Post on 14-Aug-2019
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada
di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada koordinat
0052′30"-0
054′50" LU dan antara 122
045′30"-122
048′50" BT. Batas wilayah Pulau
Dudepo yaitu sebelah utara berbatasan dengan Selat Anggrek, sebelah selatan,
timur, dan barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Secara adminstratif, Pulau
Dudepo terbagi atas 6 dusun yaitu Dusun I Makassar, Dusun II Upo, Dusun III
Tapia, Dusun IV Baturata, Dusun V Pasir Putih, dan Dusun VI Botongo.
Desa Dudepo merupakan salah satu desa di Kecamatan Anggrek yang
terletak disebuah pulau pada bagian utara dari Kecamatan Anggrek yang termasuk
pada kawasan Laut Sulawesi. Letak Pulau/Desa Dudepo sekarang ini memiliki
luas sekitr 54 km2, dengan jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2012 adalah
1.234 jiwa. Jarak Desa Dudepo dari ibu kota Kecamatan Anggrek sekitar 14 km
dan dari ibu kota Kabupaten Gorontalo Utara sekitar 30 km. Aksesibilitas untuk
sampai di Pulau Dudepo dapat dilakukan dengan menggunakan speed boat, atau
dengan menggunakan perahu katinting, dengan jarak tempuh dari Pelabuhan
Anggrek ±40 menit. Pulau ini dapat dilalui melalui Desa Ilangata, maupun Desa
Monano dengan jarak tempuh ± 20-25 menit, dengan menggunakan jenis
angkutan yang sama (DKP Provinsi Gorontalo, 2012). Gambar 5 berikut ini
menunjukkan peta Pulau Dudepo.
28
Gambar 5. Peta Pulau Dudepo (Sumber: DKP Provinsi Gorontalo, 2012)
Pulau ini memiliki dataran pantai dan perbukitan rendah sampai tinggi.
Dataran pantai memiliki topografi datar sampai bergelombang. Daerah dataran
yang bertopografi datar sebagian besar merupakan daerah pemukiman, sedang
daerah yang bergelombang serta perbukitan adalah daerah hutan campuran. Luas
hutan mangrove di wilayah Pulau Dudepo adalah 28 Ha atau sebesar 21,1% dari
luas total Pulau Dudepo. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di pulau ini yaitu
Avicennia sp, Rhizophora sp, Sonneratia sp, Bruguiera sp. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan bahwa mangrove di wilayah ini masih memiliki
kondisi lebat dan terdapat pada beberapa sisi dari pulau, tetapi sebagian
Peta Pulau Dudepo
29
masyarakat sudah memanfaatkan kayu-kayu dari mangrove ini sebagai alat bantu
pada alat tangkap sero dan bangunan rumah (DKP Provinsi Gorontalo, 2012).
B. Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo
1. Jenis Vegetasi Mangrove
Mangrove di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek merupakan hutan
mangrove alami. Kegiatan inventarisasi mangrove dilakukan pada titik 047o56′10"
sebagai stasiun I yang mewakili sebelah Timur, stasiun II pada titik 047o43′20"
mewakili sebelah Selatan, stasiun III pada titik 047o83′23" mewakili sebelah
Barat, dan stasiun IV pada titik 047o73′63" mewakili sebelah Utara Pulau
Dudepo. Gambar lokasi seluruh stasiun dapat dilihat pada Lampiran 1.
Vegetasi mangrove yang ditemukan dibedakan antara pohon, pancang, dan
semai berdasarkan ukuran diameter batangnya. Berdasarkan hasil pengamatan dan
identifikasi mangrove di lokasi penelitian, vegetasi mangrove di pulau Dudepo
terdiri atas 2 famili dan terdiri dari 5 spesies. Famili Rhizophoraceae (jenis
Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Rhizophora apiculata, Rhizophora
mucronata) dan famili Avicenniaceae (Avicennia lanata). Jenis-jenis mangrove
yang ditemukan di Pulau Dudepo dapat dilihat pada Tabel 3 dan gambar jenis-
jenis mangrove ditunjukkan pada Lampiran 3.
