Post on 25-Jun-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN
Berlakunya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok
– pokok agraria pada tanggal 24 September 1960 merupakan tonggak sejarah
perkembangan agraria / pertanahan di Indonesia dan hukum pertanahan pada khusunya.1
Hukum tanah merupakan cabang hukum yang mandiri dalam tata hukum nasional yang
substansinya merupakan suatu kumpulan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis
mengenai hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga - lembaga hukum dan sebagai
hubungan – hubungan hukum konkret beraspek publik dan perdata yang dapat disusun
dan dipelajarai secara sistematik hingga secara keseluruhan menjadi satu kesatuan yang
merupakan suatu sistem.2
Politik hukum tanah Indonesia bertitik tolak dari keberadaan Pasal 33 UUD 1945
yanng mengamanatkan penguasaan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
oleh negara digunakan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga arah kebijakan
pembangunan petanahan Indonesia kepada pendayagunaan potensi dalam negeri demi
kepentingan rakyat.Yahya Harahap berpendapat hukum mengendalikan keadilan. Keadilan
yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai : persamaan hak azazi individu, kebenaran,
1 Boedi Harsono, 1999, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agararia, Isi dan pelaksanaanya ,Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan Jakarta. Hlm 20 2 Ibid hlm 30 - 31
1
kepatutan dan melindungi masyrakat. Selain itu juga menurut beliau hukum tidaklah
sesuatu yang berdiri sendiri ia tidak dapat dipisahkan dari budaya, sejarah dan waktu
dimana kita sedang berada. Setiap perkembangan sejarah dan sosial akan didikuti dengan
perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial akan mempengaruhi
perkembangan hukum.3
Dengan demikian hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang
sekaligus mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan dinamika proses interaksi yang
berlangsung terus menerus antara berbagai kenyataan kemasyarakatan satu dengan
lainnya yang berkonfrontasi dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap
kenyatan kemasyarakatan tersebut yang berakar dalam pandangan hidup yang di anut
serta kepentingan kebutuhan nyata manusia. Berdasarkan konsep pemikiran diatas maka
akan dibahas mengenai bagaimana dinamika perubahan karakter produk hukum tanah di
indonesia dari masa kemasa.4
1.2. Permasalahan :
1. Bagaimanakah dinamika perkembangan politik hukum pertanahan di indonesia ?
3 M. Yahya Harahap, 1997, Berberapa Tinjauan Mengenai Permasalahan Hukum, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 55-45 4 Arief Sidharta,1998, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivistis,Makalah, Simposium Nasional Ilmu Hukum,Dies Natalis Fakultas Hukum UNDIP Ke 41, Semarang, hlm 33
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Bagaimanakah dinamika perkembangan politik hukum pertanahan di indonesia ?
A. Hukum tanah pada masa penjajahan
Penelusuran mengenai keberadan hukum tanah pada masa penjajahan
memberikan kesimpulan, bahwa pada zaman kolonial hukum tanah bersifat sangat
ekpolitatif , dualistik, feodalistik yang berazaskan Domein Verkalring nyata – nyata sangat
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.5
Hukum tanah administratif pemerintahan hindia Belanda didasari pada politik
pemerintahan kolonial pada masa itu. Hal tersebut tertuang di dalam Agrarische Wet
1870. Agrarische Wet (AW) merupakan suatu produk hukum yang setara dengan undang
– undang yang dibuat di Belanda pada tahun 1870 . AW di undangkan di dalam S 1870 –
55 sebagai tambahan ayat – ayat baru pada pasal 62 Regerings Regelement (RR) Hindia
Belanda tahun 1854. Semula RR tersebut terdiri dari 3 ayat . Dengan tambahan 5 ayat
baru (ayat 4 s/d 8) oleh AW, maka pasal RR terdiri dari 8 ayat.6
Sebelum AW berlaku di lakukan sistem tanam paksa (Cultursetesel) sejak tahun
1830 yang memberikan ruang bagi pengusaha besar untuk melakukan usaha di bidang
5 Moh. Mahfud MD, 1993, Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh Politik Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia, Disertasi, UGM, Yogyakarta, hlm 336 Boedi Harsono, Op Cit hlm 33
3
perkebunan. Oleh karena itu sejak tahun 1839 sejalan dilaksanakannya Culturstelsel, maka
berdasarkan RR 1854/Pasal 62 ayat 3 secara tegas dibuka kembali kesempatan untuk
menyewa tanah dari pemerintah, yang peraturannya dimuat didalam Algemeene
Maatgerel Van Besteur (AMVB) yang diundangkan dalam S 1856 – 54.
