Post on 28-Nov-2014
description
| S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
STUDI ISLAM III
Wawasan Islam Menyaring Pemikiran Menyimpang Dari Agama Islam
Dr. Akhmad Alim
Dr. Adian Husaini
Pusat Kajian Islam
Universitas Ibn Khladun Bogor
| S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ALIM, Akhmad
STUDI ISLAM III: Wawasan Islam, Penulis, Dr. Akhmad Alim & Dr. Adian Husaini;
Penyunting, Bahrum Subagia, --Cet. 1-Bogor: Pusat Kajian Islam Universitas Ibn
Khaldun, 2012. 187 hlm.; 25,7 cm.
ISBN: 978-979-1324-15-1
STUDI ISLAM III: Wawasan Islam
Penulis:
Dr. Akhmad Alim, M.A
Penyunting :
Bahrum Subagia
Penata Letak:
Irfan Habibie
Desain Sampul:
Fathurrohman Saifuddin
Penerbit:
Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun
Jl. K.H. Sholeh Iskandar Km. 2 Kedung Badak Bogor
Telp./Fax. (0251) 8356884
Cetakan Pertama, Shafar 1435 H- Januari 2014 M
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Ketentuan Pidana (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal
49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara palling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002
i | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
KATA PENGANTAR
Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal, tidak berkembang
dalam sejarah. Konsep tajdid (pembaharuan) dalam Islam, bukanlah membuat-
buat hal yang baru dalam Islam, melainkan upaya untuk mengembalikan
kemurnian Islam. Ibarat cat mobil, warna Islam adalah abadi. Jika sudah mulai
tertutup debu, maka tugas tajdid adalah mengkilapkan cat itu kembali, sehingga
bersinar cerah seperti asal-mulanya. Bukan mengganti dengan warna baru yang
berbeda dengan warna sebelumnya.
Buku Studi Islam 3 ini berbicara tentang wawasan Islam yang mendasar,
yang formulasinya disesuaikan dengan tantangan zaman yang sedang dihadapi
oleh kaum Muslimin. Karena saat ini yang sedang menghegemoni umat
manusia—termasuk umat Islam—adalah pemikiran Barat yang sekuler-liberal,
maka konsep wawasan Islam ini pun dirumuskan agar kaum Muslim tidak
terjebak atau terperosok ke dalam pemikiran-pemikiran yang dapat merusak
keimanannya.
Setiap Muslim pasti akan diuji keimanannya. Iman tidak akan dibiarkan
begitu saja, tanpa ada ujian (QS. 29:2-3). Maka, setiap zaman dan setiap waktu
akan selalu ada ujian iman. Ada yang lulus, ada yang gagal dalam ujian iman.
Oleh karena itulah, setiap Muslim diwajibkan agar selalu menuntut ilmu setiap
waktu agar dapat mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, mana
yang Tauhid dan mana yang syirik.
Dalam kitab Sullamut-Tawfîq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir
bin Muhammad bin Hisyam—yang biasa dikaji di madrasah-madrasah diniyah
dan pondok-pondok pesantren—disebutkan bahwa merupakan kewajiban setiap
Muslim untuk menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni
murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini bahwa riddah ada tiga jenis, yaitu
murtad dengan keyakinan (i„tiqâd), murtad dengan lisan, dan murtad dengan
perbuatan. Contoh murtad dari segi i„tiqâd, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud
Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, atau
ragu terhadap Al-Qur‘an, atau ragu terhadap Hari Akhir, surga, neraka, pahala,
siksa, dan sejenisnya.
Ulama India Syaikh Abu Hasan Ali An-Nadwi pernah menyebutkan
bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini, sepeninggal
ii | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam adalah tantangan yang diakibatkan oleh
serangan-serangan pemikiran yang datang dari peradaban Barat. Sebab,
tantangan ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan
Islam, yaitu masalah iman dan kemurtadan. Menurut An-Nadwi, serangan
modernisme peradaban Barat ke dunia Islam merupakan ancaman terbesar
dalam bidang pemikiran dan keimanan. Dia mengungkapkan: “Di saat sekarang
ini selama beberapa waktu dunia Islam telah dihadapkan pada ancaman kemurtadan yang
menyelimuti bayang-bayang di atasnya dari ujung ke ujung. Inilah kemurtadan yang telah
melanda Muslim Timur pada masa dominasi politik Barat, dan telah menimbulkan
tantangan yang paling serius terhadap Islam sejak masa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam.”
Saat ini, di era globalisasi, harusnya kaum Muslim sadar, bahwa setiap saat
keimanan mereka sedang dalam kondisi diperangi habis-habisan oleh nilai-nilai
sekular-liberal yang dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran Islam dan
keimanan mereka. Globalisasi, misalnya, bukan hanya melahirkan penjajahan
ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran dan budaya.
Akhirnya, materi buku ini memang dirancang untuk memberikan
wawasan yang mendasar tentang wawasan Islam. Diharapkan umat Islam akan
memiliki kerangka (framework) pemikiran Islam yang kokoh, sehingga mampu
menilai dan menyaring berbagai bentuk pemikiran yang dinilai menyimpang dari
ajaran Islam. Dengan kata lain, diharapkan, setelah menerima materi buku ini,
seseorang tidak lagi terombang-ambing dalam pemikiran keagamaan, melainkan
makin bersemangat dalam mendalami keilmuwan Islam lebih jauh lagi,dan lebih
penting lagi ia semakin terdorong untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Bogor, 13 Oktober 2012
Dr. Akhmad Alim & Dr. Adian Husaini
iii | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
DAFTAR ISI
Daftar Isi ......................................................................................................... iii
Bab I Hakikat Islam Dan Karakteristiknya .................................................... 1
Bab II Konsep Wahyu Dan Nabi Dalam Islam ............................................ 34
Bab III Islam Dan Peradaban ........................................................................ 58
Bab IV Tantangan Peradaban Barat ............................................................. 73
Bab V Masalah Orientalisme ........................................................................ 80
Bab VI Pluralisme Agama ............................................................................. 87
Bab VII Masalah Kristenisasi ....................................................................... 96
Bab VIII The Clash Of Cilvization .............................................................. 106
Bab IX Pengaruh Ateisme Terhadap Pikiran Umatislam ............................ 124
Bab X Liberalisasi Islam ............................................................................. 136
Bab XI Paham Kesetaraan Gender .............................................................. 147
Bab XII Kritik Terhadap Hermeneutika ..................................................... 155
Bab XIII Neoliberalisme Dan Kapitalisme ................................................. 168
Daftar Pustaka .............................................................................................. 176
Riwayat Hidup Penulis ................................................................................. 184
1 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB I
HAKIKAT ISLAM DAN KARAKTERISTIKNYA
A. Hakikat Islam
Hakikat Islam adalah bertauhid, yakni tunduk patuh kepada Allah dan
menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan. Hal itu sebagaimana digambarkan
dalam ayat berikut ini,
أض زب ي ت يسب ايعايني إ٢ذ قا أض قا
“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), „Berserahdirilah!‟ Dia
menjawab: „Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.‟” (QS. Al-Baqarah: 131)
Hakikat Islam tersebut dapat dijabarkan dalam lima pilar yang terdapat
dalam hadist berikut ini,
اهلل : ضعت زض ا قا اهلل ع ٤اب زض ٢ ايد س ب ٢ ع ٢ عبد اهلل ب أب عبد ايسذ ص٢ ع
اإل٢ضال ع٢ خ : ب إ٢قا اهلل ض ك اهلل دا زض ر أ إ٢ال٤ اهلل ال إ٢ي ظ٣: غاد٠ أ
. ص زطا ذخ ايبت إ٢تا٤ ايصنا٠ ايصال٠
―Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu
'anhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: Islam dibangun di atas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang
berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa
Ramadhan.‖ (HR.Tirmidzi dan Muslim)
Adapun tingkatan Islam, sebagaimana dijelaskan secara tuntas dalam
hadist yag diriwayatkan oleh Umar bin Khattab berikut ini,
2 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ض٤ ٢ اهلل ص٢٤ اهلل ع ع عد زض ج ا ر : ب أطا قا اهلل ع س زض ع ذا ع
اد ايػعس٢، ال س٣ ع أثس ايط غدد باض٢ ايثاب غدد ض ٣ إ٢ذ طع عا زج ال عس٢ؾ ؿس٢،
ضع نؿ٤ ص٢ اهلل ع ض ؾأضد زنبت إ٢ي٢ زنبت ع٢ ا أذد، ذت٢ جظ إ٢ي٢ ايب
اهلل ص٢ اهلل ع زض ٢ اإل٢ضال٢، ؾكا د أخبس ع : ا ر قا ؾدر ض: اإل٢ضال أ
تص ايصنا٠ تؤت ايصال٠ تك اهلل دا زض ر أ إ٢ال٤ اهلل ال إ٢ي ترخ تػد أ زطا
ط : صدقت، ؾعحبا ي عت إ٢ي ضبال قا ٢ اضت ٢ ايبت إ٢ ا ٢ اإل٢ : ؾأخبس ع ، قا صدق أي
غس بايكدز٢ خس٢ تؤ ٢ اآلخس٢ اي زض نتب ال٥هت باهلل تؤ : أ صدقت، قا . قا
: أ ٢، قا ٢ اإل٢ذطا ؾأخبس ع : ؾأخبس قا ساى. قا تسا ؾإ٢ ته ي تعبد اهلل نأو تسا ؾإ٢
أ ا، قا ازات أ ؾأخبس ع ٢. قا ايطا٥ عا بأع طؤ : ا اي ٢ ايطاع١، قا تد اأ١ ع
ل ؾبثتزبت ا ٢، ث ؾ ايبا ي ا تس٣ ايرؿا٠ ايعسا٠ ايعاي١ ز٢عا٤ ايػا٤ ت أ : ا قا ا، ث
أت جبس٢ ؾإ٢ . قا أع ي زض ٢ ؟ قت: اهلل ٢ ايطا٥ س أتدز٢ .ا ع ده ه ع ـان
―Dari Umar Radhiyallahu 'anhu juga dia berkata: Ketika kami duduk-duduk
disisi Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam suatu hari tiba-tiba datanglah
seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat
hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada
seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk
dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya
(Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam) seraya berkata: ―Ya Muhammad,
beritahukan aku tentang Islam?‖, maka bersabdalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam: ―Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang
disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah,
engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji
jika mampu‖, kemudian dia berkata: ―anda benar‖. Kami semua heran, dia yang
bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: ―Beritahukan
aku tentang Iman‖. Lalu beliau bersabda: ―Engkau beriman kepada Allah,
3 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk‖, kemudian dia
berkata: ―anda benar―. Kemudian dia berkata lagi: ―Beritahukan aku tentang
ihsan‖. Lalu beliau bersabda: ―Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat
engkau‖. Kemudian dia berkata: ―Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan
kejadiannya)‖. Beliau bersabda: ―Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya‖. Dia berkata:―Beritahukan aku tentang tanda-tandanya‖, beliau
bersabda:―Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat
seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba,
(kemudian)berlomba-lomba meninggikan bangunannya‖, kemudian orang itu
berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya:
―Tahukah engkau siapa yang bertanya?‖. aku berkata: ―Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.‖ Beliau bersabda: ―Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian
(bermaksud) mengajarkan agama kalian.‖ (HR. Muslim)
Hadist di atas secara rinci menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan
keIslaman seseorang yang terdiridari dari tiga tingkatan, sebagaimana berikut ini,
Tingkatan Pertama: Islam, yang memiliki lima rukun, yaitu: 1) Bersaksi
bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah,
dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam adalah utusan
Allah. 2) Menegakkan shalat. 3)Membayar zakat. 4) Puasa di bulan Ramadhan. 5)
Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu.
Tingkatan Kedua: Iman yang memiliki enam tigkatan, yaitu: 1) Iman
kepada Allah. 2) Iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya. 3) Iman kepada Kitab-
Kitab-Nya. 4) Iman kepada Rasul-Rasul-Nya. 5) Iman kepada hari Akhir. 6)
Iman kepada takdir yang baik dan buruk.
Tingkatan Ketiga: Ihsan yangmemiliki satu rukun yaitu engkau beribadah
kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Berkaitan dengan rincian hadits di atas imam Bukhari mentatakan: fa‟jaala
dzalika kullahu dinan; beliu (nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam) menjadikan semua
itu menjadi agama. Maksudnya, agama itu adalah iman(aqidah), islam(syari‘ah),
dan ihsan(akhlaq).1
1 Buhari,Shahih Al-Buhari, Kitab Al-Iman, no.50
4 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Secara lebih sederhana, bisa ditegaskan bahwa iman orientasinya
keyakinan atau aqidah, Islam orientasinya pengalaman ibadahatau syari‘at,
sedangkan ihsan orientasinya manajemen diri atau akhlak. Oleh karenanya, jika
hanya percaya adanya Allah (iman) tapi tidak mau mengikuti syari‘at Nabi
(Islam) sebagimana halnya musyrikin jahiliyah, maka itu tidak bisa disebut
beragama Islam. Atau, dengan hanya mengikuti syari‘at Nabi (Islam) tanpa
menyakininya (iman) seperti halnya orang munafiq, itupun tidak beragama
Islam. Demikian juga, jika hanya percaya dan beribadah(iman dan Islam),tetapi
tidak berakhlak mulia (ihsan) tidak dapat dikatagorikan beragama Islam yang
benar. Yang dua pertama (tidak iman-Islam) dikatagorikan kafir, sementara yang
terakhir (tidak ihsan) dikatagorikan fasiq, tidak sampai kafir. Islam sebagai agama
dengan demikain harus mencakup iman ,Islam, dan ihsan.2
B. Keutamaan Islam dan Karakteristiknya
1. Keutamaan Islam
Islam adalah agama yang memiliki banyak keutamaan yang agung yang
telah disebutkan dalam Al-Qur‘an dan Sunah. Di antara keutamaan itu adalah
sebagaimana berikut ini:3
Islam menghapus seluruh dosa dan kesalahan bagi orang kafir yang
masuk Islam. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:
نؿسا إ٢ تا ينيق ي٤ر إ٢ عدا ؾكد طت ضت ايأ ـ ػؿس ي ا قد ض
“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, (Abu Sufyan dan kawan-kawannya)
„Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa
mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi), sungguh akan
berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang terdahulu (dibinasakan).”
(QS. Al-Anfaal: 38)
‗Amr bin al-‗Ash Radhiyallahu 'anhu yang menceritakan kisahnya ketika
masuk Islam, Ia berkata,
2 Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persispers,2011, hlm.121 3 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih,Bogor:
Pustaka At-Taqwa.
5 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ؾكت: ابطط ض ع ص٢ اي اهلل اإل٢ضال ؾ٢ قب أتت ايب ا جع و ؾـألباعو. ؾ
أغ قت: أزد أ س ؟(( قا ))ا يو ا ع ؾكبطت د٣ قا . قا ؾبطط تس٢ط قا
؟ قب اإل٢ضال د ا نا ت أ ا ع ))أ ػؿسي٢. قا اذا ؟(( قت: أ اي٢حس٠ ))تػتس٢ط ب أ
؟ قب ايرخ د ا نا أ قبا؟ تد انا
―Ketika Allah menjadikan Islam dalam hatiku, aku mendatangi Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, dan aku berkata, ‗Bentangkanlah tanganmu, aku akan
berbai‘at kepadamu.‘ Maka Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam membentangkan
tangan kanannya. Dia (‗Amr bin al-‗Ash Radhiyallahu 'anhu) berkata, ‗Maka aku
tahan tanganku (tidak menjabat tangan Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam).‘ Maka
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, ‗Ada apa wahai ‗Amr?‘ Dia berkata,
‗Aku ingin meminta syarat!‘ Maka, Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya,
‗Apakah syaratmu?‘ Maka aku berkata, ‗Agar aku diampuni.‘ Maka Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, ‗Apakah engkau belum tahu bahwa
sesungguhnya Islam itu menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya,
hijrah itu menghapus dosa-dosa sebelumnya, dan haji itu menghapus dosa-dosa
sebelumnya?‘‖ (HR.Muslim)
Apabila seseorang masuk Islam kemudian baik keIslamannya, maka ia
tidak disiksa atas perbuatannya pada waktu dia masih kafir, bahkan Allah Azza
wa Jalla akan melipatgandakan pahala amal-amal kebaikan yang pernah
dilakukannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
إ٢ أذدن : إ٢ذا أذط ض ع اهلل ص٢ اي زض قا اهلل ع سس٠ زض أب ع ضال
ا إ٢ي٢ ا تهتب بعػس٢ أثاي ذط١ ع ا تهتب بثا ذت٢ ؾه ض١٦ ع ن ـ. ضبعا١٥ ضع
.ك٢ اهلل
―Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: ―Jika baik keIslaman seseorang di antara kalian, maka setiap kebaikan
yang dilakukannya akan ditulis sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat.
Adapun keburukan yang dilakukannya akan ditulis satu kali sampai ia bertemu
Allah.‖ (HR.Muslim)
6 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Islam tetap menghimpun amal kebaikan yang pernah dilakukan
seseorang baik ketika masih kafir maupun ketika sudah Islam.
ا اهلل، أزأت أغا٤ نت أترث ب قت: ا زض قا اهلل ع ٢ ذصا٣ زض ٢ ب ذه ؾ ع
ص٢ اي ايب أجس٣؟ ؾكا ا ؾ ٣ ، ؾ عتاق١ أ ص١ زذ صدق١ أ ١ : ايحا ض ع
خس٣ ـ ت ع٢ ا ض .أض
―Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, ―Wahai Rasulullah,
apakah engkau memandang perbuatan-perbuatan baik yang aku lakukan sewaktu
masa Jahiliyyah seperti shadaqah, membebaskan budak atau silaturahmi tetap
mendapat pahala?‖ Maka Nabi Saw halallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ―Engkau
telah masuk Islam beserta semua kebaikanmu yang dahulu.‖ (HR.Buhari)
Islam sebagai sebab terhindarnya seseorang dari siksa Neraka.
أظ٣ زض ع س٢ض ؾأتا ايب ؾ ض ع ص٢ اي دد ايب غال د نا قا اهلل ع
(( ؾعس إ٢ي٢ أب : ))أض ي عد، ؾكعد عد زأض ؾكا ض ع : ص٢ اي ي عد ؾكا
ض ع ص٢ اي ؾدسد ايب ؾأض ض ع ٢ ص٢ اي د هلل أطع أبا ايكاض : اير ك
اياز٢ اي٤ر أكر
―Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, ―Ada seorang anak Yahudi
yang selalu membantu Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, kemudian ia sakit. Maka,
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam datang menengoknya, lalu duduk di dekat
kepalanya, seraya mengatakan, ‗Masuk Islam-lah!‘ Maka anak Yahudi itu melihat
ke arah ayahnya yang berada di sampingnya, maka ayahnya berkata, ‗Taatilah
Abul Qasim (Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam).‘ Maka anak itu akhirnya masuk
Islam. Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam keluar seraya mengatakan,
‗Segala puji hanya milik Allah yang telah menyelamatkannya dari siksa Neraka.‘‖
(HR.Buhari)
Dalam hadits lain yang berasal dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu, Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
7 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ا إ٢ ٠١ ايح١ إ٢ال٤ ؿظ ط الدخ ٢ ايؿاجس٢إ٢ بايسج را ايد .هلل يؤد
―Sesungguhnya tidak akan masuk Surga melainkan jiwa muslim dan
sesungguhnya Allah menolong agama ini dengan orang-orang fajir.‖ (HR.
Bukhari)
Kemenangan, kesuksesan dan kemuliaan terdapat dalam Islam.
أ : قد أؾح قا ض ع اهلل ص٢ اي زض س٢ ب ايعاصأ ٢ ع عبد اهلل ب زش٢م ع ، ض
ا آتا اهلل ب قع .نؿاؾا،
Dari Shahabat ‗Abdullah bin ‗Amr bin al-‗Ash Radhiyallahu 'anhu,
bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ―Sungguh telah
beruntung orang yang masuk Islam, dan diberi rizki yang cukup dan Allah
memberikan sifat qana‘ah (merasa cukup) atas rizki yang ia terima.‖
(HR.Muslim)
Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,
حن ق أعصا اهلل باإلضال ؾإ إبتػا ايعص٠ يف غري٠ أذيا اهلل
―Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla
dengan Islam, maka bila kami mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam
maka Allah akan menghinakan kami.‖ 4
Kebaikan seluruhnya terdapat dalam Islam. Tidak ada kebaikan baik di
kalangan orang Arab maupun non Arab, melainkan dengan Islam. Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
خسا، أ ٢ أزاد اهلل ب٢ ايعح ايعسب ٢ بت ا أ أ تكع ايؿت اإل٢ضال، ث ع٢ ا دخ نأ
.ايع٥
―Setiap penghuni rumah baik dari kalangan orang Arab atau orang Ajam
(non Arab), jika Allah menghendaki kepada mereka kebaikan, maka Allah
4 Riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, ia berkata shahih dan disetujui oleh adz-Dzahabi dari Thariq bin
Syihab rahimahullah.
8 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
berikan hidayah kepada mereka untuk masuk ke dalam Islam, kemudian akan
terjadi fitnah-fitnah seolah-olah seperti naungan awan.‖ (HR. Ahmad)
Islam membuahkan berbagai macam kebaikan dan keberkahan di dunia
dan akhirat. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
اهلل ال ع إ٢ ع أا ايهاؾس ؾ ا ؾ اآلخس٠. حص٣ ب ا ؾ ايدا ٢ ب ؤا ذط١، ع
ذط٠١ حص٣ ي ه ا ي٤ ؾ ايدا، ذت٢ إ٢ذا أؾط٢ إ٢ي٢ اآلخس٠ ي ب ابرطا ا ع .ب
―Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menzhalimi satu kebaikan pun
dari seorang mukmin, diberi dengannya di dunia dan dibalas dengannya di
akhirat. Adapun orang kafir diberi makan dengan kebaikan yang dilakukannya
karena Allah di dunia sehingga jika tiba akhirat, kebaikannya tersebut tidak akan
dibalas.‖ (HR. Muslim)
Suatu amal shalih yang sedikit dapat menjadi amal shalih yang banyak
dengan sebab Islam yang shahih, yaitu tauhid dan ikhlas. Beramal sedikit saja
namun diberikan ganjaran dengan pahala yang melimpah. Dalam sebuah hadits
dinyatakan:
كع بايردد زج ض ع ص٢ اي : أت٢ ايب ك اهلل ع ٢ ايبسا٤ زض : ع ؾكا
ق ث ، ؾأض قات ث أض ؟ قا أض أ اهلل أقات اهلل ص٢ ا زض زض ، ؾكا ؾكت ات
أجس نثسا قال : ع ض ع .اي
Dari al-Bara‘ Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, ―Seorang laki-laki yang
memakai pakaian besi mendatangi Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam kemudian ia
bertanya, ‗Wahai Rasulullah, apakah aku boleh ikut perang ataukah aku masuk
Islam terlebih dahulu?‘ Maka, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab,
‗Masuk Islamlah terlebih dahulu, baru kemudian ikut berperang.‘ Maka, laki-laki
tersebut masuk Islam lalu ikut berperang dan akhirnya terbunuh (dalam
peperangan). Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam pun bersabda: ‗Laki-laki
tersebut beramal sedikit namun diganjar sangat banyak.‘‖ (HR. Bukhari)
9 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Islam mendatangkan cahaya bagi penganutnya di dunia dan akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ع٢ صدز يإ٢ضا٢ ؾ غسح اي٤ زب ز٣ أؾ ذنس٢اي٤ قب يكاض١ ؾ
٣ ؾ ٥و أ بني٣ ضا
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima)
agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu
hatinya)? Maka, celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah.
Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22)
Islam menyuruh kepada setiap kebaikan dan melarang dari setiap
keburukan. Tiada satu pun kebaikan, baik yang kecil maupun yang besar,
melainkan Islam telah membimbingnya dan menunjukinya, sebaliknya tidak ada
satu pun keburukan melainkan Islam telah memperingatkan dan melarangnya.
٤ غ صيا عو ايهتاب تباا يه
“Dan Kami turunkan kepadamu al-kitab untk menjelaskan segala sesuatu.”
(QS.Al-Nahl: 89)
أ ري بحاذ إ٢ي٤ا أ يا طا٥س٣ داب١ ؾ ايأزض٢ ا ا ؾسطا ؾ ايهتاب ثايه
إ٢ي٢ ٤ث غ رػس زب٢
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-
An'am: 38)
2. Karakteristik Islam
Islam memiliki banyak karakteristik yang mendasar, yang menjadi pilar
keagungan Islam sebagai agama samawi yang diridhai. Karakteristik tersebut,
diantaranya sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi ada tujuh yaitu
rabbaniyah (ketuhanan), insaniah (kemanusiaan), syumuliyah (universal), wasatiyyah
(keseimbangan), waqi‟iyyah (realistik), wudhuh (jelas), menyatukan antara tathawwur
10 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
(transformatif) dan tsabat (konsisten).5 Sementara menurut Dr. Abdul Aziz Ibn
Muhammad Ibn Ibrahim Al-Awid ada tiga belas karakteristik Islam, yaitu al-din
ar-rabbani (agama yang berketuhanan), al-din al-haq (agama yng benar), al-din al-
wadhih (agama yang jelas), dinul fitrah (agama yang sesuai fitrah), din al-aql (agama
yang sesuai akal sehat), al-din al-ma‟shum (agama yang terjaga), din al-rahmah
(agama kasih sayang), al-din al-wasath (agama yang seimbang), din al-mashalih
(agama untuk kemaslahatan), din al-yusr wa al-samahah (agama yang memberikan
kemudahan-kemudahan), din al-adl (agama keadilan), din al-akhlak (agama
akhlak).6 Dari karakteristik tersebut, hanya akan dijelaskan sebagian saja
sebagaimana dalam uraian berikut ini.
1. Islam sebagai agama yang benar (din al-haq)
Islam adalah agama yang sempurna, yang diturunkan di muka bumi ini.
Dengannya Allah memerintahkan kepada manusia agar menjadikannya sebagai
pedoman hidup (way of life), supaya terwujud kebahagian di dunia dan akhirat.7
ت يٱ ت عه أمتت ده يه أن زضت ع ٱ يه دا إل٢ض
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat Ku, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu.‖ (QS.
Al-Ma'idah: 3)
Kesempurnaan Islam tersebut sebagai bukti bahwa Islam adalah agama
wahyu yangbenar dan telah diridhai oleh Allah Jalla wa 'alaa, sebagaimana yang
Allah Ta'ala firmankan dalam kitab-Nya:
ٱإ٢ ي٤ اإلضالٱ عد يد
―Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” ( QS. al-
Imran: 19)
Sebagai agama yang diridhai, Islam mendakwahkan kepada seluruh alam
agar berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan
taat dan berlepas diri dari segala perbuatan syirik.
5 Lihat Yusuf al-Qardhawi, Karakteristik Islam: Kajian Analitik (terjemahan), Surabaya: Risalah Gusti,
1995. 6 Lihat Abdul Aziz Ibn Muhammad Al-Awid, Al-Islam Al-Din Al-Adzim, Riyadh: Al-Maktab Al-Taawuni Li
Adda’wah wa All-Irsyad,1432 7 Abdul Aziz Ibn Muhammad Al-Awid, Al-Islam Al-Din Al-Adzim, Riyadh: Al-Maktab Al-Taawuni Li
Adda’wah wa All-Irsyad,1432,hlm.11
11 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ايداضس٢ ؾ اآلخس٠ كب بتؼ٢ غس اإلضال٢ دا ؾ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS. Ali Imron: 85)
Dari Abu Hurairahdari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, bahwasanya
beliau bersabda:
ث ال صسا د ر اأ١ ع ب أذد د بد ال ط اي٤ر ؿظ ر ي
أصراب اياز٢ باي٤ر أزضت ب إ٢ال٤ نا ؤ
―Demi yang jiwa Muhammad ada di Tangan Nya, tidaklah seseorang dari
umat ini baik Yahudi atau Nashroni yang mendengar tentang aku, kemudian ia
mati sementara dirinya tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, maka ia
termasuk penghuni neraka.‖ (HR. Muslim)
2. Islam sebagai agama rabbaniyah
Rabbaniyah berasal dari kata Rabb (Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha
Pencipta dan Pemelihara). Kata ini terulang sebanyak 3 kali dalam Al-Qur`ān,
yaitu QS. al-Maidah ayat 44 & 63, QS. Ali `Imran ayat 79. Rabbaniyah dalam
tiga ayat tersebut dimaksudkan untuk penisbatan sesuatu yang bersumber dari
Allah yang berupawahyu. Islam sebagai agama rabbaniyah berarti Islam selalu
berorientasi kepada wahyu Allah dalam segala hal, baik duniawi maupun
ukhrawi.
٢ اي باي٤ تؤ نت ٢ إ٢ ايسض ٤ ؾسد إ٢ي٢ اي٤ ؾ غ تاشعت ؾإ٢
٢ا ذ ايآخس٢ أذطتأ يهدس
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. Al-Nisâ: 59)
12 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
زبو يا ؤ ا ؾا ذسجا يا حدا ؾ أؿط٢ ث ا غحس ب ى ؾ ذت٢ ره
ا تطا ط قطت
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan engkau hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. Al-Nisaa’: 65)
Dua ayat di atas secara tegas memerintahkan kepada kita agar senantiasa
kembali kepada Al-Qur‘an dan As-Sunah dalam menangani segala urusan, baik
yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Hal itu menunjukkan bahwa Islam
selalu berorientasi kepada wahyu dan inilah yang dimaksud karakter rabbaniyah
yang melekat pada agama Islam.
Rabbaniyah meliputi dua hal, yaitu Rabbaniyah Al-Masdar dan Rabbaniyah Al-
Ghayah.
Rabbaniyah Al-Masdar: (Rabbaniyah dalam sumber ajaran). Maksudnya
adalah sumber teologi Islam adalah wahyu, bukan produk budaya, bukan pula
rekayasa manusia, Ia tidak bersumber dari ilmu-ilmu dari Timur dan
pengetahuan dari Barat. Tapi sesungguhnya ia adalah mukjizat yang bersumber
langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah berfirman,
زا با أصيا إ٢يه زبه ا بس ا اياع قد جا٤ن ا أ
―Wahai manusia,sunguh telah dating kepada kalian wahyu dri Rabb kalian, dan
kami telah menurunkan pada kalian cahaya yang terang.‖ (QS. An-Nisa: 174)
إ٢ يراؾع إ٢ا ي صيا ايرنس ا ر
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur‟an dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
ذ٢ ذ إ٢ال ٣ إ٢ ٢ اي ل ع ا
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS.An-Najm: 04)
13 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
ا: نتاب اهلل ب٢ طهت ا ا ت تط٥ ٢ ي أس يتسنت ؾه ض١ زض
―Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat
selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.‖
(HR. Baihaqi)
Rabbaniyah Al-Ghayah: (Rabbaniyah dalam tujuan). Maksudnya, tujuan
semua ibadah dalam Islam hanya untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala,
bukan karena kepentingan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal itu sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur‘an dan As-Sunah sebagai berikut:
ع سجا يكآ٤ زب ؾع نا الػس٢ى بعباد٠ زب أذداؾ ال صايرا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia
mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb-
nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
ا أسا إ٢ي٤ ذيو د ؤتا ايصنا٠ ا ايصا٠ ك ذؿا٤ ايد دصني ي ا يعبدا اي٤
١ ايك
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
ق ايد دصا ي أعبد اي إ٢ أس أ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Al-Zumar: 11)
١ ا يأذد عد ع ج زب ايأع٢ تحص٣ إي٤ا ابتػا٤
14 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
“Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus
dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari keridhaan Tuhannya
yang Maha Tinggi.” (QS. Al-Lail: 19–20)
يا غهزاإ جصا٤ ج اي٤ يا س٢د ه ي ه ع ا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)
ا ي س٢د ذسث ايدا ؤت ا نا ؾ ذسث س٢د ذسث ايآخس٠ ص٢د ي ؾ نا
ايآخس٠ صب
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah
keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami
berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy-Syuuraa: 20)
أ ف إ٢ي٢ ش٢تا س٢د ايرا٠ ايدا نا أي٦و اي٤ر ؾا ال بدط ؾا اي ع
ا ناا ع باط ذبط ا صعا ؾا ؾ اآلخس٠ إ٢ال اياز يظ ي
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu.” (QS. Hud: 15-16)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
ج ب ابتػ خايصا ي ٢ إ٢ال٤ ا نا ايع اهلل ال كب إ٢
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang
ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah.” (HR.
Nasa’i)
15 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Dari Amirul Mu‘minin, Abi Hafs Umar Khattab, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah bersabda:
زضي إ٢ي٢ اهلل نات حست ٣. ؾ اس٢ئ٣ ا ا يه إ٢ بايا ا ا اأع إ٢ ؾ٢حست
زض اجس إ٢يإ٢ي٢ اهلل إ٢ي٢ ا اسأ٠ هرا ؾ٢حست يدا صبا أ نات حست ي،
―Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya
maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.‖ (HR.Muslim)
Di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah, sesungguhnya
Rasulallah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, Allah berfirman (hadits qudsi):
غسن ال أغسى ؾ ع غس٢ تسنت ع ٢ ايػسى, ع أا أغ٢ ايػسنا٤ ع
―Aku tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amal
ibadah yang ia menyekutukan selain-ku bersama-Ku, niscaya Aku
meninggalkannya dan sekutunya.‖ (HR.Muslim)
3. Islam sebagai agama yang berimbang (wasatiyah)
Islam merupakan agama yang memiliki konsep wasatiyah, yakni selalu
berada pada jalan tengah diantaradua jalan ekstrim, tidak tasaddud (memperberat
diri) dan tidak pula tasahhul (meringankan diri),tidak berlebih-lebihan (israf),
tidak pula melampaui batas (ghuluw), sehingga tercapaisikap adil dan lurus, yang
akan menjadi saksi atas seluruh manusia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
غ٢دا عه ايسض ه ا غدا٤ ع٢ اياع٢ ا يته ض أ١ نريو جعان
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
16 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Dalam menafsiri ayat ini, Ibn Katsir berkata bahwayang dimaksud dengan
“ummatan wasatha” pada ayat tersebut adalah umat pilihan (akhyar) dan umat
terbaik (ajwad), karena karakter wasatiyah yang melekat pada umat ini.8
Wasatiyah dalam Islam dapat dilihat dari konsep beribadah di dalamnya.
Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa berada pada sikap pertengahan,
yakni tidak ghuluw (berlebih-lebihan), tidak pula tasahhul (meringankan diri).
Karena sikap ghuluw akan menjadikan pelakunya pada kerusakan, sementara
sikap tasahhul akan membawa pelakunya pada kemalasan.
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan dalam masalah ini, diantaranya
adalah hadits dari Abdullah bin Mas‘ud, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
ع ت ا ثالثا-و اي قاي
“Benar-benar binasa orang-orang yang bersikap tanaththu‟.” Beliau mengulangi
pernyataan ini sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud orang-orang yang bersikap tanaththu‟ dalam hadist tersebut
adalah mereka yang berlebih-lebihan, bersikap ghuluw, dan melampaui batas dari
yang telah ditentukan. Baik di dalam ucapan ataupun perbuatan. Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam pernah meluruskan tiga orang laki-laki yang berlebih-
lebihan dalam masalah ibadah, orang pertama berkata:―Aku akan puasa terus
menerus dan tidak akan berbuka.‖ Yang kedua berkata: ―Aku akan shalat
malam, tidak akan tidur.‖ Dan orang ketiga berkata: ―Aku tak akan menikah
dengan wanita.‖ Ketiganya menyangka bahwa berpuasa terus menerus, tidak
menikah dan tidak tidur di malam hari untuk mengerjakan shalat akan
mendatangkan maslahat bagi mereka, namun hal ini ditolak oleh Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam melalui hadits beliau:
اهلل إ٢ ا نرا، أ نرا قت اير أص أت س أؾ يه أص ي أتكان ي يأخػان
ضت ؾظ زغب ع د ايطا٤، ؾ أتص أزقد
8 Ibn Katsir,Tafsir Ibn Katsir, Vol.1,hlm.455
17 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
―Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang
yang paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling bertakwa. Akan tetapi
aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi
wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka, maka ia tidak termasuk
golonganku.‖ (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
أذد إ٢ال غب ػاد ايد ي طس ايد إ٢
―Sesungguhnya agama Islam ini mudah. Tidak ada seorang pun yang
memberat-beratkan dirinya dalam beragama melainkan dia tidak mampu
menjalankannya.‖ (HR. Al-Bukhari)
Hadist tersebut secara tegas menerangkan bahwa sikap berlebih-lebihan
dalam Ibadahakan mengantarkan pelakunya kepada kejenuhan. Tidak hanya
itu,berlebih-lebihan (ghuluw) juga merupakan penyebab rusaknya umat
terdahulu. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
٢إ٢ا ٢ ؾ ايد بايػ قبه نا و ا ٢ ؾإ٢ ؾ ايد ايػ ن
―Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam
beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian
disebabkan ghuluw yang mereka perbuat di dalam beragama.‖ (HR. Ibnu
Hibban)
بكا ضتحد ع٢ أؿط٢ بتػدد قبه و ا ؾإ٢ ال تػددا ع٢ أؿطه ا
ايدازا اع٢ ؾ ايص
―Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian. Karena sesungguhnya
kehancuran orang-orang sebelum kalian hanyalah disebabkan mereka memberat-
beratkan diri. Dan kalian akan menemukan sisa-sisa mereka di dalam pertapaan
dan biara.‖ (HR. Bukhari)
Selain wasatiyah dalam beribadah,Islam juga menyerukan wasatiyah dalam
segala hal, termasuk semua aspek penunjang ibadah, seperti mengkonsumsi
makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya, seperti yang terdapat dalam
nash berikut ini,
18 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
طس٢ؾني يا رب اي يا تطس٢ؾا إ٢ اغسبا نا
―Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan‖ (QS. Al-A’raf: 31)
١ ال ضسف نا اغسبا ايبطا تصدقا ، يف غري خم
―Makanlah, minumlah, berpakaianlah, bersedekahlah, tanpa berlebih-
lebihan.‖ (HR. Ahmad)
Nash di atas secara jelas menggambarkan konsep wasatiyah dalam Islam,
yang mana Islam melarang sikap hidup yang berlebih-lebihan dalam segala hal,
termasuk dalam masalah makan, minum, dan berpakaian. Kaidah ini menurut
Ibn Katsir mencakup seluruh kebaikan dalam Islam.9 Hal itu sebagaimana
firman Allah,
اا ذيو ق ب نا كتسا ي طس٢ؾا إ٢ذا أؿكا ي اير
“Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan
dan tidak pula kikir dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian” (QS.
Al-Furqon:67)
4. Islam sebagai agama yang komprehensip (Syumuliyah)
Islam merupakan agama yang komprehensip (syumuliyah) yang mencakup
seluruh aspek kehidupan umat manusia, mulai dari urusan individu, keluarga,
sosial kemasyarakatan sampai pada persoalan-persoalan berbangsa dan
bernegara, baik yang sifatnya duniawi, maupun ukhrawi.
٤ غ صيا عو ايهتاب تباا يه
“Dan Kami turunkan kepadamu al-kitab untuk menjelaskan segala sesuatu.”
(QS.Al-Nahl: 89)
أثايه ري بحاذ إ٢ي٤ا أ يا طا٥س٣ داب١ ؾ ايأزض٢ ا اؾسط ا ؾ ايهتاب
٤ إ٢ي٢ غ ث رػس زب٢
9 Ibn Katsir,Tafsir Ibn Katsir, Vol.III,hlm.407
19 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-
An'am: 38)
Kesempurnaan Islam ini ditandai dengan hal-hal berikut ini,
a) Syumuliyah li As-Tsaqalain (mencakup untuk jin dan manusia), artinya
risalah Islam ditujukan kepada bangsa jin dan manusia.
ا خ ايأظ إ٢ي٤ا يعبد كت ايح
“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah
kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat: 56 )
b) Syumuliyah az-zaman (sepanjang masa), yaitu Islam berlaku sepanjang
masa hingga hari kiamat.
جابس٢ ٢ ع ث ايأبا٤ ن ث : " ث قا ض٤ ع ص٢٤ اي٤ ٢ ايب ٢ عبد اي٤ ، ع ب
تعحب ا اياع دخ ضع يب١ ؾحع ا إي٤ا أن ا ٣ ب٢ دازا ؾأت زج : ا كي
ضع اي٤ب١ ج٦ت ؾ : ؾأا ض٤ ع اي٤ ص٢٤ اي٤ زض ضع اي٤ب١ ، قا يا ت ي دت
.ايأبا٤
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu dia berkata Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, perumparnaan diriku dan para
nabi seperti seorang yang membangun sebuah rumah. Dia
menyelesaikannya dan memperindahnya kecuali tersisa pemasangan
sebuah bata. Lalu orang yang masuk ke dalamnya dan melihatnya
berkata, 'Alangkah bagusnya rumah ini. Sayang bata ini belum
dipasang.' Akulah pemasang bata tersebut. Aku dijadikan penutup
bagi seluruh nabi.‖ (HR. Ahmad)
c) Syumuliyah al‑makan (semua tempat), yaitu risalah Islam tidak hanya
untuk masyarakat lokal seperti bahasa Arab saja, tetapi mencakup
seluruh alam.
20 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
١ يعايني ا أزضاى إ٢ال٤ زذ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai
rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al Anbiya: 107)
d) Syumuliyah al‑manhaj (pedoman hidup)
ي ايصايرا أ ع ني اي٤ر ؤ بػس اي أق د ي٤ت را ايكسآ أجسا نبريا إ٢
“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
lurus, dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yag beriman, yang
mengerjakan amal shaleh, bahwa bai mereka pahala yang besar.” (QS.Al-
Isra’: 9)
e) Syumuliyah al-Daraini (mencakup dunia dan akhirat)
ا إ٢يو ابتؼ٢ ؾ اي٤ ا أذط ن أذط ايدا ال تظ صبو ايداز اآلخس٠ آتاى اي٤
ؿطد ال رب اي اي٤ ال تبؼ٢ ايؿطاد ؾ اأزض٢ إ٢
“Dan carilah pada apa yg telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu di dunia dan berbuat
baikklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yg berbuat kerusakan.‖ (QS. Al-Qashas: 77)
5. Islam sebagai agama fitrah
Islam adalah agama fitrah, karena Islam datang untuk menjaga dan
melindungi fitrahmanusia. Hal itu tampak jelas dari tujuan ditetapkannya syari‘at
Islam (maqasid al-syari‟ah) yaitu untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau
dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan
hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara. Fitrah Islam tersebut sebagaimana dijelaskan
oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
21 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
يدل٢ اي ذيو س اياع عا ال تبد س٠ اي ايت ؾ ٢ ذؿا ؾ جو يد ؾأق ايك ايد
أنثس اياع٢ ال ع يه
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah
Allah disebabkan. Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Ar-Ruum: 30)
Ayat di atas secara tegas menyandingkan antara fitrah dengan Islam. Itu
artinya fitrah merupakan salah satu karakter Islam yang asasi yang tak
terpisahkan antara keduanya. Karena fitrah pada asalnya diletakkan untuk makna
tauhid, yang mana tauhid ini merupakan inti ajaran Islam. Ibn Katsir berkata:
ايتطو بايػسع١ ايؿس٠ ايط١ ايد ايك املطتك
Berpegang teguh atas syariah dan fitrah yang selamat merupakan inti
agama yang lurus.10
Islam sebagai agama fitrah ini sesuai dengan fitrah bawaan lahir manusia.
Manusia pada fitrahnya adalah suci dan bertauhid, tidak membawa warisan dosa
dari ayah ibunya dan tidak pula bercampur dengan kesyirikan. Ibn Katsir
berkata,
Sesugguhnya Allah telah menjadikan fitrah manusia atas makrifat dan
tauhid, dan keaksian bahwa tiada tuhan selain Allah.11
Pendapat Ibn Katsir tersebut didasarkan atas firman Allah daam (QS. Al-
A`raf: 172), bahwa dalam azali Allah telah mengambil sumpah terhadap manusia
yang berbunyi “Bukankah Aku ini Tuhan kamu”; maka mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.”
10 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Dar Al-Thaibah,2002. 11 Ibid
22 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
أيطت بسبه ع٢ أؿط٢ أغد ذز٢ت ظز٢ ب آد قايا إ٢ذ أخر زبو
را غاؾني ايكا١ إ٢ا نا ع تكيا ب٢ غ٢دا أ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Akui ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A`raf: 172)
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan
membawa baiat fitrah keagamaan yang hanif, yang benar, dan lurus di atas sirath
al-mustaqim. Keadaan ini diakui oleh manusia atau tidak, yang pasti ayat ini
menghubungkan makna fitrah dengan agama Allah (din) yang saling melengkapi
diantara keduanya.
س ير ؾ ج٢ جت ػس٢ننيإ٢ اي ا أا اأزض ذؿا ا ا ايط
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku dengan lurus (hanif), kepada Dzat yang
menciptakan (fithara) langit dan bumi, dan aku bukanlah orang-orang yang menyekutukan
(Tuhan).‖ (QS. Al-An’am: 79)
Kata fitrah dalam konteks ayat ini (fathara) dikaitkan dengan pengertian
hanif, yang memiliki pengertian kecenderungan kepada agama yang benar.
Istilah ini dipakai Al-Qur‘an untuk menggambarkan sikap tauhid Nabi Ibrahim
Alahisallam yang menolak menyembah berhala, binatang, bulan atau matahari,
karena semua itu tidak patut untuk disembah. Yang patut disembah hanyalah
Dzat pencipta langit dan bumi. Inilah agama yang benar.
Dalam kajian hadist, fitrah yang hanif disandang oleh setiap manusia yang
dilahirkan di muka bumi ini. Adapun penyimpangan-penyimpangan yang terjadi,
diakibatkan pengaruh syahwat dan syubhat yang mendominasi pada diri
manusia. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
ا س٠ ؾأب يد ع٢ ايؿ د ـ ي ا حطا أ صسا أ .٢دا
23 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
―Tidaklah dilahirkan seorang anak melainkan dalam keadaan fitrah. Maka
kedua ibu bapanyalah yang meyahudikannya atau menasranikan-nya atau
memajusikannya.‖ (HR.Muslim)
يد ع٢ ايؿ د ـ ي ١ -س٠ن ر اي ا١: ع٢ -ؾ٢ ز٢ صسا أ ٢دا ا ؾأب
جدعا٤؟ ا ؾ ترط عا٤، ٠١ ج يد ب٢ ا ت ، ن حطا أ
―Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah‖—dalam riwayat lain
disebutkan: ―Dalam keadaan memeluk agama ini—Maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana seekor binatang
dilahirkan dalam keadaan utuh (sempurna), apakah kalian mendapatinya dalam
keadaan terpotong (cacat)‖ (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang ia
terima dari Ismail, dan Ismail menerimanya dari Yunus bin Al-Hasan dan ia
menerimanya dari Al-Aswad bin Sarii`, ia berkata:
اياع ذت ؾأصبت ظؿسا، ؾكات ع غص ض اهلل ص٢ اهلل ع ٣ أتت زض
٢، قتا ٢يدا يو ذ ؾبؼ اي ع اهلل ص٢ اهلل زض ض : ابا ا٣ ؾكا أق ش جا ايكت
ذت ايرز١٢؟ قتا ٣ اي ؾكا : ازض اهلل زج ا أ ،ث ا أبـا٤املػس٢ن : التكت قا
ا ذز١٢،التكت : ن قا يدع٢ ذز١٢، ١تـ س٠ذت ط عسب ٣ ايؿ ٢داا عا يطا ا ا، ؾأب
صساا .أ
Aku datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu aku pergi
berperang bersama beliau, maka aku pun mendapat kemenangan. Orang-orang
pun hebat berperang di hari itu, sampai ada yang membunuh anak-anak. Maka
sampailah berita itu kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Lalu beliau
bersabda: ―Apa namanya perbuatan kaum itu. Mereka telah melampaui batas
dalam hal membunuh di hari ini, sampai keturunan mereka (anak-anak) pun
dibunuhi.‖ Seorang laki-laki berkata: ―Ya Rasulullah, bukankah anak-anak yang
dibunuh itu adalah anak-anak musyrikin?‖ Rasulullah bersabda: ―Jangan begitu!
24 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Ingatlah bahwa yang terkemuka di antara kamu sekarang ini adalah anak-anak
dari orang-orang musyrikin. Jangan dibunuh keturunan, jangan dibunuh
keturunan. Ingatlah bahwa tiap-tiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah,
sampai lidahnya bisa berucap. Ayah bundayalah yang meyahudikan atau
menasranikan.‖ (HR. An-Nasa’i).
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari `Iyadh bin Himar, ia berkata,
Rasulullah Saw bersabda:
ذس د٢ ع ؾاجتايت ايػـاط ذؿا٤ ؾـحا٤ت اهلل: إ٢٢ خكت عباد ك ت ع٢
اأذت ي
Allah berfirman: ―Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-
Ku dalam keadaan hanif (lurus). Maka datanglah setan-setan kepada mereka, lalu
menyimpangkan mereka dari agamanya dan mengharamkan bagi mereka apa
yang telah Aku halalkan bagi mereka.‖
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dari
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
٤ أن غ يو اع٢ اأزض٢ نا ايكا١: أزأت ي ٢ اياز٢ ـ أ ٢ يسج ت ؿتداب؟ كا
ذ : قد أزد و أ ، ؾك : ع ، ؾك أال آد س٢ظ ؾ٢ عو يو،قدأخر قا
تػس٢ى ب تػس٢ى ب غ٦ا، ؾأبت إ٢ال أ
―Ditanyakan kepada salah seorang penghuni neraka pada hari Kiamat
kelak: ‗Bagaimana pendapatmu jika engkau mempunyai sesuatu di atas bumi,
apakah engkau bersedia untuk menjadikannya sebagai tebusan?‘ Maka ia
menjawab: ‗Ya, bersedia.‘ Kemudian Allah berfirman: ‗Sesungguhnya Aku telah
menghendaki darimu sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil
perjanjian darimu ketika masih berada di punggung Adam, yaitu agar engkau
tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, tetapi engkau menolak, dan tetap
mempersekutukan Aku.‘‖ (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada hadist lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Muslim bin Yasar
Al-Juhani, bahwa Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu pernah ditanya
25 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
mengenai ayat ini, „Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Akui ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi‟(QS. Al-A`raf: 172). Maka, Umar pun menjawab,
aku mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam ditanya mengenai ayat
tersebut, kemudian beliau menjawab:
: خ ذز١٢، قا ، ؾاضتدسد طح ظس ب اهلل خل آد ع ايطال ث ؤال٤ يح١ إ٢ كت
: ذز١٢، قا طح ظس ؾاضتدسد ، ث ٢ ايح١ ع ٢ أ ٢ بع ٢ أ بع ؤال٤ ياز٢ خكت
اهلل ص٢ اهلل ع زض ؟ قا ايع اهلل ؾؿ : ازض ايسج . ؾـكا : إ٢ذا اياز٢ ع ض
٢ أ ا بأع ٣ ٢ ايح١، ذتخل اهلل ايعبد يح١، اضتع ٣ ع٢ ع ٢ ا ٢ أع أ
ايح١، إ٢ذا ب ؾدخ ياز٢، ايعبد خل ايح١. ٢ اضتع ا ٢ بأع ٣ ذت اياز٢، أ ع٢
٣ ٢ ع ا ٢ أع ب ايازؾدخ اياز٢، أ
―Sesungguhnya Allah menciptakan Adam Alaihisallam, lalu Allah
mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya, maka keluarlah darinya
keturunannya dan Allah berfirman, ‗Aku telah menciptakan mereka sebagai ahli
surga dan dengan amalan ahli surga mereka beramal.‘ Lalu mengusap lagi
punggungnya dan mengeluarkan darinya keturunan yang lain, Allah pun
berfirman, ‗Aku telah menciptakan mereka ahli neraka dan dengan amalan ahli
neraka mereka beramal.‘ Kemudian ada seseorang yang bertanya, ‗Ya Rasulullah,
lalu untuk apa kita beramal?‘ Beliau menjawab, ‗Sesungguhnya, jika Allah
menciptakan seorang hamba sebagai penghuni surga, maka Allah menjadikannya
berbuat dengan amalan penghuni surga sehingga ia meninggal dunia di atas
amalan-amalan penghuni surga lalu ia dimasukkan ke dalam surga karenanya.
