Post on 27-Oct-2019
BAB IV
SUNTINGAN TEKS
A. Inventarisasi Naskah
Langkah kerja dalam penyuntingan teks diawali dengan inventarisasi
naskah. Inventarisasi naskah adalah mengumpulkan informasi mengenai naskah
yang akan dijadikan sumber penelitian. Tugas peneliti filologi ialah
menginventarisasi sejumlah naskah dengan judul yang sama di mana pun berada‚
baik dalam negeri maupun luar negeri (Lubis, 1996:65)
Nabilah Lubis (1996:65) menyatakan bahwa naskah dapat dicari melalui
katalogus perpustakaan‚ museum‚ masjid‚ gereja‚ dan tempat-tempat lainnya yang
menyimpan naskah-naskah klasik. Di samping itu, perlu dicari naskah-naskah
koleksi perseorangan yang dimungkinkan sama. Inventarisasi dilakukan dengan
mencari judul naskah di dalam katalogus, termasuk mencari naskah dengan judul
dan isi yang sama, tetapi termuat dalam katalogus yang berbeda. Proses
inventarisasi naskah dilakukan sebelum dilakukan deskripsi naskah agar karakter
naskah dapat diketahui jenisnya, berbentuk tunggal atau jamak. Dengan begitu‚
dapat diketahui metode yang akan digunakan dalam penyuntingan teks.
Proses inventarisasi terbagi menjadi dua, yaitu studi katalog dan studi
lapangan. Dalam penelitian ini, inventarisasi naskah dilakukan dengan studi
katalog. Katalog yang digunakan adalah katalog-katalog naskah yang menyajikan
informasi tentang keberadaan naskah Melayu. Katalog yang digunakan dalam
penelitian ini adalah katalog terbitan. Katalog terbitan adalah katalog yang
dikeluarkan dalam bentuk buku. Berikut daftar katalog terbitan yang digunakan
dalam penelitian ini.
1. T.E Behrend dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid 3-A Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia Ecole Francaise D‟Extreme Orient.
2. T.E Behrend dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid 3-B Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia Ecole Francaise D‟Extreme Orient.
3. T.E Behrend. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 4
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ecole Francaise D‟Extreme Orient.
4. Achdiati Ikram‚ Tjiptaningrum F. Hassan‚ Dewaki Kramadibrat. 2011.
Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Manassa
(Masyarakat Pernaskahan Nusantara) The Toyota Foundation dan Yayasan
Obor Indonesia.
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudoyo
Yogyakarta. Penyunting Dr. T.E. Behrend. Penerbit Djambatan: Anggota
IKAPI. Jakarta 1990.
6. Katalogus Naskah Melayu Bima II oleh DR. S.W.R. Mulyadi H.S. Maryam
R. Salahuddin, S.H. Yayasan Museum Kebudayaan “Samparaja” Bima 1992.
7. Malay Manuscripts: a bibliographical guide. Compiled by: Joseph H.
Howard peace corps volunteer in the university of Malaya Library 1963-
1965. Univesity of Malaya Library. Kuala Lumpur 1966.
8. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep. P&K disusun oleh:
Team Pelaksana Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Nasional Bidang Permuseuman. Direktorat Jendral Kebudayaan 1972. M.
Amir Sutarga et.al
9. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 5A Jawa Barat. Koleksi lima
lembaga. Disusun oleh Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa. Yayasan Obor
Indonesia dan Ecole Francaise D‟extreme-Orient.
10. Katalog Naskah Bima Koleksi Museum Kebudayaan Samparaja. Penyusun
Siti Maryam R. Salahuddin Mukhlis. Museum Kebudayaan Samparaja Bima.
2007
11. Biblitheca Universitatis Leidensis Codices Manuscripti XXIV: Catalouge of
Acehnese Manuscripts In The Library of Leiden University and Other
Collections Outside Aceh. Compiled by P. Voorhoeve in co-operation with T.
Iskandar translated and edited by M. Durie. Leiden University Library
(Legatum Warnerianum) in co-operation with Indonesian Linguistics
Development Project (ILDEP). Leiden 1994.
Berdasarkan studi katalog ditemukan satu buah judul yang sama di
University of Malaya Library Kuala Lumpur dalam bentuk mikrofilm dengan
nomor 332. Penomoran naskah dan pendeskripsian naskah yang sama antara
mikrofilm 332 di University of Malaya Library dan naskah yang disimpan di
Perpustakaan British memberikan asumsi bahwa mikrofilm di University of
Malaya Library merupakan salinan dari naskah yang tersimpan di Perpustakaan
British. Setelah dilakukan penelusuran ke pihak Perpustakaan British‚ didapatkan
informasi bahwa naskah dengan nomor IO 2906 memang tersimpan di
Perpustakaan British. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa naskah
“Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam dengan nomor inventarisasi IO 2906 merupakan
naskah tunggal karena tidak ditemukan naskah dengan judul yang sama hanya
ditemukan salinan berbentuk mikrofilm.
B. Deskripsi Naskah
Naskah yang sudah berhasil dikumpulkan perlu segera diolah berupa
deskripsi naskah. Metode yang digunakan dalam deskripsi naskah adalah metode
deskriptif (Djamaris, 2002:11). Deskripsi naskah ialah gambaran mengenai seluk
beluk keadaan naskah yang akan diteliti. Deskripsi naskah menguraikan hal-hal
mengenai isi naskah dan pokok-pokok isi naskah secara rinci untuk mengetahui
keadaan naskah dan sejauh mana isi naskah tersebut.
Nabilah Lubis (1996:66) menyatakan bahwa informasi yang didapat dari
katalogus dicatat, kemudian ditambah lagi dengan gambaran tentang keadaan fisik
naskah, kertasnya, dan lain sebagainya mengenai naskah. Edward Djamaris
(2002:11) berpendapat bahwa naskah-naskah yang telah didapat dideskripsikan
dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah, ukuran naskah, keadaan naskah,
tulisan naskah, bahasa kolofon, dan garis besar isi cerita.
Deskripsi naskah meliputi: judul naskah, nomor naskah, tempat
penyimpanan naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris
pada setiap halaman naskah, huruf, aksara, dan tulisan, cara penulisan, bahan
naskah, bentuk teks, bahasa naskah, umur naskah, sejarah teks, identitas
pengarang, dan fungsi sosial naskah. Deskripsi naskah secara terinci sebagai
berikut.
1. Judul Naskah
Judul naskah setelah dilakukan penyuntingan teks adalah “Masaaila ‟Aqiidatu
`l-Islam” (“MAI”) yang berarti masalah-masalah akidah Islam. Dalam kover
naskah tertulis Samarqandi‟s Catechism yang merupakan pemberian judul oleh
lembaga penyimpanan teks tersebut, yaitu British Library. Beberapa alasan
pemberian judul baru teks tersebut, yaitu sebagai berikut.
a) Naskah “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” merupakan salah satu naskah
Melayu yang mengandung tema Islam‚ maka diasumsikan bahwa segala
hal yang meliputi teks tersebut, termasuk judul, digunakan istilah-istilah
agama Islam yang didominasi dengan istilah Arab.
b) Kebanyakan judul-judul naskah Melayu Islam tidak berbahasa Inggris‚
tetapi menggunakan bahasa Arab atau bahasa Melayu‚ seperti Kitab
Mir‟atu `l-muhaqqiqin karya Syamsuddin Sumatrani‚ Hujjatu `sh-shiddiq
li daf‟I `z-zindiq dan Fathu `l-mubin ‟ala `l-mulhidin karya Nuruddin
sehingga judul penelitian ini pun diberikan dengan pertimbangan di atas,
yaitu menggunakan bahasa Arab.
c) Tidak ditemukan keterangan mengenai judul pada kolofon sebagai catatan
penulis. Tidak ditemukan pula judul di bagian pembukaan teks yang
biasanya disebutkan nama pengarang, judul teks, tahun penulisan, dan
tempat penulisan.
d) Tidak ditemukan secara eksplisit judul naskah dalam teks, baik di awal, di
tengah, maupun di akhir. Judul “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” hanyalah
judul yang diberikan oleh lembaga penyimpan naskah. Dalam hal ini
adalah perpustakaan British.
e) Judul “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” didapatkan dari isi teks yang
dianggap dapat mewakili isi kandungan dari teks tersebut. Isi kandungan
teks berkaitan dengan masalah-masalah akidah Islam sehingga tiga kata
kunci tersebut dijadikan judul oleh peneliti.
f) Setiap pembukaan untuk mengawali pembicaraan dalam isi teks diawali
dengan kata mas`alatun yang berarti masalah. Oleh karena kata
mas`alatun selalu hadir di tiap bagian dari teks, maka diberikan judul
dengan kata masaaila (masalah-masalah) yang merupakan jamak dari kata
mas`alatun. Pembahasan dalam teks berkenaan dengan akidah Islam. Oleh
karena itu, diberikan judul ‟Aqiidatu `l-Islam yang berarti akidah Islam.
Gb. 1. Kover samping naskah
2. Nomor Naskah
Naskah ini bernomorkan IO Islamic 2906 Soth 381. IO adalah singkatan dari
Indian Office.
Gb. 2. Nomor naskah pada sampul pembuka naskah halaman 4
3. Tempat Penyimpanan Naskah
Naskah ini tersimpan di Perpustakaan British tepatnya di bagian Indian Office
Library yang beralamatkan di sisi utara Euston Road di St Pancras, London,
antara stasiun kereta api Euston dan stasiun kereta api St Pancras. Naskah
“MAI” ditemukan dalam bentuk digital pada alamat website
http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=IO_Islamic_2906
Naskah ini tersimpan dalam bentuk asli bukan hanya sekedar mikrofilm. Hal
tersebut telah dikonfirmasi oleh pihak Perpustakaan British.
Gb. 3. E-mail dari pihak perpustakaan British
Gb. 4. India Office Library pada sampul pembuka naskah “MAI” halaman 6
Gb. 5. Katalog berisi informasi tentang teks dari perpustakaan British
4. Keadaan Naskah
Keadaan naskah ini masih utuh tidak ada yang hilang, terbukti dari
pembukaan (basmalah) sampai berakhir (tamat). Di tengah-tengah naskah pun
tidak ada yang hilang dengan bukti setelah diadakan penyuntingan naskah,
naskah dapat dipahami secara baik atau tidak terdapat kerancuan. Naskah
tergolong baik karena masih dapat dibaca dan tulisannya jelas.
Gb. 6. Naskah “MAI”:4
5. Ukuran Naskah
a) Ukuran lembaran naskah
Ukuran lembaran naskah ini adalah panjang 26,5 cm x lebar 21,0 mm
b) Ukuran ruang teks
Ukuran ruang teks tidak diketahui karena tidak penliti dapat menghadirkan
naskah “MAI” yang tersimpan di perpustakaan British, hanya
menghadirkan bentuk digital teks “MAI” yang telah dicetak.
6. Tebal Halaman
Naskah terdiri dari 32 halaman dengan perincian dua halaman pada kover
depan dan belakang, enam halaman pada halaman sampul depan, tujuh belas
halaman pada halaman isi, dan tujuh halaman pada sampul belakang.
7. Jumlah Baris pada setiap Halaman Naskah
Naskah ini terdiri dari enam baris tiap halamannya, kecuali pada halaman tiga
dengan tujuh baris dan halaman tujuh belas dengan lima baris. Tiap satu baris
berisi dengan satu baris bahasa Arab dan satu baris tafsiran dalam bahasa
Melayu.
Gb. 7. Naskah “MAI”:17
Gb. 8. Naskah “MAI”:3
Gb. 9. Naskah “MAI”:1
8. Bahasa Naskah
Bahasa yang digunakan dalam naskah ini adalah bahasa Arab dengan tafsir
bahasa Melayu yang berbentuk gantung.
Gb. 10. “Wa kutubihii. [dan percaya aku akan kitab-Nya] wa rusulihii. [dan percaya aku akan
segala pesuruh-Nya] wa `l-yaumi. [dan percaya aku akan hari]” (naskah “MAI”:2).
9. Jumlah Susunan Kuras
Kuras adalah satuan lipatan kertas dalam penjilidan. Satu kuras sama dengan 4
lembar. Satu lembar sama dengan 2 halaman. Naskah “MAI” tidak memiliki
kuras.
10. Huruf, Aksara, dan Tulisan
a) Jenis tulisan
Jenis tulisan yang dipakai adalah khat Naskhi. Naskhi adalah tulisan yang
sangat lentur dengan banyak putaran dan hanya memiliki sedikit sudut
yang tajam.
b) Ukuran huruf
Ukuran huruf yang dipakai dalam naskah “MAI” berukuran sedang atau
medium sehingga masih mudah untuk dibaca dengan jelas.
c) Bentuk huruf
Bentuk huruf yang dipakai bentuk tegak lurus atau perpendicular.
Gb. 11. “bashiirun. [Yang Melihat] muriidun. [Yang Berkehendak] mutakallimun. [Yang
Berkata] baaqin. [Yang Kekal] khalaaqun. [Yang Menjadikan] rabbun. [Tuhan]
bilaa. [dengan tiada] syariikin. [sekutu]” (naskah “MAI”:2).
d) Keadaan tulisan
Keadaan tulisan naskah “MAI” cukup baik, artinya jelas, rapi, dan
konsisten atau tidak berubah-ubah dari awal naskah sampai akhir.
e) Jarak antarhuruf
Jarak antarhuruf dalam naskah “MAI” termasuk renggang
f) Goresan pena
Goresan pena dalam naskah “MAI” memiliki ketebalan yang beragam,
yaitu ketebalan yang sedang dan kuat.
Gb. 12. “rasuulihii. [pesuruh-Nya] muhammadin. [Muhammad] wa `alaa aalihi. [dan
keluarganya] ajma`iin. [sekalian] Qoolaa. [kata] `sy-syaikhu. [Syaikh] `l-imamu.
[imam] `l-ajalu. [yang basyar]” (“MAI”:1)
g) Warna tinta
Tinta yang dipergunakan dalam penulisan naskah “MAI” adalah
menggunakan tinta hitam yang kuat dengan rubrikasi atau tinta merah di
bagian-bagian tertentu dalam teks. Warna merah dalam naskah memiliki
arti yang beragam, seperti dalam naskah “MAI” warna merah atau
rubrikasi digunakan pada kata-kata sebagai berikut.
1) Kata wa dan fa sebagai kata hubung dapat memisahkan antara satu
kata, frasa, atau kalimat dengan kata, frasa, atau kalimat lain.
2) Kata Mas`alatun dan fa `l-jawabu pembeda tiap pertanyaan dan
jawaban, selain itu juga membedakan antara satu tema pertanyaan
dengan pertanyaan lain.
3) Beberapa kata lain seperti Allah, Amantu, Hayyun, Laysa kamitslihi,
Tsalaatsiina,dimaksudkan adanya penekanan pada kalimat di atas.
h) Pemakaian Tanda Baca
Dalam teks “MAI” tidak ditemukan penggunaan tanda baca, seperti tanda
titik (.), tanda koma (,), tanda titik dua (:), dan sebagainya. Dalam teks
terdapat kata-kata tumpuan yang berfungsi sebagai pembatas antarkalimat
atau antaralinea.
Awal kalimat tanya dalam hal teks ini diawali dengan kata Mas`alatun
idzaa yang berarti “inilah masalah jika” yang berwarna merah. Kalimat
tanya di akhiri dengan pernyataan fal jawabu sekaligus berfungsi sebagai
permulaan jawaban. Kalimat jawab tersebut berakhir pada pernyataan
mas`alatun idza yang juga sebagai awal dari kalimat tanya, begitu
seterusnya.
Hal tersebut hanya berada pada bagian isi saja karena di bagian
pendahuluan diawali dengan kata Bismi l-Laahi r-Rahmaani r-Rahiim dan
pada penutup diakhiri dengan kata tamat.
Gb. 13. Naskah “MAI”:4
Gb. 14. Naskah “MAI”:1
Gb. 15. Naskah “MAI”:17
11. Cara Penulisan
a) Penempatan tulisan pada lembar naskah
Cara penempatan tulisan pada lembar naskah “MAI” yaitu teks ditulis dari
arah kanan ke kiri, cara seperti ini mengikuti cara penulisan huruf Arab.
Penulisan teks pada lembaran naskah secara bolak-balik. Kedua sisi
halaman pada setiap lembar naskah ditulisi semua. Cara penulisan seperti
ini biasanya disebut dengan istilah rekto1 dan verso2.
b) Pengaturan ruang tulisan
Ruang tulisan naskah “MAI” terbentuk secara bebas, tidak ada pembatas,
misalnya garis yang mengatur ruang tulisan.
c) Penomoran naskah
Ada penomoran naskah, tetapi tidak beraturan. Penjelasannya sebagai
berikut.
1) Naskah sampul depan halaman empat tertulis nomor satu (1)
2) Naskah isi halaman dua tertulis nomor dua (2)
3) Naskah isi halaman empat tertulis nomor tiga (3)
4) Naskah isi halaman enam tertulis nomor empat (4)
5) Naskah isi halaman delapan tertulis nomor dua (5)
6) Naskah isi halaman sepuluh tertulis nomor enam (6)
7) Naskah isi halaman dua belas tertulis nomor tujuh (7)
8) Naskah isi halaman tiga belas tertulis nomor tujuh (8)
1 n halaman sebelah kanan pada buku atau naskah terbuka, biasanya bernomor halaman ganjil
(KBBI:1158)
2 n halaman sebelah kiri buku atau naskah yang terbuka, biasanya bernomor halaman genap
(KBBI:1546)
9) Naskah isi halaman empat belas tertulis nomor tujuh (9)
Gb. 16. Naskah “MAI”:2
Gb. 17. Naskah “MAI”:4
d) Catchword
Pada naskah “MAI” hanya ada satu catchword yaitu pada halaman
sembilan dengan lafal syarthu.
Gb. 18. Naskah “MAI”:9
12. Bahan Naskah
Naskah ini menggunakan kertas Eropa
13. Cap kertas/watermark
Ada watermark yaitu „LVG‟ (Lubertus van Gerrevinck) dengan bayangan
garis tebal. Annabel Gallop berpendapat bahwa cap kertas LVG digunakan
sebagai tanda buatan Lubertus van Gerrevinck. Merek ini lama-kelamaan
diambil alih oleh pembuat kertas di negera lain di Eropa sehingga susah
menggunakan merek ini untuk memastikan tempat asal kertas maupun
usianya. Lubertus van Gerrevinck Bekerja pabrik Phoenix di Egmond aan den
Hoef, dekat Alkemaar, Holland dari 1691 dengan saudaranya Joachim. Inisial
LVG adalah dari pembuat kertas Belanda Lubertus van Gerrevinck, yang
bekerja pabrik Phoenix di Egmond aan den Hoef, dekat Alkemaar, Holland,
tanda LVG nya diambil oleh banyak pembuat di Eropa Barat, termasuk James
Whatman, Henry Portal dan lain-lain di Inggris, sebagai tanda kualitas, dan
dengan cepat menjadi salah satu tanda air yang paling umum ditemukan di
Eropa barat.
Gb. 19. E-mail dari Annabell Gallop
Gb. 20 Metadata teks “MAI”
14. Bentuk Teks
Teks ini menggunakan bentuk prosa dalam penyampaiannya. Lebih khusus
menggunakan bentuk tanya-jawab.
15. Umur Naskah
Umur naskah ini tidak diketahui karena tidak ada keterangan yang
menyebutkan hal tersebut. Apabila dilihat dari kertasnya, seperti yang telah
diterangkan Gallop, bahwa kertas naskah ini mulai diproduksi pada tahun
1691 M., artinya naskah “MAI” ada setelah tahun 1691 M. Hal tersebut juga
diperkuat bahwa Abu Laits meninggal pada 373 H. atau 984 M. yang
membuktikan bahwa naskah “MAI” lahir setelah pengarangnya wafat, bukan
sebelum pengarangnya wafat.
Dalam sebuah artikel dari sebuah website, http:// britishlibrary.typepad.co.uk
/ asian-and-african /2016 / 01 / from-samarkand-to-batavia-a-popular-islamic-
catechism-in-malay.html yang menyatakan bahwa naskah “MAI” itu
kemungkinan besar diperoleh selama pemerintahan Inggris di Jawa (1811-
1816) dan karena itu mungkin berasal dari awal abad ke-19.
16. Sejarah Teks
Dalam metadata dijelaskan dalam f.1 tertulis dari Sumarcandee atau al-
Samarqandi yang dalam berbahasa Melayu bahwa naskah ini milik Tuan
Alperes Kampung Salemba di Batavia. Sebagai juru tulis adalah Duljabar
yang datang ke Batavia dari Cirebon. Ia meminta maaf karena tulisan
tangannya seperti ceker ayam. Di antara naskah Melayu di British Library
yang baru saja didigitalkan hanya ada satu yang pasti ditulis di Batavia, tetapi
mungkin contoh yang sangat baik dari jenis pekerjaan yang digunakan untuk
instruksi Islam di kota. Ini adalah salinan dari Bayan 'Aqidah al-Ushul,
mengenai dasar-dasar iman yang juga dikenal sebagai Masa'il atau
Pertanyaan sebuah agama yang sederhana ditulis dalam bentuk tanya-jawab
oleh Abu al-Laits Muhammad bin Abi Nasr bin Ibrahim al-Samarqandi,
seorang ahli hukum dari mazhab Hanafi dari kota kuno Samarkand, yang
terletak di masa kini adalah Uzbekistan. Awalnya naskah tunggal kini telah
dipisahkan menjadi dua bagian, satu terdiri dari katekismus Arab al-
Samarqandi dengan terjemahan interlinear ke dalam bahasa Melayu (IO Islam
2906), dan volume kedua (MSS Melayu C.7) yang mengandung teks
sepenuhnya bahasa Melayu. Kedua bagian ini ditulis di tangan yang sama.
Pemilik naskah disebut sebagai Tuan Alperes dari Kampung Salemba di
Batavia dan juru tulis yang memperkenalkan dirinya sebagai Duljabar yang
datang ke Batavia dari Cirebon. Dengan kerendahan hati ia meminta maaf
untuk tulisan tangan yang buruk seperti cakar ayam, tetapi pada
kenyataannya, seperti yang dapat dilihat, tangannya cukup stylish (gaya).
Meskipun naskah adalah bertanggal itu kemungkinan besar diperoleh selama
pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816) dan karena itu mungkin berasal
dari awal abad ke-19. Catatan oleh juru tulis naskah sebagai berikut.
Ini adalah buku Samarqandi, milik Pak Alperes yang tinggal di
Kampung Salemba. Buku ini ditulis oleh Guru Duljabar dari
Cirebon yang datang ke Batavia ketika ia masih sangat muda dan
yang belajar menulis dari Mister Alperes. Saya diminta untuk
menulis dan saya menulis dengan kemampuan saya yang terbaik,
takut dituduh menolak atau malas, maka ini adalah hasilnya.
Permintaan maaf saya yang sederhana kepada para pria yang akan
membacanya karena tulisan adalah seperti ceker ayam” (Alamat
surat kitab Samarqandi Tuan Alperes).
17. Keterangan Lain
Ditemukan sebuah artikel dari web, http : // britishlibrary .typepad .co.uk /
asian-and-african / 2016 / 01 / from-samarkand-to-batavia-a-popular-islamic-
catechism-in-malay.html bahwa Michael Laffan (2011: 33) mencatat pada
pertengahan abad ke-19 katekismus dari al-Samarqandi adalah salah satu dari
dua teks Islam yang paling populer di seluruh Indonesia, yang lainnya adalah
Sifat Dua Puluh dan Dua puluh Atribut Allah. As-Samarqandi tampaknya
telah sangat dianggap baik di Jawa, dan British Library memegang tiga salinan
bagian dari teks dengan terjemahan bahasa Jawa (MSS Jav 43, MSS Jav 77
dan Or. 16.678). Naskah lain dalam bahasa Arab dengan terjemahan bahasa
Jawa ditemukan di Cambridge University Library (Or. 194), sementara Royal
Asiatic Society memegang terjemahan lengkap dalam bahasa Jawa (Raffles
Java 22). Di Perpustakaan Universitas Leiden, dari 14 manuskrip Arab Bayan
'Aqidah al-Ushul, 13 memiliki terjemahan interlinear di Jawa, sementara satu
memiliki terjemahan Makassar (Voorhoeve 1980: 45). Endangered Archives
Program juga telah mendokumentasikan empat naskah kerja dengan
terjemahan bahasa Jawa, dua diadakan di sebuah pesantren di Jawa Timur,
Pondok Pesantren Tegalsari di Jetis, Ponorogo, dan dua di Cirebon di pantai
utara Jawa Barat: satu di koleksi kerajaan Sultan Abdul Gani Natadiningrat
dan lain dipegang oleh Muhammad Hilman. Dengan demikian menarik untuk
dicatat bahwa naskah Duljabar disalin di Batavia relatif jarang dalam
menyajikan al-Samarqandi Bayan 'Aqidah al-Ushul dengan terjemahan bahasa
Melayu ini.
18. Identitas Pengarang
Mengenai identitas pengarang tertulis dalam bagian pendahuluan teks, yaitu
tertulis sebagai berikut.
Qaalaa [Kata] `sy-syaikhu [syekh] `l-imaamu [imam] `l-ajalu
[yang besar] / `z-zaahidu [yang pertapah] Abu Laits [Abu Laits
namanya] Muhammad [Muhammad] ibnu Abi Nashri [anak Abi
Nasr] bni Ibraahiima [anak Ibrahim] / `s-Samarqandiyyu [yang
bangsa Samarqandi] rahmatu `l-Laahu [yang diberi rahmat Allah]
‟alaihi [atasnya] (“MAI”:1).
Imam Nasr bin Muhammad As-Samarqandi bernama lengkap Abul Laits
Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi al-Hanafi yang dikenal
dengan Abu Laits. Seorang Ulama Tabi‟ut Tabi‟in yang hidup pada awal
abad ke-4 H dan Wafat 373 H. di daerah Balkh. Ia dikenal dengan julukan
Imamul Huda. Abu Laits As-Samarqandi di masa mudanya tidak dapat
membaca Alquran, tetapi di sekitar usia 50-an barulah ia mulai belajar dan
pada usia 57 tahun ia telah berjaya menguasai bahasa Arab dan Alquran.
Selanjutnya ia mulai mewariskan ilmu yang ada padanya melalui penulisan
Abu Laits bermazhab Hanafi. Saiful Mu‟min (2011:47) berpendapat dalam
jenjang keilmuan Abu Laits banyak menimba ilmu dari beberapa ulama,
meski ayahnya berperan dalam memperluas cakrawalanya. Beberapa guru
Abu Laits antara lain, Muhammad bin Ibrahim at-Tuzi; seorang ahli fikih
yang disegani, ayahnya sendiri; Abu Ja‟far al-Hinduwani (Abu Ja‟far al-
Balkhi), Khalil bin Ahmad al-Qadli as-Sijzi; ulama fikih dan hadis di
kalangan mazhab Hanafi, dan Muhammad bin al-Fadl bin Asyraf al-Bukhari.
Dalam bidang keilmuan, Abu Laits adalah seorang ahli fikih, maka ia dijuluki
al-faqiih (ahli fikih). Dia juga terkenal dalam bidang usuluddin (akidah)
karena kekuatan dialektikanya. Ia juga menguasai banyak bahasa dan ahli
dalam bidang tafsir dan filsafat. Karya-karya Abu Laits As-Samarqandi
dalam bidang akidah (usuluddin) di antaranya, yaitu Ushulu `d-Diin, Bayan
Aqidati `l-Ushul, Asraru `l-Wahyi, Risalah fii Ma‟rifati `l-Iimaani, Risaalah
fii `l-Hukm, Qut ‟an n-Nafs fii Ma‟rifati Arkaana `l-Khams, dan ‟Umdatu `l-
‟Aqaaid. Karya-karya pada bidang lainnya, yaitu Tafsir As-Samarqandi al-
Musamma Bahrul Ulum, Tanbihu `l-Ghaafilin, al-Fatawa, Bustaanu `l-
‟Aarifiin, Khizaanata `l-Fiqhi, Fadhaailu `r-Ramadhaan, Daqaiaqu `l-Akbar
fii Bayaani `i-Jannati wa `n-Naari, Mukhtalifu `r-Riwaayah, Syir‟atu `l-
Islaam, ‟Uyuunu `l-Masaail, al-Muqaddimah fii `sh-Shalaati, Ta`sisu `n-
Nadhaairu `l-Fiqhiyyah, Qurratu `l-‟Uyuun wa Mufarrihu `l-Qalba `l-
Mahzun, Syarhu `l-Jamii‟a `l-Kabiir, Syarhu Jamii‟a `sh-Shaghiir,
Muqaddimah fii Bayaani `l-Kabaairi wa `sh-Shaghiiri, dan Fatawaa Abi
Laits. Terdapat keterangan dalam metadata mengenai penyalin dan pengarang
teks. Disebutkan bahwa sebagai penyalin naskah “MAI” seperti yang tertera
dalam metadata adalah Duljabar dan sebagai pengarang yang dituliskan buah
pikirnya oleh penulis adalah Abu Laits As-Samarqandi.
19. Fungsi Sosial Naskah
Naskah ini dapat berfungsi bagi umat Islam sendiri sebagai dasar penguatan
keimanannya karena naskah ini berisi pertanyaan-pertanyaan tentang
keimanan dalam agama Islam. Naskah ini dapat digunakan sebagai
pemantapan keyakinan seorang muslim agar terhindar dari ajaran-ajaran yang
sesat karena teks ini menyuguhkan permasalahan-permasalahan mengenai
keimanan dan penyelesaiannya dengan dalil aqli dan naqli. Dalil akal sangat
berguna karena akan bersifat realistik sehingga dapat dicapai dan dipahami
oleh manusia. Naskah ini dapat menjadi media dakwah dan pengajaran bagi
masyarkat di luar umat muslim untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam.
Dengan diberikan beberapa cara dan metode yang rasional dalam
menjalankan keimanan Islam, naskah ini dirasa akan berhasil mengajak
pembacanya untuk mengetahui Islam lebih dalam, bahkan dapat menjadi
media hidayah Allah Swt.
Banyaknya doktrin-doktrin sesat dan maraknya ajaran-ajaran Islam yang
tidak sesuai dengan Alquran dan hadis serta kurangnya referensi-referensi
mengenai pembelajaran akidah Islam yang benar dan rasional menjadikan
teks ini layak dibaca dan dipahami oleh masyarkat di luar umat muslim
maupun kalangan Muslim sendiri.
C. Ikhtisar Isi Teks
Halaman Isi
1-2 Pendahuluan terdiri dari bacaan basmalah, hamdalah, dan salawat
serta salam kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarganya.
Pengenalan nama pengarang serta sebutan atau julukannya, yaitu
Abu Laits Muhammad bin Ibrahim As-Samarqandi.
Permasalahan pertama yang dikemukakan pengarang mengenai
apakah iman itu. Setelah itu, diberikan penjelasan bahwa iman
ialah seseorang percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, pesuruh-pesuruh-Nya (nabi dan rasul), hari
kiamat, dan percaya takdir baik dan buruk dari Allah Swt.
2 Permasalahan kedua mengenai bagaimana percaya kepada Allah
Swt. Kemudian diberikan penjelasan bahwa Allah Swt. Esa zat dan
sifatnya, Maha Hidup, Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Berkehendak, Maha Berkata, Maha Kekal,
Maha Menjadikan, Tuhan tanpa ada sekutu, tanpa ada tandingan,
tanpa ada lawan, dan tiada satu pun yang menyerupai-Nya.
3-4 Permasalahan ketiga mengenai bagaimana percaya atas malaikat-
malaikat Allah Swt. Dijelaskan setelah itu bahwa malaikat
bermacam-macam tugasnya, di antaranya ada yang menanggung
arsy, ada yang mengelilingi arsy, memelihara dan menjaga,
menulis, dan lain sebagainya. Mereka dari bangsa rohani dan dari
bangsa kurubiyyun, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Allah
tidak menjadikan malaikat berkelamin laki-laki atau perempuan,
mereka tidak memiliki syahwat, dan nafsu. Mereka tidak memiliki
bapak dan ibu. Mereka selalu berbuat apa yang diperintahkan Allah
dan tidak pernah berbuat durhaka kepada-Nya. Percaya kepada
malaikat adalah syarat iman dan membenci atau mengabaikan
mereka menjadikan kafir.
4-5 Permasalahan keempat yang dikemukakan pengarang mengenai
bagaimana percaya akan kitab-kitab-Nya. Dijelaskan setelah itu
bahwa Allah Swt. Menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para nabi.
Kitab suci bukan makhluk sehingga bersifat kadim. Apabila
terdapat keragu-raguan atas kitab-Nya satu ayat pun pada seorang
hamba, maka akan menjadikan ia kafir.
5 Permasalahan kelima adalah mengenai jumlah kitab yang
diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya
5-6 Keterangan mengenai nabi-nabi yang diberikan kitab dari Allah
beserta jumlah dan nama kitab tersebut.
7 Permasalahan keenam adalah mengenai bagaimana seseorang dapat
mempercayai utusan atau nabi-Nya. Dijelaskan bahwa nabi
pertama adalah Nabi Adam dan nabi penutup atau terakhir adalah
Nabi Muhammad. Disebutkan pula sifat-sifat yang dimiliki oleh
para nabi, yaitu mengabarkan kabar kepada umat tentang kabar
yang diberikan Allah, menyuruh kepada kebaikan dan melarang
pada hal keburukan, dan lain-lain. Apabila ada seorang hamba yang
tidak percaya akan keberadaan nabi dan rasul-Nya, maka ia
dianggap sebagai kafir.
8 Permasalahan ketujuh mengenai berapa dan siapa sajakah nabi
yang memiliki syariat. Dijelaskan dalam teks, bahwa terdapat enam
nabi pembawa syariat, yaitu Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Ditambahkan pula
keterangan bahwa segala syariat nabi terdahulu telah terhapuskan
oleh syarit Nabi Muhammad saw.
9 Permasalahan kedelapan mengenai jumlah para nabi yang telah
diturunkan Allah. Dijelaskan bahwa jumlah seluruh nabi yang
diturunkan oleh Allah adalah 124.000 nabi dan rasul.
Permasalahan kesembilan mengenai jumlah para nabi Mursal atau
nabi-nabi yang disuruh untuk mendakwahkan ajarannya.
Dijelaskan bahwa jumlah nabi Mursal sebanyak 313 nabi.
Permasalahan kesepuluh mengenai apakah menjadi sebuah
kewajiban bagi orang beriman mengetahui nama-nama nabi
tersebut. Dijelaskan bahwasanya mengetahui nama dan bilangan
mereka bukan tanggung jawab orang beriman atau tidak menjadi
syarat iman.
10-11 Permasalahan kesebelas mengenai bagaimana percaya tentang
adanya hari kemudian. Dijelaskan keadaan besok ketika adanya
hari kemudian. Allah akan mematikan semua makhluk yang hidup,
baik manusia maupun jin. Kemudian Dia akan menghidupkannya
kembali. Setelah itu, akan dikumpulkan dihisab atau dihitung amal
perbuatannya. Jika ia fasik, ia akan masuk neraka, tetapi tidak
untuk selamanya karena akan masuk surga dengan keimanannya.
Neraka dan surga adalah dua hal yang kekal. Apabila ada seorang
yang tidak percaya adanya hari kemudian, maka ia telah menjadi
kafir.
12-13 Permasalahan kedua belas mengenai bagaimana percaya akan
takdir baik dan takdir buruk yang datang dari Allah. Dijelaskan
bahwa Allah menciptakan manusia dan telah memberikan
pengetahuan petunjuk jalan yang benar dan salah. Semua takdir
manusia telah ditulis di lawhul mahfudl. Jika manusia mengerjakan
hal yang diperintahkan Allah akan mendapat pahala dan surga.
Sebaliknya, manusia yang menentang perintahnya akan mendapat
siksa dan neraka.
13-14 Permasalahan ketiga belas mengenai datangnya iman bersuka-suka
atau tidak. Dijelaskan bahwasanya datangnya iman tidak bersuka-
suka. Petunjuk datangnya dari Allah. Apabila ada seorang yang
tidak percaya, maka telah menjadi kafir.
14 Permasalahan keempat belas mengenai apa yang dikehendaki dari
iman. Dijelaskan bahwa yang dikehendaki dari adanya sebuah
keimananan ibarat adanya tauhid atau pengesaan Allah Swt.
14-15 Permasalahan kelima belas mengenai hal-hal syariat, mengikuti
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan mengikuti Nabi
Muhammad saw. merupakan syarat iman atau tidak. Dijelaskan
bahwa semua mengenai hal tersebut menjadi syarat iman.
15-16 Permasalahan keenam belas mengenai sifat iman suci atau tidak.
Dijelaskan bahwasanya iman itu bersiat suci dan kafir bersifat najis
sehingga semua amalnya akan binasa atau hilang.
16-17 Permasalahan ketujuh belas mengenai apakah iman itu makhluk
atau tidak. Dijelaskan bahwa iman adalah perbuatan makhluk
sehingga bersifat baru atau lawan dari kadim. Maka dari itu, iman
adalah makhluk. Ditambah keterangan dari firman Allah
bahwasanya Dia menciptakan makhluk dan segala perbuatannya.
Ditambahkan juga mengenai hadis nabi, bahwa iman hanya
merupakan kemurahan Allah Swt.
D. Kritik Teks
Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krities yang artinya seorang hakim,
krinein berarti menghakimi, dan kriterion berarti dasar penghakiman. Kritik teks
adalah pemberian evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada
tempatnya yang tepat. Bani Sudardi (2003:55) berpendapat bahwa kritik teks
adalah penilaian terhadap kandungan teks yang tersimpan dalam naskah untuk
mendapatkan teks yang dianggap mendekati aslinya.
Tugas utama filologi melalui kritik teks, yaitu untuk memurnikan teks.
Teks yang sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dapat dipandang sebagai
arketip sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan menjadi salah satu sumber
untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. (Baried,
1994:61). Dalam teks “MAI” ditemukan beberapa kesalahan yang harus
dibersihkan, yaitu adisi, lakuna, substitusi, ditografi, transposisi, dan
ketidakkonsistenan.
1. Adisi adalah penambahan huruf, suku kata, frasa, klausa, kalimat, dan
paragraf yang terdapat dalam teks, maksudnya teks yang tertulis dalam
naskah berlebihan sehingga perlu dikurangi. Contoh: kata sehinggai
diperbaiki sehingga. Kata bernyamawa diperbaiki menjadi bernyawa.
2. Lakuna adalah penghilangan atau pengurangan huruf suku kata, frasa,
klausa, kalimat, dan paragraf dalam teks, maksudnya teks yang tertulis
dalam naskah kurang sehingga bagian yang kurang tersebut perlu
ditambah penyunting. Contoh: Kata mejadi diperbaiki menjadi. Kata kusi
diperbaiki kursi
3. Substitusi adalah penggantian huruf, suku kata, frasa, klausa, kalimat, dan
paragraf dalam teks. Maksudnya adalah teks yang tertulis dalam naskah
diganti dengan teks yang sesuai. Perbedaan substitusi dengan lakuna atau
adisi adalah substitusi proses penggantian, bukan proses penambahan dan
pengurangan. Contoh: Kata debikian diperbaiki demikian. Kata pohonkan
diperbaiki mohonkan.
4. Ditografi adalah perangkapan pada bagian teks, baik dalam bentuk huruf,
suku kata, kata, frasa, maupun kalimat. Perbedaan dengan substitusi
adalah ditografi hanya mengurangi bagian teks yang rangkap. Contoh:
frasa huwalladzi lladzi diperbaiki menjadi huwalladzi karena terdapat
rangkap kata lladzi lladzi. Kata didiberikan diperbaiki menjadi diberikan
karena terdapat perangkapan kata didi.
5. Transposisi adalah perpindahan letak huruf, suku kata, kata, frasa, atau
kalimat karena terdapat kesalahan letak pada bagian teks. Contoh: Kata
canisya diperbaiki menjadi niscaya. Kata kaberta diperbaiki menjadi
berkata.
6. Ketidakkonsistenan adalah adanya ketidakajegan penyebutan sebuah kata
dalam satu teks. Contoh dalam sebuah teks, kata laki-laki dapat ditulis
menjadi laki2 atau laki-laki. Kata tempat-tempat disebutkan lebih dari satu
jenis menjadi tempat2 atau tempat-tempat. Kata bapak terkadang ditulis
bapa, bafa, atau bapak, dan lain-lain. Berikut daftar kesalahan-kesalahan
yang terdapat dalam teks “MAI” dan telah diperbaiki oleh peneliti, yaitu
sebagai berikut.
Tabel 1
Adisi
No. Hal. Baris Tertulis Transliterasi
Edisi
Bahasa Arab Bahasa Melayu
mengulilingi mengelilingi يعنهع 3 3 .1
: ثفب 2 4 .2 :abun] اة: ثفب abbun. [bapak] اة
bapak]
betapah betapa ثزبف 5 4 .3
ا: 3 7 .4 ى كب كه
ثرينى سكه ج
اذ ادو يرىکئذ
wa kulluhum.
[bermula
sekalian nabi
itu] [Adam]
kaanuu.
[mereka itu]
wa kulluhum.
[bermula sekalian
nabi itu] kaanuu.
[mereka itu]
انمدر 6 12 .5 wa `l-qadrihi لدر
انكفر 6 15 .6 wa `l-kufrun انكفر
Keterangan:
1. Dalam teks tertulis mengulilingi. Diberikan alternatif perbaikan menjadi
mengelilingi. Hal ini terdapat pengurangan huruf wawu sebagai tanda
vokal u pada kata mengulilingi.
2. Dalam teks tertulis abbun [bapak]. Diberikan alternatif perbaikan menjadi
abun [bapak] karena dalam bahasa Arab kata yang berarti bapak adalah
abun bukan abbun.
3. Dalam teks tertulis kata betapah. Diberikan alternatif perbaikan menjadi
betapa karena fonem /h/ pada akhir kata tersebut merupakan salah tulis
dari penyalin teks. Alasan perbaikan karena kata tersebut dalam bagian
lain juga ditulis dengan kata betapa, seperti pada halaman 2, 3, 7, 10, dan
1ain-1ain.
4. Tertulis dalam teks Wa kulluhum [bermula sekalian nabi itu Adam mereka
itu]. Diberikan alternatif perbaikan dengan menghilangkan kata Adam
karena pada frasa bahasa wa Kulluhum tidak terdapat kata Adam.
5. Dalam teks tertulis, Wa `l-qodrihi. Diberikan alternatif perbaikan wa
qadrihi karena pada tata bahasa Arab alif lam (ال) dan kata ganti hi ( )
tidak dapat berdampingan dalam sebuah kata, dalam hal ini adalah `l-
qadrihi. Oleh karena itu, dipilih salah satu antara `l-qadri atau qadrihi.
qadrihi dipilih karena dalam terjemahan yang tertulis dalam teks adalah
“takdirnya” yang berarti terdapat kata nya yang mengikuti kata qadri.
6. Tertulis dalam teks wa `l-kufrun. Diberikan alternatif perbaikan menjadi
wa `l-kufru karena dalam tata bahasa Arab sebuah isim (nomina) tidak
dapat menanggung partikel al- dan tanda baca dhammatain.
Tabel 2
Lakuna
No. Hal. Baris Tertulis Transliterasi
Edisi
Bahasa Arab Bahasa Melayu
د: ت 7 3 .1 abiida [hamba] ‟abiida [segala‟ عج
hamba]
:اج umun [ibu] او : اج 2 4 .2 او
[ummun:ibu]
: سكم ج 6 4 .3 جبئ anbiyaaihi ا
[segala nabi]
anbiyaaihi
[segala nabi-
Nya]
4. 6 6 عه صه الله
سهى
shalla `l-Laahu
‟alaihi wa sallam
shalla `l-Laahu
‟alaihi wa
sallam. [shalla
`l-Laahu
‟alaihi wa
sallam.]
جبء: داع ج 1 7 .5 bi `l-anbiyaa`i ثبل
[dengan nabi]
bi `l-anbiyaa`i
[dengan segala
nabi]
ا: 3 7 .6 ى كب كه
ثرينى سكه ج
اذ ادو يرىکئذ
wa kulluhum.
[bermula sekalian
nabi itu] [Adam]
kaanuu. [mereka
itu]
Wa kulluhum.
[dan bermula
sekalian nabi
itu] [Adam]
kaanuu.
[mereka itu]
ى : ثرينى 6 7 .7 يحجز
كبس يرىكئذ
wa
muhibbatuhum.
[bermula kasih
mereka itu]
wa. [dan]
muhibbatuhum.
[bermula kasih
mereka itu]
syaraa`i‟i انطرائع: ضرعذ 2 8 .8
[syariat]
syaraa`i‟i
[segala syariat]
.l-‟ibaadi` انعجبد: جبس 4 12 .9
[hambanya]
`l-‟ibaadi.
[segala
hambanya]
ي: ربد 6 13 .10 زجس
٢ثرسک
yatajazzaa [tiada
bersuka-suka]
ي: ربد ل زجس
٢ثرسک [laa
yatajazzaa
[tiada bersuka-
suka]
اير: سر 1 15 .11 l-awaamiri` ال
[suruh]
`l-awaamiri
[segala suruh]
: كر 1 15 .12 ا n-nawaahi [nkar] n-nawaahi ان
[munkar]
: ضراط 4 15 .13 ضرائط
اب
syaraa`ithihi
[syarat iman]
syaraa`ithihi
[segala syarat
iman]
: ثرينى هللا 5 16 .14 الله wa `l-Laahu
[bermula Allah]
wa. [dan] `l-
Laahu
[bermula
Allah]
: ثرينى هللا 3 17 .15 الله wa `l-Laahu
[bermula Allah]
wa. [dan] `l-
Laahu
[bermula
Allah]
Keterangan
1. Dalam teks tertulis ‟abiida [hamba]. Hal ini diberikan perbaikan, yaitu
menjadi ‟abiida [segala hamba] karena ‟abiida adalah jamak dari ‟abdun
sehingga berarti banyak. Oleh karena ‟abiida adalah jamak, maka yang
benar adalah berarti hamba-hamba atau segala hamba (KMAIT,
1984:951).
2. Dalam bahasa Arab kata yang berarti ibu adalah ummun, bukan umun yang
tidak menggunakan tambahan syaddah ( ) sehingga huruf yang bertanda
demikian mendapat rangkap. Dalam teks terdapat kekurangan tanda
syaddah atas huruf mim sehingga dibaca umun dan jelas tidak berarti ibu
(KMAIT, 1984:42).
3. Dalam teks tertulis anbiyaa`ihi yang berarti segala nabi. Terdapat
kekurangan yaitu tidak dituliskan nya sebagai arti dari hi. Nya atau hi pada
konteks ini menunjukkan kata ganti milik orang ketiga (dia) laki-laki.
Sebenarnya kata hi berasal dari hu. Perubahan hu menjadi hi disebabkan
adanya harfu jarr yang mengakibatkan bentuk selanjutnya berharakat
kasrah /i/, seperti tertulis dalam teks kitaaban ‟alaa anbiyaa`ihi. Sebagai
harfu jarr adalah ‟alaa.
4. Pada bagian ini terdapat kurang arti dari ungkapan shalla `l-Laahu ‟alaihi
wa sallam sehingga perlu ditambah terjemahan dari ungkapan tersebut.
5. Kata anbiyaa`i dalam teks diterjemahkan menjadi nabi. Hal ini dirasakan
salah karena anbiyaa`i merupakan jamak dari kata nabiyyun atau nabi.
Oleh karena anbiyaa`i merupakan jamak, maka memiliki arti nabi-nabi
atau segala nabi (KMAIT, 1984:1479).
6. Dalam teks Wa kulluhum kaanuu berarti [bermula sekalian nabi itu] dirasa
kurang benar karena kurangnya arti yang tertulis dalam penerjemahan
bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Kesalahan tersebut terletak tidak
ada terjemahan kata wa yang sebenarnya memilik arti dan (KMAIT,
1984:1634).
7. Dalam teks tertulis wa muhibbatuhum [bermula kasih mereka itu]. Kalimat
ini memiliki kesamaan dengan keterangan nomor dua belas, yaitu tidak
adanya kata dan sebelum kata bermula, padahal terdapat kata wa dalam
bahasa Arab yang berarti dan (KMAIT, 1984:1634).
8. Syaraa`i‟i adalah jamak dari syarii‟atun yang memiliki arti syariat. Oleh
karena syaraa`i‟i adalah jamak, maka yang benar adalah berarti syariat-
syariat atau segala syariat, sedangkan dalam teks syaraa`i‟i hanya
diartikan syariat (KMAIT, 1984:761).
9. Kata ‟ibaadi dalam teks diterjemahkan menjadi hamba. Hal ini perlu
diperbaiki karena ‟ibaadi merupakan jamak dari kata ‟abdun atau hamba.
Oleh karena ‟ibaadi merupakan jamak, maka memiliki arti hamba-hamba
atau segala hamba (KMAIT, 1984:951).
10. Dalam teks tertulis yatajazzaa [tiada bersuka-suka]. Padahal sebelumnya
tertulis pula yatajazzaa amlaa [bersuka-suka atau tiada]. Hal tersebut
membuktikan kurangnya kata laa sebelum kata yatajazzaa karena kata
tersebut memiliki arti bersuka-suka, sedangkan yang dimaksud dalam teks
adalah tiada bersuka-suka. Oleh karena itu perlu ditambahkan laa sebelum
kata yatajazzaa agar artinya menjadi tiada bersuka-suka (KMAIT,
1984:203). Jika pertanyaannya kenapa tidak dipilih menghilangkan kata
tiada dalam teks saja? Hal tersebut dikarenakan konteks kalimat yang akan
disampaikan naskah memerlukan arti tiada bersuka-suka bukan bersuka-
suka karena hanya berbeda satu kata saja mengandung arti berbeda yang
akan mengubah makna isi teks.
11. Dalam teks tertulis `l-awaamiri [suruh]. Diberikan alternatif perbaikan
menjadi `l-awaamiri [segala suruh] karena kata `l-awaamiru adalah bentuk
jamak dari kata amr sehingga berarti suruh-suruh atau segala suruh.
12. Dalam teks tertulis n-nawaahi [nkar] terdapat dua perbaikan yang
dilakukan peneliti, yaitu pertama kata nkar menjadi kata munkar dan
kedua kata n-nawaahi merupakan bentuk jamak dari kata naahi sehingga
kata munkar tersebut perlu dijadikan bentuk jamak menjadi munkar-
munkar atau segala munkar.
13. Pada teks “MAI” tertulis syaraa`ithihi [syarat iman]. Diberikan alternatif
perbaikan menjadi syaraa`ithihi [segala syarat iman] karena syraa`ithihi
merupakan bentuk jamak dari syarthun sehingga berarti banyak (KMAIT,
1984:761).
14. Tertulis dalam teks wa `l-Laahu [bermula Allah]. Diberikan alternatif
perbaikan karena karena kurangnya arti yang tertulis dalam penerjemahan
bahasa Arab ke bahasa Melayu. Kesalahan tersebut terletak tidak ada
terjemahan kata wa yang sebenarnya memilik arti dan (KMAIT,
1984:1634).
15. Tertulis dalam teks wa `l-Laahu [bermula Allah]. Diberikan alternatif
perbaikan menjadi wa `l-Laahu [dan bermula Allah] karena karena
kurangnya arti yang tertulis dalam penerjemahan bahasa Arab ke bahasa
Melayu. Kesalahan tersebut terletak tidak ada terjemahan kata wa yang
sebenarnya memilik arti dan (KMAIT, 1984:1634).
Tabel 3
Substitusi
No
.
Hal. Baris Tertulis Transliterasi
Edisi
Bahasa Arab Bahasa
Melayu
[arsy‟] عرش Ars‟ عرش 3 3 .1
: دا ربد 2 4 .2 لعص
اي ثرثح درک
wa. [dan] la
ya‟shuuna [tiada
ia berbuat
durhaka]
wa. [dan] la
ya‟shuuna
[tiada mereka
berbuat
durhaka]
عخ: سرعذ 5 8 .3 .syarii‟atin ضر
[sariat]
syarii‟atin.
[syariat]
ب : دا اداففبي 4 11 .4 [dan adapun] [maka adapun]
د 3 15 .5 ح انز huwa `t-tawhiidi د ح انز [huwa
`t-tawhiidu]
م 1 16 .6 ع انع م jamii‟ul ‟amalu ج ع انع ج
[jamii‟ul
‟amali]
انسالو: عه 4 17 .7 عه
انسالو
‟alaihi `s-
salaami [alaihi
salam]
صهى الل عه
سهى: صهى هللا
عه سهى
[shalla`l-
Laahu ‟alayhi
wa sallaama]
8. 17 5 ب -khuliqa `l خهك ال
iimaani
ب خهك ال
[khuliqa `l-
iimaanu]
Keterangan:
1. Tertulis dalam teks ars. Diberikan alternatif perbaikan menjadi arsy.
Terdapat proses pergantian huruf dari ش menjadi ش, yaitu dari huruf s
menjadi sy sehingga kata ars menjadi kata arsy. Penggantian yang
dilakukan juga berdasarkan atas ketidakkonsistenan kata tersebut, yaitu
ditulis dengan arsy, seperti pada kalimat sebelumnya di halaman tiga.
2. Dalam teks tertulis, wa la ya‟shuuna [dan tiada ia berbuat durhaka]. Hal
tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan karena kata ya‟shuuna
merupakan kata kerja orang ketiga jamak sehingga berarti mereka,
sedangkan dalam teks diterjemahkan dengan ia yang merupakan kata kerja
orang ketiga tunggal. Selain itu, perbaikan dilakukan karena konteks teks
sebelumnya yang menceritakan tentang para malaikat yang merupakan
orang ketiga jamak. Proses penggantian ini adalah proses substitusi kata,
yaitu penggantian kata ia menjadi kata mereka.
3. Dalam teks tertulis syarii‟atin [sariat]. Diberikan perbaikan menjadi
syarii‟atin [sariat] karena adanya ketidakkonsistenan penyalin dalam
menuliskan syariat, ada yang ditulis dengan kata syariat dan sariat. Dipilih
kata syariat karena kata syariat digunakan lebih dominan dalam teks,
sedangkan kata sariat hanya ditemukan satu penulisan saja. Proses
pergantian ini adalah pergantian huruf dari ش menjadi ش; huruf s menjadi
sy sehingga kata sariat diganti dengan syariat.
4. Tertulis dalam teks, fa ammaa [dan adapun]. Diberikan alternatif
perbaikan menjadi fa ammaa [maka adapun]. Hal tersebut karena fa
memiliki arti maka, sedangkan dan dalam bahasa Arab adalah kata wa.
Proses perbaikan ini adalah proses substitusi atau penggantian kata, yaitu
kata dan menjadi kata maka.
5. Dalam teks tertulis huwa `t-tawhiidi. Diberikan sebuah perbaikan menjadi
huwa `t-tawhiidu. Hal ini sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab, yaitu
dalam sebuah kalimat, apabila tidak ada tanda jar seperti, fii, bi, dan lain-
lain yang menjadikan kasrah, tanda nasab seperti, an, lan dan lain-lain
yang menjadikan fathah, tanda jazm seperti lam yang menjadikan sukun,
maka tanda kalimat tersebut adalah rafa‟ yang menjadikan dlammah
dengan tanda bunyi /u/. Maka dari itu, huwa `t-tawhiidi diganti menjadi
huwa `t-tawhiidu, yaitu adanya pergantian huruf i menjadi u.
6. Dalam teks tertulis jamii‟ul ‟amalu. Frasa tersebut termasuk idhafah, yaitu
terdapat mudhaf dan mudhaf ilaihi. Mudhaf adalah yang disandarkan atau
digabungkan (tanpa tanwin), sedangkan mudhaf ilaihi adalah yang terkena
sandaran atau sebagai tempat sandaran dan letaknya di belakang mudhaf
berharakat kasrah. Pada frasa ini, kata jamii‟ul menjabat sebagai mudhaf
dan ‟amalu menjabat sebagai mudhaf ilaihi. Maka dari itu, kata ‟amalu
diganti dengan ‟amali. Proses penggantian yang dilakukan adalah
penggantian harakat dari harakat /u/ menjadi /i/ karena adanya kaidah tata
bahasa Arab.
7. Penggunaan gelar ‟alaihi `s-salaami [alaihi salam] disandangkan pada
semua nabi kecuali Nabi Muhammad, seperti Nabi Adam, Idris, Musa,
Harun, dan lain-lain. Untuk gelar Nabi Muhammad bukan alaihi salam,
tetapi shalla `l-Laahu ‟alaihi salam (saw.). Gelar saw tersebut hanya
disandang oleh Nabi Muhammad sehingga tidak ada seorang pun yang
menyandang gelar tersebut kecuali beliau. Pada teks disebutkan Nabi
Muhammad alaihi salam, maka diberikan perbaikan Muhammad shalla `l-
Laahu ‟alaihi wa sallam. Proses ini merupakan proses substitusi atau
pergantian kalimat.
8. Tertulis dalam teks khuliqa `l-iimaani. Diberikan alternatif perbaikan
menjadi khuliqa `l-iimaana karena kalimat tersebut merupakan kalimat
kerja, terdiri dari fi‟il (kata kerja), faa‟il (yang mengerjakan), dan maf‟ul
bihi (objek atau yang menerima pekerjaan). Kata khuliqa menjabat sebagai
fi‟il, `l-iimaani bertindak sebagai maf‟ul bihi, dan sebagai subjek atau yang
mengerjakan adalah bersifat tertutup, artinya tidak disebutkan, tetapi
mengacu pada kalimat sebelumnya, yaitu Allah. Salah satu tanda maf‟ul
bihi adalah nashab dengan tanda fathah /a/ sehingga pada kata `l-iimaani
seharusnya ditulis `l-iimaana karena menduduki maf‟ul bihi. Proses
perbaikan yang dilakukan adalah penggantian harakat, apabila telah
ditransliterasikan maka menjadi penggantian fonem, yaitu dari vokal /i/
menjadi /a/.
Tabel 4
Ditografi
No. Hal. Baris Tertulis Transliterasi
Edisi
Bahasa Arab
Bahasa
Melayu
1. 5 5-6 ي wa man wa man ي ي [wa man]
kam [beberapa] kam [berapa] كى : ثجراف 2 8 .2
kam [beberapa] kam [berapa] كى : ثجراف 1 9 .3
kam [beberapa] kam [berapa] كى : ثجراف 2 9 .4
5. 12-
13
6 dan
1
انعصب
رعهى ثمضبءالله
فى انمدر
wa. [dan] `l-
‟ishyaani. [dan
durhaka itu] bi
ثمضبءالله انعصب
فى انمدر رعهى
الزال: دا درک
انعصب
رعهى ثمضبءالله
فى الزال: انمدر
الزال: دا
درک اذ دع
حكى الله رعبنى
دا رمدرس فدا
ازال =
انعص ب
رعهى ثمضبءالله
فى انمدر
الزال: دا
درک اذ دع
حكى الله رعبنى
دا رمدرس فدا
ازال
qadhaai. [dengan
hukum] `l-Laahi.
[Allah] ta‟aalaa.
[ta‟ala] wa. [dan]
wa. [dan] `l-
‟ishyaani. [dan
durhaka itu] bi
qadhaai. [dengan
hukum] `l-Laahi.
[Allah] ta‟aalaa.
[ta‟ala] wa. [dan]
`l-qadrihi.
[takdirnya] fi `l-
azaali. [pada
azali].`l-qadrihi.
[takdirnya] fi `l-
azaali. [pada azali].
wa `l-‟ishyaani.
[dan (durhaka) itu]
bi qadhaai.
[dengan hukum] `l-
Laahi. [Allah]
ta‟aalaa. [ta‟ala]
wa. [dan] `l-
اذ دع حكى الله
رعبنى دا رمدرس
-wa `l] فدا ازال
‟ishyaani bi
qadhaa`i `l-
Laahi ta‟aalaa
wa qadrihi fi
`l-azaali : dan
durhaka itu
dengan hukum
Allah Taala
dan takdirnya
pada azali.
دا درک اذ
دع حكى الله رعبنى
دا رمدرس فدا
-wa `l] ازال
‟ishyaani bi
qadhaa`i `l-
Laahi ta‟aalaa
wa qadrihi fi
`l-azaali : dan
durhaka itu
dengan hukum
Allah Taala
dan takdirnya
pada azali.
qadrihi.)
[takdirnya] fii `l-
azaali. [pada azali].
Keterangan:
1. Tertulis dalam teks wa man wa man. Sudah terlihat jelas terdapat
kesalahan penyalinan, yaitu mengulang kata-kata yang bukan kata ulang.
Perulangan tersebut seharusnya dihapus salah satunya karena tidak
memiliki fungsi, yaitu menjadi wa man saja. Perbaikan yang dilakukan
adalah ditografi frasa, yaitu penghilangan salah satu frasa yang diulang.
2. Tertulis dalam teks, kam [beberapa]. Hal ini dianggap sebagai kesalahan
karena kata kam dalam bahasa Indonesia berarti berapa. Terdapat
penambahan suku kata pada teks, yaitu suku kata /be/. Hal ini merupakan
proses ditografi, yaitu pengurangan yang dilakukan terhadap pengulangan
suku kata yang berlebihan, dalam hal ini adalah suku kata /be/.
3. Tertulis dalam teks, kam [beberapa]. Hal ini dianggap sebagai kesalahan
karena kata kam dalam bahasa Indonesia berarti berapa. Terdapat
penambahan suku kata pada teks, yaitu suku kata /be/. Hal ini merupakan
proses ditografi, yaitu pengurangan yang dilakukan terhadap pengulangan
suku kata yang berlebihan, dalam hal ini adalah suku kata /be/.
4. Tertulis dalam teks, kam [beberapa]. Hal ini dianggap sebagai kesalahan
karena kata kam dalam bahasa Indonesia berarti berapa. Terdapat
penambahan suku kata pada teks, yaitu suku kata /be/. Hal ini merupakan
proses ditografi, yaitu pengurangan yang dilakukan terhadap pengulangan
suku kata yang berlebihan, dalam hal ini adalah suku kata /be/.
5. Dalam teks tertulis wa `l-‟ishyaani bi qadhaa`i `l-Laahi ta‟aalaa wa
qadrihi fi `l-azaali wa `l-‟ishyaani bi qadhaa`i `l-Laahi ta‟aalaa wa
qadrihi fi `l-azaali [dan durhaka itu dengan hukum Allah Taala dan
takdirnya pada azali dan durhaka itu dengan hukum Allah Taala dan
takdirnya pada azali]. Diberikan alternatif perbaikan dengan menghapus
salah satu dari dua kalimat yang diulang. Alternatif perbaikan ini disebut
dengan ditografi kalimat. Oleh karena itu, salah satu kalimat ulang yang
tidak berfungsi dalam kalimat dihilangkan karena adanya kesalahan
penulisan sehingga kalimat di atas menjadi wa `l-‟ishyaani bi qadhaa`i `l-
Laahi ta‟aalaa wa qadrihi fi `l-azaali [dan durhaka itu dengan hukum
Allah Taala dan takdirnya pada azali].
