Chapter II

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi habitat dan daerah tumbuh, sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan senyawa kimia, serta penggunaan tumbuhan. 2.1.1 Daerah tumbuh Bawang sabrang termasuk tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis, di Jawa dipelihara sebagai tanaman hias dan di beberapa tempat tumbuh liar antara 600 hingga 1500 Meter di atas permukaan laut, kadang-kadang didapati dalam jumlah besar di pinggir-pinggir jalan yang berumput dan di dalam kebun-kebun teh, kina dan karet (Ogata, 1995). 2.1.2. Sistematika tumbuhan Sistematika dari tumbuhan bawang sabrang menurut LIPI (2013) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Liliales Famili : Iridaceae Genus : Eleutherine Species : Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb. Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi habitat dan daerah tumbuh, sistematika

tumbuhan, sinonim, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan senyawa

kimia, serta penggunaan tumbuhan.

2.1.1 Daerah tumbuh

Bawang sabrang termasuk tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis, di

Jawa dipelihara sebagai tanaman hias dan di beberapa tempat tumbuh liar antara

600 hingga 1500 Meter di atas permukaan laut, kadang-kadang didapati dalam

jumlah besar di pinggir-pinggir jalan yang berumput dan di dalam kebun-kebun

teh, kina dan karet (Ogata, 1995).

2.1.2. Sistematika tumbuhan

Sistematika dari tumbuhan bawang sabrang menurut LIPI (2013) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Liliales

Famili : Iridaceae

Genus : Eleutherine

Species : Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Sinonim

Nama lain Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb. adalah Eleutherine americana

(Aubl) Merr. (LIPI, 2013).

2.1.4 Nama daerah

Nama Indonesia Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb adalah bawang kapal

(Sumatera); nama daerah Jawa adalah babawangan beureum, bawang sabrang,

bawang siyem, brambang sabrang, luluwan sapi, teki sabrang (Ditjen POM, 1989;

Ogata, 1995).

2.1.5 Morfologi tumbuhan

Merupakan tumbuhan terna, tinggi tanaman mencapai 25-50 cm.

Bunganya putih terbuka jam 5 sore dan tertutup pada jam 7 petang, umbi lapisnya

berwarna merah (Wardani, 2009; Ogata, 1995). Daun tunggal, letak daun

berhadapan, warna daun hijau muda, bentuk daun sangat panjang dan meruncing,

tepi daun halus tanpa gerigi, pangkal daun berbentuk runcing dan ujung daun

meruncing, permukaan daun atas dan bawah halus dan tulang daun sejajar.

Batangnya tumbuh tegak atau merunduk. Umbinya panjang bulat telur, warna

merah, tidak berbau sama sekali. Daunnya ada dua macam yaitu yang berbentuk

pita dengan ujungnya yang runcing, sedangkan daun-daun lainnya berbentuk

menyerupai batang, berwarna hijau, beriga, lebarnya beberapa jari. Bunga

warnanya putih, terdapat pada ketiak-ketiak daun atas, dalam rumpun bunga yang

terdiri dari 4 sampai 10 bunga (Wardani, 2009). Gambar umbi lapis bawang

sabrang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Bawang sabrang (Galingging, 2009)

2.1.6 Kandungan kimia

Kandungan kimia umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid, flavonoid,

saponin, terpenoid, steroid, glikosida, tanin, fenolik, antrakuinon (Galingging,

2009; Banjarnahor 2010; Singarimbun, 2011). Golongan senyawa kimia yang

terdapat pada ekstrak etanol umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid,

flavonoid, glikosida, saponin, antrakuinon glikosida, tanin dan

triterpenoid/steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi n-heksana

adalah triterpen dan steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi

etilasetat adalah senyawa fenol, tanin dan flavonoid (Banjarnahon, 2010; Mierza,

2011; Subramaniam, et al., 2012).

