Post on 22-Oct-2020
BIDANG UNGGULAN: SUMBER DAYA ALAM
156 / PEMULIAAN TANAMAN
LAPORAN AKHIR
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
KARAKTERISASI TANAMAN PEWARNA TENUN PEGRINGSINGAN DI DESA
TENGANAN KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM
TAHUN PERTAMA
TIM PENELITI
1. I. A. Putri Darmawati, S.P., MSi. (0015097110)
2. Dr. I Gede Wijana, M.S. (0007076105)
3. Ir. A. A. Made Astiningsih, M.P. (0008095902)
4. Ir. I. A. Mayun, M.P ( 0026065902)
Dibiayai oleh :
DIPA PNBP Universitas Udayana
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian
Nomor : 1141/UN14.1.23/PL/2015, tanggal 22 Mei 2015
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
AGUSTUS 2015
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
iii
RINGKASAN
PRAKATA
DAFTAR LAMPIRAN
v
vi
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1.Latar Belakang 1
1.2.Tujuan Khusus Penelitian 2
1.3. Urgensi Penelitian 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2
BAB III. METODE PENELITIAN 4
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 5
BAB V. RENCANA TAHAP BERIKUTNYA
BAB VI. KESIMPULAN
12
12
DAFTAR PUSTAKA 12
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
No Judul Gambar Hal
1. Alur penelitian……………………………………………………………. 4
2. Bahan baku pewarna tenun pegringsingan………………………………… 6
3. Penentuan warna benang sesuai motif. ……………………………………. 6
4. Karakter morfologi tanaman taum…………………………………………. 7
5. Karakter morfologi tanaman kemiri……………………………………….. 9
6. Karakter morfologi tanaman kepundung………………………………….. 11
7. Lingkar tahun tanaman tahunan…………………………………………… 11
v
RINGKASAN
Kain tenun gringsing adalah kain tenun dobel ikat, satu-satunya di Indonesia serta salah
satu dari tiga lokasi di dunia selain di Jepang dan India. Kain gringsing diketahui sebagai ciri
khas Desa Tenganan, Karangasem Bali. Kain gringsing biasa digunakan sebagai pakaian adat
saat upacara-upacara keagamaan berlangsung.
Keunikan dari kain tenun pegringsingan ini terletak pada motif kainnya yang hanya
menggunakan tiga warna (merah, kuning dan hitam) yang disebut tridatu. Warna tridatu terbuat
dari warna alam yang berasal dari beberapa tanaman yang tumbuh di Hutan Tenganan dan Nusa
Penida. Uniknya lagi semakin tua umur kain maka, warna-warnanya semakin terpancar dan
bagus. Kekhasan dari kain inilah yang menjadi incaran para kolektor kain di seluruh dunia,
walaupun harganya sampai puluhan juta rupiah.
Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah ‘babakan’
(kelopak pohon) Kepundung putih, kulit akar pohon sunti sejenis mengkudu sebagai warna
merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) dicampur dengan air serbuk/abu kayu
sebagai warna kuning, dan daun pohon Taum warna hitam. Penggunaan pewarna alam ini
merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun dilakukan. Tanaman tersebut
tumbuh secara alami di hutan-hutan Desa Tenganan. Pemanfaatan tanaman secara terus menerus,
tanpa dibarengi dengan penanaman kembali tentu akan berdampak buruk bagi keberadaan
tanaman itu sendiri (mengalami kepunahan). Melihat fenomena tersebut maka perlu dilakukan
pelestarian/konservasi. Langkah pertama yang dilakukan dalam konservasi tanaman melalui
penelitian ini adalah mengkarakterisasi dan mengidentifikasi tanaman. Hasil penelitian yang
diperoleh selanjutnya digunakan untuk mengkaji teknik budidayanya yang sesuai untuk
digunakan sebagai bahan pewarna alam umumnya dan pewarna alam tenun pegringsingan
khususnya.