30
Tabel 3. Jenis-Jenis Mangrove di Pulau Dudepo
Jenis Stasiun I
(Timur)
Stasiun II
(Selatan)
Stasiun III
(Barat)
Stasiun IV
(Utara)
Avicennia lanata √ − _ _
Bruguiera gymnorrhiza √ _ √ √
Bruguiera parviflora − √ − −
Rhizophora apiculata _ √ − −
Rhizophora mucronata √ √ √ √
(Sumber: Olahan data primer, 2012)
Berdasarkan Tabel 3 diatas bahwa pada stasiun I dan stasiun II terdapat 3
jenis mangrove dengan vegetasi jenis yang berbeda. Pada stasiun I ditemukan 3
jenis mangrove yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, dan
Avicennia lanata. Pada stasiun II terdapat 3 jenis mangrove yaitu Rhizophora
apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera parviflora. Sementara pada
stasiun III dan IV terdapat 2 jenis dengan vegetasi yang sama yaitu jenis
Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza.
Vegetasi mangrove yang terdapat di Pulau Dudepo pada umumnya
didominasi oleh famili Rhizophoraceae. Hal ini disebabkan karena substrat yang
ada pada lokasi penelitian didominasi oleh substrat berlumpur dan lumpur
berpasir yang cocok untuk pertumbuhan jenis mangrove yang tergolong famili
Rhizophoraceae. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasmawati (2001) bahwa
vegetasi mangrove Rhizophoraceae sebagian besar dapat hidup pada substrat yang
lembek, berlumpur, maupun lumpur bercampur pasir.
Sementara Avicennia lanata tidak tumbuh baik pada lokasi penelitian hal
ini disebabkan oleh keterbatasan buah yang dihasilkan jenis ini yakni Avicannia
lanata hanya dapat berbuah pada waktu-waktu tertentu yakni antara bulan
November sampai Maret. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor, dkk, (2006)
31
bahwa mangrove jenis Avicennia lanata diketahui hanya dapat berbunga pada
bulan Juli sampai Februari dan berbuah antara bulan November sampai Maret.
2. Kerapatan Jenis
Kerapatan jenis mangrove merupakan parameter untuk menduga
kepadatan jenis mangrove pada suatu komunitas. Kerapatan jenis pada suatu area
dapat memberikan gambaran ketersediaan dan potensi tumbuhan mangrove
(Wantasen, 2002 dalam Feronika, 2011). Kerapatan suatu jenis merupakan nilai
yang menunjukkan penguasaan suatu jenis terhadap komunitas (Soerianegara dan
Indrawan, 1998). Tingkat kerapatan jenis mangrove pada lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Kerapatan Jenis Mangrove di Pulau Dudepo
Jenis
Kerapatan Jenis (Ind/Ha)
Pohon Pancang Semai
S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV
Avicennia lanata 33 0 0 0 0 0 0 0 767 0 0 0
Bruguiera gymnorrhiza 167 0 167 400 200 0 800 100 67 0 1233 100
Bruguiera parviflora 0 67 0 0 0 0 0 0 0 133 0 0
Rhizophora apiculata 0 500 0 0 0 0 0 0 0 167 0 0
Rhizophora mucronata 1367 2367 1500 1433 833 1133 400 2200 2267 567 367 1767
(Sumber: Olahan data primer, 2012)
Berdasarkan hasil analisis kerapatan bahwa jenis mangrove yang memiliki
kerapatan tertinggi terdapat pada kategori pohon, sedangkan kerapatan terendah
terdapat pada tingkat pancang, Tingginya kerapatan pada kategori pohon
menyebabkan cahaya matahari yang masuk tidak dapat menyinari lahan hutan
32
mangove. Hal ini membuat semai dan pancang tidak terlalu banyak tumbuh
dengan baik. Pendapat ini diperkuat oleh Supardjo (2007) bahwa rendahnya
kerapatan semai disebabkan oleh matahari yang dibutuhkan oleh semai untuk
berfotosintesis terhalang oleh pohon, sehingga semai tidak dapat tumbuh dengan
baik. Selain itu berdasarkan wawancara dengan masyarakat Pulau Dudepo bahwa
mangrove pada kategori pancang tidak terlalu rapat disebabkan oleh pengambilan
pancang oleh sebagian masyarakat untuk bahan kayu bakar.
