Busyro Muqoddas, Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan
Hukum di Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di Pusat Penelitian Agama dan
Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 29 Juli 2006.
3
norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia
untuk patuh terhadap hukum.4
Pentingnya akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga
mendorong lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem
kekuasaan kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau
sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir
sebagai konsekwensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan
untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur
kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya pada sub-sistem kekuasaan
kehakiman.5
Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak
efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan peradilan.
Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses
pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi
masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses
serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de
corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan
perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan
4 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h, 56.
5Bambang Widjoyanto, Komisi Yudisial: Checks and Balances – Dan Urgensi
Kewenangan Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006,
h, 111.
4
mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi
yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga
penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.6
Sebelum terbentuknya Komisi Yudisial yang mempunyai kewenangan
dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim. Sebenarnya selama ini,
terdapat pengawasan yang dilakukan secara internal oleh Mahkamah Agung.
Namun demikian, pada prakteknya pengawasan internal oleh Mahkamah Agung
ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: 7
1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
2. Dugaan semangat membela korps
3. Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode
pengawasan yang ada secara efektif
4. Kelemahan sumber daya manusia
5. Pelaksanaan pengawasan yang selama ini kurang melibatkan partisipasi
masyarakat.
6. Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku
hakim yang menyimpang.
Dalam menjalankan perannya, Komisi Yudisial memanggul dua
kewenangan konstitutional yang diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar
6 Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian
Kompas tanggal 2 Maret 2005, h, 5.
7Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial, 2005, h, 52.
5
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”.
Perkembangan berikutnya, wewenang pengawasan Komisi Yudisial
relatif mendapat penguatan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial. Melalui Undang-undang tersebut, terkait fungsi pengawasan hakim,
Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk melakukan pemanggilan paksa
terhadap saksi (Pasal 22A ayat (2). Selain itu, Komisi Yudisial juga dapat meminta
bantuan instansi penegak hukum untuk melakukan penyadapan (Pasal 20 ayat (3).
Undang-Undang tersebut juga mengamanahkan bahwa rekomendasi sangsi yang
diberikan Komisi Yudisial bersifat mengikat.
Kebutuhan adanya pengawasan terhadap lembaga peradilan termasuk
pengawasan terhadap perilaku hakim mutlak dilakukan oleh semua pihak. Tidak
hanya monopoli badan pengawas internal peradilan atau oleh Komisi Yudisial saja
sebagai pemegang amanah dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Meskipun
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah sepakat dalam pembentukan
jejaring dan kerjasama.
Namun, pada kenyataannya jejaring dan kerjasama tersebut masih
dirasakan belum efektif dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan
Komisi Yudisial tersebut, apabila sosialisasi yang dilakukan belum menjangkau
6
pada masyarakat pencari keadilan yang selama ini membutuhkan keadilan yang
sebenar-benarnya keadilan, khususnya pada masyarakat awam yang belum
memahami hukum dengan baik serta media online juga belumlah cukup
memfasilitasi sebagai salah satu alat dan cara untuk mensosialisasikan fungsi
pengawasan tersebut, karena pengaruh dari sosialisasi, kerjasama, dan jejaring
penghubung yang terbentuk itu akan berdampak pada hakim itu sendiri khususnya
pada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. Maka
dari sinilah perlu adanya pengkajian kembali mengenai efektifitas pelaksanaan
fungsi pengawasan terhadap hakim yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial
pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.
Berangkat dari masalah di atas penulis merasa tergugah untuk mengkaji
permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul:
“EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI
YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN “.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas dan untuk
mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasinya
pada bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.
7
2. Perumusan Masalah
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial
perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pasal 13
sampai dengan 22 dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 secara teori sudah jelas bahwa
dalam fungsi pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial maupun oleh Mahkamah
Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi mempunyai
tugas dan wewenang yang sama dalam hal pengawasan.
Namun, realita dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim
tersebut masih terdapatnya benturan kewenangan antara dua lembaga yang
sama-sama memiliki kewenangan dalam hal pengawasan para hakim, yang
seharusnya kedua lembaga tersebut harus bekerja sama dalam menegakkan
keadilan dan hukum di ranah pengadilan yang masih dianggap buram karena
perilaku para hakim yang tidak melaksanakan fungsinya sebagai hakim dengan
baik.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan. wewenang, dan urgensi pengawasan Komisi
Yudisial ?
2. Bagaimana mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi
Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan Hakim dengan Kekuasaan
Kehakiman.
8
3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
bertujuan :
1. Untuk mengetahui kedudukan, wewenang dan urgensi pengawasan Komisi
Yudisial.
2. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi
Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan
kehakiman
3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini dalam mengkaji efektivitas
pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim
pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman diharapkan dapat bermanfaat.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga kekuasaan
kehakiman dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan
hakim pada umumnya, maupun dikalangan akademisi yang sedang bergulat di
9
dalam bidangnya, khususnya para hakim itu sendiri agar bisa menegakkan
keadilan dan hukum sebagaimana mestinya.
2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah
wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan
dibahas pada permasalahan tersebut.
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
E. Studi Review
Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah pada hasil
penelitian sebelumnya yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan
yang akan diangkat oleh penulis, yaitu :
No Identitas Substansi Pembeda
1
Amir Syamsuddin,
Integritas Penegak
Hukum (Hakim, Jaksa,
dan Pengacara),
tentang MA Versus KY,
Kompas, Jakarta, Juni
2008
Hasil penelitian berupa
buku ini membahas
tentang MA versus KY
dalam hal kewenangan
menjalankan fungsi
pengawasan yang masih
dianggap saling
berbenturan baik secara
yuridis maupun akses
Disini penulis akan
membahas
bagaimana
efektifitas
pelaksanaan fungsi
pengawasan Komisi
Yudisial dalam
hakim dan
pengaruhnya
10
2
IMAN KHILMAN,
E0003196, ANALISIS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN
2004 TENTANG
KOMISI YUDISIAL
DITINJAU DARI
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR
005/PUU-IV/2006
TENTANG
PENCABUTAN
KEWENANGAN
KOMISI YUDISIAL
DALAM
PENGAWASAN
publik atas informasi.
Berdasarkan penulisan
ini diperoleh hasil bahwa
setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi
Nomor 005/PUU-
IV/2006, Undang-
undang Nomor 22 Tahun
2004 Tentang Komisi
Yudisial dinyatakan
bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar
1945 dan tidak
berkekuatan hukum
mengikat terutama pasal-
pasal yang berkaitan
dengan fungsi
pengawasan terhadap
terhadap kekuasaan
kehakiman, adakah
kerjasama antara
dua lembaga
tersebut baik secara
internal maupun
eksternal dalam hal
ini khususnya
dalam pelaksanaan
fungsi pengawasan
dan efektifitasnya
dalam mengawasi
hakim pengaruhnya
terhadap kekuasaan
kehakiman.
11
TERHADAP HAKIM.
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulisan Hukum
(skripsi). 2007.
hakim.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi
ini, maka Penulis menggunakan metode:
a. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
adalah:
1. Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.8
2. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan
yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
8Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang :
Bayumedia Pubblishing, 2008) h.294.
12
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
antara lain :
1. Pendekatan perundang-undangan yang didalamnya terdapat pasal-pasal
yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan
pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini
khususnya berkenaan dengan Komisi Yudisial.9
2. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk
mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi
secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila
menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.10
Secara Vertikal: pendekatan dengan melihat apakah suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak
saling bertentangan antara satu dengan lain apabila dilihat dari sudut vertikal
atau hierarki perundang-undangan yang ada.11
Secara Horizontal : pendekatan dengan meninjau peraturan perundang-
undangan yang kedudukannya sama atau sederajat.
9Ibid, h. 295
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali
Press, 1985),h.85.
11
Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2003), h, 94.
13
b. Sumber Bahan Hukum
Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber
data, yaitu :
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundang-
undangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum primer tersebut
yaitu UU Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 dan UU Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 39 sampai dengan
Pasal 44.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.12
Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang
ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal
hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992),
h.51.
14
hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data
digital.
c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan dalam
penelitian ini berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut
diinterventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang
dibahas.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode
dokumentasi. Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah,dan sebagainya.13
d. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknis analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang
berkaitan dengan pengolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah
dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah.
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali
Press, 1985), h.201.
15
bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi.
Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain :
1. Memilih pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tentang Komisi
Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman yang berisi kaidah-kaidah hukum.
2. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut
yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang penulis angkat sehingga
menghasilkan klasifikasi tertentu.
e. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut :
Pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
16
Kedua dalam bab ini membahas tentang pengawasan dalam perspektif
Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman meliputi pengertian pengawasan,
urgensi, kedudukan dan dan wewenang Komisi Yudisial dalam melakukan
pengawasan hakim menurut perundang-undangan.
Ketiga dalam bab ini membahas mengenai mekanisme pelaksanaan
pengawasan komisi yudisial, hubungan kerjasama Komisi Yudisial dalam
pelaksanaan fungsi Pengawasan hakim dengan Kekuasaan Kehakiman
Keempat dalam bab ini mengenai analisis efektifitas pelaksanaan fungsi
pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap
kekuasaan kehakiman.
Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini
penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan
sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian
terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan
dengan apa yang telah penulis kaji.
17
BAB II
PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF KOMISI YUDISIAL DAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Pengertian Pengawasan
Kata pengawasan berasal dari kata “awas” berarti “penjagaan”.1 Istilah
pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai
salah satu kegiatan pengelolaan.2
Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yang dalam
bahasa Inggris disebut controlling.3 Dalam Bahasa Indonesia, menurut Sujamto
fungsi controlling itu mempunyai dua padanan yaitu pengawasan dan
pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas
atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun pengendalian
itu pengertiannya lebih “forceful” dari pada pengawasan, yaitu sebagai segala
1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta,
TP, 2008), h, 123.
p 2 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6 (Bandung: Nusa Media,
2012), h. 101
3 Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h, 53
.