Tetapi penerapan peraturan tersebut ternyata tidak menimbulkan dampak berarti
terhadap perkembangan perkebunan besar di Hindia Belanda. Hal tersebut dikarenakan
jangka waktu sewa yang hanya maksimun 20 tahun yang tidak mencukupi umur tanaman
keras. Lagipula hak sewa tidak dapat digunakan sebagai jaminan kredit yang diperlukan
denganpemberian jaminan hipotek.7
Para pengusaha besar Belanda yang kelebihan modal. Mengingat masih
banyaknya tanah hutan di Hindia Belanda yang belum diusahakan maka sejak abad ke 19
mereka menuntut untuk diberi kesempatan berinvestasi pada bidang perkebunan besar.
Hal tersebut mendorong lahirnya AW 1870, yang bertujuan untuk membuka kemungkinan
dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang
di Hindia Belanda.8
Ketentuan AW juga menggariskan perlindungan bagi pribumi. Pemberian tanah
kepada pengusaha besar juga tidak boleh melanggar hak – hak pribumi. Pengambilan
tanah – tanah pribumi hanya boleh bagi kepentingan umum, melalui cara pencabutan hak
7 Alvi Syahrin,2009, Berberapa Masalah Hukum,PT Soft Media, Medan hlm 208 Boedi Harsono, Op Cit hlm 36 - 37
4
dan pemberian ganti rugi yang layak. Namun demikian, pemberian perlindungan bagi
rakyat tersebut bukan merupan tujuan AW tujuan. AW adalah tetap pada tujuan
memberikan dasar pada perkembangan perkebunan – perkebunan besar swasta untuk
kepentingan pemerintahan kolonial.
Ketentuan pelaksanaan AW diatur didalam berbagai peraturan dan keputusan ,
diantaranya Koninjlijk Besluit dalam S. 1870 -118 yang dikenal sebagai Agararisch Besluit
(AB). Pasal 1 AB kurang menghargai hak – hak rakyat atas tanah yang bersumber pada
hukum adat.9 Hal tersebut dikarenakan ketentuan pada ayat 1 AB bahwa dengan tidak
mengurangi berlakunya ketentuan pasal 2 dan 3 AW, tetap dipertahankan azas semua
pihak lain yang tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya merupakan hak milik
(domein) pemerintahan kolonial. Padahal hukum adat tidak mengenal sertifikat atau bukti
kepemilikan tertulis dalam menentukan hak milik atas tanah. Sehingga pada masa itu
terjadi kesewenangan perampasan tanah. Keadaan tersebut jelas sangat merugikan
rakyat Indonesia yang masih tunduk terhadap hukum adat.
B. Hukum tanah pada masa awal kemerdekaan sampai terbentuknya uupa
Pemerintah republik Indonesia yang baru merdeka mendapat tuntutan untuk
mengubah peraturan pertanahan yang lama. Untuk menanggapi berbagai tuntutan
tersebut maka pemerintah membentuk komisi yang dikenal sebagai Panitia Tanah
Konversi pada tangal 6 Maret 1948. Dari komisi ini lahirlah produk RUU untuk
9 Ibid hlm 41
5
memperbaiki peraturan sewa tanah atas tanah milik pangeran melalui sepucuk surat
tertanggal 28 Maret 1948 kepada presiden Sukarno. UU No 13 tahun 1948 ini kemudian
menghapuskan hak konversi.10
Sampai dengan tahun 1959 keinginan pemerintah Republik indonesia untuk
membentuk produk hukum tanah yang sesuai dengan kehidupan nasional indeonsia
belum lah tercapai. Hal tersebut dikarenakan du faktor yaitu dari luar karena pemerintah
masih berkutat mempertahankan kedaulatan negara dari usaha Belanda untuk
merebutnya kembali, kendala kedalam adalah masalah mengenai penyusunan aparatur
administrasi pemerintahan menurut UUD 1945 serta membangun stabilitas dan
perekonomian negara.11
Salah satu upaya untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan mengeluarkan
peraturan – peraturan yang bersifat parsial yang menyangkut bagian bagian tertentu saja
dari peraturan agraria. Selain itu diberlakukan hukum agraria zaman kolonial dengan
kebijakan dan penafsiran yang baru disesuaikan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Peraturan – peraturan tersebut antara lain12 :
1. Penghapusan hak konversi dengan UU No 13 tahun 1948 kemudian dilengkapi
dengan UU No 5 tahun 1950 , yang mengamanatkan ditertibkannya pemakaian
10 Moh. Mahfud MD, Op Cit hlm 231 - 23211 Iman Soetiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm 412 Boedi Harsono, Op Cit, hlm 89
6
tanah – tanah negara dan dilaksanakannya program pemberian tanah – tanah
kepada rakyat untuk usaha pertanian dan tempat tinggal.
