Post on 30-Dec-2014
description
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Hukum modern yang dipakai oleh bangsa kita dikembangkan tidak dari
dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from
outside). Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat,
khususnya Eropa. Maka sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran hukum
modern adalah cerita tentang sejarah sosial Eropa1. Hukum modern memiliki
tipe Liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum substantif yang penting,
melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi penting dan memiliki arti tersendiri,
oleh karena dibutuhkan untuk menjaga dan mengamankan kebebasan individu.
Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat
dipisahkan dari kehadiran negara modern2. Ciri khas dari aliran positivisme
pada hukum modern ini bertitik temu pada formalitas.
Dalam pelaksanaannya kita sering mengalami banyak kegagalan dalam
menghukum para pelaku kejahatan karena hambatan dalam setelan-setelan
liberal tersebut. Pilihan sekarang apakah kita tetap akan membiarkan “prantik
liberal” berjalan terus, ataukah beralih ke sesuatu yang lain. Pada waktu publik
di Amerika banyak terpukul oleh pembebasan O.J. Simpson dari dakwaan
pembunuhan mantan isterinya (1993), seorang pengamat hanya mengangkat
1 Satjipto Rahardjo.2009.Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing, hlm.1382 Satjipto Raharjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era reformasi, Makalah pada Seminar
Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH, UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000.
hlm. 4
pundak dengan mengatakan, “ ya, apa boleh buat, itulah ongkos yang harus
kita keluarkan karena sepakat untuk memakai sistem yang liberal”3. Kita tidak
bisa menyalahkan para penegak hukum, oleh karena setelan-setelan pikiran
mereka memang liberal dan hal tersebut sudah ditanamkan sejak mereka
duduk di bangku kuliah umumnya fakultas hukum. Maka apabila ingin ditempuh
cara baru dalam pemberantasan tindak kejahatan termasuk korupsi, maka perlu
dilacak sampai ke dunia pendidikan hukum4.
Dalam sosiologi hukum dijelaskan bahwa hukum itu adalah instrument
yang bisa dipakai dan dipakai oleh pihak yang menggunakannya untuk
kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh geng bandit besar Al Capone di
tahin 1930-an pun mempunyai bagian hukum sendiri. Hal ini berarti bahwa
kejahatan pun ingin dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambu hukum,
atau “melakukan kejahatan dengan dipandu oleh hukum”. Sejak kita
memutuskan menggunakan hukum modern, kita tak dapat menghindar dari
praktik penggunaan hukum seperti itu. Yang kita dapat lakukan adalah bersikap
lebih waspada dalam bernegara hukum ini, oleh karena ternyata bahwa hukum
itu tidak hanya dapat dipakai sebagai sarana untuk keadilan, tetapi dapat juga
untuk tujuan dan kepentingan lain.
Hukum merupakan suatu sarana elit yang memegang kekuasaan dan
sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan
kekuasaan atau untuk menambah serta mengembangkannya. Secara
3 Satjipto Rahardjo.2009.Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing . Op. Cit hlm. 140 -1414 ibid
sosiologis, elit tersebut merupakan suatu golongan kecil dalam masyarakat
yang mempunyai kedudukan yang tinggi atau tertinggi dalam masyarakat dan
yang biasanya berasal dari lapisan atas atau menengah atas. Baik buruknya
suatu kekuasaan tergantung dari bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.
Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan
kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan disadari oleh
masyarakat tersebut lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak
bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap organisasi yang
teratur. Akan tetapi, karena sifat dan hakikatnya, kekuasaan tersebut agar
dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan batas-batasnya.
Untuk itu, diperlukan hukum yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri yang
hendak dipegang teguh5.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka yang akan menjadi
bahasan dalam paper ini adalah menitik beratkan pada “Berhukum Ditinjau
dari sisi Sosiologis”
5 Soerjono Soekanto, “Pokok-pokok Sosiologi Hukum” Rajawali Pers, Jakarta, 1998. Hlm 15
Pembahasan
1. Tujuan dan Fungsi Hukum
Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada
keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis klasik,
melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban mesyarakat
dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi
keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat. Oleh
karena itu pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum
tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri 6.