18
usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas
atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang semestinya.4
Mengenai pengertian pengawasan, George R Terry menyatakan sebagai
berikut : “Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply
corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.”5
Menarik dari pendapat Paulus E. Lotulung, bahwa fungsi pengawasan
dalam perspektif hukum itu berbeda dengan pengawasan dalam perspektif
administrasi atau manajemen. Dalam perspektif administrasi atau manajemen,
pengawasan pelaksanaan tugas dan pekerjaan dalam suatu organisasi tertentu itu
telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan apakah tujuan yang
dicanangkan itu tercapai atau tidak. Berdasarkan perspektif hukum, pengawasan
itu dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah
dilakukan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan apakah pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma hukum yang
berlaku.
Dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu
unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapa pun
4 Ibid, h, 53.
5 Dari pengertian ini nampak bahwa pengawasan dititik beratkan pada tindakan ealuasi
serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan
rencana. Dengan demikian, tindakan pengawasan ini tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan
yang sedang berjalan, justru pada akhir suatu kegiatan, setelah kegiatan itu menghasilkan sesuatu.
George R Terry, yang dikutip dalam bukunya Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan
Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), h,
36.
19
pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat pengawasan tidak lain
untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan,
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan wewenang.6
Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui kesulitan-
kesulitan apa saja yang dijumpai oleh para pelaksana agar kemudian diambil
langkah perbaikan.7
Agar fungsi pengawasan mendatangkan hasil yang diharapkan, pimpinan
organisasi harus mengetahui ciri-ciri suatu proses pengawasan dan yang lebih
penting lagi, berusaha untuk memenuhi sebanyak mungkin ciri-ciri dalam
pelaksananya. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:8
1. Pengawasan harus bersifat “fact finding” dalam arti bahwa pelaksanaan fungsi
pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas
dijalankan dalam organisasi.
2. Pengawasan harus bersifat preventif yang berarti bahwa pengawasan itu
dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan
penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang ditentukan.
6 Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, (Jakarta: Komisi Yudisial, TT), h, 207.
7 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), h, 103.
8Sondang P.Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: CV. Gunung Agung, 1985), h, 135).
20
3. Pengawasan diarahkan pada masa sekarang, yang berarti pengawasan hanya
dapat ditunjukkan terhadap kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilaksanakan.
4. Pengawasan merupakan alat untuk meningkatkan efesiensi. Pengawasan tidak
boleh dipandang sebagai tujuan akhir.
5. Pengawasan hanyalah sekedar alat administrasi dan manajemen, maka
pelaksanaan pengawasan harus memperhatikan tercapainya tujuan.
6. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menentukan siapa yang salah tetapi
untuk menemukan apa yang betul dan yang akan diperbaiki.
7. Pengawasan harus bersifat membimbing agar para pelaksana meningkatkan
kemampuannya untuk melakukan tugas yang ditentukan baginya.
Berbicara tentang pelaksanaan pengawasan itu pada dasarnya dapat
dilakukan melalui dua jalur, yaitu pengawasan melekat dan pengawasan
fungsional. Jalur yang pertama yakni melalui pengawasan melekat. Pengawasan
melekat merupakan kombinasi dari pengawasan atasan langsung dan sistem
pengendalian manajemen.
Pengawasan melekat hakekatnya merupakan suatu kewajiban. Oleh
karenanya memiliki sifat yang mutlak, yang berarti harus dilakukan. Meskipun
seorang pemimpin atau manajer telah dibantu oleh suatu aparat yang khusus
melaksanakan pengawasan, akan tetapi pimpinan tersebut pelaksanaan tugas anak
buahnya. Pengawasan melekat ini sangat efektif untuk mengendalikan aparat
pemerintah, sehingga akan terwujud pemerintah yang bersih dan berwibawa.
21
Efektifitas ini sehubungan dengan adanya 3 sifat yang dimiliki pengawasan
melekat ini, yakni bersifat tepat, cepat, dan murah.
Jalur kedua pengawasan yakni melalui pengawasan fungsional.
Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/aparat
pengawasan yang dibentuk atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi
pengawasan secara independen terhadap obyek yang diawasi. Pengawasan
fungsional tersebut dilakukan lembaga/badan/ unit yang mempunyai tugas dan
fungsi melakukan pengawasan melalui audit, investigasi, dan penilaian untuk
menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan rencana dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun jenis-jenis pengawasan menurut Fachrudin dalam buku W.
Riawan Tjandra9 mengklasifikasikan pengawasan sebagai berikut:
1. Pengawasan dipandang dari kelembagaan yang dikontrol dan melaksanakan
kontrol dapat diklasifikasikan:
a. Kontrol intern (internal control). Pengawasan yang dilakukan oleh suatu
badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam
lingkungan pemerintah.
b. Kontrol ekstern. Pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ yang
secara struktur organisasi berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif.
2. Pengawasan menurut sifatnya dapat dibedakan sebagai berikut:
9 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: PT.Grasindo, 2006), h, 133.
22
a. Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang sifatnya dalam rangka
mencegah penyimpangan.
b. Pengawasan represif merupakan kelanjutan dari mata rantai pengawasan
preventif yang sifatnya mengoreksi atau memulihkan tindakan-tindakan
yang keliru.
3. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a. Kontrol a-priori. Pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan
atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau
peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori
mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah dan
menghindarkan terjadinya kekeliruan.
b. Kontrol a-posteriori. Pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkannya
suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan
pemerintah. Pengawasan ini mengandung sifat pengawasan refresif yang
bertujuan mengoreksi tindakan yang keliru.
4. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi dapat diklasifikasikan atas:
a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas). Pengawasan dimaksudkan untuk
menilai segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid). Kontrol peradilan atau
judicial control secara umum masih dipandang sebagai pengawasan segi
hukum (legalitas) walaupun terlihat adanya perkembangan baru yang
mempersoalkan pembatasan itu.
23
b. Pengawasan dari segi kemanfaatan (opportunity). Pengawasan yang
dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatannya (doelmatigheid). Kontrol
internal secara hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian segi hukum
(rechtmetigheid) dan sekaligus segi kemanfaatannya (opportunity).
5. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan dengan mengutip pendapat
Hertogh dapat dibedakan atas:
a. Pengawasan unilateral (unilateral control). Pengawasan yang
penyelesaiannya dilakukan secara sepihak oleh pengawas.
b. Pengawasan refleksif (reflexive control). Pengawasan yang penyelesaiannya
dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negoisasi antara
pengawas dan yang diawasi.
B. Urgensi Pengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan
dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Penjelasan setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan
24
mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan
dengan yurisdiksi voluntair.10
Peradilan harus bersifat independen serta impartial (tidak memihak).11
Peradilan yang bebas pada hakekatnya berkaitan dengan untuk memperoleh
putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang
mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan peradilan
yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi
para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa antara rakyat dengan
penguasa atau antara sesama warga diproses melalui peradilan. Peradilan tidak
punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas
juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan
kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan
terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak
boleh mempengaruhi dan terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum
yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.
Berbagai persoalan yang membelit kekuasaan kehakiman menjadi salah
satu agenda penting reformasi. Sehingga pada perubahan UUD 1945, pasal-pasal
yang mengatur tentang kekuasaan mengalami perubahan yang cukup signifikan
10
RE. Baringbang, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi
Hukum, (Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001), h, 31.
11
Ibid, h, 117.
25
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat 4 (empat) perubahan
penting dalam UUD 1945 Pasca Amandemen;12
1. Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam pasal-pasal
UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan UUD 1945.
2. Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi satu-
satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi yang
berkedudukan setingkat dengan Mahkamah Agung dan berfungsi sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman. Pengawasan internal yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak kalah penting untuk
diperkuat pada masa yang akan datang adalah terwujudnya keterbukaan di
pengadilan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh
pengadilan.
3. Berkaitan dengan persoalan keterbukaan pengadilan, Jeremy Bentham dua abad
lalu pernah menyatakan: “In the darkness of secrecy, sinister interest and evil in
every shape hape full swing. Only in proportion as publicity has place can any
of the check applicable to judicial in justice operate. Where there is no publicity
there is no justice. Publicity is the very soul of justice. It is keenest spur to
exertion and the surest of all guard against improbity. It keeps the judge himself
while trying under trial”.13
Jika diterjemahkan kira-kira berbunyi: “ Dalam
12
Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember
2007, h, 11.
13
Ibid, h, 12.
26
gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada dipuncak
kekuatannya, hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala bentuk
ketidakadilan dilembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada
keterbukaan tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan.
Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari
ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim “diadili” saat ia mengadili
(perkara).
4. Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan
kehakiman yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
5. Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga baru. Pengawasan terhadap
hakim haruslah menjadi kewenangan Komisi Yudisial, karena sangatlah keliru
kalau dikatakan secara universal Komisi Yudisial tidak dapat mengawasi hakim
agung. Seiring dengan keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas
eksternal, pada masa yang akan datang pengawasan internal terhadap hakim
harus terus diperkuat eksistensinya. Dengan memperkuat transparansi dan
akuntabilitasnya terhadap publik seraya membangun sinergi dengan
pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.14
6. Adanya kewenangan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk
melakukan Judicial Review Undang-Undang terhadap UUD 1945, memutus
14
Ibid, h, 11.
27
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, memutus pembubaran Parpol, memutus sengketa tentang hasil pemilu.
Jadi, landasan konstitusional dari kekuasaan kehakiman adalah Undang-
Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 20,21,24, 24A, 24B, 24C
dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kewenangan mengadili merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman,
sedangkan sistem peradilan di negara kita belum menganut integrated criminal
justice system. Sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan sistem
penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara utuh.
Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah
Agung tidak dapat mengontrol proses penyidikan dan/atau penuntutan dalam
perkara pidana.
Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu
memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting
konferensi International Commission of Jurist menggaris bawahi bahwa;
“Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary
manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI
Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan
untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan
28
eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu
dengan dibentuknya Komisi Yudisial.15
Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus
diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama
aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural
maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman
agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak
sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat
bertindak “contra legem”. Selanjutnya harus disadari bahwa kebebasan dan
independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas,
dimana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama.
tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat
dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan
pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).16
Dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun
aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap
dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman. Dengan
15
Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan
Presiden Secara Langsung, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2006), h, 24.
16
Paulus E.Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “ Penegakan Hukum
dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), Denpasar, 14-18 Juli 2003, h, 7.
