Post on 29-Dec-2020
22
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan dalam bab hasil
penelitian dan pembahasan ini dengan uraian sesuai dengan fokus kajian yang meliputi
potensi bencana, pendidikan kebencanaan, modal sosial dalam mitigasi bencana, dan
kebutuhan pendidikan sadar bencana berbasis modal sosial di dua kasus atau lokasi
penelitian. Deskripsi lengkap masing-masing aspek disajikan berikut:
1. Kasus Desa Girikerto
a) Deskripsi Desa Girikerto, Kec. Turi
Girikerto adalah sebuah desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Pada awalnya Desa Girikerto merupakan
wilayah yang terdiri dari empat kelurahan yakni Kelurahan Tanggung, Ngandong,
Nangsri Lor dan Kemirikebo. Berdasarkan maklumat Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta yang diterbitkan tahun 1946 mengenai Pemerintahan Kelurahan maka
kelurahan-kelurahan tersebut kemudian digabung menjadi satu desa otonom dengan
nama Desa Girikerto. Desa Girikerto kemudian secara resmi ditetapkan berdasarkan
Maklumat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1948 tentang
Perubahan Daerah-Daerah Kelurahan.
Desa Girikerto berada di lereng gunung Merapi. Desa ini berjarak sekitar 12 km
terhadap puncak Merapi dan wilayahnya termasuk zona bahaya bencana erupsi Merapi.
Desa Girikerto memiliki luas wilayah sekitar 13.07 km2 dengan jumlah penduduk
7.712 jiwa yang terbagi ke dalam 13 padukuhan. Desa Girikerto mempunyai batas
daerah sebelah utara dalah Gunung Merapi, sebelah timur Desa Purwobinangun Kec.
Pakem sebelah selatan desa Donokerto dan sebelah barat Desa Wonokerto. Dilihat dari
potensi ekonominya, wilayah Desa Girikerto merupakan wilayah agraris yang subur
sehingga hampir semua penduduk memiliki aktivitas mengelola sawah dan berkebun.
Dalam aktivitas ini, tanaman yang menjadi komoditas utama adalah salak dan padi.
Buah-buahan lain juga tumbuh dengan subur di wilayah ini. Selain itu, banyak warga
masyarakat yang memelihara kambing etawa sebagai sumber mata pencaharian
23
khususnya warga masyarakat Dusun Nganggring. Peternakan kambing sangat potensial
karena diketahui kambing ini memiliki postur yang bagus dan berukuran besar serta
menghasilkan susu yang bermanfaat bagi kesehatan.
Desa Girikerto memiliki berbagai perilaku dan budaya yang berkembang di
masyarakat. Berbagai kesenian berkembang di Girikerto misalnya tradisi kirab Budaya
ngrowod atau Ngleluri Ombyaking Warga Hametri Kuncara Desa yang merupakan
rangkaian kegiatan bersih desa untuk mensyukuri karunia dari Tuhan. Begitu pula
aktivitas sosial-budaya lainnya berkembang di desa ini seperti pentas seni, dialog
budaya, lomba kesenian dan juga kegiatan pengajian.
b) Potensi Bencana
Desa Girikerto merupakan salah satu wilayah yang terletak di penghujung utara
wilayah Provinsi Istimewa Yogyakarta. Sebagai wilayah yang berada di bawah (kaki
gunung) Merapi tidak dapat dipungkiri bahwa desa ini merupakan wilayah yang rentan
terdampak bencana erupsi Merapi. Walaupun demikian, sebagian besar wilayahnya
memiliki tanah yang subur dan dapat dikelola oleh masyarakat untuk aktivitas
perkebunan dan pertanian. Gunung Merapi merupakan salah satu gunung paling aktif
yang ada di Indonesia dengan ketinggian mencapai sekitar 3 km. Jarak antara puncak
Merapi dengan desa Girikerto hanya 12 km yang menjadikan desa ini masuk de dalam
daerah rawan bencana. Dampak yang ditimbulkan oleh adanya bencana gunung Merapi
ini adalah terpapar abu vulkanik serta kerusakan kebun tanaman-tanaman salak milik
warga desa Girikerto. Sebagai contoh, erupsi Merapi yang terjadi pada tahun 2010
telah menyebabkan beragam kerusahan di masyarakat. Ribuan hektar tanaman salak
pondok hancur sehingga gagal panen karena tertimbun abu vulaktif Gunung Merapi,
matinya ratusan hewan ternak seperti kambing dan sapi akibat terhempas oleh asap
panas gunung Merapi, yang mana berbagai kerusakan terjadi menimpa warga
masyarakat Girikerto.
Bencana alam lainnya yang sering dan potensial terjadi di wilayah desa ini
adalah kebakaran hutan, kekeringan, puting beliung, dan banjir. Kebakaran hutan
sering terjadi pada saat musim kemarau yang mana musibah ini disebabkan oleh
gesekan ranting atau pohon kering yang ada di hutan. Kekeringan pun dipandang
menjadi bencana yang potensial memberikan dampak negatif yang besar terhadap
24
kehidupan warga masyarakat terutama penduduk yang ada di dusun yang memiliki
ketinggian lebih misalnya dusun Ngandong, Girikepuh dan Tritis. Ketiga dusun ini
berada lebih tinggi dibanding dengan dusun lainnya. Kekeringan sudah mulai dirasakan
oleh penduduk yang mana musibah ini diindikasikan dengan selama lima tahun
terakhir ini terjadi penurunan permukaan air tanah yang ada di sumur-sumur penduduk.
Menurut informan yang diwawancara penyebab kekeringan terjadi adalah praktik
ilegal dari pemanfaatan air sungai di bagian hulu (Wawancara, 10/9/2017).
Menurutnya, hulu sungai dan bagian sungai lainnya sudah tidak memiliki aliran air
karena mata air yang ada di bagian hulu sudah dieksploritasi besar-besaran oleh
perusahaan dengan memasang beragam pipa aliran yang mana melalui pipa ini air
disalurkan ke wilayah-wilayah di luar penduduk Desa Girikerto. Disebutkan pula
bahwa pengerukan pasir untuk bahan bangunan atau konstruksi yang dilakukan oleh
para pengusaha di hulu sungai merupakan penyebab terjadi potensi bencana
kekeringan. Pengerukan pasir oleh penduduk yang dilakukan secara sembarangan di
lahan-lahan pertanian pun banyak terjadi dan hal ini dapat menyebabkan kekeringan.
Banjir merupakan bencana alam yang akhir-akhir ini sangat dirasakan oleh
penduduk yang berada di wilayah lebih rendah yang ada di desa Girikerto misalnya
penduduk dusun Pancoh dan Girikerto. Selain karena curah hujan yang tinggi setiap
tahunnya, banjir pun disebabkan oleh perilaku negatif dari penduduk sekitar yang
kurang memperhatikan kelanjutan kelestarian alam misalnya membuang sampah rumah
tangga ke sungai yang ada di sekitar dan terjadi pengalihfungsian lahan pertanian
menjadi permukiman di wilayah Girikerto. Akibat dari bencana ini, walau tidak sampai
menimbulkan korban jiwa, adalah terputusnya jalan raya yang menjadi penghubung
antar dusun yang menyulitkan penduduk dalam melakukan moda transformasi. Seiring
dengan terjadinya hujan, wilayah desa ini pun sangat rentan terhadap bencana angin
puting beliung seperti telah terjadi di beberapa padukuhan yang menyebabkan
kerusakan rumah penduduk.
Bencana puting beliung pun sering terjadi di wilayah Girikerto. Wilayah-
wiyalah yang termasuk dalam dataran yang tinggi seperti dusun Pancoh, dan dusun
Nganggring sering terkena bencana ini yang menyebabkan pepohonan tumbang
merusak rumah penduduk. Terjadi bencana tidak dapat diprediksi sebelumnya dan
bersamaan terjadi dengan turun hujan yang lebat. Selain bencana alam dimaksud,
25
bencana sosial yang tidak dipungkiri terjadi adalah muncul berbagai masalah sosial
seperti tindakan kenakalan remaja, kriminalitas, pencurian, dan penyalanggunaan obat
terlarang terutama pada generasi muda desa ini. Masalah ini, dipandang terjadi di
seluruh dusun di Girikerto.
c) Pendidikan Kebencanaan
Dalam upaya mengembangkan masyarakat untuk memiliki kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi bencana, beberapa aktivitas pendidikan kebercanaan tekah
diselenggarakan terhadap penduduk baik yang dilaksanakan oleh pemerintah desa,
pihak pemerintah lokal, dan masyarakat sendiri. Aktivitas pendidikan kebencanaan
yang dikukan oleh pihak pemerintah lokal dalam hal ini Badan Penanggulangan
Bencana (BPBD) Kabupaten Sleman diwujudkan dengan penyelenggaraan pelatihan-
pelatihan terhadap warga masyarakat khususnya para pemuda dan tokoh masyarakat
yang terlibat dalam kelompok sadar bencana yaitu tagana (Taruna Siaga Bencana)
Girikerto. Tagana secara struktural berada di bawah koordinasi Kecamatan Turi. Pada
masing-masing desa terdapat koordinator tagana dari aparat pemerintah desa. Pelatihan
yang diberikan lembaga ini lebih menekankan pada pemberian materi mengenai
evakuasi pasca erupsi Merapi antara lain memberikan pemahaman kepada warga
masyarakat mengenai tanda-tanda akan terjadi erupsi Merapi, jalur-jalur evakuasi,
sistem peringatan dini, dan pengelolaan logistik untuk para pengungsi, dan sebagainya.
Pelatihan dari instansi ini sering dilakukan dalam setiap tahunnya dengan melibatkan
beberapa warga Girikerto yang tergabung dalam kelompok tanggap atau siaga bencana
(tagana).
Taman Nasional Gunung Merapi sebagai pengelola hutan lindung yang berada
di wilayah Gunung Merapi ikut terlibat dalam membangun kesadaran warga
masyarakat terhadap bencana. TNGM memberikan pelatihan terhadap warga
masyarakat yang tinggal berbatasan atau berada sangat dekat dengan keberadaan hutan
lindung. Pelatihan dilakukan terhadap 30 warga masyarakat selama tiga hari yang pada
akhirnya terbentuk masyarakat peduli api (API). Walau tidak dilakukan setiap tahun,
pelatihan ini dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai pencegahan terjadi
kebakaran hutan baik karena tindakan manusia yang tidak tanggung jawab maupun
disebabkan oleh perubahan kondisi pohon seperti gesekan ranting pohon yang sudah
26
kering. Warga masyarakat diharapkan memiliki kesadaran untuk memilihara hutan
nasional dengan tetap bertindak tidak merusak, terutama ketika mencari rumput untuk
ternak di daerah sekitar hutan lindung. Warga masyarakat pun dibekali dengan teknik-
teknik sederhana dalam mengatasi kebakaran hutan misalnya dengan menggunakan
ranting atau alat sederhana dalam proses pemadaman api. Hasil pelatihan ini dipandang
mampu memberikan pemahaman mengenai pengelolaan kebakaran oleh warga
masyarakat sekitar dan kesadaran warga dalam mengelola hutan secara arif.
Organisasi kemasyarakatan pun ikut berperan dalam penanganan resiko
bencana. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu telah melakukan tindakan
pendidikan kebencanaan yang ditujukan kepada warga masyarakat Girikerto yang
difokuskan pada penanganan pasca bencana. LSM ini lebih memberikan pendampingan
terhadap masyarakat mengenai bagaimana membangun kesiapan warga untuk dapat
mengantisipasi bencana. Aktivitas pembelajarannya adalah dilakukan dengan
memberikan berbagai informasi mengenai kebencanaan dalam forum-forum pertemuan
di tingkat rukun tetangga maupun di tingkat desa. Contohnya adalah LSM Lingkar
Merapi yang ikut membina masyarakat untuk sadar bencana dan komunitas bolo
tetulung sebagai sebuah komunitas relawan peduli bencana yang telah secara resmi
terdaftar dalam BPBD Sleman. Banyak masyarakat di Girikerto yang tergabung dalam
komunitas bolo tetulung yang memiliki kesekretariatan di Tlogoadi, Kecamatan Mlati.
