Post on 16-Aug-2019
BAB V
PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM BAH}THUL MASA<’IL
JAM’IYYAH AHL AL-T{ARI<QAH AL-MU’TABARAH AL-NAHD{IYAH
Lajnah Bah}thul Masa>’il di bidang s}u>fiyah merupakan forum ilmiah
keagamaan yang dapat menjadi dasar rujukan bagi jama’ah tarekat dalam
menjalankan ibadah mereka. Mengingat betapa pentingnya forum ini, maka
peninjauan kembali terhadap hasil-hasil keputusan yang telah dilaksanaannya
merupakan suatu keniscayaan. Apalagi jika melihat perkembangan akhir-akhir ini
dengan maraknya berbagai aliran keagamaan yang disertai dengan beragamnya
amaliah mereka. Untuk mengatasi hal tersebut tentunya diperlukan usaha
pengkajian secara kontinu agar apabila ternyata terdapat kekurangan segera
dapat disempurnakan.
Setelah penulis telaah secara cermat dan kritis tentang proses dan
prosedur penetapan bah}thul masa>’il yang dilaksanakan oleh Jam’iyyah ahl al-
T}ari>qah al- Mu’tabarah al-Nahd}iyah, maka ada tiga persoalan yang dianggap
penting yang menjadi bahan pemikiran dalam rangka menjawab tantangan
problema kemasyarakatan yang terus mengalami perubahan dan perkembangan,
khususnya bagi jama’ah tarekat. Tiga permasalahan tersebut adalah: pertama,
hasil-hasil keputusan Lajnah Bah}thul Masa>il bidang su>fiyah. Kedua, bentuk
istinba>t} hukum Lajnah Bah}thul Masa>’il Jam’iyyah ahl al-T}ari>qah al-Mu’tabarah
al-Nahd}iyah, Ketiga, metode istinba>t } hukum yang dilakukan oleh Lajnah Bah}thul
Masa>’il Jam’iyyah ahl al-T}ari>qah al- Mu’tabarah al-Nahd}iyah. Permasalahan
389
pertama telah dijelaskan pada bab IV, sedangkan permasalahan kedua dan ketiga
dijelaskan pada bab V ini sebagai berikut:
A. Bentuk Istinba>t } Hukum Bah}thul Masa>‘il Jami’iyyah Ahl al-T{ari>qah al-
Mu’tabarah al-Nahd}iyah
Jam’iyyah Ahl al-T{>ari>qah al-Mu’tabarah al-Nahd}iyyah adalah Jam’iyyah
Di>niyyah yang berasaskan Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah.1 Jam’iyyah ini
dapat menjadi sarana bagi para mursyid atau khalifah untuk lebih mengefektifkan
pembinaan terhadap para murid yang telah baiat, sekaligus sebagai forum untuk
menjalin ukhuwah diantara sesama penganut ajaran tarekat dalam rangka
meningkatkan kualitas keimanan, ketakwaan, dan keikhlasan di dalam amaliah
dan ubudiah serta serta meningkatkan ra>bit}ah terhadap guru mursyid.
Secara terperinci, tujuan jam’iyyah ini adalah: (1) mengupayakan
berlakunya syariat Islam Ala Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah secara konsisten
dalam bidang syariat, hakikat dan makrifat di tengah masyarakat dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) menyebarluaskan dan mengembangkan
1Teks hadis sebagai berikut:
حدثنا حممد بن مروان القرشي حدثنا حممد بن عبادة الواسطي حدثنا موسى بن إمساعيل اجلبلي حدثنا معاذ بن يس الزيات حدثنا األبرد بن األشرس عن حيىي بن سعيد عن أنس قال قال رسول اهللا تفرتق أميت على سبعني أو إحدى
اهللا من هم قال الزنادقة وهم القدريةقالوا يا رسول كلهم يف اجلنة إال فرقة واحدة وسبعني فرقة
Umat Islam terpecah menjadi tujuh puluh golongan atau tujuh puluh satu golongan semuanya masuk surga kecuali satu golongan, mereka bertanya: ya Rasulallah siapa golongan itu, Rasulullah menjawab mereka adalah kaum zindiq, yaitu: al-Qadariyah (Aliran yang beranggapan bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat dan tidak berbuat terlepas dari kekuasaan Allah). Imam al‘Aqili berkata dalam terjemahnya bahwa Mu’adh bin Yasin yang ada dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang majhul dan hadisnya tidak sahih. Lihat: Jalaluddin as-Suyu>t}i> , Al-La>’̀i al-Masnu>'ah fi al-Ah}adi>th al-Maud}u>’ah, juz 1 ( Beirut: Da>r al-Kutub Al Ilmiyah, cetakan pertama, 1996 ), 227.
390
ajaran tarekat al-Mu’tabarah al-Nahd}liyah melalui kegiatan-kegiatan khususi
tarekat atau tawajuhan.2
Secara organisatoris, jam’iyyah ini merupakan badan otonom dari
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Lajnah ini secara resmi mempunyai otoritas
menjawab persoalan-persoalan hukum Islam, terutama di bidang s}u>fiyyah.
Meskipun demikian, prosedur penetapan hukumnya mengacu pada metode
istinba>t} hukum yang digunakan Lajnah Bah}thul Masa>’il NU.3 Menurut
penelitian Ahmad Zahro, metode istinba>t} hukum Lajnah Bah}thul Masa>’il NU
sejak dilaksanakan bah}thul masa>il Muktamar I pada 21-23 September 1926 di
Surabaya sampai Muktamar XXX pada 21-27 Nopember 1999 di Kediri, secara
esensial belum pernah mengalami perubahan.4
Di kalangan NU, pengertian Istinba>t} al-ah}ka>m bukan mengambil hukum
secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan hadis, akan tetapi
penggalian hukum dilakukan dengan tat}bi>q (memberlakukan) secara dinamis
teks-teks fukaha yang terdapat dalam kutub al-mu’tabarah sebagai jawaban
terhadap permasalahan yang dicari hukumnya. Istinba>t} langsung dari sumber
2 Ibid., 41. 3 Dalam struktur kepengurusannya, NU mempunyai Lembaga Syuriah yang bertugas antara lain menyelenggarakan forum bah}thul masa>‘il secara rutin. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam yang bertalian dengan masa>‘il fiqhiyyah maupun masalah ketauhidan, dan bahkan masalah “tasawuf (tarekat)”.Ketentuan ini diberlakukan supaya tidak terjadi perbedaan yang tajam antara produk hukum NU dan tarekat, karena pada umumnya jamaah tarekat adalah warga NU, tidak sebaliknya. Baca: Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: Lkis, 2004), 23-24. 4 Ah}mad Zahro, Lajnah Bah}thul Masa>‘il 1926-1999: Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS, 2004), 167.