29
demikian, kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian
kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh
rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan
pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih
harus dilengkapi lagi dengan sikap inparsialitas dan profesionalisme dalam
bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum
harus dikaitkan dengan akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi,
pengawasan, profesionalisme, dan impartialitas.17
C. Kedudukan Komisi Yudisial dalam Pengawasan
Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang
dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung
sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan
pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial
juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan refresif sebagai wewenang dan
tugas konstitusional yang muncul dari frasa”..... mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim” sebagaimana didesain oleh Pasal 24B.
Komisi Yudisial sebagai organ konstitusional (constitutionally based
power) yang diharapkan dapat membereskan persoalan pengawasan hakim selain
17
Ibid, h, 8-9.
30
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung harus menerima kenyataan
pahit bahwa wewenang pengawasan tidak dapat diimplementasikan sesuai amanat
konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalitas payung
hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.18
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala
ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus
dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid).19
Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan yang diputus
bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi itu
merupakan pasal-pasal inti (core provisons) Undang-Undang Komisi Yudisial,
sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku
etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi
mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, berdasarkan putusan
tersebut, saat ini tidak lagi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bawah
konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim. Singkatnya,
18
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.
19
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006,
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23
Agustus 2006.
31
saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang pengawasan eksternal
hakim.
Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 cenderung lebih
menempatkan Komisi Yudisial sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain
untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparing
partner) yang selain mencari kesalahan juga bisa memberikan penghargaan
terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan kesejahteraannya. Selain mengusulkan
pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 hanya memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu
diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang didesain secara tidak maksimal
oleh Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga akhirnya dinyatakan
bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Ini
berbeda dengan konstitusi Italia, misalnya, selain berwenang melakukan
pengangkatan dan pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior
Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.20
Jadi, peran Komisi Yudisial sebenarnya tidak hanya di ranah preventif-
refresif, tetapi juga konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara
nomenklatur untuk Komisi Yudisial adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial
20
The Constitution of Italy, The Translation of the Later Amandements by Bernard E.
Delury, Jr, Published in 1994.
32
Service Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur
dalam konstitusi kita.
Meskipun demikian, dengan berpijak pada kenyataan bahwa mengubah
konstitusi tidak mudah, kelemahan-kelemahan pengaturan pada tingkat konstitusi
dapat diminimalisasi dampaknya apabila pengaturan pada tingkat undang-undang
dapat menterjemahkan kedudukan, wewenang, dan tugas Komisi Yudisial dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, beberapa pihak menginginkan agar
Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan
sekedar kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Perluasan kewenangan yang patut mendapat
pertimbangan adalah mutasi dan promosi hakim. Di negara-negara yang
memberikan kewenangan secara terbatas terhadap Komisi Yudisial pun mengenal
adanya kewenangan mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh, kewenangan ini
dimiliki oleh Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan semacam Prancis,
Italia, Spanyol, dan Portugal.21
Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga
negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim
dihormati karena integritas dan kualitasnya maka rule of law dapat sungguh-
21
Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi
Nugroho dan M.Zaki Hussein, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-
LeIP, 2002), h, 13.
33
sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. tegaknya rule of law itu justru
merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembang sehatnya sistem demokrasi
yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional UUD 1945. Demokrasi tidak
mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak dengan
kehormatan, kewibawaan, dan keterpercayaannya.22
Kedudukan Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting. Secara
struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, perlu dicatat bahwa, meskipun secara
struktural kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi , tetapi secara fungsional, peranannya bersifat menunjang (auxiliary)
terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga
penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik
(code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan,
keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau
lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.23
Keberadaannya pun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim
sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di
dalam dunia profesi kehakiman dan di lingkugan Mahkamah Agung. Artinya,
sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun, untuk lebih
22
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h, 158.
23
Ibid, h, 159.
34
menjamin efektivitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka
fungsinya ditarik keluar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat
sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan
pengawasnya.
Oleh karena itu, meskipun secara struktural kedudukannya memang
sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun karena
sifat fungsinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka kedudukan
protokolernya tidak perlu difahami sebagai lembaga yang diperlakukan sama
dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta DPR,MPR, DPD,dan
BPK. Karena, Komisi Yudisial itu sendiri bukanlah lembaga negara yang
menjalankan fungsi kekuasaan negara secara langsung.
Komisi Yudisial bukan lembaga yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif.
Komisi Yudisial ini hanya berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran
martabat, dan perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum dan lembaga yang
menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary).24
Dengan demikian, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Komisi
Yudisial juga bekerja berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan lembaga perwakilan rakyat.
Dalam bekerja, Komisi Yudisial harus lebih dekat dengan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan parlemen. Lebih
tegasnya, Komisi Yudisial harus mengambil jarak sehingga tidak menjadi alat
24
Ibid, h, 160.
35
politik para politisi, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif,
pemerintah ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengontrol dan
mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman.
D. Wewenang Pengawasan Hakim dalam Perspektif Perundang-undangan
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Mahkamah Agung, ketentuannya diatur dalam Pasal 24 A yang terdiri
atas lima ayat. Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan
peradilan militer. Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal Undang-
Undang (the guardian of Indonesian law).
Menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945,
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “ Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai
36
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.” Dengan perkataan lain,
oleh UUD 1945, Mahkamah Agung secara tegas diamanati dengan dua
kewenangan konstitusional, yaitu (i) mengadili pada tingkat kasasi, dan (ii)
menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang. Sedangkan kewenangan lainnya merupakan kewenangan
tambahan yang secara konstitusional didelegasikan kepada pembentuk Undang-
Undang untuk menentukannya sendiri.
Artinya, kewenangan tambahan ini tidak termasuk kewenangan
konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, melainkan diadakan
atau ditiadakan oleh Undang-Undang.25
Menurut ketentuan Bab III Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang (a)
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; (b) menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Selanjutnya
ditentukan oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut, dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi
Yudisial mempunyai tugas :
a. Melaksanakan pendaftaran calon Hakim Agung.
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung
c. Menetapkan calon Hakim Agung, dan
25
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2012), h, 135.
37
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Pasal 20 Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial itu menyatakan, “
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Huruf b
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku
hakim”. Selanjutnya, Pasal 21 menyatakan, “ untuk kepentingan pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial
bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan /atau Mahkamah Konstitusi”.
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, Komisi Yudisial :
a. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim
b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan
perilaku hakim.
c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim
d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode
etik perilaku hakim, dan
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta
tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Oleh karena itu untuk menciptakan institusi pengadilan yang terkontrol
dari virus-virus mafia, maka fungsi pengawasanlah yang bekerja ekstra keras.
38
Dalam pasal Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, pasal 39 ayat (1) menjelaskan bahwa,” Pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung”.
Pasal 39 Ayat (2) menegaskan bahwa,” Pengawasan internal atas tingkah
laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sebagai bentuk pengawasan dari dalam (internal), segala bentuk
pengawasan dari dalam di semua lembaga pengadilan di kendalikan sepenuhnya
oleh Mahkamah Agung. Namun masalah yang muncul ialah pengawasan secara
internal cenderung tertutup sehingga segala macam bentuk kesalahan hakim pun
tak akan sampai diketahui oleh masyarakat luar. Entah sebagai bentuk pengawasan
moral ataukah penjagaan citra dan martabat di lingkungannya sendiri. Hal ini perlu
dibentuknya sebuah lembaga pengawasan dari luar lingkungan pengadilan sebagai
bentuk pengawasan secara obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol
dari luar (eksternal) terhadap penegakan perilaku hakim, Maka muncullah Komisi
Yudisial. Salah satu alasan hadirnya Komisi Yudisial ialah karena kegagalan
sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang baik.
Tugas utama dari Komisi Yudisial ialah menjaga dan mempertahankan
kebebasan hakim (judicial Independent) agar supaya selalu obyektif dalam
memeriksa dan memutus perkara. Bentuk gangguan tersebut salah satunya dalam
bentuk pengaduan-pengaduan tentang perilaku hakim. Maka tanpa sebuah
39
lembaga yang mampu menyaring (filter) pengaduan tersebut maka akan sangat
mengganggu konsentrasi hakim dalam setiap pekerjaannya. Maka Komisi Yudisial
hadir sebagai pengawas eksternal dan media penerima pengaduan-pengaduan
tersebut dengan meneliti terlebih dahulu pengaduan tersebut.
Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada Pasal 40
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
yaitu melakukan pengawasan eksternal untuk menegakkan kehormatan dan
menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin
dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode
etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode
etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat
laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam
hal penjatuhan sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.
Masalah yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang
baik antara Komisi yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan
menyebabkan saling tumpah tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika
masuk rekomendasi dari Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung, terkadang tidak
diindahkan sama sekali. Sehingga laporan hasil pemeriksaan tersebut tidak
ditindak lanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan kekacauan sistem pengawasan
bersama.
Jika tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun
akan sangat susah untuk menciptakan lembaga pengadilan yang bersih dan
40
beretika jika masing-masing dari para pengawas memiliki ego masing-masing,
akibatnya pun akan sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan
merekonstruksi sistem pengawasan terletak pada pembahasan Rancangan Undang-
Undang Komisi Yudisial. Mari kita berharap pembahasan Rancangan Undang-
Undang Komisi Yudisial berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.26
26
Muhammad Fhadil, Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada
tanggal 15 Januari 2014 dari
http://muhammadfadhilpermahi.blogspot.com/2012/12/menjelajahisistempengawasan
-hakim.html.
41
BAB III
HUBUNGAN DAN KERJASAMA KOMISI YUDISIAL DALAM
PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN HAKIM DENGAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam
Mengawasi Hakim
Pengawasan perilaku hakim diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial sebagaiman diamanahkan oleh konstitusi
yang tertuang dalam pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Ketentuan pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial diatur dalam lima pasal yaitu
pasal 13 huruf (b), pasal 20, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Beberapa pasal
tersebut diatur mengenai fungsi kontrol ekstern dalam menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan menjaga perilaku hakim.1
Adanya kewenangan pengawasan Komisi Yudisial merupakan fungsi
penting dalam menunjang independensi peradilan dengan menguatkan kinerja
pengawasan fungsional intern yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 21 Undang-Undang Komisi Yudisial secara
terminologis hakim yang dimaksud adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan
1 Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”,
(Jakarta: Genta Press, 2013), h. 89.
