Post on 21-Feb-2016
description
MODAL SOSIAL
2.1. PengantarPerdebatan tentang modal tidak pernah terlepas dari dua arus pemikiran utama,
yakni pertama, penganut aliran termasuk dalam teori-teori modal klasik (classical theory of capital), dan kedua, penganut aliran pemikiran teori neo-kapital (neo-capital theory).
Perbedaan utama kedua teori tersebut terkait dengan cara pandang terhadap komponen
modal itu sendiri. Penganut teori klasik, misalnya Marxian, pada umumnya memandang bahwa
komponen modal akan selalu dikaitkan dengan komponen-komponen fisik yang dapat disentuh
(tangible components), misalnya modal finansial, tenaga kerja, alat produksi, sewa, persediaan
barang, dan sebagainya. Sementara penganut teori neo-capital mencoba untuk
mengintegrasikan komponen-komponen yang tidak dapat disentuh ( intangible components) ke
dalam konsep modal, misalnya, modal manusia, modal kultural, modal intelektual, dan modal
sosial. Perbedaan dua arus pemikiran tersebut pada gilirannya menyentuh persoalan apakah
modal sosial itu benar-benar modal dalam arti yang sebenarnya. Lin (2003) menyatakan
bahwa untuk memahami modal sosial, sebenarnya kita harus memperjelas konsep tentang
modal itu sendiri.
Untuk kebutuhan penjelasan tersebut, dalam bab ini didiskusikan tinjauan teoritis
tentang modal dari perspektif teori klasik dan teori neo-capital. Dari diskusi tersebut diharapkan
pemahaman konsep modal akan lebih jelas sehingga posisi modal sosial di antara modal-
modal lainnya dapat diketahui dengan baik. Pada sub bab berikutnya mendiskusikan teori
modal sosial, terutama karya-karya teoritisi kontemporer seperti Pierre Bourdieu, James
Coleman, Robert Putnam, dan Nan Lin. Dari sintesa keempat teori tersebut, maka akan dapat
dihasilkan pendekatan teori modal sosial yang paling sesuai untuk menganalisis fenomena
tindakan kolektif dalam konservasi sumberdaya hutan pada komunitas pinggiran hutan
berbasis negara dan hutan berbasis masyarakat.
2.2. Teori –Teori Modal Klasik: Perspektif Marxian Secara umum, modal merupakan sumberdaya yang ketika diinvestasikan dan
dimobilisasi akan memperoleh keuntungan yang merupakan tujuan akhir dari sebuah tindakan.
Lin (2001: 3), misalnya, mendefinisikan modal sebagai investment of resources with expected returns in the marketplace. Menurutnya, modal merupakan sumberdaya yang diproses dua
tahap. Pertama, sumberdaya yang diproduksi atau diubah menjadi investasi; kedua,
sumberdaya yang diproduksi dan diubah kemudian ditawarkan ke pasar untuk tujuan
keuntungan. Dalam contoh lain, modal merupakan hasil dari sebuah proses produksi
1
(memproduksi atau menambah nilai terhadap sumberdaya); di lain pihak, modal merupakan
faktor penyebab dalam proses produksi (sumberdaya dipertukarkan untuk menghasilkan
keuntungan).
Sejak pertengahan abad 18, beberapa teoritisi telah mengemukakan pendapat
terkait dengan asal mula, sebab-sebab, dan konsekuensi-konsekuensi modal. Karl Marx, John
Stuart Mill, dan Adam Smith, misalnya, merupakan teoritisi-teoritisi penganut aliran teori modal
klasik ini. Pada umumnya, penganut teori klasik ini mengkonseptualisasikan bahwa modal
selalu identik dengan komponen fisik seperti tanah, sewa, finansial, gedung, buruh, dan
komponen lain yang sifatnya tangible.
Ketika melacak pemikiran modal, tentunya karya Adam Smith (1776), The Wealth of Nations, tidak dapat dikesampingkan karena berisi pemahaman yang komprehensif terkait
dengan tujuan pengidentifikasian kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan kekuatan alam
untuk meningkatkan atau bahkan menurunkan akumulasi kemakmuran. Meskipun Smith jarang
menggunakan istilah modal untuk menggambarkan kemakmuran, namun dia
menggambarkannya dengan istilah yang seperti dipersepsi sebagai elemen modal pada saat
ini, yakni tenaga kerja, upah, sewa, dan persediaan (Storberg, 2002: 471).
Smith mengasumsikan bahwa akumulasi kemakmuran (baca: modal) negara
diarahkan oleh tangan yang tidak terlihat ( invisible hand), dan apabila manusia mampu
menggapai kepentingan ekonominya, kemakmuran bersama akan dapat dicapai. Pemikiran ini
merupakan basis bagi model ekonomi laissez-fair, meskipun model tersebut mungkin bukanlah
seperti yang dipikirkan Smith saat itu (Storbeg, 2002:471). Teori modal dari Smith
menempatkan kekuatan-kekuatan produktif manusia yang ditingkatkan melalui pembagian
kerja. Dia sangat percaya atas keberadaan hukum alam, yang memandu individu-individu
buruh dan pada gilirannya secara kolektif menuju arah akumulasi kemakmuran bersama. Oleh
karena kepercayaan Smith terhadap hukum alam, dia tidak membahas tentang asal mula,
sebab-sebab, atau konsekuensi hubungan sosial yang dibentuk selama proses produksi. Smith
tidak pernah mengidentifikasi atau mendiskusikan kemungkinan konsekuensi-konsekuensi
hubungan kerja kapitalisme.
Dari karya Smith tersebut, Mill dan Marx mengembangkannya dengan menambah
eksplorasi aspek sosial dari kapitalisme. Keduanya menawarkan perspektif berbeda terkait
dengan asal muasal, sebab, dan konsekuensi teori-teori modal. John Stuart Mill dalam
karyanya Principles of Political Economy with Some of Their Applications to Social Philosophy yang diterbitkan tahun 1848, misalnya, percaya bahwa diskusi tentang produksi ekonomi yang
memisahkan masyarakat dan politik merupakan cara yang artifisial dan tidak realistik dalam
melihat sesuatu. Mill membuat catatan penting terhadap karya Smith, seperti yang
diungkapkannya “Kemakmuran negara dalam banyak aspek bersifat absolut, dan tidak
2
sempurna. Peranan ekonomi politik dipandang sangat cocok untuk melihat hal tersebut, dan ini
telah tumbuh sejak tahun-tahun awal semasa Adam Smith” (seperti dikutip Storberg, 2002:
472).
Bagi Mill, modal senantiasa bersentuhan dengan tempat tinggal, perlindungan,
peralatan dan material yang dibutuhkan pekerjaan, dan untuk memberi makan, dan paling
tidak mempertahankan tenaga kerja selama proses produksi. Dengan kata lain, Mill
memandang bahwa modal identik dengan komponen-komponen yang tangible, dan
mengesampingkan kemungkinan pengintegrasian komponen-komponen intangible dalam
konsep modalnya. Menurutnya, apapun benda pada dasarnya diarahkan untuk kegiatan
tersebut, yakni bermuara untuk mensuplai tenaga produktif dengan berbagai persyaratan yang
mengikutinya. Selanjutnya, Mill menawarkan proposisi terkait dengan modal: (a) apapun yang
diproduksi pada akhirnya akan dikonsumsi, (b) industri dibatasi oleh modal, (c) modal
merupakan hasil dari tabungan, dan (d) meskipun modal ditabung, tetapi pada akhirnya tetap
saja akan dikonsumsi (dikutip Storberg, 2002: 472). Mill menunjukkan mitos bahwa
kemakmuran sebuah negara didasarkan pada agregasi konsumsi dan reproduksi yang terus
menerus berlangsung sepanjang waktu.
Sebagai seorang ahli ekonomi politik, dan penganut pertumbuhan modal, Mill
percaya fungsi utama pemerintah adalah untuk melindungi penduduk dan kekayaan.
Ketidakamanan penduduk dan kekayaan dikatakannya sebagai ketidakpastian hubungan
antara pengorbanan manusia dan pencapaian tujuan akhir. Namun yang paling penting bagi
Mill, bahwa pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mempertahankan
ekonomi dan kebebasan individu untuk menggapai tujuan akhir (dikutip, Storberg, 2002: 472).
Secara implisit, Mill cenderung lebih melihat hubungan antara buruh dan pemerintah.
Sementara itu, Karl Marx melihat hubungan antara buruh, dan dia percaya bahwa
hubungan tersebut didistorsi oleh produksi modal. Marx dalam artikelnya The German Ideology (1845) mempercayai bahwa modal diciptakan oleh tenaga kerja, yang pada akhirnya akan
menekan tenaga kerja itu sendiri. Marx melihat konsekuensi berbeda dari kapitalisme yang
merefleksikan struktur ekonomi masyarakat. Institusi politik merupakan super-struktur yang
bermuara pada fondasi ekonomi (dikutip Storberg, 2002: 473). Karya Marx memiliki pengaruh
besar terhadap generasi pemikir ekonomi dan politik, dan pada tataran tertentu membantu
terlaksananya sebuah revolusi sosial.
Dalam tulisannya Critique of Political Economy yang diterbitkan tahun 1859, Marx
menyatakan bahwa modal membawa keuntungan bagi kaum kapitalis. Marx membedakan
antara modal konstan (seperti material dan peralatan buruh, atau sebutnya sebagai alat-alat
produksi), dan modal variabel (selama proses produksi, kekuatan buruh bervariasi, juga
dikenal sebagai upah). Modal, bagi Marx, berfungsi untuk membeli kekuasaan buruh dan
3
mendapatkan nilai surplus dari modal tersebut melalui ancaman. Nilai surplus merupakan kunci
utama dari teori modal dari Marx. Nilai surplus dihasilkan sebab “buruh menciptakan nilai baru
yang tidak menjadi milik mereka, tetapi milik kaum kapitalis” (seperti dikutip Storberg, 2002:
473). Kapitalis (pemilik alat produksi) dapat menggunakan nilai surplus untuk mengakumulasi
lebih banyak modal. Buruh akan terus menyediakan tenaga, sementara modal akan
diakumulasi oleh kapitalis, dan oleh karenanya polarisasi kemakmuran akan terus terjadi.
Perhatian Marx terhadap modal seluruhnya berbeda dengan hasil pemikiran Smith
atau Mill (Storberg, 2002). Marx, misalnya, sangat memperhatikan konsekuensi pembagian
kerja, akumulasi modal, dan institusi politik yang mempertahankan status quo. Demikian juga,
perbedaan Marx dari Smith dan Mill terletak pada perspektif postmodern. Marx menyatakan
bahwa “bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri yang
menetukan kesadaran. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, tetapi
sebaliknya eksistensi sosial manusia yang menentukan kesadaran mereka” (seperti dikutip Storberg, 2002: 473). Secara khusus, Marx percaya bahwa kesadaran buruh ditentukan oleh
hubungan yang mereka miliki dengan pemilik alat-alat produksi. Pada akhirnya, dia percaya
bahwa “people always have been and they always will be the stupid victims of deceit and self-deception in politics, until they learn behind every kind of moral, religions, political, social phrase . . . (rests) the interests of this or that class or classes” (dikutip Storberg, 2002: 473).
Marx bukan hanya percaya bahwa hubungan sosial dan politik antara manusia merupakan
refleksi dari kepentingan kelas yang memiliki sarana produksi, tetapi juga percaya kesadaran
manusia menciptakan dan mereproduksi lingkungan fisik mereka.
Sementara itu, Lin (2001: 7-8) meresum beberapa inti pandang Marx tentang modal.
Pertama, modal sangat erat kaitannya dengan produksi dan pertukaran komoditas. Sementara
komoditas, menurut teori Marx, terdiri dari barang-barang material yang membawa label harga,
baik dalam proses produksi maupun pertukaran. Tenaga kerja, kekuatan tenaga kerja, dan nilai
tenaga kerja merupakan bagian dari label harga dan dilihat sebagai kepentingan secara sosial
dalam produksi sebuah komoditas. Tenaga kerja merupakan satu faktor yang penting dalam
proses produksi sebuah komoditas, namun demikian tenaga kerja bersifat pasif terhadap
komoditas yang mereka produksi.
Kedua, modal lebih banyak melibatkan proses dibandingkan dengan
penyederhanaan sebuah komoditas atau nilai, meskipun modal dapat saja berupa hasil final
dari sebuah proses produksi. Modal merepresentasikan sebuah proses investasi kaum
kapitalis, karena produksi memerlukan akumulasi dan organisasi buruh, lahan, peralatan,
fasilitas, dan sebagainya yang selama ini identik dengan kepemilikan alat-alat produksi kaum
kapitalis. Ketika komoditas yang diproses dipertukarkan untuk perolehan sebuah keuntungan,
maka hal tersebut tentunya akan melibatkan proses pasar.
4
Ketiga, sebagai hasil dari sebuah proses pasar, modal yang mengikutinya
merupakan nilai tambah (nilai surplus atau keuntungan). Eksistensi modal berarti bahwa nilai
pasar dari sebuah komoditas melebihi nilai produksi atau biaya untuk memproduksi. Apabila
nilai pasar sama atau kurang dari biaya, artinya tidak akan ada modal dari komoditas. Dengan
kata lain, akan terjadi defisit atau hutang.
Keempat, modal merupakan pandangan sosial secara intrinsik. Modal melibatkan
proses aktivitas sosial. Proses produksi seperti yang telah diutarakan sebelumnya melibatkan
aktivitas sosial. Marx, misalnya, secara eksplisit menggambarkan nilai guna tergantung kepada
buruh karena di sana tidak ada nilai obyektif yang dapat digunakan untuk menghitung nilai atau
biaya buruh. Proses pertukaran tersebut, dengan demikian, juga bersifat sosial.
Kelima, modal diperoleh kapitalis dari sirkulasi komoditas melalui lingkaran produksi
dan pertukaran komoditas, serta akumulasi modal. Oleh karenanya, modal merupakan sebuah
proses dan hasil akhir yang bermuara di tangan orang-orang yang mengontrol alat-alat
produksi. Dalam formulasi Marx, buruh diberikan upah untuk memenuhi kebutuhan subsistensi,
dan tidak lebih dari itu. Dengan kata lain, modal merupakan nilai surplus yang dihasilkan dari
investasi kapitalis dalam produksi, dan akhirnya juga dikuasai oleh kapitalis.
Menurut Lin, pendapat tentang modal dan bentuknya seperti yang digambarkan oleh
Marx disebutnya sebagai teori modal klasik (the classic theory of capital). Ide dasar bahwa
modal merupakan investasi sumberdaya untuk memproduksi keuntungan, telah banyak
dibicarakan dalam banyak teori tentang modal. Namun demikian, dalam skema Marxian, baik
investasi maupun keuntungan merupakan kepentingan yang melekat dalam kaum kapitalis.
Tenaga kerja yang dilibatkan dalam proses produksi tidak menghasilkan atau mengakumulasi
modal bagi buruh. Teori modal klasik didasarkan pada penjelasan argumentasi bahwa
diferensiasi kelas sangat fundamental dalam masyarakat kapitalis, dimana eksploitasi kelas
mengontrol alat produksi, dan mengumpulkan semua nilai surplus dari tenaga kerja yang
disediakan oleh kelas yang dieksploitasi.
2.3. Teori Neo-Capital: Perspektif Human Capital Sementara, penganut aliran neo-capital memasukkan komponen-komponen yang
intangible, termasuk di dalamnya modal manusia, modal intelektual, modal kultural, dan modal
sosial. Teoritisi seperti Schultz (1961) dengan tulisannya Investment in Human Capital; G.S.
Becker (1993) dengan karyanya Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education; Kaplan dan Norton (1996) dalam tulisannya The Balanced Scorcard: Translating Strategy into Action; Edvinson dan Malone (1997) dalam karya mereka
Intellectual Capital: Realizing Your Company’s True Value by Finding Its Hidden Brainpower ;
Cohen dan Prusak (2001) dengan karyanya How To Invest in Social Capital; Lin (2001), dalam
5
karyanya yang dikenal sebagai Social Capital: A Theory of Social Structure and Action,
merupakan penganut aliran neo-capital atau banyak disebut sebagai teoritisi modal
kontemporer (Storberg, 2002: 470).
Evolusi teori modal hampir empat dekade terakhir ke dalam bentuk yang disebut
sebagai neo-capital theory pada dasarnya memodifikasi atau mengeliminasi penjelasan kelas
sebagai satu bentuk orientasi teoritik yang diperlukan. Versi alternatif tentang pemahaman
modal meliputi modal manusia (human capital), modal kultural (cultural capital), dan modal
sosial (social capital).Istilah neocapital pada dasarnya merefleksikan komponen modal yang tidak dapat
disentuh (intangible components) yang meliputi modal manusia (human capital), modal
struktural (structural capital), modal intelektual (intellectual capital), dan modal sosial (social capital). Meskipun Schultz (1961) dan G. S. Becker (1993) yang secara tradisional dianggap
sebagai bapak human capital, pelacakan konsep human capital dan pentingnya untuk bisnis
dan masyarakat dapat ditemukan dalam karya Adam Smith dan J. S. Mill. Smith
menggambarkan bagaimana individu-individu mengakumulasi keahlian dan bakat melalui
barter atau pertukaran dan pembagian kerja.
Meskipun demikian, pada awal tahun 1960, teoritisi mulai mengembangkan dan
menguji teori modal yang baru untuk memasukkan elemen manusia. Dalam sebuah pertemuan
“American Economic Association”, Shultz (1961), misalnya, secara tegas mengemukakan
kegagalan untuk menempatkan sumberdaya manusia secara eksplisit sebagai sebuah bentuk
modal, yakni sebagai sarana untuk berproduksi, dan sebagai produk dari investasi. Hal ini
mendukung pendapat klasik bahwa tenaga kerja hanya memiliki kapasitas untuk melakukan
pekerjaan manual yang hanya sedikit membutuhkan keahlian dan pengetahuan, yaitu sebuah
kapasitas dimana semua tenaga kerja menyumbang hal yang sama (dikutip Storberg, 2002:
474).