Jenis mangrove yang memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi pada kategori
pohon yaitu jenis Rhizophora mucronata yang ditemukan pada stasiun II dengan
kerapatan jenis sebesar 2.367 ind/Ha, sedangkan jenis Avicennia lanata meiliki
kerapatan jenis terendah sebasar 33 ind/Ha ditemukan pada stasiun I. Nilai
kerapatan jenis tertinggi pada kategori pancang yakni jenis Rhizophora mucronata
ditemukan pada stasiun IV dengan nilai kerapatan jenis sebesar 2.200 ind/Ha, dan
kerapatan terendah yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza yang ditemukan pada
stasiun III sebesar 100 ind/Ha. Sementara pada kategori semai jenis Rhizophora
mucronata yang terdapat pada stasiun I memiliki kerapatan jenis sebesar 2.267
ind/Ha dan kerapatan jenis terendah adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar
67 ind/Ha (Tabel 4). Kerapatan jenis Rhizophora mucronata untuk semua kategori
pada lokasi penelitian tergolong rapat. Hal ini diperkuat dengan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 bahwa kriteria baku
mutu kerapatan mangrove, kerapatan padat ≥ 1.500 ind/Ha, sedang ≥ 1.000 -
1.500 ind/Ha dan jarang < 1.000 ind/Ha (Eriza, 2010).
33
Tingginya kerapatan jenis mangrove menunjukkan banyaknya tegakan
pohon yang berada dalam kawasan tersebut. Rhizophora mucronata memiliki
kerapatan mangrove tertinggi pada semua kategori. Kondisi ini disebabkan karena
jenis Rhizophora mucronata ini merupakan jenis mangrove yang pertumbuhannya
toleran terhadap kondisi lingkungan, terutama terhadap kondisi substrat, serta
penyebaran bijinya yang sangat luas. Hal ini sesuai dengan pendapat Kartawinata
(1979) dalam Chaerani (2011) bahwa jenis Rhizophora mucronata merupakan
salah satu jenis tumbuhan mangrove yang toleran terhadap kondisi lingkungan
(seperti substrat, pasang surut, salinitas dan pasokan nutrien), dapat menyebar luas
dan dapat tumbuh tegak pada berbagai tempat.
3. Kerapatan Relatif
Menurut Skilleter dan Warren (1999) dalam Schaduw (2008) kerapatan
relatif pada suatu ekosistem berpengaruh pada biota yang berasosiasi didalamnya,
ekosistem mangrove ini digunakan sebagai tempat perlindungan bagi biota yang
hidup didalamnya, seperti ikan dan gastropoda dari faktor alam dan hewan
predator. Hasil analisis vegetasi kerapatan relatif dapat dilihat pada Tabel 5.
34
Tabel 5. Kerapatan Relatif Mangrove di Pulau Dudepo
Jenis
Kerapatan Relatif (%)
Pohon Pancang Semai
S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV
Avicennia lanata 2.13 0 0 0 0 0 0 0 24.73 0 0 0
Bruguiera gymnorrhiza 10.64 0 10 21.82 19.35 0 66.67 4.35 2.15 0 77.08 5.36
Bruguiera parviflora 0 2.27 0 0 0 0 0 0 0 15.38 0 0
Rhizophora apiculata 0 17.05 0 0 0 0 0 0 0 19.23 0 0
Rhizophora mucronata 87.23 80.68 90 78.18 80.65 100 33.33 95.65 73.12 65.38 22.92 94.64
(Sumber: Olahan data primer, 2012)
Berdasarkan kajian analisis kerapatan relatif (KR) vegetasi mangrove di
Pulau Dudepo didapatkan bahwa Rhizophora mucronata memiliki kerapatan
relatif yang paling tinggi pada ketiga tingkat kategori, baik pada kategori pohon,
pancang, maupun semai. Pada kategori pohon kerapatan relatif tertinggi yaitu
pada stasiun III dengan nilai kerapatan relatif sebesar 90%, untuk kategori
pancang kerapatan relatif sebesar 100% pada stasiun II, dan untuk kategori semai
terdapat pada stasiun IV sebesar 94,64%. Sementara kerapatan relatif terendah
untuk kategori pohon yakni jenis Avicennia lanata sebesar 2,13% yang ditemukan
pada stasiun II. Pada kategori pancang dan semai jenis Bruguiera gymnorrhiza
memiliki kerapatan relatif terendah dengan masing-masing sebesar 4,35% pada
stasiun IV dan 2.15% pada stasiun I (Tabel 5).
