Post on 28-Dec-2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi habitat dan daerah tumbuh, sistematika
tumbuhan, sinonim, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan senyawa
kimia, serta penggunaan tumbuhan.
2.1.1 Daerah tumbuh
Bawang sabrang termasuk tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis, di
Jawa dipelihara sebagai tanaman hias dan di beberapa tempat tumbuh liar antara
600 hingga 1500 Meter di atas permukaan laut, kadang-kadang didapati dalam
jumlah besar di pinggir-pinggir jalan yang berumput dan di dalam kebun-kebun
teh, kina dan karet (Ogata, 1995).
2.1.2. Sistematika tumbuhan
Sistematika dari tumbuhan bawang sabrang menurut LIPI (2013) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Liliales
Famili : Iridaceae
Genus : Eleutherine
Species : Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Sinonim
Nama lain Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb. adalah Eleutherine americana
(Aubl) Merr. (LIPI, 2013).
2.1.4 Nama daerah
Nama Indonesia Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb adalah bawang kapal
(Sumatera); nama daerah Jawa adalah babawangan beureum, bawang sabrang,
bawang siyem, brambang sabrang, luluwan sapi, teki sabrang (Ditjen POM, 1989;
Ogata, 1995).
2.1.5 Morfologi tumbuhan
Merupakan tumbuhan terna, tinggi tanaman mencapai 25-50 cm.
Bunganya putih terbuka jam 5 sore dan tertutup pada jam 7 petang, umbi lapisnya
berwarna merah (Wardani, 2009; Ogata, 1995). Daun tunggal, letak daun
berhadapan, warna daun hijau muda, bentuk daun sangat panjang dan meruncing,
tepi daun halus tanpa gerigi, pangkal daun berbentuk runcing dan ujung daun
meruncing, permukaan daun atas dan bawah halus dan tulang daun sejajar.
Batangnya tumbuh tegak atau merunduk. Umbinya panjang bulat telur, warna
merah, tidak berbau sama sekali. Daunnya ada dua macam yaitu yang berbentuk
pita dengan ujungnya yang runcing, sedangkan daun-daun lainnya berbentuk
menyerupai batang, berwarna hijau, beriga, lebarnya beberapa jari. Bunga
warnanya putih, terdapat pada ketiak-ketiak daun atas, dalam rumpun bunga yang
terdiri dari 4 sampai 10 bunga (Wardani, 2009). Gambar umbi lapis bawang
sabrang dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Bawang sabrang (Galingging, 2009)
2.1.6 Kandungan kimia
Kandungan kimia umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid, flavonoid,
saponin, terpenoid, steroid, glikosida, tanin, fenolik, antrakuinon (Galingging,
2009; Banjarnahor 2010; Singarimbun, 2011). Golongan senyawa kimia yang
terdapat pada ekstrak etanol umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid,
flavonoid, glikosida, saponin, antrakuinon glikosida, tanin dan
triterpenoid/steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi n-heksana
adalah triterpen dan steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi
etilasetat adalah senyawa fenol, tanin dan flavonoid (Banjarnahon, 2010; Mierza,
2011; Subramaniam, et al., 2012).
