Post on 10-Aug-2019
BAB III
PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
A. Pengelolaan Hutan Oleh Negara
Penyelenggaraan Kehutanan di Indonesia didasarkan pada Undang-
undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang mengatur tentang kehutanan serta hukum lingkungan.1
Undang-Undang Kehutanan merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat,2 bersama dengan presiden,3 dan dijalankan oleh presiden
sebagai kepala pemerintahan.4 Penyelenggaraaan Kehutanan di Indonesia yang
didasarkan pada Undang-Undang merupakan konsekuensi dari bentuk Indonesia
sebagai Negara Hukum.5
Pemerintah, sebagai alat penyelenggara kekuasaan Negara6 mendapat
mandat kewenangan dari Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa.7 Kewenangan-kewenangan pemerintah untuk melakukan aktifitas
kehutanan adalah :8
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
1 Salim, H.S., Op.Cit., hlm.7.
2 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
3 Pasal 20 ayat (2) undang-Undang Dasar 1945.
4 Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945.
5 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
6 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Loc.Cit,
7 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.
8 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan
hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
Pengertian dari kewenangan Negara untuk mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
adalah penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang meliputi perencanaan
kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan.9 Salah satu kegiatan
pengelolaan hutan adalah pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan.10 Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.11
Berdasarkan peruntukannya, hasil hutan dibedakan menjadi dua, yaitu
hasil hutan langsung dan tidak langsung.12 Hasil hutan secara langsung adalah
hasil kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara
lain rotan, getah, buah-buahan, madu, dan sebagainya,13 dan Hasil hutan tidak
langsung adalah manfaat hutan sebagai pengatur tata air, pencegah terjadinya
erosi, manfaat dalam bidang kesehatan, keindahan, kesehatan, pertahanan dan
9 Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
10 Pasal 21 (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
11 Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
12 Ibid, hlm.114.
13 Salim, H.S., Op.Cit., hlm.1.
keamananan, tenaga kerja dan sebagai penyumbang devisa bagi Negara.14
Pengelolaan manfaat hutan secara langsung merupakan hak Negara sedangkan
manfaat hutan secara tidak langsung merupakan milik umum.15
Pengelolaan hutan didahului dengan percencanaan kehutanan sebagai
pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan
kehutanan.16 Salah satu kegiatan perencanaan kehutanan adalah pengukuhan
kawasan hutan,17 yang dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang
wilayah.18 Kemudian, pengelolaan hutan harus memperhatikan pembagian
status dan fungsi hutan.
Berdasarkan status dan fungsinya, yaitu suatu pembagian hutan yang
didasarkan pada status kedudukan antara orang, badan hukum, atau institusi
yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan,19
dibedakan menjadi hutan Negara dan hutan hak.20 Hutan Negara adalah hutan
yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah,21 dan Hutan Hak
adalah hutan yang berada pada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah.22 Hak-hak atas tanah adalah hak-hak yang meliputi hak milik, hak guna-
usaha,hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
14
Ibid, hlm.1. 15
Ibid., hlm.114. 16
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 17
Pasal 12 (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 18
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 19
Salim H.S., OP.Cit., hlm.43. 20
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 21
Pasal 1 (d) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 22
Pasal 1 (e) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
memungut-hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut.23
Hutan Negara dapat juga berupa hutan adat,24 yaitu hutan yang berada di
wilayah Masyarakat Hukum Adat.25 Pengelolaan hutan adat diserahkan kepada
Masyarakat Hukum Adat.26 Berdasarkan fungsinya, yaitu penggolongan hutan
yang didasarkan pada kegunaannya,27 hutan dibedakan menjadi tiga, yaitu
fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.28
Hutan Konservasi yang dimaksud adalah hutan yang terdiri dari kawasan
hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.29 Hutan
suaka alam berfungsi sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan,30 dan kawasan hutan pelestarian alam
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.31
Pengelolaan hutan di Indonesia harus berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan.32 Ketiga
23
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1960. 24
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 25
Pasal 1 (f) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 26
Penjelasan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, pasal 5 ayat (1). 27
Salim, H.S., Op.Cit.,hlm.44. 28
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 29
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 30
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (Selanjutnya disbeut sebagai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990). 31
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. 32
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
asas tersebut harus diperhatikan secara sungguh-sunggu oleh pemegang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.33 Pada
hakikatnya, hak pengusahaan hutan merupakan hak untuk mengusahakan hutan
alam di dalam suatu wilayah hutan, yang meliputi kegiatan penebangan kayu,
peremajaan dan pemeliharaan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.34
Kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan ini dilakukan berdasarkan izin Hak
Pengusahaan Hutan.35
Subjek hukum pemegang Hak Pengusahaan Hutan adalah perusahaan
milik Negara, yaitu Badan Usaha Milik Negara dalam bentuk Perusahaan
Perseroan dan Perusahaan Daerah, Perusahaan swasta, baik swasta nasional
maupun asing, dan perusahaan campuran, yaitu usaha bersama antara
perusahaan milik Negara dan perusahaan swasta asing maupun swasta
nasional.36 Pemegang Hak Pengusahaan Hutan mempunyai hak dan kewajiban.