2.1.7 Penggunaan tumbuhan

Umbi tanaman dapat mengatasi sembelit, disuria, radang usus, disentri dan

luka, daunnya digunakan untuk demam, nifas dan antiemetik (Wardani, 2009;

Ogata, 1995; Heyne, 1987). Selain itu umbi dapat digunakan sebagai diuretik,

purgatif, mengurangi rasa nyeri (Ditjen POM, 1989); kanker, kista, prostat,

diabetes, asam urat, hipertensi, gangguan pencernaan, kolesterol, gondok,

bronkhitis, stamina menurun, gangguan seksual, sakit pinggang, pegal-pegal,

Universitas Sumatera Utara

peluruh seni, pencahar, peluruh muntah, obat luka, disentri dan proktitis (radang

porus usus). Air rebusan umbi dapat digunakan sebagai obat penyakit kuning,

disentri dan radang usus (Wardani, 2009; Heyne, 1987).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap umbi lapis bawang

sabrang diantaranya sebagai antimelanogenesis 50 µg/ml dan antijamur (Arung,

2009; Alves, et al., 2003), antibiofilm (Limsuwan, et al., 2008), pengujian ekstrak

etanol, fraksi dan isolat murni terhadap bakteri Staphylococcus yang diisolasi dari

makanan (Ifesan, et al., 2009), antioksidan (Alia, 2011; Sofwan, 2011), antibakteri

(Mierza, 2011; Sirirak dan Voravuthikunchai, 2011; Subramaniam, et al., 2012

),

antikanker kolon (Li, et al., 2008; Yusni, 2008) dan anti kanker serviks uteri Hela

(Budityastomo, 2010).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan

yang tidak dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 1986) atau

merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan

pelarut yang sesuai (Agoes, 2007). Struktur kimia zat aktif yang terdapat dalam

berbagai simplisia akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-

senyawa tersebut terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya dan derajat

keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang dikandung simplisia akan

mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat (Ditjen

POM, 1986). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak

faktor, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi

netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak mempengaruhi zat

berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan. Untuk proses penyarian Farmakope

Universitas Sumatera Utara

Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air.

Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena kapang dan kuman sulit tumbuh

dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat

bercampur dengan air pada skala perbandingan, panas yang diperlukan untuk

pemekatan lebih sedikit. Untuk meningkatkan penyarian biasanya digunakan

campuran antara etanol dan air (Ditjen POM, 1986).

2.2.1 Metode ekstraksi

Ada beberapa metode ekstraksi (Ditjen POM, 1986) yaitu:

a. Cara dingin

i. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut

melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.

Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel,

sehingga larutan yang pekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi secara

berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan

di dalam sel.

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti

daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari

simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan

yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Pada penyarian dengan cara

maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi

larutan di luar serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap

Universitas Sumatera Utara

terjaga adanya derajat perbedaan kosentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan

di dalam sel dengan larutan di luar sel.

Maserasi dapat dilakukan dengan cara menurut Farmakope Indonesia Edisi

III (1979):

Sebanyak 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan

kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari,

ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk.

Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari

secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana

tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari.

Dienaptuangkan dan disaring.

ii. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur

ruangan. Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian

bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah

melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dari sel-sel yang

dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh adanya

kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan gaya

kapiler yang cenderung untuk menahan. Untuk menentukan akhir perkolasi,

dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kulalitatif pada perkolat terakhir. Proses

perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai

diperoleh ekstrak.

Universitas Sumatera Utara

b. Cara panas

i. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur

titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik. Keuntungan dari metode ini adalah

digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar

dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total

pelarut yang besar.

ii. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu umumnya pada

temperatur 40 - 50ºC.

iii. Infundasi

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air (bejana infus tercelup dalam

penangas air mendidih, temperatur terukur 90ºC selama waktu tertentu 15 - 20

menit).

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan

temperatur 90ºC.

iv. Sokletasi

Sokletasi adalah penyarian simplisia dengan menggunakan alat sokletasi,

cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi

menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia

dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah

melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara

langsung, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur.

2.3 Kanker Menurut Franks dan Teich (1998), sel kanker itu timbul dari sel normal

tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena adanya

mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya kanker).

Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan

diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen (anti onkogen).

Paparan karsinogen antara lain berbagai jenis virus, bahan kimia, radiasi dan

ultraviolet. Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki sifat biologis yang sama

yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA. Kesamaan sifat ini

menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan

karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan DNA sel (Kresno, 2003).