Penambahan yang digagas Schultz terkait dengan sumberdaya manusia sebagai
bentuk modal tersebut memperluas definisi modal dari Marxian klasik. Keduanya dilihat
sebagai investasi dengan harapan keuntungan. Meskipun demikian, definisi yang diperluas
tersebut sangat berbeda dalam empat cara: (1) modal manusia memfokuskan pada tenaga
kerja; (2) tenaga kerja dapat dilihat sebagai investor; (3) tenaga kerja sekarang dimotivasi
untuk memperoleh keahlian; dan (4) teori modal klasik menempatkan modal sebagai hasil dari
produksi dan proses pertukaran (Storberg, 2002: 475).
Secara keilmuan, teori human capital merupakan buah karya ekonom Becker
(1993), yang menguji variasi komponen human capital, yang meliputi kesehatan, migrasi, dan
pendidikan. Becker melakukan penelitian yang memfokuskan pada aktivitas yang
mempengaruhi kondisi masa depan moneter dan pendapatan melalui peningkatan
6
sumberdaya manusia. Aktivitas tersebut sering disebut sebagai investments in human capital (dikutip Storberg, 2002: 475). Tahun 1993, Becker mempublikasikan karyanya Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis With Special Reference to Education . Karya Becker ini
secara rutin dikutip dalam berbagai literatur yang mendiskusikan tentang modal manusia, dan
oleh karenanya, dia sering disebut sebagai the father of human capital theory.
Meskipun ekonomi Becker dan Schultz mengembangkan modal dan teori modal
pada tingkat mikro (misalnya aktor individu), teoritisi dari disiplin lain meneruskan pengujian
pada struktur makro kapitalisme dan konsekuensinya terhadap masyarakat. Sosiolog Bourdieu
(1983) dan Wacquant (1989), misalnya, secara kritis memperkirakan dampak kelas dan kultur
dominan terhadap modal dan teori modal. Pelanggaran simbolik (symbolic violence) dari
Bourdieu dan proses reproduksi sosial konsisten dengan pendirian teori Marx. Keduanya
merefleksikan dominasi nilai-nilai oleh satu kelas (kapitalis atau kelompok dominan) terhadap
kelas yang lain (buruh dan kelompok yang didominasi).
Menurut Storberg (2002: 475), pergerakan teori modal dari teori klasik (Smith, Mill,
dan Marx) ke teori neo-capital (Becker, Schultz), telah mengalami dua perubahan elemen yang
mendasar: Pertama, fokus analisis telah bergerak dari tingkatan struktural (tingkatan makro) ke
analisis individu dan kelompok (tingkatan mikro dan meso). Kedua, perilaku-perilaku tenaga
kerja (human resources) dipandang memiliki peranan yang jauh lebih penting.
Akar intelektual modal manusia (human capital) sebenarnya dapat dilacak dari karya
Adam Smith yang memasukkan semua kemampuan yang diharapkan dan berguna dari
penduduk sebuah negara sebagai bagian dari modal. Lin (2001) mengakui bahwa karya
Johnson (1960), Schultz (1961), Becker (1993) dapat dijadikan rujukan untuk memahami
konsep modal manusia kontemporer. Johnson (1960) berargumen bahwa buruh dapat saja
menjadi kapitalis, bukan dari penyebaran kepemilikan korporasi, seperti yang dapat dilakukan
kaum kapitalis, tetapi melalui penguasaan pengetahuan dan keahlian yang memiliki nilai
ekonomi. Karena itulah, melalui pengetahuan dan keahlian, buruh dapat meminta pembayaran
dari kaum kapitalis untuk mengganti nilai kerja mereka. Tetapi menurut Lin (2001), argumen
sistematis terkait dengan modal manusia dibuat oleh Theodore W. Schultz (1961). Dalam
sebuah pertemuan “American Economic Association”, Shultz secara tegas mengemukakan
kegagalan untuk menempatkan sumberdaya manusia secara eksplisit sebagai sebuah bentuk
modal, sebagai sarana untuk berproduksi, dan sebagai produk dari investasi. Hal ini
mendukung pendapat klasik bahwa tenaga kerja hanya memiliki kapasitas untuk melakukan
pekerjaan manual yang sedikit membutuhkan keahlian dan pengetahuan, sebuah kapasitas
dimana semua tenaga kerja menyumbang hal yang sama. Becker (1964) menerangkan modal
manusia dalam kaitannya dengan pendidikan. Menurutnya, modal manusia, tidak seperti modal
fisik, merupakan nilai tambah untuk seorang tenaga kerja ketika dia memberikan pengetahuan,
7
keahlian, dan asset-aset lain kepada pemilik perusahaan dalam proses produksi dan
pertukaran.
Lin (2001: 11) mengilustrasikan beberapa perbedaan substansi antara teori modal
manusia dengan teori Marxian klasik. Pertama, sementara teori Marxian memfokuskan pada
produksi dan pertukaran komoditas, modal manusia memfokuskan pada sebuah proses yang
berhubungan dengan pekerja. Dalam teori modal klasik, modal merupakan hasil perhitungan
antara biaya relatif produksi dan harga dalam pertukaran komoditas. Sebalilknya, dalam teori
modal manusia, modal adalah tenaga kerja itu sendiri. Kedua, berhubungan dengan poin
pertama, saat ini tenaga kerja dapat dilihat sebagai investor atau paling tidak sebagai bagian
dari skema investasi. Sementara dalam analisis Marxian, tenaga kerja menawarkan tenaga
mereka untuk mendapatkan upah demi mempertahankan kebutuhan subsisten mereka.
Perspektif modal manusia sangat jelas berasumsi bahwa pekerja mungkin berada dalam posisi
untuk mendapatkan keuntungan, apabila keuntungan itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah
nilai surplus. Gaya hidup yang mewah, sekaligus kemungkinan untuk melakukan investasi
kembali yang menurut Marx menjadi domain kaum kapitalis, saat ini diperkirakan berada dalam
jangkauan pekerja.
Ketiga, perbedaan antara modal manusia dan pendapat Marxian berdasarkan pada
asumsi bahwa karena terdapat imbalan potensial dalam peningkatan pendapatan dan bentuk-
bentuk keuntungan lainnya, kaum pekerja saat ini termotivasi untuk memperoleh keahlian dan
pengetahuan. Menurut Marx, tenaga kerja merupakan tindakan yang bertujuan. Meskipun
demikian, dia berpendapat bahwa dalam sistem kapitalis, tindakan bertujuan tersebut dipaksa
oleh kelas kapitalis. Oleh karenanya, tindakan bertujuan kaum pekerja sesuai untuk tujuan
proses produksi. Dari perspektif teori modal manusia, investasi untuk memperoleh keahlian
dan pengetahuan dimotivasi oleh perhitungan biaya dan keuntungan sebagai bagian dari
pekerja itu sendiri. Perhitungan ini mendorong investasi mereka dalam perolehan keahlian dan
pengetahuan.
Keempat, modal dalam perspektif teori klasik terikat pada proses produksi dan
pertukaran. Misalnya, modal dibentuk sebagai nilai surplus atau keuntungan relatif terhadap
investasi atau biaya. Dalam formulasi ini, investasi tenaga kerja merupakan bagian dari
kalkulasi biaya. Tetapi dalam teori modal manusia, perolehan keahlian dan pengetahuan
menghasilkan nilai ekonomis, artinya membiarkan tenaga kerja menjadi kapitalis.
Menurut Lin (2001: 14) tidak semua teoritisi neo-capital setuju dengan interpretasi
modal manusia sebagai sebuah produk kemauan bebas pekerja atau kepentingan pribadi.
Menurutnya, alternatif penjelasan teoritis modal manusia adalah teori modal kultural. Bourdieu
(1990) mendefinsikan budaya sebagai sebuah sistem simbolisme dan pemaknaan. Dia
berpendapat bahwa sebuah kelas dominan dalam masyarakat memaksakan budayanya
8
melalui pelibatan dalam tindakan pedagogik (misalnya pendidikan) yang menginternalisasikan
simbol-simbol dan makna-maka dominan untuk generasi mendatang, dan sekaligus
mereproduksi budaya dominan. Oleh karenanya, Nan Lin memfokuskan pemikiran Bourdieu
terkait dengan reproduksi sosial yang secara intrinsik berhubungan dengan praktek sosial.
Meminjam istilah Bourdieu tentang “symbolic violence”, Lin (2001) memulai
pembahasan tentang modal kulturalnya. Symbolic violence terjadi dalam tindakan pedagogik
dalam mana kultur dan nilai-nilai kelas dominan dilegitimasi sebagai nilai dan kultur obyektif
masyarakat sehingga mereka tidak dilihat atau diperhatikan sebagai kultur dan nilai yang
mendukung dan melanjutkan kelas dominan. Tindakan pedagogik tersebut kerapkali terjadi
dalam keluarga, kelompok informal dan formal, dan yang lebih penting melalui lembaga-
lembaga pendidikan.
Gambaran penting dari symbolic violence adalah bahwa proses pedagogik dalam
mana kultur dan nilai dominan diterima dan diambil sebagai milik pribadi tanpa ada resistensi
atau bahkan kesadaran dari mereka yang memilikinya. Pengambil alihan dan ketidaktahuan
kultur dominan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya disebut sebagai modal kultural.
Lin (2001: 15) menginterpretasikan benang merah antara modal kultural dengan
modal dalam perspektif Marx. Hubungan sosial yang digambarkan oleh Marx juga diasumsikan
bahwa terdapat kelas kapitalis yang mengontrol alat-alat produksi, dan proses tindakan
pedagogik atau lembaga-lembaga pendidikan. Dalam sebuah proses produksi (sekolah),
pekerja (siswa atau anak) melakukan investasi dalam proses pendidikan dan menginternalisasi
kultur kelas dominan. Pengambil alihan kultur ini memperbolehkan pekerja untuk masuk ke
dalam pasar kerja, memperoleh gaji, dan menjamin pengeluaran untuk kebutuhan hidup
mereka. Kaum kapitalis, atau kelas dominan, memperoleh modal kultural yang melengkapi
modal ekonomi mereka dan mengakumulasikan kedua modal tersebut dalam perputaran
komoditas (pendidikan massa) dan dominasi alat-alat produksi (lembaga pendidikan).
Lin (2001: 17) menyimpulkan dua elemen penting terkait dengan neo-capital theory.
Pertama, sangat jelas terjadi pergeseran penjelasan dari tingkat analisis makro yang
digunakan oleh teori klasik Marxian ke arah tingkatan analisis mikro yang diterapkan dalam
teori-teori neo-capital. Tidak seperti aliran Marxian yang melihat modal sebagai bagian dari
proses eksploitasi kelas dalam masyarakat, teori neo-capital lebih menyukai penjelasan pada
tingkatan mikro tentang bagaimana pekerja sebagai aktor membuat investasi yang diperlukan
untuk memperoleh nilai surplus dari pekerjaan mereka di pasar kerja. Pergeseran penjelasan
pada tingkat mikro ini tidak berarti menghilangkan efek dari pengaruh struktural dan tingkat
makro yang lebih besar dalam proses kapitalisasi. Teori modal kultural sangat jelas
menekankan terdapat tangan tersembunyi yang tidak terlihat ( invisible hand) dari kelas
dominan di belakang proses kapitalisasi.
9
Kedua, tindakan atau pilihan tindakan dimasukkan sebagai elemen dalam teori-teori
neo-capital. Dalam teori modal klasik, tindakan secara eksklusif berada di kaum kapitalis,
sementara buruh merupakan komponen tidak berdaya yang dipertukarkan dalam skema
produksi untuk menghasilkan nilai surplus bagi kapitalis. Kaum buruh tidak memiliki pilihan
tindakan tetapi tetap menyediakan buruh murah untuk proses produksi, dan hasil kerja mereka
dipertukarkan dengan kebutuhan hidup subsisten. Sementara dalam neo-capital theory, buruh
atau tenaga kerja mampu memperoleh dan mengumpulkan nilai surplus dari kerja mereka
sendiri. Semua terserah pekerja untuk memutuskan bagaimana dan berapa banyak upaya
atau investasi yang mereka harapkan untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian berguna
yang dapat dijual jual ke produser untuk mendapatkan pembagian yang lebih besar dari nilai
surplus yang dihasilkan. Oleh karenanya, tindakan pilihan merupakan penjelasan utama dan
kadangkala satu-satunya penjelasan yang kuat dalam teori modal manusia.
2.4. Teori Modal Sosial: Perspektif KesejarahanSecara ide, modal sosial sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Sejarah
intelektualitasnya telah berakar sejak abad ke 18 (Adam dan Roncevic, 2003). Terminologi
modal sosial telah digunakan sejak awal abad ke 19, tetapi tradisi-tradisi konsepnya jauh lebih
tua terutama berakar dari disiplin ekonomi, sosiologi, antroplogi dan ilmu politik. Oleh
karenanya, tidak salah apabila konsep dasar modal sosial dalam tataran tertentu senantiasa
dikaitkan dengan pemikir seperti Mill, Durkheim, Weber, Locke, Rousseau dan Simmel
(Bankston dan Zhou, 2002; Putnam, 1995), meskipun pada saat itu istilah modal sosial belum
terbakukan di kalangan para teoritisi sosiologi klasik. Bankston dan Zhou (2002), misalnya,
secara khusus merujuk keterkaitan antara sosiologi normatif dari Durkheim dan pemikiran
Coleman berkaitan dengan konsep modal sosial. Lebih lanjut, Portes (1998) berpendapat
bahwa penekanan Durkheim pada kehidupan kelompok sebagai sebuah antidote menjadi
anomie dan self-destruction, misalnya, atau perbedaan antara atomized class-in-itself dan
mobilized effective class-for-itself, dipandang oleh sebagian teoritisi sebagai akar konsep
modal sosial.
Kebanyakan teoritisi setuju bahwa penggunaan konsep modal sosial pertama kali
digunakan oleh Lyda Judson Hanifan dalam karyanya A Practical Reformer of the Progressive Era yang dipublikasikan tahun 1916. Dia menemukan pertama kali istilah modal sosial untuk
menunjuk gejala kohesi sosial dan investasi personal dalam masyarakat. Dalam
mendefinisikan konsep tersebut, Hanifan membedakan modal sosial dari benda-benda material
lainnya. Routledge dan Amsberg (2003) mengidentifikasi bahwa Hanifan menggunakan istilah
”modal” secara khusus untuk menekankan pentingnya struktur sosial bagi manusia dalam
perspektif bisnis dan ekonomi. Selanjutnya, Hanifan (dalam Woolcock dan Narayan, 2000)
10
menggambarkan modal sosial sebagai substansi yang tidak dapat disentuh ( intangible) yang
berguna dalam kehidupan sehari-hari manusia. Komponen modal sosial menurutnya terdiri dari
kemauan baik, pertemanan, simpati dan hubungan sosial antar individu dan keluarga yang
membangun sebuah unit sosial. Apabila individu melakukan kontak dengan tetangganya,
demikian juga tetangga berhubungan dengan tetangga lainnya, terdapat akumulasi modal
sosial yang dengan segera memuaskan kebutuhan sosialnya serta menghasilkan
kemungkinan peningkatan kondisi kehidupan seluruh masyarakat.
Kemudian Jane Jacobs, dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities yang dipublikasikan tahun 1961, juga menulis tentang istilah modal sosial dalam
kajiannya tentang vitalitas perkotaan. Dia menyatakan bahwa jaringan sosial adalah modal
sosial kota yang tidak tergantikan dan tidak dapat ditukar oleh modal lainnya. Meskipun tidak
secara eksplisit mendefinisikan istilah modal sosial, tetapi dia menggunakannya untuk
menunjuk pada nilai yang ada dari jaringan sosial (dikutip dalam Woolcock 1998: 192). Sangat
menarik untuk dicatat bahwa penggunaan konsep tersebut tidak secara eksplisit menunjukkan
terminologi modal sosial, tetapi konsep yang dikembangkan menunjukkan relevansinya
dengan nilai-nilai individualisme, kesetaraan kesempatan, relasi sosial, dan nilai-nilai, yang
umumnya kita kenal sebagai bagian dari komponen modal sosial.
Sementara itu, para ekonom memandang asal teori modal sosial terjadi pada
periode sosiologi ekonomi karya Max Weber (Trigilia 2001), dan lainnya menggambarkan
katerkaitan konsep tersebut dengan karya Adam Smith (Winter 2000). Hal ini dibuktikan oleh
Winter (2000) yang menemukan kemiripan antara teori modal sosial dengan pertanyaan yang
dimunculkan Adam Smith dalam karyanya The Theory of Moral Sentiments. Diskusi tentang
potensi negatif dari aktivitas kelompok sebagai sebuah perdebatan dampak negatif dari modal
sosial. Adam Smith menyatakan bahwa ketika orang-orang dari segmen pasar yang sama
bertemu bahkan untuk hanya sekedar bergembira dan hiburan sering menghasilkan konspirasi
yang melawan publik atau merencanakan kenaikan harga (dikutip dalam Knack 2002: 773).
Asumsi Adam Smith ini dijadikan titik awal pemahaman modal sosial dalam perspektif
ekonomi, namun diskusinya bukan ditekankan pada dampak positif modal sosial, tetapi lebih
menyoroti sisi negatif dari perilaku individu dan kelompok dalam sebuah kolektivitas yang
dalam tataran tertentu menjadi ciri khas eksistensi modal sosial.