Komunitas relawan bolo tetulung berfokus selain memberikan informasi juga terkait
dengan penanganan korban pasca bencana yang terjadi di masyarakat seperti ikut
membantu mengevaluaki korban, pencarian korban, memperbaiki rumah, dan
sebagainya. Anggota komunitas relawan bolo tetulung tercatat secara resmi di BPBD
Sleman, setiap anggota yang tercatat secara resmi akan memiliki KIR (Kartu Identitas
Relawan) yang difasilitasi oleh BPBD Sleman.
Selain pihak yang disebutkan di atas, pemerintah desa Girikerto pun ikut
mengembangkan kesiapan warganya dalam menghadapi resiko bencana. Pemerintah
desa Girikerto merasa bertanggung jawab penuh atas keselamatan setiap penduduknya
apabila bencana alam erupsi Merapi khususnya terjadi. Hal ini diwujudkan dengan
tindakan pembentukan program Desa Tangguh Bencana yang dimaksudkan untuk
membangun kesiapsiagaan warga dengan melibatkan semua komponen masyarakat.
Program ini beranggotakan semua pihak yang ada di masyarakat seperti tokoh
27
masyarakat, pengurus organisasi pemuda atau karang taruna, dan aparat pemerintah
desa setempat yang langsung dibawah koordinasi kepala desa. Secara umum, aktivitas
kegiatan program ini lebih difokuskan kepada penanganan pasca erupsi Merapi sebagai
bencana utama untuk meminimalkan terjadinya korban baik benda, rumah, maupun
manusia. Selain itu, keberadaan pemerintah desa menguatkan kedudukan program ini
dengan menerbitkan peraturan desa mengenai pengelolaan bencana di desa Girikerto.
Aturan ini dipandang menjadi pedoman bagi proses evakuasi warga masyarakat apabila
bencana erupsi Merapi terjadi seperti siapa saja warga masyarakat yang terlibat dalam
penangan bencana, penentukan titik kumpul pengungsi, penanganan logistik,
penjemputan penduduk yang sangat rawan menjadi korban bencana seperti lansia dan
anak-anak, dan pengelolaan dapur umum dipengungsian.
d) Modal Sosial dalam Mitigasi Bencana
Modal sosial sebagai suatu hal yang positif yang dihasilkan dari relasi sosial
perlu dipahami dan dikelola dalam rangka mengembangkan masyarakat yang siap dan
mampu mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana dan resikonya. Modal sosial yang
terdiri dari dimensi nilai dan norma, kepercayaan, relasi sosial, dan berbagi
pengetahuan. Berikut ini deskripsi masing-masing dimensi modal sosial dimaksud
yang berkembang di desa Girikerto.
Nilai, norma, dan komitmen
Nilai dan norma yang berkembang di masyarakat dalam konteks mengantisipasi
bencana alam yang terjadi yaitu nilai saling membantu sesama, nilai kebersamaan, dan
nilai melestarikan alam. Nilai saling membantu sangat berkembang di warga
masyarakat yang mana perwujudkan nilai ini terdapat dalam aktivitas bersama yaitu
aktivitas membangun rumah seorang warga masyarakat dimana dalam proses
pembangunan rumah baik rumah tradisional maupun rumah yang sudah berpola
modern, warga masyarakat lainnya memberikan bantuan sesuai kemampuannya
terutama dalam hal bantuan tenaga. Pekerjaan membangun rumah dilakukan bersama-
sama terutama pada warga masyarakat yang masih dipandang termasuk warga
masyarakat kurang beruntung (miskin). Selain membangun rumah, aktivitas
kebersamaan pun diwujudkan dalam kegiatan sosial-keagamaan yaitu pelaksanaan
kenduri. Kenduri merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Girikerto baik
28
dalam rangka memperingati peristiwa tertentu misalnya memperingati hari kelahiran
tokoh agama, merti dusun, dan perayaan selamatan yang dilakukan oleh salah satu
keluarga. Selain gotong royong dan kenduri, kedua nilai tersebut terwujud dalam
bentuk adanya memberikan sumbangan baik dalam acara rewangan maupun dalam
kegiatan sripahan dan pembangunan resepan air secara bersama-sama di masing-
masing wilayah dusun yang berfungsi untuk menekan terjadinya kebanjiran dan
mempercepat penyerapan air hujan agar tidak terjadi kelangkaan air tanah untuk sumur.
Norma yang berkembang di masyarakat dalam mengontrol nilai yang ada
adalah norma-norma yang bersifat laten dimana apabila ada anggota warga masyarakat
yang dipandang tidak mau ikut terlibat dalam aktivitas bersama, warga masyarakat lain
akan bertindak membiarkan apabila warga masyarakat tersebut memiliki aktivitas yang
membutuhkan pelibatan warga lain. Artinya, dalam masyarakat Girikerto berkembang
kesepakatan bersama bahwa apabila seorang warga tidak mau turut bersama dalam
kegiatan sosial, maka warga lainnya cenderung akan membiarkan apabila dirinya
memiliki kepentingan sehinggat dirinya merasakan sendiri bagaimana tidak ada
bantuan orang lain. Namun sebelumnya, para tokoh masyarakat dalam acara-acara
tertentu misalnya pertemuan rukun tetangga atau forum lainnya sering mengingatkan
akan pentingnya kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan tetap mengajak
pihak-pihak yang dipandang masih berbeda untuk tetap terlibat dalam aktivitas
bersama. Dalam hal ini, budaya homogen dalam aktivitas sosial-budaya sangat
ditekankan di Wilayah Girikerto.
Komitmen pun dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Girikerto dalam
rangka membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana. Untuk mencegah kebakaran
hutan, terutama pada masyarakat yang berada di wilayah atas yang dekat dengan taman
nasional, dikembangkan komitmen bersama yaitu kesepakatan dalam penggunaan
puput untuk tanaman baik pepohonan maupun untuk tanaman salak dimana setiap
warga dianjutkan tidak boleh menggunakan pupuk kimia namun pupuk alami dalam
proses pemupukan pohon atau tanaman. Penggunaan pupuk alami dipandang dapat
menguatkan tanaman untuk tetap hidup ketika terjadi musim kemarau dibanding
dengan penggunaan pupuk kimia. Komitmen bersama pun diwujudkan dalam bentuk
aktivitas memperingati tradisi adat-istiadat yang sudah berkembang lama di masyarakat
yaitu misalnya merti dusun dan peringatan hari kemerdekaan. Menurut informan,
29
kegiatan merti dusun dilaksanakan setiap tahun sebagai bentuk wujud terima kasih
kepada para pendahulu yang sudah berusaha memelihara kelangsungan kehidupan desa
dan memandang bahwa merti dusun harus dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal
masyarakat Girikerto yang memperkaya budaya Yogyakarta.
Kepercayaan
Kepercayaan yang berkembang di masyarakat Girikerto umumnya bersifat
kepercayaan umum yaitu kepercayaan yang terbangun atas keyakinan bahwa apabila
perilaku seseorang baik di kehidupan masyarakat, maka kebaikan akan ia peroleh.
Sebaliknya apabila ia bertindak buruk dalam kehidupan maka keburukan dalam
menimpa dirinya. Dalam konteks kebencanaan, kepercayaan yang dibangun oleh warga
masyarakat dalam upaya mengantisipasi atau mengurangi dampak bencana sosial
adalah tindakan pemberian sanksi sosial terhadap warga masyarakat yang melanggar
norma sosial khususnya perilaku kenakalan remaja dan kriminalitas.
Kepercayaan dalam pengantisipasian bencana alam pun ditemukan dalam hal
keberadaan kelompok pengelola air di dusun Ngandong, yang mana desa ini memiliki
ketinggian tanah relatif tinggi. Di dusun ini, pemanfaatan air mengandalkan pada
ketersediaan air yang diperoleh dari hulu sungai yang ada di kawasan hutan lindung
Taman Nasional Gunung Merapi. Melalui pipa-pipa, air disalurkan ke rumah-rumah
penduduk, yang sebelumnya air ditampung dalam bak penampungan pada titik-titik
tertentu. Setiap keluarga membayar dana sebesar Rp 5000 untuk biaya pemeliharaan
pipa dan operasional pengelolaan air. Dalam hal ini lah, dana dikelola oleh pengurus
yang tergabung dalam kelompok “Tirta Lestari”. Pengelolaan dana inilah yang tidak
dijadikan persoalan oleh para pengurus maupun pada dukuh dan warga masyarakat
setempat. Pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada kelompok tersebut.
Bentuk kepercayaan yang lainnya adalah adanya kepatuhan warga masyarakat
Girikerto terhadap mekanisme penanganan bencana. Apabila terjadi erupsi Merapi,
para warga masyarakat diminta mematuhi perintah dari kepada desa sebagai
koordinator Desa Tangguh Bencana. Seperti pada bencana erupsi Merapi pada tahun
2010, warga masyarakat secara umum mengikuti petunjuk dan perintah koordinator
Desa Tangguh Bencana dimana warga masyarakat berkumpul di titik pengungsian
salah satunya di depan desa Girikerto setelah diinstruksikan bahwa level erupsi sudah
mencapai level awas. Adanya kepatuhan warga ini, memudahkan proses evakuasi
30
warga masyarakat terutama mereka yang rentan yaitu orang tua lansia, ibu-ibu hamil
dan anak-anak.
Relasi Sosial
Relasi sosial yang terjalin dalam rangka pencegahan dampak resiko bencana
dilakukan secara informal dan formal. Komunikasi antar dukuh, dukuh dengan aparat
desa, dan aparat desa dengan instansi pemerintah lokal dilakukan secara formal melalui
mekanisme persuratan, pertemuan rutin dan komunikasi menggunakan sarana telepon.
Komunikasi antar para dukuh, dan para dukuh dengan aparat desa dilakukan dalam
forum pertemuan rutin yang dilakukan di Balai Desa Girikerto. Pertemuan ini
merupakan sarana untuk mendiskusikan berbagai permasalahan yang dihadapi warga
masyarakat termasuk dalam penanganan bencana alam yang dihadapi masing-masing
pedukuhan dan membahas mengenai pelaksanaan kegiatan pembangunan di wilayah
Girikerto. Pertemuan dilakukan setiap bulan sekali tepatnya pada hari kamis. Dengan
instansi pemerintah lokal, para dukuh dan aparat desa berhubungan secara formal yang
diwujudkan dalam bentuk tindakan rapat koordinasi untuk membahas berbagai
permasalahan yang terjadi di masyarakat dan termasuk mengenai desa siaga bencana
walau dilakukan insidental. Sedangkan, para dukuh berkomunikasi secara informal
diantara mereka dalam berbagai kesempatan di kehidupan masyarakat misalnya pada
saat bertemu dalam kegiatan kenduren, sripahan, sambatan, dan aktivitas sosial
lainnya. Sering dalam pertemuan ini mereka membicarakan berbagai persoalan
kebencanaan dan masalah lainnya.
Relasi dengan pihak luar yaitu dengan desa lain terbangun pula dalam rangka
mengantisipasi dampak erupsi Merapi terutama terhadap keselamatan penduduk dan
keberlanjutan pendidikan formal anak-anak yang menjadi korban bencana. Setelah
erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang menyebabkan berbagai dampak negatif yang
mana salah satunya adanya kesulitan anak-anak usia sekolah yang ingin bersekolah
selama periode pengungsian, pemerintah desa mengembangkan kerja sama dengan
sekolah yang ada di seluruh desa di wilayah kecamatan Turi. Kerja sama ini disebut
sebagai sister school. Sister school dibentuk untuk memberikan kemudahan kepada
anak-anak untuk memasuki kembali ke sekolah apabila sekolah awal mereka terkena
dampak erupsi Merapi. Selain kerja sama sister school, pemerintah desa pun
31
mengembangan kerja sama dengan semua desa di wilayah Turi dalam bentuk kegiatan
yang disebut sister village atau desa kembar, yang tujuan utamanya adalah membangun
keswadayaan desa yang tidak terdampak untuk dapat memberikan fasilitas
pengungsian, bantuan, penampungan, dan fasilitas lainnya terhadap para korban
bencana erupsi Merapi. Kedua program yang dilakukan desa tersebut diinisiatifi oleh
instansi pemerintah lokal yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Sleman.