Tabel 5
Transposisi
No. Hal. Baris Tertulis Transliterasi Edisi
dan menjadikan دا يجدك نح يحفظ اي 3 12 .1
lauhul mahfudz Ia
dan menjadikan Ia
lauhul mahfudz
Keterangan:
Tertulis dalam teks, dan menjadikan lauhul mahfudl Ia. Hal ini dianggap
sebagai kesalahan karena beberapa faktor. Pertama jika dilihat susunannya,
seharusnya kalimat di atas tersusun menjadi “dan menjadikan ia lauhul mahudl”,
seperti tertulis sebagai berikut: wa [dan] khalaqa [menjadikan ia] `l-lawha
makhfuudli [lawha `l-mahfudl. Oleh karena penerjemahan dari Arab ke bahasa
Melayu per-kata, maka penerjemahan yang sesuai adalah “dan menjadikan ia
lauhul mahudl”. Alasan kedua sebagai penguat, pada kalimat sebelumnya juga
digunakan susunan yang sama, yaitu predikat+subjek bukan predikat+objek.
Kalimat yang dimaksud adalah “Allah [Allah] ta‟aalaa [Taala itu] khalaqa
[menjadikan ia] `l-khalaa`iqa [sekalian makhluk], wa [dan] amara [menyuruh ia]
wa [dan] nahaa [munkar ia].” Proses perbaikan yang dilakukan adalah proses
transposisi, yaitu pemindahan sebuah kata dalam sebuah susunan, dalam hal ini
adalah pemindahan subjek (Ia) ke depan objek (lauhul mahfudl).
Tabel 6
Ketidakkonsistenan
No. Kata, Frasa, Kalimat
Penulisan I Penulisan II
Tertulis Hal Tertulis Hal
1. Allah Taala تعالى ہللا 2, 4, 5,
2, 5, 6, 7, 10,
12, 13, 14,
16, 17
2. Mas`alatun idzaa
qiila laka
Inilah masalah
jika ditanya
orang akan
kamu
1, 2, 3 Inilah
masalah jika
ditanya orang
engkau
4, 5, 7, 8, 9,
10, 11, 13,
14, 15, 16,
E. Pedoman Suntingan
Salah satu tujuan diadakan penelitian ini adalah menyediakan suntingan
teks “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” yang baik dan benar. Baik berarti teks mudah
dibaca karena sudah ditransliterasikan ke dalam huruf latin dan benar berarti jika
terdapat kesalahan dalam penulisan sudah diperbaiki sesuai dengan kaidah-kaidah
filologi.
Pada proses penyuntingan teks diperlukan adanya pedoman suntingan agar
suntingan dapat tertata, sistematis, dan bersifat objektif. Pedoman suntingan untuk
penelitian ini ialah sebagai berikut.
A. Tanda dan angka yang digunakan dalam penyuntingan ialah sebagai
berikut.
1) Tanda garis miring satu “/” menunjukkan pergantian baris
2) Tanda garis miring dua “//” menunjukkan pergantian halaman
3) Tanda kurung siku “[...]” menunjukkan arti dalam bahasa Melayu yang
diartikan dari tiap kata dalam bahasa Arab.
4) Penulisan dimulai dari bahasa Arab telebih dahulu dan selanjutnya
diberikan arti di antara tanda kurung siku. Tanda kurung siku tersebut
dapat menandai bahwa kata di tengahnya adalah terjemah dari kata
bahasa Arab sebelumnya. Penerjemahan disusun tiap kata bukan tiap
kalimat. Caranya adalah tiap kata bahasa Arab akan diberi terjemahan
di belakangnya, tidak sampai satu kalimat.
5) Tanda hubung tiga kali “---” menunjukkan rangkaian kata-kata yang
tidak terbaca
6) Angka 1, 2, 3, dan seterusnya yang terletak di sebelah kanan pias
halaman menunjukkan nomor halaman naskah, sedangkan angka 1, 2,
3 dan seterusnya yang ditulis dalam ukuran kecil di sebelah kanan atas
pada suku kata, kata, frasa, atau kalimat menunjukkan huruf, suku
kata, kata, frasa, atau kalimat yang disunting dan di bawah pada
catatan kaki menunjukkan huruf, suku kata, kata, frasa, atau kalimat
asli dalam naskah.
B. Ketentuan dalam pedoman ejaan ialah sebagai berikut.
1) Ejaan dalam suntingan ini disesuaikan dalam kaidah-kaidah yang
terdapat pada Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).
2) Kosa kata yang berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap dalam
bahasa Indonesia disesuaikan dengan Kamus Besar Bahasa Indoneia.
3) Kata-kata yang berbahasa Melayu yang dianggap sebagai kata “arkais”
atau kata yang memiliki ciri penulisan ejaan kuna ditransliterasikan
sebagaimana adanya dan diberi tanda garis bawah, kecuali yang sudah
masuk ke dalam ejaan bahasa Indonesia yang ditransliterasikan
disesuaikan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
4) Tanda titik di tiap akhir kata berbahasa Indonesia menunjukkan akhir
kalimat.
5) Kata ulang sempurna atau tidak sempurna diberi tanda hubung (-)
disesuaikan dengan kaidah yang terdapat pada EBI.
6) Istilah-istilah dan kosa kata dalam bahasa Arab yang belum diserap ke
dalam bahasa Indonesia ditulis sesuai dengan asal kata dan dicetak
miring.
7) Kata atau frasa dari bahasa Arab yang belum terserap ke dalam bahasa
Indonesia ditransliterasikan dengan ketentuan sebagai berikut.
a) Tanda syaddah ( ) menunjukkan huruf rangkap.
b) Tanda fathhah ( ) menunjukkan bunyi vokal /a/, kasrah ( )
menunjukkan bunyi vokal /i/, dan dlammah ( ) menunjukkan bunyi
vokal /u/.
c) Tanda fathhah tanwin ( ) menunjukkan bunyi /an/, kasrah tanwin ( )
menunjukkan bunyi /in/, dan dlammah tanwin ( ) menunjukkan bunyi
/un/.
d) Tanda sukun ( ) menunjukkan bunyi yang dimatikan, seperti ثسى dibaca
bismi.
e) Tanda maddah alif (ا) setelah huruf berharakat fathhah ( )
menunjukkan bunyi vokal /a/ panjang (aa), maddah ya` (ؠ) setelah
huruf berharakat kasrah ( ) menunjukkan bunyi vokal /i/ panjang (ii),
dan maddah wawu () setelah huruf berharakat dlammah ( )
menunjukkan bunyi vokal /u/ panjang (uu).
f) Huruf ء dilambangkan dengan tanda (`) di tengah dan akhir kata
g) Huruf ف ditransliterasikan menjadi /f/ pada kata yang belum diserap ke
dalam bahasa Indonesia dan menjadi /p/ pada kata yang telah diserap ke
dalam bahasa Indonesia.
h) Huruf ج ditransliterasikan menjadi /j/ pada kata yang b belum diserap
ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi /j/ atau /c/ pada kata yang telah
diserap ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
berlaku pada kata yang bersangkutan.
i) Huruf ta` marbuthah (ح) ditransliterasikan dengan /t/ atau /h/ sesuai
ketentuan yang berlaku pada kata yang bersangkutan.
j) Huruf ح dan ditransliterasikan menjadi /h/ dan /h/ pada kata yang
belum diserap ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan untuk huruf yang
telah diserap ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia itu
kedua huruf tersebut ditransliterasikan menjadi /h/.
k) Huruf ش dan ش ditransliterasikan menjadi /s/ dan /sy/ pada kata yang
belum diserap ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan untuk huruf yang
telah diserap ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia itu
sendiri kedua huruf tersebut ditransliterasikan menjadi /s/.
l) Huruf ا dan ع ditransliterasikan menjadi /a/ dan /‟/ pada kata yang
belum diserap ke dalam bahasa Indonesia , sedangkan untuk huruf yang
telah diserap ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia itu
sendiri kedua huruf tersebut ditransliterasikan menjadi /a/.
m) Huruf س dan ݒ ditransliterasikan menjadi /ts/ dan /ny/ pada kata yang
belum diserap ke dalam bahasa Indonesia , sedangkan untuk huruf yang
telah diserap ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia itu
sendiri kedua huruf tersebut ditransliterasikan menjadi /ny/.
n) Huruf ق ,ء, dan, ن ditranliterasikan menjadi /`/, /q/, dan, /k/ pada kata
yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia , sedangkan untuk huruf
yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia itu
sendiri kedua huruf tersebut ditransliterasikan menjadi /k/.
o) Partikel /al/ (ال) yang diikuti huruf qamariyah (ي ق ع ف خ ن ج ح غ ة ا
diedisikan dengan ( ل ظ ط ض ظ ش ش ز ر ذ د س د) atau syamsiyah ( و
(al) apabila terletak di awal kalimat dan apabila terletak di tengah
kalimat maka diedisikan dengan /`l-/. Misal seperti bismi `l-Laahi, bi `l-
kitabi, al-faatihah, al-humazah.
Tabel 7
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
No. Huruf Latin No. Huruf Latin
dh ض .a 16 ا .1
th ط .b 17 ة .2
dl ظ .t 18 د .3
‟ ع .ts 19 س .4
gh غ .j/c 20 ج .5
f ف .h 21 ح .6
q ق .kh 22 خ .7
k ن .d 23 د .8
l ل .dz 24 ذ .9
m و .r 25 ر .10
z 26. n ز .11
s 27. w ش .12
sy 28. h ص .13
y ي .sh 29 ظ .14
t/h ح .30 ` ء .15
Tabel 8
Pedoman Transliterasi Arab Melayu-Latin
No. Huruf Latin No. Huruf Latin
‟ ع .a 18 ا .1
gh غ .b 19 ة .2
p ف .t 20 د .3
k ق .ts/ny 21 س .4
k ن .j 22 ج .5
l ل .h 23 ح .6
m و .kh 24 خ .7
d 25. n د .8
dz 26. w/u ذ .9
r 27. h ر .10
y/i ي .z 28 ز .11
g ک/ݢ .s 29 ش .12
ng ڠ .sy 30 ش .13
c چ .sh 31 ظ .14
ny ݒ .dh 32 ض .15
t/h ح .th 33 ط .16
‟ ء .dl 34 ظ .17
F. Suntingan Teks
Bismi [aku memulai membaca kitab ini dengan nama] `l-Laahi [Allah
jua] `r-Rahmaani [yang amat murah dalam negeri dunia] `r-Rahiimi
[dan yang mengasihani segala hambanya yang mukmin dalam negeri
akhirat]. / Alhamdu [segala puji] li [bagi] `l-Laahi [Allah] rabbi [Tuhan]
`l-‟aalamiina [sekalian alam]. Wa [dan] `sh-shalaatu [rahmat Allah] wa
`s-salaamu [dan salam Allah] ‟alaa [atas] / rasuulihii [pesuruhnya]
Muhammadin [Nabi Muhammad] wa [dan] aalihii [keluarganya]
ajma‟iin [sekalian]. Qaalaa [Kata] `sy-syaikhu [syekh] `l-imaamu
1
[imam] `l-ajalu [yang besar] / `z-zaahidu [yang pertapah] Abu Laits
[Abu Laits namanya] Muhammad [Muhammad] ibnu Abi Nashri [anak
Abi Nasr] bni Ibraahiima [anak Ibrahim] / `s-Samarqandiyyu [yang
bangsa Samarqandi] rahmatu `l-Laahu [yang diberi rahmat Allah]
‟alaihi [atasnya]. Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya
orang] laka. / [akan kamu] maa [apa] `l-iimaanu [iman] fa [maka] `l-
jawaabu [jawab] aamantu [percaya aku] bi `l-Laahi [akan Allah] wa
[dan] malaaikatihii [percaya aku akan segala malaikat-Nya] //
wa [dan] kutubihii [percaya aku akan segala kitab-Nya] wa [dan]
rusulihii [percaya aku akan segala pesuruh-Nya] wa [dan] `l-yaumi
[percaya aku akan hari] / `l-aakhiri [yang kemudian] wa [dan] `l-qadri
khayrihi [percaya aku akan untung baik] wa [dan] syarrihi [untung
jahat] mina [daripada] `l-Laahi ta‟aalaa [Allah Taala]. / Mas`alatun
[Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang] laka [akan kamu] wa
[dan] kayfa [betapa] tu`minu [percaya engkau] bi `l-Laahi [akan Allah]
fa [maka] `l-jawaabu [jawab] / inna [bahwasanya] `l-Laaha ta‟aalaa
[Allah Taala] ahadun [Esa zat-Nya] waahidun [dan Esa sifat-Nya]
hayyun [Yang Hidup] ‟aalimun [Yang Tahu] qaadirun [Yang Kuasa]
samii‟un. / [Yang Mendengar] bashiirun [Yang Melihat] muriidun
[Yang Berkehendak] mutakallimun [Yang Berkata] baaqun [Yang
Kekal] khalaaqun [Yang Menjadikan] rabbun [Tuhan] bi laa [dengan
tiada] syariikin [sekutu] / wa [dan] laa [tiada] dhiddin [timbangan] wa
[dan] laa [tiada] niddin [lawannya] laysa [tiada] kamitslihi
2
[seumpamanya] syay`un [suatu] wa huwa [yaitu] `s-samii‟u [Yang Amat
Mendengar] `l-bashiir [Yang Amat melihat]. //
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [akan kamu] wa [dan] kayfa [betapa] tu`minu [percaya
engkau] bi `l-malaaikati [dengan malaikat] / fa [maka] `l-
jawaabu [jawab] anna [bahwasanya] `l-malaaikata [malaikat
itu] ashnaafun [berbahagi-berbahagi] wa [dan] minhum
[setengah mereka itu] hamlatu [menanggung] / `l-‟arsyi [‟arsy]
wa [dan] minhum [setengah mereka itu] haafuunaa
[mengelilingi3 ‟arsy
4] wa [dan] minhum [setengah mereka itu]
ruhaaniyyuuna [bangsa rohani] / wa [dan] minhum [setengah
mereka itu] kuruubiyyuuna [bangsa kurubiyyun] wa [dan]
minhum [setengah mereka itu] safratu [bangsa safarah] ay
[artinya] Jabraaiilu [Jibrail] / wa [dan] Miikaaiilu [Mikail] wa
[dan] Israafiilu [Israfil] wa [dan] ‟Izraailu [Izrail] ‟alayhimu `s-
salaami [alaihi salam] wa [dan] / minhum [setengah mereka
itu] hafdlatun [memelihara] wa [dan] minhum [setengah
mereka itu] kutubatun [menulisi] wa [dan] ghayru dzaalika
[lain demikian itu]. / kulluhum [sekalian mereka itu]
3
3Tertulis يعنهع mengulilingi
4Tertulis عرش ‟ars
makhluuquuna [dijadikan mereka itu] ‟abiida [segala hamba5]
`l-Laahi [Allah] laa [tiada] yuushifuuna [disifatkan mereka itu]
//
bi dzukuuratin [akan laki-laki] wa [dan] laa [tiada] bi
unuutsitin [disifatkan akan perempuan] wa [dan] laysa [tiada]
lahum [mereka itu] syahwaatun [syahwat] wa [dan] laa [tiada]
/ nafsun [nafsu] wa [dan] laa [tiada] abun6 [bapak] wa [dan]
laa [tiada] ummun7 [ibu] wa [dan] laa [tiada] ya‟shuuna
[mereka8 berbuat durhaka] `l-Laaha [akan Allah] maa [barang]
/ amarahum [yang disuruh Allah akan mereka itu] wa [dan]
yaf‟aluuna [berbuat mereka itu] maa [barang yang]
yu‟maruuna [disuruh Allah mereka itu]. Wa muhibbatuhum
[dan bermula kasih mereka itu] / syarthu [jadi syarat] `l-
iiimaani [iman] wa ba‟dhuhum [dan benci mereka itu] kufrun
[jadi kafir]. Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila
[ditanya orang] laka [engkau] / wa [dan] kayfa [betapa9]
4
5Tertulis د: ت abiida [hamba]‟ عج
6Tertulis ثفب : abbun [bapak] اة
7Tertulis او umun
8Tertulis دا ربد اي ثرثح درک : لعص wa [dan] la ya‟shuuna [tiada ia berbuat
durhaka]
9Tertulis ثزبف betapah
tu`minu [percaya engkau] bi `l-kutubi [akan segala kitab] fa
[maka] `l-jawaabu [jawab] anna [bahwasanya] `l-Laaha
[Allah] ta‟aalaa [Taala] / anzala [menurunkan] kitaaban
[kitab] ‟alaa [atas] anbiyaa`ihi [segala nabi-Nya]10
min
[daripada] banii [anak-putu] Aadama [Adam] wa hiya [dan
yaitu] //
Munazzalatun [diturunkan] ghayru [bukan] makhluuqatin
[makhluk] qadiimatun [lagi kadim] bi ghayri [dengan tiada]
tanaaqushin [berlawanan] / wa man11
wa [dan] man [barang
siapa] syakka [syak] fiihaa [dalamnya] min [daripada] aayatin
[seayat] aw [atau] kalimatin [kalimat] fa [maka] qad kafara
[bahwasanya jadi kafir]. / Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa
[jika] qiila [ditanya orang] laka [engkau] wa [dan] kam
[berapa] kitaaban [kitab] anzala [yang diturunkan] `l-Laahu
[Allah] ta‟aalaa. / [Taala] ‟alaa [atas] anbiyaa`ihi [segala nabi-
Nya] fa [maka] `l-jawaabu [jawab] miatu [seratus] wa [dan]
arba‟u [empat] kutubin [kitab] wa [dan] anzala [menurunkan]
/ `l-Laahu [Allah] ta‟aalaa [Taala] minhaa [setengah
daripadanya] ‟asyara [sepuluh] kutubin [kitab] ‟alaa [atas]
Aadama [Nabi Adam] ‟alayhi `s-salaami [alaihi salam] / wa
[dan] anzala [menurunkan] `l-Laahu [Allah] ta‟aalaa [Taala]
5
10
Tertulis سكم ج : جبئ anbiyaaihi [segala nabi] ا
11Tertulis ي wa man wa man ي
khamsiina [lima puluh] kitaaban [kitab] ‟alaa [atas] Tsiitsa
[Nabi Tsis] ‟alayhi `s-salaami [alaihi salam]. //
Wa [dan] anzala [menurunkan] `l-Laahu [Allah] ta‟aalaa
[Taala] tsalaatsiina [tiga puluh] kitaaban [kitab] ‟alaa [atas]
Idriisa [Nabi [Idris] ‟alayhi `s-salaami [alaihi salam] / wa [dan]
anzala [menurunkan] `l-Laahu [Allah] ta‟aalaa [Taala] ‟asyara
[sepuluh] kutubin [kitab] ‟alaa [atas] Ibraahiima [Nabi
Ibrahim] ‟alayhi `s-salaami [alaihi salam] / wa [dan] anzala
[menurunkan] `l-Laahu [Allah] ta‟aalaa [Taala] `t-Tauraata
[kitab Taurat] ‟alaa [atas] Muusaa [Nabi Musa] ‟alayhi `s-
salaami [alaihi salam] / wa [dan] anzala [menurunkan] `l-
Laahu [Allah] ta‟aalaaa [Taala] Injiila [kitab Injil] ‟alaa [atas]
‟Iisaa [Nabi Isa] ‟alayhi `s-salaami [alaihi salam] / wa [dan]
anzala [menurunkan] `l-Laahu [Allah] ta‟aalaa [Taala] `z-
Zabuura [kitab Zabur] ‟alaa [atas] Daawuuda [Nabi Daud]
‟alayhi `s-salaami [alaihi salam] / wa [dan] anzala
[menurunkan] `l-Laahu [Allah] ta‟aalaa [Taala] `l-Qur`aana
[Alquran] ‟alaa [atas] Muhammadin [Nabi Muhammad]
Musthafaa [yang dipilih] shalla`l-Laahu ‟alayhi wa sallaam
[shalla `l-Laahu ‟alaihi wa sallam12
] //
6
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang] 7
12
Tertulis سهى عه [...] shalla `l-Laahu ‟alaihi wa sallam صه الله
laka [engkau] wa [dan] kayfa [betapa] tu`minu [percaya
engkau] bi `l-anbiyaa`i [dengan segala nabi13
] / fa [maka] `l-
jawaabu [jawab] `l-awwalu [pertama-tama] Aadama [Nabi
Adam] wa [dan] `l-aakhiru [kesudahan] `l-anbiyaa`i [nabi itu]
Muhammadin [Nabi Muhammad] shalawaatu `l-Laahi
[Shalawaatu `l-Laahi] / ‟alayhim [atas mereka itu] ajma‟iin
[sekalian]. Wa [dan14
] kulluhum [bermula sekalian nabi itu]
[Adam15
] kaanuu [mereka itu] aamiriina [lagi menyuruh
mereka itu] mukhbiriina [lagi mengkabarkan mereka itu] /
naashihiina [lagi mengajari mereka itu] shaadiqiina [lagi benar
mereka itu] naahiina [lagi munkar mereka itu] amanaau
[kepercayaan] / l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [Taala]
ma‟shuumuuna [lagi kepelihara mereka itu] mina [daripada] `z-
zalaaili [dosa kecil] wa [dan] `l-kabaairi [dosa besar] / wa
[dan16
] muhibbatuhum [bermula kasih mereka itu] syarthu [jadi
syarat] `l-iimaani [iman] wa [dan] ba‟dhuhum [benci mereka
13
Tertulis جبء: داع ج bi `l-anbiyaa`i [dengan nabi] ثبل
14Tertulis ى: ثرينى سكه ج اذ ادو يرىکئذ كه Wa kulluhum [bermula sekalian Nabi
itu Adam mereka itu]
15Tertulis ثرينى سكه ج اذ ادو يرىکئذ ا : ى كب كه wa kulluhum [bermula sekalian
Nabi itu] [Adam] kaanuu [mereka itu]
16Tertulis ى : ثرينى كبس يرىكئذ يحجز wa muhibbatuhum [bermula kasih
mereka itu]
itu] mina [daripada] //
`l-awwaliina [awal] wa [dan] `l-aakhiriina [akhir] kufrun [jadi
kafir]. Mas`alatun [Inilah masalah] / idzaa [jika] qiila [ditanya
orang] laka [engkau] wa [dan] kam [berapa17
] kaanuu [ada
nabi] min [daripada] ashhaabi [yang mempunyai] `sy-
syaraa`i‟i [segala syariat]18
/ fa [maka] `l-jawaabu [jawab]
sittatun [enam] Aadama [pertama Nabi Adam] wa [dan]
Nuuhun [kedua Nabi Nuh] wa [dan] Ibraahiima [ketiga Nabi
Ibrahim] / wa [dan] Muusaa [keempat Nabi Musa] wa [dan]
‟Iisaa [kelima Nabi Isa] wa [dan] Muhammadun [keenam Nabi
Muhammad] shalawaatu `l-Laahi [shalawatu `l-Laahi] /
‟alayhim [atas mereka itu] ajma‟iin [sekalian]. wa [dan] kullu
[bermula] syarii‟atin [syariat19
segala nabi itu] mansuuhatun
[dihapuskan] / bi syarii‟atin [dengan syariat] Muhammadin
[Nabi Muhammad] shalla `l-Laahu ‟alayhi wa sallam [Shalla
`l-Lahu ‟alaihi wa sallam]. Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa
[jika] qiila [ditanya orang] laka [engkau] //
8
17
Tertulis ثجراف kam [beberapa] كى :
18Tertulis انطرائع: ضرعذ syaraa`i‟i [syariat]
19Tertulis عخ: سرعذ syarii‟atin [sariat] ضر
Wa [dan] kam [berapa20
] kaanuu [ada mereka itu] mina
[daripada] `l-anbiyaa`i [segala nabi] fa [maka] `l-jawaabu
[jawab] miatu [seratus] alfin [ribu] wa [dan] arba‟atun [empat]
/ wa [dan] ‟isyruuna [dua puluh] alfa [ribu] Nabiyyin [nabi].
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] wa [dan] kam [berapa21
] / kaanuu [ada mereka
itu] mina [daripada] `l-anbiyaa`i [sekalian nabi] `l-mursaliina
[yang disuruh mereka itu] fa [maka] `l-jawaabu [jawab]
tsalaatsu [tiga] / miatin [ratus] wa [dan] tsalaatsata ‟asyara
[tiga belas] mursalan [nabi yang disuruh]. Mas`alatun [Inilah
masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang] laka [engkau] /
asmaa`uhum [mengetahui nama mereka itu] wa [dan]
‟adaduhum [bilangan mereka itu] ‟indanaa [kepada kita]
syarthu [jadi syarat] `l-iimaani [iman] / am [atau] laa [tiada] fa
[maka] `l-jawaabu [jawab] asmaa`uhum [mengetahui nama
mereka itu] wa [dan] ‟adaduhum [bilangan mereka itu] laysa
[tiada] ‟indanaa [kepada kita]. //
9
Syarthu [jadi syarat] `l-iimaani [iman] li qawlihi ta‟aalaa
[karena firman Allah Taala] minhum [setengah mereka itu] man
qashashnaa [yang aku ceriterakan] ‟alayka [atasmu] wa [dan]
minhum [setengah mereka itu] lam naqsush [tiadaku
10
20
Tertulis كى :ثجراف kam [beberapa]
21Tertulis كى :ثجراف kam [beberapa]
ceriterakan] ‟alayka [atasmu ya Muhammad]
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] wa [dan] kayfa [betapa] tu`minu [percaya
engkau] bi `l-yaumi [kepada hari] `l-aakhiri [yang kemudian]
fa [maka] `l-jawaabu [jawab] anna [bahwasanya] `l-Laaha
[Allah] ta‟aalaa [ta‟ala] yumiitu [mematikan] `l-khalaaiqa
[segala makhluk] kullihim [sekalian] illaa [melainkan] man
kaana [barang yang ada] fii `l-jannati [dalam surga] wa [dan]
`n-naari [neraka] tsumma [kemudian] yuhyiihim
[menghidupkan Allah akan mereka itu] wa [dan] yahsyuruhum
[dihimpunkan mereka itu] wa [dan] yuhaasibuhum [dikira-kira
mereka itu] wa [dan] yahkumu [dihakimkan] baynahum [antara
mereka itu].
bi `l-‟adli [dengan adil] fa [maka] man [barang siapa] kaana
[ada] mina [daripada] `l-malaaikati [segala malaikat] wa [dan]
`l-jinni [jin] wa [dan] `l-insi [manusia] fa [maka] innahum
[bahwasanya mereka itu] yatalaatsuuna [binasa mereka itu] fa
[maka] man [barang siapa] kaana [ada] minhum [daripada
mereka itu] faasiqan [fasik] fa [maka] lam [tiada] yabqa [kekal
ia] ay [artinya] lam yabqa [tiada kekal] mu`minuuna [segala
orang mukmin] fii `n-naari [di dalam neraka] ba‟da
[kemudian] `l-hisaabi [daripada dikira-kira]. Fa [maka22
]
11
22
Tertulis ب : دا اداف fa ammaa [dan adapun] فبي
ammaa [adapun] `l-mu`minuuna [orang mukmin itu] fii `l-
jannati [di dalam surga] khaaliduuna [kekal mereka itu] wa
[dan] laa [tiada] yafnaa [binasa] `l-jannata [surga] wa [dan]
laa yafnaa [tiada binasa] ahlihimaa [isi keduanya] wa [dan]
man [barang siapa] syakka [syak] min [daripada] haadzihi. `l-
asyyaa`i [segala perkara ini] fa [maka] qad kafara [bahwasanya
jadi kafir].
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] wa kayfa [dan betapa]
tu`minu [percaya engkau] bi `l-qadri khayrihi [untung baik] wa
[dan] syarrihi [untung jahat] mina [daripada] `l-Laahi [Allah]
ta‟aalaa [Taala] fa [maka] `l-jawaabu [jawab] anna
[bahwasanya] `l-Laaha [Allah] ta‟aalaa [Taala itu] khalaqa
[menjadikan ia] `l-khalaa`iqa [sekalian makhluk] wa [dan]
arsadahum [ditunjuk Allah akan mereka itu] ilaa [kepada]`l-
hudaa [pertunjuk] wa [dan] amara [menyuruh ia] wa [dan]
nahaa [munkar ia] wa [dan] khalaqa [menjadikan ia] `l-lawha
makhfuudli [lawha `l-mahfudl23
] wa [dan] `l-qalami [qalam]
wa [dan] amarahumaa [menyuruh ia akan keduanya] an
yaktubaa [bahwasanya menulis keduanya] a‟maalu [akan amal]
`l-‟ibaadi [segala hambanya24
] fa `th-thaa‟atu [maka taat itu] bi
12
23
Tertulis دا يجدك نح يحفظ اي dan menjadikan lauhul mahfudl Ia
24Tertulis انعجبد: جبس `l-‟ibaadi [hambanya]
qadhaa`i [dengan hukum] `l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [Taala] wa
[dan] qadrihi [takdirnya] fi `l-azaali [pada azali]
Wa `l-‟ishyaani [dan durhaka itu] bi qadhaai [dengan hukum]
`l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [ta‟ala] wa [dan] qadrihi25
.
[takdirnya] fii `l-azaali [pada azali]26
lakinna [tetapi] laysa
[tiada] bi amrihi [dengan suruhnya] wa [dan] bi ridhaa`ihi
[dengan ridhanya] wa [dan] hum [mereka itu] yutsaabuuna
[diberi pahala mereka itu] ‟ala [atas] `l-khayri [berbagai
kebajikan] wa [dan] yu‟aaqabuuna [disiksa mereka itu] ‟alaa
[atas]`sy-syarri [berbuat kejahatan] wa [dan] kullu [segala
demikian] dzaalika [itu] bi wa‟dihi [dengan janji surga] wa
[dan] ‟iidihi [janji neraka].
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] `l-iimaanu [bermula iman itu] yatajazzaa
[bersuka-suka] amlaa [atau tiada] fa [maka] `l-jawaabu [jawab]
13
25
Tertulis انمدر wa `l-qadrihi
26Tertulis ثمضب انعصب فى الزال: دا درک اذ دع حكى الله رعبنى دا رمدرس انمدر رعهى ءالله
فى الزال: دا درک اذ دع حكى الله رعبنى دا رمدر انمدر رعهى ثمضبءالله انعصب س فدا ازال =
-wa [dan] `l-‟ishyaani [dan durhaka itu] bi qadhaai [dengan hukum] `l فدا ازال
Laahi [Allah] ta‟aalaa [ta‟ala] wa [dan] `l-qadrihi [takdirnya] fi `l-azaali [pada
azali]. wa `l-‟ishyaani [dan durhaka itu] bi qadhaai [dengan hukum] `l-Laahi
[Allah] ta‟aalaa [ta‟ala] wa [dan] `l-qadrihi. [takdirnya] fii `l-azaali [pada azali].
`l-iimaanu [bermula iman itu] laa27
yatajazzaa [tiada bersuka-
suka] liannahu [karena bahwasanya] fii `l-qalbi [dalam na‟aat]
wa [dan] `l-‟aqli [akal] wa [dan] `r-rawhi [roh] wa [dan] `l-
jasadi [jasad].
min [daripada] banii Aadama [anak Nabi Adam] liannahu
[karena bahwsanya iman itu] hidaayatu [pertunjuk] `l-Laahi
[Allah] ‟alayhi [atasnya] fa [maka] man [barang siapa] ankara
[munkar] syay`an [suatu] fiihaa [dalamnya] faqad kafara
[maka bahwasanya kafir].
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] maa [apa] `l-muraadu [yang dikehendaki] `l-
iimaani [iman itu] fa [maka] `l-jawaabu [jawab] `l-iimaanu
[bermula dikehendaki iman itu] ‟ibaaratun [ibarat] ‟ani
[daripada] `t-tauhiidi [tauhid].
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] `sh-shalaatu [bermula sembahyang] wa [dan]
`sh-shaumu [puasa] wa [dan] `z-zakaatu [zakat] wa [dan] `l-
hajju [haji] wa [dan] `l-hubbu [asih akan] `l-malaaikati
[malaikat] wa [dan] `l-kutubi [dan asih akan segala kitab] wa
[dan] `r-rusuli [asih akan segala pesuruh] wa [dan] `l-qadri
[dan untung] khayrihi [baik] wa [dan] syarrihi [untung jahat]
14
27
Tertulis ي: ربد ثرسک ٢زجس yatajazzaa [tiada bersuka-suka]
mina [daripada] `l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [Taala].
Wa [dan] ghayru [lain daripada] dzaalika [demikian itu] mina
[daripada] `l-awaamiri [segala suruh28
] wa [dan] `n-nawaahii
[munkar29
] wa [dan] itbaa‟i [mengikuti] sunnati [jalan sunah]
`n-Nabiyyi [nabi] shalla `l-Laahu ‟alayhi wa sallam [shalla `l-
Laahu ‟alaihi wa sallam] mina [daripada] `l-iimaani [iman] am
laa [atau tiada] fa [maka] `l-jawaabu [jawab] `l-iimaanu
[bermula iman] huwa [yaitu] `t-tawhiidu30
[tauhid] wa [dan]
maa [lain] siwaa dzaalika [daripada demikian itu] fa [maka]
huwa [yaitu] min [daripada] syaraa`ithihi [segala syarat
iman31
].
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] `l-iimanu [bermula iman itu] bi shifati [dengan
sifat] `th-thahaarati [suci] am laa [atau tiada] fa [maka] `l-
jawaabu [jawab] `l-iimaanu [bermula iman itu] bi shifati
[dengan sifat] `th-thahaarati [suci] wa [dan] `l-kufru32
[kafir
itu] bi shifati [dengan sifat] `l-hadatsi [hadats] yanqudhu
15
28
Tertulis اير: سر l-awaamiri [suruh]` ال
29Tertulis كر : ا n-nawaahi [nkar] ان
30Tertulis د ح انز huwa `t-tawhiidi
31Tertulis ضراط اب : syaraa`ithihi [syarat iman] ضرائط
32Tertulis انكفر wa `l-kufrun
[binasalah dengan dia]
Jamii‟u [sekalian] `l-‟amali33
[amal]
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang]
laka [engkau] `l-iimaanu [bermula iman itu] makhluuqun
[makhluk] aw [atau] ghayru [bukan] makhluuqin [makhluk] fa
[maka] `l-jawaabu [jawab] `l-iimaanu [bermula iman itu]
hidaayatu [pertunjuk] `l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [Taala] wa
[dan] `l-iqraaru [ikrar] bi `l-lisaani [dengan lidah] wa [dan] `t-
tashdiiqu [tasdik] bi `l-qalbi [dengan hati] wa [dan] `l-‟amalu
[mengerjakan] bi `l-arkaani [dengan segala anggota] min
[daripada] fi‟li [perbuatan] `l-‟abdi [hamba] muhditsun
[baharu] li qawlihi [karena firman Allah] ta‟aalaa [Taala] wa
[dan34
] `l-Laahu [bermula Allah] khalaqakum [yang
menjadikan kamu] wa [dan] maa [barang] ta‟maluuna
[perbuatan kamu] fa [maka] `l-hidaayatu [hidayat itu] shun‟a
[perbuatan] rabbi [Tuhan] wa [dan] huwa [yaitu] ghayru
[bukan] makhluuqin [makhluk] liannahu [karena bahwasanya]
qadiimun [kadim] wa [dan] maa [barang yang] hashala [hasil]
16
mina [daripada] `l-qadiimi [kadim] yakuunu [adanya] qadiiman
[kadim jua] wa [dan] l-iqraaru [ikrarkan] wa [dan] `t-tashdiiqu
17
33
Tertulis م ع انع jamii‟ul ‟amalu ج
34Tertulis ثرينى هللا : الله wa `l-Laahu [bermula Allah]
[tasdikkan dalam hati] min [daripada] fi‟li [perbuatan] `l-‟abdi
[hamba] wa [dan] huwa [yaitu] muhditsun [baharu] fa [maka]
kulla [tiap-tiap] maa [barang yang] hashala [hasil] mina
[daripada] `l-muhditsi [yang baharu itu] yakuunu [adalah ia]
muhdatsan [baharu jua] li qawlihi [firman Allah] ta‟aalaa
[Taala] wa [dan35
] `l-Laahu [bermula Allah] khalaqakum
[menjadikan kamu] wa [dan] maa [barang] ta‟maluuna
[perbuatan kamu] wa [dan] li qawlihii [karena firman nabi]
/shalla`l-Laahu ‟alayhi wa sallaama [shalla `l-Laahu ‟alaihi
wa sallama36
] khuliqa [dijadikan] `l-iimaanu37
[iman itu] wa
[dan] khaffahu [khuffah] bi `s-sahaawati [dengan kemurahan]
`l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [Taala]. Tamat tamat tamat [tamat
tamat tamat].
G. Daftar Kata Sukar
35
Tertulis ثرينى هللا : الله wa `l-Laahu [bermula Allah]
36Tertulis انسالو: عه انسالو عه ‟alaihi `s-salaami [alaihi salam]
37Tertulis ب khuliqa `l-iimaani خهك ال
1. Pertapah: (Petapa) orang yang bertapa; ajar; resi; zahid (KBBI:1402)
2. Rahmatu `l-Laahu ‟alayhi: rahmat Allah atasnya (KMAIT:518)
3. Untung (hal 2): n sesuatu (keadaan) yang telah digariskan oleh Tuhan
Yang Mahakuasa bagi perjalanan hidup seseorang; nasib (KBBI:1532)
4. Kurubiyyuna: bangsa kurubiyyun adalah para pemimpin malaikat dan
merekalah para malaikat yang berada disekitar Arsy (kitab Qatrul Ghaits)
5. Safarah: (para duta) yang menjadi perantara antara Allah dan semua para
nabi-Nya juga para shaalihin, yang menyampaikan risalah (pesan) Allah
kepada mereka dengan melalui wahyu, ilham dan mimpi yang baik, atau
yang menjadi perantara antara Allah dan makhluk-Nya. Mereka
menyanpaikan kabar-kabar penciptaan-Nya kepada mereka. Adapun kata
safarah disini adalah jamak dari kata safiir ر ,dengan makna utusan ( (سف
bukan bentuk jamak dari kata saafir سبفر) ) dengan makna sekretaris.
(Kitab Qatrul Ghaits).
6. Unuutsitin : Hal perempuan, betina (KMAIT:46)
7. Syakk: n ras kurang percaya (sangsi, curiga, tidak yakin, ragu-ragu)
(KBBI:1367)
8. Al-mushthofa : yang dipilih (KMAIT:839)
9. Shalla `l-Laahu ‟alayhi wa sallam (6): Moga-moga Allah memberikan
berkah dan rahmat kepadanya (Muhammad) (KMAIT:847)
10. Amanaa`u: jamak dari amaanatun; jujur, dapat dipercaya (KMAIT:44)
11. Shalawaatu `l-Laahi: Selawat-selawat Allah
12. Arsyada: mengajar (KMAIT:535)
13. Al-Qalamu: Pena (diartikan dengan pengetahuan) (KMAIT:1240)
14. Hadast: kotoran; najis; tahi (KMAIT:261)
15. Shun‟a: dari kata shana‟a-yashna‟u-shun‟a artinya membuat
(KMAIT:852)
16. Pertunjuk: (petunjuk) n 1sesuatu (tanda, isyarat) untuk menunjukkan,
memberi tahu, dan sebagainya. 2ketentuan yang memberi arah atau
bimbingan bagaimana sesuatu harus dilakukan; nasihat. 3ajaran
(KBBI:1506).
17. Arsy: Tahta, singgasana raja (KMAIT:983).
18. lawhha`l-mahfudl: (Loh Mahfuz) tempat mencatat semua amal baik atau
buruk manusia (KBBI:838)
19. na‟aat: sifat (KMAIT:1534)
20. anak-putu: (anak-cucu) anak dan cucu (KBBI:56)
21. berbahagi-berbahagi: (berbagi-bagi) membagi diri; bercabang (KBBI:113)
22. baharu: (baru) belum pernah ada (dilihat, didengar, dibuat) sebelumnya
(KBBI:142)
TRANSLITERASI BAHASA ARAB
Bismi`l-Laahi`r-Rahmaani`r-Raahiim. Alhamduli`l-Laahi rabbi`l-
‟aalamiina. Wa`sh-shalaatu wa`s-salaamu ‟alaa rasuulihii
Muhammadin wa aalihi ajma`iin.
Qaalaa `sy-syaikhu `l-imamu `l-ajalu `z-zaahidu Abu Laits Muhammad
ibnu Abi Nashri bni Ibraahiima `s-Samarqandiyyu rahmatu `l-Laahu
‟alaihi.
Mas`alatun idzaa qiila laka maa `l-imaanu fa `l-jawaabu aamantu bi
`l-Laahi wa malaaikatihii
1
wa kutubihii wa rusulihii wa`l-yaumi`l-aakhiri wa`l-qodri khayrihi wa
syarrihi mina`l-Laahi ta‟aalaa.
Mas`alatun idzaa qiila laka wa kayfa tu`minu bi`l-Laahi fa`l-jawaabu
inna`l-Laaha ta‟aalaa ahadun waahidun hayyun ‟aalimun qaadirun
samii‟un bashiirun muriidun mutakallimun baaqin khalaaqun rabbun bi
laa syariikin wa laa dhiddin wa laa niddin laysa kamitslihi syay`un wa
huwa `s-samii‟u `l-bashiir.
2
Mas`alatun idzaa qiila laka wa kayfa tu`minu bi`l-malaaikati fa`l-
jawaabu anna`l-malaaikata ashnaafun wa minhum hamlatu`l-`arsyi wa
minhum haafuunaa wa minhum ruhaaniyyuuna wa minhum
kuruubiyyuuna wa minhum safratu ay Jabraaiilu wa Miikaaiilu wa
Israafiilu wa ‟Izraaiilu ‟alayhimu `s-salami wa minhum hafdlatun wa
minhum kutubatun wa ghayru dzaalika. kulluhum makhluuquuna
3
‟aabiida `l-Laahi laa yuushiifunaa.
bi dzukuuratin wa laa bi unutsitin wa laysa lahum syahwaatun wa laa
nafsun wa laa abun38
wa laa ummun39
waa laa ya`shuuna `l-Laaha maa
amarahum wa yaf‟aluuna maa yu‟maruuna wa muhibbatuhum syarthu
`l-iimaani wa ba‟dhuhum kufrun. Mas`alatun idzaa qiila laka wa kayfa
tu`minu bi `l-kutubi fa `l-jawaabu anna `l-Laaha ta‟aalaa anzala
kitaaban ‟alaa anbiyaa`ihi min banii Aadama wa hiya
4
munazzalatun ghayru makhluuqatin qadiimatun bi ghayri tanaaqushin
wa man40
syakka fiihaa min aayatin aw kalimatin fa qad kafara.
Mas`alatun idzaa qiila laka wa kam kitaaban anzala `l-Laahu ta‟aalaaa
‟alaa anbiyaa`ihi fa `l-jawaabu miatu wa arba‟u kutubin wa anzala `l-
Laahu ta‟aalaa minhaa ‟asyara kutubin ‟alaa Aadama ‟alayhi `s-
salaami wa anzala `l-Laahu ta‟aalaa khamsiina kitaaban ‟ala Tsiitsa
‟alayhi `s-salaami
5
wa anzala `l-Laahu ta‟aalaaa tsalaatsiina kitaaban ‟alaa Idriisa ‟alayhi
`s-salaami wa anzala `l-Laahu ta‟aalaa ‟asyara kutubin ‟alaa
Ibraahiima ‟alayhi `s-salaami wa anzala `l-Laahu ta‟aalaa `t-Tauraata
‟alaa Muusaa ‟alayhi `s-salaami wa anzala `l-Laahu ta‟aalaa Injiila
‟alaa ‟Iisaa ‟alayhi `s-salaami wa anzala `l-Laahu ta‟aalaa`z-Zabuura
6
38
Tertulis ثفب : abbun [bapak] اة
39 Tertulis او umun
40 Tertulis ي wa man wa man ي
‟alaa Daawuuda ‟alayhi `s-salaami wa anzala `l-Laahu ta‟aalaa `l-
Qur`aana ‟alaa Muhammadin Musthafaa shalla`l-Laahu ‟alayhi wa
sallaam.
Mas`alatun idzaa qiila laka wa kayfa tu`minu bi `l-anbiyaa`i fa `l-
jawaabu `l-awwalu Aadama wa `l-aakhiru `l-anbiyaa`i Muhammadin
shalawaatu `l-Laahi ‟alayhim ajma‟iin wa kulluhum kaanuu amirrina
mukhbiriina naashihiina shaadiqiina naahiina amanaau l-Laahi
ta‟aalaa ma‟shuumuuna mina `z-zalaaili wa `l-kabaairi wa
muhibbatuhum syarthu `l-iimaani wa ba‟dhuhum mina
7
`l-awwaliina wa `l-aakhiriina kufrun. Mas`alatun idzaa qiila laka wa
kam kaanuu min ashhaabi `sy-syaraa`i‟i fa `l-jawaabu sittatun Aadama
wa Nuuhun wa Ibraahiima wa Muusaa wa ‟Iisaa wa Muhammadun
shalawaatu `l-Laahi ‟alayhim ajma‟iin. Wa kullu syarii‟atin
mansuuhatun bi syarii‟atin Muhammadin shalla `l-Laahu ‟alayhi wa
sallam.
Mas`alatun idzaa qiila laka.
8
Wa kam kaanuu mina `l-anbiyaa`i fa `l-jawaabu miatu alfin wa
arba‟atun wa ‟isyruuna alfa nabiyyin.
Mas`alatun idzaa qiila laka wa kam kaanuu mina `l-anbiyaa`i `l-
mursaliina fa `l-jawaabu tsalaatsu miatin wa tsalaatsata ‟asyara
mursalan.
Mas`alatun idzaa qiila laka asmaa`uhum wa ‟adaduhum ‟indanaa
9
syarthu `l-iimaani am laa fa `l-jawaabu asmaa`uhum wa ‟adaduhum
laysa ‟indanaa.
Syarthu `l-iimaani li qawlihi ta‟aalaa minhum maa qashashnaa ‟alayka
wa minhum lam naqsush ‟alayka. Mas`alatun idzaa qiila laka wa kayfa
tu`minu bi `l-yaumi `l-aakhiri fa `l-jawaabu anna `l-Laaha ta‟aalaa
yumiitu `l-khalaaiqa kullihim illaa man kaana fii `l-jannati wa `n-naari
tsumma yuhyiihim wa yahsyuruhum wa yuhaasibuhum wa yahkumu
baynahum.
10
Bi `l-‟adli fa man kaana mina `l-malaaikati wa `l-jinni wa `l-insi fa
innahum yatalaatsuuna fa man kaana minhum faasiqan fa lam yabqa ay
lam yabqa mu`minuuna fii `n-naari ba‟da `l-hisaabi. Fa ammaa `l-
mu`minuuna fii `l-jannati khaaliduuna wa laa yafnaa `l-jannata wa laa
yafnaa ahlihimaa wa man syakka min haadzihi `l-asyyaa`i faqad kafara.
Mas`alatun idzaa qiila laka wa kayfa.
11
tu`minu bi `l-qadri khayrihi wa syarrihi mina `l-Laahi ta‟aalaa fa `l-
jawaabu anna `l-Laaha ta‟aalaa khalaqa `l-khalaaiqa wa arsadahum
ila `l-hudaa wa amara wa nahaa wa khalaqa `l-lawha `l-makhfuudli wa
`l-qalami wa amarahumaa an yaktubaa a‟maalu `l-‟ibaadi fa `th-
thaa‟atu bi qadhaa`i `l-Laahi ta‟aalaa wa qadrihi41
fi `l-azaali wa `l-
‟ishyaani bi qadhaa`i `l-Laahi ta‟aalaa wa qadrihi fi `l-azaali42
.
12
41
Tertulis انمدر wa `l-qadrihi
lakinna laysa bi amrihi wa bi ridhaa`ihi wa hum yutsaabuuna ‟ala `l-
khayri wa yu‟aaqabuuna ‟alaa `sy-syarri wa kullu dzaalika bi wa‟dihi
wa ‟iidihi.
Mas`alatun idzaa qiila laka `l-iimaanu yatajazzaa amlaa fa `l-jawaabu
`l-iimaanu laa43
yatajazzaa liannahu fii `l-qalbi wa `l-‟aqli wa `r-rawhi
wa `l-jasadi.
13
Min banii Aadama liannahu hidaayatu `l-Laahi ‟alayhi fa man ankara
syay`an fiihaa faqad kafara. Mas`alatun idzaa qiila laka maa `l-
muraadu `l-iimaani fa `l-jawaabu `l-iimaanu ‟ibaaratun ‟ani `t-tauhiidi.
Mas`alatun idzaa qiila laka `sh-shalaatu wa `sh-shaumu wa `z-zakaatu
wa `l-hajju wa `l-hubbu `l-malaaikati wa `l-kutubi wa `r-rusuli wa `l-
qadri khayrihi wa syarrihi mina `l-Laahi ta‟aalaaa.
14
Wa ghoyru dzaalika mina `l-awaamiri wa `n-nawaahii wa itbaa‟i
sunnati `n-nabiyyi shalla `l-Laahu ‟alayhi wa sallam mina `l-iimaani
am laa fa `l-jawaabu `l-iimaanu huwa `t-tawhiidu44
wa maa siwaa
dzaalika fa huwa min syaraa`ithihi.
15
42
Tertulis ف انمدر رعهى ثمضبءالله انعصب فى الزال انمدر رعهى ثمضبءالله انعصب ى الزال dibaca wa `l-
‟ishyaani bi qadhaa`i `l-Laahi ta‟aalaa wa qadrihi fi `l-azaali wa `l-‟ishyaani bi qadhaa`i `l-
Laahi ta‟aalaa wa qadrihi fi `l-azaali
43 Tertulis ي: ربد ثرسک ٢زجس yatajazzaa [tiada bersuka-suka]
44 Tertulis د ح انز huwa `t-tawhiidi
Mas`alatun idzaa qiila laka `l-iimanu bishifati `th-thahaarati am laa fa
`l-jawaabu `l-iimaanu bi shifati `th-thahaarati wa `l-kufru45
bi shifati `l-
hadatsi yanqudhu.
Jamii‟u `l-‟amali46
Mas`alatun idzaa qiila laka `l-iimaanu makhluuqun aw ghayru
makhluuqin fa `l-jawaabu `l-iimaanu hidaayatu `l-Laahi ta‟aalaa wa `l-
iqraaru bi `l-lisaani wa `t-tashdiiqu bi `l-qalbi wa `l-‟amalu bi `l-
arkaani min fi‟li `l-‟abdi muhditsun li qawlihi ta‟aalaa wa `l-Laahu
khalaqakum wa maa ta‟maluuna fa `l-hidaayatu shun‟a rabbi wa huwa
ghayru makhluuqin liannahu qadiimun wa maa hashala.
16
Mina `l-qadiimi yakuunu qadiiman wa l-iqraaru wa `t-tashdiiqu min
fi‟li `l-‟abdi wa huwa muhditsun fa kulla maa hashala mina `l-muhditsi
yakuunu muhdatsan li qawlihi ta‟aalaa wa `l-Laahu khalaqakum wa
maa ta‟maluuna wa liqawlihii shalla`l-Laahu ‟alayhi wa sallaama47
khuliqa `l-iimaanu48
wa khaffahu bi `s-sahaawati `l-Laahi ta‟aalaa.
Tamat tamat tamat.
17
45
Tertulis انكفر wa `l-kufrun
46 Tertulis م ع انع jamii‟ul ‟amalu ج
47 Tertulis انسالو: عه انسالو alaihi `s-salaami [alaihi salam]‟ عه
48 Tertulis ب khuliqa `l-iimaani خهك ال
TRANSLITERASI BAHASA MELAYU
Aku memulai membaca kitab ini dengan nama Allah jua yang amat
murah dalam negeri dunia dan yang mengasihani segala hambanya yang
mukmin dalam negeri akhirat. Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian
1
alam. Dan rahmat Allah dan salam Allah atas pesuruhnya dan
keluarganya sekalian.
Kata syekh imam yang besar yang pertapah Abu Laits namanya
Muhammad anak Abi Nasr anak Ibrahim yang bangsa Samarqandi yang
diberi rahmat Allah atasnya
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu apa iman. Maka jawab
percaya aku akan Allah dan percaya aku akan segala malaikat-Nya
dan percaya aku akan segala kitab-Nya dan percaya aku akan segala
pesuruh-Nya dan percaya aku akan hari yang kemudian dan percaya aku
akan untung baik dan untung jahat daripada Allah Taala.
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu dan betapa percaya engkau
akan Allah. Maka jawab bahwasanya Allah Taala Esa zat-Nya dan Esa
Sifat-Nya, Yang Hidup, Yang Tahu, Yang Kuasa, Yang Mendengar,
Yang Melihat, Yang Berkehendak, Yang Berkata, Yang Kekal, Yang
Menjadikan, Tuhan dengan tiada sekutu dan tiada timbangan dan tiada
lawannya tiada seumpamanya suatu dan yaitu Yang Amat Mendengar
Yang Amat melihat.
2
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu dan betapa percaya engkau
dengan malaikat. Maka jawab bahwasanya malaikat itu berbahagi-
berbahagi dan setengah mereka itu menanggung ‟arsy dan setengah
mereka itu mengelilingi49
‟arsy50
dan setengah mereka itu bangsa rohani
3
49
Tertulis يعنهع mengulilingi
dan setengah mereka itu bangsa kurubiyyun dan setengah mereka itu
bangsa safarah artinya Jibrail dan Mikail dan Israfil dan Izrail alaihi
salam dan setengah mereka itu memelihara dan setengah mereka itu
menulis dan lain demikian itu sekalian mereka itu. Dijadikan mereka itu
segala hamba51
Allah tiada disifatkan mereka itu.
akan laki-laki dan tiada disifatkan akan perempuan dan tiada mereka itu
syahwat dan tiada nafsu dan tiada bapak dan tiada ibu dan tiada mereka52
berbuat durhaka akan Allah barang yang disuruh Allah akan mereka itu
dan berbuat mereka itu barang yang disuruh Allah mereka itu. Dan
bermula kasih mereka itu jadi syarat iman dan benci mereka itu jadi kafir.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa53
percaya engkau
akan segala kitab. Maka jawab bahwasanya Allah Taala menurunkan
kitab atas segala nabi-Nya54
daripada anak putu Adam dan yaitu
4
diturunkan bukan makhluk lagi kadim dengan tiada berlawanan dan
barang siapa syak dalamnya daripada seayat atau kalimat maka
bahwasanya jadi kafir.
5
50
Tertulis عرش ‟ars
51Tertulis د: ت abiida [hamba]‟ عج
52Tertulis ل : دا ربد اي ثرثح درک عص wa [dan] la ya‟shuuna [tiada ia berbuat durhaka]
53Tertulis ثزبف betapah
54Tertulis سكم ج : جبئ anbiyaaihi [segala nabi] ا
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa kitab yang
diturunkan Allah Taala atas segala nabi-Nya. Maka jawab seratus dan
empat kitab dan menurunkan Allah Taala setengah daripadanya sepuluh
kitab atas Nabi Adam alaihi salam dan menurunkan Allah Taala lima
puluh kitab atas Nabi Tsis alaihi salam.
dan menurunkan Allah ta‟ala tiga puluh kitab atas Nabi Idris alaihi salam
dan menurunkan Allah Taala sepuluh kitab atas Nabi Ibrahim alaihi
salam dan menurunkan Allah Taala kitab Taurat atas Nabi Musa alaihi
salam dan menurunkan Allah Taala kitab Injil atas Nabi Isa alaihi salam
dan menurunkan Allah Taala kitab Zabur atas Nabi Daud alaihi salam
dan menurunkan Allah Taala kitab Alquran atas Nabi Muhammad yang
dipilih shalla `l-Laahu ‟alaihi wa sallam55
.
6
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa percaya engkau
dengan segala nabi56
. Maka jawab pertama-tama Nabi Adam dan
kesudahan nabi itu Nabi Muhammad Shalawaatu `l-Laahi atas mereka
itu sekalian. Dan57
bermula sekalian nabi itu58
mereka itu lagi menyuruh
mereka itu, lagi mengkabarkan mereka itu, lagi mengajari mereka itu,
lagi benar mereka itu, lagi munkar mereka itu, kepercayaan Allah Taala
7
55
Tertulis سهى عه [...] shalla `l-Laahu ‟alaihi wa sallam صه الله
56Tertulis جبء: داع ج bi `l-anbiyaa`i [dengan nabi] ثبل
57Tertulis Wa kulluhum [bermula sekalian nabi itu]
58Tertulis wa kulluhum [bermula sekalian nabi itu] [Adam] kaanuu [mereka itu]
lagi kepelihara mereka itu daripada dosa kecil dan dosa besar. Dan59
bermula kasih mereka itu jadi syarat iman dan benci mereka itu daripada
awal dan akhir jadi kafir.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa60
ada nabi daripada
yang mempunyai segala syariat61
. Maka jawab enam, pertama Nabi
Adam dan kedua Nabi Nuh dan ketiga Nabi Ibrahim dan keempat Nabi
Musa dan kelima Nabi Isa dan keenam Nabi Muhammad shalawatu `l-
Laahi atas mereka itu sekalian. Dan bermula syariat62
segala nabi itu
dihapuskan dengan syariat nabi Muhammad Shalla `l-Lahu ‟alaihi wa
sallam.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau.
8
dan berapa63
ada mereka itu daripada segala nabi. Maka jawab seratus
ribu dan empat dan dua puluh ribu nabi.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa64
ada mereka itu
daripada sekalian nabi yang disuruh mereka itu. Maka jawab tiga ratus
9
59
Tertulis wa muhibbatuhum [bermula kasih mereka itu]
60Tertulis ثجراف kam [beberapa] كى :
61Tertulis انطرائع: ضرعذ syaraa`i‟i [syariat]
62Tertulis عخ: سرعذ syarii‟atin [sariat] ضر
63Tertulis ثجراف kam [beberapa] كى :
dan tiga belas nabi yang disuruh.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau mengetahui nama mereka itu
dan bilangan mereka itu kepada kita jadi syarat iman atau tiada. Maka
jawab mengetahui nama mereka itu dan bilangan mereka itu tiada kepada
kita.
Jadi syarat iman karena firman Allah Taala setengah mereka itu yang aku
ceritakan atasmu dan setengah mereka itu tiadaku ceritakan atasmu ya
Muhammad.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa percaya engkau
kepada hari yang kemudian. Maka jawab bahwasanya Allah Taala
mematikan segala makhluk sekalian melainkan barang yang ada dalam
surga dan neraka, kemudian menghidupkan Allah akan mereka itu dan
dihimpunkan mereka itu dan dikira-kira mereka itu dan dihakimkan
antara mereka itu
10
dengan adil. Maka barang siapa ada daripada segala malaikat dan jin dan
manusia, maka bahwasanya mereka itu binasa mereka itu, maka barang
siapa ada daripada mereka itu fasik maka tiada kekal ia. Artinya tiada
kekal segala orang mukmin di dalam neraka kemudian daripada dikira-
kira dan65
adapun orang mukmin itu di dalam surga kekal mereka itu dan
tiada binasa surga dan tiada binasa isi keduanya. Dan barang siapa syak
11
64
Tertulis ثجراف kam [beberapa] كى :
65Tertulis ب : دا اداففبي fa ammaa [dan adapun]
daripada segala perkara ini maka bahwasanya jadi kafir.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa
percaya engkau untung baik dan untung jahat daripada Allah Taala.
Maka jawab bahwasanya Allah Taala itu menjadikan makhluk dan
ditunjuk Allah akan mereka itu kepada pertunjuk dan menyuruh ia dan
munkar ia dan menjadikan Ia lawhha`l-mahfudl66
dan qalam dan
menyuruh Ia akan keduanya bahwasanya menulis keduanya akan amal
segala hambanya67
. Maka taat itu dengan hukum Allah Taala dan
takdirnya pada azali dan durhaka itu dengan hukum Allah Taala dan
takdirnya pada azali68
.
12
tetapi tiada dengan suruhnya dan dengan ridhanya. Dan mereka itu diberi
pahala mereka itu atas berbagai kebajikan dan disiksa mereka itu atas
berbuat kejahatan dan segala demikian itu dengan janji surga dan janji
neraka.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau bermula iman itu bersuka-suka
atau tiada. Maka jawab bermula iman itu tiada bersuka-suka karena
13
66
Tertulis دا يجدك نح يحفظ اي dan menjadikan lauhul mahfudz Ia
67Tertulis انعجبد: جبس `l-‟ibaadi [hambanya]
68Tertulis wa [dan] `l-‟ishyaani [dan durhaka itu] bi qadhaai [dengan hukum] `l-Laahi [Allah]
ta‟aalaa [ta‟ala] wa [dan] `l-qadrihi [takdirnya] fi `l-azaali [pada azali]. wa `l-‟ishyaani [dan
durhaka itu] bi qadhaai [dengan hukum] `l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [taala] wa [dan] `l-qadrihi.
[takdirnya] fii `l-azaali [pada azali].
bahwasanya dalam na‟aat dan akal dan roh dan jasad
daripada anak Nabi Adam karena bahwasanya iman itu pertunjuk Allah
atasnya, maka barang siapa munkar suatu dalamnya maka bahwasanya
kafir.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau apa yang dikehendaki iman itu.
Maka jawab bermula dikehendaki iman itu ibarat daripada tauhid.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau bermula sembahyang dan puasa
dan zakat dan haji dan asih akan malaikat dan asih akan segala kitab dan
asih akan segala pesuruh dan untung baik dan untung jahat daripada
Allah Taala
14
dan lain daripada demikian itu daripada segala suruh69
dan munkar70
dan
mengikuti jalan sunah nabi shalla `l-Laahu ‟alaihi wa sallam daripada
iman atau tiada. Maka jawab bermula iman yaitu tauhid, dan lain
daripada demikian itu maka yaitu daripada segala syarat iman71
.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau bermula iman itu dengan sifat
suci atau tiada. Maka jawab bermula iman itu dengan sifat suci dan kafir
itu dengan sifat hadats binasalah dengan dia
15
69
Tertulis اير: سر l-awaamiri [suruh]` ال
70Tertulis كر : ا n-nawaahi [nkar] ان
71Tertulis ضراط اب : syaraa`ithihi [syarat iman] ضرائط
sekalian amal.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau bermula iman itu makhluk atau
bukan makhluk. Maka jawab bermula iman itu pertunjuk Allah Taala dan
ikrar dengan lidah dan tasdik dengan hati dan mengerjakan dengan segala
anggota daripada perbuatan hamba baharu karena firman Allah Taala
dan72
bermula Allah yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Maka hidayat itu perbuatan Tuhan dan yaitu bukan makhluk karena
bahwasanya kadim dan barang yang hasil.
16
daripada kadim adanya kadim jua dan ikrarkan dan tasdikkan dalam hati
daripada perbuatan hamba dan yaitu baharu maka tiap-tiap barang yang
hasil daripada yang baharu itu adalah ia baharu jua karena firman Allah
Taala dan73
bermula Allah menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Dan karena firman nabi shalla`l-Laahu ‟alayhi wa sallaama dijadikan
iman itu dan khuffah dengan kemurahan Allah Taala.