Dan jika Allah menciptakan seorang hamba sebagai penghuni neraka, maka Dia
akan menjadikannya berbuat dengan amalan penghuni neraka sehingga ia
meninggal dunia di atas amalan dari amalan-amalan penghuni neraka lalu ia
dimasukkan ke dalam neraka karenanya.‘‖(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, At-
Turmidzi, dan Ibnu Hibban).
6. Islam untuk kemaslahatan umat (din al-mashalih)
26 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Islam tidak bisa lepas dari konsep tentang maqasid al-syariah yaitu tujuan
dan maksud dari adanya sebuah syariah. Konsep ini berfungsi untuk menjaga
kemaslahatan bagi manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. Maqasid al-syari‟ah
terebut diwujudkan dalam lima pilar agung, yaitu menjaga agama (hifdz al-din),
jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifdz al-
mal).
a) Menjaga agama (hifdz al-din),
Menjaga agama merupakan pilar tertinggi dalam Islam. Hal itu
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:
٢ ايإ٢ظ إ٢ي٤ا يعبد ا خكت ايح
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.‖ (QS. Adz-Dzâriyat: 56)
Ayat ini secara tegas menjelaskan, bahwa hakikat inti penciptaan makhluk
adalah untuk beribadah kepada Allah.Untuk mencapai tujuan ini, maka Allah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, agar kegiatan beribadah
terjaga dan sesuai dengan prosedur syariat. Sebagaimana firman-Nya,
ي ي٤٦ا ه رز٢ ٢زضا بػس٢ اع٢ ع٢ اي٤ ذح٠١ بعد ايسض
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu.” (QS.An-Nisa: 165)
٤اغ يكد بعثا ؾ اجتبا اي ٢ اعبدا اي٤ أ١ زضيا أ ن
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)
Selain itu, Agar din (agama) terjaga dari kerusakan, maka syari‘at juga
mengharamkan perbuatan riddah (murtad), dan memberikan hukuman kepada
pelakunya. Hal itu, karena riddah merupakan perbuatan yang amat bahaya yang
dapat merobohkan agama. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam:
27 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ؾاقت د بد
―Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia‖ (HR
Bukhari)
ؿاز٢م يد اي ايثب ايصا ٣ إ٢ي٤ا بإ٢ذد٣ ثاث ايؿظ بايؿظ٢ د اس٢ئ٣ ط ايتاز٢ى يا ر
اع ١يح
―Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh), kecuali dengan
salah satu di antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang tua yang berzina,
orang yang murtad meninggalkan agamanya dan jama‘ahnya.‖ (HR. Bukhari)
b) Menjaga jiwa (hifdz al-nafs)
Islam memerintahkan umatnya agar senantiasa menjaga jiwanya, dan
mengharamkan segala hal yang dapat menghilangkan jiwa, seperti membunuh
orang lain tanpa jalan yang haq, atau membunuh dirinya sendiri (bunuh diri). Hal
itu sebagaimana dijelaskan dalam nash berikut ini,
يا ص إ٢ي٤ا بايرل ايؿظ اي٤ت ذس اي٤ يا كت
“(Di antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan: 68)
تسد٣ خايدا د٤دا ؾا أبدا ؾ از٢ ج ؾ ؿط ٣ ؾكت جب تسد٣
―Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh
dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan
melemparkan diri selama-lamanya.‖ (HR. Bukhari)
Kedua nash di atas tampak jelas bahwa Islam senantiasa melindugi
kelestarian jiwa umatnya, yaitu dengan menjaganya dan menjauhkannya dari
segala hal yang dapat merusaknya.Untuk merealisasikan itu semua, maka Islam
membuat suatu aturan yang disebut dengan “qishas”, agar kelestarian jiwa tetap
terjaga dan lestari. Allah Azza wa Jalla berfirman:
28 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
تتك ؾ ايكصاص٢ ذا٠٠ ا أي ايأيباب يع٤ه يه
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:179)
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash sebagai salah satu
sebab kelestarian kehidupan, padahal qishash itu merupakan bentuk hukuman
mati. Mengapa bisa demikian? Karena, dengan keberadaan hukum qishash, maka
bagi para pelaku kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi,
qishash merupakan salah satu aturan yang dapat menghentikan segala tindakan
kriminal yang akan merenggut nyawa manusia, sehingga terwujud kehidupan
yangaman, damai, tenang, dan dalam naungan hukum Allah.
c) Menjaga akal (hifdz al-aql)
Akal merupakan karunia Allah yang diberikan kepada manusia agar dapat
berfikir, memahami perintah dan larangan Allah. Oleh karenanya akal harus
dijaga, agar tidak rusak. Maka dari itu, Islam memberikan aturan hukum tentang
keharaman khamr, karena khamr merupakan faktor utama yang dapat
menghilangkan, dan merusak akal serta dapat menjatuhkan pelakunya kedalam
perbuatan haram dan keji serta terhalang dari jalan Allah.
٢ ا ٢ ايػ ع ايأشيا ز٢جظ ايأصاب طس اي س ا ايد ا إ٢ آ ا اير ا أ ؾاجتب
ايبػطا٤ ؾ ايد ٠ ايعدا قع به أ ا ا س٢د ايػ إ٢ تؿر طس٢ يعه اي س٢
ت أت ٢ ايصا٠ ؾ ع ذنس٢ اي ع صدن
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)." (QS. Al-Maaidah: 90-91)
29 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
اي زض » -ص٢ اهلل ع ض-قا ٢ اي كب ا ي غس٢ب س أ ايدبا٥ث ايد
١ ا ت١ جا ٢ ؾ٢ ب ا ا ؾإ٢ «. صال٠ أزبعني
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Khamr itu adalah induk
keburukan (ummul khobaits) dan barangsiapa meminumnya maka Allah tidak
menerima sholatnya 40 hari. Maka apabila ia mati sedang khamr itu ada di dalam
perutnya maka ia mati dalam keadaan bangkai jahiliyah." (HR Thabrani,
Daraquthni dan lainnya, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul
Jami’)
اي زض : قا س ، قا ٢ ع ٢ اب ا :» -ص٢ اهلل ع ض-ع غاز٢ب س ايد اي يع
إ٢ي ر اي ا ذا ا عتصس ا عاصس بتاعا با٥عا ا شاد جعؿس ؾ٢ «. ضاق
ات: ا آ» ز٢ ث «. ن
Dari Ibnu Umar, ia berkata, ―Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: Allah melaknat khamr (minuman keras), peminumnya, penuangnya
(pengedarnya), penjualnya, pembelinya, pemerasnya (pemroses membuatnya),
orang yang minta diperaskannya (minta dibuatkannya), pembawanya, dan orang
yang dibawakan kepadanya.‖ Ja‘far dalam riwayatnya menambahkan: ―dan
pemakan harganya.‖ (HR. Abu Dawud)
ذدث عبد اي ب ك ضع س أ ٢ ع ٢ عبد اي ب ٢ ب ضاي اي ص٢ ع زض س أ ع
س٢ ايد ايح١ د تعاي٢ ع٢ تبازى ثاث٠١ قد ذس اي قا ض ع ايعام اي
ايدبث ايدث اير كس ؾ أ
Dari Salim bin Abdillah bin Umar bahwa dia mendengar (bapak)nya
berkata, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ―Tiga golongan yang Allah mengharamkan
surga atas mereka: pecandu khamr, anak yang durhaka kepada orang tua, dan
Dayyuts, yaitu seorang yang merelakan keluarganya berbuat kekejian.‖ (HR.
Ahmad)
30 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
d) Menjaga keturunan (hifdz al-nasl)
Islam mensyariat pernikahan sebagai upaya untuk menjaga dan
melestarikan keturunan, agareksistensi manusia tidak punah di muka bumi ini.
ايطا٤ ث٢ زباع ثاث ؾاهرا ا طاب يه
“Maka kawinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.”
(QS. An-Nisa: 3)
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda:
اضت ٢جا٤ا عػس ايػباب ي ع ؾع بايص٢ ؾإ٢ طت ي د ايبا٠٤ ؾتص اع ه
―Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah,
maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah dia melakukan puasa (sunat). Karena sesungguhnya puasa itu menjadi
obat bagi dia.‖ (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain mensyariatkan nikah, Islam juga mengharamkan zina, karena zina
dapat merusaknasab keturunan. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing
seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari Akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
dari orang-orang beriman.” (QS. An-Nuur: 2)
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda:
ؤ يا ص ايصا ذني ص
“Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatan zina, sedangkan dia dalam
keadaan beriman.” (HR.Bukhari dan Muslim)
e) Menjagaharta (hifdz al-mal)
31 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Harta merupakan sarana untuk beribadah, oleh karenanya Islam datang
dengan aturan-aturan yang berhubungan dengan harta, sehingga hak-hak yang
berkaitan dengan harta tidak terdzalimi.Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
ازشق قاا يه اي٤ اي٤ت جع ايه يا يا تؤتا ايطؿا٤ أ ق قيا ي انط ؾا
عسؾا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai penopang
kehidupan, berikanlah rezeki mereka darinya, dab juga pakaian mereka, dan berkatalah
kepada mereka dengan perkataan yang baik.” (QS.An-Nisa: 5)
Di sisi lain, Islam juga berperan aktif dalam memerangi segala hal yang
merusak harta. Dalam hal ini, Islam mengharamkan mencuri dan sejenisnya,
karena perbuatan ini dapan menghilangkan harta dari pemiliknya, dan berpindah
ketangan orang lain tanpa jalan yang benar. Allah berfirman,
اي٤ ا نطبا هايا ا جصا٤ ب عا أد ايطاز٢ق١ ؾاق ايطاز٢م اي٤عص٢صذه
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38)
7. Islam sebagai agama yang jelas (din al-wudhuh)
Salah satu karakteristik dari Islam adalah „al wudhuh‟ atau jelas. Jelas dalam
arti semua yang terkandung di dalam ajaran Islam mudah dipahami, dan tidak
mengandung sedikit pun keraguan dan kerancuan di dalamnya. 12
بني٢ ايس تو آا ايهتاب اي
“Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Quran) yang jelas.” (QS. Yusuf:
1)
Menurut Ibn Katsir ayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa Al-Qur‘an
datang di tengah-tengan manusia dengan membawa ajaran yang amat jelas dan
terang (al-wadhih al-jali), menyibak segala sesuatu yang sukar, dan menghilangkan
12 Abdul Aziz Ibn Muhammad Al-Awid, Al-Islam Al-Din Al-Adzim, hlm.17
32 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
segala kerumitan. Ini menunjukkan bahwa Islam mudah dipelajari dan dipahami. 13
Dalam hadist, Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam juga telah menjelaskan
pada kita, bahwa terangnya ajaran Islam seperti terangnya matahari, siangnya
seperti malamnya. Beliau bersabda:
ايو٠ ا يا ص٢ؼ عا بعد إ٢ي٤ا ا ناز٢ ع٢ ايبطا٤ ي تسنته
―Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya
seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti
celaka.‖ (HR. Ahmad)
يه ٢ اياز٢ إ٢ال٤ قد ب تاعد ع ايح١ ٤ ك١س٢ب غ ا بك
―Tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan
menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian.‖ (HR.
Thabrani)
Sahabat Abu Dzar al-Ghifari berkata:
ر ا٤ إ٢ال٤ ا طا٥س كب جاذ ؾ اي ض٤ اهلل ص٢٤ اهلل ع نس يا تسنا زض
ا ع
―Rasulullah wafat meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor
burung pun yang terbang di udara melainkan beliau telah mengajarkan ilmunya
kepada kami.‖ (HR. Thabrani)
Nash hadist tersebut begitu detail menerangkan, bahwa ajaran Islam telah
jelas dan tuntas, sehingga tidak ada masalah yang tak terjawab oleh Islam.
Bahkan hal-hal yang paling kecil pun telah dijelaskan oleh Islam. Itu
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna.
Ada satu riwayat yang menceritakan dialog antara seorang yahudi dengan
Salman Al-Farisi. Berkata Yahudi kepada Salman Al-Farisi (dengan nada
mengejek): ―Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga cara
buang hajat!‖. Salman menjawab (dengan penuh bangga): ―Benar, beliau telah
13 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Vol.4,hlm.364
33 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air
kecil, dan beliau melarang kami untuk istinja‘ dengan menggunakan tangan
kanan dan istinja‘ dengan kurang dari tiga batu atau istinja‘ dengan kotoran atau
tulang.‖ (HR. Muslim)
34 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB II
KONSEP WAHYU
DAN NABI DALAM ISLAM
Hampir semua agama besar dunia, khususnya yang sering disebut ―agama-
agama semitik‖ (Yudaisme, Kristianisme, dan Islam) yang memang disebabkan
latar-belakang sejarah dan ―nasab‖ yang sama, secara fundamental bertumpu
pada ―wahyu‖ dan ―nabi‖ untuk menegaskan ekistensinya baik secara ontologis
maupun legalistiknya. Oleh karena itu, ―wahyu‖ menjadi salah satu dari tiga pilar
utama epistemologi dalam Islam.14 Namun dapat dikatakan bahwa dalam hal
yang menyangkut konsep dan detail tentang ―wahyu‖ dan ―nabi‖, terdapat
perbedaan yang sangat mendasar di antara ketiga agama tersebut. Bagaimana
konsep ―Wahyu‖ dan ―kenabian‖ dalam Islam, dengan merujuk sumber-sumber
utama Islam dan analisis-analisis rasional yang dikembangkan para sarjana atau
ilmuwan, baik klasik maupun modern?15
A. Definisi Wahyu dan Nabi
―Wahyu‖ dan ―Nabi‖ adalah istilah yang berbahasa Arab. Oleh karena itu
untuk mendapatkan definisi yang akurat dan definitif tentang kedua istilah ini,
haruslah merujuk kepada arti lughawi (dictionary meaning)nya yang diberikan dalam
kamus-kamus bahasa Arab, dan bukan yang lain.
1. Wahyu
Dari sisi kebahasaan, dapat disimpulkan secara umum dari para penyusun
kamus bahasa Arab bahwa arti ―Wahy‖ ini berkisar sekitar: al-isyarah al-sari‟ah
(isyarat yang cepat), al-kitabah (tulisan), al-maktub (tertulis), al-risalah (pesan), al-
ilham (ilham), al-i‟lam al-khafi (pemberitahuan yang bersifat tertutup dan tidak
diketahui pihak lain) al-kalam al-khafi al-sari‟ (pembicaraan yang bersifat tertutup
14Lihat, misalnya, Sa’d al-Din al-Taftazani, Syarh al-Aqa’id al-Nasafiyyah (Karachi: Maktabah Khair Katsir,
t.t.), hal.8-23. 15 - Pembahasan ini diambil dari Anis Malik Thoha, Konsep Wahyu dan Nabi Dalam Islam, Bogor: Univ. Ibn
Khaldun,2011
35 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
dan tidak diketahui pihak lain dan cepat).16 Arti-arti ini didasarkan pada teks-teks
dasar bahasa Arab, terutama Al-Qur‘an dan hadits, misalnya:
ا عس٢غ ايػحس٢ ٢ بتا ايحبا ٢ اتدر ٢ أ ذ٢ زبو إ٢ي٢ اير أ
Kata-kata ―wa-auha‖ dalam ayat 68 surat al-Nahl ini berarti ―memberi
ilham‖
ضبرا أ ذ٢ إي٢ عػا ؾأ بهس٠
Kata-kata ―fa auha‖ dalam ayat 11 surat Maryam ini berarti ―memberi
isyarat‖
يحادين يآ٢٥ إ٢ي٢ أ ايػاطني يذ إ٢
(QS. Al-An’am: 121)
ا غاطني اإل٢ظ٢ ٣ عد ٢ ب ٢ نريو جعا يه إ٢ي٢ بعض٣ شخسف ايك ٢ ذ بعط ايح
غسزا
(QS. Al- An’am: 112)
Kata-kata ―layuhun‖ dan ―yuhi‖ dalam kedua ayat di atas juga mempunyai
arti ―memberi isyarat atau ilham‖
عس إيـا ـعس٠ ؾـتـرس دقا٥ل ؾهس يف بدع صؿاتا
إيا ايـسف أ أذبـاؾأثس ذاى ايذ يف جـاتاؾأذ
Kata-kata fa-auha dan al-Wahy dalam bait di atas mempunyai arti
―memberi isyarat‖.
Dengan demikian dapat dikatakan secara konklusif bahwa dalam arti
lughawinya, ―Wahy‖ adalah, sebagaimana disimpulkan oleh Rasyid Ridha dalam
16Lihat, misalnya, al-Fayruz Abadi, al-Qamus al-Muhith; atau Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab; Al-Raghib al-
Ashfihani, Mufradat Alfazh al-Qur’an; Al-Tahanawi, Kasysyaf Ishthilahat al-Funun wa al-‘Ulum, dll., entry: “al-wahy”.
36 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
al-Wahy al- Muhammadi, ―pemberitahuan yang bersifat tertutup, tidak diketahui
pihak lain, cepat dan khusus hanya kepada yang dituju.‖ 17
Kemudian dari arti kebahasaan ini, para ulama membangun definisi kata
Wahy secara teknis (terminologis) atau istilah, yakni ―pemberitahuan Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada seorang nabi tentang berita-berita gaib, syari‟at, dan
hukum tertentu.‖ Dari definisi ini jelas bahwa konsep ―Wahy‖ dalam Islam harus
mengandung dua unsur utamanya, yaitu (1) pemberi berita (Allah Subhanahu wa
Ta'ala) dan (2) penerima berita (nabi), sehingga tidak dimungkinan terjadinya
wahyu tanpa keduanya atau menafikan salah satunya. Dari sini jelas pula bahwa
―wahyu‖ harus dibedakan dengan ―ilham‖ yang memancar dari akal tingkat
tinggi, atau dari apa yang sering disebut-sebut para orientalis (yang sebetulnya
mengikuti kaum musyrik dan kafir pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu
'Alaihi wa Sallam) sebagai ―daya imajinasi dan khayalan kreatif‖ (creative
imagination), dan ―kondisi kejiwaan tertentu di mana seseorang seakan-akan
melihat Malaikat kemudian mendengar atau memahami sesuatu darinya,‖ atau al-
Wahy al-nafsi yang sering dituduhkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam, dulu maupun kini. Oleh karenanya, kemudian sebagian diantara
mereka menyebutnya sebagai ―imajinasi penyair (sya‟ir), halusinasi mimpi
(adhghatsu ahlam), dukun dan tukang sihir.‖ Bahkan ada sebagian lagi dari mereka
yang secara kasar mengatakan bahwa kondisi tersebut adalah semacam
―gangguan jiwa‖ yang mereka sebut dengan berbagai macam sebutan, seperti
―epilepsi‖ (al-Shar‟) dan ―gila‖ (al-junun), sebagaimana yang direkam dengan jelas
dalam Al-Qur‘an sendiri.18
Tentunya tuduhan-tuduhan semacam ini sangat lemah,19 tidak berdasar
(baseless), dan hanya bertujuan menolak serta menggugat kesucian dan otoritas
Wahyu yang diterima Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Dengan menafikan
adanya unsur di luar diri seorang nabi, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka
ingin menegaskan bahwa apa yang diklaimnya sebagai ―wahyu‖ tidak lain
hanyalah: (i) hasil produksi olah-pikir/imajinasi dirinya sendiri, yang dengan
17Rasyid Ridha, al-Wahy al-Muhammadi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: 2005), hal.25 18Al-Qur'an mengisahkan pandangan mereka sebagai berikut: Bahkan mereka berkata (pula): (Al Qur’an
itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair..(QS. al-Anbiya’: 5); dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (QS.al-Shaffat: 36); Bahkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya" (QS. al-Thur: 30)
19Selain al-Qur’an sendiri, sudah banyak ulama yang menangkis tuduhan-tuduhan tersebut dengan dalil-dalil yang sangat solid, baik secara scientific, historis maupun logis, dalam karya-karya mereka. Lihat, misalnya: Rasyid Ridha, ibid, hal.59-93; dan Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kawniyyah (Dimasyq: Dar al-Fikr, [1982] 1985), hal.186-95.
37 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
demikian secara substansial tidak beda dengan umumnya produk pemikiran
manusia yang lain; dan (ii) sesuatu yang dapat diusahakan secara sungguh-
sungguh untuk dihasilkan (muktasab) oleh siapa saja yang mampu. Maka dari itu,
untuk mementahkan tuduhan-tuduhan miring tersebut, begitu juga untuk
mengantisipasi munculnya tuduhan-tuduhan serupa di masa mendatang, sejak
dini Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri dalam Al-Qur‘an telah menyatakan, bahwa
Al-Qur‘an itu ―diturunkan‖, atau Allah Subhanahu wa Ta'ala ―menurunkannya‖,
dan proses pewahyuannya dengan menggunakan kata kerja bentuk ―anzala‖ dan
―nazzala‖ dengan berbagai variasinya, seperti ―anzalna‖, ―anzaltu‖ ―nazzalna‖,
―tanzil‖ dan sebagainya.
Bagi siapa saja yang faham kaedah bahasa Arab dengan benar, secara
otomatis akan faham bahwa dalam proses pewahyuan ini ada unsur di luar
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang aktif sebagai pemberi atau sumber
utama yang otoritatif, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Harus segera disusulkan di sini bahwa memang ada dua ayat dalam Al-
Qur‘an yang berkaitan dengan turunnya wahyu kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam yang menggunakan kata kerja bentuk ―nazala‖, yaitu dalam surah Al-Isra‘:
105 dan Al-Syu‘ara‘: 92, yang seakan-akan jika difahami secara terpisah atau out of
context mengindikasikan wahyu datang sendirinya tanpa ada pihak yang
bertanggung jawab sebagi sumbernya. Namun dengan memahami dua ayat
tersebut dalam konteks (siyaq dan sibaq)nya, maka anggapan ini segera gugur
dengan sendirinya.
2. Nabi
Adapun kata-kata ―al-nabi‖ secara kebahasaan (lughawi) berasal dari kata-
kata al-naba‘ yang berarti ―berita yang berarti dan penting‖. Dengan demikian
―al-nabi‖ adalah ―orang yang membawa berita penting.‖ Dan seseorang disebut
“al-nabi” karena membawa berita dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.20 Sedangkan arti
“al-nabi” secara teknis atau terminologis adalah ―seseorang yang diberi wahyu
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik diperintahkan untuk menyampaikan
(tabligh) atau tidak.‖ Jika ia diperintahkan untuk menyampaikan kepada yang
lain, maka ia disebut “rasul”.
Sebetulnya ada banyak pendapat seputar perbedaan antara nabi dan rasul
ini. Di samping yang disebutkan di atas tadi, ada sebagian ulama yang
20 Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab, entry: “al-nabi”.
38 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
berpendapat bahwa rasul adalah seseorang yang diwahyukan ―syari‘at‖ baru,
sedangkan nabi tidak. Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa rasul adalah
yang diutus dengan kitab suci, sedangkan nabi tidak. Namun terlepas dari
perbedaan yang menyangkut masalah perincian ini, dapat dikatakan dengan tegas
bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap rasul adalah nabi dan tidak
sebaliknya. Namun di samping pendapat mayoritas ini masih ada lagi satu
pendapat yang nampaknya layak dipertimbangkan juga, yaitu bahwa semua nabi
adalah rasul, dan semua rasul adalah nabi. Menurut mazhab ini, masalahnya
adalah terletak pada relativitas sudut pandang, yaitu jika dilihat dari sisi
hubungannya dengan audience atau umat manusia, maka ia adalah rasul (“alaqat al-
irsal wa al-ba‟ts); dan jika dilihat dari sisi hubungannya dengan Allah Subhanahu wa
Ta'ala, maka ia adalah nabi (“alaqat al-Wahy wa al-inba‟). Dari sini jadi jelas bahwa
masalah definisi ini adalah masalah ijtihadiyyah dan tidak tergolong masalah yang
dilarang berbeda atau qath‟iyyat dalam agama. Apalagi masing-masing pendapat
di atas juga memiliki dalil-dalil pijakan yang kuat dari Al-Qur‘an maupun sunnah.
1. Universalitas Fenomena Wahyu dan Nabi
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal. Dengan akalnya, ia
bisa berfikir dari yang paling sederhana sampai yang sangat fantastis dan
sophisticated, untuk tujuan apa saja, baik yang konstruktif maupun destruktif,
sejauh yang menyangkut alam fisik yang nyata dan empiris. Namun begitu
masuk ke wilayah alam non-fisik dan meta-fisik, khususnya yang menyangkut
prinsip ketuhanan-peribadatan (penuhanan-penghambaan atau uluhiyyah-
‟ubudiyyah) dan pernik-perniknya, track record akal yang terekam dalam lembaran-
lembaran sejarah peradaban manusia sangat buram dan merisaukan. Bagaimana
tidak! Ada sekelompok manusia yang menghamba, menyembah dan
menuhankan sesama manusia, bahkan ada sekelompok yang lain yang
menghamba, menyembah dan menuhankan makhluk yang lebih rendah daripada
manusia. Bahkan di alam yang ultra modern ini ada kelompok-kelompok
manusia yang sibuk ―mengatur-atur‖ Tuhan dan getol sekali melakukan
kontestasi melawannya untuk kemudian menggeser dan merebut posisi-Nya
(dari God-centredness menuju human- centredness).
Yang perlu dicermati secara seksama, adalah bahwa praktik-praktik
penuhanan-peribadatan semacam ini begitu meluber (pervasive), universal dan
tidak mengenal sekat-sekat ruang dan waktu. Oleh para pakar perbandingan
agama fenomena ini biasa dikenali sebagai sensus numinis (naluri keberagamaan)
yang jamak ditemukan di semua lapisan komunitas manusia, dan oleh karenanya
39 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
juga sering disebut sui generis, sensus communis, dan religio naturalis.21 Namun
pertanyaan yang segera mencuat ke permukaan dan mengusik kesadaran kritis
kita adalah bagaimana dan dari mana naluri yang demikian pervasive dan universal
ini muncul? Adakah ia lahir dan muncul dengan begitu saja, atau ada sebab-
sebab di belakangnya? Para sarjana modern berusaha mencoba menjelaskan
fenomena ini dengan mengajukan beberapa teori yang disebut-sebut ―ilmiah‖,
yang paling menonjol di antaranya adalah (i) psikoanalitis ala Freudian, yang
menunjuk kepada faktor psikologis individu manusia yang lemah dan powerless
sebagai peyebab utamanya;22 dan (ii) sosioantropologis ala Durkhemian yang
mengidentifikasi faktor sosiologis sebagai penyebab utamanya.23Tapi dalam
kenyataannya, di samping gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, justru
kedua teori ini malah menyisakan sejumlah pertanyaan baru yang tentu saja tak
mudah dijawab. Logikanya sebetulnya sangat sederhana, oleh karena masalah ini
adalah masalah agama, maka sebetulnya yang berkompeten menjelaskannya
adalah agama itu sendiri, dan bukan pihak-pihak yang sejak semula memang
tidak berkepentingan dengan agama atau netral agama (sekular), bahkan tidak
ada niat baik terhadap agama. Namun sejauh yang dapat ditelisik dari agama-
agama yang ada, hanya Islam yang memiliki konsep yang jelas dan sejalan
dengan logika untuk menjelaskan masalah ini secara meyakinkan. Dalam
perspektif Islam, sensus numinis ini memang sudah ditanamkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada setiap individu semenjak masih berada di alam ruh,
ketika manusia masih jauh berada dalam blueprint (perencanaan) ilahi atau yang
bisa disebut juga archetypal world, sebagaimana yang termaktub dalam surat al-
A‘raf: 172 yang berbunyi:
أيطت بسبه ع٢ أؿط٢ أغد ذز٢ت ظز٢ ب آد قايا إ٢ذ أخر زبو
ب٢ غ٢دا
21 Lihat misalnya: Rudolf Otto, The Idea of the Holy: An Inquiry into the non-Rational Factor in the Idea of
the Divine and Its Relation to the Rational, trld. into the English by John W. Harvey (Harmondsworth, Middlesex, Victoria: Penguin Books, [1917] 1959); Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, diedit oleh Ataullah Siddiqui (Leicester: The Islamic Foundation, 1998M./1419H).
22 Lihat: Sigmund Freud, The Future of An Illusion, trld. into English and edited by James Stracey, with a biographical introduction by Peter Gay. (New York: Norton, c1989), dan Totem and Taboo, trld. into English by James Stracey (London: Ark Paperbacks, 1960).
23 Lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trld. into English by Carol Cosman (Oxford: Oxford University Press, c2001).
40 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi.”
Dari ayat ini jelas bahwa naluri keberagamaan, bahkan peng-esa-an Tuhan
(tauhid) ini berasal dari sebuah perjanjian primordial (primordial covenant) yang
diteken setiap individu di depan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang isinya adalah
pengakuan seorang hamba atas rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata
bagi dirinya sendiri dan sekalian alam. Sehingga ketika ia benar-benar dilahirkan
ke alam dunia nyata, naluri ini sudah melekat secara fitrah pada sang jabang bayi
secara otomatis. Inilah yang dinyatakan secara tegas dalam sebuah hadits Nabi:
يد إ٢ال٤ يد ع حطاا صسا أ دا أ ا س٠، ؾأب ٢ ايؿ
―Tidaklahanak adam dilahirkan kecuali dalam keadaan suci (fithrah), maka
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi‖. (HR.
Bukhari)
Namun seperti disebut secara kategoris dalam hadits ini pula bahwa
berbagai bentuk penyimpangan sensus numinis dari yang tauhidi atau fitri ini
menjadi praktik-praktik penuhanan-peribadatan semacam di atas tadi sangat
mungkin terjadi; dan itu semua terjadi akibat faktor-faktor kesejarahan dan
lingkungan sosial seseorang, dimulai dari kedua orang tua (di atas) atau pihak-
pihak yang mewakili orang tua, sampai jaringan sosio-kultural yang sangat
kompleks.
Tentu saja praktik-praktik penuhanan-peribadatan semacam itu sangat
mencoreng harkat dan martabat manusia atau nilai-nilai kemanusiaan, yang
sekaligus merendahkan martabat Tuhan itu sendiri yang maha transenden. Dan
tentu saja pula praktik-praktik seperti ini tidak hanya telah melenceng jauh dari,
tapi bahkan berlawanan secara diametris dengan, blueprint ilahi ketika pertama
kali menciptakan makhluk yang bernama manusia. Sebab sesuai dengan blueprint
ilahi ini, manusia diciptakan untuk tujuan yang sangat agung dan suci, yang tiada
lain adalah untuk mengemban amanah melaksanakan ―kehendak ilahi‖ pada diri
mereka sebagai khalifah Allah Subhanahu wa Ta'ala di bumi jagat raya.24 Tujuan
keberadaan (raison d‟itre) manusia ini lebih jauh menyangkut tugas-tugas
24 Lihat: al-Baqarah: 30.
41 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
membangun dan membina kemakmuran dan peradaban di bumi („imarat al-ardh),
atau tatanan dunia yang makmur, adil dan beradab yang sesuai dengan harkat
dan martabat manusia, sebagaimana diungkap dalam surat Hud: 61:
ؾا ؾاضتػؿس سن اضتع اأزض٢ أػأن
“Dialah yang menjadikan kalian dari bumi dan menghendaki kalian
memakmurkannya.”
Dan kesemuanya itu tiada lain adalah sebagai pengejawantaan
penghambaan („ubudiyyah) sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saja.
"Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-
Ku".25
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala, Tuhan dan Pencipta sekalian
alam, dengan kebijakan-Nya yang maha luas, tak terbatas dan maha meliputi
serta universal, telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (fi
ahsani taqwim);26 dan membekali mereka dengan segala potensi yang
memungkinkan mereka melaksanakan tugas suci tersebut dengan sebaik-
baiknya; serta menyisipkan dalam diri mereka apa yang bisa disebut di atas
sebagai sensus numinis (naluri keberagamaan), yang dengannya mampu
mencapai hakikat relijiusitas yang benar, yang pada dasarnya telah ditanamkan
oleh Allah pada dirinya semenjak lahir, yaitu ―agama fitrah‖ atau ―agama alami‖.
Bahkan dikarenakan begitu melekatnya naluri ini dalam fitrah manusia, Al-
Faruqi menganggap sensus numinis ini sebagai ―prerogatif‖ manusia.27
Kemudian logika seterusnya yang sealur dengan konsep ini adalah, untuk
menjaga dan mengawal kontinuitas sensus numinis yang tauhidi, fitri lagi
universal ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian mengutus serangkaian para
nabi dan rasul dengan Wahyu dan risalah sepanjang zaman.
Perspektif tauhidi ini, secara logis meniscayakan kesatuan perantara atau
sarana bagi manusia yang dengannya dimungkinkan mengenal Allah Subhanahu
wa Ta'ala termasuk kehendak dan iradah-Nya serta sunnah-sunnah-Nya di alam
semesta ini, begitu juga yang dengannya dimungkinkan mengenal sebab-sebab
atau faktor-faktor yang menjamin kebahagiaan, ketenteraman, kesejahteraan, dan
keselamatan (salvation) bagi manusia. Sarana tersebut baik yang langsung lewat
25 Al-Dzariyat: 56 26 Lihat Al-Tin: 4; juga Ghafir: 64; Al-Taghabun: 3; Al-Sajdah: 9. 27Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, hlm. 137.
42 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Wahyu (dalam arti teknis) ataupun tidak langsung lewat ilmu pengetahuan atau
observasi ilmiah (Wahyu dalam arti generik). Dengan demikian, Wahyu langit
tidak menjadi monopoli kelompok atau umat tertentu, melainkan merupakan
suatu rahmat yang dihadiahkan kepada seluruh manusia. Dengan kata lain
fenomena Wahyu dan kenabian adalah umum dan universal atau berlaku di
seluruh masyarakat manusia tanpa kecuali. Sebab, menurut perspektif tauhidi,
Tuhan-nya manusia (Allah ) tidak mungkin membiarkan suatu golongan manusia
hidup dalam kesesatan, tetapi dengan rahmat-Nya yang menyeluruh Ia telah
menurunkan kepada mereka, melalui para nabi dan rasul, sebuah petunjuk
keimanan yang menyelamatkan mereka dari kesesatan dan api neraka. Allah
berfirman:
أ١ إ٢يا خا ؾا رس إ٢
“Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi
peringatan.” (QS. Fathir:24)
juga Allah berfirman:
اجتبا ٢ اعبدا اي ٢ أ١ زضيا أ اغ يكد بعثا ؾ ن اي
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhi Thaghut.” (QS. Al-Nahl: 36)
Juga Allah berfirman:
أزضا زضا تتسا ث
“Kemudiaan Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturu-turut.‖
(QS. Al-Mu’minun: 44)
juga Allah berfirman:
٢ أ١ زض يه
“Dan bagi tiap-tiap satu umat ada seorang Rasul.‖ (QS. Yunus: 47)
Alasan logis di balik pengutusan seorang rasul atau nabi kepada mereka
tersebut tidak lain agar manusia tidak lagi berargumentasi dan membantah Allah
untuk tidak beriman kepada-Nya serta tidak menyembah-Nya. Allah berfirman:
43 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
“Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.
Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Al-Nisa’: 165). Maka dari
itu, sebagai konsekwensi logis juga, suatu kaum yang belum diturunkan seorang
rasul kepada mereka tidaklah dituntut tentang ketersesatan mereka, dan mereka
tidak akan mendapat siksaan di hari kemudian.28
Kemudian, oleh karena Allah Subhanahu wa Ta'ala juga tidak menyebutkan
jumlah rasul yang diturunkan-Nya kepada manusia secara definitif,29 maka
perspektif tauhidi Islami ini telah membuka pintu universalitas dengan seluas-
luasnya, untuk bisa mengakomodasi seluruh komunitas manusia, baik yang
dikisahkan dalam Al-Qur‘an maupun tidak.30 Dengan demikian, semua manusia,
baik Muslim maupun non-Muslim, mempunyai jatah yang sama dalam hal
Wahyu ilahi. Mereka semuanya sama bahwa suatu ketika, dalam penggalan
sejarah tertentu, pernah menjadi obyek dari, meminjam istilah Al-Faruqi,
“ittishalat samawiyyah” (komunikasi-komunikasi langit).31 Dengan demikian,
perspektif tauhidi Islami telah meletakkan fondasi universal yang lebih jauh bagi
Wahyu ilahi yang tak ada bandingannya sepanjang sejarah.32-
Ini yang berkenaan dengan sarana langsung (Wahyu verbal) untuk
mengenal Allah, kehendak dan sunnah-sunnah-Nya di dalam kosmos. Adapun
yang berkenaan dengan sarana yang tidak langsung (Wahyu non verbal), yakni
yang beroperasi melalui daya nalar dan observasi ilmiah, maka sejatinya Allah
Subhanahu wa Ta'ala , dengan kasih sayang-Nya yang Mahaluas, telah
menyediakan kepada setiap manusia, tanpa kecuali, segala sesuatu yang
memungkinkannya melakukan hal tersebut, berupa potensi-potensi alamiah dan
segala pranata dan prakondisi fundamental yang diperlukannya. Yaitu panca
indera, intellectual curiosity, keinginan kuat untuk meneliti dan eksplorasi,
tersedianya data yang melimpah, termungkinkannya pemindahan eksperimen,
daya ingatan, akal, pemahaman atau kemampuan mencerna untuk melahirkan
ilmu dan mengembangkannya, dan sebagainy. Semua manusia, secara individu
maupun kolektif mempunyai potensi-potensi tersebut, dan tidak satupun umat
28 Lihat: Al-Isra’: 15. 29 Lihat: Al-Nisa’: 164 dan Ghafir: 78. 30 Cf. Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy, hal.188. Dari sini nampaknya
diperlukan meninjau kembali beberapa terminologi yang tidak sesuai dengan perspektif tauhidi tentang wahyu di atas, seperti istilah “ahl al-kitab” dan “agama samawi”, yaitu dengan memberikan pengertian yang lebih luas atau merombaknya.
31 Isma’il R. Al-Faruqi, Huquq Ghair al-Muslimin fi al-Dawlah al-Islamiyyah: Al-Awjuh al-Ijtima’iyyah wa al-ThaqAfiyyah, dalam Al-Muslim al-Mu’ashir, 264, 1981, hal.23; Cf. ---------, Islam and Other Faiths, hal.135.
32Isma’il R. Al-Faruqi, Huquq Ghayr al-Muslimin, hal.23.
44 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
atau golongan yang dapat mengklaim dirinya lebih berhak memilikinya secara
eksklusif dibanding yang lain. Bahkan setiap manusia, semenjak saat
kelahirannya, telah dibekali dengan kesiapan-kesiapan dan potensi-potensi yang
diperlukan untuk pengetahuan tersebut. Jika memang demikian, maka
seharusnya manusia menggunakan potensi-potensi tersebut sesuai dengan
fungsinya yang benar dan cara-cara yang semestinya. Yakni untuk sampai pada
ilmu yang benar (Haqq) dan menguak rahasia-rahasia atau hukum-hukum yang
diletakkan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam alam semesta atau kosmos ini.33
Sebab hakikat substansi ilmu pengetahuan sejatinya tiada lain adalah hukum-
hukum ini, yang kini dikenal dengan hukum-hukum alam.
Dalam hal pengetahuan ilmu alam ini, tampak dengan gamblang bahwa
semua manusia persis sama posisinya. Perbedaan yang mungkin ada hanyalah
dalam hal-hal yang berhubungan dengan bakat-bakat pribadi yang fitri yang bisa
saja berbeda di antara kaum Muslimin sendiri, dari orang satu ke orang lain,
sebagaimana keberbedaan yang ada di antara individu-individu non-Muslim.
Namun dari segi potensi dasar semuanya sepenuhnya sama. Maka jelas sekali,
bahwa perbedaan di sini sama sekali tak ada hubungannya dengan memeluk atau
tidak memeluk Islam, meskipun memeluk Islam tentu ada nilai tambahnya.
Bukankah mereka adalah yang dimaksudkan dalam ayat-ayat seperti:
ـ بسبو أ ه ي ايرل أ أ ي ذت٢ تب ؾ أؿط٢ آاتا ؾ ايآؾام٢ ع٢ضس٢٢ ٢ ن
٤ غ٢د غ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur‟an
itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu?‖ (QS. Fushshilat: 53)
ا ايؿو اي٤ت تحس٢ ؾ ايبرس٢ ب اياز٢ ٢ اختالف اي٤ اأزض٢ ا ا ؾ خل٢ ايط إ٢
ا٤ ؾأذا ا٤ ايط اي٤ ا أص داب١ ؿع اياع ن بث ؾا ا ت ب اأزض بعد
٣ عك اأزض٢ آلا يك ا٤ ايط طدس٢ ب ايطراب اي ـ ايساح٢ تصس٢
33 Mengenai hukum-hukum alam ini, lebih lanjut cermati ayat-ayat al-Qur’an berikut: Al-Qamar:49;Al-
Thalaq:3;Al-Furqan: 2;Al-Muzzammil:20; Al-Mursalat: 23; Fushshilat: 10; Yasin: 39.
45 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan
awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah ) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah: 164)
ـ ا٤ ن إ٢ي٢ ايط ـ خكت ٢ ن إ٢ي٢ ايإ٢ب إ٢ي٢ أؾا عس ـ صبت ٢ ن إ٢ي٢ ايحبا زؾعت
رت ـ ض ايأزض٢ ن
“(Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan
bumi, bagaimana dihamparkan?)‖ (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Persamaan universal dalam hal kemampuan atau potensi alami manusia
untuk mengenal dan mengungkap kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
ciptaanNya, sebetulnya adalah merupakan suatu hal yang diniscayakan kehendak
Allah itu sendiri. Mengapa demikian? Karena kehendak ilahi yang di luar
jangkauan pemahaman dan persepsi manusia, maka nasibnya, kata Al-Faruqi,
satu di antara dua: ditolak sama sekali atau diterima dengan buta. Kedua-duanya
jelas menunjukkan bahwa dalam kondisi seperti itu kehendak ilahi tidak atau
belum terwujud, atau terwujud tapi tidak sampai pada tingkat yang semestinya.34
Dan hal ini tentu berseberangan atau tidak sejalan dengan kesempurnaan Allah
Subhanahu wa Ta'ala.35
Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa perspektif tauhidi
Islami telah meluaskan konsep wahyu ilahi hingga menjadi universal dan bersifat
komprehensif yang mencakup seluruh manusia, dan tidak khusus hanya pada
golongan-golongan tertentu saja. Dengan demikian, semua manusia sebenarnya
dari segi fitrah dan tabiatnya bertemu dalam satu agama yang sama yaitu ―agama
alami‖ (natural religion),36 ―agama fitrah‖ atau agama ―Islam universal‖, yaitu yang
akan kita bicarakan dalam bagian berikut ini.
2. Substansi Wahyu Samawi atau Risalah Para Nabi dan Rasul
34Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, hal.136-7. 35Cermati firman-firman Allah swt. Berikut: (Al-Ra’d: 41); juga (Al-Buruj: 16); juga (Al-Ahzab: 37). Lihat:
Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, hal.136-7. 36Al-Faruqi, Isma’il R., Huquq Ghair al-Muslimin, hal.23.
46 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Perspektif tauhidi Islami di atas tadi, pada gilirannya, berimplikasi
kesatuan substansi dasar semua wahyu itu sendiri, sesuai dengan yang ditegaskan
dalam Al-Qur‘an:
ض٢ صا ب إ٢بسا ا ذا إ٢يو اير أ ص٢ ب ذا ٢ ا ايد غسع يه
ال تتؿسقا ا ايد أق عط٢ أ
"Dia telah menshariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami Wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan “Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Al-Syura: 13)
Dan yang ditegaskan pula dalam hadits. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda:
إا عػس اأبا٤ دا اذد إ أىل اياع باب س أا إ يظ بين ب يب
―Kami semua nabi-nabi, agama kami sama, aku orang yang paling dekat
kepada putera Maryam, karena tidak ada satu pun nabi antara aku dan dia.‖
(HR. Bukhari dan Muslim)
dalam hadits yang lain, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam juga
bersabda:
اأبا٤ إخ٠ يعال د اذد أات غت٢
Nabi-nabi adalah bersaudara, agama mereka satu meskipun ibu-ibu mereka
berlainan.‖ ( HR. Abu Dawud )
Teks-teks suci ini secara kategoris menegaskan kesatuan wahyu seperti
dijelaskan di atas yang berujung pada kesatuan substansi dan kesatuan agama
yang diturunkan, yaitu Islam, yang oleh Ibnu Taymiyyah dalam bukunya Al-
Jawab al-Shahih li-man Baddala Din al-Masih disebut sebagai Al-Islam al-”Amm
(Islam Universal).37 Oleh karena itulah, kenapa hanya agama ini saja yang
sejatinya mendapat pengakuan sebagai satu-satunya agama yang Haqq di sisi
Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat-ayat berikut:
37Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li-man Baddala Din al-Masih, diedit oleh Dr. Ali ibn hasan et al.
(Riyadh: Dar al-‘Ashimah: 1414H.), jilid 5, hal.341.
47 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
عد اي اإل٢ضال ايد إ٢
―(Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah adalah Islam).‖ (QS. Ali
“Imran: 19); dan firman Allah,
ايداضس٢ ؾ اآلخس٠ بتؼ٢ غس اإل٢ضال٢ دا ؾ كب
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama ini) dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali
“Imran: 85).
Maka, Islam adalah merupakan agama semua nabi dan rasul beserta
pengikut-pengikut mereka. Lebih jelas dan detailnya bisa disebutkan berikut ini:
a. Islam adalah agama Nuh Alaihissallam seperti dijelaskan ayat:
ترنري٢ بآا كا نبس عه نا ٢ إ٢ ا ق يك بأ ح٣ إ٢ذ قا ع٢ اي٤ ؾع٢ ات
اق ١ ث غ عه أسن يا ه ث غسنا٤ن ن٤ت ؾأجعا أسن ٢ اي٤ ت يا تعس طا إ٢ي
أجس٣ ا ضأيته ؾ ي٤ت ت إ٢ي٤ا ع٢ اي٤ ؾإ٢ أجس٢ طني إ٢ اي أن أس أ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia
berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal
(bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka
kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).
Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah
terhadap diriku dan janganlah kamu menangguhkannya. Jika kamu
berpaling (dari peringatanku) aku tidak meminta upah sedikitpun dari
padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh
supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (Muslim).”
(QS. Yunus: 71-72)
b. Islam adalah agama nabi Ibrahim Alaihissallam dan anak cucunya
(Isma‘il, Ishaq, dan Ya‘qub) seperti dijelaskan ayat:
ذ ٢ يو اجعا ط ١ يوزبا ز٢تا أ١ ط
48 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau (Muslim) dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau (Muslim).‖ (QS. Al-Baqarah:128)
dan dalam ayat yang lain:
عكب ا ب ا إ٢بسا ص٢ ب ت يسب ايعايني. أض قا أض زب ي إ٢ذ قا إ٢ ب
إ٢ي و . قايا عبد إ٢ي ط أت إ٢ي٤ا ت ؾا ت ايد ؿ٢ يه اص اي٤ آبا٥و إ٢بسا
ط ي ر اذدا إ٢ضرام إ٢يا اع إ٢ض
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah
(berIslamlah)!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh (berIslam) kepada
Tuhan semesta alam”. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan ini kepada
anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. Ibrahim berkata: “Hai anak-
anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” Adakah
kamu hadir ketika Ya‟qub kedatangan (tanda-tanda maut), ketika ia
berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”
Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu, Ibrahim, Isma‟il dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan
kami hanya tunduk patuh kepadaNya (Muslim).” (QS. Al-Baqarah:
131-133)
dan dalam ayat yang lain:
ػس٢نني اي ا نا ا ذؿا ط نا يه ال صساا دا إ٢بسا ا نا
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan
tetapi dia adalah seorang yang lurus dan muslim dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk golongan orang-orang musyrik.‖ (QS. Ali “Imran: 67)
c. Islam adalah agama nabi Yusuf Alaihissallam seperti dijelaskan ayat:
49 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ع و اي ي زب قد آتت ايأزض٢ أت ا ا ٢ ايأذادث ؾاطس ايط ٢ تأ ت
أيرك بايصايرني ا ؾ ط ايآخس٠ ت ؾ ايدا
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Englau telah menganugerahkan kepadaku
sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta‟bir mimpi.
Ya Tuhan Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan
akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gAbungkanlah aku
dengan orang-orang yang saleh.‖ (QS. Yusuf: 101)
d. Islam agama Nabi Musa Alaihissallam dan kaumnya seperti
dijelaskan ayat:
نا إ٢ نت طني آت باي١ ؾع ت ٢ إ٢ نت ض٢ ا ق قا
“Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kapada Allah, maka
bertawakkAllah kepadaNya saja, jika kamu benar-benar muslim”. (QS.