Apabila perbaikan DNA karena adanya perubahan DNA tersebut gagal, maka

terjadi mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan pengaktifan onkogen

pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, serta

penonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan timbulnya

neoplasma ganas atau lebih dikenal dengan kanker (Kumar, et al., 2003).

Adapun ciri-ciri sel kanker secara khusus yang membedakan dengan sel

normal (Kumar, et al., 2005), antara lain sebagai berikut:

a. sel kanker mampu mencukupi kebutuhan sinyal pertumbuhannya sendiri

b. sel kanker tidak sensitif terhadap sinyal antiproliferatif

c. sel kanker mampu menghindar dari mekanisme apoptosis

Universitas Sumatera Utara

d. kemampuan angiogenesis yang dimiliki oleh sel kanker

e. sel kanker mampu menginvasi jaringan di sekitarnya dan membentuk anak

sebar (metastasis)

f. sel kanker memiliki potensi yang tak terbatas untuk mengadakan replikasi.

2.3.1 Siklus sel

Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap

2 (G2), dan M (Mitosis) (Rang, et al., 2003). Lamanya siklus tersebut berbeda-

beda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20 - 24

jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8 - 10 jam, fase S 6 - 8 jam, fase G2 5 jam dan

fase M 1 jam (Freshney, 2000).

Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui

perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin.

Pada tahapan tertentu siklus sel, kadar berbagai siklin meningkat setelah

didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut. Siklin

menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehingga

akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase

bergantung siklin (cyclin-dependent kinase). Aktivasi CDK memerlukan ekspresi

siklin. Kombinasi yang berbeda dari siklin dan CDK berkaitan dengan setiap

transisi penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini menggunakan efeknya dengan

memfosforilasi sekelompok substrat protein tertentu (Kumar, et al., 2005).

a. Fase G1

Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan tumbuh,

struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi (Mutschler, 1999). Selama fase

ini nukleus membesar dan volume sitoplasma meningkat dengan cepat sehingga

Universitas Sumatera Utara

disebut fase sintesis, protein yang dapat memacu pembelahan sel, tubulin dan

protein yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007).

b. Fase S

Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses replikasi.

Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase. Dengan

dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja,

2000). Pada fase S dengan pembentukan asam deoksiribonukleat baru, jumlah

kromosom akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan

(Mutschler, 1999). Suryo (2007), menyebutkan bahwa pada akhir fase ini

terbentuk 2 kromatid.

c. Fase G2

Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan sebagainya untuk

persiapan fase berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga

fase pramitosis dengan ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali

lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis DNA dan

protein (Nafrialdi dan Gans, 1995). Selain itu, pada fase G2 kromosom sudah ada

dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999). Apabila terjadi kerusakan DNA dan

DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M

diblok dan dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh protein

kinase yang memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25 sehingga menjadi tidak

aktif. Hal ini menyebabkan fase M diblok karena tidak terbentuknya cdk1/siklin B

sebagai regulator menuju fase M. Penghentian pada fase G2 dilakukan untuk

perbaikan DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan maka terjadi

apoptosis (Freshney, 2000).

Universitas Sumatera Utara

d. Fase M

Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba dan

terjadi pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan, 1995). Pembelahan

menjadi dua sel ini terdiri dari empat tahap, yaitu profase, metaphase, anaphase,

dan telofase. Pada awal fase mitosis ditandai dengan terbentuknya benang spindel

dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom (Pusztai, et al., 1996).

Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator

positif dan negatif. Kelompok siklin khususnya siklin D, E, A dan B merupakan

protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. siklin bersama dengan

kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak

sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia

ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan

ekspresi siklin (D, E, A dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus sel

(G1-S-G2-M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus

sel, yakni CDK inhibitor (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi

p16, p18, p19). Selain itu, tumor suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga

bertindak sebagai protein regulator negatif (Foster, et al., 2001).