Luaran dari penelitian ini adalah dihasilkan informasi lengkap dan ilmiah mengenai porfil
tanaman secara utuh, mampu mengidentifikasi tanaman sesuai kaidah keilmuan yang ada. Hasil
Penelitian sudah diseminarkan pada seminar nasional (SENASTEK), dan akan dimuat dalam
jurnal nasional.
vi
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya
penelitian ini terlaksana sesuai dengan waktu yang direncanakan. Laporan ini hanya sebagian
kecil dari penelitian seluruhnya yang akan dilaksanakan. Penelitian ini dibiayai dari Dana Hibah
Unggulan Program Studi Tahun 2015, dengan judul " Karakterisasi Tanaman Pewarna Tenun
Pegringsingan Di Desa Tenganan Kecamatan Manggis, Karangasem. Adapun tujuan dari
Penelitian ini adalah mengidentifikasi tanaman melalui karakterisasi baik secara morfologi
maupun agronomi tanaman pewarna alam tenun pegringsingan.
Kami menyadari bahwa penelitian dan laporan kemajuan ini dapat terlaksana berkat
bantuan dari berbagai pihak, melalui kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
kepada ;
1. Rektor Universitas Udayana, atas kemudahan yang telah diberikan sehingga penelitian ini
dapat dilaksanakan dengan lancar.
2. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Udayana beserta staf yang telah memotivasi,
memberikan arahan, dan membantu kelancaran administrasi dalam penelitian ini.
3. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Ketua Program Studi
Agroekoteknologi yang telah membantu dan memberi kemudahan sehingga penelitian ini bisa
terlaksana.
4. Semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan karunia-Nya sesuai dengan amal yang telah
dibuatnya. Akhirnya kami berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas.
Denpasar, 23 November 2015
Peneliti
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Catatan Harian (Log Book) Penelitian Karakterisasi Tanaman Pewarna Tenun
Pegringsingan Di Desa Tenganan Karangasem
Lampiran 2. Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tenun pegringsingan adalah kain tenun tradisional Desa Tenganan Pegringsingan,
Kabupaten Karangasem, Bali . Menurut hasil penelitian, V.E Korn, De Dorpsrepubliek (1933),
kata pegringsingan mengandung makna penolak mara bahaya. Kain gringsing biasa digunakan
sebagai pakaian adat saat upacara-upacara keagamaan berlangsung. Namun kini kain gringsing
mengalami komodifikasi menjadi kebutuhan fashion ( Sukmadewi, 2013)
Keunikan dari kain tenun pegringsingan ini adalah terletak pada motif kain gringsing
yang hanya menggunakan tiga warna (merah, kuning dan hitam) yang disebut tridatu. Pewarnaan
kain tenun pegringsingan tersebut menggunakan pewarna alami beberapa tanaman. Ketiga warna
pada kain Gringsing yaitu merah melambangkan api, putih atau kuning berarti angin, dan hitam
berarti air. Semua elemen itu adalah elemen penyeimbang yang diperlukan tubuh agar tidak
sakit. Keunikan lainnya, semakin tua kain tersebut, warna-warnanya semakin keluar dan bagus..
Kekhasan dari kain inilah yang menjadi incaran para kolektor kain di seluruh dunia.
Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah ‘babakan’
(kelopak pohon) Kepundung putih yang dicampur dengan kulit akar pohon sunti sejenis
mengkudu sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur
dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum warna hitam. Identifikasi
dan karakter dari tanaman tersebut nampaknya belum diketahui secara jelas sehingga
menyulitkan dalam pembudidayaannya. Menurut salah satu warga masyarakat Desa Tenganan
(komunikasi pribadi, 2015), bahwa tanaman tersebut tumbuh alami di hutan Desa Tenganan dan
beberapa di datangkan dari desa tetangga (Desa Nusa Penida), tanaman tersebut tidak
dibudidayakan, artinya tanaman tersebut tumbuh secara alami tanpa campur tangan manusia.
Kebutuhan akan bahan baku menjadi semakin tinggi seiring dengan tingginya permintaan akan
kain tenun tersebut. Disisi lain, keberadaannya akan semakin langka dan terancam punah, karena
tidak dilakukan peremajaan.
Berdasarkan fenomena tersebut dipandang perlu melakukan penelitian ini, tahap pertama
penelitian adalah karakterisasi dan identifikasi tanaman sehingga diperoleh informasi lengkap
mengenai profil tanaman. Identifikasi dan karakterisasi harus dilakukan secara ilmiah sehingga
hasilnya dapat dijadikan sumber referensi ilmiah yang kredibel. Hasil penelitian ini dapat
2
dipergunakan untuk mengkaji teknik budidayanya sesuai dengan kebutuhan akan bahan baku
pewarna tenun Pegringsingan. Semua tim peneliti yang terlibat dalam penelitian ini sesuai
dengan bidang ilmu yang ditekuni selama ini, sehingga hasil penelitian diharapkan berhasil
sesuai tujuan yang ditargetkan.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakter morfologi dari tanaman pewarna alam Tenun Pegringsingan ?
