Post on 06-Feb-2018
BAB IV
ANALISIS PRAKTEK SRAH-SRAHAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Analisis Yuridis Terhadap Srah-Srahan Di Desa Kalimati Kecamatan
Brebes Kabupaten Brebes
Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa jawa secara antropologi
budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan
bahasa jawa dengan berbagai macam dialegnya secara turun-temurun.1
Masyarakat jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat
oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat
dilihat dari ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan.
Oleh karena itu, wajar pula kiranya ketika Islam dipahami oleh orang
jawa, maka nilai-nilai kejawaan tidak sepenuhnya hilang, terlebih lagi salah
satu teori tentang masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui jalur Gujarat
yang memiliki nuansa mistik sebagaimana kecenderungan orang jawa.
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu
dengan sebutan kenduren atau slametan. Seperti pada upacara perkawinan
dilakukan pada saat muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga.
Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syariat Islam
yakni aqad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita
dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan
1 M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 3
44
45
yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering pada tahap
aqad nikah dan tahap sesudah aqad nikah (ngunduh manten, resepsi
pengantin). Antara upacara aqad nikah dengan resepsi, dari segi waktu
pelaksanaannya dapat secara berurutan atau secara terpisah. Jika terpisah,
maka dimungkinkan dilakukan beberapa kali upcara slametan, seperti pada
saat ngunduh manten, pembukaan nduwe gawe, ditandai dengan slametan
nggelar klasa, dan pada saat mengakhirinya dilakukan slametan mbalik klasa.
Srah-srahan yang merupakan upacara adat perkawinan orang jawa,
mempunyai tempat yang sangat urgen dalam tata kehidupan masyarakat jawa.
Hal ini disebabkan sifat orang jawa yang begitu kuat memegang tradisi dan
kepercayaan mereka terhadap kekuatan supranatural membuat mereka takut
untu meninggalkan suatu tradisi yang sudah ada.
Srah-srahan dalam perkawianan adat jawa merupakan suatu
pemberian yang mempunyai kedudukan penting dalam pelaksanaan suatu
perkawianan dan mempunyai dampak yang sangat berarti dalam kehidupan
calon suami berdasarkan fungsi srah-srahan baik yang berkaitan dengan diri
pribadi calon pengantin maupun masyarakat sebagai syarat keabsahan suatu
perkawinan. Srah-srahan merupakan suatu yang wajib adanya, yang harus
diupayakan oleh seorang calon suami untuk diberikan kepada pihak calon
istrinya. Walaupun bentuk suatu barang atau benda yang dijadikan srah-srahan
sangat sederhana.
Dalam hal pemberian srah-srahan tidak ditentukan jumlahnya
maupun banyaknya barang yang akan diserahkan tergantung pada kemampuan
45
46
masing-masing pihak. Perbedaan tingkat sosial dalam masyarakat
mempengaruhi bentuk maupun jumlah srah-srahan yang dibayarkan menjadi
hal yang perlu dipertimbangkan karena menyangkut prestise (harga diri)
seseorang atau keluarganya. Sebagian masyarakat masih mengutamakan srah-
srahan dari pada lamaran, karena kebanyakan orang jawa sering kali
mempertanyakan berapa jumlah atau besar srah-srahan yang diberikan oleh
calon suaminya sehingga srah-srahan terkadang lebih besar jumlahnya dari
pada lamaran.2
Srah-srahan dilihat dari kedudukannya dalam perkawinan adat jawa
di desa Kalimati adalah sebagai sarana diterimanya suatu perkawinan dalam
masyarakat, karena di dalam srah-srahan mengandung unsur-unsur yang
dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Menurut hukum adat suatu perkawinan
dianggap sah apabila telah sesuai dengan ketentuan atau aturan-aturan agama
yang dianut oleh pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan.
Biasanya pembayaran atau pemberian itu terjadi satu hari sebelum
perkawinan atau sebelum ijab qabul. Oleh karenanya ia merupakan syarat
untuk melaksanakan perkawinan.3
Biasanya pihak wanita adakalanya mengajukan permintaan kepada
pihak yang meminang agar dipenuhi asok tukon yaitu misalnya meminta
rantai emas disamping adanya peningset/serahan sebagai tanda cinta kasih
dan mungkin juga pihak wanita akan meminta pula kembenini atau kain
untuk nenek yang masih hidup sebagai syarat perkawinan mereka. Jika si
2 Wawancara dengan Kyai Yasin, Kalimati tanggal 2 Nopember 2004 3 Wawancara dengan Noor Rosin, Kalimati tanggal 4 November 2004
46
47
wanita masih mempunyai kakak pria atau wanita, kadang-kadang pihak wanita
akan meminta uang pelangkah atau bahan pakaian lengkap untuk
diberikan kepada kakak yang dilangkahi perkawinannya.4
Berdasarkan waktu penyerahan srah-srahan menunjukkan bahwa
kedudukannya sangat mempengaruhi lancarnya upacara perkawinan.