391
primer (al-Qur’an dan hadis ) yang cenderung pada pengertian ijtihad mutlak,
bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan
yang memang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap
yang harus dikuasai oleh para mujtahid. Sementara istinba>t} dalam batas mazhab,
di samping lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah
mampu memahami ’iba>rat (uraian) kitab-kitab fikih, sesuai dengan
terminologinya yang baku.5
Produk hukum yang yang dihasilkan oleh Lajnah bah}thul masa>’il NU
merupakan hasil ijtihad ulama atas nas-nas al-Qur’an dan al-sunnah yang sesuai
dengan prinsip-prinsip mujtahid tempo dulu.6 Oleh karena itu, kalimat istinba>t} di
kalangan NU, terutama dalam kerja bah}thul masa>’il syuriah, tidak populer.
Kalimat itu telah dipopulerkan di kalangan ulama NU dalam konotasi
ijtihad mutlak, yaitu suatu aktivitas yang oleh ulama syuriah masih berat untuk
dilakukan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bah}thul masa>’il yang artinya
membahas masalah wa>qi'iyyah (nyata terjadi di masyarakat) melalui referensi (
mara>ji’) kutub al-fuqaha>’ (kitab-kitab karya ulama fikih atau hukum
Islam).7Secara definitif NU memberikan arti istinba>t} hukum dengan upaya
5Sahal Mahfudh, Bah}thul Masa>’il dan Istinbath Hukum NU : Sebuan catatan pendek , dalam :” Ahkam al;-Fuqaha’fi Qarar al-Mu’tamarat li Jam’iyyat Nahdat al-Ulama’: Solusi Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahd}latul Ulama “(1926-2004) (Surabaya: Diantama, 2006), xvi-xvii. Lihat: Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh Sosial, 24-25. 6 Imam Yahya, Dinamika Ijtihad NU (Semarang: Wali Songo Press, 2009), 47-48. 7 Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, 25.
392
mengeluarkan hukum syarak dengan al-qawa>’id al-fiqhiyyah8 (the general
principles of the law) dan al-qawa>’id al-us}u>liyyah9 (islamic legal theory), baik
berupa adilla>t al-ijma>liyyah, adilla>t al-tafs}i>liyyah maupun adilla>t al-ah}ka>m
yakni dalil-dalil yang menjadi dasar dan metode penetapan hukum.10
Ditinjau dari segi hukum, al-qawa>’id al-fiqhiyyah dengan al-qawa>’id al-
us}u>liyyah mempunyai perbedaan yang komplementer. Untuk mengetahui
perbedaan tersebut perlu di identifikasi bahwa al-qawa>’id al-fiqhiyyah adalah
kaidah-kaidah umum yang timbul dari pemahaman mujtahid terhadap nas-nas
shara’ yang penekanannya dalam konteks hukum praktis yang digunakan di
dalam tat}bi>q al-ah}ka>m (penerapan hukum ) atas kasus-kasus yang timbul di
dalam kehidupan manusia.
Sedangkan al-qawa>’id al-us}u>liyyah adalah kaidah us}u>l yang timbul dari
konteks kebahasaan dalam rangka memahami nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah
yang digunakan untuk takhri>j al-ah}ka>m (mengeluarkan hukum dari sumbernya).11
Selain itu al-qawa>’id al-fiqhiyyah merupakan hasil penelitian induksi dari
ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada. Sedangkan al-qawa>’id al-us}u>liyyah
8 al-qawa>’id al-fiqhiyyah: kaidah-kaidah yang bersifat menyeluruh yang dapat diterapkan kepada bagian-bagiannya. Baca: Jalaluddi>n Abd al-Rah}mana l-Suyut}iy,al-Ashba>h wa al-naza’ir fi qawa’id wa furu’ fiqh al-shabi’i (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘ilmiyah, 1971), 5. 9 al-qawa>’id al-us}u>liyyah : kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk istinba>t} hukum shara’ yang bersifat amaliyah melalui dalil-dalilnya yang rinci. Baca: al-Shawkani, Irsyad al-fuh}ul. 42. 10 PB NU, Hasil-Hasil Munas dan Konbes NU ( Jakarta: Lanjah Ta’lif wa Nashr,1998), 6. 11 al-Suyut}i, al-Ashba>h wa al-Naza>’ir, 4-6
393
adalah sarana untuk memahami pesan-pesan nas dalam bentuk praktis hukum-
hukum Islam.12
Dengan demikian, bentuk istinba>t} hukum bah}thul masa>’il jam’iyyah Ahl
al-T{ari>qah al-mu’tabarah al-Nahd}iyyah bukan mengambil hukum secara langsung
dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan hadis, akan tetapi penggalian hukum
dilakukan dengan tat}bi>q al-ah}ka>m secara dinamis teks-teks fukaha yang
terdapat dalam kutub al-mu'tabarah dengan pendekatan kaidah fiqhiyyah, kaidah
us}u>liyyah dan maqa>si>d al-shari>'ah13 sebagai jawaban terhadap masalah-masalah
wa>qi’iyyah (nyata terjadi di masyarakat) baik persoalan fiqhiyyah maupun
su>fiyah, dengan mengikuti salah satu empat mazhab, yaitu: Hanafi, Maliki, al-
Shafi’i, dan Hanbali dalam bidang fiqhiyyah dan mengikuti ajaran al-Qushairi,
H{asan al-Bas}ri, Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali dalam bidang s}u>fiyyah.