Yunus: 84)
Dan dalam ayat lain yang mengisahkan do‘a para tukang sihir
(penentang nabi Musa) yang telah bertaubat:
ؾا طني ت زبا أؾس٢ؽ عا صبسا
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah
kami dalam keadaan Muslim.” (QS. Al-A’raf: 126)
e. Islam adalah agama nabi Sulaiman Alaihissallam dan kaumnya
seperti dijelaskan ayat berikut yang mengisahkan Bilqis, Ratu
Saba‘:
ي زب ايعايني ا ت ع ض أض ت ؿط زب إ٢ ظ
“Tuhanku sesungguhnya aku telah berbuat aniaya terhadap diriku. Dan
aku berserah diri (muslim) bersama Sulaiman kepada Allah Tuhan semesta
alam.‖ (QS. Al-Naml: 44)
f. Islam adalah agama nabi-nabi Bani Isra‘il seperti dijelaskan ayat:
50 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ز د٣ زا٠ ؾا ادا إا أصيا ايت ا ير أض اير ا ايب ب ره
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah (Muslim).‖ (QS. Al-Ma’idah: 44)
dan dalam ayat lain:
أصاز اي١ آ ر از٢ اير أصاز٢ إ٢ي٢ اي١ قا ايهؿس قا ا أذظ عط٢ ا ؾ
اغد بأا ط باي١
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah
dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong untuk menegakkan agama
Allah?” Para Hawariyyin (sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-
penolong agama Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah
bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.” (Ali “Imran: 52)
dan dalam ayat lain:
اغد بأا ط ا ا آ بسضي قاي آا ب از٢ني أ ذت إ٢ي٢ اير إ٢ذ أ
“Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia:
“Beimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku!” Mereka menjawab:
“Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang muslim.‖ (QS. Al-Ma’idah: 111)
g. Islam adalah agama Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
seperti dijelaskan ayat:
أ أن إ٢ أس أ ػس٢ننيق اي ال ته أض
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menjadi orang yang pertama sekali menyerah diri kepada Allah (berIslam),
dan (aku diperinathkan dengan firmanNya): Jangan sekali-kali engkau
menjadi dari golongan orang-orang musyrik.‖ (QS. Al-An’am:14)
dan dalam ayat lain:
51 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
أا بريو أس ات ي١ زب ايعايني، ال غس٢و ي را طه صالت إ٢ ق أ
طني اي
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya sembahyangku dan
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian
alam. Tiada sekutu bagiNya, dan dengan yang demikian saja aku
diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama kali berIslam.‖ (QS.
Al-An’am:162-163)
Jadi jelas sekali, ayat-ayat dan hadits tersebut di atas secara explisit
menegaskan kesatuan agama semua nabi dan rasul. Dalam mendeskripsikan
agama para nabi dan rasul, Al-Qur‘an menggunakan kata-kata atau istilah
redaksional yang baku dan sama yang sangat tidak memungkinkan adanya tafsir
yang berbeda. Coba perhatikan kata-kata atau istilah berikut dengan seksama
yang semuanya diambil dari ayat-ayat di atas: min al-muslimin, muslimaini
muslimatan, aslama, aslamtu, muslimun, musliman, aslamu semuanya standar dan tidak
ada yang membedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, atau ummat nabi
yang satu dengan ummat nabi yang lain. Hatta perintah ber-Islam kepada Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam pun menggunakan redaksi yang sama
dengan nabi-nabi terdahulu. Tidak ada indikasi Islam dengan ―I‖ (huruf kapital)
–sebagai agama yang terlembagakakan (institutionalized religion) atau ―i‖ (huruf
kecil) –sebagai sikap spiritual peribadi (private spiritual attitude) sebagaimana yang
coba diperkenalkan oleh W. C. Smith dalam bukunya The Meaning and End of
Religion38 dan kemudian dicoba tawarkan dengan getol oleh Nurcholish Madjid di
Indonesia.
Kemudian kesatuan substansi wahyu samawi tersebut semakin menjadi
gamblang dan terang-benderang manakala kita mengikuti alur nalar Qur‘ani
lebih lanjut yang menegaskan bahwa mendustakan atau mengingkari seorang
nabi atau rasul saja berarti sama dengan mendustakan atau mengingkari seluruh
utusan Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ح٣ املسض نينربت ق
38Lihat: Wilfred C. Smith, The Meaning and End of Religion (London: SPCK, [1962] 1978), bab 3 “Islam As
Special Case”.
52 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
“Kaum nabi Nuh telah mendustakan para rasul.‖ (QS. Al-Syu’ara’: 108)39
سضني نربت عاد اي
“Kaum “Ad telah mendustakan para rasul.‖ (QS. Al-Syu’ara’: 123)
سضني د اي نربت ث
“Kaum Tsamud telah mendustakan para rasul.‖ (QS. Al-Syu’ara’: 141)
سضني يط اي نربت ق
“Kaum Luth telah mendustakan para rasul.‖ (QS. Al-Syu’ara’: 160)
نرب أصراب اأه١ املسضني
“Penduduk Aikah (Madyan) telah mendustakan rasul-rasul.‖ (QS. Al-Syu’ara’:
176)
Ayat-ayat di atas secara eksplisit dan kategoris menyatakan bahwa kaum-
kaum para nabi terdahulu dianggap telah mendustakan semua nabi dan rasul
secara keseluruhan, padahal sebagaimana diketahui bersama bahwa
kenyataannya yang diutus kepada mereka hanyalah seorang nabi atau rasul saja.
Kepada kaumnya nabi Nuh hanya diutus seorang nabi saja, dan yang mereka
dustakan pun hanya seorang nabi saja, yaitu nabi Nuh. Begitu juga kepada kaum
―Ad, kaum Tsamud, kaum Luth, dan penduduk Madyan; kepada mereka
masing-masing hanya diutus seorang nabi saja, dan yang mereka dustakan pun
hanya seorang nabi saja, yakni Hud, Shalih, Luth, dan Shu‘ayb. Tapi kenapa Al-
Qur‘an mengatakan mereka telah mendustakan semua rasul? Alasan yang paling
logis dan rasional adalah karena semua rasul dan nabi membawa pesan langit
yang sama, agama yang sama dan dari sumber yang sama pula. Oleh karena itu,
Al-Qur‘an memandang sikap yang tidak membeda-bedakan para nabi dan rasul,
antara satu dan lainnya, sebagai satu sebab hidayah (petunjuk) dan
menjadikannya sebagai salah satu rukun tauhid. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
39Lihat juga ayat yang senada: (Al-FurqAn: 37).
53 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ا عكب إ٢ضرام اع إ٢ض إ٢ي٢ إ٢بسا ا أص٢ إ٢يا ا أص٢ ا باي أضباط قيا آ
ا أت عط٢ ض٢ ا أت ي ر أذد ال ؿس٢م ب زب٢ ايب
ؾ غكام٣ ؾط ا ا ؾإ٢ ي إ٢ ت تدا ٢ ا آت ب ؾكد ا ا بث آ . ؾإ٢ ط هؿه
ايطع ايع اي١
“Katakanlah (hai orang-orang beriman): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma‟il, Ishaq,
Ya‟qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan “Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka dan kami hanya tunduk peNuh kepada-Nya (Muslim).” Maka jika
mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah
mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan
Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.‖ (QS. Al-Baqarah: 136-137)
اي زب إ٢ي ا أص٢ ب ايسض آ زض ال ؿس٢م ب نتب ال٥هت باي آ ن ؤ
صري إ٢يو اي أطعا غؿساو زبا قايا ضعا زض أذد
―Rasul telah beriman kepada Al-Qur‟an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan)
“Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya.”
(QS. Al-Baqarah: 285)
Lebih lanjut, substansi Wahyu samawi yang dikomunikasikan kepada
manusia lewat para nabi dan rasul sepanjang sejarah, yang oleh Ibn Taymiyyah
disebut Al-Islam al-„Amm (Islam Universal) tadi, pada dasarnya menurut
perspektif tauhidi adalah ―agama fitrah‖, religio naturalis, atau Ur-Religion itu
sendiri. Dengan adanya konsep ―agama fitrah‖ ini, berarti Islam telah
meletakkan landasan universal yang lebih kuat dan luas bagi humanisme yang
sebenarnya yang memungkinkan untuk mengakomodasi seluruh manusia,
dengan berbagai latar belakang keagamaan dan keyakinanya, sebagai saudara di
bawah payung kemanusiaan; sebagaimana memungkinkan untuk menarik garis
54 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
demarkasi yang tegas antara ―agama alami‖ yang dimiliki setiap manusia sejak
kelahirannya, di satu pihak, dengan agama-agama historis yang berevolusi dari
―agama alami‖ tersebut akibat faktor-faktor kesejarahan atau lingkungan, di
pihak lain.
Lalu, Islam menamakan ―agama fitrah‖ ini dengan nama agama Islam itu
sendiri. Hal ini didasarkan pada sebuah ayat dimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
يدل٢ اي ذيو س اياع عا ال تبد س٠ اي ايت ؾ ٢ ذؿا ؾ جو يد ؾأق ايك ايد
أنثس اياع٢ ال ع .يه
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah ); (tetaplah atas)
fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan
pada fithrah Allah, itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.‖ (QS. Al-Rum: 30-32)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam untuk menghadapkan wajahnya dengan
tegap dan lurus (Hanif) kepada agama yang lurus, yang tiada lain adalah Islam.
Oleh karenanya agama ini disebut juga dengan ―Hanifisme‖ (al-Hanifiyyah), yakni
agama yang lurus, lempang dan jauh dari kebatilan dan kesesatan, sebagaimana
dalam hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.
ر١ ٢ إىل اي ايرؿ١ ايط أذب ايد
―Agama yang paling dicintai Allah adalah Hanifiyyah (agama yang lurus) yang
lapang.‖ (HR. Bukhari)
Dan memanggil pengikut agama ini sebagai Hunafa” (bentuk jamak dari
Hanif: orang yang berpaling dari kesesatan), dalam penalaran bahwa mereka
pernah menerima wahyu dari Allah yang mengukuhkan fitrah mereka dan sesuai
dengan ―agama alami‖ mereka.40
Maka atas dasar penalaran ini, Islam adalah agama par excellence yang oleh
Allah SWT dimaksudkan sebagai kalimatun sawa” (kalimat yang sama atau
40Lebih lanjut simak: Ali ‘Imran: 67; Al-An’Am: 79; Al-Baqarah: 135; Ali ‘Imran: 95; Yunus: 105; Al-Nahl:
120,123; Al-Bayyinah: 5; Al-hajj: 31.
55 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
penyelaras) antara semua manusia, karena mereka semua pada suatu ketika
pernah menjadi umat seorang nabi atau rasul yang diutus oleh Tuhan yang sama.
Oleh karena itu, kita diperintahkan (mengikuti perintah yang diterima oleh
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam) untuk mengajak mereka kepada kalimatun
sawa” setiap kali mereka keluar atau melenceng darinya, Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
به ا٤ با ١ ض ا إ٢ي٢ ن ايهتاب تعاي ا أ ق أال عبد إ٢ال اي٤ ال ال ػس٢ى ب غ٦ا
ا ؾكيا اغدا بأا ط تدر بعطا بعطا ي٤ ت ٢ اي٤ ؾإ٢ د أزبابا
―Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang sama antara antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling
maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri kepada Allah.‖ (QS. Ali “Imran: 64)
Dari uraian kesatuan Wahyu samawi di atas dapat disimpulkan secara
meyakinkan bahwa agama samawi adalah tunggal. Dengan demikian, istilah
―agama-agama samawi‖ atau ―al-adyAn al-samawiyyah‖ atau ―revealed religions‖ yang
sering beredar secara luas mutlak perlu ditinjau ulang, kecuali jika yang
dimaksudkan adalah syari‟ah-syari‟ah samawiyyah (syari‘at-syari‘at samawi).
3. Wahyu dan Nabi Pamungkas
Substansi Wahyu samawi atau al-Islam al-„Amm (Islam Universal) tadi,
dalam operasionalnya di panggung sejarah senantiasa disesuaikan dengan kondisi
ke-kini-an dan ke-di-sini-an. Sebab sangatlah tidah logis jika, misalnya,
komunitas masyarakat zaman kapak diberlakukan kepada mereka sebuah aturan
atau syari‟ah yang berlaku pada zaman informatika sekarang ini. Maka karena
kondisi obyektif dan faktual komunitas masyarakat manusia yang berkembang
dari masa ke masa dengan berbagai masalah dan tuntutan yang berbeda-beda
dan beragam ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian mengutus serangkaian
utusan (nabi dan rasul) sepanjang sejarah dengan membawa wahyu (di samping
yang universal tadi) yang lebih spesifik dan relevan dengan masalah dan tuntutan
ruang dan waktu masing-masing (tempo-local). Sehingga dalam khazanah hukum
yang dikenal dalam sejarah manusia terdapat berbagai macam kodifikasi hukum
atau syari‟ah. Kombinasi wahyu universal dengan wahyu tempo-local ini secara
56 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
implisit, mengikuti klassifikasi Ibn Taimiyyah, dapat disebut sebagai al-Islam al-
Khash karena sifat-sifatnya yang terbatas.
Oleh karena keterbatasannya ini, maka adalah sesuatu yang niscaya belaka
jika syari‟ah-syari‟ah temporal-lokal ini dengan sendirinya berakhir (mansukhah)
atau batal dan kedaluwarsa dengan datangnya syari‟ah baru yang dibawakan oleh
nabi berikutnya, dan begitu seterusnya. Kalau pun syari‟ah-syari‟ah tempo-local
yang sudah obsolete dan expired ini masih tetap dipaksakan ingin diterapkan, maka
sudah barang tentu akan menimbulkan berbagai masalah. Sekedar contoh yang
paling dekat dan konkrit adalah syari‟ah Musawiyyah (yang kemudian lebih dikenal
dengan Yudaisme) dan syari‟ah „Isawiyyah (yang kemudian lebih dikenal dengan
Kristen) yang masih ingin dipertahankan oleh para pengikut kedua agama ini.
Paling kurang ada dua efek yang luar biasa negatif buat agama secara umum
akibat pemaksaan ini. Pertama, adalah meluasnya sikap penolakan terhadap
agama di abad modern, baik secara parsial (sekularisme) atau pun total (ateisme).
Dan kedua, adalah efek domino dari yang pertama tadi, yaitu dekonstruksi atau
pembongkaran bangunan agama secara total yang dimulai dari dekonstruksi
teks-teks sucinya yang memang sudah tak relevan dengan semangat zaman atau
zeitgeist.41 Dekonstruksi ini menjadi sebuah kemestian karena memang sejak
semula dalam blueprint ilahi syar‟ah agama ini tidak dimaksudkan untuk berlaku
universal dan abadi.
Lain halnya dengan wahyu pamungkas yang dibawakan oleh Nabi
pamungkas, Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Wahyu ini sejak semula
memang dimaksudkan sebagai pamungkas dari seluruh rangkaian ―komunikasi
langit verbal‖. Oleh karena itu, ia memang telah didesain sedemikian rupa dan
fleksibel sehingga, dengan prinsip ijtihad yang dimiliki, mampu mengakomodasi
(memberikan solusi untuk) segala bentuk perubahan dan perkembangan
masyarakat modern sampai akhir zaman. Barangkali bagi kaum liberal dan
pluralis agama, hal ini kedengaran amat sangat apologetik. Tapi yang penting
diketahui bersama bahwa logika wahyu pamungkas ini dibangun dari premis-
premis yang telah didiskusikan di atas secara analitis dan masih dikuatkan lagi
dengan Hujjah-hujjah naqliyyah (teks-teks Wahyu dalam Al-Qur‘an maupun
sunnah) dan ijma” (konsensus) ummat Islam. Di antaranya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
41Setidaknya ada 2 faktor utama yang menyebabkan hal ini: i) faktor kesejarahan yang memang tidak
memungkinkan terpeliharanya otentisitas teks-teks Bible; dan ii) faktor kebahasaan (istilah, ungkapan, idiom dsb) yang terasa janggal bagi nalar modern
57 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ايبني خات اي زض يه ز٢جايه د أبا أذد ر ا نا
―Bukanlah Muhammad itu menjadi bapak bagi seseorang dari lelaki kalian,
melainkan dia adalah Rasul Allah dan pamungkas nabi-nabi.‖ (QS. Al- Ahzab: 40)
dan sebuah hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam:
ي ايػا٥ صس بايسعب أذت جاع ايه ؾطت ع٢ اأبا٤ بطت أعت
ب ايب ي اأزض طزا طحدا أزضت إىل اخلل ناؾ١ خت جعت
“Aku diutamakan di atas nabi-nabi (terdahulu) dengan enam perkara: aku diberi
Wahyu yang komprehensif, dan aku ditolong (dalam peperangan) dengan (senjata) ketakutan
(yang dimasukkan ke hati musuh), dan dihalalkan bagiku harta pampasan perang, dan
dijadikan bagiku tanah sebagai masjid dan menyucikan, dan aku diutus kepada seluruh
manusia, dan denganku dipungkasi (mata rantai) nabi-nabi.‖ (HR. Muslim dari Abu
Hurairah)
تطض اأبا٤ نا و يب خؿ يب إ ال يب بعد ضه خؿا٤ ب إضسا٥
ؾهثس
―Banu Isra‟il dulu diperintah oleh nabi-nabi, setiap kali gugur seorang nabi maka
diganti nabi lain, dan sesungguhnya tak ada nabi satu pun setelah saya, dan akan ada para
khalifah yang banyak jumlahnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Di samping teks-teks tersebut dan banyak lagi lainnya, logika kesatuan
Wahyu samawi yang dibentangkan di atas juga semakin menegaskan
pamungkasnya al-Wahy al-Muhammadi. Lebih lanjut dalam logika ini
meniscayakan kesinambungan mata rantai wahyu dari langit, berupa
pembenaran, kesaksian dan pengukuhan atau konfirmasi (tashdiq) yang diberikan
seorang nabi terhadap wahyu dan kenabian nabi sebelumnya, dan pemberitaan
profetik (tanabbu‟)-nya akan kedatangan wahyu dan nabi berikutnya (bisyarah),
dan demikian seterusnya. Kitab-kitab dalam Bibel banyak mengungkap hal ini,
khususnya kabar profetik tentang datangnya Jesus (‗Isa Alaihissallam) serta
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam . Al-Qur‘an bahkan mengungkap tashdiq
58 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
dan bisyarah ini di beberapa tempat dalam surat-suratnya,42 namun tak ada
satupun ayat yang mengabarkan akan datangnya wahyu dan nabi setelah Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Dengan demikian jelas bahwa al-Wahy
al-Muhammadi adalah wahyu pamungkas dan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam sebagai pembawanya adalah nabi pamungkas.
Sebagai wahyu pamungkas, al-Wahy al-Muhammadi ini memiliki
keistimewaan yang karakteristik dibanding dengan wahyu-wahyu sebelumnya.
Keistimewaan ini adalah bahwa ia disebutkan dalam Al-Qur‘an sebagai muhaymin
(pengawas, saksi, refree) bagi kitab-kitab suci sebelumnya:
BAB III
ISLAM DAN PERADABAN
A. Islam dan Adab
42Lihat, misalnya, surat: Al-Baqarah: 41, 91, 97; Ali ‘Imran: 3, 39, 50; Al-Nisa’: 47; Al-Ma’idah: 46, 48;
Fathir: 31; Al-Ahqaf: 30; Al-Shaff: 6.
59 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Masalah yang mendasar yang sedang dihadapi umat sekarang ini adalah
masalah ilmu dan adab. Ilmu sudah mulai dijauhkan, bahkan dihilangkan dari
nilai-nilai adab dalam arti luas. Akibatnya, terjadilah suatu keadaan yang oleh Al-
Attas disebut the loss of adab (hilangnya adab). Efek buruk dari fenomena ini
adalah terjadinya kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu
pengetahuan, yang selanjutnya menciptakan ketiadaan adab dari masyarakat.
Hasil akhirnya adalah ditandai dengan lahirnya para pemimpin yang bukan saja
tidak layak memimpin umat, melainkan juga tidak memiliki akhlak yang luhur
dan kapasitas intelektual dan spiritual mencukupi, sehingga itu semua akan
membawa kerusakan dipelbagai sektor kehidupan, baik kerusakan individu,
masyarakat, bangsa dan negara.43
Dalam Islam, ilmu dan adab adalah dua hal yang saling terintegrasi, yang
saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya ibarat sebuah
koin yang tak terpisahkan, di mana kebermaknaan yang satu tergantung pada
yang lainnya.44 Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah, adab tanpa ilmu ibarat
orang yang berjalan tanpa petunjuk arah.45 Dengan demikian ilmu dan adab
harus bersinergi, tidak boleh dipisah-pisahkan. Berilmu tanpa adab adalah
dimurkai (al-maghdhubi alaihim), sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan
(al-Dhallin). Oleh karena itu, Islam selalu mendorong umatnya agar senantiasa
menjadi manusia berilmu dan beradab. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam
hadist berikut ini,
إ را ايكسآ أدب١ اهلل ؾ٢ اأزض ؾتعا أدبت
―Sesungguhnya Al-Qur‘an ini adalah hidanganAllah di muka bumi, oleh
karena itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya.‖46
43 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hlm. 117-118. Bandingkan dengan
terjemahan Karsidjo Djowosuwarno, Islam dan Sekularisme SMN Al-Attas, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981 hlm. 148-149, dan terjemahan Institute Pemikiran Islam dan Pembangunan Islam, Islǎm dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 2010, hlm. 132. Al-Attas mengatakan sebagai berikut:
1. Confusion and error in knowledge, creating the condition for: 2. The loss of adab within the Community. The condition arising out of (1) and (2) is: 3. The rise of leaders who are not qualifield for valid leadership of the Muslim community, who do not
possess the high moral, intellectual and spiritual standards required for Islamic leadership, who perpetuate the condition in (1) above and ensure the continued control of the affairs of the Community by leaders like them who dominate in all field.
44 Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,2000,hlm.1 45 Hisyam Ibn Abd Malik, Al-A’laqah Baina Al-Ilm Wa Al-Suluk, Riyadl: Jami’ah Muhammad Ibn
Sa’ud,2009,hlm.21 46 HR. Al-Baihaqi, no.1985, Ad-Darimi, no.3315
60 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
أدبين زب ؾأذط تأديب
―Tuhanku telah mendidikku, dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-
baiknya.‖47
أ ؤدب ايسج يد خري أ تصدم بصاع
―Sungguh jika seorang ayah mendidik anaknya, maka hal itu lebih baik
baginya dari pada sedekah satu sho‘.‖48
أذطا أدب أنسا أالدن
―Muliakan anak-anak kalian, dan perbaiki adab mereka.‖49
ػأ ؾ٢ ب٢ ضعد أدب٢ زب٢
―Tuhanku telah mengajariku dan aku tumbuh besar di kalangan Bani
Sa‘ad.‖50
٣ أدب ذط يدا خسا ايد زث ا
‗Tidak ada warisan yang lebih baik daripada pendidikan adabyang baik.‘‖
(HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath)51
ؾال تحس أدب اهلل ايكسآ إ٢ أدبت تؤت ؤدب رب أ ن
‖Setiap pendidik akan menyukai diberikan alat mendidik, dan
sesungguhnya pendidikan dari Allah itu adalah Al-Qur‘an, maka janganlah kalian
menjauhinya.‖52
47 Lihat Al-Suythí, al-Jâmi’ al- Shaghír fí Ahâdís al-Basyír al-Nazír Cet. I; al-Qâhirah: Dâr al-Fikr, t.t, hlm.
14 48 HR.Tirmidzi, no.1951 49 HR. Ibn Majah, no. 1763 50 Jami’ al-Ahadits, Vol. II, hlm. 88, hadits no. 960 (dalam Maktabah Syamilah) 51 Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath, Vol. XIII, hlm. 335, hadits no. 38000 (dalam Maktabah Syamilah) 52 Jami’ al-Ushul, Vol. XV, hal.354, hadits no. 15688 (dalam Maktabah Syamilah)
61 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Dari keterangan hadist-hadist di atas tampak jelas urgensi adab dalam
kehidupan, karena pada dasarnya adab merupakan pilar dari segala kebaikan.
Lebih dari itu, adab juga merupakan inti dari ilmu nafi‘ yakni ilmu yang
bermanfaat. Ilmu nafi‟ ini adalah ilmu yang pernah diperintahkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam agar diminta dan dicari
setiap saat. Allah Jalla wa „Alaa berfirman kepada Nabi-Nya,
ا زب ش٢د ع ق
“Dan katakanlah, wahai Robbku tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thoha:
114)
Melalui ayat ini, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk
senantiasa memohon kepada Allah tambahan ilmu yang bermanfaat. Ibn
Uyainah berkata: ―Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak henti-hentinya
memohon tambahan ilmu nafi‘ kepada Allah sampai beliau wafat‖.53 Ibn Katsir
menambahkan, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah
diperintahkan untuk meminta tambahan apapun kecuali tambahan ilmu nafi‟ ini,
oleh karena itu Rasulullah senantiasa istiqamah melantunkan do‘a ilmu nafi
sebagaimana berikut ini:
: " اي٤ ك ض٤ ع اي٤ ص٢٤ اي٤ زض : نا ، قا ع اي٤ سس٠ ، زض أب ع
٣ ذا د ي٤ ع٢ ن اير ا ، ش٢د ع ا ؿع ، ع ت ، ا ع٤ أعذ اؿع ب
٢ اياز٢ ٢ أ ذا باي٤
―Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam senantiasa membaca do‘a: ―ya Allah berikanlah manfaat terhadap apa
yang telah engkau jarkan kepadaku, dan ajari aku apa yang bermanfaat bagiku,
dan tambahilah aku ilmu, segala puji hanya milikmu atas segala keaadaan, dan
aku berlindung dari perilaku ahli neraka.‖ (HR. Tirmidzi dan Bazzar)54
Ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi‟) akan mendatangkan iman. Realisasi iman
akan membawa pada amal shaleh. Integrasi keduanya akan membawa ke jalan
yang lurus (sirath mustaqim). Dengan demikian, bila ilmu didapatkan akan tetapi
53 Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Dar Al-Thaibah, 2002, Vol.5, hlm.319 54 Ibid
62 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
tidak diikuti dengan amal shaleh, bisa digolongkan kepada ilmu yang tidak
bermanfaat (ghairu nafi‟) dan bahkan termasuk dalam perbuatan munafik atau
seperti perbuatan Yahudi yang dilaknat (al-maghdub alaihim).
Amal tanpa ilmu akan mendatangkan kesesatan sebagaimana orang-orang
Nasrani (al-dhallin). Inilah makna dari firman Allah: Ihdinasshirathal mustaqim,
shirathalladzina an‟amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladhallin. (Ya Allah
tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-arang yang telah engkau beri
nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang yang
sesat). Dan juga firman Allah: “Bahwasanya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153).55
Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan
kepada umatnya agar belajar ilmu nafi‟ (ilmu bermanfaat) dan meninggalkan ilmu
yang ghairu nafi‘ (tidak manfaat), sebagaimana terdapat dalam sabdanya:
٣ يا ؿع ع ذا باي٤ تع ا اؾعا ع ضا اي٤
Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada
Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.56
Ilmu yang bermanfaat selanjutnya akan mendatangkan rasa takut kepada
Allah (khasyah) sehingga dapat mendekatkan pemiliknyakepada Allah Subhanahu
wa Ta‟ala dan pemiliknya disebut alim atau ulama.Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam QS.Al-Fathir: 28
عص٢ اي٤ ا٤ إ٢ عباد ايع ا دػ٢ اي٤ ص غؿز إ٢
“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah dari hambanya adalah para
ulama (orang yang berilmu), sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun.”
(QS. Al-Fathir: 28)
Menurut Ibn Jauzi ayat ini mengindikasikan bahwa ilmu yang bermanfaat
akan mendatangkan khasyah (takut) kepada Allah, di mana pemiliknya senantiasa
mengakui keagungan Allah, sehingga melahirkan tahqiq ubudiyah yaitu
ketundukan dan penghambaan kepada-Nya. Sebaliknya ilmu yang tidak
55 Ibn Jauzi, Zad Al-Masir, Vol.I, hlm. 16, 56 HR. Ibn Majah , no. 3843
63 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
mendatangkan khasyah, tidak bisa disebut sebagai ilmu yang bermanfaat, dan
pemiliknya tidak masuk dalam kategori alim. 57
Imam Syafi‘i, lebih lanjut membuat sebuah kaedah yang terkenal yaitu
“laisal ilm makhufidza walakin Al-Ilm ma nafa‟a”. Artinya, tidaklah disebut ilmu, apa
yang hanya dihapal, tetapi ilmu adalah apa yang diaktualisasikan dalam bentuk
adab yang akan memberikan manfaat.58
Kaedah Imam Syafi‘i tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh
Hubaib ibn Syahid ketika memberikan nasihat kepada putranya:
نثري ابين ، اصرب ايؿكا٤ ايعا٤ تع خر أدب، ؾإ ذيو أذب إي
احلدث.
―Hai anakku, bergaullah (ikuti dan temani terus) dengan para ahli fiqih dan
ulama, belajarlah dari mereka, dan ambil adab (pendidikan akhlak) dari mereka!
Karena hal itu lebih aku sukai daripada hanya sekedar memperbanyak hadits.‖59
Hasyim Asy‘ari dalam karyanya “Adab Al-Alim Wa Al-Muta‟allim”
merumuskankaedah penting akan urgensinya ilmu dan adab ”at-Tawhidu yujibul
imana, faman la imana lahula tawhida lahu;wal-imanu yujibu al-syari‟ata, faman la
syari‟ata lahu, la imana lahu wa la tawhida lahu; wa al-syari‟atu yujibu al-adaba, faman
laadaba lahu, la syari‟ata lahu wa la imana lahu wa la tawhida lahu.” Tauhid
mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak
bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat
padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat
mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada
hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.60
Pentingnya ilmu dan adab dalam tradisi intelektual Islam, telah
mendorong perhatian para ulama salaf untuk melahirkan sebuah karya abadi
tentang konsep ilmu dan adab, dengan kajian yang mendalam dan
komprehensip. Misalnya, Imam Al-Bukhari (194-256) menulis tentang Adab Al-
Mufrad, Ibn Sahnun (202-256H) menulis Risalah Adab Al-Mua‟llimin, Al-
57 Ibn Jauzi, Zad Al-Masir, Vol.VI, hlm.486 58 Ibn Jama’ah, Tadzkirah Al-Sami’ Wa Al-Mutakallim Fii Adab Al-A’lim Wa Al-Muta’alim, Beirut: Dar Al-
Basyair Al-Islamiyah, 1983, hlm.48 59 Abd al-Amir Syams ad-Din, Al-Madzhab at-Tarbawiy ‘inda Ibn Jama’ah, Beirut: Dar Iqra`, 1984, hlm. 62 60 Hasyim Asy’ari, Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim , Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H. hlm. 11
64 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Rummani (w. 384 H) menulis tentang adab Al-Jadal, Al-Qabisi (324-403 H)
menulis tentang Risalah Al-Mufashilah Li Ahwal Al-Muta‟allimin Wa Ahkam Al-
Mu‟Allimin Wa Muta‟allimin, Al-Mawardi (w.450 H) menulis tentang Adab Al-
Dunya Wa Al-Din dan Adab Al-Wazir, Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463H)
menulis tentang Al-faqih Wa Al-Mutafaqih, Al-Ghazali (450-505 H) menulis
Kitab Al-Ilm, Fatihah Al-Ulum dalam Ihya Ulum Al-Din, Al-Sam‘ani (506-562 H)
menulis Adab Al-Imla‟ Wa Al-Istimla‟, Nashir Al-Din Al-Thusi (597-672 H)
menulis Kitab Adab Al-Muta‟allimin, Al-Zarnuji (penghujung abad ke-6 H) telah
menulis Ta‟lim Al-Muta‟allim, Muhyiddin Al-Nawawi (w. 676) menulis tentang
Adab Al-Daris Wa Al-Mudarris, Ibn Jama‘ah (w. 733 H) menulis Tadzkirah Al-
Sami‟ Wa Al-Mutakallim Fii Adab Al-A‟lim Wa Al-Muta‟allim, Al-Syirazi (w. 756
H) menulis tentang Adab Al-Bahs, Abd Lathif Al-Maqdisi (w. 856 H) menulis
tentang Syifa‟ Al-Muta‟allim Fii Adab Al-Muta‟allimin, Al-Marsifi (w. 981 H)
menulis tentang Ahsan Al-titlab Fiima yalzam Al-Syaikh Wa Al-Mudarris Min Al-
Adab, Ibn Hajar Al-Haysami (w. 974 H) menulis Tahrir Al-Maqal Fii Adab Wa
Ahkam Wa Fawa‟id Yahtaj Ilaiha Mua‟ddib Al-Athfal, Al-Almawi (w. 981 H)
menulis Al-Mu‟id Fii Adab Al-Mufid Wa Al-Mustafid, Badr Al-Din Al-Ghazzi (w.
984 H) menulis tentang Al-Dur Al-Nadid Fii Adab Al-Mufid Wa Al-Mustafid, Al-
Astarabazi (w. 984 H) menulis tentang Adab Al-Munadzarah, Taj Al-Din Ibn
Zakariyya Al-Utsmani (w. 1050) menulis tentang Adab Al-Muridin, Al-Syaukani
(1173-1250 H) menulis Adab Al-Thalab, dan lain-lain.
Dari kajian para ulama tersebut menyimpulkan bahwa adab memiliki
peran sentral dalam dunia pendidikan, tanpa adab dunia pendidikan berjalan
tanpa ruh dan makna. Lebih dari itu, salah satu penyebab utama hilangnya
keberkahan dalam dunia pendidikan adalah kurangnya perhatian civitas
akademikanya dalam masalah adab.
Az-Zarnuji mengatakan: ―Banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya
mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak
merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang
memperhatikan adab dalam menuntut ilmu.‖61
Oleh karena itu, adab harus menjadi perhatian utama bagi pencari ilmu,
agar ilmu yang didapat kelak bermanfaat dan mendapat keberkahan. Ibn Jama‘ah
mengatakan, ―Mengamalkan satu bab adab itu lebih baik daripada tujuh puluh
61 Ibrahim bin Isma’il, Syarh Ta’lim al-Muta’allim ‘ala Thariiqa Ta’allum, Semarang: Karya Toha Putra, hlm. 3
65 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
bab ilmu yang hanya sekedar dijadikan sebagai pengetahuan‖.62 Artinya, ilmu
sedikit yang diiringi dengan adab itu lebih baik daripada ilmu yang banyak tetapi
kosong dari adab ( lost of adab).
Dengan demikian, sudah saatnya dunia pendidikan menekankan proses
ta‟dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para peserta didiknya
menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang dari diri seseorang,
maka hilang pulalah fitrah kemanusiaanya. Jika fitrah telah hilang, maka akan
mengakibatkan penyimpangan, kedzaliman, kebodohan, dan menuruti hawa
nafsu yang merusak.
B. Ilmu dan Peradaban
Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting dan memiliki
kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Hal itu bisa kita lihat dengan jelas dalam Al-
Qur‘an, bahwaayat Al-Qur‘an yang pertama kali diturunkan kepada umat ini
adalahberkaitan dengan ilmu. Yaitu sebuah ayat yang diawali dengan kata “Iqra”
yang mengandung perintah untuk membaca dan menulis, karena membaca dan
menulis merupakan kunci utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
اقسأ باض زبو اير خل، خل اإلطا عل ، اقسأ زبو اأنس، اير ع اإلطا
بايك، ع اإلطا امل ع
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( QS. Al-Alaq: 1-5 )
Dalam menafsirkan kelima ayat di atas, Ibn Katsir menyoroti pentingnya
ilmu bagi manusia. Ibn Katsir menulis:
٢ ابتدا٤ خل اإلطا عك١، أ نس تعاىل أ ع١ اإلطا ا مل ؾا ايتب ع
ع، ؾػسؾ نس بايع، ايكدز اير اتاش ب أب ايرب١ آد ع٢ املال٥ه١
62 Ibn Jama’ah, Tadzkirah Al-Sami’ wa Al-Mutakallim fii Adab Al-A’lim wa Al-Muta’alim, Beirut: Dar Al-
Basya’ir Al-Islamiyah, 2008, hlm.28
66 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
―Dalam ayat-ayat ini terdapat peringatan bahwasanya manusia diciptakan
dari segumpal darah. Dan di antara bentuk anugerah Allah ta‘ala adalah
mengajarkan manusia apa yang semula tidak diketahuinya. Maka kemuliaan dan
keagungan manusia terletak pada ilmu. Dan inilah kemampuan yang membuat
bapak manusia, Adam lebih istimewa daripada malaikat.‖63
Imam Ibn Katsir, dalam penafsirannya di atas, mengingatkan kepada kita
bahwa dari sejak awal penciptaan manusia, status kemuliaan manusia terletak
pada ilmunya. Hal tersebutlah yang menjadi penjelas atas pertanyaan malaikat
yang sempat menyangsikan keberadaan manusia di bumi untuk dijadikan
khalîfah oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal tersebut jugalah yang menjadi
penyebab selanjutnya kenapa malaikat diintsruksikan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala untuk sujud kepada Adam selaku bapak manusia. Semua itu disebabkan
oleh ilmu.64
Maka dari itu, mencari Ilmu dalam pandangan Islam adalah keharusan
yang tidak mungkin untuk dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Pelbagai
keterangan menjelaskan wajibnya mencari ilmu. Mulai hadits sampai nash Al-
Qur‘an, sudah cukup dijadikan landasan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan Baihaqi misalnya, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
menegaskan:
٣ ط ٢ ؾس٢ط٠١ ع٢ ن طب ايع
―Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.‖ (HR. Muslim dan
Baihaqi)
Firman Allah, juga secara tegas memerintahkan nabi-Nya untuk berdoa
memohon tambahan ilmu, sebagaimana firmanNya,
ق زب ش٢د عا
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
(QS. Thaha: 114)
63 Abu al-Fida` Isma'il ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azîm, Kairo: Dar al-Hadits, 1423 H/2003 M, hlm. 647-
648. 64 Dialog seputar pengukuhan Adam sebagai khalîfah di bumi dapat dilihat di antaranya dalam al-Qur`an
surat al-Baqarah [2]: 30-34.
67 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Al hafidz Ibnu Hajar berkata: ―Firman Allah Azza wa Jalla
sangat jelas menunjukkan tentangkeutamaan ilmu.Karena Allah tidak pernah
memerintahkan nabi-Nya untuk meminta (berdoa) atas tambahan sesuatu
kecuali ilmu‖.
Bahkan, mencari ilmu disamakan kedudukannya dengan orang yang
berjihad di jalan Allah.
ا نا املؤ يؿسا ناؾ١، ؾال ؿس ن ؾسق١ طا٥ؿ١ يتؿكا يف ايد يرزا
ق إذا زجعا إي يع حيرز
―Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.‖
Dalam rentang sejarah umat Islam, tradisi ―Iqra‖ menginspirasikan
lahirnya peradaban ilmu pengetahun dalam berbagai aspek kehidupan. Kitab dan
buku-bukupun lahir dengan jumlah sangat fantastis jika dibandingkan dengan
peradaban lain yang muncul di kancah dunia pada saat itu.Ulama seperti Imam
Jalal ad-Dîn as-Suyuthi (w. 911H), telah menulis lebih dari 300 kitab dalam
berbagai bidang, Karena itu, dia memperoleh gelar Ibn al-Kutub (Anak Buku);
demikian juga Ibn Jauzi (w. 597H) telah menulis lebih dari 500 kitab, karena itu
Ia mendapat julukan Syaihk Al-Ummah (Guru Umat).Ibn Sina menuliskan hasil
penelitian filosofisnya dalam ratusan karya, di antaranya al-Syifâ` yang terdiri dari
15 jilid yang membahas ilmu-ilmu metafisika, matematika, fisika, dan logika.
Karya-karya filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-komentar Ibn Rusyd
(w. 1198 M) atas karya-karya Aristoteles dan Plato. Sementara Ibn Haitsam yang
di Barat dikenal dengan Alhazen (dari kata al-Hasan, nama depannya) telah
menulis sebuah karya besar di bidang optik sebanyak tujuh jilid dengan judul al-
Manâzir. Karya-karya tersebut telah banyak menyumbang khazanah intelektual
Muslim.65
Ini semua mengisaratkan bahwa peradaban Islam dibangun di atas tradisi
keilmuan yang sangat kuat, melalui buah karya yang telah dihasilkan oleh para
65 Nasrudin Syarief, Konsep Ilmu, Bogor: UIKA,hlm.20
68 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ulama. Maka benar ketika Rasulallah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menegaskan,
bahwa ulama itulah pewaris para Nabi, dan warisan itu tidak lain adalah berupa
warisan ilmu.
ا، إمنا .إ ايعا٤ زث١ اأبا٤ زثا دازا ال دز زثا ايع، ؾ إ اأبا٤ مل
.أخر أخر حبغ اؾس
―Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka
barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang
banyak.” (HR. At-Tirmidi, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim
dan Ibnu Hibban)
Tradisi keilmuwan telah mengantarkan umat Islam pada masa keemasan.
Eropa menjadi saksi bisu dari kemajuan peradaban Islam kala itu. Renaissance
(kebangkitan) Eropa setelah berabad-abad berada dalam kegelapan, tak
dipungkiri telah diantar oleh kemajuan sains ilmuan-ilmuan Muslim sebelumnya.
Hal itu sebagaimana diakui oleh Sigrid Honka (1913-1999), seorang orientalis
Jerman yang moderat. Dia mengatakan: "Setiap rumah sakit dengan
management dan labolatoriumnya; setiap apotek dengan sistem penyimpanan
obatnya di hari ini, pada hakikatnya adalah cenderamata kejeniusan Arab
(Islam).‖ Lebih lanjut Ia mengatakan: "Islam dengan universitas-iniversitas
mereka telah menyuguhkan kepada Barat contoh yang hidup dalam
mempersiapkan para sarjana yang terlatih dalam berbagi keahlian hidup dan
penelitian ilmiah. Universitas-universitas itu dengan strata-strata ilmiah dan
pembagian kepakarannya kedalam berbagai fakultas dengan berbagai
konsentrasinya telah menyuguhkan kepada Barat percontohan yang sangat
mengagumkan‖. Hal yang sama juga dikemukakan oleh George Sarton yang
melalui karyanya, Introduction to the History of Science menyebutkan beberapa
ilmuwan Muslim yang tidak tertandingi di masa itu oleh seorang pun di Barat.
Mereka adalah Jabir ibn Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, al-Farghani, al-Razi,
Sabit ibn Qurra, al-Battani, al-Farabi, Ibrahim ibn Sinan, al-Mas‘udi, al-Tabari,
al-Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitam, dan Umar Khayyam. Menurut George Sarton,
jika seseorang mengatakan kepada anda bahwa abad pertengahan sama sekali
steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan di atas. Mereka semua
69 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
hidup dan berkarya dalam periode yang amat singkat, dari 750 hingga 1100 M.66
Ilmuwan lainnya yang secara jujur mengakui konstribusi peradaban Islam ini
adalah Tim Wallace-Murphy lewat karyanya What Islam Did for Us: Understanding
Islam‟s Contribution to Western Civilization. Ilmuwan Barat tersebut dalam salah satu
bab karyanya itu menuliskan The West‟s Debt to Islam (utang Barat terhadap
Islam). Dalam tulisannya, Murphy banyak memaparkan data tentang bagaimana
transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada Zaman Pertengahan.
Transfer ilmu pengetahuan itu terjadi dengan usaha belajar Barat kepada Islam
di antaranya melalui penerjemahan. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa apa
yang dicapai Barat hari ini dengan keunggulan sains dan ipteknya adalah berkat
konstribusi umat Islam kepada mereka.67
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium
transformasi sejak awal sekali dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-
Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Shuffah. Dari sinilah dan
dari murid-murid ashab al-Suffah kemudian lahir generasi ulama dan
cendekiawan, baik kalangan sahabat dan tabi‘in yang ahli dalam berbagai disiplin
ilmu. Menurut Hamid Zarkasy, kelahiran ilmu dalam Islam dibagi ke dalam
empat periode. Pertama, turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam.
Turunnya wahyu pada periode Makkah merupakan pembentukan struktur
konsep dunia dan akhirat sekaligus yang merupakan sebuah struktur konsep
tentang dunia (world structure) yang baru. Seperti konsep-konsep tentang Tuhan
dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan
neraka, hari pembalasan, konsep 'ilm, nubuwwah, dîn, 'ibâdah, dan lain-lain.
Sementara turunnya wahyu pada periode Madinah merupakan konfigurasi
struktur ilmu pengetahuan yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka
konsep keilmuan (scientific conceptual scheme). Itu ditandakan dengan tema-tema
umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, dan
sistem hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Periode kedua adalah lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun tersebut
mengandung struktur ilmu pengetahuan. Seperti struktur konsep tentang
kehidupan, struktur konsep tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang
etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya
kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual yang terdapat dalam wahyu seperti
66 Armahedi Mahzar dan Yuliani Liputo, Tradisi Sains dan Teknologi dalam Taufik Abdulah, et. al.,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th., hlm. 237. 67 Tim Wallace-Murphy, What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western
Civilization, London: Watkins Publishing, 2006, hlm. 115-127.
70 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
'ilm, îmân, ushûl, kalâm, nazar, wujûd, tafsîr, ta`wîl, fiqh, khalq, halâl, harâm, irâdah,
dan lain-lain mulai dipahami secara intens. Konsep-konsep ini telah memadai
untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan, yang juga berarti
lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar.
Atas dasar framework ini, Hamid menegaskan, maka dapat diklaim bahwa
embrio ilmu (sains) dan pengetahuan ilmiah dalam Islam adalah struktur
keilmuan dalam worldview Islam yang terdapat dalam Al-Qur`an. Hal ini
bertentangan secara diametris dengan klaim para penulis sejarah Islam kawakan
dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O'Leary, dan
banyak lagi yang menganggap sains dalam Islam tidak ada asal-usulnya. Dari
kalangan penulis modern mereka adalah Radhakrishnan, Majid Fakhry, W.
Montgomery Watt, dan lain-lain.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam yang
ditunjukkan dengan adanya komunitas ilmuwan. Bukti adanya masyarakat
ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam adalah
berdirinya kelompok belajar atau sekolah Ashhâb al-Shuffah di Madinah. Di sini
kandungan wahyu dan hadits-hadits Nabi dikaji dalam kegiatan belajar-mengajar
yang efektif, yang tentunya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi
spekulatif di Ionia yang melahirkan tradisi intelektual Yunani. Hasil dari kegiatan
ini adalah munculnya para pakar hadits seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-
Ghifari, Salman al-Farisi, 'Abdullah ibn Mas'ud, yang kemudian diikuti oleh
generasi berikutnya seperti Qadi Syuraih (w. 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah
(w. 700), Ma'bad al-Juhani (w. 703), 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz (w. 720), Wahb ibn
Munabbih (w. 719/723), Hasan al-Bashri (w. 728), Ghailan al-Dimasyqi (w.
740), Ja'far al-Shadiq (w. 765), Abu Hanifah (w. 767), Malik ibn Anas (w. 796),
Abu Yusuf (w. 799), al-Syafi'i (w. 819), dan lain-lain.
Menurut Hamid, framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi
keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific
conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha
para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit
dan canggih. Istilah-istilah yang diderivasi dari kosakata Al-Qur`an dan hadits
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam termasuk di antaranya: 'ilm, fiqh, ushûl, ijtihâd,
ijmâ', qiyâs, 'aql, idrâk, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqîn, wahy, tafsîr, ta`wîl,
'âlam, kalâm, nutq, zann, haqq, bâtil, haqîqah, 'adam, wujûd, sabab, khalq, khulq, dahr,
sarmad, zamân, azal, abad, fitrah, kasb, khair, ikhtiyâr, syarr, halâl, harâm, wâjib,
71 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
mumkin, irâdah, dan lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep
keilmuan.
Periode keempat adalah lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. Dalam hal ini,
Hamid dengan mengutip Alparslan, mengemukakan bahwa kelahiran disiplin
ilmu-ilmu Islam tersebut melalui tiga tahap, yaitu: (1) Tahap problematik
(problematic stage) yaitu tahap di mana berbagai problem subjek kajian dipelajari
secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian
tertentu. (2) Tahap disipliner (disciplinary stage) yaitu tahap di mana masyarakat
yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan
metode pembahasan sesuai dengan bidang masing-masing. (3) Tahap penamaan
(naming stage), pada tahap ini bidang yang telah memiliki materi dan metode
khusus itu kemudian diberi nama tertentu.68
Seperti telah dijelaskan di atas oleh Hamid Fahmy Zarkasyi berkaitan
dengan framework Islam yang mampu melahirkan embrio ilmu (sains), dalam
praktik nyatanya umat Islam memang tidak hanya melakukan pengkajian dan
pengembangan dalam bidang al-„ulûm al-syar‟iyyah saja, akan tetapi juga dalam
bidang ilmu pengetahuan secara umum. Hal ini dapat juga dipahami karena Al-
Qur`an memberikan perhatian yang banyak pada hal-hal yang berkenaan dengan
fenomena alam, sejarah, sosial dan hidup bermasyarakat, politik dan masalah
kenegaraan.69
Dapat ditegaskan bahwa peradaban Islam di masa lalu dibangun di atas
tradisi ilmu yang berdasarkan konsep-konsep seminal dalam Al-Qur‘an dan
Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan dan dikembangkan
menjadi tradisi intelektual yang mampu melahirkan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Oleh sebab itu untuk membangun kembali peradaban Islam ke
depan, kata kuncinya adalah dengan ilmu pengetahuan, yakni dengan
membangun tradisi Iqra yang dipandu dengan wahyu, karena tradisi ilmu yang
tidak dipandu oleh wahyu akan melahirkan peradaban yang sekuler, sedangkan
tradisi ilmu yang dipandu oleh wahyu akan melahirkan peradaban Islami yang
kaffah. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur‘an surat Ibrahim
ayat 24-25.
68 Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam Islamia, Thn. II No. 5, April-Juni 2005, hlm. 9-18. 69 Nasrudin Syarief, Konsep Ilmu, Bogor: UIKA,hlm.20
72 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
آ٤ ؾسعا ؾ ايط ا ثابت ١ طب١ نػحس٠ طب١ أص ـ ضسب اهلل ثال ن تس ن تؤت أي
ذني٣ ب ا ن أن ترن٤س ياع٢ يع٤ طس٢ب اهلل اأثا ا ٢ زب إ٢ذ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
(QS. Ibrahim: 24-25)
Dalam ayat di atas, tampak jelas dan nyata bahwa peradaban Islam
disimbolkan dengan sebuah pohon yang kokoh. Yang didasarkan atas kalimat
thoyyibah (kalimat yang baik) yang merupakan epistemologi Islam yang menjadi
sumber kajian peradaban Islam. Sedangkan ashluha tsabitun (akarnya teguh)
bersifat absolut, artinya peradaban Islam tidak berubah-ubah dan akan selalu
kokoh, dan far‘uha fissama‘ (cabangnya ke langit) sebagai gambaran bahwa tidak
ada yang mampu menandingi ketinggian peradaban Islam.
73 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB IV
TANTANGAN PERADABAN BARAT
“I venture to maintain that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our
age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived
and disseminated throughout the world by Western civilization.” (Prof. Syed Muhammad
Naquib al-Attas).
Mengapa kaum Katolik, pada 19 April 2005, memilih Kardinal Joseph
Razinger sebagai Paus baru yang menggantikan Paus Yohanes Paulus II?
Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Kardinal Ratzinger
sebagai Paus di awal abad ke-21 sangatlah tepat, sebab, setelah Komunis runtuh,
saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat.