Sharing Pengetahuan
Pengetahuan mengenai kebencanaan, terutama bencana gunung Merapi, terjadi
melalui kesempatan-kesempatan sosial yang ada di lingkungan masyarakat seperti
pertemuan RT, dasa wisma, dan pertemuan antar dukuh. Misalnya, pada pertemuan
rutin pengurus RT, merti dusun, dan rewangan rumah, kepala dukuh sering
menyampaian permasalahan kebencanaan yang ada di lingkungan masyarakat.
Misalnya, kepala dukuh sering menyampaikan kepada pengurus RT untuk mengajak
warga masyarakat agar mau membersihkan lingkungan sekitar, membangun resapan-
resapan air, membuang sampah pada tempatnya, dsb. dan mengingatkan untuk saling
membantu antar warga.
Pertemuan antar dukuh pun dilakukan baik rutin setiap sebulan sekali maupun
para dukuh saling berkomunikasi secara informal. Dalam pertemuan rutin dukuh di
balai desa, yang berada di bawah koordinasi kepala desa, sering disampaikan mengenai
bagaimana menyiapkan warga masyarakat untuk lebih siap dalam menghadapi
bencana. Misalnya, apabila ada program mengenai program penanganan bencanan dan
program pengembangan desa lainnya yang bersumber dari pemerintahan kabupaten
dan instansi pemerintah lainnya, pada dukuh akan diajak bermusyawarah mengenai
teknis pelaksanaan misal mengenai program school sister yang merupakan ide dari
BPBD Kabupaten Sleman. Para dukuh pun secara informal dalam kehidupan sehari-
hari sering bertukar pengalaman satu dengan lainnya. Misalnya, ketika ada tanda-tanda
alam yang menunjukkan bahwa gunung Merapi sudah berpotensi meletus, dukuh yang
mengetahuinya terlebih dahulu akan menginformasikan kepada dukuh lain. Tanda alam
pun kadang dapat bersifat irasional seperti disampaikan oleh dukuh Ngandong, walau
oleh para dukuh yang lain hal ini tidak dapat diterima secara rasional. Proses ini
32
dilakukan karena para dukuh secara langsung berkewajiban menyampaikan informasi
mengenai kebencanaan kepada dukuh dan pemerintah desa sebagai bentuk keaktifan
dalam komunitas tanggap bencana (tagana) yang dibangun di desa Girikerto.
Pengetahuan dan informasi kebencanaan lainnya diperoleh dari kegiatan
pelatihan yang diselenggarakan oleh BPBD. BPBD sebagai lembaga yang bertugas
untuk menjadikan individu dan warga masyarakat mampu tangguh terhadap bencana
memberikan kegiatan pendidikan dan pelatihan kepada warga masyarakat yang sangat
sering dalam waktu setahun. Pelatihan umumnya terkait dengan peningkatan
pemahaman warga masyarakat mengenai bagaimana mekanisme pengurusan logistik di
wilayah bencana, titik kumpul pengungsian, produksi makanan di dapur umum,
penggunaan jalur evakuasi, dan penanganan korban bencana. Pengetahuan mengenai
hal ini selanjutnya oleh para warga yang dilatih akan disebarluaskan kepada warga
masyarakat lainnya terutama pada tokoh masyarakat dan anggota tagana baik formal
maupun secara informal.
e) Kebutuhan Pendidikan Sadar Bencana Berbasis Modal Sosial
Peningkatkan kemampuan sadar bencana bagi warga masyarakat yang bukan
hanya atas dasar pemahaman mengenai bagaimana masyarakat harus mampu
beradaptasi secara langsung terhadap dampak bencana yang ditimbulkan melalui upaya
pencegahan dan penanganan bencana, namun didasarkan pula pada pengembangan
modal sosial sebagai upaya yang secara langsung menguatkan proses adaptasi warga
masyarakat terhadap bencana. Dalam hal ini, untuk membentuk masyarakat yang sadar
bencana diperlukan pengembangan dimensi-dimensi modal sosial baik pada sebelum
maupun setelah terjadi bencana alam.
Hasil diskusi terfokus dengan para dukuh dan aparat pemerintah desa Girikerto
menunjukkan bahwa diakui warga masyarakat Girikerto sangat rentan terhadap bahaya
bencana alam terutama erupsi Merapi dan menyadari mereka sebagai penghuni
kawasan ini harus mampu bertahan dan menyesuaikan dengan bahaya tersebut. Oleh
karena itu, warga masyarakat menginginkan berbagai tindakan pengembangan baik
mengenai aspek kebencanaan maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat agar mereka
lebih mampu survive di bawah ancaman bencana. Mereka menyadari bahwa kegiatan
pengembangan masyarakat selama ini lebih diorientasikan kepada kesiapan dan
33
kemampuan dalam pengelelolaan kebencanaan. Namun, terhadap pengembangan yang
terkait untuk meningkatkan produktivitas ekonomi warga dalam mengoptimalkan
potensi sumber daya masih masih kurang dilakukan sehingga dampak erupsi berupa
kesulitan secara ekonomi sangat dirasakan setelah warga masyarakat kembali ke
tempat tinggalnya.
Seorang aparat desa, kepala urusan pemerintahan dalam forum diskusi terfokus,
menjelaskan bahwa selama ini pengembangan masyarakat lebih dilakukan untuk
membangun masyarakat sadar mengenai kebencanaan. Menurutnya, diperlukan
tindakan dari berbagai pihak termasuk perguruan tinggi. Bahkan ditambahkan bahwa
desa Girikerto dapat dijadikan sebagai laboratorium luar kampus bagi perguruan tinggi.
Masyarakat siap bekerja sama apabila pihak kampus mempunyai program-program
pemberdayaan maupun pendidikan yang langsung maupun tidak langsung terkait
dengan kebencanaan.
2. Kasus Desa Kalirejo, Kokap
a) Deskripsi Desa Kalirejo
Desa Kalirejo merupakan salah satu desa yang berada wilayah Kecamatan
Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini
terletak di bagian lereng selatan perbukitan Menoreh dengan ketinggian tanah
mencapai 600 meter di atas permukaan laut. Luas desa ini mencapai 12.951.500 ha
yang sebagian besar berupa tanah kering. Wilayah desa ini dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan antar lain secara umum sebagai pekarangan dan bangunan seluas
11.927.500 ha, untuk perladangan seluas 7.350 ha dan sisanya dipergunakan untuk
pasar, kuburan dan jalan. Jarak Desa Kalirejo dengan pusat pemerintahan Kecamatan
Kokap mencapai 3 km, dengan pusat pemerintahan Kabupaten Kulon Progo berjarak
16 km, dan jarak dengan pusat pemerintahan Provinsi berjarak 59 km.
Secara administratif Desa Kalirejo terdiri dari 9 dusun yang meliputi Dusun
Kalibuko I, Dusun Kalobuko II, Dusun Papak, Dusun Sangon I, Dusun Sangon II,
Dusun Sangir, Dusun Plampang I, Dusun Plampang II, dan Dusun Plampang III.
Wilayah Desa Kalirejo berbatasan dengan Desa Hargotirto disebelah utara, dengan
34
Desa Hargorejo di sebelah Timur, dengan Desa Hargomulyo di sebelah Selatan, dan
dengan wilayah Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah di sebelah Barat.
Jumlah penduduk Desa Kalirejo pada tahun 2016 mencapai 5.110 jiwa dengan
perincian laki-laki 2.574 jiwa dan perempuan 2.536 jiwa. Berikut ini rincian jumlah
penduduk Desa Kalirejo menurut kelompok umur dan jenis kelamin yang mana
penduduk produktif merupakan penduduk mayoritas.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Kalirejo
No Usia Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Di bawah 7 Tahun 200 168 368
2 7 – 18 Tahun 396 380 776
3 19 – 55 Tahun 1.465 1.328 2.793
4 Di atas 56 Tahun 513 660 1.173
JUMLAH 2.574 2.536 5.110
Sumber: Monografi Desa Kalirejo 2016
Dilihat dari aspek ekonomi, sebagai wilayah yang terletak di daerah pegunungan
Menoreh yang memamerkan keindahan alam yang masih alami dan natural, maka
sebagian besar wilayah di Desa Kalirejo merupakan tanah kering berupa bebatuan yang
Gambar 1. Peta Desa Kalirejo
35
digunakan sebagai pekarangan dan ladang. Di wilayah ini pun tumbuh dengan subur
pohon-pohon kelapa sebagai potensi alam yang sangat melimpah. Akibatnya, tidak
heran, mayoritas pekerjaan masyarakat sebagai penderes nira kelapa. Kegiatan
menderes dilakukan setiap hari oleh para penduduk baik di musim kemarau maupun di
musin penghujan. Karena mayoritas penderes dengan penghasilan tidak banyak,
membuat perekonomian warga masyarakat termasuk ke dalam kategori menengah ke
bawah. Pekerjaan yang banyak digeluti oleh warga masyarakat desa ini pun adalah
sebagai buruh pertanian, buruh harian lepas dan lain sebagainya. Tabel di bawah
memaparkan keragaman pekerjanaan warga warga Desa Kalirejo.
Tabel 2. Pekerjaan Penduduk Desa Kalirejo
No Pekerjaan Jumlah
1 Petani 2.050
2 Buruh Tani 110
3 Buruh Migran 1
4 Pegawai Negeri Sipil 33
5 Pengrajin 2
6 Pedagang Barang Kelontong 26
7 Peternak 1
8 Montir 1
9 Perawat Swasta 3
10 Bidan Swasta 1
11 TNI 3
12 Pengusaha Kecil, Menengah dan Besar 2
13 Guru Swasta 22
14 Pedagang Keliling 2
15 Tukang Kayu 3
16 Tukang Batu 2
17 Pembantu Rumah Tangga 4
18 Notaris 1
19 Karyawan Perusahaan Swasta 311
20 Wiraswasta 302
21 Tidak Mempunyai Pekerjaan Tetap 33
22 Belum Bekerja 856
23 Pelajar 669
24 Ibu Rumah Tangga 374
25 Purnawirawan/ Pensiunan 25
26 Perangkat Desa 17
27 Buruh Harian Lepas 267
28 Pemilik Usaha Jasa Transportasi dan perhubungan 1
29 Pemilik Usaha Warung dan rumah makan 3
30 Sopir 6
31 Pengrajin Industri Rumah Tangga Lainnya 10
32 Jasa Konsultasi Manajemen dan Teknis 1
33 Karyawan Honorer 18
34 Tukang Cukur 6
Total 5.110
Sumber Data: Data Monografi Desa Kalirejo Tahun 2016
Dilihat dari tabel di atas, maka mata pencaharian penduduk Desa Kalirejo
bergerak di sektor primer yaitu sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan
36
perkebunan. Sektor perkebunan menjadi lahan utama penduduk desa dalam bermata
pencaharian dimana mayoritas penduduk bekerja sebagai petani atau deres nira kelapa.
Selain itu, terdapat warga yang bekerja di sektor swasta seperti sebagai perawat, bidan,
dan lainnya. Selain potensi perkebunan, desa ini pun memiliki potensi alam yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejateraan yaitu pohon bambu dan kayu untuk bahan bangunan
yang melimpah. Namun, potensi alam ini masih belum dapat dimanfaatkan optimal
misalnya dikelola menjadi barang kerajinan. Desa Kalirejo pun memiliki panorama
pegunungan yang asri dan alami sehingga dapat di manfaatkan sebagai daerah wisata
sehingga dapat menambah pendapatan masyarakat.
Dari aspek sosial-budaya, di desa Kalirejo berkembang seni tradisi yang sudah
lama ada di masyarakat. Seni tradisi dan adat istiadat masih dijaga dan dilestarikan
sampai saat ini. Kesenian yang masih berkembangn di desa ini antara lain kesenian
Ketoprak, Karawitan, Gejog Lesung, Jathilan, Anggok dan Krompyong. Baik para
kaum Bapak maupun para pemuda, seni tradisi tersebut dilestarikan yang diwujudkan
dalam kehadiran kelompok hadroh, campur cari, dsb di beberapa dusun. Kelestarian
budaya-tradisi tersebut selain karena kecintaan masyarakat terhadap budaya juga
didukung oleh perhatian pemerintah setempat dalam melestarikan budaya dengan
menghadirkan tenaga pembina budaya masyarakat. Selain itu, kegiatan tradisi yang
tepat dikembangkan adalah merti desa atau bersih dusun, kenduren, sripahan, saparan,
yang dilakukan oleh mayoritas penduduk yang berada di 9 pedusunan.
b) Potensi Kebencanaan
Sebagai wilayah yang berada di sebelah bara laut Daerah istimewa Yogyakarta,
desa Kalirejo dihadapkan pada beberapa masalah kebencanaan yang sering terjadi dan
memberikan dampak negatif terhadap kehidupan warga masyarakat. Potensi bencana
yang ada adalah tanah longsor, kekeringan, angin kencang, dan wabah penyakit.