42
peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung serta
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi . untuk
kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
huruf (b), Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap
hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.2
Mekanisme pengawasan Komisi Yudisial dalam melaksanakan kontrol
ekstern diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial yaitu sebagai berikut:
1. Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang
dugaan pelanggaran Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
2. Komisi Yudisial meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan
dan/atau Hakim.
3. Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
hakim.
4. Komisi Yudisial memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik perilaku hakim.
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Dalam hal pengawasan perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai
berbagai hambatan setelah wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
2 Ibid, h. 90-91.
43
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim diterjemahkan dalam UU
Nomor 22 Tahun 2004 hanya sebatas memanggil, memeriksa hakim dan
memberikan rekomendasi. Apalagi setelah permohonan sebanyak 31 orang hakim
agung untuk menghapuskan beberapa pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2004
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.3
Beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan
pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang Revisi4 ini:
1. Pengawasan Etika dan Perilaku Hakim5
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim
b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik
dan/atau pedoman perilaku hakim.
c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim.
e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang dan atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluruhan martabat hakim.
3 Ibid. h. 106-107.
4 Lihat UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
5 Lihat pasal 20 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisal.
44
Perbandingan dengan ketentuan yang lain, bahwa dalam revisi
Undang-Undang Komisi Yudisial sudah dijabarkan dalam beberapa turunan
kegiatan yang menegaskan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini dapat
dimaknai sebagai jawaban atas ketidakpastian hukum yang dijadikan
Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk menganulir beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang sebelumnya.
2. Penyadapan6
Untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan tugas yang bersifat
refresif7 dapat meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran
kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Penyadapan ini merupakan
kewenangan baru bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi
pengawasannya. Revisi Undang-Undang ini, Komisi Yudisial tidak memiliki
kewenangan menyadap telepon hakim secara langsung. Komisi Yudisial hanya
dapat meminta bantuan aparat penegak hukum dari lembaga KPK, Kepolisian
dan kejaksaan yang memiliki kewenangan tersebut karena mengingat Komisi
Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum dalam kapasitas yang pro-justicia.8
6 Lihat pasal 20 ayat 1 huruf (d) sampai dengan huruf (e) dan ayat 3 UU No. 18 Tahun
2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
7 Komisi Yudisial mempunyai hak dalam menetukan dan menilai hakim yang melakukan
pelanggaran terhadap etika dan perilaku hakim yang dianggap dapat mencedrai kehormatan, keluhuran
dan martabat hakim.
8 Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”, h.
109-110.
45
3. Rekomendasi Sanksi
Pelaksanaan sanksi sering terjadi kontroversi, sekarang ditegaskan
dalam Undang-Undang. Jika putusan Komisi Yudisial di diamkan saja dalam
waktu 60 hari, hal itu otomatis berlaku dan wajib dilaksanakan Mahkamah
Agung. Dahulu memang harus ditentukan oleh Mahkamah Agung, sekarang
tidak lagi. Jadi, ketika Komisi Yudisial menjatuhkan rekomendasi sanksi bagi
hakim, Mahkamah Agung harus mengikuti. Jika rekomendasi tersebut tidak
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam waktu 60 hari, maka rekomendasi
tersebut otomatis berlaku. 9
4. Sanksi Terperinci
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial
mengatur sanksi lebih variatif yaitu:
a) Sanksi ringan, berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak
puas secara tertulis.
b) Sanksi sedang, yaitu penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu
tahun, penurunan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penundaan
kenaikan pangkat paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama
enam bulan., dan,
c) Sanski berat, yaitu pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih
dari enam bulan sampai dengan dua tahun, pemberhentian sementara,
9 Ibid, h. 111.
46
pemberhentian tetap dengan hak pensiun, dan pemberhentian tetap dengan
tidak hormat. Ketentuan ini dikecualikan bagi rekomendasi Komisi Yudisial
berupa pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Untuk sanksi ini sudah
diatur melalui proses Majelis Kehormatan Hakim.
5. Bidang Seleksi Hakim
Komisi Yudisial kini bukan lagi hanya menyeleksi hakim agung, tetapi
juga hakim ad hoc di Mahkamah Agug karena itulah Komisi Yudisial kini
bertanggung jawab untuk menghasilkan hakim ad hoc yang berkualitas (Lihat
Pasal 13 huruf (a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial).
6. Peningkatan Kapasitas Hakim dan Kesejahteraan Hakim
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 Tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dalam Pasal
20 ayat (2) lebih memperhatikan aspek-aspek kebutuhan dan kepentingan
hakim sehingga dalam melaksanakan tugasnnya, hakim dapat menjaga wibawa
dan kehormatannya demi menghindari tindakan atau sikap yang dapat
melanggar etika, perilaku hakim, sampai dengan penyalahgunaan wewenang.
7. Penghubung di Daerah
Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai
dengan kebutuhan, dimana dalam penjelasannya, lembaga penghubung ini
betugas untuk membantu melaksanakan tugas Komisi Yudisial. (Lihat Pasal 3
ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011).
47
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dibentuk untuk
meningkatkan fungsi tugas dan kinerja Komisi Yudisial. Demi menyongsong
pembaharuan pengawasan di badan peradilan tentunya bukan Komisi Yudisial saja
yang mempunyai tugas akan tetapi control intern Mahkamah Agung harus terus
dioptimalkan fungsi pengawasannya sehingga dapat mewujudkan peradilan yang
transparan dan akuntabel.10
B. Hubungan dan Kerjasama Komisi Yudisial dalam Pelaksanaan Fungsi
Pengawasan Hakim dengan Kekuasaan Kehakiman
Menurut Jimly Asshiddiqie,11
maksud dibentuknya Komisi Yudisial
dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di
luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,
penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini
dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran
martabatnya, itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial
(independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus
10
Ibid, h. 123-124.
11
Jimly Asshiddiqie, “Kata Pengantar” dalam buku A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial
& Reformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004), h, 13-14.
48
diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum
maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang
independen terhadap para hakim itu sendiri.
Meskipun lembaga ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi
keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman.
Karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari
ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa jabatan hakim
dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan kehormatan yang harus
dihormati, dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga
bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial.12
Lebih lanjut Jimly menegaskan, bahwa rumusan ketentuan Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga dapat menimbulkan kontroversi tersendiri
di kemudian hari. Di situ dirumuskan dengan sangat jelas: “Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Artinya, tugas pertama komisi ini
adalah mengususlkan pengangkatan hakim agung dan tugas keduanya adalah
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Karena tugas pertama dikaitkan dengan „hakim agung‟ dan tugas kedua dengan
„hakim‟ saja, maka secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu Komisi Yudisial
12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta;
Konstitusi Press, 2011), h, 199.
49
bertugas menjaga (preventif) dan menegakkan (korektif dan represif) kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian,
hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan
perilakunya mencakup hakim agung, hakim pengadilan umum, pengadilan agama,
pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan militer serta ternasuk hakim
konstitusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945 di atas,
dikeluarkanlah UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yang
kemudian direvisi dengan UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 ditegaskan bahwa Komisi Yudisial adalah
lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial
merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Pengawasan terhadap perilaku hakim adalah bagian kepentingan publik
yang tidak bisa diabaikan. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung diberi
kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 18
Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang
Perubahan terhadap UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 13
13
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum (Hakim,Jaksa, Polisi, dan Pengacara)
(Jakarta: Kompas, 2008), h, 31.
50
Di dalam Bab VI Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman dipaparkan ketentuan pengawasan Mahkamah
Agung sebagai berikut: (1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi
dan keuangan. (3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung. (4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
Kalau sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial belum bisa menjawab konflik pengawasan ini, maka
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, perbedaan cara pandang tersebut
dapat diselesaikan melalui pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung terkait rekomendasi penjatuhan sanksi, mekanisme
pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung apabila
terjadi beda pendapat terkait dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan Komisi
Yudisial tersebut (Pasal 22E ayat 2). Walaupun kemudian jika belum juga terdapat
kesepakatan, maka sanksi oleh Komisi Yudisial otomatis berlaku dan harus
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. (Pasal 22E ayat 3).
51
Pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
merupakan mekanisme pengawasan refleksif (reflexive control) artinya
pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan melalui proses timbal balik berupa
dialog dan negoisasi antara pengawas dan yang diawasi. Model pengawasan ini
bertujuan untuk mencari fakta (fact finding) terhadap pelanggaran etika dan
perilaku oleh hakim dalam menjalankan tugasnya baik di dalam persidangan
maupun di luar persidangan.
Adanya mekanisme pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung yang dijabarkan dalam Pasal 22E ayat (2) UU Nomor 18
Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial tentu dapat mengatasi konflik-konflik yang
terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial khususnya dalam hal
pengawasan terhadap perilaku hakim. Akan tetapi demi menunjang fungsi pasal
ini tentu perlu diupayakan membangun sinergi pengawasan hakim baik melalui
kontrol intern yang dilakukan Mahkamah Agung maupun kontrol ekstern yang
dilakukan Komisi Yudisial.
Oleh karena itu, demi mengoptimalkan implementasi Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial ini khususnya untuk mencegah
konflik atau ketegangan dalam melaksanakan fungsi pengawasan maka dianggap
perlu membangun sinergi pengawasan antara Mahkamah Agung dengan Komisi
Yudisial dengan beberapa pemikiran sebagai berikut:
52
a. Saling menghormati
Komisi Yudisial harus menunjukkan penghargaan terhadap Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya. Sebaliknya, Mahkamah Agung harus
memandang Komisi Yudisial adalah mitra untuk mempercepat reformasi
peradilan.
b. Saling percaya
Dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Komisi Yudisial, harus dibangun rasa saling percaya antara Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Untuk itu
kedepannya Komisi Yudisial dapat melakukan pendekatan secara kultural
dengan Mahkamah Agung yakni keselarasan dalam menghayati pandangan
sikap dan falasafah yang secara menyeluruh mendasari pentingnya transparansi
dan akuntabilitas dari pengadilan. Sehingga ke depan Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung dapat membangun bersama sinergi pengawasan hakim
dalam penerapan Undang-Undang Komisi Yudisial.14
C. Teori Efektifitas Hukum
1. Pengertian Efektifitas Hukum
Efektifitas secara bahasa berasal dari kata efek yaitu pengaruh yang
ditimbulkan oleh sebab, akibat/dampak. didalam kamus Ilmiah Populer efektif
14
Rishan, Idul. Komisi Yudisial, Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta,
2013, h, 147.
