Post on 05-Jun-2020
D A F T A R I S I
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………………..………………………. 1
1.2. Landasan Hukum………………………………………… 1
BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN LALU
2.1. Analisis Capaian Renstra dan Renja.....................…. 3
BAB III TUJUAN DAN SASARAN
3.1. Tujuan ……………………………………………………………… 87
3.2. Sasaran …………………………………………………………….. 87
BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN
4.1. Program ……………………………………………………………… 93
4.2. Kegiatan ……………………………………………………………… 93
BAB IV PENUTUP
4.1. Kaidah Pelaksanaan ………………………………............ 94
4.2. Penutup ……………………………………………………………. 95
LAMPIRAN
Matriks Rencana Kerja Tahun 2018
BAB I
PENDAHULUAN
Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara,
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah menyusun Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) dan setiap SKPD menyusun Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renja-SKPD) yang merupakan dokumen Perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah
Periode 1 (satu) tahun.
Renja SKPD Dinas Kesehatan disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 serta mengacu pada Rencana
Strategis (Renstra) SKPD dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) serta RKP Bidang
Kesehatan.
Renja SKPD ini memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan baik yang
dilaksanakan langsung oleh SKPD yang bersangkutan maupun yang ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat.
Renja SKPD ini akan menjadi acuan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam rangka mewujudkan Visi, Misi yang tertuang
dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 - 2018.
Landasan Hukum penyusunan Renja SKPD :
a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.5 Tahun 2010 Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010-2014;
f. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
g. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Perangkat
Daerah;
h. Instruksi Presiden No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah;
i. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana
Srategis Kementerian Kesehatan RI Tahun 2015-2019;
j. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah;
k. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah;
l. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi Dinas Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan;
m. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Peubahan
Atas Perda Nomor 10 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018;
BAB II
EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN LALU
Pada Tahun 2016, Rencana Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 11
Program dan 142 Kegiatan dengan gambaran umum hasil evaluasi sebagai berikut :
1. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran
Program ini terdiri dari 8 (delapan) kegiatan dengan indikator kinerja program adalah
meningkatnya mutu administrasi perkantoran dan telah mencapai realisasi kinerja sebesar
100%
2. Program Peningkatan Kapasitas dan Kinerja SKPD
Program ini terdiri dari 14 (empat belas) kegiatan dengan indikator kinerja program
adalah meningkatnya kinerja Dinas Kesehatan dan telah mencapai realisasi kinerja sebesar
100%
3. Program Pengembangan Sistem Perencanaan dan Sistem Evaluasi Kinerja SKPD
Program ini terdiri dari 10 (sepuluh) kegiatan dengan indikator program adalah
terkoordinasinya dan tersinkronisasinya perencanaan dan evaluasi pembangunan
kesehatan yang terdiri dari dua indikator kinerja yaitu :
- Jumlah dokumen perencanaan, Sistem Informasi Kesehatan (SIK), Laporan evaluasi
kinerja dan anggaran.
Pada indikator kinerja ini, telah ditargetkan akan dibuat sebanyak 12 Dokumen dan
hingga akhir 2016 realisasi kinerja telah mencapai sebesar 100% atau telah diselesaikan
sebanyak 12 Dokumen yang terdiri dari Dokumen Perencanaan dan anggaran, Sistem
Informasi Kesehatan serta laporan evaluasi dan kinerja anggaran.
- Persentase ketersediaan profil kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Berdasarkan indikator kinerja ini, seluruh Kabupaten/Kota diharapkan menyusun Profil
Kesehatan secara berkala setiap tahunnya. Pada tahun 2016, realisasi kinerja telah
mencapai sebesar 100%, hal ini berarti bahwa sebanyak 24 Kabupaten/Kota masing-
masing telah menyusun dan memiliki Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2016.
4. Program Pengadaan Obat, Pengawasan obat, Makanan dan Pengembangan Obat Asli
Indonesia
Program ini terdiri dari 5 (lima) kegiatan dengan indikator program adalah meningkatnya
cakupan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan dalam mendukung upaya
kesehatan dengan indikator kinerja sebagai berikut :
- Persentase ketersediaan obat generik
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 85% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 85%
- Persentase pengawasan obat dan makanan yang layak, bermutu dan aman
dikonsumsi
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 50% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 35%
- Persentase kualitas pelayanan kefarmasian pada sarana pelayanan obat tradisional
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 50% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 50%
- Persentase kualitas pelayanan kefarmasian dalam pengembangan Obat Asli Indonesia
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 65% dan hingga triwulan IV realisasinya hanya
mencapai sebesar 50%
5. Program Peningkatan Upaya Kesehatan Masyarakat
Program ini terdiri dari 25 (dua puluh lima) kegiatan dengan indikator program adalah
meningkatnya cakupan upaya kesehatan masyarakat yang terjangkau dan bermutu pada
pelayanan kesehatan dasar, pengembangan dan penunjang yang terdiri dari indikator
kinerja sebagai berikut :
- Umur Harapan Hidup (UHH)
Umur Harapan Hidup ditargetkan sebesar 72,10 tahun dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 69,80 tahun.
- Cakupan kunjungan Puskesmas
Cakupan kunjungan Puskesmas ditargetkan sebesar 40,42% dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 39,59%
- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Indera
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 52,5% dan hingga triwulan IV realisasinya
telah mencapai sebesar 61,5%
- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Olahraga
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 40% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 39,2%
- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Jiwa
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 42% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 55%
- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Gigi Mulut
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 41,14% dan hingga triwulan IV realisasinya
telah mencapai sebesar 45%
- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Kerja
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 32% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 60%
- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Perawatan Kesehatan
Masyarakat (Perkesmas)
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 33,14% dan hingga triwulan IV realisasinya
telah mencapai sebesar 81,11%
- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Tradisional,
Alternatif dan Komplementer
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 50% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 44%
6. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Program ini terdiri dari 5 (lima) kegiatan dengan indikator kinerja program adalah
meningkatnya cakupan pelayanan Promosi Kesehatan dan upaya-upaya kesehatan
bersumberdaya masyarakat yang terdiri dari indikator kinerja sebagai berikut :
- Cakupan PHBS Rumah Tangga
Cakupan PHBS rumah tangga ditargetkan sebesar 60% dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 56,26%
- Cakupan Desa Siaga Aktif
Cakupan indikator ini ditargetkan sebesar 98% dan hingga triwulan IV realisasinya
telah mencapai sebesar 97,11%
7. Program Perbaikan Gizi Masyarakat
Program Perbaikan Gizi Masyarakat terdiri dari 5 (lima) kegiatan dengan indikator
program adalah meningkatnya kesadaran keluarga dan surveilans gizi serta
penanggulangannya yang terdiri dari indikator kinerja sebagai berikut :
- Prevalensi Balita Gizi Buruk
Prevalensi balita gizi buruk ditargetkan sebesar 5,0% dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 5,0%
- Prevalensi Balita Gizi Kurang
Prevalensi balita gizi kurang ditargetkan sebesar 18,1% dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 20,2%
- Prevalensi Balita Stunting
Prevalensi balita stunting ditargetkan sebesar 33,86% dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 35,7%
- Cakupan Balita Gizi Buruk yang memperoleh perawatan
Cakupan balita gizi buruk memperoleh perawatan ditargetkan sebesar 100% dan
hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 100%
- Cakupan Penimbangan Balita (D/S)
Cakupan penimbangan balita ditargetkan sebesar 87% dan hingga triwulan IV
realisasinya sebesar 81,0%
- Cakupan ASI Eksklusif
Cakupan ASI Eksklusif ditargetkan sebesar 83% dan hingga triwulan IV realisasinya
sebesar 68%
- Cakupan Pendistribusian Vitamin A pada Balita
Cakupan pendistribusian vitamin A pada balita ditargetkan sebesar 90% dan hingga
triwulan IV realisasinya sebesar 84,8%
- Cakupan Ibu Hamil yang mengkonsumsi Tablet Fe 90 Tablet
Cakupan ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 Tablet ditargetkan sebesar 87%
dan hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 87%
- Cakupan Konsumsi Garam Beryodium
Cakupan konsumsi garam beryodium ditargetkan sebesar 92% dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 89,2%
- Cakupan Kabupaten/Kota yang melaksanakan Surveilance Gizi
Cakupan kabupaten/kota yang melaksanakan surveilance gizi ditargetkan sebesar
100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 100%
8. Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Program ini terdiri dari 37 (tiga puluh tujuh) kegiatan dengan indikator program adalah
menurunnya jumlah/angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang terdiri dari
indikator kinerja sebagai berikut :
- Cakupan Desa/Kelurahan UCI (Universal Child Immunization)
Untuk cakupan triwulanan indikator ini yang diukur adalah Persentase Imunisasi Dasar
Lengkap (IDL) dan ditargetkan sebesar 95% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 94,26%
- Angka Penemuan/Kejadian Malaria per 1.000 Penduduk (API)
Angka penemuan/kejadian malaria per 1.000 penduduk (API) ditargetkan sebesar <1 /
1.000 penduduk dan hingga triwulan IV realisasinya sebesar 0,12/1.000 penduduk
- Angka Kejadian Tuberculosis/100.000 Penduduk (CNR)
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 186/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 155/100.000 penduduk
- Cakupan Desa/Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan Epidemiologi <
24 jam
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai 100%
- Cakupan Kualitas Air Minum
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 83,5% dan hingga triwulan IV realisasinya
telah mencapai sebesar 82,07%
- Cakupan Akses Sanitasi Dasar
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 67% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 82,57%
9. Program Standarisasi Pelayanan Kesehatan
Program ini terdiri dari 15 (lima belas) kegiatan dengan indikator program adalah
meningkatnya upaya-upaya kesehatan secara optimal dan sesuai standar baik sarana,
tenaga dan peralatan melalui pemantapan kebijakan dan manajemen kesehatan yang
terdiri dari indikator kinerja sebagai berikut :
- Jumlah RS yang terakreditasi Internasional
Jumlah RS yang terakreditasi Internasional telah tercapai sebanyak 1 RS, tidak
ditargetkan pada tahun 2016 dan ditargetkan kembali sebanyak 1 RS pada tahun 2017
- Jumlah RS yang terakreditasi Nasional
Jumlah RS yang terakreditasi nasional ditargetkan sebanyak 5 RS dan hingga triwulan
IV realisasinya telah mencapai 31 RS
- Jumlah regulasi yang dihasilkan
Indikator kinerja ini ditargetkan sebanyak 1 (satu) Regulasi dan hingga triwulan IV
realisasinya sebanyak 1 (satu) Regulasi
- % RS Pemerintah yang telah mempunyai registrasi
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (32 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 100% (32 RS)
- % RS Swasta yang telah mempunyai registrasi
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 80% (40 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 95,74% (45 RS)
- % RS Pemerintah yang telah melaksanakan penetapan kelas
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (32 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 100% (32 RS)
- % RS Swasta yang telah melaksanakan penetapan kelas
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 70% (40 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 89,36% (42 RS)
- % RS Non Rujukan menjadi Kelas C
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (26 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 88,46% (23 RS)
- % RS Pusat Rujukan sebagai Kelas B
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (6 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 100% (6 RS)
- % RS Pemerintah yang memiliki izin operasional RS
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 80% (26 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 100% (32 RS)
- % RS Swasta yang memiliki izin operasional RS
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 70% (35 RS) dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 100% (45 RS)
- % RS sebagai Wahana Internship
Indikator kinerja ini ditargetkan sebanyak 21 RS dan hingga triwulan IV realisasinya
telah mencapai sebanyak 23 RS
- Jumlah Puskesmas yang telah melaksanakan Akreditasi Pelayanan
Jumlah Puskesmas yang telah melaksanakan akreditasi pelayanan ditargetkan
sebanyak 6 Puskesmas dan hingga triwulan IV telah direalisasikan sebanyak 135
Puskesmas
- Cakupan Gawat Darurat Level 1 yang harus diberikan Sarana Kesehatan (RS) di
Kabupaten/Kota
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 100%
- Rasio Dokter Umum per 100.000 Penduduk
Rasio Dokter Umum ditargetkan sebesar 19/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya sebesar 17/100.000 penduduk
- Rasio Dokter Spesialis per 100.000 Penduduk
Rasio Dokter Spesialis ditargetkan sebesar 11/100.000 penduduk dan hingga triwulan
IV realisasinya telah mencapai sebesar 16/100.000 penduduk
- Rasio Dokter Gigi per 100.000 Penduduk
Rasio Dokter Gigi ditargetkan sebesar 14/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya sebesar 8/100.000 penduduk
- Rasio Apoteker per 100.000 Penduduk
Rasio Apoteker ditargetkan sebesar 13/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 11/100.000 penduduk
- Rasio Bidan per 100.000 Penduduk
Rasio Bidan ditargetkan sebesar 54/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 59/100.000 penduduk
- Rasio Perawat per 100.000 Penduduk
Rasio Perawat ditargetkan sebesar 97/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 136/100.000 penduduk
- Rasio Ahli Gizi per 100.000 Penduduk
Rasio Ahli Gizi ditargetkan sebesar 14/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 14/100.000 penduduk
- Rasio Ahli Sanitasi per 100.000 Penduduk
Rasio Ahli Sanitasi ditargetkan sebesar 15/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 15/100.000 penduduk
- Rasio Ahli Kesmas per 100.000 Penduduk
Rasio Ahli Kesmas ditargetkan sebesar 23/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai sebesar 23/100.000 penduduk
10. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Program ini terdiri dari 10 (sepuluh) kegiatan dengan indikator program adalah
terjaminnya penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dan akses penduduk terhadap
layanan kesehatan secara marata dan bermutu yang terdiri dari indikator kinerja sebagai
berikut :
- Cakupan kepesertaan Jamkesda menuju Universal Coverage
Cakupan kepesertaan Jamkesda ditargetkan sebesar 100% dan hingga triwulan IV
realisasinya telah mencapai 100%
- Cakupan kepesertaan kemitraan Asuransi Kesehatan menuju Universal Coverage
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 60% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 69,68%
- Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin
Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin ditargetkan sebesar 100% dan
hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai 100%
- Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin
Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin ditargetkan sebesar
100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai 100%
11. Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lansia
Program ini terdiri dari 8 (delapan) kegiatan dengan indikator program adalah
meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lansia yang terdiri dari
indikator kinerja sebagai berikut :
- Jumlah Kasus Kematian Bayi
Jumlah kematian bayi ditargetkan sebanyak 1.021 kasus dan hingga triwulan IV terjadi
sebanyak 1.183 kasus kematian bayi
- Jumlah Kasus Kematian Ibu
Jumlah kematian ibu ditargetkan sebanyak 105 kasus dan hingga triwulan IV terjadi
sebanyak 156 kasus kematian ibu
- Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 94% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 89,25%
- Cakupan Komplikasi Kebidanan yang Ditangani
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 73% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 76,48%
- Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan yang Memiliki Kompetensi
Kebidanan
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan ditargetkan sebesar 97% dan
hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 92,90%
- Cakupan Pelayanan Nifas
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 95% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai 91,32%
- Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang Ditangani
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 97% dan hingga triwulan IV realisasinya
sebesar 60,66%
- Cakupan Kunjungan Bayi
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 98% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 98,08%
- Cakupan Pelayanan Anak Balita
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 85% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 69,09%
- Cakupan Peserta KB Aktif
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 67% dan hingga triwulan IV realisasinya telah
mencapai sebesar 72,39%
- Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD dan Setingkat
Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 97% dan hingga triwulan IV realisasinya
sebesar 87,50%
Secara lebih detail, Matriks Evaluasi Rencana Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan
hingga Triwulan IV Tahun 2016 dapat dilihat pada matriks terlampir.
Di bawah ini akan diuraikan capaian 9 sasaran yang tertuang dalam Rencana Strategis Dinas
Kesehatan sebagai berikut :
‘’ Menurunnya Jumlah/Angka Kesakitan dan Kematian Akibat Penyakit
dan Meningkatnya Umur Harapan Hidup’’
Sasaran ini diukur melalui 11 (sebelas) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 104,10%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Menurunnya Jumlah/angka Kesakitan dan Kematian Akibat Penyakit dan Meningkatnya
Umur Harapan Hidup disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 1.
Capaian Kinerja Sasaran 1
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
(%)
1. Umur Harapan Hidup
(UHH) 72,10 tahun 69,80 tahun 96,81%
2. Cakupan Kunjungan
Puskesmas 40,42% 39,59% 97,95%
3. Prevalensi Penduduk
usia >15 tahun dengan
tekanan darah tinggi
19,84% 20,8% 95,38%
4. Prevalensi Obesitas
18,6% 10,10% 134,65%
5. Prevalensi perokok anak
dan remaja 6,3% 2,86% 220,28%
6. Angka
Penemuan/Kejadian < 1/1.000 0,12/1.000 100%
Malaria per 1.000
Penduduk (API)
Penduduk Penduduk
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
(%)
7. Angka Kejadian
Tuberkulosis per 100.000
Penduduk (Case
Notification Rate)
186/100.000
Penduduk
155/100.000
Penduduk 83,33%
8. Cakupan
Desa/Kelurahan yang
mencapai Universal
Child Imunitation (UCI)
95 % 94,26% 99,92%
9. Cakupan
Desa/Kelurahan
mengalami KLB yang
dilakukan penyelidikan
epidemiologi < 24 jam
100 % 100 % 100%
10. Cakupan Pengawasan
Kualitas Air Minum 83,5% 82,07% 98,29%
11. Cakupan Akses Sanitasi
Dasar 67% 82,57% 124,24%
Rata-rata Capaian 104,10%
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa dari 11 indikator kinerja terdapat 5 (lima)
indikator kinerja yang telah mencapai dan melebihi target yang ditetapkan yaitu :
1). Prevalensi Obesitas,
2). Prevalensi perokok anak dan remaja,
3). Angka Penemuan/Kejadian Malaria per 1.000 Penduduk (API),
4). Cakupan Cakupan Desa/Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan
epidemiologi < 24 jam
5). Cakupan Akses Sanitasi Dasar.
Selanjutnya terdapat 5 (lima) indikator lainnya walaupun belum mencapai target
namun dapat dikategorikan baik karena besaran capaian hampir mencapai target
(± 95% dari target), yaitu :
1). Umur Harapan Hidup (UHH),
2). Cakupan Kunjungan Puskesmas
3). Prevalensi Penduduk usia >15 tahun dengan tekanan darah tinggi
4). Cakupan Desa/Kelurahan yang mencapai Universal Child Imunitation (UCI)
5). Cakupan Pengawasan Kualitas Air Minum
Sedangkan 1 (satu) indikator lainnya, yaitu Angka Kejadian Tuberkulosis per
100.000 Penduduk (Case Notification Rate) capaian kinerja masih di bawah 90%, hal ini
menunjukkan masih diperlukannya peningkatan upaya-upaya penemuan kasus
Tuberkulosis agar penderita dapat segera diobati dan disembuhkan sehingga dapat
diminimalisir penularan kasus TB khususnya di Sulawesi Selatan.
Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda
dimana meningkatnya kasus-kasus penyakit menular dibarengi juga dengan
meningkatnya penyakit degeneratif. Keadaan ini terjadi karena transisi pola penyakit
yang terjadi pada masyarakat, pergeseran pola hidup, peningkatan derajat sosial,
ekonomi masayarakat dan semakin luasnya jangkauan masyarakat. Sehingga untuk
mencapai sasaran ini pembangunan kesehatan khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan
tidak hanya fokus untuk menurunkan penanggulangan penyakit tetapi masalah
kesehatan secara keseluruhan baik Kejadian Luar Biasa (KLB), masalah kesehatan
lingkungan, peningkatan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta kegiatan-kegiatan
promotif yang diarahkan pada pencegahan terjadinya penyakit.
Hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Umur Harapan Hidup (UHH)
Data BPS terakhir memperlihatkan Umur Harapan Hidup (UHH) di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2015 mencapai angka 69,80 tahun walaupun belum
mencapai target yang ditetapkan (72,10 tahun) namun mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan tahun 2014 (69,60 tahun). Salah satu dampak pembangunan
kesehatan adalah meningkatnya umur harapan hidup. Meningkatnya umur harapan
hidup menunjukkan pula perbaikan kesehatan dan perbaikan ekonomi sosial
masyarakat.
Namun dengan meningkatnya umur harapan hidup, Pemerintah diharapkan
lebih waspada untuk mengantisipasi permasalahan kesehatan yang akan dihadapi
oleh kelompok lanjut usia. Pada tahun 2020 diprediksikan akan lebih banyak lanjut
usia dibandingkan balita. Oleh karena itu, program dan upaya penanganan masalah
lanjut usia kerapkali mengidap berbagai kelemahan dan gangguan kesehatan berupa
komplikasi penyakit.
Di Provinsi Sulawesi Selatan ada dua Kabupaten/Kota yang telah melebihi
capaian dan target UHH Provinsi, seperti Kabupaten Toraja Utara umur harapan hidup
di tahun 2015 telah mencapai 72,80 tahun dan Kabupaten Tana Toraja sebesar 72,41
tahun. Sedangkan 3 Kabupaten/Kota yang berada pada tiga peringkat UHH terendah
yaitu Kabupaten Jeneponto sebesar 65,49 tahun, Kabupaten Pangkep sebesar 65,67
tahun dan Kabupaten Bone sebesar 66,01 tahun. Hal ini menunjukkan masih
diperlukannya perhatian khusus pada upaya peningkatan kesehatan pada kelompok
lanjut usia sehingga dapat meningkatkan angka harapan hidup yang dapat
menunjukkan kualitas pembangunan kesehatan.
2. Cakupan Kunjungan Puskesmas
Cakupan kunjungan Puskesmas merupakan salah satu indikator untuk
mengukur tingkat pemanfaatan Puskesmas terhadap pelayanan kesehatan. Di Provinsi
Sulawesi Selatan cakupan kunjungan Puskesmas tahun 2016 mencapai 39,59%, angka
ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar
39,11% di tahun 2014 meningkat menjadi 39,24% di tahun 2015. Meningkatnya
cakupan kunjungan masyarakat ke Puskesmas bukan hanya pada kegiatan pelayanan
yang bersifat kuratif dimana masyarakat yang sakit datang ke Puskesmas untuk
berobat dan sembuh, namun lebih menuju ke arah pemberdayaan masyarakat yang
memanfaatkan Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan baik kuratif maupun
promotif sesuai dengan fungsi Puskesmas berdasarkan Permenkes 75 tahun 2014.