Penyerahan srah-srahan baiasanya dilaksanakan sebelum upacara akad nikah
atau temon pengantin. Hal ini dimaksudkan agar pihak keluarga mempelai
wanita dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang.
Selain sebagai suatu syarat keabsahan perkawinan, srah-srahan
berdasarkan unsur-unsur yang ada didalamnya juga merupakan pemberian
hadiah. Unsur-unsur di dalam syaratnya juga merupakan suatu yang
ditunjukkan untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu misalnya unsur
pemesing yaitu suatu yang diberikan kepada kakek atau nenek dari pihak
wanita atau pelangkah yaitu yang diberikan kepada kakak calon pengantin
perempuan yang dilangkahi.
Dapat dikatakan bahwa srah-srahan mengandung unsur dua makna,
pertama, dilihat dari kedudukan srah-srahan merupakan syarat keabsahan
suatu perkawinan di kalangan masyarakat jawa. Kedua, dari segi fungsinya
srah-srahan merupakan pemberian hadiah untuk menyenangkan semua pihak-
pihak tertentu secara khusus (calon mempelai perempuan, kakek atau nenek
dari pihak perempuan secara khusus).
4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003,
hlm. 54
47
48
Perkawinan menurut hukum adat berarti suatu ikatan antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan
dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga
berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari
pihak istri dan pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan
kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menjujung hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai.
Selanjutnya sehubungan dengan azaz-azaz perkawinan yang dianut
oleh UU No. 1/1974 maka asas perkawinan menurut hukum adat adalah:
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia, dan kekal.
b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan
atau kepercayaan tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota
kerabat
c. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dengan beberapa wanita sebagai istri
yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh hukum adat setempat.
d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami istri yang tidak
diakui masyarakat adat.
e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur
dan masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur
perkawinan harus berdasarkan izin orang tua atas keluarga dan kerabat.
48
49
f. Perceraian ada yang dibolehkan ada yang tidak dibolehkan percaraian
antara suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara
kedua pihak.
g. Keseimbangan kedudukan antara suami istri dan istri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai
ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.5
Srah-srahan merupakan pola yang umum dilakukan oleh masyarakat
maksudnya adalah pola yang dapat ditemui pada masyarakat hukum adat yang
ada di Indonesia ini. Dan merupakan rangkaian perkawinan yang masih
dilakukan oleh masyarakat Kalimati.
Walaupun srah-srahan tidak dijelaskan dalam Undang-Undang,
namun srah-srahan sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada
masyarakat tersebut.
KEDUDUKAN SRAH-SRAHAN DALAM HUKUM ISLAM
Khitbah di dalam hukum Islam dikenal dengan adanya pinangan
yang dilakukan sebelum aqad nikah dengan memakai tenggang waktu atau
pun tidak memakainya.6 Dalam hal ini al Qur'an menegaskan bahwa:
): (
Artinya: Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran yang baik atau kamu
5 Ibid, hlm. 71 6 Djaman Nur, fikih Munakahat, Semarang : Bina Utama, Cet I, 1993, hal 16.
49
50
menyembunyikan (keinginan mengawininya) dalam hatimu (al Baqarah : 235)7
Ini berarti dalam hukum Islam dianjurkan adanya khitbah sebelum
melangsungkan perkawinan. Supaya didapatkan ketentraman akan
benarnya pilihan dari berbagai aspek perempuan yang dikehendaki,
sehingga tidak ada lagi ganjalan dan keraguan.
Agama Islam dalam menyikapi budaya jawa yang penuh dengan
tradisi atau adat kebiasaan. Bahwa Islam menerima adat sepanjang tidak
menyentuh dalam aqidah, adat atau kebiasaan masyarakat di satu daerah
yang telah menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan dan dianggap
sebagai aturan atau norma yang harus ditaati, maka adat tersebut dapat
dikaitkan sebagai suatu hukum Islam yang mengakui keefektifan adat
istiadat dalam interpretasi hukum.
Syariat Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar
akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah memainkan peran penting
dalam mengatur lalu lintas hubungan dan tertib sosial di kalangan anggota
masyarakat. Adat kebiasaan berkedudukan pula sebagai hukum yang tidak
tertulis dan dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan rasa kesadaran hukum
mereka. Adat kebiasaan yang tetap sudah menjadi tradisi dan menyatu
dengan denyut kehidupan masyarakatnya. Dalam hal ini yang seperti ini
adalah suatu hal yang sulit untuk mengubahnya karena itu, hal-hal yang
tidak bertentangan dengan prinsip aqidah, tauhid dan tidak bertentangan
pula dengan rasa keadilan dan peri kemanusiaan. Syariat Islam bukan saja
7 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra, tth, hal 57.