Jenis Rhizophora mucronata memiliki kerapatan relatif tertinggi
disebabkan karena kondisi substrat yang umumnya lumpur mengandung bahan
organik sangat cocok untuk pertumbuhan jenis Rhizophora mucronata, selain itu
Rhizophora mucronata ini merupakan tumbuhan perintis atau pioner. Hal ini
35
sesuai pendapat Parawansa (2007) bahwa ketergantungan jenis tumbuhan pioner
terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora yaitu merupakan ciri
umum untuk tanah berlumpur yang bercampur dengan bahan organik, dalam hal
ini kerapatan relatif mangrove terkait erat dengan ketersediaan bahan organik
pada lingkungan untuk mendukung pertumbuhan jenis mangrove.
4. Frekuensi Jenis
Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu
area. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang
besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil
mempunyai daerah sebaran yang tidak merata dan kurang luas (Sultan, 2001).
Hasil perhitungan frekuensi jenis mangrove di Pulau Dudepo dapat dilihat pada
Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Frekuensi Jenis Mangrove di Pulau Dudepo
Jenis
Frekuensi Jenis
Pohon Pancang Semai
S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV
Avicennia lanata 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0
Bruguiera gymnorrhiza 0.67 0 1 1 0.67 0 0.33 0.67 0.33 0 0.67 0.67
Bruguiera parviflora 0 0.67 0 0 0 0 0 0 0 0.67 0 0
Rhizophora apiculata 0 0.67 0 0 0 0 0 0 0 0.67 0 0
Rhizophora mucronata 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0
(Sumber: Olahan data primer, 2012)
Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi jenis mangrove di Pulau Dudepo,
jenis Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera gymnorrhiza memiliki frekuensi
36
jenis tertinggi sebesar 1. Jenis Rhizophora mucronata ini ditemukan pada seluruh
dan jenis Bruguiera gymnorrhiza hanya ditemukan pada stasiun III dan IV.
Sementara jenis Avicennia lanata memiliki nilai frekuensi terendah sebesar 0,33
yang ditemukan pada stasiun I.
Pada kategori pancang, jenis Rhizophora mucronata memiliki frekuensi
jenis sebesar 1 yang ditemukan pada stasiun I dan II dan untuk frekuensi
terendahnya yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai frekuensi jenis
sebesar 0,33 yang ditemukan pada stasiun III. Sementara untuk kategori semai,
jenis Rhizophora mucronata memiliki frekuensi jenis tertinggi sebesar 1
ditemukan pada seluruh stasiun dan frekuensi terendahnya yaitu jenis Bruguiera
gymnorrhiza dan Avicennia lanata dengan nilai frekuensi jenis sebesar 0,33 yang
ditemukan pada stasiun I (Tabel 6).
Jenis Rhizophora mucronata memiliki nilai frekuensi tertinggi karena
kondisi substrat sangat cocok untuk pertumbuhannya, sehingga mangrove jenis ini
menyebar merata pada setiap stasiun pengamatan. Selain itu Rhizophora
mucronata termasuk jenis yang memiliki benih yang dapat berkecambah pada
waktu masih berada pada induknya sangat menunjang pada proses penyebaran
yang luas dari jenis lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Pramudji (2001)
dalam Mar’fuah (2005) bahwa pada tanah lumpur dan lembek ditumbuhi oleh
jenis mangrove Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, lumnitzera littorea
dengan penyebaran yang merata dan luas, sedangkan pada wilayah pesisir yang
berpasir dan berombak besar pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal.
Marcelle (1998) dalam Gulton (2010) juga berpendapat bahwa daur hidup yang
37
khas dari jenis Rhizophora sp dengan benih yang dapat berkecambah pada waktu
masih berada pada tumbuhan induk sangat menunjang pada proses penyebaran
yang luas pada ekosistem mangrove.
5. Frekuensi Relatif
Frekuensi relatif adalah pengukuran distribusi spesies yang ditemukan
pada plot yang dikaji. Nilai dari frekuensi relatif (FR) menunjukkan keseringan
suatu jenis ditemukan dalam suatu kawasan (Price, 1975 dalam Pariyono, 2006).