Ratzinger yang memilih nama Benediktus XVI adalah orang yang datang
dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult
challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who
understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus
Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah
Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang
tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Paus Benediktus XVI sebagai
“dictatorship of relativism in the West”. 70
Jauh sebelum Paus Benediktus menyebutkan bahwa paham relativisme
iman produk peradaban Barat sebagai tantangan terbesar kaum Katolik, banyak
cendekiawan Muslim sudah mengkaji secara serius tentang hakekat peradaban
Barat. Ulama besar India Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi, berpendapat, bahwa
peradaban Barat adalah kelanjutan peradaban Yunani dan Romawi yang telah
mewariskan kebudayaan politik, pemikiran, dan kebudayaan. Kebudayaan
Yunani, yang menjadi inti kebudayaan Barat, memiliki sejumlah keistimewaan,
yaitu: (1) kepercayaan yang berlebihan terhadap kemampuan panca indera
70 Pembahasan ini diambil dari Adian Husaini, Tantangan Peradaban Barat, dalam Tasawwur Islam,
Singapura : Darul Andalus, 2012.
74 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
dengan meremehkan hal-hal yang di luar panca sindera, (2) kelangkaan rasa
keagamaan dan kerohanian, (3) sangat menjunjung tinggi kehidupan duniawi dan
menaruh perhatian yang berlebihan terhadap manfaat dan kenikmatan hidup,
dan (4) memiliki rasa patriotisme. Semua itu dapat diringkas dalam satu kata:
materialisme.
Peradaban Romawi yang menggantikan peradaban Yunani memiliki
keunggulan dalam hal kekuatan, tata pemerintahan, luasnya wilayah, dan sifat-
sifat kemiliteran. Romawi kemudian mewarisi peradaban Yunani sampai ke akar-
akarnya, sehingga Bangsa Romawi tidak lagi berbeda dengan Yunani dalam
karakteristik dasar. Keduanya memiliki persamaan besar: mengagungkan hal
duniawi, skeptis terhadap agama, lemah iman, meremehkan ajaran dan praktik
keagamaan, fanatik kebangsaan, serta patriotisme yang berlebihan. Sejarah
menunjukkan bahwa bangsa Romawi tidak memiliki kepercayaan keagamaan
yang mantap. Sejak semula mereka telah mengembangkan paham sekularisme
yang menganggap Tuhan tidak berhak memasuki urusan politik maupun urusan
keduniaan lainnya.71
Karena itulah, menurut an-Nadwi, gelombang modernisme peradaban
Barat ke dunia Islam, merupakan ancaman terbesar dalam bidang pemikiran dan
keimanan. Dia mengungkapkan:
―Di saat sekarang ini selama beberapa waktu dunia Islam telah dihadapkan
pada ancaman kemurtadan yang menyelimuti bayang-bayang di atasnya dari
ujung ke ujung. Inilah kemurtadan yang telah melanda muslim Timur pada masa
dominasi politik Barat, dan telah menimbulkan tantangan yang paling serius
terhadap Islam sejak masa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam… Filsafat
materialistis Barat ini tak diragukan lagi adalah agama terbesar yang diajarkan di
dunia setelah Islam. Ia adalah agama terbesar dipandang dari sudut keluasan
bidangnya; agama yang paling mendalam dipandang dari sudut kedalaman
tancapan akarnya… bahwa kemurtadan-kemurtadan macam inilah yang pada
masa sekarang melanda dunia Islam dari ujung satu ke ujung yang lain. Ia telah
melancarkan serangan gencarnya dari rumah ke rumah dan dari keluarga ke
keluarga. Sekolah-sekolah dan universitas semua telah dibanjiri dengannya.
71 Abul Hasan Ali an Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hal.227-
235.
75 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Hampir tak ada keluarga yang masih beruntung tak memiliki anggota yang
menganut kepercayaan ini. 72
Secara hakiki, peradaban Barat memiliki perbedaan yang fundamental
dengan Islam. Barat adalah sebuah peradaban yang berdasarkan nilai-nilai
sekular-liberal, yang kini dipaksakan untuk dianut oleh seluruh umat manusia,
melalui berbagai cara. Sejak awal, peradaban yang tumbuh dari tradisi Yunani-
kuno dan Romawi ini sebenarnya memiliki tradisi yang berakar pada nilai-nilai
materialistik, hedonistik, dan juga mistik. Banyak sarjana Muslim yang sudah
mengkaji dengan cermat hakekat peradaban Barat ini, dan menjelaskan apa
karakteristik negatif dan positif yang ada pada peradaban yang sedang menang
ini. 73
Muhammad Asad (Leopold Weiss) mencatat, bahwa Peradaban Barat
modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntutan-tuntutan
ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang sebenarnya bukanlah
kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan duniawi. Mereka
mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno. Konsep
keadilan bagi Romawi, adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja. Sikap
semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada
konsepsi hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan agama
Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban
Barat itu sendiri sebenarnya irreligious„. (So characteristic of modern Western
Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it
is irreligious in its very essence). 74
Sarjana dan penyair Muslim terkenal, Dr. Muhammad Iqbal pun dikenal
sangat tajam dalam menyorot peradaban Barat dan banyak menulis puisi tentang
kebobrokannya. Iqbal sendiri merupakan produk pendidikan Barat‗. Ia meraih
PhD di Eropa dengan tesis berjudul ―The Development of Metaphisics in Persia‖.
Dalam kumpulan puisinya, Jawid Namah, Iqbal nengungkap ketamakan
peradaban Barat modern yang kurang mempedulikan aspek kemanusiaan: “Her
eyes lack of the tears of humanity, because of the love of gold and silver.” Dalam puisinya
72 Abul Hasan Ali An-Nadwi, Ancaman Baru dan Pemecahannya, dalam Haidar Bagir (ed), Benturan Barat
dengan Islam, (Bandung: Mizan, cetakan ke-4,1993), hal.13-19. 73 Lebih jauh tentang peradaban Barat, lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen
ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: GIP, 2005). 74 Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other Press), hal.26-29. Edisi pertama
buku ini dicetak tahun 1934 oleh Arafat Publications Delhi and Lahore.
76 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Bal-e-Jibril, Iqbal juga mengingatkan bahaya pendidikan Barat modern yang
berdampak terhadap hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadap
agamanya. Padahal, menurut Iqbal, keyakinan adalah aset yang sangat penting
dalam kehidupan seorang manusia. Jika keyakinan hilang dari diri seorang
manusia, maka itu lebih buruk ketimbang perbudakan. Dikatakan Iqbal dalam
puisinya: “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant
which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of
conviction is worse than slavery.” 75
Dalam bukunya Islam versus the West, Maryam Jemeela – seorang keturunan
Yahudi Amerika yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus –
memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang
fundamental. Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap
pandangan hidup Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat
sekular, akan berujung pada pemusnahan Islam. (The imitation of Western ways of
life based on their materialistic, pragmatic, and secular philosophies can only lead to the
abandonment of Islam).76
Cendekiawan Muslim dari Malaysia, Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Attas, pendiri International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), juga banyak menulis tentang hakekat peradaban Barat. Pada tahun
1970-an, dia sudah menulis buku “Risalah Untuk Kaum Muslimin” dan juga buku
terkenalnya “Islam and Secularism” yang sudah diterjemahkan ke dalam puluhan
bahasa. Secara sederhana, hakikat peradaban Barat dijelaskan al-Attas dalam
buku “Risalah untuk Kaum Muslimin”:
“Biasanya yang disebutkan orang sebagai Kebudayaan Barat itu adalah hasil warisan
yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropah dari Kebudayaan Yunani Kuno yang
kemudian diadun pula dengan campuran Kebudayaan Rumawi dan unsur-unsur lain dari
hasil cita-rasa dan gerak-daya bangsa-bangsa Eropah sendiri, khususnya dari suku-suku
bangsa Jerman, Inggris dan Perancis. Dari Kebudayaan Yunani Kuno mereka telah
meletakkan dasar-dasar falsafah kenegaraan serta pendidikan dan ilmu pengatahuan dan
75 Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal.51,71-72.
Peringatan Iqbal yang banyak mengkaji filsafat Barat modern ini penting untuk dicermati, sebab dalam aliran relativisme yang kini banyak dikembangkan dalam studi agama-agama, pemeluk agama diminta untuk meninggalkan keyakinan tentang kebenaran agama dan kitab sucinya. Mereka beralasan, bahwa akal manusia adalah relatif dan sebab itu, tidak pernah sampai kepada kebenaran yang hakiki. Padahal, dengan statusnya sebagai manusia, Allah memberi anugerah kepada manusia untuk sampai pada keyakinan tertentu. Manusia meyakini sesuatu dalam kapasitasnya sebagai manusia, dan bukan sebagai Tuhan, karena ia memang bukan Tuhan.
76 Maryam Jameela, Islam versus The West, (Saudi Arabia: Abul Qasim Publishing House, 1994), hal.57.
77 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
kesenian; dari Kebudayaan Rumawi Purbakala mereka telah merumuskan dasar-dasar
undang-undang dan hukum serta ketatanegaraan. Agama Kristian, sungguhpun berjaya
memasuki benua Eropah, namun tiada juga meresap ke dalam kalbu Eropah. Justru
sesungguhnya agama yang berasal dari Asia Barat dan merupakan, pada tafsiran aslinya,
bukan agama baharu tetapi suatu terusan dari agama Yahudi itu, telah diambil- alih dan
dirobah-ganti oleh Kebudayaan Barat demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan yang
telah lama dianutnya sebelum kedatangan ‗agama Kristian„. Mereka telah
mencampuradukkan ajaran-ajaran yang kemudian menjelma sebagai agama Kristian dengan
kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan Rumawi, dan Mesir dan Farsi dan juga
anutan-anutan golongan Kaum Biadab.77
Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan
agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, Al-Attas sampai pada
kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah
hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat
manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Al-Attas memulai tulisannya dalam ―Dewesternization of Knowledge” dengan
ungkapan, bahwa sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak
tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan
yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many
challenges have arisen in the midst of man‟s confusion throughout the ages, but none perhaps
more serious and destructive to man than today‟s challenge posed by Western Civilization).
Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat itu
sendiri. Al-Attas mencatat: “I venture to maintain that the greatest challenge that has
surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance;
but knowledge as conceived and disseminated throughout the world by Western civilization.”
Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas, pada hakekatnya
telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih
menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa
perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal
memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan
knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada
kekacauan dalam “The Three Kingdom of Nature” yaitu dunia binatang, tumbuhan,
dan mineral. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama,
dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif
diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan
77 Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hal.18.
78 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak
mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan.
(Man is deified and Deity humanised). 78
Sejak zaman kolonial klasik, misi kolonialisme di dunia Islam telah
dijalankan dengan mengambil bentuk „trologi imperialisme‘ (gold, gospel, and glory),
yang mengambil bentuk aksi ‗misi Kristen‘, ‗kolonialisme/ imperialisme‘ dan
orientalisme. Hingga kini, dengan segala bentuk perubahan modus dan
teknisnya, ketiga misi itu tetap berjalan. Dalam tulisan ini, akan dibahas dua
tantangan bagi umat Islam, masalah Kristenisasi dan Orientalisme.
78 Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana
Program, 2002), vol 2, hal.231-240.
79 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB V
MASALAH ORIENTALISME
Sebenarnya, telah beratus tahun lalu, kaum Yahudi dan Nasrani di Barat
telah melakukan pengkajian terhadap Islam, dengan tujuan untuk memahami
seluk beluk Islam dan kaum Muslim. Sejak lama mereka telah mengumpulkan
kitab-kitab dan manuskrip karya ulama Islam, mendirikan pusat-pusat studi
Islam di Barat. Tujuan mereka pada umumnya sangat jelas, yaitu untuk
memahami Islam, sehingga mereka lebih mudah dapat menaklukkan kaum
Muslim.
Dalam bukunya, Al-Mustasyriquna wa al-Tarikhul Islam, Prof. Dr. Ali Husny
al-Kharbuthly, Guru Besar di Universitas Ain Syams, Mesir, mencatat, ada tiga
tujuan kaum Orientalis dalam melakukan studi Islam, yaitu: (1) Untuk
penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, (2) Untuk kepentingan
penjajahan, (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. 79
Sejak Perang Salib berlangsung mulai tahun 1095, ada sebagian tokoh
Kristen yang menilai Perang Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk
menaklukkan kaum Muslim. Salah satu tokoh terkenal adalah Peter The
Venerable atau Petrus Venerabilis (1094-1156M). Peter adalah tokoh misionaris
Kristen pertama di dunia Islam, yang merancang bagaimana menaklukkan umat
Islam dengan pemikiran, bukan dengan senjata. Ketika itu, ia seorang kepala
Biara Cluny, Perancis – sebuah biara yang sangat berpengaruh di Eropa Abad
Pertengahan.
Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ ia
menghimpun sejumlah cendekiawan untuk menerjemahkan karya-karya kaum
Muslim ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai bahan
untuk misionaris Kristen terhadap dunia Islam. Salah satu sukses usaha Peter
adalah terjemahan Al-Qur‘an dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai
tahun 1143), yang diberi judul, ‗Liber Legis Saracenorum quem Alcorant Vocant‟
(Kitab Hukum Islam yang disebut Al-Qur‘an). Inilah terjemahan pertama Al-
Qur‘an dalam bahasa Latin, yang selama beratus-ratus tahun menjadi rujukan
79 Dikutip dari Hamka, Studi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hal.12.
80 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
kaum Kristen di Eropa dalam melihat Islam. Barulah pada tahun 1698,
Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap terjemahan Robert of Ketton dan
menerjemahkan Al-Qur‘an sekali lagi ke dalam bahasa Latin dengan judul
“Alcorani Textus Receptus”.
Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu
dilakukan oleh kaum Kristen, agar mereka dapat membaptis pemikiran kaum
Muslimin. Jadi, kaum Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan ekspedisi
militer, melainkan juga harus dikalahkan dalam pemikiran mereka. Di tengah
berkecamuknya Perang Salib, Peter membuat pernyataan: ―...aku menyerangmu,
bukan sebagaimana sebagian dari kami [orang-orang Kristen] sering melakukan, dengan
senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan pikiran; bukan
dengan kebencian, namun dengan cinta.” (But I attack you not, as some of us [Christians]
often do, by arms, but by words; not by force, but by reason; not in hatred, but in love…).
Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristen
dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan
Kristen bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus).
Islam, menurutnya, adalah sekte kafir terkutuk sekaligus berbahaya (execrable and
noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential doctrine), ingkar (impious) dan sekte
terlaknat (a damnable sect); dan Muhammad adalah orang jahat (an evil man).
Selain menugaskan para sarjana Kristen menerjemahkan naskah-naskah
bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, Peter juga menulis dua buku yang
menyerang pemikiran Islam. Tentang Al-Qur‘an, Peter menyatakan, bahwa Al-
Qur‘an tidak terlepas dari para setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad,
orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim informan
kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture). 80
Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan kaum misionaris
Kristen terhadap kaum Muslimin. Henry Martyn, tokoh misionaris berikutnya,
juga membuat pernyataan,
“Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-
kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.”
Hal senada dikatakan tokoh misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat
banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya
80 Riset yang serius tentang Peter Venerabilis ini bisa dibaca dalam buku Adnin Armas, Metodologi Bibel
dalam Studi al-Quran, (Jakarta: GIP, 2005).
81 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa
yang mereka pikir bisa diperoleh.‖
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan
air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis
oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam
buku Islam: A Challenge to Faith (edisi pertama tahun 1907). Buku yang berisi
resep untuk menaklukkan dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai beberapa
kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad
dari sudut pandang missi Kristen. Zwemmer menyebut bukunya sebagai,
―Studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan
World From the standpoint of Christian Missions”.
Di akhir penjelasannya tentang Al-Qur‘an, Zwemmer mencatat: “In this
respect the Koran is inferior to the sacred books of ancient Egypt, India, and China, though,
unlike them, it is monotheistic. It can not be compared with the Old or the New Testament.”
(Dalam masalah ini, Al-Qur‘an adalah inferior dibandingkan dengan buku-buku
suci Mesir Kuno, India, Cina. Meskipun, tidak seperti mereka, Al-Qur‘an adalah
monoteistik. Ini tidak bisa dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru).81
81Samuel M. Zwemmer, Islam: A Challenge to Faith (London: Darf Publisher Limited, 1985), hal.91.
82 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Strategi penaklukan Islam melalui pemikiran ini kemudian dikembangkan
oleh para orientalis Barat. Sebagian dari mereka memang membawa semangat
lama kaum misionaris, sebagian lagi melakukannya untuk kepentingan
penjajahan (kolonialisme) dan sebagian lagi bermotifkan semata-mata untuk
kajian ilmiah. Kini, setelah beratus-ratus tahun, kaum Orientalis telah berhasil
meraih sukses besar dalam bidang studi Islam. Bukan saja mereka berhasil
mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan menerbitkan ribuan buku
tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun literatur-literatur Islam
dalam jumlah yang sangat besar. Usaha-usaha mereka selama berabad-abad ini
bisa dipahami, sebab Islam adalah satu-satunya agama yang secara tegas
memberikan kritik-kritik yang mendasar terhadap basis kepercayaan Yahudi dan
Nasrani. Hanya Al-Qur‘an-lah, satu-satunya Kitab Suci yang memberikan kritik-
kritik tajam dan mendasar terhadap dasar-dasar kepercayaan agama Yahudi dan
Kristen. 82
Tantangan besar yang diakibatkan oleh kaum orientalis diantaranya juga
dalam bidang studi agama-agama, dengan mengembangkan epistemologi
relativisme dalam memandang kebenaran agama-agama. Selama ratusan tahun,
para ulama Islam telah mengembangkan studi perbandingan agama, yang
berangkat dari keimanan Islam, bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang
benar dan yang diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala. (QS 3:19, 85).
Metodologi studi semacam itu kini digugat, dipandang subjektif,
menerapkan standar ganda, dan tidak objektif. Sarjana Muslim kini banyak yang
mengambil metodologi para orientalis dalam studi agama-agama dengan
menempatkan Islam sebagai objek kajian dan penelitian yang sejajar dengan
semua agama yang ada.
Prof. Jacques Waardenburg menyatakan: ―Saya ingin menunjuk dua
problem mendasar bagi berkembangnya studi agama-agama di dunia Islam.
Problem yang pertama adalah sebuah adagium bahwa Islam adalah agama yang
final dan benar.‖ Prof. Wilfred Cantwell Smith, pendiri Islamic Studies di McGill
82 Prof. SMN al-Attas mencatat dalam buku terkenalnya, Islam and Secularism: ―The confrontation
between Western culture and civilization and Islam, from the historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one. Islam is seen by the West as posing a challenge to its very way of life; a challenge not only to Western Christianity, but also to Aristotelianism and the epistemological and philosophical principles deriving from Graeco-Roman thought which forms the dominant component integrating the key elements in dimensions of the Western worldview.‖ (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), hal.105.
83 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
University menyatakan: ―Pernyataan tentang suatu agama tidaklah valid kecuali
benar-benar diakui oleh pemeluk agama tersebut.‖83
Perubahan metodologi studi agama-agama di Perguruan Tinggi dengan
memasukkan metode orientalis sudah dilakukan sejak tahun 1973. Berdasarkan
hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit
Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai
buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam, mata kuliah komponen
Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN. Tokoh utama dalam hal
ini adalah Prof. Dr. Harun Nasution. Karena ada instruksi dari pemerintah
(Depag) yang menjadi penaung dan penanggung jawab IAIN-IAIN, maka
materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah dan bahan
ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.
Pada tanggal 3 Desember 1975, mantan guru besar di McGill University
Prof. HM Rasjidi, yang juga Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan
rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam
bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:
―Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun
Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan
kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun
tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian
Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian
Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh
IAIN di Indonesia.84
Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi
akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat
Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia
menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun. Maka, tahun 1977, lahirlah buku
Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.
83 Dikutip dari artikel Dr. Anis Malik Thoha, ―Religionswisenschaft, antara Obyektivitas dan
Subyektivitas Praktisinya‖, Majalah Islamia edisi 8/2006) 84 HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‗Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya‘,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal 13.
84 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini,
mengingat buku IDBA karya Harun Nasution itu memang penuh dengan
berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Misalnya,
tentang hadis Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, Harun menulis:
―Berlainan halnya dengan Al-Qur‘an, hadis tidak dikenal, dicatat, tidak dihafal di
zaman Nabi… Karena hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula,
tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari
Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara
umat Islam tentang keorisinilan semua hadis dari Nabi.‖85
Sekilas saja mencermati kata-kata tersebut, jelas sangat keliru, sebab
banyak sahabat yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadis Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Juga, tidak benar, bahwa umat Islam tidak pernah
bersepakat tentang otentisitas hadits Nabi. Kata-kata Harun itu jelas hanya
upaya meragu-ragukan hadis Nabi sebagai pedoman kaum Muslim setelah Al-
Qur‘an. Sebenarnya, tidaklah benar, hadis Nabi sejak awal tidak dicatat oleh para
sahabat. Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul
―Studies in Early Hadith Literature‖ membuktikan proses pencatatan hadis sejak
zaman Nabi, disamping proses hafalannya.
Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam
menjelaskan tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai
agama yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion
(agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang
berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama
budaya (historical dan cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis –
yang dia istilahkan juga sebagai ‗agama tauhid‘ ada empat, yaitu Islam, Yahudi,
Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun, merupakan satu
rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun
menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan
Yahudi. Kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sudah
tidak terpelihara lagi.86
Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni
sebagaimana Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama
Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa dalam Al-Qur‘an dia
dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat
85 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, cet. ke-6, 1986), Jld 1, hal.29. 86 Ibid, hal.15-22.
85 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah memberikan kritik keras,
bahwa: ―Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah
sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin
dipudarkan keimanannya.‖87
Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh
petinggi Depag dan IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan
buku wajib dalam mata kuliah pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan
tinggi Islam di Indonesia. Padahal, kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah,
bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun Nasution
secara tidak proporsional.88
Kini, metode kajian agama yang berbasis pada epistemologi relativisme
kebenaran dikembangkan di berbagai kampus Islam. Sadar atau tidak. Sebagai
contoh, sebuah buku berjudul ―Ilmu Studi Agama‖ untuk mahasiswa Fakultas
Ushuluddin di UIN Bandung, ditulis:
―Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran.
Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya
sumber kebenaran. (hal. 17)…Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar
karena berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia,
merupakan contoh penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda
ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain, dalam derajat keabsahan
teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah, terjadi perang
dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas agama lain. (hal. 24) … Agama
adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran
Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan,
adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin,
kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat
relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif. (hal. 20).89
Dampak penggunaan epistemologi relativisme dalam pendekatan studi
agama – dengan menghilangkan aspek keyakinan pada kebenaran agamanya
sendiri – sangatlah besar dalam cara pikir dan cara pandang terhadap kebenaran.
Epistemologi relatif ini telah cukup luas menyebar, sehingga banyak yang
menyatakan bahwa semua agama adalah sama, semuanya jalan menuju
kebenaran, dan jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Padahal,
87 HM Rasjidi, op.cit, hal.24. 88 Lihat, Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005), hal.xvi-xvii. 89 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2005)
86 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
sebagaimana telah dikutip pernyataan penyair terkenal Pakistan, Moh. Iqbal,
bahwa jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan
(Lack of conviction is worse than slavery).
Karena itu, di tengah tantangan dan arus besar studi agama-agama yang
berbasiskan pada relativisme epistemologis ini, para sarjana Muslim perlu
mengkaji masalah ini dengan serius. Apalagi, kini berbagai negara-negara Barat –
baik secara langsung maupun melalui LSM-LSM-nya seperti The Asia Foundation
dan Ford Foundation– sangat bersemangat untuk melakukan reformasi Islam,
mengubah Islam, membentuk Islam baru, dengan memberikan dukungan
kepada usaha-usaha liberalisasi Islam, penyebaran paham Pluralisme Agama,
dekontsruksi Islam, dekontsruksi syariah, dan sebagainya.90
90 David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka
kampenye untuk –bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself…The white house has approved a classified strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first time states that the US has a national security interest in influencing what happens within Islam… In at least two dozen countries, Washington has quietly funded Islamic radio, tv shows, coursework in Muslim schools, Muslim think tanks, political workshops, or other programs that promote moderate Islam). (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005).
87 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB VI
PLURALISME AGAMA
Pluralisme Agama didasarkan pada pada satu asumsi bahwa semua agama
adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut
penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju
Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi
relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga –karena kerelativannya– maka
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya
sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa
hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah
satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak
(absolute truth claim) atas agamanya sendiri.91
Salah satu teolog Kristen yang terkenal sebagai pengusung paham ini,
Ernst Troeltsch, mengemukakan tiga sikap populer terhadap agama-agama, yaitu
(1) semua agama adalah relatif. (2) Semua agama, secara esensial adalah sama. (3)
Semua agama memiliki asal-usul psikologis yang umum. Yang dimaksud dengan
relatif, ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas, tidak sempurna, dan
merupakan satu proses pencarian. Karena itu, kekristenan adalah agama terbaik
untuk orang Kristen, Hindu adalah terbaik untuk orang Hindu. Motto kaum
Pluralis ialah: pada intinya, semua agama adalah sama, jalan-jalan yang berbeda
yang membawa ketujuan yang sama. (Deep down, all religions are the same – different
paths leading to the same goal).”92
Pemikiran ini kemudian berkembang pesat di Barat dan menjadi
komoditas pemikiran global. Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat
meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun buku-buku di perguruan
tinggi.93 Ketika semua agama dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk
91 - Lihat pembahasan ini Adian Husaini, Tasawwur Islam, Singapura : Darul Andalus,2012
92 Paul F. Knitter, No Other Name?, dikutip dari Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), hal.67.
93 Sebagai contoh, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: ―Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama‖, ―Agama-Agama lain
88 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
menuju Tuhan – siapa pun Dia, apa pun nama dan sifat-Nya – maka muncullah
pemikiran bahwa untuk menuju Tuhan bisa dilakukan dengan cara apa saja.
Karena itulah, cara ibadah kepada Tuhan dianggap sebagai masalah teknis‗,
soal/cara‗, yang secara eksoterik memang berbeda-beda, tetapi substansinya
dianggap sama. 94
Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga
pendidikan Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai
oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah
mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. Itu
misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul
Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal
Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan
The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan,
tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan
Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.
Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001,
menampilkan laporan utama berjudul ―Menuju Pendidikan Islam Pluralis. Di
tulis dalam Jurnal ini:
―Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri,
tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk
selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan
baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam
terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap
berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah‖, atau ―Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran‖. Lalu, tulis Nurcholish lagi, ―Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".‖ Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal.xix., dan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal.lxxvii.)
94 Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: ―Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.‖ (Kompas, 3/9/2005)
89 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara
pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah
teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi
agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan
dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam
pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.95
Menghadapi serbuan paham Pluralisme Agama ini, maka para tokoh
agama-agama tidak tinggal diam. Paus Yohannes Paulus II, tahun 2001,
mengeluarkan Dekrit Dominus Jesus‗. Berikut ini kita kutipkan pendapat Frans
Magnis Suseno tentang Pluralisme Agama, sebagaimana ditulis dalam bukunya,
Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk.96
Pluralisme agama, kata Magnis, sebagaimana diperjuangkan di kalangan
Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan
Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme
kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar
merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-pertama
memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar daripada yang
lain-lain. Teologi yang mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan
rincian berbeda, anggapan bahwa agama-agama merupakan ekspresi religiositas
umat manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad
merupakan genius-genius religius, mereka menghayati dimensi religius secara
mendalam. Mereka mirip dengan orang yang bisa menemukan air di tanah,
berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di bawah permukaan
dan dari padanya segala ungkapan religiositas manusia hidup. Posisi ini bisa
sekaligus berarti melepaskan adanya Allah personal. Jadi, yang sebenarnya diakui
adalah dimensi transenden dan metafisik alam semesta manusia. Namun, bisa
juga dengan mempertahankan paham Allah personal.
Masih menurut penjelasan Frans Magnis Suseno, pluralisme agama itu
sesuai dengan semangat zaman. Ia merupakan warisan filsafat Pencerahan 300
tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant tentang agama
sebagai lembaga moral, hanya dalam bahasa diperkaya oleh aliran-aliran New Age
yang, berlainandengan Pencerahan, sangat terbuka terhadap segala macam
dimensi metafisik, kosmis, holistik, mistik, dan sebagainya. Pluralisme sangat
95 Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam: Dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan
Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001. 96 Frans Magnis Suseno, op.cit., hal.138-141.
90 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
sesuai dengan anggapan yang sudah sangat meluas dalam masyarakat sekuler
bahwa agama adalah masalah selera, yang termasuk budaya hati individual, mirip
misalnya dengan dimensi estetik, dan bukan masalah kebenaran. Mengkliam
kebenaran hanya bagi diri sendiri dianggap tidak toleran. Kata dogma menjadi
kata negatif. Masih berpegang pada dogma-dogma dianggap ketinggalan zaman.
Paham Pluralisme agama, menurut Frans Magnis, jelas-jelas ditolak oleh
Gereja Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan Dominus
Jesus‗. Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga
menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara
keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di
kalangan Katolik sendiri, Dominus Jesus‗ menimbulkan reaksi keras. Frans
Magnis sendiri mendukung Dominus Jesus‗ itu, dan menyatakan, bahwa
Dominus Jesus‗ itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, Pluralisme Agama
hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran daripada sikap
inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk
mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka
yakini. Ambil saja sebagai contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan
agar masing-masing saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari
ungkapan religiositas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim
kepenuhan kebenaran tidak masuk akal. Namun yang nyata-nyata dituntut kaum
pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam Al-Qur‘an
memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus
hidup agar ia selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk
sebelumnya. Dari kaum Kristiani, kaum pluralis menuntut untuk
mengesampingkan bahwa Yesus itu Sang Jalan‗, Sang Kehidupan‗ dan Sang
Kebenaran‗, menjadi salah satu jalan, salah satu sumber kehidupan dan salah
satu kebenaran, jadi melepaskan keyakinan lama yang mengatakan bahwa hanya
melalui Putera manusia bisa sampai ke Bapa.
Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: Menurut saya
ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik.
Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, bari kita bersedia saling
menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok
lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati
keberadaan mereka dalam keberlainan mereka. Toleransi justru bukan asimilasi,
melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.
91 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Dari kalangan Protestan, Dr. Stevri I. Lumintang menulis buku yang
sangat serius berjudul Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme
dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004). Dalam buku
setebal 700 halaman lebih ini, Stevri menulis:
―Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala
berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu
teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang
selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya
Pluralisme sedang menawarkan agama baru.‖ 97
Dari kalangan Hindu juga muncul penolakan keras terhadap paham
Pluralisme Agama. Pada tahun 2006, penerbit Media Hindu menerbitkan sebuah
buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Buku ini diberi kata pengantar oleh
Parisada Hindu Dharma. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata
pengantarnya dengan judul Mengapa Takut Perbedaan? Ngakan mengkritik
pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh
sebagian orang Hindu yang mengutip Bagawad Gita IV: 11: ―Jalan mana pun
yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima. Menurut Ngakan:
―Yang disebut ‗Jalan‘ dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga,
Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama
Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak
jalan, bukan hanya satu bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan
kecenderungannya.‖98
Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu, mengecam
keras orang-orang Hindu yang menyama-nyamakan agamanya dengan agama
lain:
―Ketika kita membuat klaim yang secara sentimental menenangkan,
namun tanpa pemikiran bahwa semua agama adalah sama, kita sedang tanpa
sadar mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno ini, dan
membantu memperlemah matrix filosofis/kultural agama Hindu sampai pada
intinya yang paling dalam. Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme
Radikal, dan secara bombastik memproklamasikan bahwa semua agama adalah
97 Stevri I. Lumintang, op.cit, hal.18-19. 98 Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal.xxx.
92 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
sama, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan
dia cintai.99
Majelis Ulama Indonesia(MUI), melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga
telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam
dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme
Agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama
dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua
pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik
Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa
Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme
Agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan
agama-agama lain. 100
Jadi, meskipun sejumlah agama dan tokoh agama telah membuat
pernyataan dan sikap resmi tentang paham Pluralisme Agama, tetapi masalah ini
perlu dikaji secara komprehensif. Kalangan akademisi Muslim perlu mencermati
benar apa dan bagaimana sebenarnya paham Pluralisme Agama dengan
mengambil studi komparatif dengan kasus serupa pada agama-agama lain.
Sebab, sebagai salah satu isu global yang mendapat sokongan kekuatan-kekuatan
global, isu Pluralisme Agama akan terus menjadi isu penting dalam berbagai
wacana sosial dan politik pada level nasional maupun global.
Respon Intelektual
Islam adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Makna Islam itu sendiri digambarkan
oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dalam berbagai sabda beliau.
Imam Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba‟in al-Nawawiyah,
menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua:
“Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan
99 Ibid, hal.106. 100 Lihat, pengantar Dr. Anis Malik Thoha pada buku Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2005). Disertasi Dr. Anis Malik Thoha tentang Pluralisme Agama di Universitas Islam Internasional Islamabad juga telah diterbitkan oleh GIP dengan judul ‗Tren Pluralisme Agama. Edisi bahasa Arab buku ini mendapatkan penghargaan Faruqi Award oleh Internastional Islamic University Malaysia. Diskusi lebih jauh tentang Pluralisme Agama dalam Islam bisa dilihat di Majalah ISLAMIA edisi 3 dan 4.
93 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji
ke Baitullah -- jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR. Muslim)
Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan
haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam Kitab Sullamut Tawfiq –yang biasa dikaji di madrasah Ibtidaiyah dan
pondok pesantren-, disebutkan, bahwa adalah kewajiban setiap muslim untuk
menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah).
Dijelaskan juga dalam Kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu murtad dengan
I‗tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari
segi I„tiqad, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, atau ragu terhadap Al-Qur‘an, atau ragu
terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala, siksa, dan sejenisnya.101
Seperti disebutkan sebelumnya, Ulama India Syekh Abul Hasan Ali an-
Nadwi menyebutkan, bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat Islam
saat ini, sepeninggal Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, adalah tantangan
yang diakibatkan oleh peradaban Barat. Sebab, tantangan ini sudah menyangkut
aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman dan
kemurtadan. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang,
bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya.
Banyak ayat Al-Qur‘an yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi
seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam
kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan
mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu
Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nur: 39)
101 Lihat Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim, Sullamut Tawfiq, (cetakan
Toha Putra, Semarang, tanpa tahun), hal.5-6.
94 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Di samping itu, sebagai satu agama dan peradaban yang masih eksis -yang
memiliki worldview yang khusus- maka Islam juga sedang menghadapi tantangan
yang serius yang diakibatkan oleh hegemoni peradaban Barat dalam berbagai
bidang kehidupan. Membanjirnya istilah-istilah yang berasal dari tradisi
pemikiran Barat ke dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer – seperti
Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam militan, Islam moderat, Islam inklusif,
Islam eksklusif, Islam pluralis, dan sebagainya – merupakan satu contoh yang
nyata.
Tantangan pemikiran kontemporer itu tidak mungkin dihindarkan. Para
sarjana dan cendekiawan muslim kini ditantang untuk memberikan respon
intelektual berkualitas. Mereka harus merumuskan‗anatomi tantangan‗ yang
dihadapi kaum muslim dengan tepat dengan melakukan kajian serius terhadap
hakekat peradaban Barat dan peradaban-peradaban lain, dan sekaligus
mereformulasi ―bukan reformasi‖ konsep-konsep Islam dengan tepat, sesuai
dengan tantangan pemikiran yang dihadapi umat Islam saat ini.
Apalagi, saat ini westernisasi (pembaratan) studi Islam di perguruan tinggi
telah dilakukan semakin intensif dan diresmikan dengan cara mengadopsi
metode studi agama ala Barat dalam studi Islam. Sebuah buku berjudul
Paradigma Baru Pendidikan Islam, yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI
(2008) menulis:
”Melalui pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat masif
dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional
studi Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling menyolok terjadi
pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root.”
Pemikiran modern ala Barat—yang memiliki metode tersendiri dalam
memandang agama—justru diadopsi dan diresmikan. Hal ini telah dan akan
terus membawa dampak serius dalam perkembangan pemikiran Islam di
Indonesia. Untuk itulah, umat Islam harus mampu menjawab tantangan ini
secara akademis dan intelektual. Problem keilmuan inilah yang sejatinya menjadi
problema mendasar umat Islam, yang harus dipecahkan dan dicarikan solusinya,
jika umat Islam ingin bangkit menjadi umat yang besar dan disegani,
sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas: “I venture
to maintain that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the challenge
95 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated
throughout the world by Western civilization‟.
96 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB VII
MASALAH KRISTENISASI
Masalah Kristenisasi adalah persoalan laten bagi kaum Muslim dan
pemeluk agama-agama lain, termasuk di Indonesia.102 Tokoh-tokoh Kristen
Indonesia -seperti Dr. W.B. Sidjabat dan TB Simatupang-biasanya berusaha
mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda ikut membantu penyebaran agama
Kristen di Indonesia. Menurut mereka, kaum misionaris sama sekali tidak ada
kaitannya dengan ambisi duniawi kaum kolonialis. Penyebaran agama Kristen,
lebih disebabkan oleh kuasa Alkitab dan bukan terutama disebabkan oleh orang-
orang Kristen. Tetapi, bukti-bukti sejarah sangat sulit menerima argumentasi
tokoh-tokoh Kristen semacam itu. Bantuan dan campur tangan kaum kolonialis
dalam Kristenisasi sulit dipungkiri dalam sejarah.103
Mengutip tulisan sejarawan KM Panikkar dalam bukunya Asia and Western
Dominance, Prof. Dr. Bilveer Singh mencatat, ―Yang mendorong bangsa Portugal
(untuk menjajah di Asia adalah) strategi besar melawan kekuatan politik Islam,
melakukan Kristenisasi, dan keinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-
rempah.‖
Sebagaimana ditunjukkan oleh Panikkar, sementara bagi negara-negara
Eropa Barat lainnya Islam hanyalah ancaman yang jauh, bagi orang-orang yang
tinggal di kepulauan Iberia, Castile, Aragon, dan Portugal, Islam mewakili
sesuatu yang mengancam, perkasa, dan selalu siap siaga di depan beranda rumah
mereka. Dari sudut pandang ini, kata Panikkar,―Islam adalah musuh dan harus
diperangi di mana-mana. Banyak tindakan Portugal di Asia tidak akan dapat
dipahami kecuali fakta ini selalu diperhatikan. Jadi, disamping untuk Kristenisasi
atas 'wilayah kafir', Islam harus dilawan di jantungnya, dengan menyerangnya
dari belakang. Hal ini juga diharapkan akan menguntungkan secara ekonomis.‖
Dalam kaitan ini, Pangeran Henry Sang Pelaut (1394-1460) melancarkan
"strategi besar" dengan tujuan untuk mengepung kekuatan Muslim dan
102 - Adian Husaini, Masalah Kristenisasi, dalam Tasawwur Islam, Singapura : Darul Andalus,2012. 103 Alwi Shihab, Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal.202.
97 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
membawa agama Kristen langsung ke wilayah Samudera Hindia. Ketika berhasil
menduduki Malaka, D'albuquerqe berpidato, ―Tugas besar yang harus kita
abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor (Muslim) dari
negara ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi
sesudah ini… Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini
dari tangan mereka (orang-orang Moor), Kairo dan Mekkah akan hancur total
dan Venice tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya
pergi dan membelinya di Portugal.‖104
Karena itu, bukan hal aneh, jika penjajahan (kolonialisme) Barat di dunia
Islam, selalu bekerjasama dengan misionaris Kristen untuk melanggengkan
kekuasaannya. Mengutip pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands
bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, Dr. Aqib Suminto
mencatat:
―Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang
menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor
penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan
sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu
menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.105
Keterkaitan erat antara gerakan Kristenisasi dengan pemerintah kolonial
banyak diungkap oleh para ilmuwan Indonesia, seperti Aqib Suminto (Politik
Islam Hindia Belanda), Deliar Noer (Gerakan Islam Modern) dan juga Alwi Shihab
(Membendung Arus - Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia). Politik netral agama yang dikumandangkan oleh pemerintah Belanda
terbukti tidak benar, sebab dalam kenyataannya, mereka sangat mendukung
gerakan misi Kristen di Indonesia.
Sejumlah dekrit kerajaan Belanda dikeluarkan untuk mendukung
misionaris Kristen di Indonesia. Pada tahun 1810, Raja William I dari Belanda
mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa para misionaris akan diutus ke
Indonesia oleh dan atas biaya pemerintah. Pada 1835 dan 1840, ada dekrit lain
yang dikeluarkan, yang menyatakan bahwa administrasi gereja di Hindia Belanda
ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial. Pada
104 Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan, (Jakarta: IPS, 1998), hal.299-
300. 105 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985, hal.26.
98 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan, yang mencerminkan bahwa kedua badan di
atas saling berkaitan. Dekrit itu menyebutkan bahwa administrasi gereja antara
lain berfungsi mempertahankan doktrin agama Kristen. Karena itu, sejumlah
fasilitas diberikan kepada para misionaris, termasuk subsidi pembangunan gereja,
biaya pulang pergi misionaris Indonesia-Belanda, dan pembayaran gaji para
pendeta, disamping subsidi untuk sekolah, rumah sakit, dan rumah yatim-piatu,
serta berbagai keringanan pajak. Pada tahun 1888, Menteri Urusan Kolonial,
Keuchenis, menyatakan dukungannya terhadap semua organisasi misionaris dan
menyerukan agar mereka menggalang kerjasama dengan pemerintah Belanda
untuk memperluas pengaruh Kristen dan membatasi pengaruh Islam. J.T.
Cremer, Menteri untuk Urusan Kolonial lain, dengan semangat yang sama, juga
menganjurkan agar kegiatan-kegiatan misionaris dibantu, karena hal itu -- dalam
pandangannya -- akan melahirkan "peradaban, kesejahteraan, keamanan, dan
keteraturan.106
Pada 1901, Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen, ditunjuk sebagai
Perdana Menteri, menyusul kekalahan Partai Liberal oleh koalisi partai-partai
kanan dan agama. Alexander Idenburg, yang di masa mudanya pernah bercita-
cita sebagai misionaris, mengambil alih kantor pemerintah kolonial. Kebijakan
selama 50 tahun yang kurang lebih bersifat "netral agama" diubah menjadi
kebijakan yang secara terang-terangan mendukung misi Kristen. Berbagai subsidi
terhadap sekolah Kristen dan lembaga misi yang semua ditolakkarena
dikhawatirkan memancing reaksi keras kaum Muslim, mulai diberikan secara
besar-besaran. Kebijakan ini menunjukkan bahwa netralitas dalam agama adalah
ilusi belaka. Idenburg yang menjabat Gubernur Jenderal dari 1906-1916, terang-
terangan menyatakan dukungannya terhadap kegiatan misi di Indonesia. Dalam
salah satu laporannya kepada pemerintah pusat, ia mengatakan, "Saya cukup
sibuk dengan Kristenisasi atas daerah-daerah pedalaman." Bagi pemerintah
kolonial, ancaman dari mereka yang sudah masuk Kristen akan lebih kecil
dibandingkan dari kaum Muslim, karena kaum Kristen lebih dapat diajak
kerjasama. Tujuan pemerintah kolonial dan misionaris dapat dikerjasamakan. Di
satu pihak, pemeritah kolonial memandang koloni mereka sebagai tempat
mengeruk keuntungan finansial. Di sisi lain, misionaris memandang koloni
mereka sebagai tempat yang diberikan Tuhan untuk memperluas "Kerajaan
Tuhan".
106Alwi Shihab, op.cit., hal.147
99 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Kaum Kristen biasanya merujuk kepada sejumlah ayat dalam Bibel sebagai
legitimasi kewajiban menjalankan misi Kristen kepada bangsa-bangsa non-
Kristen. Kitab Markus, 16:15, misalnya, menyerukan: ‗Pergilah ke seluruh dunia
dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk.‗‗ Maka, baik Kristen Protestan
maupun Katolik di Indonesia, sama-sama menegaskan, bahwa misi Kristen
harus tetap dijalankan. Dari kalangan Protestan, Ketua Umum Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia (PGI), Dr. AA Yewangoe, menegaskan: ―Setiap agama
mengklaim diri sebagai yang mempunyai misi dari Tuhan, yang mesti diteruskan
kepada manusia.
Klaim ini adalah klaim imaniah yang tidak dapat diganggu gugat. Memang,
tidak dapat dibayangkan sebuah agama tanpa misi, sebab dengan demikian, tidak
mungkin agama itu eksis. Agama tanpa misi bukanlah agama… Tanpa misi,
gereja bukan lagi gereja. Meskipun begitu, Yewangoe mengimbau agar misi
Kristen dilakukan cara-cara yang santun, dan menyesuaikan dengan kondisi
masyarakat. Ia, misalnya, tidak setuju dengan penggunaan cara mendatangi
rumah orang Islam dan mengajak orang Islam masuk Kristen. (Suara Pembaruan,
26/12/2005).
Tahun 1962, H. Berkhof dan I.H. Enklaar, menulis buku berjudul Sedjarah
Geredja, (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1962), yang menggariskan urgensi
dan strategi menjelankan misi Kristen di Indonesia. Berikut ini ungkapan
mereka:
―Boleh kita simpulkan, bahwa Indonesia adalah suatu daerah Pekabaran
Indjil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan
bibit Firman Tuhan. Djumlah orang Kristen Protestan sudah 13 juta lebih, akan
tetapi jangan kita lupa.... di tengah-tengah 150 juta penduduk! Djadi tugas
Sending gereja-gereja muda di benua ini masih amat luas dan berat. Bukan sadja
sisa kaum kafir yang tidak seberapa banyak itu, yang perlu mendengar kabar
kesukaan, tetapi juga kaum Muslimin yang besar, yang merupakan benteng
agama yang sukar sekali dikalahkan oleh pahlawan2 Indjil. Apalagi bukan saja
rakyat djelata, lapisan bawah, yang harus ditaklukkan untuk Kristus, tetapi djuga
dan terutama para pemimpin masjarakat, kaum cendikiawan, golongan atas dan
tengah. Pelaksanaan tugas raksasa itu selajaknya djangan hanya didjalankan
dengan perkataan sadja tetapi djuga dengan perbuatan. Segala usaha Pekabaran
Indjil jang sudah dimulai pada masa lalu, hendaknya dilandjutkan, bahkan harus
ditambah. Penerbitan dan penjiaran kitab2 kini mendapat perhatian istimewa.
Penterdjemahan Alkitab kedalam bahasa daerah oleh ahli2 bahasa Lembaga
100 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Alkitab, yang sudah mendjadi suatu berkat rohani jang tak terkatakan besarnya,
harus terus diusahakan dengan radjin. Perawatan orang sakit tetap mendjadi
suatu djalan jang indah untuk menjatakan belas-kasihan dan pertolongan Tuhan
Jesus terhadap segala jang tjatjat tubuhnya. Pengadjaran dan pendidikan Kristen
pun sekali2 tak boleh diabaikan oleh Geredja… Dengan segala djalan dan daja
upaja ini Geredja Jesus Kristus hendak bergumul untuk merebut djiwa-raga
bangsa Indonesia dari tjengkeraman kegelapan rohani dan djasmani, supaja
djalan keselamatan jang satu2nya dapat dikenal dan ditempuh oleh segenap
rakYat.107
Dalam buku Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (1964), tokoh Kristen Dr.
W.B. Sidjabat menulis bab khusus tentang tantangan Islam Bagi Misi Kristen di
Indonesia: ―Saudara2, kenjataan2 jang saja telah paparkan ini telah
menundjukkan adanya suatu tantangan jang hebat sekali untuk ummat
Kristen… Dalam hubungan ini saja hendak menundjukkan kepada ummat
Kristen bahwa sekarang ini djumlah jang menunggu2 Indjil Kristus Jesus djauh
lebih banyak daripada djumlah jang dihadapi oleh Rasul2 pada abad pertama
tarich Masehi…Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus
menghadapi ‗challenge‘ Islam di negara gugusan ini… Seluruhnya ini
menundjukkan bahwa pertemuan Indjil dengan Islam dalam bidang-tjakup jang
lebih luas sudah dimulai. Saja bilang ‗dimulai‘, bukan dengan melupakan
Pekabaran Indjil kepada ummat Islam sedjak abad jang ketudjuh, melainkan
karena kalau kita perhatikan dengan seksama maka konfrontasi Indjil dan
Agama2 didunia ini dalam bidang-tjakup jang seluas2nya, dan dalam hal ini
dengan Islam, barulah ‗dimulai‘ dewasa ini setjara mendalam. Dan bagi orang2
jang berkejakinan atas kuasa Allah Bapa, jesus Kristus dan Roch Kudus, setiap
konfrontasi seperti ini akan selalu dipandangnja sebagai undangan untuk turut
mengerahkan djiwa dan raga memenuhi tugas demi kemuliaan Allah. 108
Di kalangan Katolik, misi Kristen juga sangat ditekankan, meskipun pasca
Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mengubah doktrin eksklusifnya menjadi
doktrin (teologi) inklusif. Semula, Gereja menganut doktrin ‟extra ecclesiam nulla
salus‟ (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Kemudian Konsili Vatikan II (1962-
1965), menetapkan satu dokumen Nostra Aetate yang bersifat cukup simpatik
terhadap Islam:
107 H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sedjarah Geredja, (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1962), hal.276-277. 108 W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, (Badan Penerbit Kristen, 1964), hal.133-135.
101 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
―Dengan penghargaan, Gereja memandang juga kepada umat Islam, yang
menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan
Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi… Mengingat bahwa dalam peredaran
jaman, telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara orang
Kristen dan Islam, maka Konsili Suci mengajak semua pihak untuk melupakan
yang sudah-sudah, dan mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan
melindungi lagi memajukan bersama-sama keadilan sosial, nilai-nilai moral serta
perdamaian dan kebebasan untuk semua orang.109
Dalam buku Kuliah Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum juga
dinyatakan bahwa hal yang mempersatukan orang Katolik dengan orang Islam
adalah bahwa di dalam Islam, Kristus tidak dilawan sedangkan Kristus
mengatakan: ―Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita. (Markus
9:40). Dalam dokumen Terang Bangsa-bangsa disebutkan:
―Namun rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui
Sang Pencipta, di antara mereka terdapat terutama kaum Muslimin, yang
menyatakan, bahwa mereka berpegang kepada iman Abraham, dan bersama kita
bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan
menghakimi manusia pada hari kiamat. Pun juga dari umat lain yang mencari
Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran tidak jauhlah Allah
karena Ia memberi semua kehidupan dan nafas dan segalanya (Lihat Kisah
17:25-28) dan sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (Lihat
1 Tim 2:4). Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta
Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah dan berkat pengaruh rahmat
berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati
dengan perbuatan nyata dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan
ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan
kepada mereka yang tanpa bersama belum sampai pada pengetahuan yang jelas
tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang
benar. Sebab apapun yang baik dan benar yang terdapat pada mereka, oleh
Gereja dipandang sebagai persiapan Injil dan sebagai karunia Dia, yang
menerangi setiap orang supaya akhirnya memperoleh kehidupan.(Terang
Bangsa-bangsa, no. 16). Tetapi, pada saat yang sama, dalam Konsili Vatikan II
juga ditetapkan satu Dekrit “ad gentes” yang mewajibkan aktivitas misi Katolik ke
109Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II (Oleh Dr. J. Riberu), Jakarta, Dokpen
MAWI, 1983, hal.289. Naskah dalam bahasa Inggris bisa dilihat: Abbot, Walter M. (gen.ed.), The Documents of Vatican II, (America Press, 1966).