3. Prevalensi Penduduk Usia >15 tahun dengan Tekanan Darah Tinggi
Sampai saat ini, Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia.
Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan
primer. Data Riskesdas tahun 2013, menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia
sebesar 25,8%. Pengentasan hipertensi sampai saat ini belum adekuat meskipun obat-
obatan yang efektif banyak tersedia.
Pada kasus Hipertensi bila tidak dilakukan deteksi dini dan mendapat
pengobatan yang memadai dapat menyebabkan berbagai gangguan bagi tubuh.
Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten)
dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (Gagal Ginjal), Jantung (Penyakit Jantung
Koroner) dan otak (menyebabkan stroke).
Sampai dengan bulan Desember 2016, data menunjukkan prevalensi
penduduk usia >15 tahun dengan tekanan darah tinggi di Sulawesi Selatan sebesar
20,85%, diakui memang kondisi ini belum mencapai target (19,84%) namun capaian
ini menurun bila dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013 yaitu 28%. Penurunan ini
bisa terjadi karena berbagai macam faktor antara lain faktor alat pengukur tensi yang
berbeda ataupun masyarakat mulai sadar akan bahaya penyakit hipertensi. Melalui
program pendekatan keluarga sehat diharapkan dapat membantu menekan
prevalensi pada penyakit ini dan mengubah pola hidup masyarakat baik pola
konsumsi dan gaya hidup sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan.
4. Prevalensi Obesitas
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, memperlihatkan secara
nasional prevalensi gemuk pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi, yakni, 18,8 persen,
terdiri atas gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Sedangkan
prevalensi gemuk pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3
persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Bila dibandingkan dengan
kondisi Prevalensi Obesitas di Sulawesi Selatan tahun 2016 yaitu sebesar 10,10% maka
capaian ini walaupun masih dibawah angka batas yang ditargetkan (18,6%) namun
perlu diwaspadai karena obesitas dan berat berlebih menyebabkan munculnya
berbagai penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung bahkan berakhir dengan
gagal ginjal.
Menurut data WHO, lebih dari 1,4 miliar orang dewasa memiliki berat badan
berlebih dan 2,8 juta orang dewasa meninggal tiap tahun karena obesitas dan
Sumber Euromonitor Internasional menyebutkan, di Asia-Pasifik, obesitas meningkat
pesat dan sejumlah negara diprediksi memiliki tingkat pertumbuhan obesitas tercepat
dari tahun 2010 hingga 2020 yakni, Vietnam 225 persen, Hong Kong 178 persen, India
100 persen, Korea Selatan 80,7 persen, Selandia Baru 52 persen, dan Indonesia 50
persen.
Dalam melakukan upaya pencegahan dan pengendalian meningkatnya
prevalensi obesitas, beberapa upaya yang dilakukan antara lain :
1. Untuk masyarakat, berupa pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang
obesitas dan dampaknya terhadap kesehatan, pemahaman tentang pola makan
sehat dengan gizi dan Pemahaman tentang aktifitas fisik dan latihan fisik serta
manfaatnya.
2. Untuk petugas kesehatan di Puskesmas dan RS melakukan pengendalian dengan
identifikasi obesitas, memberikan edukasi tentang obesitas dan konseling tentang
pola hidup sehat kepada pasien, mengidentifikasi dampak obesitas terhadap
penyakit-penyakit tidak menular, melakukan pengobatan dengan tindakan
tindakan operatif untuk obesitas yang sesuai dengan SOP Penatalaksanaan
obesitas.
3. Selain itu diperlukan upaya pencegahan melalui kerjasama antar lintas program
dan lintas sektor, organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat lainnya.
Upaya-upaya pencegahan tersebut, antara lain Penyebarluasan informasi tentang
obesitas dan dampaknya terhadap kesehatan melalui media cetak maupun
elektronik, di sektor Pendidikan diharapkan sekolah untuk memberikan pendidikan
tentang pola hidup sehat serta memfasilitasi tersedianya makan sehat dan sarana
untuk melakukan aktifitas fisik ataupun olahraga, Pemerintah juga diharapkan
dapat menyediakan fasilitas umum yang bersih dan aman untuk pejalan kaki,
bersepeda, tempat bermain untuk anak, di sektor perekonomian masyarakat
diharapkan dapat tersedianya sayur dan buah yang terjangkau oleh masyarakat
untuk menunjang gizi seimbang.
5. Prevalensi Perokok Anak dan Remaja
Bahaya mengkonsumsi tembakau dan merokok terhadap kesehatan
merupakan sebuah kebenaran dan kenyataan yang harus diungkapkan secara
sungguh-sungguh kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat
benar-benar memahami, menyadari, mau dan mampu menghentikan kebiasaan
merokok dan menghindarkan diri dari bahaya akibat asap rokok. Selama ini,
masyarakat telah terbuai dengan propaganda dan iklan rokok yang aduhai. Padahal
itu tidak lebih dari sebuah kebohongan yang terus diulang-ulang, sehingga menjadi
diyakini dan terinternalisasi dalam diri.
Sesuai dengan target yang tertuang dalam Renstra, Kementerian Kesehatan
menargetkan prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun menurun menjadi 6,4
persen pada 2016 dan 5,4 persen pada 2019. Namun, kenyataannya saat ini malah
meningkat secara signifikan. Prevalensi merokok di Indonesia saat ini sudah
mengkhawatirkan. Sepertiga masyarakat Indonesia saat ini adalah perokok. Bahkan
perokok usia di bawah 15 tahun di Indonesia saat ini termasuk terbesar di dunia
setelah China dan India. Perilaku merokok berkontribusi besar menjadi faktor
penyebab penyakit tidak menular dibanding faktor risiko yang lain. Seorang perokok
memiliki risiko dua hingga empat kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner.
Tahun 2016, walaupun data prevalensi perokok anak dan remaja di Sulawesi Selatan
masih dibawah batas angka yang ditargetkan namun permasalahan merokok pada
saat ini bukanlan hal yang mudah untuk diatasi.
Sebagai upaya untuk mengendalikan dampak yang ditimbulkan akibat
merokok di Sulawesi Selatan dilakukan dengan Penegakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) yang juga merupakan salah satu kegiatan yang mendukung dalam
menciptakan kualitas lingkungan yang sehat di Provinsi Sulawesi Selatan sesuai
dengan yang tertuang dalam Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal
115 ayat 2. yaitu Pemerintah Daerah Wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di
wilayahnya. Kawasan Tanpa Rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan
dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual,
mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau. Penegakan KTR Provinsi
Sulawesi Selatan dipertegas melalui Peraturan Daerah Nomor I Tahun 2015 tentang
Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan Daerah ini melindungi masyarakat Sulawesi Selatan
dari bahaya akibat paparan zat beracun asap rokok orang lain sebagai perokok
pasif. Adalah hak hidup manusia yang paling fundamental untuk menghirup udara
bersih jauh dari pencemaran asap rokok. Selain itu untuk mengurangi jumlah
perokok, salah satunya dengan membuka layanan konseling untuk berhenti merokok
di banyak layanan kesehatan.
6. Angka Penemuan/Kejadian Malaria per 1.000 Penduduk (API)
Di Provinsi Sulawesi Selatan, situasi malaria setiap tahunnya mengalami
penurunan. Pada tahun 2014, kasus klinis malaria sebanyak 31,452 dan dari klinis
tersebut yang diperiksa baik dengan RDT maupun mikroskopis sebanyak 31.362
(99,71%), dari hasil pemeriksaan diperoleh hasil bahwa yang positif malaria sebanyak
1.126 dan yang diobati dari yang positif 1.058 (93,96%). Tahun 2015, kasus klinis yang
ditemukan sebanyak 27.062, dari klinis tersebut yang diperiksa sediaan darahnya
sebanyak 26.940 (99,54%), dari hasil pemeriksaan tersebut diperoleh sebanyak 938
kasus positif malaria, yang diobati dengan ACT sebanyak 844 (89,97%). Sedangkan
tahun 2016 Tahun 2016, suspect malaria sebanyak 18.978 dan yang diperiksa sediaan
darahnya sebanyak 18.226 (96,04%), diperoleh hasil sebanyak 1.008 kasus positif (SPR
= 5,53%). yang diobati dengan Obat Anti Malaria (OAM) sebanyak 947 kasus yang
diobati atau 93,95% dari positif.
Dari data tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa terjadi penurunan kasus
positif setiap tahunnya, sedangkan untuk pengobatan yang belum 100% disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya dokter yang pernah dilatih mutasi dan di RS
pengobatan sesuai standar belum maksimal, tetapi telah ditindaklanjuti dengan
pendistribusian buku pedoman tatalaksana yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI
kepada Puskesmas dan RS.
Untuk tingkat endemisitas malaria, selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Annuall
Parasite Incidence (API) di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan yaitu
pada tahun 2014 yaitu 0,14 per 1000 penduduk, tahun 2015 sebesar 0,11 per 1000
penduduk dan tahun 2016 sebesar 0,12 per 1000 penduduk. Sesuai tingkat
endemisitas malaria maka Provinsi Sulawesi Selatan telah masuk pada tingkat
endemisitas rendah atau Low Case Incidence (LCI), hal ini sejalan dengan target
nasional yaitu menurunkan angka kesakitan malaria < 1 per 1.000 penduduk. 3 (tiga)
Kabupaten/Kota dengan tingkat endemisitas yang tertinggi pada tahun 2016 yaitu
Kabupaten Toraja Utara (0,58 per 1.000 penduduk), Kabupaten Enrekang (0,49 per
1.000 penduduk) dan Kota Palopo (0,36 per 1.000 penduduk) sedangkan yang
terendah adalah Kabupaten Gowa dengan API 0,02 per 1.000 penduduk. Tingginya
angka kesakitan penyakit malaria pada Kabupaten tersebut karena mobilitas
penduduk yang cukup tinggi dan masih memiliki daerah reseptif yang potensial untuk
menjadi tempat perindukan nyamuk yang dapat menjadi vector penular penyakit
malaria merupakan daerah yang sangat potensial untuk menjadi tempat
perkembangbiakan vektor penular penyakit Malaria serta sistem surveilans migrasi
yang belum berjalan dengan baik.
7. Angka Kejadian Tuberkulosis per 100.000 Penduduk (Case Notification Rate)
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan
IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Fokus utama DOTS adalah
penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe
menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian
menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan penyakit.
Angka Case Notification Rate (CNR) yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh
kasus TB yang ditemukan dan diobati dalam kurun waktu tahun 2011-2016
menunjukkan trend yang meningkat yaitu tahun 2011 sebanyak 139/100.000
penduduk, tahun 2012 sebanyak 153/100.000 penduduk, tahun 2013 mencapai
159/100.000 penduduk dan di tahun 2014 angka CNR turun menjadi 152/100.000
penduduk, tahun 2016 sebanyak 154/100.000 penduduk dan mencapai 155/100.000
penduduk di tahun 2016. Meningkatnya angka penemuan kasus TB (CNR) ini tidak
terlepas dari upaya untuk menjaring suspek sebanyak-banyaknya. Berdasarkan hasil
survey prevalensi tahun 2013 menunjukkan bahwa masih banyak kasus-kasus TB yang
belum terjaring dengan baik dan salah satu faktor penyebabnya adalah masih
rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberculosis dan stigma yang
masih belum hilang dimasyarakat. Selain itu sistem pelaporan kasus TB dari
Kabupaten/Kota ke tingkat Provinsi yang terus dioptimalkan didukung dengan
peningkatan jejaring lintas sektor dalam mengatasi permasalahan Kasus TB di
masyarakat.
8. Cakupan Desa/Kelurahan yang mencapai Universal Child Imunitation (UCI)
Imunisasi merupakan salah satu program pelayanan kesehatan yang bertujuan
untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian dari penyakit melalui
pemberian vaksin. Dengan tersedianya vaksin yang dapat mencegah penyakit
menular tertentu, maka tindakan pencegahan untuk berpindahnya penyakit dari satu
daerah ke daerah lain dapat dilakukan dalam kurun waktu singkat dan dengan hasil
yang efektif. Pemberian vaksin secara dini dan rutin pada bayi dan balita diketahui
mampu memunculkan kekebalan tubuh secara alamiah. Imunisasi dasar pada bayi
terdiri dari imunisasi DPT, BCG, Polio, Campak dan Hepatitis B.
Cakupan UCI di Provinsi Sulawesi Selatan selama empat tahun berturut-turut
(tahun 2013-2015) menunjukkan peningkatan, pada tahun 2013 sebesar 87,1%
meningkat menjadi 90,5% di tahun 2013, ditahun 2014 kembali meningkat menjadi
94,98% dan mencapai 95,28% pada tahun 2015. Namun data Sampai dengan bulan
Desember tahun 2016 menunjukkan Cakupan UCI di Provinsi Sulawesi Selatan
mengalami penurunan yaitu sebesar 94,26%, tercatat dari 3.027 Desa/Kelurahan di
Provinsi Sulawesi Selatan jumlah Desa/Kelurahan yang sudah mencapai UCI sebanyak
2.884 Desa/Kelurahan. Data ini bila dibandingkan dengan tahun 2015 mengalami
penurunan yaitu sebanyak 2.884 Desa/Kelurahan yang sudah mencapai UCI. Banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan program imunisasi baik dari sisi input dan
proses dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang baik
didukung oleh ketersediaan SDM Kesehatan, dana, sarana dan prasarana yang cukup
dengan metode yang sesuai dan efektif.
9. Cakupan Desa/Kelurahan mengalamiKejadian Luar Biasa (KLB) yang dilakukan
Penyelidikan Epidemiologi <24 jam.
KLB penyakit menular, keracunan makanan, keracunan bahan berbahaya
lainnya masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan
meningkatnya jumlah kasus kesakitan dan kematian. Kejadian-kejadian KLB perlu
dideteksi secara dini dan diikuti dengan tindakan yang cepat dan tepat, perlu
diidentifikasi ancaman KLB agar dapat dilakukan peningkatan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB/wabah.
Dalam rangka penanggulangan KLB, di tahun 2016 Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan melaksanakan beberapa kegiatan antara lain
Penyelidikan/penanggulangan KLB penyakit menular, Monitoring dan pembinaan
kepada petugas surveilans di Kabupaten/Kota dan Pengembangan Provincial
Epidemiologi Surveylans Team (PEST) yang melibatkan lintas program/sektor terkait
yang diharapkan dapat mengidentifikasi awal dan dapat berkolaborasi untuk
menanggulangi permasalahan kesehatan dan pencegahan KLB. Tahun 2015 jumlah
KLB Penyakit yang terjadi di masyarakat sebanyak 113 kejadian dan tahun 2016
sebanyak 114 kejadian. Angka ini menurun dibandingkan dengan kondisi dua tahun
lalu (2014) yaitu 132 kejadian dan semua kejadian dapat ditanggulangi dan dilakukan
penyelidikan epidemiologi kurang dari 24 jam (100%).
10. Cakupan Pengawasan Kualitas Air Minum
Dari pelaporan Kabupaten/Kota diperoleh data Cakupan Pengawasan Kualitas
Air Minum di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 yaitu sebesar 82,07%, walaupun
belum mencapai target yang ditetapkan (83,5%) namun telah mengalami peningkatan
dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 80,95% di tahun 2015. Beberapa upaya telah
dilaksanakan untuk meningkatkan cakupan kualitas air minum antara lain,
Pemantauan Klinik Sanitasi, Bimbingan Teknis dan Monitoring Evaluasi Limbah Medis
serta Pembinaan Kesehatan Lingkungan Sekolah. Selain itu dilakukan Pembinaan dan
Pengawasan Kualitas Sarana Air Minum Masyarakat yang ditujukan untuk
meningkatkan pengetahuan para petugas di kabupaten/kota terhadap pengelolaan
kualitas air bersih dan pengawasan air layak konsumsi, yang nantinya diharapkan
dapat berperan menciptakan kader-kader kesehatan lingkungan yang dapat berperan
langsung dalam pengawasan dan peningkatan kualitas air minum masyarakat di
Provinsi Sulawesi Selatan secara umum.
11. Cakupan Akses Sanitasi Dasar
Persentase Cakupan Akses Sanitasi Dasar di Provinsi Sulawesi Selatan tahun
2016 yaitu sebesar 82,57% mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun
2015 yaitu 69,44%. Peningkatan ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan
Pemerintah meningkatkan kinerja pembangunan kesehatan di bidang kesehatan
lingkungan cukup berarti. Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan antara lain Pembinaan Kabupaten/Kota Sehat, Pelatihan Sanitasi Tempat
Pengelolaan Makanan (TPM), kemudian melalui kegiatan STBM (Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat) yang menitikberatkan pemberdayaan masyarakat agar dapat mandiri
menghadapi masalah-masalah kesehatan lingkungan yang dihadapi. Data
menunjukkan sampai dengan bulan Desember tahun 2016, dari 3.024 Desa di Provinsi
Sulawesi Selatan sebanyak 580 Desa yang telah STOP BABS/ODF (Stop Buang Air
Besar Sembarangan/Open Deficiation Free). Salah satu kegiatan yang bersinergi yaitu
Program Kabupaten/Kota Sehat (KKS) dan Program Pamsimas (Penyediaan Air Minum
dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang saat ini terlaksana pada 20 Kabupaten. Namun
capaian ini masih harus terus ditingkatkan sehingga dapat mencapai kondisi 100%
sesuai dengan target Universal Akses di tahun 2019 nanti.
Dalam mencapai sasaran Menurunnya Jumlah/angka Kesakitan dan Kematian
Akibat Penyakit dan Meningkatnya Umur Harapan Hidup, didukung oleh kebijakan
peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dan Pengendalian Penyakit serta
Penyehatan Lingkungan melalui Program berikut :
1. Program Upaya Kesehatan Masyarakat
2. Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran ini, antara lain :
1. Tersedianya sarana pelayanan kesehatan swasta yang bermitra dengan BPJS yang
diharapkan dapat mendukung terlaksananya pelaksanaan kesehatan secara merata
dan mampu menciptakan akses pelayanan khususnya di daerah terpencil, kepulauan
dan perbatasan.
2. Tingkat keaktifan kader Posyandu dan kader-kader UKBM (Upaya kesehatan berbasis
masyarakat) dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat.
3. Meningkatnya kualitas dan mutu tenaga kesehatan dengan peningkatan kapasitas
tenaga kesehatan melalui Pelatihan-pelatihan teknis dan perbaikan manajemen SDM.
4. Meningkatnya teknologi di bidang informasi berimbas kepada meningkatnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan Pola Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS).
Namun dalam pelaksanaannya mencapai sasaran ini, tidak terlepas dari kendala
dan hambatan yang dihadapi antara lain :
1. Mobilitas tenaga kesehatan cukup tinggi (termasuk tenaga surveilans penyakit dan
sanitarian yang sangat tinggi dengan proses mutasi yang sering terjadi di Puskesmas
dan Kabupaten/kota) sehingga menyebabkan jumlah tenaga kesehatan tidak merata
secara proporsional.
2. Adanya tugas rangkap bagi petugas kesehatan sehingga tidak maksimal dalam
menjalankan profesinya dan masa kerja petugas yang terbatas.
3. Di sektor pengendalian penyakit TB menunjukkan masih rendahnya angka
kesembuhan pasien TB RO dan masih tingginya pasien putus berobat. Salah satu
penyebab utama adalah efek samping obat yang dirasakan oleh semua pasien TB
RO yang menjalani terapi khususnya pada awal pengobatan atau fase intensif,
ditambah lagi masa pengobatan yang cukup lama yang membutuhkan waktu hingga
2 tahun. Selain itu faktor sosial ekonomi pasien yang tidak mendukung karena rata-
rata pasien yang diobati berasal dari ekonomi lemah.
4. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan lingkungan.
5. Menjamurnya warung-warung makanan siap saji khususnya di daerah Perkotaan
yang dapat merubah pola konsumsi masyarakat sehingga mempertinggi resiko
terhadap penyakit hasil manifestasi obesitas dan tekanan darah tinggi.
6. Perubahan gaya hidup pada kelompok remaja sehingga kebiasaan merokok seperti
menjadi suatu kebanggaan untuk dilakukan.
Upaya pemecahan yang dapat dilakukan terhadap masalah tersebut di atas antara lain:
1. Pendayagunaan tenaga kesehatan secara profesional dan proporsional serta
advokasi ke Pemerintah Kabupaten/Kota tenaga kesehatan yang telah dilatih
difungsikan secara maksimal.
2. Perlu adanya regulasi yang mengatur tentang penempatan tenaga strategis dan
fungsional terlatih terutama pada daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan.
3. Peningkatan homecare untuk pengawasan minum obat secara rutin kepada
penderita TB dan memberikan semangat kepada pasien untuk mempertebal
kepercayaan diri terhadap kesembuhan.
4. Meningkatkan penyuluhan kepada mayarakat tentang pemantauan dan
pengawasan kesehatan lingkungan khususnya sarana air bersih dan sanitasi dasar
masyarakat serta meningkatkan sarana dan prasarana sanitasi dasar di fasilitas
pelayanan kesehatan baik di tingkat dasar maupun lanjutan, meningkatkan
koordinasi dan kerjasama lintas sektor dalam rangka pemberdayaan masyarakat di
bidang kesehatan lingkungan.
5. Mengalakkan promosi kesehatan melalui berbagai media mengenai pola konsumsi
dan gaya hidup sehat.
‘’ Meningkatnya Status Gizi Masyarakat’’
Sasaran ini diukur melalui 11 (sebelas) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 95,68%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Meningkatnya Status Gizi Masyarakat disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.