Hak pemegang izin Hak pengusahaan Hutan adalah menebang kayu, mengolah
hasil hutan, dan memasarkan hasil hutan, sedangkan kewajibannya adalah
membayar iuran hak pengusahaan hutan; membuat rencana pengusahaan
hutan; mengelola wilayah hutan berdasarkan rencana pengelolaan hutan;
menaati peraturan di bidang perburuhan; mendirikan industri pengolahan hasil
hutan; menaati hak-hak Masyarakat Hukum Adat di sekitar lokasi Hak
Pengusahaan Hutan; memberikan data dan bantuan kepada petugas-petugas
33
Salim, H.S., Op.Cit., hlm.60. 34
Ibid, hlm.61. 35
Ibid, hlm.61. 36
Pasal 9 PP Nomor 2 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (selanjutnya disebut PP Nomor 2 tahun 1970).
pelaksana pemeriksaan, baik yang dilakukan pejabat berwenang maupun
pejabat-pejabat kehutanan.37
Pengelolaan hutan juga harus memperhatikan hak-hak Masyarakat
Hukum Adat.38 Pengaturan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dilakukan sebagai
implikasi dari pengakuan Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat,39 dan
karena keberadaan mereka yang sudah ratusan tahun sebelum Indonesia
terbentuk dan merdeka.40 Masyarakat Hukum Adat sebagi sebuah komunitas tua
menjalankan praktek-praktek pengelolaan hutan sesuai dengan hukum adat
mereka dan mereka sudah menjalankan hukum adat tersebut jauh sebelum
Indonesia merdeka, oleh karena itu Negara menghormati keberadaan mereka41
dan melindungi praktek-praktek pengelolaan hutan yang mereka lakukan
sebagai suatu hak khusus. Hak-hak tersebut adalah:42
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan.
37
Pasal 3 sampai Pasal 7 PP Nomor 21 tahun 1970. 38
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 39
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 40
Otje Salman Soemadiningrat, Loc.Cit. 41
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945. 42
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
Berdasarkan uraian di atas, pengelolaan hutan oleh Negara didasarkan
oleh hak menguasai Negara yang tercantum pada pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 yang dijadikan landasan oleh Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan untuk mengakui penguasaan negara terhadap
hutan. Pengelolaan hutan oleh Negara merupakan salah satu kewenangan yang
didelegasikan oleh Negara kepada pemerintah untuk memanfaatkan hasil hutan
berupa hasil hutan secara langsung, yaitu hasil hutan kayu dan non-kayu.
Kewenangan pengelolaan hutan oleh Negara dapat diberikan kepada
badan usaha milik Negara maupun badan usaha milik swasta nasional maupun
asing dan Pengelolaan hutan oleh badan-badan usaha tersebut tetap harus
memperhatikan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan menghormati hak-hak
pengelolaan hutan mereka sebagai tindak lanjut dari pengakuan Negara
terhadap Masyarakat Hukum Adat.
B. Praktek Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat di Indonesia
Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat hukum yang berdasarkan
hukum adat atau adat-istiadat.43 Masyarakat Hukum Adat ini terikat oleh tatanan
hukum adat yang tumbuh dan berkembang secara alami dalam Masyarakat
Hukum Adat.44 Hukum adat ini merupakan pedoman hidup yang mengatur
aspek-aspek kehidupan Masyarakat Hukum Adat termasuk aspek pengelolaan
lingkungan hidup mereka yang umumnya adalah hutan. Praktek-praktek
pengelolaan hutan oleh Masyarakat Hukum Adat di antaranya adalah :
43
Pernyataan Profesor Bagir Manan yang dilihat dari buku Husen Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Laksbang Indopress, Yogyakarta, 2010, hlm.37. 44
Husen Alting, Op.Cit., hlm.31.
a. Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih
Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih di desa Batu Kerbau tinggal
di dua desa, yaitu Desa Batu Kerbau dan Desa Baru Pelepat.45 Objek penelitian
pada tulisan ini adalah Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih yang berada
di Desa Batu Kerbau. Desa Batu Kerbau adalah sebuah desa yang terletak di
Hulu Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.46 Dari sejarah lahirnya,
Masyarakat Hukum Adat ini diketahui bahwa mereka berasal dari Kerajaan
Pagaruyung Minangkabau47 sehingga adat-istiadat Masyarakat Hukum Adat
Datuk Sinaro Putih adalah adat istiadat Minangkabau,48 yang hingga saat ini
masih dipertahankan oleh Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih. Adat-
istiadat Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih ini berprinsip pada “negeri
berpagar undang, kampung berpagar cupak” yang berarti bahwa setiap daerah
atau wilayah kampung memiliki adat yang harus dijaga dan ditaati oleh
masyarakat kampung tersebut.49
Pengaruh adat-istiadat Minangkabau mempengaruhi struktur sosial
masyarakat Desa Batu Kerbau, di mana masing-masing Masyarakat Hukum
Adat mewarisi suku-suku yang ada di Minangkabau (seperti suku Jambak,
Melayu dan Caniago),50 yang garis keturunannya ditarik dari garis keturunan
45
Penelitian terhadap Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat yang dilakukan oleh Herlambang Perdana Wiratraman, dan kawan-kawan, yang kemudian dituangkan dalam buku yang berjudul Antara Teks dan Konteks, DInamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia, HuMa (Pembaharuan HUkum Berbasis Masyarakat Hukum Adat), Jakarta, 2010, hlm.83. 46
Ibid, hlm.83. 47
Ibid, hlm.83. 48
Ibid, hlm.83. 49
Ibid, hlm.83. 50
Ibid, hlm.83.
ibu.51 Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih pun mempunyai tata susunan
lembaga tersendiri, yaitu tata susunan lembaga masyarakat adat yang diketuai
oleh Datuk Tiang Panjang yang diikuti Datuak Rabun, Penghulu Alam, dan
Dubalang pada tingkatan di bawah ketua adat. Mereka juga mengenal harta
pusaka yang terdiri dari harta pusaka rendah dan harta pusaka tinggi.52
Pengaturan pengelolaan hutan dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat
Datuk Sinaro Putih berdasarkan falsafah “ke darat berbunga kayu, ke air
berbunga pasir,” yang berarti apabila seseorang menebang kayu, mengambil
rotan, damar, dan jelutung di hutan serta mengambil pasir atau batu dan
membuat perahu untuk dijual, orang itu harus membayar “pancung alas”, yaitu
retribusi kepada kepala adat, sedangkan apabila hanya digunakan untuk
keperluan sendiri maka orang itu dibebaskan dari pancung alas dan cukup
dengan hanya mendapat persetujuan dari pemimpin adat.53 Pelaksanaan
pengelolaan hutan oleh Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih pun
didasarkan pada prinsip-prinsip, di antaranya:54
a. Dalam berladang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih harus
sompak, kompak, setumpak yang berarti masyarakat dalam
melaksanakan perladangan dilakukan secara bersama-sama dan jika
tidak melakukan perladangan secara bersama maka akan mendapat
teguran dari ninik mamak berdasarkan jumlah jiwa dalam keluarga.
51
Ibid, hlm.83. 52
Ibid, hlm.83. 53
Ibid, hlm.83. 54
Ibid, hlm.84.
b. Umpan boleh disisip, kerap boleh diganggu yang berarti pengambilan
sumber daya alam harus memperhatikan potensi yang ada. Jika
potensinya baik maka sumber daya alam tersebut bisa diambil dan jika
rusak maka harus diperbaiki.
c. Bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti
ali yang berarti Sumber Daya alam harus dipertahankan
kelestariannya.
d. Lapuk pua jalipung tumbuh yang berarti lahan kritis harus mendapat
penghijauan kembali.
Selain prinsip-prinsip pengelolaan hutan di atas, Masyarakat Hukum
Adat Datuk Sinaro Putih juga menjalankan ketentuan pengelolaan hutan
lainnya yang diwarisi oleh nenek moyang mereka, yaitu mempertahankan
sempadan sungai, larangan menebang Pohon Sialang tempat bersarangnya
lebah penghasil kayu, menebang pohon yang tumbuh di daerah lereng atau
curam dan menetapkan beberapa kawasan menjadi hutan larangan.55
Menurut Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih, kawasan hutan adat
dan hutan lindung desa merupakan hak atas Sumber Daya Alam mereka.56
b. Masyarakat Hukum Adat Boya Marena di Desa To’ Kulawi
55
Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah, Hutan Adat Batu Kerbau : Sisa Kearifan Lokal dalam “Belajar dari Bungo, Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi”, CIFOR, 2008, hlm.71. 56
Herlambang Perdana Wiratraman, Op.Cit.