2.1.7 Penggunaan tumbuhan
Umbi tanaman dapat mengatasi sembelit, disuria, radang usus, disentri dan
luka, daunnya digunakan untuk demam, nifas dan antiemetik (Wardani, 2009;
Ogata, 1995; Heyne, 1987). Selain itu umbi dapat digunakan sebagai diuretik,
purgatif, mengurangi rasa nyeri (Ditjen POM, 1989); kanker, kista, prostat,
diabetes, asam urat, hipertensi, gangguan pencernaan, kolesterol, gondok,
bronkhitis, stamina menurun, gangguan seksual, sakit pinggang, pegal-pegal,
Universitas Sumatera Utara
peluruh seni, pencahar, peluruh muntah, obat luka, disentri dan proktitis (radang
porus usus). Air rebusan umbi dapat digunakan sebagai obat penyakit kuning,
disentri dan radang usus (Wardani, 2009; Heyne, 1987).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap umbi lapis bawang
sabrang diantaranya sebagai antimelanogenesis 50 µg/ml dan antijamur (Arung,
2009; Alves, et al., 2003), antibiofilm (Limsuwan, et al., 2008), pengujian ekstrak
etanol, fraksi dan isolat murni terhadap bakteri Staphylococcus yang diisolasi dari
makanan (Ifesan, et al., 2009), antioksidan (Alia, 2011; Sofwan, 2011), antibakteri
(Mierza, 2011; Sirirak dan Voravuthikunchai, 2011; Subramaniam, et al., 2012
),
antikanker kolon (Li, et al., 2008; Yusni, 2008) dan anti kanker serviks uteri Hela
(Budityastomo, 2010).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan
yang tidak dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 1986) atau
merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan
pelarut yang sesuai (Agoes, 2007). Struktur kimia zat aktif yang terdapat dalam
berbagai simplisia akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-
senyawa tersebut terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya dan derajat
keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang dikandung simplisia akan
mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat (Ditjen
POM, 1986). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak
faktor, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi
netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak mempengaruhi zat
berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan. Untuk proses penyarian Farmakope
Universitas Sumatera Utara
Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air.
Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena kapang dan kuman sulit tumbuh
dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat
bercampur dengan air pada skala perbandingan, panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit. Untuk meningkatkan penyarian biasanya digunakan
campuran antara etanol dan air (Ditjen POM, 1986).
2.2.1 Metode ekstraksi
Ada beberapa metode ekstraksi (Ditjen POM, 1986) yaitu:
a. Cara dingin
i. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.
Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel,
sehingga larutan yang pekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi secara
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti
daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari
simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan
yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Pada penyarian dengan cara
maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi
larutan di luar serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap
Universitas Sumatera Utara
terjaga adanya derajat perbedaan kosentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan
di dalam sel dengan larutan di luar sel.
Maserasi dapat dilakukan dengan cara menurut Farmakope Indonesia Edisi
III (1979):
Sebanyak 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan
kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari,
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk.
Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari
secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana
tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari.
Dienaptuangkan dan disaring.
ii. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian
bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah
melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dari sel-sel yang
dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh adanya
kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan gaya
kapiler yang cenderung untuk menahan. Untuk menentukan akhir perkolasi,
dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kulalitatif pada perkolat terakhir. Proses
perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai
diperoleh ekstrak.
Universitas Sumatera Utara
b. Cara panas
i. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur
titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Keuntungan dari metode ini adalah
digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar
dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total
pelarut yang besar.
ii. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu umumnya pada
temperatur 40 - 50ºC.
iii. Infundasi
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air (bejana infus tercelup dalam
penangas air mendidih, temperatur terukur 90ºC selama waktu tertentu 15 - 20
menit).
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperatur 90ºC.
iv. Sokletasi
Sokletasi adalah penyarian simplisia dengan menggunakan alat sokletasi,
cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi
menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia
dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara
langsung, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur.
2.3 Kanker Menurut Franks dan Teich (1998), sel kanker itu timbul dari sel normal
tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena adanya
mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya kanker).
Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan
diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen (anti onkogen).
Paparan karsinogen antara lain berbagai jenis virus, bahan kimia, radiasi dan
ultraviolet. Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki sifat biologis yang sama
yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA. Kesamaan sifat ini
menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan
karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan DNA sel (Kresno, 2003).
Apabila perbaikan DNA karena adanya perubahan DNA tersebut gagal, maka
terjadi mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan pengaktifan onkogen
pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, serta
penonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan timbulnya
neoplasma ganas atau lebih dikenal dengan kanker (Kumar, et al., 2003).