B. Metode Istinba>t } Hukum Bah}thul Masa>’il Jam‘iyah Ahl al-T}ari>qah al-
Mu‘tabarah al-Nahd}iyah
Berdasarkan penelitian terhadap seluruh hasil keputusan yang ditetapkan
oleh Lajnah Bah}thul Masa>’il Jam’iyyah Ahli al-T}ari>qah al-Mu’tabarah al-
12 Abu Zahrah, Us}ul al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th),7.
13 maqa>sid al-shari’ah dalam rangka mempertimbangkan kemaslahatan sesuai dengan klasifikasi peringkat kemaslahatan, yaitu daruriyyat (kebutuhan yang bersifat esensial dari kehidupan manusia), ha>jiyyat (kebutuhan yang dapat dihindarkan manusia dari kesulitan hidupnya), dan tah}si>niyyat (kebutuhan yang sifatnya sebagai penyempurna Baca: Abu> H}amid Ibnu Muh}ammad ibnu Muh}ammad al-Ghazali, Shifa>’ al-Ghalil fi Baya>n al-Shibh wa al- Mukhi>l wa Masa>’il al-Ta’li>l (Baghdad: Matba’at al-Irsyad, 1̀971), 159. Lihat juga : al-Ghazalai, Al-Mustashfa, jlid I, 287-292.
394
Nahd}iyyah selama kurun waktu 1957 sampai dengan 2005 (bah}thul masa>’il
pertama di Tegalrejo sampai dengan hasil keputusan Muktamar ke-10 di
Pekalongan) dapat disimpulkan bahwa metode istinba>t} hukum yang diterapkan
dalam Lajnah Bah}thul Masa>’il tarekat mempergunakan empat macam metode
secara berjenjang, yaitu:
1. Metode qawliy
Metode qawliy : metode yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
fikih dengan merujuk langsung pada bunyi teks kitab-kitab imam mazhab atau
kitab-kitab yang disusun para pengikut mazhab empat (H{anafi>, Ma>liki, al-Sha>fi’i>,
H{anbali). Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah ”jadi”
dalam lingkup mazhab tertentu.14 Sedangkan dalam masalah tarekat merujuk
pada teks kitab-kitab yang menganut ajaran tasawufnya al-Qusyai>ri>, H{asan al-
Basri>, Junai>d al-Baghdadi>, al-Ghazali, dan sesamanya,15 seperti Keputusan
Muktamar Ke-2 Jam’iyyah Ahl al-T}ari>qah al-Mu’tabarah al-Nahd}iyyah di
Pekalongan pada tanggal 8 Jumadil Ula 1379 H/9 Nopember 1959 M bahwa
seorang mursyid yang mengajarkan tarekat kepada murid harus mendapat ijazah
dari gurunya yang mempunyai sanad yang besambung sampai kepada Rasulullah
Saw. Dasarnya adalah teks kitab sebagai berikut:
14 Menurut penelitian Ahmad Zahro: walaupun penerapan metode ini (Qauliy) berlangsung sejak lama, yakni sejak pertama kali dilakukannya bah}thul masa>‘il (1926), namun hal ini baru secara explisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni 992). Baca: Ahmad Zahro,Tradisi Intelaktual, 118. 15 Idarah Aliyah, Hasil Muktamar X, 40. Yang dimaksud sesamanya: hasil telaah dokumenter terhadap kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam bah}thul masa>‘il sejak muktamar pertama sampai dengan yang ke sepuluh(2005) adalah :kitab-kitab karya para mursyid/ulama tarekat mu’tabarah. Lihat pula: A.Aziz Masyhuri, wawancara, PP al-Munawwariyyah Bululawang Malang (saat Muktamar XI) 17 Desember 2011.
395
ینبغى للمریدین أن یعرفوا نسبة شیخھم ورجال السلسلة كلھا من مرشدھم إلى النبى صلى هللا
وكان إنتسابھم إلیھم صحیحا حصل لھم ألنھم إذا أرادوا أن یطلبوا المدد من روحانیتھم, علیھ وسلم
فمن لم تتصل سلسلتھ إلى الحضرة النبویة فإنھ مقطوع الفیض ولم یكن وارثا . المدد من روحانیتھم
16.لرسول هللا صلى هللا علیھ وسلم وال تؤخذ منھ المبایعة واإلجازة
Para murid dianjurkan mengetahui status mursyidnya serta silisilah guru-gurunya bersambung sampai kepada Rasulullah saw. karena apabila ia ingin memperoleh pancaran rohani dari gurunya, maka ia akan mendapatkannya apabila silsilah gurunya benar. Seorang mursyid tarekat yang silsilah atau sanadnya tidak bersambung sampai kepada Nabi Muh}ammad saw., berarti ia terputus dari pancaran rohani. Ia bukanlah pewaris Rasulullah saw., tidak boleh membaiat dan memberi ijazah.
Teknik penggunaan metode qawliy, meskipun secara eksplisit belum
dinyatakan dalam bentuk tulisan, faktanya mengacu pada metode yang
ditetapkan Lajnah Bah}thul Masa>’il NU, termasuk hasil keputusan Munas Alim
Ulama di Bandar Lampung17 (21-25 Juni 1992) sebagai berikut:18 Untuk
menjawab masalah yang jawabannya cukup dengan menggunakan ‘ibarah
kitab,19 dan dalam kitab tersebut hanya ada satu qawl,20 maka qawl yang
terdapat dalam ‘ibarah kitab itulah yang digunakan sebagai jawaban.