2. Penghapusan tanah Partikelir dengan UU No 1 tahun 1958, yang
mengamanatkan penyerahan tanah partikelir dengan pembelian maupun
penyerahan serta dimuat juga kebijakan menghapus tanah partikelir.
3. Perubahan Peraturan Persewaan Tanah Rakyat berdasarakan UU No 6 thn
1952. Peraturan ini berisi mengenai tambahan pasal 51 IS.
4. Peraturan Tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah
sebagaimana di atur di dalam UU darurat No 1 tahun 1952 yang kemudian
menjadi UU No 24 tahun 1954. Yang mengatur mengenai peralihan hak tanah
yang statusnya masih tunduk pada hukum Eropa harus mendapat persetujuan
menteri Kehakiman. Sampai akhirnya lahir UU No 76 tahun 1957 yang
mengalihkan kewengan izin oleh menteri Kehakiman kepada menteri Agraria.
5. Menaikkan besarnya Canon dan Cijns dengan UU No.78 tahun 1957. Canon
adalah uang yang wajib dibayarkan oleh pemegang hak erfpacht setiap tahun
kepada negara, sedangkan Cijns uang ang hars dibayar oleh pemegang hak
konsesi perusahaan perkebunan besar.
7
6. Larangan dan penyesuaian tanah tanpa izin dengan UU Darurat No 1 tahun
1954 yang kemudian diubah dan ditambahkan dengan UU darurat No 1 tahun
1956,
7. Pengaturan perjanjian bagi hasil dengan UU No 2 tahun 1960. Sebelumnya
lahirnya peraturan ini perjanjian bagi hasil dialkukan berdasarkan hukum adat
yang cenderung mengakibatkan kerugian bagi si penggarap. Peraturan ini
mengatur tentang : imbangan pembagian hasil, jangka waktu perjanjian,
bentuk perjanjian, dan subjek – subjek yang boleh menjadi penggarap.
8. Pengalihan tugas – tugas wewenang agraria dengan Keppres No 55 tahun 1955
dan UU No 7 tahun 1958. Terjadi pengalihan kekuasaan agraria dari wewenang
mendagri kepada menteri urusan agraria yang dibentuk berdasarkan Keppres
No 55 tahun 1955. Sedangkan untuk di daerah – daerah tetap di urus oleh
pejabat – pejabat pamong praja dan daerah swantrata dan swapraja.
Sejak awal kemerdekaan pemerintah republik Indonesia telah membentuk hukum
komisi – komis atau panitia – panitia yang bertugas menyusun dasar – dasar hukum
agraria, komisi – komisi dan panitia – panitia tersebut antara lain :
1. Panitia Agraria Yogya
Saran saran dari panitia ini yang dipakai dalam hukum agraria nasioanla adalah
sebagai berikut :
8
- Dilepaskannya azas domein dan penyaluran hak rakyat
- Pengadaan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang
kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabani hak tanggungan
- Pelaksanaan study banding mengenai kepemilikan tanah oleh orang asing
dinegara lain
- Penetapan luas minimun tanah petani
- Penetapan luas maksimum tanah petani
- Penerimaan skema tentang hak – hak atas tanah yang diusulkan oleh
Sarimin Reksodiharjo
- Pelasaksanaan registrasi tanah milik dan hak hak menumpang yang penting
2. Panitia Agraria Jakarta
Setelah Indonesia menjadi negara Kesatuan dan ibukota negara berpindah ke
Jakarta dirasakan perlunya dibentuk kepanitiaan agrarria yang baru yang dapat
bekerja sesuai dengan perkembangan keadaan. Panitia tersebut menghasilkan
berberapa kesimpulan antara lain :
- Perlu penetapan batas minimum (diusulkan 2 ha)
- Perlu penentapan batasan maksimum (diusulkan 25 ha)
- Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya WNI
9
- Untuk pertanian kecil diterima bangunan – bagunan hukum : hak milik, hak
usaha , hak sewa, dan hak pakai
- Pengakuan hak rakyat atas nama kuasa UU.