53
memiliki arti berhasil, sedangkan efektifitas menurut bahasa ketepatgunaan,
hasil guna, menunjang tujuan.15
Sedangkan Dalam Black's Law Dictionary,
effective ialah bentuk adjective yang apabila disandingkan dengan kata order,
contract, dst. Berarti in operation of given time. bisa juga berarti performing
whitin the range of normal and efected standarch atau juga productive
achieving a result16
. Efektifitas Hukum dapat diartikan sebagai
keberhasilgunaan hukum, yang dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan
pelaksanaan hukum itu sendiri.
Bila berbicara efektifitas hukum dalam masyarakat berarti
membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat
untuk taat terhadap hukum. efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji
kaidah hukum yang memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku
secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis.17
Berkaitan dengan realitas hukum menyatakan bahwa apabila seseorang
mengatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai
tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur
sikap tindak.18
dia juga menambahkan mengenai derajat efektifitas suatu hukum
15
Pius A. Partanto dan Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola.
1994), h. 128. 16
Hidayatullah, Skripsi "Efektiftas Mediasi di pengadilan Agama Depok”. (Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 47.
17
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum , (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 62.
18
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali
Press, 1983), h. 7.
54
ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,
termasuk para penegak hukumnya. sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa:19
Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator yang
berfungsinya suatu sistem hukum. dan berfungsinya hukum merupakan
pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu
berusaha mempertahankan dan melindung masyarakat dalam hidup.
Dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau
kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor
yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal
hukum ini.20
Efektifitas hukum sedikit banyaknya ditentukan oleh sahnya hukum;
artinya apakah hukum dibentuk dan dilaksanakan oleh orang-orang atau badan-
badan yang berwenang, yakni kekuasaan yang diakui oleh masyarakat.21
2. Bekerjanya Hukum
Efektifitas hukum baik secara etimologi maupun terminologi dan telah
menjadi sebuah postulat hukum bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan
pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha
untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.
19
Fariha, Tesis "Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang
Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, (UIN Malang: Program Magister al-
Ahwalsyakhsiyah, 2012), h. 17.
20
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Bandung: Rajawali Press, 1996) h. 20.
21
Soerjono soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1988)
Cet. 5, h. 80.
55
agar hukum dapat berfungsi dalam masyarakat secara benar-benar, harus
memenuhi tiga unsur law of life, yakni berlaku secara yuridis, sosiologis dan
filosofis.
Pada realisasinya tidak semudah itu, karena utuk mengejar
berfungsinya hukum yang benar-benar merefleksi dalam kehidupan masyarakat
sangat bergantung pada usaha-usaha menanamkan hukum, reaksi masyarakat
dan jangka waktu menanamkan ketentuan hukum tersebut secara efektif.22
3. Teori Efektifitas
Di Negara hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum menurut Bustanul
Arifin apabila didukung oleh tiga pilar pokok, yaitu:23
a) Lembaga atau Penegak hukum yang berwibawa dan dapat diandalkan,
b) Peraturan hukum yang jelas dan sistematis,
c) Kesadaran hukum masyarakat tinggi.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, atau
dapat dikatakan efektifnya sebuah penegakan hukum dilandaskan beberapa
faktor, antara lain:24
a) Faktor Hukum
22
Fariha, Tesis "Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang
Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, (UIN Malang: Program Magister al-
Ahwalsyakhsiyah, 2012), h.19-20
23
Ibid, h. 17-18.
24
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007) h. 5.
56
Masalah-masalah yang terjadi terhadap penegakan hukum yang berasal
dari undang-undang disebabkan karena:25
1) Tidak sesuai dengan asas-asas berlakunya undang-undang,
2) Belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang,
3) Penafsiran undang-undang yang kurang relevan dan penerapannya
diakibatkan oleh ketidakjelasan arti kata-kata undang-undang.
b) Faktor Penegak Hukum
Yaitu pihak-pihak yang membentuk ataupun menerapkan hukum, yang
dimaksud dengan penegakan hukum dibatasi pada kalangan yang secara
langsung berkecimpung didalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya
mencakup law enforcement akan tetapi juga peace maintenance. kalangan-
kalangan tersebut seperti mereka yang bertugas dibidang-bidang kehakiman,
kejaksaan, kepolisian, keadvokatan dan pemasyarakatan.26
c) Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. sarana atau fasilitas
tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup dan seterusnya. Apabila hal-hal tesebut tidak terpenuhi maka mustahil
25
Ibid, h. 17-18.
26
Ibid, h. 19.
57
penegakan hukum akan tercapai27
, bahkan bisa jadi para penegak hukum
melakukan korupsi atau suap untuk mendapatkan sarana atau fasilitas yang
mereka butuhkan.
d) Faktor Masyarakat
Yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat, penegakan hukum berasal
dari masyarakat. Yang mana dari sudut pandang tertentu masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut.28
e) Faktor Kebudayaan
Yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia dalam pergaulan hidup. Kebudayaan hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang
mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang
mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.29
27
Ibid, h. 37.
28
Ibid, h. 45.
29
Ibid, h. 59-60.
58
BAB IV
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI
YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim
dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman
Posisi Komisi Yudisial di Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam
undang-undang. UUD 1945 (setelah amandemen). Posisi Komisi Yudisial secara
hukum dinggap sama dengan Mahkamah Agung dan Pengadilan Konstitusi.
Meskipun, dalam prakteknya, fungsi Komisi Yudisial kurang efektif untuk
menjadi kontrol eksternal kode etik para hakim.
Tiga faktor yang berperan untuk menyebabkan Komisi Yudisial gagal
untuk menciptakan kontrol secara efektif. Pertama adalah berkurangnya integritas
dari Komisi Yudisial berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa wakil ketua
telah terlibat dalam praktek penyuapan. Kedua, kelemahan kepemimpinan yang
ditetapkan di samping kepentingan inti Komisi Yudisial sebagai kontrol eksternal.
Ketiga, pengadilan konstitusi adalah keputusan yang memimpin Komisi Yudisial
untuk mengacaukan otoritasnya. Untuk meningkatkan kontrol yang efektif,
diperlukan untuk mencoba upaya khusus.
59
Di sisi lain, Komisi Yudisial meminta tidak hanya untuk menjaga
integritas individu, tapi juga diperlukan upaya untuk mengubah sistem
kepemimpinan. Lebih penting lagi, kemampuan Komisi Yudisial untuk
menggabungkan kolaborasi dalam mendukung anggota pemerintah dan legislative
dalam memperbaiki UU No. 24/2002 perlu dipertimbangkan.
B. Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam
Mengawasi Hakim dan Pengaruhnya terhadap Kekuasaan Kehakiman
Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya pengawasan internal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas
pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak
transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4)
semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan
penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk
memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang
selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak
terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk
menindak-lanjuti hasil pengawasan.
Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya
fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan
60
tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan
untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga
membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan
kode etik. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang
menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus
tersebut adalah Komisi Yudisial.
Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke 3 Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap
kegagalan sistem peradilan untuk menciptakan peradilan yang lebih baik.
Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek
kelembagaan, aspek substansi dan aspek budaya hukum. Aspek kelembagaan
antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi, teknis
yudisial maupun perilaku hakim.
Kegagalan sistem pengawasan sebagaimana tersebut diatas yang
kelihatannya belum dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada
waktu yang bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap (one roof
system) yang justru menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan
kehakiman di Mahkamah Agung.
a. Kedudukan
Kedudukan Komisi Yudisial bila dilacak dalam proses pembahasan UUD
1945, menunjukkan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah lembaga negara
mandiri yang terlepas dari intervensi kekuasaan manapun dalam menjalankan
61
tugasnya. Komisi Yudisial dirancang untuk menciptakan checks and balances
dalam sistem kekuasaan kehakiman melalui wewenang pengangkatan dan
pengawasan hakim.
Penulis berpendapat, bila dilihat dalam proses pembahasan UUD 1945
mengenai Komisi Yudisial terlihat bahwa apa yang dimaksud „mandiri‟ dalam
Pasal 24B memang menjadi perdebatan tersendiri. Bahkan pembahasan
mengenai itu pada Masa Perubahan Kedua masih menjadi pembahasan yang
alot, apakah Komisi Yudisial menjadi lembaga yang berada dalam struktur
internal Mahkamah Agung atau sebagai lembaga mandiri yang terlepas dari
struktur Mahkamah Agung. Meskipun pada akhirnya muncul rumusan
sementara bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga mandiri yang terlepas dari
Mahkamah Agung.
Pada Masa Perubahan Ketiga perdebatan mengenai Komisi Yudisial
sebagai lembaga negara mandiri semakin menemukan titik terang. Apa yang
dimaksud „mandiri‟ adalah terlepas dari struktur lembaga lain (utamanya
Mahkamah Agung/badan peradilan) dan juga independen dalam arti bebas dari
pengaruh lembaga-lembaga manapun. Sebagaimana terlihat dari pendapat
Hamdan Zoelva pada rapat Pleno PAH I BP MPR ke-35, 25 September 2001,
dengan agenda Pembahasan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,sebagai
berikut:
Hal yang dikhawatirkan apabila para hakim adalah tidak bisa memberikan
putusan tanpa berpihak. Oleh karena itu dibutuhkan satu lembaga, satu komisi
62
independen yang keberadaannya tidak di internal lembaga peradilan tersebut
dan keanggotaannya benar-benar independen. Komisi yang independen itu
bentuk oleh undang-undang, sehingga kewenangan dan kekuatan putusan yang
dikeluarkan oleh Komisi ini diharapkan akan lebih independen dan tidak pernah
mempunyai masalah internal dengan hakim-hakim yang ada. Dengan demikian,
kewenangan komisi ini jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari Irjen dan juga jauh
lebih kuat dari Dewan Kehormatan Hakim yang ada pada waktu itu.