16 Muh}ammad Amin al-Kurdi>, Tanwi>r al Qulu>b fi> Mu’amalati ‘, 500. Lihat: Muh}ammad Haqqi al-Naziliy, Khazi>nat al-Asra>r, 213. Baca pula:Al-Fuyu>da>t al-Rabba>niyyah fi> Muqarrara>t al-Mu’tamara>t wa al-Mushawara>t li Jam’iyyah ahli al-T}ari>qah al-Mu’tabarah al-Nahd}iyyah : Permasalahan T{ari>qah ( Surabaya: Khalista, 2006), 14-15. 17.A.Aziz Masyhuri, Wawancara, PP al-Munawwariyyah Bululawang Malang (saat Muktamar XI), 17 Desember 2011. 18 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, 118. 19 ‘Ibarah kitab adalah ungkapan atau bunyi tekstual yang terdapat pada kitab-kitab rujukan Lajnah bah}thul masa>’il. Ibid. 20 Qaul adalah pendapat imam mazhab, sedangkan wajah adalah pendapat ulama mazhab. Ibid.
396
Apabila dalam menjawab masalah masih mampu menggunakan ’ibarah
kitab, tetapi ternyata ada lebih dari satu qawl, maka dilakukan taqrir jama’i,21
yang berfungsi untuk memilih satu qawl. Ketika dalam suatu masalah dijumpai
beberapa qawl, maka dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan
ketentuan: pertama, mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang
lebih kuat. Kedua, sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan muktamar
NU ke-I (1926), bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
a) Pendapat yang disepakati oleh al-Shaykhan (Ima>m al-Nawa>wi> dan Imam
al-Rafi’i).
b) Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja.
c) Pendapat yang dipegang oleh al-Rafi’i saja.
d) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.
e) Pendapat ulama yang terpandai.
f) Pendapat ulama yang paling wara’.22
Dalam bidang tarekat ikhtila>f (perbedaan pendapat) terjadi dalam
berbagai persoalan. Misalnya;
a) tentang status keabsahan tarekat seperti yang terjadi di Pondok
Pesantren Buntet Cirebon antara tarekat Tijaniyah dan tarekat
Shat}t}ariyah. Mereka saling bertentangan dengan argumentasinya masing-
masing, bahkan saling mengkufurkan. Murid tarekat yang satu dilarang
mengaji dan berjamaah di tempat kiai tarekat yang lain. Untuk
21 Taqrir jama’i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah. Ibid.
397
menyelesaikan persoalan ini pada waktu dulu Kiai Wahab pergi ke
Makkah menemui beberapa shaykh untuk mengetahui keabsahan tarekat
tersebut dan ternyata tarekat tersebut muktabar.23 Persoalan tersebut
sekarang diselesaikan oleh majelis ifta' (pemberi fatwa).24
b) Praktek ibadah mereka seperti terjadinya tawajjuhan bila sitrin (tanpa
batas) antara laki-laki dengan perempuan lain (al-ajnabiyyah). Dalam hal
ini penyelesaiannya adalah praktik ini dilarang karena bertentangan
dengan syariat Islam.
c) Pengakuan seseorang sebagai khalifah padahal belum diijinkan oleh
mursyidnya, penyelesaiannya ditanyakan kepada mursyid yang memberi
ijazah, jika masih hidup dan jika sudah wafat, maka diminta bukti tertulis
atau saksi-saksi.
d) Jika terjadi ikhtila>f dalam teks kitab rujukan, maka dapat diselesaikan
dengan memilih:
1) Pendapat mursyid yang lebih alim dalam bidang syariat, tasawuf
dan mencapai derajat makrifat yang tinggi.
2) Pendapat mursyid yang lebih alim dalam bidang tasawuf dan
mencapai derajat makrifat yang tinggi.
3) Pendapat mursyid yang lebih tinggi derajat makrifatnya.
4) Pendapat yang didukung oleh mayoritas mursyid.
22 Ibid., 119. 23 Mahsun Zain, Mengenal KH. Nawawi Berjan Purworejo:Tokoh dibalik berdirinya Jam’iyyah Ahli T{ari>qah al-Mu’tabarah (Surabaya: Khalista,2008), 98-99. 24 Majelis ifta’ terdiri dari perwakilan mursyid pada masing-masing aliran tarekat yang ada di Indonesia. Baca: Idarah Aliyah, Hasil Muktamar x, 55.
398
Contoh penerapan metode Qawliy yang terjadi ikhtila>f adalah keputusan
muktamar ke-1 di Tegalrejo, 12 Oktober 1957.25
S (soal): Apakah boleh seorang murid tarekat pindah dari satu tarekat
kepada tarekat yang lain?
J (jawab): Haram murid pindah dari satu tarekat ke tarekat yang lain
karena ia akan terputus pancaran rohani dari gurunya. Dasarnya adalah :
الفتا وى ( ومن ظفربشیخ بالوصف االول اوالثاني فحرم علیھ عندھم ان یتركھ وینتقل الي غیره
)٥٠الحدیثة صحیفة
Barangsiapa telah menyatakan baiat kepada seorang mursyid, dan mampu melaksanakan isi baiatnya, dan telah mendapat pancaran rohani darinya dengan sifat yang pertama dan kedua, maka haram baginya menurut mereka (para ulama) meninggalkan mursyid tersebut dan beralih ke mursyid yang lain.26
Pendapat lain mengatakan boleh murid tarekat pindah kepada mursyid
yang lain dengan syarat: setelah minta restu mursyid yang pertama, adanya ijin
yang jelas dan rida dari mursyid yang pertama, tetap memenuhi kewajiban dalam
tarekat yang dijalaninya dan istiqamah dalam menjaga adab-adabnya. Dasarnya :
لخلف كالمذاھب االربعة ا المعنعنة الواصلةمن السلف الي ان الطرائق المأ ثورة المشھورة اعلم
بشرط الوفاء فیما دخل فیھ واالستقامة بادابھ یجوزاالنتقال من مذھب الي اخر
Ketahuilah bahwa tarekat-tarekat yang ma‘thu>r, masyhur dan sanadnya bersambung dari para guru tarekat terdahulu sampai sekarang adalah seperti empat mazhab dalam hal perpindahan dari satu mazhab ke mazhab yang lain, yaitu boleh dengan syarat bidang yang dimasuki oleh
25 A.Aziz Masyhuri,(ed.) al-Fuyuda>t al-Rabba>niyyah, 3-4. 26 Ibid. Baca: ibid., 183-184. Baca: Abd. al-Wahab al-Sya’rani, al-Anwa>r al-Qudsiyah fi ma’rifati qawa>’id al-s}u>iyah (Kairo: al-Dirasah,1987), 43.