Hasil analisis vegetasi mangrove di Pulau Dudepo untuk tingkat frekuensi relatif
dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Frekuensi Relatif Mangrove Di Pulau Dudepo
Jenis
Frekuensi Relatif (%)
Pohon Pancang Semai
S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV
Avicennia lanata 16.67 0 0 0 0 0 0 0 20 0 0 0
Bruguiera gymnorrhiza 33.33 0 50 50 40 0 33.33 40 20 0 40 40
Bruguiera parviflora 0 28.57 0 0 0 0 0 0 0 28.57 0 0
Rhizophora apiculata 0 28.57 0 0 0 0 0 0 0 28.57 0 0
Rhizophora mucronata 50 42.86 50 50 60 100 66.67 60 60 42.86 60 60
(Sumber: Olahan data primer, 2012)
Hasil perhitungan yang terlihat pada Tabel 7, nilai frekuensi relatif
tertinggi (FR) kategori pohon ditemukan pada stasiun I, III, dan IV yaitu jenis
Rhizophora mucronata sebesar 50% ditemukan pada stasiun I dan untuk jenis
Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza terdapat pada stasiun III dan
IV dengan nilai FR sebesar 50%. Kedua jenis mangrove ini memiliki nilai FR
38
yang sama, hal ini berarti terjadi distribusi yang merata di antara kedua jenis
mangrove. Nilai frekuensi relatif terendah terdapat pada stasiun I yaitu jenis
Avicennia lanata dengan nilai frekuensi relatif sebesar 16,67%. Pada kategori
pancang frekuensi relatif tertinggi yaitu jenis Rhizophora mucronata ditemukan
pada stasiun II sebesar 100% dan FR terendah ditemukan pada stasiun III yakni
jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar 33,33%. Sementara pada kategori semai
nilai FR tertinggi ditemukan pada stasiun I, III, dan IV yakni jenis Rhizophora
mucronata sebesar 60%, sedangkan FR terendah ditemukan pada stasiun I yakni
jenis Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia lanata dengan nilai FR sebesar 20%.
Kemunculan jenis Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza
ditemukan pada semua stasiun pengamatan, hal ini disebabkan jenis ini lebih
banyak memperoleh unsur hara dibandingkan dengan jenis lainnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pramudji (2000) dalam Kaunang dan Kimbal (2009) bahwa
tinggi rendahnya nilai frekuensi relatif disebabkan oleh terjadinya kompetisi yang
tidak seimbang antar jenis mangrove yang menempati suatu habitat yang sama,
sehingga kurang kompetitif dalam memperoleh unsur hara.
6. Dominansi
Dominansi suatu jenis merupakan istilah yang digunakan untuk
menyatakan suatu jenis tumbuhan kategori pohon dalam hal bersaing dengan
tumbuhan lainnya, dalam hal ini terkait dengan besarnya diameter tumbuhan
(Barbour, 1980 dalam Prasetyo, 2007). Perhitungan nilai dominansi ini hanya
dilakukan pada kategori pohon untuk mengetahui INP kategori pohon. Hasil
39
perhitungan nilai dominansi mangrove pada lokasi penelitian dapat dilihat pada
Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Dominansi Mangrove Di Pulau Dudepo
Jenis
Dominansi Jenis (m2/Ha) Dominansi Relatif (%)
S I S II S III S IV S I S II S III S IV
Avicennia lanata 0.67 0 0 0 10.64 0 0 0
Bruguiera gymnorrhiza 4.4 0 2.74 1.77 69.85 0 61.96 65.99
Bruguiera parviflora 0 5.07 0 0 0 61.61 0 0
Rhizophora apiculata 0 2.28 0 0 0 27.67 0 0
Rhizophora mucronata 1.23 0.88 1.68 0.91 19.51 10.70 38.04 34.01
(Sumber: Olahan data primer, 2012)
Berdasarkan perhitungan dominansi pada Tabel 8 bahwa nilai dominansi
jenis tertinggi yaitu jenis Bruguiera parviflora dangan nilai dominansi sebesar
5,07 m2/Ha ditemukan pada stasiun II, sedangkan nilai dominansi jenis terendah
yaitu jenis Avicennia lanata sebesar 0,67 m2/Ha ditemukan pada stasiun I. yaitu
jenis Avicennia lanata sebesar 0,67 m2/Ha. Bruguiera parviflora mempunyai nilai
dominansi jenis tertinggi karena mangrove jenis ini memiliki diameter rata-rata
lebih besar dari pada jenis lainnya yang berada dilokasi penelitian yakni
diameternya 44 cm atau 0,44 m.