102 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
seluruh umat manusia. Pada dokumen Ad Gentes, Konsili tetap menekankan
kewajiban melakukan pembaptisan pada seluruh umat manusia. Jadi, pada satu
sisi, Gereja Katolik mendeklarasikan bahwa kebenaran dan keselamatan dapat
diraih bukan hanya pada dan dengan Gereja Katolik, bahwa penyelamatan Jesus
adalah untuk semua manusia, bukan hanya untuk kaum Kristen saja. Bahkan,
Paus Yohannes Paulus II, dalam Redemptor Hominis (1979), mendeklarasikan:
“Man – every man without exception whatever – has been redeemed by Christ, … because
with man – with each man without any exception whatever – Christ is in a way united, even
when man is unaware of it.” 110
Tetapi, pada saat yang sama, Konsili juga menekankan kewajiban aksi misi
Kristen. Dalam dokumen ―The Decree on the Missionary Activity of the Church (ad
gentes), disebutkan: „The Church has been divinely sent to all nations that she might be “the
universal sacrament of salvation”, dan “to proclaim the gospel to all men”. 111 Dokumen
Ad Gentes juga mendesak:
“This missionary activity derives its reason from the will of God, who wishes all men to
be saved and to come to the knowledge of the truth. For there is one God, and one mediator
between God and men, Himself a man, Jesus Christ, who gave Himself as a ransom for all"
(1 Tim. 2:4-6), "neither is there salvation in any other" (Acts 4:12). Therefore, all must be
converted to Him, made known by the Church's preaching, and all must be incorporated into
Him by baptism and into the Church which is His body… And hence missionary activity
today as always retains its power and necessity.” (Landasan karya misioner ini diambil
dari kehendak Allah, Yang menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan
dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara
Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya
sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), dan tidak ada keselamatan
selain Dia (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang
dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja,
yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian… Oleh sebab itu, karya misioner
dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap
diperlukan seutuhnya)112 Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu
KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan
110John Hick, ―The Non-Absoluteness of Christianity‖, dalam John Hick dan Paul F. Knitter, (ed., The
Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religions, (New York: Orbis Book, 1987), hal.21. 111 Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal.585. 112 Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal.593. Naskah terjemah di kutip dari
Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal.377-478.
103 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam
Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan 8 Desember 1975. Di
katakan dalam dokumen ini:
―Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia
yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen
semuanya penuh dengan ‗benih-benih Sabda‘ yang tak terbilang jumlahnya dan
dapat merupakan suatu persiapan bagi Injil yang benar... Kami mau
menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan
maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya
masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk
tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya
Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan
misteri Kristus.
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris Missio
(Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus
Yohanes Paulus II mengatakan: ―Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang
dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa
Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu
pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas
perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita
sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan
kepada para bangsa (Ad Gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini
tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan
pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang
datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya
dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan
yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya
kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah
merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya
merupakan tanda krisis iman. Jadi, misi Kristen untuk mewartakan Kristus
kepada umat Islam dan agama-agama lain, adalah ajaran pokok dalam Gereja.
Karena itu, kaum Kristen merasa wajib menjalankan perintah itu, dengan cara
apa pun, sesuai situasi dan kondisi; ada yang secara terang-terangan membagi-
bagikan Bibel kepada umat Islam, melakukan manipulasi dengan penerbitan
104 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
buku-buku Kristen berkedok Islam, melalui cara pelayanan sosial, dengan cara
menujukkan keteladanan, dan sebagainya.113
Masalah Kristenisasi adalah problem riil yang ada di Indonesia. Tidak
perlu ditutup-tutupi dan disembunyikan di bawah karpet‗. Semuanya jelas,
sebagaimana kewajiban dakwah bagi kaum Muslim. Masalah ini perlu dikaji
secara akademis, secara ilmiah, agar diperoleh gambaran yang komprehensif dan
proporsional. Apalagi, sejak dulu, kaum misionaris Kristen sudah menyadari dan
merasakan, bagaimana beratnya melaksanakan tugas misinya ke dunia Islam.
Jurnal Misi Kristen The Moslem World edisi Oktober 1946 mengutip ungkapan J.
Christy Wilson, seorang Misionaris Kristen: “Evangelism for Mohammedans is
probably the most difficult of all missionary tasks.”
Indonesia, yang dikenal sebagai sebuah negeri muslim terbesar di dunia,
tentu saja menjadi target dari misi Kristen. Penduduk Indonesia kini sekitar 210
juta jiwa. Data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 1990 yang
dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan prosentase umat beragama di
Indonesia sebagai berikut: Islam (87,2%), Kristen Protestan (6,0%), Katolik
(3,6%), Hindu (1,8%), Budha (1,0%), lain-lain (0,3%). Merujuk pada prosentase
itu, maka jumlah umat Islam Indonesia kini mencapai 183,12 juta jiwa.
Namun, kaum Kristen menolak jumlah tersebut. Menurut Ketua
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Dr. Yewangoe, jumlah orang Protestan
sudah mencapai lebih dari 20 persen (40 juta jiwa lebih). Data ini juga diperkuat
oleh Global Evangelization Movement Database, yang menyatakan, jumlah
orang Kristen di Indonesia sudah mencapai angka spektakuler, yaitu lebih dari
40 juta jiwa.114
113Sebuah metode menjalankan misi Kristen yang ‗agak berbeda‘ dari yang lain, dijelaskan oleh Prof.
Frans Magnis Suseno, dengan menyatakan: ―Tidak perlu kita sembunyikan bahwa agama Kristen adalah agama misionaris, sama seperti agama Islam. Kita tahu diri diutus oleh Yesus untuk menjadi saksi-Nya sampai ke batas dunia. Itu yang dimaksud dengan istilah ―agama universal‖. Akan tetapi, sifat ―misionaris‖ tidak berarti bahwa kita menganggu orang yang beragama lain. Kadang-kadang saudara-saudara kita dari umat-umat beragama lain mengkhawatirkan apa yang mereka sebut sebagai ―kristenisasi‖. Namun memberikan kesaksian itu lain sama sekali daripada ―mengkristenkan‖. Kata ―kristenisasi‖ memberikan kesan bahwa ada orang yang diperlakukan sebagai objek. Akan tetapi kita tidak mengkristenkan siapa-siapa. Yesus sendiri tidak pernah mendesakkan diri pada orang lain, ia selalu menghormati suara hati setiap orang.‘‘ (Lihat, Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Obor, 2004), hal.65).
114 Victor Silaen dkk., Gereja dan Reformasi, (Jakarta: Yakoma PGI, 1999), dan majalah Kristen BAHANA,
September 2002). Dalam tulisannya, Yewangoe mengatakan: ―Saya sendiri tidak percaya statistik itu. Masa dalam sekian tahun tidak pernah jumlah orang Kristen bertambah, padahal kita tahu betul bahwa di banyak tempat terjadi baptisan-baptisan masal. Kalau sungguh-sungguh jujur, sebaiknya diadakan sensus dengan cara yang terbuka pula. Saya menaksir jumlah orang Kristen di Indonesia sekarang ini antara 16-17%, kalau lebih optimis 20%. Malah bisa lebih. Agar kita mempunyai "counter data", sebaiknya gereja-gereja mengadakan sensus sendiri, lalu
105 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Jadi, meskipun agama Kristen sendiri menghadapi masalah yang sangat
serius dari hegemoni peradaban Barat, tetapi mereka tetap menjadikan kaum
non-Kristen sebagai target dan sasaran gerakan misi Kristen.
data-data itu dikirim kepada Balitbang PGI. Kalau kita punya data-data yang akurat, maka kita dapat menolak penyajian data yang tidak tepat yang dilakukan oleh lembaga apa saja. Tetapi memang persentase yang kecil itu dengan sengaja dikemukakan berulang-ulang agar kita dirasuki "sikap mental minoritas".
106 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB VIII
THE CLASH OF CILVIZATION
“Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it
has done at least twice.”(Huntington)
Pasca runtuhnya komunisme, wacana ―Islam-Barat‖115 kembali mencuat
dan memicu perdebatan luas dan tajam di berbagai belahan dunia. Kebijakan
politik negara-negara Barat yang sebelumnya menempatkan komunisme sebagai
musuh utama, mulai mencari bentuk baru, dan mengarahkan ―musuh utama‖
kepada Islam. Diskusi-diskusi tentang ―ancaman Islam‖ atau ―bahaya Islam‖
(Islamic Threat) bermunculan di media massa. Para ilmuwan Barat sendiri
berdebat keras tentang wacana ini. Hanya saja, pada awal dekade 1990-an,
seorang ilmuwan politik dari Harvard, Samuel P. Huntington menjadi sangat
terkenal dengan mempopulerkan wacana ―the clash of civilizations‖ (benturan
antar peradaban). Sebab, melalui bukunya, The Clash of Civilizations and the
Remaking of World Order (1996), Huntington mengarahkan Barat untuk
memberikan perhatian khusus kepada Islam. Menurutnya, di antara berbagai
peradaban besar yang masih eksis hingga kini, hanya Islamlah satu-satunya
peradaban yang berpotensi besar menggoncang peradaban Barat, sebagaimana
dibuktikan dalam sejarah. Di antara berbagai tawaran alternatif hubungan Islam-
Barat, tema ―clash of civilizations‖ kemudian menjadi yang paling populer dan
menjadi kenyataan dalam kebijakan politik internasional.
Tahun 1998, Presiden Iran sempat mengajukan tema ―dialog peradaban‖
(dialogue among civilizations) ketimbang “clash among civilizations”, dan disambut
secara luas di dunia internasional. Tetapi, gagasan alternatif Khatami ini
kemudian memudar menyusul terjadinya peristiwa WTC 11 September 2001.
Lalu, menyusul kemudian serangan AS atas Afghanistan dan Irak. Proyek besar-
besaran AS untuk menjadikan agenda “Perang Melawan Terorisme” sebagai agenda
utama dalam politik internasional, terbukti kemudian lebih diarahkan untuk
mengejar apa yang mereka sebut sebagai “Teroris Islam” yang mereka nilai
membahayakan kepentingan Barat, dan AS khususnya. Perkembangan politik
internasional kemudian seperti bergerak menuju ―tesis‖ benturan peradaban
115 - Lihat Adian Husaini, The Clash of Civilizations, dalam Tasawwur Islam, Singapura : Darul Andalus,2012.
107 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
yang dipopulerkan Huntington. Dunia diseret untuk terbelah menjadi dua kutub
utama: Barat dan Islam. Barat dicitrakan sebagai pemburu teroris, sedangkan
Islam adalah teroris atau yang pro-teroris. Mengapa bisa demikian?
Seperti ditekankan Huntington, saat berdialog dengan Anthony Giddden,
pada late spring 2003, bahwa militan Islam adalah ancaman terhadap Barat. Kata
Huntington, harus dibedakan antara Islam militan dengan Islam secara umum.
Islam militan adalah ancaman nyata terhadap Barat. (We must distinguish between
militant Islam and Islam in general, but militant Islam is clearly a threat to the West-through
terrorists and rogue states that are trying to develop nuclear weapons, and through a variety of
other ways).
Wacana benturan peradaban antara Islam dengan Barat, pasca Tragedi
WTC, 11 September 2001, semakin menghangat. Huntington mengklaim, bahwa
peristiwa itu menunjukkan kebenaran dari apa yang selama ini dipopulerkannya
tentang konflik peradaban. Dalam tulisannya di Majalah Newsweek Special Davos
Edition (2001) yang berjudul “The Age of Muslim Wars”, Huntington mencatat:
“The making of a possible “clash of civilization” are present.” Ia juga menyebut:
“Contemporary global politics is the age of Muslim wars”. Sebuah kesimpulan yang
sebenarnya sangat terburu-buru, karena hanya didukung data-data kuantitatif
yang sederhana. Huntington misalnya, menunjuk fakta bahwa frekuensi
peperangan kaum Muslim yang berperang satu sama lain atau perang melawan
non-Muslim, jauh lebih banyak dibandingkan masyarakat dalam peradaban lain.
―Peristiwa-peristiwa kekerasan Muslim itu dapat mengkristal menjadi suatu
konflik peradaban utama antara Islam dengan Barat atau selain Barat,‖ tulis
Huntington.
Tulisan Huntington di Newsweek itu meneguhkan kembali tesis lamanya
(clash of civilizations), di mana ia menekankan, bahwa konflik antara Islam dan
Kristen – baik Kristen Ortodoks maupun Kristen Barat -- adalah konflik yang
sebenarnya. Sedangkan konflik antara Kapitalis dan Marxis, hanyalah konflik
yang sesaat dan superfisial. "The twentieth-century conflict between liberal democracy and
Marxist-Leninism is only a fleeting and superficial historical phenomenon compared to the
continuing and deeply conflictual relation between Islam and Christianity." 116
Data kuantitatif yang dipaparkan Huntington, tentang banyaknya konflik
yang melibatkan, memang sebuah fakta. Tetapi, Huntington tidak menyebut,
116 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York:
Touchtone Books, 1996), hal.209.
108 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
mengapa kaum Muslim itu terlibat konflik, dan darah siapakah yang banyak
tertumpah? Darah kaum Muslimkah atau justru kaum Muslim yang banyak
menjadi korban pembantaian di mana-mana? Analisis model Huntington
semacam ini yang tidak menonjolkan peran Barat sebagai akar dan sebab dari
berbagai konflik di dunia internasional muncul karena posisi Huntington sebagai
penasehat politik luar negeri AS dan menujukan analisisnya sebagai bahan
pengambilan kebijakan politik luar negeri negara adidaya itu. Dalam dialog
dengan Anthony Giddens tersebut, Huntington menyebut data dari Majalah The
Economist, yang memaparkan, bahwa dari 32 konflik besar yang terjadi pada
tahun 2000, lebih dari dua pertiganya adalah konflik antara Muslim dengan non-
Muslims. Karena itu, kata Huntington, Eropa dan Amerika perlu menerapkan
strategi bersama untuk menghadapi ancaman-ancaman terhadap masyarakat dan
keamanan mereka dari militan Islam. (Hence it seems to me a high priority for Europe
and America is to recognize what they have in common and to try to work out a common
strategy for dealing with the threats to their society and security from militant Islam). Ia
menekankan perlunya dilakukan preemptive-strike (serangan dini) terhadap
ancaman dari kaum militan Islam itu. Kata Huntington: ―Saya perlu
menambahkan bahwa satu strategi yang memungkinkan dilakukannya serangan
dini terhadap ancaman serius dan mendesak adalah sangat penting bagi AS dan
kekuatan-kekuatan Barat pada saat ini. Musuh kita yang utama adalah Islam
militan. (I would add that a strategy which allows for preemptive war against urgent,
immediate and serious threats is absolutely essential for the US and other Western powers in
this period. Our enemies-primarily the militant Islam).
Nasehat Huntington itu terbukti efektif, dan telah diaplikasikan oleh
pemerintah AS. Pada awal Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan
defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Harian
Kompas, (14 Juni 2002), menulis tajuk rencana berjudul ―AS Kembangkan
Doktrin Ofensif, Implikasinya Luas‖. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini,
AS telah mengubah secara radikal pola ―peperangan‖ melawan ―musuh‖.
Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS
menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini
menghadapi musuh baru – yang diberi nama teroris – AS menggunakan pola
preemptive strike dan defensive intervention. ―Meski metode containtment dan
deterrence tidak akan dihapus, strategi preemptive attack dan defensive
intervention pertama-tama akan digunakan untuk menghadapi kaum teroris atau
negara-negara musuh, yang memiliki senjata kimia, biologis, dan nuklir. Dengan
109 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
doktrin keamanan yang baru itu, AS akan merasa leluasa menyerang orang atau
organisasi yang dipersepsikan sebagai teroris, atau negara yang dipersepsikan
sebagai musuh yang memiliki senjata berbahaya seperti senjata kimia, biologis,
atau nuklir,‖ demikian tulis Kompas. Dalam bahasa yang lebih lugas, doktrin
―serangan dini‖ ini ibarat ―membunuh tikus di lobangnya‖. Jadi, tidak
membiarkan dan memberi kesempatan tikus untuk berkembang dan menyerang.
Dari kasus doktrin “preemptive strike” ini tampak bagaimana pola pikir
―bahaya Islam‖ yang dikembangkan ilmuwan –dan sekaligus penasehat politik
Barat– seperti Huntington, berjalan cukup efektif. Dengan doktrin itu, AS dapat
melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, yang dikehendaki, meskipun
tanpa melalui persetujuan atau mandat PBB. Pola pikir Huntington, bahwa
―Islam‖ lebih berbahaya dari ―komunis‖ juga tampak mewarnai kebijakan politik
dan militer AS tersebut. Padahal, jika dipikirkan dengan serius, manakah yang
lebih hebat kekuatannya, apakah Osama bin Laden atau Uni Soviet? Mengapa
untuk menghadapi negara adikuasa yang memiliki kekuatan persenjataan hebat
setanding dengan AS, hanya digunakan kebijakan “containtment” dan “deterrence”,
sedangkan untuk menghadapi – istilah Huntington –―militan Islam‖ harus
digunakan strategi “preemptive strike?” Bahkan, saat melawan Uni Soviet dan
sekutu-sekutunya yang memiliki persenjataan dan tentara sebanding dengan AS
dan sekutu-sekutunya, hanya digunakan istilah ―Perang Dingin‖ (Cold War).
Sedangkan untuk menghadapi ―Islam militan‖ yang tidak memiliki persenjataan
dan negara seperti Uni Soviet dan kawan-kawan, digunakan istilah ―Perang‖
(War) tanpa ‖Dingin‖.
Di sini tampak, bahwa ―Ancaman Islam‖ secara fisik – bukan dari segi
pemikiran dan budaya -- telah dimitoskan oleh para ilmuwan garis keras seperti
Huntington, sehingga gejala paranoid terhadap Islam dan kaum Muslim, tampak
dalam berbagai kebijakan negara-negara Barat. Sikap Islamofobia merebak
dengan mudah di kalangan masyarakat Barat. Pasca peristiwa 11 September
2001, gejala ini makin menjadi-jadi. Masalahnya bukanlah terletak pada aspek
kajian ilmiah yang fair dan adil, tetapi kajian dan analisis yang memunculkan
―Islam militan sebagai musuh utama Barat, dimanfaatkan untuk memberikan
legitimasi berbagai kebijakan politik dan militer AS dan negara-negara Barat
lainnya, yang ujungnya adalah mengejar kepentingan-kepentingan (interests)
politik, ekonomi, dan sebagainya, dengan menggunakan jargon-jargon
demokrasi, liberalisasi, dan Hak Asasi Manusia.
110 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Memang, dalam buku The Clash of Civilizations… Huntington sudah
memaparkan dengan cukup gamblang bagaimana sejarah, perjalanan, dan masa
depan hubungan Islam dan Barat. Islam dan Barat adalah dua peradaban yang
memang berbeda secara fundamental. Di samping, tentu saja, banyak persamaan
antara keduanya. Huntington menekankan, bahwa Barat adalah peradaban yang
unik, yang berbeda dengan peradaban lain, yang memiliki unsur-unsur yang unik
pula, seperti Kristen, pluralisme, dan individualisme. Ia menulis: “The West differs
from other civilizations not in the way it has developed but in the distinctive character of its
values and institutions. These include most notably its Christianity, pluralism, individualism,
and rule of law, which made it possible for the West to invent modernity, expand throughout
the world, and become the envy of other societies.‖117
Karena itu, Huntington mengkritik orang-orang Barat yang menganggap
bahwa antara Islam dan Barat tidak memiliki persoalan, kecuali dengan
kelompok Islam ekstrim.
Menurut Huntington: “Fourteen hundred years of history demonstrate otherwise.
The relation between Islam and Christianity, both Orthodox and Western, have often been
stormy.” Mengutip Bernard Lewis, Huntington mencatat: “For almost a thousand
years, from the first Moorish landing in Spain to the second Turkish siege of Vienna in 1529,
Europe was under constant threat from Islam.” Karena itu, tulisnya, Islam adalah satu-
satunya peradaban yang telah menempatkan keselamatan Barat dalam keraguan,
setidaknya dua kali dalam sejarah. (Islam is the only civilization which has put the
survival of the West in doubt, and it has done at least twice).118
Pernyataan Huntington ini secara umum menggambarkan betapa Barat
perlu mewaspadai kebangkitan Islam, sebab hanya Islamlah satu-satunya
peradaban yang pernah mengancam eksistensi Barat. Ini agak berbeda dengan
pernyataannya, yang seolah-olah hanya Islam militan saja yang perlu diwaspadai
Barat. Itulah pernyataan yang disampaikannya saat berdialog dengan Anthony
Giddens: ―We must distinguish between militant Islam and Islam in general, but militant
Islam is clearly a threat to the West-through terrorists and rogue states that are trying to
develop nuclear weapons, and through a variety of other ways.”
Dalam bukunya, The Clash of Civilization,,, Huntington pun menyebutkan,
bahwa pada penghujung abad ke-20, berbagai faktor telah meningkatkan konflik
antara Islam dengan Barat. Diantaranya ialah: Pertama, pertumbuhan penduduk
117 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations…, hal.311. 118 -Huntington, The Clash of Civilization … hal.209-210.
111 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Muslim yang cepat telah memunculkan pengangguran dalam jumlah besar,
sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan kaum muda Muslim. Kedua,
Kebangkitan Islam (Islamic Resurgence) telah memberikan keyakinan baru kepada
kaum Muslim akan keistimewaan dan ketinggian nilai dan peradaban Islam,
dibanding nilai dan peradaban Barat. Ketiga, secara bersamaan, Barat berusaha
mengglobalkan nilai dan institusinya, untuk menjaga superior militer dan
ekonominya, dan turut campur dalam konflik di dunia Muslim. Hal ini telah
memicu kemarahan diantara kaum Muslim. Keempat, runtuhnya komunisme telah
menggeser musuh bersama di antara Islam dan Barat dan masing-masing merasa
sebagai ancaman utama bagi yang lain. Kelima, meningkatnya interaksi antara
Muslim dan Barat telah mendorong perasaan baru pada masing-masing pihak
akan identitas mereka sendiri, dan bahwa mereka berbeda dengan yang lain.
Bahkan, papar Huntington, dalam kedua masyarakat – Islam dan Barat – sikap
toleran terhadap yang lain telah merosot tajam pada dekade 1980-an dan 1990-
an. 119
―Langgengnya‖ konflik antara Islam dan Barat, lanjut Huntington,
disebabkan adanya perbedaan hakekat dari Islam dan Barat serta peradaban yang
dibangun atas dasar keduanya. Pada satu sisi, konflik antara Islam dan Barat,
merupakan produk dari perbedaan, terutama konsep Muslim yang memandang
Islam sebagai ―way of life‖ yang menyatukan agama dan politik. Konsep ini
bertentangan dengan konsep Kristen tentang pemisahan kekuasaan Tuhan dan
kekuasaan Raja (sekularisme). Pada sisi lain, konflik itu juga merupakan produk
dari persamaan. Keduanya merasa sebagai agama yang benar; keduanya sama-
sama agama misionaris yang mewajibkan pengikutnya untuk mengajak ―orang
kafir‖ agar mengikuti ajaran yang dianutnya; Islam disebarkan dengan
penaklukan-penaklukan wilayah dan Kristen pun juga demikian; keduanya juga
mempunyai konsep ―jihad‖ dan “crusade” sebagai perang suci. 120
Sikap Muslim terhadap Barat, lanjut Huntington, juga cenderung melihat
Barat sebagai ancaman. Mohammed Sid-Ahmed, seorang wartawan terkemuka
Mesir, mencatat, ―Tidak diragukan lagi, kini sedang terjadi benturan (clash) yang
semakin membesar antara Etik Judheo-Kristen Barat dengan gerakan
kebangkitan Islam, yang kini membentang dari Samudera Atlantik di sisi Barat
sampai Cina di sisi Timur.‖ Tahun 1992, seorang tokoh Islam India menyatakan,
119 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations…, hal.211-212. 120 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations…, hal.210-211.
112 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
―Dapat dipastikan, konfrontasi terhadap Barat akan datang dari dunia Islam.
Dan itu adalah perjalanan dunia Islam, dari Maroko sampai Pakistan, bahwa
perjuangan menuju pembentukan Tata Dunia Baru akan dimulai.‖ Tetapi,
seperti dinyatakan seorang lawyer Tunisia, perjuangan itu sedang berlangsung.
―Kolonialisme mencoba meruntuhkan seluruh tradisi kultural Islam. Saya bukan
seorang Islamis. Saya tidak berpikir apa yang terjadi adalah konflik antar-agama,
tetapi yang terjadi adalah konflik antar-peradaban,‖ ujarnya seperti dikutip
Huntington. Di mata Muslim, yang moderat sekali pun, Barat bukanlah hal yang
harus dicontoh. Di masa lalu, kata Huntington, hampir tidak ada pemimpin
Muslim yang menyatakan, “We must westernize.” Ia mencontohkan buku Islam and
Democracy karya seorang feminis asal Maroko Fatimah Mernisi yang oleh Barat
dipuji sebagai karya modern dan liberal. Di berbagai bagian buku itu, Barat tetap
digambarkan sebagai “militeristik”, “imperialistik”, dan menimbulkan trauma bagi
negara lain melalui ―teror kolonial‖. Individualisme, yang menjadi simbol utama
budaya Barat, adalah sumber dari seluruh persoalan. 121
Dengan cara pandang Huntington seperti itu, bisa dipahami, bagaimana
sensitifnya Barat dalam melihat perkembangan dunia Islam, dalam berbagai
bidang. Sikap Barat yang begitu sengit terhadap program nuklir dan senjata-
senjata berat di dunia Islam, dibandingkan dengan isu nuklir di negara Yahudi
atau komunis, menunjukkan, sensitivitas yang sangat tinggi terhadap dunia
Islam. Maka, logis, jika seorang Huntington jauh-jauh hari mengingatkan Barat
agar mewaspadai Dunia Islam, termasuk perkembangan ekonominya, khususnya
yang berpotensi menggoyang dominasi Barat.
Tahun 1996, Huntington mengingatkan Barat: “If Malaysia and Indonesia
continue their economic progress, they might provide an “Islamic model” for development to
compete with the Western and Asian Models”. Huntington membuat ramalan, bahwa
jika pada dekade-dekade mendatang, pertumbuhan ekonomi Asia akan
memberikan afek yang besar terhadap tatanan internasional yang didominasi
Barat, dengan pertumbuhan Cina. Jika proses ini berlanjut, maka akan terjadi
pergeseran besar dalam soal ―power‖ di antara peradaban-peradaban. Sementara
itu, pertumbuhan penduduk Muslin akan merupakan kekuatan destabilisasi, baik
bagi masyarakat Muslim maupun tetangga-tetangga mereka. Jumlah besar
generasi muda Islam yang berpendidikan menengah, akan memperkuat
kebangkitan Islam dan mempromosikan militansi Islam, militerisme, dan
imigrasi. Sebagai hasilnya, maka pada awal abad ke-21, tampaknya akan
121 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations…, hal.213-214.
113 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
menyaksikan kebangkitan kekuatan non-Barat dan benturan (clash) antara
peradaban non-Barat dengan peradaban Barat, atau antar peradaban non-Barat.
(In any event, during the coming decades Asian economic growth will have deeply destabilizing
effects on the Western-dominated established international order, with the development of
China, if it continus, producing massive shift in power among civilizations…Meanwhile
Muslim population growth will be a destabilizing force for both Muslim societies and their
neighbours. The large number of young people with secondary educations will continue to power
Islamic Resurgence and promote Muslim militancy, militarism, and imigration. As a result,
the early years of the twenty-first century are likely to see an ongoing resurgence of non-Western
power and culture and the clash of the peoples of non-Western civilizations with the West and
with each other). 122
Apa yang menarik dari ungkapan Huntington tersebut, bukanlah pada soal
nilai ilmiah atau tidaknya pernyataan itu. Tetapi bagaimanana aplikasi dan fakta
yang terjadi di lapangan, menyusul pernyataan itu diluncurkan. Sebab,
Huntington menjadikan bukunya memang lebih sebagai panduan untuk para
pengambil kebijakan. Secara ilmiah, banyak yang bisa dikritik dari pernyataan
tersebut. Misalnya, apa hubungan antara pertumbuhan penduduk Muslim
dengan militansi? Dalam banyak kasus, justru terbukti, banyaknya penduduk
Muslim yang tidak terdidik dan tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, justru
menjadi ajang perusakan moral dan penjauhan mereka dari nilai-nilai Islam. Jika
pernyataan ini dilihat sebagai satu proposal – untuk mencegah militansi Islam di
kalangan generasi muda Muslim -- bisa dipertanyakan, apakah ada hubungan
antara penyebaran berbagai jenis budaya Barat, narkotika, pornografi, terhadap
gerenasi muda Muslim di seluruh dunia? Biasanya, kajian tentang penyebaran
budaya Barat di kalangan kaum Muslim dikaitkan dengan masalah penyebaran
produk ekonomi Barat. 123
122 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations…, hal.121. 123 Dalam era neo-kolonialisme (dominasi politik, ekonomi, dan budaya), “ancaman Islam" bisa diartikan
secara luas, dan buka merupakan soal ideologi semata, tapi juga pasti akan berimbas pada soal ekonomi yang menjadi kepentingan utama kaum Kapitalis. untuk mempertahankan hegemoni ekonominya. Seorang Muslim “modern”, sekuler, atau yang telah ter-Barat-kan (Westernized) akan lebih mudah mengkonsumsi produk-produk Barat seperti film, kosmetik, dan berbagai produk dunia mode. Menurut sosiolog Iran Ali Syariati, “Tujuan dari alternatif ini (perluasan pasar. Pen.) bukanlah kekerasan, melainkan mengatur terjadinya perubahan mendasar; yaitu mengubah nilai-nilai agar kehadiran “shampo”, “kemeja”, “lipstik”, dapat diterima. Masyarakat musti dimodernisasi secara menyeluruh. Dan apabila sudah dimodernisasi, mereka dengan senang hati akan menelan apa pun yang ditawarkan kepada mereka. Akhirnya tibalah saat dimana semua penduduk asli menjadi “beradab”. Inilah saat kelahiran penindasan budaya. Bagaimana cara mengubah penduduk asli menjadi modern? Para industrialis musti memisahkan dari keyakinan agama, kebudayaan, dan nilai-nilai mereka yang menentang barang-barang konsumsi dan tatanan baru.” (Ali Syariati, Peranan Cendekiawan Muslim, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1989), hal.21.
114 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Tetapi, di samping wacana politik-ekonomi, Huntington juga membuat
wacana baru yang mengingatkan Barat, bahwa jika gerenasi muda Muslim tidak
―diperhatikan‖ maka mereka akan menjadi militan, dan memperkuat
kebangkitan Islam, yang akan mengancam Barat. Dengan logika tambahan dari
Huntington, bisa dipahami jika kemudian ada program besar-besaran dari
pemerintah Barat tertentu untuk melakukan “Westernisasi”, “sekularisasi”, dan
―liberalisasi‖ di dunia Islam. Itu bisa dilihat, misalnya, dari antusiasme AS dalam
mendukung gerakan-gerakan Liberal Islam di berbagai negara Muslim. Program
westernisasi dilakukan untuk menekan muncul dan tumbuhnya orang-orang atau
kelompok yang dianggap berpotensi menentang Barat. Dengan sifatnya yang
sangat pragmatis-sekularistik, terlepas dari nilai-nilai moral agama, maka standar
yang digunakan Barat akan bersifat sangat fleksibel dan situasional. Di masa
Perang Dingin, misalnya, semua kelompok yang menentang komunisme dan
mendukung kepentingan Barat/AS didukung, meskipun berasal dari kalangan
Islam, seperti kelompok Osama bin Laden. Bahkan, di masa Pasca Perang
Dingin pun, AS tetap memberikan dukungan terhadap rezim Arab Saudi,
meskipun sering disebutkan bahwa Wahabisme yang diterapkan AS adalah
merupakan sumber terorisme. 124
Tidak jelas benar, bagaimana pengaruh paparan Huntington tentang
pertumbuhan ekonomi Islam dan Asia terhadap kebijakan Barat atau AS di
lapangan. Yang pasti, pertengahan tahun 1997, setahun setelah buku The Clash of
Civilization diluncurkan, ekonomi Thailand, Malaysia, dan Indonesia dilanda
124 Pola pendekatan budaya ini tidak banyak berbeda dengan apa yang dilakukan penjajah di zaman
kolonialisme klasik, di mana untuk mengokohkan penjajahannya, pemerintah kolonial memberikan dukungan terhadap gerakan misi Kristen atau penyebaran budaya penjajah kepada penduduk jajahan. Mengutip Encyclopaedie van Nederlandsch Indie I, hal 67, Deliar Noer mencatat, sebagai pihak yang ingin berkuasa di Indonesia, ada dua pandangan yang diungkapkan untuk melestarikan kekuasaan kolonial. Pertama, adalah "asosiasi", yakni bagaimana mengembangkan kebudayaan Barat sehingga diterima sebagai kebudayaan rakyat Indonesia, walaupun tanpa mengesampingkan kebudayaan lokal sendiri. Tujuannya adalah untuk mengikat "jajahan itu lebih erat pada penjajah dengan menyediakan bagi penduduk jajahan itu manfaat-manfaat yang terkandung dalam kebudayaan pihak penjajah dengan menghormati sepenuhnya kebudayaan asal (penduduk)". Pandangan ini dipromosikan oleh Snouck Hurgronje, yang melalui karangannya, Nederland en de Islam, mengatakan, "Pemecahan masalah yang sebenarnya dan satu-satunya yang merupakan pemecahan tentang masalah Islam itu terletak pada asosiasi orang Islam (yang terdapat di dalam jajahan Belanda) dengan orang-orang Belanda." Menurut Hourgronje, pada akhirnya, politik asosiasi itu akan memudahkan pekerjaan misi Kristen. Kedua, adalah "Kristenisasi", yakni bagaimana mengubah agama penduduk, yang Islam maupun yang bukan Islam, menjadi Kristen. Misi (Kristen) itu sendiri berpendapat bahwa bila pandangan pertama (asosiasi) tadi dapat dipenuhi, maka mereka sendiri pun "akan lebih dapat mengusahakan agar mereka lebih diterima penduduk yang dari segi kebudayaan itu telah berasimilasi". Sebaliknya, pertukaran agama penduduk menjadi Kristen, "menguntungkan tanah air (negeri Belanda) pula oleh karena penduduk pribumi, yang mengenal eratnya hubungan agama dengan pemerintahan, setelah masuk Kristen akan menjadi warga-warga loyal lahir batin bagi Kompeni, sebutan yang diberikan kepada administrasi Belanda itu. (Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal.26-27.
115 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
krisis ekonomi yang hebat, dimulai dari anjloknya nilai mata uang. Konon, untuk
menghancurkan perekonomian satu negara, mulailah dari menghancurkan nilai
mata uangnya dulu. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad menuduh
George Soros, seorang Yahudi pemain valas, sebagai aktor utama krisis ekonomi
Asia. Paul Krugman, ekonom terkenal dari MIT, menyebutkan bahwa dalam
krisis Asia, konspirasi dilakukan oleh AS dan sekutunya dengan George Soros,
pemilik Quantum Fund. AS dan sekutunya yang khawatir dengan pertumbuhan
ekonomi Asia mengutus Soros yang punya kompetensi untuk menggoyang
pertumbuhan itu. Indonesia yang menjadi sasaran Soros terbukti tidak berdaya
menghadapi pengurasan devisa akibat kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS. 125
Siapa Huntington? Ilmuwan politik dari Harvard University ini memang
dikenal sebagai penesehat politik kawakan Gedung Putih. Ia menulis bukunya
“The Clash of Civilizations…” – lebih ditujukan sebagai bahan nasehat bagi
pengambil kebijakan politik Barat, khususnya AS, dan bukan untuk satu kajian
ilmiah dalam ilmu sosial. Ia menulis dalam pengantar bukunya: “This book is not
intended to be a work of sosial science. It is instead meant to be an interpretation of the
evolution of global politics after the Cold War. It aspires to present a framework, a paradigm,
for viewing global politics that will be meaningful to scholars and useful to policymakers.” Di
samping itu, penulisan buku ini juga dibiayai oleh John M. Olin Foundation dan
Smith Richardson Foundation. Meskipun jabatan-jabatan prestisius di bidang
akademis pernah disandangnya, Huntington juga aktif terlibat dalam perumusan
kebijakan luar negeri AS. Ia pernah menjabat Ketua “Harvard Academy of
International and Area Studies”, direktur “The Center for International Affairs”, Ketua
“Harvard Academy for International and Area Studies”, dan Ketua “Department of
125 Dikutip dari artikel Atantya H. Mulyanto berjudul “Postulat Krugman, Krisis dan Kasus Bank Bali”, di
Harian Suara Pembaruan, 13 Agustus 1999. Soros membantah keterlibatan dirinya dalam krisis di Indonesia. Namun dalam salah satu tulisannya, Soros membantah bahwa ia mengambil keuntungan dari krisis yang terjadi di Indonesia. Bahkan, ia katakan, The Quantum Funds sempat terpukul berat, karena telah membeli rupiah sekitar 4.000 per dolar atas pemikiran bahwa rupiah telah selamat ketika ia merosot dari 2.430 pada bulan Juli 1997. Ia merosot menjadi 16.000 dalam waktu pendek. “Suatu pengalaman yang sangat memilukan. Saya sudah menyadari sepenuhnya akan korupsi rezim Soeharto, dan saya bersikukuh untuk menjual saham kami di Indonesia dimana anggota keluarga Soeharto memiliki kepentingan besar, sebab saya tidak ingin dihubungkan dengan mereka. Namun, toh kami tidak bisa menghindarkan diri, dengan menderita kerugian besar pada saat keuntungan sudah hampir di tangan,” kata Soros. (George Soros, Krisis Kapitalisme Global, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hal.182. Apapun, faktanya, AS dan IMF memang memiliki peran besar dalam krisis ekonomi di Indonesia. Pada 8 Januari 1998, ketika nilai rupiah anjlok menjadi Rp 10.000 per dolar AS, Presiden Clinton menelepon Presiden Soeharto, agar mau bekerjasama dengan IMF. Clinton juga mengutus wakil Menteri Keuangan Lawrence Summers untuk menemui Soeharto, yang ketika itu enggan menerima saran-saran IMF dan lebih cenderung menerapkan teori CBS-nya Steve Henke. (Tentang Peran IMF dalam krisis ekonomi di Indonesia dan kejatuhan rezim Soeharto, lihat: Fadli Zon, The IMF Game, (Jakarta: IPS, 2004).//
116 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Government”. Tahun 1986-1987 ia menjadi “President of the American Political Science
Association”. Dan pada tahun 1977 dan 1978 ia bekerja di Gedung Putih sebagai
“Coordinator of Security Planning for the National Security Council”. Sejumlah buku
yang telah ditulisnya antara lain: The Soldier and the State: The Theory and Politics of
Civil-Military Relations (1957), The Common Defense: Strategic Programs in National
Politics (1961), Political Order in Changing Societies (1968), American Politics: The
Promise of Disharmony (1981), The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth
Century (1991), The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), and
Who Are We? The Challenges to America's National Identity (2004).
Buku terakhir Huntington (Who Are We?: The Challenges to America‟s
National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), memberikan gambaran
yang lebih tegas tentang pemikirannya tentang Islam dan Barat. Jika di dalam The
Clash of Civilizations ia masih tidak terlalu tegas menyebut ―Islam‖ sebagai
alternatif musuh baru bagi Barat, maka dalam bukunya, Who Are We? ia
menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang
Dingin adalah Islam – yang ia tambah dengan predikat ―militan‖. Namun, dari
berbagai penjelasannya, definisi ―Islam militan‖ melebar ke mana-mana, ke
berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.
Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul
―Militant Islam vs. America‖, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan
telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war
between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility
encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold
War promoted political and creedal definitions of that identity).126
Jadi, Huntington memang menggunakan istilah ―perang‖ (war) antara AS
dengan Islam militan. Jika saat berperang dengan Uni Soviet yang memiliki
persenjataan seimbang dengan AS, masih digunakan istilah ―Perang Dingin‖
maka sekarang predikat ―Dingin‖ sudah tidak ada lagi. Tentu saja, yang penting
kemudian adalah pendefinisian siapa yang dimaksud sebagai ―musuh baru yang
lebih bahaya dari komunis?‖ Dalam Who Are We? Huntington menyebut, yang
disebut sebagai Islam militan bukan hanya Osama bin Laden atau al-Qaeda group.
Tetapi, banyak kelompok lain yang bersifat negatif terhadap AS. Kata
Huntington, sebagaimana dilakukan oleh Komunis Internasional dulu,
126 Huntington, Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York:
Simon&Schuster, 2004), hal.358.
117 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
kelompok-kelompok Islam militan melakukan protes dan demonstrasi damai,
dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Mereka juga
melakukan kerja-kerja amal sosial.127
Dengan definisi dan penggambaran seperti itu, banyak kelompok Islam
yang dimasukkan ke dalam kategori militan, dan layak diserang secara dini.
Tanpa menampilkan sebab-sebab dan fakta yang komprehansif, misalnya,
Huntington menulis, bahwa selama beberapa dekade terakhir, kaum Muslim
memerangi kaum Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Yahudi, Budha
atau Cina. (In recent decades, Muslims have fought Protestan, Catholic, and Orthodox
Christians, Hindus, Jews, Buddhists, and Han Chinese).128
Ia tidak menjelaskan, apakah dalam kasus-kasus itu kaum Muslim
diperangi dan dizalimi, atau Muslim yang memerangi. Dalam menyinggung kasus
Bosnia, misalnya, dia tidak memaparkan bagaimana kaum Muslim menjadi
korban kebiadaban yang tiada tara di Bosnia. Dan ketika itu, AS dan sekutunya
menjadi penonton yang baik pembasmian umat Muslim. Samantha Power,
dalam bukunya “A Problem from Hell: America and The Age of Genocide” (London:
Flamingo, 2003), membongkar habis-habisan sikap tidak peduli AS terhadap
praktik pembasmian umat manusia di berbagai tempat, termasuk di Bosnia.
Buku ini memenangkan hadiah Pulitzer tahun 2003. Dalam kasus Bosnia, tulis
Samantha, AS bukan hanya tidak berusaha menghentikan pembasmian etnis
Muslim, tetapi malah memberi jalan kepada Serbia untuk melaksanakan
kebiadaban mereka. (Along with its European allies, it maintained an arms embargo
against the Bosnian Muslims from defending themselves). Untuk Bosnia, Samanta yang
menjadi saksi berbagai kebiadaban Serbia di Bosnia, menulis judul “Bosnia: No
More than Witnesses at a Funeral”. 129
Sebagaimana ilmuwan “neo-orientalis” lainnya, seperti Bernard Lewis,
Huntington juga tidak mau melakukan kritik internal terhadap kebijakan AS
yang imperialistik –sebagaimana banyak dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan seperti
Noam Chomsky, Paul Findley, dan Edward Said. Ia tidak mengakui bahwa
kebijakan AS yang membabi buta mendukung kekejaman dan penjajahan Israel
adalah keliru dan menjadi satu sebab penting tumbuhnya ketidakpuasan dan
kemarahan kaum Muslim dan umat manusia. Ia hanya mau menunjukkan bahwa
127 Huntington, Who Are We?, hal.358-359. 128 Huntington, Who Are We?, hal 359. 129 -Samantha Power, A Problem from Hell: America and The Age of Genocide” (London: Flamingo,
2003), hal.504.
118 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Islam adalah potensi musuh besar dan bahaya bagi Barat dan AS khususnya. Ia
menampilkan polling-polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan,
sebagian besar kaum Muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Misal, sebuah
polling di sembilan negara Islam, antara Desember 2001-Januari 2002,
menampilkan realitas opini di kalangan Muslim, bahwa AS adalah ―kejam,
agresif, sombong, arogan, mudah terprovokasi dan bias dalam politik luar
negerinya.‖ 130
Tetapi, Huntington tidak mau menampilkan fakta bahwa kebencian
masyarakat Barat (Eropa dan rakyat AS sendiri) terhadap kebijakan-kebijakan
politik AS juga sangat besar. Bahkan, jauh lebih besar dari apa yang terjadi di
kalangan Muslim. Di dunia Islam, tidak ada demonstrasi besar-besaran diikuti
ratusan ribu sampai jutaan orang dalam menentang AS seperti yang terjadi di
berbagai negara Eropa dan di dalam AS sendiri. Banyak ilmuwan dan tokoh AS,
seperti Prof. Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan
AS sebagai “A Leading Terrorist State”, atau “A Rogue State”. Karena itu, sangatlah
naif, bahwa ilmuwan seperti Huntington ini justru mencoba menampilkan fakta
yang tidak fair dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia
menyatakan, “The rhetoric of America‟s ideological war with militant communism has been
transferred to its religious and cultural war with militant Islam.”131
Skenario Neo-konservatif
Huntington, Bernard Lewis, dan kawan-kawannya dari kalangan ilmuwan
neo-konservatif, terus berkampanye agar negara-negara Barat lain juga mengikuti
jejak AS dalam memperlakukan Islam sebagai alternatif musuh utama Barat,
setelah komunis. John Vinocur, dalam artikelnya berjudul “Trying to put Islam on
Europe‟s agenda”, (International Herald Tribune, 21 September 2004), mencatat, “But
Huntington insists Europe‟s situation vis-à-vis Islam is more acute.” Skenario inilah yang
dirancang kelompok ―Neo-konservatif‖ di AS, yang beranggotakan Yahudi-
Zionis, Kristen fundamentalis, dan ilmuwan neo-orientalis.
Tentang peran kelompok neo-konservarif dalam perumusan kebijakan
luar negeri AS dapat dilihat buku The High Priests of War karya Michel Colin Piper
(Washington DC: American Free Press, 2004). Piper menyebutkan, belum
pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan
mencolok oleh ―tokoh-tokoh pro-Israel‖ seperti dimasa Presiden George W.
130 Huntington, Who Are We?, hal 360. 131 Huntington, Who Are We?, hal 359.
119 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar
kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun elite-elite
militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya. Piper
membahas peran kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan
menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam
konspirasi neo-konservatif ini, seperti Richard Perle, William Kristol, Donald
Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan kolomnis
terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen
fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye.
Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS
sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu
skenario besar ―Perang Global‖, dengan menempatkan Islam sebagai musuh
utama peradaban dunia.
Salah satu contoh kuatnya cengkeraman kelompok neo-konservatif
terhadap politik AS adalah terjadinya serangan atas Irak tahun 2003. Pada 24
Oktober 2002 -- beberapa bulan sebelum serbuan AS ke- Irak -- Michel Kinsley,
seorang penulis Yahudi Liberal, menulis bahwa peran sentral Israel dalam
perdebatan tentang kemungkinan Perang atas Irak, adalah ibarat ―gajah dalam
ruangan‖. ―Setiap orang melihatnya, tetapi tidak seorang pun menyebutkannya.‖ 132 Kinsley tidaklah berlebihan. Diskursus tentang peran lobi Yahudi terhadap
politik AS, bukan hal baru. Para penulis terkenal seperti Paul Findley, Noam
Chomsky, misalnya, sudah berulangkali mengingatkan bahaya dominannya lobi
Yahudi bagi masa depan AS. Hendrick Smith, pemenang Hadiah Pulitzer, dalam
bukunya The Power Games: How Washington Works, juga mengungkap sederet fakta
tentang peran AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee), dalam perumusan
kebijakan AS terhadap Israel.
Kini, sosok ―Gajah dalam ruangan‖ itu diperjelas lagi oleh Michel Colin
Piper, dalam bukunya, The High Priests of War. Meskipun elite-elite militer AS dan
Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya, tetapi serangan terhadap
Irak itu akhirnya terjadi juga. Piper menulis, bahwa Perang terhadap Irak secara
sistematis dirancang oleh sekelompok kecil orang yang kuat dan memiliki
jaringan dengan elemen-elemen Zionis sayap kanan. (That the war against Iraq was
deliberately orchestrated by a small but powerful network of hard-line “right wing” Zionist
elements – the self-styled “neo-conservatives” – at the high levels of the Bush administration,
skillfully aided and abetted by like-minded persons in public policy organizations, think
132 -Michel Colin Piper, The High Priests of War, (Washington DC: American Free Press, 2004), hal.1.
120 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
tanks, publications and other institutions, all of which are closely interconnected and, in turn,
linked to hard-line “likudnik” forces in Israel). 133
Buku Piper ini menarik karena ditulis dengan paparan faktual yang ringkas
dan lugas, disertai foto-foto para tokoh neo-kon. Piper membahas peran
kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan menguraikan satu persatu
latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konspirasi neo-konservatif
ini. Menurut Philip Golub, seorang wartawan dan dosen di University of Paris
VIII, kelompok ini telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai kendaraan
untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada “unilateralism”, “permanent
mobilisation”, dan “preventive war”. 134
Apa yang ditulis oleh Piper kemudian seperti menjadi kenyataan. Itu bisa
dilihat dengan apa yang kemudian dilakukan oleh AS terhadap Syria, Iran, dan
sebagainya. Sebelumnya, tahun 1994, Piper sudah menggegerkan AS dengan
bukunya, “Final Judgement”, yang membongkar peran agen rahasia Israel, Mossad,
dalam pembunuhan John F. Kennedy. Piper berkeliling ke berbagai negara
untuk menjelaskan isi buku yang di AS tak dapat dijual di toko-toko buku
utama. Pada Maret 2003, Piper diundang berceramah di Zayed Center for
Coordination and Follow-Up, Abu Dhabi. Ceramahnya mendapat liputan luas di
media-media Arab. Ketika itu, menjelang serangan AS atas Irak, Piper sudah
mengingatkan, bahwa serangan atas Irak dilakukan atas pengaruh lobi Israel,
dalam kerangka mewujudkan impian kaum Zionis untuk membentuk ―Israel
Raya‖ (Greater Israel/Eretz Yisrael). “President Bush seems to be driven by Christian
fundamentalism and strong influence of the Jewish lobby,” kata Piper. 135
Serangan AS atas Irak merupakan tahap awal dari sebuah Perang Besar
yang sudah jauh dirancang oleh kelompok neo-kon ini. Ari Shavit, menulis di
koran Ha‘aretz (9 April 2003), bahwa perang atas Irak disusun oleh 25
intelektual – sebagian besar Yahudi – yang mendorong Presiden Bush untuk
mengubah wacana sejarah. Tulisan Shavit menyiratkan satu fenomena ironis
dalam tradisi politik AS. Betapa mayoritas rakyat di negara adikuasa yang begitu
hebat kekuatan militernya, ternyata tidak berdaya menghadapi cengkeraman
kelompok minoritas neo-kon yang didominasi Yahudi. 136
133 Michel Colin Piper, The High Priests of War, bagian pengantar. 134 Michel Colin Piper, The High Priests of War, hal.3. 135 Michel Colin Piper, The High Priests of War, hal.121. 136 Michel Colin Piper, The High Priests of War, hal.2.