Bencana-bencana ini sudah mendapatkan perhatian serius dan menjadi fokus garapan
berbagai sektor baik dari lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat sendiri. Bencana alam harus dikelola dengan baik untuk meminimalkan
kerugian baik harta benda maupun jiwa karena bencana alam sudah menjadi kodrat
37
alamiah. Oleh sebab itu, pengelolaan dan antisipasi terhadap bencana harus dilakukan
secara terus menerus.
Berikut ini dideskripsikan bencana-bencana yang potensial terjadi di kawasan
wilayah Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap.
Tanah Longsor
Tanah longsor merupakan peristiwa jatuhnya tanah dari permukaan tinggi ke
permukaan yang lebih rendah. Saat ini penyebab utama terjadi tanah longsor di Desa
Kalirejo adalah struktur tanah serta kondisi wilayah daerah desa Kalirejo yang
berbukit-bukit dan curam. Hasil wawancara kepada salah satu tokoh masyarakat
menunjukkan bahwa masyarakat sudah dapat memahami akan masalah tanah longsor
dan warga masyarakat telah berupaya melakukan berbagai cara untuk mencegah terjadi
longsor misalnya dengan peremajaan pepohonan penahan tanah longsor, terasering,
dan membuat tanggul. Namun demikian, bencana tanah longsor sampai sekarang ini
sangat sering terjadi.
Gambar... Longsor di perbukitan
Penyebab tanah longsor menurut informasi dari tokoh masyarakat yang
diwawancarai adalah kondisi geogragi wilayah desa merupakan wilayah perbukitan
atau dataran tinggi dengan tingkat kemiringan yang sangat tinggi. Kemiringan inilah
yang sangat berpotensi terjadi pergerakan tanah terutama pada musim penghujan. Jika
hujan turun dengna intensitas tinggi atau deras terjadi dalam waktu 3-4 jam, dapat
dipastikan ada tanah longsor baik dengan intensitas tidak berbahaya, sedang, maupun
38
berbahaya. Kemiringan tanah, dilihat dari komposisi bebatuan, wilayah Kalirejo
merupakan tanah yang terdiri dari batu-batu yang berbentuk pasir sehingga memiliki
sifat mudah menyerap air. Apabila air yang ada menggenang maka air memiliki energi
untuk merembas ke dalam tanah dan inilah yang menyebabkan tanah longsong. Selain
kemiringan tanah, pola pemanfaatan lahan untuk bangunan pun dapat menyebabkan
longsor. Informasi yang diperoleh memberikan gambaran bahwa pembuatan
pemukiman misal rumah, pertokoan, dan bangunan lainnya dilakukan dengan terlebih
dahulu memotong kemiringan tanah sehingga kekuatan tanah menjadi terkurangi.
Hampir sebagian besar rumah-rumah penduduk dibangun dengan kondisi ini yang
mana permukinan berada di bawah dari tanah.
Gambar... Pola pembangunan permukiman
Wilayah yang paling rentan terjadi bencana longsor adalah wilayah pedusunan
yang terletak di dataran yang lebih tinggi. Dalam hal ini, titik-titik kelongsoran yang
paling besar adalah daerah Plampang I, Plampang II, Plampang III, dan Sengon yang
merupakan daerah teratas dari Desa Kalirejo. Data terakhir mulai tanggal 7 Desember
2015 – 7 Maret 2017 telah terjadi tanah longsor sejumlah 31 kejadian. Walau sampai
saat ini belum ada korban meninggal karena masyarakat sudah sadar bencana, terdapat
beberapa dampat negatif yang meliputi kerusakan rumah, kerusahan pepohonan, jalan
penghubung dusun terputus, dan karang kerusakan kendaraan bermotor.
Kekeringan
Kekeringan merupakan bencana lain yang terjadi di Desa Kalirejo. Jika pada
musim penghujan desa Kalirejo mengalami tanah longsor, maka di musim kemarau
39
yang berkepanjangan di sebagian besar wilayah ini mengalami kekeringan.
Kekeringan disebabkan oleh kurang ketersediaan sumber air untuk memenuhi
kebutuhan hidup warga masyarakat sebagai akibat sedikit sumber air yang terdapat di
wilayah ini. Akibat yang ditimbulkan dari bencana ini adalah warga masyarakat
kesulitan dalam mencari air untuk melakukan aktivitas sehari-hari misalnya untuk
mandi, memasak, dan memberi makan ternak. Untuk mengatasi permasalahan ini
pemerintah melalui PDAM sejak tahun 2013 telah mendirikan PAM baik bersifat
bantuan maupun berbayar. Air PDAM yang disediakan oleh pemerintah dengan
memanfaatkan air dari Waduk Sermo. Akan tetapi karena banyaknya pengguna ketika
musim kemarau dan pengurangan debit air di waduk Sermo, masyarakat masih sering
mengalami kekurangan air bersih karena PDAM sering memberlakukan PAM bergilir.
Walau demikian diketahui bahwa masyarakat di Padukuhan Plampang III yang sampai
saat ini menggunakan sumber air yang masih aktif dan menjadi alternatif utama ketika
kekeringan.
Puting Beliung
Puting beliung merupakan bencana yang potensi dan terjadi bersamaan dengan
tanah longsor yang terjadi pada musim penghujan. Walau tidak sering terjadi, angin
kencang telah menyebabkan berbagai kerugian yakni kerusakan pumah warga,
pepohonan tumbang merintangi jalan-jalan penghubung antar dusun, bahkan konsleting
listrik. Besarnya peluang terjadi bencana ini tidak lepas dari kondisi wilayah desa
Kalirejo yang sangat rimbun dengan pepohonan tinggi di hampir semua pedusunan.
Diketahui dalam kurun waktu Desember 2015 – 7 Maret 2017 telah terjadi bencana
angin kencang sebanyak 9 kali dengan disertai longsor.
Wabah Penyakit Malaria
Wabah penyakit yang berbahaya yang sering terjadi di kawasan Desa Kalirejo
adalah wabah malaria sebagai konsekuensi wilayah yang ada di perbukitan dengan
pepohonannya yang rimbun. Wabah ini biasa terjadi ketika musim pancaroba,
pergantian antara musim kemarau dan musim penghujan. Dalam sepuluh tahun
terakhir, diketahui telah terjadi sekitar 4 periode kasus yang mana sudah menelan
sebanyak 4 korban dengan 1 korban meninggal. Guna mengurangi dan mencegah
wabah ini, instansi pemerintah dalah hal ini dinas kesehatan menggarakan program
40
pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang secara teknis program ini dilaksanakan
oleh Kader Jumantik (Juru Pemantauan Jentik). Selain wabah malaria, wabah penyakit
yang disebabkan oleh hewan liar seperti tikus dan kelelawar yaitu penyakit
leptospirosis juga beberapa kali terjadi di desa ini. Berdasarkan hasil wawancara, tahun
2010 terdapat 3 warga yang terkena wabah penyakit ini 2 di antaranya selamat dan satu
meninggal dunia karena penanganan pengobatan yang terlambat.
Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja yang terjadi di Desa Kalirejo paling utama adalah jatuh dari
pohon kelapa. Mengambil nira merupakan kegiatan utama mayoritas masyarakat di
Desa Kilirejo. Dalam sehari, biasanya bapak-bapak pemanjat pohon bisa memanjat tiga
sampai lima pohon kelapa pada pagi hari untuk meletakkan wadah nira, dan
memanjatnya kembali pada sore hari untuk mengambil hasil nira yang diperoleh.
Untuk mengurangi resiko kecelakaan kerja, pemerintah kelurahan pernah memberikan
pelatihan keselamatan kerja dan pemberian sabuk pengaman (savety belt) kepada para
pemanjat pohon kelapa, akan tetapi banyak warga yang tidak menggunakan sabuk
tersebut dengan alasan ribet dan mengurangi gerak.
c) Pendidikan Kebencanaan
Aktivitas pendidikan yang dalam rangka mengurangi resiko bencana yang
ditujukan bagi masyarakat Kalirejo saat ini telah/sedang dilaksanakan oleh Pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan organisasi masyarakat setempat. Berbagai elemen
tersebut terkoordinasi dengan baik dan solid sebagai bentuk kesadaran sebagai desa
rawan bencana. Adapun berbagai program/organisasi yang telah turut serta dalam
mitigasi bencana sebagai berikut:
Si Bejo (Siaga Bencana Kalirejo)
Siaga Bencana Kalirejo (Si Bejo) merupakan suatu program yang diinisiasi oleh
warga masyarakat setempat. Kehadiran program disebabkan oleh keprihatinan warga
mengenai susahnya mendapatkan akses dan bantuan ketika terjadi bencana. Awal
berdirinya program ini adalah keikutsertaan lima orang warga Kalirejo dapat
Organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI). Warga tersebut beranggapan
bahwa dengan adanya radio ini, masyarakat dapat dengan mudah membagikan
informasi bencana ke masyarakat lain. Akses radio dianggap mudah dan dapat cepat
41
tersebar luas pada masa tersebut. Berbekal keanggotaan RAPI dan kerelawanan
menanggulangi bencana di daerahnya, organisasi ini masih berdiri dan tetap eksis
sampai sekarang. Kegiatan yang dilakukan Si Bejo yakni pemantauan apabila ada
bencana, pemantauan informasi dari daerah-daerah, dan melakukan perkumpulan
kelompok sebagai ajang aspirasi tanggap bencana. Selain melakukan kegiatan
kerelawanan di Desa Kalirejo, anggota Si Bejo pun ikut terlibat melakukan kegiatan
kerelawanan di daerah lain-lainnya yang terdampak bencana.
Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI)
RAPI berfungsi sebagai pusat informasi dan sebagai wadah masyarakat yang
memiliki jiwa kerelawanan sosial tinggi. RAPI menghubungkan tidak hanya antar
warga masyarakat wilayah Desa Kalirejo akan tetapi antar Kabupaten dalam Provinsi.
Saat ini, kehadiran RAPI telah membantu penyebaran informasi baik untuk masyarakat
internal maupun eksternal. RAPI telah dihubungkan dengan pihak-pihak pemerintah
seperti Aparat Kecamatan, Kelurahan, Kabupaten, BPBD, Kepolisian, dan Tagana.
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) merupakan orgnanisasi sosial yang
didirikan di Desa Kalirejo khususnya di Padukuhan Sengon II. Kehadiran lembaga ini
pada awalnya diinisiasi oleh salah seorang warga masyarakat yang berstatus sebagai
mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dirinya dipandang memiliki
jaringan luas mengenai tata cara memperoleh dana sosial. Kegiatan lembaga ini adalah
memberikan bantuan kepada warga yang mengalami bencana, misalnya kebakaran
rumah, kecelakaan kerja, korban tanah longsor, yatim piatu, dan warga masyarakat
yang membutuhkan lainnya. Kehadiran lembaga ini dipandang bagus dalam membantu
mengembangkan warga masyarakat dan dikarenakan sumber daya manusianya yang
sangat memiliki pengalaman dalam penanganan masalah sosial dan membangun
jaringan.
Program Dompet Dhuafa
Program Dompet Dhuafa merupakan program salah satu Lembaga Swadaya
Masyarakat yang menyasar beberapa wilayah di Kabupaten Kulonprogo salah satunya
kecamatan Kokap. Program ini telah berjalan sekitar tiga tahun dengan tujuan utama
adalah memberdayakan warga masyarakat di bidang ekonomi. Lembaga ini memiliki
42
fokus pada pemberdayaan ekonomi warga masyarakat Kalirejo dengan
mengoptimalkan berbagai potensi alam yang ada di lingkungan sekitar seperti
pemberikan bantuan modal usaha, pelatihan pemelihataan kambing etawa, pelatihan
pengolahan gula jawa, dan pengolahan kuliner berbahan baku lokal. Adanya kegiatan
ini, dipandang bagus oleh warga masyarakat yang mana hal ini ditandai dengan sudah
terbentuk koperasi yang membantu masyarakat menjual hasil industri rumahannya
seperti gula semut dan gula jawa dan kelompok-kelompok usaha mikro.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Sebagai instansi pemerintah yang bertugas membentuk warga masyarakat
menjadi masyarakat yang tangguh bencana, BPBD menyelenggarakan berbagai
kegiatan edukatif maupun non-edukatif terhadap warga masyarakat. Kegiatan edukatif
diwujudkan dengan menyelenggarakan kegiatan pelatihan mitigasi bencana bagi warga
masyarakat desa Kalirejo misalnya pelatihan tentang evaluasi bencana, pencegahan
bencana, dan penggunaan alat-alat keselamatan dalam kondisi bencana. Pelatihan ini
dilakukan hanya terhadap perwakilan dari warga masyarakat dan anggota Si Bejo.