17
72
Tertulis ثرينى هللا : الله wa `l-Laahu [bermula Allah]
73Tertulis ثرينى هللا : الله wa `l-Laahu [bermula Allah]
BAB V
ANALISIS STRUKTUR DAN ISI
A. Analisis Struktur Sastra Kitab
1. Struktur Penyajian
“Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” atau “MAI” digolongkan ke dalam jenis
sastra kitab. Sastra kitab memiliki struktur khas dalam penyajiannya. Unsur
pembentuk dalam sastra kitab saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Sastra kitab pada dasarnya memiliki struktur yang tetap. Struktur penyajian sastra
kitab terdiri dari tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Struktur
penyajian teks “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” (“MAI”) ialah sebagai berikut.
I. Pendahuluan terdiri dari sebagai berikut.
1.1 Doa dan seruan.
1.1.1 Basmalah disertai dengan terjemahan dalam bahasa Melayu. Bismi.
[aku memulai membaca kitab ini dengan nama] `l-Laahi. [Allah jua]
`r-Rahmaani. [yang amat murah dalam negeri dunia] `r-Raahiim. [dan
yang mengasihani segala hambanya yang mukmin dalam negeri
akhirat]. (“MAI”:1)
1.1.2 Hamdalah disertai dengan terjemahan dalam bahasa Melayu.
Alhamdu. [segala puji] li. [bagi] `l-Laahi. [Allah] rabbi. [Tuhan] `l-
`aalamiin. [sekalian alam] (“MAI”:1).
1.1.3 Selawat kepada Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya
disertai dengan Tafsir dalam bahasa Melayu. Wa. [dan] `sh-shalaatu.
[rahmat Allah] wa `s-salaamu. [dan salam Allah] `alaa. [atas]
rasuulihii. [pesuruhnya] muhammadin. [Nabi Muhammad] wa `alaa
aalihi. [dan keluarganya] ajma`iin. [sekalian]. (“MAI”:1).
1.2 Kepengarangan
1.2.1 Nama pengarang teks “MAI” adalah Abu Laits Muhammad ibnu Abi
Nasr bin Ibrahim As-Samarqandi. [Abu Laits namanya Muhammad
anak Abi Nasr anak Ibrahim yang bangsa Samarqandi] rahmatu `l-
Laahu. [yang diberi rahmat Allah] `alaihi. [atasnya] (“MAI”: 1).
1.2.2 Gelar pengarang dalam teks “MAI” adalah `sy-syaikhu. [syaikh] `l-
imamu. [imam] `l-ajilu. [yang besar]`z-zaahidu. [yang pertapah]
(“MAI”:1).
2. Isi terdiri dari tujuh belas pertanyaan dan terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu sebagai berikut.
2.1 Permasalahan mengenai rukun iman
2.1.1 Pasal mengenai apa yang disebut dengan iman.
2.2 Permasalahan mengenai macam atau bagian-bagian dari iman
2.2.1 Pasal mengenai cara percaya pada Allah. Bahwasanya Allah Maha
Esa, Satu, Mengetahui, Kuasa, Mendengar, Melihat, Berkehendak,
Berkata, Kekal, Pencipta, tiada sekutu dan tiada yang menya”MAI”.
2.2.2 Pasal mengenai cara percaya pada malaikat-malaikat-Nya.
2.2.3 Pasal mengenai cara percaya pada kitab-Nya.
2.2.4 Pasal mengenai jumlah kitab-Nya yang harus diyakini umat Islam.
2.2.5 Pasal mengenai cara percaya pada nabi dan rasul-Nya.
2.2.6 Pasal mengenai nabi pembawa syariat.
2.2.7 Pasal mengenai jumlah nabi yang harus diyakini umat Islam.
2.2.8 Pasal mengenai rasul yang harus diyakini umat Islam.
2.2.9 Pasal mengenai pengetahuan atas nabi dan rasul beserta jumlahnya
adalah syarat iman atau tidak.
2.2.10 Pasal mengenai cara percaya kepada hari kiamat.
2.2.11 Pasal mengenai cara percaya atas kadar baik dan buruk dari Allah
2.3 Permasalahan yang lebih mendalam dari iman
2.3.1 Permasalahan mengenai datangnya iman
2.3.2 Permasalahan mengenai maksud adanya keimanan
2.3.3 Permasalahan mengenai iman dan syariat lain, seperti salat, zakat, haji,
dan puasa adalah bagian dari ittiba Nabi Muhammad
2.3.4 Permaslahan mengenai iman bersifat suci atau tidak
2.3.5 Permasalahan mengenai iman adalah makhluk atau tidak
Jika ditulis secara urut dalam naskah “MAI”, pertanyaan-pertanyaan tersebut ialah
sebagai berikut.
1. Apakah iman itu? (Percaya kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir,
takdir baik dan buruk dari Allah).
2. Bagaimana percaya pada Allah? Sesungguhnya Allah Maha Esa, Satu,
Mengetahui, Kuasa, Mendengar, Melihat, Berkehendak, Berkata, Kekal,
Pencipta, tiada sekutu dan tiada yang menyamai.
3. Bagaimana percaya pada malaikat-Nya?
4. Bagaimana percaya pada kitab-Nya?
5. Berapa kitab yang diturunkan Allah?
6. Bagaimana percaya pada nabi-nabi Allah?
7. Berapa nabi pembawa syariat?
8. Berapa jumlah nabi-nabi Allah?
9. Berapa jumlah nabi-nabi Mursalin (*Rasul)?
10. Apakah jumlah dan nama mereka menjadi syarat iman?
11. Bagaimana percaya akan hari akhir?
12. Bagaimana percaya qadar baik dan buruk?
13. Iman itu suka-suka atau tidak (datangnya)?
14. Apa maksud dari iman?
15. Apakah salat, puasa, zakat, haji, percaya pada malaikat, kitab, rasul, qadar
baik dan buruk merupakan suruhan, larangan, atau ittiba sunnah nabi?
16. Apakah iman berarti suci?
17. Apakah iman adalah makhluk?
3. Penutup
3.1 Pada naskah “MAI” penutup ditandai dengan adanya kata tamat di akhir
karangan. Tamat tamat tamat. [Tamat tamat tamat]. (“MAI”:17)
Skema struktur penyajian teks “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” (“MAI”)
adalah sebagai berikut.
Skema 2
Struktur Penyajian Teks “MAI”
I II
1.1 (1.1.1‒1.1.2‒1.1.3) — 1.2 (1.2.1‒1.2.2) 2.1 (2.1.1) — 2.2
(2.2.1‒2.2.2‒2.2.3‒2.2.4
II
‒2.2.5‒2.2.6‒2.2.7‒2.2.8‒2.2.9‒2.2.10‒2.2.11) — 2.3
(2.3.1‒2.3.2‒2.3.3‒2.3.4‒2.3.5)
III
3.1
2. Gaya Penyajian Sastra Kitab
Teks “MAI” merupakan teks yang ditulis dalam bahasa Arab dan disertai
dengan tafsir dalam bahasa Melayu berbentuk jenggot atau gantung. Tulisan Arab
berbahasa Arab ditulis di atas kemudian bahasa Melayu dengan tulisan Arab
Melayu sebagai tafsir ditulis di bawah tulisan Arab. Bentuk tulisan atau kalimat
bahasa Arab ditulis lurus dari kanan ke kiri, tetapi tafsir dalam bahasa Melayu
berbentuk miring tepat di bawah tulisan berbahasa Arab dari atas ke bawah.
Penerjemahan bentuk jenggot atau gantung berbeda dengan bentuk sastra
kitab pada umumnya yang berbentuk interlinier. Jika teks dengan bentuk
interlinier penulisan transliterasi ialah bahasa Arab ditulis terlebih dahulu dan
disusul dengan tafsir berbahasa Melayu yang mencakup satu kalimat, tetapi jika
teks berbentuk jenggot atau gantung transliterasi berdasarkan tiap kata sehingga
tiap kata dalam bahasa Arab ditulis terlebih dahulu (tidak sampai satu kalimat atau
frasa) kemudian ditulis tafsirnya yang berbahasa Melayu. Gaya penyajian tersebut
dapat dilihat pada kutipan berikut.
Alhamdu [segala puji] li [bagi] `l-Laahi [Allah] rabbi [Tuhan] `l-
‟aalamiina [sekalian alam]. Wa [dan] `sh-shalaatu [rahmat Allah]
wa `s-salaamu [dan salam Allah] ‟alaa [atas] / rasuulihii
[pesuruhnya] Muhammadin [Nabi Muhammad] wa [dan] aalihii
[keluarganya] ajma‟iin [sekalian]. Qaalaa [Kata] `sy-syaikhu [syekh]
`l-imaamu [imam] `l-ajalu [yang besar] / `z-zaahidu [yang pertapah]
Abu Laits [Abu Laits namanya] Muhammad [Muhammad] ibnu Abi
Nashri [anak Abi Nasr] bni Ibraahiima [anak Ibrahim] / `s-
Samarqandiyyu [yang bangsa Samarqandi] rahmatu `l-Laahu [yang
diberi rahmat Allah] ‟alaihi [atasnya]. (“MAI”:1).
Teks “MAI” dimulai dengan doa dengan bahasa Arab disertai tafsirnya
dalam bahasa Melayu secara jenggot atau gantung. Kemudian dipaparkan isi
sesuai dengan masalah yang dibahas, dalam hal ini ialah masalah iman. Penyajian
isi dikuatkan dengan dalil-dalil dari Alquran dan hadis serta pendapat dari ulama-
ulama masyhur. Akhir karangan ditutup dengan doa kepada Tuhan dan selawat
atas nabi beserta keluarganya dan disertai kata Tamat di akhir karangan.
Bentuk isi teks “MAI” ialah tanya-jawab, ditunjukkan dengan adanya kata
tanya tiap memulai sebuah pembahasan. Awal kalimat tanya dalam teks “MAI”
diawali dengan kata Mas`alatun idzaa yang berarti “inilah masalah jika” yang
berwarna merah. Kalimat tanya di akhiri dengan pernyataan fal jawabu sekaligus
berfungsi sebagai permulaan jawaban. Kalimat jawab tersebut berakhir pada
pernyataan mas`alatun idzaa yang juga sebagai awal dari kalimat tanya, begitu
seterusnya. Gaya penyajian tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang] laka
[engkau] maa [apa] `l-muraadu [yang dikehendaki] `l-iimaani [iman
itu] fa [maka] `l-jawaabu [jawab] `l-iimaanu [bermula dikehendaki
iman itu] ‟ibaaratun [ibarat] ‟ani [daripada] `t-tauhiidi [tauhid].
Mas`alatun [Inilah masalah] idzaa [jika] qiila [ditanya orang] laka
[engkau] `sh-shalaatu [bermula sembahyang] wa [dan] `sh-shaumu
[puasa] wa [dan] `z-zakaatu [zakat] wa [dan] `l-hajju [haji] wa [dan]
`l-hubbu [asih akan] `l-malaaikati [malaikat] wa [dan] `l-kutubi [dan
asih akan segala kitab] wa [dan] `r-rusuli [asih akan segala pesuruh]
wa [dan] `l-qadri [dan untung] khayrihi [baik] wa [dan] syarrihi
[untung jahat] mina [daripada] `l-Laahi [Allah] ta‟aalaa [Taala].
Seperti pada kutipan di atas secara tidak langsung kata mas`alatun adalah
sebagai tanda pembuka dan penutup dalam tiap topik yang akan disampaikan
dalam teks. Meskipun tidak ditandai simbol kalimat tanya /?/, tetapi terdapat tanda
lain yang menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tanya, yaitu kata-
kata tanya yang hadir di setiap kalimat tanya tersebut, seperti bagaimana, berapa,
apa, dan lain-lain. Kalimat tanya umunya diakhiri dengan tanda tanya sebagai
bentuk berakhirnya sebuah kalimat tanya, tetapi teks ini menggunakan sebuah
pernyataan dalam bentuk pertanyaan dalam teks ialah kata fa `l-jawaabu yang
berarti “maka jawab”. Hal tersebut hanya berada pada bagian isi teks saja karena
di bagian pendahuluan tidak diawali dengan kata mas`alatun, tetapi diawali
dengan Bismi l-Laahi r-Rahmaani r-Rahiim dan pada penutup diakhiri dengan
kata tamat.
3. Pusat Penyajian Sastra Kitab
Peneliti akan membedakan penyalin dan pengarang dalam pembahasan
naskah “MAI”. Penyalin adalah seorang yang menulis buah pikir pengarang
dalam naskah “MAI”, sedangkan pengarang adalah seorang yang pendapat atau
buah pikirnya ditulis oleh penyalin dalam naskah “MAI”. Penyalin naskah “MAI”
seperti yang tertera dalam metadata adalah Duljabar dan sebagai pengarang yang
dituliskan buah pikirnya oleh penulis adalah Abu Laits As-Samarqandi.
Pembedaan tersebut dilakukan agar pembaca mendapatkan informasi yang tidak
tumpang tindih berkaitan dengan pengarang naskah “MAI” tersebut sehingga isi
yang terkandung dalam teks pun dapat dipahami secara komprehensif.
Dalam “MAI” penyalin naskah memulai menuliskan pendahuluan, yaitu
berupa bacaan basmalah, hamdalah, dan selawat atas nabi. Kemudian dilanjutkan
dengan pernyataan penyalin bahwa kitab “MAI” adalah buah pikir dari Abu Laits
As-Samarqandi, seperti tertera dalam teks sebagai berikut.
Qaalaa [Kata] `sy-syaikhu [syekh] `l-imaamu [imam] `l-ajalu [yang
besar] / `z-zaahidu [yang pertapah] Abu Laits [Abu Laits namanya]
Muhammad [Muhammad] ibnu Abi Nashri [anak Abi Nasr] bni
Ibraahiima [anak Ibrahim] / `s-Samarqandiyyu [yang bangsa
Samarqandi] rahmatu `l-Laahu [yang diberi rahmat Allah] ‟alaihi
[atasnya] (“MAI”:1).
Dari kutipan di atas, jelas bahwa teks “MAI” adalah hasil buah pikir dari
Abu Laits As-Samarqandi. Setelah pernyataan tersebut pembaca diajak untuk
masuk ke dalam dunia pengarang dan selanjutnya penyalin tidak muncul ke dalam
pikiran-pikiran pengarang.
Secara umum, pusat penyajian teks “MAI” menggunakan penyajian orang
ketiga. Akan tetapi, terdapat konteks baru setelah penyalin menulis “Kata syekh
imam yang besar yang pertapah Abu Laits namanya Muhammad anak Abi Nasr
anak Ibrahim yang bangsa Samarqandi yang diberi rahmat Allah atasnya,” yaitu
pembaca seakan membaca karangan pengarang sendiri, tidak melalui penyalin
lagi. Hal tersebut yang didefiniskan pembaca masuk ke dalam dunia pengarang
melalui penyalin. Adanya dua konteks yang berbeda juga dapat dilihat bahwa
pada konteks pertama, yaitu pada pembukaan, penyalin hanya bercerita dengan
model narasi, tetapi pada konteks kedua pusat penyajian menjadi milik pengarang
dengan model percakapan.
Secara khusus, pusat penyajian teks “MAI” menggunakan orang pertama.
Meskipun tidak tertera kata ganti orang pertama dalam konteks ini, tetapi hadir
orang kedua sebagai pasangan dari orang pertama dalam percakapan. Kata ganti
orang kedua dalam teks “MAI” adalah kamu dan engkau. Percakapan yang
dimaksud dalam teks bukan berarti terdapat proses saling bertukar pikiran antara
orang pertama dan kedua, tetapi seperti yang dijelaskan di atas, pembaca layaknya
masuk ke dalam dunia pengarang sehingga pembaca merasa sedang bercakap
dengan pengarang. Hal tersebut seperti tertera dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa ada mereka itu
daripada segala nabi. Maka jawab seratus ribu dan empat dan dua
puluh ribu nabi. Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa
ada mereka itu daripada sekalian nabi yang disuruh mereka itu.
Maka jawab tiga ratus dan tiga belas nabi yang disuruh (“MAI”:8-9).
Pada kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengarang mengajukan
pertanyaan kepada orang kedua (pembaca) untuk menjawab pertanyaannya.
Meskipun orang kedua tidak memberikan pendapatnya, tetapi pembaca sebagai
orang kedua merasa terlibat dalam proses percakapan tersebut.
Adanya jawaban yang diberikan oleh penanya atau pengarang sendiri
menunjukkan bahwa pengarang bersifat „mahatahu‟, artinya pengarang tahu
segala-galanya tentang topik yang dibahas. Oleh karena itu, dalam teks “MAI”
pengarang menonjolkan peranannya sehingga terbukti bahwa teks “MAI”
merupakan jenis teks yang berisi ajaran-ajaran. Ahmad Taufiq berpendapat sastra
kitab yang membentangkan atau berisikan ajaran akan menonjolkan peranan
pengarangnya (Taufiq, 2007:63).
Ajaran-ajaran yang dibahas dalam “MAI” berkenaan dengan akidah Islam.
Oleh karena akidah merupakan hal yang fundamental dalam beragama, maka
pengarang mencoba mempergunakan metode dialog dengan mengusung
pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai akidah. Hal tersebut dimaksudkan agar
pembaca dapat memahami ajaran-ajaran Islam, khususnya ajaran akidah Islam
yang tersampaikan melalui teks secara menyeluruh dan dapat menjadi pedoman
dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.
4. Gaya Bahasa Sastra Kitab
Gorys Keraf (2009:112) berpendapat bahwa gaya bahasa dikenal dalam
retorika dengan istilah style. Gaya bahasa adalah kemampuan dan keahlian untuk
menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Gaya bahasa menjadi
bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya
pemakaian kata, frasa, atau klausa untuk menghadapi situasi tertentu. Arti lainnya,
gaya bahasa ialah cara mengungkapkan pikiran melalu bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa.
Gaya bahasa sastra kitab bersifat khusus, terlihat dalam kosa kata, istilah,
kalimat, yang mempergunakan istilah-istilah Islam dan Arab. Istilah yang
digunakan dalam sebuah teks tergantung pada pokok bahasannya, sepert bahasan
tentang tasawuf, fikih, akidah, dan sebagainya. Sastra kitab berisi tentang hal-hal
yang rasional‚ maka bahasa yang digunakan pun menggunakan ciri bahasa yang
ilmiah‚ yaitu objektif‚ denotatif‚ dan rasional. Diksi yang digunakan tidak
menyebabkan adanya keambiguan‚ seperti karya sastra pada umumnya (Taufiq,
2007:19). Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai kosa kata, peristilahan,
sintaksis atau tata kalimat, dan sarana retorika yang dipergunakan dalam teks
“MAI”.
a) Kosa Kata dalam Teks “MAI”
Tabel 9
Kosa Kata Serapan dari Bahasa Arab
No. Kosa Kata No. Kosa Kata No. Kosa Kata
1. kitab 13. nafsu 25. alquran
2. akhirat 14. kafir 26. Taala
3. rahmat 15. iman 27. injil
4. salam 16. nabi 28. zabur
5. syeikh 17. makhluk 29. syarat
6. malaikat 18. kadim 30. syariat
7. alaihi salam 19. syak 31. jin
8. syahwat 20. masalah 32. mukmin
9. azali 21. mungkar 33. ikrar
10. rida 22. sunah 34. tasdik
11. akal 23. tauhid 35. zakat
12. jasad 24. hadas 36. haji
b) Peristilahan dalam Teks “MAI”
1) Bismi`l-Laahi`r-Rahmaani`r-Raahiim.
2) Alhamduli`l-Laahi rabbi`l-‟aalamiin.
3) Wa`sh-shalaatu wa`s-salaamu ‟alaa rasuulihii Muhammadin wa
aalihi ajma`iin.
4) shalla`l-Laahu ‟alayhi wa sallaam.
5) shalawaatu `l-Laahi ‟alayhim ajma‟iin
6) rabbun bi laa syariikin wa laa dhiddin wa laa niddin
7) laysa kamitslihi syay`un wa huwa `s-samii‟u `l-bashiir.
8) Wa kullu syarii‟atin mansuuhatun bi syarii‟atin Muhammadin shalla
`l-Laahu ‟alayhi wa sallam.
c) Sintaksis
Sintaksis adalah bagian dari tatabahasa yang mempelajari dasar-dasar dan
proses-proses pembentukan kalimat dalam suatu bahasa (Keraf, 1982:136). Teks
“MAI” merupakan wacana berisikan kalimat-kalimat yang tersusun sedemikian
rupa sehingga memiliki arti dan maksud. Pembahasan ini akan disajikan beberapa
tatabahasa yang digunakan dalam teks “MAI” sebagai berikut.
1) Struktur dan Urutan Bahasa Melayu
Bahasa Melayu umumnya memperhatikan urutan kata. Kata yang
dirasakan terpenting dalam kalimat terletak di muka, tidak peduli subjek atau
predikat. Predikat bisa mendahului subjek atau menyusul subjek terjadi menurut
keperluannya. (Ophuysen, 1983:58). Hal ini berlaku pada teks “MAI” yaitu
sebagai berikut.
Kata syekh imam yang besar yang pertapah Abu Laits namanya
Muhammad anak Abi Nasr anak Ibrahim yang bangsa Samarqandi.
Percaya aku akan Allah dan percaya aku akan segala malaikat-Nya
dan percaya aku akan segala kitab-Nya dan percaya aku akan segala
pesuruh-Nya dan percaya aku akan hari yang kemudian dan percaya
aku akan untung baik dan untung jahat daripada Allah Taala
(“MAI”:1-2).
Pada kutipan di atas jelas bahwa predikat mendahului subjek, yaitu kata
kata menjadi predikat yang mendahului subjek syekh imam yang besar yang
pertapah Abu Laits ... Hal ini membuktikan bahwa susunan dalam bahasa Melayu
tidak berstruktur S+P+O+K secara berurutan, tetapi kata-kata tersebut tersusun
sesuai dengan kepentingan dalam kalimat tersebut. Pada kalimat tersebut, jelas
bahwa kata yang dipentingkan adalah kata kata. Maksudnya adalah bahwa yang
lebih perlu diperhatikan adalah perkataan atau ucapan dari Abu Laits. Kalimat
selanjutnya kata percaya sebagai predikat yang juga mendahului subjek aku. Hal
yang dipentingkan dalam kalimat ini adalah kata kerja percaya karena konteks
kalimat tersebut membahas tentang keimanan yang notabene berkaitan erat
dengan kata kerja percaya.
Dalam bahasa Melayu terdapat peraturan menerangkan-diterangkan, yaitu
kata yang menerangkan tampil di muka dan dilanjutkan dengkan kata yang
diterangkan. Contoh: rumah penghulu, anak raja (Ophuysen, 1983:49). Pada teks
“MAI” berlaku tatabahasa tersebut, yaitu sebagai berikut. “kitab-Nya, pesuruh-
Nya.” (“MAI”:2). “anak putu Adam.” (“MAI”:4). “syariat nabi Muhammad.”
(“MAI”:8). “hukum Allah Taala.” (“MAI”:12). “sunah nabi shalla `l-Laahu
„alaihi wa sallam.” (“MAI”:15). “perbuatan kamu.” (“MAI”:16). Pada frasa
pertama kata kitab sebagai kata yang menerangkan dan kata –Nya (Allah) sebagai
kata yang diterangkan. Begitu juga pada frasa syariat Nabi Muhammad, kata
syariat menjadi kata yang menerangkan dan Nabi Muhammad menjadi kata yang
diterangkan. Kata syariat menjadi jelas maksudnya ketika ditambah Nabi
Muhammmad sebagai hal yang diterangkan sehingga tidak ada perlu pertanyaan
lagi, seperti syariat apa, syariat siapa, dan lain-lain. Contoh lain pada frasa
perbuatan kamu. Kata perbuatan menjadi kata yang menerangkan dan kata kamu
menjadi kata yang diterangkan. Hal tersebut menandakan bahwa kata yang
menerangkan adalah hal yang pokok, tetapi kurang jelas maksud dan artinya tanpa
ditambah dengan kata yang diterangkan sehingga tidak perlu lagi ada pertanyaan
perbuatan apa, perbuatan siapa, dan lain-lain.
Berkaitan dengan kata sifat atau adjektiva dalam bahasa Melayu dapat
digunakan sebagai predikat atau atribut. Sebagai predikat, adjektiva dapat
mendahului dan mengikuti subjek. Contoh: Sakit adikku, adikku sakit, wangi
bunga, bunga wangi. Adjektiva yang digunakan sebagai atribut selalu terletak
sesudah nomina, tidak pada sebelumnya. Contoh: Guru tua. Orang Melayu yang
akan menekankan sebuah adjektiva akan menambahkan kata yang sebelum
adjektiva tersebut agar arti tidak dipertentangkan, contoh guru yang tua itu akan
memiliki perbedaan arti dengan guru tua itu. Pada contoh pertama yang dimaksud
adalah seorang yang (memang) tua, tetapi contoh kedua bisa berarti belum tentu
tua. Maka dari itu, biasanya sebuah adjektiva sebagai atributif akan didahului kata
yang (Ophuysen, 1983:87-88). Dalam teks “MAI” terdapat penekanan adjektiva
dengan kata yang, yaitu “Syekh imam yang besar yang pertapah” (“MAI”:1).
“Allah jua yang amat murah” (“MAI”:1). “Bahwasanya Allah Taala Yang Hidup,
Yang Tahu, Yang Kuasa” (“MAI”:2).
Dalam melukiskan atau mengekspresikan sebuah sifat dan perangai
seseorang, biasanya dikhususkan bagian-bagian yang benar-benar perlu dikenali
sifat itu. Contoh: merah mukanya, pucat mukanya. Aku lapar biasanya diganti
lapar perutku (Ophuysen, 1983:92). Hal seperti itu juga ditemui dalam teks
“MAI”, yaitu “Esa zat-Nya dan Esa Sifat-Nya” (“MAI”:1). Kutipan tersebut
menyatakan bahwa kata esa merupakan sifat yang belum jelas sehingga perlu
ditambah dengan kata-kata yang menerangkan sifat tersebut, seperti kata zat dan
sifat. Artinya bahwa Allah memiliki zat yang Esa dan sifat yang Esa. Kata sifat
dan zat adalah bagian-bagian khusus yang perlu digunakan untuk menyatakan
kata esa.
Sebuah nomina disertai dua atau lebih banyak adjektiva, maka biasanya
adjektiva tersebut tidak dihubungkan oleh kata dan, melainkan kata lagi atau kata
serta. Contoh: Penghulu kami kaya lagi (serta) murah (Ophuysen, 1983:94-95).
Dalam teks “MAI” ditemukan beberapa contoh sebagai berikut.
Allah Taala menurunkan kitab atas segala nabi-Nya daripada anak
putu Adam dan yaitu diturunkan bukan makhluk lagi kadim
(“MAI”:4-5). Dan bermula sekalian nabi itu mereka itu lagi benar
mereka itu, lagi mungkar mereka itu, kepercayaan Allah Taala lagi
kepelihara mereka itu daripada dosa kecil dan dosa (“MAI”:7).
Pada kutipan pertama halaman 4-5 di atas, ditemukan dua adjektiva yaitu
kata bukan makhluk dan kata kadim. Kedua adjektiva tersebut mengacu pada
nomina kitab sehingga berarti kitab bukan makhluk lagi kadim. Kutipan kedua
halaman tujuh, ditemukan tiga adjektiva, yaitu benar, mungkar, dan kepelihara
(terpelihara dari dosa besar dan kecil). Ketiga adjektiva tersebut menyifati nomina
nabi sehingga dapat diartikan nabi itu benar, mungkar dari larangan Allah, dan
terpelihara dari dosa besar dan kecil. Dari penjelasan di atas kata hubung yang
digunakan bukan kata dan, melainkan kata lagi yang artinya sama dengan kata
dan.
Dalam tatabahasa Melayu, terdapat bentuk kalimat bahwa agen (pelaku)
menyusul bentuk prefiks di-. Contoh dibunuh raja kami. Raja di sini sebagai agen,
artinya rajalah yang membunuh, bukan raja sebagai pasien atau raja yang
terbunuh. (Ophuysen, 1983:121). Pada “MAI” dikutipkan beberapa contoh
sebagai berikut, “Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu apa iman.”
(“MAI”:1). “disuruh Allah akan mereka itu.” (“MAI”:4). “berapa kitab yang
diturunkan Allah Taala atas segala nabi-Nya.” (“MAI”:5). “Allah Taala itu
menjadikan makhluk dan ditunjuk Allah akan mereka itu.” (“MAI”:12). Pada
kutipan pertama sebagai verba adalah ditanya dan sebagai agen adalah kata orang
sehingga maksudnya adalah orang bertanya kepada kamu, bukan menjadi orang
ditanya oleh kamu. Kutipan kedua sebagai verba adalah kata disuruh dan sebagai
agen adalah Allah sehingga maksudnya adalah Allah menyuruh kepada mereka,
bukan Allah disuruh mereka. Kutipan ketiga sebagai verba adalah kata diturunkan
dan sebagai agen adalah Allah sehingga maksudnya Allah menurunkan kitab
kepada para nabi-Nya. Kutipan keempat sebagai verba adalah kata ditunjuk dan
sebagai agen adalah Allah sehingga maksudnya adalah Allah menunjuk mereka,
bukan mereka menunjuk Allah.
Pronomina posesif (kepemilikan) menduduki tempat pertama, sedangkan
pronomina demonstratif mengisi tempat terakhir. Contoh: Guru kami yang mati
itu. (Ophuysen, 1983:91-92). Hal tersebut ditemukan dalam teks “MAI”, yaitu
“segala hamba Allah tiada disifatkan mereka itu.” (“MAI”:3). Pada kutipan di
atas, frasa hamba Allah merupakan pronomina posesif dan kata itu merupakan
pronomina demonstratif sehingga letak pronomina posesif mendahului pronomina
demonstratif, yaitu hamba Allah --- itu.
2) Kata-Kata Khusus dalam Bahasa Melayu
Mengenai bentuk numeral dalam bahasa Melayu hanya digunakan kata
berapa (Ophuysen, 1983:111). Berapa merupakan kata tanya yang menyatakan
jumlah, ukuran, nilai, harga, satuan, waktu (KBBI:176). Dalam teks “MAI”
tertulis sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa kitab yang
diturunkan Allah Taala atas segala nabi-Nya.” (“MAI”:5). “Inilah
masalah jika ditanya orang engkau dan berapa ada nabi daripada
yang mempunyai segala syariat.” (“MAI”:8). “Inilah masalah jika
ditanya orang engkau dan berapa ada mereka itu daripada segala
nabi.” (“MAI”:9). “Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan
berapa ada mereka itu daripada sekalian nabi yang disuruh mereka
itu (“MAI”:9).
Penggunaan kata berapa pada teks “MAI” berdasarkan kutipan di atas
menyatakan jumlah. Kutipan pertama menyatakan jumlah kitab yang diturunkan
Allah kepada nabi, kutipan kedua menyatakan jumlah nabi pembawa syariat,
kutipan ketiga menyatakan jumlah nabi yang diturunkan Allah, dan kutipan
keempat menyatakan jumlah rasul di antara para nabi tersebut.
Selain kata berapa terdapat kata yang menunjukkan jumlah dalam bahasa
Melayu seperti, beberapa, banyak, dan segala yang menyatakan jumlah. Apabila
kata-kata tersebut tampil di muka nomina, maka nomina tersebut dinyatakan
jamak. Khusus mengenai segala bahwa kata tersebut terutama digunakan dalam
Tafsir karya Arab. Setiap kata benda yang diberi artikel al di dalamnya untuk
menandakan seluruh jenis yang bersangkutan didahului oleh segala dalam bahasa
Melayu (Ophuysen, 1983:45).
Allah Taala mematikan segala makhluk sekalian melainkan barang
yang ada dalam surga dan neraka (“MAI”:10). Maka barang siapa
ada daripada segala malaikat dan jin dan manusia, maka bahwasanya
mereka itu binasa mereka itu (“MAI”:11). Tiada kekal segala orang
mukmin di dalam neraka (“MAI”:11). Asih akan segala kitab dan
asih akan segala pesuruh (“MAI”:14).
Pada kutipan “MAI” halaman sepuluh, nomina makhluk dikategorikan
sebagai jamak karena sebelumnya terdapat kata segala, artinya Allah mematikan
makhluk yang tidak tunggal, tetapi banyak. Dalam teks Arab tertulis Anna `l-
Laaha ta‟aalaa yumiitu `l-khalaaiqa terdapat artikel al pada kata khalaaiqa yang
artinya segala makhluk. Kutipan kedua halaman sebelas, nomina malaikat, jin,
dan manusia dikategorikan sebagai kata jamak dengan tanda kata segala sebelum
nomina-nomina tersebut. Kutipan ketiga halaman sebelas, nomina mukmin
bersifat jamak. Artinya semua mukmin tidak akan kekal dalam neraka. Kutipan
keempat halaman empat belas, nomina kitab dikategorikan sebagai jamak karena
terdapat kata segala sebelum nomina tersebut. Artinya bahwa kitab yang
dimaksudkan dalam teks bukanlah kitab tertentu, tetapi semua kitab yang
diturunkan Allah kepada para nabi.
Berkaitan dengan kata hubung dalam bahasa Melayu, konjungsi atau kata
hubung dalam tatabahasa Melayu sering dihilangkan pada dua hal substanstif
yang saling mengikuti dan saling bertalian secara genitif, seperti bapak ibu; kata
konjungsi dan dihilangkan. (Ophuysen, 1983:55). Hal tersebut ditemukan dalam
teks “MAI” yaitu, “Allah Taala menurunkan kitab atas segala nabi-Nya daripada
anak putu Adam.” (“MAI”:4). Frasa anak putu berasal dari dua kata yang saling
berhubungan dan bertalin, yaitu kata anak dan putu. Oleh karena itu, tidak perlu
dihubungkan dengan konjungsi. Meskipun demikian, frasa tersebut tetap memiliki
arti penambahan, yaitu anak dan putu (anak ditambah putu).
Kata oleh adalah kata yang dapat menjelaskan secara khusus tugas agen
(pelaku). Sebaliknya, terdapat pula kata yang dapat menunjuk secara khusus tugas
pasien, yaitu kata akan (Ophuysen, 1983:122). Dalam teks “MAI” ditemukan kata
akan sebagai kata penunjuk pasien (penderita), yaitu sebagai berikut.
dan percaya aku akan segala kitab-Nya dan percaya aku akan segala
pesuruh-Nya dan percaya aku akan hari yang kemudian dan percaya
aku akan untung baik dan untung jahat daripada Allah Taala
(“MAI”:2). Menghidupkan Allah akan mereka itu (“MAI”:10). Asih
akan malaikat dan asih akan segala kitab dan asih akan segala
pesuruh (“MAI”:14).
Kutipan pertama halaman dua terdapat beberapa pasien, yaitu segala kitab,
segala pesuruh, hari yang kemudian, dan untung baik dan untung jahat. Tanda
nomina di atas berkedudukan sebagai pasien ditunjukkan dengan adanya kata
akan sebelum nomina-nomina tersebut. Pelaku atau agen pada kutipan pertama
adalah kata aku dan sebagai kata kerja atau verba adalah kata percaya. Kutipan
kedua halaman sepuluh kata Allah bertindak sebagai pelaku dan kata
menghidupkan sebagai kata kerja. Untuk pasien dari kalimat tersebut adalah kata
mereka karena didahului kata akan sebagai tanda penunjuk pasien. Sama halnya
dengan kutipan pertama dan kedua, pasien malaikat, kitab, dan pesuruh juga
didahului dengan kata akan sehingga menunjukkan tugas pasien.
Pronomina demonstratif (rumah ini, itu buku, jari ini, dan lain-lain)
sebagai subjek tidak dapat ditentukan letaknya, sedangkan sebagai predikat dapat
terletak di awal dan di depan, dan sebagai keterangan atributif terletak di
belakang. Contoh: rumah ini, rumah kami yang besar ini (Ophuysen, 1983:64).
Pronomina demonstratif ditemukan dalam teks “MAI”, yaitu “Aku memulai
membaca kitab ini” (“MAI”:1). “Dan barang siapa syak daripada segala perkara
ini, maka bahwasanya jadi kafir.” (“MAI”:11). Kutipan di atas merupakan
penggunaan pronomina demonstratif sebagai atribut sehingga letaknya di
belakang kalimat.
Berkenaan dengan waktu pengucapan dalam tatabahasa Melayu, bila suatu
hal sudah diucapkan, akan digunakan kata itu, sedangkan bila hal yang akan
diucapkan akan digunakan kata ini. Contoh: itulah yang kudengar tadi, inilah
larangan raja kami (Ophuysen, 1983:65). Perbedaan tersebut dapat ditemui dalam
tesk “MAI” sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu apa iman (“MAI”:1).
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa percaya engkau
kepada hari yang kemudian (“MAI”:11). Bahwasanya malaikat itu
berbahagi-berbahagi dan setengah mereka itu menanggung ‟arsy dan
setengah mereka itu mengelilingi ‟arsy dan setengah mereka itu
bangsa rohani dan setengah mereka itu bangsa kurubiyyun dan
setengah mereka itu bangsa sepihak artinya Jibrail dan Mikail dan
Israfil dan Izrail alaihi salam dan setengah mereka itu memelihara
dan setengah mereka itu menulis dan lain demikian itu sekalian
mereka itu (“MAI”:3). Dan bermula sekalian nabi itu mereka itu lagi
mengkabarkan mereka itu, lagi menyuruh mereka itu, lagi mengajari
mereka itu, lagi benar mereka itu, lagi mungkar mereka itu,
kepercayaan Allah Taala lagi kepelihara mereka itu daripada dosa
kecil dan dosa besar (“MAI”:7).
Kutipan pertama halaman satu dan sebelas menyatakan bahwa kalimat
tersebut belum terjadi. Hal tersebut ditandai dengan adanya kata ini sebagai
penanda bahwa ujaran tersebut belum terjadi. Ditambah lagi dengan kata jika
yang berkonotasi pada hal yang belum terjadi. Kutipan ketiga dan keempat
menyatakan ujaran yang sudah terjadi. Hal tersebut ditandai dengan adanya kata
itu. Pada kutipan ketiga tertulis pula kata bantu bahwa yang menyatakan telah
terjadi hal tersebut, artinya para malaikat memang terbagi-bagi jenisnya,
merupakan bangsa roh, terpelihara dari dosa, dan memiliki tugas yang berbeda-
beda seperti mengelilingi arsy, menanggung arsy, dan lain-lain. Pada kutipan
keempat tertulis kata bermula yang artinya awal atau pokok asal sehingga ketika
ujaran tersebut telah terjadi dari awal, artinya nabi itu dari pokok asalnya diajari
oleh Allah, dijaga Allah dari perbuatan maksiat, terpelihara dari larangan-larangan
Allah, dan lain-lain.
d) Sarana Retorika
1) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
a. Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai
kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-farasa yang menduduki
fungsi dan gramatikal yang sama (Gorys Keraf, 2009:126). Gaya paralelisme
juga digunakan dalam teks “MAI” yaitu,“Dijadikan mereka itu segala hamba
Allah tiada disifatkan mereka itu akan laki-laki dan tiada disifatkan akan
perempuan. (“MAI”:4). “Dan mereka itu diberi pahala mereka itu atas
berbagai kebajikan dan disiksa mereka itu atas berbuat kejahatan dan segala
demikian itu dengan janji surga dan janji neraka.” (“MAI”:13).
Kutipan pertama halaman empat menyatakan gaya bahasa paralel dengan
adanya frasa tiada disifatkan berulang agar makna yang ditimbulkan sejajar,
yaitu sejajar antara sifat laki-laki dan sifat perempuan. Kutipan kedua
memiliki gaya sejajar, yaitu kata diberi pahala dan kata disiksa. Keduanya
sama-sama menduduki struktur gramatikal predikat dan sama-sama
berimbuhan afiks di-.
b. Antitesis sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan
dengan menggunakan kelompok kata yang berlawanan. Contoh: Mereka
sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah
banyak memperoleh keuntungan daripadanya (Keraf, 2009:126).
Maka jawab bahwasanya Allah Taala mematikan segala makhluk
sekalian melainkan barang yang ada dalam surga dan neraka
(“MAI”:10). Maka taat itu dengan hukum Allah Taala dan takdirnya
pada azali dan durhaka itu dengan hukum Allah Taala dan takdirnya
pada azali tetapi tiada dengan suruhnya dan dengan ridhanya
(“MAI”:12-13).
Kutipan di atas termasuk ke dalam gaya bahasa antitesis, yaitu mengandung
gagasan yang bertentangan dengan kelompok kata yang berlawanan.
Meskipun tidak terdapat kata tetapi pada kutipan pertama halaman sepuluh,
tetapi terdapat kata melainkan yang dapat menggantikan fungsi kata tetapi
sehingga gagasan yang bertentangan tetap terlihat dalam gagasan tersebut.
Pertentangan pada kutipan pertama adalah bahwa Allah akan mematikan
semua makhluk kecuali yang ada di surga dan neraka. Kutipan kedua terdapat
kata tetapi sehingga jelas ujaran tersebut adalah gaya bahasa pertentangan.
Pertentangan kutipan kedua adalah bahwa semua makhluk dapat menentukan
taat atau durhaka kepada Allah, tetapi hal tersebut tidak akan terjadi tanpa
adanya perintah dan rida-Nya.
c. Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Contoh: masyarakat harus tahu kebudayaan, tahu bagaimana berkelakuan,
tahu menafsirkan kelakuan sesamanya, dan tahu menghormati perbedaan
yang lainnya (Keraf, 2009:127). Dalam teks “MAI” ditemukan beberapa gaya
repetisi, yaitu sebagai berikut.
Percaya aku akan Allah dan percaya aku akan segala malaikat-Nya
dan percaya aku akan segala kitab-Nya dan percaya aku akan segala
pesuruh-Nya dan percaya aku akan hari yang kemudian dan percaya
aku akan untung baik dan untung jahat daripada Allah Taala
(“MAI”:1-2). Menurunkan Allah Taala setengah daripadanya
sepuluh kitab atas Nabi Adam alaihi salam dan menurunkan Allah
Taala lima puluh kitab atas Nabi Tsis alaihi salam dan menurunkan
Allah Taala tiga puluh kitab atas Nabi Idris alaihi salam dan
menurunkan Allah Taala sepuluh kitab atas Nabi Ibrahim alaihi
salam dan menurunkan Allah Taala kitab Taurat atas Nabi Musa
alaihi salam dan menurunkan Allah Taala kitab Injil atas Nabi Isa
alaihi salam dan menurunkan Allah Taala kitab Zabur atas Nabi
Daud alaihi salam dan menurunkan Allah Taala kitab Alquran atas
Nabi Muhammad yang dipilih (shalla `l-Laahu „alaihi wa sallam)
(“MAI”:5-6).
Kutipan pertama halaman satu sampai dua terdapat pengulangan frasa
percaya aku akan. Frasa tersebut merupakan bagian dari kalimat yang
dianggap penting untuk memberikan tekanan pada konteks kalimat tersebut.
Konteks kalimat di atas ialah mengenai pengertian dari iman yang memiliki
arti umum proses percaya seorang hamba. Maka dari itu, kata percaya aku
pada kutipan tersebut selalu diulang sebagai penekanan dari makna iman.
Pada kutipan kedua terdapat menurunkan Allah Taala kitab. Hal tersebut
merupakan penekanan dan dianggap penting terhadap konteks kalimat, yaitu
jumlah kitab yang diturunkan Allah kepada nabi-Nya sehingga frasa
menurunkan Allah Taala kitab selalu diulang.
2) Gaya Bahasa Retoris
a. Anastrof adalah gaya bahasa yang menggunakan cara membalikkan susunan
kata yang biasa dalam kalimat. Contoh: pergilah ia meninggalkan kami (ia
pergi meninggalkan kami), keheranan kami melihat perangainya (kami
keheranan melihat perangainya), dan lain-lain (Gorys Keraf, 2009:130).
Dalam penyampaiannya, teks “MAI” juga menggunakan gaya anastrof, yaitu
pada kalimat-kalimat sebagai berikut.
Kata syekh imam yang besar yang pertapah Abu Laits namanya
(“MAI”:1). Maka jawab percaya aku akan Allah (“MAI”:1). Dan
menurunkan Allah Taala kitab Taurat atas Nabi Musa alaihi salam
(“MAI”:6). Dan menjadikan Ia lawhha`l-mahfudl dan qalam dan
menyuruh Ia akan keduanya (“MAI”:12).
Pada dasarnya urutan kata dalam kalimat pada bahasa Melayu tidak pasti. Hal
tersebut dikarenakan karena adanya pemilihan kata yang dianggap penting
dan tidak penting. Kata penting biasanya akan ditaruh di muka kalimat.
Kutipan pertama halaman pertama merupakan susunan yang tidak biasa,
tersusun dengan cara tidak biasa. Susunan biasa yang dimaksudkan pada
kutipan pertama adalah “Syekh imam yang besar yang pertapah Abu Laits
namanya (ber)kata.” Akan tetapi, dalam teks susunannya dibalik, yaitu
predikat diletakkan sebelum subjek. Kutipan kedua halaman pertama
memiliki susunan yang tidak biasa, susunan biasa yang sering diujarkan ialah
“aku percaya akan Allah”. Akan tetapi, dalam teks, susunannya menjadi
predikat mendahului subjek. Sama halnya dengan kutipan pertama dan kedua,
kutipan ketiga memiliki susunan yang tidak biasa. Susunan yang biasa
diujarkan ialah “Allah Taala menurunkan kitab Taurat atas Nabi Musa alaihi
salam”. Dalam teks, susunannya menjadi predikat tampil di muka sebelum
subjek. Kutipan keempat sedikit berbeda karena terdapat dua kata kerja di
dalamnya. Kutipan yang biasa diujarkan menjadi “Dan Ia menjadikan
lawhha`l-mahfudl dan qalam dan Ia menyuruh akan keduanya.” Dalam teks
susunan tersebut dibalik, yaitu predikat mendahului subjek dan objek.
b. Asindenton adalah gaya yang berupa acuan yang bersifat padat dan mampat,
yaitu kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata
sambung, biasanya dipisah dengan koma. Contoh: dan kesesakan, kepedihan,
kesengsaraan, kesakitan, detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa
(Gorys Keraf, 2009:131). Gaya bahasa asindenton terlihat dalam beberapa
bagian teks “MAI”, “Yang Hidup, Yang Tahu, Yang Kuasa, Yang
Mendengar, Yang Melihat, Yang Berkehendak, Yang Berkata, Yang Kekal,
Yang Menjadikan Yang Amat Mendengar Yang Amat melihat.” (“MAI”:2).
Kutipan di atas merupakan bentuk dari gaya asindenton. Kata-katanya
sederajat, yaitu masuk golongan predikat dalam bentuk adjektiva. Kalimat
sempurnanya ialah “Allah Yang Hidup, Yang Tahu, Yang Kuasa ...” Selain
itu, terlihat bahwa tidak ada kata sambung di dalamnya.
c. Polisindenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindenton.
Beberapa kata, frasa, atau klausa dihubungkan dengan kata sambung. Contoh:
dan kemanakah kekasih yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah
pada gelap dan dingin yang bakal menemui kekasihnya (Gorys Keraf,
2009:131). Dalam teks “MAI” ditemukan banyak gaya polisindenton, yaitu
sebagai berikut.
Dan rahmat Allah dan salam Allah (“MAI”:1). Percaya aku akan
Allah dan percaya aku akan segala malaikat-Nya dan percaya aku
akan segala kitab-Nya dan percaya aku akan segala pesuruh-Nya dan
percaya aku akan hari yang kemudian dan percaya aku akan untung
baik dan untung jahat daripada Allah Taala (“MAI”:1-2). Dan
setengah mereka itu menanggung ‟arsy dan setengah mereka itu
mengelilingi ‟arsy dan setengah mereka itu bangsa rohani dan
setengah mereka itu bangsa kurubiyyun dan setengah mereka itu
bangsa sepihak artinya Jibrail dan Mikail dan Israfil dan Izrail alaihi
salam dan setengah mereka itu memelihara dan setengah mereka itu
menulis dan lain demikian itu sekalian mereka itu (“MAI”:3). Dan
tiada disifatkan akan perempuan dan tiada mereka itu syahwat dan
tiada nafsu dan tiada bapak dan tiada ibu dan tiada mereka berbuat
durhaka akan Allah barang yang disuruh Allah akan mereka itu dan
berbuat mereka itu barang yang disuruh Allah mereka itu. Dan
bermula kasih mereka itu jadi syarat iman dan benci mereka itu jadi
kafir (“MAI”:4). Pertama Nabi Adam dan kedua Nabi Nuh dan
ketiga Nabi Ibrahim dan keempat Nabi Musa dan kelima Nabi Isa
dan keenam Nabi Muhammad shalawatu `l-Laahi atas mereka itu
sekalian (“MAI”:8). Dan dihimpunkan mereka itu dan dikira-kira
mereka itu dan dihakimkan antara mereka itu (“MAI”:10). Dan
ikrarkan dan tasdikkan (“MAI”:17).
Beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa teks “MAI” banyak
dipengaruhi oleh gaya polisindenton. Hal tersebut dikarenakan adanya
pengaruh dengan bahasa Arab yang selalu menyelipkan kata sambung wa
(dan) pada tiap kata yang dihubungkan.
d. Kiasmus adalah semacam acuan yang terdiri dari dua bagian yang sifatnya
berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunannya terbalik bila
dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Contoh: Semua kesabaran
kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha
itu (Gorys Keraf, 2009:132). Gaya bahasa kiasmus ditemukan dalam teks
“MAI”, yaitu “Bahwasanya Allah Taala itu menjadikan makhluk dan
ditunjuk Allah akan mereka itu kepada pertunjuk.” (“MAI”:12).
Kutipan di atas merupakan gaya kiasmus karena terdapat dua kalimat yang
sejajar dan dipertentangkan, tetapi susunan kata yang kedua dibalik. Kalimat
pertama adalah Allah Taala menjadikan makhluk dan kalimat kedua adalah
Allah menunjukkan mereka itu kepada petunjuk. Akan tetapi, kalimat kedua
menjadi berubah susunannya setelah disejajarkan dengan kalimat kedua, yaitu
predikat mendahului subjek; ditunjuk Allah akan mereka itu kepada petunjuk.
3) Gaya Bahasa Kiasan
a. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang eksplisit, yaitu
mengungkapkan sesuatu dengan menyatakan sesuatu yang sama dengan hal
lain (kata-kata: seperti, bagaikan, sama, laksana, dan sebagainya). Contoh:
kikirnya seperti kepiting batu, matanya seperti bintang timur, dan lain-lain
(Gorys Keraf, 2009:138). Dalam teks “MAI” ditemukan beberapa ujaran yang
menggunakan gaya simile, “iman itu dengan sifat suci dan kafir itu dengan
sifat hadats.” (“MAI”:15). “Iman itu ibarat daripada tauhid.” (“MAI”:14).
Terdapat dua ungkapan yang menggunakan gaya simile pada kutipan pertama
halaman lima belas, yaitu iman itu dengan sifat suci dan iman itu dengan sifat
hadats. Meskipun tidak ada kata-kata persamaan di dalamnya, seperti
laksana, bagaikan, sama, dan lain-lain, tetapi jelas bahwa kedua ujaran
tersebut merupakan perbandingan yang eksplisit, yaitu menyatakan sesuatu
yang sama dengan hal lain. Ujaran pertama kata iman disamakan dengan sifat
suci, sedangkan pada ujaran kedua kata kafir disamakan dengan sifat hadas
atau najis. Kutipan kedua halaman empat belas terdapat ujaran “iman itu
ibarat daripada tauhid.” Ujaran tersebut merupakan penggunaan gaya simile
karena terdapat perbandingan antara kata iman dan tauhid. Tauhid merupakan
bentuk mengesakan kepada Allah artinya hal yang paling pokok dari iman
adalah mengesakan Allah Swt. Dalam perbandingan kedua kata tersebut
ditandai dengan kata ibarat yang berarti perkataan atau cerita yang dipakai
sebagai perumpamaan (KBBI:515).
b. Sinisme adalah sindiran berupa kesangsian yang mengandung ejekan, lebih
pedih dari ironi. Contoh: tidak diragukan lagi bahwa anda adalah orangnya
sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu! (Gorys Keraf,
2009:143) “Maka barang siapa mungkar suatu dalamnya maka bahwasanya
kafir.” (“MAI”:14). “Dan barang siapa syak daripada segala perkara ini
maka bahwasanya jadi kafir.” (“MAI”:11).
Kata kafir pada kutipan di atas terlalu pedih untuk diujarkan karena kafir
sudah tidak lagi termasuk ke dalam golongan yang bisa masuk ke dalam
surga. Memang benar seorang kafir tidak akan masuk ke dalam surga, tetapi
sebelum dia meninggal dunia seorang tidak boleh menyatakan ia kafir karena
mungkin orang tersebut dapat bertobat dan kembali masuk ke dalam Islam.
Kata kafir pada ujaran di atas merupakan sindiran keras untuk orang-orang
yang mungkar terhadap perkara-perkara yang harus diyakini agar dapat
menjadi dorongan untuk bertobat dan berpikir tentang kemungkarannya
sehingga akan mengubah kemungkarannya menjadi sebuah kepatuhan dan
keimanan.
B. ANALISIS ISI
Teks “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” (“MAI”) berisikan tentang ajaran
akidah yang dikarang oleh Abu Laits As-Samarqandi. Teks ini membicarakan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, baik berupa definisi iman,
maupun bagian-bagian dari rukun iman.
Teks “MAI” menggunakan bentuk tanya jawab dalam penyampaian isi
kandungannya. Teks “MAI” berisikan tujuh belas pertanyaan yang berkaitan
dengan iman. Pembahasan iman dalam “MAI” berkontekskan pada ajaran Islam,
yaitu ihwal-ihwal mengenai keimanan dalam ajaran Islam. Tujuh belas pertanyaan
tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Apakah iman itu? (Percaya kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir,
takdir baik dan buruk dari Allah).
2. Bagaimana percaya pada Allah? Sesungguhnya Allah Maha Esa, Satu,
Mengetahui, Kuasa, Mendengar, Melihat, Berkehendak, Berkata, Kekal,
Pencipta, tiada sekutu dan tiada yang menyamai.
3. Bagaimana percaya pada malaikat-Nya?
4. Bagaimana percaya pada kitab-Nya?
5. Berapa kitab yang diturunkan Allah?
6. Bagaimana percaya pada nabi-nabi Allah?
7. Berapa nabi pembawa syariat?
8. Berapa jumlah nabi-nabi Allah?
9. Berapa jumlah nabi-nabi Mursalin (*Rasul)?
10. Apakah jumlah dan nama mereka menjadi syarat iman?
11. Bagaimana percaya akan hari akhir?
12. Bagaimana percaya kadar baik dan buruk?
13. Iman itu suka-suka atau tidak (datangnya)?
14. Apa maksud dari iman?
15. Apakah salat, puasa, zakat, haji, percaya pada malaikat, kitab, rasul, kadar
baik dan buruk ittiba sunnah nabi bagian dari iman atau tidak?
16. Apakah iman berarti suci?
17. Apakah iman adalah makhluk?
Ketujuh belas pertanyaan tersebut akan dikodekan atau diklasifikasikan
agar didapatkan sebuah makna lebih dalam karena analisis berdasarkan klasifikasi
akan lebih terfokus dan terarah. Setelah proses klasifikasi atau pengkodean, dicari
pesan-pesan atau makna yang tersirat dari tiap klasifikasi tersebut sehingga
muncul beberapa pesan dari teks tersebut. Pesan dan maksud itu nantinya akan
diberikan suatu kesimpulan secara umum sehingga dapat dimanfaatkan oleh
pembaca. Proses-proses atau tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam
penelitian ini ialah pengkodean data sesuai dengan pokok pembicaraan,
penjelasan mendetail tiap kode, dan penarikan pesan tiap-tiap kode sehingga
pesan-pesan tersebut dapat dimanfaatkan dalam kehidupan. Perlu digarisbawahi
bahwa analisis mengenai teks ini akan mengacu kepada pemikiran-pemikiran atau
ideologi Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-
Asy‟ari.
Penelitian ini menggunakan kajian akidah Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah
karena Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah adalah kaum yang menganut iktikad Nabi
Muhammad saw. dan sahabat-sahabatnya. Iktikad nabi dan sahabat-sahabatnya
tersebut telah tertulis dalam Alquran dan sunah rasul secara terpencar‚ belum
tersusun rapi‚ dan teratur. Setelah itu dikumpulkan dan disusun secara rapi oleh
seorang ulama Usuluddin‚ Syeikh Abu Hasan „Ali al Asy‟ari. Oleh karena itu‚
terdapat julukan pengikut Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah sebagai kaum
`Asy‟ariyah jamak dari Asy‟ari yang dikaitkan dengan Syeikh Abu Hasan „Ali al
Asy‟ari (Abbas, 1994:16).
Nabi Muhammad saw. pun telah mengistimewakan kaum Ahlu `s-Sunnah
wa `l-Jamaa‟ah, yaitu dalam hadisnya sebagai berikut.
Bahwasanya Bani Israil telah berfirkah-firkah sebanyak 72 firkah
dan akan berfirkah umatku sebanyak 73 firkah, semua masuk neraka
kecuali satu. Sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya siapa
yang satu itu. Maka rasul menjawab yang satu itu ialah orang yang
berpegang (beriktikad) sebagai peganganku (iktikadku) dan iktikad
sahabat-sahabatku (Tafsir Hadis riwayat Tirmidzi dalam Abbas,
1994:21).
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Thabrani mengenai Ahlu `s-Sunnah wa
`l-Jamaa‟ah, “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya.
Akan berfirkah umatku sebanyak 73 firkah, yang satu masuk surga dan yang lain
masuk neraka. Sahabat bertanya siapa firkah yang tidak masuk neraka ya rasul.
Rasul menjawab Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah” (Tafsir Hadis riwayat Thabrani
dalam Abbas, 1994:22). Penjelasan di atas merupakan alasan penelitian ini
mengkaji isi teks “MAI” dengan tinjauan akidah Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah.
Diberikannya alasan tersebut agar pembaca yakin bahwa penelitian ini tidak
hanya bersikap subjektif karena adanya dalil atau referensi mengenai kelebihan
kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah.
1. Pengkodean atau Pengklasifikasian
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan data yang diambil dari teks
“MAI”. Terdapat tujuh belas hal yang dipertanyakan dalam teks. Pertanyaan dan
isi tersebut dikodekan sebagai berikut.
1. Pengertian dan definisi iman
1.1 Definisi iman tertera pada nomor soal 1
1.2 Permasalahan-permasalahan lebih dalam mengenai iman tertera pada
nomor 13, 14, 15, 16, dan 17.
2. Macam-macam atau bagian-bagian dari rukun iman
2.1 Iman kepada Allah tertera pada nomor 2
2.2 Iman kepada malaikat-Nya tertera pada nomor 3
2.3 Iman kepada kitab-Nya tertera pada nomor 4 dan 5
2.4 Iman kepada nabi dan rasul-Nya tertera pada nomor 6, 7, 8, 9, 10
2.5 Iman kepada hari akhir tertera pada nomor 11
2.6 Iman kepada qadla dan kadar tertera pada nomor 12
Sesuai dengan pengkodean di atas dapat diperhatikan bahwa terdapat dua
bagian besar, yaitu mengenai pengertian atau definisi iman dan bagian-bagian dari
rukun iman. Bagian pertama terbagi menjadi dua subbagian, yaitu definisi iman
dan permasalahan-permasalahan mengenai keimanan. Bagian kedua terdiri dari
enam subbagian, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, nabi dan
rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk dari Allah.
2. Deskripsi dan Penjelasan Isi Teks
a) Definisi dan Permasalahan Keimanan
Di bawah ini akan dijelaskan subbagian dari bagian pertama, yaitu sebagai
berikut.
1) Definisi atau Pengertian Iman
Iman menurut Abu Laits dalam teks “MAI” ialah percaya seorang hamba
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab yang diturunkan Allah, para nabi
dan rasul, hari akhir, takdir Allah Swt. Hal tersebut merupakan pertanyaan dan
penjelasan pembuka dari Abu Laits seperti tertulis dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu apa iman. Maka jawab
percaya aku akan Allah dan percaya aku akan segala malaikat-Nya
dan percaya aku akan segala kitab-Nya dan percaya aku akan segala
pesuruh-Nya dan percaya aku akan hari yang kemudian dan percaya
aku akan untung baik dan untung jahat daripada Allah Taala
(“MAI”:1-2).
Hal tersebut sesuai dengan hadis nabi saw. yang diriwayatkan oleh Muslim
sebagai berikut. “Maka beritahu kami (Hai Rasulullah) tentang Iman! Nabi
Muhammad menjawab: Engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadla-kadar (nasib baik
atau jelek) (Tafsir Hadis Riwayat Muslim dalam Sirajuddin Abbas, 1994:36).
Definisi iman sendiri secara bahasa adalah dari bahasa Arab yang berarti
percaya (Al-Munawwir:45). Definisi iman dan akidah menurut para ulama adalah
sama dan ada pula yang berbeda. Bagi yang membedakan‚ mereka beralasan
bahwa akidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman‚ sedangkan iman
menyangkut aspek luar dan dalam. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek
luarnya berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Bagi yang
menyamakan ialah seperti menurut Asy‟ariyah (Shobron, 2006:7). Penyebutan
antara iman dan akidah tidak dibedakan dalam penelitian ini.
Akidah secara etimologi berakar dari kata „aqadla-ya‟qidu-„aqdan-
„aqiidatan. „Aqdan memiliki beberapa arti di antaranya adalah ialah‚ kokoh‚
ikatan‚ dan perjanjian. Setelah kata „aqdan, terbentuklah kata „aqidah yang berarti
keyakinan. Kaitan antara „aqdan dan „aqidah adalah keyakinan itu tersimpul
dengan kokoh di dalam hati‚ bersifat mengikat‚ dan mengandung perjanjian.
(Shobron‚ 2006:1). Akidah sering digunakan dalam ungkapan akad jual beli atau
akad nikah. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya sebuah usaha atau proses
untuk menjalin sebuah ikatan antara kedua pihak dan selanjutnya terjadi
kesepakatan di antara keduanya. Dengan demikian‚ akidah di sini diartikan
sebagai ikatan antara manusia dan Tuhan (Nurdin‚ 1995:78). Hamka dalam
Muslim Nurdin (1995:78) berpendapat akidah adalah pengikatan hati dan
perasaan kepada suatu kepercayaan, tidak dapat ditukar atau ditawar dengan yang
lain sehingga jiwa, raga‚ pikiran, dan pandangan hidup terikat kuat pada hal
tersebut.
Orang beriman adalah orang yang berikrar dengan lisan, membenarkan
dengan hati, dan mengamalkan dengan anggota tubuh. Iman merupakan hal paling
mendasar bagi seorang yang beragama. Seorang mukmin berarti orang yang telah
mengikatkan hatinya kepada aturan-aturan keimanan, yaitu percaya atas enam
elemen rukun iman. Hal tersebut seperti seorang yang melakukan perjanjian, yaitu
rela akan komitmen yang telah dibuatnya dan menerima konsekuensi atas
perbuatannya. Seseorang yang telah mengikat hatinya pada perjanjian keimanan,
tetapi tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan keimanannya
disebut sebagai orang yang membatalkan perjanjian. Contoh seorang yang
percaya (membenarkan dalam hati) dan telah berikrar bahwa tiada Tuhan selain
Allah, tetapi dalam realita kehidupannya ia melakukan kesyirikan, maka
perjanjian keimanan yang telah ia ikat menjadi batal.