399
murid yang pindah itu harus utuh dengan senatiasa menetapi tata kramanya.27
Perbedaan teks tersebut di atas dipilih teks yang kedua karena didukung
mayoritas mursyid. Dengan demikian murid tarekat boleh pindah kepada mursyid
lain dengan syarat yang telah ditentukan.
2. Metode ilh}a>qiy
Apabila metode qawliy tidak dapat dilaksanaan karena tidak ditemukan
jawaban tekstual dari kitab muktabar, maka metode yang dipergunakan adalah
ilh}a>q al-masa>lah bi naz}a>iriha yakni menyamakan hukum suatu kasus baru yang
belum ada ketetapan hukumnya (belum dijawab oleh kitab) dengan masalah lama
yang serupa yang telah ada ketetapan hukumnya (telah dijawab oleh teks kitab)
atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”.28 Praktek metode ilha>qiy
di kalangan NU atau tarekat untuk menetapkan hukum menggunakan prosedur
dan persyaratan mirip dengan qiyas.
Padahal sebenarnya terdapat perbedaan antara qiyas dengan dengan
ilh}a>q, yaitu qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah yang belum ada
hukumnya dengan suatu persoalan yang telah ditemukan hukumnya dalam al-
Qur’an dan sunah.29 Sedangkan ilh}a>q adalah menyamakan hukum suatu kasus
yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian
hukumnya berdasarkan suatu teks kitab muktabar.
27 A.Aziz Masyhuri, al-Fuyu>d}a>t al-Rabbaniyah, 4 & 198. Baca pula : Hadratusy syaikh al-Murabbi al-Mursyid Achmad Asrori al-Ishaqy ra, Setetes Embun Penyejuk Hati ( Surabaya: al-Wafa, 2009 ), 66-68. 28 Ah}mad Zahro, Tradisi Intelektual, 121. Baca: Imam Yahya, Dinamika Ijtihad NU (Semarang: Wali Songo Press, 2009), 80. 29 Ibid.
400
Qiyas seperti ini diperbolehkan manakala ilh}a>q tidak dilakukan terhadap
teks suatu kitab yang merupakan hasil qiyas. Oleh karenanya para ulama tarekat
sangat hati-hati dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dalam
penggunaan metode ilh}a>q serta sejauh mungkin menghindari ilh}a>q terhadap teks
suatu kitab yang merupakan hasil qiyas.30
Metode Ilh}a>qiy ini meskipun secara resmi belum dinyatakan menjadi
salah satu metode dalam Lajnah Bah}thul Masa>il tarekat, namun dalam faktanya
metode ini telah digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum yang tidak ada
qawl melalui prosedur secara jama’i (kolektif) oleh para ahlinya.31 Adapun
prosedur ilha>q adalah dengan memperhatikan unsur (persyaratan) sebagai
berikut: mulh}a>q bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya), mulh}a>q
‘alaih (sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya) dan wajh al-ilh}a>q (faktor
keserupaan antara mulh}aq bih dan mulh}aq ’alaih) oleh para mulh}iq (pelaku ilh}a>q)
yang ahli. Contoh praktek penggunaan metode ilh}a>qiy adalah hasil musyawarah
besar (Malang, 7-8 Januari 1973 dan Mranggen Semarang, 25-26 Agustus 1973)
mengenai ra>bit}ah dengan foto mursyid:
S (soal): Apakah boleh ra>bit}ah dengan foto mursyid atau khalifahnya ?
J (jawab): tidak boleh karena dibandingkan (ilh}a>q) dengan larangan
melihat patung ketika beribadah.
Dasarnya adalah sebagai berikut:
30 Ah}mad Zahro, Tradisi Intelektual, 122. 31 Ibid., 121.
401
ود وسواع ویغوث ونسروكانواعبادافمـات رجل زبیرانھ كان آلدم خمس بنین القال عروة ابن
فصوره فى ! قالوا افعل. انا اصوركم مثلھ اذانظرتم الیھ ذكرتموه: منھم فحزنوا علیھ فقال الشیطان
فصوره حتى ماتوا كلھم وصورھم فلما تقادم الزمان تركت ثم مات آخر. المسجد من صفر ورصاص
ومانعبد؟ قا ل آلھتكم وآلھة ابائكم : عبدون شیئا قالوامالكم الت: الناس عبادةهللا،قال لھم الشیطان
أالترون انھا فى مصال كم، فعبدوھا من دون هللا تعالي حتى ثبت هللا نوحا علیھ السالم فقالوا ال تذرن
)نوح. ( الخ ---- الھتكم
Urwah bin Zubair berkata: ketika Nabi Adam a.s. memiliki lima putera: Wadd, Suwa’, Yaghuth, Ya’uq dan Nasr, mereka tekun beribadah. Kemudian salah seorang di antara mereka meninggal, sehingga mereka bersedih, lalu setan berkata: “Saya akan membuat patung untuk kalian yang mirip dengannya supaya kalian mengingatnya ketika memandang patung tersebut”. Mereka berkata: “buatkanlah!”. Kemudian setan membuat patung yang mirip dengan saudara mereka yang meninggal itu yang terbuat dari kuningan dan timah dan diletakkan di masjid. Menyusul seorang dari mereka meninggal dan setan membuatkan patung pula sehingga pada akhirnya mereka semua meninggal dan setan membuatkan patung mereka semua. Tatkala waktu telah berlalu orang-orang meninggalkan penyembahan kepada Allah kemudian setan bertanya kepada mereka , “mengapa kalian tidak menyembah apa-apa?” Mereka menjawab “Apa yang harus kami sembah?” Kata setan, sembahlah Tuhan-Tuhan kalian dan Tuhan nenek moyang kalian! Tidaklah kalian melihat Tuhan-Tuhan kalian di tempat salat kalian? Maka mereka menyembah patung-patung itu selain Allah, sehingga Allah menetapkan Nabi Nuh a.s. sebagai utusan-Nya, lalu mereka berkata (kepada sesama mereka), “Janganlah kamu meninggalkan penyembahan Tuhan-Tuhan kamu dan janganlah pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan Wadd, Suwa, Yaghuth, Ya’uq dan Nasr (Nuh:23)”.32
Jadi, contoh metode ilha>q disini adalah perbandingan antara larangan
ra>bit}ah melihat foto mursyid dengan ibadah melihat patung.