Pelatihan dilakukan hampir setiap tahun walau waktu pelaksanaannya tidak menentu
dalam bulan tertentu. Hasil pelatihan yang telah diikuti oleh warga masyarakat akan
disampaikan baik melalui media HT maupun dalam pertemuan-pertemuan informal
yang ada di masyarakat misalnya pertemuan rukun tetangga, pertemuan para dukuh,
dan kesempatan lainnya. Selain memberikan pelatihan, BPBD secara aktif memberikan
informasi mengenai kebencanaan terhadap warga masyarakat melalui pemerintah desa
dan bantuan penanganan korban bencana apabila di Kalirejo terjadi bencana.
d) Modal Sosial dalam Kebencanaan
Modal sosial yang terdiri atas enam aspek yakni nilai, norma, dan komitmen,
saling percaya, jejaring sosial, dan saling berbagi informasi dalam rangka membangun
ketahanan warga masyakat dalam menghadapi bencana yang ada di Desa Kalirejo
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Nilai, norma dan komitmen
Lokasi Desa Kalirejo termasuk daerah pedesaan yang terletak di lereng
pegunungan dengan letak rumah-rumah warga berjauhan. Namun demikian, warga
43
masyarakatnya masih memegah kuat kebudayaan desa sampai sekarang seperti
beberapa seni tradisi kebudayaan yang sampai saat ini masih dianut yakni: kenduri,
jathilan, slametan, selawatan, merti desa dan merti dusun, karawitan, dan semangat
gotong royong. Berbagai budaya tersebut telah dilaksanakan dan dianut secara turun
temurun oleh warga masyarakat. Pengaruh dengan adanya budaya tersebut adalah
seringnya masyarakat melakukan interaksi dengan masyarakat lain yang menimbulkan
adanya kepedulian sosial. Terkait dengan kebudaya ini, masyarakat Kalirejo memiliki
nila-nilai baik dalam mencegah bencana sebagai berikut:
Nilai kegotongroyongan sampai saat ini dianut oleh masyarakat. Bentuk
kegotongroyongan tersebut berupa perbantuan bagi warga yang rumahnya terkena
bencana longsor atau angin kencang, perbantuan pembuatan rumah, pembuatan sarana
dan prasarana umum seperti makam, jalan, masjid, dan tanggul. Bentuk perbantuan
tersebut dilakukan secara terus menerus tanpa adanya paksaan. Beberapa kali Desa
Kalirejo memberlakukan denda bagi warga masyarakat yang tidak ikut membantu
khususnya dalam memperbaiki sarana untuk kepentingan umum, akan tetapi dengan
adanya denda mengakibatkan kesenjangan antara yang kaya memilih membayar dan
yang miskin tidak ada pilihan lain. Karena kesenjangan tersebut, akhirnya saat ini tidak
menggunakan denda, cukup dengan kesadaran saja. Kegotongroyongan selain
dilakukan oleh mayarakat luas juga digalakkan oleh para anggota Si Bejo. Bentuknya
adalah guna untuk mendirikan tower sinyal pemancar, para anggota Si Bejo gotong
royong bersama-sama dengan mengumpulkan uang. Sampai saat ini Si Bejo belum
memiliki uang kas, akan tetapi kesadaran bersama-sama untuk rela menggunakan uang
pribadi masih berjalan dengan suka rela.
Rasa kerelawanan dan kepedulian terhadap sesama ditunjukkan melalui
kerelaan masyarakat Desa Kalirejo untuk memberikan bantuan baik moriil maupun
materiil kepada masyarakat lain yang membutuhkan, terutama korban bencana. Bentuk
kerelawanan sudah berjalan dengan baik dibuktikan adanya organisasi yang menaungi
kerelawanan masyarakat yaitu Si Bejo dan RAPI. Organisasi tersebut tidak hanya
memberikan bentuk kepedulian kepada masyarakat Desa Kalirejo tetapi juga terhadap
masyarakat lain yang membutuhkan. Bentuk kepedulian yang diberikan oleh organisasi
Si bejo sebagai organisasi swadaya di bidang kebencanaan diwujudkan dalam kegiatan
penanganan bencana longsor. Jika hujan lebat terjadi, tanpa diminta masyarakat
44
anggora Si Bejo langsung memantau perkembangan lingkungan melalui HT (Handy
Talkie) yang terhubung dengan sesama anggota maupun individu yang ada di luar
Kalirejo bahkan lintas kabupaten. Relawan Si Bejo pun terbiasa ke luar rumah untuk
memantau keadaan sekitar terutama jalan-jalan, daerah rawan longsor dan angin
kencang. Selain itu, kerelawanan dan kepedulian pun diwujudkan dalam bentuk
kegiatan berupa iuran sebanyak Rp 3.000,00 per bulan khusus untuk dana KAS
kebencanaan, dan beberapa kali anggota Si Bejo melakukan kegiatan kerelawanan di
daerah luar Desa Kalirejo yakni menolong warga yang hanyut terbawa ombak di
pantai, dan menolong korban letusan Gunung Api di Sleman.
Aktivitas lain yang dilandasi nilai ini adalah perilaku warga masyarakat yang
sangat mudah memberikan bantuan kepada sesama yang menjadi korban bencana alam
longsor atau puting beliung. Sebagai contoh, pernah di Dusun Papak, terjadi kebakaran
rumah yang menyebabkan kerugian material yang cukup besar. Kebakaran terjadi
karena kelalaian pemilik rumah dalam beraktivitas memasak. Para warga sekitar tidak
lama setelah kejadian bahu-membahu memadamkan api dan memberikan sumbangan
sesuai kemampuan berupa kayu, makanan, dan dana. Hal serupa terjadi di dusun Kali
Duko II, Jamprang I dan Jamprang II dimana warga yang rumahnya tertimbun longsor
dibantu oleh warga masyarakat lainnya baik dana maupun material selain bantuan dari
pihak pemerintah.
Nilai senasib sepenanggungan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Kalirejo
yang mana ini didukung oleh berbagai aspek sebagai berikut: pertama, masyarakat
mayoritas memiliki keadaan ekonomi yang homogen yakni berada pada kelas
menengah ke bawah. Meskipun berada dalam tingkat kesejahteraan ekonomi yang
rendah, masyarakat mampu dengan kesehajaannya hidup dengan layak dan mampu
memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini disebabkan ketesediaan sumber daya untuk
memenuhi kebutuhan pokok mencukupi misal beras, singkong, sayur-sayuran dan
lainnya. Kedua, pekerjaan masyarakat sekitar hampir sama yakni pemanen nira,
membuat gula jawa, buruh, dan lahan pekarangan. Dengan pekerjaan yang sama
tersebut, masyarakat sering berbagi pengalaman dan berinteraksi dengan masyarakat
yang lain. Ketiga, mobilitas masyarakat rendah. Sulitnya akses ke kota membuat
masyarakat lebih sering berada di rumah dan melakukan pekerjaan di rumah misalnya
45
mengolah lahan dan merawat ternak. Terakhir, memiliki trauma dan permasalahan
bencana yang sama sehingga meningkatkan rasa senasib.
Nilai kesederhanaan warga mayarakat menjalani kehidupan pun tampak dalam
perilaku mereka. Hampir semua warga masyarakat berperilaku bersahabat dan
sederhana seperti sebagaimana pada waktu peneliti bertamu. Warga masyarakat dalam
hal ini para narasumber menunjukkan sikap kesederhanaan seperti yang diungkapkan
oleh Dukuh Sengir dengan kalimat “keadaan kami opo anane pak, nyuwun ngapunten”
(Wawancara, 29/10/2017). Kesederhanaan yang dibentuk oleh masyarakat menjadikan
mereka beranggapan bahwa tidak adanya jarak antara masyarakat satu dengan yang
lainnya. Mereka memandang kehidupan yang telah dijalani cukup lama sebagai
penghuni wilayah Kalirejo merupakan suatu karunia yang diberikan Tuhan dan mereka
dituntut untuk mampua menyesuaikan dengan kondisi alam yang ada di sekitarnya.
Walau disadari bahwa terjadi pergeseran pandangan di kalangan generasi mudanya
dimana pemuda Kalirejo banyak yang merantau ke luar daerah dan ke kota-kota besar
di Indonesia seperti Jakarta dan Bandung.
Selain nilai yang ada di masyarakat Kalirejo, berkembang pula norma sosial
dalam rangka meningkatkan kesadaran terhadap resiko bencana. Norma tersebut
yaitu norma hukum alam, yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas terjadi
permasalahan bahwa ada salah satu atau beberapa masyarakat yang tidak mematuhi
peraturan yang ada di masyarakat. Misalnya apabila masyarakat yang tidak mengikuti
gotong royong atau kegiatan kemasyarakatan lainnya, para tokoh desa seperti kepala
dukuh, takmir, maupun ketua pemuda tidak memberikan sanksi kepada mereka.
Langkah yang dilakukan hanya menegur atau menyindir secara halus saja, dan apabila
tetap orang tersebut tidak merespon dan berubah maka sanksi yang diberlakukan
adalah sanksi alam. Ketika orang tersebut memiliki hajat atau kesulitas tertentu, warga
masyarakat lainnya cenderung tidak akan dibantu.
Norma lainnya adalah norma menghormati jabatan. Masyarakat Kalirejo
menganggap bahwa tokoh masyarakat yang ada memiliki peran sangat penting dalam
mengurusi kegiatan kemasyarakatan. Oleh sebab itu, kepala dukuh, ketua Si Bejo,
ketua pemuda, takmir masjid memiliki status sosial tinggi dan dihormati oleh
masyarakat. Bentuk menghormatan ini diwujudkan melalui patuh jika ada instruksi dari
tokoh masyarakat. Misalnya jika kepada dukuh meminta warga untuk berkumpul,
46
warga dengan sukarela melakukannya. Selain itu, antar tokoh masyarakat juga saling
menghormati jabatan masing-masing dalam melaksanakan tugasnya. Ketika ada
bencana, Si Bejo melaksanakan tugas kerelawanannya sesuai wewenangnya yang lebih
pada perbantuan di lapangan saat evakuasi bencana. Sedangkan kepala dukuh
melakukan fungsinya berupa menginformasikan kepada aparat pemerintah desa
mengenai kondisi bencana. Kedua pihak ini dipandang saling berkerja sama dan
berintegrasi.
Selain nilai dan norma sebagamana diungkapkan di atas, dimensi modal sosial
berupa komitmen bersama pun terbangun dalam kehidupan masyarakat. Komitmen
bersama dimaknai sebagai suatu keadaan dimana seseorang anggota masyarakat
memihak organisasi dan tujuan organisasinya dan memiliki keinginan untuk
mempertahankan keanggotaannya. Bentuk komitmen yang berkembang di massyarakat
Kalirejo yakni: pertama,
Komitmen menjaga kelestarian budaya
Sampai saat ini budaya dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat masih
dijunjung tinggi dan dilaksanakan oleh masyarakat. Budaya dan adat istiadat dianggap
sebagai kekayaan masyarakat yang perlu dilestarikan. Hasil wawancara dengan tokoh
masyarakat menyatakan bahwa dengan menjujung tinggi serta melaksanakan adat
istiadat dan budaya dapat meningkatkan kekompakan masyarakat.