Allah berfirman “Di antara manusia ada yang berkata: Kami beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Padahal sebenarnya mereka itu tidak beriman”
(Tafsir surat al-Baqarah:8). Sabda nabi saw., Islam adalah suatu (perbuatan) yang
tampak, sedang iman adalah sesuatu dalam hati (Hadis). Berdasarkan ayat dan
hadis, jelas bahwa iman tidak hanya cukup dengan perkataan lisan, tetapi hati dan
perbuatan pun harus mencerminkan keimanan. Oleh karena keimanan terletak di
dalam hati, tidak seorang pun berhak menilai makhluk lain beriman atau tidak.
Hal tersebut sesuai dengan hadis nabi saw. ketika terjadi pembunuhan oleh
Usamah kepada musuh, tetapi sebelum dibunuh ia membaca syahadat. Nabi saw.
bersabda, “Apakah ia telah membaca laa ilaaha illa `l-Laahu dan engkau
membunuhnya? Usamah menjawab, Wahai utusan Allah, ia mengucapkan kalimat
syahadat itu karena semata-mata takut dibunuh. Kemudian nabi berkata, Apakah
engkau telah membelah hatinya sehingga engkau mengetahui hatinya tidak
mengucapkan kalimat syahadat atau tidak” (Tafsir Hadis Riwayat Muslim dalam
Zuhdi, 1988:6).
Dari uraian di atas, jelas bahwa iman adalah urusan pribadi seorang hamba
dengan Tuhan. Oleh karena itu, iman merupakan pembenaran dalam hati (tasdik)
dan ucapan (ikrar), serta perbuatan yang dapat mencerminkan tentang adanya
Allah sebagai Tuhan Yang Esa, adanya malaikat Allah sebagai makhluk-Nya,
adanya nabi dan rasul sebagai hamba dan utusan-Nya, adanya kitab-kitab-Nya
sebagai pedoman manusia, adanya hari kiamat, dan adanya takdir baik dan buruk
dari Allah.
2) Permasalahan Terkait Keimanan
Beberapa hal permasalahan yang lebih mendalam terkait dengan keimanan
secara umum dibahas dalam teks “MAI”. Permasalahan mengenai keimanan
tersebut tertulis di akhir teks karena isi dan kandungan permasalahannya lebih
berat daripada permasalahan sebelumnya. Terdapat lima permasalahan yang
dimunculkan dalam teks, yaitu iman terbagi-bagi (bersuka-suka) atau tidak,
maksud dengan adanya iman, amalan syariat, seperti salat, puasa, zakat, haji,
percaya pada malaikat, kitab, rasul, kadar baik dan buruk, serta ittiba sunnah
(mengikuti sunah nabi) bagian dari rukun iman atau tidak, iman bersifat suci atau
tidak, dan iman bersifat kadim atau hadats (baru). Kelima permasalahan tersebut
akan dibahas satu persatu di bawah ini karena meskipun saling berkaitan perlu
adanya pembahasan yang fokus sehingga dapat memudahkan pembaca dalam
memahaminya.
a. Iman Tidak Terbagi-Bagi (Tidak Bersuka-Suka)
Dalam teks “MAI” tertulis mengenai pertanyaan apakah iman terbagi-bagi
(terpisah-pisah) atau tidak seperti pada kutipan di bawah ini.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau bermula iman itu bersuka-
suka atau tiada. Maka jawab bermula iman itu tiada bersuka-suka
karena bahwasanya dalam na‟aat dan akal dan roh dan jasad
daripada anak Nabi Adam karena bahwasanya iman itu pertunjuk
Allah atasnya, maka barang siapa mungkar suatu dalamnya maka
bahwasanya kafir (“MAI”:13-14).
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa iman tidak terbagi, melainkan harus
menyatu antara hati (na‟at), akal, dan roh. Anas Ismail Abu Daud berpendapat
dalam Ensiklopedi Dakwah (2005:215) bahwa iman berarti menyatakan dengan
lisan, meyakini dalam hati, dan mewujudkan dalam perbuatan. Kaum Ahlu `s-
Sunnah wa `l-Jamaa‟ah berpendapat bahwa iman membenarkan dengan hati dan
mengakui dengan lisan, tidak cukup pengakuan dalam hati saja. Dalam Sirajuddin
Abbas (1994:248) dinyatakan bahwa kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah tidak
cukup hanya mengakui adanya Tuhan saja, tetapi juga mengakui keesaan-Nya.
Maka dari itu, seseorang belum dianggap sebagai muslim apabila ia belum
menyatakan keimanannya dengan lisan. Ia harus berucap dengan lisannya bahwa
ia percaya terhadap enam rukun iman. Antara tiga elemen tersebut, yaitu hati,
lisan, dan perbuatan harus saling berkaitan, apabila salah satu darinya
menunjukkan keraguannya kepada enam rukun iman, maka dianggap telah keluar
dari Islam.
b. Pokok dari Keimanan
Dalam teks “MAI” tertulis “Inilah masalah jika ditanya orang engkau apa
yang dikehendaki iman itu. Maka jawab bermula dikehendaki iman itu ibarat
daripada tauhid” (“MAI”:)
Iman adalah sebuah istilah dari tauhid (pengesaan), dan pengertian tauhid
menurut ulama teologi adalah mengkhususkan pada yang disembah dengan
beribadah, serta iktikad terhadap keesaan-Nya, dalam zat, sifat dan perbuatan.
Adapun menurut ahli tasawuf, iman adalah seseorang tidak melihat kecuali pada
Allah, dengan artian, bahwa setiap perbuatan, gerak, dan diam yang terjadi di
alam adalah dari Allah. Maha Esa Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, mereka tidak
melihat sebuah perbuatan yang dimiliki kecuali dari Allah secara murni.
Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa yang paling pokok dari
keimanan adalah pengesaan Allah atau tauhid. Hal ini sesuai dengan hadis nabi
saw. yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim sebagai berikut.
Almusayyab bin Hazn r.a. berkata: Ketika Abu Thalib akan mati
datanglah nabi saw. ke rumahnya dan mendapatkan di sana ada
Abu Jahal bin Hisyam, Abdullah bin Abi Umayyah bin
Almughirah. Maka nabi saw. berkata kepada Abu Thalib: Ya ammi
(wahai paman) katakanlah „Laa ilaaha illa `l-Laaha‟, kalimat yang
akan menjadikan aku sebagai saksi untukmu di sisi Allah. Lalu
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: Hai Abu Thalib
apakah kamu akan meninggalkan agama Abdul Muthalib?
Kemudian nabi saw. menawarkan kembali kepada Abu Thalib dan
kedua orang itu menyanggah kembali sehingga akhirnya Abu
Thalib berkata: Bahwa dia tetap pada agama Abdul Muthalib dan
menolak kalimat „Laa ilaaha illa `l-Laaha‟. Lalu nabi saw.
bersabda: Demi Allah aku akan tetap membacakan istighfar
untukmu selama aku tidak dilarang untuk itu. Maka kemudian
Allah menurunkan ayat 113 surat At-Taubah: Tiadalah sepatutnya
bagi nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun
kepada Allah bagi orang-orang musyrik meskpun mereka kerabat
yang dekat, sesudah nyata bahwa mereka orang-orang ahli neraka
Jahim (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul
Baqi:12).
Dari kutipan hadis di atas, dapat diketahui bahwa pokok selamatnya
seseorang dari kedudukan kekafiran adalah dengan membaca laa ilaaha illa `l-
Laaha yang artinya tiada Tuhan selain Allah. Bacaan tersebut adalah bacaan tahlil
yang mengandung makna ketauhidan karena maknanya seorang hamba percaya
seyakin-yakinnya bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah dan dipercaya
kecuali hanya Allah Swt. Hadis tersebut menceritakan bahwa nabi hanya meminta
kepada pamannya, Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat tahlil tersebut agar ia
terhindar dari kekafiran. Ini menunjukkan seseorang yang telah menyatakan
bahwa tiada Tuhan selain Allah adalah orang yang telah beriman dan akan
terhindar dari kekafiran.
Orang kafir adalah orang yang merugi, sedangkan orang mukmin adalah
orang yang beruntung. Seseorang yang percaya kepada Allah dan tidak syirik atau
menyukutukan Allah dengan suatu apa pun akan masuk surga dan orang yang
syirik atau menyukutukan Allah pasti akan masuk neraka. Hal tersebut sesuai
dengan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Abduullah bin Mas‟ud
r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang mati dan ia mempersekutukan
Allah dengan suatu apa pun pasti masuk neraka. Dan aku berkata: Siapa yang
mati tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun pasti masuk surga”
(Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:29). Pada hadis
lain diterangkan bahwa orang yang tidak berbuat kesyirikan akan masuk surga,
meskipun banyak dosa yang dikerjakannya. Begitu pula sebaliknya, sebaik
apapun seseorang dan memiliki banyak amal kebaikan, tetapi ia menyukutukan
Allah, ia akan masuk ke dalam neraka. Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim tersebut berbunyi sebagai berikut.
Abu Dzar r.a. berkata: Saya datang kepada nabi saw. sedang beliau
tidur berbaju putih. Kemudian saya datang kembali dan ia telah
bangun. Lalu beliau bersabda: Tiada seorang hamba yang membaca
laa ilaaha illa `l-Laaha kemudian ia mati atas kalimat itu, melainkan
pasti masuk surga. Saya (Abu Dzar) bertanya: Meskipun ia telah
berzina dan mencuri? Nabi menjawab: Meskipun ia telah berzina dan
mencuri. Saya bertanya: Meskipun ia telah berzina dan mencuri?
Nabi menjawab: Meskipun ia telah berzina dan mencuri. Saya
bertanya: Meskipun ia telah berzina dan mencuri? Nabi menjawab:
Meskipun ia telah berzina dan mencuri, meskipun mengecewakan
hidung Abu Dzar (meskipun mengecewakan diri Abu Dzar) (Tafsir
Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:30).
Dari hadis di atas, dapat diketahui sejahat-jahat seseorang dalam
perbuatannya akan tetap masuk surga apabila ia tidak melakukan kesyirikan atau
menyekutukan Allah Swt.
c. Amalan Syariat Bagian dari Iman atau Tidak
Dalam teks “MAI” terdapat pembahasan mengenai amalan syariat, seperti
salat, zakat, haji, puasa, dan lain-lain tidak menjadi syarat rukun iman. Tertulis
dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau bermula sembahyang dan
puasa dan zakat dan haji dan asih akan malaikat dan asih akan segala
kitab dan asih akan segala pesuruh dan untung baik dan untung jahat
daripada Allah Taala dan lain daripada demikian itu daripada segala
suruh dan mungkar dan mengikuti jalan sunah nabi shalla `l-Laahu
„alaihi wa sallam daripada iman atau tiada. Maka jawab bermula
iman yaitu tauhid, dan lain daripada demikian itu maka yaitu
daripada segala syarat iman (“MAI”:14-15).
Bahwa yang terpenting dari iman adalah tauhid atau mengesakan Allah,
tiada Tuhan selain Dia. Setelah mempercayai hal tersebut, maka seorang hamba
harus melakukan hal-hal yang telah diperintahkan Allah Swt. Hal tersebut seperti
yang telah dibicarakan sebelumnya bahwa iman tidak dapat dipisah, yaitu ikrar
dengan lisan, tasdik dengan hati, dan mengamalkan hal-hal yang merujuk pada
keimanan itu sendiri. Amalan syariat selain keenam elemen rukun iman bukan
merupakan dari hakikat dan asal iman, tetapi itu semua cabang dari iman karena
iman adalah sebuah istilah dari tauhid sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Imam Nawawi (1351) berpendapat bahwa amalan selain rukun iman yang enam
tersebut termasuk ke dalam syarat iman dan cabang iman. Di antara syarat sahnya
iman adalah cinta kepada Allah, para malaikat, para nabi, takut akan adzab Allah,
mengharap rahmat-Nya, mengagungkan perintah dan larangan-Nya, dan benci
terhadap musuh-musuh Allah, yaitu orang-orang kafir.
Kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah berpendapat bahwa salat, puasa,
zakat dan haji adalah syarat kesempurnaan. Barang siapa yang meninggalkan
amalan-amalan syariat tersebut tanpa mengurangi kepercayaan atas enam elemen
rukun iman, maka ia adalah orang mukmin yang sempurna dalam memenuhi
hukum-hukum kemukminan di dunia dan di akhirat dan tempat kembalinya adalah
ke surga walaupun ia masuk ke neraka terlebih dahulu karena meninggalkan
perkara syariat di atas. Imam Nawawi berpendapat dalam Qatrul Ghaits (1351)
berdasarkan ijma‟ ulama jika hamba meninggalkan syariat tersebut karena
menentang atau ragu terhadapnya, maka mereka dihukumi menjadi kafir.
Berkaitan dengan cabang iman seperti tertulis di atas dijelasakan dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Nabi saw. bersabda:
Iman itu enam puluh cabangnya dan sifat malu itu cabang dari iman” (Tafsir
Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:15). Muslim
menambahkan: “Tujuh puluh lima cabang, yang utama kalimat Laa ilaaha illa `l-
Laaha dan yang terendah adalah menghalaukan gangguan di jalanan, serta malu
satu dari cabang iman” (Tafsir Hadis riwayat Muslim dalam Abdul Baqi,
2003:15).
d. Iman Suci atau Tidak
Dalam teks “MAI” dibahas mengenai sifat iman yang suci, tertulis “Inilah
masalah jika ditanya orang engkau bermula iman itu dengan sifat suci atau tiada.
Maka jawab bermula iman itu dengan sifat suci dan kafir itu dengan sifat hadats
binasalah dengan dia sekalian amal” (“MAI”:15-16). Dalam kutipan tersebut
dinyatakan bahwa iman memiliki sifat suci, sedangkan orang yang tidak beriman
(kafir) memiliki sifat hadast atau najis. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah
Swt., “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu
najis” (Tafsir surat At-Taubah:28).
Najis yang dimaksud bukan najis badannya, tetapi yang dimaksud adalah
semua amal yang telah dikerjakan dengan anggota-anggota badan akan menjadi
batal. Orang mukmin yang berpindah menjadi kafir, maka semua amalan di masa
sebelum ia kafir juga menjadi batal. Hal tersebut tertera dalam Alquran, “Barang
siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk oran-orang merugi” (Tafsir
surat Al-Maidah:5). Orang murtad atau keluar dari keimanan amal salih yang
diperbuatnya sewaktu masih beriman akan batal, maka semua itu sia-sia dan tidak
diberi pahala walaupun ia masuk islam kembali.
Rasulullah pun menerangkan bahwa orang musyrik yang telah melakukan
banyak kebaikan kemudian ia baru beriman, maka amalan-amalan kebaikannya
tidak akan diberi pahala. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut.
Hakim bin Hizam r.a. berkata: Ya Rasulullah, bagaimana
pendapatmu tentang ibadat yang telah saya lakukan di masa
jahiliyah, seperti sedekah, memerdekakan budak, dan silaturahmi.
Apakah mendapat pahala? Nabi menjawab: Anda masuk Islam
dengan apa yang telah anda lakukan dari amal kebaikan; yaitu
kamu akan mendapat pahala dari amal-amal yang lalu di masa
jahiliyah itu, selama kamu melakukan seperti itu sesudah Islam
(Tafsir Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dalam Abdul Baqi,
2003:41).
Dari hadis dan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa amalan-amalan
baik seorang yang belum beriman akan batal dan tidak mendapat pahala. Apabila
ia telah beriman, kemudian ia melakukan amalan salih, barulah ia mendapatkan
pahala atas kebaikannya.
e. Iman Kadim atau Baru
Pembahasan selanjutnya adalah iman merupakan makhluk, yaitu suatu
yang baru atau bukan makhluk, yaitu kadim (kekal). Dalam teks tertulis sebagai
berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau bermula iman itu makhluk
atau bukan makhluk. Maka jawab bermula iman itu pertunjuk Allah
Taala dan ikrar dengan lidah dan tasdik dengan hati dan
mengerjakan dengan segala anggota daripada perbuatan hamba
baharu karena firman Allah Taala dan bermula Allah yang
menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu. Maka hidayat itu
perbuatan Tuhan dan yaitu bukan makhluk karena bahwasanya
kadim dan barang yang hasil daripada kadim adanya kadim jua dan
ikrarkan dan tasdikkan dalam hati daripada perbuatan hamba dan
yaitu baharu maka tiap-tiap barang yang hasil daripada yang baharu
itu adalah ia baharu jua karena firman Allah Taala dan bermula
Allah menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu. Dan karena
firman nabi „shalla`l-Laahu ‟alayhi wa sallaama dijadikan iman itu
dan khuffah dengan kemurahan Allah Taala (“MAI”:16-17).
Dari kutipan di atas, iman merupakan hidayat dari Allah, yaitu
membenarkan dengan hati terhadap semua yang telah dibawa olah nabi saw. dan
ikrar dengan kalimat syahadat dengan lisan. Hidayat berasal dari Allah, maka ia
kadim. Adapun tasdik (membenarkan) dan ikrar ialah perbuatan hamba, maka
keduanya adalah muhdats (yang diciptakan/baru), yaitu yang ada setelah tiada.
Tiap-tiap yang datangnya dari kadim adalah kadim, sedangkan tiap-tiap yang
datangnya dari muhdats adalah muhdats.
Syekh Abu Mu‟in dalam Imam Nawawi (Qathrul Ghaits:42) berpendapat
tidak boleh mengatakan iman adalah makhluk atau bukan makhluk, tetapi boleh
mengatakan bahwa iman adalah dari hamba, yaitu berupa ikrar dengan lisan dan
tasdik dengan hati, serta iman adalah dari Allah, yaitu hidayat dan taufik.
Bajuri berbeda dengan Syekh Abu Mu‟in, ia berpendapat bahwa iman
adalah makhluk karena iman adalah membenarkannya hati serta ikrar dengan
lisan. Kedua-duanya adalah makhluk dan apa yang telah dikatakan bahwa iman
adalah kadim dengan mempertimbangkan terhadap hidayat itu keluar dari hakikat
iman. Namun, jika dilihat bahwa iman merupakan qadla yang azali, maka sah saja
jika dikatakan bahwa iman adalah kadim. Muhammad Khalil berpendapat dalam
Imam Nawawi (Qatrul Ghaits:43) dinukil dari Syamsi Ar-Ramli, iman adalah
membenarkannya hati terhadap hal yang telah diketahui secara pasti yang dibawa
Rasulullah saw. Adapun ikrar dengan lisan hanya merupakan syarat untuk
memenuhi hukum-hukum dalam agama. Iman adalah ikrar dan tasdik secara
bersamaan, tetapi ada pula yang berpendapat iman adalah ikrar dan amal. Oleh
karena itu, dari tiap-tiap perkataan di atas semuanya adalah makhluk karena hal
tersebut adalah perbuatan hamba yang diciptakan Allah.
Adapun keterangan Abu Laits As-Samarqandi dalam teks mengenai hal
tersebut adalah bahwa iman adalah ikrar dan hidayat. Ikrar adalah pekerjaan
hamba dan ia makhluk, sedangkan hidayat adalah penciptaan Allah dan ia bukan
makhluk. Maka dari itu, hidayat atau petunjuk Allah pada hamba adalah sebab
keimanan. Abul Hasan Al-Asy‟ari (1993:112) berpendapat bahwa petunjuk adalah
hak mutlak Allah. Dia memberikan petunjuk kepada sesuka Dia. Dia juga tidak
memberikan petunjuk ke semua manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman
Allah, “Banyak orang yang disesatkan Allah dan banyak pula orang yang
diberinya petunjuk” (Tafsir surat Al-Baqarah:26). Oleh karena itu, petunjuk
merupakan kadim karena datangnya dari Allah, tidak ada manusia yang dapat
memberikan petunjuk terhadap dirinya atau orang lain, kecuali jika Allah
menghendaki.
Berkenaan dengan amalan yang baik dan buruk, kaum Ahlu `s-Sunnah wa
`l-Jamaa‟ah berpendapat bahwa semuanya berasal dari Allah Swt. Hal tersebut
seperti yang tertera dalam Alquran, “Dan Tuhan yang menjadikan kamu dan apa-
apa yang kamu kerjakan” (Tafsir surat Ash-Shaffat:96). Dari ayat di atas dapat
diketahui bahwa manusia dan semua perbuatan berasal dari Allah Swt. Pada ayat
lain juga diterangkan, “Dan kalau mereka mendapat kebaikan, mereka katakan
ini dari Tuhan dan kalau mereka mendapat bahaya dikatakan ini dari engkau (hai
Muhammad). Katakanlah: Semuanya dari Tuhan, tetapi kenapa mereka tidak
mengerti sesuatu kejadian?” (Tafsir surat An-Nisa`:78). Ayat di atas secara jelas
menerangkan bahwa semua hal baik dan buruk berasal dari Allah. Perihal hal
buruk diterangkan dalam surat Hud, “Dan tiadalah berguna semua nasihatku
kepadamu jika aku suka memberi nasihat itu, jika Tuhan hendak menyesatkan
kamu. Dialah Tuhanmu dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan” (Tafsir surat
Hud:34). Semua perbuatan manusia itu telah diciptakan Allah dan tertulis dalam
azal sebelum dilaksanakan. Allah berfirman, “Tiada suatu bencana yang terjadi
di bumi dan pada diri kamu sendiri melainkan hal itu telah tertulis dalam kitab
(azal) sebelum kamu melaksanakan kejadiannya. Sesungguhnya hal demikian itu
bagi Allah mudah belaka” (Tafsir surat Al-Hadid:22).
Pembahasan mengenai keimanan sangatlah penting karena iman adalah
amal yang paling penting dan utama. Rasul bersabda dalam hadis, “Abu Hurairah
berkata: nabi saw. ditanya: Apakah amal yang utama? Nabi menjawab: Iman
kepada Allah dan Rasulullah. Lalu ditanya: Kemudian apa? Nabi menjawab:
Jihad berjuang fi sabilillah. Ditanya lagi: Kemudian apa? Nabi menjawab: Haji
yang mabrur” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dalam Abdul Baqi,
2003:26). Dengan iman, seorang dapat masuk ke dalam surga. Rasul bersabda
dalam hadis sebagai berikut.
Abu Ayyub Al-Anshari r.a. berkata: Seorang Badwi menghadang
nabi saw. di tengah jalan, lalu memegang kendali unta kendaraan
nabi saw. dan bertanya: Ya Rasulullah, beritakan padaku amal yang
dapat memasukkan aku ke surga. Maka sahabat bertanya-tanya:
Mengapa, mengapa orang itu? Jawab nabi saw.: Ada
kepentingannya. Lalu nabi saw. menjawab: Hendaknya anda
menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya dengan suatu apa
pun, mendirikan sembahyang, dan menunaikan (mengeluarkan)
zakat, dan menghubung famili (kerabat). Kemudian nabi saw.
berkata padanya: Lepaskan kendali unta itu (Tafsir Hadis riwayat
Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:6).
Dengan adanya definisi dan pengertian mengenai iman yang lengkap,
maka keimanan tidak lagi hanya sekadar khayalan belaka. Iman menjadi suatu hal
yang ilmiah dan rasional. Dengan begitu, pembaca dapat memahami Islam dengan
baik.
b) Macam atau Bagian dari Rukun Iman
Rukun iman ada enam elemen, yaitu dimulai dari percaya akan Allah dan
diakhiri dengan percaya atas qadla dan kadar-Nya. Sirajuddin Abbas (1994:36)
menyatakan bahwa paham kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah yang telah
disusun oleh Abu Hasan Al-Asy‟ari terbagi atas enam bagian, yaitu tentang
keTuhanan, tentang malaikat-malaikat, tentang kitab-kitab suci, tentang kenabian
dan kerasulan, tentang hari akhir, dan tentang qadla dan kadar. Pembagian
tersebut sesuai dengan hadis nabi, “Iman ialah engkau percaya kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab suci-Nya, para utusan-Nya, hari kemudian, dan
engkau percaya kepada takdir baik dan buruk dari Allah” (Syarah Matan al-
Arba‟in dalam Zuhdi, 1988:4).
Keenam elemen tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau tidak
dapat ditinggalkan salah satunya karena syarat iman seperti yang telah disabdakan
nabi di atas merupakan satu kesatuan. Jika terdapat satu dari keenam tersebut
tidak diyakini oleh seorang hamba, maka tidak bisa hamba itu disebut orang
mukmin lagi karena telah meragukan salah satu dari keenam aspek di atas.
Dalam beberapa pertanyaan dalam teks digunakan kata tanya bagaimana
yang berarti menanyakan cara. Cara pada konteks ini adalah bagaimana sikap
seorang hamba dinilai telah mengimani rukun-rukun iman atau akidah Islam.
Keterangan cara merupakan dalil agar seorang hamba dapat meyakini seyakin-
yakinnya dengan apa yang dipercaya karena manusia sebagai seorang hamba
dikaruniai akal pikiran sehingga tidak akan cukup kuat untuk percaya atau yakin
kepada suatu hal tanpa ada rasionalitas dalam hal-hal yang ia harus yakini.
Pembahasan keenam elemen dan cara meyakininya dibahas satu persatu sebagai
berikut.
1) Iman Kepada Allah
Iman yang pertama adalah iman kepada Allah. Sebuah hadis nabi saw.
menjelaskan bahwa pertama kali dalam beriman adalah ucapan laa ilaaha illa `l-
Laaha (Tiada Tuhan selain Allah). Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut.
Almusayyab bin Hazn r.a. berkata: Ketika Abu Thalib akan mati
datanglah nabi saw. ke rumahnya dan mendapatkan di sana ada Abu
Jahal bin Hisyam, Abdullah bin Abi Umayyah bin Almughirah.
Maka nabi saw. berkata kepada Abu Thalib: Ya ammi (wahai
paman) katakanlah „Laa ilaaha illa `l-Laaha‟, kalimat yang akan
menjadikan aku (Muhammad) sebagai saksi untukmu di sisi Allah.
Lalu Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: Hai Abu
Thalib apakah kamu akan meninggalkan agama Abdul Muthalib?
Kemudian nabi saw. menawarkan kembali kepada Abu Thalib dan
kedua orang itu menyanggah kembali sehingga akhirnya Abu Thalib
berkata: Bahwa dia tetap pada agama Abdul Muthalib dan menolak
kalimat „Laa ilaaha illa `l-Laaha‟. Lalu nabi saw. bersabda: Demi
Allah aku akan tetap membacakan istighfar untukmu selama aku
tidak dilarang untuk itu. Maka kemudian Allah menurunkan ayat 113
surat At-Taubah: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang
yang beriman untuk memintakan ampun kepada Allah bagi orang-
orang musyrik meskpun mereka kerabat yang dekat, sesudah nyata
bahwa mereka orang-orang ahli neraka Jahim (Hadis riwayat
Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi:12).
Dari hadis di atas, dapat diketahui bahwa pokok dari iman adalah
meniadakan Tuhan selain Allah. Oleh karena itu, pada rukun iman yang enam
percaya akan Allah Swt. merupakan urutan pertama. Iman kepada Allah dalam
teks “MAI” hanya satu permasalahan, yaitu mengenai cara mengimani Allah.
Tertulis dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu dan betapa percaya
engkau akan Allah. Maka jawab bahwasanya Allah Taala Esa zat-
Nya dan Esa Sifat-Nya, Yang Hidup, Yang Tahu, Yang Kuasa, Yang
Mendengar, Yang Melihat, Yang Berkehendak, Yang Berkata, Yang
Kekal, Yang Menjadikan, Tuhan dengan tiada sekutu dan tiada
timbangan dan tiada lawannya tiada seumpamanya suatu dan yaitu
Yang Amat Mendengar Yang Amat melihat (“MAI”:2).
Pada kutipan di atas, diketahui bahwa Allah Swt. harus diyakin seyakin-
yakinnya karena Ia adalah zat yang mempunyai segala sifat, di antaranya adalah
sifat Jalal (kebesaran) dan sifat Kamal (kesempurnaan). Beberapa sifat yang
tertulis dalam kutipan hanya beberapa sifat yang dimiliki Allah. Allah Yang Maha
Esa, baik zat maupun sifat. Logika berpikirnya adalah keesaan adalah mutlak bagi
khaliq (pencipta) karena tidak mungkin terdapat dua orang pencipta sekaligus
sehingga akan menimbulkan konflik antarpencipta. Artinya Allah adalah Esa zat
dan sifat-Nya, hanya Allah Tuhan Yang Tunggal, tidak ada yang menyekutui-
Nya. Hal tersebut seperti firman Allah “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha
Esa” (Tafsir surat Al-Ikhlas:1).
Allah Yang Maha Hidup artinya Allah tetap selalu dalam keadaan hidup.
Hidup di sini tidak menggunakan nyawa karena Allah berfirman, “Tiap-tiap yang
berjiwa (bernafas) akan merasakan mati” (Tafsir surat Ali Imrah:185). Jadi
mustahil bagi Allah memiliki sifat mati karena akan berantakan alam semesta ini
jika tidak ada yang mengaturnya (Abbas, 1994:42). Diterangkan dalam Alquran
bahwa Allah Maha Hidup yaitu, “Allah, Tiada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)”
(Tafsir surat Al-Baqarah:255).
Allah Yang Maha Tahu atau ‟aalimun artinya Allah tetap selalu dalam
keadaan tahu dan mustahil bagi Allah dalam keadaan tidak mengetahui. Allah
bersifat ilmu atau berpengetahuan, yaitu Allah tahu seluruhnya, tahu yang telah
dijadikan-Nya sehingga alam semesta ini masih berjalan dengan teratur. Mengenai
Allah Maha Tahu telah difirmankan dalam Alquran yaitu, “Dan Dia (Allah) Maha
Mengetahui segala sesuatu” (Tafsir surat Al-Baqarah:29).
Allah Yang Maha Kuasa atau qaadirun artinya Allah tetap selalu dalam
keadaan berkuasa dan mustahil bagi Allah dalam keadaan lemah (dha‟iifun).
Maksudnya tidak sedetik pun Dia bersifat lemah karena jika Allah lemah maka
makhluk atau ciptaan-Nya tidak akan ada. Diterangkan dalam Alquran, “Dan
adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu” (Tafsir surat Al-Ahzab:27).
Sifat Allah selanjutnya dalam teks “MAI” adalah Allah Mendengar atau
samii‟un artinya Allah mempunyai sifat mendengar dan mustahil bagi-Nya
mempunyai sifat tuli, tidak masuk akal jika Allah memiliki sifat kekurangan.
Maksudnya Allah selalu dalam keadaan mendengar, tidak ada sekejap pun Allah
dalam keadaan tuli. Diterangkan dalam Alquran, “Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Tafsir surat Al-Baqarah:181).
Allah Yang Maha Melihat atau bashiirun, yaitu Allah memiliki sifat Maha
Melihat, tetap selalu dalam keadaan melihat dan mustahil bagi-Nya dalam
keadaan buta. Allah tidak mungkin memiliki kekurangan dan sifat buta adalah
sifat kekurangan sehingga tidak mungkin Allah memiliki sifat buta. Mengenai
Allah Maha Melihat diterangkan dalam Alquran, “Dan Dia (Allah) mendengar
lagi melihat” (Tafsir surat Asy-Syura:11). Pada ayat yang lain dalam Alquran
tertulis, “Apakah mereka mengira bahwa Kami (Allah) tidak mendengar rahasia
dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya Kami mendengar dan utusan-utusan
(malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka” (Tafsir surat Az-
Zukhruf:80).
Allah Maha Berkehendak atau muriidun, artinya Allah memiliki sifat
iradah yaitu Allah menetapkan sesuatu menurut kehendak-Nya dan mustahil bagi
Allah tidak menurut kehendak-Nya sendiri atau dipaksa kekuatan lain untuk
melakukan sesuatu. Apabila terdapat kekuatan lain dalam memutuskan segala
perkara, maka Dia bukan lagi Tuhan karena terdapat suatu yang lemah. Allah
selalu dalam keadaan menghendaki dan tidak sekejap pun dalam keadaan tidak
menghendaki. Hal tersebut seperti diterangkan dalam Alquran, “Allah berbuat
apa yang dikehendaki-Nya” (Tafsir surat Al-Baqarah:254) dan pada surat Al-
Qashash, “Dan Tuhanmu menjadikan apa yang Dia mau dan yang Dia
kehendaki” (Tafsir surat Al-Qashash:68).
Sifat selanjutnya adalah Allah Maha Berkata atau mutakallimun artinya
Allah selalu dalam keadaan berkata, mustahil Allah bisu dalam sekejap pun. Dia
memiliki sifat kalam karena jika tidak tidak mungkin Dia dapat memerintah
dengan baik. Dalam Alquran pun telah dijelaskan, “Dan Allah telah berbicara
langsung kepada Musa dengan langsung (sebenar berkata-kata)” (Tafsir surat
An-Nisa`:163).
Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta, Dia yang pertama
kali ada dan Dia yang akan selamanya ada. Maka dari itu, Allah memiliki sifat
Maha Kekal atau baaqun artinya Allah kekal selama-lamanya, mustahil bagi-Nya
akan lenyap. Tuhan tidak akan habis karena jika Tuhan dapat berakhir tidak ada
lagi Tuhan. Tuhan kekal selama-lamanya dan Dia akan mengekalkan surga dan
neraka beserta penghuni-penghuninya (Abbas, 1994:39). Hal tersebut sesuai
dengan firman Allah Swt., “Allah tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus” (Tafsir surat Ali Imran:2) dan dalam
surat Al-Qashash, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa (lenyap) kecuali Allah” (Tafsir
surat Al-Qashash:88).
Allah bersifat Maha Menjadikan atau khalaaqun artinya Allah sebagai
Tuhan yang berkuasa atas segala hal sudah sepantasnyalah Dia menciptakan
segala hal yang ada di dalam semesta. Mustahil bagi Allah sebagai Tuhan tidak
memiliki sifat pencipta, maka siapa yang telah menciptakan alam ini jika bukan
Allah. Diterangkan dalam Alquran, “Allah adalah pencipta segala sesuatu dan
Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Perkasa” (Tafsir surat Ar-Ra‟du:16), dalam
surat Al-Baqarah juga diterangkan, “Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia
berkehendak untuk menciptakan sesuatu. Dia mengucapkan kepadanya: Jadilah!
Maka Jadilah” (Tafsir surat Al-Baqarah:117), dan diterangkan dalam surat Al-
An‟am, “Demikianlah itu adalah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan selain Dia,
Pencipta segala sesuatu” (Tafsir surat Al-An‟am:102).
Allah adalah Tuhan dengan tiada sekutu atau laa syariikin artinya Allah
tidak berkawan atau berkomplotan dalam melakukan sesuatu karena Dia Maha
Kuasa atas segalanya. Mustahil bagi Allah bersekutu karena apabila Tuhan
bersekutu Dia tidak lagi berkuasa dan berkehendak atas diri-Nya sehingga sangat
mustahil Dia memiliki sekutu. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Alquran,
“Tidak ada persekutuan Dia dengan sesuatu pun dan tidak sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah” (Tafsir surat Ali
Imran:64). Pada ayat lain tertulis, “Hai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tiada
Tuhan bagimu selain Dia” (Tafsir surat Hud: 84). Diterangkan dalam hadis nabi
bahwa seorang hamba akan mendapat dosa yang sangat besar jika ia
mempersekutukan Allah, Hadis tersebut sebagai berikut.
Abdullah bin Mas‟ud r.a. berkata: Aku bertanya kepada nabi saw.
Apakah dosa yang terbesar di sisi Allah? Jawab nabi saw.: Jika kamu
mengadakan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang menjadikan
kamu. Aku bertanya: Kemudian apa? Jawab nabi saw.: Jika kamu
membunuh anakmu khawatir makan bersamamu. Aku bertanya:
Kemudian apa? Nabi saw. menjawab: Berzina dengan isteri
tetanggamu (Tafsir hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul
Baqi:27).
Allah memiliki sifat tidak ada lawan atau tandingannya, artinya sebagai
khalik tidak akan ada satu pun makhluk yang dapat melawan Allah. Jika Allah
dapat ditandingi oleh suatu kekuatan, maka hilanglah kemahakuasaannya
sehingga mustahil bagi Allah memiliki kekurangan tersebut. Hal tersebut tertulis
dalam Alquran, “Dan tiada timbangan dan tiada lawannya dan tiada seorang pun
yang setara dengan Dia (Allah)” (Tafsir surat Al-Ikhlas:4).
Allah tiada yang menyerupai-Nya sedikit pun, jika ada suatu yang dapat
menyamainya maka Allah tidak lagi bersifat Esa karena terdapat dua kekuatan
yang sama. Maka dari itu, mustahil bagi suatu hal pun yang dapat menyamai-Nya.
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Alquran sebagai berikut.
Dia (Allah) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu
dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang
ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang
biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia
dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat (Tafsir surat Asy-
Syuuraa:11).
Dalam Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah dikenal dua puluh sifat wajib bagi
Allah, yaitu sifat-sifat yang mesti ada pada Allah Swt., yaitu Wujud‚ Qidam‚
Baqa‚ Mukhalafatuhu Ta‟ala li `l-hawaditsi‚ Qiyamuhu bi nafsihi‚ Wahdaniah‚
Qudrat‚ Iradah‚ Ilmu‚ Hayat‚ Sama‟‚ Bashar‚ Kalam‚ Kaunuhu Qadiran‚
Kaunuhu Muridan‚ Kaunuhu Aliman‚ Kaunuhu Hayyan‚ Kaunuhu Sami‟an‚
Kaunuhu Bashiran‚ Kaunuhu Mutakalliman.
Dengan mengetahui sifat-sifat Allah tersebut seorang hamba akan lebih
yakin untuk percaya kepada Allah karena keterangan yang logis mengenai sifat
Allah. Misal, adanya sifat pencipta atau yang menciptakan segala sesuatu. Secara
logis apabila manusia melihat sekelilingnya, ia akan bertanya siapa yang
menciptakan alam semesta ini, tidak mungkin adanya sesuatu tanpa ada yang
menciptakan. Dengan mengetahui sifat Allah khalaaqun atau pencipta (segala
sesuatu) pertanyaan tersebut dapat dijawab. Contoh lain mengenai sifat Allah
Maha Esa. Secara logika, tidak mungkin ada dua Tuhan atau Ilah karena dengan
adanya dua Tuhan maka timbul dua kekuatan dan dua kehendak. Akhirnya tidak
akan alam semesta berjalan teratur seperti yang dilihat sekarang ini. Oleh karena
mempercayai Allah adalah kewajiban bagi tiap hamba, maka mempelajari hal-hal
yang dapat menumbuhkan kepercayaan tersebut menjadi wajib pula.
2) Iman Kepada Malaikat-Malaikat Allah
Bagian kedua dari rukun iman adalah percaya bahwa ada suatu makhluk
halus yang dijadikan dari nur (cahaya)‚ bernama malaikat. Sabda rasul saw.,
“Malaikat dijadikan dari cahaya, jin dari api dan Adam dijadikan dari sesuatu
yang telah diterangkan oleh Allah sendiri” (Tafsir Hadis riwayat Muslim dari
Aisyah dalam Zuhdi, 1988:27). Malaikat tercipta dari cahaya, artinya berasal dari
immaterial being (bukan barang yang berupa materi) sehingga tidak dapat dilihat
manusia. Oleh karena malaikat tidak berasal dari barang yang berupa materi,
mereka dapat berubah-ubah bentuk dan rupa menurut kehendaknya atas izin Allah
Swt. Sebagai contoh ketika malaikat Jibril diutus Allah untuk mengkabarkan
kepada Maryam bahwa ia akan mendapatkan seorang anak. Hal tersebut ditulis
dalam Alquran sebagai berikut.
Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka, lalu
Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di
hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam
berkata: Sesungguhnya aku berlindung darimu kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah jika kamu seorang yang bertakwa. Ia (Jibril) berkata:
Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk
memberimu seorang anak laki-laki yang suci (Tafsir surat
Maryam:17-19).
Suatu ketika malaikat Jibril pernah datang menemui nabi menyamar
menjadi seorang laki-laki dengan berpakaian putih dan berambut hitam. Ia
bertanya kepada nabi perihal iman, islam, dan ihsan. Setiap nabi memberi
jawaban atas pertanyaan tersebut, laki-laki tersebut membenarkan perkataan nabi.
Setelah laki-laki tersebut pergi, nabi bertanya kepada Umar (salah satu sahabat
nabi yang hadir pada waktu itu), “Hai Umar, siapakah laki-laki yang bertanya
tadi? Umar menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih tau.” Maka nabi
bersabda, “Sesungguhnya ia adalah Jibril, datang kepadamu untuk mengajar
agamamu kepada kamu sekalian” (Tafsir syarah Matan al-Arba‟in dalam Zuhdi,
1998:28). Pada surat lain dalam Alquran diceritakan bahwa malaikat datang
kepada Nabi Ibrahim sebagai berikut.
Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah
datang kepada Nabi Ibrahim dengan membawa kabar gembira.
Mereka mengucapkan selamat. Ibrahim menjawa selamatlah, maka
tidak lama kemudian Nabi Ibrahim menyuguhkan daging anakn sapi
yang dipanggang. Maka tatkala diliha oleh Nabi Ibrahim tangan
mereka tidak menjamahnya, Nabi Ibrahim memandang aneh
perbuatan mereka dan merasa takut kepada mereka. Malaikat
berkata: Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-
malaikat) yang diutus kepada kaum Luth (Tafsir surat Hud:69-70).
Pembahasan mengenai iman kepada para malaikat Allah dalam teks
“MAI” terdiri dari satu permasalahan, yaitu mengenai cara mengimani malaikat-
malaikat Allah. Tertulis dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu dan betapa percaya
engkau dengan malaikat. Maka jawab bahwasanya malaikat itu
berbahagi-berbahagi dan setengah mereka itu menanggung ‟arsy dan
setengah mereka itu mengelilingi ‟arsy dan setengah mereka itu
bangsa rohani dan setengah mereka itu bangsa kurubiyyun dan
setengah mereka itu bangsa safarah artinya Jibrail dan Mikail dan
Israfil dan Izrail alaihi salam dan setengah mereka itu memelihara
dan setengah mereka itu menulis dan lain demikian itu sekalian
mereka itu. Dijadikan mereka itu segala hamba Allah tiada disifatkan
mereka akan laki-laki dan tiada disifatkan akan perempuan dan tiada
mereka itu syahwat dan tiada nafsu dan tiada bapak dan tiada ibu dan
tiada mereka berbuat durhaka akan Allah barang yang disuruh Allah
akan mereka itu dan berbuat mereka itu barang yang disuruh Allah
mereka itu. Dan bermula kasih mereka itu jadi syarat iman dan benci
mereka itu jadi kafir (“MAI”:3-4).
Kutipan di atas, menjelaskan deskripsi mengenai malaikat-malaikat Allah.
Dijelaskan di atas bahwa malaikat itu terbagi ke dalam beberapa jenis sesuai
dengan tugasnya. Beberapa tugas malaikat yang tertulis dalam teks adalah
sebagian dari mereka menanggung arsy atau Haamalaatu `l-„arsy. Haamalaah
merupakan jamak dari kata Haamilun yang artinya pembawa. Tugas malaikat
penanggung arsy juga telah diterangkan dalam Alquran, “(Malaikat-malaikat)
yang memikul arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji
Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang
yang beriman” (Tafsir surat Ghafir:7) dan pada surat Al-Haqqah, “Dan malaikat-
malaikat berada di penjuru langit. Dan pada hari itu, delapan malaikat
menjunjung arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka” (Tafsir surat Al-Haqqah:17).
Merujuk pada keterangan Imam Nawawi, bahwa malaikat pemikul arsy adalah
malaikat tertinggi tingkatannya dari para malaikat yang pertama diciptakan.
Mereka di dunia ada empat dan di akhirat ada delapan.
Sebagian malaikat bertugas mengelilingi arsyi atau Haafuuna yang
merupakan jamak dari Haafun atau agen (pelaku) yang melakukan perbuatan
mengelilingi. Tugas malaikat pengeliling arsy dikuatkan dengan firman Allah
dalam Alquran, “Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat
berlingkar di sekeliling arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya” (Tafsir surat
Az-Zumar:75). Wahab bin Munabbih dalam keterangan kitab qathru `l-ghaits
menyatakan di sekitar arsy terdapat tujuh puluh ribu saf yang terdiri dari para
malaikat. Apabila malaikat tersebut bertemu satu sama lain, mereka akan bertahlil
dan bertakbir. Di belakang tujuh puluh ribu saf tersebut, terdapat tujuh puluh ribu
saf malaikat yang mengangkat tangannya sampai ke leher dan ketika mendengar
takbir dan tahlil malaikat tadi seraya mereka melantangkan suaranya, “subhanaka
`l-Laahumma wa bi hamdika maa a`dhamaka wa maa ahlamaka anta `l-Laahu
laa ilaaha ghayruka anta `l-Akbaru wa `l-khalqu kulluhum laka raaji‟uuna.”74
(Iman Nawawi, 1898:16).
Dalam teks tertulis bahwa sebagian malaikat memiliki tugas sebagai
rohaniyyuuna atau bangsa jiwa. Iman Nawawi Al-Bantani dalam Qatrul Ghaits
menyatakan bahwa malaikat berada di ardhu `l-baydha (bumi yang putih), yaitu
tempat ibarat sebuah batu marmer yang lebarnya empat puluh hari perjalanan
matahari dan panjangnya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah.
Para malaikat adalah bangsa karubiyyun, yaitu pemimpin malaikat yang
berada di arsy. Adapun safarah di sini merupakan jamak dari kata safiir dengan
makna utusan, bukan saafir yang bermakna sekretaris. Kata safarah sebenarnya
mengacu pada malaikat yang empat, yaitu malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan
Izrail. Jibril adalah malaikat yang turun kepada semua nabi, Mikail adalah
malaikat yang menjadi staf perhujanan, Israfil adalah malaikat yang meniupkan
sangkakala, dan Izrail adalah malaikat pencabut nyawa.
Malaikat Jibril tidak hanya bertugas menemui para nabi dan rasul, tetapi
juga bertugas sebagai pengantar wahyu kepada para nabi dan rasul seperti yang
telah difirmankan Allah, “Sesungguhnya Alquran itu benar-benar firman Allah
yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril) yang mempunyai kekuatan dan
kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai „arsy” (Tafsir surat At-
Takwir:19-20). Malaikat Mikail bukan hanya sekedar staf perhujanan, tetapi
tugasnya adalah mengenai persoalan kesejahteraan umat, seperti mengatur hujan,
tanah, angin, dan hal-hal yang menyangkut dengan kesuburan. Firman Allah
berkenaan dengan malaikat Mikail, yaitu “Barang siapa yang bermusuhan
74
Qathrul Ghaits karya Iman Nawawi, Ulama dari Banten meninggal pada 1898 M.
dengan Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, Mikail, maka
bahwasanya Allah musuh bagi orang kafir itu” (Tafsir surat Al-Baqarah: 98).
Mengenai malaikat Israfil yang bertugas meniup sangkakala atau terompet sebagai
tanda kiamat dan tanda dibangkitkannya kembali manusia di padang mahsyar juga
telah diterangkan dalam Alquran, “Dan ditiuplah terompet (sangkakala),
kemudian orang-orang yang di langit dan di bumi mati, kecuali yang dikehendaki
Tuhan tidak akan mati. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-
tiba mereka berdiri menunggu atau melihat (putusannya masing-masing)”(Tafsir
surat Az-Zumar:68). Ada pula perkataan nabi saw., “Berkata nabi saw.: Malaikat
Israfil itu tukang tiup terompet” (Tafsir Hadis riwayat Ahmad dan Hakim dalam
Abbas, 1994:51). Malaikat Izrail adalah malaikat yang bertugas mencabut nyawa,
seperti yang tertera dalam Alquran, “Katakanlah (Hai Muhammad): Malaikat
maut yang diserahi untuk mencabut nyawamu akan mematikanmu. Hanya kepada
Tuhanmulah kamu dikembalikan” (Tafsir surat As-Sajadah:11). Pada ayat lain
juga diterangkan “dan diutus-Nya malaikat-malaikat penjaga sehingga apabila
datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh
malaikat-malaikat Kami. Dan malaikat-malaikat Kami tidak akan melalaikan
kewajibannya” (Tafsir surat Al-An‟am:61).
Allah menugaskan malaikat untuk memelihara dan menjaga manusia atau
bersifat hafdlatun. Kata Hafdlatun merupakan jamak dari kata Haafidlun yang
berarti penjaga. Mengenai malaikat penjaga manusia telah difirmankan dalam
Alquran, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah”
(Tafsir surat Ar-Ra‟du:11).
Dalam kitabnya, Imam Nawawi juga mengatakan bahwa suatu ketika
Utsman bin Affan bertanya kepada nabi: “Berapa jumlah para malaikat yang ada
pada manusia?” Rasul menjawab: dua puluh malaikat; satu malaikat dari sebelah
kananmu yang menjadi pemimpin sebelah kirimu. Jika kamu melakukan
kejahatan, maka malaikat sebelah kiri berkata kepada malaikat dari sebelah kanan,
“Apakah akan aku tulis?” Malaikat sebelah kanan menjawab, “Jangan siapa tahu
ia akan bertaubat.” Lalu malaikat sebelah kiri bertanya lagi, “Apabila tidak
bertaubat?” Malaikat sebelah kanan menjawab, “Iya, tulislah, semoga Allah
menyenangkan pada kita dari itu.” Nama malaikat sebelah kananmu adalah Rakib
yang menulis kebaikan dan malaikat sebelah kirimu adalah Atid yang menulis
amal keburukan. Dua malaikat berada di hadapan dan belakangmu, satu malaikat
memegang kening (nashiyah)mu, apabila kamu tawaduk terhadap Allah maka ia
akan mengangkatmu dan apabila kamu sombong terhadap Allah maka ia akan
menghancurkanmu, dua malaikat pada kedua bibirmu, mereka tidak
mengingatkanmu kecuali untuk berselawat pada Nabi Muhammad saw., satu
malaikat pada mulutmu yang tidak akan membiarkan ular atau serangga masuk ke
dalam mulutmu, dan dua malaikat pada kedua belah matamu. Disebutkan bahwa
nama mereka adalah Syawiyyah. Mereka adalah sepuluh malaikat yang ada pada
manusia, lalu malaikat malam akan turun menggantikan malaikat siang sehingga
jumlahnya ada dua puluh.
Mengenai Rakib dan Atid tertulis pula dalam Alquran, “Tidak suatu
ucapan pun yang diucapkannya melainkan semuanya dicatat oleh Malaikat Rakib
dan Atid” (Tafsir surat Qof:18). “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada
(malaikat-malaikat) yang mengawasi pekerjaanmu. Yang mulia di sisi Allah dan
mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (Tafsir surat Al-Infithar:10-12).
Dalam teks tertulis pula jenis malaikat yang bertugas sebagai kutubatun
atau sekretaris Allah. Kutubatun merupakan jamak dari kata Kaatib atau orang
yang menulis. Tugas mereka sesuai keterangan Imam Nawawi dalam kitabnya
adalah menghapus catatan di Lauhu `l-mahfudl. Sebagian dari mereka ada yang
memiliki sayap, ada yang dua sayap-dua sayap, tiga sayap-tiga sayap, empat
sayap-empat sayap, dan seterusnya menurut kehendak dan kebijaksanaan Allah.
Sirajuddin Abbas (1994:50) berpendapat bahwa iktikad Ahlu `s-Sunnah wa
`l-Jamaa‟ah adalah harus percaya malaikat berjumlah banyak dan tidak terhitung.
Setiap malaikat mempunyai tugas masing-masing dari Tuhan. Akan tetapi, yang
harus diketahui ada sepuluh malaikat, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar,
Nakir, Rakib, Atid, Malik, dan Ridwan.
Malaikat Munkar dan Nakir adalah malaikat yang bertugas untuk
menanyakan orang-orang yang telah mati di kubur. Selain malaikat-malaikat di
atas, terdapat pula malaikat-malaikat yang bertugas menjaga surga dan neraka,
yaitu malaikat Ridwan sebagai penjaga surga dan Malik sebagai malaikat penjaga
Neraka atau sering disebut sebagai malaikat Zabaniyyah. Malaikat Zabaniyyah
atau Malik juga diterangkan dalam Alquran, “Kelak Kami akan memanggil
malaikat Zabaniyyah” (Tafsir surat Al-„Alaq:18).
Beberapa keistimewaan malaikat yang lain adalah sebagian dari mereka
hanya bertasbih atas keagungan Allah Swt. Hal tersebut tertulis dalam Alquran,
“Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling
arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya” (Tafsir surat Az-Zumar:75). Pada ayat
lain dalam Alquran juga diterangkan bahwa malaikat bertasbih dan bersujud
kepada Allah, yaitu "Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu
tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan
hanya kepada-Nyalah mereka bersujud” (Tafsir surat Al-A‟raf:206). Dalam surat
Al-Anbiya diperjelas pula bahwa malaikat selalu memuji (bertsabih) kepada
Allah, “Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya” (Tafsir
surat Al-Anbiya`:20).
Malaikat tidak disifati laki-laki atau perempuan. Mereka tidak memiliki
hawa nafsu sehingga terjaga kesuciannya. Maka dari itu, mereka adalah makhluk
yang mulia, seperti yang telah difirmankan Allah, “Sebenarnya malaikat-malaikat
itu adalah hamba-hamba yang dimuliakan” (Tafsir surat Al-Anbiya`:26).
Malaikat tidak pernah menentang perintah Allah Swt. seperti yang telah
difirmankan Allah dalam Alquran, “Dan malaikat-malaikat Kami tidak akan
melalaikan kewajibannya” (Tafsir surat Al-An‟am:61). Oleh karena malaikat
tidak pernah sekali pun menentang perintah-Nya, maka mereka merupakan
makhluk yang selalu menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Hal tersebut
sesuai dengan firman Allah, “Dan malaikat-malaikat yang di sisi-sisi-Nya tiada
rasa angkuh untuh menyembah-Nya dan tiada mereka letih” (Tafsir surat Al-
Anbiya`:19). Pada ayat lain dijelaskan pula bahwa malaikat selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan Allah, “Malaikat-malaikat itu tidak pernah mendurhakai
Tuhan dalam sekalian perintah-Nya. Mereka tetap mengerjakan apa yang
diperintahkan kepada mereka” (Tafsir surat At-Tahrim:6). Selain ayat-ayat
tersebut, tertulis pula dalam surat Al-Anbiya`, yaitu “Mereka (para malaikat)
tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintha-
perintah-Nya” (Tafsir surat Al-Anbiya`:27).
Para malaikat selalu mengatakan sesuatu setelah Allah mengatakan kepada
mereka, artinya para malaikat tidak pernah mendahului kehendak Allah Swt. Hal
tersebut tertulis dalam Alquran surat Al-Anbiya`, “Mereka (para malaikat) tidak
mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintha-perintah-
Nya” (Tafsir surat Al-Anbiya`:27).
Dengan mengetahui perihal malaikat, mulai bentuk, jumlah, asal, sifat,
keistimewaan dan jenis-jenisnya, seharusnya seorang hamba dapat lebih meyakini
keberadaan mereka sebagai salah satu syarat dari iman. Bertambahnya keimanan
merupakan sebuah kenikmatan seorang hamba.
3) Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah mempercayai adanya kitab-kitab suci
yang diturunkan Tuhan kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat
manusia sebagai pedoman dalam memutuskan perkara yang dihadapi manusia
(Abbas‚ 1994:54). Hal tersebut seperti yang difirmankan Tuhan sebagai berikut.
Manusia itu adalah umat yang satu‚ lalu diutus oleh Tuhan nabi-nabi
pembawa berita gembira dan penyampai peringatan‚ dan diturunkan
bersama mereka Kitab dengan sebenarnya‚ supaya ia dapat memberi
keputusan bagi manusia dalam perkara yang dipersilisihkan (Tafsir
surat Al-Baqarah:213).
Dalam teks “MAI”, pembahasan mengenai kitab-kitab yang diturunkan
Allah terdiri dari dua permasalahan, yaitu mengenai cara mengimani kitab-kitab
yang diturunkan Allah kepada nabi dan rasul-Nya dan jumlah kitab-kitab yang
diturunkan Allah kepada nabi dan rasul-Nya. Pertama mengenai cara mengimani
kitab-kitab yang diturunkan Allah Swt. tertulis dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa percaya engkau
akan segala kitab. Maka jawab bahwasanya Allah Taala menurunkan
kitab atas segala nabi-Nya daripada anak putu Adam dan yaitu
diturunkan bukan makhluk lagi kadim dengan tiada berlawanan dan
barang siapa syak dalamnya daripada seayat atau kalimat maka
bahwasanya jadi kafir (“MAI”:4-5)
Permasalahan pertama mengenai cara mengimani kepada kitab-kitab yang
diturunkan Allah. Seperti pada kutipan di atas, pembaca diberikan pengertian
terlebih dahulu mengenai deskripsi tentang kitab-kitab tersebut, yaitu kitab-kitab
yang diturunkan Allah kepada segala nabi-Nya dari keturunan Nabi Adam, kitab
itu bersifat kadim bukan baru, isinya tidak saling berlawanan satu sama lain.
Kitab merupakan nomina yang berasal dari kataba-yaktubu artinya adalah
tulisan. Dalam pengertian di sini yang dimaksud kitab adalah kalam atau
perkataan dari Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul melalui malaikat
Jibril. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah
mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca keadilan supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan” (Tafsir surat Al-Hadid:25). Pada ayat lain juga
diperjelas bahwa Alquran adalah benar-benar firman Allah, “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” (Tafsir surat Al-Hijr:9) dan pada surat An-Nisa`, “Wahai orang-
orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya” (Tafsir surat An-Nisa`:136). Beberapa ayat di atas menjadi dalil dan
bukti yang terang bahwa kitab-kitab Allah benar diturunkan Allah melalui
malaikat Jibril sehingga harus diyakini keberadaannya.
Isi daripada kitab-kitab yang diturunkan Allah tidak ada yang berlawanan
atau tidak bersifat kontradiktif. Kandungan yang ada dalam kitab-kitab-Nya tidak
bertentang satu dengan yang lainnya seperti tertera dalam firman Allah, “Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya” (Tafsir surat An-Nisa`:82). Dari ayat Alquran di atas, jelas bahwa
Alquran merupakan salah satu kitab yang diturunkan Allah dengan ketiadaan
pertentangan di dalamnya. Jika terdapat satu ayat pun yang bertentangan dengan
ayat lainnya, maka dapat dikatakan bahwa Alquran memang benar dari Tuhan
atau hanya hasil dari manusia. Alquran pun tidak bertentangan dengan kitab-kitab
sebelumnya, tetapi mengganti atau menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Hal
tersebut tertulis dalam Alquran, yaitu “Tidaklah mungkin Alquran ini dibuat oleh
selain Allah. Akan tetapi, Alquran membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya
dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya. Tidak ada keraguan di
dalamnya dan diturunkan oleh Tuhan semesta alam” (Tafsir surat Yunus:37).
Alquran bukan makhluk artinya ia adalah kalamullah sehingga bersifat
kadim. Abu Abdillah berpendapat dalam Abul Hasan Al-Asy‟ari (1993:52) bahwa
ia yakin bahwa Alquran itu bukan makhluk. Ia berargumentasi dengan orang yang
masih ragu tentang hal tersebut, lalu ia berkata, Allah telah berfirman, “Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (Tafsir surat Al-A‟raf:54) dan
dalam surat Ar-Rahman, “Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan
Alquran, menciptakan manusia” (Ar-Rahmaan:1-3). Dari ayat-ayat di atas, jelas
Allah membedakan antara manusia dan Alquran, yaitu kata kerja „allama
(mengajari) dan khalaqa (menciptakan) yang memiliki perbedaan satu sama lain.
Alquran (lahir) dari ilmu Allah, apakah kamu tidak melihat firman-Nya „allama
`i-Qur`aana dan di dalamnya terdapat nama atau asma Allah, sedangkan nama-
nama Allah itu bukanlah makhluk. Allah mempunyai sifat Qadiirun (Maha
Kuasa), Hakiimun (Maha Bijaksana), Samii‟un (Maha Mendengar), dan Bashiirun
(Maha Melihat). Alquran itu adalah kalamullah dan dengan Alquran itu Allah
senantiasa berbicara. Abu Abdillah menambahkan bahwa ia tidak ragu bahwa
orang yang mengatakan Alquran adalah makhluk, maka orang tersebut adalah
kafir.
Husain bin Abdul Awwal berpendapat dalam Abul Hasan Al-Asy‟ari
(1993:53) bahwa barang siapa mengatakan Alquran itu makhluk, maka ia murtad
dan harus segera bertobat. Dalam hadis yang diriwayatkan Tirmidzi tertulis,
“Tidaklah seorang pun di antara kalian kecuali Allah akan mengajak bicara
kepadanya yang di antaranya dan Dia tidak ada juru bicara” (Tafsir Hadis
riwayat Tirmidzi dalam Al-Asy‟ari:55).
Kitab-kitab Allah tidak ada keraguan di dalamnya karena merupakan
firman Allah Yang Maha Segalanya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah,
“Alquran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah
kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu” (Tafsir surat Al-An‟am:114).
Bahkan, Allah menantang kepada orang-orang yang ragu atas kitab-kitab yang
diturunkan-Nya. Allah berfirman, “Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang
Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad) buatlah satu
surat saja yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah jika kamu orang-orang yang benar” (Tafsir surat Al-Baqarah:23). Dari ayat
di atas, dapat dikatakan Allah benar-benar meyakinkan (melalui firmannya)
kepada seluruh manusia bahwa kitab-kitab Allah merupakan kalam-Nya, bukan
buatan dari manusia atau makhluk lain. Ayat di atas merupakan sebuah sindiran
berupa tantangan dari Allah kepada orang-orang yang tidak mempercayai kitab-
kitab-Nya karena tidak akan mungkin seorang makhluk dapat membuat, bahkan
menyerupai kitab-kitab-Nya. Setelah ayat itu, diterangkan pula bahwa semua
makhluk tidak akan mampu membuatnya, meskipun semuanya bersatu untuk
membuatnya. Dalil lainnya mengenai keragu-raguan dalam Alquran tertulis dalam
surat Al-Baqarah, “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya yaitu
petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Tafsir surat Al-Baqarah:2). Ayat di atas
menjelaskan bahwa kitab-kitab-Nya merupakan petunjuk bagi orang yang
bertakwa. Apabila seorang hamba tidak meyakini atas kitab-kitab-Nya, maka ia
bukan orang yang bertakwa sehingga ia tidak akan mendapatkan petunjuk dari
kitab-kitab Allah.
Jika kitab-kitab tersebut diragukan kebenarannya oleh seseorang, padahal
kitab-kitab tersebut berasal dari Allah sebagai Tuhan semesta alam, maka dapat
dikatakan bahwa orang tersebut juga telah meragukan Allah. Oleh karena itu,
seorang hamba yang mengakui adanya Allah seharusnya dan wajib baginya untuk
mengimani keberadaan kitab-kitab-Nya.