Sementara itu terkait apakah Komisi Yudisial sebagai ordinary organ
atau supporting organ dalam pandangan penulis tidak terlalu relevan
diperdebatkan. Pertimbangannya, UUD 1945 tidak lagi menggunakan
pembagian kekuasaan secara vertikal semata sebagaimana dirumuskan dalam
UUD 1945 Pra-mandemen. UUD 1945 Pasca Amandemen sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab sebelumnya telah menganut pemisahan kekuasaan dengan
mekanisme checks and balance. Atau dengan meminjam terminologi Arthur
Mass, UUD 1945 menganut pembagian kekuasaan, yaitu capital division of
power untuk pengertian yang berada pada garis horisontal dan bersifat
fungsional, dan territorial division of power untuk pengertian yang vertikal dan
bersifat kewilayahan atau kedaerahan.
Posisi Komisi Yudisial dalam terminologi tersebut masuk dalam ranah
capital divission of power, yang dengan demikian posisi Komisi Yudisial
dengan lembaga negara lainnya (seperti Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA,
dan MK) dalam posisi horisontal/sederajat dan hanya dipisahkan secara fungsi.
63
b. Wewenang Pengawasan
Kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal mendapat
justifikasi Pasal 24B hasil perubahan Ketiga UUD 1945 yang salahsatunya
berfungsi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. „menjaga berarti preventif‟ sementara „menegakkan‟ berarti
represif/korektif. Hanya saja wewenang pengawasan Komisi Yudisial oleh
Dewan Perwakilan Rakyat direduksi melalui UU No 22 tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial. Dalam Bab III Pasal 13 UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial diatur mengatur bahwa, wewenang pengawasan Komisi Yudisial
hanya „menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim‟.
Selain itu, UU No 22 Tahun 2004 juga menjadi titik lemah terkait dengan
wewenang pengawasan Komisi Yudisial karena produk pengawasan akhir
Komisi Yudisial hanya berupa rekomendasi yang sifatnya tidak mengikat,
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e yang menyebutkan bahwa “
dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
Komisi Yudisial:….e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa
rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.”.
Ditambah lagi tidak ada klausul yang jelas bagaimana konsekwensinya jika
Mahkamah Agung tidak mengindahkan rekomendasi yang diberikan oleh
Komisi Yudisial.
64
Selain itu dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
mengamanatkan bahwa lingkup pengawasan Komisi Yudisial berada pada
ranah perilaku tanpa menjelaskan secara detail yang menjadi lingkup/ranah
perilaku. Sementara ranah administrasi dan teknis yudisial menjadi ranah
Mahkamah Agung. Berdasarkan Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah
Agung, ranah perilaku mencakup perilaku di dalam kedinasan yang
indikatornya adalah kesetiaan, ketaatan, prestasi kerja, tanggungjawab,
kejujuran, kerjasama, prakarsa, kepemimpinan serta yang terakhir perilaku
diluar kedinasan yang indikatornya tertib keluarga dan hubungan dengan
masyarakat.
Pengawasan teknis yudisial mencakup kemampuan penanganan perkara,
penyusunan BAP, pembuatan daftar persidangan, tenggang waktu penyelesaian
perkara, penyelesaian minutasi, kualitas putusan, eksekusi. Sementara
pengawasan teknis administratif mencakup prosedur penerimaan perkara,
registrasi perkara, keuangan Perkara, pemeriksaan buku keuangan perkara,
kearsipan perkara, pembuatan laporan perkara, eksekusi peraturan.
Problemnya, secara de facto tidak mudah untuk mengkualifikasi atau
menarik garis tegas pada tindakan tertentu menjadi bagian dari aspek teknis
yudisial ataukah aspek perilaku. Kewenangan Komisi Yudisial yang
menyangkut aspek disciplinary judicial procedure dapat mengarah dan
potensial berkaitan dengan penilaian tentang diskrepansi dalam hal-hal yang
65
bersifat teknis yudisial.1 Akibatnya banyak rekomendasi dari Komisi Yudisial
kepada Mahkamah Agung mengenai perilaku hakim yang tidak bisa
ditindaklanjuti dikarenakan menurut Mahkamah Agung pelanggaran tersebut
dikualifikasikan masuk pada ranah teknis yudisial, tanpa ada pemeriksaan
sebelumnya. Padahal menurut Komisi Yudisial hal tersebut masuk pada ranah
perilaku yang notabene adalah kewenangannya.
Dalam perkembangannya, wewenang pengawasan Komisi Yudisial
mendapat penguatan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial. Kekhawatiran mengenai tidak diindahkannya usul penjatuhan sanksi
oleh Mahkamah Agung diatasi melalui Pasal 22E yang mengatur “ Dalam hal
terjadi perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung mengenai usulan Komisi
Yudisial tentang penjatuhan sanksi dan Mahkamah Agung belum menjatuhkan
sanksi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3)
maka usulan Komisi Yudisial berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan.”
Pada ayat berikutnya dijelaskan lagi “Dalam hal terjadi perbedaan
pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai usulan
Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi
berat selain sebagimana dimaksud dalam Pasal 22 D ayat (2) huruf c angka 4)
1 Muhammad Fajrul Falakh, MA-MK-KY, “Kekaburan Konstitusi”, Artikel di Kompas, 11
Juli 2006.
66
dan angka 5), dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung terhadap Hakim yang bersangkutan”.
Selanjutnya pada ayat (3) ditegaskan pemberlakuan secara otomatis usul
penjatuhan sanksi apabila dalam pemeriksaan bersama tidak dicapai kata
mufakat “Dalam hal Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3) tidak mencapai kata
sepakat sebagaimana dimaksud pada (2), maka usulan Komisi Yudisial
sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 22B ayat (1) huruf a, berlaku
secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.”2
Namun pasal di atas masih berpotensi mengandung permasalahan terkait
pemberlakuan secara otomatis usul penjatuhan sanksi, mengingat 2 (dua) hal,
pertama, meskipun ada ketentuan wajib dan berlaku otomatis mengenai usul
penjatuhan sanksi, namun tidak ada sanksi bagi Mahkamah Agung apabila tidak
menindaklanjuti rekomendasi Komisi Yudisial. Kedua, ada klausul tambahan
setelah klausul mengenai pemberlakuan secara otomatis yaitu „sepanjang
menyangkut kode etik‟. Sementara hal mana yang termasuk domain kode etik
dan perilaku belum cukup jelas diatur pembedaannya secara tegas dalam UU
aquo.
2 UU No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial pada Pasal 22B ayat (1) huruf a
merumuskan “Pemeriksaan oleh Komisi Yudisial meliputi pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim”.
67
c. Pelaksanaan Wewenang Pengawasan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, salah satu dari dua wewenang
utama Komisi Yudisial adalah menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Dalam melaksanakan wewenang tersebut
Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim, baik secara aktif
maupun pasif.
Secara aktif dilakukan dengan cara melakukan pemantauan yang
dilakukan berdasarkan inisiatif Komisi Yudisial dengan penerapan standar yang
telah ditetapkan. Dalam melakukan pengolahan permohonan pemantauan, hal
utama yang menjadi ukuran adalah data awal (laporan masyarakat dan/atau
informasi usulan Komisi Yudisial) diduga berpotensi atau telah dicemari
praktik-praktik peradilan yang tidak bersih, baik berdasarkan proses beracara
dan sikap hakim, maupun rekam jejak para pihak (hakim, JPU, institusi, serta
penasihat hukum) dalam menangani suatu perkara.
Sedangkan secara pasif dilakukan melalui penanganan laporan
masyarakat yang masuk ke KY. Dalam hal penanganan laporan masyarakat,
sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 Komisi Yudisial telah menerima
laporan masyarakat sebanyak 7.965 laporan. Dari laporan masyarakat yang
masuk, sebanyak 3.913 laporan memenuhi syarat untuk diregistrasi. Dari
jumlah tersebut, jumlah laporan masyarakat mengenai pelanggaran kode etik
dan pedoman perilaku hakim yang dapat ditindaklanjuti sebanyak 1621 laporan
dari 7965 laporan pengaduan yang masuk.
68
Dari 1621 laporan yang dapat ditindaklanjuti, berdasarkan hasil Sidang
Pleno, Komisi Yudisial telah melakukan rekomendasi penjatuhan sanksi
sebanyak 175 hakim kepada Mahkamah Agung karena terbukti melakukan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dari jumlah 175 laporan yang berujung pada rekomendasi penjatuhan
sanksi kepada hakim karena terbukti melanggar KE dan PPH, tidak seluruhnya
diterima dan ditindaklanjuti dengan sangsi oleh Mahkamah Agung dengan
beberapa alasan, sejumlah 16 rekomendasi di tolak oleh Mahkamah Agung
karena dinilai menyangkut ranah teknis yudisial. 7 Ditolak dengan alasan lain,
sementara 33 tanpa tanggapan.
Dari data di atas, bisa dilihat bahwa banyak rekomendasi penjatuhan
sanksi yang dijatuhkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung, namun
ditolak dengan alasan merupakan ranah teknis yudisial maupun ditolak dengan
alasan lain dan bahkan tidak mendapat tanggapan. Fakta tersebut memberikan
gambaran bahwa kinerja pengawasan hakim yang dilakukan Komisi Yudisial
dalam kapasitasnya sebagai pengawasan eksternal terhadap hakim masih
menemui beberapa kendala serius yang mempengaruhi efektivitas dalam
melakukan fungsi pengawasan.
d. Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Dalam pandangan penulis ada beberapa faktor yang menjadi kendala
Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Faktor tersebut
meliputi;
69
1) Resistensi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung pada awalnya sangat antusias dan memberikan
kontribusi penting bagi kelahiran Komisi Yudisial. Bahkan Mahkamah
Agung menyusun Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial.3
Namun, dalam perjalanannya ketika Komisi Yudisial lahir melalui UU No.
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan menjalankan perannya
mengawasi hakim, Komisi Yudisial justru menghadapi resistensi yang kuat
dari Mahkamah Agung. Resistensi tersebut membuat peran pengawasan
Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan, nyaris lumpuh dan
tidak efektif.