121 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian
kelompok neo-kon untuk menciptakan sebuah ―Imperium Amerika‖ sebenarnya
ditentang oleh sebagian besar elite perumus kebijakan luar negeri AS dan
mayoritas rakyat AS. Lind juga menyebut, bahwa koalisi Bush-Sharon juga
berkaitan dengan keyakinan, bukan karena faktor kebijakan. Itu bisa dilihat dari
latar belakang Bush yang berasal dari keluarga Kristen fundamentalis. Kata Lind:
“There is little doubt that the bonding between George W. Bush and Ariel Sharon was based
on conviction, not expedience. Like the Christian Zionist base of the Republican Party,
George W. Bush was a devout Southern fundamentalist.” 137
Kelompok Kristen fundamentalis menggunakan legitimasi ayat-ayat Bible
dalam mendukung Israel. Kalangan Kristen ini membenarkan hak historis Israel
atas Palestina dengan menggunakan dalil Bible, Kitab Kejadian 12:3: “Aku akan
memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang
mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."
Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS
sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu
skenario besar “Perang Global”, dengan menempatkan Islam sebagai musuh
utama peradaban dunia. Dalam bukunya, Painting Islam as The New Enemy, (Kuala
Lumpur: Crescent News: 2003), Abdulhay Y. Zalloum, juga memberikan
gambaran cukup baik tentang peran dan skenario kelompok neo-kon dalam
membentuk ―Tata Dunia Baru‖ pasca Perang Dingin. “The New World Order”,
simpulnya, adalah rekayasa hegemoni sebuah ―American Empire‖. Itu
dibuktikan dengan berbagai dokumen yang disusun oleh tokoh-tokoh kelompok
ini, seperti Rancangan Pertahanan yang disusun oleh Paul Wolfowitz berkaitan
dengan Tata Dunia Baru: “Our first objective is to prevent the reemergence of new rival.” 138
Melalui bukunya ini, Piper berhasil memperjelas apa dan siapa yang
sebenarnya berada di balik isu-isu dan peristiwa penting dalam panggung politik
internasional saat ini. Lebih menarik, ditampilkan juga dalam buku ini foto-foto
para tokoh neo-kon. Dunia Islam perlu menyadari, bahwa sebuah skenario
―Perang Global‖ (Global War) dengan menjadikan kelompok Islam sebagai
musuh utama, telah dijalankan oleh kelompok neo-kon, dengan menjadikan
Presiden George W. Bush dan politik AS, sebagai kendaraan mereka. Politik
“Viktimisasi Islam” (menjadikan Islam sebagai kambing hitam) merupakan upaya
137 Michel Colin Piper, The High Priests of War, hal.3-4. 138 Abdulhay Y. Zalloum, Painting Islam as The New Enemy, (Kuala Lumpur: Crescent News: 2003), hal.47.
122 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
pengalihan dari masalah sebenarnya yang dihadapi pemerintah AS. Politik ini
tidak memberi kesempatan masyarakat AS untuk secara kritis menilai kegagalan
atau kesuksesan pemerintahnya, sebab mereka senantiasa dijejali dengan
berbagai informasi media-media jaringan neo-kon yang mengisukan akan
datangnya serangan teroris Islam.
Dalam jaringan neo-konservatif ini, Huntington memang menempati
posisi istimewa dengan memberikan legitimasi berupa paparan tentang tesis
“Clash Of Civilizations”. Menurutnya, setelah Perang Dingin berakhir pada
penghujung dekade 1990, maka rivalitas antar superpower digantikan dengan
“Clash Of Civilizations”, yang kini dimainkan oleh sembilan peradaban besar yang
masih eksis: Kristen Barat, Amerika Latin, Afrika, Islam, Cina, Hindu, Kristen
Orthodoks, dan Jepang. Dalam bukunya, Zalloum memaparkan data-data bahwa
Huntington memang merupakan bagian dari jaringan neo-konservatif, yang
dikenal dengan istilah “Shadow Power Structure”. Doktrin “the clash of civilizations”
secara resmi diterima sebagai kebijakan politik pada Konvensi Platform Partai
Republik George W. Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Banyak agenda
penting disepakati dalam konvensi tersebut. Di antaranya, unilateralisme AS dan
statusnya sebagai “the only super power” harus tetap dipertahankan; ditetapkannya
“the rogue states‟ (negara-negara jahat) sebagai musuh baru –tanpa memberikan
definisi apa yang dimaksudkan dengan “rogue state‟. Definisinya diserahkan
kepada imajinasi dan ketentuan “The Shadow Power”; juga diputuskan bahwa
rezim Saddam Hussein harus diganti. 139
Dari sini tampak bahwa wacana “clash of civilizations” yang kemudian
dikembangkan ke arah penempatan ―Islam militan‖ sebagai musuh utama, tetapi
tanpa pendefinisian yang jelas terhadap ―Islam militan‖, memang telah disusun
dengan rapi. Tidak semua agenda kelompok neo-kon ini telah tercapai. Misalnya,
rencana mereka untuk memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Satu hal yang jelas adalah bahwa kaburnya batasan ―Islam militan‖ atau
―negara jahat‖ yang patut dijadikan musuh utama oleh AS dan dipaksakan ke
seluruh dunia, telah menyerat kaum Muslim lainnya ke dalam kancah konflik
global, seperti diskenariokan. Itu, misalnya, menimpa Dr. Thariq Ramadhan dan
Yusuf Islam, yang dilarang memasuki AS pada tahun 2004. Begitu juga ribuan
warga Muslim yang menerima perlakuan tidak manusiawi. Dalam sub-bab
berjudul “The Search for an Enemy” dari buku Who Are We? Huntington mencatat,
139 Abdulhay Y. Zalloum, Painting Islam as The New Enemy, hal.50-51.
123 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
bahwa pasca Perang Dingin, AS memang melakukan pencarian musuh baru,
yang kemudian menemukan musuh baru bernama ―Islam militan‖, setelah
peristiwa WTC. Huntington menulis: “Some Americans came to see Islamic
fundamentalist groups, or more broadly political Islam, as the enemy, epitomized in Iraq, Iran,
Sudan, Libya, Afghanistan under Taliban, and to lesser degree other Muslim states, as well
as in Islamic terrorist groups such as Hamas, Hezbollah, Islamic Jihad, and the al-Qaeda
network… The cultural gap between Islam and America‟s Christianity and Anglo-
Protestanism reinforces Islam‟s enemy qualifications. And on September 11, 2001, Osama
bin Laden ended America‟s search. The attacks on New York and Washington followed by
the wars with Afghanistan and Iraq and more diffuse “war on terrorism” maka militant
Islam America‟s first enemy of the twenty-first century.‖140
Di sini, tampak, bahwa tentu sangatlah sulit dunia Islam menerima
sepenuhnya standar AS dalam soal Islam militan dan juga terorisme. Dunia
Islam, misalnya, tetap menolak memasukkan Hamas atau Jihad Islam di
Palestina, sebagai kelompok teroris, sebab mereka melakukan perjuangan
membebaskan negeri mereka dari penjajahan Israel. Buku Who Are We? memang
masih merupakan kelanjutan garis berpikir Huntington dalam soal Islam dari
buku The Clash of Civilizations. Sebagaimana Lewis, Huntington sudah jauh-jauh
hari mengingatkan Barat agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam.
Sebab, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menggoyahkan dan
mengancam eksistensi peradaban Barat. (Islam is the only civilization which has put the
survival of the West in doubt, and it has done at least twice).
Jadi, dalam tesis “clash of civilizations” yang dipopulerkan Huntington
memang sudah bercampur aduk antara fakta, data ilmiah, dan skenario politik
tertentu untuk memelihara dan melestarikan hegemoni Imperium Amerika,
sebagai satu-satunya super power yang eksis dan berkuasa di muka bumi. Karena
itu, dalam kajian-kajian ilmiah, buku “The Clash of Civilizations” Huntington –
meskipun sangat populer – tidak dijadikan rujukan ilmiah dalam kajian serius
tentang peradaban. Huntington sendiri menyadari hal itu dan sebagaimana telah
disebutkan, ia menyatakan: “This book is not intended to be a work of sosial science. It is
instead meant to be an interpretation of the evolution of global politics after the Cold War. It
aspires to present a framework, a paradigm, for viewing global politics that will be meaningful
to scholars and useful to policymakers.”
140 Huntington, Who Are We?… hal.263.
124 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Masalahnya, umat manusia kini menghadapi satu skenario global yang
dirancang oleh Huntington dan kawan-kawannya. Mereka telah berhasil
membajak politik luar negeri AS. Kemenangan George W. Bush dalam
pemilihan Presiden AS untuk periode kedua, November 2004, menunjukkan
begitu kuatnya cengkeraman kelompok pro Zionis Israel ini. Merekalah yang
menentukan agenda internasional pada Tata Dunia Baru (New World Order) pasca
runtuhnya komunisme.
BAB IX
PENGARUH ATEISME TERHADAP PIKIRAN UMATISLAM
Geliat islamisasi ilmu pengetahuan nampaknya sudah bukan hal yang baru
dalam wacana pemikiran di negara yang mayoritas muslim. 141 Munculnya
institusi-institusi keuangan berlabel syariah merupakan salah satu manifestasinya.
Di samping soal ekonomi yang termasuk komponen ilmu sosial, islamisasi juga
tampak menggeliat dalam ilmu humaniora seperti ilmu psikologi, sosiologi, dan
atropologi. Sudah banyak terbit buku-buku yang membawa label Islam, Al-
Qur‘an dan sebagainya.
Dari dua upaya di atas, tampak mulai muncul kesadaran bahwa ada
problem yang sedang menyelubungi disiplin ilmu sosial dan humaniora yang
141 - Irfan Habibie Martanegara, Pengaruh Worldview Ateis Terhadap Sains, Bogor: Ulil Albaab,2012.
125 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
bertentangan dengan Islam yang mungkin dibangun atas worldview Barat.
Sayangnya, masih banyak yang belum menyadari bahwa sains, dengan pengertian
ilmu alam, pun telah dipengaruhi worldview Barat sekuler.
Menurut Salisu Shehu, worldview Barat sekuler ini bisa tampil dalam tiga
bentuk, yaitu worldview humanis, agnostik, atau ateis. Pada worldview ini,
kepercayaan terhadap keberadaan tuhan tidak terlalu diperhatikan. Kalaupun
keberadaan tuhan disadari, tetap saja tidak dianggap memiliki signifikansi
terhadap kehidupan. Lebih jauh, keberadaan tuhan dapat dianggap sebagai
mitos, yang benar-benar nyata hanyalah materi.142
Worldview ini menganggap manusia bisa mengetahui alam cukup dengan
mengandalkan dan mempercayai intelek dan inderanya saja. Ketepatan dan
keakuratan mengenai dunia dapat diraih dengan melakukan postulasi dan
penalaran secara rasional serta dengan melakukan observasi dan eksperimen
melalui alat indera. Metode saintifik atau lebi tepatnya metode deduktif-hipotetis
merupakan satu satunya cara yang terpercaya untuk mendapatkan pengetahuan
atau mencapai mana yang benar dan mana yang salah.
Pada perkembangannya, worldview ini mengubah sains menjadi sainstisme.
Saintisme adalah kepercayaan bahwa sains, khususnya sains alam adalah bagian
paling berharga dari pembelajaran manusia, sangat berharga karena otoritatif,
atau serius, atau bermanfaat.143 Saintisme bersikukuh agama kini tidak lagi
dibutuhkan tidak memberi manfaat. Kalaupun ada maka manfaatnya jauh lebih
kecil daripada bahaya yang ditimbulkannya.144
Perdana Menteri India pertama Jawaharal Nehru –seorang agnostik145–
mengatakan,
―Hanya sains saja yang dapat menyelesaikan problem kelaparan dan
kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan dan keberaksaraan, takhayul,
adat yang mematikan, dan tradisi, mubadzirnya sumber daya, negeri yang
kaya yang dihuni orang-orang lapar... Siapa yang mampu mengabaikan
sains pada masa sekarang? Pada setiap hal kita membutuhkan
142 Salisu Shehu, Islamization of Knowledge Conceptual Background Vision and Tasks, Kano: International
Institute of Islamic Thought, 1998, hlm 26. 143 Tom Sorell, Scientism: Philosophy and the Infatuation with Science. London: Routledge, 1994, hlm 1 144 Ibid, hlm 7-8 145 Keagnostikan Nehru bisa dilihat di Interfaith Harmony Where Nehru and Gandhi Meet [online], http:
//timesofindia.indiatimes.com/home/opinion/edit-page/LEADER-ARTICLEBRInter-faith-Harmony-Where-Nehru-and-Gandhi-Meet/articleshow/196028.cms Hotml 27 Mei 2012
126 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
bantuannya... Masa depan itu milik sains dan siapa saja yang berteman
dengannya.‖ 146
Celakanya, worldview Barat sekuler ini telah masuk ke negeri-negeri muslim
pada masa penjajahan kolonial. Memang saat ini para penjajah itu sudah
hengkang, namun produk pendidikan sekuler warisan penjajah tersebut masih
digunakan sampai sekarang. Pendidikan sekuler ini pada akhirnya menghasilkan
krisis dualitas yang digambarkan dengan adanya dikotomi antara ilmu agama dan
ilmu non-agama.147
Akibatnya, sebagaimana yang digambarkan William C. Chittick, banyak
pemikir modern yang beriman tidak bisa menghindarkan diri dari benak yang
terkompartemenkan atau dengan kata lain telah tejadi keterbelahan dalam
pikirannya. ―Satu kompartemen pikiran akan mencakup ranah profesional dan
rasional, sedangkan kompartemen yang lain menampung ranah ketakwaan dan
amal pribadi.‖148
Akibat keterbelahan pikiran ini, pola pikir umat Islam saat ini bukan lagi
pola pikir tauhid. Ketika membicarakan gempa misalnya, di dalam masjid
mungkin orang boleh mengatakan bahwa gempa adalah kehendak tuhan.
Namun di sekolah atau di ruang publik, gempa adalah fenomena alam biasa yang
dapat diteliti secara saintifik.149
Definisi dan Klasifikasi Ateisme
Kebanyakan orang biasanya menganggap orang ateis hanya sebagai orang
yang percaya bahwa Tuhan tidak ada. Michael Martin dalam The Cambridge
Companion to Atheism mengungkapkan hal tersebut. Ia menulis, ―Jika anda
146 ibid hlm 2 147 Salisu, Islamization of Knowledge, hlm 29-31 148 William C. Chittick, Science of The Cosmos, Science of The Soul, Oxford: Oneworld Publication., 2007,
hlm 11. 149 Contoh real keterbelahan pikiran ini adalah ungkapan Ulil Absor Abdala beberapa waktu yang lalu juga
mengkritik pejabat yang mengaitkan bencana alam dengan azab Tuhan. Ulil mengatakan, “Ada semacam template di kitab suci tentang bencana. Misalnya, ada cerita saat manusia membangkang kepada Tuhan kemudian Tuhan menghancurkan seluruh muka bumi. Nah, waktu sekarang ada bencana, para tokoh ini langsung mengambil template itu. Menurut saya, jangan dihubung-hubungkan, ini proses alam saja.”
Heru Margianto, 2000, Jangan Kaitkan Bencana dengan Azab, [online] http://nasional.kompas.com/read/2010/11/05/11161855/Jangan.Kaitkan.Bencana.dengan.Azab-4 Hotml 1 Nopember 2011
127 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
mencari ateisme dalam sebuah kamus anda akan menemukan ateisme
didefinisikan sebagai kepercayaan tidak adanya tuhan.‖150
Definisi yang serupa dikemukakan filosof Kristen Daniel J. Hill dan
Randal D. Rauser dalam ensiklopedia berjudul Christian Philosophy A–Z. Dalam
buku tersebut tertulis, ―Ateisme adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak ada.‖151
Bahkan seorang filosof ateis Julian Baggini, dalam buku kecil berjudul Atheism:
A Very Short Introduction, mendefinisikan ateisme dengan cara yang sama, ―Ini
(ateisme, pen) adalah keyakinan bahwa tidak ada Tuhan atau dewa-dewa.‖152
Bergerak sedikit lebih jauh, Baggini memberi klarifikasi mengenai
kesalahpahaman yang umum terjadi. Julian menuliskan,
Hanya saja banyak orang yang menganggap bahwa ateis percaya
bahwa tidak ada Tuhan dan tidak ada moralitas; atau tidak ada
Tuhan dan tidak ada makna hidup; atau tidak ada Tuhan dan tidak
ada kemanusiaan. Sebagaimana yang akan kita lihat nanti, tidak ada
yang menghalangi ateis untuk mempercayai moralitas, makna hidup,
dan kemanusiaan. Ateisme hanya memiliki pandangan negatif
tentang Tuhan. Namun memiliki pandangan positif pada masalah
kehidupan lainnya sebagaimana keyakinan lainnya.153
Menarik untuk dicatat, meski memberikan definisi yang serupa bahwa
ateism adalah doktrin bahwa Tuhan tidak ada, seorang Profesor dari University
of Michigan George I. Mavrodes dalam The Oxford Companion to Philosophy
menuliskan bahwa kepercayaan tidak ada Tuhan lebih ditujukan terhadap
konsep Kristen tentang Tuhan. Bahkan menurutnya, sebagian besar argumentasi
ateisme tidak relevan bagi konsep lain tentang Tuhan. Mavrodes menyimpulkan,
―Jadi banyak paham ateisme Barat yang mungkin dapat dipahami lebih baik
sebagai doktrin bahwa Tuhan kristen tidak ada.‖154
Kembali ke pendapat Martin, ia menyatakan bahwa definisi yang
sederhana tersebut bukanlah makna yang diinginkan jika melihat akar bahasanya
dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Yunani, ―a‖ berarti ―tanpa‖ atau ―tidak‖, dan
150 Michael Martin (ed), The Cambridge Companion to Atheism, New York: Cambridge University Press,
2007, hlm. 1 151 Daniel J. Hill and Randal D. Rauser, Christian Philosophy A–Z, Edinburgh: Edinburgh University Press
Ltd, 2006, hlm. 17 152 Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press, 2003, hlm. 3 153 Baggini, Atheism, hlm. 3 154 George I. Mavrodes, “Atheism and Agnosticism” dalam Ted Honderich (ed), The Oxford Companion to
Philosophy (Second Edition), Oxford: Oxford University Press, 2005, hlm. 64
128 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
―theos‖ berarti ―Tuhan‖. Dari sisi ini, seorang ateis adalah seseorang tanpa
kepercayaan mengenai adanya Tuhan, bukan seseorang yang mempercayai
bahwa Tuhan tidak ada.155
Menurut Kerry Walters, definisi yang terlalu sederhana ini tidak begitu
bermanfaat untuk menganalisis argumentasi filosofis yang membantah ataupun
yang mendukung ateisme. Definisi ini terlalu luas sehingga tidak membantu
membedakan berbagai tingkat ketidakpercayaan terhadap Tuhan. Hal ini karena
definisi ini tidak membuka wawasan mengenai beragamnya ateisme.156
Untuk menghindari penyederhanaan ini Kerry Walters mengklasifikasikan
dan menjabarkan macam-macam ketidakpercayaan kepada tuhan.157 Pertama,
agnostik. Agnostik adalah sikap menunda untuk percaya karena menganggap
tidak mungkin ada dasar yang cukup, baik untuk menerima ataupun untuk
menolak, keimanan kepada tuhan; atau menganggap argumentasi di keduanya,
kaum ateis dan beriman, sama-sama kuat.
Mavrodes menambahkan agnostisisme mungkin terbatas secara personal
dan berupa pengakuan seperti, ‗Saya tidak punya kepercayaan yang kuat tentang
tuhan‘. Atau mungkin klaim yang lebih ambisius bahwa seharusnya tidak boleh
ada yang memiliki keyakinan positif untuk menerima atau menolak keberadaan
ilahi.158
Kedua, ateisme, lebih lanjut dapat dibagi menjadi dua tipe: a) ateisme
positif, yaitu ketidakpercayaan kepada Tuhan dengan argumentasi; b) ateisme
negatif, yaitu tidak memiliki kepercayaan akan adanya tuhan.159 Semua ateis
positif pasti ateis negatif, tapi tidak sebaliknya. Orang yang memiliki argumentasi
ketiadaan tuhan, pasti tidak memiliki kepercayaan akan adanya Tuhan. Tapi tidak
setiap orang yang tidak memiliki kepercayaan tuhan, punya argumentasi.
Lebih lanjut, baik ateisme positif dan negatif dibagi dua kelompok, yaitu
ateis militan dan ateis moderat.
(i) Ateis militan. Misalnya ahli fisika Steven Weinberg. Ia menganggap
keimanan kepada Tuhan tidak sekadar salah tetapi juga berbahaya dan
155 Michael Martin (ed), The Cambridge Companion to Atheism, hlm. 1 156 Walters, Atheism. hlm. 9 157 Ibid hlm. 11-12 158 Mavrodes, “Atheism and Agnosticism”, dalam Honderich (ed), The Oxford Companion to Philosophy,
hlm. 64 159 Pembagian ini mirip dengan pembagian dalam The Cambridge Companion to Atheism membagi
ateisme positif dan negatif. Lihat Martin (ed), The Cambridge Companion to Atheism, , hlm. 1
129 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
merusak. Kerry mengutip pendapat Winberg yang menunjukkan
intoleransinya terhadap agama. Winberg menulis, ―Saya mendukung penuh
dialog antara sains dan agama, tapi bukan dialog yang konstruktif.‖ Menurut
Kerry, Winberg berhasrat menunjukkan bahwa orang cerdas mustahil
menjadi religius.
(ii) Ateis moderat. Ateis moderat setuju bahwa keimanan kepada Tuhan tidak
berdasar, namun tidak melihat hal yang berbahaya di dalamnya. Yang ditolak
adalah dogmatisme dan ekstrimisme intoleran, yang juga merupakan sifat
dari ideologi secara umum, baik yang religius maupun yang non-religius.
Julian Baggini, meski simpatik pada posisi militan, menyimpulkan, ―Lebih
sehat menerima kemungkinan bahwa ada sesuatu pada yang (orang bergama)
percayai dibanding sekadar merendahkan dan memaki kebodohan
mereka.‖160
Dampak ateisme
Seperti yang diungkapkan di atas, saintisme sebagai penjelmaan worldview
ateis dalam sains, menolak agama dan keberadaan tuhan. Penolakan terhadap
agama dan keberadaan tuhan disinyalir memiliki dampak serius bagi eksistensi
moralitas manusia. Alasannya karena keberadaan tuhan merupakan satu-satunya
pijakan objektif bagi moralitas dan agama.
Seorang filsuf Prancis Voltaire161 menyatakan keharusan adanya tuhan
demi eksisnya moralitas. Bahkan ia sampai menyatakan, ―Jika Tuhan tidak ada,
maka kita harus membuatnya.‖162 Immanuel Kant juga menyatakan hal yang
tidak jauh berbeda. Keberadaan tuhan harus diasumikan agar setiap pemikiran
moralitas secara praktis konsisten.163 Beberapa filosof serta tentu saja agama-
agama dunia mengajarkan bahwa agama merupakan fondasi moralitas dan
pengakuan akan adanya Tuhan adalah faktor utama yang memotivasi orang
160 Baggini, Atheism, hlm. 104 161 François-Marie Arouet de Voltaire (21 November 1694 30 Mei 1778), lebih dikenal dengan nama pena
Voltaire, adalah penulis pada masa pencerahan Perancis, sejarawan dan filsuf yang terkenal dengan kecerdasannya dan perjuangannya mengenai kebebasan sipil, termasuk kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, perdagangan bebas dan pemisahan gereja dan negara.
162 Dalam bahasa aslinya berbunyi, “Si Dieu n’existait pas, il faudrait l’inventer.” Ungkapan ini dikutip dari Épître { l’Auteur du Livre des Trois Imposteurs (Letter to the author of The Three Impostors) yang merupakan sebuah surat yang ditulis Voltaire dan dipublikasikan pada 1770. Surat ini ditujukan untuk penulis anonim yang mempublikasikan The Treatise of the Three Impostors.
163 Paul Guyer, Kant, New York: Routledge, 2006, hlm 234
130 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
memiliki moralitas. Sudah menjadi tantangan umum orang beragama kepada
ateisme, ―Penolakan terhadap tuhan melahirkan nihilisme moral.‖164
Sejarawan Inggris Niall Ferguson165 (lahir 1964) menyatakan bahwa
pengajaran agama menjadi landasan etis bagi berpertahannya tatanan sosial yang
baik di masyarakat. Berdasarkan observasi historis dan studi yang dilakukan
rekan-rekannya di Harvard University, Ferguson menyatakan,
―Saya tetap sangat yakin bahwa agama melakukan fungsi sosial yang
penting dalam transmisi misalnya, nilai-nilai etika antargenerasi, dan bahwa
masyarakat yang menjauh dari hal tersebut, yang berhenti terlibat dalam setiap
jenis pelajaran formal agama, adalah sebuah masyarakat yang kemungkinan besar
kurang baik dalam mempertahankan tatanan sosial dibanding dengan masyarakat
yang mempertahankan nilai keimanan dan ketaatan. Dan hal ini murni
berdasarkan pengamatan historis.‖166
Buah pemikiran ini di berbagai negara di Eropa dan di Amerika
berdampak kesaksian seorang ateis tidak diterima di pengadilan. Hal ini karena
seorang ateis dianggap tidak memiliki landasan moral untuk berkata jujur.
Contoh nyata dalam hal ini misalnya pada masa lalu di Amerika serikat,
kesaksian seorang ateis tidak diterima pengadilan karena dianggap tidak mampu
mengucapkan sumpah yang layak.167
Tidak hanya berkaitan dengan moralitas, ateisme juga berkaitan dengan
tingkat kebahagiaan seseorang. Laporan Jurnal American Psycologist menunjukkan
bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang berkorelasi dengan
peningkatan kesehatan individu, kebahagiaan, dan harapan hidup. Orang yang
secara religius pasif cenderung lebih tidak sehat secara fisik dan berumur lebih
pendek dibanding orang yang secara religius aktif. Dibandingkan dengan janda
yang aktif beribadah, janda yang pasif beribadah dilaporkan lebih tidak
menikmati hidupnya. Orang yang ateis juga cenderung pulih lebih lambat setelah
mengalami perceraian, pemecatan, sakit parah, atau ditinggal mati seseorang.168
Penelitian lain yang diterbitkan The American Journal of Psychiatry menunjukkan
164 Kerry Walters, Atheism: A Guide for The Perplexed, New York: Continuum, 2010, hlm 117 165 Niall Campbell Douglas Ferguson adalah seorang sejarawan Inggris. Spesialisasinya adalah sejarah
kolonialisme serta sejarah keuangan dan ekonomi, khususnya hiperinflasi dan pasar obligasi. 166 Niall Ferguson, Islam and Demographics, [online], http:
//www.abc.net.au/radionational/programs/religionreport/niall-ferguson-on-islam-and-demographics/3336236 diakses 25 Maret 2012
167 Melvin I. Urofsky, Religious Freedom: Rights and Liberties Under the Law”, ABC-CLIO, 2002, hlm 40. 168 David G. Myer, “The Funds, Friends and Faith of Happy People”, American Psycologist, Vol. 55 (No 1),
2000.
131 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
bahwa orang yang tidak beriman memiliki tingkat bunuh diri lebih tinggi dari
orang beriman.169
Ateisme juga dikritik karena dengan sendirinya telah menjadi agama,
dengan pengertian ―beriman‖ kepada kebenarannya sendiri serta meyakini yang
berbeda dengannya salah. Ahli paleontologi Stephen Jay Gould170, dalam sebuah
tulisannya, menganggap tokoh ateis Inggris Richard Dawkins memiliki
“fundamentalisme Darwinian” dan ―ideologi tanpa kompromi‖.171 Fundamentalisme
ini selalu melahirkan bencana global jika para penganutnya menguasai sebuah
negara. Penulis Kristen Dinesh D‘Souza172 menulis,
―Siapa yang bisa menyangkal bahwa Stalin dan Mao, belum lagi Pol Pot
dan sejumlah orang lain, melakukan kekejaman atas nama ideologi komunis yang
secara jelas-jelas ateis? Siapa yang dapat membantah bahwa mereka melakukan
perbuatan berdarah mereka dengan menyatakan akan membangun ‗manusia
baru‘ dan utopia bebas agama? Ini adalah pembunuhan massal dilakukan dengan
ateisme sebagai bagian utama inspirasi ideologis mereka, pembunuhan massal ini
tidak dilakukan orang yang kebetulan ateis.‖173
Di tulisan lain, D‘Sauza menyatakan bahwa atas nama penciptaan negara
utopia bebas agama versi mereka, Adolf Hitler, Joseph Stalin, dan Mao Zedong
menghasilkan sejenis pembantaian massal yang tidak mungkin Inquisitor mana
pun bisa capai. Secara kolektif, para tiran ateis ini membunuh lebih dari 100 juta
orang dalam jangka waktu yang amat singkat. Dengan melihat angka tersebut,
D‘Sauza dengan berani menyimpulkan, ―Ateisme-lah, bukan agama, yang
merupakan kekuatan sebenarnya di balik pembantaian masal sepanjang
sejarah‖.174
169 Kanita Dervic, et al, “Religious Affiliation and Suicide Attemp”,The American Journal of Psychiatry, Vol.
161 (No. 12), 2004. 170 Stephen Jay Gould (10September 1941 20 Mei 2002) adalah seorang ahli paleontologi Amerika, ahli
biologi evolusioner, dan sejarawan science.Gould menghabiskan sebagian besar karirnya mengajar di Harvard University dan bekerja di Museum Sejarah Alam Amerika di New York. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Gould juga mengajar biologi dan evolusi di Universitas New York di dekat rumahnya di SoHo.
171 Stephen Jay Gould, 12 Juni 1997, Darwinian Fundamentalism, [online], http: //www.nybooks.com/articles/archives/1997/jun/12/darwinian-fundamentalism/ Hotml 25 Maret 2012
172 Dinesh D’Souza (lahir 25 April 1961) adalah apologis Kristen, penulis dan pembicara konservatif. Dia adalah penulis banyak buku laris menurut New York Times. Ia lahir dan dibesarkan Katolik, tetapi sekarang menjadi Kristen Evangelis. Saat ini, dia menjabat Presiden dari The King’s College di New York City.
173 Dinesh D’Souza, Answering Atheist’s Arguments, [online], http: //catholiceducation.org/articles/apologetics/ap0214.htm Hotml 25 Maret 2012
174 Dinesh D’Souza, Atheism, Not Religion, Is The Real Force Behind The Mass Murders Of History, [online] http: //www.csmonitor.com/2006/1121/p09s01-coop.html, Hotml 25 Maret 2012
132 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Lahirnya gerakan New Atheisme
Perkembangan terbaru gerakan ateisme adalah munculnya gerakan yang
disebut dengan New Atheism (ateisme baru). Nama New Atheism diberikan pada
gerakan yang dimotori para penulis ateis yang muncul sejak awal abad ke-21.
Gerakan ini yang mengkampanyekan, ―Keimanan terhadap tuhan adalah
penyebab kejahatan yang tak terhitung jumlahnya dan harus ditolak karena
alasan moral. Moralitas tidak membutuhkan keimanan terhadap tuhan, dan
manusia dapat berbuat lebih baik tanpa keimanan pada-Nya.‖175 Tokoh New
Atheists yang paling berpengaruh adalah dua orang Inggris dan dua orang
Amerika Serikat176 yaitu: Richard Dawkins (lahir 1941), Daniel Dennett (lahir
1942), Christopher Hitchens (1949-2011), and Sam Harris177 (lahir 1967).
Meski Dawkins telah lebih dahulu menulis tentang tema-tema ateis,
namun belum menyerang agama secara eksplisit. Karena itu, permulaan gerakan
ini sering dikaitkan dengan terbitnya sebuah buku terlaris di Amerika Serikat
yang berjudul The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (Akhir
Agama: Agama, Teror, dan Masa Depan Nalar) karya Sam Harris pada 2004.
Peristiwa 11 September 2001 memotivasi Harris mengkritik Islam dan di sisi lain
juga mengkritik Kristen dan Yahudi. Pada 2006, Harris menulis kembali buku
berjudul Letter to a Christian Nation (Surat untuk Bangsa Kristen), yang
merupakan kritik keras bagi ajaran Kristen. Pada tahun yang sama, Richard
Dawkins menerbitkan buku berjudul The God Delusion (Khayalan tentang Tuhan)
yang berada di daftar buku terlaris New York Times selama 51 minggu.178
Buku-buku lain yang termasuk karya para tokoh New Atheism di
antaranya: Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (Menghancurkan
Mantra: Agama sebagai Fenomena Alam) karya Daniel C. Dennett (2006); God:
The Failed Hypothesis–How Science Shows That God Does Not Exist (Tuhan:
Hipotesis yang Gagal - Bagaimana Sains Menunjukkan bahwa Tuhan Tidak Ada)
karya Victor J. Stenger (2007); God is Not Great: How Religion Poisons Everything
(Tuhan Tidak Mahabesar: Bagaimana Agama Meracuni Semuanya) karya
175 John F. Haught, God and The New Atheism, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2008, hlm xiv 176 Kerry Walters, Atheism: A Guide for The Perplexed, New York: Continuum, 2010, hlm 29 177 Sam Harris (lahir 1967) adalah seorang penulis Amerika, filsuf, ahli syaraf, serta pendiri dan CEO
Project Reason. Project Reason adalah yayasan yang tujuan utamanya mempromosikan pengetahuan ilmiah dan nilai-nilai sekuler dalam masyarakat. Harris merupakan seorang kritikus kontemporer terkenal soal agama dan pendukung skeptisisme ilmiah. Ia juga seorang pendukung sekulerisme, kebebasan beragama, dan kebebasan untuk mengkritik agama.
178The God Delusion One-Year Countdown, [online] http: //richarddawkins.net/articles/1599, Hotml 2 Nopember 2011
133 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Christopher Hitchens (2007); Atheist Manifesto: The Case Against Christianity,
Judaism, and Islam (Manifesto Ateis: Memperkarakan Ajaran Kekristenan, Yahudi,
dan Islam) karya Michel Onfray (2007); Godless: How an Evangelical Preacher Became
One of America‟s Leading Atheists (Tanpa Tuhan: Bagaimana Seorang Evangelis
menjadi Salah Satu Tokoh Ateis Amerika) karya Dan Barker (2008). Jumlah ini
terus bertambah seiring dengan waktu.179
Perkembangan Ateisme di Indonesia
Yang cukup mengkhawatirkan, ateisme ini sudah mulai masuk ke
Indonesia. Pada 19 Januari 2012, Harian Padang Ekspress memberitakan
penangkapan seorang ateis. Tersangka penganut ateisme yang bernama
Alexander Aan tersebut merupakan seorang PNS di Badan Perencanaan Daerah
(BADPEDA). Kepada Padang Ekspres, Alexander membenarkan dirinya tidak
mengakui adanya Tuhan karena kejahatan ada di mana-mana. Begitu juga
dengan iblis dan neraka. ―Jika Tuhan memang ada, kenapa hal yang buruk-buruk
itu ada. Seharusnya yang ada di dunia ini, hanyalah kebaikan, jika memang
Tuhan itu pengasih dan penyayang. Tuhan tidak mampu berbuat itu,‖ kata
Alexander.180
Beberapa situs berita berbahasa Indonesia dan bahasa asing sudah
mengangkat tren munculnya ateisme di Indonesia sejak beberapa tahun silam.
Pada 24 September 2010, situs The Jakarta Globe181 merilis tulisan berjudul “Metro
Madness: Therapy for the Godless”. Tulisan ini bercerita tentang pertemuan rahasia
orang-orang ateis Indonesia. Mereka berkumpul untuk saling bercerita mengenai
kehidupan sebagai orang ateis.182
Bulan berikutnya, pada 18 Desember 2010, situs berita The Jakarta Post
merilis berita berjudul “Non-believers stick to Their Conviction”. Tulisan ini bercerita
tentang pendapat dua orang ateis dan seorang agnostik mengenai Tuhan dan
179 Perkembangan karya-karya penulis ateis dapat diikuti di sebuah blog ateis yang beralamat di http:
//atheistmovies.blogspot.com yang rutin merilis secara gratis karya-karya tokoh-tokoh ateis ternama. 180 Zulfia Anita, 19 Januari 2012, Seorang PNS Atheis Ditangkap, [online], http:
//padangekspres.co.id/?news=berita&id=21687, Hotml 17 Februari 2012 181 Dalam pengamatan penulis, The Jakarta Globe merupakan media online yang cukup aktif
memberitakan perkembangan ateisme di Indonesia. 182 Simon Pitchforth, 24 September 2010, Metro Madness: Therapy for the Godless, [online], http:
//www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/metro-madness-therapy-for-the-godless/397890, Hotml 1 Nopember 2011
134 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
agama.183 Masih di bulan yang sama, pada 23 Desember 2010, situs berita Radio
Nederland Wereldomroep (RNW) merilis tulisan berjudul ―Kaum Ateis, Bukalah
Topengmu‖. Tulisan berbahasa Indonesia tersebut merupakan wawancara
terhadap Karl Karnadi184 yang merupakan pendiri komunitas diskusi di dunia
maya yang bernama Indonesian Atheists.185
Berita pertama mengenai ateis di Indonesia (yang berhasil penulis lacak)
muncul tahun sebelumnya pada 24 Januari 2009. Situs berita Prancis, Agence
France-Presse (AFP), menulis berita bahwa Karl Karnadi, mahasiswa Indonesia
yang tinggal di Jerman, menggagas sebuah situs berbasis wikipedia untuk
penerjemahan tulisan-tulisan ateis ternama dunia seperti Richard Dawkins dan
Christopher Hitchens ke dalam bahasa Indonesia. Situs tersebut beralamat di
http://editthis.info/iaprojects/.186
Berita di atas mungkin bisa menggambarkan bagaimana masuknya
pemikiran ateis dari Barat ke Indonesia, yaitu melalui internet. Selain karena
lebih leluasa menyembunyikan identitasnya, jelas internet adalah jendela bagi
para ateis di Indonesia untuk mengetahui perkembangan ateisme di Barat.
Internet juga memungkinkan orang-orang ateis yang tersebar di seluruh
nusantara untuk sharing dan berdiskusi.
Di Facebook, setidaknya ada empat halaman (page) mengenai yang cukup
aktif berdiskusi. Di antaranya Anda Bertanya Ateis Menjawab
(facebook.com/ateis.menjawab) yang diikuti lima ribuan orang, Ateis Indonesia
(facebook.com/ateis.id) yang diikuti empat ribuan orang, Komunitas Ateis
Indonesia (facebook.com/ateisindonesia) yang diikuti tiga ribuan orang, baik
yang pro maupun kontra terhadap ateisme.
Di samping itu, muncul pula halaman ateis di Facebook yang membawa
nama daerah seperti Ateis Minang (facebook.com/Ateisminangkabaupadang),
Ateis Batak (facebook.com/ateis.batak), Ateis Jawa (facebook.com/java.atheist),
dan Ateis Sunda (facebook.com/pages/Ateis-Sunda/160518010725572) yang
diikuti lebih sedikit orang.
183 Map, 18 Desember 2010, Non-believers stick to their conviction, [online], http:
//www.thejakartapost.com/news/2010/12/18/nonbelievers-stick-their-conviction.html, Hotml 1 Nopember2011 184 Mahasiswa Indonesia yang kini sedang belajar di Jerman. Ia diberitakan tumbuh dalam keluarga
kristen yang cukup taat. 185 Prita Riadhini, 23 Desember 2010 Kaum Ateis, Bukalah Topengmu, [online], http: //www.rnw.nl/bahasa-
indonesia/article/kaum-ateis-bukalah-topengmu, Hotml1 Nopember2011 186 AFP, 24 Januari 2009, Atheism 2.0, Indonesia’s nonbelievers find refuge online, [online], http:
//www.google.com/hostednews/afp/article/ALeqM5gDbe7jLj3MCsPjoNANluA8OpMubg, Hotml 1 Nopember2011
136 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB X
LIBERALISASI ISLAM
Kehadiran gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenal dengan
sebutan ―Islam liberal‖, dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini, khususnya
di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini
karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syariat Islam. Di antara ide yang paling
menonjol adalah seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitas Al-Qur‘an;
mengkritik otoritas nabi beserta hadith-hadith sahih-nya, menghujat serta
mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para ulama. Umumnya pendukung
liberal ini menolak penerapan syariat Islam secara formal oleh negara. Dan
untuk tujuan ini mereka mencoba mereka-reka berbagai alasan. Terkadang
penolakan tersebut dibuat atas dasar budaya dengan mengatakan bahwa hukum
Islam tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai dan budaya masyarakat hari ini.
Dan kerap kali penolakan tersebut dibuat atas anggapan bahwa syari‘at Islam
bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Hukum Islam
berkaitan dengan non-Muslim, misalnya, dikatakan sangat diskriminatif terhadap
kolompok ini karena menempatkan penganut agama lain lebih rendah daripada
penganut Islam. Hukum murtad pula dianggap bertentangan dengan prinsip
kebebasan Agama. Belum lagi hukum Islam berkenaan dengan wanita. Mereka
selalu kali menuduhnya tidak ramah dan cenderung melecehkan. Dan atas dasar
ini semua mereka lantas menyarankan agar dilakukan penafsiran ulang atas
hukum-hukum tersebut dan kalau perlu didekonstruksi.187
Mencermati berbagai perkembangan paham liberal di kalangan umat Islam
tersebut, setidaknya, ada tiga aspek penting dalam Islam yang sedang gencar
mengalami liberalisasi saat ini, yaitu (1) syariat Islam, dilakukan dengan
perubahan metodologi ijtihad, (2) Al-Qur‘an dan tafsir Al-Qur‘an, dengan
melakukan dekonstruksi konsep wahyu dalam Islam dan penggunaan metode
hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur‘an, dan (3) aqidah Islam, dengan
penyebaran paham Pluralisme Agama.
187Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadian Bekerjasama dengan The Asia
Foundation, 2004), ix.
137 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
1. Dalam aspek syariat, berbagai hukum-hukum yang tetap (qath'iy)
dibongkar dan diubah untuk disesuaikan dengan zaman, seperti hukum
perzinahan, hukum homoseksual, hukum murtad, hukum perkawinan antar-
agama, dan sebagainya. Bagi kaum liberal, maka tidak ada yang tetap dalam
agama, sebab mereka memandang agama adalah bagian dari proses dinamika
sejarah, sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen liberal dalam memandang agama
mereka. Padahal, Islam bukanlah agama evolutif, yang berkembang mengikuti
zaman. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal. (QS 5:3).Sejak
lahirnya, Islam sudah dewasa, bukan lahir bayi, lalu berkembang menjadi
dewasa, sebagaimana agama-agama sejarah dan budaya, seperti Yahudi, Kristen,
dan sebagainya. Karena itu, konsep dasar aqidah dan ritual (ibadah) dalam Islam
bersifat final, dan tidak berkembang mengikuti proses dinamika sejarah, sebab
Islam bukan agama sejarah.
2. Dalam aspek Al-Qur‘an, umat Islam Indonesia juga sedang memasuki
babak baru, dengan dikembangkannya metode studi kritik Quran, mengikuti
metode studi kritik Bibel. Desakralisasi Al-Qur‘an sedang dilakukan dengan
massif. Kasus penginjakan lafaz Allah di IAIN Surabaya, oleh dosen setempat, 5
Mei 2006, merupakan satu kasus baru sepanjang sejarah umat Islam. Menurut
laporan Majalah GATRA edisi 7 Juni 2006, dosen yang bernama Sulhawi Ruba,
51 tahun, pada 5 Mei 2006 lalu, itu memang sengaja menginjak-injak lafaz Allah
yang ditulisnya pada secarik kertas. Gara-gara ulahnya itu, dia kemudian diskors
6 bulan. Waktu itu, ia mengajar mata kuliah sejarah peradaban Islam (SPI) pada
mahasiswa semester II. Di hadapan 20 mahasiswa fakultas dakwah, ia
menerangkan posisi Al-Qur‘an sebagai hasil budaya manusia. ―Sebagai budaya,
posisi Al-Qur‘an tidak berbeda dengan rumput,‖ ujarnya. Ia lalu menuliskan
lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan
sepatu. ―Al-Qur‘an dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak
sakral,‖ katanya. Menurut Sulhawi, Al-Qur‘an sebagai kalam Allah adalah
makhluk ciptaan-Nya, sedangkan Al-Qur‘an sebagai mushaf adalah budaya
karena bahasa Arab, huruf hijaiyah, dan kertas merupakan hasil karya cipta
manusia. ―Sebagai budaya, Al-Qur‘an tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah
secara substantif,‖ tuturnya. Demikian laporan GATRA.
Kasus ini perlu mendapatkan perhatian sangat serius. Bayangkan,
andaikan yang melakukan tindakan semacam itu adalah George W. Bush atau
Tony Blair, apa kira-kira reaksi umat Islam internasional? Apakah umat Islam
akan diam? Ketika kasus ini disampaikan dalam sebuah seminar tentang
138 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Liberalasisasi Islam di Kelantan, Malaysia, pada 3 Juni 2006, ratusan peserta
seminar serentak berdecak keheranan. Sungguh sulit dibayangkan peristiwa
seperti itu terjadi di sebuah perguruan tinggi yang menyandang nama Islam.
Yang lebih penting untuk dicermati dalam kasus ini adalah cara pikir si
dosen yang dengan penuh kesadaran menginjak lafaz Allah itu; sebuah cara
berpikir yang salah dan sangat naïf. Tapi, dari cara berpikir yang memandang Al-
Qur‘an sebagai produk budaya itulah, tindakan menginjak lafaz Allah itu dia
lakukan. Dia bukan sedang bersandiwara. Dia sedang mengamalkan ilmunya
yang salah. Inilah sebuah contoh, dahsyatnya sebuah kerusakan ilmu. Ilmu yang
salah, pasti melahirkan amal yang salah.
Padahal, saat ini, ilmu yang salah tentang Al-Qur‘an yang menganggap Al-
Qur‘an sebagai produk budaya itu banyak disebarkan di lingkungan IAIN. Jika
pimpinan IAIN Surabaya tidak segera bertindak, maka aksi konyol semacam itu
mungkin akan terus dilakukan oleh si dosen, karena dia memang tidak merasa
salah dengan pikiran dan tindakannya. Kita patut hargai sikap tegas pimpinan
IAIN Surabaya. Dari IAIN Bandung, pernah muncul kasus sejumlah mahasiswa
yang membuat teriakan yang meghebohkan: ―Selamat bergabung di area bebas
tuhan.‖ Dan ucapan: ―Mari berzikir dengan lafaz ―anjinghu akbar!‖. Ketika
sejumlah dosen IAIN Bandung dan para ulama memprotes hal itu, pimpinan
kampus itu justru membela aksi mahasiswa tersebut.
Jika dicermati perkembangan pemikiran Islam saat ini, di lingkungan
IAIN, upaya desakralisasi Al-Qur‘an merupakan hal yang dianggap biasa saja.
Banyak dosen dan mahasiswa IAIN/UIN yang secara terang-terangan
mengusung pendapat seperti dosen yang menginjak-injak lafaz Allah tersebut,
bahwa Al-Qur‘an adalah produk budaya.
Wacana yang mendesakralisasi Al-Qur‘an seperti itu sudah dikemukakan
oleh Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammad Syahrur, dan
sebagainya. Di salah satu kampus Islam di Semarang, pada 26 Mei 2006, ada
seorang dosen agama yang secara terang-terangan memuji-muji tafsir Al-Qur‘an
versi Syahrur dan mengkritik semua mufassir sebelumnya. Padahal, dosen itu
berjilbab. Sementara tafsir baru ala Syahrur sangatlah ganjil dan banyak
kekeliruan. Quraish Shihab saja –yang dalam bukunya, ‖Jilbab Pakaian Wanita
Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer‖, menyatakan
bahwa jilbab tidak wajib, tetapi sekedar anjuran – mengkritik pandangan
Syahrur. Misalnya, dalam kitab Nahwa Ushul Jadidah lil-Fiqhil Islamy, Syahrur
139 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
membuat tafsir aneh tentang batasan aurat wanita. Kata Syahrur, batasan
minimal aurat wanita adalah ‗daerah rawan bagian atas‘ (al-juyub al-ulwiyyah), yaitu
payudara dan bawah ketiak, dan juga ‗daerah rawan bagian bawah‘ yaitu
kemaluan dan pantat. Itu saja. Larangan memperlihatkan pusar dan lutut, kata
Syahrur, itu terkait dengan situasi setempat. Dalam pergaulan sosial, batas aurat
wanita adalah berangkat dari batasan aurat minimal tersebut dan kemudian
disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat setempat, selama tidak
menimbulkan gangguan sosial.
Tafsir aurat wanita ala Syahrur itu telah banyak mendapatkan kritik dari
para ilmuwan di dunia Islam. Karena itu, sungguh mengherankan, mengapa ada
dosen agama di satu kampus Islam, yang dia juga seorang wanita dan berjilbab
pula, menyatakan, bahwa tafsir Syahrur adalah hebat dan sesuai dengan misi
Islam sebagai „rahmatan lil-alamin‟. Apakah ini kekeliruan atau kekonyolan?
Jika kita mencermati perkembangan pemikiran Islam di lingkungan
IAIN semacam ini, kita akan memahami, bahwa kasus penginjakan lafaz Allah di
IAIN Surabaya itu hanyalah satu fenomena ‗gunung es‘. Saat ini, sudah begitu
mudah ditemukan jurnal, buku, atau artikel karya dosen-dosen dan mahasiswa
IAIN/UIN yang mendesakralisasi Al-Qur‘an. Buku-buku karya pemikir-pemikir
modernis dan neo-modernis seperti Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu
Zayd, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur dan para hermeneut (pengaplikasi
hermeneutika untuk Al-Qur‘an) lainnya sudah biasa dijadikan sebagai rujukan
penulisan artikel, buku, skripsi, atau pun tesis.
Para pemerhati studi dan pemikiran Islam di Indonesia mengetahui bahwa
Prof. Dr. Amin Abdullah, Rektor UIN Yogya misalnya, tercatat yang sangat
aktif mempromosikan gagasan-gagasan Nasr Hamid melalui buku-buku yang
ditulisnya. Seorang dosen UIN Yogya, murid Nasr Hamid menerbitkan
disertasinya dengan judul ―Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar” dengan kata pengantar
Nasr Hamid sendiri. Sebagaimana biasa dalam studi Islam gaya orientalis,
biasanya berawal pada keraguan dan akan berakhir pada keraguan terhadap
Islam. Sebab, mereka memang mengkaji Islam – termasuk Al-Qur‘an – bukan
untuk beriman kepada Al-Qur‘an. Jangan heran, jika banyak yang mengkaji Al-
Qur‘an secara serius, meraih gelar doktor dalam studi Islam, justru akhirnya
terjebak dalam keraguan dan pemahaman relativisme terhadap Islam.