Permasalahan kedua mengenai jumlah kitab yang diturunkan Allah kepada
para nabi-Nya. Tertulis dalam teks sebagai berikut
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa kitab yang
diturunkan Allah Taala atas segala nabi-Nya. Maka jawab seratus
dan empat kitab dan menurunkan Allah Taala setengah daripadanya
sepuluh kitab atas Nabi Adam alaihi salam dan menurunkan Allah
Taala lima puluh kitab atas Nabi Tsis alaihi salam dan menurunkan
Allah Taala tiga puluh kitab atas Nabi Idris alaihi salam dan
menurunkan Allah Taala sepuluh kitab atas Nabi Ibrahim alaihi
salam dan menurunkan Allah Taala kitab Taurat atas Nabi Musa
alaihi salam dan menurunkan Allah Taala kitab Injil atas Nabi Isa
alaihi salam dan menurunkan Allah Taala kitab Zabur atas Nabi
Daud alaihi salam dan menurunkan Allah Taala kitab Alquran atas
Nabi Muhammad yang dipilih shalla `l-Laahu „alaihi wa sallam
(“MAI”:5-6).
Allah menurunkan kitab kepada beberapa nabi-Nya. Kutipan di atas,
menjelaskan terdapat dua jenis kitab yang diturunkan, yaitu dalam bentuk
lembaran-lembaran saja dan berbentuk kitab dan telah ada namanya, seperti
Alquran, Taurat, Zabur, dan Injil. Selain keempat kitab tersebut, hanya
diistilahkan dengan lembaran atau shuhuf dan juga disebut sebagai kitab. Ahlu `s-
Sunnah wa `l-Jamaa‟ah mempercayai empat kitab yang diturunkan Allah kepada
rasul-Nya‚ yaitu sebagai berikut (Abbas‚ 1994:55).
a. Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa alaihi salam seperti
firman Tuhan dalam Alquran, “Bahwasanya Kami menurunkan Taurat di
dalamnya ada petunjuk dan cahaya” (Tafsir surat Al-Maidah:44).
b. Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud alaihi salam yang ditulis
pula dalam Alquran, “Dan Kami turunkan kepada Daud Kitab Zabur”
(Tafsir surat Al-Isra‟:55).
c. Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa alaihi salam seperti yang
tertera dalam Alquran, “Dan Kami iringkan jejak mereka dengan
mengutus Isa bin Maryam‚ membenarkan apa yang terdahulu dari
padanya‚ yaitu Taurat. Dan Kami berikan Injil kepadanya di dalamnya
berisi petunjuk kebenaran dan cahaya yang terang” (Tafsir surat Al-
Maidah:46).
d. Kitab Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. seperti yang
difirmankan Allah, “Bahwasanya Kami menurunkan kepadamu (Hai
Muhammad) Alquran dalam bahasa Arab supaya engkau perhatikan
isinya” (Tafsir surat Yusuf:2).
Selain empat kitab tersebut‚ kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah juga
meyakini bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Musa mendapatkan Shuhuf (lembaran)‚
seperti tertera dalam Alquran sebagai berikut,“Sesungguhnya ini ada pada
shuhuf-shuhuf terdahulu (purbakala)‚ yaitu shuhuf Ibrahim dan Musa” (Tafsir
surat Al-A‟la:18-19). Nabi Ibrahim juga mendapatkan shuhuf dari Allah, seperti
yang telah difirmankan Allah, “Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji” (Tafsir surat An-Najm:37).
Mengenai jumlah kitab yang diturunkan Allah keseluruhan adalah seratus
empat kitab. Hal tersebut seperti hadis dari Ubaid dalam Qatrul Ghaits sebagai
berikut.
Dari Ubay bin Ka‟ab bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah
saw.: Berapa jumlah dari kitab yang telah diturunkan Allah? rasul
menjawab seratus empat kitab, sebagian darinya adalah sepuluh
mushaf kepada Adam, lima puluh kepada Tsits, tiga puluh mushaf
kepada Akhnun atau Idris, sepuluh kitab kepada Ibrahim, Injil,
Taurat, Zabur, dan Alfurqan (Alquran) (Hadis dalam Qatrul
Ghaits:20).
Imam Syarbini dalam Qhatrul Ghaits menjelaskan dalam tafsirnya bahwa
yang benar adalah tidak membatasi terhadap kitab-kitab dengan hitungan atau
jumlah tertentu karena banyak perbedaan riwayat. Akan tetapi, yang wajib adalah
seorang hamba harus beriktikad bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan
beberapa kitab dari langit dan percaya akan empat kitab (Taurat, Zabur, Injil, dan
Alquran) (Nawawi:20).
Berkenaan dengan Alquran sebagai kitab terakhir yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad bahwa semua ajaran yang berada dalam kitab-kitab sebelum
Alquran dihapuskan atau di-nasakh (diganti) dengan Alquran. “Dan Kami telah
turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran sebagai pembenar apa
yang sebelumnya (kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain” (Tafsir surat Al-Maidah:48). Rasul juga
menjelaskan dalam hadisnya tentang penasakhan Alquran terhadap kitab-kitab
sebelumnya dan penasakhan agama Islam terhadap agama-agama sebelumnya,
“Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa masih hidup,
maka dia tidak mempunyai keluasan kecuali mengikutiku” (Tafsir hadis dalam
Abu Bakar Al-Jazairi:39). Hadis tersebut disabdakan rasul karena pernah suatu
ketika Umar bin Khattab membawa kitab yang didapatkan dari ahli kitab,
kemudian rasul menegurnya sebagai berikut.
Aku telah membawa (bacaan-bacaan) kitab kepada kalian dengan
putih bersih yang kalian tanyakan kepada ahli kitab tentang sesuatu.
Mereka memberi informasi kepada kalian dengan benar, kemudian
kalian mendustakannya atau memberi informasi kepada kalian
dengan kebatilan, kemudian kalian membenarkannya. Demi Allah
yang diriku berada di tangannya ... (Hadis riwayat Ahmad, Bazzar,
dan Abu Syaibah dalam Abu Bakar Al-Jazairi:39-40).
Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah percaya bahwa datangnya Nabi
Muhammad dengan membawa kitab suci Alquran menyempurnakan kitab-kitab
terdahulu. Selain itu‚ Nabi Muhammad juga diberi tugas menyatakan hal-hal yang
telah disembunyikan ahli kitab (Yahudi dan Nashara) karena kaum Yahudi telah
merubah isi kandungan dari kitab Taurat dan kaum Nasrani merubah isi
kandungan dari kitab Injil seperti dalam Alquran sebagai berikut.
Yaitu orang-orang Yahudi mereka mengubah perkataan dari tempat-
tempatnya. Mereka berkata: Kami mendengar, tetapi kami tidak mau
menurutinya. Dan mereka berkata: „Dengarlah‟ sedang kamu
sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan mereka mengatakan
„Raa‟ina‟ dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama.
Sekiranya mereka mengatakan, Kami mendengar dan menurut dan
dengarlah dan perhatikanlah kami. Tentulah itu lebih baik bagi
mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka karena
kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sangat tipis” (Tafsir
surat An-Nisa`:46).
Pada Alquran surat Al-Maidah juga diterangkan sebagai berikut.
Dan di antara orang-orang yang mengatakan, „sesungguhnya kami
ini Nasrani.‟ Ada yang telah kami ambil perjanjian dari mereka,
tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka
telah diberi peringatan dengannya, maka Kami timbulkan di antara
mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat” (Tafsir surat
Al-Maidah:14).
Kedua ayat tersebut jelas membuktikan bahwa kitab Taurat dan Nasrani
telah diubah-ubah oleh kaumnya sendiri. Oleh karena itu, datangnya Alquran yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad menjadi pembuka hal-hal yang telah
disembunyikan pada kitab Injil dan Taurat.
Nabi Muhammad diutus untuk menjelaskan ajaran-ajaran yang telah
disembunyikan kaum Yahudi dan Nashara juga tertera dalam Alquran,“Hai Ahli
kitab‚ sesungguhnya telah datang utusan Kami kepadamu menjelaskan kepadamu
sebagian besar yang kamu sembunyikan dan dimaafkan sebagiannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu dari Tuhan dan cahaya dan kitab yang
terang” (Tafsir surat Al-Maidah:15).
Banyak keistimewaan dalam Alquran sebagai kitab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. di antaranya adalah Alquran merupakan sebuah
petunjuk dan pembawa kabar gembira. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah,
“Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus
dan memberi kabar gembira pada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal
saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Tafsir surat Al-Isra`:9).
Alquran merupakan petunjuk bagi orang beriman juga tertulis dalam Alquran
surat Al-A‟raf, “Alquran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu,
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Tafsir surat Al-
A‟raf:203). Alquran merupakan kitab terakhir yang menyempurnakan kitab-kitab
sebelumnya, seperti yang tertulis dalam Alquran, “Dan Kami telah turunkan
kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran sebagai pembenar apa yang
sebelumnya (kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain” (Tafsir surat Al-Maidah:48).
Selain itu, Alquran memiliki keutamaan sebagai pemberi peringatan
kepada seluruh makhluk, seperti yang telah difirmankan Allah, “Maha suci Allah
yang telah menurunkan Al-Furqan (Alquran) kepada hamba-hamba-Nya agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (Tafsir surat Al-Furqan:1).
Pada ayat lain diterangkan pula bahwa Alqruan merupakan penerang bagi seluruh
manusia, disebutkan dalam Alquran surat Ali Imran, “Alquran ini adalah
penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang yang
bertakwa” (Tafsir surat Ali Imran:138). Alquran tidak hanya bermanfaat bagi
manusia di dunia, tetapi Alquran juga dapat memberi syafaat di hari kemudian.
Hal tersebut sesuai dengan hadis nabi saw., “Dari Abu Umamah Al-Bahili, saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: Bacalah Alquran karena dia akan datang
pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi orang-orang yang membacanya”
(Tafsir Hadis riwayat Muslim dalam Abu Daud:27).
Keutamaan lain, Alquran akan dijaga Allah sampai hari kiamat
kemurniannya. Hal tersebut seperti yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” (Tafsir surat Al-Hijr:9). Pada surat Al-Waqi‟ah juga tertulis
mnengenai terpeliharanya Alquran, “Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan
yang sangat mulia. Kitab yang terpelihara (di) Lauhu `l-mahfudl” (Tafsir surat
Al-Waqi‟ah:77-78).
Masih banyak keutamaan-keutamaan lain dari Alquran, seperti bacaannya
bisa sebagai obat bagi yang sakit, tiap membacanya akan mendapat pahala tiap
hurufnya, dan lain-lain. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah seorang hamba
dapat meyakini keberadaan Alquran dari Allah dan kebenaran Alquran bersifat
mutlak.
4) Iman Kepada Para Nabi dan Rasul
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nabi dan rasul ialah seorang laki-
laki yang menerima wahyu dari Allah untuk dilaksanakan terutama untuk dirinya
sendiri. Jika ia disuruh menyampaikan wahyu kepada umat manusia, maka ia
disebut rasul. Akan tetapi, jika ia tidak diberi tugas demikian disebut nabi. Oleh
karena itu, semua rasul adalah nabi dan tidak semua nabi itu rasul (Zuhdi,
1988:63). Mengenai pengertian nabi dan rasul diterangkan dalam Alquran, “Kami
tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa
orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka” (Tafsir surat Al-
Anbiya`:7).
Seorang mukmin wajib untuk percaya kepada semua nabi dan rasul
sebagai utusan Allah di muka bumi ini. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah
sebagai berikut.
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‟qub, dan anak cucunya dan apa
yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun
di antara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya”
(Tafsir surat Al-Baqarah:136).
Kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah harus mempercayai sekalian rasul
yang diutus Allah untuk menyampaikan kitab-kitab suci kepada manusia. Jumlah
nabi dan rasul sangat banyak‚ sampai berjumlah ratusan ribu. Akan tetapi‚ nabi
dan rasul yang harus diyakini dan diketahui namanya berjumlah 25 orang‚ yaitu
dari permulaan Nabi Adam alaihi salam dan penutup adalah Nabi Muhammad
saw. (Abbas‚ 1994:58).
Pembahasan mengenai nabi dan rasul dalam teks “MAI” terdiri dari lima
permasalahan, yaitu mengenai cara mengimani para nabi dan rasul Allah, jumlah
para nabi dan rasul pembawa syariat, jumlah para nabi dan rasul keseluruhan yang
diutus Allah, jumlah nabi mursal (rasul), dan mengetahui seluruh jumlah dan
nama-nama nabi merupakan bagian dari iman atau tidak.
a. Cara Mengimani Nabi dan Rasul
Dalam teks “MAI” tertulis sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa percaya engkau
dengan segala nabi. Maka jawab pertama-tama Nabi Adam dan
kesudahan nabi itu Nabi Muhammad Shalawaatu `l-Laahi atas
mereka itu sekalian. Dan bermula sekalian nabi itu mereka itu lagi
menyuruh mereka itu, lagi mengkabarkan mereka itu, lagi mengajari
mereka itu, lagi benar mereka itu, lagi mungkar mereka itu,
kepercayaan Allah Taala lagi kepelihara mereka itu daripada dosa
kecil dan dosa besar. Dan bermula kasih mereka itu jadi syarat iman
dan benci mereka itu daripada awal dan akhir jadi kafir (“MAI”:7-8).
Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa nabi pertama yang diutus Allah
adalah Nabi Adam dan nabi penutup (terakhir) adalah Nabi Muhammad saw.
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak
dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi” (Tafsir surat Al-Ahzab:40). Dalam hadis nabi dari Anas bin Malik
riwayat Imam Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya risalah dan kenabian itu telah
habis. Maka tiada nabi dan rasul sesudahku” (Tafsir Hadis riwayat Imam Ahmad
bin Hambal dalam Zuhdi:80).
Nabi dan rasul memiliki beberapa sifat seperti yang tertulis dalam teks
ialah, penyuruh, pemberi kabar, pengajar, pelarang (mungkar), dapat dipercaya,
dan terpelihara dari dosa besar dan kecil. Berkaitan dengan sifat nabi sebagai
penyuruh (dalam perbuatan kebaikan) telah difirmankan dalam Alquran, “Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia” (Tafsir surat Al-
A‟raf:158). Pada ayat lain juga diterangkan, “Mereka berkata: Hai Syu‟aib
apakah sembayangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang
disembah oleh bapak-bapak kami?” (Tafsir surat Hud:87). Para nabi tidak hanya
menyuruh kepada umatnya saja, tetapi mereka juga berdakwah kepada keluarga-
keluarganya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah sebagai berikut.
Dan ceritakanlah hai Muhammad (kepada mereka) kisah Ismail di
dalam Alquran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya
dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahli
(keluarga)nya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat dan ia
adalah seorang yang diridai di sisi Tuhannya” (Tafsir surat
Maryam:54-55).
Sifat yang ada pada nabi dan rasul adalah mereka sebagai utusan Allah
yang ditugaskan untuk menyampaikan kabar gembira kepada umatnya, seperti
yang telah difirmankan Allah, “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembaca
berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi
manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (Tafsir surat An-
Nisa`:165). Pada ayat lain juga tertera dengan jelas, “Dan apabila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-
olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya,
maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih” (Tafsir surat
Luqman:7). Dua ayat tersebut diperkuat dengan ayat lain dalam surat Yaasin,
“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau
mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah,
walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan
ampunan dan pahala yang mulia” (Tafsir surat Yasin:11)
Selain sebagai utusan yang menyampaikan kabar gembira, para nabi dan
rasul juga diperintahkan untuk memberikan kabar buruk kepada umatnya apabila
tidak mengikuti perintah Tuhan dan utusan-Nya. Mengenai hal tersebut telah
difirmankan Allah dalam Alquran, “Katakanlah: Terangkanlah kepadaku jika
datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong, maka adakah yang
dibinaskan (Allah) selain dari orang yang zalim?” (Tafsir surat Al-An‟am:47).
Terdapat ayat lain yang menyatakan bahwa nabi dan rasul diminta untuk
memberikan kabar buruk, “Katakanlah: Apakah akan aku kabarkan kepadamu
yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka? Allah telah mengancamkannya
kepada orang-orang yang kafir dan neraka adalah seburuk-buruknya tempat
kembali” (Tafsir surat Al-Hajj:72).
Beberapa nabi dan rasul juga diperintahkan untuk memberikan kabar
perihal kejadian-kejadian yang akan datang dan telah lampau, seperti Nabi Isa
yang memberikan kabar kepada kaumnya mengenai kitab yang diturunkan untuk
nabi sebelumnya, yaitu Nabi Musa dan menjelaskan mengenai sosok rasul yang
akan turun sesudah masanya, yaitu bernama Ahmad (Nabi Muhammad saw.). Hal
tersebut sesuai dengan firman Allah sebagai berikut.
Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan
kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan
(datangnya) rasul yang akan datang sesudahku yang namanya
Ahmad” (Tafsir surat Ash-Shaf:6).
Imam Nawawi berpendapat dalam kitabnya (Qathrul Ghaits:22) nabi dan
rasul juga memberikan kabar tentang perkara-perkara yang gaib seperti hari
kiamat, pembangkitan dari kubur, shirath, surga, neraka, dan sebagainya yang
akan dijelaskan pada bagian selanjutnya mengenai hari kiamat (hari akhir).
Para nabi dan rasul diberi tugas sebagai pengajar (pemberi nasihat) kepada
kaumnya, seperti yang difirmankan Allah, “Maka Allah mengutus para nabi
sebagai pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang
benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
persilisihkan” (Tafsir surat Al-Baqarah:213). Pada ayat lain diterangkan,
“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa suatu pelajaran yang
tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombongkan diri?” (Tafsir surat
Al-baqarah:87). Hal tersebut juga dikuatkan dalam firman Allah pada surat Al-
Baqarah ayat 129 dan 151, “Ya Tuhan kami, utuskanlah untuk mereka seorang
rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat
Engkau dan mengajarkan kepada mereka Alquran dan Sunah serta mensucikan
mereka” (Tafsir surat Al-Baqarah:129). “Kami telah mengutus kepadamu rasul di
antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mengajarkan
kepadamu Alquran dan sunah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui” (Tafsir surat Al-Baqarah:151).
Dari beberapa ayat di atas, jelas bahwa nabi dan rasul diberikan tugas
untuk memberi nasihat untuk umatnya kepada jalan kebaikan, agar mereka
terhindar dari kesesatan. Kaum dari nabi dan rasul juga telah mengetahui hal
tersebut sehingga merupakan hal yang biasa jika terdapat seorang dari suatu kaum
yang meminta nasihat kepada nabinya. Mengenai hal tersebut Allah telah
menyuruh kepada kaum-kaum nabi dan rasul untuk tidak meminta nasihat yang
akan menjadikan mereka susah sendiri. Hal tersebut tertera pada Alquran, “Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan kepada nabimu hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu” (Tafsir surat Al-
Maidah:101).
Nabi dan rasul juga diperintahkan Allah untuk melarang kaumnya untuk
berjalan pada kesesatan. Oleh karena itu, nabi dianggap sebagai pengingat bagi
kaumnya untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt., seperti yang
diterangkan dalam Alquran surat Hud ayat 26 dan surat Al-Hasr ayat 7 sebagai
berikut.
Kaum Tsamud berkata: Hai Shaleh sesungguhnya kamu sebelum ini
adalah seorang di antara kami yang kami harapkan. Apakah kamu
melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-
bapak kami? Sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang
menggelisahkan terhadap agama kami”(Tafsir surat Hud:62).
Syu‟aib berkata: Aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan
mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali
mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan” (Tafsir
surat Hud:88). “Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”
(Tafsir surat Al-Hasr:7).
Sifat penyuruh (ke jalan kebaikan), pembawa kabar gembira dan kabar
duka, dan pengingat (untuk meninggalkan kejahatan) merupakan bagian-bagian
dari sifat umum nabi, yaitu tabligh yang artinya penyampai. Nabi dan rasul pasti
akan menyampaikan ajaran-ajaran yang mereka terima dari Allah melalui
malaikat-Nya dan mustahil bagi mereka menyembunyikan sesuatu hal pun, seperti
yang tertera dalam Alquran, “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia” (Tafsir surat Al-Maaidah:67).
Dari ayat di atas, nabi dan rasul disebutkan memiliki sifat amanah “Yang
dipercaya”. Allah berfirman dalam Alquran mengenai sifat Nabi Yusuf yang
amanah, “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya terangkanlah kepada kami
tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor
sapi betina yang kurus-kurus” (Tafsir surat Yusuf:46) dan pada surat Yusuf ayat
54 diterangkan, “Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara,
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”
(Tafsir surat Yusuf:54). Pada ayat lain diceritakan tentang sifat Nabi Musa yang
amanah, “Sesungguhnya, sebelum mereka telah Kami uji kaum Fir‟aun dan telah
datang kepada mereka seorang rasul yang mulia dan berkata: Serahkanlah
kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya,
aku adalah utusan Allah yang dipercaya kepadamu” (Tafsir surat Ad-Dukhan 17-
18). Allah menyatakan bahwa nabi dan rasul memiliki sifat amanah degan
pernyataan penolakan bahwa nabi bersifat tidak amanah (khianat), “Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang” (Tafsir
surat Ali Imron:161). Pada ayat lain juga diterangkan, “Sesungguhnya aku adalah
rasul kepercayaan yang diutus kepadamu” (Tafsir surat Asy-Syu‟aara:107). Dari
beberapa uraian di atas menambah keyakinan bahwa nabi dan rasul bersifat
amanah atau dapat dipercaya. Logikanya adalah apabila seorang utusan Allah
yang diberi tugas untuk mengajak dan menyampaikan ayat-ayat Allah tidak dapat
dipercaya, maka tidak akan seorang pun yang akan mengikutinya karena bersikap
tidak dapat dipercaya.
Sifat selanjutnya adalah bahwa nabi dan rasul adalah utusan yang benar
(Sidik). Hal tersebut tercantum dalam Alquran, “Sesungguhnya ia adalah seorang
yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh
ahli (keluarga)nya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat dan ia adalah
seorang yang diridai di sisi Tuhannya” (Tafsir surat Maryam:54-55). Pada ayat
lain dikatakan, “Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan
rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (Tafsir surat Al-
An‟am:87). Ayat di atas menunjukkan bahwa nabi dan rasul merupakan utusan-
utusan Allah yang bersifat benar. Tidak mungkin seorang utusan yang
diperintahkan untuk mengajak orang lain ke jalan kebenaran memiliki sifat kidzib
atau bohong (lawan dari sidiq) dan hal ini merupakan sebuah kemustahilan bagi
nabi dan rasul Allah.
Allah telah menjaga nabi dan rasul dari dosa, artinya mereka terpelihara
dari dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Hal tersebut seperti yang tertera
dalam Alquran, “Hai Yahya, ambillah kitab (Taurat) itu dengan sungguh-
sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak dan
rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan
dia adalah seorang yang bertakwa” (Tafsir surat Maryam:12-13).
Zuhdi (1988:78) berpendapat, dalam Alquran dapat ditemui ayat yang
membenarkan ajaran Ishmatul Ambiya atau terhindarnya para nabi dari dosa, yaitu
pada surat Al-Anbiya ayat 25-29 sebagai berikut.
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul-pun sebelum kamu,
melainkan Kami mewahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian
akan Aku. Mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah telah
mengambil anak. Maha Suci Allah, sebenarnya malaikat itu adalah
hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Allah mengetahui segala
sesuatu yang ada di hadapan mereka (malaikat) dan yang dibelakan
mereka dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang-
orang yang diridai Allah dan mereka itu selalu berhati-hati karena
takut kepada-Nya. Dan barang siapa di antara mereka mengatakan:
Sesungguhnya, Aku adalah Tuhan selain daripada Allah, maka orang
itu Kami beri balasan dengan Jahanam. Demikian Kami memberikan
pembalasan kepada orang-orang yang zalim” (Tafsir surat Al-
Anbiya`:25-29).
Surat Al-Anbiya ayat 25 menegaskan bahwa nabi atau rasul pasti akan
mendapat wahyu tentang keesaan Allah. Untuk ayat 26-29 terdapat dua
interpretasi, pertama ulama tafsir seperti Ahmad Mushtafa al-Maraghi dan
Muhammad Abdul Mun‟im bependapat bahwa ayat tersebut diturunkan dalam
rangka membantah kepercayaan musyrik Arab tentang malaikat sebagai putra
Allah. Mereka bukan putra dan putri Tuhan, melainkan hamba-hamba Allah.
Kedua, Maulana Muhammad Ali berpendapat bahwa surat Al-Anbiya` ayat 25-29
adalah dalam rangka membicarakan sifat-sifat para nabi, yaitu sebagai hamba-
hamba Allah yang terhormat, hamba yang taat kepada Allah, hamba yang selalu
bersikap berhati-hati karena takut kepada Allah, dan tak ada nabi yang mengaku
sebagai Tuhan.
Kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah cukup percaya atas empat sifat nabi
saja, yaitu shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Shidiq artinya adalah benar dan
lawannya adalah bohong, amanah berarti dapat dipercaya lawannya adalah
khianat, tabligh artinya adalah menyampaikan lawannya adalah
menyembunyikan, dan fathanah artinya adalah pandai dan lawannya adalah
bodoh. Ketiga sifat (shidiq, tabligh, amanah) tersebut telah dibahas secara rinci di
atas. Mengenai sifat fathonah yang dimiliki nabi dan rasul telah diterangkan
dalam Alquran, “Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara,
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”
(Tafsir surat Yusuf:54). Pada ayat lain juga dikatakan bahwa seorang rasul dapat
membacakan atau menyampaikan ayat-ayat dari Tuhan (Alquran) dan sunahnya.
Hal tersebut menyatakan bahwa nabi dan rasul bukan orang yang bodoh. Ayat
tersebut berbunyi, “Ya Tuhan kami, utuskanlah untuk mereka seorang rasul dari
kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau dan
mengajarkan kepada mereka Alquran dan Sunah serta mensucikan mereka”
(Tafsir surat Al-Baqarah:129).
Pada ayat lain diterangkan bahwa nabi dan rasul mengajarkan kepada
umatnya tentang Alquran dan sunah serta menerangkan hal-hal yang tidak
diketahui kaumnya. Hal tersebut juga memperjelas bahwa nabi dan rasul ialah
utusan-utusan Allah yang terpilih dan memiliki kepandaian. Ayat tersebut
berbunyi, “Kami telah mengutus kepadamu rasul di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mengajarkan kepadamu Alquran dan
sunah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Tafsir
surat Al-Baqarah:151). Tidak ada satu dalil pun yang mengatakan bahwa nabi dan
rasul adalah orang-orang yang bodoh, bahkan sebaliknya mereka adalah orang-
orang yang diberi anugerah Allah berupa kepandaian. Tidak mungkin seorang
utusan Allah yang mengajak umatnya dan menjadi panutan umatnya, serta
menjadi pelindung bagi umatnya adalah orang-orang yang bodoh. Apabila mereka
adalah orang yang bodoh, mereka telah dibohongi dan dicaci oleh umatnya atas
kebodohan mereka.
b. Jumlah Para Nabi dan Rasul Pembawa Syariat
Semua nabi dan rasul mendapatkan wahyu dari Allah Swt. Isi wahyu satu
dengan wahyu yang lain berlainan, tergantung pada masa dan umat masing-
masing nabi. Meskipun berbeda, ada satu hal yang sama yang disampaikan
mereka, yaitu mengenai ketauhidan atau pengesaan Tuhan. Oleh karena itu, ada
beberapa nabi yang hanya menyampaikan ajaran sesuai dengan nabi-nabi yang
terdahulu dan ada pula nabi dan rasul yang mengajarkan ajaran baru, artinya tidak
lagi menggunakan ajaran-ajaran nabi dan rasul sebelumnya. Dalam teks “MAI”
tertulis mengenai jumlah nabi dan rasul yang membawa syariat berjumlah enam.
Teks tersebut tertulis sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa ada nabi
daripada yang mempunyai segala syariat. Maka jawab enam,
pertama Nabi Adam dan kedua Nabi Nuh dan ketiga Nabi Ibrahim
dan keempat Nabi Musa dan kelima Nabi Isa dan keenam Nabi
Muhammad shalawatu `l-Laahi atas mereka itu sekalian. Dan
bermula syariat segala nabi itu dihapuskan dengan syariat Nabi
Muhammad Shalla `l-Lahu „alaihi wa sallam (“MAI”:8).
Kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah harus meyakini pula bahwa di
antara rasul-rasul itu ada lima orang yang dinamai Ulul Azmi, yaitu rasul-rasul
yang sangat teguh dan sangat tahan dalam menjalankan perintah-perintah Allah,
mereka adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi
Muhammad. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, “Dan ingatlah ketika Kami
mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu sendiri, dari Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian
yang teguh” (Tafsir surat Al-Ahzab:7) dan pada surat Asy-Syuraa disebutkan pula
lima rasul pembawa syariat, yaitu sebagai berikut.
Dan telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah” (Tafsir surat Asy-Syuraa:13)
Hal tersebut juga dikuatkan dalam kitab Qathrul Ghaits (Imam
Nawawi:24) mengutip perkataan Ibnu Abbas, yaitu bahwasanya para Ulul Azmi
adalah orang-orang yang tabah dan giat dalam menjalani perkara, mereka
berjumlah lima orang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai syariat, yaitu
Nabi Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nuh. Akan tetapi, terdapat pula
perbedaan pendapat mengenai Ulul Azmi. Muqatal dalam dalam kitab Qathrul
Ghaits (Imam Nawawi:25) berpendapat bahwa Ulul Azmi berjumlah enam orang,
yaitu Nabi Nuh yang telah sabar terhadap celaan kaumnya, Nabi Ibrahim yang
telah sabar terhadap api, Nabi Ishaq yang telah sabar terhadap penyembelihan,
Nabi Ya‟qub yang telah sabar tidak memiliki putra serta hilangnya penglihatan,
Nabi Yusuf yang telah sabar dipenjara, dan Nabi Ayyub yang telah sabar terhadap
penyakit.
Dalam teks “MAI”, Nabi Adam merupakan nabi pembawa syariat karena
Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah sehingga jelas Adam telah
memiliki syariat untuk kehidupannya. Contoh syariat Nabi Adam adalah
mengawinkan anak-anaknya sendiri secara silang. Hal tersebut merupakan syariat
Nabi Adam yang sekarang telah dimansukh oleh syariat Nabi Muhammad, yaitu
dilarang hukumnya mengkawinkan dua saudara.
Syariat Nabi Muhammad akan menjadi syariat terakhir sekaligus menjadi
syariat yang paling sempurna. Syariat nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad
dimansukhkan oleh syariat Nabi Muhammad. Hal tersebut seperti tertera dalam
Alquran, “Sesungguhnya agama yang diridai di sisi Allah adalah Islam” (Tafsir
surat Ali Imran:19). Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam,
maka jelas bahwa agama Islam memansukhkan agama atau ajaran-ajaran
sebelumnya. Bahkan dalam firman Allah yang lain dikatakan seorang hamba yang
tidak beragama Islam, tidak akan diterima di akhirat. Firman tersebut berbunyi,
“Barang siapa yang mencari agama lain selain agama Islam, dia tidak akan
diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Tafsir surat Ali
Imran:85). Nabi Muhammad saw. juga menjelaskan bahwa ajaran yang
dibawanya akan menghapus atau mengganti ajaran-ajaran nabi sebelumnya,
bahkan nabi pernah bersabda bahwa apabila Nabi Musa masih hidup di zaman
Nabi Muhammad, maka Nabi Musa akan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.
Hal ini seperti yang tertulis dalam hadis nabi saw. sebagai berikut.
Aku telah membawa (bacaan-bacaan) kitab kepada kalian dengan
putih bersih yang kalian tanyakan kepada ahli kitab tentang sesuatu.
Mereka memberi informasi kepada kalian dengan benar, kemudian
kalian mendustakannya atau memberi informasi kepada kalian
dengan kebatilan, kemudian kalian membenarkannya. Demi Allah
yang diriku berada di tangannya. Seandainya Musa masih hidup,
maka dia tidak mempunyai keluasan kecuali mengikutiku” (Hadis
riwayat Ahmad, Bazzar, dan Abu Syaibah dalam Abu Bakar Al-
Jazairi:39-40).
Pada hadis lain diterangkan pula hal tersebut. Hadis yang diriwatkan
Bukhari Muslim tertulis sebagai berikut.
Abu Hurairah r.a. berkata: nabi saw. bersabda: Tiada seorang nabi
melainkan telah diberi mukjizat yang karenanya orang-orang percaya
kepadanya, sedang yang diberikan Allah kepadaku berupa wahyu
(Alquran) yang diturunkan kepadaku, maka aku berharap semoga
akulah yang terbanyak pengikutnya pada hari kiamat” (Tafsir Hadis
riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi:50)
c. Jumlah Para Nabi dan Rasul Keseluruhan yang Diutus Allah
Mengenai jumlah nabi dan rasul secara keseluruhan diterangkan dalam
teks “MAI”, ”Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa ada mereka
itu daripada segala nabi. Maka jawab seratus ribu dan empat dan dua puluh ribu
nabi” (“MAI”:8-9). Tertulis bahwa keseluruhan jumlah nabi dan rasul adalah
seratus dua puluh empat ribu nabi. Penjelasan tentang jumlah nabi dan rasul akan
disatukan dengan subbab berikutnya yang berbicara tentang jumlah keseluruhan
Para rasul atau mursaliin (nabi yang diutus/disuruh).
d. Jumlah Nabi Mursal (Rasul)
Berkenaan dengan jumlah rasul yang diturunkan Allah Swt. diterangkan
dalam teks “MAI”, “Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan berapa ada
mereka itu daripada sekalian nabi yang disuruh mereka itu. Maka jawab tiga
ratus dan tiga belas nabi yang disuruh” (“MAI”:9).
Dari kedua kutipan di atas, jelas terdapat perbedaan jenis. Kutipan pertama
mengenai jumlah keseluruhan nabi dan rasul, sedangkan kedua hanya jumlah
rasul saja. Hal tersebut seperti yang dijelaskan dalam hadis nabi yang
diriwayatkan Ahmad dari Abu Dzar Al-Ghifari sebagai berikut.
Saya bertanya kepada: Ya Rasulullah siapa nabi yang pertama. rasul
menjawab: Adam. Aku bertanya: Ya Rasulullah apakah dia seorang
nabi? rasul menjawab: Ya dia adalah orang yang difirmankan. Aku
bertanya lagi: Ya Rasulullah berapa jumlah para rasul? Rasulullah
menjawab: Tiga ratus lima belas orang. Dalam ungkapan lain
terdapat keterangan: Berapa jumlah keseluruhan para nabi?
Rasulullah menjawab: Seratus dua puluh empat ribu, sedang jumlah
para rasul di antara mereka adalah tiga ratus lima belas orang”
(Tafsir Hadis riwayat Ahmad dalam Abu Bakar Aljazairi:359).
Imam Nawawi dalam Qathru Ghaits berpendapat bahwa ada hadis yang
mengatakan bahwa jumlah nabi adalah 124.000 dan dalam riwayat lain 224.000.
Hadis tersebut merupakan hadis ahad yang tidak menunjukkan terhadap kepastian.
Mengenai jumlah rasul dari para nabi terdapat satu riwayat yang mengatakan
jumlah rasul adalah 313 utusan, yaitu sebanyak jumlah Ahli Badar (orang yang
ikut dalam perang Badar). Ada pula satu riwayat yang mengatakan 314, yaitu
sejumlah tentara Thalut yang telah sabar bersamanya dalam memerangi tentara
Jalut. Ada pula riwayat yang menyebutkan 315. (Nawawi dalam Qathrul
Ghaits:25-26).
Ahmad Dardiri berpendapat dalam Nawawi (Qathrul Ghaits:25) bahwa
yang lebih baik adalah tidak membatasi jumlah nabi dan rasul karena dengan
adanya pembatasan dalam menyebutkan hitungan akan dimungkinan ada
seseorang yang tidak termasuk ke dalam hitungan tersebut. Zuhdi (1988:66)
menambahkan bahwa iman kepada dan nabi dan rasul cukup secara global saja.
Artinya wajib bagi seorang hamba Allah telah mengutus beberapa nabi dan rasul
sebelum Nabi Muhammad saw., tetapi tidak wajib mengetahui berapa jumlah
seluruhnya dan siapa nama-namanya.
e. Mengetahui jumlah dan nama-nama nabi seluruhnya merupakan bagian
dari iman atau tidak
Telah diketahui bahwa jumlah nabi dan rasul ada banyak. Dari uraian
sebelumnya dapat diketahui bahwa jumlah nabi dan rasul tidak perlu dipastikan
berapa jumlahnya, tetapi cukup diyakini saja. Berkenaan dengan hal tersebut,
mengetahui jumlah dan nama para nabi merupakan sebuah syarat iman atau tidak
menjadi sebuah permasalahan baru. Teks “MAI” juga menerangkan hal yang
sama, tertulis dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau mengetahui nama mereka
itu dan bilangan mereka itu kepada kita jadi syarat iman atau tiada.
Maka jawab mengetahui nama mereka itu dan bilangan mereka itu
tiada kepada kita. Jadi syarat iman karena firman Allah Taala
setengah mereka itu yang aku ceritakan atasmu dan setengah mereka
itu tiadaku ceritakan atasmu ya Muhammad (“MAI”:9-10).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa mengetahui nama dan jumlah
para nabi bukan merupakan syarat iman. Hal ini dikarenakan nabi dan rasul yang
telah diutus Allah Swt. tidak semuanya diceritakan kepada manusia. Hal tersebut
sesuai dengan firman Allah dalam Alquran, “Dan sesungguhnya telah Kami utus
beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan
kepadamu dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu”
(Tafsir surat Ghafir:78). Pada ayat lain juga diterangkan kembali perihal tidak
semua nabi diceritakan kepada manusia, “Dan Kami telah mengutus rasul-rasul
yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu dan rasul-
rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu” (Tafsir surat An-
Nisa`:164).
Dari kutipan ayat Alquran di atas jelas bahwasanya Allah hanya
memperkenalkan sebagian saja dari para nabi dan rasul. Seorang hamba tidak
perlu mengahafal dan mengetahui semua nabi dan rasul karena tidak semuanya
diceritakan. Akan tetapi, cukup bagi seorang hamba untuk mempercayainya, yaitu
ada nabi dan rasul yang diturunkan Allah kepada manusia sebelum Nabi
Muhammad saw. Imam Nawawi dalam kitabnya berpendapat bahwa seorang
hamba wajib beriman terdahap adanya nabi secara tafshil, yaitu percaya terhadap
seorang yang telah disebutkan kenabian dan kerasulannya sejumlah 25 nabi,
meskipun tidak hafal nama-namanya karena menghafal hukumnya tidak wajib.
Berkenaan dengan nabi dan rasul yang tertera dalam Alquran, terdapat 25
nabi yang harus diyakini karena telah tertulis dalam Alquran dan kewajiban
seorang hamba adalah meyakini apa yang difirmankan Allah. Sirajuddin Abbas
berpendapat bahwa kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah harus mengimani dan
meyakini kebenarannya. Meskipun dalam surat Ash-Shaf ayat enam ada
penyebutan Nabi Ahmad, tetapi yang dimaksud dengan Ahmad adalah Nabi
Muhammad saw. (Abbas, 1994:59). Nabi dan rasul yang 25 orang itu ialah Nabi
Adam As‚ Nabi Idris As‚ Nabi Nuh As‚ Nabi Hud As‚ Nabi Saleh As‚ Nabi
Ibrahim As‚ Nabi Luth As‚ Nabi Ismail As‚ Nabi Ishaq As‚ Nabi Yakqub As‚
Nabi Yusuf As‚ Nabi Ayyub As‚ Nabi Syua‟ib As‚ Nabi Musa As‚ Nabi Harun
As‚ Nabi Zulkifli As‚ Nabi Daud As‚ Nabi Sulaiman As‚ Nabi Ilyas As‚ Nabi
Ilyasa As‚ Nabi Yunus As‚ Nabi Zakaria As‚ Nabi Yahya As‚ Nabi Isa As‚ dan
Nabi Muhammad saw.
Ayat Alquran yang menyatakan tentang adanya 25 orang nabi dan rasul
tersebut di atas ialah sebagai berikut. Penyebutan Nabi Ibrahim‚ Nabi Ismail‚
Nabi Ishaq‚ Nabi Ya‟qub‚ dan anak-anaknya dalam Alquran, “Katakanlah (Hai
Muhammad): kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami
dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim‚ Ismail‚ Ishaq‚ Ya‟qub anak-anaknya
dan yang diturunkan kepada Musa dan Isa dan apa yang diberikan kepada nabi-
nabi dari Tuhan‚ kami tidak memperbedakan seorang pun di antara mereka dan
kami patuh kepada-Nya” (Tafsir surat Al-Baqarah:136). Penyebutan Nabi
Ibrahim dalam Alquran, “Dan itulah alasan yang Kami berikan kepada Ibrahim
menghadapi kaumnya. Kami tinggikan derajatnya siapa yang Kami sukai‚
sesungguhnya Tuhan kamu itu Maha Bijaksana dan Maha Tahu” (Tafsir surat Al-
An‟am:83). Penyebutan Nabi Ishaq‚ Nabi Ya‟qub‚ Nabi Daud‚ Nabi Sulaiman‚
Nabi Ayub‚ Nabi Yusuf‚ Nabi Musa‚ dan Nabi Harun dalam Alquran, “Dan Kami
berikan kepadanya Ishaq dan Ya‟qub masing-masing Kami beri pimpiman. Dan
sebelum itu Kami berikan pimpinan kepada Nuh dan keturunannya yaitu Daud‚
Sulaiman‚ Ayub‚ Yusuf‚ Musa‚ dan Harun. Begitulah Kami memberi upah bagi
orang-orang yang membuat kebajikan” (Tafsir surat Al-An‟am:84). Penyebutan
Nabi Zakaria‚ Nabi Yahya‚ Nabi Isa‚ Nabi Ilyas‚ Nabi Ismail‚ Nabi Ilyasa‚ Nabi
Yunus‚ dan Nabi Luth dalam Alquran, “Dan Zakaria‚ Yahya‚ Isa‚ dan Ilyas
termasuk orang yang baik-baik. Dan Ismail‚ Ilyasa‟‚ Yunus‚ dan Luth semuanya
Kami berikan kelebihan dari sekalian makhluk” (Tafsir surat Al-An‟am:85-86).
Penyebutan Nabi Adam dan Nabi Nuh dalam Alquran, “Bahwasanya Allah telah
memilih Adam‚ Nuh‚ kelurga Ibrahim‚ dan keluarga Imran melebihi sekalian
alam” (Tafsir surat Ali Imran:33). Penyebutan Nabi „Ad dalam Alquran, “Dan
kepada „Ad diutus saudaranya‚ yaitu Hud” (Tafsir surat Al-A‟raf:65). Penyebutan
Nabi Saleh dalam Alquran, “dan kepada kaum Tsamud diutus saudaranya‚ yaitu
Saleh” (Tafsir surat Hud:61). Penyebutan Nabi Syu‟aib dalam Alquran, “Dan
kepada orang Majan diutus saudaranya‚ yaitu Syu‟aib” (Tafsir surat Hud:84).
Penyebutan Nabi Ismail‚ Nabi Idris‚ dan Nabi Zulkifli dalam Alquran, “Dan
Ismail‚ Idris‚ Zulkifli‚ semuanya orang yang sabar” (Tafsir surat Al-Anbiya:85).
Penyebutan Nabi Muhammad saw. dalam Alquran, “Muhammad itu bukan bapak
dari seorang pun laki-laki di antara kamu‚ tetapi ia rasul Allah dan akhir nabi-
nabi” (Tafsir surat Al Ahzab:40).
Banyak nabi dan rasul yang dari dulu diutus oleh Tuhan untuk suatu kaum
atau suatu bangsa‚ tetapi tidak dikabarkan dalam Alquran secara terperinci. Oleh
karena itu, tidak diwajibkan untuk mencari dan menelitinya satu persatu. Hal
tersebut seperti tertera dalam Alquran, “Dan beberapa rasul yang dahulu ada
yang ada Kami ceritakan kepadamu (Hai Muhammad) dan pula rasul-rasul yang
tidak kami ceritakan padamu.” (Tafsir surat An-Nisa‟:164).
Kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah mempercayai bahwa setiap rasul
diberi mukjizat oleh Allah untuk memperkuat dakwah mereka masing-masing.
Mukjizat adalah suatu hal yang luar biasa yang diberikan Tuhan kepada para rasul
untuk dijadikan alat memperkuat dakwah dan risalah yang dibawanya. Beberapa
mukjizat dari Allah kepada rasul-Nya sebagai berikut. Nabi Ibrahim dibakar ke
dalam api yang membara‚ tetapi tidak terbakar. Kejadian itu ketika Nabi Ibrahim
dihukum oleh raja Namrud yang zalim karena Nabi Ibrahim telah menghancurkan
berhala-berhala sesembahan raja Namrud. Hal tersebut seperti dalam Alquran,
“Mereka berkata: Bakarlah dia dan minta tolonglah kepada Tuhanmu jika kamu
bisa melakukan. Kami (Tuhan) berkata: Hai api‚ hendaklah engkau menjadi sejuk
dan selamat atas Nabi Ibrahim” (Tafsir surat Al-Anbiya:68-69). Nabi Musa dapat
membelah laut dengan tongkatnya ketika dikejar-kejar oleh raja Fir‟aun dan
pengikutnya sampai Nabi Musa terdesak ke pinggiran Laut. Selain itu‚ Nabi Musa
juga dapat mengubah tongkatnya menjadi ular ketika ditantang oleh para ahli sihir
suruhan raja Fir‟aun. Hal tersebut tercatat dalam Alquran, “Lalu Kami wahyukan
kepada Musa: Pukullah laut dengan tongkatmu‚ maka laut itu belah dua dan
setiap bagian gunung yang besar” (Tafsir surat As-Syuara:63). Pada ayat lain
juga tertulis, “Jatuhkanlah tongkatmu itu hai Musa! Lalu dijatuhkannya‚ maka
tiba-tiba tongkat itu menjadi ular yang bergerak” (Tafsir surat Thaha:19-20).
Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati dan dapat menyembuhkan penyakit-
penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh para dokter dan tabib. Dua hal
tersebut tercantum dalam Alquran, “Dan aku pandai menyembuhkan orang yang
buta‚ orang yang berpenyakit‚ lepra‚ dan aku pandai menghidupkan orang yang
telah mati dengan izin Tuhan” (Tafsir surat Ali Imran:49). Nabi Muhammad
memiliki Alquran sebagai mukjizat, bahkan orang-orang Arab pada saat itu adalah
ahli bersyair dan berpidato ditantang untuk membuat sebuah saja yang
menyerupai Alquran seperti tertera dalam Alquran, “Dan jika kamu ragu-ragu
tentang kebenaran Alquran yang Kami turunkan kepada hamba Kami‚ cobalah
kamu kemukakan sebuah surat serupa Alquran itu dan panggillah pembantu-
pembantu selain Allah kalau kamu memang orang benar” (Tafsir surat Al-
Baqarah:23).
Orang-orang kafir yang mendengar ayat tersebut mendapatkan jalan untuk
mengalahkan Nabi Muhammad. Para kafir Quraisy berkumpul untuk mencoba
membuat tulisan serupa Alquran‚ tetapi mereka gagal. Hal tersebut juga tercantum
dalam Alquran, “Katakanlah kepada mereka (Hai Muhammad) sesungguhnya
kalau seluruh manusia dan jin berkumpul untuk menulis yang serupa Alquran itu
niscaya mereka tiadalah dapat membuat yang serupa itu‚ walaupun mereka
bantu-membantu sekalipun” (Tafsir surat Al-Isra‟:88).
Mukjizat Nabi Muhammad saw tidak hanya Alquran‚ masih banyak
mukjizat lain yang dimiliki‚ di antaranya sebagai berikut. Nabi Muhammad dapat
membelah bulan menjadi dua. Matahari berhenti ketika Nabi Muhammad berhenti
berjalan untuk membenarkan ucapannya. Nabi Muhammad pernah mengeluarkan
air dari anak jarinya‚ sehingga air tersebut dipakai oleh manusia dan unta untuk
mandi. Nabi pernah menyembuhkan penyakit seseorang hanya dengan
menyapukan kedua tangannya. Nabi pernah melemparkan sekepalan tanah kepada
musuh ketika perang dan mengenai mata seluruh musuh‚ seperti yang terjadi pada
perang Badar‚ perang Hunaen‚ dan lain-lain. Nabi sering memberitakan kabar-
kabar gaib yang belum terjadi dan akhirnya menjadi kenyataan (Abbas‚1994:71).
Keistimewaan Nabi Muhammad tidak hanya pada mukjizatnya, tetapi
Nabi Muhammad adalah seorang utusan Allah yang harus dicintai oleh seorang
hamba. Oleh karena itu, pada bagian syahadat, nama Nabi Muhammad disebutkan
setelah Allah, Asyhadu an laa ilaaha illa `l-Laah wa asyhadu anna Muhammadan
Rasuulu `l-Laah. Mencintai dan mengasihi Nabi Muhammad merupakan salah
satu sempurnanya iman seorang hamba. Dijelaskan pada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Anas r.a., “Nabi saw. bersabda: Tiada sempurna iman seorang
sehingga ia cinta kepadaku melebihi dari anak, ayah kandungnya, dan semua
manusia” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi:17).
5) Iman kepada Hari Kiamat atau Hari Akhir
Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah mempercayai adanya hari akhir.
Sirajuddin Abbas (1994:73) berpendapat hari kiamat dimulai dari ketika manusia
meninggal sampai masuk ke dalam surga atau neraka sesuai dengan amal
perbuatannya. Orang yang masuk ke dalam surga dan neraka akan kekal
selamanya‚ maka surga dan neraka tidak akan lenyap. Abu Bakar Aljazairi
(2001:417) membagi dua hal mengenai pengertian hari akhir. Pertama, rusaknya
semua alam dan berhentinya kehidupan. Kedua, datang dan awal dari kehidupan
akhirat. Hari akhir adalah alam dunia akan hancur atau rusak dan berganti dengan
alam akhirat yang kekal. Kerusakan alam dunia karena dunia dan isinya karena
sifat fana dan tidak azali sehingga bersifat baru. Sesuatu yang baru pasti akan
rusak. Pembahasan mengenai iman kepada hari akhir dalam teks “MAI” terdiri
dari satu permasalahan, yaitu mengenai cara mengimani hari kiamat. Tertulis
dalam teks sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa percaya engkau
kepada hari yang kemudian. Maka jawab bahwasanya Allah Taala
mematikan segala makhluk sekalian melainkan barang yang ada
dalam surga dan neraka, kemudian menghidupkan Allah akan
mereka itu dan dihimpunkan mereka itu dan dikira-kira mereka itu
dan dihakimkan antara mereka itu dengan adil. Maka barang siapa
ada daripada segala malaikat dan jin dan manusia, maka bahwasanya
mereka itu binasa mereka itu, maka barang siapa ada daripada
mereka itu fasik maka tiada kekal ia. Artinya tiada kekal segala
orang mukmin di dalam neraka kemudian daripada dikira-kira dan
adapun orang mukmin itu di dalam surga kekal mereka itu dan tiada
binasa surga dan tiada binasa isi keduanya. Dan barang siapa syak
daripada segala perkara ini maka bahwasanya jadi kafir” (“MAI”:10-
11).
Seorang hamba harus meyakini adanya hari akhir karena merupakan salah
satu elemen dari rukun iman. Berkenaan dengan kewajiban seorang hamba untuk
percaya dan yakin terhadap hari akhir, telah tertulis dalam Alquran, “Bukanlah
suatu kebajikan kalian menghadap ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan
adalah beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, dan para nabi” (Tafsir
surat Al-Baqarah:122).
Hari akhir akan terjadi dan pasti akan terjadi. Mengenai kejadian hari akhir
telah diceritakan dalam Alquran, seperti firman Allah dalam surat Az-Zumar,
“Dan ditiuplah terompet (sangkakala), kemudian orang-orang yang di langit dan
di bumi mati, kecuali yang dikehendaki Tuhan tidak akan mati. Kemudian ditiup
sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu atau melihat
(putusannya masing-masing)”(Tafsir surat Az-Zumar:68). Pada ayat lain juga
diceritakan bagaimana hari akhir akan berlangsung sebagai berikut.
Apabila sangkakala ditiup sekali tiup, bumi dan gunung-gunung
diangkat, lalu keduanya dibenturkan sekali benturan. Maka pada hari
itu kiamat terjadi. Dan langit terbelah karena pada saat itu langit
menjadi lemah. Para malaikat berada di segenap penjuru langit. Pada
hari itu delapan malaikat menjunjung arsy Tuhanmu di atas kepala
mereka. Pada hari itu pula kalian dihadapkan kepada Tuhan kalian.
Tak satupun dari keadaan kalian tersembunyi bagi Allah. Adapun
orang yang diberikan kepadanya buku catatan dari sebelah
kanannya,maka ia berkata: Ambillah dan bacalah buku catatan ini.
Sesungguhnya aku yakin bahwa aku akan menemui hisab terhadap
diriku. Dengan demikian orang itu berada dalam kehidupan yang
diridai dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. Makan dan
minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan
pada hari-hari yang telah lalu. Adapun orang yang diberikan
kepadanya buku catatan dari sebelah kirinya, maka dia berkata:
Aduh alangkah baiknya jika buku catatan ini tidak diberikan
kepadaku. Saya tidak mengetahui apa hisab itu. Alangkah baiknya
jika kematian itu menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali
tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku
daripadaku. Allah berfirman: Peganglah dia lalu belenggulah
tanggannya ke lehernya kemudian masukkanlah ke dalam api yang
menyala-nyala. Setelah itu belitlah dia dengan rantai yang
panjangnya tujuh puluh hasta” (Tafsir surat Al-Haqqah 13-32).
Dari dua ayat di atas telah dijelaskan secara singkat mengenai kejadian
pada hari kiamat. Dimulai dari rusaknya semua alam karena ditiup sangkakala
sampai kepada masuknya semua manusia ke dalam surga atau neraka.
Dalam teks “MAI” disebutkan bahwa semua makhluk akan dimatikan
Allah. Hal tersebut merupakan awal adanya kiamat. Ahlu `s-Sunnah wa `l-
Jamaa‟ah percaya bahwa semua manusia akan mati sesuai dengan ajalnya. Ajal
tidak akan terlambat atau tidak mendahului seperti yang telah ditentukan Allah
(Abbas‚ 1994:73). Hal tersebut sesuai dengan firman Tuhan dalam Alquran,
“Setiap orang akan merasa mati” (Tafsir surat Ali Imran:185). Pada surat Az-
Zumar juga dikatakan bahwa semua makhluk akan mati, “Dan ditiuplah terompet
(sangkakala), kemudian orang-orang yang di langit dan di bumi mati, kecuali
yang dikehendaki Tuhan tidak akan mati (Tafsir surat Az-Zumar:68). Dari dua
firman di atas jelas bahwa secara umum dimulainya hari kiamat adalah ketika
alam dan isinya telah hancur dan rusak.
Mengenai waktu kejadian kiamat hanya Allah yang mengetahui pastinya,
bahkan Rasulullah pun ketika ditanya mengenai kiamat, nabi hanya menyebutkan
tanda-tanda datangnya kiamat saja. Allah berfirman dalam surat Luqman sebagai
berikut.
Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang hari kiamat dan Dialah yang menurunkan hujan dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorang pun yang
dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia
akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha dalam
pengetahuan-Nya” (Tafsir surat Luqman:34).
Mengenai waktu kiamat Allah berfirman, “Mereka tidak menunggu-
nunggu melainkan hari kiamat yang akan datang kepada mereka dengan tiba-
tiba. Sesungguhnya tanda-tandanya telah datang. Oleh karena itu, bagaimanakah
peringatan bagi mereka apabila kiamat telah tiba?” (Tafsir surat
Muhammad:18). Pada ayat lain juga diterangkan mengenai waktu kiamat, “Hari
kiamat telah dekat dan bulan telah membelah. Jika mereka (orang musyrik)
melihat suatu tanda (mukjizat) mereka berpaling dan mengatakan, ini adalah
sihir yang terus menerus” (Tafsir surat Al-Qamar:1-3).
Sebagian tanda datangnya kiamat adalah terutusnya Nabi Muhammad
yang merupakan utusan terakhir karena setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi
lagi. Rasul bersabda, “Saya diutus sedang hari kiamat seperti dua ini” (Tafsir
Hadis Bukhari Muslim dalam Abu Bakar Al-Jazairi, 2001:437). Rasul
mengisyaratkan dengan kedua ujung jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah
dan beliau mensejajarkan antara keduanya. Hal tersebut merupakan sebuah simbol
bahwa masa antara Nabi Muhammad datang dan kiamat adalah amat dekat. Pada
hadis lain diterangkan betapa cepat datangnya hari kiamat yaitu sebagai berikut.
Hari kiamat tidak akan tiba jika terdapat seseorang yang memerah
susu unta, namun sebelum perahan susu itu sampai ke dalam wadah,
hari kiamat telah tiba. Jika terdapat dua orang yang mengadakan
transaksi jual beli pakaian, namun transaksi itu belum selesai, hari
kiamat telah tiba. Jika terdapat seorang yang merehabilitasi telaga,
namun sebelum air telaga keluar, hari kiamat telah tiba (Tafsir Hadis
riwayat Muslim dalam Abu bakar al-jazairy, 2001:449).
Meskipun demikian, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan
terhadinya kiamat. Manusia hanya diberi tanda-tanda datangnya hari kiamat. Ada
banyak tanda-tanda kiamat yang telah dikabarkan kepada manusia, baik dari
Alquran maupun hadis. Beberapa tanda datangnya hari kiamat yaitu sebagai
berikut.
a. Bangkitnya Dajjal
Dajjal muncul di tengah-tengah umat manusia. Allah mencoba umat
manusia dengan Dajjal yang diberinya kemampuan dan kekuasaan yang
sedemikian rupa sehingga dapat menggoyahkan fikiran, jiwa, dan iman dari orang
yang lemah imannya. Dajjal tinggal di bumi selama 40 hari dan hari-hari
pertamanya yang panjang waktunya. Mengenai datangnya Dajjal, rasul penah
bersabda dari An-Nawas bin Sam‟an sebagai berikut.
Kami bertanya: Hai Rasulullah, berapa lama Dajjal tinggal di bumi?
Jawab nabi: 40 hari, hari pertamanya seperti setahun, hari kedua
seperti sebulan, hari ketiga seperti seminggu, dan hari-hari
seterusnya seperti hari-hari kamu lamanya. Kami bertanya lagi: Hai
Rasulullah pada hari yang lamanya seperti setahun, sebulan,
seminggu itu apakah kita cukup melakukan salat sehari lima kali?
Jawab nabi: Tidak cukup (salat lima kali untuk hari-hari tersebut).
Buatlah perkiraan atau hitungan untuk salat (demikian pula untuk
puasa) untuk hari-hari tersebut (setiap 24 jam waktu kita, kita
melakukan salat lima kali) (Tafsir Hadis riwayat Muslim dalam
Zuhdi, 1988:91).
Diterangkan pula bahwa Dajjal tidak hanya satu, tetapi ada tiga puluh
dajjal yang akan menguasia bumi. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah
r.a., “Nabi saw. bersabda: Tidak akan tiba hari kiamat sehingga bangkit tiga
puluh dajjal pendusta, semuanya mengaku sebagai Rasulullah” (Tafsir Hadis
Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi:1123).
Mengenai ciri-ciri Dajjal ialah buta mata sebelah kanannya dan matanya
bagaikan anggur, Dajjal keluar akan membawa api dan air, sedangkan yang dilihat
orang-orang dari api itu adalah air dingin dan sebaliknya yang dilihat orang-orang
dari air itu adalah api. Hal tersebut pernah disabdakan rasul sebagai berikut.
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sukakah aku
beritakan kepadamu tentang Dajjal yang belum diberitahukan oleh
nabi pada kaumnya. Sungguh Dajjal itu buta sebelah dan ia akan
datang membawa sesuatu yang menyerupai surga dan neraka.
Adapun yang dikatakan surga itu api neraka. Dan aku
memperingatkan kalian sebagaimana Nabi Nuh telah
memperingatkan kepada kaumnya (Tafsir Hadis riwayat Bukhari
Muslim dalam Abdul Baqi:1127).
Berkenaan dengan sesuatu yang menyerupai surga dan neraka merupakan
sebuah alat yang digunakan Dajjal untuk mengelabuhi manusia. Manusia dengan
iman yang lemah akan memilih surga yang dibawa oleh Dajjal yang
sesungguhnya merupakan api yang panas. Mereka yang memilih surga itu telah
berhasil dikelabuhi olehnya. Begitu juga sebaliknya, manusia yang memilih
sesuatu yang menyerupai neraka (api) sebenarnya telah memilih suatu yang benar.
Dajjal tidak bisa mengelabuhi mereka karena kadar iman mereka terjaga.
b. Turunnya Nabi Isa a.s. dan Imam Mahdi
Salah satu tanda datangnya hari kiamat adalah diturunkannya kembali
Nabi Isa setelah diangkat Allah ketika dia dikejar-kejar oleh umatnya sendiri.
Nabi Isa datang memberitahukan perihal hari kiamat yang segera akan datang. Hal
tersebut telah difirmankan Allah dalam Alquran, “Sesungguhnya Isa itu benar-
benar memberi pengetahuan tentang hari kiamat” (Tafsir surat Az-Zukhruf:61).
Pada ayat lain juga ditunjukkan bahwa Nabi Isa diangkat oleh Allah, “Ingatlah
ketika Allah berfirman, Hai Isa sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan dari
orang-orang kafir” (Tafsir surat Ali Imran:55). Rasul menerangkan, “Hari
kiamat tidak akan tiba sehingga seorang (Isa) keluar dari Qahthan yang dapat
menggiring manusia dengan tongkatnya” (Tafsir Hadis Bukhari Muslim dalam
Abu bakar al-jazairy, 2001:446).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Nabi Isa akan turun ke bumi
membawa segala informasi tentang hari kiamat. Bagi orang mukmin datangnya
Nabi Isa merupakan tanda yang nyata bahwa hari kiamat tidak akan lama lagi.
Turunnya Nabi Isa tidak lain juga untuk memerangi kaumnya yang menyalahi
hukum Allah dengan mengatakan dirinya sebagai Tuhan. Rasulullah saw. telah
menerangkan dalam hadisnya sebagai berikut.
Sekelompok dari umatku selalu berperang di atas kebenararan
dengan mendapat kemenangan sampai hari kiamat. Isa putra
Maryam kemudian diturunkan. Pimpinan mereka berkata:
Bergabunglah dengan kami. Isa menjawab: Tidak, sesungguhnya
sebagian di atas sebagian yang lain adalah pemimpin karena Allah
telah memuliakan umat ini (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim
dalam Abu bakar al-jazairy, 2001:448).