Nilai dominansi relatif pohon setiap stasiun di lokasi penelitian
menunjukan bahwa jenis Bruguiera gymnorrhiza memiliki presentase dominansi
yang tinggi yakni sebesar 69,85% yang terdapat pada stasiun I, dan diikuti oleh
jenis Bruguiera parviflora dengan nilai DR sebesar 61.61% terdapat pada stasiun
40
II. Sementara dominansi relatif terendah yaitu jenis Avicennia lanata dengan nilai
DR sebesar 10,64%.
8. Indeks Nilai penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indeks yang memberikan suatu
gambaran mengenai pentingnya peranan atau pengaruh pada suatu vegetasi
mangrove dalam suatu lokasi penelitian. Indeks Nilai Penting digunakan dalam
menginterpretasi komposisi dari suatu komunitas tumbuhan (Fachrul, 2007). Hasil
analisis INP mangrove di Pulau Dudepo dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. Nilai Indeks Penting Mangrove di Pulau Dudepo
Jenis
INP (%)
Pohon Pancang Semai
S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV
Avicennia lanata 29.43 0 0 0 0 0 0 0 44.73 0 0 0
Bruguiera gymnorrhiza 113.82 0 121.96 137.80 59.35 0 100 44.35 22.15 0 117.08 45.36
Bruguiera parviflora 0 92.45 0 0 0 0 0 0 0 43.96 0 0
Rhizophora apiculata 0 73.31 0 0 0 0 0 0 0 47.80 0 0
Rhizophora mucronata 156.75 134.23 178.04 162.20 140.65 200 100 155.65 133.12 108.24 82.92 154.64
(Sumber: Olahan data primer, 2012)
Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove dapat diketahui bahwa jenis
mangrove yang memiliki INP tertinggi terdapat pada kategori pohon yakni jenis
Rhizophora mucronata sebesar 178.04%, yang ditemukan pada stasiun III,
sedangkan INP terendah terdapat pada stasiun I yaitu jenis Avicennia lanata
sebesar 29.43%. Pada kategori pancang INP tertinggi yakni jenis Rhizophora
mucronata sebesar 200% ditemukan pada stasiun II sedangkan INP terendah
41
terdapat pada stasiun I yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar 44.35%
terdapat pada stasiun IV. Sementara INP tertinggi untuk kategori semai yaitu jenis
Rhizophora mucronata sebesar 154.64% ditemukan pada stasiun IV dan INP
terendahnya yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar 22.15% ditemukan pada
stasiun I (Tabel 9).
Jenis Rhizophora mucronata memiliki nilai INP tertinggi pada semua
kategori yaitu kategori pohon, pancang dan semai. Hasil ini mencerminkan bahwa
hutan mangrove pada lokasi penelitian dalam kondisi baik. Jenis Rhizophora
mucronata mempunyai peranan yang tinggi dilokasi penelitian karena mangrove
jenis ini memiliki karakteristik dan morfologi yang mendukung dalam hal
bersaing dengan jenis lainnya dan dapat dikatakan kondisi perairan di lokasi
penelitian baik untuk pertumbuhan mangrove.
Keadaan ekosistem mangrove seperti ini mengimplementasikan bahwa
ekosistem hutan mangrove pada lokasi penelitian belum banyak mengalami
perubahan yang disebabkan oleh kegiatan manusia, walaupun ada sebagian
masyarakat memanfaatkan kayu-kayu dari mangrove ini sebagai alat bantu pada
alat tangkap sero, kayu bakar, dan bangunan rumah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Martosubroto dan Sudrajat (1974) dalam Prasetyo (2007) bahwa area
mangrove yang memiliki nilai penting tinggi menandakan bahwa mangrove di
area tersebut dalam kondisi baik dan belum mengalami perubahan, sebaliknya
apabila kondisi ini berkurang atau berubah menjadi daratan karena sedimentasi
dan rusak karena ulah manusia, maka perlu dilakukan rehabilitasi agar
keseimbangan ekosistem terjaga.