2. Bagaimanakah system klasifikasi dari tanaman tersebut?
3. Berapakah populasi dari tanaman tersebut ?
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Kain tenun gringsing adalah kain tenun dobel ikat, dan merupakan satu-satunya di
Indonesia serta salah satu dari tiga lokasi di dunia selain di Jepang dan India. Kain
gringsing diketahui sebagai ciri khas Desa Tenganan. Menurut hasil penelitian, V.E Korn, De
Dorpsrepubliek Tenganan Pegeringsingan (1933), kata pegringsingan diambil dari kata gringsing
yang terdiri dari gring dan sing. Gring berarti sakit dan sing berarti tidak. Jadi gringsing berarti
tidak sakit, bahkan orang yang memakai kain gringsing dipercaya dapat terhindar dari penyakit
dan lebih kompleks lagi gringsing adalah sebagai penolak mara bahaya. Kain gringsing ini unik,
otentik dan kini amat langka. Kain gringsing biasa digunakan sebagai pakaian adat saat upacara-
upacara keagamaan berlangsung. Kain tenun gringsing selain digunakan untuk kegiatan upacara,
juga banyak diminati oleh wisatawan asing mancanegara sebagai barang cindera mata maupun
sebagai barang koleksi.
Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan.
Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida karena
hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu. Setelah selesai dipintal, benang
akan mengalami proses perendaman dalam minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat
dan pewarnaan. Perendaman tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu
tahun dengan penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Pencelupan benang dilakukan di Desa
Bugbug, selanjutnya benangnya dikembalikan ke Desa Tenganan (Anon, 2012).
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu. Pewarna alami
yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah 'babakan' (kelopak pohon)
http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Penidahttp://id.wikipedia.org/wiki/Kapuk
3
Kepundung putih yang dicampur dengan kulit akar mengkudu sebagai warna merah, minyak
buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna
kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam ( Shinobu.1977, 2004).
Setiap tanaman dapat merupakan sumber zat pewarna alami karena mengandung pigmen
alam. Potensi sumber zat pewarna alami ditentukan oleh intensitas warna yang dihasilkan serta
bergantung pada jenis zat warna yang ada dalam tanaman tersebut (Setiawan, 2003). Zat warna
alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan
seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga. Tanaman pewarna tenun pegringsingan hanya
memanfaatkan beberapa bagian tanaman dan dilakukan secara turun temurun sebagai warisan
nenek moyang, sehingga perlu digali potensinya. Profil tanaman pewarna alam tenun
pegringsingan secara lengkap dan ilmiah menyangkut karakter morfologi dan agronomis juga
belum ada.
Karakter morfologi maupun agronomi yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi
tanaman. Melakukan identifikasi tanaman berarti mengungkapkan atau menetapkan identitas
suatu tanaman. Diantaranya menentukan nama dan tempat yang tepat dalam system klasifikasi.
Karakterisasi tanaman juga bertujuan mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh tanaman
tersebut. Adapun alur penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur Penelitian
Data Sekunder : pengerajin tenun
pegringsingan, pemintal dan
pewarna benang, penyedia bahan
baku, buku kunci determinasi
Karakterisasi Tanaman
pewarna alam tenun
pegringsingan
Luaran dari penelitan ini adalah: Referensi
ilmiah bagi penelitian selanjutnya, bahan
pengajaran bagi mata kuliah botani dan
pemuliaan, publikasi pada jurnal nasional Data primer: survey lapang,
karakterisasi morfologi dan
agronomi, foto tanaman
Profil ilmiah
tanaman pewarna
alam tenun
pegringsingan
Analisis data
secara deskriptif
http://id.wikipedia.org/wiki/Mengkuduhttp://id.wikipedia.org/wiki/Kemiri
4
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITAN
3.1.Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan penelitian :
1. Mengkarakterisasi atau membuat profil tanaman tersebut, menyangkut karakter
morfologi dan agronomis dan dokumentasi
2. Mengidentifikasi semua tanaman pewarna alam kain tenun pegringsingan.
3. Mengetahui populasi tanaman di lapangan.
3.2. Manfaat Penelitian.
Ketergantungan pengrajin kain tenun pegringingsingan akan bahan pewarna alami sangat
tinggi sejalan dengan pesatnya perkembangan dan permintaan kain tersebut. Sementara
keberadaan tanaman sebagai penghasil warna khususnya untuk tenun pegringsingan semakin
langka karena eksploitasi tanpa dibarengi dengan penanaman kembali. Tidak dilakukan
peremajaan kembali disebabkan kurangnya informasi mengenai profil dan teknik budidaya dari
tanaman tersebut. Penelitian ini menjadi sangat penting untuk memberikan solusi terhadap
permasalahan ini.