Ilmuwan politik, Robert Salisbury, dalam karyanya An Exchange Theory of Interest Groups yang ditulis tahun 1969, lebih lanjut membahas istilah modal sosial sebagai komponen
penting dari formasi kelompok kepentingan, terutama terkait dengan political interest. Selanjutnya, Sosiolog Pierre Bourdieu menggunakan istilah modal sosial tahun 1972 dalam
karyanya Outline of a Theory of Practice dan memperjelas perbedaan istilah modal sosial
dengan modal kultural, ekonomi, dan simbolik. Diskusi Bourdieu ini lebih jelas karena berhasil
11
memposisikan modal sosial di antara modal-modal lainnya. Pemikiran Bourdieu inilah yang
kemudian diikuti, dicabar, dan dikritik oleh teoritisi lain untuk menyempurnakan dimensi teoritik
dari modal sosial; salah satunya adalah Sosiolog James Coleman, yang ikut mempopulerkan
konsep modal sosial. Pada akhirnya, tahun 1990, konsep modal sosial memperoleh
popularitasnya, terutama setelah World Bank mencanangkan program penelitian dan
pengembangan terkait dengan modal sosial dan pembangunan ekonomi.
Pada umumnya, studi-studi yang mengambil tema modal sosial merumuskan
konsep modal sosial berdasarkan pemahaman sejarah perkembangan konsep, dan bukan
pada terminologinya. Hampir semua teoritisi sepakat bahwa konsep modal sosial pada
awalnya berakar dari disiplin sosiologi dan ekonomi. Barulah pada akhir tahun 1980-an teoritisi
kontemporer memunculkan terminologi modal sosial dan menyedot perhatian teoritisi lain untuk
mengembangkan dan sekaligus mengkritisinya. Setiap teoritisi modal sosial cenderung
merumuskan konsep modal sosial didasarkan pada masalah-masalah yang menjadi pusat
kajiannya. Keberagaman konsep inilah yang menjadi kekuatan modal sosial untuk dijadikan
sebagai modal teoritik bagi peneliti-peneliti yang tertarik dengan dinamika masyarakat dan
akumulasi modal sosial yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, kajian modal sosial seolah
tidak pernah berujung dan bahkan terus bertambah seiring dengan kompleksitas permasalah
kekinian yang ada dalam masyarakat.
2.5. Teoritisi Modal Sosial KontemporerTeori modal sosial dapat dirujuk dari hasil karya empat teoritisi utama, yakni James
Coleman, Robert Putnam, dan Pierre Bourdieu. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik dengan
pendekatan teori modal sosial dari Nan Lin yang bersifat unik dan menjembatani kesenjangan
analisis makro-mikro. Keempatnya sering disebut sebagai teoritisi modal sosial kontemporer.
Bourdieu dikenal dengan karyanya Outline of a theory of Practice (1977); Cultural Reproduction in Education, Society and Culture (1977); Cultural Reproduction and Sosial Reproduction (1977), dan berbagai karyanya bersama penulis lain telah membuktikan bahwa
Bourdieu banyak memberikan kontribusi pada pengembangan teori modal sosial.
James Coleman, dalam karyanya Social capital in the Creation of Human Capital (1988); Foundations of Social Theory (1990), atau Some Points on Choice in Education (1992)
menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti modal sosial dalam perspektif ekonomi dan
pendidikan. Selanjutnya, Robert Putnam dalam karyanya seperti Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy (1993); The Prosperous Community: Social capital and Public Life (1993); Bowling Alone: America's Declining Social capital (1995); Bowling Alone - The Collapse and Revival of American Community (2000) menjadi karya monumental Putnam yang
banyak dirujuk oleh teoritisi modal sosial lainnya. Karya ketiga teoritisi modal sosial
12
kontemporer tersebut menjadi acuan bahkan kritikan dan atau cabaran teoritisi lain yang ingin
mengembangkan konsep dan teori modal sosial yang saat ini berkembang sangat pesat.
Sementara itu, Nan Lin dalam tulisannya Building a Network Theory of Social Capital (1999); Social Capital: A Theory of Structure and Action (2001), dan berbagai karya
penunjangnya mengemukakan sebuah teori modal sosial yang menjembatani kesenjangan
pemahaman hubungan makro-mikro, antara struktur dan individual. Teori tersebut banyak
dikutip untuk memperjelas tingkatan analisis modal sosial dalam lingkup hubungan struktur dan
individu. Oleh karenanya, teori modal sosial dari Nan Lin (2001) bersifat unik dan menjadi
acuan bagi teoritisi lain untuk menganalisis fenomena modal sosial baik pada tingkat mirko
maup0un amkro, atau tingkat struktur ataukah tingkat individual.
Apabila dilihat dari arus pemikiran teori modal sosial kontemporer, secara garis
besar terdapat tiga bentuk aliran pemikiran yang dapat dielaborasi dari hasil karya masing-
masing teoritisi, yakni perspektif Marxian, perspektif pilihan rasional dan ekonomi, dan
perspektif politik dan demokrasi (lihat Lewandowski, 2006).
2.5.1. Teori Modal Sosial dalam Perspektif Pilihan Rasional dan EkonomiPerspektif rasional atau pertimbangan ekonomi dalam teori modal sosial
kontemporer merupakan konsepsi pilihan rasional aktor yang mengutamakan kepentingan
individu dan dipandu oleh alasan-alasan instrumental sebagai bagian dari strategi tindakan.
Gary Becker menyebutnya sebagai “assumptions of rasionality” (1990: 41) sebagai basis bagi
pilihan rasional. Dalam konsepsi tindakan manusia ini, fungsi kegunaan ditujukan untuk
meminimalkan biaya-biaya transaksi dan memaksimalkan realisasi kepentingan aktor-aktor
individual. Dengan kata lain, perilaku meminimalkan resiko dan memaksimalkan keuntungan
menjadi aspek fundamental yang mengatur semua tindakan manusia.
Pendapat senada diungkap oleh James Coleman dalam teori pilihan rasionalnya
terkait dengan tindakan manusia. Coleman memulai dengan asumsi universal tentang
kehidupan manusia sebagai mahluk yang individualistik radikal, atau mahluk beralasan yang
memaksimalkan kegunaan aspek individualistik radikalnya. Dalam karyanya Foundations of Social Theory, Coleman tetap terikat pada konsepsi rasional sebuah tindakan dimana semua
jenis tindakan didasari oleh satu tujuan, yakni untuk meningkatkan realisasi kepentingan aktor
(1990: 32). Tentu saja Coleman berbeda dari Becker dalam upayanya untuk memperkenalkan
struktur sosial- atau apa yang dia sebut sebagai organisasi sosial mengenai hubungan saling
percaya (trust) ke dalam analisis ekonomi dari tindakan (1984; 1990). Dengan kata lain,
Coleman cenderung untuk menjelaskan bagaimana tindakan rasional individu diterjemahkan
ke dalam tindakan yang sistematis atau tindakan kolektif melalui norma-norma bersama. Ini
artinya, Coleman telah mendorong tindakan pilihan rasional aktor individual bergerak dari
13
tingkat mikro ke makro. Artinya, bagaimana tindakan rasional individu diorganisasikan untuk
menjamin efektivitas realisasi kepentingan kolektif.
Asumsi-asumsi rasionalitas individualistik terkait dengan karakteristik tindakan
manusia yang secara luas mempengaruhi bagaimana jaringan-jaringan hubungan saling
percaya, dan norma sosial dapat dipahami (Lewandowski, 2006). Sebagai konsekuensi dari
pandangan bahwa aktor manusia sebagai pemanfaat sumberdaya yang maksimal, perspektif
teori modal sosial memahami hubungan saling percaya (trust) di antara aktor sebagai bentuk
yang horizontal atau bersifat jaringan organisasional yang berfungsi untuk menjembatani dan
mengkoordinasikan tindakan individu. Dalam kaitan ini, norma sosial dibentuk untuk
memfasilitasi efisiensi koordinasi dan realisasi keinginan, serta kepentingan individu dalam
struktur sosial.
Oleh karena itulah, secara sederhana Coleman mendefinisikan modal sosial meliputi
beberapa aspek dari sebuah struktur sosial dan memfasilitasi tindakan-tindakan individual
tertentu yang berada dalam struktur (1990a: 302). Di sini modal sosial merupakan satu dari
banyak sumberdaya yang fungsional, seperti modal fisik dan modal manusia, yang diperlukan
untuk memungkinkan realisasi efisiensi tujuan-tujuan individual. Perspektif rasional modal
sosial ini juga dimasukkan ke dalam perencanaan pembangunan global seperti World Bank,
dimana komponen modal sosial menjadi salah parameter untuk mengukur stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Perspektif pilihan rasional dan ekonomi dari teori modal sosial ini kontemporer ini
memang sangat mudah mewarnai karya James S. Coleman, dalam karyanya Social capital in the Creation of Human Capital (1988); Foundations of Social Theory (1990), atau Some Points on Choice in Education (1992) menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti modal sosial
dalam perspektif pilihan rasional dan ekonomi. Menurutnya, konsep modal finansial, modal
fisik, dan modal manusia yang terbentuk dalam relasi di antara orang-orang adalah paralel
dengan pendapatnya tentang modal sosial. Coleman yang sangat kuat keterikatannya dengan
pemikiran ekonomi melalui karyanya rational-choice theory, menggambarkan pemahaman
bersama antara sosiologi dan ekonomi dalam pendefinisian tentang modal sosial. Dia
mengintegrasikan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan struktur sosial untuk
menjelaskan tindakan individu dalam konteks tertentu berbarengan dengan pertimbangan
organisasi sosial melalui pengenalan prinsip tindakan rasional dan maksimalisasi penggunaan
sumberdaya ke dalam konteks sosial tertentu (dikutip dalam Khrisna, 2005: 22).
Bagi Coleman, modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya, yakni memfasilitasi
pertukaran sosial, sama seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti
fenomena bahwa uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan
pola sistem barter, sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Khrisna,
14
2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan
merupakan refleksi dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek
positif kontrol sosial sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal
sosial sebagai serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam
organisasi sosial kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial
anak dan generasi muda (Coleman 1990:300).
Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,
melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah
aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial
merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada
gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial. Seperti
bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang memiliki kemungkinan
pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan tercapai apabila ketiadaan modal
sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur
hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain, modal sosial tidak berada dalam individu
(Coleman 1990:302).
Coleman mencatat bahwa modal sosial mengambil variasi bentuk seperti kewajiban,
harapan atau ekspektasi, sifat dapat dipercaya dari lingkungan sosial atau struktur , artinya
kewajiban akan dihargai; sebagai sumber informasi dalam relasi sosial atau saluran informasi
yang berarti mengurangi biaya informasi; dan sebagai norma dan sanksi efektif yang
mengurangi biaya monitoring dan penghukuman (seperti yang dikutip Krishna, 2005: 22;
Coleman, 1988: 102-104).
Bagi Coleman (1988; 1990), modal sosial memfasilitasi pertukaran sosial sama
seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti fenomena bahwa uang
meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan pola sistem barter,
sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna, 2005: 23).
Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan merupakan refleksi
dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek positif kontrol sosial
sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal sosial sebagai
serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial
kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial anak dan generasi
muda (Coleman 1990:300).
Interpretasi Coleman (1988, 1990, 1992) terhadap konsep modal sosial banyak
dikutip dalam literatur di bidang pendidikan. Bagi Coleman, modal sosial ada dalam struktur
relasi antara individu-individu dan sebagian besar tidak dapat disentuh. Potensi modal sosial
diwujudkan dalam kapasitasnya untuk memfasilitasi aktivitas produktif. Hal ini dapat dicapai
15
melalui formasi hubungan sosial yang dibangun sejak lama yang memungkinkan individu-
individu mencapai kepentingan mereka yang dicapai secara independen. Empat bentuk modal
sosial dari Coleman yang diidentifikasi: (a) kewajiban dan ekspektasi/harapan seperti
melakukan sesuatu dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain; (b) potensi
informasional seperti membagi informasi yang berguna yang menginformasikan sesuatu untuk
aksi-aksi pada masa mendatang; (c) norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif seperti
bangunan nilai-nilai komunitas dan standar perilaku yang diakui bersama; (d) hubungan
kekuasaan seperti keahlian kepemimpinan yang menginformasikan tindakan-tindakan individu
lain. Perlu dicatat bahwa modal sosial dengan demikian dapat menguntungkan individu lain
yang tidak berpartisipasi secara langsung dalam sebuah kegiatan atau tindakan. Coleman
(1990: 313) mengilustrasikan contoh terkait dengan pekerjaan asosiasi guru dan orang tua
yang menyusun standar atau ukuran disiplin untuk kebaikan bersama dalam sebuah sekolah
komunitas.
Satu sisi, modal sosial dapat diciptakan, namun sisi lain dapat juga dirusak.
Coleman menyitir kurangnya relasi antara orang tua dan tidak adanya ideologi bersama
memiliki potensi negatif terhadap konsekuansi-konsekuansi sosialnya ( lihat Coleman: 1990:
318-321). Teori modal sosial yang digunakan oleh Coleman memiliki akar struktural fungsional
yang sangat kuat. Oleh karenanya, karya dia sering disitir untuk mendukung kajian tentang
masyarakat yang spesifik seperti masyarakat yang ditandai oleh nilai-nilai tradisional kaku,
disiplin yang ketat, dan kontrol serta perintah hierarkis (Dika dan Singh: 2002: 34).
Karya Coleman merepresentasikan pergeseran yang sangat penting dari produk
individualnya Bourdieu (termasuk dalam pendekatan berbasis jaringan) ke produk kelompok,
organisasi, kelembagaan, ataupun masyarakat yang mewakili pergeseran tentatif dari
egocentric menjadi sociocentric (Adam and Roncevic 2003; Cusack 1999; McClenaghan
2000). Coleman juga menambahkan bahwa seperti bentuk modal-modal lainnya, modal sosial
bersifat produktif, memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan tertentu yang tidak akan dicapai
apabila terjadi peniadaan modal tersebut (Coleman 1988). Kebanyakan teoritisi setuju bahwa
modal sosial berkaitan dengan aspek tertentu dari struktur yang memungkinkan terbentuknya
tindakan sosial (Adam and Roncevic 2003).
Tidak seperti Bourdieu, Coleman secara luas melibatkan penelitian empirik dan
formulasi indikator-indikator. Kunci penting Coleman terhadap diskursus modal sosial terletak
pada cara yang mudah dan sederhana untuk mengilustrasikan konsep modal sosial. Coleman
mengeksplorasi bagaimana karakter produktif modal sosial dapat menyeimbangkan modal
lainnya seperti modal kultural dan modal manusia (Teachman et al. 1997).
2.5.2. Teori Modal Sosial dalam Perspektif Demokrasi dan Politik
16
Pada dasarnya, perspektif demokrasi dan politik dalam teori modal sosial mengikuti
pendapat Tocqueville (1969) tentang hubungan kausal antara jaringan hubungan saling
percaya (trust) dengan norma sosial, dikaitkan dengan realisasi praktek-praktek politik dan
demokrasi. Upaya tersebut memang dilakukan oleh Robert Putnam yang mengadopsi
pemikiran Tocqueville untuk memulai karya modal sosialnya terkait dengan politik dan
demokrasi.
Dalam perspektif demokrasi, asosiasi sukarela merupakan subyek yang plural atau
disebut sebagai fenomena “kita”. Dalam teori modal sosial ini, aktor-aktor yang sebenarnya
tidak rasional kemudian diorganisasikan ke dalam inti individu atau asosiasi. Mereka adalah
fakta sosial yang menghasilkan apa yang Tocqueville gambarkan sebagai “the habits of acting together in the affairs of daily life” dimana masyarakat yang demokratis sangat tergantung pada
kebiasaan tersebut (1969: 514). Dalam praktek asosiasi menurut Tocqueville (1969: 522),
individu-individu menciptakan norma-norma yang kental terkait dengan trust yang bersifat
tanggung jawab moral intersubyektif (intersubjective moral obligations), Tocqueville
menyebutnya sebagai “mores”—yang dibutuhkan dan terus diperkuat melalui kerja sama dan
relasi dari hari ke hari.
Dengan demikian, bagi pengikut teori demokrasi Tocqueville, dan neo-
Tocquevillean, jaringan-jaringan hubungan saling percaya (trust) bukan hanya berupa
jembatan horizontal yang memfasilitasi koneksi antar individu yang memaksimalkan
penggunaan sumberdaya, melainkan jaringan-jaringan tersebut memiliki sebuah pengikat
(bonding) fungsi moral inter subjektif. Mereka menghasilkan ikatan normatif subjek plural
komunal atau dikenal sebagai masyarakat sipil (civil society) yang memerlukan kondisi
pengaturan kolektif mandiri.
Selanjutnya, sebagai hasil dari konsepsi subyek yang plural dari tindakan manusia,
norma sosial dipahami berbeda menurut perspektif demokrasi dan politik dalam modal sosial.
Norma-norma tersebut tidak berfungsi secara eksklusif untuk memfasilitasi efisiensi realisasi
barang-barang personal dalam struktur sosial tertentu, melainkan norma-norma tersebut
memelihara inti universalisme etos demokrasi. Dalam tataran tertentu, norma sosial
mempromosikan kerjasama sosial yang reflektif, yakni dipandang sebagai hambatan-hambatan
tidak kondisional yang mengatur artikulasi kolektif dan realisasi praktis struktur sosial yang
lebih penting atau melebihi dari “public good”. Dalam perspektif demokrasi dari teori modal
sosial, norm sosial dipahami tidak lebih dari “we”, yakni hambatan yang memungkinkan
realisasi kolektif dari demokrasi yang ideal. Dengan demikian, berdasarkan asumsi-asumsi
normatif mengenai fakta sosial dari asosiasi-asosiasi yang ada, perspektif demokrasi dalam
teori modal sosial saat ini memandang modal sosial merupakan sumberdaya komunal yang
terdiri dari hubungan saling percaya dan norma sosial yang memfasilitasi kewajiban yang
17
bersifat mutualistik, dan tindakan kerjasama. Kondisi inilah yang menurut Putnam
menyebabkan bekerjanya sebuah demokrasi atau “make democracy work”.