42
C. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove
Parameter pendukung perairan yang memegang peranan penting bagi
kehidupan mangrove untuk menunjang kehidupannya. Berdasarkan hasil
penelitian di Pulau Dudepo, beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan mangrove dpat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Parameter Lingkungan Perairan Pada Lokasi Penelitian
No. Parameter
Kisaran
Stasiun I
(Timur)
Stasiun II
(Selatan)
Stasiun III
(Barat)
Stasiun IV
(Utara)
1. Suhu (0C) 30 27,8 29,2 30,1
2. Salinitas (0/00) 28,6 28,6 30 30
3. pH Air 6,5 7,4 7,4 7
4. pH Tanah 6 6 7 7
5. Substrat Berlumpur Berkumpur Lumpur
berpasir
Lumpur
berpasir
(Sumber: Data primer, 2012)
1. Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter yang penting bagi keberlangsungan
hidup biota laut. Suhu dapat mempengaruhi proses-proses dalam suatu ekosistem
mangrove seperti fotosintesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993 dalam Taher,
2011).
Berdasarkan hasil pengukuran langsung pada wilayah mangrove di Pulau
Dudepo diperoleh suhu pada masing-masing stasiun tidak berbeda jauh kisarannya
(Tabel 10). Suhu air terendah ditemukan pada stasiun II (Barat), yaitu sebesar
27,8oC, sedangkan suhu tertinggi ditemukan pada stasiun IV (Utara), yaitu sebesar
30,1oC. Rendahnya suhu pada stasiun II disebabkan oleh pengukuran dilakukan
43
pada pagi hari atau sekitar pukul 07.30 WITA. Sedangkan pengukuran suhu tinggi
pada stasiun IV disebabkan oleh pengukuran yang dilakukan pada siang hari
sekitar pukul 14.00 WITA, dimana intensitas cahaya matahari yang diterima oleh
permukaan air tinggi dan sedikitnya air yang tergenang pada lokasi menyebabkan
tingginya suhu air di lokasi tersebut. Selain itu, kisaran suhu yang tinggi ini juga
disebabkan oleh kondisi cuaca yang sangat cerah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Aksornkoae (1993) dalam Taher (2011) bahwa tinggi rendahnya suhu pada
habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh
badan air, banyak sedikitnya volume air yang tergenang pada habitat mangrove,
keadaan cuaca. Kisaran suhu pada masing-masing stasiun pengamatan adalah
sesuai dengan kondisi habitat mangrove yang ada. Kisaran suhu ini mendukung
untuk syarat tumbuhnya mangrove pada habitat tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat Saenger (1979) dalam Setyawan, dkk, (2002) bahwa kisaran suhu
optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 18-30oC.
2. Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
perkembangan mangrove, baik laju pertumbuhan, kemampuan bertahan, dan
zonasi dari spesies mangrove. Faktor yang mempengaruhi tingginya fluktuasi
salinitas yaitu pola sirkulasi air, ketersediaan dan pasokan air tawar, penguapan,
curah hujan, dan aliran sungai (Nontji, 2003).
Berdasarkan hasil pengukuran dilokasi penelitian, salinitas air laut pada
keempat stasiun penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, karena
masih berada pada kisaran 28,6‰ -30‰. Hal ini karena habitat mangrove dilokasi
44
penelitian tidak ada ketersediaan air tawar serta lokasinya yang berhadapan
langsung dengan laut bebas sehingga sangat mempengaruhi salinitas pada habitat
mangrove di lokasi penelitian tersebut. Salinitas tertinggi pada lokasi penelitian
ditemukan pada stasiun III dan IV yaitu sebesar 30‰, sedangkan salinitas
terendah ditemukan pada stasiun I dan II sebesar 28,6‰ (Tabel 10).
Kisaran salinitas pada lokasi penelitian dapat dikatakan bahwa salinitas ini
memang masih mendukung pertumbuhan mangrove pada lokasi tersebut, karena
secara umum mangrove dapat tumbuh pada perairan yang memiliki salinitas
10‰-30‰. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusmana (2005) dalam Taher ( 2011)
bahwa salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar
antara 10‰-30‰.