Prof. Esmi Warrasih dalam bukunya Pranata Hukum Sebuah Telaah
Sosiologis menyebutkan tujuan hukum dapat dipahami dari beberapa teori yang
ada. Diantaranya7:
Teori etis, mengajukan tesis bahwa hukum itu semata-mata bertujuan
untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan
yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Dengan kata lain,
hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan.
Teori utilitas, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah
yang sebanyak-banyaknya (the greatest happiness of the greatest
number). Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan
6 Peter Mahmud Marzuki.2008.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hlm. 237 Esmi Warrasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit UNDIP: 2010, Hal 22.
sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang
terbanyak. Salah satu penganut teori ini adalah Jermy Bentham.
Teori campuran, berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah
ketertiban, dan oleh karena itu, ketertiban merupakan salah satu
syarat adanya suatu masyarakat yang teratur.
Secara garis besar, tujuan hukum meliputi pencapaian suatu masyarakat
yang tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan atau kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan
tersebut, kita perlu membahas mengenai fungsi-fungsi yang dapat dijalankan
oleh hukum. Hobel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu 8:
Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,
dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang
diperkenankan dan apa yang dilarang
Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang
boleh melakukan serta siapakah yang harus menaatinya dan
sekaligus memilih sanksi-sanksinya yang tepat dan effektif
Menyelesaikan sengketa
Memelihara kemampuan masyarakat utnutk menyesuaikan diri
dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara
merumuskan kembali hubungan esensial antrara anggota-anggota
masyarakat
8 Ibid Hal 24
Disamping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku
sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai control social. Selanjutnya,
apabila penyelenggara keadilan dalam masyarakat yang dilakukan melalui hukum
dilihat sebagai institusi social, maka kita mulai melihat hukum dalam kerangka yang
luas, yaitu dengan melibatkan berbagai proses dan kekuatan masyarakat9.
2. Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum dan Pembinaan
Kesadaran Hukum 10
Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai keadaan masyarakat
sebagaimana dicita-citakan itu adalah suatu konsep yang modern. Menurut
Marc Galenter, sistem hukum yang moderen mempunyai cir-ciri tertentu.
Beberapa diantaranya adalah bersifat territorial, tidak bersifat personal,
universitas, rasional, hukum dinilai dari sudut pandang kegunaanya sebagai
sarana untuk menggarap masyarakat.
Saat ini memang tampak ada kecenderungan yang cukup kuat untuk
menggunakan hokum sebagai penyalur kebijaksanaan untuk meningkatkan
taraf hidup rakyat pedesaan. Di sini, hokum dipakai sebagi landasan kegiatan
yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan.
Lon fuller menunjukkan delapan prinsip legalitas yang harus diikuti dalam
membuat hokum, yaitu :
1. Harus ada peraturan terlebih dahulu
2. Peraturan itu harus diumumkan
9 Ibid, Halaman 2510 Ibid Halaman 79-108
3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut
4. Perumusan peraturan-peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat
5. Hokum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
6. Diantara peraturan tidak boleh ada pertentangan satu sama lain
7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah
8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hokum
dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai tersebut dapat
menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan
dari isi peraturan itu. Namun demikian, sebaui apapun hokum yang dibuat, pada
akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hokum masyarakat yang
bversangkutan. Berbicara mengenai budaya hukum adalah berbicara mengenai
bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai yang dimilki oleh
masyarakat. Semua komponen hukum itulah yang sangat menentukan berhasil
tidaknya kebijaksanaan yang telah dituangkan dalam bentuk hukum.
Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari
kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu
menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada disetiap masyarakat,
dan tampil dengan kekhasannya masing-masing. Itulah sebabnya Wolfgang
Friedmann menyatakan bahwa hukum tidak mempunyai kekuatan berlaku
universal. Setiap bangsa mengembangkan senfiri kebiasaan hukumnya
sebagaimana mereka mempunyai bahasanya sendiri. Tidak ada hukum dari
suatu Negara tertentu dapat dipakaikan untuk bangsa Negara lain. Menurut Von
Savigny, hukum itu merupakan pencerminan Volkgeist, jiwa rakyat, yang tidak
mudah utuk diterjemahkan melalui pembuatan hukum dewasa ini.