Dari kutipan di atas Nabi Isa jelas akan menentang kaum-kaumnya yang
mengatasnamakan pengikut Nabi Isa, padahal mereka sendiri yang membuat
aturan tersebut. Ketika diminta oleh kaumnya untuk mengikuti mereka, Nabi Isa
menolak dan mengakui bahwa umat Nabi Muhammad adalah umat yang mulia
dan Nabi Isa mengajak mereka untuk mengikuti ajaran Muhammad saw. Nabi Isa
juga membenahi ajaran-ajaran yang diselewengkan tersebut. Ia akan mengajarkan
ajaran Nabi Muhammad, tetapi banyak dari kaumnya yang tidak mengikuti
dirinya, padahal mereka mengaku adalah pengikut Nabi Isa. Hal tersebut tertera
dalam hadis nabi saw. sebagai berikut.
Rasul bersabda: Demi Allah, putra Maryam akan turun sebagai juru
damai yang adil. Dia akan memecahkan salib, akan membunuh babi,
akan meletakkan jizyah (pajak), dan unta muda yang kakinya
panjang akan ditinggalkan. Unta itu tidak akan dijadikan usaha.
Dendam, kebencian, dan kedengkian akan dilenyapkan. Dia
menganjurkan agar menafkahkan harta, namun tak seorang pun
menerimanya (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abu
Bakar Al-Jazairy, 2001:449).
Jelas dari kutipan hadis tersebut, banyak manusia yang mengatasnamakan
pengikut Nabi Isa tidak menerima perkataannya untuk mengikuti ajaran Nabi
Muhammad. Bahkan Nabi Isa akan merusak salib-salib yang dipergunakan
kaumnya untuk beribadah karena tidak sesuai dengan ajaran yang diterimanya. Ia
juga akan membunuh babi karena banyak dari manusia yang mengaku
pengikutnya memakan binatang tersebut, padahal jelas bahwa dalam ajaran
Muhammad babi merupakan salah satu makanan yang diharamkan. Nabi Isa juga
meminta kepada mereka agar menafkahkan hartanya kepada sesamanya, tetapi
semua yang dikatakannya ditolak oleh manusia yang mengaku pengikutnya.
Mengenai hadirnya Imam Mahdi diterangkan, bahwa suatu hari nanti
ketika bumi banyak kerusakan, muncul seorang alim untuk menegakkan keadilan.
(Zuhdi, 1988:91). Imam Mahdi merupakan keturunan rasul Muhammad saw. dan
menjadi salah satu tanda-tanda datangnya kiamat.
c. Munculnya Binatang Misterius
Salah satu tanda-tanda datangnya kiamat adalah munculnya binatang
misterius. Mereka akan keluar dari bumi. Kemesteriusannya atau keanehannya
ialah mereka dapat bicara kepada manusia untuk menunjukkan adanya kepalsuan
dan ketidakbenaran ajaran selain ajaran Islam. Hal tersebut sesuai yang
difirmankan Allah, “Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka (sudah dekat
hari bangkit/balasan), Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang
akan mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya mereka dahulu tidak
yakin kepada ayat-ayat Kami” (Tafsir surat An-Naml:82). Dalam hadis
diriwayatkan pula sebagai berikut.
Rasul pernah datang kepada kami saat kami sedang berdiskusi. Nabi
bertanya apa yang didiskusikan. Kami menjawab tentang masalah
hari kiamat. Rasul bersabda: Kiamat tidak akan tiba sampai kalian
melihat sebelumnya sepuluh tanda, yaitu asap, Dajjal, binatang, tiga
kehancuran; di timur, di barat, dan di jazirah Arab, sedang yang
terakhir adalah api yang keluar dari arah kanan yang menggiring
manusia ke tempat berkumpulnya mereka (mahsyar) (Tafsir Hadis
riwayat Muslim dalam Abu bakar al-jazairy, 2001:440).
Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa binatang itu dulunya juga seorang
hamba Allah, tetapi mereka tidak mempercayai ayat-ayat Allah sehingga Allah
mengurung mereka dalam sebuah gua. Pada hari kiamat telah dekat, mereka akan
keluar dan mengkabarkan kepada seluruh manusia perihal dirinya yang dulu tidak
yakin terhadap ayat-ayat Allah.
d. Matahari Terbit dari Arah Barat
Telah menjadi sebuah pengetahuan umum bahwa matahari terbit dari
sebelah timur dan tenggelam dari sebelah barat. Awal tanda kiamat adalah
munculnya matahari dari arah timur. Hal tersebut menunjukkan betapa kuasanya
Allah atas ciptaan-Nya. Rasul telah mengkabarkan hal tersebut dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim, “Awal tanda kiamat kubra adalah keluarnya matahari
dari arah barat dan keluarnya binatang pada manusia pada waktu duha.
Manakala salah satunya tampak terlebih dahulu, maka yang lain akan
mengikutinya dalam waktu dekat” (Tafsir Hadis riwayat Muslim dalam Abu bakar
al-jazairy, 2001:441).
e. Kakbah Kiblat Umat Islam Hancur
Tanda-tanda nyata datangnya hari kiamat adalah bangunan Kakbah
sebagai kiblat seluruh umat Islam di dunia akan hancur dan rusak. Hal tersebut
seperti yang tertera dalam hadis nabi saw. yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Abu
Hurairah r.a. berkata: nabi saw. bersabda: Akan ada orang yang merobohkan
Ka‟bah, yaitu seorang yang berbetis kecil dari Habasyah” (Tasir Hadis riwayat
Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi:1121).
f. Perang Adikuasa
Salah satu tanda-tanda yang lain dekatnya hari kiamat adalah terjadinya
perang antara dua golongan adikuasa. Hal tersebut seperti tertera dalam hadis
nabi, “Hari kiamat tidak akan datang sebelum dua golongan adikuasa berperang
dan di antara keduanya terjadi pertempuran sangat dahsyat, sedang dakwaan
keduanya adalah satu” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abu bakar
al-jazairy, 2001:442). Dua golongan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah
golongan Ali bersama pengikutnya dan Muawiyyah dan pengikutnya.
Pertempuran yang dahsyat itu terjadi di Shiffin.
g. Banyak Perperangan dan Pembunuhan
Selain peperangan antara dua golongan adikuasa, banyaknya peperangan
yang terjadi di muka bumi menjadikan tanda-tanda datangnya hari kiamat. Rasul
telah menjelaskan dalam hadis, “Hari kiamat tidak akan terjadi sehingga
kekacauan menyeruak. Para sahabat bertanya: Apakah kekacauan itu ya
Rasulullah? Nabi menjawab: pertempuran (pembunuhan)” (Tafsir Hadis riwayat
Muslim dalam Abu bakar al-jazairy, 2001:442). Peperangan di atas tidak hanya
berlaku pada satu kelompok atau golongan yang berperang kepada golongan lain,
tetapi pengertian peperangan adalah manusia saling membunuh satu sama lain dan
hal tersebut sudah menjadi hal wajar bagi mereka.
h. Orang-Orang Berjalan ke Sungai Euphrat dan Hilangnya Persatuan Umat
Islam.
Rasul bersabda mengenai kejadian tersebut. Disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan Bukhari Muslim, “Hari kiamat tidak akan tiba sehingga orang yang
berjalan ke sungai Furat (Euphrat) dari gunung menjadi letih ketika orang-orang
memeranginya” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abu bakar al-
jazairy, 2001:443).
Mengenai terpecahnya umat Islam dalam berbagai segi, baik sosial,
agama, budaya, maupun tatanan negara. Hal tersebut seperti hadis nabi, “Irak
menahan dirhamnya dan takarannya. Syam menahan mud dan dinarnya. Mesir
menahan takaran dan dinarnya. Kalian dikembalikan sebagaiman kalian
diciptakan pertama kali” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abu bakar
al-jazairy, 2001:443).
Tanda ini telah terlihat nyata, yaitu kekhalifahan Islam telah hilang sejak
masa lalu. Irak berdiri dengan ke-Irakannya, penduduk Syam berdiri sendiri
dengan ke-Syammannya, dan penduduk Mesir berdiri sendiri dengan ke-
Mesirannya. Penggunaan misal negara Syam, Mesir, dan Irak adalah hanya
sebuah simbol karena ketiga negara tersebut merupakan negara dengan mayoritas
muslim terbesar. Ketiga negara tersebut merupakan simbol dari kekuatan Islam,
tetapi tidak ada persatuan antara ketiganya. Sebaliknya, mereka mengagungkan
dan menonjolkan negara mereka masing-masing dan melalaikan hal yang lebih
penting, yaitu persatuan umat Islam.
i. Api Keluar dari Hijaz
Tanda datangnya hari kiamat yang lain adalah keluarnya api dari tanah.
Rasul bersabda, “Hari kiamat tidak akan tiba sehingga api keluar dari Hijaz yang
menyinari leher-leher unta di Bushra” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim
dalam Abdul Baqi:1119). Tanda ini telah tampak sebagaimana informasi rasul
bahwa Harrah Timur dari kota rasul (Madinah) telah terbakar dan api terus
menyala dalam waktu yang sangat lama. Nyala api itu dapat dilihat dari Bushra
Syam. Batunya hitam yang selalu terbakar seperti arang sampai sekarang.
j. Resimen Perempuan Kabilah Daus Kembali Menyembah Berhala
Tanda yang diterangkan oleh nabi selanjutnya adalah wanita-wanita
kabilah Daus kembali menyembah berhalanya, seperti yang diterangkan nabi
“Hari kiamat tidak akan tiba sehingga bergoyang pinggul wanita-wanita kabilah
Daus menuju berhala di sekitar Dzul Khullashakh. Dzul Khullashakh adalah
berhala yang disembah oleh kabilah Daus pada masa jahiliah di Tabalah”
(Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi:1120).
k. Pohon Memberitahu Muslim Tentang Keberadaan Orang Yahudi
Tanda-tanda berikutnya adalah pohon-pohon dapat mengkabarkan
keberadaan kaum Yahudi. Rasul bersabda dalam sebuah hadis sebagai berikut.
Hari kiamat tidak akan tiba sehingga orang-orang Islam dapat
memerangi orang-orang Yahudi. Orang-orang Islam dapat
membunuh mereka sehingga mereka sembunyi di balik batu dan
pohon. Batu dan pohon itu berkata: Wahai orang Islam, wahai
hamba Allah ini adalah orang Yahudi di belakangku. Kesinilah dan
bunuhlah dia kecuali pohon Gharqad karena ia termasuk pohon
orang-orang Yahudi (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam
Abu bakar al-jazairy, 2001:447).
Kejadian tersebut sangatlah aneh karena pohon yang notabene tidak dapat
berbicara dengan kuasa Allah dapat mengkabarkan keberadaan kaum Yahudi
kepada umat Islam.
l. Banyak Orang Yang Menjual Agamanya
Tanda-tanda nyata datangnya kiamat adalah banyaknya orang-orang yang
menjual agamanya. Orang-orang memeluk Islam di waktu pagi dan akan berubah
menjadi kafir di waktu sore hari. Mereka beralih dari Islam menjadi kafir karena
alasan keduniaan. Rasulullah saw. bersabda mengenai hal tersebut, yaitu sebagai
berikut.
Bersegeralah kalian dengan mengerjakan berbagai aktivitas karena
akan muncul beberapa fitnah seperti sebagian malam yang gelap.
Seseorang yang pada waktu paginya mukmin, pada waktu sorenya
dia kafir, sedang seseorang yang pada waktunya kafir, pada waktu
paginya dia mukmin. Dia menjual agamanya dengan harta dunia
(Tafsir Hadis riwayat Muslim dalam Abu bakar al-jazairy,
2001:445).
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa hari kiamat akan datang ketika
banyak manusia yang kehilangan identitasnya. Manusia yang menjadi pengatur
bumi telah rusak karena keserakahan mereka sendiri. Oleh karena itu, rasul juga
pernah menjelaskan bahwa seburuk-buruk manusia adalah orang yang meninggal
di hari kiamat. Hadis tersebut berbunyi, “Hari kiamat tidak akan tiba kecuali
yang tersisa adalah orang-orang yang paling jelek” (Tasir Hadis riwayat Muslim
dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:450). Pada hadis lain disebutkan, “Sejelek-
jelek manusia adalah orang yang menyusul hari kiamat dan mereka hidup” (Tasir
Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:450). Hari
kiamat akan datang ketika bumi dikuasai oleh manusia-manusia yang buruk.
Tidak akan terjadi kiamat ketika manusia masih dihuni oleh kaum saleh yang
mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Uraian di atas merupakan beberapa tanda datangnya hari kiamat.
Berkenaan dengan peristiwa terjadinya kiamat juga diterangkan dalam Alquran
dan Hadis. Diterangkan dalam Alquran mengenai hari kiamat, “Hari kiamat.
Apakah hari kiamat itu? Tahukah engkau apakah hari kiamat itu? Pada hari itu,
manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan gunung-gunung seperti bulu yang
dihambur-hamburkan” (Tafsir surat Al-Qaari‟ah:1-5). Pada surat Al-Ma‟aarij
juga diperjelas kejadian hari kiamat, yaitu sebagai berikut.
Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak dan gunung-
gunung menjadi seperti bulu berterbangan. Seorang teman yang
akrab pun tidak akan menanyakan temannya sedang mereka saling
melihat orang kafir. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat
menebus (dirinya) dan siksaan hari itu dengan anak-anaknya,
isterinya, saudaranya, kaum famili yang melindunginya dan semua
orang di atas bumi. Dia kemudian mengharapkan tebusan itu dapat
menyelamatkannya. Sama sekali tidak dapat. Sesungguhnya neraka
itu adalah api yang bergejolak (Tafsir surat Al-Ma‟aarij:8-15).
Salah satu kejadian pada hari kiamat adalah adanya goncangan yang besar.
Allah berfirman dalam Alquran, “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan
yang dahsyat. Bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya.
Manusia bertanya: Mengapa bumi menjadi begini?” (Tafsir surat Az-Zalzalah:1-
3). Goncangan tersebut sangat dahsyat. Akibat goncangan yang sangat dahsyat
tersebut, manusia hanya menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka tidak
menghiraukan orang lain karena ketakutan, bahkan seorang ibu akan lupa
terhadap anaknya karena adanya goncangan yang dahsyat tersebut. Allah
berfriman sebagai berikut.
Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya
kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat
besar. Ingatlah pada hari itu kalian melihat kegoncangan itu, semua
wanita yang menyusui anaknya lalai dari anak yang disusukannya
dan kandungan semua wanita yang hamil gugur. Engkau melihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Akan
tetapi, siksaan Allah sangat keras (Tafsir surat Al-Hajj:1-2).
Hari kiamat merupakan hari kerusakan seluruh alam. Semua yang ada
dalam alam semesta akan hancur tiada yang bersisa. Dijelaskan dalam Alquran
bahwa gunung-gunung akan meletus bertaburan, langit akan terbelah, bintang-
bintang akan jatuh, lautan akan meluap, dan sebagainya. Kejadian tersebut tertulis
dalam Alquran, “Apabila langit terbelah. Apabila bintang-bintang jatuh
berserakan. Apabila lautan dijadikannya meluap” (Tafsir surat Al-Infithar:1-3).
Pada ayat lain juga diceritakan matahari akan digulung, yaitu “Apabila matahari
digulung. Apabila bintang-bintang berjaTuhan. Apabila gunung-gunung
dihancurkan” (Tafsir surat At-Takwir:1-3). Bumi dan isinya akan berterbangan
dan berhamburan. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat membohongi
kedahsyatan hari kiamat. Hal tersebut tertulis dalam Alquran, “Apabila hari
kiamat terjadi, maka tak seorang pun dapat berdusta tentang kejadiannya.
Kejadian itu merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (satu golongan
lain). Apabila bumi digoncangkan dengan dahsyat, maka ia menjadi debu yang
berterbangan” (Tafsir surat Al-Waqiah:1-6).
Semua makhluk yang memiliki nyawa akan mati. Ketika mati, manusia
akan masuk ke dalam baru setelah alam dunia, yaitu alam kubut. Pada alam kubur
manusi baru menyesali tentang amalnya di dunia. Allah berfirman dalam Alquran,
“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Kemudian
bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali” (Tafsir surat „Abasa:21-
22). Pada ayat lain juga diceritakan penyesalan manusia akibat perbuatannya di
dunia, sebagai berikut.
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu) sehingga apabila
datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: Ya
Tuhanku, kembalikan aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh
dalam hal yang aku lalaikan. Sekali-kalu tidak. Sesungguhnya itu
adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka
ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” (Terjemah Al-
Mukminun:99-100).
Mereka meminta kepada Tuhan agar dikembalikan ke dunia untuk
bertobat dan melakukan perbuatan yang diridai Allah. Akan tetapi, semua itu
tidak ada gunanya karena alam dunia telah dilewati dan tidak akan kembali
seorang manusia pun apabila telah meninggalkan dunia ini.
Ketika di alam kubur manusia akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan
Nakir pertanyaan kubur. Orang yang dapat menjawab dengan baik karena amal
perbuatannya di dunia juga baik akan mendapat nikmat kubur‚ begitu juga
sebaliknya. Ketika hari kiamat tiba dan semua makhluk telah mati‚ maka seluruh
manusia dihidupkan kembali oleh Tuhan dengan suara terompet (nafiri) dari
malaikat Israfil (Abbas‚1994:74). Hal tersebut seperti tercantum dalam Alquran,
“Demikianlah yang sesunnguhnya‚ Allah itu yang sebenarnya dan ia bisa
menghidupkan orang yang mati‚ bahwasanya Dia kuasa membuat sesuatu.
Sesunggunya kiamat itu pasti datang‚ tiada ragu lagi‚ dan sesungguhnya Tuhan
akan menghidupkan kembali orang-orang yang mati” (Tafsir surat Al-Hajj:6-7).
Dari uraian di atas jelas bahwa alam kubur ialah keadaan antara setelah kematian
manusia dan sebelum dibangkitkan kembali sehingga alam kubur disebut juga
sebagai masa transisi antara alam dunia dan akhirat.
Beberapa ayat di atas juga telah menjelaskan perihl kebangkitan manusia
dari kubur setelah kematiannya. Masa kebangkitan manusia setelah kematian
harus diyakini kebenarannya. Allah telah berfirman mengenai dibangkitkannya
manusia, yaitu sebagai berikut.
Yaitu pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan
mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala sewaktu mereka
hidup di dunia dalam keadaan menekurkan pandangan yang diliputi
oleh kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada
mereka (Tafsir surat Al-Ma‟aarij:43-44)
Pada ayat lain juga diterangkan, “Dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti
datang, tak ada keraguan padanya dan bahwasanya Allah membangkitkan semua
orang yang di dalam kubur” (Tafsir surat Al-Hajj:7). Seorang manusia yang tidak
percaya akan kebangkitan setelah kematian dianggap kafir karena hal tersebut
telah dijelaskan Allah dalam Alquran. Hal tersebut sama saja tidak percaya akan
kebenaran isi Alquran. Seorang yang tidak percaya akan kebenaran isi Alquran
atau meragukannya sama saja dengan meragukan adanya Allah Swt. Oleh karena
itu, seorang hamba harus mengakui adanya hari kebangkita setelah hari kiamat
berlangsung.
Kebangkitan manusia dari kubur pada setelah hari kiamat menjadi
persoalan, apakah berbentuk material atau spiritual. Kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-
Jamaa‟ah berpendapat bahwa yang dihidupkan kembali adalah badannya yang
ditinggalkan nyawanya dulu yang telah menjadi tulang-benulang dan menjadi
tanah di bumi. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, “Dia berkata, Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh? Katakanlah:
Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali dan dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk” (Tafsir surat Yasin:78-79). Pada hadis nabi
diterangkan pula, “Setiap hamba akan dibangkitkan menurut keadaan ia mati”
(Tafsir hadis riwayat Muslim). Oleh karena itu, kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-
Jamaa‟ah menyakini bahwa kebangkitan manusia itu berbentuk material.
Kebangkitan manusia setelah dimatikan ditandai dengan ditiupnya
sangkakala yang kedua yang jaraknya empat puluh tahun. Hal tersebut sesuai
dengan hadis nabi sebagai berikut.
Abu Hurairah berkata: rasul saw. bersabda: Di antara dua kali tiupan
sangkakala itu kira-kira empat puluh. Ditanya apakah empat puluh
hari? Jawab Abu Hurairah: Aku tidak berkata begitu. Ditanya empat
puluh bulan? Jawabnya: Saya tidak berkata begitu. Ditanya empat
puluh tahun? Jawabnya: Aku tidak berkata begitu. Kemudian Allah
menurunkan hujan, maka tumbuhlah manusia yang telah mati
bagaikan tumbuhnya biji. Tiada suatu dari jasad manusia melainkan
rusak kecuali satu tulang di belakang punggung yang terbawah,
tulang ekor. Dari itulah tersusunnya makhluk di hari kiamat (Tafsir
Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi:1131).
Abu Bakar Al-Jazairy (2001:458) berpendapat bahwa Abu Hurairah
sebagai perawi tidak menyanggupi menafsirkan kata „empat puluh‟ tersebut.
Hanya saja dalam riwayat yang lain terdapat keterangan bahwa kata empat puluh
itu ditafsiri dengan empat puluh tahun, yaitu keterangan Nawawi dalam syarah
hadis riwayat Muslim.
Tiupan sangkakala yang kedua menjadi tanda kehidupan kedua telah
dimulai. Allah berfirman, Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-
tiba mereka berdiri menunggu atau melihat (putusannya masing-masing)”(Tafsir
surat Az-Zumar:68). Setelah manusia bangkit, maka mereka digiring dalam
keadaan tidak memakai alas kaki dan telanjang bulang ke padang mahsyar, yaitu
ardlun baydla (bumi yang putih) yang tidak sedikit pun terlihat tempat tinggi atau
rendah. (Nawawi:32). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, “Sebagaimana
telah Kami telah memulai penciptaan pertama, maka Kami akan mengulanginya.
Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kami yang akan
melaksanakannya” (Tafsir surat Al-Anbiya`:104). Manusia tidak beralas kaki dan
telanjang sebagaimana Allah menciptakan mereka pertamakali dan
mengembalikannya untuk yang kedua kali. Rasul bersabda, “Manusia akan
berhimpun pada hari kiamat di atas tanah putih yang bersih seperti roti, bulat
pipih yang bersih, yang tidak seorang pun yang mengetahuinya” (Tafsir Hadis
riwayat Bukhari Muslim dalam Abu bakar al-jazairy, 2001:459). Hal tersebut
yang ditafsirkan oleh Imam Nawawi sebagai ardul baydlau.
Berkenaan dengan manusia yang berkumpul secara telanjang badan
ditanyakan oleh Aisyah dalam hadis nabi, “Saya (Aisyah) bertanya: Ya
Rasulullah, semua perempuan dan laki-laki, sebagian mereka melihat sebagian
yang lain? Rasulullah menjawab: Perkaranya lebih dahsyat daripada sebagian
mereka melihat sebagian yang lain” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam
Abu bakar al-jazairy, 2001:460). Dari Hadis tersebut dapap diketahui bahwa
keadaan pada waktu itu sangat mencekam sehingga tidak ada yang peduli dengan
sekelilingnya. Mereka hanya memikirkan tentang balasan yang akan mereka
terima sebagai hasil dari perbuatannya di dunia. Berkenaan keadaan yang sangat
mencekam di mahsyar tersebut, rasul bersabda sebagai berikut.
Dari Miqad bin Aswad: Saya mendengar Rasulullah bersabda: Pada
hari kiamat matahari didekatkan dari makhluk sehingga jarak
matahari dari mereka seperti ukuran mil. Tentang peluh, manusia
bergantung pada amalnya. Di antara mereka ada orang yang
peluhnya sampai ke tumitnya. Di antaranya mereka ada orang yang
peluhnya sampai ke tumitnya, dia antara mereka juga ada orang yang
peluhnya sampai kedua lututnya, di antara mereka ada orang yang
peluhnya sampai kepada kedua punggungya, dan di antara mereka
lagi ada yang dikendali oleh peluhnya sendiri (Tafsir Hadis riwayat
Muslim dalam Abu bakar al-jazairy, 2001:461).
Keadaan di mahsyar sangat dahsyat. Matahari diutus Allah lebih dekat
dengan manusia ketika itu, yaitu hanya beberapa mil dari kepala manusia.
Keringat-keringat manusia di sana juga bermacam-macam sesuai dengan amal
perbuatannya di dunia. Mereka tidak mempedulilan nasib manusia lainya karena
hanya memikirkan tentang keadaan dirinya sendiri. Berkenaan keadaan orang
kafir di hari kiamat dan hari pembalasan, Allah telah memberikan keterangan
dalam Alquran sebagai berikut.
Kami akan menghimpun mereka pada hari kiamat (diseret) atas
muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan pekak. Tempat
kediaman mereka adalah neraka Jahanam. Tiap-tiap kali nyala api
Jahanam itu akan padam, Kami tambahkan lagi bagi mereka
nyalanya. Itulah balasan bagi mereka karena sesungguhnya mereka
kafir kepada ayat-ayat Kami. (Tafsir surat Al-Isra:97-98).
Ayat tersebut dikuatkan dengan hadis nabi saw yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim, “Rasul pernah ditanya: Bagaimana orang kafir dihimpun di atas
mukanya pada hari kiamat? Rasul menjawab: Tidakkah yang menjalankan orang
kafir di atas kakinya di dunia mampu menjalankannya di atas mukanya pada hari
kiamat?” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abu bakar al-jazairy,
2001:461).
Setelah manusia berada di Mahsyar. Mereka menunggu antrian untuk
penghisaban dan pemberian buku amalan mereka masing-masing. Buku amalan
tersebut adalah semua catatan yang telah mereka lakukan di dunia. Tidak ada
sedikt pun yang tidak tercatat dalam buku amalan tersebut. Allah berfirman dalam
surat An-Nur, “Dan didapatinya ketetapan Allah di sisi-Nya. Lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungannya” (Tafsir surat An-Nur:39). Allah menerangkan
kembali dalam Alquran pada surat Az-Zumar, “Dan diberikanlah buku
(perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-
saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak
diragukan” (Tafsir surat Az-Zumar:69).
Manusia akan dimintai pertanggungjawaban setelah adanya perhitungan
atau hisab atas amal-amalnya di dunia. Allah berfirman, “Kami akan memasang
timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan barang sedikit
pun.. Dan jika (amalan) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan
(pahala)nya. Dan cukup lah kami sebagai pembuat perhitungan” (Tafsir surat Al-
Anbiya`:47). Pada ayat lain juga diterangkan mengenai balasan yang akan
diterima manusia sesuai dengan amalnya. Allah berfirman dalam Alquran,
“Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan baik‚ walaupun sekecil biji saw.i‚
niscaya akan melihat pahala-pahalanya. Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan walaupun sebesar biji saw.i niscaya ia akan melihat akibatnya” (Tafsir
surat Az-Zalzalah:7-8). Manusia dengan timbangan berat akan mendapatkan
nikmat, begitu juga sebaliknya orang kafir akan dibakar di neraka. Allah
berfirman sebagai berikut.
Barang siapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka
ituah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barang siapa yang
ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri, mereka kekal dalam neraka Jahanam.
Muka mereka dibakar api neraka dan mereka di dalam neraka itu
dalam keadaan cacat. Bukankah ayat-ayatku telah dibacakan
kepadamu sekalian, tetapi kalian mendustakannya? (Tafsir surat Al-
Mukminun:102-105)
Berkenaan dengan orang kafir Allah berfirman, “Dan diletakkan kitab
catatan amalan‚ maka orang yang berdosa mengeluh ketakutan sambil berkata:
Aduhai kitab apakah ini‚ tiada terkecuali kecil besar ada di dalamnya dan
Tuhanmu tidak merugikan seseorang pun” (Tafsir surat Al-Kahfi:49).
Pada hari perhitungan (hisab) semua anggota tubuh akan bersaksi atas
perbuatan yang dilakukan manusia. Semua anggota tubuh dapat berbicara untuk
bersaksi di hadapan Allah Swt. Allah berfirman dalam Alquran, “Dan mereka
berkata kepada kulit mereka: Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami? Kulit
mereka menjawab: Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata. Telah
menjadikan kami pandai (pula) berkata” (Tafsir surat Al-Fushilat:21). Pada ayat
lain diterangkan bahwa mulut sebagai satu-satunya anggota tubuh yang dapat
berbicara atas izin Allah tidak diperkenankan untuk berbicara. Pada hari itu, mulut
ditutup dan semua anggota badan bersaksi atas perbuatan yang dikerjakan. Allah
berfirman, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami
tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu
mereka usahakan” (Tafsir surat Yasin:65).
Imam Nawawi (Qathrul Ghaits:32) berpendat bahwa kitab amal diciptakan
setelah pemiliknya mati yang berada di sebuah lemari di bawah arsy. Apabila
mereka telah berada di Mauqif (tempat menunggu), maka Allah mengutus angin
lalu angin tersebut menerbangkannya, tiap-tiap lembaran akan menempel pada
leher pemiliknya. Kemudian malaikat mengambil lembaran-lembaran tersebut
dari leher-leher pemiliknya dan menyerahkannya kepada tangan-tangan mereka
lalu mereka mengambilnya.
Sesungguhnya yang pertama kali dimintai perhitungan adalah Lauhu `l-
mahfudl, lalu gemetarlah otot-ototnya karena takut akan Allah. Allah bertanya,
“Apakah kamu telah menyampaikan apa yang ada pada kamu kepada Israfil”. Ia
menjawab, “Aku telah menyampaikannya.” Kemudian Allah memanggil Israfil
dan gemetarlah otot-ototnya karena takut kepada Allah, lalu Allah bertanya, “Apa
yang telah kamu perbuat pada apa yang telah diceritakan oleh Lauhu `l-mahfudl?”
Israfil menjawab, “Aku menyampaikannya kepada Jibril.” Kemudian Allah
memanggil Jibril dan gemetarlah otot-ototnya, lalu Allah bertanya kepadanya,
“Apa yang telah kamu perbuat pada apa yang telah Israfil ceritakan kepadamu?”
Jibril menjawab, “Aku menyampaikan kepada para utusan.” Lalu Allah
memanggil para utusan dan bertanya, “Apa yang telah kamu perbuat pada apa
yang telah Jibril ceritakan padamu?” Mereka menjawab, “Kami
menyampaikannya kepada manusia.” Kemudian manusia ditanya tentang umur
mereka dan bagaimana mereka menghabiskan atau mempergunakan umur
tersebut. Ditanya tentang bagaimana masa mudanya digunakan. Ditanya tentang
harta-hartanya, berasal dari mana harta tersebut dan dipergunakan untuk apa.
Ditanya tentang ilmunya dan apa yang telah dipergunakan dengan ilmunya
tersebut.
Allah mendirikan mizan (timbangan/neraca), maka semua pandangan
menatap pada kitab-kitab, apakah kitab-kitab tersebut terkumpul pada sebelah
kanan atau pada sebelah kiri. Kemudian pada Lisanul Mizan (arah pengukur
timbangan), apakah condong ke sebelah keburukan atau kebaikan. Allah
menghakimi mereka dengan adil dan yang pertama diadili adalah masalah salat,
setelah itu masalah pembunuhan jiwa tanpa hak. Kemudian mereka digiring ke
shirath atau jembatan memanjang di atas neraka yang terletak di antara mauqif
dan surga.
Dalam surat Al-Haqqah diterangkan secara panjang mengenai orang yang
mendapat buku amalan tersebut. Allah berfirman sebagai berikut.
Adapun orang yang diberikan kepadanya buku catatan dari sebelah
kanannya, maka ia berkata: Ambillah dan bacalah buku catatan ini.
Sesungguhnya aku yakin bahwa aku akan menemui hisab terhadap
diriku. Dengan demikian orang itu berada dalam kehidupan yang
diridai dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. Makan dan
minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan
pada hari-hari yang telah lalu. Adapun orang yang diberikan
kepadanya buku catatan dari sebelah kirinya, maka dia berkata:
Aduh alangkah baiknya jika buku catatan ini tidak diberikan
kepadaku. Saya tidak mengetahui apa hisab itu. Alangkah baiknya
jika kematian itu menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali
tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku
daripadaku. Allah berfirman: Peganglah dia lalu belenggulah
tanggannya ke lehernya kemudian masukkanlah ke dalam api yang
menyala-nyala. Setelah itu belitlah dia dengan rantai yang
panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak
beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak
mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin (Tafsir
surat Al-haqqah:19-34).
Dari ayat di atas jelas bahwa buku amalan yang diterima tiap manusia
akan berbeda, ada yang diterima dengan tangan kanan dan adapula yang dari
tangan kirinya. Bagi mereka yang mendapatkan buku amalan dari sebelah kanan
akan mendapat kenikmatan, begitu sebaliknya mereka yang mendapatkan buku
amalan dari sebelah kiri akan mendapatkan siksa. Berkenaan dengan kitab yang
diberikan dari sebelah kanannya, Allah berfirman sebagai berikut.
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya.
Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. Dan dia
akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan
gembira). Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari
belakang. Maka dia akan berteriak „Celakalah aku‟. Dan dia akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Tafsir surat Al-Insyiqaq:7-
12).
Pada surat lain juga diterangkan manusia yang menerima kitab amalan dari
kanan tidak akan teraniaya sedikit pun, Allah berifirman, “(Ingatlah) suatu hari
(yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya. Dan barang
siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan
membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya sedikit pun” (Tafsir surat Al-
Isra`:71). Allah berfirman mengenai orang mukmin di hari pengumpulan,
“(Ingatlah) hari (di mana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan.
Itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan. Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-
kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga” (Tafsir surat At-
Taghaabun:9).
Sesudah amal-amal ditimbang‚ semua orang akan melewati jembatan
shirata `l-mustaqim yang terbentang di atas neraka. Shirath lebih halus dari
rambut dan lebih tajam dari padang. Bagi orang-orang yang beruntung (saleh)
akan langsung masuk ke surga. Ada pula yang melewatinya ibarat kedipan mata,
ibarat kilat, ibarat burung, ibarat keledai, melewati dengan lari kecil, berjalan,
marangkak, dan merayap. Mereka berbeda-beda seperti halnya dengan orang-
orang yang celaka akan tergelincir masuk ke dalam neraka. Ada orang yang gagal
pada langkah pertama dan ada yang gagal pada langkah terakhir. Orang pertama
yang gagal pada langkah pertama adalah orang yang terakhir masuk surga dan
orang yang gagal pada langkah terakhir adalah orang yang pertama keluar dari
neraka. Perjalanan mereka sesuai dengan perbuatan dan amalan mereka di dunia.
Shirath merupakan jalur yang berbahaya karena Rasulullah berhenti dan
berdiri di sampinya dan berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah, selamatkanlah,
selamatkanlah.” Shirath diterangkan dalam hadis sebagai berikut.
Orang-orang mukmin akan selamat dari neraka. Mereka kemudian
ditahan di atas jembatan antara surga dan neraka. Penganiayaan yang
terjadi di dunia dari sebagian mereka ditimpakan dan dibalaskan
kepada sebagian lain. Jika mereka telah dibersihkan dan disucikan,
mereka diizinkan memasuki surga. Demi Zat yang diri Muhammad
berada di tangan-Nya, salah seorang di antara mereka diberi
petunjuk dengan mendapatkan kedudukan di surga sebagaimana
kedudukannya di dunia (Tafsir Hadis riwayat Bukhari dalam Abu
bakar al-jazairy, 2001:471).
Setelah manusia melewati shirath mereka akan dimasukkan ke dalam
pemberhentian terakhir, yaitu surga dan neraka. Surga adalah tempat tinggal bagi
orang yang beruntung, yaitu bagi orang-orang semasa hidupnya selalu
menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya. Rasul telah memberitahukan bahwa
surga akan menjadi tempat tinggal esok, “Maka apakah kaum (musyrik Mekkah)
hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya
Nabi Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu
yang lain yaitu di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal”
(Tafsir surat An-Najm:12-15).
Surga menjadi tempat yang dihuni oleh manusia yang bertakwa. Luas
surga tidak dapat diketahui seseorang, tetapi Allah telah menggambarkan luasnya
surga dalam Alquran, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa” (Tafsir surat Ali Imran:133). Ayat tersebut
dikuatkan dengan hadis nabi saw., “Sesungguhnya bau surga didapatkan dari
jarak perjalanan seratus tahun” dalam Nasai disebutkan seratus tahun, sedangkan
dalam Muwaththa` disebutkan lima ratus tahun (Tafsir Hadis riwayat Tirmidzi
dan Nasai dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:473).
Selayaknya sebuah tempat tinggal, surga juga memiliki pintu. Pintu surga
sangatlah banyak dan sangat luas. Bahkan luas antara satu pintu dengan pintu lain
harus ditempuh berpuluh-puluh tahun. Hal itu menunjukkan bahwa surga
merupakan tempat istimewa yang berisi kenikmatan dengan luas yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Rasul menerangkan dalam sebuah hadis,
“Sesungguhnya antara sebelah dua daun pintu surga terdapat jarak perjalanan
empat puluh tahun. Pada saat itu, pintu surga sangat sesak karena manusia
berdesakan” (Tafsir Hadis riwayat Muslim dalam Abu Bakar Al-Jazairy,
2001:474). Surga menjadi tempat yang penuh dengan keasyikan dan kemewahan,
terlihat dari pintu surganya terbuat dari yakut merah dan emas. Dalam sebuah
hadis diceritakan, “Penghuni surga akan sampai (berhenti) di pintu surga yang
terbuat dari mata rantai (lingkaran) yaqut merah di atas batu emas” (Tafsir
Hadis riwayat Ibnu Abiddunya dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:474). Cerita
mengenai pintu surga tidak hanya itu saja, diceritakan Rasulullah bahwa di atas
pintu surga terdapat aliran mata air. Orang yang meminum airnya akan berseri
wajahnya dan rambut mereka tidak akan kusut selamanya. Hal tersebut sesuai
dengan sabda nabi saw., “Tiba-tiba di atas pintu surga terdapat pohon yang dari
pokoknya mengalir dua mata air. Jika mereka minum dari mata air yang pertama,
maka wajah mereka berseri-seri. Jika mereka berwudu dari mata air yang kedua,
maka rambut mereka selamanya tidak akan kusut” (Tafsir hadis riwayat Ibnu
Abiddunya dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:475).
Dari beberapa uraian di atas mengenai luas surga dan pintu surga dapat
diketahui bahwa surga merupakan tempat yang tidak terbayangkan sedikit pun
oleh manusia. Meskipun keterangan tentang hal tersebut telah dijelaskan, tetapi
masih menjadi hal yang sulit untuk membayangkan sesuai logika manusia. Dapat
dikatakan pula surga merupakan tempat teristimewa karena sebelum masuk ke
dalam surga pun, para penghuninya telah mendapatkan kenikmatan dari pintu-
pintu surga seperti yang dijelaskan di atas.
Orang yang memasuki surga akan mendapat sambutan yang istimewa
karena para penghuni surga adalah orang-orang pilihan yang sangat istimewa.
Diceritakan oleh rasul bahwa rombongan pertama penghuni surga bagaikan
cahaya bulan purnama, seperti yang diterangkan dalam hadis riwayat Abu
Hurairah r.a. sebagai berikut
Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya rombongan pertama yang masuk
surga bagaikan cahaya bulan purnama, kemudian yang berikutnya
bagaikan bintang yang sangat terang di langit, mereka tidak kencing,
tidak buang air besar, tidak berludah, tidak beringus, sisir mereka
dari emas, peluhnya dari misik (kasturi), ukup-ukupan mereka kayu
gahru yang sangat harum, isteri mereka bidadari yang bulat matanya,
bentuknya sama setinggi ayah mereka Nabi Adam kira-kira enam
puluh hasta menjulang ke langit (Tafsir Hadis riwayat Bukhari
Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:1100).
Dari hadis tersebut diketahui bahwa surga adalah tempat yang suci dan
bersih, penghuninya tidak buang besar, tidak beringus, tidak berludah, dan tidak
kencing. Penghuni surga adalah sebaik-baik makhluk, mereka mendapatkan
kenikmatan yang luar biasa, bahkan para malaikat pun menyambut kedatang
mereka. Allah telah berfirman, “Mereka disambut oleh para malaikat. Para
malaikat itu berkata: Inilah hari kalian yang dijanjikan kepada kalian” (Tafsir
surat Al-Anbiya`:103). Pada ayat lain juga diterangkan sebagai berikut.
Orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dihalau (digiring) ke
dalam surga berombong-rombongan sehingga ketika sampai di
surga, pintu-pintunya telah terbuka dan penjaga-penjaganya berkata
kepada mereka: Kebahagiaan dilimpahkan atas kalian.
Berbahagialah kalian, maka masuklah kalian dalam surga ini dengan
kekal (Tafsir surat Az-Zumar:73).
Para malaikat akan bersikap ramah kepada rombongan penghuni surga.
Para malaikat akan mengatakan hal-hal indah yang enak didengar. Tidak ada kata-
kata kotor dan kasar dari malaikat, sebaliknya mereka mengucapkan salam kepada
para penghuni surga. Allah telah menceritakan dalam Alquran, “Para malaikat
memasuki tempat-tempat mereka dari semua pintu sambil mengucapkan,
„Salamun „alaykum bimaa shabartum‟ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan
mereka” (Tafsir surat Ar-Ra‟du:23-24).
Kenikmatan yang diperlihatkan sebelum masuk surga dan sambutan yang
luar biasa dari para malaikat belum ada apa-apanya. Para penghuni surga akan
disuguhi dengan gedung-gedung surga yang megah dan indah serta diberikan
pakaian yang indah-indah. Allah telah menerangkan dalam Alquran surat Al-Insan
sebagai berikut.
Apabila engkau melihat di sana (surga), niscaya engkau akan melihat
berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka
memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal dan mereka
dipakaikan gelang terbuat dari perak dan Tuhan memberikan mereka
minuman yang bersih. Sesungguhnya ini adalah balasan untuk kalian
dan usaha yang kalian syukuri (Tafsir surat Al-Insan:20-22).
Informasi mengenai gedung dan isi surga didapatkan dari Rasulullah
Muhammad saw. Rasul pernah melihat surga dalam keadaan tidur dan terjaga.
Rasul pernah menceritakan gedung-gedung surga, yaitu terbuat dari intan yang
sangat luas, atap, pintu, dan gemboknya terbuat dari intan. Di depannya terdapat
permata hijau dan tiap permata terdapat ranjang-ranjang dan istri pelayan.
Tidak ada yang tahu pasti mengenai bentuk dan wujud surga. Hanya rasul
yang bisa menjelaskan hal tersebut karena beliau pernah masuk ke dalamnya.
Rasul menceritakan tentang kondisi surga dalam sebuah sebagai berikut.
Bumi surga itu adalah bata dari emas dan bata dari petak. Tanah
liatnya adalah misik adzfar, kerikilnya adalah mutiara dan yaqut,
sedang debunya adalah za‟faran. Orang yang memasukinya akan
mendapatkan kenikmatan dan tidak akan berputus asa. Dia akan
kekal tanpa mati. Pakaian mereka tidak akan rusak dan kemudaan
mereka tidak akan musnah (Tafsir Hadis riwayat Tirmidzi dalam
Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:481).
Dalam sebuah hadis diceritakan, “Abu Musa Al-Asy‟ari r.a. berkata: nabi
saw. bersabda: Satu kemah di surga itu berupa satu permata yang lubang tengah
lebar panjangnya tiga puluh mil. Pada tiap sudutnya ada penghuninya dari kaum
mukmin tidak dapat dilihat oleh yang lain” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim
dalam Abdul Baqi, 2003:1100).
Kenikmatan lain yang diterangkan Allah dan rasul-Nya berkaitan dengan
surga adalah adanya pohon-pohon yang berada di surga dan sungai-sungai yang
mengalir di dalamnya. Dalam sebuah hadis nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah,
“Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya di surga ada sebuah pohon, bila seorang
yang berkendaraan berputar di bawah naungannya selama seratus tahun belum
juga habis” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi,
2003:1096). Dapat dikatakan bahwa pohon yang tumbuh itu sangat besar karena
membutuhkan banyak waktu untuk mengitarinya. Pada hadis lain diceritakan
bahwa pohon kurma di surga batangnya dari zamrud hijau, talinya adalah emas
merah, dan pelepahnya adalah pakaian penghuni surga. Buahnya seperti tempayan
dan timba yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu (Hadis riwayat
Hakim dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:491).
Berkenaan dengan sungai-sungai yang ada di surga Allah telah
menceritakan dalam Alquran surat Al-Baqarah, “Dan berilah kabar gembira
sekalian orang yang iman dan beramal saleh‚ bahwasanya disediakan bagi
mereka surga yang di bawahnya dilalui beberapa sungai” (Tafsir surat Al-
Baqarah:25). Pada ayat lain juga diterangkan jenis-jenis sungai yang ada di surga.
Allah berfirman dalam Alquran surat Muhammad sebagai berikut.
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang
bertakwa, di dalamnya terdapat sungai-sungai dari air yang rasa dan
baunya tidak berubah, sungai-sungai dari susu yang rasanya juga
tidak berubah, sungai-sungai dari khamer yang rasanya lezat bagi
peminumnya dan sungai-sunga dari madu yang disaring. Di
dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan (Tafsir
surat Muhammad:15).
Para penghuni surga akan mendapatkan makanan dan minuman sesuai
dengan kehendaknya. Allah berfirman tentang kondisi di surga sebagai berikut.
Hai hamba-hamba Ku, tidak ada kekhawatiran bagi kalian pada hari
ini dan kalian tidak pula bersedih hati, yaitu orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami. Mereka dahulu orang-orang yang
berserah diri. Masuklah kalian ke dalam surga. Kalian dan istri-istri
kalain digembirakan. Diedarkan kepada mereka piring-piring dari
emas dan piala-piala. Di dalam surga terdapat segala apa yang
diingini oleh hati dan dinikmati oleh mata. Di dalamnya kalian
kekal. Itulah surga yang diwariskan kepada disebabkan amal-amal
yang dahulu kalian kerjakan. Di dalam surga itu terdapat buah-
buahan yang banyak untuk kalian yang sebagainya kalian makan
(Tafsir surat Az-Zukhruf:68-73).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa para penghuni surga diberikan
kehendak untuk meminta apa yang diinginkan karena surga adalah tempat yang di
dalamnya terdapat seluruh keinginan para penghuninya. Pada ayat lain dijelaskan
mengenai minuman yang ada di surga. Allah berfirman, “Tuhan memberi mereka
minuman yang bersih” (Tafsir surat Al-Insan:21). Kenikmatan berupa makanan
dan minuman juga diceritakan Rasulullah saw. Rasul pun mendeskripsikan hal-hal
yang dilihatnya dalam surga. Rasul bersabda dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut.
Penghuni surga di dalamnya makan minum. Mereka tidak meludah,
tidak kencing dan tidak berak. Para sahabat bertanya: Bagaimana
keadaan makanan itu? Rasulullah menjawab: Sendawa dan peluh
seperti peluh misik. Mereka menelan (mengumandangkan) tasbih
dan tahmid sebagaimana kalian menelan (menarik masuk dan
keluarnya) nafas (Tafsir Hadis riwayat Muslim dalam Abu Bakar Al-
Jazairy, 2001:495).
Dari hal di atas dapat dikatakan bahwa penghuni surga bukan hanya roh
saja, tetapi juga jasad karena fasilitas dan kenikmatan yang disediakan di surga
berupa hal-hal material sehingga penghuninya pun juga material.
Kenikmatan lain-lain yang dapat dikatakan melebihi kenikmatan-
kenikmata lainnya adalah dapat melihat wujud Allah dan dapat rida dari-Nya.
Berkenaan dengan rida Allah kepada para penghuni surga diterangkan nabi dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim sebagai berikut.
Abu Said Al-Khudri r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah
akan berfirman kepada ahli surga: Hai ahli surga! Dijawab oleh
mereka „Labbaika Rabbanaa wa sa‟dayka. Lalu ditanya: Apakah
kalian telah puas (rela)? Jawab mereka: Mengapa kami tidak akan
rela dan puas, padahal Tuhan telah memberi pada kami apa-apa yang
diberikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu. Ditanya oleh
Tuhan: Aku akan beri kepadamu yang lebih dari semua itu. Mereka
bertanya: Ya Rabbi apakah yang lebih dari itu semua? Allah
berfirman: Aku tetapkan atas kamu rida-Ku, maka Aku tak akan
murka kepadamu selamanya (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim
dalam Abdul Baqi, 2003:1098).
Mendapatkan rida Allah adalah sebuah tujuan pokok seorang hamba. Hal
tersebut adalah sebuah kenikmatan yang sangat luar biasa yang dapat diterima
seorang hamba. Ketika Allah rida kepada seorang hamba, maka secara otomatis
murka Allah tidak akan sampai kepada dirinya untuk selamanya. Selain
mendapatkan keridaan Allah, seorang hamba dapat menyaksikan Allah secara
langsung. Orang-orang yang saleh ditambah nikmatnya dengan dapat
menyaksikan Tuhan (Abbas‚ 1994:74). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah
dalam Alquran, “Muka pada hari ini gilang gemilang‚ melihat kepada
Tuhannya” (Tafsir surat Al-Qiyamah:23).
Ada sebuah kenikmatan yang didapatkan oleh penguni surga, yaitu mereka
dapat melihat Allah secara langsung. Rasul bersabda dalam sebuah hadis, “Abu
Musa r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Dua surga dari perak semua
perabot dan bejananya, dan dua dari surga dari emas bejana dan alat-alatnya,
dan tidak ada hijab antara mereka dengan Tuhan untuk dapat mereka melihatnya
kecuali tabir kebesaran Allah dalam surga Jannatu „adn” (Tafsir Hadis Bukhari
Muslim dalam Abdul Baqi, 2001:67). Pada hadis lain diterangkan bahwa
penghuni surga akan melihat wajah Allah, kemudian mereka pun langsung
bersujud. Rasul bersabda sebagai berikut.
Jika penghuni surga tinggal di surga, maka malaikat datang kepada
mereka seraya berkata: Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian
agar kalian berziarah kepada-Nya. Mereka kemudian berkumpul.
Setelah itu Allah memerintahkan Daud agar mengangkat suaranya
dengan membaca tasbih dan tahlil. Hidangan Khuldi kemudian
diletakkan dan disiapkan. Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah, apakah
hidangan khuldi itu? Rasulullah menjawab: Sudut hidangan itu lebih
luas daripada sudut antara barat dan timur. Mereka kemudian diberi
makanan dan pakaian. Mereka berkata: Pandangan hanya tertuju
kepada wajah Tuhan kami. Tuhan kemudian nampak jelas bagi
mereka seraya mereka meniarap sujud. Dikatakan: Kalian tidak
berada di kampung amal, tetapi kalian berada di kampung
pembalasan (Tafsir Hadis riwayat Abu Nu‟aim dalam Abu Bakar Al-
Jazairy, 2001:503).
Pada hadis lain disebutkan pula besok di surga Allah akan memberikan
salam kepada para penghuni surga. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
berbunyi sebagai berikut.
Ketika penghuni surga bersenang-senang tiba-tiba ada cahaya
menyinari mereka. Mereka kemudian mengangkat kepalanya,
ternyata Tuhan yang memancar di atas mereka. Dia berfirman:
Assalamualaikum wahai penghuni surga. Dengan demikian, mereka
tidak memperhatikan kenikmatan apa pun selagi mereka masih
memandang Allah sampai Dia terhalang dari mereka. Oleh karena
itu, berkat dan cahaya-Nya selalu melekat pada diri mereka (Tafsir
Hadis riwayat Ibnu Majah dalam Abu Bakar Al-Jazairy:503).
Kata kerja melihat pada konteks melihat Allah atau wajah Allah adalah
sebenar-benar melihat. Kaum Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah mempercayai
bahwa melihat Tuhan adalah menggunakan indera penglihatan, yaitu mata. Allah
berfirman dalam Alquran, “Wajah orang mukmin hari itu berseri-seri. Kepada
Rabb-nya mereka melihat” (Tafsir surat Al-Qiyamah:22-23).
Melihat Allah dalam ayat di atas dinyatakan dengan kata nadlar, yaitu
benar-benar melihat dengan mata, bukan dengan makna yang lain. Kata nadlar
tersebut memiliki arti melihat dengan mata. Abul Hasan Al-Asy‟ari (1993:36)
berpendapat bahwa tidak mungkin Allah menghendaki makna nadlar dalam ayat
di atas dengan makna iktibar sebab akhirat bukan lagi tempat untuk melakukan
iktibar. Alasan lain bahwa kata nadlar di atas memiliki makna melihat dengan
mata apabila dibandingkan dengan kata nadlar bi `l-qalbi artinya melihat dengan
hati.
Pada ayat di atas kata nadlar dikaitkan dengan kata wajah, maka yang
dimaksud adalah nadlar bi `l-ayni (melihat dengan mata). Untuk menguatkan hal
tersebut dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 144, “Sungguh Kami melihat
wajahmu (sering) menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan
muka-mukamu e kiblat yang kamu sukai” (Tafsir surat Al-Baqarah:144). Kata
wajah dalam ayat tersebut menegaskan bahwa Rasulullah menengadahkan wajah
memandang dengan kedua matanya ke langit, menunggu turunnya malaikat yang
atas kehendak Allah memindah arah kiblat dari Baitul Muqaddas ke Kakbah di
Makkah.
Uraian di atas menunjukkan bahwa surga adalah tempat yang benar-benar
tidak pernah dirasakan manusia sebelumnya. Tidak hanya dirasakan, bahkan
untuk membayangkan kenikmatan di surga tidak akan bisa karena surga adalah
tempat yang tidak terbayang sebelumnya. Surga merupakan akhir perjalanan
manusia mukmin yang bertakwa kepada Allah. Mereka akan kekal selamanya di
surga. Surga sebagai tempat akhir orang-orang mukmin dan ada pula tempat akhir
dari orang-orang kafir, yaitu neraka. Neraka adalah tempat kediaman orang kafir,
seperti yang difirmankan Allah “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang
telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke
kampung kebinasaan, yaitu neraka Jahanam. Mereka masuk ke dalamnya. Itulah
seburuk-buruk tempat kediaman” (Tafsir surat Ibrahim:28-29). Neraka
merupakan tempat kediaman atau tempat menetap bagi orang-orang kafir dan
neraka adalah seburuk-buruk tempat yang pernah ada. Selayaknya sebuah
kediaman yang memiliki pintu, neraka pun memiliki pintu. Allah mengkabarkan
perihal tersebut dalam Alquran, “Sesungguhnya neraka Jahanam itu benar-benar
tempat yang diancamkan kepada orang-orang mereka (pengikut-pengikut setan)
semuanya. Neraka Jahanam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu telah
ditetapkan untuk golongan tertentu dari mereka” (Tafsir surat Al-Hijr:43-44).
Neraka Jahanam menjadi tempat orang yang celaka. Allah berfirman,
“Dikatakan kepada mereka: Inilah neraka yang dulu kalian selalu dustakan”
(Tafsir surat Ath-Thur:14). Di neraka orang-orang disiksa dengan tiada hentinya.
Mereka akan selalu dan terus-menerus disiksa karena perbuatannya. Hal tersebut
sesuai dengan firman Allah dalam Alquran, “Oleh karena itu, rasakanlah Kami
sama sekali tidak akan menambah kepada kalian kecuali siksaan” (Tafsir surat
An-Nabaa`:30). Di dalam neraka terkumpul orang-orang yang dahulunya tidak
mengikuti ayat-ayat Allah dan mereka akan saling mencela dan saling memaki.
Allah telah menceritakan hal tersebut dalam firman-Nya surat Al-A‟raf sebagai
berikut.
Setiap umat yang masuk neraka, dia akan mengutuk kawannya yang
menyesatkan sehingga apabila mereka masuk semuanya, orang-
orang yang masuk kemudian berkata kepada orang-orang yang
masuk terlebih dahulu: Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan
kami. Oleh karena itu, datangkanlah kepada mereka siksaan yang
berlipat ganda dari neraka. Allah berfirman: Masing-masing
mendapatkan siksaan yang berlipat ganda, tetapi kalian tidak
mengetahui. Orang-orang yang masuk surga pertama berkata kepada
orang-orang yang masuk terakhir: Kalian tidak mempunyai
kelebihan sedikit pun atas kami. Oleh karena itu, rasakanlah siksaan
karena perbuatanmu yang telah kalian kerjakan (Tafsir surat Al-
A‟raf:38-39).
Pada ayat lain juga diceritakan bahwa pimpinan-pimpinan orang kafir
sewaktu di dunia akan mengutuk pengikutnya. Begitu juga pengikut-pengikutnya
meminta agar pimpinan mereka tidak selamat selamanya dari neraka karena
pemimpin merekalah yang menjerumuskan mereka ke dalam api neraka. Kejadian
tersebut telah tertulis dalam Alquran sebagai berikut.
(Dikatakan kepada mereka): Ini adalah suatu rombongan (pengikut-
pengikutmu) yang masuk berdesak-desakan bersamamu (ke neraka).
(Berkata pemimpin mereka yang durhaka): Tiadalah ucapan selamat
datang kepada mereka karena sesungguhnya mereka akan masuk
neraka. Pengikut-pengikut mereka menjawab: Sebenarnya kamulah,
tiada ucapan selamat datang bagimu karena kamulah yang
menjerumuskan kami ke dalam azab. Maka amat buruklah Jahanam
itu sebagai tempat menetap (Tafsir surat Ash-Shad 59-60).
Begitu kejam dan buruknya neraka serta penghuninya. Mereka yang
masuk ke dalam neraka juga menyalahkan setan karena telah menggoda mereka
sehingga mereka terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kemudian Iblis berbicara di
tengah-tengah neraka bahwa mereka hanya melakukan perintah Allah Swt. Hal
tersebut tertulis dalam surta Ibrahim sebagai berikut.
Setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan:
Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang
benar dan saya pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi saya
mengingkarinya. Saya sama sekali tidak mempunyai kekuasaan
terhadap kalian, melainkan saya sekadar menyeru kalian. Kalian
kemudian mematuhi seruanku. Oleh karena itu, celalah diri kalian
sendiri. Saya sama sekali tidak dapat menolong kalian dan kalian
juga tidak dapat menolongku. Sesungguhnya saya tidak
membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan diriku dengan
Allah sejak dahulu. Sesungguhnya orang-orang yang aniaya
mendapatkan siksaan yang pedih (Tafsir surat Ibrahim:22).
Dari ayat di atas jelas bahwa setan sebenarnya mengetahui bahwa dirinya
tidak membenarkan perbuatan menyekutukan Allah. Iblis dan setan hanya
melakukan apa yang telah diperintahkan Allah Swt. Mereka telah menggoda
manusia dengan berbagai iming-iming, namun mereka sendiri sebenarnya tahu
bahwa mereka tidak dapat membantu kepada orang-orang yang berhasil
digodanya.
Neraka Jahanam memiliki tingkat kepanasan yang tidak pernah dirasakan
manusia sebelumnya. Rasul bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu
Hurairah mengenai panasnya api Jahanam sebagai berikut.
Abu Hurairah r.a berkata: nabi saw. bersabda: Apimu itu sebagian
dari tujuh puluh bagian dari api neraka Jahanam. Lalu ditanyakan:
Ya Rasulullah tetapi itu saja sudah cukup (yakni dapat memasak dan
membakar). Sabda nabi saw.: Api neraka itu melebih dari api kita ini
dengan enam puluh sembilan bagian panas, masing-masingnya
seperti itu juga (Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul
Baqi, 2003:1101).
Dari kutipan hadis di atas dapat diketahui bahwa api yang ada di dunia
tidak seberapa panas jika dibanding dengan api neraka. Api neraka berlipat-lipat
panasnya melebihi api dunia, hingga 69 kali lipat. Neraka memiliki api yang
sangat panas sehingga api yang berada di dalamnya pun sampai berwarna hitam.
Diceritakan oleh rasul bahwa api neraka Jahanam berwarna hitam dan lebih hitam
dari ter. Nabi saw. bersabda, “Apakah kalian melihat neraka Jahanam yang
merah seperti api kalian di dunia ini? Api neraka Jahanam adalah lebih hitam
daripada ter” (Tafsir Hadis riwayat Malik dalam Abu Bakar Al-Jazairy,
2001:156). Api neraka itu sangat panas karena telah dinyalakan selama kurang
lebih tiga ribu tahun. Hal tersebut sesuai dengan hadis nabi saw., “Api neraka
dinyalakan selama seribu tahun sehingga api itu menjadi merah. Api neraka itu
kemudian dinyalakan lagi selama seribu tahun sehingga api itu menjadi putih.
Setelah itu, api neraka dinyalakan kembali selama seribu tahun sehingga api
neraka itu menjadi hitam dan gelap” (Tafsir Hadis riwayat Tirmidzi dalam Abu
Bakar Al-Jazairy, 2001:520). Seribu tahun pertama api berwarna merah, seribu
tahun kedua api itu berwarna putih, dan seribu tahun ketiga api neraka berwarna
hitam gelap karena saking panasnya.
Seperti halnya surga yang diciptakan sangat luas, neraka juga diciptakan
sangat luas. Dalam sebuah hadis rasul bercerita mengenai kedalaman neraka
Jahanam, Suatu ketika Rasulullah saw. mendengar jatuhnya suara batu. Rasul
kemudian bertanya, “Tahukah kalian, apakah ini?” Sahabat menjawab, “Allah dan
rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasul bersabda, “Ini adalah batu yang dilemparkan
ke dalam neraka sejak tujuh puluh masa musim rontok. Batu itu jatuh ke dalam
neraka sekarang ini sehingga sampai pada dasarnya” (Tafsir Hadis riwayat
Muslim dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:521). Ada pula hadis yang
menceritakan bahwa kedalaman neraka lebih dari tujuh puluh tahun,
“Sesungguhnya batu besar yang dijatuhkan dari ujung neraka Jahanam jatuh
selama tujuh puluh tahun dan batu itu tidak sampai ke tempatnya” (Tafsir Hadis
riwayat Tirmidzi dalam Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:521).
Neraka sebagai tempat pembalasan kaum kafir menjadikan tempat tersebut
berisi dengan siksaan dan hukuman. Salah satunya disediakan rantai dan belenggu
untuk orang-orang kafir. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt.,
“Sesungguhnya Kami menyediakan orang-orang kafir rantai, belenggu dan
neraka Sa‟ir” (Tafsir surat Al-Insan:4). Pada ayat lain juga diceritakan bahwa
rantai dan belenggu tersebut terpasang di leher mereka. Kemudian mereka diseret
ke dalam api yang sangat panas. Allah berfirman, “Mereka akan mengetahui
ketika belenggu dan rantai yang dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret
ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api” (Tafsir
surat Al-Mukmin:70-72).
Selain rantai dan belenggu terdapat binatang ular dan kalajengking dalam
neraka yang disediakan untuk menghukum penghuninya. Unta tersebut sebesar
leher unta, sekali menggigit panasnya tidak akan hilang sampai tujuh puluh tahun.
Begitu pula dengan kalajengking, binatang itu disediakan Allah di dalam surga
untuk menyiksa penghuninya. Kalajengking itu besarnya seperti keledai yang
gemuk dan banyak susunya. Jika satu kalajengking itu menggigit, maka sakitnya
akan bertahan sampai puluh tahun. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah
saw. sebagai berikut.