Capaian Kinerja Sasaran 2
No Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
1. Prevalensi Balita Gizi Buruk 5,0% 5,0% 100%
2. Prevalensi Balita Gizi Kurang 18,1% 20,2% 89,6%
3. Prevalensi Balita Stunting 34,55% 35,7% 96,8%
4. Cakupan Pemberian Makanan
Pendamping ASI (MP ASI)
pada anak usia 6-24 bulan
keluarga miskin
45% 100% 100%
5. Cakupan Balita gizi buruk
mendapat perawatan 100 % 100 % 100%
6. Cakupan D/S Posyandu 87% 81% 93,10%
7. Cakupan ASI Eksklusif 83% 68% 81,93%
8. Cakupan Pendistribusian
Vitamin A pada Balita 87% 84,8% 97,47%
9. Cakupan Ibu hamil yang
mengkonsumsi tablet Fe 90
tablet
90% 87% 96,67%
10. Cakupan Konsumsi Garam
Beryodium 92% 89,2% 96,96%
11. Cakupan Kabupaten/Kota yang
melaksanakan Surveilans Gizi 100% 100% 100%
Rata-rata Capaian 95,68%
Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa dari 11 indikator kinerja terdapat 4
(empat) indikator kinerja yang telah mencapai target yang ditetapkan yaitu :
1. Prevalensi Balita Gizi Buruk
2. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada anak usia 6-24 bulan
keluarga miskin
3. Cakupan Balita gizi buruk mendapat perawatan
4. Cakupan Kabupaten/Kota yang melaksanakan Surveilans Gizi
Selanjutnya terdapat 5 (lima) indikator lainnya walaupun belum mencapai target
namun dapat dikategorikan baik karena besaran capaian hampir mencapai target
(± 95% dari target), yaitu :
1. Prevalensi Balita Stunting
2. Cakupan D/S Posyandu
3. Cakupan Pendistribusian Vitamin A pada Balita
4. Cakupan Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet
5. Cakupan Konsumsi Garam Beryodium
Sedangkan 2 (dua) Indikator lainnya yang capaian kinerja masih di bawah 90%, yaitu :
1. Prevalensi Balita Gizi Kurang
2. Cakupan ASI Eksklusif
Hasil pengukuran 2 indikator kinerja di atas menjadi perhatian lebih bagi Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan untuk lebih meningkatkan kinerja dan upaya-upaya
peningkatan status gizi masyarakat, karena status gizi masyarakat tidak hanya berperan
dalam program penurunan prevalensi balita pendek, namun juga terkait erat dengan
tiga program lainnya, mengingat status gizi berkaitan dengan kesehatan fisik maupun
kognitif, mempengaruhi tinggi rendahnya risiko terhadap penyakit tidak menular dan
berpengaruh sejak awal kehidupan hingga masa usia lanjut.
Hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Prevalensi Balita Gizi Buruk
Sebagai sebuah gejala sosial, gizi buruk bukanlah suatu gejala yang berdiri
sendiri. Gizi buruk memiliki relasi yang sangat erat dengan gejala sosial yang lainnya
termasuk sindrom kemiskinan dan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga. Gizi buruk juga tak bisa dilepaskan dari aspek yang menyangkut pengetahuan
dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat.
Kriteria Gizi buruk yang menjadi sasaran indikator kinerja program gizi
masyarakat yaitu status gizi diukur berdasarkan indeks berat badan menurut panjang
badan (BB/PB) atau Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan nilai z-score
≤3 SD dan atau terdapat tanda klinis gizi buruk. Dan selanjutnya seluruh gizi buruk
dengan kriteria tersebut diatas harus dilakukan perawatan.
Prevalensi Balita Gizi Buruk di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2016,
berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan di Kabupaten/Kota
Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 5,0% dan telah mencapai angka yang ditargetkan
(5,2%). Angka ini mengalami Penurunan bila dibandingkan dengan hasil PSG tahun
2015 yaitu sebesar 5,1% dan tahun 2014 sebesar 5,6%. Sedangkan penyebaran kasus
gizi buruk di 24 Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan dari bulan januari sampai
desember tahun 2016 dengan jumlah kumulatif 156 Kasus, dimana 5 Kabupaten
dengan Kasus Gizi Buruk tertinggi adalah Wajo (34 Kasus), Toraja Utara (15 Kasus),
Bone (14 Kasus), Luwu (13 Kasus),Makassar (10 Kasus). Sedangkan Kabupaten/Kota
yang tidak menemukan kasus gizi buruk diwilayahnya adalah Kabupaten Bantaeng
dan Kabupaten Luwu Utara.
2. Prevalensi Balita Gizi Kurang
Indikator status gizi ini berdasarkan indeks BB/U yang memberikan informasi
mengenai indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi
tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan
berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat
disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Masalah kesehatan masyarakat dianggap
serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap
prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30 persen (WHO, 2010)
Secara Nasional, Prevalensi berat-kurang berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Daerah (Riskesdas) tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk
dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional
tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Untuk Provinsi
Sulawesi Selatan data Gizi Buruk+Gizi kurang (Underweight) Berdasarkan hasil
Riskesdas adalah 17,6% (2007) meningkat menjadi 25% (2010) dan kembali mengalami
peningkatan menjadi >25% (2013).
Di tahun 2016, berdasakan hasil PSG di Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan
Prevalensi Balita Gizi Kurang sebesar 20,2%. Meskipun capaian kinerja ini belum
mencapai target yang ditetapkan (18,1%) dan angka ini juga meningkat dari tahun
2015 yaitu sebesar 17,1 %. Sehingga masih perlu ditingkatkan upaya-upaya yang lebih
optimal dalam meningkatkan status gizi masyarakat khususnya pada kelompok balita.
3. Prevalensi Balita Stunting
Kecenderungan Prevalensi Balita Pendek (Stunting) Provinsi Sulawesi Selatan
mengalami peningkatan dari tahun 2007 (29,1%) meningkat tahun 2010 (36,8%) dan
kembali mengalami peningkatan di tahun 2013 menjadi 40,9% dan masih dipakai
untuk menilai Prevalensi Balita Stunting pada tahun 2014 dan belum mencapai target
yang ditetapkan (34,5%). Angka ini juga menunjukkan bahwa posisi Sulawesi Selatan
di tahun 2014 masih belum mencapai target MDGs yaitu 32%. Hasil PSG di Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 2015 menunjukkan Prevalensi Balita Stunting sebesar 34,1%,
kondisi meningkat pada tahun 2016 yaitu menjadi 35,7% dan belum mencapai target
(34,55%). Hasil Rekapitulasi Kabupaten/Kota diketahui bahwa ada 5 Kabupaten/Kota
dengan persentase anak sangat pendek dan pendek yaitu Kabupaten Jeneponto
48%, Kabupaten Enrekang 46%, Kabupaten Tana Toraja 41%, Kabupaten Bantaeng
41% dan Kabupaten Pinrang 41%.
Indikator status gizi ini berdasarkan indeks TB/U memberikan informasi
mengenai indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama. Misalnya : kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola
asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek.
4. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI) pada anak usia 6-24 bulan
keluarga miskin
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan
kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI diberikan mulai usia 4
bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat usia bayi/anak, kebutuhan akan zat gizi
semakin bertambah karena tumbuh kembang, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang
memenuhi kebutuhan gizi. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke
makanan keluarga.
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik
bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak.
Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk
pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada
periode ini.
Tahun 2016, dilakukan pemberian makanan tambahan kepada anak usia 6-24
bulan sebanyak 13.820 Balita dari keluarga miskin dengan cakupan 100% yang
dilakukan di 24 Kabupaten/Kota. Pemberian makanan pendamping ASI pada keluarga
miskin dimaksudkan untuk membantu kecukupan gizi Balita yang tidak dapat
diperoleh dari Air Susu Ibunya maupun dari makanan/pangan yang tersedia dalam
keluarga tersebut dikarenakan faktor ekonomi. Selain itu perlu ditingkatkan kerjasama
lintas sector khususnya dalam penyediaan lapangan kerja dan suplai pangan kepada
keluarga miskin untuk menopang status gizi mereka.
5. Cakupan Balita gizi buruk mendapat perawatan
Keadaan gizi merupakan salah satu penyebab dasar kematian bayi dan anak.
Gizi buruk seringkali disertai penyakit seperti TB, ISPA, diare dan lain-lain. Risiko
kematian anak gizi buruk 17 kali lipat dibandingkan dengan anak normal. Oleh karena
itu setiap anak gizi buruk harus dirawat sesuai standar.
Cakupan balita kasus gizi buruk yang memperoleh perawatan di 24
Kabupaten/Kota provinsi Sulawesi selatan adalah 100% seluruh kasus Gizi Buruk yang
ditemukan langsung memeperoleh perawatan baik kasus gizi buruk ataupun rawat
jalan ataupun rawat inap. Dengan demikian telah memenuhi target Indikator ini yaitu
100% balita gizi buruk memperoleh perawatan.
Jumlah kumulatif Kasus gizi buruk sepanjang tahun 2016 yang dideteksi baik
dengan atau tanpa gejala klinis dengan kriteria Indikator BB/TB <-3 SD di Provinsi
Sulawesi selatan adalah 159 kasus dan semuanya telah mendapat perawatan sesuai
standar. Angka ini mengalami penurunan dibanding tahun 2015 sebanyak 173 kasus,
tahun 2014 sebanyak 229 kasus dan tahun 2013 yang mencapai 255 Kasus.
Dari rekapitulasi pelaporan Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, Kabupaten
dengan jumlah kasus gizi buruk tertinggi adalah Kabupaten Wajo sebanyak 34 kasus,
disusul oleh Kabupaten Toraja sebanyak 15 kasus dan Kabupaten Bone sebanyak 14
kasus.
Sedangkan Kabupaten yang berhasil menekan jumlah kasus gizi buruknya
yaitu Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Sidrap sebanyak 0
kasus.
Untuk Penatalaksanaan Kasus Gizi Buruk secara umum di 24 Kabupaten/kota
Provinsi Sulawesi Selatan, Kasus gizi buruk yang ditemukan dilakukan perawatan
yang meliputi :
1. Pelayanan Medis, keperawatan dan konseling gizi sesuai dengan penyakit
penyerta/penyulit.
2. Pemberian formula dan makanan sesuai fase (4 fase stabilisasi, transisi, rehabilitasi
dan tindak lanjut)
6. Cakupan D/S Posyandu
Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan indikator yang
berkaitan dengan cakupan pelayanan gizi pada balita. Karena Peningkatan jumlah
balita yang ditimbang di posyandu (D/S) akan mendorong meningkatnya cakupan
program lainnya seperti cakupan Vitamin A, Imunisasi dan menurunnya prevalensi gizi
kurang. Kriteria D/S dalam laporan indikator kinerja gizi masyarakat adalah jumlah
bayi dan anak usia 0-23 bulan dan anak usia 24-59 bulan yang ditimbang diposyandu
dan dibandingkan dengan jumlah seluruh anak bayi dan anak usia 0-23 bulan dan
anak usia 24-59 bulan dari posyandu yang melapor.
Dari rekapitulasi pelaporan Kabupaten/Kota didapat persentase balita yang
ditimbang berat badannya (D/S) di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 81%,
walaupun belum mencapai target (80%) namun mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 77% (tahun 2014) dan dapat
dikategorikan cukup baik. Terdapat 6 Kabupaten/Kota yang belum memenuhi target
Indikator kinerja Program Gizi Masyarakat 76% yaitu Kabupaten Selayar, Bulukumba,
Bone, Luwu dan Kabupaten Tana Toraja. Sedangkan Kabupaten yang telah memenuhi
target adalah 19 Kabupaten/Kota. Kabupaten Bone adalah Kabupaten yang paling
rendah capaian D/S nya yaitu 49,6% sedangkan Kabupaten paling tinggi capaian D/S
adalah Kabupaten Soppeng (90,5%).
7. Cakupan ASI Eksklusif
WHO/UNICEF dalam “Global strategy for child feeding” merekomendasikan 4
hal penting yang sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu
: pertama, Memberikan air susu ibu segera dalam waktu 30 menit setelah dilahirkan,
kedua, memberikan hanya air susu (ASI ) saja atau pemberian ASI secara ekslusif sejak
lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping ASI (MP-
ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan atau lebih, Keempat yaitu meneruskan
pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. (Depkes, 2006)
Upaya peningkatan cakupan pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif dilakukan
dengan berbagai strategi, mulai dari penyusunan kerangka regulasi, peningkatan
kapasitas petugas dan promosi ASI Eksklusif. Pada tahun 2010 PemerintahProvinsi
Sulawesi Selatan menerbitkan PERDA No.6 Tentang ASI Eksklusif kemudian pada
tahun 2011 diterbitkan PERGUB No.68 Tentang ASI Eksklusif dan tahun 2012
diterbitkan pula Peraturan Pemerintah tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (PP
No 33 tahun 2012). Dalam PERDA, PERGUB maupun PP tersebut diatur tugas dan
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam pengembangan program
ASI, diantaranya menetapkan kebijakan nasional dan daerah, melaksanakan advokasi
dan sosialisasi serta melakukan pengawasan terkait program pemberian ASI Eksklusif.
Sedangkan pada tahun 2015 kegiatan yang dilaksanakan Pengawasan penegakan
tersebut dan Penguatan jejaring dan mitra LS/LP dalam implementasi PERDA dan
PERGUB tentang ASI Eksklusif.
Data Riskesdas menunjukkan 5 Kabupaten Kota tertinggi dengan persentase
pelaksanaan IMD < 1 Jam Proporsi Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yaitu Kabupaten Sinjai,
Bantaeng, Takalar, Sidrap, Maros. Untuk angka IMD Provinsi Sulawesi Selatan <1 jam
yaitu 44,9%, data ini lebih tinggi dibandingkan data Nasional yaitu 34,5%. Hal ini
menunjukkan kecenderungan masyarakat Sulawesi selatan dalam melaksanakan IMD
< 1 Jam setelah kelahiran. Inisiasi Menyusui Dini diketahui akan mendorong capaian
ASI Eksklusif.
Pada tahun 2016, untuk kriteria bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif yang
diberi ASI saja tanpa makanan lain atau cairan lain berdasarkan recall 24 jam, dari
pelaporan Kabupaten/Kota sebesar 68% dan belum mencapai angka yang
ditargetkan (83%) dan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 71,50% di
tahun 2015, 68,45% di tahun 2014 dan 75% di tahun 2013.
Rata-rata prevalensi capaian ASI Eksklusif di 24 Kabupaten/Kota Provinsi
Sulawesi Selatan sebear 42%. Kabupaten yang paling tinggi capaian targetnya adalah
kabupaten Soppeng 81,9% dan yang paling rendah adalah kota Pare-Pare 48%.
8. Cakupan Pendistribusian Vitamin A pada Balita
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan,
pertumbuhan dan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah
kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah
kesehatan masyarakat namun untuk pendistribusian kapsul vitamin A tetap
merupakan program utama guna pengentasan masalah gizi mikro. Program
pemberian kapsul vitamin A dilaksanakan sebanyak 2 kali setahun yaitu bulan februari
dan agustus dengan spesifikasi vitamin A berwarna biru 100.000IU diperuntukkan bagi
bayi usia 6-11 bulan dan vitamin A berwarna merah 200.000 IU bagi balita usia 12-59
bulan.
Dari Rekapitulasi pelaporan Kabupaten/Kota diperoleh data Cakupan
Pendistribusian Vitamin A pada Balita pada tahun 2016 sebesar 85%, belum mencapai
target yang ditetapkan (87%). Angka ini menurun bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yaitu sebesar 88% di tahun 2015. Penurunan capaian ini menunjukkan
bahwa masih diperlukan peningkatan usaha pemerintah dalam pendistribusian
vitamin A dan peningkatan akses transportasi terhadap daerah-daerah DTPK
diharapkan lebih terbuka. Pelaporan menunjukkan rata-rata persentase cakupan
pemberian Vitamin A di Kabupaten/Kota telah mencapai di atas 80%, Kabupaten
yang capaiannya masih di bawah 80% yaitu Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Gowa. Kabupaten Gowa adalah Kabupaten dengan
capaian paling Rendah yaitu 57,1 %. Dan Kota Pare-Pare adalah yang tertinggi
capaiannya yaitu 96,4%.
9. Cakupan Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah
dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat
menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi
besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.
Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia diprioritaskan pada kelompok
rawan gizi yaitu Ibu Hamil dan memperoleh 90 tablet Fe selama kehamilan.
Hingga tahun 2016, rekapitulasi data Kabupaten/Kota menunjukkan cakupan
Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet sebesar 87% dan belum mencapai
target Penetapan Kinerja Dinas Kesehatan untuk tahun 2016 (90%). Dari data 24
Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi selatan terdapat 9 Kabupaten/Kota yang belum
mencapai target cakupan Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet yaitu
Kabupaten, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkep. Kabupaten dengan capaian paling Rendah yaitu Kabupaten
Sidrap sebesar 65,7% dan Kabupaten dengan capaian paling tinggi yaitu Kabupaten
Wajo dan Kabupaten Gowa sebesar 98,1%.
10. Cakupan Konsumsi Garam Beryodium
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang serius mengingat dampaknya sangat besar
terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Untuk
menanggulangi GAKY, penambahan yodium pada semua garam konsumsi telah
disepakati sebagai cara yang aman, efektif dan berkesinambungan untuk mencapai
konsumsi yodium yang optimal bagi semua rumah tangga dan masyarakat.
Salah satu indikator yang harus dicapai dalam pencapaian kinerja program gizi
masyarakat adalah cakupan konsumsi garam tingkat rumah tangga yang dilakukan
selama 2 kali setahun yaitu pada bulan februari dan agustus. Kriteria rumah tangga
yang mengkonsumsi garam beryodium adalah Rumah tangga dengan hasil pengujian
garam menggunakan iodine test menunjukkan warna ungu pucat dan ungu pekat.
Hal ini menjelaskan kandungan yodium 30-80 part per million.
Kecenderungan konsumsi garam beryodium Tingkat Rumah Tangga untuk
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 berdasarkan pelaporan 24 Kabupaten/Kota yaitu
sebesar 99% dan telah melampaui angka yang ditargetkan (90%). Kondisi ini juga
meningkat bila dibandingkan dengan capaian tahun lalu yaitu sebesar 99%
di tahun 2015.
11. Cakupan Kabupaten/Kota yang melaksanakan Surveilans Gizi
Surveilans gizi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap masalah gizi buruk dan indikator pembinaan gizi masyarakat agar dapat
melakukan tindakan penanggulangan secara efektif, efisien dan tepat waktu melalui
proses pengumpulan data, pengolahan, penyebaran informasi kepada penyelenggara
program kesehatan dan tindak lanjut sebagai respon terhadap perkembangan
informasi.
Di Provinsi Sulawesi selatan sampai dengan tahun 2016, 24 Kabupaten/Kota
telah melaksanakan kegiatan surveilans gizi sesuai target indikator kinerja Gizi
masyarakat yaitu 100% Kabupaten/Kota melaksanakan kegiatan surveilans gizi.
Dalam mencapai sasaran meningkatnya status gizi masyarakat, didukung oleh
Program Perbaikan Gizi Masyarakat melalui kegiatan Fasilitasi dan Bimbingan Teknis
Petugas terkait pembinaan masyarakat menuju 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK),
Bimbingan teknis Pendampingan Surveilans Gizi dan On The Job Training KMS baru
pada 427 Puskesmas, Peningkatan Kapasitas Kader dalam Pemanfaatan Pangan Lokal
untuk mengatasi Gizi Kurang, Pengawasan Penegakan PERDA dan PERGUB ASI dan
Penguatan Jejaring dan Mitra LS/LP dalam Implementasi PERDA/PERGUB ASI.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran ini, antara lain :
1. Ketersediaan alat pengukur status gizi (Antropometri), sehingga dengan cepat dapat
dilakukan penilaian terhadap status gizi masyarakat.
2. Dukungan Dana dan Bantuan Makanan Tambahan (MP-ASI) dari Pusat untuk ibu
hamil KEK (Kurang Energi Kronis) dan Balita Miskin.
3. Adanya tenaga terlatih deperti konselor ASI, walaupun dirasa masih terbatas namun
dapat mendukung kinerja Tim Tata Laksana Penanganan Kasus Gizi Buruk.
4. Dukungan Pemda Kabupaten/Kota dalam menindaklanjuti Perda No. 6 Tahun 2010
dan Pergub No. 68 Tahun 2011 tentang ASI melalui Penegakan Perda ASI di masing-
masing Kabupaten/Kota.
5. Sistem Pelaporan Gizi (Surveilans Berbasis Web) yang secara on line setiap saat
sehingga dapat dengan cepat diketahui permasalahan-masalahan di sektor gizi
masyarakat.
Secara umum beberapa permasalahan yang timbul terkait Peningkatan Status Gizi
Masyarakat, antara lain :
1. Kurangnya kordinasi kerjasama lintas sektor dalam hal penanggulangan gizi buruk.
2. Kesenjangan dalam hal pendapatan keluarga yang dampaknya berimbas pada
penyediaan pangan di tingkat rumah tangga.
3. Dengan terbukanya akses pelayanan kesehatan dengan adanya kesehatan gratis
menjadi salah satu penyebab ditemukannya kasus-kasus baru.
4. Dari sisi penyediaan anggaran keberpihakan anggaran APBD terhadap program gizi
di tingkat Kabupaten/Kota dalam kurun waktu terakhir sangat rendah. Hal ini
disebabkan adanya harapan akan mendapatkan anggaran bersumber dari APBN
sedangkan kebijakan dari Kementerian Kesehatan bersumber APBN hanyalah bersifat
suplemen bagi APBD.
Upaya pemecahan yang dapat dilakukan terhadap masalah tersebut di atas antara lain:
1. Peningkatan dan penguatan kerjasama lintas sektor serta kemitraan lintas program,
organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengentasan
permasalahan gizi.
2. Pemberian kesempatan melalui dukungan dana dalam pembukaan lapangan kerja
swadaya bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin dan tidak mampu.
3. Penguatan jejaring sistem pencatatan dan pelaporan serta umpan balik hasil kegiatan
surveilans gizi mulai dari Tingkat Puskesmas hingga Dinas Kesehatan Provinsi
sehingga dapat dihasilkan data yang akurat secara cepat dan tepat.
4. Advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk lebih fokus dalam pengalokasian
anggaran di sektor gizi masyarakat.
‘’ Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan’’
Sasaran ini diukur melalui 12 (dua belas) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 93,20%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 5.
Capaian Kinerja Sasaran 3
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
1. Jumlah Kasus Kematian
Bayi 1.021 kasus 1.183 kasus 86,31%
2. Jumlah Kasus Kematian
Ibu 105 kasus 156 kasus 67,31%
3. Cakupan Kunjungan Ibu
Hamil K4 93% 89,25% 95,97%
4. Cakupan Komplikasi
Kebidanan yang
ditangani
69% 76,48% 110,84%
5. Cakupan Pertolongan
Persalinan Oleh Tenaga
Kesehatan yang Memiliki
Kompetensi Kebidanan
95% 92,90% 97,79%
6. Cakupan Pelayanan
Nifas
91% 91,32% 100,35%
7. Cakupan Neonatus
dengan Komplikasi yang
ditangani
95% 60,66% 63,85%
8. Cakupan Kunjungan
Bayi 96% 98,08% 102,17%
9. Cakupan Pelayanan
Anak Balita 75% 69,09% 92,12%
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
10. Cakupan Peserta KB
Aktif 67% 72,39% 108,04%
11. Cakupan Penjaringan
Kesehatan Siswa SD
Setingkat
97% 87,5% 90,21%
12. Persentase Kelompok
Lansia Aktif 88% 91% 103,41%
Rata-rata Capaian 93,20%
Berdasarkan hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini, terdapat 5 (lima)
indikator yang sudah mencapai bahkan melebihi target yang telah ditetapkan dalam
Rencana Kerja Tahun 2016, yaitu :
1) Cakupan Komplikasi Kebidanan yang ditangani
2) Cakupan Pelayanan Nifas
3) Cakupan Kunjungan Bayi
4) Cakupan Peserta KB Aktif
5) Persentase Kelompok Lansia Aktif
Selain itu ada 3 (tiga) indikator kinerja pada sasaran ini yang perlu mendapat
perhatian khusus karena belum mencapai target yang ditetapkan yaitu :
1) Jumlah Kasus Kematian Ibu
2) Jumlah Kasus Kematian Bayi
3) Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani
Indikator tersebut di atas belum mencapai target Provinsi dan target Nasional
diakibatkan oleh adanya beberapa hambatan/masalah dari sisi input dan proses. Dari sisi
input hambatan yang terjadi berasal dari masalah ketenagaan, pembiayaan, manajemen
perencanaan, sarana dan prasarana.
Hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Jumlah Kasus Kematian Bayi
Meningkatnya Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan permasalahan di sektor
kesehatan khususnya di Sulawesi Selatan menjadi tanggungjawab bersama untuk
dicegah. Bayi merupakan investasi SDM untuk masa yang akan datang. Kualitas
kehidupan bayi secara tidak langsung akan menjadi estimasi kualitas kehidupan
bangsa di masa yang akan datang. Selain itu AKB selain merupakan indikator yang
mengukur derajat kesehatan juga sebagai indikator yang menilai tingkat kesejahteraan
suatu bangsa.
Diakui dari tahun 2013 hingga akhir tahun 2016 jumlah kasus kematian bayi di
Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan yaitu sebanyak 1.041 kasus di tahun
2013, meningkat menjadi 1.113 kasus pada tahun 2014, meningkat menjadi 1.167 kasus
di tahun 2015 kemudian kembali meningkat menjadi 1.183 kasus di tahun 2016.
Tingginya jumlah kasus kematian bayi ini disebabkan banyaknya permasalahan yang
dihadapi baik dari sisi input awal perencanaan, implementasi maupun evaluasi. Selain
itu penyelarasan konsep kebijakan di bagian top dan bottom agar dapat seirama
dalam pelaksanaan sesuai dengan rencana. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi
Pemerintahterutama dalam peningkatan kegiatan yang bersifat Preventif dan Promotif
yang bertujuan Pemberdayaan masyarakat dalam menekan jumlah kasus kematian
bayi.
2. Jumlah Kasus Kematian Ibu
Defenisi Kematian ibu, menurut ICD 10 didefenisikan sebagai “Kematian
seorang wanita yang terjadi saat hamil atau dalam 42 hari setelah akhir kehamilannya,
tanpa melihat usia dan letak kehamilannya, yang diakibatkan oleh sebab apapun yang
terkait dengan atau diperburuk oleh kehamilannya atau penanganannya, tetapi bukan
disebabkan oleh insiden dan kecelakaan”. Defenisi tersebut membedakan dua
kategori kemtian ibu. Pertama adalah kematian ibu yang disebabkan oleh penyebab
langsung obstetry yaitu kematian yang diakibatkan langsung oleh kehamilan dan
persalinannya. Kedua adalah kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak
langsung yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit
dan bukan oleh kehamilan atau persalinannya.
Tahun 2016 Rekapitulasi Data Kabupaten/Kota menunjukkan jumlah kasus
kematian ibu di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 156 kasus. Kondisi ini belum
mencapai angka yang ditargetkan yaitu 105 kasus dan mengalami peningkatan
sebanyak 11 kasus dari tahun sebelumnya (tahun 2015 = 149 kasus). Adapun daerah
yang memberikan kontribusi jumlah kasus kematian ibu terbesar di tahun 2016 adalah
Kabupaten Gowa sebanyak 18 kasus, Kabupaten Bone sebanyak 12 kasus dan
Kabupaten Luwu Utara sebanyak 11 kasus. Sedangkan Kabupaten dengan jumlah
kasus kematian Ibu paling sedikit yaitu Kabupaten Bantaeng sebanyak 1 kasus.
Rata-rata penyebab kematian ibu di Sulawesi Selatan terjadi karena keluarga
terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan, petugas kesehatan
penolong persalinan terlambat merujuk dan ibu bersalin sehingga menyebabkan
keterlambatan dalam penanganan yang adekuat didiukung keterbatasan sarana dan
prasarana di fasilitas kesehatan dan SDM yang berkompetensi di bidangnya. Selain itu
keterlambatan deteksi dini faktor resiko dan rendahnya kualitas ANC.
3. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4
Cakupan kunjungan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal
sesuai dengan standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1 kali pada
trimester ke-1, 1 kali pada trimester ke-2 dan 2 kali pada trimester ke-3 di Provinsi
Sulawesi Selatan untuk tahun 2016 adalah 89,25%. dan menghampiri angka yang
ditargetkan (93%) dan mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya (tahun 2015 = 91,72%). Walaupun peningkatan cakupan ini tidak terlalu
besar namum Peningkatan persentase ini menunjukkan perbaikan derajat kesehatan
bagi ibu hamil karena meningkatnya kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan
kandungannya secara rutin ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Kabupaten yang mencapai cakupan K4 tertinggi adalah Kota Makassar
(96,87%) sedangkan Kabupaten dengan K4 terendah adalah Kabupaten Enrekang
yaitu (68,95%) dan Kesenjangan antara K1 dan K4 masih ada sebesar 21,51%. Hal ini
masih menandakan bahwa belum semua ibu hamil yang datang kontak pertama (K1)
dengan petugas kesehatan datang kembali untuk memeriksakan kehamilannya
secara rutin sesuai standar sampai dengan trimester III. Berdasarkan hal tersebut perlu
penelusuran dan intervensi lebih lanjut.
Drop Out tersebut dapat disebabkan karena ibu yang kontak pertama (K1)
dengan tenaga kesehatan dengan kehamilan sudah berumur lebih dari 3 bulan.
Sehingga diperlukan intervensi peningkatan pendataan ibu hamil yang lebih intensif.
4. Cakupan Komplikasi Kebidanan yang ditangani
Indikator kinerja ini mengukur kemampuan manajemen program Kesehatan
Ibu dan anak dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional
kepada ibu hamil, bersalin dan nifas dengan komplikasi. Dari data yang diperolah
cakupan ibu hamil dengan komplikasi kebidanan yang ditangani secara defenitif
sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan berkompeten pada tingkat pelayanan
dasar dan rujukan untuk tahun 2016 di Provinsi Sulawesi Selatan adalah 76,48%, telah
mencapai target yang ditetapkan (69%) namun mengalami penurunan capaian
dibandingkan dengan tahun 2015 (79,21%). Hal ini menunjukkan masih perlunya
ditingkatkan upaya yang mendukung peningkatan kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu
yang sesuai standar di Sulawesi Selatan khususnya dalam penyediaan sarana
prasarana dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan sesuai kompetensinya.
Kabupaten yang mencapai cakupan tertinggi adalah Kabupaten Luwu Utara
yang telah mencapai 116,99%, disusul oleh Kabupaten Sinjai 94,95% dan Kabupaten
Bulukumba 88,52%. Sedangkan Kabupaten dengan Penanganan komplikasi terendah
adalah Kabupaten Maros sebesar 53,87%. Penyebab belum optimalnya penanganan
komplikasi pada beberapa Kabupaten/Kota antara lain disebabkan karena mobilitas
tenaga kesehatan cukup tinggi (termasuk mobilisasi petugas/bidan yang sudah
terlatih sesuai dengan kompetensinya) dan sistem pencatatan pelaporan yang belum
berjalan dengan baik.
5. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan yang Memiliki Kompetensi
Kebidanan (PN)
Indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga
kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam
pertolongan persalinan sesuai standar. Data 24 Kabupaten/Kota memperlihatkan
cakupan kunjungan ibu bersalin yang memperoleh pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan untuk tahun 2016 di Provinsi
Sulawesi Selatan adalah 92,90% dan belum mencapai target yang ditetapkan (93%).
Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2015 yaitu
sebesar 94,02%.
Kabupaten yang mencapai cakupan PN tertinggi adalah Kabupaten bantaeng
100,12% disusul oleh Kabupaten Toraja Utara sebesar 95,50% dan Kota Makassar
sebesar 95,15%, sedangkan Kabupaten dengan capaian PN terendah adalah
Jeneponto yaitu 86,65 % dan Kabupaten Selayar sebesar 86,66%.
6. Cakupan Pelayanan Nifas (Kf)
Indikator ini mengukur cakupan pelayanan nifas secara lengkap yang
memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan serta untuk
menjaring KB Pasca Persalinan. Untuk tahun 2016 cakupan pelayanan kepada ibu
pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan sesuai standar paling
sedikit 3 kali dengan distribusi waktu 6 jam – 3 hari (Kf 1), 4 – 28 hari (Kf 2) dan 29-42
hari setelah bersalin (Kf 3) di Provinsi Sulawesi Selatan adalah 91,32%. Angka ini telah
mencapai target yang ditetapkan (91%). Persentase capaian Kabupaten/Kota untuk
Cakupan Kf ini telah menunjukkan rata-rata angka capaian berada di atas 80%, hanya
Kabupaten Jeneponto yang capaiannya di bawah 80% yaitu sebesar 78,44%.
Kabupaten yang mencapai cakupan Kf tertinggi adalah Kabupaten Toraja Utara
sebesar 96,01% disusul oleh Kabupaten Wajo sebesar 95,03% dan Kabupaten Gowa
sebesar 94,25%.
7. Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani
Cakupan penanganan Neonatal yang mengalami Komplikasi sebagai indikator
kompetensi petugas dalam menangani bayi baru lahir yang bermasalah baik di
rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan
rujukan. Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai standar Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM). Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir, Manajemen Bayi Berat Lahir
Rendah atau pelayanan sesuai standar pelayanan lainnya. Dalam melaksanakan
pelayanan neonatus selain pemeriksaan kesehatan juga dilakukan konseling
perawatan bayi kepada ibu. Hasil capaian Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang
ditangani di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 60.66%, angka ini belum
mencapai target yang ditetapkan (95%) dan mengalami penurunan drastis bila
dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya yaitu sebesar 88,74% di tahun 2015.
Hal ini menunjukkan bahwa masih perlunya upaya peningkatan kualitas tenaga
kesehatan khususnya bidan Desa dalam penanganan komplikasi pada ibu dan
neonatal.
8. Cakupan Kunjungan Bayi
Cakupan pelayanan kesehatan bayi merupakan pelayanan kesehatan yang
diberikan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan bayi kurang dari 1 (satu) tahun
setelah masa neonatus. Pemeriksaan kesehatan bayi meliputi pemberian imunisasi
dasar (BCG, DPT/HBI-3, polio 1-4 dan campak), stimulasi deteksi intervensi dini
tumbuh kembang (SDIDTK) bayi pemberian vitamin A pada bayi dan penyuluhan
perawatan kesehatan bayi serta penyuluhan ASI Eksklusif, MP ASI dan lain-lain. Selain
itu pemeriksaan kesehatan bayi juga dilakukan melalui konseling tentang perawatan
bayi kepada ibu dan penyuluhan perawatan neonates di rumah menggunakan buka
KIA.
Hasil capaian cakupan kunjungan bayi pada sarana pelayanan kesehatan di
Kabupaten/kota se-Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 98,08% dan telah
melebihi angka yang ditargetkan (95%) bahkan telah mencapai angka yang
ditargetkan di akhir periode Renstra Dinas Kesehatan yaitu sebesar 96%. Bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 2,88%
(tahun 2015 = 98,11%).
9. Cakupan Pelayanan Anak Balita
Pelayanan kesehatan anak balita adalah pelayanan kesehatan anak balita
sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan pada anak usia 12-59 bulan
dalam upaya Meningkatkan kualitas hidup anak balita diantaranya adalah melakukan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan dan stimulasi tumbuh kembang pada
anak dengan menggunakan instrumen SDIDTK, pembinaan posyandu, pembinaan
anak prasekolah (PAUD) dan konseling keluarga pada kelas ibu balita dengan
memanfaatkan buku KIA, perawatan anak balita dengan pemberian ASI sampai 2
tahun, makanan gizi seimbang dan vitamin A.
Hasil capaian cakupan pelayanan kesehatan anak Balita Kabupaten/kota di
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2015 sebesar 69,09%, dan belum mencapai target
yang ditetapkan (75%), mengalami penurunan persentase dari tahun sebelumnya
(2015) yaitu sebesar 76,51%.
10. Cakupan Peserta KB Aktif
Indikator ini menunjukkan jumlah peserta KB baru dan lama yang masih aktif
memakai alokon terus-menerus hingga saat ini untuk menunda, menjarangkan
kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan. Cakupan dari peserta KB yang baru dan
lama yang masih aktif menggunakan alat dan obat kontrasepsi (alakon) dibandingkan
dengan jumlah pasangan usia subur untuk tahun 2016 di Provinsi Sulawesi Selatan
adalah 72,39%, telah mencapai target yang ditetapkan (67%) dan meningkat dari
capaian tahun 2015 (71,38%). Kabupaten yang mencapai Cakupan Keluarga
Berencana tertinggi adalah Kabupaten Sinjai sebesar 79,52% sedangkan Kabupaten
terendah adalah Kabupaten Enrekang 46,69%.
11. Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD Setingkat
Penjaringan Kesehatan siswa SD setingkat adalah pemeriksaan kesehatan
terhadap siswa baru kelas 1 SD atau Madrasah Ibtidayah (MI) yang meliputi
pengukuran tinggi badan, berat badan, pemeriksaaan ketajaman mata, ketajaman
pendengaran, kesehatan gigi, kelainan mental emosional dan kebugaran jasmani.
Pelaksanaan penjaringan kesehatan dikoordinir oleh Puskesmas bersama dengan guru
sekolah dan kader kesehatan. Setiap Puskesmas mempunyai tugas melakukan
penjaringan kesehatan siswa SD/MI di wilayah kerjanya dan dilakukan satu kali pada
setiap awal tahun ajaran baru sekolah.
Tahun 2016 ditargetkan 97% siswa SD dan setingkat mendapatkan pemantauan
kesehatan melalui penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat diharapkan dapat
menjaring anak yang sakit dan melakukan tindakan intervensi secara dini, sehingga
anak yang sakit menjadi sembuh dan anak yang sehat tidak tertular menjadi sakit.
Data terakhir menunjukkan Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD Setingkat
Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 87,5% diaki belum
mencapai target namun persentase ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun
2015 yaitu sebesar 86,74%.
12. Persentase Kelompok Lansia Aktif
Untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia lanjut usia perlu mengetahui
kondisi lanjut usia di masa lalu dan masa sekarang sehingga orang lanjut usia dapat
diarahkan menuju kondisi kemandirian. Sehubungan dengan kepentingan tersebut
perlu diketahui kondisi lanjut usia yang menyangkut kondisi kesehatan, kondisi
ekonomi, dan kondisi sosial. Dengan mengetahui kondisi-kondisi itu, maka keluarga,
pemerintah, masyarakat atau lembaga sosial lainnya dapat memberikan perlakuan
sesuai dengan masalah yang menyebabkan orang lanjut usia tergantung pada orang
lain. Jika lanjut usia dapat mengatasi persoalan hidupnya maka mereka dapat ikut
serta mengisi pembangunan salah satunya yaitu tidak tergantung pada orang lain.
Dengan demikian angka ratio ketergantungan akan menurun, sehingga beban
Pemerintah akan berkurang.
Pada tahun 2016 dilakukan peningkatan manjemen pembinaan kesehatan lanjut
usia dengan memberikan informasi terbaru pada pengelola program lansia di
Kabupaten/Kota berdasarkan hasil pertemuan pengelola program lansia di tingkat
pusat dan memberikan saran/masukan pada pengelola program lansia di
Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pembinaan kepada kelompok lansia. Kegiatan
yang dilaksanakan di tingkat Posyandu antara lain penyuluhan gizi dan konseling usia
lanjut dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki status gizi yang dilaksanakan
secara terpadu pada waktu pemeriksaan secara berkala ditempat pelayanan. Sampai
dengan bulan Desember tahun 2016 jumlah kelompok lansia yang ada di Provinsi
Sulawesi Selatan sebanyak 4.821 kelompok dan yang jumlah kelompok yang aktif
sebanyak 4.387 kelompok (91%), persentase ini meningkat bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya (2015) sejumlah 4.297 kelompok lansia yang aktif (89,14%).
Dalam rangka mencapai sasaran Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan
didukung oleh Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lanjut
Usia melalui kegiatan antara lain Peningkatan Kapasitas Petugas dalam Pelayanan
Kesehatan Ibu dan Reproduksi yang sesuai standar, Pertemuan Pemantapan Pelayanan KB
Metode Jangka Panjang serta Sistem Pencatatan, Pertemuan Pokja AKI/AKB untuk
penguatan sistem Pelayanan Ibu dan reproduksi dalam Rangka Akselerasi Penurunan AKI
dan AKB, Lomba Lansia Sehat Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, Lomba Posyandu Lansia,
Lomba balita Sehat Indonesia (LBSI) dan Pertemuan Pemanfaatan buku KIA untuk Bidan
Praktek Swasta dan Rumah Sakit
Faktor-faktor yang mendukung pencapaian sasaran ini, adalah :
1. Program Suami Siaga dan RW Siaga dalam rangka peningkatan cakupan persalinan
tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.
2. Efektifitas Rumah Tunggu kelahiran dalam upaya mendekatkan akses ke fasilitas
layanan kesehatan.
3. Penggerakan masyarakat dan LS/LP mendukung program KIA.
Dalam pelaksanaan upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan
Lansia, tentu saja ditemukan beberapa kendala sehingga terjadi penurunan capaian kinerja
dalam pencapaian sasaran ini, antara lain :
1. Keterlambatan pengambilan keputusan oleh keluarga dalam mengatasi permasalahan
kesehatan khususnya dalam bidang KIA, seperti terlambat ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan terlambat dalam mengenali tanda bahaya kehamilan dan persalinan
yang beresiko sehingga terlambat dalam mendapatkan pertolongan dan tindakan
kesehatan.
2. Masih adanya pengaruh budaya/mitos pada masyarakat terhadap keehatan ibu hamil
dan bayi sehingga berpengaruh pada asupan makanan, status gizi ibu hamil dan bayi.
3. Penatalaksanaan komplikasi obstetri dan neonatal belum terlaksana optimal baik dalam
penanganan maupun pencatatan dan pelaporan.
4. Mobilisasi jumlah sasaran ibu hamil sehingga menyebabkan Drop Out dari
pemantauan petugas dan Adanya migrasi ibu hamil dari luar wilayah dengan riwayat
kasus kehamilan resiko tinggi.
5. Distribusi tenaga kesehatan khususnya bidan tidak proporsional terhadap jumlah
sasaran ibu hamil, Bayi dan Balita.
6. Peran aktif lintas sektor masih terbatas dan terbatasnya jangkauan pelayanan terutama
pada daerah-daerah terpencil dan kepulauan (DTPK) serta belum optimalnya
pembinaan tumbuh kembang anak dan kesehatan remaja.
Strategi Pemecahan Masalah yang dihadapi :
1. Peningkatan sosialisasi dan frekwensi penyuluhan penanganan deteksi dini resiko
kehamilan dan persalinan serta permasalahan di bidang KIA lainnya dengan
memberdayakan kader-kader Posyandu serta meningkatkan keaktifan program suami
siaga dan RW siaga dengan lebih mengarahkan pada program pendekatan keluarga.
2. Sinergitas program perbaikan gizi khususnya pada kelompok ibu hamil dan bayi/balita,
serta pemberian pemahaman melalui pendekatan kedaerahan terhadap mitos dan
pola konsumsi masyarakat yang masih terpengaruh budaya.
3. Peningakatan kapasitas petugas melalui pelatihan-pelatihan penanganan komplikasi
obstetri dan neonatal khususnya bagi tenaga Puskesmas PONED.
4. Peningkatan Sweeping Ibu Hamil dan Bayi/Balita khususnya yang beresiko tinggi.
5. Advokasi Pemda Kabupaten/Kota untuk menerbitkan regulasi yang mengatur tentang
penempatan tenaga strategis dan fungsional terlatih terutama pada daerah DTPK.
6. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat, melibatkan peran serta Lintas Sektor terkait
melalui forum-forum wilayah setempat.
‘’ Meningkatnya Sarana dan Prasarana Kesehatan
yang Berbasis Masyarakat’’
Sasaran ini diukur melalui 2 (Dua) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 96,43%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Meningkatnya Sarana dan Prasarana Kesehatan yang Berbasis Masyarakat disajikan
dalam tabel berikut ini :
Tabel 6.