Hasil identifikasi dan karakterisasi tanaman penghasil warna tenun pegringsingan,
informasi yang diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai referensi ilmiah yang kredibel.
Selanjutnya data atau informasi tersebut dapat digunakan untuk pengembangan tanaman baik di
Desa Tenganan sebagai sentra pengrajin tenun maupun Desa Nusa Penida sebagai penyedia
bahan baku sebelumnya.
Sampai saat ini belum ada peneliti yang melakukan penelitian tentang karakteristik dari
tanaman pewarna tenun pegringsingan, sehingga hasil penelitian ini juga bersifat inovatif dan
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya untuk ilmu
pemuliaan tanaman ( terutama pelestarian plasma nutfah) di Indonesia.
BAB 4. METODE PENELITIAN
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu (1) pengumpulan data sekunder, (2)
survei macam-macam tanaman penghasil warna yang digunakan untuk tenun pegringsingan dan
sebarannya, (3) identifikasi karakter morfologi dan agronomis. Lokasi penelitian di Desa
5
Tenganan Pegringsingan, Desa Bugbug (kedua desa ini terletak di Kecamatan Manggis,
Kabupaten Karangasem, Propinsi Bali, disebelah timur Pulau Bali), dan Nusa Penida.
Populasi dan sampel penelitian dibatasi pada obyek yang dapat diwakili serta ditetapkan
sendiri berdasarkan populasi pengrajin di Desa tersebut. Langkah berikutnya dipilih sampel dari
keseluruhan populasi pengrajin tenun dan celup di Desa Tenganan dan Desa Bugbug. Untuk
karakter agronomi mengkudu yang sedianya akan dilaksanakan di Desa Nusa Penida, tidak dapat
dilaksanakan karena mengkudu sudah tidak ditemukan lagi.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil survey ( pengamatan, tanya jawab dengan responden), proses
pembuatan tenun pegringsingan diawali dengan pewarnaan benang. Urut – urutannya adalah
sebagai berikut:
1. Persiapan warna kuning.
Buah kemiri yang sudah masak fisiologis (buah – buah yang secara alami jatuh dari
pohon), atau kemiri yang dijual bebas dipasar juga bisa digunakan, dicincang dan
digoreng. Proses selanjutnya cincangan kemiri diperas sampai keluar minyak kemudian
ditambahkan air abu. Campuran tersebut digunakan untuk merendam benang selama 37
hari. Selanjutnya benang diangkat dan diangin – anginkan. Proses berikut adalah ngayin
atau pembuatan motif, dilanjutkan dengan mebed (proses mengikat dan menandai
benang dengan tali raffia warna – warni sesuai dengan warna yang dikehendaki. Gambar
3.
2. Pembuatan warna merah
Warna merah diperoleh melalui pembuatan larutan dari babakan akar pohon sunti yang
dihaluskan ( serbuk ) ditambah dengan serbuk babakan batang kepundung putih/merah
( 3 : 1). Perendaman dilakukan 1 – 3 kali, masing – masing selama 3 bulan. Frekuensi
perendaman tergantung kualitas babakan akar pohon sunti. Semakin tua umur tanaman
semakin tinggi kepekatan warna yang dihasilkan.
3. Pembuatan warna hitam
Warna hitam yang dikehendaki pada tenun pegringsingan berasal dari pencelupan benang
warna merah dengan warna biru. Langkah pembuatan warna biru sebagai berikut :
Siapkan gentong tanah kemudian masukkan air sebanyak 25 liter selanjutnya masukan
6
cabang – cabang muda beserta daun dari tumbuhan taum. Banyaknya tumbuhan taum
yang digunakan adalah 75 kg, dimasukkan secara bertahap sebanyak 5 kali. Setiap tahap
diperam selama 2 hari. Setelah 5 kali campuran tadi disaring, endapannya (seperti
lumpur) diambil kemudian ditambah tape Ketan Bali dan 2 sisir pisang kayu yang
dihaluskan. Pewarna alam biru siap digunakan. Untuk mendapat warna hitam benang
merah dicelupkan pada larutan pewarna biru, kemudian direndam selama 3 hari. Setelah
itu diangkat dan diangin – anginkan. Benang tridatu sesuai motif siap ditenun dan
dijadikan tenun pegringsingan.