Adapun budaya hukum diperinci ke dalam “nilai-nilai hukum procedural”
dan “nilai-nilai hukum substantive”. Nilai-nilai hukum procedural mempersoalkan
tentang cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik. Sedangkan
komponen substantive dari budaya hukum itu terdiri dari asumsi-asumsi
fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di
dakam masyarakat., terutama mengenai apa yang adil dan tidak menurut
masyarakat, dan sebagainya, dalam pemahaman yang lebih luas, Lawrence M.
Friedman memasukkan komponen budaya hukum sebagai integral dari suatu
system hukum. Friedman membedakan unsur system itu kedalam 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. Struktur adalah kelembagaan yang diciptakan oleh system hukum
dengan berbagai macam fungsinya
2. Substansi adalah luaran dari system hukum,. Termasuk di dalamnuya
norma-norma yang antara lain berwujud peraturan perundang-undangan
3. Kultur adalah nilai-nilai dan sikap-siakap yang merupakan pengikat
system itu,serta menentukan tempat system itu di tengah-tengah budaya
bangsa sebagai keseluruhan.
Mengenai hal ini, Friedman menegaskan bahwa a legal system in actual
operation is a complex organism in which structure, substance, and culture
interact
Kesadaran hukum dalam hal ini adalah kesadaran untuk bertindak
sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan
semacam jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum
dengan tingkah laku hukum anggota masyarakatnya. Lawrence Friedman lebih
condong menyebutnya sebagai bagian dari “kultur hukum”, yaitu nilai-nilai,
sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Secara lebih detil, Schmid
membedakan pengertian antara “perasaan hukum” dan “kesadaran hukum”
Dalam proses bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang
sebagai adresat hukum. Chambliss dan Seidman menyebut adressat hukum itu
sebagai “pemegang peran” (role occupan). Sebagai pemegang peran ia
diharapakan oleh hukum untuk memenuhi harapan-harapan tertentu
sebagaimana dicantumkan di dalam peraturan-peraturan. Dengan demikian,
anggota masyarakat diharapkan untuk memenuhi peran yang tertulis di situ
(role exception).
Penutup
1. Kesimpulan
Secara garis besar, tujuan hukum meliputi pencapaian suatu masyarakat
yang tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan atau kesejahteraan. Disamping itu, hukum
menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan
masyarakat atau berfungsi sebagai control social. Dalam menciptakan sebuah hukum
yang baik maka yang terpenting adalah menjalankan apa yang telah menjadi fungsi
hukum sebagaimana menstinya.
Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari
kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu
menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada disetiap masyarakat,
dan tampil dengan kekhasannya. Dalam mewujudkan suatu cara berhukum yang
baik, budaya –budaya hukum yang telah dikaji sebelumnya diharapkan menjadi sebuah
pintu masuk kepada tatanan hukum yang lebih baik.
2. Saran
Dalam mewujudkan sebuah tatanan hukum yang ideal, ada berbagai
factor yang harus di laksanakan. Hukum bukan hanya tentang keadilan. Masih
banyak aspek-aspek lain yang perlu di perhitungkan dalam menciptakan
sebuah tatanan hukum yang ideal. Sosiologi hukum diharapkan mampu
menberikan solusi dan salahsatu alternative dalam mewujudkan sebuah system
hukum yang ideal demi terciptanya rasa aman, kesejahteraan serta hal-hal lkain
yang selama ini diharapkan masyarakat. Namun semua itu tidak akan terwujud
bila masyarakat dan para penegak hukum tidak mampu untuk berkomitmen
dalam melaksanakan dan menegakka hukum itu sendiri. Diperlukan adanya
kesadaran yang tinggi dari dalam diri masyarakat maupun dari para penegak
hukum. Sehingga teori-teori yang telah banyak dipaparkan berbanding lurus
dengan kenyataan yang sesungguhnya.