Checkpoint pada fase G1 akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai;

(2) ketersediaan nutrien mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal

dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G2 dapat dilewati jika ukuran sel

memadai dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna, sedangkan

checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel

pada gelendong (spindle) mitotik (Ruddon, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitosis,

sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak

terbentuk atau jika kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak menempel

dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan memonitor

apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak, kohesi

kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek sehingga

kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon, 2007).

Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik.

Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak

meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau

kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan

genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi

siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).

2.3.2 Apoptosis dan nekrosis

Kematian sel merupakan kehilangan irreversibel dari suatu membran

plasma. Secara historis, ada tiga jenis kematian sel pada sel mamalia dengan

kriteria morfologi, Type I, dikenal sebagai apoptosis. Apoptosis adalah perubahan

karakteristik dalam morfologi, termasuk kondensasi kromatin (pyknosis) dan

fragmentasi (karyorrhexis), perubahan minor dalam organel sitoplasma dan

penyusutan sel secara keseluruhan. Pecahnya membran plasma dan pembentukan

badan-badan apoptosis yang mengandung inti sel atau sitoplasma. Semua

perubahan ini terjadi sebelum membran plasma lisis (Golstein, 2006).

Tipe II ditandai dengan akumulasi besar dua membran vakuola dalam

sitoplasma. Kematian sel tipe III dikenal sebagai nekrosis, sering didefinisikan

Universitas Sumatera Utara

secara negatif seperti kematian yang tidak memiliki ciri-ciri proses tipe I dan tipe

II. Nekrosis didasarkan pada kriteria morfologi kehancuran membran plasma

secara awal dan dilatasi organel sitoplasma, khususnya mitokondria (Golstein,

2006).

a. Apoptosis

Apoptosis adalah program kematian sel sebagai respon fisiologis sel untuk

mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan tubuh. Apoptosis berperan secara

esensial dalam embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel yang jumlahnya

berlebihan. Apoptosis juga berperan dalam memantau perubahan pada sel-sel

kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan pertama untuk melawan mutasi

dengan membersihkan sel-sel DNA abnormal yang dapat menjadi ganas. Dengan

demikian apoptosis merupakan bagian dari sistem imun dan juga untuk

mengontrol populasi sel normal dalam tubuh (Rang, et al., 2003)

Proses apoptosis diawali dengan terkondensasinya kromatin di dalam

nucleus menjadi suatu massa yang padat dan DNA terfragmentasi kemudian

sitoplasmanya menyusut. Selanjutnya terjadi pelekukan pada membran sel.

Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi menyebar menuju ke lekukan-

lekukan membrane sel membentuk badan apoptosis yang akan difagosit oleh

makrofag (Doyle dan Griffiths, 2000; King, 2000).

Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat

berasal dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang termasuk pada sinyal

ekstrinsik antara lain hormon, faktor pertumbuhan, dan sitokin. Semua sinyal

tersebut harus dapat menembus membran plasma ataupun transduksi untuk dapat

menimbulkan respon (Lumongga, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Sinyal intrinsik apoptosis merupakan suatu respon yang diinisiasi oleh sel

sebagai respon terhadap stress dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel.

Pengikatan reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas, radiasi, kekurangan

nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan kedaan yang dapat menimbulkan

pelepasan sinyal apoptosis intrinsik melalui kerusakan sel (Lumongga, 2008).

Sebelum terjadi proses kematian sel melalui enzim, sinyal apoptosis harus

dihubungkan dengan jalur kematian sel melalui regulasi protein. Pada regulasi ini

terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis, yaitu:

melalui mitokondria dan penghantaran sinyal secara langsung melalui adapter

protein (Lumongga, 2008).