Dalam kenyataannya, modal sosial dari Putnam memungkinkan resolusi demokratis
dalam memecahkan masalah-masalah tindakan kolektif. Menurut Putnam, modal sosial
berfungsi untuk “melumasi mesin putar yang memungkinkan komunitas untuk lebih maju tanpa
gejolak”, dan mengembangkan sekaligus mempertahankan “karakter masyarakat yang baik
secara keseluruhan” (Putnam, 2000: 288). Dalam kenyataannya, perspektif demokrasi dalam
teori modal sosial, norma secara eksplisit mempengaruhi kehidupan asosiatif yang perlu
dipertimbangkan untuk menjamin eksistensi demokrasi.
Teori Putnam lebih jauh dipengaruhi oleh pandangan pluralisme dan
komunitarianisme. Tesis sentral teori modal sosial Putnam adalah bahwa keberfungsian
ekonomi regional dibarengi dengan integrasi politik yang tinggi merupakan hasil dari kapasitas
regional untuk mengakumulasikan modal sosial (Siisiainen, 2000). Putnam mengajukan tiga
komponen modal sosial: (a) kewajiban moral dan norma-norma; (b) nilai sosial, khususnya
trust; dan (c) jaringan sosial, khususnya keanggotaan dalam asosiasi-sosiasi sukarela. Bentuk-
bentuk modal sosial ini merupakan sentral untuk mempromosikan masyarakat sipil (civil
society). Menurut Putnam, aktivitas produktif modal sosial merupakan manifestasi dari
kapasitasnya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan
(Putnam: 1995: 2). Ancaman kapasitas produktif ini bersumber dari kecenderungan perubahan
sosial yang mengindikasikan bahwa koordinasi dan kerjasama telah bergeser ke dalam
keanggotaan kelompok keagamaan, organisasi orang tua-guru, dan kelompok-kelompok
asosiasi lainnya. Putnam menyimpulkan kecenderungan tersebut sebagai sebuah gejala
dimana modal sosial sedang mengalami erosi. Dampak erosi tersebut antara lain kehilangan
ikatan keeratan dalam keluarga dan menurunnya hubungan saling percaya dalam masyarakat.
Putnam menghubungkan secara langsung antara tingkat kerekatan sipil dengan kapasitas
masyarakat untuk menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti pengangguran,
kemiskinan, rendahnya partisipasi bersekolah, dan kriminalitas. Seperti halnya Coleman,
Putnam mengklaim bahwa jaringan hubungan timbal balik yang terorganisasi dan solidaritas
sosial merupakan pra-kondisi untuk modernisasi sosial dan ekonomi (Putnam: 1995: 2).
Robert Putnam mempopulerkan konsep modal sosial melalui studi tentang komitmen
sipil di Italia (Boggs 2001; Schuller et al. 2000). Seperti halnya pengaruh Coleman terhadap
diskursus teoritik tentang modal sosial, Putnam menyitir Foundations of Sosial Theory dari
Coleman sebagai sumber utamanya (Routledge and Amsberg 2003). Putnam mendefinisikan
modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti hubungan saling percaya ( trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi
masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkoordinasi (Putnam et al. 1993).
18
Dalam karya Making Democracy Work (Putnam et al. 1993), para penulis menggali
perbedaan antara pemerintahan regional di utara dan selatan Italia terkait dengan penjelasan
variabel tentang masyarakat sipil. Karya Putnam berikutnya difokuskan pada penurunan
komitmen sipil di Amerika. Dalam Bowling Alone (1995), Putnam mengidentifikasi penurunan
umum tingkatan spiritual modal sosial yang diindikasikan melalui keikutsertaan dalam
organisasi organisasi-organisasi sukarela (Schuller et al. 2000). Karya akademik tersebut
mengambil contoh dari olah raga bowling sebagai sebuah aktivitas yang biasanya menjadi
organisasi yang asosiatif tinggi, dipresentasikan tidak hanya untuk saluran rekreasi tetapi juga
sumber interaksi sosial, sebagai salah satu komponen modal sosial (Putnam 1999; 2000).
Seperti halnya Coleman, Putnam juga terlibat dalam penelitian empirik dan formulasi
indikator-indikator serta bertanggung jawab untuk pengembangan instrument aplikatif yang
sering disebut 'Putnam instrument' (Adam dan Roncevic 2003; Paldam dan Svendsen 2000).
Instrumen tersebut dikenal sebagai alat yang terbaik dan banyak digunakan meliputi empat
indikator: hubungan saling percaya dalam masyarakat dan kelembagaan, norma-norma
pertukaran timbal balik, jaringan-jaringan, dan keanggotaan dalam asosiasi sukarela.
2.5.3. Teori Modal Sosial dalam Perspektif Marxian Aliran ini diwakili oleh hasil karya Pierre Bourdieu yang banyak dikutip dalam
berbagai literatur dibidang pendidikan. Perspektif modal sosial dari Bourdieu memberikan
alternatif yang unik karena bertentangan dengan bentuk-bentuk rasional dari Coleman atau
politik dan demokrasi dari Putnam dalam teori modal sosial kontemporer. Menurut Bourdieu,
tindakan melekat dalam struktur sosial, dan oleh karenanya dia tetap menolak reduksi pilihan
rasional tindakan kolektif ke dalam agregrasi perilaku rasional individu seperti yang diungkap
Coleman.
Penolakan atas pilihan rasional tersebut terkait dengan pandangan Tocquevillean
tentang asosiasi sukarela yang menentukan tindakan kolektif dalam demokrasi. Bagi Bourdieu,
subyek plural dari asosiasi, yang disebutnya sebagai kelompok sosial, tidak sesederhana itu
menyebabkan tindakan kerjasama sukarela dari individu-individu yang memahami betul
kepentingan mereka sendiri. Kelompok sosial bagi Bourdieu bukanlah kelas aktual yang
dimobilisasi secara eksplisit untuk tujuan bersama dari kelas dominan. Kelompok sosial
merupakan kelas dimana eksistensi, identitas, dan keanggotaan mereka secara implisit
ditentukan oleh non-voluntary predispositions yang terbentuk dari perjuangan dalam rangka
mengkonsumsi dan mendistribusi sumberdaya kultural, sosial dan ekonomi yang terbatas.
Dalam tulisannya, Bourdieu menampilkan perbedaan pandangan terkait modal
sosial. Dia percaya bahwa modal sosial beroperasi sebagai alat reproduksi kultural dalam
menjelaskan pencapaian pendidikan yang tidak seimbang. Teorinya benar-benar memiliki akar
19
sosio-kultural yang kuat yang ada dalam pengalaman pendidikan dari dialektika individu
melalui sejarah material dan sosial mereka. Selain itu, perspektif Bourdieu tentang modal
sosial didesain untuk memandu kajian-kajian empirik. Ada tiga kunci konsep teoritik untuk
menjelaskan perspektif Bourdieu tentang modal sosial, yakni habitus, capitals, dan fieldsPertama-tama, konsep habitus digunakan untuk menjelaskan bagaimana dampak
struktur obyektif dan persepsi subyektif terhadap tindakan manusia. Konsep ini dapat
dijelaskan sebagai serangkaian skema regulasi pemikiran dan tindakan, yang dalam tataran
tertentu sebagai produk dari pengalaman sebelumnya. Menurut Bourdieu (1977: 72) habitus berisi serangkaian disposisi atau kesiapan bertindak yang kuat dan sama yang mengatur
aktivitas mental ke titik dimana individu sering tidak menyadari akan dampak dari tindakannya.
Intinya, konsep habitus merupakan cara untuk menjelaskan bagaimana pesan-pesan sosial
dan kultural baik aktual maupun simbolik membentuk pemikiran dan tindakan individu-individu.
Konsep ini tidak statis karena memungkinkan individu-individu untuk menjembatani pesan-
pesan tersebut, dan bahkan menempatkan resistensi kepercayaan personal. Habitus bukan
terstruktur secara total, meskipun habitus masih tetap dipengaruhi oleh konteks kesejarahan,
sosial dan kultural.
Untuk mengilustrasikan pentingnya konsep habitus, seseorang dapat berfikir
bagaimana kelompok-kelompok sosial tertentu lebih mampu untuk memobilisasi kepercayaan
yang ada pada diri mereka ke dalam nilai-nilai pendidikan. Seringkali beberapa nilai dibentuk
oleh serangkaian umum pandangan dalam lingkungan sesaat yang menyediakan beberapa
keuntungan dalam pemanfaatan sistem pendidikan formal. Nilai-nilai tersebut tidak harus
datang secara sadar, melainkan memang sudah menyatu dalam budaya individu-individu yang
sudah terbentuk. Faktor kelas sosial pada umumnya sangat kuat untuk menjembatani
pemikiran dan tindakan, Bourdieu menyebutnya sebagai habitus kelas. Hal ini disebabkan
karena kelas sosial secara kuat mempengaruhi pola konsumsi dan gaya hidup.
Tema kedua dari teori Bourdieu adalah capitals. Konsep ini dibagi ke dalam kategori
modal economic, social, cultural, dan symbolic. Modal ekonomi merujuk pada pendapatan dan
sumberdaya finansial dan aset lainnya. Modal ini bersifat lebih memungkinkan dapat dikonversi
ke dalam bentuk modal-modal lainnya. Modal ekonomi, bagaimanapun, tidak cukup untuk
membeli status atau posisi dalam masyarakat, kecuali tergantung pada interaksi dengan unsur
modal lainnya. Modal sosial dirumuskannya sebagai serangkaian relasi sosial yang sudah
berlangsung lama, jaringan dan kontak-kontak. Seperti halnya Coleman dan Putnam,
pandangan tentang hubungan timbal balik (reciprocity) sangat penting, meskipun Bourdieu
lebih menekankan individu, dan tidak selalu komunal untuk mendapatkan yang mungkin
diharapkan. Modal kultural terdiri dari tiga bentuk, yakni objectified, embodied, dan
institutionalized. Masing-masing bentuk berfungsi sebagai instrumen untuk kecocokan
20
kemakmuran simbolik secara sosial yang akhirnya bermuara pada nilai untuk menjadi yang
diharapkan dan dimiliki (Bourdieu, 1977c). Bentuk keobyektifan merupakan manifestasi seperti
buku-buku, kualifikasi, computer; bentuk embodied dihubungkan dengan karakter edukatif
individu seperti kesiapan bertindak untuk memasuki proses belajar; bentuk institutionalised direpresentasikan tempat untuk belajar yang mungkin akan dimasuki seperti sekolah,
universitas, lembaga teknologi dan sebagainya. Symbolic capital digunakan Bourdieu untuk
menjelaskan cara dalam mana modal dipandang dalam struktur sosial seperti nilai status yang
melekat pada buku-buku tertentu, nilai atau tempat belajar. Dalam hubungannya dengan
modal, perlu dicatat bahwa semua bentuk modal (kategori economic, sosial, cultural, dan
symbolic) merupakan factor kunci yang mendefinisikan posisi dan kemungkinan bagi individu
untuk terlibat dalam berbagai arena, termasuk di dalamnya area pengelolaan sumberdaya
hutan. Lebih jauh, efek pengganda seringkali muncul terkait dengan bentuk akumulasi modal
misalnya satu modal seringkali merubah modal lainnya.
Konsep yang ketiga adalah fields. Dalam bahasa Bourdieu, konsep ini berhubungan
dengan ruang struktur kekuatan dan perjuangan, yang berisi sistem teratur dan jaringan yang
dapat diidentifikasi dari hubungan yang berdampak pada habitus individu. Bourdieu mengklaim
bahwa individu-individu tertentu masuk ke dalam fields, secara sadar lebih memperhatikan
aturan main atau memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memanipulasi aturan-aturan
tersebut melalui bangunan kesesuaian modal. Individu-individu tersebut dengan kualifikasi
yang kuat atau pekerjaan dan status yang kuat mungkin dapat dikategorikan dalam kelompok
ini. Berbagai strategi baik dalam bentuk aktual atau simbolik kemudian diterapkan oleh
individu-individu untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain dan menempatkan mereka
ke dalam posisi yang menguntungkan melalui efektivitas penggunaan dan eksploitasi modal.
Beberapa strategi hanya akan bermakna apabila mereka menunjukkan relevansi simbolik.
Kekuasaan simbolik dikatakan memiliki ekspresi yang besar dalam penerimaan umum bahwa
aturan main berjalan dengan adil. Misrecognition, prase yang dipinjam Bourdieu dari ide Marx
tentang ‘false consciousness’, terjadi ketika individu-individu yang berada dalam
ketidakberuntungan bermain tanpa mempertanyakan aturan. Untuk hal ini Bourdieu
menyebutnya sebagai ‘symbolic violence’.
Bourdieu dipandang bertanggung jawab untuk membawa konsep dan terminologi
modal sosial ke dalam diskursus hingga sekarang ini. Adam dan Roncevic (2003) menyitir
salah satu karya Bourdieu Distinction yang diterbitkan di Perancis tahun 1979 sebagai karya
orisinal perspektif modal sosial modern. Definisi modal sosial dari Bourdieu dapat digambarkan
sebagai egosentris seperti yang dipertimbangkan dalam framework modal simbolik dan teori
kelas dalam masyarakat (Wall et al. 1998). Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai
agregasi sumberdaya aktual dan potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan yang kuat
21
dan terlembagakan dari hubungan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, bagi
anggota kelompok, modal sosial menyediakan dukungan kepemilikan modal secara kolektif
(Bourdieu, 1986).
Dari ketiga perspektif teori modal sosial kontemporer tersebut, terdapat beberapa hal
yang menjadi kelemahan untuk masing-masing perspektif tersebut (Lewandowski, 2006: 20).
Dalam kasus perspektif pilihan rasional dalam teori modal sosial, misalnya, masalah muncul
terkit dengan kecenderungan model teori pilihan rasional telah mereduksi tataran sosial
menjadi individual. Fenomena inilah yang sering menjadi ajang kritik terhadap perspektif pilihan
rasional dalam teori modal sosial. Kesulitan lain akan muncul ketika perspektif pilihan rasional
mereduksi norma sosial menjadi norma rasional, dan memandang bahwa kepercayaan ( trust) horizontal merupakan sumberdaya yang menjembatani realisasi kepentingan-kepentingan
rasional individu. Dalam reduksi norma sosial ke norma rasional, asumsi-asumsi teoritik
perspektif rasional berkaitan dengan universalitas tentang penggunaan fungsi tindakan
manusia telah melupakan pertimbangan di depan tentang tindakan-tindakan yang tidak
berorientasi pada hasil, yang sebenarnya merupakan karakteristik norma sosial yang hakiki.
Dalam hubungan saling percaya yang horizontal, perspektif rasional juga menghilangkan
pertimbangan kelekatan secara normatif dalam hubungan saling percaya itu sendiri.
Kelemahan-kelemahan tersebut secara implisit mengarah pada kecenderungan dimana
tingkatan modal sosial menjadi ranah modal rasional. Oleh karenanya, terdapat penghilangan
analisis karakter tindakan sosial, norma, dan hubungan saling percaya dalam perspektif
rasional tersebut, yang oleh Lewandowski (2006: 20) disebutnya sebagai “rational reductionism”.
Sebaliknya, masalah utama dengan perspektif normatif atau demokratis dalam teori
modal sosial kontemporer terletak pada istilah yang digambarkan Lewandowski (2006: 21)
sebagai “moral inflationism”. Konsepsi yang berlebihan terhadap fakta sosial tentang asosiasi-
asosiasi sukarela mengarah pada universalisme pengakuan mengenai efek-efek kausalitas
dan penghargaan demokrasi dari asosiasi dan kelompok sosial tersebut. Berbeda dari reduksi
norma sosial menjadi norma rasional, perspektif normatif dan demokrasi menyimpang dalam
arah yang berlawanan, yakni meningkatkan fungsi-fungsi ikatan moral dari norma-norma ke
dalam asosiasi-yang mengutamakan idealisme demokrasi. Dengan kata lain, ikatan moral
norma individual ditingkatkan menjadi norma kelompok secara berlebihan sehingga cenderung
menjadi over-moral inflation. Tidak jarang norma individu harus dikalahkan oleh norma
kelompok meskipun tidak selamanya norma kelompok sesuai dengan norma individu. Inilah
yang mengagungkan atau melebih-lebihkan prinsip idealisme norma dan demokrasi dalam
asosiasi-asosiasi sukarela seperti yang digambarkan Putnam. Namun demikian, pluralisme
asosiasi mungkin saja tidak bersifat mengesampingkan moral, tetapi kekuatan-kekuatan norma
22
mereka juga tidak dapat digelembungkan untuk menumbuh kembangkan demokrasi.
Pemecahan masalah-masalah tindakan kolektif, misalnya, tidak memerlukan pelibatan tradisi
demokratis di antara individu anggota asosiasi atau antara asosiasi dan kelompok sosial lain.
Singkatnya, apa yang dikurangi oleh perspektif pilihan rasional dalam teori modal sosial, justru
dalam perspektif normatif dan demokratis ditingkatkan sehingga cenderung menjadi over inflasi
moral atau norma.
Perspektif Marxist dalam teori modal sosial saat ini tidak mengalami masalah terkait
dengan reduksionisme rasional atau inflasionisme moral seperti yang dialami oleh kedua
perspektif modal sosial sebelumnya. Nampaknya teori Bourdieu yang unik memungkinkannya
untuk menghindari kedua masalah tersebut. Meskipun demikian, terdapat kelemahan
perspektif Marxist dalam teori modal sosial. Kelemahan tersebut berasal dari telalu dekatnya
pasangan antara habitus dan field dalam mana modal sosial sangat tergantung kepada
keduanya. Dua elemen teori tindakan dalam perspektif Marxist menghindarkan atomisasi
pilihan rasional dan voluntarisme ilmu politik neo-Tocquevillean dan teori demokrasi: Konsepsi
modal sosial Bourdieu tidak tergantung pada individualisme rasional ataupun dampak-dampak
demokratisasi asosiasi sukarela.