3. Derajat Keasaman (pH) Air
Derajat keasaman (pH) merupakan faktor pembatas bagi organisme yang
hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan
mempengaruhi ketahanan hidup organisme dan vegetasi yang hidup didalamnya
(Odum, 1993). pH air pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 6,5 – 7,4
(Tabel 10). Kisaran nilai pH masih merupakan kisaran pH yang mendukung
tumbuhnya mangrove. Pada lokasi pengamatan, pH tertinggi terdapat pada stasiun
II dan III yakni sebesar 7,4 sedangkan pH terendah ditemukan pada stasiun I
yakni sebesar 6,5.
Variasi pH air ini disebabkan oleh kadar bahan organik dan mineral pada
tanah sedimen, serta kandungan mineral dari air laut. Berdasarkan kisaran pH
yang ada, menandakan bahwa perairan disekitar mangrove di lokasi penelitian
45
pada keempat stasiun termasuk produktif, karena kandungan bahan organik lebih
banyak berasal dari lingkungan mangrove itu sendiri. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kaswadji (1971) bahwa pH dengan nilai 5,5-6,5 dan >8,5 termasuk
perairan yang kurang produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk dalam
perairan yang produktif serta pH 7,5-8, 5 termasuk perairan dengan produktivitas
yang tinggi.
4. Derajat Keasaman (pH) Tanah
Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion H+ di dalam tanah.
Derajat keasaman tanah mempengaruhi transportasi dan keberadaan nutrien yang
diperlukan tanaman (Murdiyanto, 2003 dalam Bahri, 2007). Jenis tanah banyak
dipengaruhi oleh keasaman tanah yang berlebihan, yang mengakibatkan tanah
sangat peka terhadap terjadinya proses biologi. Jika keadaan lingkungan berubah
dari keadaan alaminya, keadan pH tanah juga akan dapat berubah (Arief, 2003).
Nilai pH tanah yang diukur pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 6-7.
Nilai pH tanah tertinggi ditemukan pada stasiun III dan IV yaitu sebesar 7
sedangkan nilai pH tanah terendah ditemukan pada stasiun I dan stasiun II yaitu
sebesar 6 (Tabel 10).
Kisaran pH pada stasiun III dan IV masih bersifat netral karena semua
nilainya 7, sedangkan stasiun I dan II pH tanah bersifat asam. Hal ini sesuai
dengan pendapat Murdiyanto (2003) dalam Bahri (2007) bahwa umumnya pH
tanah mangrove berkisar antara 6-7, kadang-kadang turun menjadi lebih rendah
dari 5. Kondisi tanah pada area mangrove biasanya bersifat asam karena
banyaknya bahan organik di kawasan itu.
46
5. Substrat
Karakteristik substrat merupakan faktor utama yang membatasi
pertumbuhan dan distribusi tanaman mangrove. Perbedaan dari karakteristik fisik
dan kimia tanah akan menyebabkan perbedaan pada zonasi mangrove. Substrat
tanah dihutan mangrove memiliki ciri-ciri selalu basah, mengandung garam,
kandungan oksigen sedikit dan kaya akan bahan-bahan organik. Bahan organik
yang terdapat didalam tanah berasal dari perombakan sisa tumbuhan yang
diproduksi oleh mangrove itu sendiri. Menurut Soeroyo (1993) dalam Bahri
(2007) walaupun terjadi pengendapan tanah pada hutan mangrove yang dapat
meningkatkan lapisan lumpur, tanah tersebut tidaklah konstan, karena hal ini
mungkin sangat dipengaruhi oleh aliran air laut. Adanya aliran laut ini juga
mempengaruhi terdamparnya bibit-bibit untuk tumbuh. Tetapi dengan adanya
sistem perakaran yang menggantung akan membantu pertumbuhan semai.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa tipe substrat pada stasiun I dan II
adalah lumpur. Tipe substrat lumpur berpasir ditemukan pada stasiun III dan IV.
Penyebaran spesies mangrove di lokasi penelitian sesuai dengan tipe substrat
tumbuhnya mangrove pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeroyo
(1993) dalam Bahri (2007) bahwa mangrove Rhizophora, khususnya Rhizophora
mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang berlumpur dan dalam.
Pernyataan tersebut diperkuat lagi oleh pendapat Sukadjo (1984) dalam Adamy
(2009) bahwa jenis substrat mangrove yang berupa lumpur tebal dapat tumbuh
jenis mangrove Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia marina,
dan Bruguiera gymnorrhiza dapat tumbuh baik.