Komitmen melestarikan gotong royong
Seperti halnya komitmen menjaga kelestarian budaya, gotong royong pun dapat
meningkatkan kekompakkan masyarakat. Dalam kehidupan, gotong royong telah
dilaksanakan paling sedikit dua kali dalam satu tahun. Wujudnya adalah mulai dari
gotong royong mendirikan rumah warga, membersihkan saluran air, membersihkan
makam, membersihkan jalan, maupun membersihkan sarana dan prasarana. Sampai
saat ini dari seluruh masyarakat ikut terlibat dan hanya satu dua yang tidak mengikuti
gotong royong dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Komitmen sadar bencana
Komitmen sadar bencana dapat dilihat melalui rasa kerelawanan dan tidak
trauma oleh bencana. Bencana yang dialami oleh masyarakat Desa Kalirejo dianggap
47
sebagai kepastian yang sudah dialami secara rutin. Masyarakat tidak mengalami
traumatic yang berlebihan, tetapi menggap bahwa bencana tersebut adalah suatu bagian
dari masyarakat itu sendiri. Mereka menyadari bahwa mereka tinggal di wilayah
bencana dan bencana tersebut bukanlah musuh, tetapi dapat dikurangi resikonya jika
masyarakat selalu kompak dan menghadapi bersama-sama. Terkait dengan ini, sebagai
upaya mengantisipasi kemungkinan dampak bencana yang lebih besar, warga
masyarakat Kalirejo pada kesempatan tertentu membersihkan saluran air,
membersihkan sampah yang ada di sekitar rumah, dan menanam tanaman yang dapat
memecah angin. Para dukuh pun mengajak dan menyampaikan himbauan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dalam forum pertemuan rutin pengelola dukuh,
dan secara informal kepada warga masyarakat untuk selalu terus berperilaku bersih,
menanam pepohonan yang produktif, dan melakukan kegiatan kerja bakti bersama.
Saling Percaya
Kepercayaan merupakan salah satu aspek yang penting dalam membentuk
masyarakat sadar bencana. Bentuk kepercayaan yang tampak pada Desa Kalirejo
dibuktikan oleh interaksi dari berbagai lapisan masyarakat yakni:
Kepercayaan pemerintah desa kepada organisasi masyarakat. Contoh bentuk
kepercayaan ini adalah pemberian wewenang kepada organisasi Si Bejo untuk
menjalankan organisasinya. Pemerintah memberikan kepercayaan berupa
pelegalan organisasi Si Bejo, merespon dan menerima informasi yang diberikan
oleh Si Bejo dengan baik, memberikan ruang khusus bagi Si Bejo dalam rapat-
rapat permasalahan bencana, dan apabila ada program terkait kebencanaan
misalnya dari BPBD, Tagana, maupun RAPI, Si Bejo diberikan informasi terlebih
dahulu. Kepercayaan yang terbangun ini memberikan manfaat berupa adanya
kesiapsiagaan kelompok dan warga masyarakat dalam mengantisipasi bencana
alam, hubungan kekeluargaan yang lebih terasa akrab dan dekat, serta terbangun
kerja sama dalam penanggulangan bencana misalnya perilaku saling membantu
atau memberikan bantuan baik tenaga dan dana semampunya bagi keluarga yang
terkena bencana longsor.
Kepercayaan pemerintah terhadap tokoh mayarakat. Pemerintah memberikan
kepercayaan melalui penerimaan informasi dan pemberian sarana dan prasarana.
48
Saat ini para kepala dukuh diberi fasilitas alat komunikasi berupa seperangkat
hand talky agar dapat terlibat dalam komunikasi kebencanaan. Selain itu pada
kepala dukuh dalam kegiatan kumpul dukuh diberikan wewenang untuk
menyampaikan aspirasinya.
Kepercayaan sesama tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat di Desa Kalirejo
memiliki peran yang sangat besar dalam aktivitas kemasyarakatan. Tokoh
masyarakat yang berada di Desa Kalirejo yakni Kepala Desa, Ketua RT, Ketua
Ogranisasi Si Bejo, Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Ketua Takmir
Masjid (Kaum). Kepercayaan yang terjalin sampai saat ini dapat berjalan dua arah
sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.
Kepercayaan masyarakat kepada tokoh masyarakat. Bentuk kepercayaan ini
ditunjukkan dengan kemauan warga masyarakat untuk mengikuti kebijakan yang
diberikan oleh tokoh masyarakat tanpa menimbulkan kecurigaan. Sebagai contoh
ketika kepala desa mematok dana kas untuk kebencanaan sebesar Rp. 3.000,00
dalam satu bulan, masyarakat mempercayainya tanpa mempertanyakan detail
penggunaan data tersebut.
Jaringan Sosial
Jaringan merupakan bentuk interaksi sosial antara individu atau keompok satu
dengan yang lainnya. Jaringan yang terbentuk di Desa Kalirejo dalam konteks
kebencanaan telah berjalan dengan lama dan baik. Setiap pelaku yang terkait dan
peduli terhadap bencana alam berinteraksi dengan harmonis. Gambar 1. Menunjukkan
hubungan yang dinamis antar lapisan masyarakat. Warna merah menunjukkan
organisasi atau kelompok masyarakat yang memiliki peran berpengaruh dalam
terbentuknya jaringan yakni organisasi Si Bejo, Kepala Desa dan Pemerintah Desa.
Aktor-aktor ini memiliki fungsi yang sangat strategis dalam membentuk warga
masyarakat yang tangguh terhadap bencana dimana Si Bejo sangat aktif dalam
membangun kesadaran warga terhadap potensi bencana melalui pemberian informasi
yang penting dan pemerintah desa yang berfungsi bertanggung jawab dan sebagai
koordinir kegiatan peningkatan sadar bencana masyarakat Kajirejo.
49
Gambar 1. Jaringan yang terbentuk di Desa Kalirejo
Saling berbagi pengetahuan
Proses saling berbagai pengetahuan atau informasi terkait dengan kebencanaan
dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, kehadiran Si Bejo sebagai forum yang
berfungsi untuk memberikan respon cepat terhadap kejadian bencana memberikan
manfaat kepada warga masyarakat seperti warga masyarakat sudah menyadari akan
kondisi wilayah yang perpeluang terjadi bencana dan memahami bahwa bencana tidak
akan dapat dihilangkan namun hanya dapat diantisipasi. Masyarakat dengan adanya Si
Bejo lebih sadar akan potensi bencana yang dapat muncul dengan terlebih dahulu
memahami tanda-tanda yang dapat potensial menyebabkan bencana. Informasi dari Si
Bejo, yang mana sumber informasi dapat diperoleh dari para relawan RAPI se-
Yogyakarta, cepat menyebar ke masyarakat Kalirejo sehingga masyarakat lebih
tanggap terhadap kondisi bencana. Kedua, pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah setempat seperti mengenai evakuasi korban
dipandang bermanfaat terutama bagi para rekalawan desa tangguh bencana (destana)
dan para anggota Si Bejo. Ketiga, Yayasan Damar memberikan pemahaman kepada
warga masyarakat terutama penderes untuk berperilaku aman (safety) dalam bekerja
memproduksi nira/gula melalui pemberian pelatihan keselamatan dan keamanan kerja.
Namun sayang, banyak penderes tidak mempraktikkan pengetahuan yang diperolehnya
dalam melaksanakan pekerjaannya. Terakhir, aparat pemerintahan desa melalui para
50
dukuh menyampaikan informasi resmi terkait dengan kebencanaan kepada pihak lain
atau instansi pemerintah lainnya misalnya terkait dengan kejadian bencana, penerima
bantuan, dan kebijakan pemerintah desa.
Nilai, norma, komitmen, kepercayaan, jejaring, dan berbagi pengetahuan yang
didayagunakan dalam kehidupan bermasyarakat di Kalirejo mampu memberikan
manfaat positif dalam membentuk kesiapsiagaan warga menghadapi bencana. Walau
terjadi bencana di Desa Kalirejo yang menyebabkan berbagai kerugian baik moril,
materiil, maupun dari aspek psikologi, warga masyarakat sampai saat ini memiliki
perasaan nyaman, tidak memiliki perasaan ingin pindah, dan menganggap bahwa
bencana tersebut merupakan suatu hal yang sudah lumrah. Beberapa informan
menyatakan bahwa dengan potensi bencana yang ada, komunikasi antar individu
berjalan baik, kepedulian antara warga satu dan lainnya menjadi meningkat, dan
muncul relawan-relawan baik pemuda maupun dewasa yang sigap dan memiliki
kepekaan sosial yang tinggi. Kepedulian pun merambah pada warga masyarakat yang
terkena bencana di luar Kalirejo. Masyarakat Kalirejo dipandang kompak dalam
mencegah terjadinya bencana.
e) Kebutuhan Pendidikan Kebencanaan Berbasis Modal Sosial
Modal sosial yang berkembang dan dipelihara oleh masyarakat selayaknya
dapat dimanfaatkan dalam rangka membentuk ketahanan masyarakat terhadap bencana.
Agar keberadaan modal sosial mampu memberikan peran penting secara optimal, maka
perlu ada upaya pengoptimalan modal sosial. Salah satunya adalah dengan
menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan yang bertujuan mengembangkan,
memelihara, dan menstranformasikan dimensi-dimensi modal sosial secara terstruktur
dan terencana dalam konteks membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana.
Terkait dengan pernyataan di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa proses
pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pemerintah, khususnya Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), lebih memberikan pada peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan sikap terkait langsung dengan pencegahan dan
penanggulangan bencana misalnya para anggota tagana di Desa Girikerto dilatih
dengan materi mengenai evakuasi korban bencana, mengenai tanda-tanda bencana
erupsi Merapi, sistem memasak di dapur umum, dan penggunaan alat teknis lainnya.
51
Hal ini ungkapkan oleh salah satu dukuh yang menyatakan bahwa “pelatihan dari BPB
lebih banyak mengenai mitigasi bencana” (Wawancara, 29/10/2017). Sedangkan pada
aspek pengembangan modal sosial dalam konteks mitigasi bencana, BPBD belum
melakukannya.
Hasil diskusi terfokus menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan sadar
bencana yang mengandung substansi pendidikan berupa pemanfaatan dan
pengembangan modal sosial dipandang dapat dilakukan sebagaimana diungkapkan
oleh Kepala Seksi Pemerintahan Desa Girikerto bahwa pada prinsipnya, pendidikan
untuk mengembangkan warga masyarakat agar mampu menghadapi masalah bencana
bisa saja dilakukan oleh siapa pun. Menurutnya, selama ini pengembangan masyarakat
sadar bencana dilakukan dengan membentuk tagana desa Girikerto, berkoordinasi
dengan BPBD. Hal serupa dikemukakan oleh Kepa Seksi Pembangunan bahwa “kami
siap bermitra, apabila kampus menyelenggarakan program pendidikan bagi masyarakat
kami, bahkan apabila wilayah kami dapat dijadikan laboratorium kampus untuk
kebencanaan silahkan saja” (Wawancara, 13/10/2017). Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan sadar bencana bagi masyarakat dipandang perlu dilaksanakan di Desa
Girikerto.
3) Analisis Lintas Kasus
Mendasarkan pada uraian mengenai fokus penelitian yang dikaji, dapat
dilakukan analisis lintas kasus sebagai berikut:
a) Potensi Bencana
Potensi bencana yang muncul pada desa Girikerto berbeda dengan potensi
bencana yang muncul di Desa Kajirejo. Di Girikerto, bencana yang sangat dominan
adalah bencana letusan Gunung Merapi, kekeringan, dan banjir. Sedangkan di desa
Kalirejo, bencana longsong, kekeringan, dan kebakaran, dan wabah penyakit malaria
merupakan bencana yang berpotensi tinggi terjadi. Semua bencana bagi warga
masyarakat di kedua desa tersebut dipandang sebagai sesuatu yang akan tetap ada, dan
tidak dapat dihilangkan, namun hanya perlu diantisipasi.