Sesungguhnya dalam api neraka Jahanam terdapat beberapa ular
seperti leher ular unta Khurasan. Satu ular menggigit, panasnya
terasa selama tujuh puluh tahun masa musim rontok. Di neraka juga
terdapat kalajengking seperti keledai besar yang gemuk dan banyak
susunya. Satu menggigit sakitnya terasa selama empat puluh tahun
(Tafsir Hadis riwayat Hakim dalam Abu Bakar Al-Jazairy,
2001:526)
Terdapat tafsiran dari Ibnu Abbas mengenai ular dan kalajengking yang
ada di neraka. Dalam sebuah hadis diceritakan, “Orang kafir dan orang yang
menghalangi jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas
siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan” (Tafsir surat An-Nahl:88).
Ibnu Abbas menafsirkan dalam Abu Bakar Al-Jazairy (2001:526) bahwa
tambahan siksaan itu adalah kalajengking yang menyengat mereka. Kalajengking
itu sebesar keledai besar yang gemuk dan banyak susunya.
Para penghuni neraka akan mendapatkan makanan dan minuman. Ada
beberapa makanan dsan minuman yang telah disediakan penghuni neraka
Jahanam. Pertama adalah Zaqqum. Zaqqum ialah buah yang keluar dari pohon
yang tumbuh di dasar neraka Jahim. Rasanya pahit dan menyesakkan
tenggorokan. Buah pohon Zaqqum ini tidak dapat ditelah kecuali dengan air yang
sangat panas. Jika air ditumpahkan pada Zaqqum, maka buah tersebut akan
mendidih. Allah berfirman dalam Alquran sebagai berikut.
Makanan surga itu hidangan yang lebih baik ataukan pohon
Zaqqum? Sesungguhnya Kami menjadikan pohon Zaqqum itu
sebagai siksaan bagi orang-orang yang aniaya. Sesungguhnya ia
adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka Jahim.
Mayangnya (tongkol) seperti kepala-kepala setan. Sesungguhnya
mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu. Oleh
karena itu, mereka memenuhi perutnya dengan buah Zaqqum itu.
Kemudian sesudah memakan buah Zaqqum itu, mereka mendapat
makanan yang bercampur dengan air panas (Tafsir surat Ash-
Shaffat:62-67).
Pada ayat lain diterangkan kedahsyatan buah Zaqqum. Diceritakan bahwa
buah Zaqqum apabila menetes ke dunia akan merusak kehidupan manusia.
Padahal esok buah Zaqqum tersebut akan menjadi makanan para ahli neraka.
Tidak bisa dibayangkan kesengsaraan yang diterima karena memakan buah
Zaqqum. Hal tersebut telah diceritakan Rasulullah saw. dalam sebuah hadis
sebagai berikut.
Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kalian kepada Allah
dengan takut yang sebenanya. Janganlah kalian mati kecuali kalian
dalam keadaan Islam. Beliau bersabda: Seandainya Zaqqum menetes
ke dunia, ia akan merusak kehidupan mereka bagi penghuni dunia.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang Zaqqum sebagai makanan
mereka? (Tafsir Hadis riwayat Ahmad dalam Abu Bakar Al-Jazairy,
2001:529).
Kedua adalah ghislin, yaitu cairan yang mengkristal dari perahan penghuni
neraka berupa nanah, darah, dan peluh. Cairan itu keluar dari farji orang-orang
yang berzina dan mengalir dari liur orang-orang yang minum khamer, orang yang
mengumpat, orang yang berdusta, orang yang mengatakan kebatilan, dan orang-
orang yang berbohong. Allah berfirman, “Oleh karenanya, dia tidak mendapatkan
seorang teman pun dan dia tidak pula mendapatkan makanan kecuali dari ghislin.
Tak seorang pun yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa” (Tafsir
surat Al-Haqqah:35-37).
Ketiga adalah dhari‟, yaitu pohon duri yang sangat pahit dan akan melekat
dalam kerongkongan bagi orang yang memakannya. Orang yang memakannya
tidak dapat menelan kecuali dengan air yang sangat panas sehingga menyebabkan
mencret yang sangat mengerikan. Makanan ini tidak dapat menggemukkan orang
yang memakannya dan tidak menghilangkan rasa laparnya. Allah berfirman,
“Mereka tidak memperoleh makanan kecuali selain dari dhari‟ (pohon yang
berduri) yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” (Tafsir
surat Al-Ghasyiyah:6-7). Neraka benar-benar tempat yang menyeramkan dan
menyedihkan. Hanya sekadar untuk makan, para penghuninya mendapatkan
kesakitan dan kepedihan. Mereka mendapatkan hal tersebut karena perbuatan
mereka sendiri di dunia.
Setelah pembahasan makanan bagi penghuni neraka, terdapat beberapa
jenis minuman yang tersedia di neraka pula. Pertama air panas, yaitu air yang
mengalir dari sumber yang sangat panas. Kehebatan air panas ini, ia dapat
menghancurkan segala sesuatu yang ada dalam perut penghuni nerakaAllah
berfirman, “Wajah-wajah pada hari itu tunduk hina (muram), bekerja keras lagi
payah. Mereka akan memasuki api yang sangat panas. Mereka diberi minum
dengan air dari sumber yang sangat panas” (Tafsir surat Al-Ghasyiyah:2-5).
Dalam surat Al-Hajj diterangkan tentang air tersebut akan merusak isi perut dan
kulit-kulit orang yang meminumnya. Allah berfirman, “Air yang sedang mendidih
disiramkan di atas kepala mereka. Dengan air itu, segala sesuatu yang ada dalam
perut dan kulit mereka dihancurkan” (Tafsir surat Al-Hajj:20). Pada ayat lain
diterangkan bahwa air tersebut dapat memotong usus-usus penghuni neraka yang
meminumnya, “Mereka diberi minum dengan air yang mendidih sehingga
memotong usus-ususnya” (Tafsir Muhammad:15).
Kedua air nanah, yaitu air kotor yang meliputi kadar nanah. Air nanah ini
dapat menyumbat dan menyekat orang yang meminumnya sehingga dia hampir
tidak bisa menelannya. Orang yang meminumnya mengalami kesakitan yang tidak
diketahui kadar kesakitannya kecuali Allah Swt. Allah berfirman dalam Alquran
sebagai berikut.
Setiap orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala
binasa. Di belakangnya terdapat Jahanam dan dia diberi minum
dengan air nanah. Dia meneguk air itu, tetapi dia hampir tidak dapat
menelannya dan (bahaya) maut datang kepadanya dari segenap
penjuru, namun dia tidak juga mati. Di belakangnya terdapat siksaan
yang berat (Tafsir surat Ibrahim:15-17).
Ketiga air tembaga, yaitu air keras yang panas seperti tembaga yang
dilelehkan. Jika seseorang hendak meminumnya, maka panasnya akan
menghanguskan kulit wajahnya. Allah berfirman, “Jika mereka meminta minum,
mereka akan diberi minum dengan air seperti cairan tembaga yang mendidih dan
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling busuk dan tempat istirahat
yang jelek” (Tafsir surat Al-Kahfi:29).
Keempat air sungai limbah artinya air yang terhimpun dan mengalir dari
farji perempuan-perempuan yang berzina. Ahmad meriwayatkan hadis dengan
sanad sahih bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang air itu. Sabda Rasulullah
saw. sebagai berikut.
Tiga kelompok orang yang tidak masuk surga, yaitu peminum
khamer, orang yang memutus sanak keluarga, dan orang yang
percaya terhadap sihir. Barang siapa yang mati sedang dia selalu
minum khamer, maka Allah memberi minuman kepadanya dari
sungai limbah. Rasulullah ditanya: Apakah air sungai limbah itu?
rasul menjawab: sungai limbah itu adalah sungai yang mengalir dari
farji perempuan-perempuan yang berzina. Bau farji penghuni neraka
dapat menyakitkan mereka (Tafsir Hadis riwayat Ahmad dalam Abu
Bakar Al-Jazairy, 2001:533).
Dapat diketahui dari uraian di atas bahwa neraka adalah tempat
kembalinya orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Allah. Mereka akan kekal di neraka. Neraka diceritakan dalam Alquran dan hadis
adalah tempat yang sangat mengerikan. Tempat yang menjijikkan dan tempat
semua siksaan pedih bagi penghuninya. Tidak ada sedikit pun welas asih di
tempat ini sehingga semakin hari siksaan yang diterima semakin menyedihkan.
Manusia tidak bisa membayangkan bagaimana pedihnya siksaan tersebut karena
saking dahsyatnya neraka itu.
Orang-orang muslim yang tergelincir ke dalam neraka tidak akan kekal
selamanya. Setelah dosa-dosanya habis dibakar di neraka‚ mereka dimasukkan ke
dalam surga. Berbeda dengan orang kafir yang masuk neraka‚ mereka masuk
neraka selama-lamanya seperti yang diterangkan dalam Alquran sebagai berikut.
“Bahwasanya orang-orang yang ingkar dengan ayat-ayat Kami akan Kami
masukkan ke dalam neraka. Tiap-tiap mengelupas kulit mereka Kami ganti
dengan kulit lain supaya mereka merasa siksaan. Sesungguhnya Allah Maha
Mulia lagi Maha Menghakimi” (Tafsir surat An-Nisa‟:56).
Akhir dari perjalanan manusia adalah surga atau neraka. Manusia terbagi
menjadi dua, yaitu orang mukmin dan kafir. Orang kafir kekal di neraka dan
orang mukmin terbagi menjadi dua, yaitu yang taat dan yang maksiat. Orang
beriman yang taat akan masuk surga dan orang yang maksiat terbagi menjadi dua,
yaitu orang yang bertaubat dan yang tidak bertaubat. Orang yang bertaubat masuk
surga dan yang tidak bertaubat berada pada kehendak Allah. Apabila Allah
berkehendak mengampuninya, maka ia masuk surga. Apabila Allah berkehendak
mengazabnya, maka ia masuk ke neraka dengan ukuran dosanya, baik dosa besar
maupun dosa kecil. Setelah itu Allah akan memasukkanya ke dalam surga karena
ia tidak akan kekal di neraka. Imam Nawawi (dalam Qatrul Ghaits:34)
berpendapat bahwa orang fasik adalah orang yang mengerjakan dosa besar atau
selalu melakukan dosa kecil dan ketaatan mereka tidak melebihi kemaksiatan
mereka. Mereka tidak kekal di neraka, mereka akan keluar dari neraka setelah
ditebus di neraka. Hal tersebut karena perbuatan mereka tidak mengeluarkannya
dari iman.
Orang yang sudah masuk ke dalam surga tidak akan masuk ke nereka.
Mereka akan kekal di dalamnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah sebagai
berikut.
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga
(taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir).
(Dikatakan kepada mereka): Masuklah ke dalamnya dengan
sejahtera lagi aman. Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang
berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk
berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di
dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya
(Tafsir surat Al-Hijr:45-48).
Surga tidak akan rusak, surga ada tujuh, yaitu Firdaus, Adn, Khuld, Na‟im,
Ma‟wa, Darussalam, dan Darul Jalal. Semuanya bersambung pada pemilik
wasilah Nabi Muhammad saw. agar semuanya merasakan bahagia dengan melihat
beliau. Penghuni surga melihat orang di kamar bagaikan melihat bintang. Dalam
hadis riwayat Bukhari Muslim diterangkan sebagai berikut.
Abu Said Al-Khudri r.a. berkata: nabi saw. bersabda: Sesungguhnya
penghuni surga akan melihat orang-orang yang di kamar yang tinggi
di atas mereka bagaikan melihat bintang yang berkilauan di langit
yang tinggi di ufuk barat atau timur karena kelebihan yang terjadi di
antara mereka. Sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah itu tingkat
para nabi yang tidak dapat dicapai selain mereka? Nabi menjawab:
Benar, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, juga mereka yang
beriman pada Allah dan membenarkan para rasul (Tafsir Hadis
riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:1099).
Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa surga bertingkat-tingkat. Tiap
tingkatan akan diisi sesuai dengan amalan-amalan hamba waktu masih di dunia.
Surga tertinggi akan ditempati oleh para nabi dan rasul. Jarak tiap tingkatan
apabila dilihat seperti jarak orang melihat bintang di langit. Begitu juga dengan
neraka. Neraka tidak rusak dan tingkatannya ada tujuh. Paling atas adalah
Jahanam untuk orang-orang mukmin yang bermaksiat, Ladha untuk orang
Yahudi, Khutamah untuk orang-orang Nasrani, Sa‟ir untuk Shabi‟in atau
kelompok dari orang Yahudi, Saqar untuk orang Majasi, Jahim untuk penyembah
berhala, dan Hawiyah untuk orang munafik. Penghuni neraka dan surga pun tidak
akan rusak, seperti Huurun „iin, Wildaan, lemari surga, malaikat azab, ular, dan
kalajengking. Syarbini dalam Nawawi menukil dari Imam Nasafi berpendapat
bahwa ada tujuh hal yang tidak akan rusak, yaitu arsy, Kursi, Lauhu `l-mahfudl,
Kalam, surga, neraka, dan penghuninya.
Abu Bakar Al-Jazairy (2001:526) berpendapat bahwa penghuni neraka
tidak akan mati. Seandainya mereka mati, mereka akan beristirahat dari
kepayahan dan siksaan (Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:526-527). Allah berfirman,
“Manakala kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain
supaya mereka merasakan siksaan” (Tafsir surat An-Nisa`:55). Pada ayat lain
diterangkan “Adapun orang-orang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami,
mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Terjemah surat Al-
Baqarah:39).
Penghuni neraka meminta agar mereka dimatikan saja karena tidak kuat
dengan kedahsyatan siksa neraka. Allah berfirman, “Mereka berseru: Hai Malik,
biarlah Tuhanmu membunuh Kami saja. Dia menjawab: kalian tinggal di neraka
ini” (Tafsir surat Az-Zukhruf:77). Permintaan mereka sia-sia karena mereka akan
terus berada di neraka. Mereka tidak akan dimatikan dan akan disiksa terus
menerus, bahkan tidak diringankan siksanya. Allah berfirman dalam surat Fathir,
“Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak pula diringankan
dari mereka siksaanya” (Tafsir surat Fathiir:36). Penghuni neraka tidak mati dan
tidak hidup. Maksudnya adalah mereka disiksa dengan sedemikian dahsyatnya
seperti orang yang akan mati, tetapi mereka tidak mati. Mereka terus hidup dan
merasakan siksaan yang ada. Allah telah menceritakan hal tersebut dalam surat
Al-A‟la, “Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, yaitu orang-orang
yang akan memasuki api besar (neraka). Dia kemudian tidak mati dan tidak pula
hidup” (Tafsir surat Al-A‟la:11-13).
Penghuni neraka tidak akan mati seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal
tersebut juga dialami oleh penghuni surga. Mereka tidak akan mati dan kekal
selamanya di dalam surga. Allah berfirman terkait kekalnya penghuni surga,
“Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu. Mereka
mengatakan: Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Mereka diberi
buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang
suci dan mereka kekal di dalamnya” (Tafsir surat Al-Baqarah:25). Pada ayat lain
dijelaskan bahwa semua yang ada di surga dan semua penghuninya tidak akan
mati. Hal tersebut juga tertulis dalam hadis Rasulullah saw. sebagai berikut.
Bumi surga itu adalah bata dari emas dan bata dari petak. Tanah
liatnya adalah misik adzfar, kerikilnya adalah mutiara dan yaqut,
sedang debunya adalah za‟faran. Orang yang memasukinya akan
mendapatkan kenikmatan dan tidak akan berputus asa. Dia akan
kekal tanpa mati. Pakaian mereka tidak akan rusak dan kemudaan
mereka tidak akan musnah (Tafsir Hadis riwayat Tirmidzi dalam
Abu Bakar Al-Jazairy, 2001:481).
Proses hari kiamat, dimulai dari hancurnya alam dunia sampai
berkumpulnya manusia di surga atau neraka, merupakan suatu keniscayaan yang
akan dilalui semua makhluk. Dengan diberikannya beberapa dalil dan referensi
mengenai hari kiamat dan proses-proses setelahnya, seharusnya seorang muslim
berkeyakinan lebih kuat terhadap rukun iman kelima ini, yaitu percaya akan hari
akhir. Logikanya adalah dunia dan isinya adalah suatu hal yang dulu tidak ada,
sekarang ada, dan suatu ketika kembali lagi tidak ada. Sama halnya dengan
manusia, manusia dulunya tidak ada, menjadi ada, dan suatu ketika akan tidak ada
kembali. Dengan mempercayai adanya hari akhir, seorang hamba akan lebih
menjaga dirinya karena sadar bahwa hidup di dunia hanyalah sementara dan akan
mempersiapkan bekal untuk menghadap Tuhannya.
6) Iman kepada Takdir Baik dan Buruk
Dalam teks “MAI”, pembahasan mengenai takdir baik dan buruk yang
datang dari Allah Swt. terdiri dari satu permasalahan, yaitu mengenai cara
mengimani takdir baik dan buruk yang datang dari Allah Swt.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau dan betapa percaya engkau
untung baik dan untung jahat daripada Allah Taala. Maka jawab
bahwasanya Allah Taala itu menjadikan makhluk dan ditunjuk Allah
akan mereka itu kepada pertunjuk dan menyuruh ia dan mungkar ia
dan menjadikan Ia lawhha`l-mahfudl dan qalam dan menyuruh Ia
akan keduanya bahwasanya menulis keduanya akan amal segala
hambanya. Maka taat itu dengan hukum Allah Taala dan takdirnya
pada azali dan durhaka itu dengan hukum Allah Taala dan takdirnya
pada azali, tetapi tiada dengan suruhnya dan dengan ridhanya. Dan
mereka itu diberi pahala mereka itu atas berbagai kebajikan dan
disiksa mereka itu atas berbuat kejahatan dan segala demikian itu
dengan janji surga dan janji neraka (“MAI”:11-13).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Allah telah menciptakan
makhluk-makhluk, memerintahkan kepada ketaatan-ketaatan, melarang dari
keburukan-keburukan, dan telah menciptakan Lauhu `l-mahfudl yang panjangnya
adalah jarak antara langit dan bumi, lebarnya jarak antara masyriq dan maghrib,
kedua tepinyaa adalah mutiara Yaqut, dan ujungnya adalah Yaqut merah.
Allah menciptakan semuanya, dari seuatu yang kecil dan besar, seperti
tertera dalam Alquran “Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar
adalah tertulis” (Tafsir surat Al-Qamar:53). Segala sesuatu yang kecil dan yang
besar, berupa makhluk, perbuatan-perbuatan, dan ajal-ajalnya yang telah
ditetapkan di Lauhul Mahfudh. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah sebagai
berikut.
Dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya. Tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi dan tidak ada sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudl) (Tafsir
surat Al-An‟am:59).
Alam semesta dan isinya merupakan ciptaan Allah yang telah ditetapkan
semua ketetapannya. Nabi saw. menerangkan bahwa Allah telah metapkan
ketentuan-ketentuan para makhluk kesemuanya lima ratus tahun sebelum
menciptakan langit dan bumi. Seluruh manusia, dari sebelum ia dikandung,
dikandung dalam kandungan ibunya, perbuatan-perbuatannya, sampai
kematiannya, bahkan sampai masuk ke surga atau neraka telah tertulis dalam
Lauhu `l-mahfudl. Hal tersebut seperti yang telah diceritakan nabi saw. sebagai
berikut.
Abdullah bin Mas‟ud r.a. berkata: Rasulullah saw. yang benar dan
harus dibenarkan menerangkan kepada kami: Sesungguhnya
seseorang terkumpul kejadiannya dalam perut ibunya empat puluh
hari berupa mani. Kemudian berupa sekepal darah selama itu juga.
Kemudian berubah sekepal daging selama itu juga. Kemudian Allah
mengutus malaikat yang diperintah mencatat empat kalimat dan
diperintah: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, dan nasib baik atau
sial (celaka). Kemudian ditiup roh kepadanya. Maka sesungguhnya
adakalanya seseorang dari kamu melakukan amal ahli surga
sehingga antaranya dengan surga hanya sehasta, tetapi ada ketentuan
dalam suratan pertama, tiba-tiba melakukan amalan ahli neraka
sehingga antaranya dengan neraka hanya sehasta, tiba-tiba dalam
ketentuan suratannya ia berubah mengerjakan amal ahli surga (Tafsir
Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:1006).
Selain itu, Allah juga telah menciptakan Qalam (pena). Imam Nawawi
berpendapat dalam kitabnya (Qathrul Ghaits:37-38) bahwa qalam berasal dari
cahaya, panjangnya seperti jarak antara langit dan bumi. Hal tersebut sesuai
dengan hadis nabi saw. sebagai berikut.
Yang pertama Allah ciptakan adalah qalam, kemudian Allah
berfirman padanya: Tulislah! Lalu ia (qalam) menjawab: Apa yang
akan hamba tulis? Allah berfirman: Apa yang ada dan apa yang ada
hingga hari kiamat yang berupa perbuatan, ajal, rezeki atau
keburukan. Maka ia menulis terhadap apa yang ada hingga hari
kiamat (Tafsir Hadis riwayat Tirmidzi dalam Imam Nawawi:37).
Dari hadis di atas jelas bahwa yang pertama diciptakan Allah adalah
qalam. Ia menulis apa yang ada hingga hari kiamat dan semua apa yang akan
terjadi pada manusia atas suatu perkara. Semua hal benar-benar telah ditetapkan
Allah.
Berkenaan dengan qadla, secara etimologis qadla berarti ketetapan‚
keputusan‚ atau kepastian. Qadla berarti ketetapan hukum Allah terhadap sesuatu.
Qadar berarti kadar‚ ketentuan‚ dan ukuran. Qadar berarti ukuran atau ketentuan
Allah terhadap segala sesuatu (Shobron‚ 2006:46). Sudarno Shobron (2006:47)
menambahkan bahwa qadla adalah penciptaan segala sesuatu oleh Allah sesuai
dengan ilmu dan iradatnya‚ sedangkan qadar adalah ilmu Allah tentang apa-apa
yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya pada masa yang akan datang”
(Shobron‚ 2006:47). Dalil qadla tercantum dalam Alquran, “tidak satu pun
bencana yang menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kalian sendiri kecuali
telah tertulis dalam kitab (Lauhu `l-mahfudl) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (Tafsir surat Al-
Hadid:22). Pada ayat lain diterangkan sebagai berikut.
Maryam berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki
sedang tidak pernah seorang manuisa pun menyentuhku dan aku
bukan seorang pelacur. Jibril berkata: Demikianlah Tuhanmu
berfirman: Hal itu adalah mudah bagiku dan (Kami berbuat
demikian) agar dapat Kami menjadikannya sebagai suatu tanda bagi
manusia dan sebagai rahmat dari Kami dan hal itu adalah suatu
perkara yang sudah diputuskan (Tafsir surat Maryam:20-21).
Abu Bakar-Aljazairi (2001:575) menyebutkan dalil dalam bukunya dari
sebuah hadis mengenai Qadla sebagai berikut.
Rasulullah bersabda kepada Ibnu Abbas: Ketahuilah bahwa
seandainya umat bersepakat untuk menolongmu dengan sesuatu‚
mereka tidak dapat menolongmu kecuali dengan sesuatu yang telah
ditetapkan Allah kepadamu. Seandainya mereka bersepakat untuk
membahayakanmu‚ dia tidak dapat membahayakanmu kecuali
dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah kepadamu. Pena
telah diangkat dan buku catatan amalan telah ditutup (Tafsir Hadis
riwayat Tirmidzi).
Beberapa dalil qadar juga tercantum dalam Alquran sebagai berikut.
“Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya
gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran. Kami telah menjadikan untuk kalian di bumi
keperluan-keperluan hidup dan Kami menciptakan pula makhluk-
makhluk yang kalian bukan pemberi rezeki kepadanya. Tidak ada
satu pun yang maujud kecuali disisi Kami khazanahnya. Kami tidak
menurunkan melainkan dengan qadar (ukuran) tertentu (Tafsir surat
Al-Hijr:19-21).
Pada ayat lain juga disebutkan, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut qadar (ukuran)” (Tafsir surat Al-Qamar:49) Maksud dari ayat
tersebut adalah sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu berupa apa-apa
yang diciptakan, baik kecil maupun yang besar. Allah telah menciptakannya
dengan qadla‟, qadar, hukum, pengaturan yang telah ditentukan, nasib yang telah
ditetapkan, pengetahuan yang sempurna pada waktu yang diketahui, tempat yang
ditentukan, dan itu semua telah ditetapkan di Lauh sebelum terjadinya.
Allah berfirman, “Kemudian engkau datang menurut qadar (waktu yang
ditetapkan) wahai Musa” (Tafsir surat Thaha:40). Ayat ini menyatakan bahwa
Nabi Musa pun telah ditetapkan kedatangannya. Pada ayat lain diterangkan, “Dia
telah menciptakan segala sesuatu dan menetapkannya dengan takdir (aturan
tertentu)” (Tafsir surat Al-Furqan:2). Allah menciptakan sesuatu dan menetapkan
takdir atau aturannya. Semua yang dicipatakan Allah mendapatkan kadar masing-
masing. Hal tersebut seperti yang difirmankan Allah dalam Alquran, “Sucikanlah
nama Tuhanmu yang paling tinggi. Dia yang menciptakan dan menyempurnakan
penciptaan-Nya. Dia yang menentukan qadar masing-masing kemudian
memberikan petunjuk” (Tafsir surat Al-A‟la:1-3).
Qadla dan kadar merupakan dua hal yang berkaitan. Akan tetapi,
keduanya memiliki pengertian dan maksud yang berbeda. Masjfuk Zuhdi
(1988:100) berpendapat bahwa qadla dan qadar adalah dua hal yang berbeda.
Qadar atau takdir adalah sesuatu yang belum ditetapkan benar-benar secara final
sehingga dapat diharapkan akan diubah oleh Allah atas kehendak-Nya, sedangkan
Qadla adalah sesuatu yang sudah tidak dapat diubah lagi sehingga makhluk tidak
dapat menolaknya. Masjfuk Zuhdi (1988:102) menambahkan bahwa kaum Ahlu
`s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah memiliki paham mengenai qadla dan qadar ditengah-
tengah antara paham Qadariah dan Muktazilah dengan Jabariah. Qadariah dan
Muktazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak‚ kekuatan‚ dan
kebebasan dalam berbuat sesuatu terlepas dari kehendak dan kekuasaan Allah.
Jabariah berpendapat bahwa manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya sendiri
dalam segala perbuatannya‚ baik atau jahat. Tidak ada bedanya dengan benda-
benda yang tak bernyawa. Manusia adalah objek yang dilakukan oleh subjek dari
luar atau dengan kata lain manusia dipaksa oleh kekuatan-kekuatan di luar
dirinya‚ yaitu kehendak dan kekuasaan Allah. Berbeda dengan Ahlu `s-Sunnah wa
`l-Jamaa‟ah yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan‚ kehendak‚
kekuasaan‚ dan pengetahuan‚ tetapi terbatas sampai yang ditentukan Allah.
Sirajuddin Abbas (1994:77) berpendapat qadla menurut faham Ahlu `s-
Sunnah wa `l-Jamaa‟ah adalah ketetapan Tuhan pada azal tentang sesuatu. Semua
yang akan terjadi semuanya sudah ditentukan Tuhan sebelumnya dalam azal. Hal-
hal yang telah ditetapkan Tuhan dalam azal tidak dapat diubah oleh siapa pun juga
(Abbas‚1994:77). Sirajuddin Abbas (1994:79) menambahkan bahwa sesuatu yang
sudah terjadi sudah diqadlakan Allah. Manusia hanya dapat menerima. Manusia
tidak akan tahu takdir dan ketentuan apa yang menimpa dirinya‚ maka dari itu
manusia harus berusaha dan bekerja sebaik-baiknya‚ setelah itu semuanya
diserahkan kembali kepada Allah Swt.
Imam Nawawi dalam kitabnya (Qathrul Ghaits:38) berpendapat bahwa
ketaatan adalah sesuatu yang diberi pahala. Ketaatan merupakan qadla‟, qadar,
iradah (kehendak), perintah, rida, mahabbah (kecintaan), petunjuk, dan penciptaan
Allah. Sebagian ulama‟ mengatakan, qadla‟ adalah kehandak Allah yang azali,
yang berkaitan dengan segala sesuatu terhadap suatu perkara, sedangkan qadar
adalah penciptaan Allah pada segala sesuatu sesuai dengan ilmu Allah. Maka dari
itu, qadla‟ ibarat dasar dan qadar bangunannya, qadla ibarat sesuatu yang
disiapkan untuk membuat pakaian dan qadar pakaiannya, dan qadla ibarat
ilustrasi pemahat terhadap suatu gambar yang ada di dalam hatinya dan qadar
gambarnya.
Berbeda dengan ketaatan, kemaksiatan adalah sesuatu yang diberi siksa,
Kemaksiatan merupakan qadla, qadar, dan iradah Allah, juga penciptaan Allah.
Akan tetapi, kemaksiatan bukan perintah, rida, dan petunjuk Allah. Imam Nawawi
memberikan ilustrasi terkait tentang kemaksiatan yang dilakukan mansia, yaitu
apabila seoarang anak hakim membunuh seorang laki-laki dengan sengaja, maka
hakim tersebut akan memerintahkan untuk menghukum anaknya, tetapi hakim
tersebut sebenarnya tidak menginkan hal itu. Hakim tersebut melakukan hal itu
karena perbuatan anaknya sendiri.
Manusia ada tiga macam, pertama, orang mukmin yang ikhlas dalam
keimanannya, yaitu orang yang berikrar dengan lisan, membenarkan dengan hati,
dan mengamalkan dengan anggota tubuh. Kedua, orang yang kafir yang ingkar
dalam kekufurannya, yaitu orang yang tidak berikrar dengan lisan, dan tidak
beriman dengan hatinya. Ketiga, orang munafik yang mencari muka dalam
kemunafikannya, yaitu orang yang berikrar dengan lisan, tidak beriman dengan
hatinya, dan mencari muka di depan orang-orang mukmin. Mereka semua (para
makhluk) akan diberi pahala atas ketaatan, dan akan diberi siksa atas kemaksiatan
mereka. Pahala dan siksa tersebut sesuai dengan janji Allah. Nabi saw.
menerangkan tentang seorang hamba yang ditakdirkan masuk surga akan ringan
dalam mengerjakan kebaikan. Hadis yang menerangkan hal tersebut adalah
sebagai berikut.
Rasul bersabda: Tiada seorang pun dari kalian, bahkan tiada suatu
jiwa manusia melainkan sudah ditentukan tempatnya di surga atau
neraka, nasib baik atau celaka. Seseorang bertanya: Ya Rasulullah,
apakah tidak lebih baik kita menyerah saja pada ketentuan itu dan
tidak usah beramal, maka jika ia untung akan sampai kepada
keuntungannya dan bila celaka, maka akan sampai pada binasanya.
Nabi saw. bersabda: Adapun orang-orang yang bakal untung, maka
diringankan untuk mengamalkan perbuatan ahli sa‟adah, sebaliknya
orang yang celaka, maka ringan untuk berbuat segala amal yang
membinasakan. Kemudian nabi saw. membaca (Alquran): Adapun
orang yang suka menderma dan bertakwa dan percaya pada kebaikan
(surga), maka akan Kami mudahkan baginya segala amal kebaikan.
Adapun orang yang bakhil dan merasa kaya (tidak berhajat), maka
akan Kami mudahkan baginya jalan yang sempit dan sukar. Dan
tidak berguna kekayaannya jika telah terjerumus (Tafsir Hadis
riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:1008).
Dalam hadis lain diterangkan, “Imran bin Hushain berkata: Apakah
sekarang ini sudah diketahui mana ahli surga dari ahli neraka? Nabi saw.
menjawab: Ya. Lalu ia bertanya: Lalu untuk apa orang beramal? Nabi
menjawab: Tiap orang beramal untuk apa yang telah dijadikan Allah baginya”
(Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:1008).
Dari keterangan di atas dapat diambil sebuah pesan, bahwa seorang hamba
harus rida dengan apa yang telah ditakdirkan Allah. Ridha ialah menerima
terhadap sesuatu. Dengan begitu, ia akan diberi pahala atau tidak akan disisksa.
Kekufuran adalah dengan qadla dan qadar Allah, rida terhadap qadla dan qadar
adalah wajib, dan rida terhadap kekufuran adalah kufur. Hal tersebut
menimbulkan permasalahan. Imam Nawawi menerangkan dalam kitabnya bahwa
kekufuran adalah maqdliyyun (yang dilaksanakan) dan maqdurun (yang
ditetapkan), bukan qadla‟ dan qadar, dan rida hanya wajib terhadap qadla‟ dan
qadar, tidak terhadap maqdliyyun dan maqdurun. Sesuatu yang bertentangan
dengan aturan Allah adalah dari segi dzatnya, tetapi hal tersebut bersifat
maqdliyyun. Oleh karena itu, seorang hamba harus rida dengan artian bahwa ia
tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Seorang hamba tidak diperintah untuk
menyukai atau menerima kekufuran, tetapi ia diperintah meninggalkan dari
kekufuran tersebut dan tetap beriktikad bahwa kekufuran adalah kebijaksanaan
atau hikmah yang Allah ciptakan.
3. Keutamaan Akidah Islam dalam Teks “MAI”
Akidah Islam merupakan salah satu akidah yang terdapat di dunia
sekarang. Banyak akidah-akidah baru atau lama yang juga dipercaya manusia
menjadi akidah dalam hidupnya. Akidah Islam adalah satu-satunya akidah yang
sebenarnya harus diakui kebenarannya dan dianut oleh semua manusia. Beberapa
alasan akidah Islam merupakan akidah yang benar dari Allah dan harus dipercaya
manusia, yaitu sebagai berikut.
a) Akidah Islam Jelas, Mudah, dan Terang
Akidah Islam adalah akidah yang mudah dan jelas, sejelas matahari di
tengah hari. Tidak ada kekaburan, kerumitan, kerancuan, maupun kebengkokan di
dalamnya. Sumbernya (Alquran dan hadis) begitu jelas dan makna-maknanya
demikian terang sehingga bisa dipahami oleh orang berilmu maupun orang awam.
Tidak ada yang menyimpang darinya, salah satu contoh kejelasannya adalah
sebuah kitab yang sangat populer di dalam hadis tentang Jibril. Hadis ini
memaparkan pokok-pokok ajaran Islam dengan sangat mudah, ringan, jelas dan
terang, yaitu berkaitan tentang pertanyaan iman, islam, dan ihsan. Dalil-dalil lain
seperti itu sangat banyak jumlahnya. Semua orang bisa memahaminya karena
dalil-dalil Alquran dan sunah demikian jelas sehingga dapat memuaskan dan
menenangkan jiwa, serta menanamkan keyakinan yang benar dan tegas di dalam
hati.
Dalam teks terdapat tujuh belas pertanyaan, semua pertanyaan tersebut
sangat jelas maksudnya atau tidak memiliki maksud yang lain (memiliki satu arti).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijelaskan dengan sangat lengkap dan jelas,
seperti pembahasan mengenai nabi dan rasul sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang engkau mengetahui nama mereka
itu dan bilangan mereka itu kepada kita jadi syarat iman atau tiada.
Maka jawab mengetahui nama mereka itu dan bilangan mereka itu
tiada kepada kita. Jadi syarat iman karena firman Allah Taala
setengah mereka itu yang aku ceritakan atasmu dan setengah mereka
itu tiadaku ceritakan atasmu ya Muhammad (“MAI”:9-10).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa akidah Islam menjelaskan
perihal sesuatu dengan jelas dan terang. Kutipan di atas menginformasikan
mengenai jumlah nabi dan rasul keseluruhan. Jelas di awal bahwa jumlah nabi
sebanyak seratus dua puluh empat ribu dan tiga ratus tiga belas rasul, tetapi syarat
menjadi mukmin tidak harus mengetahui dan hafal nama-nama mereka (nabi dan
rasul), cukup hanya mengetahui nabi dan rasul yang telah dikabarkan karena
untuk menghafal jumlah yang banyak bukanlah suatu yang mudah sehingga akan
menyusahkan manusia. Hal tersebut sangat jelas bahwa sistem akidah Islam
sangat jelas dan terang karena terdapat penjelasan secara mendetail mengenai
suatu permasalahan.
Salah satu contoh lain mengenai keesaan Tuhan. Secara jelas bahwa yang
mampu memulai pasti lebih mampu untuk mengembalikan lagi. Hal tersebut
sesuai yang tertera dalam Alquran, “Dan Dia-lah yang memulai penciptaan
kemudian mengembalikannya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya” (Tafsir
surat Ar-Ruum: 27). Manajemen di sebuah tempat saja tidak mungkin bisa
berjalan dengan tertib apabila ditangani oleh banyak manajer. Begitu juga dengan
alam semesta. Allah Taala berfirman dalam Alquran, “Sekiranya di langit dan di
bumi itu ada Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak
binasa” (Tafsir surat Al-Anbiya‟: 22). Sesuatu yang hendak menciptakan pastilah
mengetahui terlebih dahulu kemudian baru menciptakan. Hal tersebut seperti
dalam Alquran, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui;
sedangkan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Tafsir surat Al-Mulk: 14).
Dalil-dalil yang jelas dan terang semacam itu sangatlah banyak dan meliputi
semua aspek kehidupan sehingga manusia dapat memanfaatkannya dan
menjadikan hidupnya dengan akidah yang benar, yaitu akidah Islam.
Sebaliknya dalam akidah Islam tidak ditemukan dalil-dalil yang rancu,
kontradiktif, dan paradoks. Hal tersebut dikarenakan akidah Islam adalah wahyu
yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari arah manapun datangnya dan
kebenaran itu tidak mungkin rancu, paradoks, maupun kabur, melainkan serupa
satu sama lain dan saling menguatkan. Allah berfirman dalam Alquran,
“Andaikata Al-Qur'an itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka mendapat
banyak pertentangan di dalamnya” (Tafsir surat An-Nisaa‟: 82). Oleh karen itu
akidah Islam, dalam hal ini adalah akidah Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah adalah
akidah yang benar-benar mudah, terang, jelas, dan terbebas dari kerancuan dan
sifat kontradiktif.
b) Akidah Islam Bukan Sesuatu Yang Mustahil
Memang benar dalam akidah Islam banyak hal-hal yang sulit dicerna oleh
akal, tetapi bukan berarti hal tersebut mustahil terjadi. Di dalam akidah Islam
terdapat hal-hal yang memusingkan akal dan sulit dipahami, seperti perkara-
perkara ghaib: siksa kubur, nikmat kubur, shirath (jembatan), surga, neraka, dan
mengenai sifat dan zat Allah Taala. Akal mengalami kebingungan dalam
memahami hakikat dan bentuk perkara-perkara tersebut. Akan tetapi, akal tidak
dapat mengatakan hal tersebut mustahil (impossible) karena perkara-perkara
tersebut berasal dari wahyu yang diturunkan yang tidak tercipta dari hawa nafsu
dan tidak dimasuki kebatilan dari arah manapun datangnya. Dalam teks juga
terdapat beberapa pembahasan mengenai hal-hal yang sulit dicerna seperti
mengenai malaikat, sebagai berikut.
Bahwasanya malaikat itu berbahagi-berbahagi dan setengah mereka
itu menanggung ‟arsy dan setengah mereka itu mengelilingi ‟arsy
dan setengah mereka itu bangsa rohani dan setengah mereka itu
bangsa kurubiyyun dan setengah mereka itu bangsa safarah artinya
Jibrail dan Mikail dan Israfil dan Izrail alaihi salam dan setengah
mereka itu memelihara dan setengah mereka itu menulis dan lain
demikian itu sekalian mereka itu. Dijadikan mereka itu segala hamba
Allah tiada disifatkan mereka itu akan laki-laki dan tiada disifatkan
akan perempuan dan tiada mereka itu syahwat dan tiada nafsu dan
tiada bapak dan tiada ibu dan tiada mereka berbuat durhaka akan
Allah barang yang disuruh Allah akan mereka itu (“MAI”:3-4).
Dari kutipan di atas mengenai keberadaan malaikat bagi akal manusia sulit
dicerna. Akan tetapi, keberadaan mereka bukanlah hal yang mustahil karena
penjelasan mengenai mereka sangatlah runtut sehingga akal manusia pun dapat
menerimanya. Oleh karena itu, akidah Islam sangat menjunjung tinggi sifat
kerasionalan.
Hal tersebut tidak seperti akidah-akidah lain yang berisi kemustahilan-
kemustahilan yang secara aksioma dinyatakan mustahil oleh akal. Misalnya,
akidah-akidah Yahudi yang sudah diubah. Orang-orang Yahudi beranggapan
bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah. Mereka beranggapan bahwa Allah
telah memilih mereka sebagai pilihan dan menjadikan bangsa-bangsa lainnya
sebagai keledai-keledai yang bisa ditunggangi oleh bangsa Yahudi. Hal tersebut
tidak masuk akal karena tidak mungkin Tuhan Yang Maha Bijaksana menjadi
rasialis, berpihak kepada salah satu etnis, dan menelantarkan etnis-etnis lainnya.
Akidah Islam sangat menjunjung tinggi rasionalitas, artinya sesuai dengan
akal sehat. Akidah Islam menghormati akal yang sehat, menghargai perannya,
mengangkat kedudukannya, tidak mengekangnya, dan tidak mengingkari
aktifitasnya. Islam tidak menghendaki seorang muslim yang memadamkan cahaya
akalnya dan memilih taklid buta dalam masalah akidah dan juga masalah lainnya
(fikih, muamalah, akhlak, dan lain-lain). Akan tetapi, Islam justru meminta agar
setiap muslim mengamati ciptaan Tuhan, merenungkan dirinya sendiri, dan tanda-
tanda kekuasaan Allah yang ada di sekitarnya. Tujuannya, agar manusia
mengetahui rahasia-rahasia alam semesta dan fakta-fakta kehidupan. Melalui akal,
manusia dapat sampai pada banyak masalah akidah yang berada di dalam batas-
batas kemampuannya. Islam menyampaikan kabar buruk kepada orang-orang
yang tidak menggunakan akal mereka dan memilih mengikuti apa yang dilakukan
oleh leluhur mereka tanpa pemikiran, perenungan, dan pengetahuan. Hal tersebut
seperti juga isi yang tertera dalam teks “MAI”. Adanya pertanyaan-pertanyaan
yang meliputi bidang akidah menandakan bahwa akidah Islam dapat
dipertanyakan dan dijawab dengan logis. Apabila akidah Islam bersifat irasional
sudah tentu pertanyaan-pertanyaan seperti dalam teks tidak akan muncul karena
tidak akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang notabene bersifat rasional.
Kendati Islam memiliki pandangan seperti ini terhadap akal, tetapi Islam
juga membatasi bidang pemkiran akal. Hal itu dikarenakan untuk selalu menjaga
potensi akal agar tidak tercerai-berai atau berantakan di balik perkara-perkara gaib
yang tidak mungkin diketahui dan ditemukan akal, seperti masalah zat Tuhan, roh,
surga, neraka, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa akal
memiliki bidang garapan sendiri yang memungkinkannya bekerja di sana. Apabila
manusia mencoba melangkah keluar dari bidang ini atau terlalu mementingkan
akalnya, maka manusia akan tersesat dan bergentayangan dalam kebingungan
yang tidak bisa dikendalikannya. Ruang lingkup akal adalah segala sesuatu yang
tampak dan konkret, sedangkan perkara-perkara gaib yang abstrak dan tidak
diketahui oleh manusia bukanlah bidang yang bisa dimasuki oleh akal.
Dari uraian di atas mengenai keutamaan akidah Islam, seharusnya manusia
dapat berpikir bahwa akidah Islam adalah akidah yang benar-benar diturunkan
Allah dan akidah-akidah di luar akidah Islam merupakan akidah yang sengaja
dibuat oleh manusia sendiri untuk mengelabuhi manusia-manusia lainnya.
c) Akidah Islam Dapat Mengakomodasi Kepentingan Roh, Hati, dan
Tubuh
Islam memberikan perhatian yang besar kepada aspek penyucian jiwa dan
peningkatannya kepada hal-hal rohaniah. Namun demikian ajaran Islam tidak
mengabaikan hak-hak indera atau tubuh. Islam memberikan perhiasan dan
kenikmatan kepada tubuh secara adil. Dalam teks “MAI” juga dijelaskan bahwa
akidah Islam berkaitan dengan roh dan jasad, tidak hanya sebatas keyakinan
semata, yaitu sebagai berikut.
Bermula iman itu pertunjuk Allah Taala dan ikrar dengan lidah dan
tasdik dengan hati dan mengerjakan dengan segala anggota daripada
perbuatan hamba baharu karena firman Allah Taala dan bermula
Allah yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu. Maka
hidayat itu perbuatan Tuhan dan yaitu bukan makhluk karena
bahwasanya kadim dan barang yang hasil daripada kadim adanya
kadim jua dan ikrarkan dan tasdikkan dalam hati daripada perbuatan
hamba dan yaitu baharu maka tiap-tiap barang yang hasil daripada
yang baharu itu adalah ia baharu jua (“MAI”:16-17)
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa iman harus diucapkan dengan
lisan, diyakini dengan hati, dan diamalkan dalam perbuatan. Lisan dan perbuatan
adalah suatu yang dlahir dan berkaitan dengan jasad, tetapi hati atau qalb
berkaitan dengan roh karena bersifat batin. Sebagai bukti bahwa Islam
mengakomodasi hal jasmani dan rohani adalah Allah Taala memerintahkan
kepada orang-orang beriman untuk menyembah-Nya, mengerjakan amal shalih
yang diridai-Nya, mengkonsumsi makanan yang baik, dan mengeksplorasi hal-hal
yang telah disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya dalam kehidupan.
Berbeda dengan akidah lainnya yang menjadikan para penganutnya seperti
layaknya binatang, bahkan lebih sesat dari binatang, seperti ajaran kaum paganis
hingga kepada kalangan atheis dan materialis. Apabila agama yang benar tidak
berada di hati, maka akhlak yang indah akan turut meninggalkannya. Oleh karena
itu, tempatnya akan diisi oleh akhlak yang nista. Akibatnya, mereka akan
terjerembab ke dalam jurang yang paling rendah karena konsentrasi terbesar
mereka adalah menikmati kebahagiaan hidup yang sesaat.
Akidah Islam menjadikan antara kehidupan rohani dan jasmani seimbang.
Kehidupan jasmani yang kuat dan baik akan mempengaruhi rohani yang baik
pula. Begitu pula sebaliknya, dengan kekuatan rohani yang kuat, maka kehidupan
jasmaninya akan tetap terjaga dari segala macam bahaya. Oleh karena itu, akidah
Islam merupakan akidah yang mementingkan kedua aspek tersebut karena
keduanya saling berkaitan satu sama lain.
4. Manfaat Mengimani Akidah Islam dalam Teks “MAI”
Iman merupakan bagian paling utama bagi manusia karena ia merupakan
syarat bagi manusia untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Iman menjadi
hal terpokok sebelum melakukan amalan-amalan lain. Berkenaan dengan iman
sebagai amal paling utama, rasul saw. pernah bersabda dalam hadis, “Abu
Hurairah berkata: nabi saw. ditanya: Apakah amal yang utama? Nabi menjawab:
Iman kepada Allah dan Rasulullah. Lalu ditanya: Kemudian apa? Nabi
menjawab: Jihad berjuang fi sabilillah. Ditanya lagi: Kemudian apa? Nabi
menjawab: Haji yang mabrur” (Tafsir Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dalam
Abdul Baqi, 2003:26). Dalam hadis lain juga diceritakan bahwa iman kepada
keenam rukun iman tersebut merupakan hak Allah yang harus dilakukan manusia.
Orang yang telah memenuhi hak Allah, dalam hal ini adalah beriman kepada
keenam elemen rukun iman, maka Allah akan memberikan kenikmatan
kepadanya. Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim tersebut tertulis sebagai
berikut.
Nabi bersabda: Tahukan kamu (Muadz bin Jabal) apakah hak Allah
yang diwajibkan atas hamba-Nya? Muadz menjawab: Allah dan
Rasulullah yang lebih tahu. Nabi bersabda: Hak Allah yang
diwajibkan atas hamba-Nya supaya mereka menyembah kepada-Nya
dan tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apa pun. Kemudian
rasul meneruskan perjalanan dan berkata: Ya Muadz bin Jabal!
Muadz menjawab: Lakbayka wa sa‟dayka. Rasul bertanya: Tahukah
kamu apakah hak hamba jika mereka telah melaksanakan kewajiban
itu? Muadz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu. Rasul
bersabda: Hak hamba atas Allah bahwa Allah tidak akan menyiksa
mereka (Tafsir Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dalam Abdul
Baqi, 2003:14).
Dengan beriman, maka seorang hamba telah melakukan hak-hak Allah dan
sebagai balasannya orang tersebut tidak akan mendapatkan siksa dari-Nya. Dalam
teks “MAI” dijelaskan, Adapun orang mukmin itu di dalam surga kekal mereka
itu dan tiada binasa surga dan tiada binasa isi keduanya. Dan barang siapa syak
daripada segala perkara ini maka bahwasanya jadi kafir (“MAI”:11). Orang
yang tidak beriman dan orang yang telah keluar dari keimanan dianggap sebagai
orang kafir. Ciri orang beriman adalah mempercayai rukun iman yang berjumlah
enam dengan keyakinan dalam hati dan takrir dengan lisan. Manusia yang tidak
meyakini adanya rukun iman yang enam itu, maka dianggap kafir. Satu saja orang
meragukan keenam rukun iman tersebut, ia dianggap kafir. Allah berfirman dalam
Alquran sebagai berikut.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-
Nya dan bermaksud memperbedakan keimanan antara Allah dan
rasul-Nya dengan mengatakan: Kami beriman kepada yang sebagian
dan kami kafir terhadap sebagian yang lain. Dan bermaksud dengan
perkataan itu mengambil jalan (tengah) di antara iman atau kafir.
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan
(Terjemah surat An-Nisa`:150-151).
Selain percaya kepada Allah dan rasul-Nya, yang harus diimani adalah
percaya atas kitab-kitab Allah. Seorang hamba yang meragukan adanya kitab
Allah, maka orang tersebut telah keluar dari keimanannya. Allah berfirman dalam
Alquran mengenai orang-orang yang tidak percaya akan Alquran sebagai wahyu
dari Allah, “Mereka berkata: kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan
kepada kami. Dan mereka kafir kepada Alquran yang diturunkan sesudahnya,
sedang Alquran adalah kitab yang haq, yang membenarkan apa yang ada pada
mereka” (Tafsir surat Al-Baqarah:91).
Orang yang beriman seperti yang telah diterangkan akan mendapatkan
sebuah kenikmatan. Begitu sebaliknya, orang yang kafir atau tidak mau
mengimani rukun iman yang enam, akan diberikan siksa oleh Allah. Orang kafir
diceritakan sebagai orang-orang yang celaka dan tersesat karena akan mendapat
balasan terhadap kekafirannya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, “Barang
siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-
rasul-Nya, dan hari kemudian, maka orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”
(Tafsir surat An-nisa:136). Pada ayat lain juga dijelaskan bahwa orang kafir akan
dimusuhi Allah, “Barang siapa yang bermusuhan dengan Allah, malaikat-
malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, Mikail, maka bahwasanya Allah musuh
bagi orang kafir itu” (Tafsir surat Al-Baqarah: 98). Rasul telah menceritakan
balasan bagi orang kafir dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim sebagai berikut.
Anas r.a. berkata: nabi saw. bersabda: Tiga sifat siapa yang
melakukannya pasti dapat merasakan manisnya iman, yaitu cinta
kepada Allah dan Rasulullah melebihi dari cintanya kepada lain-
lainnya, cinta kepada sesama manusia semata-mata karena Allah,
dan enggan kembali kepada kekafiran sebagaimana enggan
dimasukkan ke dalam api neraka (Tafsir Hadis riwayat Bukhari dan
Muslim dalam Abdul Baqi:17).
Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa kecelakaan orang kafir adalah ia
akan masuk ke dalam neraka untuk selama-lamanya dan mereka akan
mendapatkan siksa yang pedih seperti yang tertera dalam Alquran, “Dan orang-
orang yang kafir kepada ayat-ayat Tuhannya bagi mereka azab, yaitu siksaan
yang sangat pedih” (Tafsir surat Al-Jaatsiyah:11).
Orang yang tidak mengakui bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam
adalah orang musyrik. Rasul juga telah menjelaskan mengenai orang yang syirik
atau menyekutukan Allah merupakan perbuatan dosa besar, yaitu sebagai berikut.
Abdullah bin Mas‟ud r.a. berkata: Aku bertanya kepada nabi saw.
apakah dosa yang terbesar di sisi Allah? Nabi menjawab: Jika kamu
mengadakan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang menjadikan
kamu. Aku bertanya: Kemudian apa? Nabi menjawab: Jika kamu
membunuh anakmu khawatir makan bersamamu. Aku bertanya:
Kemudian apa? Nabi menjawab: Berzina dengan isteri tetanggamu
(Tafsir Hadis riwayat Bukhari Muslim dalam Abdul Baqi, 2003:27).
Pada hadis-hadis lain juga diterangkan bahwa dosa terbesar adalah
menyukutukan Allah dan di setiap hadis tersebut syirik adalah urutan pertama dari
dosa-dosa besar kepada Allah. Uraian di bawah ini akan membahas tentang
manfaat mengimani enam elemen rukun iman yang merupakan akidah Islam
(Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa‟ah) dan manfaat mengimani akidah Islam secara
umum, yaitu sebagai berikut.
a) Manfaat Mengimani Akidah Islam (Ahlu `s-Sunnah wa `l-Jamaa’ah)
Secara Umum
Teks “MAI” sebagai objek kajian penelitian ini membahas tentang akidah
Islam. Meskipun dalam teks tidak hanya menyangkut tentang rukun iman yang
enam, tetapi pokok permasalahan yang tertulis dalam teks menyangkut tentang
keimanan yang harus dimiliki oleh manusia, baik golongan muslim maupun non-
muslim. Kaum muslim setelah mengakui adanya Allah dan Muhammad adalah
rasul-Nya yang ditandai dengan membaca syahadat harus melakukan persyaratan
dan aturan yang diberlakukan dalam sistem Islam. Di antara syarat dan aturan
yang berlaku dalam Islam, hal yang pokok adalah mengimani enam elemen rukun
iman dalam hati, lisan, dan perbuatannya.
Isi teks yang berisikan tentang pertanyaan-pertanyaan dan juga jawaban-
jawabannya menandakan adanya keinginan dari pengarang agar teks tidak linier.
Pengarang berusaha agar pembaca memahami pertanyaan-pertanyaan yang
diungkapkan oleh pengarang karena sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut
hanya bersifat mudah, tetapi masih banyak orang yang tidak mengetahuinya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah turunan dari adanya pokok-pokok ajaran
rukun iman. Dalam banyak riwayat yang disebut iman adalah percaya kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir
baik dan buruk. Akan tetapi, tidak dijelaskan lebih lanjut cara mempercayai
keenam hal tersebut secara rasional.
Manusia hidup di dunia berawal dari ketiadaan dirinya. Timbul beberapa
pertanyaan, mengapa mereka diciptakan, dari mana datangnya alam semesta, dari
mana asal manusia, dan ke mana manusia setelah mati? Beberapa pertanyaan di
atas merupakan modal awal untuk mempelajari akidah atau iman secara rasional.
Dari hal tersebut tidak pernah ada satu pun jawaban yang pasti. Manusia hanya
berteori mengenai asal muasal kehidupan. Maka dari itu, hadirlah agama untuk
menjawab semua pertanyaan tersebut. Mengenai asal kehidupan secara singkat
dapat dikatakan bahwa adanya kehidupan, alam semesta, bumi dan isinya
termasuk manusia karena ada yang membuat, yaitu Sang Pencipta. Pertanyaan
kedua, kemudian siapakah yang membuat dan menciptakan semua ini. Hal
tersebut dapat dijawab dalam informasi-informasi yang terkandung dalam
Alquran yang merupakan firman dari Sang Pencipta.
Manusia diciptakan untuk mengatur dunia agar dapat tertata dengan baik.
Agar tujuan tersebut dapat terwujud, maka diciptakanlah peraturan-peraturan, baik
yang berasal dari manusia atau dari Allah langsung. Peraturan hidup dari Allah
untuk manusia biasanya disebut dengan syariat. Syariat diidentikkan dengan
peraturan yang harus dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat
hubungan antara akidah (iman) dengan syariat, yaitu keduanya tidak dapat
dipisahkan, meskipun kedunya dapat dibedakan. Masyfuk Zuhdi (1988:7)
berpendapat bahwa akidah sebagai akar dan syariat sebagai batang dan dahan-
dahannya. Orang yang beriman tanpa menjalankan syariat adalah fasik, orang
yang bersyariat tetapi berakidah selain akidah Islam adalah munafik, dan orang
yang tidak berakidah dan bersyariat islam adalah kafir. Oleh karena itu, antara
keimanan dan aturan-aturan yang disediakan manusia (syariat) adalah dua hal
yang berkaitan.
Akidah atau iman sebagai kebenaran merupakan landasan bagi seorang
muslim. Keyakinan yang mendasar itu menopang seluruh perilaku, membentuk
dan memberi corak dan warna kehidupannya dalam hubungannya dengan
makhluk lain dan hubungan dengan Tuhan. Keyakinan itu akan memberikan
ketenangan dan ketentraman dalam pengabdian seorang hamba dan penyerahan
dirinya secara utuh kepada Allah Swt.
Dalam hubungannya dengan manusia. Keyakinan ini menjadi dorongan
utama untuk bergaul dan berbuat baik serta berbuat maslahat bagi manusia dan
makhluk lainnya. Dorongan keyakinan ini akan sanggup meniadakan segala
pamrih duniawi dan balas jasa dari kebaikan yang ditanamkan terhadap manusia
lain. Seorang muslim berbuat baik semata-mata karena yakin bahwa Allah
menyuruhnya untuk berbuat baik sehingga apa pun yang dia peroleh akibat dari
perbuatannya akan diterimanya dengan penuh kesadaran dan lapang dada. Dalam
perilaku ini lahir perbuatan ikhlas yang merupakan fenomena perilaku seorang
muslim yang taat. Manfaat beriman atas akidah Islam dibagi menjadi dua, yaitu
sebagai berikut.
1) Manfaat Keimanan pada Kehidupan Individu Pemeluknya
Akidah yang tertanam dalam jiwa seorang muslim akan senantiasa
menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah semata-mata karena itu perilaku-
perilaku yang tidak dikehendaki Allah akan selalu dihindarkannya. Keyakinan
tauhid berawal dari hati, selanjutnya akan membentuk sikap dan perilaku yang
menyeluruh dan mewujudkan bentuk kepribadian yang utuh sebagai insan yang
mulia dengan derajat kemuliannya yang tinggi. Iman pada hakikatnya adalah
keseluruhan tingkah laku, baik keyakinan (iktikad), ucapan maupun perbuatan.
Nabi bersabda: Iman adalah mengiktikadkan dalam hati, mengucapkan dengan
mulut dan melaksanakan dengan anggota badan.
Bermula iman itu dengan sifat suci dan kafir itu dengan sifat hadats
binasalah dengan dia sekalian amal (“MAI”:15-16). Dari kutipan teks “MAI”
tersebut dapat diketahui bahwa amal saleh merupakan perbuatan yang baik yang
khas lahir dari seorang muslim yang memiliki akidah (mukmin), sedangkan
perbuatan baik yang dilakukan seorang non-muslim (kafir) tidak dikategorikan
sebagai amal saleh karena seorang yang tidak memiliki iman melakukan
perbuatan baik tidak didorong oleh keyakinan terhadap Allah. Walaupun
perbuatan yang tampak secara inderawi sama saja dengan perbuatan seorang
muslim, tetapi nilai-nilai rohaniah sangat berlainan. Perbuatan baik seorang kafir
hanya memiliki nilai duniawi, sedangkan amal saleh seorang muslim memiliki
nilai duniawi dan ukhrawi.
Muslim Nurdin (1995:80) berpendapat akidah dapat dilihat peranannya
dalam berbagai segi kehidupan seorang muslim serta memiliki implikasi terhadap
sikap hidupnya. Implikasi dari akidah itu antara lain dapat dilihat dalam
pembentukan sikap, misalnya penyerahan total kepada Allah dengan meniadakan
sama sekali kekuatan dan kekuasaan di luar Allah yang dapat mendominasi
dirinya. Keyakinan ini akan menumbuhkan jiwa merdeka bagi seorang muslim di
tengah pergaulan hidupnya, yaitu tidak ada manusia yang dapat menjajahnya.
Sudarno Shobron berpendapat bahwa dengan iman yang kuat akan menimbulkan
sikap iklas dan konsekuen (Shobron, 2006:54). Iman dalam diri seorang muslim
akan mendorong kepada perbuatan yang dilandasi dengan keikhlasan dan
pencarian rida Allah. Dengan keimanan yang kuat, manusia akan senantiasa
bertindak sesuai dengan apa yang dikatakannya, artinya orang tersebut akan
bersikap konsekuen.
Landasan mencari rida Allah menjadikan manusia tidak memikirkan hasil
yang didapatkan. Setelah usaha yang konsekuen dan penuh keikhlasan dengan
niat mencari rida-Nya, maka secara otomatis akan timbul rasa tawakal kepada
Allah Swt. Tawakal ialah menghadapkan hati kepada Allah sewaktu bekerja
seraya memohon bantuan kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya. Itulah
esensi dan hakikat tawakal. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa berjuang, tetapi
akan terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab (usaha) terlebih dahulu. Maka
dari itu, tawakal tidak mengajak manusia menjadi pengangguran atau mengurangi
pekerjaan. Bahkan tawakal memiliki pengaruh yang besar dalam memacu
semangat manusia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang semula tidak
terpikirkan dan tidak tergapai. Tawakal merupakan suatu sarana yang paling kuat
dan efektif dalam menggapai apa yang diinginkan. Hal tersebut dikarenakan hati
telah bersandar kepada kekuasaan, kemurahan, dan kelembutan Allah yang akan
mengikis habis kuman-kuman frustasi dan bibit-bibit kemalasan. Tekad dan usaha
kuat dan benar yang dibarengi dengan tawakal kepada Allah akan berakhir dengan
kebenaran dan keberuntungan. Allah berfirman dalam Alquran, “Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”
(Tafsir surat Ali Imran: 159).
Manfaat iman selain memberikan rasa totalitas kepada Tuhan dalam setiap
perbuatannya juga akan menjadikan manusia yakin kepada Allah dengan sebenar-
benarnya. Muslim Nurdin (1995:81) berpendapat manusia yang telah yakin
dengan seyakin-yakinnya akan memiliki keberanian untuk berbuat karena tidak
ada ketakutan baginya, kecuali melanggar perintah Allah. Keberanian tersebut
akan menjadikan manusia berani bicara dengan konsekuen secara lurus dan tegas
berdasarkan aturan-aturan dari Allah. Sudarno Shobron (2006:51) menambahakan
bahwa iman yang sebenarnya akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan
benda. Orang beriman hanya percaya kepada kekuatan dan kekuasan Allah.