Adapun ciri-ciri sel kanker secara khusus yang membedakan dengan sel
normal (Kumar, et al., 2005), antara lain sebagai berikut:
a. sel kanker mampu mencukupi kebutuhan sinyal pertumbuhannya sendiri
b. sel kanker tidak sensitif terhadap sinyal antiproliferatif
c. sel kanker mampu menghindar dari mekanisme apoptosis
Universitas Sumatera Utara
d. kemampuan angiogenesis yang dimiliki oleh sel kanker
e. sel kanker mampu menginvasi jaringan di sekitarnya dan membentuk anak
sebar (metastasis)
f. sel kanker memiliki potensi yang tak terbatas untuk mengadakan replikasi.
2.3.1 Siklus sel
Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap
2 (G2), dan M (Mitosis) (Rang, et al., 2003). Lamanya siklus tersebut berbeda-
beda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20 - 24
jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8 - 10 jam, fase S 6 - 8 jam, fase G2 5 jam dan
fase M 1 jam (Freshney, 2000).
Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui
perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin.
Pada tahapan tertentu siklus sel, kadar berbagai siklin meningkat setelah
didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut. Siklin
menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehingga
akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase
bergantung siklin (cyclin-dependent kinase). Aktivasi CDK memerlukan ekspresi
siklin. Kombinasi yang berbeda dari siklin dan CDK berkaitan dengan setiap
transisi penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini menggunakan efeknya dengan
memfosforilasi sekelompok substrat protein tertentu (Kumar, et al., 2005).
a. Fase G1
Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan tumbuh,
struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi (Mutschler, 1999). Selama fase
ini nukleus membesar dan volume sitoplasma meningkat dengan cepat sehingga
Universitas Sumatera Utara
disebut fase sintesis, protein yang dapat memacu pembelahan sel, tubulin dan
protein yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007).
b. Fase S
Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses replikasi.
Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase. Dengan
dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja,
2000). Pada fase S dengan pembentukan asam deoksiribonukleat baru, jumlah
kromosom akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan
(Mutschler, 1999). Suryo (2007), menyebutkan bahwa pada akhir fase ini
terbentuk 2 kromatid.
c. Fase G2
Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan sebagainya untuk
persiapan fase berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga
fase pramitosis dengan ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali
lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis DNA dan
protein (Nafrialdi dan Gans, 1995). Selain itu, pada fase G2 kromosom sudah ada
dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999). Apabila terjadi kerusakan DNA dan
DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M
diblok dan dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh protein
kinase yang memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25 sehingga menjadi tidak
aktif. Hal ini menyebabkan fase M diblok karena tidak terbentuknya cdk1/siklin B
sebagai regulator menuju fase M. Penghentian pada fase G2 dilakukan untuk
perbaikan DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan maka terjadi
apoptosis (Freshney, 2000).
Universitas Sumatera Utara
d. Fase M
Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba dan
terjadi pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan, 1995). Pembelahan
menjadi dua sel ini terdiri dari empat tahap, yaitu profase, metaphase, anaphase,
dan telofase. Pada awal fase mitosis ditandai dengan terbentuknya benang spindel
dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom (Pusztai, et al., 1996).
Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator
positif dan negatif. Kelompok siklin khususnya siklin D, E, A dan B merupakan
protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. siklin bersama dengan
kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak
sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia
ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan
ekspresi siklin (D, E, A dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus sel
(G1-S-G2-M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus
sel, yakni CDK inhibitor (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi
p16, p18, p19). Selain itu, tumor suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga
bertindak sebagai protein regulator negatif (Foster, et al., 2001).
Checkpoint pada fase G1 akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai;
(2) ketersediaan nutrien mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal
dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G2 dapat dilewati jika ukuran sel
memadai dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna, sedangkan
checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel
pada gelendong (spindle) mitotik (Ruddon, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitosis,
sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak
terbentuk atau jika kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak menempel
dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan memonitor
apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak, kohesi
kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek sehingga
kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon, 2007).
Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik.
Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak
meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau
kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan
genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi
siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).