32 A.Aziz Masyhuri, al-Fuyud}a>t al-Rabba>niyyah, 134. Baca: Jalaludin al- Mah}alli dan Jalaludin al-Suyu>t}i, Tafsi>r al-S{a>wi, Juz IV, 212.
402
3. Metode manhajiy
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan
dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun
oleh mazhab empat; H{anafi>, Ma>liki, al-Sha>fi’i> dan H{anbali> dalam bidang fikih
dan mengikuti faham al-Qushairy, Hasan al-Barsri, Junaid al-Baghdadi, al-
Ghazali, dan sesamanya dalam bidang tarekat.33.
Metode ini dipergunakan apabila jawaban bah}thul masail tidak
mendapatkan rujukan dari teks suatu kitab muktabar atau tidak dapat ilha>q
kepada hukum suatu masalah yang mirip yang telah terdapat rujukannya dalam
suatu kitab muktabar. Cara penggunaan metode manhajiy adalah mula-mula
mencari jawaban berdasarkan al-Qur’an, setelah tidak ditemukan jawaban pada
al-Qur’an, kemudian al-H{adi>th, Qawa>’id al-Us}u>liyyah (kaidah-kaidah usul fiqh)
dan Qawa>id al-Fiqhiyyah.(kaidah-kaidah fikih).34 Metode ini telah lama
dipraktekan dalam bah}thul masa>’il tarekat, meskipun tidak dengan istilah
manhajiy dan tidak pula secara eksplisit diresmikan melalui sebuah keputusan.
Adapun contoh penggunaan metode ini adalah hasil keputusan muktamar
tarekat IV di Semarang, 4-7 Sya’ban 1388 H/28-30 Oktober 1968 M mengenai
sumber pangambilan ra>bit}ah:
33 Ah}mad Zahro, Tradisi Intelektul, 124. Lihat pula: Ida>rah aliyah hasil Muktamar X Jam’iyyah Ahl Tari>qah an nahd}iyah (Pekalongan:kanzus shalawat, 2005), 40. 34 Ibid. lihat : A.Faishal Haq, “ Studi Tentang Pamaknaan PWNU Jatim Terhadap Proses dan Metode penetapan Hukum dan Hasil Bahtsul Masa>‘il di Bidang Fiqh Siyasah”, (Disertasi, Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 2007), 126-127.
403
S ( soal ):Manakah dalil yang menjadi sumber pengambilan ra>bit}ah yang
terkenal dalam tarekat muktabarah ?
J (jawab): ra>bit}ah yang terkenal dalam tarekat muktabarah diambil dari
al-Qur’an dan hadis sebagai berikut :
یا أیھا الذین آمنوا اتقوا هللا وكونوا مع الصادقین
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.35
أن سیدنا أبو بكر الصدیق رضى هللا عنھ ِ شكا الى النبى صلى هللا وأما السنة فقد ذكرالبخارى م عدم انفكاكھ صلى هللا علیھ وسلم حتى فى الخالءعلیھ وسل
Imam Bukha>ri menuturkan bahwa Abu Bakar r.a. pernah mengadu kepada Rasulullah Saw. bahwa ia tidak bisa berpisah dengan beliau sampai ia tetap setia menunggu beliau pada saat beliau buang air.36
Maksud “hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang benar” pada
ayat al-Qur’an tersebut adalah ra>bit}ah kepada orang-orang yang benar (saleh)
supaya menjadi orang yang bertakwa. Sedangkan hadis al-Bukhari tersebut
menjelaskan bahwa Abu Bakar as-siddiq r.a. secara terus menerus ra>bit}ah kepada
nabi Muhammad saw. meskipun pada saat Nabi buang air.
4. Metode Irfa>niy
Irfa>niy berasal dari kata ‘irfa>n yang dalam bahasa Arab merupakan bentuk
mas}dar (dasar) dari kata ‘arafa, yang semakna dengan ma’rifat.37 Istilah al-‘irfa>n
35 Al-Qur’an, 9 : 119. 36 A.Aziz Masyhuri, Al-Fuyud}a>t al-Rabba>niyyah, 116. 37Mohammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al’Arabi, 1993), 251.
404
dalam bahasa Arab berbeda dengan kata al-‘ilm . Al-‘ilm menunjukkan perolehan
objek pengetahuan melalui transformasi (naql) ataupun rasionalitas (‘aql),
sementara irfa>ni atau makrifat berhubungan dengan pengalaman atau
pengetahuan langsung dengan obyek pengetahuan38 Menurut sejarahnya,
epistimologi irfa>ni ini telah ada baik di Persi maupun Yunani jauh sebelum
datangnya teks-teks keagamaan, baik Yahudi, Kristen maupun Islam. Sementara
dalam tradisi sufisme ia baru berkembang sekitar abad ke 3 H/9 M, seiring
dengan berkembangnya doktrin makrifat (gnosis) yang diyakini sebagai
pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan.39 Istilah tersebut digunakan untuk
membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra (sense; al-h}issi)
dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui kashf
(ketersingkapan), ilha>m, ‘iya>n, atau ishra>q.