52
Tabel Potensi Bencana
Jenis Bencana Potensi
Desa Girikerto Desa Kalirejo
Alam Erupsi Gunung Merapi
Kekeringan
Banjir
Kebakaran
Puting beliung
Longsor
Kekeringan
Kebakaran
Puting beliung
Biologis - Wabah malaria
Leptoporosis
Sosial Narkoba
Kriminalitas
Kecelakaan kerja penderes
b) Pendidikan Kebencanaan
Dalam upaya membentuk masyarakat tangguh bencana, di kedua desa yang
diteliti menunjukkan bahwa kegiatan pendidikan kebencanaan sudah dilaksanakan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Pada dasarnya, kegiatan pendidikan kebencanaan di
kedua desa tidak jauh berbeda pelaksanaannya dimana pihak pemerintah melalui
BPBD lebih dominan memberikan berbagai kegiatan pendidikan kebencanaan bagi
warga masyarakat, yang umumnya berupa pendidikan mitigas bencana melalui
pelatihan-pelatihan dan pembentukan desa tangguh bencana (tagana). Namun, terdapat
perbedaan pada kedua desa tersebut yaitu di desa Girikerto, pendidikan kebencanaan
sudah dilaksanakan secara terpusat oleh pemerintah desa. Dalam hal ini, pemerintah
desa sudah membangun suatu mekanisme penanganan bencana erupsi merapi yang
melibatkan semua warga masyarakat dalam bentuk standar operasi penanganan
kebencanaan. Sedangkan di desa Kalirejo, peran foum komunikasi yaitu Si Bejo
nampaknya memiliki pengaruh besar terhadap kesiapsiagaan warga masyarakat dalam
menangani masalah bencana. Begitu pula lembaga pemberdayaan sosial, dan program
dompet dhuafa dilaksanakan di desa ini dikarenakan bencana sosial yang dipandang
lebih tinggi dibanding desa Girikerto dimana mayoritas penduduk desa ini memiliki
tingkat kesejahteraan yang masih rendah.
53
Tabel Wujud pendidikan kebencanaan
Aktor Penyelenggara Wujud Pendidikan Kebencanaan
Desa Girikerto Desa Kalirejo
Pemerintah BPBD memberikan pelatihan
mitigas bencana
Taman Nasional memberikan
pelatihan pencegahan kebakaran
BPBD memberikan pelatihan
mitigasi bencana
Dinas Kesehatan/Puskesmas
memberikan penyuluhan
penanganan malaria
Masyarakat Desa membentuk desa Tagana di
tingkat desa secara terpusat
Si Bejo dan RAPI sebagai forum
komunikasi kebencanaan
Desa membentuk desa tangguh
bencana
Lembaga LSM memberikan pelatihan
mitigas bencana
LPS dan dompet dhuafa sebagai
pemberdayaa ekonomi masyarakat
Yayasan damar memberikan
pelatihan keselamatan kerja bagi
penderes
c) Modal Sosial dalam Penanganan Kebencanaan
Dilihat dari aspek pendayagunaan modal sosial dalam membangun warga
masyarakat yang tahan bencana dapat dikemukakan bahwa di dua desa yang dikaji,
modal sosial sudah dapat diwujudkan dan dimanfaatkan dalam aktivitas mitigasi
bencana walau keberadaan modal sosial pada kedua desa dimaknai dan diwujudkan
dalam aktivitas yang berbeda antar kedua desa dimaksud. Pertama, nilai dan norma
yang berkembang di kedua desa tidak jauh berbeda yaitu nilai kebersamaan,
kekeluargaan dan gotong royong, serta kepedulian. Di Girikerto, nilai-nilai ini
berkembang diwujudkan dalam aktivitas pembangunan rumah, merti dusun,
penggunaan pupuk alam, dan pembuatan resapan air. Sedangkan di Kalirejo nilai-nilai
tersebut berkembang dalam bentuk aktivitas membantu warga yang terdampak
bencana, pembersihan saluran-saluran air, merti dusun atau nyekar. Terkait dengan
nilai ini, berkembang norma di masyarakat dalam bentuk aturan sosial yang terbangun
alamiah yang memandang bahwa apabila seseorang tidak saling membantu akan
menerima akibat yaitu tidak akan dibantu oleh warga yang lain. Hukum karma
berkembang di kedua desa ini.
Kedua, dimensi komitmen dalam penanggulangan kebencanaan diwujudkan
oleh warga masyarakat di kedua desa tidak jauh berbeda. Warga masyarakat Girikerto
diminta untuk memelihara tradisi merti dusun dan menggunakan pupuk alami dalam
54
berkebun, sedangkan di Kalirejo ditanamkan komitmen bahwa mencegah lebih baik
dari pada mengobati dan menjaga kebersihan lingkungan.
Ketiga, perilaku saling percaya di kedua desa memiliki kesamaan yaitu
berkembang sanksi sosial. Sanksi sosial yang terwujud secara alamiah dalam proses
interaksi sosial dalam bentuk adanya perilaku “hukum karma”, siapa yang memanen
akan mendapatkan hasilnya. Tidak ada sanksi-sanksi material kepada warga
masyarakat yang tidak mau terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana atau
aktivitas sosial lainnya. Saling percaya antar warga masyarakat di kedua desa dimaksud
berakar dari pandangan atau nilai bahwa bencana merupakan musibah bersama yang
perlu disiasati bersama dan atas nilai senasib sepenanggulangan. Hal berbeda di kedua
desa ini dalam hal perilaku saling percaya adalah di desa Girikerto, warga masyarakat
terutama di dusun Ngandong tidak mempersoalkan mengenai pengelolaan penyaluran
air oleh pengurus dan perilaku patuh terhadap aturan atau mekanisme yang diomondo
oleh kepada desa. Perilaku-perilkau tersebut disebabkan mereka menyakini besar yang
dihasilkan melalui penyaluran air tidak begitu banya, cukup untuk pengelolaan dan
pemeliharaan pipa saluran dan pandangan bahwa kepala desa adalah orang yang
bertanggung jawab penuh dalam situasi bencana. Sedangkan di desa Kalirejo, perilaku
percaya diwujudkan dalam bentuk keterbukaan pada penyaluran bantuan. Menurut
kadus Kalidoso II, penerima bantuan sosial dilakukan secara objektif, tidak direkasa,
dan disaksikan oleh orang lain.
Keempat, jejaring yang terjadi dalam konteks penanggulangan bencana di
kedua desa memiliki perbedaan dalam hal jejaring formal dibanding jejaring informal.
Di desa Girikerto, jejaring formal terbentuk antar aparat desa, para dukuh, dan BPBD,
Babinsa, dan Polsek dan pihak lain yang berkepentingan dalam kebencanaan serta para
dukuh dengan aparat di dusunnya. Jejaring ini diwujudkan dengan adanya peraturan
desa mengenai mekanisme penanggulangan bencana di Girikerto. Jejaring formal pun
terjadi dengan antara pemerintah desa Girikerto dengan desa yang ada di sekitarnya
dalam bentuk kesepakatan “sister village” dan “sister school”. Kesepakatan ini
dimaksudkan untuk memfasilitasi warga Girikerto yang apabila terkena musibah erupsi
gunung terutama anak sekolah dapat kembali bersekolah di sekolah-sekolah yang ada
di desa tetangga. Sedangkan jejaring formal kebencanaan di desa Kalirejo lebih
55
cenderung menghubungkan pihak pemerintah desa dengan para aparatnya dan/atau
instansi pemerintah lainnya.
Jejaring informal dalam konteks kebencanaan yang terbentuk pada kedua desa
tersebut tidak jauh berbeda dimana jejaring ini terjadi sebagai bentuk interaksi sosial
sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, kesempatan untuk bertemu sesama warga
diwadahi dalam bentuk pertemuan-pertemuan rutin warga masyarakat misalnya forum
arisan dan dasa wisma untuk para ibu, pertemuan karang taruna, paguyuban seni
budaya, dsb. Informasi mengenai kebencanaan sering disampaikan dalam forum-forum
ini. Jejaring informal pun terbangun dalam wujud hubungan para aparat desa dan/atau
para dukuh yang selalu berkomunikasi atau berinteraksi dengan baik kepada warga di
lingkungan sekitarnya. Individu-individu tersebut diminta atau tidak diminta oleh
warga menyampaikan informasi-informasi penting kebencanaan kepada warga
masyarakat dan sekaligus mendengarkan masukan dari warga masyarakat.
Tabel dimensi modal sosial di desa rawan bencana
Dimensi Modal
Sosial
Girikerto Kalirejo
Nilai dan norma Kebersamaan
Gotong royong
Kelestarian
Hukum karma
Kebersamaan
Gotong royong
Kepedulian
Hukum karma
Komitmen Penggunaan pupuk alami
Memelihara tradisi merti dusun
Menjaga kebersihan lingkungan
Mencegah lebih baik dari pada
mengobati
Memelihara tradisi merti dusun
Saling percaya Mematuhi aturan desa
Sanksi sosial
Tidak mencampuri pengelolaan air
oleh organisasi lokal
Sanksi sosial
Keterbukaan penyaluran bantuan
Jejaring Terbangun village sister dan school
sister
Terkoordinasi oleh pemerintah desa
Pertemuan rutin para dukuh
Serawung antar warga dan
kesempatan lainya
Terkoordinasi oleh pemerintah desa
Serawung antar warga dan
kesempatan lainya
Sharing pengetahuan Pelatihan formal
Pertemuan rutin warga
Mitos/kearifan lokal masih
dipercaya
Pelatihan formal
Komunikasi Si Bejo
Pertemuan rutin warga
Dimensi terakhir adalah sharing pengetahuan/informasi. Mendasarkan pada
sumber informasi yang diperoleh dapat dikemukakan bahwa informasi mengenai
56
kebencanaan seperti mitigasi bencana, teknik evaluasi, jenis bencana, resiko bencana,
dan pengurusan logistik lebih banyak bersumber dari pihak luar terutama pihak
pemerintah dalam hal ini BPBD, dan dinas kesehatan/Puskesmas setempat. Pelatihan-
pelatihan lebih banyak dilakukan oleh BPBD sebagai lembaga yang bertugas
membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Hasil pelatihan akan
disampaikan oleh individu yang terlibat baik dalam forum pertemuan rutin maupun
dalam kesempatan informal di masyarakat. Sedangkan informasi yang bersumber dari
masyarakat sebagai bentuk kearifan lokal lebih berwujud mitos tentang tanda-tanda
kebencanaan alam khusus di sebagian masyarakat Girikerto walau bagi sebagian warga
lainnya mitos tersebut tidak dapat diterima.
Apabila dilihat dari kebermanfaatan modal sosial sesuai dengan terjadi bencana
terjadi yaitu pada sebelum, ketika, dan setelah bencana, hasil penelitian pada kedua
desa tersebut menunjukkan pemanfaatan modal sosial lebih dominan dilakukan
sebelum terjadi bencana. Aktivitas warga masyarakat di desa Kalirejo seperti gotong
royong memperbaiki jalan umum, saluran air, dan penataan lingkungan dilakukan
untuk mencegah terjadi bencana. Begitu pula beberapa aktivitas bersama warga
masyarakat Girikerto seperti pembuatan resapan air, penggunaan pupuk alami,
kesepakatan tentang sister village dan school sister, dan pembuatan aturan mekanisme
evakuasi dimaksudkan untuk mencegah dampak negatif baik secara langsung maupun
tidak langsung. Namun, pada kedua desa dimaksud pemanfaatan modal sosial yang
diperuntukkan untuk meminimalkan kerugian terutama dalam aspek ekonomi atau
pemenuhan kebutuhan hidup setelah pasca bencana belum terbangun. Misalnya di desa
Girikerto, apabila terjadi letusan Merapi, biaya pemenuhan kebutuhan selama di
wilayah pengungsian menghandalkan harga benca sendiri atau ragat dewe, dan dari
bantuan pemerintah atau masyarakat. Begitu pula di desa Kalirejo, warga masyarakat
yang terkena tanah longsor lebih mengandalkan pada bantuan insidental dari tetangga
atau pemerintah.
Pemanfaatan modal sosial seperti dikemukakan di atas, memberikan manfaat
yang positif terhadap kesiapan warga masyarakat dalam mengantisipasi dan menangani
bencana. Walau diketahui bahwa perilaku mengutamakan kepentingan sendiri dan
orientasi materialistik, dan penyalahgunaan wewenang dapat menghancurkan
57
keberfungsian modal sosial di masyarakat. Berikut tabel di bawah mengenai manfaat
modal sosial yang ada di kedua desa yang diteliti.