Capaian Kinerja Sasaran 4
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
1.
Cakupan PHBS Rumah
Tangga
60% 56,26% 93,77%
2.
Cakupan Desa Siaga Aktif
b. Pratama
c. Madya
d. Purnama
e. Mandiri
98%
20%
31%
34%
15%
97,11%
45,59%
27,07%
22,71%
4,3%
99,09%
43,87%
114,52%
66,79%
28,67%
Rata-rata Capaian 96,43%
Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :
1. Cakupan PHBS Rumah Tangga
Indikator pertama Cakupan PHBS Rumah Tangga belum mencapai target
yang ditetapkan. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir angka ini mengalami
peningkatan pencapaian. Pada tahun 2014 cakupan PHBS Rumah Tangga sebesar
53,56%, meningkat menjadi 54,57% di tahun 2015 dan kembali meningkat menjadi
56,26% di tahun 2106.
Pola hidup sehat merupakan perwujudan paradigma sehat yang berkaitan
dengan perilaku perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang berorientasi
sehat dengan meningkatkan, memelihara, dan melindungi kualitas kesehatan baik
fisik, mental, spiritual maupun sosial. Pembinaan PHBS di rumah tangga dilakukan
untuk mewujudkan rumah tangga sehat. Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga
yang memenuhi 7 indikator PHBS dan 3 indikator gaya hidup sehat sebagai berikut :
1. Persalinan oleh tenaga kesehatan
2. Pemberian ASI Eksklusif
3. Penimbangan Balita
4. Cuci tangan sebelum makan
5. Menggunakan air bersih
6. Menggunakan jamban sehat
7. Bebas Jentik
Sedangkan 3 indikator gaya hidup sehat, yaitu :
8. Tidak merokok dalam rumah
9. Melakukan aktivitas fisik/olahraga setiap hari
10. Makan buah dan sayur setiap hari
Kegiatan pembinaan rumah tangga ber-PHBS dan pengembangan desa siaga aktif
merupakan upaya untuk memberikan kesempatan dan Meningkatkan kemampuan
masyarakat khususnya masyarakat miskin agar mau dan mampu mengadopsi inovasi di
bidang kesehatan demi tercapainya peningkatan produktivitas, memperbaiki mutu hidup
dan tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Selain itu penerapan PHBS di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan upaya untuk
memberdayakan pasien, masyarakat pengunjung dan petugas agar tahu, mau dan
mampu untuk mempraktikkan PHBS dan berperan aktif dalam mewujudkan fasilitas
pelayanan kesehatan yang sehat dan mencegah penularan penyakit di fasilitas pelayanan
kesehatan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan guna efektivitas PHBS di fasilitas
pelayanan kesehatan, antara lain :
- Penyediaan Antiseptik untuk mencuci tangan pakai sabun (hand rub/hand
wash/hand sanitizer) di lorong-lorong fasilitas Pelayanan Kesehatan.
- Penyediaan/Penggunaan air bersih
- Penggunaan jamban sehat
- Peringatan membuang sampah pada tempatnya
- Larangan untuk tidak merokok
- Larangan untuk tidak meludah sembarangan
- Pemberantasan jentik nyamuk yang dilakukan secara rutin
2. Cakupan Desa Siaga Aktif
Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan dari desa siaga
yang telah dimulai sejak tahun 2006. Dengan terbentuknya desa siaga aktif, penduduk
dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar melalui Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayahnya. Selain itu juga memiliki
Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) yang melaksanakan upaya surveilans
berbasis masyarakat, penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, serta
penyehatan lingkungan.
Meskipun kondisi saat ini Desa Siaga Aktif di Sulawesi Selatan telah di atas 90%
namun Akselerasi Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang selama ini
berlangsung harus terus dipertahankan. Akselerasi itu dilaksanakan dengan
menyelenggarakan Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Dalam tatanan
otonomi daerah, pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif merupakan salah satu
urusan wajib Pemerintah Kabupaten dan PemerintahKota, yang kemudian diserahkan
pelaksanaannya ke desa dan kelurahan. Namun demikian, suksesnya pembangunan
desa dan kelurahan juga tidak terlepas dari peran Pemerintah, PemerintahProvinsi, dan
pihak-pihak lain seperti organisasi kemasyarakatan (ormas), dunia usaha, serta
pemangku kepentingan lain.
Pada tahun 2016, Persentase Cakupan Desa Siaga Aktif di Provinsi Sulawesi Selatan
mencapai angka 97,11%, meningkat bila dibandingkan dengan persentase tahun 2015
yaitu sebesar 94,05%. Walaupun kondisi ini belum mencapai angka yang ditargetkan,
namun diharapkan sampai dengan akhir periode Renstra nanti jumlah Desa Siaga Aktif
di Sulawesi Selatan akan terus meningkat. Sampai dengan bulan Desember tahun 2016,
tercatat sebanyak 2.920 Desa Siaga Aktif dari 3.007 Desa di Provinsi Sulawesi Selatan.
Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Peningkatan Promosi Kesehatan,
Pemberdayaan masyarakat dan kerjasama dengan swasta serta kemitraan lintas sektor
melalui Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :
1. Kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih ditekankan pada upaya promotif dan
preventif sehingga pelaksanaan program/kegiatan lebih diarahkan pada kegiatan
promosi dan pencegahan terhadap masalah-masalah kesehatan.
2. Adanya kelompok-kelompok UKBM (Upaya Kesehatan bersumber Masyarakat) yang
melaksanakan upaya surveilans berbasis masyarakat (pemantauan penyakit, KIA, Gizi,
Lingkungan dan Perilaku), serta kewaspadaan terhadap bencana dan
kegawatdaruratan.
Beberapa masalah yang ditemui dalam pencapaian sasaran ini :
1. Masih adanya pengaruh budaya/mitos pada masyarakat kelompok tertentu yang
dianggap tabu, sehingga berpengaruh pada optimalisasi pencapaian sasaran ini.
2. Beban ganda penyakit pada masyarakat, dimana meningkatnya angka kejadian
penyakit menular dan infeksi juga disertai dengan meningkatnya angka kejadian
penyakit tidak menular, akibat pola hidup masyarakat yang tidak sehat serta adanya
gaya hidup kekinian khususnya pada kelompok remaja.
3. Mobilisasi tenaga promosi kesehatan terlatih dan penumpukan tenaga pada
Puskesmas perkotaan sehingga pelaksanaan kegiatan promosi kesehatan dirasakan
kurang maksimal.
Strategi Pemecahan Masalah yang dihadapi :
1. Pemberdayaan masyarakat, melalui pendekatan kedaerahan yang dilakukan secara
perlahan-lahan untuk menghilangkan pengaruh tabu terhadap pola konsumsi dan
hidup sehat. Selain itu dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian semua
komponen masyarakat dan membangun hubungan kemitraan dengan pemangku
adat dan dukun khususnya pada daerah DTPK.
2. Peningkatan frekwensi promosi kesehatan secara langsung dan melalui media-media
promosi baik media cetak maupun elektronik, dengan menitikberatkan sasaran pada
kelompok-kelompok beresiko.
3. Upaya advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota agar menerbitkan regulasi yang
mengatur penempatan tenaga strategis secara proporsional sesuai dengan
kompetensi.
‘’ Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor’’
Sasaran ini diukur melalui 1 (Satu) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 100%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 9.
Capaian Kinerja Sasaran 5
Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
Jumlah Kemitraan Lintas
Sektor
6 Lintas
Sektor
> 6 Lintas
Sektor >100%
Rata-rata Capaian 100%
Keterlibatan lintas sektor dalam rangka gerakan pemberdayaan masyarakat
sangat diharapkan agar dapat meningkatkan kemandirian masyarakat sehingga dapat
berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga waspada dan tanggap terhadap masalah-
masalah kesehatan yang dihadapi. Selain menjalin kemitraan lintas sektor Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan juga senantiasa melakukan advokasi terkait
pembangunan kesehatan di jajaran pemerintahan di Provinsi dan Kabupaten/Kota
maupun di tatanan masyarakat, agar diperoleh dukungan baik secara lisan, tertulis serta
dukungan anggaran dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan yang dihadapi dan
peningkatan kualitas pembangunan kesehatan di Sulawesi Selatan.
Dari tabel pengukuran kinerja di atas terlihat bahwa capaian kinerja untuk
indikator jumlah kemitraan lintas sektor tahun 2016 telah melampaui target yang
ditetapkan (>100%).
Pada tahun 2016 beberapa pelaksanaan program/kegiatan di Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan melibatkan beberapa lintas sektor yaitu :
1. Program Promosi dan Pemberdayaan Masyarakat, melibatkan PKK
Provinsi/Kabupaten, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Desa dan Kelurahan
dan Instansi Pendidikan (Sekolah Dasar). Pelaksanaan program ini melalui kegiatan
Kegiatan Pengembangan UKBM Generasi Muda dan PSM berupa Lomba Desa
Siaga Tingkat Provinsi, Promosi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan dan
Pengembangan SBH dan UKBM Lainnya.
2. Pogram Perbaikan Gizi Masyarakat, bermitra dengan Inspektorat Daerah Prov.
Sulsel, BPKD, BBPOM, Deperindag, YKLI, PKK, Badan Pemberdayaan Masyarakat
(BPM), Lembaga Perlindungan Anak dan Organisasi Profesi seperti Persagi, IBI dan
IDAI. Pelaksanaan program ini melalui kegiatan Pengawasan penegakan PERDA No.
6 Tahun 2010 dan Pergub No.68 tahun 2011 dan kegiatan Penguatan jejaring dan
mitra LS/LP dalam implementasi PERDA dan PERGUB tentang ASI Eksklusif
3. Program Peningkatan Pengembangan Sistem Perencanaan dan Sistem Evaluasi
Kinerja SKPD, terkait dengan penyusunan Rencana Kerja melaksanakan kegiatan
Forum SKPD yang melibatkan SKPD/Lintas Sektor terkait seperti Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda), Departemen Agama (DEPAG), Dinas Pertanian,
Dinas Ketahanan Pangan, BKKBN, PKK, Badan Pemberdayaan Perempuan dan lintas
sektor terkait lainnya.
4. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) , melalui kegiatan
Sosialisasi dan Advokasi PEMDA dalam rangka integrasi kesehatan gratis ke dalam
JKN/BPJS dan kegiatan Pertemuan Kemitraan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Masyarakat. Pelaksanaan kegiatan tersebut melibatkan SKPD/Lintas Sektor terkait
seperti Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Sosial, Badan Pengelola Keuangan Daerah
(BPKD), Media Cetak, Media Elektronik dan lintas sektor terkait lainnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :
1. Adanya Kelompok-kelompok Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara sukarela mendukung pelaksanaan
kegiatan pembangunan kesehatan.
2. Kemajuan Teknologi di bidang informasi dalam mempermudah penyampaian pesan-
pesan kesehatan yang memperbanyak dan memperuat jejaring/mitra dalam
implementasi program/kegiatan pembangunan kesehatan.
Hambatan/Masalah yang dihadapi dalam mencapai sasaran ini, antara lain :
- Belum semua sektor menyadari pentingnya program/kegiatan yang dilaksanakan
untuk tujuan bersama dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga
beban tanggungjawab dirasa hanya pada SKPD teknis yang bersangkutan langsung.
- Kesibukan masing-masing sektor pada pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam
dokumen anggaran masing-masing sehingga pencapaian sasaran kurang maksimal.
- Tidak terjalinnya pertemuan rutin, dimana terkadang lintas sektor/program hanya
bertemu pada saat ada pertemuan formal.
- Pergantian personil di masing-masing instansi/sektor yang terlibat dalam suatu
kelompok kerja pada kegiatan kesehatan sehingga perlu adaptasi dan sosialisasi ulang
pemahaman pelaksanaaan program.
- Faktor geografis, sehingga akses dalam pemberian pelayanan dan pelaksanaan
kegiatan pembangunan kesehatan tidak optimal.
Strategi Pemecahan Masalah :
- Perlunya kesepakatan yang diperkuat dengan regulasi mengenai tugas dan fungsi
masing-masing lintas sektor terkait dalam pelaksanaan program/kegiatan.
- Distribusi tenaga kesehatan dan sektoral terkait secara merata dan proporsional
khususnya pada daerah terpencil, pedalaman dan kepulauan (DTPK) yang diperkuat
dengan regulasi terkait mutasi dan mobilisasi pegawai.
‘’ Meningkatnya Sarana Pelayanan yang Berkualitas’’
Sasaran ini diukur melalui 17 (tujuh belas) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 101,76%. Hasil pengukuran capaian kinerja sasaran
Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 10.
Capaian Kinerja Sasaran 6
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
1. Jumlah RS yang
Terakreditasi Internasional
Tidak
ditargetkan
untuk tahun
ini
1 RS -
2. Jumlah RS yang
Terakreditasi Nasional 5 RS 31 RS 160%
3. Jumlah Regulasi yang
Dihasilkan 1 Dokumen 1 Dokumen
>100%
4. Persentase RS Pemerintah
yang Telah Mempunyai
Registrasi
100% (32 RS)
100%
(32 RS)
100%
5. Persentase RS Swasta
yang Telah Mempunyai
Registrasi
80% (40 RS)
95,74%
(45 RS)
119,67%
6. Persentase RS Pemerintah
yang Telah Melaksanakan
Penetapan Klas
100%
100%
100%
7. Persentase RS Swasta
yang Telah Melaksanakan
Penetapan Klas
80% (40 RS)
89,36%
(42 RS)
111,7%
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
8. Persentase RS Non
Rujukan Pusat minimal
Klas C
100% (26 RS)
88,46%
(23 RS)
88,46%
9. Persentase RS Pusat
Rujukan Sebagai Klas B 100% (6 RS) 100% (6 RS) 100%
10. Persentase RS Pemerintah
yang Memiliki Izin
Operasional Rumah Sakit
80% (26 RS)
100%
(32 RS)
125%
11. Persentase RS Swasta
yang Memiliki Izin
Operasional Rumah Sakit
70% (35 RS)
100%
(45 RS)
142,86%
12. Persentase RS yang
Melaksanakan SPGDT
(Sistem Penanganan
Gawat Darurat Terpadu)
23% (20 RS)
31,63%
(31 RS)
155%
13. Persentase RS
Prov/Kabupaten/Kota
yang telah menjadi BLU
83% (27 RS)
78,12%
(25 RS)
95,59%
14. Persentase RS yang
Melakukan Pelaporan
SIRS On Line
80% (70 RS)
>100%
(88 RS)
125%
15. Jumlah Puskesmas yang
Telah Melaksanakan
Akreditasi Pelayanan
6 PKM 135 PKM 100%
16. Cakupan Pelayanan
Gawat Darurat Level 1
yang Harus diberikan
Sarana Kesehatan (RS) di
Kabupaten/Kota
100% 100% 100%
17. Persentase RS sebagai
Wahana Internship 100% (21 RS) 109,5% (23 RS) 109,52%
Rata-rata Capaian 101,76%
Berdasarkan hasil pengukuran kinerja dari 17 indikator pada sasaran ini, 15
indikator kinerja telah mencapai bahkan melebihi target yang ditetapkan. Sedangkan 2
indikator kinerja lainnya yang belum mencapai target yaitu :
1. Persentase RS Prov/Kabupaten/Kota yang telah menjadi BLU belum mencapai 100%
target (95,59%) namun telah dikategorikan baik karena capaiaannya telah di atas 95%.
2. Persentase RS Non Rujukan Pusat minimal Klas C, capaian kinerja belum mencapai
angka yang ditargetkan (88,46%).
Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :
1. Jumlah RS yang Terakreditasi Internasional
Akreditasi Rumah Sakit adalah suatu proses dimana suatu lembaga independen
baik dari dalam atau pun luar negeri, biasanya non pemerintah, melakukan assesment
terhadap Rumah Sakit berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. Rumah Sakit yang
telah terakreditasi akan mendapatkan pengakuan dari Pemerintah karena telah
memenuhi standar pelayanan dan manajemen yang ditetapkan.
Untuk menentukan apakah suatu Rumah Sakit telah terakterditasi Internasional
haruslah memenuhi standar akreditasi internasional JCI (Joint Commission
International). JCI merupakan standard yang dibuat agar pelayanan kesehatan Rumah
Sakit berfokus kepada pasien dan diterapkan sesuai dengan budaya setempat untuk
peningkatan mutu pelayanan secara berkesinambungan. Standar disini dimaksudkan
sebagai suatu tingkat kualitas pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien yang
diharapkan.
Pencapaian Standar JCI Rumah Sakit tersebut diharapkan dimulai dari input
yaitu berupa sumber daya yang ada di Rumah Sakit meliputi staff yang kompeten dan
fasilitas yang memadai. Dengan adanya input yang baik diharapkan mampu
menciptakan proses layanan yang baik pula. Pada proses pelayanan berupa kegiatan
pelayanan Rumah Sakit dilakukan sesuai SOP(standard operational procedure) dan
Guidelines. Adanya SDM, fasilitas dan proses yang baik maka hasil atau output
dimungkinkan baik. Output tersebut harus selalu dipantau dan diukur dengan
indicator-indikator capaian layanan.
Sejak tahun 2014, RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo adalah satu-satunya Rumah
Sakit di Provinsi Sulawesi Selatan yang telah memenuhi standar JCI dan ditetapkan
sebagai Rumah Sakit terakreditasi Internasional. Pada tahun 2016 ini tidak ditargetkan
untuk indikator Rumah Sakit terakreditasi Internasional, namun telah dilaksanakan
studi kelayakan untuk persiapan RS Internasional di 3 (tiga) Lokus di Provinsi Sulawesi
Selatan yaitu Kota Pare-pare, Palopo dan Bantaeng. Hasil Studi Kelayakan telah
dilaporakan kepada Pemerintah dan menunggu tindak lanjut pelaksanaan
pengembangan program tersebut. Selain itu juga dilaksanakan kegiatan Workshop
Akreditasi RS menuju Akreditasi Internasional, kegiatan ini dimaksudkan agar RS yang
telah memiliki Akreditasi Nasional dapat memahami dan menyiapkan diri dalam
pengelolaan RS menuju tingkat Akreditasi Internasional.
2. Jumlah RS yang Terakreditasi Nasional
KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) merupakan lembaga resmi yang ditunjuk
dan berwenang untuk melakukan survei verivikasi dan survei akreditasi di tingkat
Nasional, untuk selanjutnya memutuskan predikat Akreditasi yang tepat untuk suatu
Rumah Sakit. Sebagai lembaga independen pelaksana akreditasi Rumah Sakit yang
bersifat fungsional dan nonstruktural, KARS bertanggung jawab kepada Menteri
Kesehatan RI. Standar penetapan Akreditasi Rumah Sakit yang digunankan
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI Nomor HK.02.04/I/2790/11 tentang Standar Akreditasi RS.
Pada tahun 2015 sebanyak 8 RS berstatus akreditasi Nasional, jumlah ini
mengalami peningkatan hingga akhir tahun 2016, tercatat sebanyak 31 RS di Provinsi
Sulawesi Selatan yang telah mendapat predikat terakreditasi Nasional dari KARS,
terdiri atas 17 RS Pemerintah yaitu 9 RS terakreditasi tingkat Perdana, 2 RS
terakreditasi tingkat Dasar, 2 RS terakreditasi tingkat Utama dan 4 RS terakreditasi
tingkat Paripurna. Untuk RS Swasta sebanyak 14 RS, terdiri dari 9 RS terakreditasi
tingkat Perdana, 1 RS terakreditasi tingkat Dasar, 1 RS terakreditasi tingkat Utama dan
3 RS terakreditasi tingkat Paripurna. Kegiatan yang mendukung tercapainya indikator
sasaran ini yaitu Peningkatan Kapasitas Tenaga Front Office RS yang diharapkan
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat memberikan informasi awal
mengenai gambaran pelayanan yang diberikan di RS tersebut sesuai dengan
harapan pasien.
3. Jumlah Regulasi yang dihasilkan
Kemajuan teknologi informasi dewasa ini telah membuat setiap orang dapat
dengan mudak mengakses jalur online untuk memperoleh informasi dan referensi
apapun sesuai dengan kebutuhannya. Namun di sisi lain, tidak setiap orang mampu
mengakses informasi tersebut dengan mudah, khususnya bagi tenaga-tenaga
kesehatan yang bertugas pada daerah DTPK, sehingga untuk memudahkan Rumah
Sakit memperoleh informasi tentang Norma, Standar, Peraturan dan Kebijakan (NSPK)
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan menerbitkan dokumen regulasi dengan
harapan menjadi acuan bagi Rumah Sakit dalam membenahi, mengelola dan
menyiapkan diri untuk menghadapi perkembangan standarisasi standar yang
ditetapkan karena masyarakat menghendaki pelayanan kesehatan yang aman dan
bermutu serta dapat menjawab kebutuhan mereka terlebih terkait manajemen resiko
dan keselamatan pasien harus menjadi prioritas utama dalam pemberian pelayanan.
Beberapa Dokumen Regulasi yang dihasilkan selama periode Renstra Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi terkait standarisasi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit,
antara lain :
- Tahun 2014 dihasilkan 1 dokumen regulasi tentang Pedoman Penyelenggaraan
Anesthesi Rumah Sakit.
- Tahun 2015 dihasilkan 2 dokumen regulasi yaitu Petunjuk Teknis Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit dan Pedoman Penyelenggaraan ICU di Rumah Sakit.
- Tahun 2016 dihasilkan 1 dokumen regulasi yaitu Petunjuk Teknis SPGDT (Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu)
4. Persentase RS Pemerintah yang telah mempunyai Registrasi
Setiap Rumah Sakit baik milik Pemerintah maupun Swasta wajib melakukan
registrasi pada Kementerian Kesehatan RI yang berupa pencatatan dasar untuk
mendpatkan Nomor Identitas Rumah Sakit yang berlaku secara Nasional. Registrasi
tersebut dilakukan secara online pada situs resmi Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan. Registrasi Rumah Sakit diarahkan untuk peningkatan akses, keterjangkauan
dan kualitas pelayanan kesehatan yang aman di Rumah Sakit melalui pembangunan
sarana dan prasarana Rumah Sakit di daerah sesuai dengan standar. Sejak tahun
2013 sampai dengan sekarang, sudah 100% RS milik Pemerintah di Sulawesi Selatan
yang telah melakukan registrasi pada Kementerian Kesehatan yaitu tercatat sampai
dengan bulan Desember 2016, sebanyak 32 RS telah teregistrasi.