Apabila Allah hendak memberikan pertolongan-Nya, maka tidak ada satu
kekuatan pun yang dapat mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah hendak
menimpakan malapetaka, maka tidak ada satu pun yang sanggup menahan dan
mencegahnya. Dengan begitu, seorang hamba yang memiliki keyakinan yang
sebenarnya akan terhindar dari sifat mendewakan manusia yang memegang
kekuasaan, benda-benda mistik yang diyakini memiliki kekuatan di luar akal
manusia, harta atau uang, dan lain-lain yang bersifat keduniawiaan.
Seorang yang telah beriman dengan benar, artinya tidak ada keraguan yang
berada dalam dirinya untuk mengimani akidah-akidah Islam, maka jiwa dan
pikirannya akan selalu tenang. Allah berfirman dalam Alquran, “Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-
Ku” (Tafsir surat Al-Fajr:27-30). Manusia selalu menemukan masalahnya dalam
hidupnya. Pada tahap tertentu, manusia akan melanda keresahan dan kesedihan.
Sudarno Shobron (2006:53) berpendapat manusia lahir dalam keadaan yang tidak
pasti. Dengan beriman kepada akidah Islam akan timbul dalam dirinya
keseimbangan hidup, ketentraman hati, dan ketenangan jiwa. Hal tersebut sesuai
dengan firman Allah dalam Alquran, “Orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Tafsir surat Ar-Ra‟du:28).
Tidak ada kecemasan di dalam jiwa dan tidak ada kegalauan di dalam
pikiran karena akidah dapat menyambungkan seorang hamba dengan Penciptanya
sehingga ia merasa rela terhadap apa yang telah ditetapkan-Nya. Akibatnya,
hatinya merasa tenang dengan ketentuan-Nya, dadanya lapang menerima
keputusan-Nya, dan pikirannya terang dengan mengenal-Nya.
Orang yang berakidah Islam dapat mengarahkan perasaan dan jiwa yang ia
rasakan ke arah yang benar. Perasaan adalah sesuatu yang bersifat naluri (insting),
dan setiap manusia normal pasti memilikinya. Hal tersebut bisa berupa kebaikan
atau pun mencelakakan manusia sendiri. Akidah Islam bukanlah akidah yang
keras dan beku, melainkan akidah yang hidup. Akidah Islam mengakui perasaan
manusiawi dan menghargainya dengan baik. Akan tetapi, Akidah Islam tidak
melepaskan kendali penuh kepada perasaan, melainkan meluruskannya,
mengangkat derajatnya, dan mengarahkannya ke arah yang benar sehingga
menjadikan perasaan tersebut sebagai sarana kebaikan dan bukan sebaliknya,
yaitu menjadi pemicu kehancuran dan perusakan.
Akidah mengendalikan perasaan cinta, benci, dan perasaan-perasaan
lainnya yang akan membuat pemilik perasaan-perasaan itu penuh pertimbangan di
dalam tindakan-tindakannya, bersikap bijaksana dalam perilaku dan interaksi
sosialnya. Hal tersebut dikarenakan seorang yang memiliki akidah Islam bahwa
Allah melihat, mengamatinya, dan akan memperhitungkan apa yang pernah
dilakukannya. Maka dari itu, orang yang telah tertanam hatinya akidah Islam yang
kuat tidak akan mencintai kecuali karena Allah, tidak akan membenci kecuali
karena Allah, tidak akan memberi kecuali karena Allah, dan tidak akan menahan
kecuali karena Allah.
Dari beberapa manfaat di atas dapat diketahui bahwa akidah Islam akan
memberikan dampak positif bagi manusia yang mengimaninya. Sudarno Shobron
(2006:53) menjelaskan bahwa iman terkait dengan amal. Oleh karen iman
merupakan hal yang pasti positif, maka dengan sendirinya orang yang beriman
dengan sungguh-sungguh akan memberikan implementasi dalam kehidupannya
secara baik pula. Perbuatan-perbuatan manusia yang baik tersebut pasti akan
menimbulkan kemanfaatan bagi dirinya dan manusia lain. Allah berfirman dalam
Alquran sebagai berikut.
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan” (Tafsir surat An-Nahl:97).
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa orang yang benar-benar
beriman akan mengimplementasikan apa yang didapatkan, yaitu dari Alquran dan
Sunah. Dengan begitu, kebahagiaan hiduplah yang akan ia dapatkan. Orang yang
dalam perbuatan dan sikapnya sesuai dengan akidah keislaman, maka Allah akan
selalu memberikan mereka keberuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah
berfirman mengenai hal tersebut, “Mereka itulah orang yang mendapat petunjuk
dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Tafsir surat
Al-Baqarah:5). Di bawah naungan akidah Islam akan tercipta keamanan dan
kehidupan yang mulia. Hal itu karena akidah Islam berdiri di atas pondasi iman
kepada Allah dan kewajiban untuk mengkhususkan ibadah kepada Allah semata,
tanpa beribadah kepada yang lain. Tidak ada keraguan bahwa hal itu merupakan
faktor penyebab terciptanya keamanan, kebaikan, dan kebahagiaan di dunia dan
Akhirat. Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang
mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan
petunjuk.” (Tafsir surat Al-An‟am: 82). Maka dari itu, orang yang beriman
dengan sungguh akan mendapatkan rasa aman dunia dan di akhirat, sedangkan
orang-orang yang suka berbuat syirik dan maksiat adalah orang-orang yang selalu
diliputi ketakutan.
Selain rasa aman dan nyaman, seorang yang berakidah dengan benar akan
mengantarkannya kepada kemuliaan. Seseorang yang yakin bahwa Allah adalah
Tuhan Yang Maha Memberi Manfaat, Maha Mendatangkan bahaya, Maha
Memberi dan Maha Menahan, maka ia tidak akan was-was dan akan merasa mulia
dengan-Nya, sedangkan orang yang berlindung kepada selain Dia adalah orang
yang hina. Apabila seseorang menyadari bahwa apa yang ditakdirkan
mengenainya tidak akan meleset darinya dan apa yang tidak ditakdirkan tidak
akan menimpa dirinya, maka jiwanya akan tenang dan hatinya akan tenteram.
Seseorang yang berserah diri kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keamanan
dan rasa takut kepada makhluk akan hilang dari hatinya. Dengan demikian, ia
terbebas dari perbudakan sesama makhluk. Ia tidak menggantungkan hatinya
kepada seluruh makhluk dalam upaya mendatangkan keuntungan dan menolak
bahaya, melainkan hanya kepada Allah ia akan berlindung dan meminta
pertolongan.
Manfaat-manfaat di atas akan didapatkan oleh manusia dengan cara
meyakini keyakinan yang benar, yaitu yakin terhadap akidah Islam. Tidak hanya
itu, manusia harus meyakini sebenar-benarnya, dalam arti yakin dengan sangat
yakin terhadap akidah Islam. Dengan begitu, manusia akan mendapat semua
manfaat berakidah Islam, baik di dunia maupun di akhirat.
2) Manfaat Keimanan pada Kehidupan Sosial Pemeluknya
Selain bermanfaat pada pribadi seseorang, mengimani akidah juga
bermanfaat dalam kehidupan sosial. Masyarakat yang menganut akidah yang
benar, maka Allah akan memuliakannya dan barangsiapa meninggalkannya, maka
Allah akan menistakannya. Hal itu karena penyimpangan akidah akan berdampak
paling signifikan dalam merusak eksistensi umat, memecah-belah kesatuannya,
dan membuat musuh-musuh menguasai mereka. Umat yang melenceng dari
akidah yang benar dan menyimpang dari pedoman agamanya yang lurus, mereka
akan segera jatuh dari kejayaan dan akan mendekati kepada kehancuran dan
kebinasaan, seperti timbulnya kemalasan sesudah kerja keras, kehinaan sesudah
kejayaan, kebodohan sesudah pengetahuan, perpecahan sesudah persatuan, dan
pengangguran sesudah keaktifan.
Hal tersebut tidak sekadar teori saja, tetapi telah banyak terjadi dalam
kehidupan manusia di masa lampau. Ketika umat Islam menyimpang dari ajaran
agamanya, seperti di Andalusia, Irak, Iran, dan banyak di negar-negara Islam
lainnya. Musuh menguasai dan menistakan warganya Islam, mereka melakukan
serangan terhadap wilayah teritorial Islam sehingga mengakibatkan jatuhnya
korban jiwa yang hampir mendekati angka dua juta jiwa dan menyebabkan
runtuhnya singgasana khilafah Islamiyah. Hal tersebut menjadikan umat Islam
mundur ke belakang dari pentas peradaban akhir-akhir ini. Peristiwa-peristiwa
tersebut disebabkan sejumlah faktor, namun yang terutama dan terpenting adalah
adanya “penyimpangan akidah” oleh kaum Islam sendiri.
Umat Islam yang memiliki keyakinan terhadap akidah Islam yang benar
akan terlindungi dari tindakan serampangan, kekacauan, dan kehancuran. Hal
tersebut dikarenakan, akidah Islam memiliki prinsip yang jelas, tetap, dan tidak
berubah-ubah sehingga pemeluknya pun selamat dari tindakan mengikuti hawa
nafsu dan tindakan serampangan dalam segala aspek kehidupannya. Akidah yang
benar memberikan tolok ukur yang lengkap dan tidak pernah salah, pemeluknya
pun pasti selamat dari cerai-berai, permusuhan, dan kehancuran. Mereka
mengetahui siapa yang harus dijadikan sebagai teman dan siapa yang harus
diposisikan sebagai musuh. Mereka juga tahu apa yang menjadi hak dan
kewajiban masing-masing, maka akan timbul rasa tanggung jawab dalam diri
mereka.
Akidah memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap hal-hal sosial,
yaitu hubungan personal dengan personal, personal dengan kelompok, maupun
kelompok dengan kelompok. Alasannya karena manusia dikendalikan dan
diarahkan oleh akidah (ideologi) mereka. Penyimpangan dalam perilaku, akhlak,
dan mu‟amalah (hubungan antarmanusia) merupakan akibat dari penyimpangan
dalam akidah. Hal tersebut dikarenakan perilaku pada hakikatnya adalah buah dari
akidah yang diyakini oleh seseorang. Dalam Akidah Islam, manusia diperintahkan
untuk mengerjakan segala macam kebajikan dan melarang segala macam
keburukan. Apabila manusia meyakini akidah Islam, maka mereka akan
menjalankan apa yang mereka percaya sehingga mereka akan berbuat sesuatu
sesuai dengan akidah Islam tersebut. Apabila tiap individu melakukan hal
tersebut, maka tidak mustahil kekuatan umat Islam menjadi lebih kokoh dan tidak
mudah ditaklukkan musuh-musuhnya. Umat yang memeluk akidah Islam dengan
sungguh-sungguh akan mengorbankan apa saja untuk memperkokoh agamanya
dan memperkuat pilar-pilarnya. Mereka tidak mempedulikan hal yang menimpa
mereka dalam memperjuangkan hal tersebut. Mereka tidak akan gentar
menghadapi orang-orang yang suka menteror maupun orang-orang yang suka
melecehkan mereka.
Tanpa akidah Islam, manusia akan berubah menjadi masyarakat jahiliyah
yang marak dengan kekacauan, diliputi ketakutan dan kecemasan dalam berbagai
penjuru, dan manusia berubah menjadi liar dan buas. Dalam benak mereka adalah
memenangkan hawa nafsu mereka sehingga timbullah saling membunuh
antarmanusia, saling merampas, saling merusak, dan menghancurkan. Hal tersebut
pernah terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya akidah Islam. perbuatan
masyarakat melebihi perilaku hewan, seperti perang antarkabilah menjadi adat
tradisi, yang kuat yang menguasai. Adat istiadat lain adalah setiap anak
perempuan yang lahir akan dibunuh oleh ayahnya sendiri karena perempuan
dianggap makhluk yang lemah. Mereka juga bertaruh di setiap kesempatan,
berpesta dan berfoya-foya semau mereka. Perbuatan-perbuatan di atas
menunjukkan tidak adanya batasan bagi hawa nafsu manusia. Oleh karena itu,
akidah Islam hadir untuk mengabarkan tentang perilaku-perilaku yang baik dan
benar, terlebih dalam menahan hawa nafsu manusia.
Dengan akidah Islam, Allah telah mempersatukan hati yang bercerai-berai
dan kecenderungan yang bermacam-macam. Semua hal keburukan berubah
menjadi kebaikan ketika akidah Islam dimunculkan dijalankan oleh manusia.
Dapat disimpulkan bahwa akidah Islam dapat mengatasi segala problematika
umat Islam karena akidah tersebut datang dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala ciptaan-Nya.
b) Manfaat Mengimani Enam Elemen Rukun Iman
Berikut ini ini akan dipaparkan beberapa manfaat beriman kepada enam
elemen rukun iman terhadap kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai berikut.
1) Allah
Iman kepada Allah, bagaimana seorang manusia dapat mengimani adanya
Allah sebagai Tuhan? Dijawab secara sederhana bahwa manusia harus memiliki
keimanan dan kepercayaan kepada Allah karena Ia adalah Maha Pengasih, Maha
Penyayang, dan lain-lain. Maha dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (2013:855)
berarti, bentuk terikat; sangat, amat, teramat. Maha adalah sebuah kata yang
menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang lebih dari hal tersebut. Contoh
melihat, jika sifat yang dimiliki Tuhan hanya melihat, semua orang pun dapat
melihat, tidak hanya manusia, hewan pun dapat melihat dan mendengar. Tuhan
memiliki sifat maha karena tidak ada batasan dalam melihat oleh Tuhan, seperti
hal nya manusia yang memiliki batasan melihat dalam ruang dan waktu, tetapi
Allah dapat melihat secara keseluruhan.
Dengan percaya kepada Allah, seorang hamba akan menyadari betapa
kecilnya dia, betapa tidak mampunya manusia dalam menjalankan kehidupan ini.
Dengan begitu, semua aktivitas yang dikerjakannya adalah kuasa Allah. Mereka
menjadi makhluk yang tidak sombong dan selalu tawaduk. Mereka akan
menghargai semua ciptaan-Nya, termasuk menghargai pada manusia lain karena
mereka sadar bahwa tidak ada yang memiliki kekuasaan selain Allah Swt. Percaya
kepada Allah merupakan sebuah kewajiban bagi seorang hamba. Percaya kepada
Allah adalah hal yang paling utama sebelum percaya pada kelima elemen lainnya.
Iman pada intinya adalah tauhid, seperti dalam hadis berikut.
Almusayyab bin Hazn r.a. berkata: Ketika Abu Thalib akan mati
datanglah nabi saw. ke rumahnya dan mendapatkan di sana ada Abu
Jahal bin Hisyam, Abdullah bin Abi Umayyah bin Almughirah.
Maka nabi saw. berkata kepada Abu Thalib: Ya ammi (wahai
paman) katakanlah „Laa ilaaha illa `l-Laaha‟, kalimat yang akan
menjadikan aku sebagai saksi untukmu di sisi Allah. Lalu Abu Jahal
dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: Hai Abu Thalib apakah
kamu akan meninggalkan agama Abdul Muthalib? Kemudian nabi
saw. menawarkan kembali kepada Abu Thalib dan kedua orang itu
menyanggah kembali sehingga akhirnya Abu Thalib berkata: Bahwa
dia tetap pada agama Abdul Muthalib dan menolak kalimat „Laa
ilaaha illa `l-Laaha‟. Lalu nabi saw. bersabda: Demi Allah aku akan
tetap membacakan istighfar untukmu selama aku tidak dilarang
untuk itu. Maka kemudian Allah menurunkan ayat 113 surat At-
Taubah: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang
beriman untuk memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang
musyrik meskpun mereka kerabat yang dekat, sesudah nyata bahwa
mereka orang-orang ahli neraka Jahim (Hadis riwayat Bukhari
Muslim dalam Abdul Baqi:12).
Dari kutipan hadis di atas dapat diketahui bahwa pokok selamatnya
seseorang dari kedudukan kekafiran adalah dengan membaca laa ilaaha illa `l-
Laaha yang artinya tiada Tuhan selain Allah. Tauhid ialah adanya pengakuan
seorang hamba bahwa tiada Tuhan atau ilah selain Allah. Seorang yang beriman
diawali dengan percaya pada Tuhan. Apabila seorang telah percaya kepada-Nya
secara total, otomatis orang tersebut akan mengikuti dan mematuhi perintah-
perintah-Nya.
Masyfuk Zuhdi (1988:23) berpendapat bahwa iman kepada Allah akan
mendorong seseorang bertakwa kepada Allah, yaitu mematuhi segala perintah-
Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan begitu, manusia akan selamat
dalam kehidupan karena tujuan utama manusia adalah untuk menjadi orang-orang
yang bertawka (muttaquun). Iman kepada Allah dapat menjadikan manusia
tenteram dan damai karena timbul rasa bahwa segala sesuatu adalah atas kuasa
Allah sehingga dalam kehidupannya tidak akan ada rasa takut atau kultus kepada
makhluk-makhluk yang diciptakan Allah. Muslim Nurdin (1995:91)
menambahkan seseorang yang beriman kepada Allah akan diberikan kehidupan
yang sejahtera. Dengan beriman kepada Allah, seseorang akan dijaga Allah dari
segala kerusakan dan bencana, serta pahala yang tidak akan terkira dari Allah
karena keimanannya tersebut. Allah telah menjanjikan hal tersebut dalam Alquran
sebagai berikut.
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan (Tafsir surat An-Nahl:97).
Yuceu Ekajaya (2007:49) berpendapat bahwa seseorang yang mengenal
Allah sebagai Tuhan yang memiliki sifat kamal (sempurna), Tuhan Yang Maha
Esa, dan lain-lain akan menjadikan kehidupan seseorang istiqamah atau konsisten
(dalam kebaikan). Dalam teks dijelaskan sebagai berikut.
Inilah masalah jika ditanya orang akan kamu dan betapa percaya
engkau akan Allah. Maka jawab bahwasanya Allah Taala Esa zat-
Nya dan Esa Sifat-Nya, Yang Hidup, Yang Tahu, Yang Kuasa, Yang
Mendengar, Yang Melihat, Yang Berkehendak, Yang Berkata, Yang
Kekal, Yang Menjadikan, Tuhan dengan tiada sekutu dan tiada
timbangan dan tiada lawannya tiada seumpamanya suatu dan yaitu
Yang Amat Mendengar Yang Amat melihat (“MAI”:2).
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Allah memiliki sifat yang
sempurna, maka akan muncul kesadaran penuh bahwa kehidupan manusia di
dunia adalah dari Allah, kematiannya dari Allah, dan nantinya akan dikembalikan
kepada Allah. Dengan begitu, manusia yang beriman dan mengenal Allah selalu
berusaha melakukan hal-hal yang diridai-Nya karena tidak ada suatu hal pun yang
hakiki, selain Dia.
Iman kepada Allah menjadikan sifat stabil dan optimis. Manusia dengan
segala pernak-pernik kehidupannya akan menghadapi banyak permasalahan.
Dengan kesungguhan mengimani Allah, permasalahan tersebut tidak akan
menjadi beban bagi manusia karena mereka yakin bahwa segala sesuatu adalah
dari Allah. Oleh karena itu, mereka akan selalu optimis dalam semua urusan yang
didapatkannya karena keyakinan tersebut. Permasalahan-permasalahan yang
dihadapi terkadang menimbulkan perasaan-perasaan benci, bimbang, putus asa,
dan lain-lain. Seorang yang beriman akan sadar bahwa permasalahan-
permasalahan tersebut merupakan skenario Allah untuk menguji hamba-Nya.
Maka dari itu, kegagalan dari permasalahan-permasalahan yang didapatkan selalu
diterima dengan jalan ikhlas dan sabar. Kemudian mencoba kembali
menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa rasa putus karena yakin bahwa Allah
yang akan mengatur semua hasil yang telah dikerjakannya.
2) Malaikat
Secara rasional Tuhan menciptakan malaikat untuk menjalankan tugas-
tugas yang berkaitan dengan aktivitas manusia dari lahir sampai kembali kepada
Tuhan. Kemudian apakah Tuhan tidak berkuasa atau tidak berkompeten dalam
menjalankan tugas para malaikat? Hal tersebut adalah salah kaprah karena
sebenarnya penciptaan malaikat adalah sebuah pembelajaran kepada manusia
tentang sunnatullah, yaitu tentang proses sebab akibat yang harus dilakukan.
Meskipun Tuhan dapat melakukan semuanya tanpa bantuan siapa pun, tetapi
Tuhan mengajarkan manusia dan hambanya agar selalu berproses. Proses-proses
inilah yang harus ditangkap oleh seorang hamba, maka dengan begitu seorang
hamba akan lebih mantap dan total (tanpa ragu-ragu) bahwa Allah adalah Tuhan
yang Maha segalanya.
Penjelasan mengenai manfaat seseorang apabila mengimani malaikat
dalam teks “MAI”, yaitu sebagai berikut.
Bahwasanya malaikat itu berbahagi-berbahagi dan setengah mereka
itu menanggung ‟arsy dan setengah mereka itu mengelilingi ‟arsy
dan setengah mereka itu bangsa rohani dan setengah mereka itu
bangsa kurubiyyun dan setengah mereka itu bangsa safarah artinya
Jibrail dan Mikail dan Israfil dan Izrail alaihi salam dan setengah
mereka itu memelihara dan setengah mereka itu menulis dan lain
demikian itu sekalian mereka itu. Dijadikan mereka itu segala hamba
Allah tiada disifatkan mereka itu akan laki-laki dan tiada disifatkan
akan perempuan dan tiada mereka itu syahwat dan tiada nafsu dan
tiada bapak dan tiada ibu dan tiada mereka berbuat durhaka akan
Allah barang yang disuruh Allah akan mereka itu” dan berbuat
mereka itu barang yang disuruh Allah mereka itu” (“MAI”:3-4).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa malaikat dapat menjadi contoh
bagi manusia. Makhluk atau hamba Allah seharusnya selalu mengikuti apa yang
diperintahkan oleh penciptanya atau tuannya. Seorang pelayan atau bawahan saja,
akan takut apabila melanggar aturan yang dibuat oleh pemimpin mereka, apalagi
manusia sebagai seorang makhluk yang diciptakan Allah untuk mengatur bumi.
Tidak pantas bagi manusia untuk melanggar perintah-perintah Allah dan tidak
berbuat sesuai dengan perintah-Nya. Oleh karena manusia adalah makhluk
istimewa yang diciptakan Allah, mereka diberikan kebebasan dalam bertindak,
tetapi setiap perbuatan yang dilakukan akan mendapat balasan dari-Nya.
Allah menciptakan malaikat dengan sifat-sifat khusus, seperti tidak akan
menentang perintah Allah sedikit pun, selalu mematuhi perintah Allah, selalu
bertasbih mengagungkan Allah, dan lain-lain. Hal tersebut mengajarkan kepada
manusia bahwa manusia tidak berarti apa-apa dalam melaksanakan ibadah atau
penyembahan kepada Allah jika dibandingkan dengan amalan para malaikat.
Akan tetapi, Allah mengangkat derajat manusia dengan menyatakan bahwa
manusia adalah sebaik-baik makhluk yang diciptakan. Manusia memiliki akal,
hati, nafsu, dan kehendak untuk melakukan sebuah perbutan, berbeda dengan
malaikat yang tidak memiliki nafsu dan kehendak atas diri mereka. Apabila
manusia selalu konsekuen terhadap perbuatan yang baik, maka mereka akan
melebihi malaikat-malaikat Allah, Akan tetapi, jika manusia tidak dapat
mengendalikan hawa nafsunya, maka Allah akan menurunkan derajat mereka
melebihi setan. Masyfuk Zuhdi (1988:42) berpendapat bahwa seorang yang
mengimani malaikat-malaikat Allah akan timbul dalam hatinya rasa tentram,
nyaman, dan optimis karena yakin bahwa di sekelilingnya ada malaikat-malaikat
Allah yang selalu menjaganya. Orang yang beriman pada malaikat dengan
keyakinan yang sungguh-sungguh akan bersikap lebih hati-hati dalam melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah karena sadar setiap apa yang dilakukan
akan dicatat oleh malaikat, yaitu malaikat Rakib dan Atid.
Manfaat lain mengimani malaikat adalah akidah menjadi suci dari noda-
noda kesyirikan. Hal tersebut dikarenakan orang kafir menganggap bahwa
malaikat adalah anak-anak Allah sehingga mereka menyembah para malaikat
sebagaimana menyembah Allah. Orang yang beriman tidak akan menganggap
para malaikat sebagai Tuhan, tetapi mereka tetap percaya terhadap keberadaan
para malaikat tersebut. Para malaikat diciptakan Allah sebagai makhluk suci yang
diberikan beberapa tugas, seperti menyampaikan wahyu kepada para nabi dan
rasul, mengantarkan rezeki kepada manusia, menjaga manusia, mencatat amalan
manusia, dan lain-lain (Nurdin, 1995:91).
3) Kitab
Percaya kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul
merupakan suatu kewajiban. Kitab-kitab tersebut menjadi pengetahuan, ajaran,
syariat, kebaikan, sumber kebaikan dari Allah kepada manusia. Manusia umat
Nabi Muhammad tidak cukup meyakini Alquran sebagai kitab Allah, tetapi
mereka juga harus mempercayai kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi
sebelum Nabi Muhammad. Meskipun demikian, Alquran tetap menjadi sumber
ajaran utama dalam melaksanakan perintah-perintah Allah karena Alquran
memansuhkan semua ajaran dalam kitab-kitab sebelumnya.
Masyfuk Zuhdi (1988:61) berpendapat bahwa setiap muslim harus
mempercayai kitab-kitab sebelum Alquran. Mempercayai kitab-kitab yang telah
diturunkan Allah akan menjadikan manusia dapat mendidik umat Islam untuk
bertoleransi kepada pemeluk agama lain. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan
untuk memasuki Islam” (Tafsir surat Al-Baqarah:256). Dari kutipan ayat di atas
dapat diketahui bahwa Islam menjunjung tinggi kebebasan dalam beragama. Hal
tersebut berbeda dengan umat-umat lainnya yang hanya mengakui kitab mereka
masing-masing, seperti umat Yahudi yang hanya mengakui kitab Taurat dan
Zabur dan menolak kitab Injil dan Alquran. Demikian pula umat Nasrani hanya
menerima kitab Taurat, Zabur, dan Injil, tanpa menerima Alquran sebagai kitab
Allah.
Manusia dari zaman Nabi Muhammad sampai kiamat nanti adalah umat
Muhammad. Maka dari itu, kitab yang harus diamalkan adalah kitab dari Allah
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, tanpa
meragukan keberadaan kitab-kitab sebelumnya. Umat muslim hanya diwajibkan
untuk percaya tentang kitab-kitab sebelum Alquran, tetapi sebagai pedoman
hidup, mereka harus bersumber pada Alquran dan sunah-sunah Nabi Muhammad.
Seorang yang mengimani Alquran sebagai kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad untuk menjadi petunjuk manusia akan menghormati Alquran. Bentuk
penghormatan dapat dalam bentuk membaca Alquran secara konsisten, menghafal
Alquran, mengkaji Alquran, dan memperbanyak Alquran. Terdapat cara lain yang
harus dilakukan manusia untuk mengimani Alquran, yaitu tidak sekadar
membaca, menghafal, membuat, dan memahami maksudnya. Akan tetapi,
pengimplementasian Alquran dalam kehidupan sehari-hari.
Abdurrahman Wahid (2006:32) berpendapat bahwa manusia harus
mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran. Alquran adalah sebuah
ajaran yang harus dipahami sebagai penggambaran kehidupan yang lengkap.
Alquran adalah sebuah ajaran sebagai pembelajaran dalam masyarakat. Salah satu
contoh ayat dalam Alquran bahwa Islam (Alquran) merupakan ajaran
kemasyarakatan, yaitu sebagai berikut.
Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada rasul-Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (Tafsir surat Al-
Hasyr:7).
Dari ayat di atas menjadi bukti bahwa Islam lebih mementingkan fungsi
pertolongan kepada kaum miskin dan menderita kesusahan. Apabila Alquran
diimani dengan sungguh-sungguh dan diimplementasikan dalam kehidupan, maka
manusia akan lebih sejahtera dan segala keruwetan yang terjadi pada manusia
akan terhindarkan.
Dengan mengimani Alquran, manusia akan mendapatkan kenyamanan dan
kesejahteraan karena Alquran adalah kalamullah (firman Allah) sehingga manusia
yang menjalankan sesuai dengan Alquran akan selalu selamat dalam lindungan-
Nya. Yuceu Ekajaya (2007:49) berpendapat bahwa seorang yang megimani
Alquran akan mendapatkan keberuntungan karena Alquran adalah kitab pedoman
bagi seluruh manusia, seperti firman Allah, “Bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu” (Tafsir surat Al-Baqarah:185). Manusia yang mengiman
Alquran dan mengamalkannya akan selamat dan mendapat rida-Nya, seperti
firman Allah, “Dengan kitab itulah Allah menunjukkan orang-orang yang
mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan” (Tafsir surat Al-Maidah:15-16).
Alquran juga berfungsi sebagai pengingat bagi manusia karena manusia memiliki
sifat lupa dan salah. Alquran memberikan pelajaran dan pengajaran kepada
manusia sehingga orang yang percaya terhadap Alquran akan mendapat pelajaran
dari Alquran. Hal tesebut seperti yang difirmankan Allah, “Alquran ini adalah
penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa” (Tafsir surat Ali Imran:138).
Banyak manfaat-manfaat yang didapatkan apabila seorang mengimani
Alquran dengan keyakinan yang sungguh-sungguh. Hal tersebut dikarenakan
keyakinan yang sungguh-sungguh dapat menjadikan manusia selalu berpegang
teguh pada Alquran sebagai sumber ajaran untuk melakukan perbuatan di dunia.
Manfaat lain adalah dapat menjadikan manusia mendapatkan rahmat (kasih
sayang) Allah, seperti yang tertera dalam Alquran, “Dan Kami turunkan dari
Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang zalim kecuali
kerugian” (Tafsir surat Al-Isra`:82). Dengan begitu, apabila rahmat telah
didapatkan seorang hamba, otomatis surga adalah balasan yang nyata baginya.
4) Nabi dan Rasul
Para nabi dan rasul memerintahkan kepada manusia untuk menyembah-
Nya. Allah mengutus para rasul untuk mengajak manusia ke jalan kebenaran. Dari
hal tersebut dapat diketahui bahwa Allah tidak serta merta meminta manusia
menyembah kepadanya, tetapi Dia mengutus para rasul untuk mencontohkan dan
memberi gambaran mengenai segala sesuatu tentang diri Tuhan. Oleh karena itu,
manusia harus mengikuti petuah dan ajakan para rasul sebagai utusan yang
dikirim Allah. seperti halnya malaikat, Allah bisa saja memberikan langsung
hidayah dan petunjuk kepada hamba-Nya karena tidak ada yang tidak dapat Dia
kehendaki. Akan tetapi, dengan mengutus para rasul untuk mengajak manusia,
dapat diambil sebuah pelajaran bahwa Allah mengajarkan sebuah proses. Rasul
yang ditunjuk pun juga berasal dari golongan manusia, bukan dari malaikat atau
jin. Hal ini membuktikan bahwa manusia dapat secara mudah mengikuti perilaku
dan ajakan para rasul karena yang mengajak (nabi dan rasul) adalah golongan
manusia.
Rasul merupakan utusan Allah untuk mengajak manusia kepada jalan
kebenaran. Untuk mengajak dan meminta orang lain mengikuti dirinya rasul telah
diberikan beberapa akhlak yang baik sehingga manusia dapat percaya kepada
dirinya. Rasul juga telah mencontohkan perbuatan-perbuatan yang ia ajarkan
kepada manusia. Mereka tidak hanya menyuruh tanpa melakukannya terlebih
dahulu. Misal rasul meminta agar kaumnya salat, beriman kepada Allah, menjauhi
kemaksiatan, dan lain-lain. Maka mereka akan melakukannya terlebih dahulu
sehingga manusia tidak dapat lagi menyanggah bahwa rasul hanya berbicara saja
tanpa ada perbuatan. Dalam teks “MAI” disebutkan sebagai berikut.
Dan bermula sekalian nabi itu mereka itu lagi menyuruh mereka itu,
lagi mengkabarkan mereka itu, lagi mengajari mereka itu, lagi benar
mereka itu, lagi mungkar mereka itu, kepercayaan Allah Taala lagi
kepelihara mereka itu daripada dosa kecil dan dosa besar. Dan
bermula kasih mereka itu jadi syarat iman dan benci mereka itu
daripada awal dan akhir jadi kafir (“MAI”:7-8).
Nabi dan rasul merupakan orang-orang pilihan. Mereka bertugas
menyampaikan ayat-ayat Allah kepada manusia. Oleh karena itu, nabi dan rasul
diberikan sifat yang istimewa daripada manusia lainnya, yaitu tabligh
(penyampai), amanah, fathanah (cerdas), sidiq (dipercaya), dan ma‟shum
(terhindar dari dosa). Dalam kehidupan bersosial seseorang yang akan menyuruh
atau meminta kepada orang lain untuk mengikuti dirinya, maka ia harus
melakukan hal tersebut terlebih dahulu. Dalam suatu permisalan seorang petinggi
menyuruh kepada rakyatnya untuk menjaga kebersihan, tetapi dia sendiri tampak
kotor dan kumal, maka tidak ada seorang pun yang akan mengikuti ajakan
petinggi tersebut. Rasul diberikan akidah yang baik sehingga manusia yang
diajaknya akan tersentuh hatinya. para nabi tidak memaksa dan tidak
memunculkan sifat-sifat tercela. Dengan begitu kaum yang diajaknya akan
nyaman dan tidak berontak, meskipun dalam beberapa kisah para nabi dan rasul
banyak dimusuhi oleh kaumnya sendiri, tetapi tidak menjadikan nabi dan rasul
berbuat aniaya kepada kaumnya karena akan menjadikan mereka semakin
menjauh.
Dari hal itu dapat diambil sebuah pelajaran bahwa seorang manusia yang
percaya akan nabi dan rasul akan mempraktekkan semua akhlak dan perbuatannya
sehingga dalam kehidupan sehari-hari hamba tersebut akan mendapat
keistimewaan. Abdurrahman Wahid (2006:72) berpendapat untuk merubah moral
masyarakat agar sesuai dengan ajaran-ajaran islam harus dilakukan dengan sabar.
Pemberian contoh yang baik sebagai wahana utama dalam pembentukan moralitas
yang berlaku di tengah masyarakat. Hal ini yang sering dilupakan oleh umat
muslim dan para tokoh Islam. Manfaat mengikuti cara rasul dan para nabi adalah
mencontohkan perbuatan terlebih dahulu sebelum memerintahkan kepada
umatnya. Maka dengan begitu, umat akan secara lapang mengikuti apa yang
diperintahkan.
Yuceu Ekajaya (2007:70) berpendapat seorang yang mengimani adanya
nabi dan rasul akan selalu membenarkan hal-hal yang mereka kabarkan. Nabi dan
rasul adalah utusan Allah sehingga apa-apa yang dikabarkan dari mereka kepada
umatnya merupakan kabar dari Allah. Seorang yang mempercayai adanya para
rasul dan nabi, serta mematuhinya bukan berarti tindakan tersebut sebagai
tindakan menuhankan mereka, tetapi hal tersebut merupakan manifestasi manusia
dalam mengimani Allah. Hal tersebut tertera dalam Alquran, “Barang siapa yang
menaati rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Barang siapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka” (Tafsir surat An-Nisa`:80). Manusia yang mengimani
dengan sungguh-sungguh akan menjadikan nabi dan rasul sebagai teladan dalam
kehidupannya. Nabi dan rasul memiliki akhlak yang baik dan terjaga dari
perbuatan-perbuatan kejahatan sudah sepantasnya bagi mereka menjadi panutan
dan teladan bagi umat manusia. Allah berfirman dalam Alquran, “Sesungguhnya
telah ada pada Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah” (Tafsir surat Al-Ahzab:21). Keteladanan yang
dicontohkan para nabi dan rasul tidak hanya meliputi aspek hubungan manusia
dengan Tuhan saja, tetapi meliputi aspek hubungan manusia dengan manusia
lainnya. Dari hal itu, dapat diketahui seorang yang mengikuti dan mengimani nabi
dan rasul akan memiliki akhlak mulia, sebagaimana mereka mencontohkan
kepada umat manusia untuk berakhlak baik.
Masyfuk Zuhdi (1988:82) berpendapat seseorang yang meyakini nabi dan
rasul akan lebih menyadari bahwa mereka memiliki misi yang sama, yaitu
mengajak manusia untuk beriman kepada Allah semata dan mencari rida-Nya.
Nabi Muhammad menjadi nabi penutup dari semua nabi dan ajaran yang
disampaikan merupakan ajaran untuk menyempurnakan ajaran-ajaran
sebelumnya. Orang yang mengimani adanya nabi dan rasul akan menggunakan
ajaran Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir untuk menjalankan kehidupannya
di dunia sehingga semua perbuatannya adalah ajaran-ajaran dari Allah karena nabi
hanyalah penyampai kepada umat manusia. Mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya
merupakan jalan menemukan rida Allah Swt.
5) Hari Akhir
Manusia diperintahkan untuk mengimani hal yang belum terjadi, seperti
hari kiamat. Hari kiamat adalah hari pembalasan bagi manusia atas perbuatannya
di dunia. Semua perbuatan yang pernah dilakukan tidak akan luput dari
pengawasan Tuhan dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dari hal
tersebut, seseorang yang meyakini adanya hari kiamat dengan sungguh-sungguh
akan selalu bertindak waspada dan berhati-hati atas perbuatan yang akan
dilakukan. Mereka akan memikirkan ulang setiap perbuatan yang akan dikerjakan.
Hal tersebut dikarenakan mereka mengetahui bahwa ada pertanggungjawaban,
seperti yang tertera dalam teks “MAI” sebagai berikut.
Bahwasanya Allah Taala mematikan segala makhluk sekalian
melainkan barang yang ada dalam surga dan neraka, kemudian
menghidupkan Allah akan mereka itu dan dihimpunkan mereka itu
dan dikira-kira mereka itu dan dihakimkan antara mereka itu dengan
adil. Maka barang siapa ada daripada segala malaikat dan jin dan
manusia, maka bahwasanya mereka itu binasa mereka itu, maka
barang siapa ada daripada mereka itu fasik maka tiada kekal ia.
Artinya tiada kekal segala orang mukmin di dalam neraka kemudian
daripada dikira-kira dan adapun orang mukmin itu di dalam surga
kekal mereka itu dan tiada binasa surga dan tiada binasa isi keduanya
(“MAI”:10-11).
Masyfuk Zuhdi (1988:98) berpendapat bahwa seorang yang mengimani
adanya hari akhir akan berdampak positif pada kehidupannya, yaitu senantiasa
menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah dan menjauhi semua larangan Allah
karena tahu kehidupan di dunia hanya sementara, sedangkan kehidupan akhirat
kekal selamanya. Oleh karena itu, ia akan mempergunakan kesempatan hidup di
dunia dengan berbuat kebaikan agar esok di hari yang kekal akan mendapat
balasan kenikmatan.
Orang yang beriman kepada hari akhir dengan sungguh tidak akan meniru
pola hidup orang kafir yang menganggap kehidupan hanya sekali saja dan tidak
akan ada kehidupan setelah kematian. Orang yang mengasumsikan bahwa tidak
ada kehidupan setelah kematian di dunia akan bertindak sesuka hatinya dan sesuai
keinginan hawa nafsunya karena mereka tidak mengetahui sebenarnya kelak
perbuatan mereka di dunia akan dipertanggungjawabkan. Apabila seseorang telah
bertindak sesuka hati dan hanya mengikuti hawa nafsunya, pasti hidupnya tidak
akan beraturan. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik dengan manusia lain
karena mereka tidak khawatir terhadap perbuatan yang mereka kerjakan sehingga
perbuatannya cenderung bebas dan bar-bar. Akibatnya banyak manusia di
sekitarnya dengan perbuatan tersebut. Dari hal itu dapat diketahui bahwa seorang
yang tidak percaya akan hari kiamat cenderung memiliki akhlak yang tidak
terpuji, sebaliknya bagi mereka yang meyakini adanya hari akhir akhlak yang
akan muncul adalah akhlak yang terpuji karena selalu berhati-hati atas apa yang
dikerjakan.
Orang yang beriman kepada hari akhir akan selalu berbuat baik dan benar
dalam hidupnya. Allah berfirman dalam Alquran, “Dan takutlah kamu kepada
suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikit
pun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi
manfaat sesuatu syafaat kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong”
(Tafsir surat Al-Baqarah: 123). Bukan hanya harus melakukan perbuatan baik dan
benar, perkataan pun harus baik dan benar, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berhata benar
atau diam." (Tafsir hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Seseorang yang beriman kepada hari akhir akan selalu berinfak di jalan
Allah dengan tidak kikir karena ia tahu akibat kekikiran terhadap hartanya
tersebut. Ia juga tahu pahala yang berlipat ganda yang diterimanya bila ia berinfak
di jalan Allah Swt. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah sebagai berikut.
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah
buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-
lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan (Tafsir surat Ali Imran:180).
Pada ayat lain diceritakan mengenai seorang yang menafkahkan atau
berinfak di jalan Allah akan mendapatkan suatu keuntungan yang tidak terkira.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah sebagai berikut.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya
itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati (Tafsir surat Al-Baqarah:261-262).
Apabila keimanan kepada hari akhir telah tertanam dalam hati seseorang,
maka orang itu akan selalu sabar dalam kebaikan dan dalam keadaan apapun.
Meskipun musibah menimpa dirinya, ia akan tetap sabar bahkan meningkatkan
kesabarannya. Hal tersebut dikarenakan ia sadar bahwa dunia ini hanya
sementara, semua akan mati. Penderitaan di dunia hanyalah sementara, sedangkan
siksa di hari akhirat adalah beribu kali lipat dengan siksa di dunia. Oleh karena
itu, setiap ia mendapatkan kesusahan, ia akan selalu bersyukur karena mengingat
kesusahan yang terjadi di akhirat bagi orang-orang yang celaka.
6) Takdir Baik dan Buruk
Elemen terakhir dalam rukun iman adalah percaya terhadap takdir baik dan
buruk dari Allah Swt. Seperti yang telah diterangkan di atas bahwa manusia tidak
dapat mengetahui apa yang didapatkan di hari esok. Hal itu membuktikan bahwa
semua urusan manusia telah diatur Allah dari mulai dalam kandungan sampai
esok di alam barzah. Manusia tidak dapat menciptakan takdir bagi mereka sendiri.
Manusia yang percaya akan takdir baik dan buruk dari Allah akan selalu
husnudlan (berbaik sangka) kepada Allah tentang kehidupan yang ia jalankan.
Manusia akan selalu bertawakal, yaitu menyerahkan semua urusan kepada Allah
setelah mereka berusaha. Teks “MAI” telah menjelaskan perihal takdir baik dan
buruk, “Allah Taala itu menjadikan makhluk dan ditunjuk Allah akan mereka itu
kepada pertunjuk dan menyuruh ia dan mungkar ia dan menjadikan Ia lawhha`l-
mahfudl dan qalam dan menyuruh Ia akan keduanya bahwasanya menulis
keduanya akan amal segala hambanya” (“MAI”:12).
Hal tersebut membuktikan bahwa manusia hanya dapat berusaha dengan
sebaik-baiknya, tetapi hasil adalah urusan Allah Swt. Manusia adalah makhluk
lemah dan memberikan pelajaran bahwa semua kebaikan dan kesuksesan yang
didapatkan bukan dari dirinya, tetapi dari Allah Swt. Begitu juga sebaliknya,
apabila manusia dirundung suatu permasalahan, mereka akan sabar dan ikhlas
dalam menjalani masalah tersebut karena menyadari bahwa semuanya telah
ditentukan Allah.
Masyfuk Zuhdi (1988:105) berpendapat mengimani takdir baik dan buruk
dari Allah dapat mendorong seseorang untuk bersikap berani dalam menegakkan
keadilan dan kebenaran karena semua akibat yang akan diperoleh datangnya dari
Allah Swt, baik berupa ajal, rezeki, maupun nasib yang akan menimpanya.
Seseorang yang menyakini adanya takdir baik dan buruk akan mendapatkan
kenyamanan hati dan fikiran karena sadar semua adalah dari Allah. Ia akan
senantiasa berusaha dan berjuang dalam hal kebaikan karena yakin Allah akan
membalas perbuatannya. Beriman kepada takdir akan mengantarkan manusia
kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala
sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa manusia kecuali telah Allah
tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila manusia telah faham
dengan hikmah penciptaan ini, maka mereka akan mengetahui dengan keyakinan
yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan mereka tidak lain
merupakan ketentuan sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup
mereka, mereka akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian
pula ketika manusia mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, mereka tidak
akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah dan tidak berbuat kesombongan sedikit
pun.
Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan
kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Tuhannya. Golongan Ahlu `s-
Sunnah wa `l-Jamaa‟ah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah
ditentukan, ditetapkan, dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala
usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah. Tidak
setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaklah
manusia menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah
tentukan. Manusia yang beriman kepada takdir Allah tidak akan menyalahkan
Allah, bahkan mereka tidak akan berani berandai-andai seperti mengatakan,
“Seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.” Dalam
hatinya akan selalu terpikirkan bahwa, “Allah telah mentakdirkan segalanya dan
apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya.” Hal tersebut dikarenakan kata
„seandainya‟ adalah kata yang mengawali perbuatan setan. Tidak ada seorang pun
yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya.
Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-
Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang
telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya.
Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan
usaha apa pun karena hal ini akan bertentangan dengan sunnatullah. Oleh karena
itu usaha merupakan suatu kewajiban bagi manusia yang diakhiri dengan sikap
tawakal kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Dan
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (Tafsir surat Al-Anfaal: 61). Pada ayat lain juga disebutkan,
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi
(keperluan)nya” (Tafsir surat Ath-Thalaq: 3). Manusia yang telah yakin dengan
setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan. Tidak akan
ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri mereka sehingga
akan timbul semangat dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir
mengenai apa yang akan terjadi kemudian karena mereka senantiasa
menggenggam tawakal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan.
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap teks “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam”
(“MAI”) dapat diambil simpulan sebagai berikut.
1. Suntingan teks “Masaaila ‟Aqiidatu `l-Islam” (“MAI”) menggunakan metode
standar yang merupakan metode yang digunakan untuk naskah tunggal.
Kesalahan-kesalahan yang ditemukan peneliti diberikan kritik terhadapnya dan
diberikan alasan mengenai perbaikan tersebut. Dalam teks “MAI” ditemukan 6
adisi, 15 lakuna, 8 substitusi, 5 ditografi, 1 transposisi, dan 2
ketidakkonsistenan. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan peneliti tersebut
berdasarkan kaidah-kaidah filologis. Oleh karena teks “MAI” berbahasa Arab
dengan terjemahan dalam bahasa Melayu, maka peneliti menyediakan tiga
macam suntingan, yaitu suntingan lengkap, suntingan dalam bahasa Arab, dan
suntingan dalam bahasa Melayu.
2. Struktur teks “MAI” merupakan bentuk struktur sastra kitab. Struktur sastra
kitab terdiri dari empat hal, yaitu struktur penyajian teks, gaya penyajian, pusat
penyajian, dan gaya bahasa.
a. Sastra kitab pada dasarnya memiliki struktur yang tetap. Struktur
penyajian sastra kitab terdiri dari tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi, dan
penutup.
b. Gaya penyajian teks, yaitu teks “MAI” merupakan teks yang ditulis dalam
bahasa Arab dan disertai dengan tafsir dalam bahasa Melayu berbentuk
jenggot atau gantung. Tulisan Arab berbahasa Arab ditulis di atas
kemudian bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu sebagai tafsir
ditulis di bawah tulisan Arab. Bentuk tulisan atau kalimat bahasa Arab
ditulis lurus dari kanan ke kiri, tetapi tafsir dalam bahasa Melayu
berbentuk miring tepat di bawah tulisan berbahasa Arab dari atas ke
bawah. Bentuk isi teks “MAI” ialah tanya jawab, ditunjukkan dengan
adanya kata tanya tiap memulai sebuah pembahasan. Awal kalimat tanya
dalam teks “MAI” diawali dengan kata Mas`alatun idzaa yang berarti
“inilah masalah jika” yang berwarna merah. Kalimat tanya di akhiri
dengan pernyataan fal jawabu sekaligus berfungsi sebagai permulaan
jawaban.
c. Pusat penyajian teks berkenaan dengan penyalin naskah “MAI” seperti
yang tertera dalam metadata adalah Duljabar dan sebagai pengarang yang
dituliskan buah pikirnya oleh penyalin adalah Abu Laits As-Samarqandi.
Pembedaan tersebut dilakukan agar pembaca tidak mendapatkan informasi
yang tumpang tindih berkaitan dengan pengarang naskah “MAI” sehingga
isi yang terkandung dalam teks pun dapat dipahami secara komprehensif.
Dalam “MAI” penyalin naskah memulai menuliskan pendahuluan, yaitu
berupa bacaan basmalah, hamdalah, dan salawat atas nabi. Kemudian
dilanjutkan dengan pernyataan penyalin bahwa kitab “MAI” adalah buah
pikir dari Abu Laits As-Samarqandi. Secara umum pusat penyajian teks
“MAI” menggunakan penyajian orang ketiga. Akan tetapi, terdapat
konteks baru setelah penyalin menulis “Kata syekh imam yang besar yang
pertapah Abu Laits namanya Muhammad anak Abi Nasr anak Ibrahim
yang bangsa Samarqandi yang diberi rahmat Allah atasnya” yaitu
pembaca seakan membaca karangan pengarang sendiri, tidak melalui
penyalin lagi. Hal tersebut yang didefiniskan pembaca masuk ke dalam
dunia pengarang melalui penyalin. Adanya dua konteks yang berbeda juga
dapat dilihat bahwa pada konteks pertama, yaitu pada pembukaan,
penyalin hanya bercerita dengan model narasi, tetapi pada konteks kedua
pusat penyajian menjadi milik pengarang dengan model percakapan.
Secara khusus pusat penyajian teks “MAI” menggunakan orang pertama.
Meskipun tidak tertera kata ganti orang pertama dalam konteks ini, tetapi
hadir orang kedua sebagai pasangan dari orang pertama dalam percakapan.
Kata ganti orang kedua dalam teks “MAI” adalah kamu dan engkau.
Percakapan yang dimaksud dalam teks bukan berarti terdapat proses saling
bertukar pikiran antara orang pertama dan kedua, tetapi seperti yang
dijelaskan di atas, pembaca layaknya masuk ke dalam dunia pengarang
sehingga pembaca merasa sedang bercakap dengan pengarang.
d. Gaya bahasa sastra kitab bersifat khusus, terlihat dalam kosa kata, istilah,
dan kalimat, yang mempergunakan istilah-istilah Islam dan bahasa Arab.
Istilah yang digunakan dalam teks “MAI” sesuai dengan bahasannya, yaitu
tentang akidah. Sastra kitab berisi tentang hal-hal yang rasional‚ maka
bahasa yang digunakan bercirikan bahasa ilmiah‚ yaitu objektif‚ denotatif‚
dan rasional. Diksi yang digunakan tidak menyebabkan adanya
keambiguan‚ seperti karya sastra pada umumnya. Gaya bahasa dalam teks
“MAI” berkaitan dengan kosa kata, peristilahan, sintaksis atau tata
kalimat, dan sarana retorika.
3. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi untuk mengungkapkan pesan-
pesan yang terkandung dalam teks “MAI”. Analisis isi pada penelitian ini
terbagi menjadi tiga proses, yaitu pengelompokan atau pengkodean, deskripsi
tiap-tiap kode, dan pengambilan pesan serta manfaat adanya teks “MAI”. Teks
“MAI” dikodekan menjadi dua permasalahan, yaitu pertama mengenai definisi
dan pertanyaan-pertanyaan mengenai keimanan dan kedua mengenai enam
elemen rukun iman. Tiap-tiap permasalahan dideskripsikan dan dijelaskan
secara runtut sehingga dapat diketahui mengenai pesan dalam teks secara
sekilas. Setelah itu, dilakukan proses pengambilan pesan dan manfaat adanya
pesan tersebut, baik tiap-tiap kode maupun secara keseluruhan. Teks “MAI”
mengandung ajaran akidah Islam dan sesuai dengan iktikad kaum Ahlu `s-
Sunnah wa `l-Jamaa‟ah. Permasalahan dalam teks meliputi pengertian iman
dan permasalahan-permasalahan terkait keimanan. Kemudian dilanjutkan
dengan pembahasan mengenai enam elemen. Dengan mempelajari dan
memahami akidah Islam dengan baik dan benar sesuai dengan akal atau
rasional dan dengan sikap ilmiah, maka diharapkan seorang muslim tidak dapat
dikelabuhi doktrin-doktrin yang menyesatkan. Diharapkan pula umat di luar
akidah Islam dapat memahami akidah-akidah Islam dengan lebih baik dan
mendalam karena telah dikaji secara ilmiah, tidak hanya sekadar bersifat
irrasional. Sebuah contoh bahwa akidah Islam dan ajarannya dapat menjadikan
suatu keburukan menjadi sebuah kebaikan, yaitu sebelum kedatangan Islam di
Arab. Budaya Arab sebelum datangnya Islam, seperti banyak peperangan,
pembunuhan pada anak wanitanya sendiri, perjudian dan lain-lain, merupakan
hal yang wajar. Hadirnya Islam yang dibawa rasul Muhammad menjadikan
budaya-budaya tersebut hilang dan digantikan dengan budaya-budaya yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam sehingga Timur Tengah (Arab Saudi: kota
Makkah dan Madinah) menjadi pusat Islam sampai sekarang. Permasalahan
Islam sekarang, seperti banyak peperangan di negara Islam menandakan
adanya penyelewengan dalam akidah dan ajaran Islam sehingga perlu adanya
pelurusan akidah Islam dan ajaran-ajarannya sesuai dengan Alquran dan hadis
nabi saw. Teks ini menjadi sangat penting karena berisi mengenai akidah yang
notabene merupakan suatu hal yang fundamental dalam menjalankan syariat
keagamaan. Adanya teks ini dapat membantu pembaca memperkenalkan dan
mempelajari akidah Islam secara lebih dalam dengan lebih mudah karena
didasari dengan sikap keilmiahan, kerasionalan, dan bersifat dialektis.
B. Saran
Penelitian terhadap teks “MAI” ini merupakan tahapan awal dalam
penelitian filologi. Peneliti menyadari adanya kekurangan dalam mengkaji teks
“MAI”, baik dari suntingan maupun pengkajian isi. Oleh karena itu, peneliti
berharap adanya saran dan kritik dari pembaca maupun peneliti lain. Diharapkan
penelitian ini menjadi sebuah pengenalan atas naskah-naskah klasik dan
pengetahuan baru bagi pembaca sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal
ini merupakan usaha peneliti untuk tetap melestarikan warisan budaya leluhur
nenek moyang, yaitu berupa naskah klasik.
Peneliti berharap penelitian terhadap teks “MAI” ini dapat mendorong bagi
pembaca dan peneliti-peneliti lain untuk mempelajari naskah-naskah warisan
leluhur yang kaya akan pengetahuan. Selain itu, peneliti berharap agar penelitian
terhadap teks “MAI” ini dapat dijadikan pertimbangan oleh peneliti lain untuk
mengkaji teks “MAI” lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas‚ Sirajuddin. 1994. I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah.
Abdul-Baqi, Muhammad Fuad. 2003. Al-Lu‟lu, Wal Marjan (edisi 1). Surabaya:
PT Bina Ilmu.
Abdul-Baqi, Muhammad Fuad. 2003. Al-Lu‟lu, Wal Marjan (edisi 2). Surabaya:
PT Bina Ilmu.
Abu-Daud, Anas Ismail. 2005. Ensiklopedi Dakwah: Daliilu As-Saailiin. Malang:
Al-Qayyim.
Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung
Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Al-‟Asy‟ari, Abul Hasan. 1993. Pokok-Pokok Ajaran Dien. Jakarta: Gema Insani
Press.
Amir Sutarga, M. et.al. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat
Dep. P&K. Jakarta: Team Pelaksana Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Nasional Bidang Permuseuman Direktorat
Jendral Kebudayaan.
Badudu, J.S. 1983. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Bakar-Al-Jazairi, Abu dan Sahid HM (Penerjemah). 2001. Pemurnian Akidah.
Jakarta: Pustaka Amani.
Baried, Siti Baroroh dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan.
Behrend, T.E dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid 3-A Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia Ecole Francaise D‟Extreme Orient.
Behrend, T.E dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid 3-B Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia Ecole Francaise D‟Extreme Orient.
Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 Museum
Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan Anggota IKAPI.
Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 4
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia Ecole Francaise D‟Extreme Orient.
Dasuki, Hafizh dkk. 1993. Ensiklopedi Islam 1: Aba-Far. Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve.
Dasuki, Sholeh. 1996. “Metode Penyuntingan Teks dalam Filologi” (Haluan
Sastra Budaya No. 27 Th. XV Maret 1996 ISSN 0852-0933). Solo:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Sebelas Maret.
Dhafir, Zamakhsyari. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan:
Sumbangan Visi Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta:
Kanisius
Djamaris, Edwar. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Manasco.
Ekajaya, Yuceu. 2007. Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi. Surakarta: Nurul Huda
Press.
Herdiansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial (Ed III). Jakarta: Salemba Humanika.
Howard, Joseph. 1966. Malay Manuscripts: a bibliographical guide. Kuala
Lumpur: Univesity of Malaya Library.
http://ad-dloifyal-malikie.blogspot.com/p/cahaya-iman.html diunduh pada 12 Mei
2016 23.09 wib.
http://britishlibrary.typepad.co.uk/asian-and-african/2016/01/from-samarkand-to-
batavia-a-popular-islamic-catechism-in-malay.html diunduh pada 8 Juni
2016 pukul 10.30 wib.
http://download1408.mediafire.com/pjlcdmgncahg/o2zzzlgjjrj/Keistimewaan+Aqi
dah+Islam.chm diunduh pada 12 Mei 2016 pukul 23.45 wib.
http://jeromeonline.co.uk/drawings/index.cfm?display_scheme=532 diunduh pada
8 Juni 2016 pukul 12.05 wib.
http://jurnallektur.kemenag.go.id/index.php/lektur/article/view/51/167 pada 21
Oktober 2015 pukul 20.33 wib.
http://m.pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/hikmah/allsub/1230/hikmah-
beriman-kepada-hari-akhir.html diunduh pada 3 Juni 2016 pukul 00.45
wib.
http://prpm.dbp.gov.my/ pada 23 Februari 2015 pukul 11.35 wib.
http://quran-nusantara.blogspot.co.uk/2014/11/cap-kertas.html#more diunduh
pada 8 Juni 2016 pukul 11.25 wib.
http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=IO_Islamic_2906 pada 21-25
Mei 2015 pukul 09.00 wib.
https//:nahwusharaf.wordpress.com diunduh pada 3 Juni 2016 pukul 00.30 wib.
https://bambangbelajar.wordpress.com/2014/02/25/terjemah-kitab-qotrul-ghoits-
cahaya-iman-syaikh-an-nawawi-al-jawwi/ diunduh pada 14 April 2016
pukul 12.30 wib.
https://muslimah.or.id/756-iman-kepada-takdir-baik-dan-takdir-buruk.html
diunduh pada 19 Juni 2016 pukul 22.15 wib.
Ikram, Achdiati, Tjiptaningrum F. Hassan, Dewaki Kramadibrat. 2011. Katalog
Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Manassa (Masyarakat
Pernaskahan Nusantara) The Toyota Foundation dan Yayasan Obor
Indonesia.
Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kripendorff, Klauss, Wajdi, Farid (Penerjemah). 1991. Analisis isi, Pengantar
Teori dan Metodologi, Content Analysis Introduction to Theory and
Metdhology. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai‟Esai Agama, Budaya, dan
Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan
Lubis, Nabilah. 1996. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta:
Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif
Hidayatullah.
Mu‟min, Saiful. 2011. “Pembelajaran Tauhid dalam Kitab Bayan „Aqidah Al-
Usul Karya Abu Laits As-Samarqandi”. Terbitan Jurnal Pendidikan Islam
El-Hayah Volume I No.2 Desember 2011. Surakarta: Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Surakarta.
Mukhlis, Siti Maryam R. Salahuddin. 2007. Katalog Naskah Bima Koleksi
Museum Kebudayaan Samparaja. Bima: Museum Kebudayaan Samparaja
Bima.
Mulyadi, S.W.R. dan Maryam R. Salahuddin. 1992. Katalogus Naskah Melayu
Bima II. Bima: Yayasan Museum Kebudayaan “Samparaja” Bima.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap (Edisi Lux). Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah
Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir.
Naquib-Al-Attas, Syed Muhammad. 1990. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu. Bandung: Mizan.
Nurdin, Muslim dkk. 1995. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV Alfabeta.
Nurhayati. 2013. “Luqthata `l-„Ajlani Fi Bayani Haidlin wa Istihadlatin wa Nifasi
`n-Niswan: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Isi Berdasarkan Fikih
Wanita Mazhab Syafi‟i.” Skripsi. Surakarta: Jurusan Sastra Indonesia.
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
Ophuijsen, Ch. A., van. 1983. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shobron, Sudarno. 2006. Studi Islam 1. Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-
Ilmu Dasar (LPID) Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sudardi, Bani. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: Badan Penerbit Sastra
Indonesia.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu: Kumpulan Karangan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Sudrajat, Ajat dkk. 2008. Din Al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum. Yogyakarta: UNY Press.
Sugono, Dendy. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi
Keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Susilo, Pipit Niken. 2014. “Kitab Hifzhu `l-Iman: Suntingan Teks, Analisis
Struktur, dan Analisis Isi Berdasarkan Ajaran Teologi Islam.” Skripsi.
Surakarta: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.
Taufiq, Ahmad. 2007. Sastra Kitab. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Voorhoeve, P in co-operation with T. Iskandar translated and edited by M. Durie.
1994. Biblitheca Universitatis Leidensis Codices Manuscripti XXIV:
Catalouge of Acehnese Manuscripts In The Library of Leiden University
and Other Collections Outside Aceh. Leiden University Library (Legatum
Warnerianum) in co-operation with Indonesian Linguistics Development
Project (ILDEP).
Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid
Institute.
Walizer, Michael H. dan Paul L. Wienir. 1991. Metode Analisis Penelitian
Mencari Hubungan (Jilid II). Jakarta: Erlangga.
Yanuar Rulis, Muhammad. 2009. “‟Aqidatun Fii Maa Laa Budda Li `l-Mukallafin
Suntingan Teks, Analisis Struktur Teks, dan Tinjauan Ajaran Tauhid”
Skripsi. Surakarta: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.
Zuhdi‚ Masjfuk. 1988. Studi Islam Jilid 1: Akidah. Jakarta Utara: CV Rajawali.