50
51
membiarkan hukum adat berlangsung terus bahkan menempatkannya
dalam kerangka hukum Islam itu sendiri.8
Adat kebiasaan memainkan peranan penting didala sejarah
perkembangan dan kebangkitan manusia baik didalam kehidupan sosial
maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranan tersebut banyak
dipengaruhi oleh dua faktor yang pokok yaitu iklim dan kebangsaan,
kebiasaan menjadi bertambah kuat kedudukannya dengan perantaraannya
yang memindahkannya sampai menjadi kepastian didalam kehidupan
bangsa.9
Tradisi srah-srahan dalam masyarakat jawa ini berlaku bagi
orang-orang jawa bahkan suku lain di Indonesia juga memiliki adat yang
hampir sama dengan srah-srahan namun berbeda dengan istilah nama atau
penyebutannya. Oleh karena itu srah-srahan dalam perkawinan adat jawa
di desa Kalimati kecamatan Brebes kabupaten Brebes dapat dikatakan
sebagai suatu kebiasaan yang baik (urf as sohih).
Adapun status hukum dalam srah-srahan menurut masyarakat
Kalimati kecamatan Brebes kabupaten Brebes adalah merupakan syarat
keabsahan suatu perkawinan hal itu dibolehkan dalam hukum Islam.
Sesuai dengan kaidah :
10
8 Nourouzaman Shidiqi, Fiqh Islam Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. I, 1997, hlm. 123 9 Ibid hlm. 124 10 Kamal Mukhtar,dkk, Ushul Fiqh,Yogyakarta: PT Dana Bakti, Wakaf,1995 hlm. 150
51
52
Dengan demikian srah-srahan dalam perkawinan adat jawa
berdasarkan fungsi kedudukannya yang masih dipertahankan dan
dilaksanakan oleh sebagian masyarakat jawa, selama tidak merugikan salah
satu pihak dan sesuai dengan tujuan syara maka hukumnya adalah mubah
(boleh).
B. Analisis Soiologis Terhadap Srah-Srahan di Desa Kalimati
Kecematan Brebes Kabupaten Brebes
Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem
patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan
yang mempunyai posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga
separoh bagian laki-laki, sehingga wajar jika posisi yang lemah ini harus
dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa
mengangkat keadilan dan martabat perempuan.
Dari sinilah nampaknya titik perbedan istilah srah-srahan di desa
Kalimati dengan desa atau daerah lainnya. Srah-srahan merupakan bagian
yang penting dalam perkawinan dalam desa Kalimati, dan bahkan hampir bisa
dikatakan menjadi salah satu syarat dalam suatu perkawinan. Tidak ada srah-
srahan, ya tidak ada perkawinan. Ungkap salah seorang warga Kalimati
ketika diwawancarai penulis menujukkan betepa pentingnya srah-srahan
dalam perkawinan.
Dalam praktek pelaksanaan srah-srahan, pihak laki-laki memberikan
sesuatu kepada perempuan selain sebagai bentuk penghormatan kepada
perempuan juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang suami kepada
52
53
istrinya. Proses tanggung jawab yang berupa pemberian dalam srah-srahan
ini akan dilanjutkan dalam kehidupan rumah tangga nantinya, dimana suami
mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Tanggung
jawab dalam rumah tangga selanjutnya tidak sebatas tanggung jawab dalam
hal materi, pemberian nafkah dan keperluan hidup lainnya, yaitu tempat
tinggal, pakaian dan sebagainya. Namun juga mencakup immateri, nafkah
batin, kasih sayang terhadap istri.11
Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai
tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu
timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu
berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur
keperluan dalam rumah tangga.
Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai
tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu
timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu
berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur
keperluan dalam rumah tangga.
Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa
Kalimati juga menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem
patriarki (patrilineal), yaitu sistem sosial yang mendasarkan sebagai urusan,
khususnya masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan faktor
keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak
11 Tanggung Jawab dalam istilah hukum perkawinan Indonesia lebih dikenal dengan istilah hak dan kewajiban istri, dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan 84.
53
54
yang memegang peranan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial
lainnya, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu.
Implikasi lain dari model masyarakat patriarki adalah dalam hal
pembagian harta waris, dimana laki-laki adalah dua kali lipat bagian
perempuan atau bagian perempuan itu separoh bagian laki-laki.
Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem
patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan
menempati posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh
bagian laki-laki, sehingga wajar bila posisi yang lemah ini harus dilindungi
dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat
keadilan dan martabat perempuan.
Fenomena srah-srahan dalam proses perkawinan di desa Kalimati
kecamatan Brebes kabupaten Brebes merupakan suatu adat atau tata cara yang
bersifat lokal. Maksudnya, srah-srahan dalam perkawinan itu belum tentu
dijumpai di daerah lain.
Secara umum tradisi dalam masyarakat kita jika ada seorang pria
hendak memperistri wanita, maka sang pria memberikan sesuatu benda atau
uang kepada pihak calon pengantin wanita. Tidak ada ukuran standar
mengenai bentuk dan ukuran pemberian tersebut, apakah itu berupa perhiasan
(emas), uang tunai, perlengkapan rumah tangga, buah-buahan dan sebagainya.
Bentuk-bentuk pemberian tersebut bersifat tidak mengikat, baik dalam ukuran
dan jenisnya, dan bahkan jika tidak ada pemberian pun tidak menyebabkan
terganggunya proses perkawinan.
54
55
Posisi srah-srahan di desa Kalimati merupakan norma masyarakat.
Norma-norma dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang
berbeda-beda. Srah-srahan dalam masyarakat Kalimati merupakan kebiasaan
(folk ways), yang dalam ilmu sosial mempunyai kekuatan mengikat yang lebih
besar dari pada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak
menyukai perbuatan tersebut.12
Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa
Kalimati menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem patriarki
(patrilenial), yaitu sistem sosial yang mendasarkan berbagai urusan, khususnya
masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan factor keturunan dari pihak
laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak yang memegang
perenan yang signifikan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial
lainnya, misalnya laki-laki dianggap lebih kuat, lebih pintar, dan lebih mampu
dari perempuan. Oleh karenanya laki-laki dibebani tanggung jawab dan
pelaksanaan utama, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu.
Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem
patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan
yang mempunyai posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga
separoh bagian laki-laki, sehingga wajar jika posisi yang lemah ini harus
dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa
mengangkat keadilan dan martabat perempuan.
12 Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, Edisi
Baru, hlm. 194-195
55
56
Dari sinilah nampaknya titik perbedan istilah srah-srahan di desa
Kalimati dengan desa atau daerah lainnya. Srah-srahan merupakan bagian
yang penting dalam perkawinan dalam desa Kalimati, dan bahkan hampir bisa
dikatakan menjadi salah satu syarat dalam suatu perkawinan. Tidak ada srah-
srahan, ya tidak ada perkawinan. Maksudnya apabila tidak ada srah-srahan
maka perkawinananyan dilaksanakan diluar daerah. Ungkap bapak H.Abas
warga Kalimati ketika diwawancarai penulis menujukkan betapa pentingnya
srah-srahan dalam perkawinan padahal semua itu hanya menjaga gengsi.13
Dalam praktek pelaksanaan srah-srahan, pihak laki-laki memberikan
sesuatu kepada perempuan selain sebagai bentuk penghormatan kepada
perempuan juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang suami kepada
istrinya. Proses tanggung jawab yang berupa pemberian dalam srah-srahan
ini akan dilanjutkan dalam kehidupan rumah tangga nantinya, dimana suami
mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Tanggung
jawab dalam rumah tangga selanjutnya tidak sebatas tanggung jawab dalam
hal materi, pemberian nafkah dan keperluan hidup lainnya, yaitu tempat
tinggal, pakaian dan sebagainya. Namun juga mencakup immateri, nafkah
batin, kasih sayang terhadap istri.14
Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai
tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu
timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu
13 Wawancara dengan bapak H. Abas pada tanggal 16 oktober 2004 14 Tanggung Jawab dalam istilah hukum perkawinan Indonesia lebih dikenal dengan
istilah hak dan kewajiban istri, dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan 84.
56
57
berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur
keperluan dalam rumah tangga.
Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa
Kalimati juga menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem
patriarki (patrilineal), yaitu sistem sosial yang mendasarkan sebagai urusan,
khususnya masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan faktor
keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak
yang memegang peranan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial
lainnya, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu.
Implikasi lain dari model masyarakat patriarki adalah dalam hal
pembagian harta waris, dimana laki-laki adalah dua kali lipat bagian
perempuan atau bagian perempuan itu separoh bagian laki-laki.
Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem
patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan
menempati posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh
bagian laki-laki, sehingga wajar bila posisi yang lemah ini harus dilindungi
dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat
keadilan dan martabat perempuan.
57
KEDUDUKAN SRAH-SRAHAN DALAM HUKUM ISLAM