Gambar 2. Bahan baku pewarna tenun pegringsingan. A; Kemiri, B; Babakan
Kepundung; C; Kulit akar dan bubuk Sunti; D; Warna biru dari Taum.
(koleksi pribadi)
Gambar 3. Penentuan warna benang. A dan B; Proses nganyin dan mebed, C. Salah satu
motif kain tenun pegringsingan ( koleksi pribadi)
A B
C D
C B A
7
Karakter morfologi dan agronomi tanaman pewarna alam tenun pegringsingan tersaji
dibawah ini.
1. Taum
Merupakan tanaman semusim, habitat dikaki bukit tanah berpasir. Perdu tegak,
bercabang banyak. Berakar tunggang. Tinggi tanaman sampel rata- rata 81 cm. Daun mejemuk
gasal ( 9, 11), bentuk daun bulat telur terbalik dengan lebar daun 0,5 cm panjang 2 cm. Panjang
tangkai daun rata – rata 5,85 cm. Tandan bunga duduk di ketiak (aksilar), tegak hampir duduk.
Bunga berbentuk kupu – kupu dan buah berpolong. Panjang buah rata – rata 3 cm dengan
jumlah biji 3 - 12. Biji mempunyai kulit biji ( testa ) ada tilum (bekas biji melekat pada
penikulus. Jarak antar tanaman rata – rata 24,7 cm, dengan percabangan rata – rata 11 buah
(Gambar 4).
Klasifikasi menggunakan buku determinasi ( Steenis, 1988)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Famili : Fabanceae
Spesies : Indigofera tinctoria
Gambar 4. Karakter morfologi tanaman taum. A; Perdu tegak,bercabang banyak. B; Akar
tunggang. C; Daun majemuk gasal, buah berpolong. D; Bunga kupu-kupu.
(koleksi pribadi)
A
D C
B
8
Taum tumbuh liar di kaki bukit Desa Bugbug Karangasem, populasi semakin sedikit karena
terdesak oleh rumah – rumah penduduk. Keberadaan taum tidak hanya dimanfaatkan oleh pembuat
warna dari desa setempat tetapi dimanfaatkan pula oleh pengerajin dari Desa Sraya (kain rangrang).
Serta digunakan sebagai pakan ternak (kambing). Melihat fenomena tersebut, domestifikasi sangat
perlu dilaksanakan untuk keberlangsungan dan kelestarian tanaman taum serta budaya tenun
pegringsingan maupun kain rangrang. Oleh karena cabang dan daun muda yang dimanfaatkan
sebagai penghasil warna, maka perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan biji maupun stek
(Gambar 5) dan dalam pemeliharaan dapat dilakukan pemangkasan, sehingga akan tumbuh cabang –
cabang baru.