Masyarakat To’ Kulawi berada di Provinsi Sulawesi Tengah yang
wilayahnya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).57
Salah satu kampung To’ Kulawi adalah Boya Marena yang merupakan
bagian dari Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Provinisi
Sulawesi Tengah.58 Boya Marena berada di antara dua kawasan hutan, yaitu
TNLL yang berada pada sisi timur dan hutan lindung pada sisi barat,
sedangkan di tengah-tengah kampung terdapat lahan yang dulu dikuasi oleh
PD. Sulteng. Sejak sekitar tahun 1930, Boya Marena telah didiami keluarga
yang berasal dari Desa Boladangko, Desa Bolapapu dan Ngata Toro untuk
kegiatan perladangan.59 Dalam kesehariannya, Masyarakat Boya Marena
umumnya bekerja sebagai petani ladang, sawah dan kakao, namun sejak
adanya pengukuhan kawasan hutan Negara tahun 1970 pola pertanian
ladang berubah menjadi pertanian menetap, sejak saat itu kecenderungan
masyarakat Boya Marena menanam kakao semakin dominan.60
Pengelolaan sumber daya alam di wilayah kehidupan Boya Marena diatur
berdasarkan hukum adat.61 Secara tradisional, pengelolaan sumber daya
alam tersebut dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kategori pengelolaan
sumber daya tanah dalam perladangan, pengelolaan sumber daya hutan dan
pengelolaan sumber daya air.62 Ketiga kategorisasi pengelolaan sumber daya
alam ini merupakan sarana yang membentuk identitas budaya yang berjalan
57
Ibid, hlm.107. 58
Ibid, hlm.107. 59
Ibid, hlm.108. 60
Ibid, hlm.108. 61
Ibid, hlm.109. 62
Ibid, hlm.109.
hingga saat ini.63 Selain kategorisai pengelolaan sumber daya alam, wilayah
kehidupan masyarakat terdapat pengelompokan wilayah secara tradisional
sesuai peruntukannya, yaitu Wana Ngkiki, Pangale, Bone, Balingkea,
Pahawa Pongko dan Oma.64
Aktivitas manusia hanya boleh dilakukan pada wilyaha uang masuk ke
dalam kategori wilayah Pangale yang merupakan kategori wilayah hutan
yang berada di pegunungan dan daratan. Bagi masyarakat Boya Marena,
kawasan ini merupakan cadangan lahan yang dieprsiapkan untuk
perladangan dan daerah datarannya dikhususkan untuk sawah.65 Pada
wilayah ini juga masyarakat boleh mengambil kayu dan rotan, obat-obatan
dan perlengkapan ritual pemujaan.
Pembagian kategori wilayah dan pengelolaan sumber daya alam di atas
merupakan bentuk kearifan tradisional masyarakat untuk menjaga kelestarian
wilayahnya dan agar pembagian-pembagian wilayah tersebut ditaati maka
diberlakukan pelarangan-pelarangan untuk mengelola beberapa hutan yang
masuk ke dalam kategori terlarang berlaku, hal ini dilakukan sebagi
konsekuensi dari berlakunya hukum adat dalam pengelolaan sumber daya
alam dan setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi yang ditetapkan melalui
peradilan adat.66
c. Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan, Kalimantan Barat
63
Ibid, hlm.109. 64
Ibid, hlm.109. 65
Ibid, hlm.110. 66
Ibid, hlm.110.
Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan adalah komunitas masyarakat
bersuku Dayak yang wilayahnya termasuk dalam Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat.67 Dalam mengelola sumber daya alam di lingkungannya,
Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan, secara umum membagi wilayah
kelolanya ke dalam lima wilayah, yaitu wilayah perladangan, kebun karet,
hutan adat tutupan, keramat dan tembawang.68 Kawasan perladangan
merupakan kawasan yang digunakan untuk berladang gilir balik bagi
masyarakat dan kawasan kebun karet yang berisi tanaman karet merupakan
bekas ladang yang kemudian ditanami tanaman karet lokal.69
Wilayah yang dominan dalam kehidupan Masyarakat Hukum Adat
Kampung Sanjan adalah hutan, bagi mereka hutan adalah darah dan jiwa,
karena tanpa hutan, mereka sulit melanjutkan kehidupan.70 Masyarakat
Hukum Adat Kampung Sanjan percaya bahwa hutan harus dijaga untuk
keberlanjutan hidup anak-cucu mereka.71 Pengelolaan hutan oleh Masyarakat
Hukum Adat Kampung Sanjan didasarkan pada hukum adat mereka, 72 yaitu
dengan membagi kawasan hutan menjadi hutan adat tutupan dan
Tembawang.
Hutan adat tutupan adalah kawasan hutan rimba yang berisi pohon kayu
bangunan yang dikelola dan dapat dimanfaatkan secara komunal oleh warga
67
Ibid, hlm.97. 68
Ibid, hlm.97. 69
Ibid, hlm.97. 70
Ibid, hlm.97. 71
Ibid, hlm.97. 72
Ibid, hlm.97.
kampung dan tidak dapat diperjual-belikan,73 kemudian Tembawang adalah
kawasan kramat yang disakralkan dan dianggap suci oleh Masyarakat
Hukum Adat Kampung sanjan, sehingga harus dilindungi.74 Dalam
pengelolaan hutan dan pengaturan pembagian kerja control hutan, kepala
adat lah menjadi penanggung jawab.75
Selain pengelolaan hutan berdasarkan adat-istiadat, Masyarakat Hukum
Adat Kampung Sanjan juga mengelola hutan berdasarkan kearifan lokal
masyarakatnya, yaitu hutan rimba tidak boleh diladang karena merupakan
areal untuk cadangan kayu bangunan bagi masyarakat sekitar.76 Sebagai
bentuk kearifan lokal dalam mempertahankan hutan adalah, masyarakat
membuat larangan menebang pojon pada kawasan hutan tertentu seperti
pada hutan keramat, area konservasi atau hutan tutupan, puncak bukit dan
hulu sungai.77 Hal ini menunjukkan bahwa Masyarakat Hukum Adat Kampung
Sanjan sudah mampu mengelola hutannya secara berkelanjutan dan lestari.
Bentuk-bentuk keempat Masyarakat Hukum Adat di atas beserta dengan
cara-cara pengelolaan hutan yang mereka lalukan menjadi bukti bahwa
Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang berbeda dari
bentuk masyarakat pada umumnya, baik dari segi bentuk maupun tata cara
pengelolaan hutan. Dari keempat contoh Masyarakat Hukum Adat di atas,
dapat diketahui bahwa kehidupan Masyarakat Hukum Adat didasarkan pada
73
Ibid, hlm.97. 74
Ibid, hlm.99. 75
Ibid, hlm.98. 76
Ibid, hlm.98. 77
Ibid, hlm.98.
hukum adat yang dijadikan pedoman bertingkah laku, termasuk tingkah laku
dalam mengelola sumber daya alam lingkungan mereka yang didominasi
oleh hutan.
C. Konflik-Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia
a. Masyarakat Hukum Adat Kontu
Kontu adalah nama sebuah kawasan pemberian Raja Muna kepada
seorang panglima perang bernama La Kundofani si Kino Watuputih yang
berhasil mengalahkan musuh-musuhnya.78 Konon kawasan/lahan ini
merupakan pengganti dari tahta raja yang berhak disandangnya, namun demi
kesejahteraan rakyatnya si panglima perang ini memilih untuk memberikan
kawasan pemberian Raja Muna tersebut kepada masyarakat sebagai sumber
penghidupan rakyat.79 Sehingga, Kontu, Patu-patu, Lasukura, dan Wawesa
kemudian menjadi tempat hidup dan berladang komunitas warga Watuputih
secara turun temurun.80
Masyarakat Kontu, pada jaman penjajahan Belanda diperintahkan untuk
menanami pohon jati pada wilayah tempat tinggal mereka. Lalu, setelah
pohon-pohon jati tertanam dan tumbuh, komunitas ini diusir dari wilayah yang
sidah lama mereka tinggali itu.81 Masyarakat Kontu yang terusir ini kemudian
78
Berdasarkan penelitian sejarah yang dilihat pada http://www.wg-tenure.org/html/wartavw.php?id=48, pada 07 Oktober 2012, jam 9:03 WIB. 79
http://www.wg-tenure.org/html/wartavw.php?id=48 yang dilihat pada 07 Oktober 2012, jam 9:06. 80
Asep Yunan Firadus, et.al., “Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia”, HuMa (Perkumoulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat dan Ekologis), Jakarta, 2007, hlm.33. 81
Penelitian yang dilakukan oleh Asep Yunan Firdaus dan kawan-kawan terhadap kasus kriminalisai tindakan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat Kontu yang dituangkan dalam jurnal yang berjudul “Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia,” HuMa, Jakarta, 2010, hlm.33.