Tetapi terlalu beratnya penekanan pembentukan pre-disposisional yang non-
voluntaristik dari kelompok sosial, sangat sulit untuk melihat bagaimana teori Bourdieu dapat
memandang tindakan manusia dan asosiasi-asosiasi sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar
reproduksi struktur sosial yang terstratifikasi secara obyektif. Di sinilah praktek tindakan
manusia hanya bersifat imitasi- Bourdieu menyebutnya “embody”, yakni stratifikasi norma-
norma konsumsi yang berfungsi sebagai penanda kuat dari perbedaan kelas, divisi, dan konflik
dalam struktur sosial yang ada. Korespondensi yang kaku antara habitus dan field menyebabkan keterbatasan yang kuat pada upaya-upaya perspektif Marxist untuk
menghasilkan konsep modal sosial dalam sebuah kritik materialisme kultural. Dari sinilah,
ikatan intra-kelompok dan stratifikasi kredit modal sosial inter kelompok merupakan fungsi dari
pre-reflective habitus-field homology, yang mengandung makna bahwa modal sosial tidak
memfasilitasi tindakan-tindakan aktor, melainkan menetukannya. Alih-alih penghindaran
reduksionisme rasional dan inflasionisme moral dari dua perspektif lain, kelemahan pandangan
Marxist memiliki kecenderungan ke arah homogism fungsionalistik.
Untuk memastikan saja, bahwa perspektif pilihan rasional dan ekonomi bersama
dengan pandangan Bourdie, bahwa modal sosial merupakan sumberdaya yang melekat dalam
struktur; perspektif demokratik memandang bahwa meskipun melekat, modal sosial berisi
potensi kekayaan norma untuk mengubah intekasi manusia dan lokasi-lokasi dalam mana
tindakan dilakukan; perspektif Marxist menyarankan bahwa modal sosial memainkan peranan
yang sangat fundamental dalam pendefisian dan penentuan perjalanan perjuangan sosial dan
23
konflik kelompok. Semua ini membutuhkan alternatif teori modal sosial yang mampu
menghindari reduksionisme, inflasionisme, dan determinisme yang memperlemah perspektif
teori modal sosial saat ini.
2.5.4. Teori Modal Sosial Nan Lin: Alternatif Perspektif Modal SosialDalam karyanya “Social Capital: A Theory of Social Structure and Action”, Lin (2001:
19) berpendapat bahwa modal sosial diperoleh melalui hubungan-hubungan sosial. Dalam
pendekatan ini, modal dilihat sebagai aset sosial oleh aktor yang memiliki akses dan koneksi
terhadap sumberdaya dalam jaringan atau kelompok dimana mereka menjadi anggotanya.
Pertanyaannya, mengapa modal sosial dapat bekerja atau menjalankan fungsinya?
Dalam teorinya, Lin (2001: 19-20) menemukan empat penjelasan yang dapat
menjawab mengapa sumberdaya yang melekat dalam jaringan sosial mampu meningkatkan
hasil dari sebuah tindakan. Keempat penjelasan tersebut adalah (a) aliran informasi yang
difasilitasi, (b) ikatan-ikatan sosial yang mungkin mempengaruhi perilaku atau pengambilan
keputusan berkaitan dengan orang lain, (c) ikatan-ikatan sosial dapat dilihat sebagai kualifikasi
sosial yang merefleksikan aksesabilitas terhadap sumberdaya melalui hubungan-hubungan
dan jaringan-jaringan sosial, dan (d) relasi sosial diharapkan memperkuat identitas dan
apresiasi. Keempat elemen tersebut dapat menjelaskan mengapa modal sosial bekerja dalam
tindakan-tindakan ekspresif dan instrumental, dan bukan diperuntukkan bagi bentuk-bentuk
capital personal seperti pada modal manusia atau modal ekonomi.
Lin (2001: 21-22) mengidentifikasi dua perspektif terkait dengan pertanyaan “pada
tingkatan manakah keuntungan dapat di visualisasikan; apakah keuntungan diakumulasikan
untuk kelompok atau individu”. Perspektif pertama, fokus utama adalah penggunaan modal
sosial oleh individu, yakni bagaimana akses individual dan penggunaan sumberdaya melekat
dalam jaringan sosial untuk mendapatkan keuntungan dari tindakan-tindakan instrumental atau
mempertahankan keuntungan dari tindakan-tindakan ekspresif. Dalam situasi seperti ini, modal
sosial dapat dilihat mirip dengan modal manusia bahwa investasi dapat dibuat oleh individu
dengan harapan keuntungan secara individual. Akumulasi keuntungan individual pada
gilirannya juga akan menguntungkan secara kolektif. Dua hal penting dalam perspektif ini
adalah (a) bagaimana individu-individu berinvestasi dalam hubungan-hubungan sosial, dan (b)
bagaimana individu-individu mendapatkan sumberdaya yang melekat dalam hubungan-
hubungan sosial tersebut untuk menghasilkan keuntungan.
Perspektif kedua, difokuskan pada modal sosial di tingkatan kelompok, yakni (a)
bagaimana kelompok tertentu mengembangkan atau kurang lebih mempertahankan modal
sosial sebagai aset kolektif, dan (b) bagaimana aset kolektif tersebut meningkatkan
24
kesempatan hidup anggota kelompok. Bagi Lin, perhatian sentral dalam perspektif ini adalah
menggali elemen-elemen dan proses-proses produksi dan perlindungan aset kolektif.
Untuk keperluan itu, Lin (2001) mengidentifikasi elemen-elemen modal sosial dari
beberapa teoritisi yang ada. Bourdieu (1986) melihat modal dalam tiga bentuk; sebagai modal
ekonomi, modal kultural, dan modal sosial. Bagi Bourdieu, modal sosial terbentuk dari
tanggung jawab atau koneksitas sosial. Modal sosial merupakan agregasi sumberdaya aktual
atau potensial yang dikaitkan dengan kepemilikan jaringan dari hubungan-hubungan yang
terinternalisasi berdasarkan kontak sosial yang saling menguntungkan dan orang lain
mengetahuinya, atau dikaitkan dengan keanggotaan dalam sebuah kelompok. Dengan kata
lain, Bourdieu melihat modal sosial sebagai sebuah bentuk modal yang dimiliki oleh anggota
dari sebuah jaringan sosial atau kelompok.
Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,
melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah
aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial
merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada
gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial. Seperti
bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang memiliki kemungkinan
pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan tercapai apabila ketiadaan modal
sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur
hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain, modal sosial tidak berada dalam individu.
Lin (2001) memandang bahwa karya Putnam (1993/1995) terkait dengan partisipasi
dalam organisasi sukarela dalam masyarakat demokratis, seperti Amerika Serikat, secara kuat
merefleksikan penggunaan perspektif modal sosial. Putnam berpendapat bahwa asosiasi-
asosiasi tersebut dan tingkatan partisipasinya mengindikasikan tataran modal sosial dalam
masyarakat. Asosiasi dan partisipasi tersebut mempromosikan dan memperkuat norma-norma
kolektif dan kepercayaan yang merupakan sentral dari produksi dan pemeliharaan kehidupan
kolektif.
Berdasarkan telaah terhadap pemikiran teoritisi tersebut di atas, Lin (2001: 25)
mengkonseptualisasikan dan mendefinisikan modal sebagai sumberdaya yang melekat dalam
jaringan sosial yang digunakan dan diakses oleh aktor untuk melakukan tindakan. Dengan
demikian, definisi tersebut memiliki dua aspek utama; (1) modal sosial merepresentasikan
sumberdaya yang melekat dalam relasi sosial dan bukan individual; (2) akses dan penggunaan
sumberdaya tersebut berada pada tingkat individu.
Lin (2001) mengidentifikasi beberapa kontroversi terkait dengan konsep modal
sosial. Kontroversi pertama, berhubungan dengan perspektif tingkatan makro versus relational;
apakah modal sosial merupakan kekayaan kolektif ataukah kekayaan individu. Banyak teoritisi
25
sepakat bahwa modal sosial merupakan kekayaan kolektif dan individu. Modal sosial
merupakan hubungan sosial yang terinternalisasi dengan lekatan sumberdaya yang
diharapkan bermanfaat bagi individu maupun kolektif dalam kelompok. Pada tingkatan
kelompok, modal sosial merepresentasikan agregasi sumberdaya yang berharga (seperti
ekonomi, politik, kultural, atau sosial) dari anggota yang melakukan interaksi sebagai satu
jaringan ataupun beberapa jaringan. Namun menurut Lin, terdapat kesulitan yang muncul
ketika modal sosial didiskusikan sebagai kekayaan kolektif dan atau barang publik (public goods) bersamaan dengan kepercayaan, norma-norma, dan barang-barang kolektif atau
publik. Menurut Lin (2001: 26) modal sosial, sebagai aset relational, harus dipisahkan dari aset
dan kekayaan kolektif seperti kultur, norma-norma, kepercayaan dan sebagainya. Dalam kaitan
ini, Lin (2001) mengemukakan proposisi bahwa aset kolektif seperti kepercayaan,
menghasilkan hubungan dan jaringan, serta meningkatkan penggunaan sumberdaya yang
melekat atau sebaliknya; tetapi tidak boleh diasumsikan bahwa aset kolektif tersebut
merupakan bentuk alternatif modal sosial, atau didefinisikan, misalnya hubungan saling
percaya (trust) merupakan modal sosial.
Kontroversi kedua, terkait dengan aspek-aspek kolektif modal sosial, bahwa
persyaratan yang diasumsikan atau diharapkan yakni, apakah terdapat situasi kondusif
ataukah kekompakan dalam hubungan sosial dan jaringan sosial. Menurut Lin, persyaratan
untuk kekompakan atau kondusivitas jaringan sosial tidak diperlukan. Penelitian dalam jaringan
sosial telah menekankan pentingnya jembatan dalam jaringan untuk memfasilitasi aliran
informasi dan pengaruh. Menurut Lin, lebih berguna secara teoritik adalah (1) mempostulasi
hasil-hasil apakah dan dalam kondisi apakah jaringan sosial yang lebih kompak atau tidak
menghasilkan hasil keuntungan yang lebih baik, dan (2) mempostulasi hipotesis deduktif untuk
pengujian secara empirik, misalnya, semakin kompak jaringan akan lebih menghasilkan
pembagian sumberdaya yang lebih baik, dan pada gilirannya akan mempertahankan
sumberdaya individu dan kelompok; atau sebuah jaringan yang terbuka lebih memberikan
akses terhadap posisi dan sumberdaya yang menguntungkan dan pada gilirannya akan
meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan sumberdaya tambahan.
Kontroversi ketiga, terkait dengan pernyataan Coleman, bahwa modal sosial
merupakan sumberdaya struktur sosial yang menghasilkan keuntungan bagi individu dalam
tindakan khusus. Dia berpendapat bahwa modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,
melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah
aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial
merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada
gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial. Bagi Lin
(2001: 28) modal sosial diidentifikasi ketika dan apabila modal sosial tersebut bekerja;
26
penjelasan sebab potensial modal sosial dapat digambarkan hanya oleh modal sosial itu
sendiri; apakah modal sosial merupakan sebuah investasi atau bukan akan sangat tergantung
pada keuntungan bagi individu tertentu dalam tindakan tertentu pula.
Modal sosial sebagai sebuah investasi dalam relasi sosial harus didefinisikan
sebagai sumberdaya yang melekat dalam sebuah struktur sosial yang diakses dan atau
dimobilisasi dalam tindakan-tindakan yang bertujuan (Lin, 2001: 29). Berdasarkan definisi
tersebut, Lin berpendapat terdapat tiga komponen yang penting untuk dianalisis, yakni (1)
sumberdaya; (2) melekat dalam sebuah struktur sosial, dan (3) tindakan-tindakan. Menurutnya,
teori modal sosial harus memenuhi tiga tugas utama. Pertama, teori tersebut harus
menerangkan bagaimana sumberdaya memanfaatkan nilai-nilai, dan bagaimana sumberdaya
yang berharga didistribusikan ke dalam masyarakat. Hal ini disebut sebagai keterikatan
sumberdaya secara struktural. Kedua, teori tersebut harus menunjukkan bagaimana aktor
individual melalui interaksi dan jaringan sosial, memiliki akses berbeda terhadap sumberdaya
yang melekat secara struktural tersebut. Hal ini yang disebut dengan struktur kesempatan.
Ketiga, teori tersebut harus mampu menjelaskan bagaimana akses terhadap sumberdaya
sosial dapat dimobilisasi untuk memperoleh keuntungan. Inilah yang disebut dengan proses
aktivasi.
Lin (2001) menggunakan konsep fundamental dalam teori modal sosialnya, yakni
sumberdaya, yang didefinisikan sebagai benda material atau benda simbolik. Dengan menyitir
pendapatnya dalam tulisan Lin (1982), dia mengemukakan tiga prinsip sebagai asumsi tentang
bagaimana makna-makna dan signifikansi diberikan kepada sumberdaya. Pertama, dalam
setiap kelompok manusia atau masyarakat manapun, nilai-nilai diferensial diberikan
berdasarkan konsensus atau pengaruh terhadap sumberdaya.
Kedua, semua aktor akan mengambil tindakan untuk mempromosikan kepentingan
pribadi mereka dengan cara mempertahankan dan mendapatkan sumberdaya yang berharga
apabila berbagai kesempatan tersedia. Aktor di sini dapat berupa individu maupun kelompok.
Ketiga, berkaitan dengan sumberdaya yang berharga, mempertahankan dan mendapatkan
sumberdaya tersebut merupakan dua motif utama untuk melakukan tindakan, dimana
mempertahankan sumberdaya yang bernilai jauh lebih penting daripada mendapatkannya.
Struktur sosial dalam hal ini didefinisikan terdiri dari (1) serangkaian unit-unit sosial
(kedudukan) yang memiliki perbedaan jumlah dari satu atau lebih jenis sumberdaya yang
berharga, dan yang (2) secara hierarki berhubungan relatif dengan otoritas (kontrol dan akses
terhadap sumberdaya), (3) membagi aturan tertentu dan prosedur dalam penggunaan
sumberdaya, dan (4) mendelegasikan kepada pemilik (agen-agen) yang bertindak atas dasar
aturan-aturan dan prosedur-prosedur tersebut (Lin, 2001: 33-34).
27
Elemen pertama, berhubungan dengan keterikatan sumberdaya terhadap
kedudukan sosial. Kepemilikan posisi mungkin berubah, tetapi sumberdaya tetap melekat pada
posisi tersebut. Oleh karenanya, sumberdaya yang melekat dalam sebuah struktur berbeda
dari sumberdaya yang dimiliki oleh aktor individu. Elemen kedua, menggambarkan hubungan
di antara posisi yang ada. Otoritas merupakan satu bentuk kekuasaan, didefinisikan sebagai
kontrol dan akses relatif terhadap sumberdaya yang berharga. Otoritas menunjukkan
pemaksaan, dengan sanksi legalistik yang eksplisit.
Elemen ketiga, menggambarkan aturan dan prosedur bersama yang memandu
bagaimana kedudukan sebaiknya bertindak dan berinteraksi relatif terhadap penggunaan dan
manipulasi sumberdaya yang berharga. Elemen keempat, kedudukan, otoritas, aturan, dan
agen, secara kolektif mendefinisikan struktur makro sebagai sebuah sistem koordinasi untuk
mempertahankan dan atau mengambil alih satu atau lebih jenis sumberdaya yang berharga
untuk kepentingan kolektivitas.
Dalam struktur yang hierarkis, kedudukan dihubungkan dengan rangkaian komando
otoritas, dimana semakin tinggi dan semakin kuat kedudukan, maka bukan hanya mendikte
perilaku pemangku kedudukan tersebut, tetapi juga mendikte pemangku kedudukan yang
lebih lemah melalui instruksi dan sosialisasi untuk menginterpretasikan aturan dan prosedur.
Selain itu, posisi yang lebih kuat mengatur mereka yang memangku posisi lebih lemah, serta
mengalokasikan sumberdaya melalui pendiktean aturan dan prosedur secara eksplisit (Lin,
2001: 35).
Dengan demikian, struktur formal yang sederhana didefinisikan sebagai struktur
hierarkis yang terdiri dari serangkaian kedudukan yang dikaitkan dengan hubungan otoritas
(pemaksaan yang legal) untuk mengontrol dan menggunakan sumberdaya yang berharga.
Kedudukan relatif terkait dengan akses terhadap sumberdaya dapat ditentukan berdasarkan
tempat vertikal mereka dalam hierarki otoritas. Sebuah posisi yang lebih tinggi dalam hierarki,
maka akan menerapkan otoritasnya terhadap posisi yang lebih rendah (Lin, 2001: 35).
Asumsi dalam struktur makro sumberdaya adalah bahwa ada kecenderungan umum
bagi struktur yang hierarki berbentuk piramida dalam kaitannya dengan distribusi kedudukan:
semakin tinggi tingkatan dalam rangkaian komando, semakin sedikit jumlah yang menduduki
posisi tersebut (Lin, 1982). Konsekuensi penting dari bentuk struktur hierarki piramida tersebut
adalah bahwa otoritas terkonsentrasi pada pemangku posisi dalam struktur yang
bersangkutan. Pada tingkat posisi paling tinggi, hanya sedikit pemangkunya yang bukan hanya
menguasai jumlah sumberdaya yang berharga secara absolut maupun relatif, tetapi juga lebih
banyak informasi komprehensif tentang lokasi sumberdaya dalam struktur yang bersangkutan.
Menurut Lin (2001: 36-37), setiap struktur sosial yang ada merefleksikan
kompleksitas yang melibatkan multi struktur hierarki untuk berbagai bentuk sumberdaya yang
28
berharga. Bagi kebanyakan kolektivitas, sumberdaya yang berharga tinggi terkait dengan
dimensi-dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Bagi seseorang yang menduduki kedudukan
sosial tinggi tertentu dapat dicirikan memiliki status tinggi dalam kelompok. Misalnya, aktor
individual yang memiliki posisi tinggi dalam penguasaan sumberdaya ekonomi dipandang
sebagai kelompok kelas atas, dan individu yang menduduki posisi ini termasuk aktor yang
makmur. Kedudukan individu pada tingkat atas dipandang lebih memiliki otoritas, dan aktor
yang mendudukinya memiliki kekuatan lebih.