5. Persentase RS Swasta yang telah mempunyai Registrasi
Selain Rumah Sakit milik Pemerintah, Rumah Sakit Swasta juga mempunyai
kewajiban untuk melakukan Registrasi pada Kementerian Kesehatan RI. Registrasi
Rumah Sakit merupakan pencatatan resmi terhadap seluruh institusi pelayanan
kesehatan baik pemerintah maupun swasta untuk mengetahui status dan
keberadaannya. Pada tahun 2016 sebanyak 45 RS Swasta yang telah mempunyai
Registrasi pada Kementerian Kesehatan RI. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan
dengan kondisi tahun sebelumnya yaitu sebanyak 39 RS pada tahun 2015 dan telah
melebihi jumlah yang ditargetkan (40 RS).
6. Persentase RS Pemerintah yang telah melaksanakan penetapan klas
Kebijakan pemerintah dalam penetapan kelas dan registrasi Rumah Sakit RS
diarahkan untuk peningkatan akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan
yang aman di RS melalui pembangunan sarana dan prasarana RS di daerah sesuai
dengan standar. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, bahwa untuk
meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, perlu dilakukan penyempurnaan sistem
perizinan dan klasifikasi Rumah Sakit sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pelaksanaan pelayanan ini
dilakukan melalui mekanisme satu pintu yang disebut dengan pusat pelayanan
terpadu. Pelaksanaan pelayanan terpadu penetapan kelas dan registrasi Rumah Sakit
merupakan upaya Kementerian Kesehatan memperpendek birokrasi pelayanan yang
panjang dan kurang efisien.
Pengajuan Usulan penetapan kelas RS ditujukan kepada Menkes c.q Dirjen Bina
Pelayanan Medik untuk dilakukan scoring oleh Tim Penilai Penetapan Kelas RS dengan
melampirkan :
- Surat usulan penetapan kelas RS dari pemilik RS kepada Menkes RI
- Rekomendasi Dinkes Propinsi
- Profil dan data RS
- Isian Instrument Self Assessment
Capaian Kinerja untuk indikator ini memperlihatkan sebesar 100% atau
sebanyak 32 RS milik Pemerintah di Sulawesi Selatan (26 RS Kabupaten/Kota dan 6 RS
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan).
7. Persentase RS Swasta yang telah melaksanakan penetapan klas
Seluruh RS baik RS Pemerintah maupun swasta yang belum ditetapkan
Klasifikasinya segera mengajukan Penetapan Kelas RS. Kriteria dan tatacara klasifikasi
Rumah Sakit umum ini berlaku untuk RSU milik Depkes, Pemda, termasuk TNI/POLRI,
BUMN, dan RS swasta. Direktur dan Pemilik RS serta pihak yang terkait
bertanggungjawab atas pemenuhan kriteria dan tatacara yang ditempuh dengan
diterbitkannya keputusan Penetapan Kelas RS.
Di tahun 2016, sebanyak 42 RS (89,36%) Rumah Sakit Swasta telah
melaksanakan Penetapan Kelas, walaupun belum 100% namun jumlah ini sudah
melebihi target yang ditetapkan yaitu sebanyak 40 RS (80%) dan bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, jumlah ini bertambah 3 RS yaitu sebanyak 37 RS di tahun
2015. Sedangkan itu untuk 2 RS Pendidikan, 2 RS milik Pemerintah Pusat (Vertikal) dan
7 RS milik TNI/Polri juga telah melaksanakan Penetapan Kelas.
8. Persentase RS Non Rujukan menjadi Kelas C
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, yang dimaksud dengan Rumah Sakit Umum Kelas C adalah Rumah Sakit
Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
(empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. Jenis pelayanan
spesialis yang harus dipenuhi yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah,
pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan.
Rumah Sakit kelas C ini adalah Rumah Sakit yang didirikan di Kota atau
kabupaten-kapupaten sebagai faskes tingkat 2 yang menampung rujukan dari fasilitas
pemberi pelayanan kesehatan tingkat 1 (Puskesmas/Poliklinik atau dokter pribadi).
Sampai dengan Desember tahun 2016 tercatat sebanyak 23 RS Pemerintah
merupakan Rumah Sakit Kelas C.
9. Persentase RS Pusat Rujukan sebagai Kelas B
Sistem Rujukan adalah penataan sistem rujukan dengan membagi wilayah
provinsi kedalam beberapa regional, dimana setiap regional mempunyai satu Rumah
Sakit yang mengakomodir beberapa Rumah Sakit dari Kabupaten/Kota sekitarnya.
Adanya Perubahan/Kenaikan Kelas RS secara langsung menunjukkan adanya
peningkatan kualitas dan mutu layanan yang diberikan RS yang bersangkutan, ini
berarti pelayanan yang diberikan meningkat satu tahap lebih baik dari
sebelumnya.Peningkatan Kelas RS ini juga tidak terlepas dari komitmen Pemerintah
Kabupaten/Kota tersebut untuk membenahi permasalahan Rumah Sakit, dari
infrastruktur maupun kualitas dan kuantitas SDM Kesehatan di daerah tersebut
khususnya untuk pemenuhan tenaga medis terutama dokter spesialis maupun
penambahan fasilitas secara berkelanjutan.
Data pencapaian kinerja indikator ini memperlihatkan peningkatan jumlah RS
Pusat Rujukan sebagai Kelas B dimana sebanyak 4 RS di tahun 2014, meningkat
menjadi 6 RS (100%) di tahun 2015 hingga sekarang. Enam RS tersebut mewakili 6
Regionalisasi Rujukan di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai berikut :
1. Region Timur : Rumah Sakit Sawerigading Kota Palopo
Sebagai pusat rujukan dari RS Andi Djemma KabupatenLuwu Utara, RS I Lagaligo
Kabupaten Luwu Timur, RS Batara Guru Belopa Kabupaten Luwu dan RS
Lakipadada Kabupaten Tana Toraja.
2. Region Utara : Rumah Sakit Andi Makkasau Kota Pare-Pare
Sebagai pusat rujukan dari RS Lasinrang Kabupaten Pinrang, RS Nene Mallomo
dan RS Arifin Nu’mang Kabupaten Sidrap dan RS Masserempulu Kabupaten
Enrekang.
3. Region Tenggara : Rumah Sakit Tenriwaru Kaupaten Bone
Sebagai pusat rujukan dari RSUD Kabupaten Wajo dan RS Ajappangnge
Kabupaten Soppeng.
4. Region Selatan : Rumah Sakit Andi Sulthan Daeng Radja Kabupaten Bulukumba
Sebagai pusat rujukan dari RS Kabupaten Sinjai, RS Prof. Dr. H.M Anwar Makkatutu
Kabupaten Bantaeng dan RS Kabupaten Selayar.
5. Region Gerbang Utara : Rumah Sakit Daya Makassar
Sebagai pusat rujukan dari RS Kabupaten Pangkep, RS Kabupaten Barru, RS
Salewangang Kabupaten Maros dan penduduk yang berdomisili disisi utara Kota
Makassar.
6. Region Gerbang Selatan : Rumah Sakit Labuang Baji Makassar
Sebagai pusat rujukan dari RS Lanto Dg. Pasewang Kabupaten Jeneponto, RS H.
Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten Takalar, RS Syekh Yusuf Kabupaten Gowa dan
masyarakat yang berdomisili di sebelah Selatan Kota Makassar.
10. Persentase RS Pemerintah yang Memiliki Izin Operasional Rumah Sakit
Izin Operasional Rumah Sakit merupakan izin yang diberikan kepada pengelola
Rumah Sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Izin Operasional berlaku
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan. Perpanjangan izin operasional tersebut dilakukan dengan mengajukan
permohonan perpanjangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum habis masa
berlakunya izin operasional.
Data menunjukkan, sampai dengan bulan Desember tahun 2016 jumlah Rumah
Sakit Pemerintah yang memiliki izin operasional Rumah Sakit sebanyak 100% (32 RS),
Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2015 yaitu sebanyak 27 RS dan
telah melebihi jumlah yang ditargetkan (26 RS). Kegiatan yang dilaksanakan untuk
mendukung tercapainya indikator ini yaitu Pemantauan dan Pembinaan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Pemberian Izin RS Pemerintah.
11. Persentase RS Swasta yang Memiliki Izin Operasional Rumah Sakit
Jumlah Rumah Sakit swasta yang memiliki izin operasional Rumah Sakit tahun
2016 sebanyak 45 RS, telah melebihi jumlah yang ditargetkan (35 RS) dan meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 37 RS di tahun 2015 dan 27
RS di tahun 2014.
Setiap Rumah Sakit yang telah mendapatkan izin operasional harus diregistrasi,
diakreditasi dan melaksanakan kewajiban pelaporan Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan RI sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Registrasi, akreditasi dan pelaporan merupakan
persyaratan untuk perpanjangan dan perubahan kelas.
12. Persentase RS yang Melaksanakan SPGDT (Sistem Penanganan Gawat Darurat
Terpadu)
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah suau
mekanisme pelayanan korban/pasien gawat darurat yang terintegrasi dan berbasis
Call Center dengan kode akses 119 dengan melibatkan masyarakat. Call Center 119
merupakan satu kesatuan suatu desain sistem dan teknologi menggunakan konsep
pusat panggilan terintegrasi yang meripakan layanan berbasis jaringan komunikasi
khusus bidang kesehatan.
Dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Program
Dekade Aksi Keselamatan Jalan, dimana Kementerian Kesehatan dalam Pilar V RPJMN
yaitu penanganan pra dan pasca kecelakaan dengan SPDGT, semakin memperkuat
pentingya keberadaan Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu/Public Safety Center
yang selanjutnya disebut PSC di setiap Kabupaten/Kota. PSC berdasarkan Permenkes
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
adalah Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal yang
berhubungan dengan kegawatdaruratan yang berada di Kabupaten/Kota yang
merupakan ujung tombak pelayanan untuk mendapatkan respon cepat.
Sampai dengan akhir tahun 2016, jumlah Rumah Sakit yang melaksanakan
SPDGT sebanyak 31 RS, telah melebihi jumlah yang ditargetkan (20 RS) dan meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 24 RS di tahun 2015 dan 10
RS di tahun 2014. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung tercapainya indikator
sasaran ini yaitu Penyusunan Petunjuk Teknis SPDGT yang menjadi referensi dan
acuan bagi Rumah Sakit untuk membenahi, mengelola dan menyiapkan diri untuk
menjadi bagian dari sistem SPDGT. Selain itu dilaksanakan kegiatan Monitoring dan
Evaluasi SPDGT di Pusat Rujukan Region (6 Region) untuk mengetahui sejauh mana
pelaksanaan SPDGT di Rumah Sakit Rujukan tersebut.
13. Persentase RS Prov/Kabupaten/Kota yang telah menjadi BLU
Undang-undang mengamanahkan agar mengimplementasikan model
pengelolaaan keuangan BLU (Badan Layanan Umum) pada setiap Rumah Sakit
Pemerintah (Publik). Tahun 2016 ini dilakukan kegiatan Pelatihan Penyusunan Sistem
Remunerasi di Rumah Sakit dan Bimbingan teknis kepada pengelola BLU Rumah Sakit
dalam implementasi pengelolaan RBA dan manajemen pengelolaan keuangan (BLU)
di Rumah Sakit yang sesuai dengan peraturan dan standar yang berlaku.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan terus melakukan pembinaan dan
koordinasi baik kepada RS Provinsi maupun RS di Kabupaten/Kota dalam rangka
mendorong Rumah Sakit menerapkan sistem BLU pada manajemen pengelolaan
keuangannya. Sampai dengan bulan Desember tahun 2016 tercatat sudah 78,12%
(25 RS) dari 32 RS milik Pemerintah yang telah mempunyai SK Penetapan menjadi
BLU. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 21 RS
(tahun 2015) dan 17 RS di tahun 2014.
14. Persentase RS yang Melakukan Pelaporan SIRS On Line
Akurasi data dan ketepatan pelaporan dari RS Kabupaten/Kota ke tingkat
Provinsi dan selanjutnya ke Tingkat Pusat juga merupakan hal penting dalam
pengukuran kinerja pelaksanaan pembangunan kesehatan di Sulawesi Selatan. Oleh
karena itu Kementerian Kesehatan membuat software pencatatan dan pelaporan RS
melalui Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) on line untuk mempermudah dalam
penyampaian ketepatan pelaporan dan informasi kesehatan di RS Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Data terakhir pada tahun 2016 menunjukkan 100% yaitu sebanyak 88
RS di Sulawesi Selatan telah melakukan pelaporan SIRS On Line, angka ini juga
melampau jumlah yang ditargetkan (70 RS) dan mengalami peningkatan jumlah yang
cukup berarti pula yaitu bertambah sebanyak 33 RS dari 42 RS (48,28%) di tahun
2015.
15. Jumlah Puskesmas yang Telah Melaksanakan Akreditasi Pelayanan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 Pasal 39 ayat
(1) juga mewajibkan Puskesmas untuk diakreditasi secara berkala paling sedikit tiga
tahun sekali, demikian juga akreditasi merupakan salah satu persyaratan krudensial
sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan
BPJS, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013
tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional Pasal 6 ayat (2).
Secara bertahap ditargetkan sampai dengan tahun 2019 semua Puskesmas di
Sulawesi Selatan dapat terakreditasi. Tahun 2016 Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan menargetkan sebanyak 6 Puskesmas yang melaksanakan akreditasi pelayanan
dan capaian kinerja yang diperoleh sangat memuaskan. Data menunjukkan dari 151
Puskesmas yang masuk dalam roadmap survey akreditasi, sebanyak 135 Puskesmas
telah melaksanakan akreditasi pelayanan dan sangat meningkat bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (2015) yaitu hanya sebanyak 7 Puskesmas.
16. Cakupan Pelayanan Gawat Darurat Level 1 yang Harus diberikan Sarana Kesehatan
(RS) di Kabupaten/Kota
Salah satu indikator kinerja yang menunjukkan kualitas pemberian pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit diukur melalui Cakupan Penanganan Pelayanan Gawat
Darurat Level 1 yang Harus diberikan Sarana Kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota. Di
tahun 2015 Persentase cakupan indikator ini telah mencapai target (100%) begitupun
capaian pada tahun-tahun sebelumnya telah mencapai 100% (tahun 2014 dan 2013).
Kegiatan yang dilaksanakan di tahun 2016 untuk mendukung pencapaian indikator ini
yaitu Worksop PONEK (Penanganan Obstektik Neonatal Emergency Komprehensif).
Dalam hal pemberian pelayanan kegawatdaruratan, pemberian pelayanan
kesehatan tidak terlepas dari keselamatan pasien dan keluarga namun tetap
memperhatikan hak petugas. Selain itu hak asasi manusia dan responsive gender juga
dipakai dalam standar pemberian pelayanan kesehatan sehingga semua pasien
mendapatkan pelayanan dan informasi yang sebaik-baiknya sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi pasien, tanpa memandang golongan sosial, ekonomi, pendidikan, jenis
kelamin, ras maupun suku.
17. Persentase RS sebagai Wahana Internship
Dalam rangka mendukung peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang
berkualitas di RS baik Pemerintah dan Swasta, Pemerintah Sulawesi Selatan sebagai
unsur Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) turut berperan dalam penempatan
tenaga dokter Internship di beberapa RS di Provinsi Sulawesi Selatan. Dinas Kesehatan
Provinsi berperan dalam pemilihan wahana, pembinaan dan pengawasan
pelaksanaan internship di Sulawesi Selatan. Pemilihan wahana didasarkan pada
berbagai kriteria, di antaranya klasifikasi Rumah Sakit dan keberadaan dokter
pendamping internsip. Internsip berlangsung selama satu tahun dengan rincian
delapan bulan di Rumah Sakit dan empat bulan di Puskesmas. Di tahun 2016 tercatat
sebanyak 23 RS yang berfungsi sebagai wahana internship di Provinsi Sulawesi
Selatan, jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan jumlah tahun sebelumnya
(2015) yaitu sebanyak 21 RS.
Para dokter peserta insternship ini ini diharapkan dapat membantu
mengoptimalkan pelayanan terutama di wahana yang kekurangan tenaga dokter
fungsional. Pertukaran ilmu dan pengalaman dari dokter internsip dengan para dokter
dan tenaga medis lainnya tentu akan berdampak positif bagi pelayanan kesehatan di
wilayah tersebut. Internsip secara langsung atau tidak langsung juga dapat
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan membantu meningkatkan kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Di daerah yang belum memiliki pelayanan
gawat darurat 24 jam, dengan adanya dokter internsip pelayanan tersebut dapat
berjalan tanpa jeda. Para dokter internsip, khususnya di daerah yang masih
kekurangan dokter dapat berperan sebagai role model untuk seluruh anggota
masyarakat.
Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Standarisasi Pelayanan Kesehatan
melalui Program Standarisasi Kesehatan.
Realisasi dana yang digunakan untuk mencapai sasaran tersebut sebessar
Rp 1.390.271.400,- dari anggaran sebesar Rp 1.426.255.740 (97,48%). Realisasi output
rata-rata kegiatan pendukung program sebesar 100%. Realisasi keuangan sebesar
97,48% bila dibandingkan dengan persentase rata-rata capaian kinerja sasaran sebesar
101,76%. Maka dapat diketahui bahwa terdapat efisiensi penggunaan sumber daya dalam
mencapai sasaran tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :
- Adanya regulasi yang mendukung pelaksanaan standarisasi pelayanan kesehatan baik
di tingkat Puskesmas dan Rumah Sakit.
- Dukungan Pemerintah Pusat dan Provinsi/Kabupaten/Kota baik berupa anggaran dan
Perda Kabupaten/Kota untuk pelaksanaan standarisasi pelayanan kesehatan.
- Kerjasama lintas sektor dalam hal ini BPJS dalam hal pengelolaan pembiayaan JKN,
KARS sebagai lembaga penilai Akreditasi Rumah Sakit standar nasional dan JCI untuk
penilaian akreditasi standar internasional.
- Tersedianya forum komunikasi sebagai wahana untuk berdiskusi dan koordinasi
pelaksanaan pendampingingan dan survey akreditasi.
Hambatan/Masalah :
1. Tim Pendamping akreditasi di Kabupaten/Kota terbatas baik dari kuantitas dan
kompetensinya, disebabkan adanya mutasi dan kurangnya pemahaman terhadap
akreditasi.
2. Masih ada daerah yang belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan akreditasi
sehingga belum dianggarkan dalam pendanaan APBD daerah yang bersangkutan dan
lambatnya pencairan anggaran untuk akreditasi sehingga memperlambat
pelaksanaan akreditasi.
3. Kurangnya komitmen dan konsistensi SDM Kesehatan (terutama ego sektoral tenaga
ahli) terhadap tanggungjawab kinerja dan peningkatan mutu pelayanan yang harus
diberikan.
4. Adanya dampak eksternal pada masyarakat berupa pandangan “Stigma Negatif”
terhadap RS milik Pemerintah, adanya kasus-kasus tuntutan pada suatu RS tentang
anggapan terhadap mutu pelayanan hingga dugaan malpraktik yang memperbesar
pandangan negatif tersebut sehingga kurangnya kepercayaan masyarakat untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan di fasilitas tersebut.
5. Sumber Daya beberapa RS di Kabupaten/Kota belum memadai baik sarana,
prasarana dan SDM Kesehatan karena tidak meratanya distribusi tenaga spesialistik
sehingga untuk kasus-kasus yang seharusnya bisa ditangani di tingkat Rujukan
pertama belum bisa berjalan optimal sehingga terjadi penumpukan pasien pada RS
Pusat Rujukan, didukung belum optimalnya manajemen pengelolaan SOP sehingga
menyebabkan peningkatan kelas yang ditargetkan belum tercapai.
Strategi Pemecahan Masalah :
1. Menambah tim pendamping akreditasi
2. Perlunya ketegasan regulasi yang mengatur kewajiban SDMK terhadap
tanggungjawab kinerja dan peningkatan mutu pelayanan yang harus diberikan. Pada
tahun 2016 telah dikeluarkan Surat Edaran Gubernur Sulawesi Selatan tentang Jam
Kerja PNS di Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah fasilitas pelayanan
di daerah tersebut dan melakukan bimbingan teknis akreditasi sebagai langkah untuk
meningkatkan kompetensi pendamping.
3. Advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap pentingnya pelaksanaan
akreditasi untuk mutu pemberian pelayanan kesehatan di daerahnya.
4. Perbaikan manajemen pengelolaan Rumah Sakit utamanya peningkatan mutu
pelayanan dan strategi pemasaran untuk membangun kepercayaan masyarakat untuk
memanfaatkan fasilitas pelayanan.
5. Peningkatan dan advokasi kepada Pemerintah Daerah untuk penyediaan Sumber
Daya beberapa RS di Kabupaten/Kota, utamanya dalam penempatan tenaga
fungsional strategis/spesialistik.
‘’ Meningkatnya Ketersediaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) yang Proporsional’’
Sasaran ini diukur melalui 9 (Sembilan) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 102,94%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 11.
Capaian Kinerja Sasaran 7
No.
Indikator Kinerja
Target
Realisasi
Capaian
1. Rasio Dokter Umum per
100.000 penduduk
19/100.000
penduduk
17/100.000
penduduk 89,75%
2. Rasio Dokter Spesialis
per 100.000 penduduk
11/100.000
penduduk
16/100.000
penduduk 145,45%
3. Rasio Dokter Gigi per
100.000 penduduk
14/100.000
penduduk
8/100.000
penduduk 57,14%
4. Rasio Apoteker per
100.000 penduduk
13/100.000
penduduk
11/100.000
penduduk 84,61%
5. Rasio Perawat per
100.000 penduduk
97/100.000
penduduk
136/100.000
penduduk 140,21%
6. Rasio Bidan per 100.000
penduduk
54/100.000
penduduk
59/100.000
penduduk 109,26%
No.