3. Panitia Soewahjo
Panitia ini dibentuk untuk melangkah lebih lanjut dalam upaya pembentukan
hukun agraria yang baru sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Pasal 37 (1), dan
Pasal 38 (3) UUDS 1950.Panitia ini diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Pada
tahun 1957 panitia ini selsai menyusun rancangan dengan usulan sebagai
berikut :
- Penghapusan azas Domein dan pengakuan hak rakyat yang harus
ditundukkan demi kepentingan umum
- Pengantian azas Domein dengan azas “ Hak menguasai negara”
- Penghapusan dualisme hukum agraria
- Meletakkan hak milik sebagai hak terkuat dan hanya boleh dimiliki WNI
- Perlu penetapan batasan maksimum dan minimum tanah yang dapat
dimiliki
- Pengerjaan dan penuasaan tanahnya sendiri sebagai azas kepemilikan
tanah
10
- Pelaksanaan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah
Periode 1945 -1959, pemerintah belum berhasil mengundangkan sebuah UU
agraria nasional yang bulat. Tetpai walaupun belum ada UU Pertanahan yang bulat,
tetpai azas – azas yang lahir dari kerja panitia dan komisi tersebut dimuat dalam UU No 5
tahun 1960 tentang Pokok – Pokok Agararia.
C. Uupa sebagai ketentuan pokok hukum tanah nasional
Menteri Agraria, Soedjarwo meneruskan usaha untuk menciptkan hukum tanah
nasional yang baru. Sebuah RUU yang baru yang disesuaikan dengan UUD 1945 dan
manifesto politik, diajukan kepada DPR – GR oleh pemerintah dengan sebuah amanat
presiden tertanggal 1 Agustus 1960.
RUU tersebut kemudian disetujui oleh DPR – GR untuk kemudian disahkan pada
tanggal 24 September 1960 sebagai Undang – Undnag Nomor 5 tahun 1960 tentang
peraturan dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA). UUPA memberikan cakupan yang lebih
luas mengenai pertanahan sesuai dengan kemungkinan penguasaan seperti bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagaiman yang termuat didalam
pasal 33 UUD 1945. Bahkan UPA memperluas cakupan tersebut hingga meliputi ruang
angkasa.
UUPA mencabut berberapa peraturan perundangan yang berlaku sebelumnya,
peraturan tersebut antara lain :
11
1. Agrarische Wet (S 1870 – 55) sebagaimana yang termuat didalam pasal S1 dan
ketentuan dari pasal – pasal itu :
a. Domeinverklering tersebut dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S 1870 – 118)
b. Algemene Domeinverklering tersebut dalam S.1875 – 119a.
c. Domeinverklering untuk Sumatera tersebut dalam pasal S. 1874 – 94f
d. Domeinverklering untuk keresidenan Manado tersebut dalam Pasal 1 dari S.
1877 – 55
e. Domeinverklering untuk Residentie Zeider en Qosterafdeling van Borneo
tersebut dalam Pasal 1 dan S. 1886 – 58.
2. Konijlk Besluit tanggal 16 April 1872 No.29 ( S.1872 – 117) dan peraturan
pelaksanaannya.
3. Buku ke II Kitab Undang – Undang Hukum perdata Indonesia sepanjang
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, ekcuali
ketentuan – ketentuan mengenai Hipotik yang masih berlaku pada mulai
berlakunya undang – undang ini.