2.3.2 Apoptosis dan nekrosis
Kematian sel merupakan kehilangan irreversibel dari suatu membran
plasma. Secara historis, ada tiga jenis kematian sel pada sel mamalia dengan
kriteria morfologi, Type I, dikenal sebagai apoptosis. Apoptosis adalah perubahan
karakteristik dalam morfologi, termasuk kondensasi kromatin (pyknosis) dan
fragmentasi (karyorrhexis), perubahan minor dalam organel sitoplasma dan
penyusutan sel secara keseluruhan. Pecahnya membran plasma dan pembentukan
badan-badan apoptosis yang mengandung inti sel atau sitoplasma. Semua
perubahan ini terjadi sebelum membran plasma lisis (Golstein, 2006).
Tipe II ditandai dengan akumulasi besar dua membran vakuola dalam
sitoplasma. Kematian sel tipe III dikenal sebagai nekrosis, sering didefinisikan
Universitas Sumatera Utara
secara negatif seperti kematian yang tidak memiliki ciri-ciri proses tipe I dan tipe
II. Nekrosis didasarkan pada kriteria morfologi kehancuran membran plasma
secara awal dan dilatasi organel sitoplasma, khususnya mitokondria (Golstein,
2006).
a. Apoptosis
Apoptosis adalah program kematian sel sebagai respon fisiologis sel untuk
mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan tubuh. Apoptosis berperan secara
esensial dalam embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel yang jumlahnya
berlebihan. Apoptosis juga berperan dalam memantau perubahan pada sel-sel
kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan pertama untuk melawan mutasi
dengan membersihkan sel-sel DNA abnormal yang dapat menjadi ganas. Dengan
demikian apoptosis merupakan bagian dari sistem imun dan juga untuk
mengontrol populasi sel normal dalam tubuh (Rang, et al., 2003)
Proses apoptosis diawali dengan terkondensasinya kromatin di dalam
nucleus menjadi suatu massa yang padat dan DNA terfragmentasi kemudian
sitoplasmanya menyusut. Selanjutnya terjadi pelekukan pada membran sel.
Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi menyebar menuju ke lekukan-
lekukan membrane sel membentuk badan apoptosis yang akan difagosit oleh
makrofag (Doyle dan Griffiths, 2000; King, 2000).
Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat
berasal dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang termasuk pada sinyal
ekstrinsik antara lain hormon, faktor pertumbuhan, dan sitokin. Semua sinyal
tersebut harus dapat menembus membran plasma ataupun transduksi untuk dapat
menimbulkan respon (Lumongga, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Sinyal intrinsik apoptosis merupakan suatu respon yang diinisiasi oleh sel
sebagai respon terhadap stress dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel.
Pengikatan reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas, radiasi, kekurangan
nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan kedaan yang dapat menimbulkan
pelepasan sinyal apoptosis intrinsik melalui kerusakan sel (Lumongga, 2008).
Sebelum terjadi proses kematian sel melalui enzim, sinyal apoptosis harus
dihubungkan dengan jalur kematian sel melalui regulasi protein. Pada regulasi ini
terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis, yaitu:
melalui mitokondria dan penghantaran sinyal secara langsung melalui adapter
protein (Lumongga, 2008).