Lin (2001:37) mengasumsikan bahwa apabila distribusi sumberdaya yang berharga
tidak merata membentuk basis struktur yang hierarkis, dan masing-masing sumberdaya
tersebut didefinisikan pada hierarki tertentu, maka hierarki tersebut memiliki kecenderungan ke
arah kesamaan dan bersifat dapat dipertukarkan. Dengan kata lain, pemangku satu posisi
yang relatif tinggi terkait dengan satu sumberdaya cenderung menguasai posisi yang relatif
tinggi terkait dengan sumberdaya yang lainnya. Misalnya, seseorang yang memiliki status
tinggi dalam struktur cenderung akan menguasai posisi tinggi dalam dimensi kelas dan
otoritas.
Jaringan sosial merepresentasikan struktur sosial yang kurang formal, dan dengan
demikian bersifat sedikit atau tidak formal dalam menggambarkan posisi dan aturan, serta
pengalokasian otoritas kepada partisipan. Dalam jaringan sosial, fleksibilitas menandai
pemangku, kedudukan, sumberdaya, dan aturan serta prosedur. Konsensus yang saling
menguntungkan melalui persuasi lebih diutamakan dibandingkan otoritas atau pemaksaan
mendikte partisipasi dan interaksi aktor (Lin, 2001: 38). Namun demikian, secara umum
sebuah jaringan sosial dibangun untuk tujuan multi kepentingan dalam perbedaan segmennya;
perbedaan kepentingan menghubungkan aktor dengan berbagai bagian jaringan sosial.
Sumberdaya yang melekat dalam diri aktor menjadi ego modal sosial.
Interaksi sebaiknya dianalisis dan dimengerti tidak hanya sifat-sifat hubungan di
antara aktor individual, tetapi juga yang lebih penting sifat-sifat sumberdaya yang terkait
dengan sifat-sifat interaksi tersebut (Lin, 2001: 38). Yang menjadi persoalan, sifat-sifat
sumberdaya apakah yang mungkin diharapkan melalui interaksi dan jaringan?
Lin (2001: 39) menjawab persoalan tersebut dengan menyitir postulasi dari Homans
(1950), terkait dengan prinsip resiprokal dan hubungan positif di antara tiga faktor: interaksi,
sentimen, dan aktivitas. Semakin banyak individu berinteraksi, semakin banyak pula mereka
berbagi sentimen, sehingga mereka akan lebih terikat dalam kolektivitas. Demikian juga,
semakin banyak individu-individu berbagi sentimen, semakin tinggi interaksi dan terlibat dalam
aktivitas.
Hal yang paling penting terkait dengan pengembangan hipotesis sentimen-interaksi
adalah hipotesis homophily. Sehubungan dengan hal itu, Lin (2001: 39) menghipotesiskan
29
bahwa interaksi sosial cenderung mengambil tempat di antara individu-individu dengan
karakteristik sosial ekonomi dan gaya hidup yang sama. Dalam banyak penelitian
menunjukkan bahwa interaksi cenderung terjadi di antara aktor-aktor individual yang
menduduki posisi sosial yang sama, dan atau sedikit berbeda.
Modal sosial berakar dalam jaringan sosial dan relasi sosial, serta dipandang
sebagai sumberdaya yang melekat dalam sebuah struktur sosial yang diakses dan atau
dimobilisasi untuk tindakan-tindakan yang bertujuan (Lin, 2001: 41). Oleh karena itulah, cara
pandang terhadap modal sosial berisi tiga komponen yang melintasi struktur dan tindakan:
struktur (lekatan), kesempatan (aksesabilitas melalui jaringan sosial), dan tindakan
(penggunaan).
Pada dasarnya individual, seperti halnya kelompok dan organisasi, memperoleh dan
mempertahankan sumberdaya yang berharga untuk meningkatkan kehidupan mereka. Mereka
dapat memobilisasi dan menggunakan sumberdaya tersebut dalam sebuah tindakan yang
bertujuan untuk mendapatkan sumberdaya tambahan (hal. 41). Oleh karenanya, hal yang
sangat penting adalah kepemilikan atau akses terhadap sumberdaya melindungi dan sekaligus
mempromosikan kedudukan individu dalam struktur sosial.
Sumberdaya personal berada dalam kepemilikan aktor-aktor individual, dimana
mereka sebagai pemilik, dapat menggunakan, menstranfer, dan mengatur sumberdaya
tersebut tanpa memerlukan otorisasi tertentu atau mempertanggung jawabkannya kepada
aktor lain maupun kepada kedudukan sosial mereka. Lin (2001: 42) mengemukakan beberapa
cara untuk mengakuisisi sumberdaya personal. Pertama, melalui jalan warisan keluarga.
Sumberdaya ini ditransfer oleh orang tua, keluarga atau aktor-aktor lain. Kedua, investasi
sumberdaya sendiri atau berbagai usaha yang dilakukan. Pendidikan, misalnya, dipandang
sebagai perolehan sumberdaya melalui investasi orang tua atau sumberdaya sendiri, dan
usaha-usaha personal. Ketiga, melalui pertukaran. Penguasaan sumberdaya personal
mungkin melibatkan pembayaran langsung (uang), atau pertukaran sumberdaya (barter) melalui transfer dari individu satu ke individu lainnya.
Lin (2001: 43) mendefinisikan sumberdaya sosial sebagai sumberdaya yang dapat
diakses melalui koneksi-koneksi sosial. Modal sosial terdiri dari sumberdaya (seperti
kemakmuran, kekuasaan, dan reputasi, serta jaringan sosial) aktor-aktor individual lain yang
menjadi tujuan bagi aktor individual untuk memperoleh akses melalui ikatan sosial langsung
maupun tidak langsung. Sumberdaya-sumberdaya tersebut melekat dalam ikatan-ikatan
jaringan seseorang. Seperti halnya sumberdaya personal, sumberdaya sosial dapat saja
meliputi benda-benda material seperti lahan, rumah, mobil, dan uang, serta barang-barang
simbolik seperti pendidikan, keanggotaan dalam klub, gelar kehormatan, gelar organisasi,
nama keluarga, reputasi atau kepopuleran.
30
Dua gambaran penting dari modal sosial yang memerlukan klarifikasi lanjut: (1)
sumberdaya dapat diakses melalui ikatan langsung maupun tidak langsung; dan (2)
sumberdaya tersebut dapat saja berada dalam kepemilikan yang berubah (sumberdaya
personal) atau dalam kedudukan sosial mereka (sumberdaya posisional). Modal sosial meliputi
sumberdaya yang diakses melalui ikatan tidak langsung. Sumberdaya yang diperoleh melalui
ikatan langsung merepresentasikan porsi ego modal yang relatif sedikit. Untuk memperoleh
akses terhadap sumberdaya tertentu, ego mungkin dimiliki seseorang yang tidak memiliki
sumberdaya tersebut, tetapi dia tahu orang lain memilikinya. Dalam kasus ini, kontak jaringan
sosial pertama kali menjadi sumberdaya ego. Oleh karenanya, modal sosial tidak hanya
datang melalui koneksi langsung atau hubungan yang sederhana. Baik koneksi langsung
maupun tidak langsung mampu menyediakan akses terhadap sumberdaya.
Baik aktor kolektif maupun individual melakukan tindakan memiliki dua motif utama,
yakni melindungi sumberdaya yang berharga dan memperoleh tambahan sumberdaya. Oleh
karenanya, tindakan yang dilakukan bersifat rasional dan dimotivasi untuk mempertahankan
perolehan sumberdaya tersebut agar mampu bertahan (Lin, 2001: 45).
Diasumsikan bahwa motif untuk mempertahankan sumberdaya yang berharga
menghasilkan tindakan ekspresif (expressive action). Ketika seseorang ingin mempertahankan
sumberdaya, dia membutuhkan pengetahuan oleh orang lain atau diketahui orang lain terkait
dengan legitimasi pengakuan hak-hak kekayaan terhadap sumberdaya atau pembagian
sentimen yang bersangkutan. Dengan kata lain, orang lain mengakui bahwa seseorang
memiliki hak atas sumberdaya yang dipertahankan atau memiliki legitimasi atas sumberdaya
yang dipertahankan tersebut. Tindakan tentunya dapat dipandang sebagai instrumen ego
untuk memiliki sebuah tujuan dalam bertindak. Selanjutnya, Lin (2001:46) berasumsi bahwa
motif untuk mencari dan memperoleh tambahan sumberdaya yang berharga akan
menghasilkan tindakan instrumental (instrumental action).
Motivasi tindakan menghasilkan dua bentuk perilaku; apakah aktor-aktor dapat
terlibat dalam aktivitas oleh mereka sendiri sehingga dapat menghasilkan perlindungan dan
perolehan sumberdaya lebih baik, ataukah mereka terlibat satu sama lain untuk menggunakan
sumberdaya orang lain. Tindakan-tindakan bertujuan dengan demikian harus dimengerti dalam
kaitannya dengan interaksi yang memungkinkan aktor-aktor untuk mengakses dan
menggunakan sumberdaya orang lain untuk tujuan-tujuan mereka (Lin, 2001: 46)
Lin (2001: 56) memulai teori modal sosial dengan berlandaskan pada tiga asumsi.
Pada tingkatan struktur makro, teori tersebut berasumsi Pertama, teori modal sosial dimulai
dengan bayangan tentang struktur sosial yang terdiri dari serangkaian posisi atau kedudukan
yang berurut mengikuti sumberdaya yang berharga secara normatif, seperti kelas, otoritas, dan
31
status. Selanjutnya, diasumsikan bahwa struktur sosial tersebut memiliki bentuk piramida
dalam kaitannya dengan akses dan control terhadap sumberdaya.
Kedua, teori modal sosial mengasumsikan bahwa sementara sumberdaya yang
berharga membentuk basis struktur hierarkhis dan masing-masing sumberdaya tersebut
mengartikan sebuah hierarki tertentu, maka hierarki tersebut cenderung ke arah kesamaan dan
dapat ditransfer. Ketiga, teori modal sosial mengasumsikan bahwa struktur hierarkhi cenderung
untuk bersifat piramidal, dimana tingkatan paling atas memiliki sedikit pemangku dibandingkan
dengan tingkatan lebih bawah (Lin, 2001: 57).
Bagi struktur meso dan mikro, teori modal sosial memiliki dua asumsi berkaitan
dengan interaksi dan tindakan-tindakan. Pertama, teori tersebut mengasumsikan bahwa
interaksi sosial cenderung mengambil tempat di antara individu-individu pada tingkatan hierarki
yang sama atau berdampingan – prinsip interaksi homophilous. Kedua, teori modal sosial
harus mempertimbangkan konsistensi atau tekanan antara tindakan dan interaksi (Lin, 2001:
59).
Pada akhir pembahasan, Lin (2001: 75) merumuskan 12 poin penting terkait dengan
model teori modal sosial sebagai serangkaian postulat dan proposition:
1. Sumberdaya yang berharga melekat dalam struktur sosial dalam mana kedudukan,
otoritas, aturan, dan pemangku kedudukan (agen) biasanya membentuk hirarki piramida
dalam kaitannya dengan distribusi sumberdaya yang berharga, jumlah kedudukan,
tingkatan otoritas, dan jumlah pemangku. Semakin tinggi tingkatan dalam hierarki, semakin
besar konsentrasi sumberdaya yang berharga; semakin sedikit jumlah posisi atau
kedudukan, semakin besar komando otoritas, dan semakin kecil jumlah agen.
2. Interaksi biasanya terjadi di antara aktor-aktor dengan karakteristik sumberdaya dan gaya
hidup yang hampir sama – mengikuti prinsip homophily. Semakin besar kesamaan
karakteristik sumberdaya, semakin kurang upaya yang dibutuhkan dalam interaksi.
3. Dalam jaringan sosial, aktor yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung
membawa berbagai tipe sumberdaya. Beberapa sumberdaya berada dalam kepemilikan
personal, tetapi kebanyakan sumberdaya melekat dalam diri orang lain dalam mana
masing-masing aktor melakukan kontak baik langsung maupun tidak langsung, atau
sumberdaya melekat dalam posisi struktural masing-masing aktor atau berada ketika
melakukan kontak dengan aktor lain.
4. Sumberdaya yang melekat secara struktural adalah modal sosial bagi aktor dalam jaringan
yang ada.
5. Aktor-aktor dimotivasi untuk mempertahankan atau memperoleh sumberdaya mereka
melalui tindakan sosial, disebut sebagai tindakan yang bertujuan. Tindakan untuk
mempertahankan sumberdaya disebut tindakan ekspresif, dan tindakan untuk memperoleh
32
sumberdaya dinamakan tindakan instrumental. Mempertahankan sumberdaya merupakan
motivasi utama untuk sebuah tindakan; dengan demikian, tindakan ekspresif merupakan
bentuk utama dari tindakan.
6. The social-capital proposition: Keberhasilan tindakan secara positif berkaitan dengan
modal sosial. Akses dan kontrol terhadap modal sosial lebih baik mengarah pada tindakan
yang lebih berhasil – keuntungan atau pengembalian modal sosial (hal. 60).
7. The strength-of-position proposition: Posisi yang lebih baik dari awal, semakin banyak
aktor akan mengakses dan menggunakan modal sosial yang lebih baik (hal. 64).
8. The strength-of Strong-Tie Proposition: semakin kuat ikatan, cenderung semakin banyak
modal sosial yang diakses dan akan berdampak positif terhadap keberhasilan tindakan
ekspresif (hal. 65).
9. The strength-of-Weak-Tie Proposition: semakin lemah ikatan, cenderung semakin tinggi
ego, maka akan mengakses modal sosial lebih baik untuk tindakan instrumental (hal. 67).
10. The Strenght-of-Location Proposition: Semakin dekat individu-individu dengan koneksi
dalam sebuah jaringan, semakin baik modal sosial yang dapat mereka akses untuk
tindakan instrumental (hal. 69).
11. The Location-by-Position Proposition: semakin kuat sebuah lokasi (berdekatan dengan
sebuah jaringan), bagi tindakan instrumental, adalah sangat tergantung kepada
sumberdaya berbeda yang melintasi jaringan (hal. 71).
12. The Structural Contingency Proposition: Efek jaringan (ikatan dan lokasi) dihambat oleh
struktur hierarki bagi aktor-aktor yang berlokasi dekat atau berada pada tingkatan atas
dan tingkatan bawah dari sebuah hierarki (hal. 74).
Postulat dan proposisi tersebut membuat teori modal sosial lebih eksplisit bahwa
teori modal sosial yang ditawarkan memiliki empat karakteristik: (1) Konsep-konsepnya
berhubungan secara alami dan tidak direduksi untuk tingkatan psikologis dan individualistik. (2)
Teori modal sosial secara intrinsik terjalin dalam sebuah struktur yang hierarkis. (3) teori modal
sosial melibatkan tindakan-tindakan dalam diri individu, dan karenanya membutuhkan analisis
tingkat mikro. (4) Pengembangan teori tersebut didasarkan pada integrasi resiprokal antara
teorisasi dan penelitian empirik. Dengan demikian terhindar dari kesulitan deduksi abstrak ke
abstrak yang tidak berujung berdasarkan asumsi teoritis atau empirisasi tanpa pemikiran.
Karakteristik inilah yang menempatkan teori modal sosial yang ditawarkan ditempatkan pada
posisi yang unik untuk mengatasi kesenjangan makro-mikro dan pengembangan teori
sosiologi.
Lin (2001: 77) mengilustrasikan model teori modal sosial seperti pada gambar
berikut.
33
Structural Position(pyramidal hierarchy)
Network Location Social Capital Returns(tie strength and (upper reachability; heterogeneity, Wealthbridging) and extensity of embedded power
resources) reputation)
Purpose of Action(instrumental or expressive)
Gambar 1: Model of social capital theory (Lin, 2001: 76)
Selanjutnya, Lin (2001: 81) memformulasikan tiga proposisi: (1) sumberdaya sosial
(misalnya sumberdaya yang diakses dalam jaringan sosial) menyebabkan pengaruh terhadap
hasil tindakan instrumental (misalnya status yang dicapai); (2) sumberdaya sosial, pada
gilirannya, dipengaruhi oleh kedudukan awal ego (seperti yang direpresentasikan oleh
sumberdaya orang tua atau sumberdaya sebelumnya); dan (3) sumberdaya sosial juga
dipengaruhi oleh penggunaan ikatan yang lebih lemah dibandingkan dengan ikatan yang lebih
kuat.
Lin (2001: 81-82) menyatakan bahwa konvergensi sumberdaya sosial dan teori
modal sosial melengkapi dan memperkuat pengembangan teori sosial yang memfokuskan
pada pemanfaatan instrumental akses dan mobilisasi sumberdaya yang melekat dalam
jaringan sosial. Untuk membuktikan asumsi tersebut, Lin mengajukan proposisi terkait dengan
penggabungan pendapat antara modal sosial dan sumberdaya sosial, dan mengujinya melalui
pelacakan penelitian yang sudah dilakukan selama ini. Proposisi tersebut adalah (1) semakin
baik akses sumberdaya yang melekat dalam jaringan sosial, mengarah pada semakin baik
34
pencapaian status; (2) semakin baik kedududukan struktural awal, semakin baik pencapaian
status; (3) semakin lemah ikatan, semakin baik pencapaian status (dalam tindakan
instrumental mencari pekerjaan, misalnya).