Menurut kalangan para sufi, Irfa>ni adalah penyingkapan hakikat
kebenaran atau makrifat kepada Allah yang tidak diperoleh melalui logika atau
pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui hati yang bersih (suci).40 Qalb (hati)
dalam pandangan para sufi mempunyai fungsi yang esensial untuk memperoleh
kearifan atau makrifat. Untuk sampai pada makrifat ini, seorang sufi mesti
melalui tahapan-tahapan, maqa>ma>t, ah}wa>l dan riya>d}ah atau muja>hadah.
Para tokoh sufi aliran ‘irfa>ni ini adalah: Rabi’ah al-Adawiyah (w 135
H/752 M), Dhu al-Nun al-Mis}ri (w 246 H/861 M), al-Junaid (w297H/910M), al-
38 Mohammd Muslih, Filsafat Ilmu: kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar Gowok, 2005), 179. 39 Ibid., 180. 40 A. Bahrun Rifa’I dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 87.
405
Bust}ami(w 188 H – 261 H/874 – 947 M). al-H{alla>j (w 858-922 H) dan Jalaluddi>n
al-Rumi (w 672 H).41 Metode ‘irfa>niy ini dipergunakan apabila para peserta
bah}thul masa>‘il tidak menemukan jawaban melalui ketiga metode tersebut di
atas. Metode ‘irfa>niy dapat pula dipakai untuk memperkuat dalil yang menjadi
rujukan atau menafsirkan teks al-Qur’an. Metode ini juga belum tertulis secara
resmi sebagai salah satu metode bah}thul masa>‘il tarekat, tetapi dalam prakteknya
ahli tarekat telah menggunakannya. Adapun contoh penggunaan metode ini
adalah:
a. Hasil muktamar tarekat III (Tulungagung: 26-28 Safar 1383 H/ 28-30
Juli 1963 M) mengenai dalil ‘Ataqah Qubra
S (soal): Apakah membaca surat al-ikhlas seratus ribu kali atau zikir la>
ila>ha illa Alla>h tujuh puluh ribu kali untuk pembebasan neraka dari mayit
mendapat hasil, seperti membaca untuk diri sendiri ?
J. Betul, mendapat hasil pembebasan neraka dari mayit, seperti mendapat
hasil pembebasan neraka bagi pembaca untuk diri sendiri. Adapun dasarnya
adalah sebagai berikut:
سبعین ألف وروى أن الشیخ أبا الربیع المالكي كان على مائدة طعام وكان قد ذكر ال إلھ إال هللا
وامتنع من الطعام فقال لھ مرة وكان معھم على المائدة شاب من أھل الكشف فحین مد یده إلى الطعام بكى
فقلت فى نفسي اللھم إنك : أبو الربیع فقال الشیخ. فیھا يالحاضرون لم تبكى ؟ فقال أرى جھنم وأرى أم
الحمد أرى : فقال الشاب . السبعین ألفا وقد جعلتھا عتق أم ھذا الشاب من النار تعلم إني قد ھللت ھذه
وھذا التھلیل بھذا . وما أدري ما سبب خروجھا وجعل یبتھج وأكل مع الجماعة . أمى قد خرجت من النار
41 Ibid., 89-105.
406
ألف مرة تسمى عتاقة كبرى ولو مائة یة إذا قرئت وبلغتالعدد یسمى عتاقة صغرى كما أن سورة الصمد
فإن المواالة التشترط. فى سنین عدیدة
Diriwayatkan bahwa Shaykh Abu al-Rabi’ al-Maliki, suatu ketika berada di jamuan makan dan beliau telah berzikir dengan mengucapkan La> ila>ha illa Alla>h 70.000 kali. Di perjamuan tersebut terdapat seorang pemuda ahli kashaf. Ketika pemuda itu akan mengambil makanan, tiba-tiba ia terhalang mengambil makanan itu, lalu ia ditanya oleh para hadirin, “Mengapa kamu menangis?” Ia menjawab, “Saya melihat neraka jahanam dan melihat ibu saya di dalamnya”. Kata Shaykh Abu al-Rabi’, “Saya berkata di dalam hati, Ya Allah sungguh engkau mengetahui bahwa saya telah berzikir La> ila>ha illa Alla>h 70.000 kali dan saya mempergunakannya untuk membebaskan ibu pemuda ini dari neraka”. Setelah itu pemuda itu berkata, “al-h}amdulilla>h, sekarang saya melihat ibu saya telah keluar dari neraka, namun saya tidak tahu apa sebabnya”. Pemuda itu merasa senang dan makan bersama para hadirin. Zikir la> ila>ha illa Alla>h 70.000 kali dinamakan ‘Ataqah Sughra (pembebasan kecil dari neraka), sedangkan surah al-Ikhlas jika dibaca 100.000 kali dinamakan ‘Ataqah Kubra (Pembebasan besar dari neraka) walaupun waktu membacanya beberapa tahun, karena tidak disyaratkan berturut turut.42
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa anak muda yang dapat
melihat ibunya yang sudah mati berada di neraka, kemudian keluar dari neraka,
adalah gambaran orang ahli kashf (terbukanya hijab) atau dapat melihat dengan
mata hati(irfa>niy). Sedangkan ibunya bisa keluar dari neraka adalah karena
mendapat kiriman simpanan zikir la> ila>ha illa Alla>h 70.000 kali dari Shaykh Abu
al-Rabi’ al-Maliki. Untuk mengatasi persoalan yang semacam ini,maka metode
irfa>niy yang dipergunakan.
b. Hasil muktamar tarekat X ( Pekalongan: 16-19 Safar 1426 H/27-30
Maret 2005 M mengenai Shaykh yang sudah wafat tapi masih tarbiah
(membimbing) muridnya.