Gambar 5. Kecambah Biji Taum umur 4 hst (A) ; Pertumbuhan Tunas pada Stek Taum umur 14 hst
(B)
2. Kemiri
Merupakan tanaman tahunan, sampel yang diamati berumur 60 tahun dengan tinggi ± 20
meter (Gambar 5). Kemiri mempunyai akar tunggang dan berwarna coklat. Kemiri mempunyai
daun yang mudah dikenali dari bentuknya yang khas, umumnya terdiri dari 3-5 helai daun dari
pangkal, berselang-seling dan pinggir daun bergelombang. Panjang satu helai daun sekitar 10-20
cm dengan dua kelenjar di bagian perpotongan antara pangkal dan tangkai yang mengeluarkan
getah manis. Daun yang muda biasanya sederhana dan berbentuk seperti delta atau oval. Bagian
atas permukaan daun yang masih muda berwarna putih mengkilap seperti perak, yang kemudian
akan berubah warna menjadi hijau seiring dengan bertambahnya umur pohon. Permukaan daun
bagian bawah berbulu halus dan mengkilap seperti karat. Bentuk daun meruncing, tulang daun
menyirip. Lingkar batang 100 cm, kulit batangnya berwarna abu-abu coklat dan bertekstur agak
A B
9
halus dengan garis-garis vertikal yang indah. Bunga kemiri memiliki bunga kelamin ganda,
dimana bunga jantan dan betina berada pada pohon yang sama. Bunga kemiri berwarna putih
kehijauan, harum dan tersusun dalam sejumlah gugusan sepanjang 10-15cm, dimana terdapat
banyak bunga jantan kecil mengelilingi bunga betina. Mahkota bunga berwarna putih dengan
lima kelopak bunga berwarna putih kusam (krem), berbentuk lonjong dengan panjang 1,3
cm. Buah dan biji kemiri memiliki buah berwarna hijau sampai kecoklatan, berbentuk oval
sampai bulat dengan panjang 5-6 cm dan lebar 5-7 cm. Satu buah kemiri pada umumnya berisi 2-
3 biji, tetapi pada buah jantan kemungknan hanya ditemukan satu biji. Biji kemiri dapat dimakan
jika dipanggang terlebih dahulu. Kulit biji kemiri umumnya kasar, hitam, keras, dan berbentuk
bulat panjang sekitar 2,5-3,5 cm (Gambar 6).
Klasifikasi (Tjitrosoepomo, 2000)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisio : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Aleurites
Spesies : Aleurites moluccana (L.) Willd
Gambar 6. A; Pohon kemiri (tanda panah), B dan C; Buah kemiri yang muda dan tua (koleksi
pribadi)
A B C
10
Kemiri, yang dimanfaatkan adalah bijinya. Keberadaan kemiri cukup tersedia di Dusun
Bukit, Desa Bungaya. Umumnya pemilik kebun memanfaatkan buah – buah jatuh dari pohon
(sudah masak fisiologis). Perbanyakan tanaman sebaiknya dari biji, untuk mendapatkan tanaman
yang kokoh dan tetap ada sepanjang tahun. Selama ini penduduk tidak ada yang secara sengaja
menanam pohon kemiri begitu pula terhadap pemeliharaanya. Pohon kemiri tumbuh subur di
areal perbukitan, perbanyakannyapun secara alami dari buah – buah yang jatuh dari pohon.
3. Kepundung
Tanaman sampel berumur ± 60 tahun. Berperawakan pohon, tinggi pohon 20 meter,
Diameter batang 150 cm cm, kedalaman kulit batang ± 1 – 2 cm dengan warna batang coklat
keputihan. Tajuk padat dan tak beraturan. Daun tunggal berselang-seling, berbentuk bundar telur
lonjong sampai bundar telur sungsang, berukuran panjang 15 cm x 7 cm, berkelenjar, panjang
tangkai daun 4 cm, berpenumpa segitiga. Buah bertipe buah kapsul, berdiameter 2,5 cm,
berwarna hijau kekuning- kuningan atau hijau kemerah-merahan pada saat matang, biji dalam
daging buah berwarna putih, kuning atau merah, hijau kekuningan sampai kemerahan, daging
buah yang menutupi biji rasanya manis sampai asam (Gambar 7).
Klasifikasi( Tjitrosoepomo, 2000)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisio : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Phyllanthaceae
Genus : Baccaurea Lour.
Spesies : Bccaurea racemosa Var. Putih
Baccaurea racemosa Var. Merah
http://id.wikipedia.org/wiki/Phyllanthaceaehttp://id.wikipedia.org/wiki/Baccaureahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lour.&action=edit&redlink=1
11
Gambar 7. Karakter morfologi tanaman kepundung. A; Pohon kepundung berumur 60
th. B; Kelopak batang (babakan) yang dimanfaatkan sebagai pewarna. C
Daun tunggal berbentuk bundar telur lonjong. D dan E; Buah kepundung
putih dan merah.
Kepundung putih atau merah yang dimanfaatkan sebagai pewarna adalah babakan (kulit
batang/ kelopak batang), populasinya cukup tersedia. Jika memperbanyak maka sebaiknya
perbanyakan dilakukan dengan biji. Melalui biji akan dihasilkan tanaman yang kuat dan kokoh
sehingga mampu bertahan hidup bertahun – tahun. Hal ini sangat penting karena kulit batang
akan terbentuk setiap tahun ( lingkaran tahun ) (Gambar 8 ) Semakin tua umur tanaman kualitas
warna yang dihasilkan oleh kulit batang akan semakin kuat.