Jalur ekstrinsik terjadi oleh pengikatan reseptor kematian pada permukaan

sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor

nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirim

sinyal apoptotis. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1

yang dihubungkan dengan protein Fas (CD95). Pada saat Fas berikatan dengan

ligandnya, membrane menuju ligand (FasL). Tiga atau lebih molekul Fas

bergabung dan cytoplasmic death domain membentuk binding site untuk adapter

protein FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor

kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul

procaspase ini kemudian dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8

aktif. Enzim ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian

mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzim untuk mediator pada

fase eksekusi. Jalur ini dapat dihambat oleh protein FLIP, tidak menyebabkan

pecahnya enzim procaspase 8 dan tidak menjadi aktif (Lumongga, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Jalur intrinsik terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan

pelepasan molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma, tanpa memerlukan reseptor

kematian. Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang pembentukan

protein antiapoptosis Bcl2, yang berfungsi sebagai regulasi apoptosis. Protein

apoptosis yang utama adalah: Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada keadaan normal

terdapat pada membran mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami

stress, Bcl-2 dan Bcl-x menghilang dari membran mitokondria dan digantikan

oleh protein pro-apoptosi seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bcl-x

menurun, permeabilitas membran mitokondria meningkat, beberapa protein dapat

mengaktifkan cascade caspase. Salah satu protein tersebut adalah cytochrom-c

yang diperlukan untuk proses respirasi pada mitokondria. Di dalam sitosol,

cytochrom c berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan

mengaktifasi caspase-9. Protein mitokondria lainnya, seperti Apoptosis Including

Factor (AIF) memasuki sitoplasma dengan berbagai inhibitor apoptosis yang pada

keadaan normal untuk menghambat aktivasi caspase (Lumongga, 2008).

b. Nekrosis

Nekrosis didefinisikan sebagai kematian sel yang tidak memiliki ciri-ciri

seperti apoptosis dan autophagy. Nekrosis sering dihubungkan dengan sesuatu

yang bersifat negatif, namun nekrosis dapat mencakup tanda-tanda proses yang

terkontrol seperti disfungsi mitokondria, peningkatkan generasi spesies oksigen

reaktif, pengurangan ATP, proteolisis oleh calpains dan cathepsins dan kerusakan

membran plasma awal. Selain itu, penghambatan spesifik protein yang terlibat

dalam mengatur apoptosis atau autophagy dapat mengubah jenis kematian sel

menjadi nekrosis (Golstein, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Kanker payudara

Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial

payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar, sehingga kanker payudara

tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling

umum diderita oleh wanita, di samping kanker serviks. Penyebab kanker payudara

sangat beragam, antara lain (Torosian, 2002):

a. kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat

disebabkan oleh radiasi yang berlebihan

b. kegagalan pertahanan imun dalam pencegahan proses malignan pada fase awal

c. faktor pertumbuhan yang abnormal

d. malfungsi DNA repairs seperti: BRCA1, BRCA2 dan p53.

Kanker payudara terjadi ketika sel-sel pada payudara tumbuh tidak

terkendali dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan

organ tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan

yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Semua tipe jaringan pada payudara dapat

berkembang menjadi kanker, namun pada umumnya kanker muncul baik dari

saluran (ducts) maupun kelenjar (glands). Perkembangannya memerlukan waktu

berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai tumor tersebut cukup besar untuk

dirasakan pada payudara. Deteksi dapat dilakukan dengan mammograms yang

kadang-kadang dapat mendeteksi tumor sejak dini (Dolinsky dan Kayser, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Payudara normal Kanker payudara

Gambar 2.2 Kanker Payudara (Dolinsky dan Kayser, 2013).

Faktor risiko kanker payudara dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat

diubah (reversible) dan yang tidak dapat diubah (irreversible). Faktor-faktor yang

tidak dapat diubah termasuk jenis kelamin, bertambahnya umur, ada tidaknya

riwayat keluarga menderita kanker, pernah tidaknya menderita kanker payudara,

pernah-tidaknya mendapat terapi radiasi pada bagian dada, suku bangsa

Kaukasian, orang yang mengalami menstruasi pertama pada usia sangat muda

(sebelum 12 tahun), yang mengalami menopause terlambat (setelah 50 tahun),

yang tidak pernah melahirkan atau melahirkan di usia lebih dari 30 tahun dan

yang mengalami mutasi genetik. Dari berbagai macam faktor tersebut, 3% - 10%

penyebab kanker payudara diduga berkaitan dengan perubahan baik gen BRCA1

maupun gen BRCA2 (Dolinsky dan Kayser, 2013).