42 A.Aziz Masyhuri, al-Fuyu>d}a>t al-Rabba>niyyah,53-54.
407
S (soal): Apakah benar masih ada salah seorang Shaykh yang sudah wafat
dapat tarbiah muridnya hingga sekarang, seperti Shaykh al-Shadhili?
J (jawab): benar, apabila ternyata tidak bertentangan dengan tata cara
tarbiyah tarekat. Adapun dasarnya adalah sebagai berikut:
أن لكل من األولیاء خصوصیة وھمة فى الحیاة والممات كنقش الحقیقة واإللقاء فى بحر ) اعلم(وقوة التصرف واإلمداد لعبد القادر , الوحدة والفناء واإلستغراق لشاه نقشبندي محمد بھاء الدین
رأیت : قرشي قال علي ال: إلى أن قال ...وقوة العلم والواردات لعلي أبي الحسن الشاذلي , الجیالني الشیخ عبد القادر الجیالني والشیخ : أربعة من المشایخ یتصرفون فى قبورھم كتصرف األحیاء
المعروف الكرخي والشیخ عقیل المنجي والشیخ حیاة بن قیس
Ketahuilah bahwa setiap wali itu memiliki keistimewaan dan kemampuan berbuat sesuatu pada saat masih hidup dan sesudah mati, misalnya kemampuan yang dimiliki oleh Shaykh Muh}ammad Baha’uddin, guru tarekat Naksyabandiah dalam mengajarkan hakikat dan larut dalam sifat-sifat ketuhanan, juga kemampuan berbuat dan memberikan pertolongan yang dimiliki oleh Shaykh Abdul Qadir al-Jilani, serta kemampuan menyampaikan ilmu dan wirid yang dimiliki oleh Shaykh Ali Abu al-Hasan Al-Shadhili....sampai perkataan : Shaykh Ali al-Qurashiy mengatakan, “Saya melihat empat orang Shaykh beraktifitas di dalam kubur mereka seperti aktifitas orang hidup, yaitu : al-Shaykh Abdul Qadir al-Jailaniy, al-Shaykh al-Ma’ruf al-Karkhi, al-Shaykh Aqi>l al-Munji>, dan al-Shaykh H{ayat bin Qai>s.43
ھذا وفیما ذكرناه داللة قویة على أن لألولیاء تصرفا بعد الموت
Keterangan ini dan apa yang telah kami sebutkan adalah bukti yang kuat
bahwa para wali itu memiliki kemampuan beraktifitas setelah mati.44
Pernyataan di atas diperkuat dengan adanya ra>bit}ah barzakhiyah, yaitu :
ید والشیخ الرا بطة البرزخیة عبارة عن العالقة الروحانیة والتواصل القلبى بین الصالحین أو بین المرلك من خالل الرؤیة المنامیة أو من األعلى فیكلمھ ویعلمھ سواء تم ذ بعد إنتقال أحد الطرفین إلى الرفیق
43 Ibid., 279. Baca al-Shaykh diya’ ad di>n ah}mad bin Must}afa al-khansakanawi, Jami’ al-us}hul, 17 44 Ibid. Baca Muhammad amin al-Kurdi,Tanwi>r al-qulu>b, 412.
408
خالل التالقى یقظة أو من خالل عملیة الرابطة المخصوصة عند زرایة المرید لقبر شیخھ ولمقامات غیره
45من المشایخ واألكابر واألولیاء
Ra>bit}ah Barzakiyyah adalah hubungan ruhani dan hati orang-orang yang saleh atau antara murid dan mursyid setelah salah satunya meninggal dunia sehingga mereka bisa saling berbicara dan memberikan pelajaran, baik dalam mimpi atau dalam keadaan sadar ketika seorang murid melakukan rabitah yang khusus, yaitu pada saat berziarah ke makam gurunya dan makam-makam yang lain dari masha>yikh, tokoh-tokoh agama dan para wali.
Sedangkan ketetapan ra>bit}ah barzakhiyah ini disandarkan pada dalil yang
menjelaskan bahwa adanya kehidupan ruh setelah mati dan kemungkinan untuk
melakukan aktifitas dengan orang yang masih hidup. Dalil tersebut adalah:
وال تحسبن الذین قتلوا فى سبیل هللا أمواتا بل أحیاء عند ربھم یرزقون:( قولھ تعالى
Jangan kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati, akan tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
rezeki.46
Dalam syariat Islam , selain ketetapan mati syahid bagi orang yang mati
dalam peperangan, juga ada ketetapan mati syahid bagi yang lain, seperti orang
yang meninggal dunia karena ditikam, kebakaran, banjir, mengembara dalam
mencari kebaikan atau pergi untuk mencari ilmu. Menurut ahl sunnah bahwa
seluruh arwah setelah meninggal dunia mengalami hidup lagi di alam barzakh.47
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang
saleh (baik yang masih hidup maupun yang sudah mati) yang telah mencapai
derajat makrifat diberi kemampuan oleh Allah SWT. mempunyai ketajaman hati
45 Muh}ammad Najmuddi>n al-Kurdi>, al-Dala> ‘il al-‘A<liyah ( Kairo: Da>r Al-Sa’a>dah, 2008), 298. 46 Al-Qur’an, 3:169. 47 Muh}ammad Najmuddi>n al-Kurdi>, al-Dala>’il ,298-299.
409
melalui kashf dapat melihat dengan mata telanjang tentang hakikat kebenaran.
Dengan demikian apa yang dikatakan atas dasar kashf dapat dijadikan hujah
dalam menentukan suatu keputusan hukum. Sistem membuat suatu keputusan
hukum seperti ini disebut “metode ‘irfa>niy”.
Data penggunaan metode tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
TABEL III
METODE ISTINBA<T{ HUKUM
No Metode Frekuensi %
1 QAULI 80 72.7
2 ILHAQI 13 11.8
3 MANHAJI 7 6.4
4 IRFANI 3 2.7
5 TIDAK JELAS 7 6.4
Jumlah 110 100
Untuk lebih jelasnya penggunaan metode tersebut secara terperinci dapat
dilihat pada lampiran X.