Prof. Stefan Wild, orientalis Jerman dalam studi Al-Qur‘an, dalam
pengantarnya untuk buku dosen UIN Yogya itu, juga menekankan aspek
140 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
relativitas pemahaman terhadap Al-Qur‘an dan tafsir Al-Qur‘an. Kata Wild:
―Dengan demikian, exgesis atau penafsiran senantiasa bermula dari anggapan
dan persepsi tentang teks suci. Untuk itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa
persepsi tersebut apa dan bagaimana seharusnya sebuah penafsiran, dalam
rentang sejarah, senantiasa berubah, seperti halnya perubahan-perubahan
persepsi mengenai apa itu teks suci dan apa sebenarnya makna dari wahyu ilahi.‖
Seperti kita tahu, tahun 2004, UIN Yogya (waktu itu masih bernama
IAIN), mencatat sejarah dengan meluluskan sebuah tesis master yang secara
terang-terangan menyatakan, Al-Qur‘an bukan Kitab Suci. Tesis, yang kemudian
diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul ―Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan‖ ini
mencatat: “Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan
fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang
masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan
Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan
dan pikiran kita.”
Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang lahir sebuah Jurnal ―Justisia‖ yang
dalam berbagai edisinya juga melakukan dekonstruksi dan desakralisasi terhadap
Al-Qur‘an. Edisi 23 Th XI, 2003, misalnya, memuat pengantar redaksi:―Dan
hanya orang yang mensakralkan Qur‟anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa
Quraisy tersebut.”
Dalam Jurnal ini bisa dinikmati sejumlah tulisan para mahasiswa dan
sarjana Syariah alumni IAIN Semarang yang secara terbuka membongkar
konsep Al-Qur‘an sebagai Kalamullah,seperti:“Qur‟an „Perangkap‟ Bangsa
Quraisy”,“Pembukuan Qur‟an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”,“Kritik
Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, dan
sebagainya. Pada bagian belakang cover Jurnal ini pun ada penggugatan terhadap
segala macam objek sakralitas: “Adakah sebuah objek kesucian dan kebenaran yang
berlaku universal? Tidak ada! Sekali lagi tidak ada! Tuhan sekalipun!”
Jadi, gerakan desakralisasi Al-Qur‘an melalui berbagai tulisan rupanya
sudah mulai merambah. Masuknya wacana studi kritis Al-Qur‘an dalam matari
perkuliahan bidang tafsir hadits di beberapa IAIN/UIN sungguh sangat
menyedihkan. Mata kuliah hermeneutika – yang berujung pada dekonstruksi dan
desakralisasi konsep teks Al-Qur‘an – telah menjadi mata kuliah wajib di
berbagai jurusan tafsir hadits di beberapa IAIN/UIN. Berbagai kritik dan saran
sudah kami sampaikan kepada mereka. Tetapi, banyak dosen yang tetap
141 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
bertahan dengan hal itu dan bahkan ada yang menyatakan bahwa penggunaan
hermeneutika untuk tafsir Al-Qur‘an adalah sudah final dan harga mati. Berbagai
kritik terhadap penggunaan hermeneutika untuk Al-Qur‘an sudah ditulis melalui
artikel, makalah, dan buku-buku. Mereka tidak mau mendengar dan terus
berjalan dengan programnya.
Dalam buku Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi,
sudah dikritik, sebuah materi kuliah bertajuk ―Kajian Orientalisme terhadap Al-
Qur‘an dan Hadis‖ di Jurusan Tafsir Hadits UIN Jakarta, yang mencantumkan
tujuan pengajaran mata kuliah ini agar mahasiswa ―dapat menjelaskan dan
menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Qur‘an dan hadis.‖ Dan buku pertama
yang dijadikan referensi adalah buku ―Rethinking Islam” karya Prof. Mohammed
Arkoun. Guru besar di Sorbone, Paris, ini memang dikenal dengan teori
dekonstruksi dan desakralisasi Al-Qur‘an.
Lewat buku yang dijadikan rujukan dalam mata kuliah tersebut, Arkoun
menyatakan perlunya dilakukan kritiks teks suci, termasuk Al-Qur‘an.‗‘Sayang
sekali bahwa kritik filosofis terhadap teks suci – yang telah diterapkan pada Bibel
berbahasa Hebrew dan Perjanjian Baru tetapi tidak menimbulkan konsekuensi-
konsekuensi negatif bagi konsep wahyu – terus ditolak oleh pendapat ilmiah
umat Islam,‘‘ tulisnya. Dalam bukunya yang lain, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought, (2002:47) Arkoun menekankan, bahwa dekonstruksi dari segala
jenis ortodoksi adalah menjadi tugas yang paling esensial dari ilmu-ilmu sosial
saat ini. Buku-buku yang mengkritik Arkoun sangatlah banyak, tetapi tidak
dicantumkan sebagai buku wajib.
Lagi pula, untuk apa wacana ―studi kritik Quran‖ ini diajarkan? Bukankah
ini menjiplak pada apa yang telah terjadi dalam Bibel? Dalam sebuah buku
berjudul “Christianity and World Religions: Paths to Dialogue‖ (1996), ditulis satu sub-
bab berbunyi: ―From Biblical Criticism to Qur‟anic Criticism”. Para dosen yang
menyusun kurikulum itu harusnya bersikap kritis dan memahami benar
perbedaan konsep dasar antara Al-Qur‘an dan Bibel, sebelum menyusun
kurikulum untuk mahasiswanya.
Dalam konsep Islam, Al-Qur‘an adalah ‗lafzhan wa ma‟nan‟ dari Allah; Al-
Qur‘an, lafaz dan maknanya dari Allah. Al-Qur‘an adalah Kitab yang tanzil, yang
diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam. Sedangkan Bibel adalah kitab yang ditulis oleh para penulis Bibel yang
dikatakan mendapat inspirasi dari Roh Kudus. Sehingga, bagaimana pun, ada
142 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
unsur manusiawi dalam konsep teks Bible. Dr. C. Groenen, penulis buku
Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, menyatakan, meskipun penulis Bibel
dikatakan mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus, tetapi ―Konsili Vatikan II juga
menggarisbawahi bahwa inspirasi tidak mematikan aktivitas pribadi para penulis,
sehingga betapa suci pun Alkitab, ia tetap manusiawi.‖ Dalam dokumen Konsili
Vatikan II, dei verbum (13), juga disebutkan: “Sebab sabda Allah, yang diungkapkan
dengan bahasa manusia, telah menjadi sama dengan bahasa manusia, sama seperti dahulu
Sabda Bapa Abadi, mengambil daging manusia yang lemah dan menjadi sama dengan
manusia.”
Jadi, bagi kaum Nasrani, Bibel dalam bahasa apa pun, tetap diakui
sebagai ‗holy Bibel‘ atau ‗Alkitab‘. Semuanya disebut ‗Bibel‘. Tidak ada ‗Bibel
terjemah‘. Toh, kaum Kristen tetap menyatakan, kitabnya sebagai ‗Kitab Suci‘
dan isinya dikatakan sebagai ‗firman Tuhan‘. Mereka tidak akan rela jika kitabnya
diinjak-injak.
Karena itu, upaya dekontsruksi dan desakralisasi terhadap Al-Qur‘an pada
kalangan akademisi di lingkungan perguruan tinggi Islam dan sejenisnya,
sangatlah aneh, naif, dan memprihatinkan. Kasus dosen IAIN Surabaya ini
semoga dapat menyadarkan kalangan petinggi IAIN/UIN dan Departemen
Agama, bahwa ada hal yang serius sedang terjadi dalam bidang studi Islam dan
studi Al-Qur‘an di kampus-kampus berlabel Islam. Mereka biasanya
mengatakan, bahwa itu hanya dilakukan oleh sebagian kecil dosen dan
mahasiswa, dan dalam konteks kajian akademis ilmiah. Kita bertanya, kenapa
yang kecil itu dibiarkan? Dan apakah dengan alasan kajian ilmiah seorang siswa
boleh mengencingi muka gurunya? Jika syaraf-syaraf dalam tubuh kita masih
berfungsi dengan baik, maka tusukan jarum yang sangat kecil pun akan terasa
sangat sakit!
3. Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama
adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut
penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju
Tuhan yang sama. Tuhan – siapa pun nama-Nya – tidak menjadi masalah.
Tokoh Pluralis Agama, Prof. John Hick, lebih suka menyebutnya "The Eternal
One". Tuhan inilah yang menjadi tujuan dari semua agama. Seorang tokoh
Yahudi, Claude Goldsmid Montefiore, dalam The Jewish Quarterly Review,
tahun 1895, menulis: "Many pathways may all lead Godward, and the world is richer for
that the paths are not new."(Lihat, John Hick, God Has Many Names,(Pennsylvania:
The Westminter Press, 1982), hal. 40-45).
143 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Bagi kaum Pluralis – seperti disebutkan dalam makalah Pengantar Kuliah
Umum – siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena mereka
memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya
relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God,
Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual
dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish
Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:
"...setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan
yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan
dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan,(Bandung: Mizan,
1999), hal. xix.)
Jalaluddin Rakhmat juga menulis:
―Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani,
Yahudi, kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil
alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun,
termasuk dengan fatwa.‖ (Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran
Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 34)
Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan
yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana
dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit
tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Sebagaimana kaum
Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus.
Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau
menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka. Kaum musyrik dan
Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama
dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Qur‘an.(QS
29:61, 43:87).Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Qur‘an menggunakan kata yang
sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah
adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan
sebagainya. Karena itu, mereka melakukan tindakan syirik. Sama dengan kaum
Kristen,yang dalam pandangan Islam, telah melakukan tindakan syirik dengan
mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad Shalallahu
'Alaihi wa Sallam sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan
kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-
144 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
masing secara bergantian. Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam
menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah
Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir
Quraisy.
"Katakan, hai orang-orang kafir!
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).
Surat Al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang
berbeda -meskipun namanya sama, yaitu Allah- dan cara beribadah yang tidak
sama pula, maka tidak biasdikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir
Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep
Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga
cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang
mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah
Tuhan masing-masing.
Kaum Pluralis Agama biasanya mengambil dalil QS 2:62 dan 5:69 untuk
menyatakan bahwa semua pemeluk agama apa pun, asalkan "beriman kepada
Allah", "percaya kepada Hari Akhir" dan "beramal saleh", pasti akan selamat.
Padahal, yang dimaksud dengan "beriman kepada Allah" dalam kedua ayat
tersebut, adalah "iman" yangsesuai dengan konsep iman Islam, bukan konsep
iman kaum musyrik Arab, kaum Kristen, atau agama-agama lain. Ada yang
menyatakan bahwa karena kedua ayat tersebut tidak mewajibkan ―beriman
kepada Nabi Muhammad‖ maka untuk meraih keselamatan, kaum Yahudi dan
Kristen (Ahlul Kitab) tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad Shalallahu
'Alaihi wa Sallam.
Pendapat semacam ini, misalnya, dikemukakan oleh Prof. Abdul Aziz
Sachedina, yang menulis:
―Rashid Rida does not stipulate belief in the prophethood of Muhammad for the Jews
and Christians desiring to be saved, and hence implicitly maintains the salvific validity of both
the Jewish and Christian revelation.”(Lihat Abdul Aziz Sachedina, “Is Islamic Revelation
145 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification in the Classical and
Modern Age, dalam Hans Kung and Jurgen Moltman, Islam: A Challenge for
Christianity, (London: SCM Press, 1994), hal. 99).
Pendapat semacam itu yang disandarkan kepada Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar adalah pendapat yang salah dan menipulasi
data, yang hanya mengutip sebagian pendapat dalam Al-Manar Jld I: 336-338.
Dijelaskan dalam bagian Tafsir Al-Manar lainnya, bahwaQS 2:62 dan 5:69 adalah
membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi
(Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak
tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang
hidup sebelum kedatangan Nabi, yakni tidak wajib beriman kepada kenabian
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. (Lihat, M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-
Manar, (Beirut: Darul Fikr, 1354 H), Jld. IV, hal. 318.)
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka
(sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat
keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni
iman yang tidak bercampur dengankemusyrikan dan disertai dengan ketundukan
yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Qur‘an
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat
ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena Al-Qur‘an
merupakan landasan untuk berbuatdan menjadi pemberi koreksi serta kata putus
ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak
ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-
kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan
buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang
dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari
kesenangan dunia. (Ibid, hal. 317).
Terakhir, argumentasi kaum Pluralis Agama -- bahwa "semua agama
adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama" – jelas-jelas juga
pendapat yang bathil. Jika semua jalan adalah benar, maka tidak perlu Allah
memerintahkan kaum Muslim untuk berdoa "Ihdinash shirathal mustaqim!"
(Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat al-Fatihah disebutkan,
ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalannya orang-orang
yang dimurkai Allah dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua
jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok dan jalan yang sesat.
(Dalam Sunan Tirmidzi bab Tafsir Al-Qur‟an 'an Rasulillah hadits No. 2878 dan
146 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Musnad Imam Ahmad hadits No 18572 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan "al-maghdhub" adalah "al-yahuud" dan "al-dhallin" adalah "al-nashara").
Lagi pula, jumlah agama di dunia ini begitu banyak, ribuan jumlahnya.
Agama yang manakah yang dimaksud oleh kaum Pluralis itu sebagai agama yang
benar? Apakah kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bisa
membenarkan semua agama benar -- termasuk agama Gatholoco dan
Darmogandhul yang jelas-jelas melakukan pelecahan terhadap Allah dan Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam? Perkataan "semua agama benar" atau
"semuanya benar" juga tidak secara konsisten diikuti oleh penganjur paham
Pluralisme Agama, karena pada saat yang sama, mereka juga merasa benar
sendiri, dan menyalahkan para pemeluk agama yang meyakini kebenaran
agamanya masing-masing.
147 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB XI
PAHAM KESETARAAN GENDER
Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti ―jenis
kelamin‖.188 Dalam Webster's New World Dictionary, sebagaimana yang dikutip
Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur‟an, gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku.189
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat.190 Hilary M. Lips dalam bukunya yang
terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender secara terminologis,
sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural
expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum
feminis,
191 seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat
perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk
bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component
of gender).192
Munculnya paham kesetaraan gender ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh
konsep masyarakat Barat yang telah lama mengalami problem hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi dalam kata pengantar
buku Indahnya Keserasian Gender dalam Islam karya Henri Shalahuddin (dkk.),
188 John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000,
cet. XXV, hlm. 265. Sebenarnya arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Persoalannya karena kata gender termasuk kosakata baru sehingga pengertiannya belum diketahui di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lihat, Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bhasa Indonesia, Jakarta: Difa Publisher, tt.
189 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, Jakarta, Paramadina, 2001, cet. II, hlm. 33.
190 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, cet. I, hlm. 4. Lihat juga, Nasaruddin Umar, Argumen..., hlm. 34
191 Lihat pembahasan Azhari, Pendidikan Anak Perempuan Dalam perspektif Islam dan Kesetaraan Gender, Bogor: Ulil Albaab, 2012.
192 Nasaruddin Umar, Perspektif Jender dalam Islam, http: //media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender1.html. 2/6/2012.
148 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
bahwa konsep tersebut terbentuk dari protes para wanita dalam sebuah gerakan
yang disebut gerakan feminisme (feminism).193
Jadi, awal mula munculnya paham kesetaraan gender ini berasal dari
gerakan para aktivis feminisme194 yang menuntut adanya kesetaraan195 dan
keadilan196 gender dengan laki-laki dalam segala hal. Istilah feminisme berasal
dari bahasa Latin ―femina‖, perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjadi
fe-minus. Dalam buku Witches Hammer yang ditulis oleh dua orang Inquisitor
Diminican, yang diulas ulang oleh Ruth Tucker dan Walter L Liefeld dalam
buku berjudul Daughter of the Church dinyatakan bahwa, “The very word to
describewoman, femina, according to the authors of (Wichen Hammer) is derived from fe and
minus or fides minus, interpreted as less in faith. Infatti i due domenicani asserivano che la
parola “femmina” derivasse da “fidesminus”.197
Terlepas apakah dasar etimologis kata femina itu benar atau sekadar
mengolok-olok, yang pasti perempuan di Barat dalam sejarahnya, memang
diperlakukan seperti kurang iman. Artinya di sana ada masalah serius dalam soal
hubungan laki-laki dan perempuan dan diselesaikan tanpa jalur agama. Buktinya,
lawan kata feminis yakni masculine “masculinus” atau “masculinity” tidak juga berarti
penuh iman tapi justru strength of sexuality. Tidak heran jika perempuan di Barat
pada masa lalu menjadi korban inqusisi (penyiksaan atas dasar kesalahan dalam
beragama) dan juga perkosaan. Jika kondisi itu merupakan faktor penting dalam
melahirkan wacana dan bahkan teori feminisme dan gender, maka dapat
disimpulkan bahwa keduanya merupakan konstruk sosial masyarakat Barat
postmodern yang misi utamanya adalah mengembangkan kesetaraan (equality).
Dengan kata lain, timbulnya gerakan feminisme adalah keyakinan dasar (basic
belief) masyarakat Barat yang merupakan kombinasi dari berbagai unsur yang
mencerminkan worldview mereka. Sebab worldview secara teoritis, menurut al-
193 Henri Shalahuddin (et. al), Indahnya..., hlm. xix. 194 Menurut Henri Shalahuddin, bahwa feminisme sendiri bermula dari peregrakan sekelompok aktivis
perempuan Barat yang lambat laun mendapat sambutan banyak pihak dan menjadi ideologi yang mengakar dalam masyarakat. Feminisme kemudian berkembang menjadi sebuah disiplin akademik khusus, dan dikenal dengan sebutan “women studies”. Lihat, Henri Shalahuddin, Gender: dari Wacana Kontroversial menjadi Rancangan Undang-Undang (Telaah Kritis terhadap Konsep Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang disampaikan dalam acara “sidang fatwa gender” di Kantor Majelis Intelektual Dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) pada 18 Mei 2012, Jakarta, hlm. 1.
195 Dalam draf RUU KKG pada Ketentuan Umum Bab I Pasal 1 mendefinisikan kesetaraan gender, “kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.”
196 Sedangkan keadilan gender adalah “suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota masyarakat, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.”
197 Henri Shalahuddin (et. al), Indahnya..., hlm. xx.
149 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Attas, Alparslan, Thomas Wall, Ninian Smart merupakan sumber gerakan
intelektual dan sosial. Kenyataannya, worldview Barat liberal menghasilkan feminis
liberal marxis-sosialis, Barat postmodern melahirkan feminis posmo dan
seterusnya.198
Lebih lanjut Hamid menegaskan dalam Problem Kesetaraan Gender dalam
Studi Islam pada Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, bukti bahwa
feminisme dan gender itu berasal dari Barat dapat ditelusuri dari argumen
mereka. Di Barat telah terjadi perubahan sosial dari masyarakat tradisional
agrikultur atau praindustri kepada masyarakat industri. Jika pada masyarakat
tradisional laki-laki (suami) berperan sebagai pemburu atau hunter (di luar rumah)
dan perempuan sebagai peramu atau getherer (di dalam rumah), maka di zaman
industri teori fungsional struktural tidak dapat dipertahankan lagi dan harus
diubah. Menurut Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Women, di
abad ke-18, perempuan mulai kerja di luar rumah karena didorong oleh
kapitalisme industri. Perubahan fungsi itu awalnya untuk memenuhi kebutuhan
jasmani (perut), tetapi kemudian berkembang menjadi ambisi sosial, atau
tuntutan hak sosial dan politik. Maka tidak heran jika perempuan Barat pada
zaman industri dibingungkan oleh dua pilihan; apakah menjadi wanita karir atau
ibu rumah tangga.199
Secara historis, suara-suara feminis mulai terdengar di Barat (dalam hal ini
Eropa) pada abad pertengahan di mana gereja, pada saat itu berperan sebagai
sentral kekuatan dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya
sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Menurut Adian Husaini dalam Tinjauan
Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, sampai abad ke-17, gereja masih tetap
mempertahankan hegemoninya, berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas
dan legitimasi gereja, dianggap heresy dan dihadapkan ke Mahkamah Inquisisi.200
Robert Held, dalam bukunya Inquisition, sebagaimana dikutip Adian
Husaini dalam Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-
Liberal, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang
kejahatan inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh gereja ketika itu. Dipaparkannya
lebih dari 50 jenis dan model alat-alat penyiksa yang sangat brutal, seperti alat
pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia,
198Ibid., hlm. xxi. 199 Hamid Fahmy Zarkasyi, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam dalam Jurnal Pemikiran dan
Peradaban Islam ISLAMIA, vol. III no. 5, 2010, hlm. 4-5. 200 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, Jakarta: GIP, 2004, cet. I, hlm. 158-159.
150 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat
dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen
korban penyiksaan dan pembunuhan adalah perempuan. Antara tahun 1450-
1800, diperkirakan sekitar 2 sampai 4 juta wanita telah dibakar hidup-hidup di
daratan Katolik maupun Protestan Eropa.201
Inilah titik ekstrim di mana masyarakat Barat, khususnya perempuan, ingin
melepaskan diri dengan sebebas-bebasnya dan lepas kendali dari kekejian
doktrin-doktrin gereja yang sangat ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat
manusia. Munculnya perlakuan biadab tersebut karena didasari anggapan negatif
terhadap kaum perempuan.
Maududi berpendapat, sebagaimana yang dikutip Dinar Dewi Kania dalam
Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, ada dua doktrin dasar gereja yang
membuat kedudukan perempuan di Barat abad pertengahan tak ubahnya seperti
binatang. Pertama, gereja menganggap perempuan sebagai ibu dari dosa yang
berakar dari setan jahat. Perempuanlah yang menjerumuskan laki-laki ke dalam
dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. Tertullian (150 M) sebagai
Bapak Gereja pertama menyatakan bahwa wanita yang membukakan pintu bagi
masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk
melanggar hukum Tuhan, dan membuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi
bayangan Tuhan.202
Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan memberatkan
kaum perempuan adalah menganggap hubungan seksual antara pria dan wanita
adalah peristiwa kotor walaupun mereka sudah dalam ikatan perkawinan sah.
Hal ini berimplikasi bahwa menghindari perkawinan adalah simbol kesucian,
kemurnian, dan ketinggian moral. Jika seseorang menginginkan hidup dalam
lingkungan agama yang bersih dan murni, maka lelaki tersebut tidak
diperbolehkan menikah, atau mereka harus berpisah dari istrinya, mengasingkan
diri, dan pantang melakukan hubungan badan. Kehidupan keras yang dialami
201 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta:
GIP, 2005, cet. I, hlm. 15-16. Menurut Adian Husaini, masyarakat Barat seperti terjebak dalam berbagai titik ekstrimdan lingkaran setan yang tiada ujung pangkal dalam soal nilai. Mereka berangkat dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Lihat, Adian Husaini, Kesetaraan Gender: Konsepe dan Dampaknya terhadap Islam, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “Islamia”, vol. III, no. 5, 2010, hlm. 15.
202 Dinar Dewi Kania, Isu Gender:Sejarah dan Perkembangannya, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban ISLAMIA, vol. III no. 5, 2010, hlm. 28.
151 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
oleh perempuan-perempuan pada saat gereja memerintah Eropa tertuang dalam
essai Francis Bacon yang berjudul Marriage and Single Life pada tahun 1612.203
Pada awal mula Abad Pencerahan yaitu abad ke-17, saat Bacon menulis
essainya tentang kondisi perempuan Inggris saat itu yang mengalami kehidupan
sulit dan keras. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Saat itu yang
bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata ia sangat
membenci perempuan. Pembunuhan dan pembakaran terhadap perempuan-
perempuan yang diruduh sebagai ―nenek sihir‖ yang dipelopori oleh pendeta,
pada dasarnya merupakan ekspresi anti perempuan. Hukuman yang brutal
dijatuhkan kepada seorang perempuan yang melanggar perintah suaminya.
Tradisi ini mengembangkan pemikiran bahwa perempuan menyimpan bibit-bibit
keburukan sehingga harus terus menerus diawasi dan ditertibkan oleh anggota
keluarganya yang laki-laki atau suaminya bila ia sudah menikah. Pemikiran ini
membawa konsekuensi bagi pemikiran lainnya seperti ide bahwa lebih baik
seorang laki-laki tinggal sendiri, tidak menikah, dan jauh dari perempuan. Hidup
tanpa nikah ini merupakan kehidupan laki-laki, jauh dari pengaruh buruk dan
beban anak-anak sehingga laki-laki bisa berkonsentrasi pada dunia publiknya.204
Hal senada juga paparkan secara mendalam oleh Syamsuddin Arif dalam
karyanya Orientalis dan Diabolisme Pemikiran yang berkaitan dengan ‗pandangan
sebelah mata‘ terhadap perempuan (misogyny) dan berbagai macam anggapan
buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan kepada mereka. Semua itu
bahkan telah mengejawantah dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum,
dan politik. Pakar Ibn Sina205 yang menguasai lebih dari lima bahasa ini (Arab,
Inggris, Prancis, Jerman, Greek, Latin, Hebrew, dan lain-lain) menuturkan:
―Bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristotle di zaman pra Kristen,
diikuti oleh St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas
pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Roesseau, dan Nietzche di awal
abad modern, citra dan kedudukan perempuan memang tidak pernah dianggap
setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan
anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi Gereja
203Ibid., lihat juga, Inayati Ashriyah, Ibadah Ringan..., hlm. 51. 204 Dinar Dewi Kania, Isu Gender..., hlm. 29. 205 Dalam penelitiannya semasa kuliah di ISTAC-IIUM (S2 dan S3), ia memang mengkaji tentang Ibn Sina.
Pada tahun 1999 ia menyelesaikan program S2 dengan tesis Ibn Sina’s Teory of Intuition dibawah bimbingan Alparslan Acikgenc. Program S3 berhasil diselesaikannya pada 2004 dengan disertasi berjudul Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation of Greek Philosophical Ideas in 11th Century Islam, di bawah supervisi Paul Lettinck.
152 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
menuding perempuan sebagai sumber malapetaka dan pembawa sial, biang
keladi kejatuhan Adam dari surga. Ditujukan kepada perempuan, tercatat
ungkapan Tertullian, ―Tidakkah engkau menyadari bahwa engkaulah si Hawa
itu? Kutukan yang dijatuhkan Tuhan kepada kaum sejenismu akan terus
memberatkan dunia. Karena bersalah maka engkau mesti menanggung derita.
Engkau adalah pintu masuknya setan‖.
Dalam pandangan St. Jerome, wanita adalah akar dari segala kejahatan (the
root of all evil). Penilaian serupa dinyatakan oleh St. John Chrycostom, ―Tidak ada
gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih
merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan
yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang
menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna-warna indah.
Tokoh sesudahnya, St. Augustine, bahkan menganggap hubungan intim antara
suami istri sebagai perbuatan kotor. St. Albertus Magnus menguatkan:
Perempuan adalah laki-laki yang cacat sejak awalnya, serba kurang dibanding
laki-laki. Makhluk yang tidak pernah yakin pada dirinya sendiri dan cenderung
melakukan berbagai cara demi mencapai keinginannya, dengan berdusta dan tipu
muslihat ala iblis. Perempuan tidak cerdas namun licik, seperti ular berbisa dan
setan bertanduk. Jika rasio menuntun laki-laki pada kebaikan, emosi menyeret
perempuan pada kejahatan. Demikian pula St. Thomas Aquinas yang
menyamakan perempuan dengan anak-anak, secara fisik maupun mental.
Wajarlah jika kemudian peran wanita dibatasi dalam lingkup rumah tangga saja.
Perempuan tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan laki-laki.206
Jelaslah, penindasan terhadap perempuan Barat di bawah pemerintahan
gereja membuat suara-suara perempuan yang menginginkan kebebasan semakin
menggema di mana-mana. Perempuan Barat menjadi makhluk lemah dan tidak
berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan. Hal itulah yang
mendorong para perempuan Barat bergerak untuk mendapatkan kembali hak
individu dan hak sipil mereka yang terampas selama ratusan tahun.
Latar belakang perempuan Barat yang kelam akhirnya memunculkan
gerakan-gerakan perempuan yang menuntut hak dan kesetaraan dengan kaum
laki-laki serta mulai mempersoalkan masalah perceraian, prostitusi, dan peran
gereja dalam mensubordinasi perempuan.
206 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: GIP, 2008, cet. I, hlm. 104-105.
153 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Revolusi yang terjadi di Eropa membuat gerakan perempuan
mendapatkan kesempatan untuk ikut menyuarakan kepentingan mereka. Pada
Revolusi Puritan di Inggris Raya pada abad 17, kaum perempuan Puritan
berusaha untuk mendefinisakan ulang area aktifitas perempuan dengan menarik
legitimasi dari doktrin-doktrin yang menjadi otoritas bapak, laki-laki, pendeta,
dan pemimpin politik. Revolusi Puritan telah menghasilkan ferment di mana
semua bentuk hierarki ditulis semua oleh anggota sekte yang radikal di Inggris
Raya. Pada tahun 1890, kata feminis digunakan untuk mendeskripsikan
kampanye perempuan pada pemilihan umum ketika banyak organisasi telah
didirikan di Inggris untuk menyebarkan ide liberal tentang hak individual
perempuan.207
Revolusi Prancis (1789) juga telah memberi pengaruh besar pada gerakan
perempuan di Barat. Kaum perempuan pada saat itu terus bergerak
memanfaatkan gejolak politik di tengah revolusi yang mengusung isu liberty,
equality, dan fratenity. Pada bulan Oktober 1789 perempuan-perempuan pasar di
Prancis berjalan dari Versailles yang diikuti oleh pasukan keamanan nasional.
Roti hilang dari pasaran, para perempuan miskin melakukan aksi masa menuntut
Raja agar mengontrol harga dan konsumsi dan menyediakan roti murah bagi
rakyat. Di Prancis saat itu masyarakat terpecah menjadi dua kelompok besar,
yaitu kelompok modrat yang masih menghendaki Konstitusi Monarki dan
kelompok radikal yang menginginkan Monarki berakhir. Gerakan perempuan
aktif mendukung kelompok radikal yang mendukung ide-ide Republik, walaupun
kemudian akhirnya mereka terlibat pertikaian politik antar faksi-faksi yang ada.
Dan akhirnya pada tahun 1792, kaum perempuan memperoleh hak untuk bisa
bercerai dari suaminya.208
Dua feminis yang terkemuka, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton,
pada tahun 1848 mengorganisir pertemuan akbar Konvensi Hak-Hak
Perempuan di Seneca Falls yang dihadiri oleh 300 peserta laki-laki dan
perempuan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan deklarasi yang menuntut
reformasi hukum-hukum perkawinan, perceraian, properti, dan anak. Di dalam
deklarasi tersebut mereka memberi penekanan pada hak perempuan untuk
berbicara dan berpendapat di dunia publik. Konvensi di Seneca Falls merupakan
bentuk protes kaum perempuan terhadap pertemuan akbar konvensi
207Ibid., hlm. 30. 208Ibid.
154 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
penghapusan perbudakan sedunia pada tahun 1840, di mana kaum perempuan
tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.209
Pada awal abad 20 feminisme mulai digunakan di Amerika dan Eropa
untuk mendeskripsikan elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang
menekankan pada keistimewaan dan perbedaan perempuan, daripada mencari
kesetaraan. Feminisme digunakan untuk mendeskripsikan tidak hanya kampanye
politik untuk pemilihan umum tetapi juga hak ekonomi dan sosial, seperti
pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau birth control. Dari sekitar
perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan bahwa feminisme saja
tidak cukup, kemudian mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis
sosialis. Kaum sosialis perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka
melihat feminisme hanya mengekspresikan secara eksklusif kepentingan
perempuan kelas menengah dan profesional.210
Kaum feminis kemudian mengembangkan konsep gender pada tahun
1970 sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan
laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di masyarakat pada
akhirnya berbeda-beda. Kemudian wacana gender diperkenalkan oleh
sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977. Sejak itu para feminis
mengusung konsep gender equality atau kesetaraan gender sebagai mainstream
gerakan mereka. Untuk itu perlu untuk dipaparkan apa itu feminisme.
209Ibid. 210Ibid.
155 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB XII
KRITIK TERHADAP HERMENEUTIKA
A. Hakikat Hermeneutika
Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal. Islam tidak
berkembang dalam sejarah. Konsep tajdid (pembaharuan) dalam Islam,
bukanlah membuat-buat hal yang baru dalam Islam, melainkan upaya untuk
mengembalikan kemurnian Islam. Ibarat cat mobil, warna Islam adalah abadi.
Jika sudah mulai tertutup debu, maka tugas tajdid adalah mengkilapkan cat itu
kembali, sehingga bersinar cerah seperti asal-mulanya. Bukan mengganti dengan
warna baru yang berbeda dengan warna sebelumnya.
Al-Qur‘an adalah wahyu Allah yang otentik dan tidak pernah mengalami
perubahan sejak diturunkannya. Hal ini tidak terlepas dari penjagaan Allah
sendiri terhadap otentisitas Al-Qur‘an, sebagaimana disebut dalam Qs. al-Hijr: 9:
يراؾع إ٢ا ي صيا ايرنس إ٢ا ر
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya” (Qs. al-Hijr: 9)
Akhir-akhir ini, para akademisi didikan Barat dengan dalil pembaharuan,
Mencoba melakukan gerakan desakralisasi Al-Qur‘an, melalului metode
hermeneutika. Padahal metode ini belum pernah dikenal dalam khazanah Islam.
Hermeneutika berbeda dengan tafsir dalam tradisi Islam. Hermeneutika
tidak sesuai untuk kajian Al-Qur‘an, baik dari segi teologis, filosofis,
epistemologis. Dalam sisi teologis, hermeneutika akan berakhir dengan
mempersoalkan ayat-ayat Al-Qur‘an dan menganggapnya problematik. Dalam
artian filosofis hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum muslimin
yang berpegang bahwa Al-Qur‘an adalah Kalam Allah. Dari segi epistemologis
hermeneutika bersumber dari keraguan (dzan, syak, dan miraa) Sedangkan tafsir
sumber epistemologinya adalah wahyu Al-Qur‘an.
Sebagian akedemisi yang belajar di Barat ataupun yang mempelajari Barat
dengan latah menerapkan apa yang menurut ‗mereka‘ baik, sehingga mengadopsi
156 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
segala yang datang dari Barat tanpa proses filterisasi. Maka mulailah mereka
mengkaji Islam dari framework Barat dan menggunakan metode dan sikap
skeptik dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an. Dengan metode ini,
konsep wahyu dalam Islam yang bersifat universal dan final didekontruksi
menjadi kondisional, lokal dan temporal. Pada akhirnya, metode hermeneutika
hanya berujung pada paham reativisme.
Adalah kesalahan terbesar dan tidak rasional, jika seorang Muslim
memperlakukan Al-Qur‘an dan memahaminya menurut tren Barat-Kristen. Kita
patut kasihan, karena ada orang yang menempuh pendidikan tinggi-tinggi hingga
bertahun-tahun akhirnya tidak pernah menemukan kebenaran dan keyakinan.
Dan sekolah jauh-jauh ke luar negeri hanya berakhir pada kebingungan dan
keraguan, dan kemudian pulang menjadi ‗corong‘ para orientalis. Alih-alih
imannya bertambah, justru menyebarkan keraguan tentang Al-Qur‘an.211
Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermêneuine dan hermênia yang
masing-masing artinya ―menafsirkan‖ dan ―penafsiran‖. Kedua istilah ini
diasosiasikan kepada Hermes (hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi
Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata
yang masih samar-samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia.212
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi
prinsip-prinsip umum tentang interpretasi Bibel. Tujuan utama hermeneutika
adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel.213 Sebab Bibel
memiliki sejumlah masalah. Masalah pertama, para teolog mempertanyakan
apakah secara harfiah Bibel itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan
manusia. Masalah kedua, Bibel kini dibaca dan ditulis bukan lagi dalam bahasa
asalnya. Bahasa asal Bibel adalah Hebrew untuk perjanjian lama, Greek untuk
perjanjian baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Problem
teks Bibel ini diperparah lagi dengan tradisi Kependetaan yang memberi kuasa
agama secara penuh kepada gereja.214
211 -Lihat Ahmad Naufal, Kritik Terhadap Hermeneutika Dalam Studi Al-Qur’an, Bogor: PPMS Ulil
Albaab. 212Ilham B. Saenong, Hermeunetika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hassan Hanafi,
(Jakarta: Teraju, 2002), hal. 23 213Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta:
Gema Insani, 2005), hal. 290. 214Lihat Ugi Suharto,“Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika” dalam Jurnal Islamia, Tahun I, No.
1, 2004.
157 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Dalam analisis Werner, setidaknya ada tiga lingkungan yang
mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika hingga sekarang:
1. Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani
2. Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab
―suci‖ agama mereka
3. Masyarakat Eropa zaman pencerahan (enlightenment) yang berusaha lepas dari
otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Ketiga milieu ini tidak terjadi secara bersamaan, akan tetapi merupakan
tahapan-tahapan. Berdasarkan analisis tersebut, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi
sejarah hermeneutika menjadi tiga fase, yaitu:
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen
Dalam mitologi Yunani, dewa-dewa dipimpin oleh Zeus bersama Maia.
Pasangan ini mempunyai anak bernama Hermes. Hermes inilah yang bertugas
untuk menjadi perantara dewa dalam menyampaikan pesan-pesan mereka
kepada manusia.
Metode hermeneutika secara sederhana merupakan perpindahan fokus
penafsiran dari makna literal atau makna bawaan sebuah teks kepada makna lain
yang lebih dalam. Dalam artian ini, para pengikut aliran filsafat Antisthenes yang
didirikan sekitar pertengahan abad ke-4 sebelum masehi telah menerapkan
hermeneutika pada epik-epik karya Homer (abad IX SM). Mereka mengartikan
Zeus sebagai Logos (akal), luka Aphrodite-dewi kecantikan-sebagai kekalahan
pasukan Barbar dan sebagainya.
Dasar mereka adalah kepercayaan bahwa dibalik perkataan manusia pun
sebenarnya ada inspirasi Tuhan. Kepercayaan tersebut sejatinya refleksi
pandangan hidup orang-orang Yunani saat itu.
Walaupun hermeneutika sudah diterapkan terlebih dahulu, namun istilah
hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam
Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya ―menunjukkan
sesuatu‖ dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas
kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika
sebagai ilmu interpretasi alegoris.
Metode alegoris ini dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria
(20SM-50M), seorang Yahudi yang disebut sebagai Bapak metode alegoris. Ia
mengajukan metode bernama typology yang menyatakan bahwa pemahaman
158 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
makna spiritual teks tidak berasal dari teks itu sendiri, akan tetapi kembali pada
sesuatu yang berada di luar teks. Philo menerapkan metode ini atas Kitab
Perjanjian Lama, ia menginterpretasikan ―pohon kehidupan‖ sebagai ―takut
kepada Tuhan‖, ―pohon pengetahuan‖ sebagai ―hikmah‖, ―empat sungai yang
mengalir di surga‖ sebagai ―empat kebajikan pokok‖, ―Habil‖ sebagai ―takwa
yang bersumber dari akal‖, ―Qabil‖ sebagai ―egoisme‖ dan sebagainya.
Hermeneutika alegoris ini kemudian diadopsi dalam Kristen oleh Origen
(185-254 M). Ia membagi tingkatan pembaca Bibel menjadi tiga:
a. Mereka yang hanya membaca makna luar teks.
b. Mereka yang mampu mencapai ruh Bibel.
c. Mereka yang mampu membaca secara sempurna dengan kekuatan
spiritual.
Origen juga membagi makna menjadi tiga lapis, yang kemudian
dikembangkan oleh Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat: makna
literal atau historis, alegoris, moral dan anagogis atau spiritual. Namun metode
ini ditentang oleh gereja yang berpusat di Antioch. Hingga munculnya St.
Augustine of Hippo (354-430 M) yang mengenalkan semiotika. Di antara
pemikir Kristen lain yang ikut menyumbangkan pemikiranny adalah asimilasi
teori hermeneutika dalam teologi Kristen adalah ThomasAquinas (1225-1274).
Sementara itu, Kristen Protestan membentuk sistem interpretasi
hermeneutika yang bersesuaian dengan semangat reformasi mereka. Prinsip
hermeneutika Protestan berdekatan dengan teori yang digulirkan Aquinas.
Di antaranya keyakinan bahwa kehadiran Tuhan pada setiap kata
tergantung pada pengamalan yang diwujudkan melalui pemahaman yang disertai
keimanan (self interpreting). Protestan juga berpandangan bahwa Bibel saja cukup
untuk memahami Tuhan (sola scriptura), di sisi lain, Kristen Katolik dalam Konsili
Trent (1545) menolak pandangan ini dan menegaskan dua sumber keimanan dan
teologi Kristen, yaitu Bibel dan tradisi Kristen.
2. Dari teologi Kristen yang problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat
Dalam perkembangan selanjutnya, makna hermeneutika bergeser
menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti
Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam
kehidupan sekarang. Satu masalah yang selalu dimunculkan adalah perbedaan
antara bahasa teks serta cara berpikir masyarakat kuno dan modern.
159 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Dalam hal ini, fungsi hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel
menjadi metode pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah
seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841). Ast membagi pemahaman
teks menjadi tiga tingkatan:
a. Pemahaman historis, yaitu pemahaman berdasarkan perbandingan satu
teks dengan yang lain.
b. Pemahaman ketata-bahasaan, dengan mengacu pada makna kata teks.
c. Pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk pada semangat,
mentalitas dan pandangan hidup sang pengarang terlepas dari segala
konotasi teologis ataupun psikologis.
Dari pembagian di atas, dapat dicermati bahwa obyek penafsiran tidak
dikhususkan pada Bibel saja, akan tetapi semua teks yang dikarang manusia.
3. Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika
Pergeseran fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan
hermeneutika adalah ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman
berubah menjadi filsafat. Perubahan ini dipengaruhi oleh corak berpikir
masyarakat modern yang berpangkal pada semangat rasionalisasi. Dalam periode
ini, akal menjadi patokan bagi kebenaran yang berakibat pada penolakan hal-hal
yang tak dapat dijangkau oleh akal atau metafisika.
Babak baru ini dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher
(1768-1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri
Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal
hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana
teks-teks lain yang dikarang manusia.
Pemikiran Schleiermacher dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm
Dilthey (1833-1911), seorang filosof yang juga pakar ilmu-ilmu sosial.
Setelahnya, kajian hermeneutika berbelok dari perkara metode menjadi ontologi
di tangan Martin Heidegger (1889-1976) yang kemudian diteruskan oleh Hans-
Georg Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas (1929-).
Dari filsafat hermeneutika inilah akhirnya hermeneutika dikembangkan
dan diujicoba untuk dimasukkan dalam kajian-kajian Al-Qur‘an oleh Fazlur
Rahman(1919-1998), Aminah Wadud, Mohammed Arkoun, Nasr Hâmid Abû
Zaid, Muhammad Syahrur, yang kemudian diadopsi oleh pemikir-pemikir
160 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Indonesia seperti Ulil Abshar Abdalla, Lutfhie Assyaukanie dan Taufik Adnan
Amal.
B. Prinsip Dasar Hermeneutika215
Dari sekian banyak teori-teori yang diajukan oleh para hermeneut, ada
benang merah yang menghubungkan teori-teori hermeneutika sejak zaman
Yunani, Yahudi, Kristen, filsafat, hingga masa penggunaannya dalam
memandang Al-Qur‘an, yaitu:
1. Hermeneutika muncul atas desakan rasionalisasi atas teks-teks yang
dianggap penuh dengan mitos atau jauh dari kenyataan atau
bahkanbertentangan dengan akal sehat. Sifat defensif hermeneutika ini
bertujuan agar teks-teks “Ilahi” tersebut dapat diimani dan diaplikasikan
sepanjang waktu.
Syair Homer dianggap para filosof Yunani tak lebih dari sekedar
mitos,sedang pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam Bibel mendesak
parafilosof Yahudi dan Kristen untuk berjuang ―mendamaikan‖
pertentangan tersebut dan menemukan persamaannya. Ketika mereka tidak
mendapatkan persamaan dalam teks, mereka beranjak pada sesuatu yang
lain yang bersifat lebih umum, mencakup dan menjadi titik temu
perbedaan-perbedaan tersebut.
2. Pembagian teks pada dua dimensi, makna literal dan spirit teks.
3. Dekonstruksi otoritas yang terdapat dalam teks, baik otoritas bermakna
pengaruhnya dalam masyarakat, atau nilai keilahian teks tersebut.
Dalam hal ini, para penganut Cynicism membongkar kepercayaan nilai
ilahiah yang bersemayam dalam syair epik Homer dan memaknainya dengan
spirit. Sementara Schleiermacher dengan menggabungkan hermeneutika
filologis dan teologis dalam universal hermeneutics-nya berarti telah
menyatukan problematika penafsiran bibel dan teks kuno pada masalah
penafsiran umum. Penyatuan ini berpangkal dari gagasannya untuk
mengabaikan nilai-nilai metafisis dalam Bibel yang menghalangi bentuk
penafsiran yang rasional.
Tak ketinggalan juga Arkoun dan Nasr Hâmid berupaya untuk mereduksi
nilai keilahian dalam Al-Qur‘an melalui dua pintu, dekonstruksi makna
wahyu dan sejarah Al-Qur‘an. Dengan kesimpulan bahwa Al-Qur‘an tak
215Angga Prilakusuma,“Telaah Kritis...”.
161 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
lebih dari teks-teks manusia biasa dan karena itu hermeneutika dapat
diaplikasikan.
4. Dalam mekanismenya, hermeneutika menuntut penafsir untuk kembali
merujuk pada masa awal teks tersebut tertulis demi mengetahui ruang
lingkup yang mengitari pembentukan teks, berikut sisi psikologis sang
pengarang untuk mengetahui inti maksud teks tersebut. Penafsir kemudian
berusaha untuk mengartikan teks tersebut sesuai dengan konteks
sekarang,dengan arti yang barangkali sangat berbeda dengan makna teks
secara literal.
C. Contoh Aplikasi Hermeneutika216
1. Dengan menggunakan kritik sejarah dan biblis, Fazlurrahman mengatakan
lafadz faqtha‟û aidiyahumâ (maka potonglah tangan keduanya) ditafsirkan
sebagai bentuk perintah untuk menghalangi tangan-tangan pencuri melalui
perbaikan ekonomi. Dengan demikian yang menjadi ideal moral dalam kasus
ini adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi.
Penafsiran seperti ini menyalahi hadis dan para ulama tafsir. Sebab, kata
aidiyahumâdalam ayat di atas bukanlah majâz yang bisa diganti dengan makna
lain. Tapi makna hakiki.
2. Dengan menggunakan tafsir relatif Abû Zaid, Muhammad Syahrur
menafsirkan Qs. an-Nur: 31 tentang aurat, bahwa aurat itu adalah ―Apa yang
membuat seseorang malu bila diperlihatkannya‖. Kemudian ia menjelaskan
bahwa ―aurat itu tidak berkaitan dengan halal-haram, baik dari dekat
maupun dari jauh‖. Di samping itu, Syahrur menafsirkan Qs. al-Ahzab: 59
tentang jilbab, bahwa ayat itu adalah ayat pengajaran dan bukan ayat
pemberlakuan syari‘at. Di samping juga ayat ini juga harus dipahami dengan
pemahaman temporal karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan
orang-orang iseng, ketika para wanita bepergian untuk suatu keperluan.
Menurutnya ada dua jenis gangguan, gangguan alam dan gangguan sosial.
Gangguan alam terkait dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin.
Sedangkan gangguan sosial terkait dengan kondisi dan adat istiadat suatu
masyarakat, sehingga tidak mengundang cemoohan dan gangguan mereka.
Pada akhirnya Syahrur berkesimpulan bahwa batasan pakaian wanita dibagi
dua: batasan maksimal yang ditetapkan Rasulullah yang meliputi seluruh
anggota tubuh selain wajah dan dua telapak tangan. Batasan minimal yaitu
batasan yang ditetapkan Allah yang hanya menutupi juyûb. Menurutnya juyûb
216 Contoh ini diambil dari “Menimbang Framework Studi Tafsir”, Henri Shalahuddin dalam Jurnal
Islamia, Vol. V, No. 1, 2009, hal. 36-40.
162 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
tidak hanya dada, tapi meliputi belahan dada, bagian tubuh di bawah ketiak,
kemaluan dan pantat.
D. Dampak Buruk Hermeneutika
Henri Shalahudin dalam Jurnal Islamia (Vol. V, No. 1, 2009) merinci
dampak penerapan hermeneutika dalam studi Al-Qur‘an sebagai berikut:
1. Munculnya keraguan terhadap kebenaran Islam yang bersifat mutlak dan
absolut.217
2. Mengaburkan (merelatifkan) batasan antara ayat-ayat muhkamât dan
mutasyâbihât; ushûl dan furû‟; tsawâbit dan mutaghayyirât; qath‟iyyât dan
zhanniyyât. Sebagai contoh, dalam madzhab Schleiermacher terdapat
pemikiran bahwa seorang penafsir bisa mengerti lebih baik dari
pengarangnya; Dilthey dengan pemahaman historisnya, berpendapat bahwa
sejarahlah yang mempunyai otoritas atas makna teks, bukan pengarang teks;
Heidegger dan Gadamer dengan pemahaman ontologisnya berpendapat
bahwa penafsir dan teks terikat dengan tradisi yang melatarbelakangi teks;
Habermas dengan pemahaman interes praktis, senantiasa mencurigai bahwa
penafsiran seeorang membawa kepentingan politis, dan sebagainya.
3. Mereduksi sisi kerasulan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.
sebagai penyampai wahyu hingga pada tingkatan sebatas manusia biasa yang
sarat dengan kekeliruan dan hawa nafsu.
4. Dekontruksi wahyu (dengan mengatakan Al-Qur‘an adalah teks manusiawi
ketika memasuki wilayah akal pemikiran manusia) akan menggiring pada
paham relativisme tafsir Al-Qur‘an. Hal ini akan membawa pemahaman
bahwa semua orang dengan berbagai latar belakang dan keilmuannya
memiliki hak yang sama untuk menafsirkan Al-Qur‘an dan masing-masing
penafsir tidak berhak mengklaim bahwa penafsirannya lebih valid dari yang
lain. Hal ini akan memiliki konsekuensi serius:
a. Kebenaran Al-Qur‘an hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat
kebenaran itu sampai kepada manusia, kebenaran itu menjadi kabur,
karena manusia tidak pernah tahu kebenaran seperti apa yang dimaui
Tuhan dalam Al-Qur‘an. Ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat
menurunkan Al-Qur‘an untuk manusia. Sehingga manusia juga tidak
217Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani,
2006), hal. 194.
163 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
pernah merasa berkewajiban menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
b. Mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan
menjelaskan wahyu. Sebab paham relativisme tafsir senantiasa menolak
kaedah-kaedah baku penafsiran, termasuk fungsi hadis sebagai penjelas
Al-Qur‘an.
c. Seolah-olah semua ayat Al-Qur‘an tidak memiliki penafsiran yang tetap
dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan
penafsir dan situasi psiko-sosialnya.
d. Menolak otoritas keilmuan, syarat dan aturan dalam menafsirkan Al-
Qur‘an.
e. Membatalkan konsep dakwah dalam Islam. Menyeru manusia menuju
Islam, akan dipertanyakan, ―Islam yang mana? Islam Muhammadiyah,
NU, Wahabi, Islam Arab, dan seterusnya. Jalan Tuhan yang mana?