Ketentuan perundangan yang dicabut oleh UUPA sangat bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat. AW 1870 merupakan UU Pokok Agraria kolonial Belanda dan
dibidani oelh Liberalisme yang ketika itu berkembang di Nederland harus dicabut karena
12
bersifat sangat menindas dan eksploitatif. AW 1870 meletakkan pejabat kolonial Belanda
sebagai eksploitator terhadap sumber daya pertanahan bagi rakyat pribumi.
Selanjutnya Domein Verklaring baik bersifat umum maupun yang ditentukan
untuk wilayah – wilayah tertentu juga sangat bertentangan dengan cita – cita nasional. De
atau secara lebih spesifik dengan etika hukum Indonesia khusus yang bersumber dari
Proklamasi kemerdekaan dan Pancasila.13 Demikian juga halnya Koninklijk Besluit
sebagaimana yang termuat dalam S. 1977 – 117, yang kemungkinan bagi orang – orang In
Indonesia untuk memiliki hak atas tanah yang kuat yang dalam praktek di sebut agrarisch
eigendoom juga harus dihentikan keberlakuannya setelah keluarnya UUPA. 14
Pencabutan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan buku ke II BW sepanjang
mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (kecuali mengenai
Hipotik) oleh dualisme dalam hukum agararia akan tetap berlaku.
Penjelasan umum I UUPA menyatakan ada 3 tujuan pokok, yaitu :
1. Meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagia rakyat dan negar terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
13 Alvi Syahrin, Op Cit hlm 31 14 Ibid hlm 32
13
2. Meletakkan dasar – dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan
3. Meletakkan dasar – dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak –
hak tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hal ini berarti bahwa dalam meletakkkan dasar bagi ketiga bidang tersebut
dengan sendirinya merupakan perwujudan dan penjelmaan sila – sila Pancasila15, sebagai
yang dimaksudkan dalam konsideran / Berpendapat huruf C, artinya kelima sila Pancasila
terwujud penjelmaannya dalam ketentuan – ketentuan pokok UUPA.16 Ketentuan pasal 5
UUPA memberikan penegasan bahwa salah satu dasar hukum agraria nasional adalah
hukum adat. Pemberian kedudukan istimewa terhadap hukum adat di dalam hukum
agraria juga ditemui di dalam pasal 2 ayat (4), pasal 3, pasal 22 ayat (1), pasal 56, pasal 58,
pasal VI Konversi, Pasal VII Konversi konsiderans dan penjelasan UUPA.
15 Periksa juga konsiderans huruf c UUPA16 Periksa, Boedi Harsono, Op Cit hlm 216
14
D. Penutup
Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus
mempengaruhi, dan karena itu mencerminkanproses interksi yang terus berlangsung
antara berbagai kenyataan kemasyarakatan satu sama lainnya yang berkonfrontasi
dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu
yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan nyata
manusia, sehingga hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis.
Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya harus
dilaksanakan secara adil, mengembangkan ekonomi kerakyatan serta menghilangkan
segala bentuk pemusatan pengusahaan dan pemilikan tanah. Kebijaksanaan yang
dilaksanakan berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Tanah sebagai basis usaha
pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat yang
mampu melibatkan serta memberikan sebesar – besaranya kemakmuran rakyat.
15
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arief Sidharta,1998, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivistis,Makalah, Simposium Nasional Ilmu Hukum,Dies Natalis Fakultas Hukum UNDIP Ke 41, Semarang,
Boedi Harsono, 1999, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agararia, Isi dan pelaksanaanya ,Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta
M. Yahya Harahap, 1997, Berberapa Tinjauan Mengenai Permasalahan Hukum, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Moh. Mahfud MD, 1993, Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh Politik Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia, Disertasi, UGM, Yogyakarta,
Iman Soetiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
A.P. Parlindungan, Komentar UUPA, Mandar Maju, Bandung Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik,Tanah Negara dan Tanah Pemda, teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung 2004
Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sulasi Rongiyati, Parlementaria (Majalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia); Pembaruan Agraria Sebagai Upaya Mengatasi Sengketa Pertanahan, Agustus 2007.
Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta
B. Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar 1945Undang-Undang No.5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
16
AgrariaUndang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan NegaraPeraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang MilikNegara/DaerahPeraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tengan KetentuanPelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
17