Indikator Kinerja
Target
Realisasi
Capaian
7. Rasio Ahli Gizi per
100.000 penduduk
14/100.000
penduduk
14/100.000
penduduk 100%
8. Rasio Ahli Sanitasi per
100.000 penduduk
15/100.000
penduduk
15/100.000
penduduk 100%
9.
Rasio Ahli Kesehatan
Masyarakat per 100.000
penduduk
23/100.000
penduduk
23/100.000
penduduk 100%
Rata-rata Capaian 102,94%
Berdasarkan tabel hasil pengukuran kinerja sasaran ini, dari 9 (sembilan) indikator
kinerja di atas terdapat 6 (enam) indikator kinerja yang telah mencapai dan melebihi
target yaitu :
1) Rasio Dokter Spesialis per 100.000 penduduk
2) Rasio Perawat per 100.000 penduduk
3) Rasio Bidan per 100.000 penduduk
4) Rasio Ahli Gizi per 100.000 penduduk
5) Rasio Ahli Sanitasi per 100.000 penduduk
6) Rasio Ahli Kesehatan Masyarakat per 100.000 penduduk
Sedangkan 3 (tiga) indikator rasio ketenagaan lainnya yang belum mencapai
target yaitu :
1) Rasio Dokter Umum per 100.000 penduduk
2) Rasio Dokter Gigi per 100.000 penduduk
3) Rasio Apoteker per 100.000 penduduk
Diharapkan di kondisi akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan telah mencukupi dan memenuhi angka yang
ditargetkan karena Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu fokus
prioritas pembangunan kesehatan dalam kurun waktu 2013 – 2018. Hal ini antara lain
disebabkan karena Penetapan pengembangan sumber daya manusia masih
menghadapi masalah tenaga kesehatan, baik jumlah, kualitas maupun distribusinya.
Dari pendataan tenaga kesehatan di tahun 2016, ketersediaan tenaga kesehatan di
Provinsi Sulawesi Selatan diperoleh data jumlah Dokter Umum sebanyak 809 orang,
Dokter Spesialis sebanyak 392 orang, Dokter Gigi sebanyak 499 orang, Perawat sebanyak
7.128 orang, Bidan sebanyak 4.236 orang, Tenaga Farmasi, Apoteker dan Asisten
Apoteker sebanyak 938 orang, Tenaga Kesehatan Masyarakat sebanyak 1.166 orang,
tenaga Kesehatan Lingkungan sebanyak 683 orang, tenaga Gizi sebanyak 753 orang,
tenaga keterapian fisik sebanyak 137 orang dan tenaga keteknisan medis sebanyak 748.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :
- Dukungan Pemerintah Pusat dan Provinsi/Kabupaten/Kota baik berupa anggaran dan
Regulasi dalam peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.
- Kerjasama lintas sektor dalam hal ini Perguruan Tinggi dalam penyediaan tenaga-
tenaga kontrak spesialistik dan internship.
Hambatan/Masalah:
1. Pengelola Program SDMK kabupaten/Kota belum mampu menyusun dokumen
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan diwilayah kerja masing-masing.
2. Kurangnya Jumlah dan jenis tenaga teknis kesehatan terbatas terhadap standar
minimal tenaga kesehatan per unit kerja per penduduk yang dilayani.
3. Kecenderungan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam peningkatan status dan perluasan
sarana kesehatan tanpa mempertimbangkan faktor ketersediaan tenaga kesehatan.
4. Belum meratanya penyebaran tenaga kesehatan fungsional strategis khususnya pada
daerah-daerah terpencil dan kepulauan (DTPK).
5. Akurasi dan koordinasi data antara pengelola data di dinas Kesehatan Provinsi,
Kabupaten/Kota dan RS Pemerintah/Swasta masih kurang.
Strategi Pemecahan Masalah :
Tahun 2016 untuk mengatasi permasalahan di bidang ketenagaan, beberapa
langkah yang diambil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan Strategi
yang diambil Kementerian Kesehatan RI untuk mewujudkan Visi, mengemban Misi dan
guna mencapai tujuan pengembangan tenaga kesehatan dalam tahun 2025, maka
ditempuh strategi sebagai berikut :
1. Penguatan regulasi pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan.
Penguatan regulasi untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan
tenaga kesehatan melalui percepatan pelaksanaannya, peningkatan kerjasama lintas
sektor dan peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah.
Tahun 2016, kegiatan yang dilaksanakan antara lain Pertemuan Pengelola
Program Sumber Daya Kesehatan (SDK) dan Pertemuan Evaluasi Program SDK dalam
rangka Pemenuhan Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Jumlah Penduduk.
2. Peningkatan Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan.
Kebutuhan tenaga kesehatan guna mendukung pembangunan kesehatan harus
disusun secara menyeluruh, baik untuk fasilitas kesehatan milik pemerintah secara
lintas sektor termasuk pemerintah daerah dan swasta, serta mengantisipasi keadaan
darurat kesehatan dan pasar bebas di era globalisasi. Di samping itu kebutuhan
tenaga kesehatan guna mendukung manajemen kesehatan (administrator dan
regulator), pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, penelitian dan
pengembangan kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan,
perlu pula disusun kebutuhannya. Pengelolaan perencanaan, sumber daya
pendukung dan pengembangan perencanaan penting untuk ditingkatkan.
Kegiatan yang dilaksanakan yaitu Pendataan Tenaga Kesehatan di
Kabupaten/Kota, Pendataan Tenaga Kesehatan Asing di Kabupaten/Kota, Pertemuan
Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan berdasarkan Rasio Terhadap Jumlah
Penduduk.
3. Peningkatan dan Pengembangan Pengadaan/Pendidikan Tenaga Kesehatan.
Pengadaan/pendidikan tenaga kesehatan ditingkatkan dan dikembangkan guna
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan, manajemen
kesehatan, pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, penelitian dan
pengembangan kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
Peningkatan dan pengembangan pengadaan/pendidikan tenaga kesehatan, dilakukan
melalui penambahan jumlah institusi pendidikan tenaga kesehatan tertentu sesuai
kebutuhannya, akreditasi institusi pendidikan tenaga kesehatan, serta sertifikasi tenaga
pengajar, termasuk peningkatan sarana dan fasilitas belajar mengajar.
Pendidikan tenaga kesehatan perlu ditingkatkan dan disusun secara terarah dan
menyeluruh dalam kerangka mewujudkan keterkaitan yang harmonis, efektif dan
efisien antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan.
4. Peningkatan Pendayagunaan Tenaga Kesehatan.
Pendayagunaan tenaga kesehatan meliputi penyebaran tenaga kesehatan yang
merata dan berkeadilan, pemanfaatan tenaga kesehatan, dan pengembangan tenaga
kesehatan termasuk peningkatan karirnya. Peningkatan pendayagunaan tenaga
kesehatan diupayakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kesehatan di
semua lini dari daerah sampai pusat secara lintas sektor, termasuk swasta, serta
memenuhi kebutuhan pasar dalam menghadapi pasar bebas di era globalisasi.
Pengembangan tenaga kesehatan termasuk peningkatan karirnya dilakukan
melalui peningkatan motivasi tenaga kesehatan untuk mengembangkan diri, dan
mempermudah tenaga kesehatan memperoleh akses terhadap pendidikan dan
pelatihan yang berkelanjutan. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan dilakukan
melalui pengembangan standar pelatihan tenaga kesehatan guna memenuhi standar
kompetensi yang diharapkan oleh pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk
Indonesia. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan, juga dilakukan melalui akreditasi
institusi pelatihan tenaga kesehatan, serta sertifikasi tenaga pelatih.
5. Pembinaan dan Pengawasan Mutu Tenaga Kesehatan.
Pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dilakukan melalui
peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam
pengembangan tenaga kesehatan serta legislasi yang meliputi antara lain sertifikasi
melalui uji kompetensi, registrasi, perizinan (licensing), dan hak-hak tenaga kesehatan.
Hak-hak tenaga kesehatan tersebut antara lain meliputi kesejahteraan dan
kesempatan yang seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan
karirnya. Kegiatan yang dilaksanakan di tahun 2016 yaitu Pertemuan dalam rangka
Pembinaan dan pengawasan Tenaga Kesehatan.
6. Penguatan Sumber Daya Pengembangan Tenaga Kesehatan
Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangan dan
pemberdayaan tenaga kesehatan dilakukan melalui peningkatan kapasitas SDM
Kesehatan, penguatan sistem informasi tenaga kesehatan, serta peningkatan
pembiayaan dan fasilitas pendukung lainnya. Tahun 2016 dilakukan strategi ini
didukung oleh pelaksanaan kegiatan Pertemuan Evaluasi Pemenuhan Tenaga
Kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas.
‘’ Meningkatnya Ketersediaan Obat
dan Perbekalan Kesehatan’’
Sasaran ini diukur melalui 4 (Empat) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 86,73%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 12.
Capaian Kinerja Sasaran 8
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
1. Persentase Ketersediaan
Obat Generik 85% 85% 100%
2. Persentase Pengawasan Obat
dan Makanan yang layak,
bermutu dan aman
dikonsumsi masyarakat
50% 35% 70%
3. Persentase Kualitas
Pelayanan Kefarmasian pada
sarana pelayanan obat
tradisional
50% 50% 100%
4. Persentase Kualitas
Kefarmasian dalam
Pengembangan Obat Asli
Indonesia
65% 50% 76,92%
Rata-rata Capaian 86,73%
Berdasarkan tabel hasil pengukuran kinerja sasaran ini, dari 4 (empat) indikator
kinerja di atas terdapat 2 (Dua) indikator kinerja yang telah mencapai dan melibihi target
baru yaitu : Persentase Ketersediaan Obat Generik dan Persentase Kualitas Pelayanan
Kefarmasian pada sarana pelayanan obat tradisional. Sedangkan dua indikator lainnya
yaitu Persentase Pengawasan Obat dan Makanan yang layak, bermutu dan aman
dikonsumsi masyarakat dan Persentase Kualitas Kefarmasian dalam Pengembangan
Obat Asli Indonesia belum mencapai target yang ditentukan dalam Renstra.
Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :
1. Persentase Ketersediaan Obat Generik
Data pengukuran kinerja sasaran ini menunjukkan bahwa persentase
Ketersediaan Obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota telah mencapai angka yang
ditargetkan (85%) dan meningkat bila dibandingkan dengan capaian tahun lalu (tahun
2015 = 80%). Adanya data ketersediaan obat di Kabupaten/Kota akan mempermudah
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan dalam penyusunan prioritas bantuan maupun intervensi program di masa
yang akan datang terkait penyediaan obat esensial bagi masyarakat melalui
pengadaan obat Buffer Stock Provinsi sebagai penyanggah dari obat pelayanan
kesehatan dasar yang dimiliki oleh seluruh Kabupaten/kota. Ketersediaan obat buffer
stock tersebut diperuntukkan sebagai :
1. Obat penyanggah bagi kekosongan obat dari 24 Kabupaten/kota (dalam hal ini
Kabupaten/kota yang anggaran obatnya di bawah 500 juta rupiah), khususnya
pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas).
2. Suplay obat pada saat terjadinya keadaan bencana baik dalam skala Provinsi
maupun skala regional timur.
3. Suplay obat dalam keadaan Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam skala Provinsi.
Dalam memacu pencapaian indikator ini, Dinas Kesehatan Provinsi melakukan
beberapa kegiatan seperti Harmonisasi Integrasi Pengelola Obat dan Pengelola
Program Kesehatan termasuk vaksin dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas
dalam pengelolaan obat secara bersama serta untuk penguatan Kebijakan Satu Pintu
dalam manajemen tata kelola obat, kegiatan Pelatihan Penyusunan Rencana
Kebutuhan Obat (RKO) antara pengelola obat dan penanggungjawab program serta
pelaksanaan kegiatan Monitoring Ketersediaan Obat di sarana pengelolaan obat di
Kabupaten/Kota.
2. Persentase Pengawasan Obat dan Makanan yang layak, bermutu dan aman
dikonsumsi masyarakat
Persentase Pengawasan Obat dan Makanan yang layak, bermutu dan aman
dikonsumsi masyarakat pada tahun sebesar 35% dan belum mencapai angka yang
ditargetkan (50%). Tahun 2016, beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai
target kinerja indikator ini antara lain Pembinaan dan pengawasan pangan di
Kabupaten/Kota khususnya bagi produsen makanan yang ditujukan agar makanan
yang diproduksi memenuhi standar mutu keamanan bagi kesehatan, kegiatan
Monitoring dan Evaluasi MJAS (Makanan Jajanan Anak Sekolah) yang bertujuan
meningkatkan kapasitas petugas terhadap kualitas jajanan yang layak konsumsi untuk
anak sekolah. Kualitas jajanan yang kurang baik merupakan masalah serius yang akan
mengganggu asupan gizi anak yang secara tidak langsung berkaitan dengan
pembangunan sumber daya manusia. Pangan jajanan berkontribusi terhadap
pemenuhan kebutuhan energi sebesar 31,1% dan protein sebesar 27,4%. Hasil
penelitian menunjukkan 78% anak sekolah mengkonsumsi jajanan di lingkungan
sekolah, baik di kantin maupun di luar area sekolah. Dengan demikian masalah
jajanan anak sekolah menjadi perhatian penting mengingat menyangkut kualitas
sumber daya manusia di masa depan, sehingga dibutuhkan koordinasi lintas sektor
terkait terutama di lingkungan pendidikan dan orang tua sendiri yang berperan
langsung.
3. Persentase Kualitas Pelayanan Kefarmasian pada sarana pelayanan obat tradisional
Dari hasil monitoring dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan kefarmasian
pada sarana pelayanan obat tradisional dan pengembangan obat asli indonesia dapat
dinilai capaian indikator Persentase Kualitas Pelayanan Kefarmasian pada Sarana
Pelayanan Obat Tradisional sebesar 35% dan belum mencapai angka yang
ditargetkan. Hal ini menjadi tantangan bagi petugas pengelola program obat
tradisional dan obat asli untuk meningkatkan pemantauan dan pembinaan kepada
sarana pelayanan obat tradisional sarana produksi dan distribusi obat tradisional
sehingga dapat mencapai angka yang ditargetkan dalam rangka mendukung upaya
pelayanan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat terhadap obat tradisional dan
obat asli Indonesia.
4. Persentase Kualitas Kefarmasian dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia
Persentase Kualitas Kefarmasian dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia
sebesar 50% (belum mencapai target atau sebesar 76,92% dari target yang
ditetapkan). Program Pengembangan Obat Asli juga merupakan salah satu upaya
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Pada tahun 2016 dilakukan kegiatan
Pembinaan Sarana Industri Kecil Obat Tradisional. Kegiatan ini dimaksudkan agar
pengelola Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan terhadap sarana produksi
obat tradisional telah sesuai dengan Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh
Kementerian Kesehatan. Pembinaan terhadap sarana produksi obat tradisional
dilakukan dalam rangka mendukung pengembangan usaha di bidang obat tradisional
agar mampu memenuhi persyaratan teknis baik dari cara pembuatan sekaligus
melindungi masyarakat dari peredaran obat tradisional yang tidak memenuhi
persyaratan keamanan, manfaat dan mutu. Sampai dengan bulan Desember tahun
2016 tercatat sebanyak 18 sarana Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) masih
melakukan aktivitas sebagai sarana produksi dan distribusi obat tradisional.
Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Peningkatan Sumber Daya
Kesehatan melalui Program Pengadaan Obat, Pengawasan Obat, Makanan dan
Pengembangan Obat Asli Indonesia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :
- Dukungan pemerintah pusat dengan tetap menyediakan bantuan dana stimulan
melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan baik di Provinsi maupun di
Kabupaten/Kota, berupa pembiayaan penyediaan obat, perbaikan sarana prasana,
peningkatan kualitas sarana distribusi – penyimpanan obat/ vaksin dan penunjang
lainnya.
- Adanya aplikasi pelaporan berbasis elektronik yang diharapkan dengan efektif dan
cepat diperoleh data keefektifan koordinasi data distribusi dan ketersediaan obat baik
di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu adanya sistem Informasi Pelaporan
Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) yang valid dan real – time, sehingga dapat
mempermudah dalam proses pengambilan keputusan dan penentu kebijakan,
memudahkan dalam memonitor kemungkinan adanya penyimpangan/kebocoran ke
jalur ilegal serta untuk memudahkan dalam melakukan analisa dan penyusunan
laporan.
Hambatan/Masalah:
1. Ketersediaan obat berdasarkan 20 obat indikator yang tersedia di Puskesmas hanya
mencapai 50 % dengan item yang paling banyak tersedia di Puskesmas, : Amoxisilin
Tab 500 mg, Paracetamol 500 mg (cepat habis) dan Fitomenadion tablet, Furosemide
tablet 40 mg, garam oralit, Glibenclamida tablet (tinggal = tidak terpakai) kemudian
item yang tidak tersedia dan selalu kosong MgSO4 injeksi, vaksin BCG, vaksin DPT-HB
serta vaksin TT. Ketersediaan di tingkat Kabupaten/ Kota bervariasi disebabkan karena
jadwal penganggaran obat yang tidak bersamaan antara satu kabupaten dengan
kabupaten lainnya.
2. Implementasi e–monev katalog obat dan e– logistik pada Instalasi Farmasi baik di
Provinsi maupun Kabupaten/ Kota masih sangat rendah dengan alasan yang utama
pada kaitan sistem yang masih perlu penyempurnaan serta SDM pengelola pelaporan
masih kurang.
3. Persentase Instalasi Farmasi baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota yang melakukan
manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar masih sangat rendah
walaupun secara umum seluruh Instalasi Farmasi Provinsi dan Kabupaten/ kota sudah
menerapkan Manajemen Pengelolaan secara baik (Perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan/ pelaporan) tetapi indikator penilaian yang
di gunakan belum bisa terpenuhi secara keseluruhan seperti indikator jumlah tenaga
apabila jumlah tenaga di IFK kurang dari 5 orang maka nilainya negatif sementara
hampir semua IFK Kabupaten/ Kota stafnya tidak sampai 5 kecuali Kabupaten
Bulukumba dan Luwu Timur.
4. Rendahnya kualitas Makanan Jajanan Anak Sekolah (MJAS) sehingga mengancam
kesehatan anak yang mengkonsumsinya, disebabkan karena keinginan produsen
mencari keuntungan yang lebih besar.
5. Masih rendahnya pengetahuan Produsen Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
(PKRT) terhadap produk yang memenuhi persyaratan kesehatan.
Upaya pemecahan yang dapat dilakukan terhadap masalah tersebut di atas antara lain:
1. Harmonisasi Integrasi Pengelola obat dan pengelola program kesehatan termasuk
vaksin dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan obat secara
bersama serta untuk penguatan one gate policy dalam manajemen tata kelola obat,
melakukan pelatihan penyusunan rencana kebutuhan (RKO) antara pengelola obat
dan penanggung jawab program dan tentunya untuk melihat kondisi riil di
Kabupaten/Kota dilakukan monitoring ketersediaan Obat di sarana pengelolaan obat
di Kabupaten/ Kota.
2. Implementasi pelaksanaan e – monev dan e logistik obat Dinas Kesehatan Provinsi
melakukan pertemuan untuk memberikan pemahaman terkait pelaporan melalui e –
logistik dan penyusunan Rencana Kebutuhan Obat melalui e – monev.
3. Perbaikan sistem pelayanan perizinan terutama perizinan Pedagang Besar Farmasi,
Industri obat tradisional (IOT), Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), usaha di bidang
kosmetik serta pembinaan terhadap pelaku usaha makanan minuman dan pembinaan
terhadap pelaku usaha makanan jajanan anak sekolah (MJAS), melalui dana
bersumber APBN dan APBD.
4. Penertiban produk yang tidak memenuhi syarat dengan melakukan sampling
terhadap produk yang beredar selanjutnya dilakukan pengujian sampel untuk menilai
pemenuhan syarat uji sterilitas dan kesehatan serta layak pakai. Selain itu melakukan
evaluasi penilaian, safety quality dan Eficacy terutama pada nomor ijin edar dan
dilaksanakan layanan publik yang transparan, akuntabel, melakukan evaluasi/
penilaian untuk SAS.
5. Mewujudkan kemandirian alat kesehatan PKRT dengan melakukan bimbingan dan
pendampingan terhadap produk inovasi, melakukan pembinaan industri alkes dan
PKRT agar mampu memproduksi alkes dan PKRT yang berdaya saing serta melakukan
advokasi terhadap kesadaran penggunaan produk dalam negeri.
6. Pemberdayaan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat terhadap penggunaan alkes dan PKRT yang benar, konsumsi terhadap
Makanan Jajanan Anak Sekolah (MJAS) serta meningkatkan pengawasan terhadap
MJAS di sekolah-sekolah dan produk alkes pada PKRT.
‘’ Meningkatnya Pembiayaan Bidang Kesehatan’’
Sasaran ini diukur melalui 4 (empat) indikator kinerja dan mendapatkan angka
capaian kinerja sasaran sebesar 104,03%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran
Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 13.
Capaian Kinerja Sasaran 9
No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian
1. Cakupan Kepesertaan Jamkesda
menuju Universal Coverage 100% 100% 100%
2. Cakupan Kepesertaan Kemitraan
Asuransi Kesehatan menuju
Universal Coverage
60% 69,68% 116,13%
3. Cakupan Pelayanan Kesehatan
Dasar Masyarakat Miskin 100% 100% 100%
4. Cakupan Pelayanan Kesehatan
Rujukan Pasien Masyarakat
Miskin
100% 100% 100%
Rata-rata Capaian 104,03%
Dari hasil pengukuran kinerja indikator sasaran ini, pada tabel di atas nampak
bahwa semua indikator yang menjadi tolok ukur keberhasilan program tersebut telah
mencapai bahkan melebihi target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja (Renja) Tahun
2016 dan diharapkan tidak mengalami penurunan capaian di akhor periode Renstra
tahun 2018 nanti. Tercapainya sasaran ini menunjukkan besarnya perhatian Pemerintah
dalam upaya memberikan penjaminan kesehatan bagi masyarakat di Sulawesi Selatan.
Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :
1. Cakupan Kepesertaan Jamkesda menuju Universal Coverage
Untuk mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi WHO ke-58
di Jenewa yang menginginkan setiap negara mengembangkan Universal Health
Coverage (UHC) dan kelanjutan implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) khususnya BPJS Kesehatan yang
sudah dimulai sejak 1 Januari 2014, yang selanjutnya disebut sebagai Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), saat ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sedang
memantapkan penjaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat sebagai bagian dari
pengembangan jaminan kesehatan secara menyeluruh (Universal Coverage)
khususnya kepada masyarakat miskin dan tidak mampu. Hal tersebut telah
diterjemahkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan mengintegrasikan
Program Pelayanan Kesehatan Gratis ke dalam JKN.
Untuk menjamin akses penduduk Sulawesi Selatan terhadap pelayanan
kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945, maka sejak
tahun 2008 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terus berupaya mengatasi
hambatan dan kendala dalam memperoleh pelayanan kesehatan melalui kebijakan
Program Pelayanan Kesehatan Gratis. Namun, sejak dicanangkannya Program
Jaminan Kesehatan Nasional/Kartu Indonesia Sehat (JKN/KIS) oleh Pemerintah Pusat
pada tanggal 1 Januari 2014, Program Kesehatan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan
secara bertahap diintegrasikan dalam Program JKN yang efektif berlaku mulai 1
Januari 2016. Sampai dengan bulan Desember tercatat dari 1.735.571 jiwa peserta
kesehatan gratis yang telah berintegrasi sebanyak 1.511.572 jiwa. Data menunjukkan
bahwa setelah diverifikasi oleh Badan Penyelenggara Program JKN dalam hal ini BPJS
bahwa sebanyak 223.999 jiwa tidak memenuhi kriteria untuk diintegrasikan menjadi
peserta JKN/KIS, antara lain masih ada masyarakat miskin dan tidak mampu yang
belum belum mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang merupakan
persyaratan utama dalam integrasi dengan JKN. Sehingga masih diperlukan kerjasama
lintas sektor terkait dalam hal ini.
Pelayanan kesehatan gratis/jamkesda yang diintegrasikan ke dalam program
JKN mencakup semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta
pelayanan kesehatan rujukan di kelas III Rumah Sakit/Balai Kesehatan milik Pemerintah
dan Swasta (Pusat dan Daerah). Selanjutnya mekanisme pelayanan kesehatan harus
mengikuti regulasi dalam program JKN dan aturan yang berlaku dari badan
pengelola program JKN dalam hal ini BPJS Kesehatan. Program ini merupakan
perimbangan (sharing) pembiayaan antara Pemerintah Provinsi (40%) dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota (60%) dengan ketentuan pesertanya adalah masyarakat
miskin dan tidak mampu yang terdaftar dalam program ini dan telah ditetapkan
dengan surat Keputusan masing-masing Bupati/Walikota se-Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada tahun 2016 ini, jumlah anggaran yang tersedia untuk pelaksanaan
program integrasi dengan JKN sebanyak Rp 479.017.596.000,-, yang berupa dana
sharing dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak Rp 191.607.038.400,-
(40%) dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar Rp 287.410.557.600,- (60%) yang
dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan pelayanan tingkat
lanjutan di Rumah Sakit Kabupaten/Kota dan RS Provinsi. Alokasi ini mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2015) yaitu sebesar Rp
251.601.915.836,-. Dari rekapitulasi laporan Kabupaten/Kota diperoleh data kunjungan
pemanfaatan pelayanan program JKN sampai dengan bulan Desember tahun 2016 di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebanyak 4.552.216 kunjungan dan
sebanyak 2.162.185 kunjungan di fasilitas pelayanan tingkat lanjut.
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian
terlaksananya integrasi ini antara lain Sosialisasi dan Advokasi Pemda Kabupaten/Kota
dalam rangka Integrasi Kesehatan Gratis ke dalam Program JKN/BPJS, Pertemuan
Pemutakhiran Data Kepesertaan Program Kesehatan Gratis ke JKN, Pertemuan
Sosialisasi Perubahan Ranperda Kesehatan Gratis ke Program JKN dan Pertemuan
Kemitraan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Pelaksanaan kegiatan ini
dimaksudkan untuk memperkuat dukungan Pemerintah Kabupaten/Kota dan lintas
sektor terkait dalam pelaksanaan integrasi Jamkesda ke dalam JKN.
2. Cakupan Kepesertaan Kemitraan Asuransi Kesehatan menuju Universal Coverage
Arah pencapaian kepesertaan semesta (Universal Coverage) Jaminan Kesehatan
pada akhir periode Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (tahun 2018)
ditargetkan sebesar 80% masyarakat Sulawesi Selatan telah mendapatkan jaminan
kesehatan. Sedangkan dalam RPJMN ditargetkan 100% penduduk Indonesia masuk
dalam Universal Coverage. Hasil pengukuran capaian kinerja Cakupan Kepesertaan
Kemitraan Asuransi Kesehatan menuju Universal Coverage baru mencapai sebesar
69,68% meningkat bila dibandingkan tahun 2015 (56,7%). Meskipun telah melebihi
target yang ditetapkan namun masih diperlukan upaya keras untuk mencapai target
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Sulawesi Selatan di tahun
2018 nanti.
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat memberikan perlindungan sosial di
bidang kesehatan untuk menjamin masyarakat miskin dan tidak mampu yang
iurannya dibayar oleh Pemerintah agar kebutuhan dasar kesehatannya yang layak
dapat terpenuhi. Pelaksanaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
di Provinsi Sulawesi Selatan tidak terlepas dari terselenggaranya pelayanan kesehatan
yang terkendali biaya dan mutunya yang dilaksanakan secara terkoordinasi dan
terpadu dari berbagai pihak terkait pusat dan daerah. Penjaminan kesehatan
masyarakat oleh Pemerintah pusat dan daerah terutama pada masyarakat miskin,
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan kesehatan di
Provinsi Sulawesi Selatan.
3. Cakupan Pelayanan Kesehatan Dasar Masyarakat Miskin
Pemerintah Pusat melalui Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Miskin sejak tahun 2008 yang merupakan peralihan program Asuransi
Miskin (ASKESKIN) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Program Jaminan
Kesehatan Gratis yang keduanya sekarang telah berintegrasi menjadi Program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berupaya untuk menghadapi permasalahan
kesehatan bagi masyarakat miskin dengan penjaminan/pembebasan biaya pelayanan
kesehatan sesuai dengan Petunjuk Teknis yang berlaku. Selain itu untuk meningkatkan
akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat miskin didukung dengan
penganggaran kegiatan-kegiatan operasional untuk meningkatkan penyediaan serta
efektivitas berbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal
seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan dan penyediaan obat,
keamanan dan kesehatan makanan, pengawasan terhadap kesehatan dan kebersihan
lingkungan pemukiman dan realokasi berbagai sumber daya yang tersedia dengan
memprioritaskan daerah miskin dan masyarakat tidak mampu.
Penjaminan pelayanan kesehatan masyarakat miskin meliputi pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas/Fasilitas Pelayanan Primer dan jaringannya serta
pelayanan kesehatan rujukan pada Rumah Sakit Tingkat Pertama maupun Regional,
yang mekanisme pembiayaan dikelola oleh BPJ. Pelayanan Dasar yang diberikan
meliputi berupa kegiatan pelayanan kesehatan di dalam gedung maupun kegiatan
pelayanan kesehatan di luar gedung, antara lain pelayanan gawat darurat, konsultasi
dan pemeriksaan dokter umum dan gigi, pemberian obat, pemeriksaaan
Laboratorium sederhana, Pelayanan KIA, pelayanan rawat inap pada Puskesmas
Perawatan dan Puskesmas Keliling. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat
miskin sejak tahun 2013 hingga sekarang telah mencapai kondisi 100%.
4. Cakupan Pelayanan Kesehatan Rujukan Pasien Masyarakat Miskin
Kondisi capaian kinerja untuk pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat
miskin pada tahun 2016 juga mencapai angka 100%. Pelayanan rujukan ini, antara lain
meliputi Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan kesehatan oleh dokter
spesialis/umum, Rehabilitasi medis, Penunjang diagnostic seperti pemeriksaan
laboratorium klinik, radiologi dan elektromedik, Tindakan medis kecil dan sedang,
Operasi sedang dan besar, Pemeriksaan dan pengobatan gigi tingkat lanjutan,
Pelayanan KB seperti pelayanan pasca persalinan/ keguguran, Pemeriksaan kehamilan
dengan risiko tinggi dan penyulit, Pemberian obat yang mengacu pada Formularium
Rumah Sakit, Pelayanan darah dan Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) pada ruang
perawatan kelas III.
Kemiskinan dan penyakit hubungannya sangat erat, tidak akan pernah putus
kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya
atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin
menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit Sebaliknya kesehatan
mempengaruhi kemiskinan.
Masyarakat yang sehat akan menekan tingkat kemiskinan karena orang yang
sehat mempunyai kondisi antara lain Produktivitas kerja tinggi, biaya pengeluaran
untuk keperluan berobat tertanggulangi, masyarakat dapat berinvestasi dan
menabung, meningkatnya mutu pendidikan, angka fertilitas (kelahiran) dan mortalitas
(kematian) rendah dan berujung pada terjaminnya stabilitas ekonomi.
Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Peningkatan Sumber Daya
Kesehatan melalui Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :
1. Adanya kebijakan yang mengatur sistem Jaminan Kesehatan Daerah khususnya
integrasi Jamkesda ke JKN/KIS, yaitu Peraturan Presiden RI Nomor 74 Tahun 2014
tentang Peta Jalan Integrasi Jamkesda ke dalam JKN.
2. Komitmen bersama Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menyiapkan
Dana Sharing untuk Pembiayaan Pelaksanaan Program Integrasi Jamkesda ke JKN
yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 13 Tahun 2008
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis di Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 15)
3. Dukungan Anggaran dari Pemerintah Pusat berupa alokasi Pembiayaan untuk peserta
PBI Jamkesmas dan operasional pengelolaan program JKN.
Beberapa Permasalahan yang dihadapi dalam Pencapaian Sasaran ini, antara lain ::
1. Kerjasama Lintas Sektor khususnya Dinas Sosial dan Dinas Kependudukan belum
optimal terkait validasi data kepesertaan baik penetapan kuota dan persyaratan yang
harus dipenuhi utamanya identitas dan NIK peserta. Selain itu Pendistribusian Kartu
Indonesia Sehat (KIS) belum terdistribusi maksimal ke peserta.
2. Penerapan rujukan belum berjalan optimal dimana beberapa kasus yang seharusnya
dapat ditangani pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama yang Non
Spesialistik, namun tetap dirujuk ke Rumah Sakit.
3. Belum ada aturan terkait mekanisme pembayaran klaim ke BPJS dengan pola sharing
40 % dan 60 % yang baku sehingga proses pembayaran terkesan lambat sampai saat
ini.
4. Mekanisme Pengusulan Peserta dari Kabupaten/Kota ke BPJS belum berjalan optimal
sehingga terjadi bias data yang menyebabkan selisih pembiayaan.
Solusi yang dapat diberikan terhadap permasalahan tersebut di atas :
1. Optimalisasi koordinasi lintas sektor dalam penentuan data base kepesertaan yang
valid dan sesuai dengan persyaratan yang berlaku serta dalam hal pendistribusian KIS.
2. Penguatan Regulasi terhadap pemberi pelayanan di fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer dalam hal penanganan penyakit-penyakit non spesialistik.
3. Perlunya Regulasi yang mengatur mekanisme pembayaran klaim ke BPJS dengan pola
sharing 40 % dan 60 % sehingga proses pembayaran dapat berjalan sesuai yang
diharapkan.
Perlunya kesepahaman lintas sektor terkait dalam hal penetapan mekanisme
pengusulan peserta yang akan diintegrasikan ke dalam JKN.
BAB III
TUJUAN DAN SASARAN
A. TUJUAN
Penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja - SKPD) Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 adalah dalam rangka merumuskan
kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun 2018 sebagai
rangkaian untuk pencapaian Visi Dinas Kesehatan yaitu “Sulawesi Selatan Sebagai Pilar
Utama dan Simpul Jejaring Pembangunan Kesehatan Nasional” dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Sebagai pedoman/acuan pelaksanaan Pembangunan Kesehatan Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018.
2. Tersedianya bahan untuk evaluasi kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2018
3. Memudahkan pemangku kebijakan (stakeholder) dan instansi terkait berperan aktif
untuk mencapai tujuan dan sasaran
4. Merupakan komitmen bersama dalam melaksanakan program–program yang
telah direncanakan.
B. SASARAN
Sasaran pembangunan bidang kesehatan tahun 2018 ditetapkan berdasarkan hasil
evaluasi tahun sebelumnya dan berpedoman pada Rencana Strategis Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun sasaran pokok yang akan dicapai sampai akhir tahun
2018 adalah sebagai berikut :
1. Menurunnya jumlah/Angka Kesakitan Akibat Penyakit dan Meningkatnya Umur
Harapan Hidup
Indikator Kinerja Target
Umur Harapan Hidup (UHH) 73,10 tahun
Jumlah Kematian Bayi 1.011 kasus
Jumlah Kematian Ibu 103 kasus
Prevalensi Penduduk Usia > 15 Tahun
dengan Tekanan Darah Tinggi 19,04 %
Indikator Kinerja Target
Mempertahankan Prevalensi Obesitas 13,6 %
Menurunkan Prevalensi Perokok Anak
dan Remaja 5,7 %
Angka Penemuan/Kejadian Malaria per
1.000 Penduduk (API) <1/1.000 Penduduk
Angka Kejadian Tuberculosis/100.000
Penduduk (Case Notification Rate) 205/100.000 Penduduk
2. Meningkatnya Status Gizi Masyarakat
Indikator Kinerja Target
Prevalensi Balita Gizi Kurang 17,5 %
Prevalensi Balita Gizi Buruk 4,0 %
Prevalensi Balita Gizi Stunting 33,18 %
3. Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan
Indikator Kinerja Target
Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (K4)
94 %
Cakupan Komplikasi Kebidanan yang
ditangani
73 %
Cakupan Pertolongan Persalinan oleh
Tenaga Kesehatan yang memiliki
Kompetensi Kebidanan
97 %
Cakupoan Pelayanan Nifas 95 %
Cakupan Neonatus dengan Komplikasi
yang ditangani
97 %
Cakupan Kunjungan Bayi 98 %
Cakupan Desa/Kelurahan Universal
Child Immunization (UCI)
95 %
Cakupan Pelayanan Anak Balita
85 %
Indikator Kinerja Target
Cakupan Pemberian Makanan
Pendampingan ASI pada Anak Usia 6-
24 Bulan Keluarga Miskin
65 %
Cakupan Balita Gizi Buruk Mendapat
Perawatan
100 %
Cakupan Penimbangan Balita (D/S) 93 %
Cakupan ASI Eksklusif 87 %
Cakupan Pendistribusian Vitamin A
pada Balita
93 %
Cakupan Fe pada Ibu Hamil yang
menkomsumsi tablet Fe 90 tablet
93 %
Cakupan Konsumsi Garam Beryodium 94 %
Cakupan Kabupaten/Kota yang
melaksanakan Surveilans Gizi
100 %
Cakupan Kunjungan Puskesmas 47,73 %
Cakupan Penemuan dan Penanganan
Penyakit Menular
90 %
Cakupan Desa/Kelurahan mengalami
KLB yang dilakukan Penyelidikan
Epidemiologi <24 jam
100 %
Cakupan Kualitas Air Minum 86 %
Cakupan Akses Sanitasi Dasar 70 %
Cakupan Pelayanan Kesehatan Dasar
Masyarakat Miskin
100 %
Cakupan Pelayanan Kesehatan Rujukan
Pasien Masyarakat Miskin
100 %
Cakupan Pelayanan Gawat Darurat
Laevel 1 yang harus diberikan Sarana
Kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota
100 %
4. Meningkatnya Sarana dan Prasarana Kesehatan yang Berbasis Masyarakat
Indikator Kinerja Target
Persentase Rumah Tangga ber Prilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 65%
Persentase Desa Siaga Aktif 100%
5. Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor/Swasta
Indikator Kinerja Target
Jumlah Kemitraan Lintas Sektor/Swasta 8 LS
6. Meningkatnya Sarana Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas
Indikator Kinerja Target
Jumlah Rumah Sakit yang Terakreditasi
Internasional 2 Rumah Sakit
Jumlah Rumah Sakit yang Terakreditasi
Nasional (versi 2012) 5 Rumah Sakit
Jumlah Regulasi yang dihasilkan 1 Regulasi
Persentase Rumah Sakit Pemerintah
yang telah mempunyai Registrasi 100 %
Persentase Rumah Sakit Swasta yang
telah mempunyai Registrasi 100% (49 RS)
Persentase Rumah Sakit Pemerintah
yang telah melaksanakan Penetapan
Kelas
100 %
Persentase Rumah Sakit Swasta yang
telah melaksanakan Penetapan Kelas 100% (49 RS)
Persentase Rumah Sakit Non Pusat
Rujukan Sebagai Rumah Sakit Kelas C
100 %
Persentase Rumah Sakit Pusat Rujukan
Sebagai Rumah Sakit Kelas B
100 %
Indikator Kinerja Target
Persentase Rumah Sakit Pemerintah
yang telah memiliki Izin Rumah Sakit 100% (32 RS)
Persentase Rumah Sakit Swasta yang
telah memiliki Izin Rumah Sakit 90% (45 RS)
% Rumah Sakit sebagai Wahana
Internship 100% (21 RS)
Jumlah Puskesmas yang Terakreditasi 10 Puskesmas
7. Meningkatnya Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
Indikator Kinerja Target
% Ketersediaan Obat Generik 95 %
% Pengawasan Obat dan Makanan
yang layak, bermutu dan aman
dikonsumsi
60 %
% Kualitas Pelayanan Kefarmasian pada
Sarana Pelayanan Obat Tradisional 100 %
% Kualitas Kefarmasian dalam
pengembangan Obat Asli Indonesia 80 %
8. Meningkatnya Ketersediaan SDM Kesehatan yang Proporsional
Indikator Kinerja Target
Rasio Dokter Umum per 100.000
Penduduk 22/100.000 Penduduk
Rasio Dokter Spesialis per 100.000
Penduduk 13/100.000 Penduduk
Rasio Dokter Gigi per 100.000 Penduduk
17/100.000 Penduduk
Rasio Apoteker per 100.000 Penduduk
17/100.000 Penduduk
Rasio Perawat per 100.000 Penduduk
100/100.000 Penduduk
Indikator Kinerja Target
Rasio Bidan per 100.000 Penduduk 58/100.000 Penduduk
Rasio Ahli Gizi per 100.000 Penduduk 18/100.000 Penduduk
Rasio Ahli Sanitasi per 100.000
Penduduk 17/100.000 Penduduk
Rasio Kesmas per 100.000 Penduduk 25/100.000 Penduduk
9. Meningkatnya Pembiayaan Kesehatan Bidang Kesehatan
Indikator Kinerja Target
Cakupan Kepesertaan Jamkesda Menuju
Universal Coverage 100 %
Cakupan Kepesertaan Kemitraan
Asuransi Kesehatan Menuju Universal
Coverage
80 %
BAB IV
PROGRAM DAN KEGIATAN
Program yang merupakan penjabaran kebijakan, tujuan dan sasaran yang tertera dalam
Rencana Srategis Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :
1. Program Pengadaan Obat, Pengawasan obat, Makanan dan Pengembangan Obat
Asli Indonesia
2. Program Peningkatan Upaya Kesehatan Masyarakat
3. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
4. Program Perbaikan Gizi Masyarakat
5. Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
6. Program Standarisasi Pelayanan Kesehatan
7. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
8. Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lansia
Selain Program Prioritas, terdapat juga Program Penunjang sebagai berikut :
1. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran
2. Program Peningkatan Kapasitas dan Kinerja SKPD
3. Program Pengembangan Sistem Perencanaan dan Sistem Evaluasi Kinerja SKPD
Rincian Program dan Kegiatan yang memuat a). Indikator Kinerja, b). Kelompok Sasaran, c).
Lokasi Kegiatan, d). Kebutuhan Dana Indikatif dan e). Sumber Dana dapat dilihat pada
matriks terlampir.
BAB V
PENUTUP
Kaidah Pelaksanaan
a. Pola Penyelenggaraan
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ini, memuat sasaran program dan kegiatan
yang akan dicapai selama satu tahun dan menjadi acuan bagi setiap bidang dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kesehatan. Pelaksanaan Program Kerja ini
dikendalikan oleh Kepala Dinas Kesehatan.
b. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja
SKPD) Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan akan dilaksanakan secara berkala
melalui monitoring dan evaluasi, secara tidak langsung berupa laporan pelaksanaan
tertulis, monitoring dan evaluasi secara langsung melalui rapat pertemuan yang
akan dilaksanakan setiap triwulan.
Substansi dari monitoring dan evaluasi tidak terlepas dengan pengukuran kinerja
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan indikator kinerja yang telah
dirumuskan.
Penutup
Rencana Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (Renja SKPD) Tahun
2018 memuat Program dan Kegiatan yang akan menjadi acuan bagi seluruh bidang
lingkup Dinas kesehatan dalam menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA-SKPD) yang
pada akhirnya menjadi pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing.
Namun demikian, keberhasilan pencapaian sasaran juga dipengaruhi oleh pagu
alokasi anggaran yang diberikan.
Rencana kerja ini harus dijalankan secara bertanggung jawab, yang dilandasi
dengan komitmen dan dedikasi tinggi yang pada akhirnya akan mendukung
tercapainya visi dan misi yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra)
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018.
Makassar, April 2017
KEPALA DINAS KESEHATAN
PROVINSI SULAWESI SEALATAN,
Dr.dr.H.RACHMAT LATIEF, SpPD, KPTI, M.Kes, FINASIM
Pangkat : Pembina Utama
NIP : 19590204 198511 2 002