Penelitian terkait dengan hubungan antara sumberdaya sosial dan pencapaian
status diuji melalui dua proses. Proses pertama, memfokuskan pada akses terhadap modal
sosial – sumberdaya diakses dalam ego jaringan sosial umum. Dalam proses ini, modal
manusia (pendidikan, pengalaman), kedudukan awal, dan ego ikatan sosial dihipotesiskan
untuk menentukan tingkatan sumberdaya dimana ego dapat mengakses melalui sumberdaya
jaringan. Selanjutnya, sumberdaya jaringan, pendidikan, dan kedudukan awal diharapkan
mempengaruhi status yang dicapai, seperti status pekerjaan, kedudukan otoritas, atau
pendapatan. Lin menyebut model tersebut sebagai the accessed social capital model.Proses kedua, memfokuskan pada mobilisasi modal sosial dalam proses
pencapaian status – penggunaan kontak-kontak sosial dan sumberdaya yang disediakan
melalui kontak dalam proses pencaharian pekerjaan. Dihipotesiskan bahwa status kontak
bersama-sama dengan pendidikan dan kedudukan awal, akan menghasilkan efek yang
signifikan terhadap status pekerjaan yang diperoleh. Status kontak, pada gilirannya,
dipengaruhi oleh pendidikan, sumberdaya jaringan, dan ikatan kuat antara ego dan kontak
tersebut. Lin menyebut model ini sebagai the mobilized social capital model (hal.82).
Lin (2001) mengkaji isu-isu penting dalam penelitian modal sosial, yakni
ketidakseimbangan dalam modal sosial atau tingkatan dalam mana modal sosial
didistribusikan tidak merata di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat atau
populasi tertentu.
Dalam kaitan tersebut, Lin (2001: 101-102) mengajukan mekanisme
ketidakseimbangan sosial dari perpektif teori-teori capital:
1. Defisit modal disebabkan oleh (a) perbedaan investasi atau (b) perbedaan kesempatan.
2. Defisit pengembalian (keuntungan) disebabkan oleh (a) perbedaan mobilisasi modal yang
sesuai sehingga menghasilkan defisiensi kognitif atau keengganan untuk memobilisasi; (b)
perbedaan upaya oleh agen mediator; atau (c) perbedaan respon oleh organisasi dan
kelembagaan terhadap modal yang dimobilisasi.
3. Defisit pengembalian (keuntungan) mungkin atau tidak mungkin tidak tergantung pada
defisit modal. Tipe-tipe ketidakseimbangan tersebut mungkin disebabkan oleh defisit
modal: kelompok-kelompok sosial dapat saja memiliki kualitas dan kuantitas modal yang
sama, meskipun dapat saja menghasilkan pengembalian atau keuntungan yang berbeda.
Dalam kaitan ini, Lin (2001) memfokuskan pada masalah bagaimana tindakan
rasional mempengaruhi struktur sosial. Untuk itulah, dia memberikan tiga argumen terkait
dengan penggunaan teori pilihan rasional tersebut. Pertama, tindakan rasional dilihat memiliki
35
multi dimensi motif terkait dengan sumberdaya yang berharga. Paling tidak, dua pertimbangan
fundamental: meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan atau perolehan.
Kedua, kalkulasi-kalkulasi dan masalah suksesi mempengaruhi aturan-aturan transfer
sumberdaya dan dominasi kelompok primordial. Ketiga, secara umum, penggunaan modal
sosial (sumberdaya yang melekat dalam jaringan) secara substansial melebihi modal personal
atau modal manusia.
Teorisasi sosiologi menurut Lin (2001) dapat dilacak melalui mekanisme apakah
sebuah teori mengkhususnya diri pada sebab dan konsekuensi konsep relatif terhadap
tingkatan masyarakat: struktur dan aktor. Apabila kedua tingkatan ini menghasilkan dikotomi,
maka tipologi teori dapat berupa empat jenis teori. Teori makro mengkhususkan pada
penyebab dan konsep dampak pada tingkatan struktural, sementara teori mikro menempatkan
diri pada hubungan antara keduanya pada tingkatan aktor. Teori struktural menghubungkan
konsep-konsep kausalitas dengan konsep-konsep tingkat kemampuan aktor, dan teori aksi
menghipotesiskan dampak struktural dengan konsep-konsep pada tingkatan aktor (hal. 128).
Tiplogi teorisasi sosiologi berdasarkan spesifikasi makro-mikro yang dirumuskan Lin
(2001: 129) mengilustrasikan bahwa (a) konsep penyebab pada tingkat struktur, dan dampak
pada tingkatan struktur, maka teori makro yang digunakan, (b) Konsep penyebab pada
tingkatan aktor, tetapi konsep dampak pada tingkat struktur, maka teori aksi dapat diterapkan,
(c) apabila konsep penyebab berada pada tingkatan struktur, tetapi konsep dampak berada
pada tingkatan aktor, maka teori struktur yang digunakan, (d) apabila konsep penyebab berada
pada tingkatan aktor, dan konsep dampak juga berada pada tingkatan aktor, maka teori mikro
lah yang sesuai digunakan.
Diskusi tentang minimalisasi biaya dan maksimalisasi keuntungan atau perolehan
bagi Lin (2001) didasarkan pada beberapa proposisi, yakni: Proposisi pertama, mempertahankan dan memelihara sumberdaya merupakan motif utama untuk bertindak. Oleh
karenanya, prinsip utama tindakan adalah kalkulasi tentang minimalisasi kehilangan atau
kerugian. Proposisi kedua, perolehan dan perluasan sumberdaya adalah motif utama
berikutnya untuk bertindak. Dengan demikian, prinsip kedua dari tindakan adalah kalkulasi
maksimalisasi perolehan sumberdaya (hal. 131).
Argumen yang melatarbelakangi kedua proposisi tersebut adalah: (a) Minimalisasi
kehilangan dan maksimalisasi keuntungan adalah dua fungsi yang berbeda daripada fungsi-
fungsi yang saling berlawanan satu dengan lainnya. Kedua motif tindakan tersebut mungkin
saja melibatkan pilihan yang berbeda (apakah jenis dan berapa banyak sumberdaya), dan
dengan demikian menghasilkan perbedaan preferensi, (b) kedua motif tindakan tersebut
membentuk serangkaian tindakan, dan bukan dikotomi. Rangkaian tindakan dapat saja
36
termanifestasikan dalam dua motif: meminimalkan kehilangan dan memaksimalkan
keuntungan (ibid).
Proposisi ketiga, interaksi, yang mengikuti prinsip minimalisasi tindakan, berusaha
mencari penghargaan atas pengakuan seseorang terhadap sumberdaya. Penghargaan dalam
interaksi dapat dimengerti ketika tindakan dimotivasi oleh prinsip lebih meminimalkan kerugian
dibandingkan dengan memaksimalkan keuntungan (hal. 132).
Proposisi keempat, akumulasi modal sosial akan lebih cepat dibandingkan dengan
modal manusia. Artinya, akumulasi modal manusia cenderung untuk bertambah secara alami,
sementara akumulasi modal sosial cenderung menjadi unsur pelengkap. Proposisi kelima,
ketika interaksi di luar kelompok primordial seseorang ditingkatkan untuk memperoleh
sumberdaya, maka interaksi tersebut lebih banyak digunakan untuk mengakses modal sosial
dibandingkan dengan perolehan modal manusia (hal. 134).
Menurut Lin (2001: 137), sekali saja relasi sosial dan pembagian sumberdaya
dibangun dan dipertahankan, maka kolektivitas dengan sendirinya terbentuk. Sebuah
kolektivitas merupakan agregrasi aktor dan kelompok primordial yang diikat bersama untuk
berbagi modal sosial. Kolektivitas juga dapat memutuskan untuk memproduksi sumberdaya
lanjutan yang menjadi milik kolektif dibandingkan dengan aktor-aktor tertentu – modal publik.
Keberlangsungan kolektivitas akan sangat tergantung pada serangkaian aturan formal dan
informal yang mengatur aktor-aktor untuk berhadapan dengan aktor lain, dan terhadap akses
serta penggunaan sumberdaya bersama.
Menurut Lin, perbedaan tanggung jawab diperlukan sebab keberlangsungan
eksistensi kolektivitas sangat tergantung pada pemeliharaan dan perolehan sumberdaya
bersama. Tanggung jawab tersebut meliputi dua jenis: (1) penghargaan dan loyalitas
(sentimen) terhadap kolektivitas dan aturan-aturannya. Faktor loyalitas meminimalkan kerugian
modal publik, dan kinerja yang disyaratkan akan memaksimalkan perolehan sumberdaya
tersebut; (2) jumlah dan tipe kinerja dalam produksi sumberdaya bersama, terutama modal
publik. Selain itu, perbedaan imbalan (rewards) diperlukan sebab aktor-aktor akan dievaluasi
atas pemenuhan kinerja tanggung jawab mereka terhadap kolektivitas. Dengan demikian, lebih
banyak imbalan akan diberikan kepada mereka yang menunjukkan tingkatan tinggi atas
loyalitas dan atau tingkatan kinerja.
Menurut Lin (2001: 143) pertukaran (exchange), konsep sentral dalam analisis
sosiologis, dapat didefinisikan sebagai rangkaian interaksi antara dua atau lebih aktor dalam
mana transaksi sumberdaya berlangsung. Definisi ini memiliki dua komponen utama:
pertukaran membutuhkan hubungan antar aktor, dan mengarah pada transaksi sumberdaya.
Lin membedakan beberapa karakteristik dari dua rasionalitas, yakni pertukaran
ekonomi dan pertukaran sosial. Dalam rasionalitas transaksional, berimplikasi pada analisis
37
pertukaran ekonomi, bertujuan untuk memperoleh keuntungan modal ekonomi (sumberdaya
melalui transaksi) dan kepentingan terletak pada aspek transaksional pertukaran –
sumberdaya ditransaksikan, dan kadangkala dimediasi oleh harga dan uang. Penggunaan
pertukaran digunakan untuk mengoptimalkan transaksi keuntungan, dan pilihan rasional
menjadi basis dalam analisis hubungan alternatif yang menghasilkan keuntungan dan biaya
transaksional (hal. 154).
Rasionalitas transaksional dapat dilihat sebagai teori neo-Darwinian yang diterapkan
untuk pertukaran, yakni insting untuk menemukan mitra yang mengoptimalkan perolehan
sumberdaya melalui transaksi dengan ego. Kemitraan bersifat insidental terhadap persyaratan
transaksional, dan mungkin menjadi ikatan melalui aturan-aturan kontrak sehingga hubungan
yang ada akan mengurangi biaya transaksi dan menjustifikasi keberlangsungan transaksi.
Dengan demikian, rasionalitas transaksional mengikuti hukum alam dan rasionalitas pilihan
alami. Aktor-aktor yang memanfaatkan lebih banyak transaksi berulang tidak hanya
memperkaya mereka sendiri, tetapi secara kolektif membangun sebuah kolektivitas kaya. Inilah
argumen bagi tangan-tangan yang tidak terlihat (invisible hands) dalam rasionalitas
transaksional (hal. 155).
Rasionalitas relational, di lain pihak, memfokuskan pada aspek relasi pertukaran,
yakni tingkatan dalam mana hubungan dipertahankan dan ditingkatkan, biasanya dimediasi
oleh penghargaan atau ekspektasi yang oleh aktor akan disebarkan. Rasionalitas relational
didasarkan pada prinsip melanjutkan eksistensi kelompok yang paling sesuai, yakni kelompok
yang dicirikan oleh hubungan yang terus menerus di antara para anggotanya (hal. 156).
Rasionalitas transaksional membangun modal kolektif, meskipun sangat tergantung
pada media umum, yakni uang. Rasionalitas relasional juga membangun modal kolektif dari
modal individual; semakin baik reputasi yang dimiliki anggota, semakin baik keberadaan
kelompok. Hal ini sangat tergantung kepada medium yang tidak terlihat; yakni apresiasi (social credit) atau sentimen yang menyebar kepada aktor di dalam sebuah kelompok sosial.
Rasionalitas mampu mempertahankan basis individual ketika pasangan dalam pertukaran
mampu saling mengisi sepanjang mereka memenuhi persyaratan kegunaan transaksional.
Rasionalitas relasional tergantung pada ketahanan kelompok dan anggotanya. Semakin
banyak sumberdaya yang melekat dalam jaringan sosial, dan semakin kuat ikatan, semakin
besar keuntungan kolektif bagi kelompok, dan keuntungan relatif untuk masing-masing aktor
dalam kelompok (hal. 156).
Perlu dicatat, bahwa baik rasionalitas transaksional maupun rasionalitas relasional
pada dasarnya bersifat sosial. Tanpa legitimasi dan dukungan dari sistem sosial dan politik,
dan seluruh anggota, maka sistem ekonomi yang didasarkan pada simbol-simbolnya (uang)
tidak akan hidup dan tidak berkembang. Untuk mengatakan bahwa rasionalitas relational
38
dimasukkan di bawah rasionalitas transaksional secara insting sangat menarik, tetapi secara
humanisme sangat tidak mungkin.
Selanjutnya, Lin (2001) mengingatkan beberapa isu untuk dianalisis lebih lanjut.
Pertama, mengapa istilah reputation lebih disukai dibandingkan istilah lainnya seperti social approval, social attraction, dan khususnya mutual recognition atau social credit? Kedua,
mengapa terdapat tendensi dalam satu komunitas atau masyarakat untuk memfokuskan pada
satu jenis rasionalitas (transaksional ataukah relational) dibandingkan dengan lainnya, dan
apakah hal tersebut merupakan indikasi dari tendensi historis untuk memiliki hanya satu
rasionalitas (transaksional) yang mendominasi lainnya (relational)? Ketiga, apakah yang
menyebabkan kegagalan pertukaran atau hubungan solidaritas kolektif? Keempat, apakah
modal sosial dan modal ekonomi merupakan dua polarisasi atas satu dimensi yang mendorong
untuk memilih? (hal. 157).
Lin (2001) memperluas konseptualisasi modal sosial melalui pengujian akses dan
penggunaan modal sosial dalam konteks struktur sosial yang lebih kompleks, misalnya dalam
sebuah organisasi. Asumsi dia bahwa kekuatan kedudukan dapat berpengaruh terhadap
modal sosial dibandingkan dengan kekuatan letak jaringan (hal. 165). Secara tidak langsung,
pernyataan tersebut memperlihatkan signifikansi hambatan struktural dalam struktur sosial.
Sebuah hierarkhi, menurut Lin (2001), dapat digambarkan melalui empat parameter,
yakni jumlah tingkatan dalam hierarki (level differential), distribusi jumlah absolut dan relatif
pemangku kedudukan untuk keseluruhan tingkatan (the size differential), distribusi absolut dan
relatif jumlah sumberdaya yang bernilai untuk seluruh tingkatan dan di antara pemangku ( the resource differential), dan jumlah keseluruhan pemangku dan sumberdaya yang ada dalam
struktur (hal. 168).Level differential didefinisikan sebagai serangkaian kedudukan sosial yang memiliki
kesamaan komando atas sumberdaya dan akses terhadap modal, termasuk modal sosial,
untuk setiap pemangku. Menurut Lin, jumlah tingkatan dalam sebuah struktur memiliki
konsekuensi berlawanan dengan hambatan struktural dan tindakan individual. Di satu pihak,
dalam sistem dua tingkatan, hambatan struktural lebih kuat dan memberikan sedikit
kesempatan kepada tindakan-tindakan individual. Sementara di pihak lain, differensiasi
tingkatan yang banyak dalam sebuah struktur mengurangi hambatan struktural dan
memberikan kesempatan lebih banyak kepada tindakan-tindakan individual yang memperoleh
sumberdaya yang berharga (hal. 170). Nampaknya dampak tersebut konsisten dengan hasil
beberapa kajian empirik, bahwa mobilitas sosial berhubungan erat dengan jumlah strata dalam
struktur usaha atau pasar kerja.
Sementara itu, variasi dalam jumlah relatif pemangku di semua tingkatan
diperkirakan akan mempengaruhi kedudukan dan dampak lokasi. Untuk dampak posisional,
39
variasi dalam jumlah pemangku pada keseluruhan tingkatan memiliki dampak positif. Apabila
diferensial ukuran meningkat, interaksi intra tingkatan meningkat di antara berbagai pemangku
dalam tingkatan yang lebih besar, dan mungkin tingkatan yang lebih rendah. Interaksi intra
tingkatan tersebut memperkuat dampak posisional (hal. 171).
Menurut Lin (2001), pertimbangan parameter struktural telah membantu untuk
menspesifikasi kondisi-kondisi, dimana efek posisional dan efek ikatan cenderung bervariasi.
Dalam istilah tipe ideal, efek posisional sebaiknya maksimal ketika struktur berisi: (1) jumlah
minimal tingkatan, (2) differensial pemangku yang besar di semua tingkatan, dan (3)
differensial sumberdaya yang besar di semua tingkatan. Efek letak jaringan sebaiknya
maksimal ketika struktur memiliki: (1) jumlah tingkatan yang besar, (2) differensial pemangku
kedudukan yang kecil, dan (3) differensial sumberdaya yang kecil di semua tingkatan (hal.
174).
Efek posisional dapat dilihat sebagai indikator efek struktural, sedangkan efek lokasi
(khususnya penggunaan ikatan yang lebih lemah) memiliki konsekuensi terhadap tindakan
individual. Penggunaan ikatan yang lebih lemah cenderung menghasilkan interaksi yang
melibatkan partisipan dengan perbedaan karakteristik sosial ekonomi. Interaksi heterophilous
tidak secara total tanpa keuntungan bagi partisipan yang berasal dari tingkatan status yang
lebih tinggi, karena mereka mungkin masih mengharapkan atau meminta pelayanan partisipan
yang berasal dari tingkatan yang lebih rendah (hal. 174).