Gambar 8. Lingkar tahun tanaman tahunan
A B
C D E
12
4. Mengkudu
Tanaman penghasil warna merah pada tenun Pegringsingan adalah babakan akar mengkudu,
informasi awal bahan baku ini dipasok dari Desa Nusa Penida. Beberapa tahun belakangan ini
menurut beberapa pengrajin tenun di Desa Bugbug dan Tenganan tidak lagi di datangkan dari desa
tersebut, melainkan dipasok dari pemasok yang berasal dari Lombok. Berdasarkan keterangan dari
pengrajin serta informasi dari Kepala BPP Nusa Penida, bahwa mengkudu sudah tidak ditemukan
lagi di Desa Nusa Penida. Selama ini pemasok hanya mengambil dari tanaman yang tumbuh liar
tanpa dibarengi dengan penanaman kembali. Bila hal yang sama juga dilakukan di daerah Lombok,
maka akan kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Maka untuk mengatasi masalah tersebut perlu
dilakukan budidaya mengkudu di Desa Tenganan dan sekitarnya, sehingga pengajin dengan mudah
mendapatkan bahan baku pewarna merah untuk Tenun Pegringsingan.
Karakterisasi morfologi dan agronomi tanaman mengkudu /sunti sebagai penghasil warna
merah diperoleh dari tanaman mengkudu yang ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan Desa
Bugbug. Adapun karakter morfologinya adalah sebagai berikut : Pohonnya tidak terlalu besar,
dengan tinggi 3-8 m. Batangnya bengkok-bengkok berdahan kaku, memiliki akar tunggang yang
tertancap dalam. Kulit batang coklat kekuningan, beralur dangkal, tidak berbulu, anak cabangnya
segi empat. Tajuknya hijau seperti daun. Daunnya besar dan tunggal. Daun kebanyakan bersilang
berhadapan, bertangkai, bulat telur lebar hingga bentuk elips, kebanyakan dengan ujung runcing,
sisi atas hijau tua mengkilat, sama sekali gundul, 5-17 cm. Perbungaan mengkudu bertipe
bongkol dengan tangkai 1-4 cm, rapat, berbunga banyak, tumbuh di ketiak. Bunga berbau harum
dan mahkotanya berbentuk tabung, terompet, putih, dalam lehernya berambut wol, panjangnya
tabung bisa mencapai 1,5 cm. Benang sari berjumlah 5, tumbuh jadi satu dengan tabung mahkota
hingga berukuran cukup tinggi, tangkai sari berambut wol. Kelopak bunga tumbuh menjadi
buah yang bulat atau lonjong seperti telur ayam. Permukaan buah terbagi dalam sel-sel poligonal
(bersegi banyak) yang berbintik-bintik atau berkutil. Bakal buah pada ujungnya berkelopak dan
berwarna hijau kekuningan. Awalnya buah berwarna hijau ketika masih muda, dan menjadi putih
kekuningan menjelang buahnya masak dan setelah benar-benar matang menjadi putih transparan
dan lunak. Daging buah tersusun atas buah-buah batu yang berbentuk pyramid atau bentuk
memanjang segitiga dan berwarna coklat kemerahan (Steenis 1975). Biji mengkudu berwarna
hitam, memiliki albumen yang keras dan ruang udara yang tampak jelas (Gambar 9). Bijinya
13
tetap memiliki daya tumbuh tinggi, walaupun telah disimpan selama 6 bulan. Umur maksimum
dari tanaman mengkudu adalah sekitar 25 tahun (Djauhariya et al.2006). Klasifikasi mengkudu
(Tjitrosoepomo, 2000) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Morinda
Spesies : Morinda citrifolia L.
Gambar 9. Karakter morfologi mengkudu. A) Tanaman mengkudu habitus pohon (sampel berumur ±
2 tahun). B) Daun mengkudu berbentuk elips, ujung runcing. C) Bunga mengkudu
berwarna putih, bentuk terompet (tanda panah). D) Buah mengkudu berwarna putih, biji
berwarna hitam (tanda panah) (koleksi pribadi)
A B
C
B
D
B
14
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Taum ( Indigofera tinctoria) sebagai pewarna alam biru tenun pegringsingan keberadaanya
terancam punah, sehingga perlu domestifikasi. Bagian yang dimanfaatkan sebagai pewarna
adalah daun – daun dari cabang muda, maka perbanyakan tanaman bisa dilakukan dengan biji
dan stek.