Resistensi bermula pada akhir tahun 2005, yang awalnya dipicu
pemeriksaan Komisi Yudisial terhadap majelis hakim di tingkat banding
yang memutus perkara Pemilihan Kepala Daerah Depok. Dalam perkara
tersebut berdasarkan Rapat Pleno Komisi Yudisial, diputuskan kelima hakim
(hakim ketua dan hakim anggota) diberikan penjatuhan rekomendasi sanksi
kepada Mahkamah Agung karena telah melakukan kesalahan dan kekeliruan
berupa unprofessional conduct dan secara formil dan materiil telah
melanggar Pasal 106 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
3 Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung
menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun UU No 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
70
daerah, yakni perkara sengketa Pilkada yang harus diputus paling lambat
dalam waktu 14 hari.4
Namun rekomendasi tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, dan
menjadi titik awal memanasnya hubungan Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Agung. Gelombang resistensi hakim dan hakim agung terhadap
keberadaan Komisi Yudisial kemudian semakin membesar ketika muncul
wacana kocok ulang hakim agung. Puncak resistensi Komisi Yudisial terjadi
pada tahun 2006, ketika 31 hakim agung mengajukan judicial review di
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Maret 2006 yang berujung
pembatalan beberapa wewenang pengawasan Komisi Yudisial melalui
Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006.
Dampak dari resistensi tersebut membuat rekomendasi hasil
pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim yang terbukti melanggar kode
etik tidak mendapat tanggapan dari Mahkamah Agung. Pada tahun 2005
misalnya, dari 7 rekomendasi sanksi yang disampaikan ke Mahkamah
Agung, tidak satupun yang mendapat tanggapan. Sementara pada tahun
2006, dari 10 rekomendasi sanksi yang dijatuhkan, ditolak oleh Mahkamah
4 Menurut Ketua Komisi Yudisial periode 2005-2010, Busyro Muqoddas, perkara
Pilkada Depok cukup aneh karena ketua majelis hakim ketika diperiksa Komisi Yudisial
menyatakan, untuk beberapa pertanyaan penting yang diajukan tidak akan dijawab dengan
alasan atas perintah MA karena sudah menyangkut materi putusan.
71
Agung.5 Pada periode berikutnya hal itu masih juga terjadi, misalnya pada
tahun 2012, dari jumlah 27 orang hakim yang direkomendasikan penjatuhan
sanksi ke Mahkamah Agung, sebanyak 11 orang hakim yang
direkomendasikan diterima oleh Mahkamah Agung dan sisanya sebanyak 9
orang hakim yang direkomendasi ditolak dan tidak/belum mendapat
tanggapan oleh Mahkamah Agung dengan beberapa alasan. Meski demikian,
Komisi Yudisial tetap menjalankan perannya dalam melakukan fungsi
pengawasan.
2) Faktor Regulasi
Terkait dengan faktor regulasi, ada 2 (dua) hal utama yang menjadi
problem. Pertama, terbatasnya wewenang pengawasan Kedua, tidak adanya
pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang terkait dengan
teknis yudisial dan ranah perilaku. Keduanya berakibat pada fungsi
pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berjalan kurang efektif.
Berikut penjelasannya:
a) Terbatasnya Wewenang Pengawasan
Sedari awal ketika revisi UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dilakukan, telah disadari bahwa salah satu kelemahan Komisi
5 Misalnya, dalam kasus hakim PN Jakarta Selatan, I Ketut Manika. Komisi Yudisial
menjatuhkan rekomendasi sanksi Pemberhentian sementara dari jabatan hakim selama 1 tahun
dikarenakan hakim yang bersangkutan telah telah bertindak tidak profesional karena dengan sengaja
mencari celah/kelemahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan
merubah delik formil menjadi delik materiil. Namun Mahkamah Agung menolak rekomendasi terseut
melalui surat No 29/WKMA-NJ/VI/2006 tanggal 21 Juni 2006.
72
Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim adalah produk
pengawasannya yang hanya berupa rekomendasi yang sifatnya tidak
imperatif. Muncul perdebatan kemudian agar wewenang tersebut
dikuatkan sehingga fungsi pengawasan eksternal Komisi Yudisial lebih
efektif.
Sayangnya, problem tersebut gagal disikapi secara serius oleh
pembentuk undang-undang. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Komisi Yudisial pada Pasal 22D ayat (1) hanya mengatur “Dalam hal
dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf a,
Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang
diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung”.
Selanjutnya dalam ayat (3) dijelaskan “ Mahkamah Agung
menjatuhkan sanksi terhadap Hakim yang melakukan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal ususlan diterima‟.
Sementara dalam Pasal 22E ayat (1) mengatur “ Dalam hal tidak
terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi dan
Mahkamah Agung belum menjatuhkan sanksi dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3) maka usulan Komisi
73
Yudisial berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung.”
Pasal di atas hanya mengatur mengenai mekanisme dan kewajiban
bagi Mahkamah Agung untuk melaksanakan rekomendasi penjatuhan
sanksi yang direkomendasikan oleh Komisi Yudisial tetapi tanpa
dibarengi adanya sanksi apabila Pimpinan Mahkamah Agung menolak
menjalankan rekomendasi Komisi Yudisial. Hal tersebut menjadi celah
bagi Mahkamah Agung untuk menolak semua rekomendasi Komisi
Yudisial tanpa konsekwensi apapun.
b) Tidak Adanya Pembedaan Ranah Pengawasan yang Tegas
Berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial sebagaimana dijelaskan pada bab-
bab sebelumnya, ranah pengawasan yang menjadi domain Komisi
Yudisial adalah terkait dengan perilaku hakim. Sebagai instrumennya
dalam menjalankan wewenang dan tugas pengawasannya, Komisi
Yudisial telah menyepakati Keputusan Bersama No.
047/KMA/SKB/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KE dan PPH) dan Peraturan Bersama No. 02/PB/MA/IX/2012
tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dari semua ketentuan yang terdapat dalam semua peraturan
perundangan terkait dengan Komisi Yudisial, semakin menegaskan
keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal terhadap hakim
74
terkait dengan perilaku hakim. Sementara Mahkamah Agung memegang
tiga ranah sekaligus yaitu perilaku, teknis yudisial, dan ranah administrasi
peradilan.
Meskipun Undang-Undang Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
telah beberapa kali direvisi namun mengenai kejelasan tiga ranah
pengawasan di atas masih belum dipisahkan secara tegas sehingga tidak
menimbulkan multi tafsir. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 pada
Pasal 19A hanya menyatakan “Dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial
berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang
ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung.”
Tak hanya itu, dalam menjalankan amanat Undang-Undang
mengenai pengawasan terhadap kode etik dan perilaku, Komisi Yudisial
bersama Mahkamah Agung telah menyusun beberapa Keputusan
Bersama dan Peraturan Bersama sebagaimana dijelaskan di atas. Namun
hal itu masih belum menyelesaikan persoalan mengenai potensi
munculnya benturan ranah pengawasan mengingat irisan yang begitu
tebal, utamanaya antara ranah perilaku dan teknis yudisial.
75
Munculnya benturan ranah pengawasan tersebut misalnya terlihat
dalam kasus laporan pengaduan pelanggaran kode etik oleh 3 (tiga) hakim
(HS, PIA, dan NS) yang memutus kasus Antasari Azhar.6
Dalam kasus tersebut Komisi Yudisial melalui Keputusan Sidang
Pleno Nomor: 16/SP.KY/VIII/20117 menyatakan bahwa 3 (tiga) hakim
(terlapor) melanggar beberapa butir kode etik, salahsatunya dinilai tidak
teliti dalam membuat putusan sehingga melanggar butir 10.4. yaitu;
“Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat
keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau
para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang
menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara
yang ditanganinya.
Ketiga hakim terlapor tersebut kemudian dijatuhi sangsi oleh
Komisi Yudisial berupa pemberhentian sementara, yaitu sebagai hakim
non-palu selama 6 bulan. Akan tetapi rekomendasi pemberhentian
sementara yang dijatuhkan Komisi Yudisial terhadap 3 (tiga) hakim
terlapor melalui Keputusan Pleno Nomor: 16/SP.KY/VIII/2011 ditolak
oleh Mahkamah Agung karena dinilai bahwa hal itu termasuk ranah
teknis yudisial yang bukan menjadi domain Komisi Yudisial. Bahkan 3
(tiga) orang hakim tersebut justru dipromosikan oleh Mahkamah Agung
6 Kasus Antasari Azhar diregister oleh Komisi Yudisial No.113/L/KY/III/ 2010.
7 Keputusan Pleno Komisi Yudisial dalam perkara Antasari Azhar disertai adanya dissenting
opinion dari 3 (tiga) Anggota Komisi Yudisial yaitu, Abbas Said, Jaja Ahmad Djajus, dan Ibrahim.
76
sebagai hakim tinggi di daerah strategis (HS sebagai Hakim Tinggi PT
Bali, PIA sebagai Hakim Tinggi di PT Jawa Tengah, dan NS sebagai
Hakim Pengawas di MA).
3) Faktor Internal
Dalam hal ini terdapat 2 (dua) hal utama. Pertama, kurang massifnya
fungsi pencegahan yang dilakukan Komisi Yudisial. Kedua, tidak adanya
tenaga fungsional khusus yang melakukan fungsi pengawasan dan tidak
adanya perwakilan daerah.
a) Kurang Massifnya Fungsi Pencegahan
Sistem dan mekanisme yang dilakukan Komisi Yudisial dalam
melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim memang tidak hanya
sebatas penghukuman atau tindakan represif kepada hakim. Konotasi
represif mendorong image bahwa Komisi Yudisial dalam menjalankan
tugasnya berupaya mencari kesalahan dan membuka konfrontasi dengan
hakim. Sesuai amanat UUD 1945 disebutkan bahwa Komisi Yudisial juga
memiliki mandat untuk menjaga keluhuran dan martabat hakim.
Makna menjaga berafiliasi dengan langkah preventif atau
pencegahan kepada hakim agar tidak terjadi pelanggaran KE dan PPH
yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hal
ini sangat penting mengingat pengaturan mengenai KE dan PPH tidak
cukup rigid sehingga banyak hakim yang tidak cukup paham terhadap KE
dan PPH secara detail dan pada tataran teknis.
77
Langkah preventif tersebut mendapatkan penegasan dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 22
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dimana Komisi Yudisial memiliki
tugas untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan hakim, serta
mengambil langkah hukum bagi mereka yang mencederai keagungan
peradilan dan martabat hakim (contemp of court).