Teori Lin ini menggambarkan kondisi struktural yang terkait dengan hambatan-
hambatan struktural dan tindakan-tindakan individual mempengaruhi mobilitas sosial. Lin
(2001: 175) berargumen bahwa efek posisional, misalnya, lebih penting dibandingkan dengan
efek ikatan untuk keseluruhan struktur. Lin mengelaborasi teori Blau (1985); Blau dan
Schwartz, (1984) tentang teori heterogeneity dan inequality, yang menyatakan bahwa distribusi
sebuah dimensi (atribut) dan jumlah variabel yang membedakan kelompok-kelompok dalam
satu populasi mempengaruhi tingkatan asosiasi di antara kelompok-kelompok. Ketika
distribusi sebuah dimensi bervariasi di antara kelompok nominal dan kelompok bertingkat,
heterogeneity (untuk kelompok nominal) dan inequality (untuk kelompok bertingkat)
menghasilkan asosiasi antar kelompok, dan dapat diuji berdasarkan multi dimensi.
Berdasarkan teori heterogeneity dan inequality dari Blau ini, Lin (2001)
mengidentifikasi terdapat dua perbedaan yang penting. Pertama, teori struktur sosial dan
tindakan memfokuskan pada dua jenis tindakan, yakni tindakan-tindakan instrumental untuk
memperoleh sumberdaya yang berharga, dan tindakan-tindakan ekspresif untuk
mempertahankan sumberdaya tersebut. Perbedaan antara tindakan-tindakaninstrumental dan
ekspresif memainkan peranan yang sangat penting dalam teori struktur, dan memiliki
konsekuensi penting bagi pola-pola interaksi. Harapannya adalah bahwa tindakan dan
40
interaksi vertikal (heterophilous) sangat efektif untuk tujuan-tujuan instrumental, sementara
tindakan-tindakan dan interaksi horizontal (homophilous) sangat efektif untuk tujuan-tujuan
ekspresif (hal. 175).
Kedua, elemen-elemen utama teori Blau dan teori struktur dan tindakan dari Lin
diidentifikasi berbeda. Bagi Blau, elemen-elemen tersebut didasarkan pada atribut-atribut yang
dipertimbangkan orang ketika melakukan hubungan-hubungan sosial. Sementara teori Lin,
elemen-elemen tersebut di dasarkan pada sumberdaya (hal. 176)
Ketiga, Blau memfokuskan pada variasi dalam distribusi jumlah individu-individu
sebagai sumber utama variasi struktural. Sementara Lin mengidentifikasi differensial tingkatan
dan ukuran, bersama-sama dengan differensial sumberdaya sebagai parameter yang terpisah
(hal. 177).
Menurut Lin (2001), efek tindakan individual dapat dieksplorasi melalui dua
perspektif. Lin menganalisis hasil karya dua teoritisi, yakni Coleman dan Burt terkait dengan
tindakan individu dan hambatan-hambatan strukturalnya. Perspektif pertama, memfokuskan
pada formasi struktural atau kesempatan yang diakibatkan berbagai tindakan. Coleman (1986,
1990), misalnya, berargumen bahwa aktor-aktor sosial yang mempromosikan kepentingan
mereka terlibat dalam hubungan sosial yang tergantung pada tujuan-tujuan khusus tindakan,
dapat berpengaruh terhadap sistem pasar, sistem otoritas, atau sistem norma. Dia
menggambarkan proses dalam mana masing-masing sistem berkembang, dengan
menekankan pentingnya norma dan sanksi terhadap aktor-aktor yang melakukan interaksi
dengan kepentingannya yang berbeda. Tindakan-tindakan rasional dan kognitif diasumsikan
mendorong pembentukan relasi-relasi sosial dan struktur yang mengikutinya.
Perspektif kedua, tindakan-tindakan individual sangat memungkinkan dan memiliki
arti di bawah bayang-bayang hambatan struktural. Karya Burt (1992), misalnya, menggali
tindakan-tindakan struktural atau tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu yang
memiliki kedudukan sama atau berdekatan untuk melindungi atau memperomosikan
kepentingan dan sumberdaya bersama. Dia berpendapat bahwa individu-individu yang berasal
dari posisi berbeda dapat bekerjasama untuk mengurangi hambatan-hambatan struktural, dan
dalam proses pelaksanaannya dapat memodifikasi hubungan-hubungan struktural.
Menurut Lin (2001:179), pengintegrasian dua temuan dengan teori yang
diusulkannya memiliki hasil yang cukup menarik. Bagi Lin, modal sosial menyediakan relasi
yang penting antara kepentingan individu dan kemunculan struktur. Untuk menguasai
sumberdaya, seseorang harus membentuk ikatan dengan individu dan atau kelompok lainnya
yang awalnya ditujukan untuk melindungi dan pada akhirnya untuk mendapatkan sumberdaya.
Mempertahankan dan melindungi sumberdaya dilihat sebagai motivasi kekuatan-kekuatan
ekspresif dan emosi, sementara perolehan sumberdaya membutuhkan mobilisasi motif dan
41
tindakan kognitif dan instrumental. Hasil relasi-relasi dan interaksi horizontal (homophilous) dan
vertikal (heterophilous) menyusun bentuk-bentuk elementer struktur. Sekali saja parameter-
parameter struktur (baca: differensial tingkatan, differensial ukuran, dan differensial
sumberdaya) menjadi kekuatan dominan, maka akses dan penggunaan sumberdaya
memotivasi tindakan-tindakan individu dimanapun dan kapanpun apabila memungkinkan
dalam struktur hierarki (hal. 179).
42
Lin (2001: 184) berargumentasi bahwa dua struktur, yakni kelembagaan dan
jaringan-jaringan, membentuk infrastruktur masyarakat. Framework ini melihat kelembagaan-
kelembagaan (institutions) dan jaringan-jaringan (networks) sebagai kekuatan sosial utama
yang memandu interaksi antara aktor dan struktur hierarki, serta aliran modal.
Banyak teoritisi menggunakan analisis jaringan untuk mendefinisikan proses mikro
ke makro seperti Coleman, White, Granovetter, Burt, dan lainnya. Semuanya hampir sepakat
bahwa analisis jaringan sosial, sumberdaya sosial atau modal sosial menjadi elemen inti dalam
penjelasan sosiologis. Tindakan-tindakan yang bertujuan didasarkan pada dua prinsip
motivasi, yakni minimalisasi kerugian dan maksimalisasi keuntungan, mengarah pada
pembentukan jaringan sosial baik untuk tujuan-tujuan sentimental maunpun instrumental (Lin,
2001: 184).
Dengan demikian, jaringan sosial eksis tidak hanya dalam organisasi hierarki, tetapi
juga dalam inter relasi antar aktor-aktor individual. Perspektif jaringan dan kelembagaan tetap
ada karena keduanya sangat jelas menawarkan jalan bagi kita untuk menganalisis bagaimana
kekuatan-kekuatan sosial, bersama-sama kekuatan-kekuatan ekonomi, menggambarkan
interaksi dan transaksi-transaksi sosial. Selain itu, kedua perspektif menerangkan mengapa
motivasi dan rasionalisasi tindakan oleh individu-individu dan organisasi memperluas
pertimbangan-pertimbangan ekonomi (hal. 185). Lin memandang bahwa institusi dan jaringan-
jaringan sebagai infrastruktur masyarakat merupakan kekuatan sosial sangat vital yang
menghubungkan, memegang, dan mengkonsolidasikan aktor-aktor dan organisasi dalam
masyarakat.
Kelembagaan (institution), bagi Lin (2001) dipandang sebagai pengorganisasi
prinsip-prinsip interaksi, dapat juga disederhanakan sebagai aturan main, dalam masyarakat,
baik bersifat formal maupun informal. Aturan ini dipandang sebagai lampu lalu lintas yang
mengatur aliran dan transaksi barang (baik material maupun simbolik) di antara aktor-aktor,
baik individual maupun organisasi. Apabila organisasi maupun individu mengikuti serangkaian
kelembagaan yang sama, mereka berada dalam area institusional ( institutional field). Dalam
area institusional inilah, aktor (meliputi individu, jaringan, dan organisasi) mengetahui,
mendemonstrasikan, dan membagi ritual dan perilaku, serta menjanjikan hukuman/hambatan
dan imbalan seperti yang diatur dalam kelembagaan sosial.
Modal, menurut Lin (2001), merupakan investasi sumberdaya yang dimaksudkan
untuk menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, modal dirajut oleh aktor untuk memenuhi
kebutuhan organisasi. Sebaliknya, aktor diberikan imbalan dengan sumberdaya-sumberdaya
sosial (reputasi), ekonomi (kemakmuran), atau politik (kekuasaan).
Dua jenis modal mendominasi transaksi dalam organisasi, yakni modal manusia dan
modal institusional. Modal manusia merefleksikan keahlian dan pengetahuan teknis. Modal
43
tersebut sangat dibutuhkan organisasi untuk keberhasilan bersaing di pasar. Sementara modal
institusional merefleksikan keahlian dan pengetahuan sosial budaya tentang aturan-aturan
dalam area institusi. Modal institusional mengandung nilai, aturan-aturan, dan norma serta
sanksi. Modal sosial mencerminkan tingkatan hubungan sosial, dimana sumberdaya yang
berharga dapat digunakan untuk mempertahankan atau memperoleh sumberdaya., termasuk
di dalamnya kemakmuran, kekuasaan, dan reputasi, yang semuanya dinilai dalam area
institusional (Lin,2001: 190). Aktor individual yang mampu mengakses atau menggunakan
modal sosial dan modal kultural merupakan tenaga kerja potensial yang mampu memenuhi
harapan organisasi dalam area institusional.
Bagaimana aktor individual menunjukkan modal sosial dan modal manusia mereka?
Bagi modal manusia, tentunya akan sangat mudah untuk diuji. Banyak organisasi menerapkan
metode ini untuk melakukan assessment terhadap pengetahuan teknis dan keahlian. tetapi
dalam banyak kasus, pengujian tersebut jarang menangkap nafas dan kedalam modal
manusia. Seringkali, assessment membutuhkan bukti pendukung, seperti komitmen, dan
keberhasilan dalam proses pencapaian dalam bentuk sertifikat, diploma, atau evaluasi atas
asesor yang dipercaya. Tanda kelulusan, sertifikat, dan tidak kalah pentingnya kesaksian
menjadi perwujudan simbolik yang penting mengenai modal manusia (ibid). Sementara itu,
demosntrasi modal institusional cenderung lebih kompleks dan rumit. Pengujian tertentu atau
metode pengidentifikasian telah dikembangkan untuk tujuan tersebut.
Proses pembentukan dua jenis modal tersebut; modal sosial dan modal manusia,
dimulai dengan transfer inter generasi sumberdaya. Beberapa proses umumnya terjadi dalam
transfer sumberdaya tersebut. Pertama, proses sosialisasi, dimana keluarga menyediakan pola
dimana pelatihan dilakukan untuk mengembangkan aktor (dengan cara pelatihan kognitif dan
imitasi) dengan beberapa sumberdaya yang berharga. Kedua, melalui jaringan sosial keluarga,
dimana jaringan orang tua menyediakan kesempatan untuk melakukan kontak terhadap aktor
yang memiliki sumberdaya berharga. Ketiga, sumberdaya keluarga memberikan kesempatan
kepada aktor untuk mendapatkan sumberdaya tambahan berdasarkan usaha sendiri, misalnya
melalui pendidikan di sekolah (hal. 191).
Dengan sarana yang berbeda untuk sumberdaya yang ditransfer, aktor individu
harus memobilisasi sumberdaya tersebut dan mengembalikan keuntungan yang diperoleh
menjadi modal. Dua jalan untuk mengembalikan sumberdaya menjadi modal, yakni melalui
pelembagaan organisasi (institutionalizing organizations) atau menggunakan sumberdaya yang
melekat dalam jaringan sosial.
Pelembagaan organisasi merupakan tipe khusus organisasi yang bertujuan atau
memiliki misi untuk melatih dan mengindoktrinasi aktor-aktor dengan nilai-nilai dan keahlian-
44
keahlian dalam melakukan prosedur formal dan perilaku terkait dengan keberhasilan lembaga
(hal. 192). Masyarakat dan organisasi yang berhasil juga menggunakan pelembagaan
organisasi untuk memperkuat aturan, prosedur formal, dan kontrol perilaku. Organisasi
tersebut misalnya penjara, rumah sakit jiwa, dan kamp-kamp konsentrasi dan tenaga kerja.
Jaringan sosial menyediakan sarana lain untuk pengembalian sumberdaya ke dalam
modal. Melalui ikatan sosial dan jaringan, aktor-aktor mendapatkan tambahan sumberdaya
melalui pengaksesan sumberdaya dari ikatan sosial langsung maupun tidak langsung. Banyak
jaringan dibentuk dikarenakan proses-proses bersama dan pengalaman dalam pelembagaan,
misalnya alumni, profesi pekerjaan, dan asosiasi industrial. Namun demikian, ada jaringan juga
dibentuk berbasis kepentingan bersama seperti klub-klub, musik, olah raga, atau kelompok
ketetanggaan (hal. 193). Menurut Lin (2001), sumberdaya yang melekat secara sosial ini dapat
dikembalikan ke dalam modal sosial ketika seorang aktor mengaktifkan dan memobilisasi
rangkaian ikatan untuk pencapaian tujuan tindakan, misalnya menemukan pekerjaan.
Dapat disimpulkan bahwa lembaga dan jaringan dipandang sebagai dua basis
komponen dari masyarakat. keduanya menyediakan aturan-aturan dasar terkait dengan aliran
modal dalam masyarakat. teori modal manusia dan teori modal institusional direfleksikan
dalam proses menghubungkan aktor melalui pelembagaan organisasi ke organisasi. Teori
modal sosial diperoleh dalam proses menghubungkan aktor melalui jaringan sosial ke
organisasi.
Pemodelan modal sosial yang komprehensif membutuhkan investigasi: (1) investasi
dalam modal sosial; (2) akses dan mobilisasi modal sosial; (3) pengembalian atau keuntungan
modal sosial. Dalam hal ini, Lin (2001) menawarkan dua jenis hasil (outcomes) modal sosial:
(a) pengembalian dalam tindakan instrumental; (b) pengembalian dalam tindakan ekspresif).
Tindakan instrumental dilakukan untuk memperoleh sumberdaya dan bukan memilikinya,
sementara tindakan ekspresif ditujukan untuk mempertahankan sumberdaya yang sudah
dimiliki oleh aktor.
Untuk tindakan instrumental, kita dapat mengidentifikasi tiga kemungkinan
keuntungan: ekonomi, politik, dan sosial. Keuntungan ekonomi dapat berupa kemakmuran
yang di dalamnya pendapatan, aset, dan sebagainya. Keuntungan politik ditunjukkan oleh
posisi hierarki dalam kelompok. Sementara keuntungan sosial membutuhkan klarifikasi,
meskipun Lin (bab 9) telah menyatakan keuntungan dalam bentuk reputasi.
Untuk tindakan ekspresif, modal sosial sebagai alat untuk konsolidasi sumberdaya
dan mempertahankan kemungkinan kehilangan sumberdaya. Prinsip akses dan mobilisasi di
antara aktor yang memiliki kepentingan sama atas sumberdaya dapat dihimpun dan disebar
untuk melindungi dan mempertahankan sumberdaya mereka.
45
Dengan elemen-elemen utama modal sosial seperti jenis keuntungan ( types of returns), dan pola-pola differensial sebab akibat (differential patterns of causal effects), Lin
merumuskan model analisis modal sosial. Model tersebut memilki tiga blok yang
merepresentasikan variabel konsekuensi dan sebab. Blok pertama merepresentasikan
prakondisi dan perintis modal sosial, yakni faktor dalam struktur sosial dan masing-masing
posisi individu dalam struktur, baik yang memfasilitasi maupun menghambat investasi modal
sosial. Blok lain mewakili elemen-elemen modal sosial, dan blok ketiga merepresentasikan
kemungkinan pengembalian atau keuntungan modal sosial.
Proses pemodelan dimulai dari blok pertama ke blok kedua menerangkan formasi
ketidakseimbangan modal sosial: elemen-elemen struktural dan elemen-elemen posisional
dalam struktur mempengaruhi kesempatan untuk membangun dan mempertahankan modal
sosial. Hal ini mendefinisikan pola diferensial distribusi sumberdaya sosial yang dilekatkan,
diakses, dan dimobilisasi. Selain itu, formasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat kekuatan-
kekuatan sosial yang menentukan diferensial distribusi. Dengan demikian, formasi ini
menggambarkan tiga ketidakseimbangan modal sosial sebagai aset kolektif, sumberdaya
sosial yang dapat diakses, dan sumberdaya sosial yang dimobilisasi. Dua jenis kekuatan
kausalitas yang dapat dimasukkan dalam pemikiran ini, yakni variasi struktural dan posisional.
Menurut Lin (2001), sebuah struktur dapat dicirikan oleh banyak variasi seperti diversitas
dalam ideologi, tingkat industrialisasi dan teknologi, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Di
dalam struktur, individu dapat digambarkan sebagai pemangku posisi yang berbeda dalam
strata sosial, kultural, politik, dan ekonomi.
Collective Assets(trust, norms, etc) Returns
Instrumental
WealthAccessibility (Network PowerLocations and Resources Reputation
Expressive
46
Physical Health
Structural and Mobilization (Use of Mental Positional Contacts and Contact Variations Resources) Life
Satisfaction
Gambar 2: Modeling a theory of social capital (Lin, 2001: 246)
Dalam blok yang kedua, di sana ada sebuah proses yang menghubungkan dua
elemen modal sosial, yakni akses terhadap modal sosial dan penggunaan modal sosial.
Proses yang menghubungkan dua elemen tersebut disebut proses mobilisasi modal sosial.
Akhirnya, proses yang menghubungkan blok kedua (modal sosial) dan blok ketiga (hasil)
mewakili proses dimana modal sosial menghasilkan keuntungan atau buah. Di sini teori modal
sosial akan menunjukkan bagaimana modal sosial adalah modal yang sebenarnya, atau
bagaimana modal sosial menghasilkan keuntungan.
47
Inequality Capitalization Effects