Beberapa faktor yang menaikkan risiko menderita kanker payudara yang

dapat diubah, yakni mendapatkan terapi pengganti hormon (penggunaan estrogen

dan progesteron dalam jangka waktu lama untuk mengatasi gejala menopause),

menggunakan pil antikontrasepsi (pil KB), tidak menyusui, mengonsumsi

minuman beralkohol 2 - 5 gelas per hari, menjadi gemuk terutama setelah

menopause dan tidak berolahraga (Dolinsky dan Kayser, 2013). Perlu diingat

bahwa faktor-faktor risiko tersebut hanyalah berdasarkan pada kemungkinan.

Universitas Sumatera Utara

Seseorang tetap dapat terkena kanker payudara walaupun ia tidak mempunyai satu

pun faktor risiko tersebut. Menghindari faktor risiko tersebut dan deteksi awal

adalah cara terbaik untuk mengurangi kematian berkaitan dengan kanker ini.

Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat

berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker

payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30%

kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs,

2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan

dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development).

Proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi

berlebih beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER-

2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles,

2001). Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan

memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu

ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti siklin D1, CDK4 (cyclin-

dependent kinase 4), siklin E dan CDK2.

2.3.4 Sel T47D

Sel T47D (Human ductal breast epithelial tumor cell line) adalah sel yang

mengekspresikan tumor yang telah termutasi pada protein p53. Sel ini dapat

kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan esterogen pada jangka

waktu lama selama percobaan in vitro. Sel ini berasal dari ductal carcinoma dan

mengeksprasikan caspase 3 (Mooney, et al., 2002). Oleh karena itu sel ini

digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor

payudara p53 mutan.

Universitas Sumatera Utara

2.3.5 Doksorubisin efek sampingnya dan resitensinya

Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi

dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara

luas untuk mengobati kanker payudara (Thurston dan Iliskovic, 1998). Senyawa

ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah

digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et

al., 1998; Rock, et al., 2003).

Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S

dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan

pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA

melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan

RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan

mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang

akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II

membentuk kompleks pemotong DNA (Rock, et al., 2003).

Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai

jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004). Efek

samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual,

imunosupresi dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol dengan

obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan

doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti

dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian

restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin

merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang

Universitas Sumatera Utara

memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya

spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan

ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul,

et al., 2005).

2.3.6 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT

Uji sitotoksisitas dilakukan secara in vitro, yaitu untuk menentukan

potensi sitotoksik suatu senyawa seperti obat antikanker. Toksisitas merupakan

kejadian kompleks secara in vivo yang menimbulkan kerusakan sel akibat

penggunaan obat antikanker yang bersifat sitotoksik. Respon sel terhadap agen-

agen sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel (Kupcsik dan Stoddart, 2011).

Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]

adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan

pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme

suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik dan Stoddart,

2011).

Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja

enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem

reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup

(Kupcsik dan Stoddart, 2011).

Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air

sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanool atau 10% SDS

dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan

spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif

Universitas Sumatera Utara

melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase

viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

2.3.7 Indeks selektivitas (IS)

Untuk memperoleh nilai Indeks selektivitas digunakan sel yang berasal

dari ginjal monyet hijau afrika (Vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-

2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT). Indeks selektivitas (IS) diperoleh dari

rasio IC50 sel Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai IS lebih

tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas

(keamanan) yang tinggi (Prayong, 2008).

2.3.8 Indeks kombinasi (IK)

Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi

(ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel

kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin.

Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi melawan

kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen

kemoterapi (Sharma, et al., 2004; Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai

metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi

terapi yang tepat.

Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum

digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama

kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan

menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC50) dari masing-masing obat

ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan

Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif.

Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang

sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif, atau antagonis

diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di

bawah, pada, atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004).

Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis

dengan indeks kombinasi (IK). Analisis IK menghasilkan suatu nilai parameter

kuantitatif yang menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut.

I= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2

I adalah IK. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang dibutuhkan

untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC50 terhadap pertumbuhan sel

kanker payudara. (D)1 dan (D)2 adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk

memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama, atau lebih dari 1

mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif, atau antagonis (Zhao, et

al., 2004; Reynold dan Maurer, 2005).

Universitas Sumatera Utara