Tabel manfaat modal sosial dalam penanganan bencana
Fungsi Modal
Sosial
Wujud Pendidikan Kebencanaan
Desa Girikerto Desa Kalirejo
Bonding Kepedulian sosial
Kekeluargaan
Sumbangan material
Kepedulian sosial
Kekeluargaan
Sumbangan material
Bridging Penyebaran informasi penanganan
bencana cepat
Kemudahan evakuasi dengan sister
village
Keberlanjutan pendidikan anak
dengan sister village
Penyebaran informasi
penanganan bencana cepat
Linking Mekanisme penanganan bencana
tersentral
Penyebaran informasi penanganan
bencana cepat
Peningkatan pengetahuan sadar
bencana
Penyebaran informasi
penanganan bencana cepat
Peningkatan pengetahuan sadar
bencana
d) Kebutuhan Pendidikan Sadar Bencana berbasis Modal Sosial
Pendidikan sadar bencana yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang memiliki
kepentingan mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan beradaptasi,
menanggulangi, dan mencegah bencana. Pendidikan sadar bencana dapat dilakukan
dalam bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal. Terkait ini, hasil penelitian
pada kedua masyarakat dapat diketahui bahwa proses pendidikan sadar bencana
dilakukan dalam bentuk kegiatan pendidikan nonformal yang mencakup pendidikan
dan pelatihan. Di Desa Girikerto, berbagai pendidikan dan pelatihan telah dilakukan
oleh instansi pemerintah seperti BPBD yang memberikan pelatihan evakuasi bencana,
dan pihak Taman Nasional Gunung Merapi yang memberikan pelatihan tentang
pencegahan dan penanganan kebakaran hutan. Pelatihan yang diberikan oleh instansi-
instansi ini memfokuskan pada proses mitigasi bencana dilakukan. Sedangkan pada
desa Kalirejo, tidak jauh berbeda pendidikan dan pelatihan dilaksanakan oleh instansi
pemerintah yaitu PBPD dan dinas kesehatan setempat yang memberikan pelatihan dan
pendidikan mengenai pencegahan penyakit.
Selain pendidikan nonformal, pendidikan sadar bencana yang berlangsung
dalam nuansa informal terjadi pula di kedua lingkungan masyarakat dimaksud. Hasil
58
pelatihan dan pendidikan yang telah diikuti oleh warga masyarakat (anggota tagana,
anggota Si Bejo, aparat desa, dan pemuda) akan tersampaikan kepada warga
masyarakat lainnya baik disengaja maupun tidak disengaja. Forum pertemuan warga
masyarakat, rapat-rapat koordinasi para aparat desa dan dukuh, aktivitas sosial
kemasyarakatan dan komunikasi sehari-hari menjadi sarana proses penyampaian
informasi mengenai kebencanaan baik di Girikerto maupun di Kalirejo.
Dilihat dari substansi modal sosial dalam proses pendidikan, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan sadar bencana yang dilaksanakan oleh pihak
eksternal/instansi pemerintah bagi warga masyarakat di kedua desa lebih fokus pada
pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan mencegah, mengantisipasi, dan
menanggulangi bencana. Substansi pendidikan kebencanaan lebih dominan
disampaikan kepada warga belajar dan sangat kurang terdapat substansi pendidikan
sadar bencana yang membekali warga masyarakat dengan kemampuan memperkuat
institusi sosial, jejaring sosial, dan sebagaianya dalam rangka menciptakan warga
masyarakat yang sadar dan antisipatif terhadap bencana. Hal ini seperti disampaikan
oleh aparat desa Girikerto yaitu kepala urusan pembangunan dan kepala urusan
pemerintahan serta, kepala dusun Ngandong. Hal serupa disampaikan oleh informan di
desa Kalirejo seperti kepala dusun Papak, ketua Si Bejo, dan ketua dusun Sengir.
Mendasarkan pada hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendidikan sadar bencana yang dilaksanakan lebih menekankan pada pengembangan
kompetensi kesiapsiagaan terhadap bencana.
B. Pembahasan
a. Pendidikan sadar bencana
Bencana akan selalu menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat
walau disadari dalam waktu yang panjang dapat memberikan manfaat. Masyarakat
yang hidup di wilayah rawan bencana alam memiliki konsekuensi bahwa mereka harus
selalu mempersiapkan diri dan mengantisipasi berbagai dampak yang ditimbulkan dari
terjadi bencana. Oleh karena itu, resiliensi terhadap bencana menjadi sebuah keharusan
bagi warga masyarakat agar mampu bertahan, mengantisipasi, dan mencegah terjadi
bencana sehingga bencana yang terjadi tidak menimbulkan kerugian yang besar atau
59
kerusakan masif dalam aspek-aspek kehidupan. Kemampuan resiliensi memungkinkan
masyarakat merespon dan mengelola kebencanaan dengan baik dan akuntabel.
Membentuk kemampuan warga masyarakat ini idealnya tidak mengandalkan
proses pengembangan yang berjalan secara alamiah sesuai dengan kehidupan
bermasyarakat, namun memerlukan tindakan yang dapat mempercepat
pembentukannya yaitu melalui pendidikan sadar bencana. Pendidikan sadar bencana
merupakan proses pendidikan yang bertujuan memberikan nilai, sikap, pengetahuan
dan keterampilan mencegah, mengantisipasi, dan menangani bencana yang terjadi di
masyarakat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka membangun masyarakat yang
tangguh bencana, pendidikan sadar bencana pada masyarakat yang diteliti sudah
dilakukan dalam beberapa tahun ini. Penyelenggaran pendidikan sadar bencana baik di
Girikerto maupun Kalirejo dominan dilakukan oleh instansi pemerintah yang memiliki
perhatian besar terhadap kebencanaan yaitu Badan Penanggulangan Bencana, Dinas
Kesehatan, dan lainnya. Proses pendidikan ini dilakukan sesuai kebijakan dan sumber
daya yang dimiliki lembaga. Sasaran pendidikan ini adalah warga masyarakat yang
memiliki peran penting dalam mitigasi bencana seperti aparat pemerintah, anggota
kelompok pemuda, anggota komunitas sadar bencana seperti komunitas Si Bejo di
Kalirejo, dan para anggota tagana (taruna siaga bencana). Dilihat dari substansi
pendidikan, proses pendidikan sadar bencana tersebut lebih menitikberatkan pada
pembentukan keterampilan mengelola bencana seperti mengenali tanda-tanda dan
resiko terjadi bencana, penanganan bencana, dan evakuasi korban bencana. Sedangkan
untuk pendidikan sadar bencana yang dimaksudkan untuk mengembangkan
kswadayaan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat sebagai solusi preventif dan
kuratif dampak negatif bencana belum dikembangkan. Dilihat dari bentuknya, proses
pendidikan sadar bencana di kedua masyarakat menekankan pada pendidikan
nonformal dan pendidikan informal (Shaw, Takeuchi & Mulyasari, 2011:29).
Pendidikan nonformal diwujudkan dalam bentuk pelatihan mitigasi bencana, dan hasil
dari pelatihan tersebut oleh kelompok sasaran akan disampikan kepada warga
masyaraka lain secara informal dalam kesempatan-kesempat tertentu di masyarakat
misalnya pada saat merti dusun, kenduri, pertemuan rukun tangga, dan komunikasi
informal lainnya.
60
2. Modal Sosial dalam kebencanaan
Pendidikan sadar bencana pun sebaiknya dilakukan atas pandangan bahwa
masyarakat memiliki energi sosial sebagai potensi yang muncul karena hubungan
timbal balik yang ajeg dan menguntungkan yaitu modal sosial (social capital). Modal
sosial dapat memberikan manfaat bagi masyarakat untuk lebih mampu mengantisipasi
dan menangani bencana baik sebelum dan sesudah bencana. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keberadaan modal sosial di kedua desa yang mencakup dimensi
nilai, norma, dan komitmen, kepercayaan, jejaring, dan sharing pengetahun dan/atau
informasi pada masyarakat yang diteliti mampu memberikan manfaat. Modal sosial
yang bersifat mengikat (bonding) mampu memberikan kontribusi pada peningkatan
kepedulian sosial, kekeluargaan, kebersamaan, dan sumbangan material. Bridging
social capital mampu memberikan manfaat berupa peningkatan pengetahuan mengenai
kebencanaandan perilaku saling membantu, dan linking social capital mampu
menghasilkan kebijakan, meningkatkan koordinasi yang baik dalam penanganan
bencana, dan peningkatan pengetahuan kebencanaan warga masyarakat. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian lain bahwa modal sosial berkontribusi pada
kehidupan masyarakat rawan bencana (Hawkins & Maurer, 2010; Bhandari, 2014;
Bankoff, 2015; Namun sayang, modal sosial yang berkembang di masyarakat dalam
membangun masyarakat tangguh bencana belum disadari keberadaannya oleh warga
sebagian warga masyarakat dan adanya perilaku yang mengutamakan kepentingan
pribadi atau kelompok.
Pendidikan sadar bencana dapat berfungsi sebagai proses mengtransformasi dan
melestarikan setiap dimensi modal sosial masyarakat rawan bencana. Dengan
peningkatan kualitas nilai, norma dan komitmen, kepercayaan, jejaring dan berbagi
pengetahuan, maka masyarakat rawan bencana akan memiliki ketahanan yang kuat
terhadap bencana yang didasari keyakinan dan kekuatan masyarakat sendiri. Terkait
dengan ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan sadar bencana yang
berbasis pada penguatan dan pengembangan modal sosial dipandang dibutuhkan oleh
masyarakat. Pendidikan sadar bencana perlu diarahkan pada pengembangan selain
substansi pendidikan yang mengembangkan dimensi-dimensi modal sosial sebagai
Comment [J1]: Cari hasil penelitian mengenai manfaat modal sosial dalam kebencanaan
Comment [J2]: Cari jurnal penyebab rusaknya modal sosial dlm mitigasi bencana
61
muatan pendidikan dan pelatihan sadar bencana. Dengan kata lain, pendidikan sadar
bencana bagi warga masyarakat di wilayah rawan bencana harus berorientasi pada
penciptakan dan pengembangan tindakan kolektif dalam masyarakat rawan bencana.
62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Mendasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pendayagunaan modal sosial di masyarakat rawan bencana sudah dapat
dilakukan walau tidak tidak disadari keberadaan dan prosesnya oleh para aktor dalam
rangka membangun warga masyarakat yang tangguh bencana. Secara rinci
dikemukakan bahwa: (a) nilai dan norma terbangun dalam aktivitas bersama yang
dilandasi kebersamaan, saling menolong, dan kepedulian serta mekanisme hukum
karma sebagai norma sosial; (b) komitmen terbangun dalam bentuk perilaku
memelihara tradisi dan lingkungan agar tidak menimbulkan bencana, (c) kepercayaan
terbangun dalam bentuk kepatuhan terhadap aturan desa, keterbukaan dalam
penyaluran bantuan dan pengelolaan sumber daya air, disertai keberadaa sanksi sosial,
(d) jejaring pada terbangun antar pelaku baik melalui akad kerja sama/kesepakatan dan
komunikasi informal, dan (d) berbagi pengetahuan mengenai kebencanaan terjadi
melalui pendidikan nonformal yang diselenggarakan instansi pemerintah dan
pendidikan informal dalam kehidupan bermasyarakat misalnya melalui pertemuan
rutin. Kedua, terdapat kebutuhan pendidikan sadar bencana yang mengoptimalkan
keberadaan modal sosial dalam rangka meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap
bencana.
B. Saran-saran
Mendasarkan pada hasil penelitian dan kesimpulan yang dikemukakan, dapat
disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Masyarakat perlu lebih mengembangkan hubungan harmonis dan positif antar
sesama warga, dengan pemerintah desa, dan pihak lainnya dalam rangka
meningkatkan komitmen dan tindakan bersama dalam mengantisipasi dan
mengatasi masalah bencana.
2. Masyarakat perlu memiliki atau mengoptimalkan fungsi komunitas sadar
bencana yang berfungsi untuk menyadarkan, melatih, dan mendidik warga
masyarakat agar memiliki ketahanan terhadap bencana.
63
3. Masyarakat perlu membangun suatu lembaga ekonomi misal koperasi simpan
pinjam yang dapat berfungsi untuk menyiapkan warga masyarakat menjadi
mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan hidup pasca bencana.
4. Pemerintah desa perlu melakukan tindakan tegas kepada warga masyarakat atau
organisasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
5. Pemerintah, instansi pemerintah, atau organisasi masyarakat perlu
mengembangkan kegiatan pendidikan sadar bencana yang berorientasi pada
penguatan modal sosial dan kearifan lokal dalam rangka membangun resiliensi
masyarakat terhadap bencana.