Yahudi, Kristen, atau apa?‖.
f. Membatalkan konsep amar ma‟rûf nahi munkar. Orang akan
mempertanyakan ma‟rûf menurut siapa? Apa ukurannya? Atau akan
mengatakan itu munkar menurut anda, tapi mungkin ma‟rûf menurut
orang lain.
g. Berlawanan dengan konsep ilmu. Sebab definisi ilmu dalam Islam
adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, yang tidak lagi
menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara
relativisme selalu bermuara pada keraguan dan kebingungan.
Sedangkan klaim Abû Zaid bahwa Al-Qur‘an adalah teks linguistik yang
terpengaruh kultur Arab pra-Islam dan harus dipahami dengan pendekatan
konteks sejarah saat itu, akan membawa dampak sebagai berikut:
1. Bahwa Al-Qur‘an dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik,
ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Al-Qur‘an adalah hasil
pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan
tempat tertentu, di mana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan
inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat
ungkapan sejarah. Padahal dalam Qs. al-Hâqqah: 44-46, Allah berfirman:
Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian atas (nama) Kami; niscaya benar-
benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong
urat tali jantungnya.
2. Menyamarkan kedudukan suci dan keabsoutan Al-Qur‘an.
164 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
3. Penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan
kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa, menyebabkan kosa
kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan,
pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada
relativitas sejarah.
4. Memisahkan makna antara yang ―normatif‖ dan yang ―historis‖ di satu sisi
dan menempatkan kebenaran secara kondisional menurut kultur tertentu
dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekular.
Dengan demikian klaim bahwa Al-Qur‘an terpengaruh tradisi Arab abad
VII M adalah lemah. Sebaliknya, secara tegas Al-Qur‘an memberikan makna
baru terhadap banyak istilah yang dipahami dalam kultur Arab pra-Islam, seperti
kata muhshan (terbentengi) sebagai ganti kata mutazawwij (orang yang telah
menikah), konsep karîm (mulia) yang ditentukan kadar takwanya, tata cara tawaf,
waris, nikah, dan lain-lain.
E. Tokoh Hermeneutika
Diantara para tokoh penggagas hermeneutika yang paling popular, dan
dijadikan rujukan oleh para aktifis Islam Liberal di Indonesia, mereka adalah:
1. Muhammad Shahrur218
Shahrur lahir di Syria. Ia aktif berkarya dalam pemikiran Islam meskipun
dengan modal latar belakang pendidikan sebagai insinyur sipil dan doktor
mekanika tanah dan teknik bangunan.
Metodologi interpretasi Shahrur mengakibatkan dekontruksi metodologi
fikih. Pandangan teologisnya bisa dilihat dari beberapa pemikiran berikut:
a. Karena teks Al-Qur‘an sendiri adalah wahyu dan mukjizat, berarti
mengajarkan bahwa manusia harus bergantung kepada akal dan tidak
diperlukan lagi wahyu atau mukjizat lebih lanjut. Intinya adalah
interpertasi yang berubah (berkembang), nash yang tsabit, dan relativitas
pemahaman. Kedinamisan dalam menginterperetasikan itulah yang
Shahrur sebut sebagai mukjizat yang dibuat manusia.
218Lebih jauh tentang pemikiran Shahrur dan bantahannya lihat “Tela’ah Kritis ‘Pembaharuan’ Tafsir
Ayat-Ayat Hukum M. Shahrur”, Mahasiswa Pasca Sarjana ISID-Gontor, dalam Jurnal Islamia, Vol. VI, No. 1, 2012, hal. 35-51.
165 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
b. Memandang Al-Qur‘an sebagai makhluk, bukan kalam Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Ia berargumentasi keyakinan ini akan melahirkan pemahaman
teks dengan metode lain.
c. Terdapat ragam istilah yang digunakan untuk Al-Qur‘an. Ragam istilah
tersebut menuntut ragam makna dan maksud, karena menurutnya tidak
ada sinonim dalam Al-Qur‘an.
d. Sunnah Nabi bukanlah wahyu kedua setelah Al-Qur‘an. Bahkan
menurutnya, meyakini sunnah qauliyah sebagai wahyu kedua adalah
bentuk penyekutuan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia menegasikan
sunnah sebagai wahyu.
e. Shahrur membedakan iman kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam sebagai nabi yang membawa misi kenabian, dan sebagai rasul
yang membawa misi kerasulan. Misi kerasulan meliputi tiga hal, yaitu (1)
ritual-ritual, seperti shalat, zakat, dan lain-lain, (2) akhlak, dan (3)
perundang-undangan atau ayat-ayat hukum. Untuk misi kerasulan yang
ketiga, Shahrur menyimpulkan bahwa untuk menentukan hukum-
hukum yang terkandung dalam perundang-undangan atau ayat-ayat
hukum, manusia sekarang jauh lebih matang, karena pada masa nabi
merupakan fase pembentukan risalah, sedang manusia-manusia
sekarang adalah fase sesudah pembentukan nurani.
f. Mengenai konsep iman dan Islam atau mukmin dan muslim. Shahrur
berpandangan bahwa Islam mendahului iman. Islam atau muslim tidak
hanya digunakan untuk pengikut nabi Muhammad saja, tetapi umat
yang lain juga. Mukmin adalah julukan bagi orang-orang yang mengikuti
contoh nabi dalam ritual-ritual seperti shalat.
2. Mohammed Arkoun219
Arkoun berpandangan bahwa banyak hal yang terdapat dalam Islam
yang unthinkable (tak terpikirkan) karena kekuatan dan pemaksaan penguasa
resmi. Sebagai contohnya adalah mushaf Utsmani yang ia anggap sebagai
representasi unthinkable. Arkoun menganjurkan freethinking (berpikir liberal)
untuk mengubah unthinkable menjadi thinkable. Ia beralasan bahwa freethinking
merupakan respon terhadap dua kebutuhan utama, pertama, umat Islam perlu
memikirkan masalah-masalah yang tak terpikirkan sebelumnya dan kedua, umat
219Lebih tentang pemikiran Arkoun dan bantahannya lihat “Kritik Terhadap ‘Kritik Nalar Islam’ Arkoun”, Irwan Malik Marpaung, dalam Jurnal Islamia, Vol. VI, No. 1, 2012, hal. 83-95.
166 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Islam Islam perlu membuka wawasan baru melalui pendekatan sistematis lintas
budaya terhadap masalah-masalah fundamental.
Dalam konteks Al-Qur‘an, Arkoun melihat bahwa penolakan umat Islam
terhadap biblical criticism karena alasan politis dan psikologis. Alasan politis
karena mekanisme demokratis belum berlaku dan psikologis karena pandangan
―khalq al-Qur‟ân‖ Mu‘tazilah tertolak.
Arkoun juga membagi wahyu menjadi dua tingkatan:
a. Umm al-kitâb. Wahyu jenis ini berada di Lauh Al-Mahfûzh, bersifat
abadi, tak terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi
b. Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi dunia (terrestres edition).
Termasuk dalam wahyu ini adalah Al-Qur‘an dan Bibel. Menurutnya
wahyu edisi dunia ini telah mengalami modifikasi, revisidan substitusi.
Selain itu, Arkoun juga membagi sejarah Al-Qur‘an dalam tiga periode:
a. Masa Prophetic Discourse (610-632 M). Al-Qur‘an periode ini lebih suci
dan otentik dibanding periode-periode lain. Sebabnya Al-Qur‘an
periode ini berbentuk lisan yang terbuka untuk semua arti yang
mungkin.
b. Masa Official Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat
bahwa Al-Qur‘an di masa ini telah tereduksi dari al-kitâbal-mûhâ
menjadi tak lebih dari buku biasa. Karena itu mushaf menurutnya tak
patut untuk disucikan.
c. Masa Ortodoks (324 H/936 M)
3. Nasr Hamid Abu Zayd220
Jika Arkoun menggunakan pendekatan historis terhadap Al-Qur‘an,
Nasr Hâmid Abû Zaid memilih untuk mengaplikasikan metode analisis teks
bahasa-sastra. Abû Zaid berpijak pada pendapat bahwa Al-Qur‘an walaupun ia
merupakan kalam Ilahi, namun Al-Qur‘an menggunakan bahasa manusia.
Karena itu ia tak lebih dari teks-teks karangan manusia biasa.
Menurut Abû Zaid, Al-Qur‘an telah terbentuk oleh realitas dan budaya
Arab selama kurang lebih 20 tahun. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa Al-
Qur‘an merupakan produk budaya (muntaj tsaqâfî). Al-Qur‘an yang terbentuk
melalui realitas, budaya dan terungkapkan dalam bahasa menjadikan Al-Qur‘an
220 Lebih jauh tentang pemikiran Shahrur dan bantahannyalihat “Kritik Terhadap al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd”, Lalu Nurul Bayanil Huda, dalam Jurnal Islamia, Vol. VI, No. 1, 2012, hal. 67-81.
167 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
sebagai teks bahasa. Sedang realitas,budaya dan bahasa itu sendiri tak lepas dari
sisi historis yang melingkupinya, karena itu Al-Qur‘an juga merupakan teks
historis. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang dipakai oleh para
ulama,menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan dalam benak mereka
tidak mendorong pada sikap ilmiah.
168 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
BAB XIII
NEOLIBERALISME DAN KAPITALISME
Neoliberalisme (neoliberalism)221 merupakan sekumpulan kebijakan ekonomi
yang merujuk kepada pemikiran bapak ekonomi Kapitalis Adam Smith.222 Ruh
pemikiran ekonomi Adam Smith adalah perekonomian yang berjalan tanpa
campur tangan pemerintah. Model pemikiran Adam Smith ini disebut Laissez
Faire.
Adam Smith memandang produksi dan perdagangan sebagai kunci untuk
membuka kemakmuran. Agar produksi dan perdagangan maksimal dan
menghasilkan kekayaan universal, Smith menganjurkan pemerintah memberikan
kebebasan ekonomi kepada rakyat dalam bingkai perdagangan bebas baik dalam
ruang lingkup domestik maupun internasional.223
Dalam bukunya The Wealth of Nations, Smith mendukung prinsip
"kebebasan alamiah", yakni setiap manusia memiliki kebebasan untuk
melakukan apa yang diinginkannya tanpa campur tangan pemerintah. Ini
mengandung pengertian negara tidak boleh campur tangan dalam perpindahan
dan perputaran aliran modal, uang, barang, dan tenaga kerja. Smith juga
memandang pembatasan kebebasan ekonomi oleh pemerintah sebagai
pelanggaran hak asasi manusia.224
Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin
invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom),
kepentingan diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan
menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk
merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan
dibimbing oleh "tangan tak terlihat". Setiap upaya individu mengejar
kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga
221 Lihat Hidayatullah Muttaqin, Neoliberalisme dan Kebangkrutan Kapitalisme, Lajnah Siyasiyah DPD I
HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) Kalimantan Selatan. 222 Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal.54. 223 Mark Skousen, Sang Maestro "Teori-Teori Ekonomi Modern": Sejarah Pemikiran Ekonomi, (The
Making of Modern Economics, The Lives and Ideas of the Great Thinkers), alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso, cet. ii, (Jakarta: Prenada, 2006), hlm. 21-22.
224 Ibid, hlm. 22.
169 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
mempromosikan kepentingan publik.225 Dengan kata lain, Smith mengklaim
dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire) yang
mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme), maka perekonomian secara
otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan.
Sebagai varian baru dari pemikiran ekonomi liberal, neoliberalisme
dilahirkan untuk menandingi pemikiran ekonomi Keynesian yang mendominasi
Barat selama tiga puluh tahun. Krisis minyak yang dimulai pada akhir tahun
1973 mengakibatkan resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi di atas 20% di
sejumlah negara, dan menyeret negara-negara Dunia Ketiga tidak mampu
membayar hutangnya. Sejak saat itu, negara-negara Kapitalis memandang
doktrin Keynesian tidak mampu memberikan solusi bahkan dianggap sebagai
penyebab krisis.226
Krisis minyak mendorong negara-negara Kapitalis menempuh cara baru di
dalam mengelola perekonomiannya. Pembatasan fiskal dan kontrol atas money
supply menjadi tren baru kebijakan ekonomi di negara-negara Barat. Tahun
1976, IMF memaksa Inggris memangkas belanja publik dan melakukan kontrol
ketat atas inflasi. Menurut Norena Heertz, mulai saat itu doktrin Keynesian
dengan big government-nya telah sekarat atau bahkan mengalami kematian.227
Kesimpulan Heertz tentang matinya doktrin Keynesian tergambar dalam
pidato Perdana Menteri Inggris James Callaghan dalam Kongres Partai Buruh. Ia
mengatakan: "Selama ini, kita berpikiran bahwa anda dapat mengatasi krisis dan
meningkatkan kesempatan kerja dengan menaikkan pengeluaran pemerintah.
Saya beritahukan kepada anda bahwa sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi."
Di Amerika Serikat, Presiden Carter pun mengambil langkah memangkas
pengeluaran publik sebagai bagian dari stimulus ekonomi.228
Di samping doktrin utama laissez faire dan pasar bebas (free market) yang
sudah ada sejak Kapitalisme liberal Adam Smith, doktrin ekonomi neoliberal
dikembangkan ke dalam kerangka liberalisme yang lebih sistematis. Elizabeth
225 Ibid, hlm.26 226 Norena Heertz, Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang Neoliberalisme, dalam
Neoliberalisme, editor I. Wibowo dan Francis Wahono, cet. i, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal.19.
227 Ibid 228 Ibid
170 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Martinez and Arnoldo Garcia menjelaskan lima kerangka utama
neoliberalisme.229
1. Free market
Dalam konsep free market swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap
negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas
perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-
serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa
intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang,
jasa. Para pengusung free market senantiasa menyatakan: "Pasar yang tidak diatur
adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan
memberikan keuntungan bagi setiap orang."
2. Pembatasan anggaran belanja publik
Anggaran publik seperti kesehatan, pendidikan, pemenuhan air bersih,
listrik, jalan umum, fasilitas umum, dan bantuan untuk orang miskin harus
dikurangi dan dibatasi sehingga tidak membebani APBN. Pandangan ini sama
saja dengan mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian dan
pemenuhan kebutuhan publik. Namun di balik paham neoliberal ini, kalangan
korporasi dan pemilik modal sangat mendukung subsidi dan pengurangan pajak
yang menguntungkan bisnis mereka.
3. Deregulasi
Mengurangi atau bahkan menghapus peraturan-peraturan yang
menghambat kepentingan bisnis korporasi dan pemilik modal.
4. Privatisasi
Menjual badan usaha, barang atau pelayan yang menjadi milik negara
(BUMN) kepada investor, khususnya aset-aset dalam bentuk bank, industri-
industri kunci, kereta api, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, dan air bersih.
Alasan utama dilakukannya privatisasi untuk mengejar efisiensi. Namun pada
faktanya privatisasi justru menciptakan konsentrasi kekayaan ke tangan segelintir
orang-orang kaya sedangkan rakyat harus menanggung beban harga-harga public
utilities yang mahal.
229 Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, What is Neoliberalism?, http:
//www.corpwatch.org/article.php?id=376
171 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
5. Menghilangkan konsep barang publik
Pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari
tangan negara menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, masyarakat
harus menemukan sendiri solusi dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka
akan barang-barang publik.Kelahiran neoliberalisme didorong empat faktor
utama, yaitu (1) munculnya perusahaan multinasional (multinational corporations
– MNC) sebagai kekuatan riil dengan nilai aset lebih besar dari pada kekayaan
yang dimiliki oleh negara-negara kecil. (2) Munculnya organisasi (rezim
internasional) yang berfungsi sebagai surveillance system (sistem pengawasan) dalam
memastikan prinsip-prinsip ekonomi liberal berjalan atas seluruh negara di
dunia. (3) Revolusi bidang teknologi komunikasi dan transportasi yang menjadi
katalisator dan fasilitator terlaksananya pasar bebas dan perdagangan bebas
secara cepat ke seluruh dunia. (4) Keinginan negara-negara kuat untuk
mendominasi dan menciptakan hegemoni atas negara-negara yang lebih lemah.
Kelahiran neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ideologi
Kapitalisme.230 Karakter liberal yang bersumbu pada "kebebasan" dan
menonjolkan "kepentingan individu" senantiasa menjadikan kegiatan ekonomi
berjalan seperti hukum rimba. Philosuf Inggris Herbert Spencer memandang
seleksi alam (survival of fittest) sebagai prinsip wajib kegiatan ekonomi dalam
sistem Kapitalisme.231 Konsekwensinya, perekonomian berjalan dengan cara
menindas yang lemah dan memfasilitasi yang kuat (pemilik modal) agar alokasi
sumber daya (resources) dan penguasaan pasar berada di tangan pemilik modal.
Kapitalisme merupakan ideologi yang tegak di atas asas Sekularisme yang
tumbuh dan berkembang pertama kali di Eropa. Sekularisme adalah paham yang
memisahkan agama dari kehidupan dan mengharamkan peranan Tuhan terhadap
pemecahan permasalahan manusia, termasuk menentukan nilai baik dan buruk,
benar dan salah.232 Sekularisme menempatkan rasio (akal) manusia dan
emperisme di atas segala-galanya.233 Dengan Sekularisme, Kapitalisme
memandang dunia dan memecahkan permasalahan kehidupan. Akibatnya
Kapitalisme menjadi ideologi yang tidak bermoral, mengedepankan profit dan
230 -James Petras memandang Neoliberalisme dan globalisasi tidak dapat dipisahkan dari ideologi
Kapitalisme yang memiliki watak imperialis. Lihat James Petras (13/11/2004), The Politics of Imperalism: Neoliberalism and Class Politics in Latin America, Counter Punch, http: //counterpunch.org/petras11132004.html
231 Pandangan ini dimuat Spencer dalam bukunya Principles of Biology. Lihat Wikipedia, Survival of the Fittest, http: //en.wikipedia.org/wiki/Survival_of_the_fittest
232 Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, (Nizham al-Islam), alih bahasa Abu Amin dkk, cet. Ii (revisi), (Bogor: Pustaka Thariqul âl-‘Izzah, 2001), hal.41
233 M. Amin Rais, Cakrawala Islam, cet. i, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 91.
172 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
kepuasan materi, serta menindas umat manusia. Menurut Betrand Russel, inti
pemikiran yang terkandung dalam Sekularisme adalah kebebasan individu.234
Kebebasan indvidu diperlukan untuk menjaga dan menyebarkan Sekularisme ke
seluruh dunia. Kebebasan individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu:
kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech),
kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of
behavior).235
Kebebasan kepemilikan adalah paham yang memandang seseorang dapat
memiliki harta/modal dan mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun.
Dari prinsip kebebasan kepemilikan inilah lahir pandangan tentang sistem
ekonomi Kapitalis. Bahkan karena peranan pemilik modal (kaum kapitalis)
sangat menonjol dalam negara sehingga merekalah penguasa sebenarnya
daripada para politisi, maka ideologi yang berasas Sekularisme ini pun disebut
ideologi Kapitalisme.236Implikasi kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari
kebebasan individu adalah dominasi kepemilikan individu di tengah
perekonomian. Meskipun prinsip kebijakan negara menata jalannya
perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire), namun karena
dominasi pemilik modal atas sistem politik dan perundang-undangan, kebijakan
negara justru tunduk pada kepentingan kaum kapitalis.
Sektor-sektor perekonomian yang secara faktual menguasai hajat hidup
orang banyak atau semestinya dikuasai negara untuk mencegah konsentrasi
kepemilikan di tangan segelintir orang malah diserahkan kepada mekanisme
pasar yang sudah jelas didominasi kaum kapitalis. Secara logis laissez faire hanya
menjadi alat kaum kapitalis untuk mencegah dominasi negara atas
perekonomian, menghalang-halangi distribusi kekayaan yang adil di tengah
masyarakat, dan menjadikan negara sebagai alat untuk melegalisasi "kerakusan"
kaum kapitalis. Dalam sistem ini fungsi negara hanyalah untuk merealisasikan
kepentingan segelintir individu saja.
Adapun perubahan pemikiran ekonomi dari mainstream (aliran utama)
ekonomi pasar yang liberal ke mainstream Keynesian yang sarat intervensi
234 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga
Sekarang (History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day), alih bahasa Sigit Jatmiko dkk, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 647
235 Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya (Ad-Dimukratiyah Nizham al-kufr), alih bahasa M. Shiddiq al-Jawi, cet. II, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001), hal.4-5. Lihat juga an-Nabhani, hlm. 39
236 An-Nabhani, hlm. 40.
173 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
negara (big government) pasca Depresi Besar (Great Depression) 1929, dan kembali
liberal pasca krisis minyak dunia 1973 dengan mainstream neoliberalnya
merupakan dinamika pemikiran ekonomi yang berkembang dalam sistem
Kapitalisme. Dinamika pemikiran ini tidak mengubah ideologi Kapitalisme itu
sendiri walau pun di dalamnya terdapat aliran-aliran pemikiran yang saling
bertolak belakang dan kebijakan yang saling kontradiktif. Sebab hakikatnya tidak
ada perubahan pada asas Sekularisme yang menjadi pikiran pokok dan standar
nilai Kapitalisme. Perubahan hanya terjadi pada pemikiran cabang ideologi ini,
yakni pemikiran ekonomi.
Ketika ekonomi pasar mengalami kehancuran konseptual dengan krisis
berat yang melanda Barat pada 1929, J.M. Keynes maju dengan pemikiran yang
bertolak belakang dengan ekonomi pasar yang terangkum dalam bukunya The
General Theory of Employment, Interest and Money (pertama kali terbit 1936). Keynes
menawarkan alternatif bahwa negara harus melakukan intervensi untuk
mengangkat kembali perekonomian dari keterpurukan. Negara harus mengisi
kekosongan peranan swasta yang sebelumnya mendominasi perekonomian.
Negara harus menjalankan kebijakan defisit dengan membuat anggaran belanja
yang lebih besar untuk menciptakan lapangan kerja.
Apa yang dilakukan Keynes dan kemudian diadopsi oleh negara-negara
Barat bukanlah sebuah pengingkaran terhadap Kapitalisme. Menurut Mark
Skousen, Keynes justru menjadi penyelamat Kapitalisme dari kehancuran.
Meskipun pemikiran ekonominya bertolak belakang dengan doktrin laissez faire,
Keynes tidak melepaskan tolak ukur pemikirannya dari Sekularisme.
Abdurrahman al-Maliki memandang Kapitalisme sebagai sistem ekonomi
dengan strategi "tambal sulam". Strategi ini digunakan untuk menutupi
kebobrokan Kapitalisme dan melestarikan keberadaan institusinya dari
kebangkrutan. Strategi "tambal sulam" dijalankan dengan cara mencangkokkan
ide tentang keadilan sosial ke dalam negara (welfare state) dengan konsekwensi
pergeseran peranan ekonomi dari tangan swasta ke tangan negara (big
government).237
James Petras melihat dalam sebuah rezim yang menganut Kapitalisme,
pemerintah memiliki dua buah rencana. Yakni rencana yang beroirentasi liberal
(neoliberalism) dan berorientasi kesejahteraan sosial (social welfare). Jika kebijakan
237 Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, (as-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla), cet. i, (Bangil:
al-Izzah, 2001), hal.3.
174 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
orisinil (ekonomi liberal) mengalami kegagalan maka pemerintah akan
mengubah orientasi kepada kesejahteraan sosial. Perubahan ini semata-mata
untuk merebut hati masyarakat dengan tujuan mempertahankan kekuasaan dan
sistem.238
Dinamika pemikiran ekonomi yang saling bertolak belakang dalam
Kapitalisme merupakan konsekwensi logis dari ideologi ini dalam menentukan
sumber hukum. Sebab sumber hukum dalam Kapitalisme digali dari realitas,
sehingga perkembangan pemikiran ekonomi sangat bergantung pada
perkembangan realitas ekonomi di tingkat domestik dan dunia. Sedangkan
realitas ekonomi yang berkembang merupakan hasil penerapan Kapitalisme itu
sendiri. Jika realitas ekonomi tidak kondusif bagi Kapitalisme yang memaksa
negara memodifikasi kebijakan ekonominya secara prinsipil, maka itulah tanda
kelemahan dan kebobrokan sistem Kapitalisme. Misalnya, realitas sekarang
menunjukkan krisis finansial global yang terjadi sejak 2007 telah
meluluhlantakkan sistem keuangan negara-negara kapitalis dengan kerugian
trilyunan dolar AS, dan ancaman kebangkrutan tidak hanya menimpa korporasi
finansial tetapi juga korporasi yang bergerak di sektor riil di seluruh dunia. Jika
negara-negara kapitalis tidak melakukan intervensi di sektor finansial dan
penyelamatan sektor riil untuk menjaga konsistensi doktrin laissez faire, maka
sudah dapat dipastikan sistem keuangan Barat berada di jalan buntu,
kebangkrutan korporasi secara massal, PHK yang jauh lebih besar dari PHK
massal tahun ini (2008), jatuhnya daya beli masyarakat dalam tingkat yang
siknifikan, dan kepanikan yang sangat mungkin menciptakan prahara ekonomi
jauh lebih dasyat dibandingkan Depresi Besar 1929.
Karena itu bailout dan berbagai bentuk intervensi lainnya yang terjadi
secara massive harus dilihat sebagai upaya penyelamatan institusi ideologi
Kapitalisme walau pun negara-negara penganut Kapitalisme harus mengingkari
"akidah" ekonominya yakni laissez faire. Di satu sisi intervensi ini mencerminkan
negara-negara kapitalis telah berlaku "munafik", di sisi lain intervensi tersebut
merefleksikan "konsistensi" negara kapitalis dalam melindungi kepentingan
pemilik modal dan selalu membebankan biayanya ke pundak rakyat.Realitas
ekonomi yang buruk pada dasarnya cermin kegagalan sistem Kapitalisme.
Meskipun secara institusi Kapitalisme belum berakhir, namun secara konseptual
238- Lihat James Petras (13/11/2004), The Politics of Imperalism: Neoliberalism and Class Politics in Latin
America, Counter Punch, http: //counterpunch.org/petras11132004.html
175 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
(ide) Kapitalisme telah mengalami kebangkrutan bahkan sejak Depresi Besar
1929.
Sebagai ideologi buatan manusia yang tentu saja memiliki cacat bawaan,
negara-negara kapitalis senantiasa melakukan metode tambal sulam untuk
menutupi kebobrokan Kapitalisme. Jika sekarang di negara-negara Barat Laissez
Faire sedang dicampakkan, neoliberalisme sedikit dipinggirkan dengan adanya
nasionalisasi parsial, maka hakikatnya Barat sedang menambal kecacatan ideologi
untuk mencegah keruntuhan institusinya. Tambal sulam ini dilakukan pada
kondisi-kondisi tertentu, yakni pada saat pemerintahan-pemerintahan Barat tidak
dapat menghadapi realitas ekonomi di negara mereka hanya dengan laissez
faire.239
Banyak indikasi kegagalan kapitalisme. Hal tersebut dikarenakan, pertama,
ekonomi konvensional yang berlandaskan system ribawi, ternyata semakin
menciptakan ketimpangan pendapatan yang hebat dan ketidakadilan ekonomi.
Kedua, ekonomi kapitalisme juga telah menciptakan krisis moneter dan ekonomi
di banyak Negara. Di bawah system kapitalisme krisis demi krisis terus terjadi
sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, 1997 bahkan hingga saat ini.
Banyak Negara terancam krisis susulan di masa depan jika system kapitalisme
terus dipertahankan. Ketiga, ekonomi kapitalisme banyak melakukan kesalahan
dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah
mengabaikan moral dimensi moral.
Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali menghapus sistem kapitalis dari
kehidupan, kemudian menggantinya dengan sistem Islam. Hal itu didasarkan
atas dua alasan pokok, yaitu, pertama dari sumber (epistimology) dan tujuan
kehidupan, ekonomi Islam berdasarkan pada Al-Qur‘an dan Assunnah. Perkara-
perkara asas muamalah dijelaskan di dalamnya dalam bentuk perintah dan
larangan. Perintah dan larangan tersebut bertujuan untuk membangun
keseimbangan rohani dan jasmani manusia berdasarkan tauhid. Ekonomi
konvensional lahir berdasarkan pemikiran manusia yang bisa berubah
berdasarkan waktu, sehingga tidak bersifat kekal dan selalu membutuhkan
perubahan-pereubahan, bahkan terkadang mengabaikan aspek etika dan moral,
tergantung untuk kepentiangan apa dan siapa. Tujuan yang tidak sama tersebut
melahirkan implikasi yang berbeda. Ekonomi Islam bertujuan untuk mencapai
al-falah di dunia dan di akhirat. Artinya untuk meraih akhirat yang hasanah
239 Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, (an-nidlam al-
Iqtishadi fil Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. vii, (Surabaya: Risalah Gusti), hal.29.
176 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
melalui dunia yang hasanah pula, sedangkan ekonomi konvensional mencoba
menyelesaikan segala permasalahan yang timbul tanpa ada pertimbangan
mengenai soal ketuhanan dan keakhiratan, akan tetapi lebih mengutamakan soal
kemudahan dan kepuasan manusia di dunia saja. Kedua, mengenai konsep Bunga,
sistem Islam bebas dari bunga (riba) karena riba merupakan pemerasan kepada
orang yang terdesak atas kebutuhan. Islam sangat mencela penggunaan modal
yang mengandung riba. Dengan alasan inilah, modal menduduki peranan
penting dalam ekonomi islam. Berbeda dengan sistem konvensional kapitalis
yang tidak bisa lepas dari pengaruh riba, karena memang riba adalah bagian inti
dari sistem tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Amir Syams ad-Din, Al-Madzhab at-Tarbawiy „inda Ibn Jama‟ah, Beirut:
Dar Iqra`, 1984.
177 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Abdul Aziz Ibn Muhammad Al-Awid, Al-Islam Al-Din Al-Adzim, Riyadh : Al-
Maktab Al-Taawuni Li Adda‘wah wa All-Irsyad,1432.
Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional, Ciputat Press, 2005.
Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist Approach to the Qur‟an: Impact of
Nineteenth-Century Western Hermeneutics in the Writings of Two Muslim Scholars,
Disertasi Doktoral di Universitas Islam Antar Bangsa, 2003, Kuala
Lumpur.
Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambil, Menerapkan,
dan Menyebarluaskannya (Ad-Dimukratiyah Nizham al-kufr), alih bahasa
M. Shiddiq al-Jawi, cet. II, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001.
Abdulhay Y. Zalloum, Painting Islam as The New Enemy, Kuala Lumpur:
Crescent News: 2003.
Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim, Sullamut Tawfiq,
cetakan Toha Putra, Semarang, tanpa tahun. Samuel P. Huntington, The
Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York:
Touchtone Books, 1996.
Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, (as-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-
Mutsla), cet. i, Bangil: al-Izzah, 2001.
Abu al-Fida` Isma'il ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-„Azîm, Kairo: Dar al-Hadits,
1423 H/2003 M.
Abul Hasan Ali an Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta: Pustaka
Jaya, 1988.
Abul Hasan Ali An-Nadwi, Ancaman Baru dan Pemecahannya„ dalam Benturan
Barat dengan Islam, Haidar Bagir (ed), , Bandung: Mizan, cetakan ke-
4,1993.
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
'Adhu l-Din 'Abd al-Rahman ibn Ahmad al-Iji, al-Mawaqif fi 'Ilm al-Kalam, vol.
VIII, cet. I,Mathba'ah al-Sa'adah, Mesir: 1325H.
Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta:
GIP, 2006.
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-
Liberal, Jakarta: GIP, 2005.
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur‟an, Jakarta: GIP, 2005.
Ahmad Alim, Integrasi Ilmu dan Adab, Bogor: PPMS Ulil Albaab, 2012.
Ahmad Alim, Pendidikan Jiwa Ibn Jauzi dan Relevansinya dengan Pendidikan
Spiritual Manusia Modern, Bogor: Univ. Ibn Khaldun, 2011.
178 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Ahmad Bazli bin Shafie, A Modernist Approach to The Qur‟an: A Critical Study of
The Hermeneutics of Fazlur Rahman, Disertasi Doktor di ISTAC-IIU,
Malaysia, 2004.
Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu TuhaN, Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2004.
Alain Danielou, Gods of India: Hindu Polytheism, New York: Inner Traditions
International, 1985.
Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius,
1992.
Al-Ghazali, Ihya‟ Ulum Al-Din, Beirut: Maktabah Al-Ashriyah, 2003.
Ali Syariati, Peranan Cendekiawan Muslim, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1989.
al-Qadi 'Abd al-Jabbar, Syarh al-Usul al-Khamsah, Maktabah al-Wahbah, cet. I,
Kairo: 384H/1965M.
Al-Suythí, al-Jâmi‟ al- Shaghír fí Ahâdís al-Basyír al-Nazír Cet. I; al-Qâhirah: Dâr
al-Fikr, t.t.
Anis Malik Thoha, Konsep Wahyu Dan Nabi Dalam Islam, Bogor: Univ. Ibn
Khaldun,2011.
Aristotle Metaphysics (translated by Richard Hope), (New York: Columbia University
Press, 1952).
Armahedi Mahzar dan Yuliani Liputo, Tradisi Sains dan Teknologi dalam Taufik
Abdulah, et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.
Azhari, Pendidikan Anak Perempuan Dalam perspektif Islam dan Kesetaraan Gender,
Bogor : Ulil Albaab, 2012.
Bambang Noorsena, The History of Allah, Yogyakarta: Andi, 2005.
Berkhof dan IH Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK, 1987.
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
Zaman Kuno hingga Sekarang (History of Western Philosophy and Its Connection
with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day),
alih bahasa Sigit Jatmiko dkk, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus
Kristus pada Umat Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
179 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
D.L. Baker et.al Pengantar Bahasa Ibrani Jakarta: BPK, 2004.
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,
1990
E.A. Livingstone, Oxford Concise Dictionary of Christian Church, Oxford: Oxford
University Press, 1996.
Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta:
Difa Publisher, tt.
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trld. into English by
Carol Cosman Oxford: Oxford University Press, 2001.
Fadli Zon, The IMF Game, Jakarta: IPS, 2004.
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerjemah
Ahsin Mohammad Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk,
Jakarta : Obor, 2004.
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Majalah
Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. II No. 5, April-Juni 2005.
Hamka, Studi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
Harold Bloom, Jesus and Yahweh, New York: Riverhead Books, 2005.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, cet. ke-
6, 1986, Jld.
Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2000.
Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah,2000.
Hasyim Asy‘ari, Adab Al-Alim Wa Al-Muta‟allim, Jombang: Maktabah Turats
Islamiy, 1415 H.
Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3),
Hisyam Ibn Abd Malik, Al-A‟laqah Baina Al-Ilm Wa Al-Suluk, Riyadl : Jami‘ah
Muhammad Ibn Sa‘ud,2009.
HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya„, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
180 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Huntington, Who Are We?: The Challenges to America‟s National Identity” New
York: Simon&Schuster, 2004.
I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang
Noorsena, The History of Allah, Yogya: PBMR Andi, 2005.
IB Suparta Ardhana, Sejarah Perkembangan Agama Hindu, Denpasar: Paramita,
2002.
Ibn Jama‘ah, Tadzkirah Al-Sami‟ Wa Al-Mutakallim Fii Adab Al-A‟lim Wa Al-
Muta‟alim, Beirut : Dar Al-Basyair Al-Islamiyah, 1983.
Ibn Jauzi, Al-Thibb Al-Ruhi, tahqiq Abdul Aziz Izzuddin Al-Sairawani,
Damaskus : Dar Al-Anwar, 1993
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur‟an al-„Adhim, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1994.
Ibn Miskawih, Tahdzib Al-Akhlaq, terj. Menuju Kesempurnaan Akhlak,
Bandung: Mizan, 1994.
Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li-man Baddala Din al-Masih, diedit oleh Dr.
Ali ibn hasan et al. Riyadh: Dar al-‗Ashimah: 1414H.
Ibrahim bin Isma‘il, Syarh Ta‟lim al-Muta‟allim „ala Thariiqa Ta‟allum, Semarang:
Karya.
Ilham B Saenong, Hermeunetika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Menurut Hassan
Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002.
Irfan Habibie Martanegara, Pengaruh Worldview Ateis Terhadap Sains, Bogor : Ulil
Albaab, 2012.
Isma‘il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, diedit oleh Ataullah Siddiqui
Leicester: The Islamic Foundation, 1998M./1419H.
Jo Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005.
John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, Oxford
University Press, 2000.
John H. Hayes, An Introduction to Old Testament Study Tennessee: Abingdon, 1979.
John L. Allen, The Rise of Benedict XVI, New York: Doubleday, 2005.
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
Jurnal Islamia, Tahun I, No. 1, 2004.
Jurnal Islamia, Vol. V, No. 1, 2009.
Jurnal Islamia, Vol. VI, No. 1, 2012.
181 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), Bandung: Mizan, 2001.
Kerry Walters, Atheism: A Guide for The Perplexed, New York: Continuum, 2010.
M. Amin Rais, Cakrawala Islam, cet. i, Bandung: Mizan, 1987.
Marvin Perry, Western Civilization, London: The Encyclopaedia Britannica
Company Ltd., 1926.
Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History, New-York: Houghton
Mifflin Company, 1997.
Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964.
Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy, New
York: Dell Publishing, 1986.
Michel Colin Piper, The High Priests of War, Washington DC: American Free
Press, 2004.
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur‟an: Teori Hermeneutika Al-
Qur‟an, Jakarta: Teraju, 2003.
Mohammed Arkoun, Contemporary Critical Practices and the Qur„an, dalam
Encyclopaedia of the Qur‟an, editor Jane Dammem Mc Auliffe, Netherlands:
Brill, 2001.
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London:
Saqi Books, 2002.
Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, Kuala Lumpur: The Other.
Muhammad Sa‘id Ramadhan Al-Buthi, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kawniyyah,
Dimasyq: Dar al-Fikr,1985.
Mun‗im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina &The Asia
Foundation, 2004.
Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Bandung: Mizan, 2005.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur‟an, Jakarta,
Paramadina, 2001, cet. II, hlm. 33.
Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung :
PERSISPERS,2011.
Nasr Hamid Abu Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on
Islam (London: Westport, conncticut, 2004.
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, edisi
pertama, 1992.
182 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Nasr Hamid Abu Zayd, The modernization of Islam or the Islamization of modernity,
dalam Cosmopolitanism, Identity and Authenticity in the Middle East, editor
Roel Meijer Surrey: Curzon Press, edisi pertama, 1999.
Nasrudin Syarif, Konsep Ilmu Menurut Ibn Taimiyah, Bogor : Univ Ibn
Khaldun,2010.
Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, Media Hindu, 2006.
Norena Heertz, Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang Neoliberalisme,
dalam Neoliberalisme, editor I. Wibowo dan Francis Wahono, cet. i,
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.
Norman P. Tunner, Konsili-konsili Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Paul Guyer, Kant, New York: Routledge, 2006.
Rasyid Ridha, al-Wahy al-Muhammadi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 2005.
Rudolf A. Makkreel, Dilthey: Philosopher of the Human Studies (Princeton:
Princeton University Press, 1975.
S.M. Idris, Globalization and the Islamic Challenge, Kedah: Teras, 2001.
Sa‘d al-Din al-Taftazani, Syarh al-Aqa‟id al-Nasafiyyah, Karachi: Maktabah Khair
Katsir, t.t
Salisu Shehu, Islamization of Knowledge Conceptual Background Vision and Tasks,
Kano: International Institute of Islamic Thought, 1998.
Samantha Power, A Problem from Hell: America and The Age of Genocide” London:
Flamingo, 2003.
Samuel M. Zwemmer, Islam: A Challenge to Faith, London: Darf Publisher
Limited, 1985.
Sigmund Freud, The Future of An Illusion, trld. into English and edited by James
Stracey, with a biographical introduction by Peter Gay, New York :
Norton, c1989.
Simon Price and Emily Kearns (ed), The Oxford Dictionary of Classical Myth and
Religion, Oxford:Oxford University Press, 2004.
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2004, cet.
SMN Al-Attas, Islam dan Sekularisme SMN Al-Attas, Bandung: Penerbit
Pustaka.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur, ISTAC,
1993.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995.
183 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam,
(an-nidlam al-Iqtishadi fil Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. vii,
Surabaya: Risalah Gusti.
Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, (Nizham al-Islam), alih
bahasa Abu
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Yogyakarta: FKBA, 2001.
Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001.
The Interpreter‟s Dictionary of the Bible, (Nashville: Abingdon Press, 1989; Douglas
C. Hall, The Trinity, Leiden: EJ Brill, 1992.
Tim Wallace-Murphy, What Islam Did for Us: Understanding Islam‟s Contribution to
Western Civilization, London: Watkins Publishing, 2006.
Tom Sorell, Scientism: Philosophy and the Infatuation with Science. London:
Routledge, 1994.
Victor Silaen dkk., Gereja dan Reformasi, Jakarta: Yakoma PGI, 1999
Walden Bello, Dark Victory: The United States, Structural Adjustment and Global
Poverty, London: Pluto Press, 1994.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1981.
Werner Georg Kümmel, The New Testament: The History of the Investigation of Its
Problems, Penerjemah S. McLean Gilmour dan Howard C. Kee (New
York: Abingdon Press, 1972.
Wilfred C. Smith, The Meaning and End of Religion (London: SPCK, [1962] 1978).
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur‟an dan As-
Sunnah yang Shahih, Bogor : Pustaka At-Taqwa.
Yusuf al-Qardhawi, Karakteristik Islam : Kajian Analitik (terjemahan), Surabaya :
Risalah Gusti, 1995.
184 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Riwayat Hidup Penulis
Dr. Akhmad Alim
anggal 10 Desember 2011, memiliki sejarah tersendiri T
bagi Dr. Akhmad Alim. Anak kampung ini berhasil lulus
mempertahankan disertasi doktornya dan menjadi seorang
Doktor termuda serta tercepat di Universitas Ibn Khaldun
(UIKA) Bogor dengan predikat cum laude. Salah satu
pengujinya yaitu Prof. Dr. Ahmad Tafsir, pakar pendidikan dari Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung memuji Disertasi dan
keilmuannya.“UIKA kini memiliki pakar tentang Ibn Jauzi,” kata Prof. Ahmad
Tafsir.
Pada sidang terbuka tersebut, Ahmad Alim mempertahankan
Disertasinya yang berjudul “Pendidikan Jiwa Ibn Jauzi dan Relevansinya
terhadap Pendidikan Spiritual Manusia Modern”. Ia menjawab semua
pertanyaan para penguji dengan tangkas dan lancar. Tim penguji Disertasi
terdiri atas Prof.Dr.KH. Didin Hafidhuddin, MS, Prof.Dr.H. Ahmad Tafsir,
Prof.Dr.H. Didin Saifudin Bukhari, MA, Dr.H. Adian Husaini, Msi, dan Dr.H.
Ibdalsyah,MA.
Melalui Disertasi ini, Dr. Alim menawarkan solusi Pendidikan Jiwa
berdasarkan konsep yang disusun oleh seorang ulama besar bernama Ibn
Jauzi. Memang, untuk menyelesaikan disertasinya, Alim harus bekerja keras.
Dia melakukan penelitian di berbagai perpustakaan, termasuk di Universitas
Islam Madinah dan Universitas Ummul Qura Mekkah. “Saya sudah
mengecek, belum ada yang menulis masalah ini,” papar Alim.
Dr.Akhmad Alim, sehari-hari lebih akrab dipanggil Ustadz Alim. Maklum,
sembari menyelesaikan program doktoralnya, ia juga dipercaya oleh Prof.
Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS, menjadi pengasuh Pondok Pesantren
Mahasiswa dan Sarjana (PPMS) Ulil Albaab Bogor -sebuah pesantren yang
didirikan oleh Mohammad Natsir, tahun 1987.
185 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Akhmad Alim selama ini sudah dikenal "haus ilmu". Sejarah
pendidikannya tidak terlepas dari nadzar sang ibunya sendiri, yang
merupakan seorang perempuan yang buta huruf. Sang Ibu adalah seorang
anak yatim piatu sejak kecil. Kakak-kakaknya diambil dan diasuh orang,
sedang ia sendiri tidak, sehingga Ia hidup sebatangkara. Karena tidak ada
biaya, ia keluar sekolah ketika kelas dua SD. Semenjak itu, ia mencari uang
sendiri dengan berjualan daun pisang serta ikut menanam padi di sawah.
Ayah Alim pun bukan orang yang berpendidikan. Sama seperti ibunya
yang tidak lulus sekolah dasar. Hal inilah yang -menurut Alim -kadang
membuatnya heran, mengapa ia diberi nama Ahmad Alim yang artinya
“pujian kepada Allah hamba yang berilmu”. Padahal kedua orang tuanya itu
tidak bisa bahasa Arab. Ketika ditanyakan tentang hal itu, sang ayah berkata,
“nama itu pemberian dari seorang Kyai yang merespon nadzar Ibumu”.
Diwakafkan Sang Ibu
Akhmad Alim lahir di Rembang, 28 Februari 1982. Saat kecil, Alim sering
sakit-sakitan. Bahkan, kabarnya, ia baru bisa berjalan setelah 21 bulan.
Padahal bayi normal biasanya sudah bisa berjalan umur 12 bulan. Ibu Alim
sangat sedih. Saat itulah Sang Ibu berdoa, “Ya Allah, Jika anak saya ini tetap
hidup dan bisa berjalan, anak ini saya wakafkan untuk sekolah bahkan
setinggi-tingginya yang tidak ada di kampung ini.”
Alasan yang mendorong mengapa sang ibu sangat perhatian pada
pendidikan, adalah kakek Alim yang merupakan pejuang dan guru ngaji di
zaman Belanda. Jadi sang ibu sempat protes mengapa anak-anak seorang
guru ngaji tapi sekolahnya tidak ada yang tuntas. Ini memang wajar karena
kakek dan neneknya wafat sejak ibu Akhmad Alim masih bayi. Tetapi justru
karena itu, sang ibu berjuang agar anak-anaknya kelak bisa sekolah setinggi-
tingginya.
Itulah yang memotivasi Akhmad Alim untuk terus bersekolah. Bahkan
sejak kecil ia terbiasa sekolah double. Saat bersekolah di Sekolah Dasar di
pagi hari, sore hari dia bersekolah di madrasah ibtidaiyah. Begitu juga saat
bersekolah di SLTP, ia juga merangkap ngaji di sebuah pesantren. Begitu
pula ketika di ia bersekolah di tingkat SLTA, ia juga merangkap menimba
186 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
ilmu di sebuah Pesantren di Pati, Jawa Tengah. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikan tingkat DI, D2, D3, Sl, S2 dan sampai S3. Alim menyelesaikan
jenjang S-l di Universitas Muhammad Ibnu Sa’ud LIPIA Jakarta dan S-2 di
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Menurut Ahmad Alim, ia mempunyai kebiasaan, ketika dulu masih
bersekolah dan menghadapi ujian, ia meminta doa dari sang ibu.
Keesokannya Sang Ibu pun langsung berpuasa dan shalat tahajud ketika
malam untuk mendoakan kesuksesan anaknya. Walau pun sang ibu tidak
memodali materi, tetapi selalu memberikan doa. Ketika berangkat sekolah
sang ibu selalu berwasiat, “Ibu tidak bisa memberi kamu biaya, tidak bisa
memberi biaya kamu makan. Ibu hanya membekali kamu dengan basmalah.
Dengan basmalah kamu bisa makan dan kamu bisa hidup dan membiayai
kuliah.”
Dengan bekal tersebut ternyata Akhmad Alim tidak pernah kecil hati
dan tidak merasa kekurangan. Bahkan untuk biaya sekolah pun, Akhmad
Alim selalu mendapat beasiswa. "Kalau pun tidak mendapat beasiswa ada
saja rizki dan kemudahan dari jalan yang tidak diperkirakan sebelumnya”
ungkapnya.
Ada kisah, seorang pegawai di sebuah perusahaan yang nge-fans
terhadap Ahmad Alim. Orang tersebut mengaku pengikut fanatik satu
organisasi Islam. Ia mengaku sedih, karena yang aktif di masjidnya
kebanyakan pengikut organisasi lain. Pegawai itu kemudian merasa
bersyukur karena kehadiran Alim mampu merangkul berbagai kelompok. Di
tengah penulisan tesis S-2, tiba-tiba si pegawai melunasi seluruh biaya
pendidikan Akhmad Alim.
Begitu pula saat Ahmad Alim hendak berangkat ke Madinah untuk
penelitian disertasi. Ada seorang pengusaha yang sadar bahwa hidup
mencari uang terus, karena ia ternyata tidak pernah mengeyangkan hatinya.
Akhirnya ia mengaji dan kemudian merasakan ketenangan. Ia belajar pada
bahasa Arab pada Akhmad Alim mulai “dari nol” sampai bisa
menerjemahkan Al-Quran 30 juz. Saat Ahmad Alim berangkat ke Madinah
untuk melakukan penelitian, orang itu mengusahakan semua biayanya.
187 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
“Rizki itu dari Allah,” kata Ahmad Alim yang kini sehari-hari menjadi Imam di
Masjid al-Hijri Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Belajar Ke Universitas Ummul Qura Mekah
Setelah menyelesaikan pendidikan Dokornya, Alim tidak lantas berhenti
kuliah. Bahkan kehausan akan ilmu, semakin bertambah. Untuk itu, setahun
kemudian Ia berangkat ke Mekah untuk belajar Metodologi Pengajaran
Bahasa Arab dan Tahfidz di Universitas Ummul Qura Mekah.
Kini, Alim aktif sebagai ketua progam kaderisasi ulama Pesantren Tinggi
Ulil Albab, sekaligus dosen pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.
188 | S T U D I I S L A M I I I W a w a s a n I s l a m
Dr. Adian Husaini
Dr. Adian Husaini, M.Si., lahir di Bojonegoro, Jawa
Timur, 17 Desember 1965. Mennyelesaikan program Ph.D.
tahun 2009, dalam bidang Islamic Civilization di
International Institute of Islamic Thought and Civilization--
Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM),
dengan disertasi berjudul “Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican
Council”: A Critical Reading of The Second Vaticand Council Documents in
the Light of the Ad Gentes and the Nostra Aetate.”
Aktitivitas saat ini adalah Ketua Program Magister dan Doktor
Pendidikan Islam – di Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor
dan juga pendiri (pengasas dan peneliti) INSISTS. Beberapa karya tulisnya
diantaranya, Exclusivism and Evangelism in The Second Vatican Council
(Kuala Lumpur: IIUM, 2011), Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen
ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) – buku ini
mendapat penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori non-fiksi dalam
Islamic Book Fair di Jakarta tahun 2006, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi
Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006) – buku ini
mendapat penghargaan sebagai buku terbaik kedua, dalam Islamic Book Fair
tahun 2007.