Jalur ekstrinsik terjadi oleh pengikatan reseptor kematian pada permukaan
sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor
nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirim
sinyal apoptotis. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1
yang dihubungkan dengan protein Fas (CD95). Pada saat Fas berikatan dengan
ligandnya, membrane menuju ligand (FasL). Tiga atau lebih molekul Fas
bergabung dan cytoplasmic death domain membentuk binding site untuk adapter
protein FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor
kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul
procaspase ini kemudian dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8
aktif. Enzim ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian
mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzim untuk mediator pada
fase eksekusi. Jalur ini dapat dihambat oleh protein FLIP, tidak menyebabkan
pecahnya enzim procaspase 8 dan tidak menjadi aktif (Lumongga, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Jalur intrinsik terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan
pelepasan molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma, tanpa memerlukan reseptor
kematian. Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang pembentukan
protein antiapoptosis Bcl2, yang berfungsi sebagai regulasi apoptosis. Protein
apoptosis yang utama adalah: Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada keadaan normal
terdapat pada membran mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami
stress, Bcl-2 dan Bcl-x menghilang dari membran mitokondria dan digantikan
oleh protein pro-apoptosi seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bcl-x
menurun, permeabilitas membran mitokondria meningkat, beberapa protein dapat
mengaktifkan cascade caspase. Salah satu protein tersebut adalah cytochrom-c
yang diperlukan untuk proses respirasi pada mitokondria. Di dalam sitosol,
cytochrom c berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan
mengaktifasi caspase-9. Protein mitokondria lainnya, seperti Apoptosis Including
Factor (AIF) memasuki sitoplasma dengan berbagai inhibitor apoptosis yang pada
keadaan normal untuk menghambat aktivasi caspase (Lumongga, 2008).
b. Nekrosis
Nekrosis didefinisikan sebagai kematian sel yang tidak memiliki ciri-ciri
seperti apoptosis dan autophagy. Nekrosis sering dihubungkan dengan sesuatu
yang bersifat negatif, namun nekrosis dapat mencakup tanda-tanda proses yang
terkontrol seperti disfungsi mitokondria, peningkatkan generasi spesies oksigen
reaktif, pengurangan ATP, proteolisis oleh calpains dan cathepsins dan kerusakan
membran plasma awal. Selain itu, penghambatan spesifik protein yang terlibat
dalam mengatur apoptosis atau autophagy dapat mengubah jenis kematian sel
menjadi nekrosis (Golstein, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Kanker payudara
Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial
payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar, sehingga kanker payudara
tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling
umum diderita oleh wanita, di samping kanker serviks. Penyebab kanker payudara
sangat beragam, antara lain (Torosian, 2002):
a. kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh radiasi yang berlebihan
b. kegagalan pertahanan imun dalam pencegahan proses malignan pada fase awal
c. faktor pertumbuhan yang abnormal
d. malfungsi DNA repairs seperti: BRCA1, BRCA2 dan p53.
Kanker payudara terjadi ketika sel-sel pada payudara tumbuh tidak
terkendali dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan
organ tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan
yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Semua tipe jaringan pada payudara dapat
berkembang menjadi kanker, namun pada umumnya kanker muncul baik dari
saluran (ducts) maupun kelenjar (glands). Perkembangannya memerlukan waktu
berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai tumor tersebut cukup besar untuk
dirasakan pada payudara. Deteksi dapat dilakukan dengan mammograms yang
kadang-kadang dapat mendeteksi tumor sejak dini (Dolinsky dan Kayser, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Payudara normal Kanker payudara
Gambar 2.2 Kanker Payudara (Dolinsky dan Kayser, 2013).
Faktor risiko kanker payudara dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat
diubah (reversible) dan yang tidak dapat diubah (irreversible). Faktor-faktor yang
tidak dapat diubah termasuk jenis kelamin, bertambahnya umur, ada tidaknya
riwayat keluarga menderita kanker, pernah tidaknya menderita kanker payudara,
pernah-tidaknya mendapat terapi radiasi pada bagian dada, suku bangsa
Kaukasian, orang yang mengalami menstruasi pertama pada usia sangat muda
(sebelum 12 tahun), yang mengalami menopause terlambat (setelah 50 tahun),
yang tidak pernah melahirkan atau melahirkan di usia lebih dari 30 tahun dan
yang mengalami mutasi genetik. Dari berbagai macam faktor tersebut, 3% - 10%
penyebab kanker payudara diduga berkaitan dengan perubahan baik gen BRCA1
maupun gen BRCA2 (Dolinsky dan Kayser, 2013).