2. Kepundung ( Bccaurea racemosa ), populasinya cukup banyak 150 pohon/Ha, meskipun
tanpa pemeliharaan tumbuh dengan baik di Dusun Bukit, Manggis Karangasem. Cukup
tersedia untuk 10 tahun kedepan. Semakin tua semakin kuat pewarna yang dihasilkan dari
babakan/ kelopak batang.
3. Kemiri ( Aleurites moluccana) populasinya cukup banyak 200 pohon/Ha, meskipun tanpa
pemeliharaan tumbuh dengan baik di Dusun Bukit, Manggis Karangasem Cukup tersedia
untuk 10 tahun kedepan.
4. Mengkudu (Morinda citrifolia L.), populasi tidak ditemukan lagi di Desa Nusa Penida,
sangat perlu dilakukan penanaman kembali, perbanyakan dilakukan melalui biji untuk
mendapat perakaran yang kuat. Untuk pembuatan tenun pegringsingan, bahan baku di pasok
dari Lombok.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, W. G. P. W., 2011, Potensi Pewarna Alam dari Campuran Biji Pinang, Daun Sirih,
Gambir dengan Mordan KAlSO4 serta Pemanfaatannya dalam Pewarnaan Kayu Albasia
(Paraserianthes falcataria), Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Udayana, Bukit
Jimbaran
Bogoriani, N. W. dan Bawa Putra, A. A., 2009, Perbandingan Massa Optimum Campuran
Pewarna Alami pada Kayu Jenis Akasia (Acacia leucopholoea), Jurnal Kimia, 3 (1) :
21-26
Bogoriani, N. W. 2010. Ekstraksi zat warna alami campuran biji pinang, daun sirih, gambir dan
pengaruh penambahan KmnO4 terhadap pewarna kayu jenis Albasi. Jurnal Kimia. 4 (2).
Juli. P. 125-134. Hasanudin, et al., 2001, Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya pada produk Batik
dan Tekstil Kerajinan Yogyakarta, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan
dan Batik, Yogyakarta
Kartiwa, Suwati. 2007. Tenun Ikat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kim. H., J.Yang. C. H.Han., S. Thongtem., S. W. Lee. 2011. Pigmen Printing of Natural Dye from Red
Mangrove Bark on Silk Fabriks materials. Sicience Forum. Vol. 69. P. 279-281.
Koesworo, 2012. Harganya Puluhan Juta, Kain Tenun Pegringsingan Tetap Diantre. Jurnas com.
Korn, K.V. 1933. De Dorpsrepubliek Tenganan Pagringsingan Santpoort: Uigeverij C.A. Mees
15
Kusriniati, D., Setyowati, E., dan Achmad, U., 2008, Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia
falcataria) sebagai Pewarna Kain Sutera Menggunakan Mordan Tawas dengan
Konsentrasi yang Berbeda, TEKNOBUGA, 1 (1)
Lestari. K. W., F. Wijiati., Hartono., Sumardi. (2001). Laporan Penelitian Pemanfaatan Tumbuh-
tumbuhan sebagai zat warna alam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri.
Kerjasama dengan Batik Yogyakarta.
Setiawan, A. P., 2003, Potensi Tumbuh-Tumbuhan bagi Penciptaan Ragam Material Finishing
untuk Interior, Dimensi Interior, 1 : 46-60
Shigemi, S dan Udiana, N.P., 2012. Eksplorasi Pewarna Alam Indigo Untuk Kain Gringsing.
Jurnal Kajian Budaya Unud. Vol. 8, No. 15. 71- 82
Suksmawati, S. 2013. Komodifikasi Gringsing Tenganan dalam Desain Fashion sebagai Upaya
Pengembangan Industri Budaya. Skripsi. Program Studi Desain Fashion Fakultas Seni
Rupa dan Desain ISI.
Steenis, C.G. 1988. Flora. Terjemahan. PT. Pradnya Paramita Jakarta. 493 hal
Tjitrosoepomo, G., 1993. Taksonomi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wardah dan Setyowati, 1999. Keanekaragaman Tumbuhan Penghasil Bahan Pewarna Alami di
Beberapa Daerah di Indonesia. Makalah dalam Seminar Dekranas