Salah satu upaya yang dilakukan Komisi Yudisial selama ini
dalam mencegah pelanggaran KE dan PPH baru sebatas melakukan
kegiatan sosialisasi dan diskusi terkait hal tersebut. Kegiatan tersebut
difokuskan hanya kepada hakim sebagai subyek dan obyek pengawasan
Komisi Yudisial. Tujuannya untuk menginternalisasikan KE dan PPH
kepada hakim sehingga dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran KE
dan PPH. Hanya saja pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berfungsi
sebagai tindakan pencegahan masih terbatas dan tidak massif.
Hal itu bisa dilihat pada tahun 2011 misalnya, kegiatan
sosialisasi KE dan PPH dilaksanakan hanya 13 kali. Sementara di tahun
2012 hanya dilaksanakan sebanyak 8 kota provinsi.8 Terbatasnya fungsi
pencegahan tersebut berkontribusi terhadap ketidakpahaman hakim dalam
menjaga kode etiknya sehingga berpotensi melakukan pelanggaran.
8 Kiprah 7 tahun Komisi Yudisial, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta, 2012, h. 58-
59.
78
b) Tidak Adanya Tenaga Fungsional Khusus dan Perwakilan Daerah
Selain faktor-faktor yang terkait dengan regulasi, terdapat faktor
internal yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan pengawasan
eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap hakim. Faktor
tersebut adalah tidak adanya tenaga fungsional khusus yang melakukan
tugas pengawasan (yang meliputi investigasi dan pemeriksaan) untuk
membantu tugas Anggota Komisi Yudisial. Dalam struktur kelembagaan,
investigator dan pemeriksa idealnya dibawahi deputi yang di dalamnya
diisi oleh tenaga-tenaga fungsional khusus.
Selama ini struktur kelembagaan Komisi Yudisial dalam konteks
investigasi dan pengawasan diperankan oleh Biro Investigasi dan Biro
Pengawasan Hakim yang berada di bawah Sekretaris Jenderal. Biro
Pengawasan Hakim dan Biro Investigasi diisi oleh tenaga administratif
dengan status PNS, bukan tenaga fungsional khusus. Sementara secara
fungsional selama ini diperankan oleh Tenaga Ahli yang mayoritas
mantan hakim dan jaksa dengan jumlah yang terbatas dan statusnya
adalah pegawai tidak tetap.9
Faktor internal lainnya adalah keberadaan Komisi Yudisial yang
hanya berada di Ibu Kota Jakarta sementara obyek pengawasannya
9Berdasarkan Data dari Bagian Kepegawaian Komisi Yudisial, saat ini Tenaga Ahli di Komisi
Yudisial berjumlah 18 orang.
79
mencakup hakim di Pengadilan di seluruh Indonesia yang menurut
database Komisi Yudisial berjumlah 6.178 hakim.10
Faktor tersebut menjadi kendala sendiri bagi Komisi Yudisial
sehingga tidak semua perkara yang terkait dengan dugaan pelanggaran
kode etik dan perilaku hakim secara cepat bisa ditangani. Kendala
tersebut oleh Komisi Yudisial diperjuangkan dengan mengusulkan
dibentuknya kantor perwakilan di daerah pada saat pembahasan revisi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Namun karena faktor potensi membengkaknya anggaran negara, usulan
dibentuknya kantor perwakilan direduksi menjadi kantor penghubung,
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU Nomor 18 Tahun
2011 Tentang Komisi Yudisial.
Menindaklanjuti hal tersebut, Komisi Yudisial kini telah mulai
membentuk kantor Penghubung di 6 Ibu Kota Provinsi yaitu, Medan,
Semarang, Surabaya, Makassar, Mataram, dan Samarinda. Adapun tugas
dari Penghubung Komisi Yudisial di daerah berdasarkan Peraturan
Komisi Yudisial No. 1 Tahun 2012 adalah; (a) melakukan pemantauan
(b) melakukan verifikasi berkas laporan, dan (c) melakukan sosialisasi
kelembagaan serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan
PPH).
10
Jumlah tersebut diambil dari Cetak Biru Pembaruan Komisi Yudisial 2010-2025, Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta, 2010 h. 81.
80
Adapun yang menjadi dasar Komisi Yudisial dalam membentuk
kantor pengubung di Daerah didasarkan pada Pasal 3 ayat (2) yang
menyatakan: “Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah
sesuai dengan kebutuhan”. Sementara pada ayat (3) menyatakan:
“ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja
penghubung Komisi Yudisial di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial”.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis serta didukung
data dan fakta yang ada mengenai kedudukan dan pelaksanaan wewenang Komisi
Yudisial dalam mengawasi hakim dapat ditarik kesimpulan:
1. Kedudukan Komisi Yudisial bila dilacak dalam proses pembahasan UUD 1945,
adalah sebagai lembaga negara mandiri yang terlepas dari intervensi kekuasaan
manapun dalam menjalankan tugasnya.
2. Wewenang pengawasan Komisi Yudisial masih belum cukup kuat karena
produknya bersifat rekomendasi yang tidak mengikat. Meskipun dalam UU No
18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial terdapat klausul yang menyatakan
bahwa rekomendasi terkait usul penjatuhan sanksi Komisi Yudisial dapat
berlaku otomatis, namun tidak ada sanksi bagi Mahkamah Agung apabila tidak
menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
3. Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim belum cukup efektif karena masih
terkendala beberapa faktor yang berakibat tidak maksimalnya pelaksanaan
fungsi pengawasan. Faktor pertama adalah faktor resistensi Mahkamah Agung
yang seringkali tidak menindaklanjuti rekomendasi sanksi bagi hakim yang
terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE
dan PPH) yang disampaikan Komisi Yudisial. Faktor berikutnya adalah
regulasi. Dalam hal ini disebabkan karena terbatasnya wewenang pengawasan
82
dan tidak adanya pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang
terkait dengan teknis yudisial dan ranah perilaku. Keduanya berakibat pada
fungsi pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berjalan kurang efektif.
Faktor lainnya adalah faktor internal yang dalam hal ini meliputi tiga hal.
Pertama, tidak massifnya fungsi pencegahan yang dilakukan Komisi Yudisal
dalam mensosialisasikan dan menginternalisasi KE dan PPH. Kedua, tidak
adanya tenaga fungsional khusus investigasi dan pemeriksa yang membantu
Anggota Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim. Ketiga,
tidak adanya perwakilan di daerah juga turut berkontribusi bagi lemahnya
efektifitas kinerja pengawasan Komisi Yudisial,
B. Saran
1. Diperlukan pengaturan secara jelas dalam bentuk Undang-Undang untuk
memperkuat wewenang pengawasan Komisi Yudisial dan mengatur secara
tegas pembedaan antara ranah perilaku, ranah teknis yudisial dan ranah
administrasi. Selain itu, diperlukan pula tanggungjawab negara melalui fungsi
legislasi yang dalam hal ini harus diperankan DPR dan Pemerintah.
2. Dalam mensikapi keterbatasan wewenang, Komisi Yudisial perlu melakukan
penguatan internal dengan membangun sistem pengawasan dan penguatan
sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis terkait dengan
pelaksanaan fungsi pengawasan.
83
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. “Kata Pengantar” dalam buku Thohari, A.Ahsin, Komisi Yudisial
& Reformasi Peradilan, ELSAM: Jakarta, 2004.
-------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. Ke-2, Konstitusi Perss:
Jakarta, 2011.
-------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet. Ke-2,
Sinar Grafika: Jakarta, 2012.
-------, Manan, Bagir. et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden
Secara Langsung, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia: Jakarta, 2006.
Baringbang, RE. Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi
Hukum, Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001.
Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6, Bandung: Nusa Media,
2012.
-------, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press,
2007.
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Pubblishing: Malang, 2008.
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
MD, Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, cet. Ke
2, LP3ES, Jakarta, 2011
Muqoddas, Busyro. Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan
Hukum di Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di
Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA
Yogyakarta, 2006.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta,
TP, 2008.
84
Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”, Genta
Press: Jakarta, 2013.
Siagian, P. Sondang . Filsafat Administrasi, Jakarta: CV. Gunung Agung, 1985.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007.
-------, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992.
------- dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung:
Alumni, 1974.
Suggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003.
Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Sunindhia, Y.W. Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Rineka
Cipta, 1996.
Syamsudin, Amir.Integritas Penegak Hukum (Hakim,Jaksa, Polisi, dan Pengacara),
Kompas: Jakarta, 2008.
Thohari, A. Ahsin.Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ELSAM:Jakarta, 2004.
Tjandra, W. Riawan. Hukum Keuangan Negara, Jakarta: PT.Grasindo, 2006.
Usfunan, Yohanes. Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, Jakarta: Komisi Yudisial, TT.
Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi
Nugroho dan M.Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan-LeIP, 2002.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004,
LN No. 89, TLN No. 4415.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
85
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
Mahkamah Agung RI, 2005, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial.
Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah
Agung menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun
UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006,
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk
umum pada Rabu, 23 Agustus 2006.
Artikel
Falakh, Muhammad Fajrul. MA-MK-KY, “Kekaburan Konstitusi”, Artikel di
Kompas, 11 Juli 2006.
Fhadil, Muhammad. Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada
tanggal 15 Januari 2014 dari
http://muhammadfadhilpermahi.blogspot.com/2012/12/menjelajahisistempen
gawasan-hakim.html.
Santosa, Mas Achmad. artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam
harian Kompas, 02 Maret 2005.
Widjoyanto, Bambang. Komisi Yudisial: Checks and Balances – Dan Urgensi
Kewenangan Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu
Tahun Komisi Yudisial, 2006.
Makalah dan Jurnal
E.Lotulung, Paulus. Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan
tema “ Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”,
diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Fariha, Tesis "Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang
Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, Program
Magister al-Ahwalsyakhsiyah: UIN Malang, 2012.
86
Rauf, Maswadi. Komisi Yudisial sebagai Agent of Change dalam Mendorong
Reformasi Peradilan di Indonesia, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun
Komisi Yudisial, Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, 2006.
Thohari, A. Ahsin. Mengembalikan Khittah Komisi Yudisial Sebagai Pengawas
Eksternal Hakim, dalam Jurnal Hukum Panta Rei, Vol 1, No. 3, Februari
2009.
Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-
Desember 2007.