Beberapa faktor yang menaikkan risiko menderita kanker payudara yang
dapat diubah, yakni mendapatkan terapi pengganti hormon (penggunaan estrogen
dan progesteron dalam jangka waktu lama untuk mengatasi gejala menopause),
menggunakan pil antikontrasepsi (pil KB), tidak menyusui, mengonsumsi
minuman beralkohol 2 - 5 gelas per hari, menjadi gemuk terutama setelah
menopause dan tidak berolahraga (Dolinsky dan Kayser, 2013). Perlu diingat
bahwa faktor-faktor risiko tersebut hanyalah berdasarkan pada kemungkinan.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang tetap dapat terkena kanker payudara walaupun ia tidak mempunyai satu
pun faktor risiko tersebut. Menghindari faktor risiko tersebut dan deteksi awal
adalah cara terbaik untuk mengurangi kematian berkaitan dengan kanker ini.
Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat
berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker
payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30%
kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs,
2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan
dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development).
Proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi
berlebih beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER-
2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles,
2001). Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan
memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu
ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti siklin D1, CDK4 (cyclin-
dependent kinase 4), siklin E dan CDK2.
2.3.4 Sel T47D
Sel T47D (Human ductal breast epithelial tumor cell line) adalah sel yang
mengekspresikan tumor yang telah termutasi pada protein p53. Sel ini dapat
kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan esterogen pada jangka
waktu lama selama percobaan in vitro. Sel ini berasal dari ductal carcinoma dan
mengeksprasikan caspase 3 (Mooney, et al., 2002). Oleh karena itu sel ini
digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor
payudara p53 mutan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Doksorubisin efek sampingnya dan resitensinya
Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi
dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara
luas untuk mengobati kanker payudara (Thurston dan Iliskovic, 1998). Senyawa
ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah
digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et
al., 1998; Rock, et al., 2003).
Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S
dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan
pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA
melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan
RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan
mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang
akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II
membentuk kompleks pemotong DNA (Rock, et al., 2003).
Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai
jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004). Efek
samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual,
imunosupresi dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol dengan
obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan
doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti
dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian
restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin
merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang
Universitas Sumatera Utara
memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya
spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan
ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul,
et al., 2005).
2.3.6 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT
Uji sitotoksisitas dilakukan secara in vitro, yaitu untuk menentukan
potensi sitotoksik suatu senyawa seperti obat antikanker. Toksisitas merupakan
kejadian kompleks secara in vivo yang menimbulkan kerusakan sel akibat
penggunaan obat antikanker yang bersifat sitotoksik. Respon sel terhadap agen-
agen sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel (Kupcsik dan Stoddart, 2011).
Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]
adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan
pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme
suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik dan Stoddart,
2011).
Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja
enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem
reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup
(Kupcsik dan Stoddart, 2011).
Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air
sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanool atau 10% SDS
dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan
spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif
Universitas Sumatera Utara
melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase
viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
2.3.7 Indeks selektivitas (IS)
Untuk memperoleh nilai Indeks selektivitas digunakan sel yang berasal
dari ginjal monyet hijau afrika (Vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-
2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT). Indeks selektivitas (IS) diperoleh dari
rasio IC50 sel Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai IS lebih
tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas
(keamanan) yang tinggi (Prayong, 2008).
2.3.8 Indeks kombinasi (IK)
Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi
(ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel
kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin.
Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi melawan
kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen
kemoterapi (Sharma, et al., 2004; Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai
metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi
terapi yang tepat.
Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum
digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama
kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan
menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC50) dari masing-masing obat
ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan
Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif.
Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang
sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif, atau antagonis
diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di
bawah, pada, atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004).
Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis
dengan indeks kombinasi (IK). Analisis IK menghasilkan suatu nilai parameter
kuantitatif yang menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut.
I= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2
I adalah IK. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang dibutuhkan
untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC50 terhadap pertumbuhan sel
kanker payudara. (D)1 dan (D)2 adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk
memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama, atau lebih dari 1
mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif, atau antagonis (Zhao, et
al., 2004; Reynold dan Maurer, 2005).
Universitas Sumatera Utara