terpencar di beberapa desa sekitar wilayah mereka.82 Kemudian, setelah
Indonesia merdeka, sekitar tahun 1980, Pemerintah Daerah Muna dengan La
Ode Saafi sebagai bupati melaksanakan perluasan pembangunan kawasan
kota di sekitar Kontu dengan memukimkan sekitar 50 kepala keluarga yang
berasal dari perkampungan Laloea dan kota Raha.83
Kebijakan pemukiman masyarakat ini kemudian diikuti oleh masyarakat
Kontu yang terpencar di beberapa desa. Mereka mendatangi kawasan Kontu
yang mereka percaya sebagi tanah leluhurnya.84 Bukti sejarah kawasan
Kontu, Patu-patu, Lasukara dan Wawesa sebagai sebuah kampung adat
Watoputeh adalah adanya kuburan tua yang tersebar diberbagai tempat
dalam kawasan tersebut. Tindakan kembalinya masyarakat Kontu menempati
wilayah Kontu setelah lama terusir dari daerah itu dan tinggal di desa-desa
sekitar tidak mendapatkan pelarangan bahkan cenderung diam dan tidak
melakukan apa pun, sehingga masyarakat merasa bahwa tindakan diam
pemerintah merupakan ijin untuk mereka kembali menempati kawasan
Kontu.85
Kasus Kontu bermula pada tahun 1999 setelah Departemen Kehutanan
menunjuk kawasan hutan Sulawesi Tenggara sebagai kawasan lindung
sehingga daerah kawasan hutan tersebut harus dikosongkan dari
masyarakat.86 Penunjukan ini berdasarkan Surat Ketetapan Menteri
82
Ibid, hlm.34. 83
Ibid, hlm.34. 84
Ibid, hlm.34. 85
Penelitian yang dilakukan Asep Yunan dan kawan-kawan, Op.Cit., hlm.34. 86
Ibid, hlm.33.
Kehutanan Nomor 454/Kpts-II/1999. Setelah perintah pengosongan itu
dikeluarkan, Pemerintah Kabupaten Muna memerintahkan agar masyarakat
mengosongkan kawasan Kontu, Patu-patu, Lasukara dan sekitarnya.87
Tindakan Bupati Muna yang dijabat oleh Drs. Badrun Raona pada masa
itu diikuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 454/Kpts-II/1999 untuk memperluas kawasan hutan
lindung Jompi dengan menambah 45 hektar kawasan menjadi hutan
lindung.88 Kemudian, pada tahun yang sama, Pemerintah Kabupaten Muna
juga mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1999 tentang Rencana
Umum Tata Ruang Kota Raha dan Peraturan Daerah Kabupaten Muna
Nomor 20 tahun 1999 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Muna tahun 1996/1997 dan 2006/2007, akan tetapi pada kedua
Peraturan Daerah tersebut tidak diperoleh satu pun pasal atau ayat yang
menyatakan bahwa kawasan Kontu dan sekitranya adalah Kawasan Hutan
Lindung.89
Pernyataan Pemerintah Kabupaten Muna tentang status kawasan Kontu
sebagai hutan lindung didasarkan pada Surat Ketetapan Nomor 454/Kpts-
II/1999, akan tetapi pada dokumen tersebut tidak ditegaskan secara rinci
bahwa kawasan Kontu, Patu-Patu dan Lasukara adalah desa yang masuk ke
dalam pelebaran kawasan hutan lindung, kemudian dokumen yang menjadi
dasar tindakan Dinas Kehutanan Kabupaten Muna pun sama sekali lemah
87
Ibid, hlm.34. 88
Ibid, hlm.34. 89
Ibid, hlm.34.
karena mekanisme pengusulan kawasan hutan lindung yang dilakukan Dinas
Kehutanan saat itu tidak tidak sesuai prosedur yang benar karena beberapa
pejabat berwenang seperti Badan Pertanahan Nasional tingkat Propinsi
maupun Kabupaten serta Gubernur Sulawesi Tenggara tidak ikut
menandatangani Surat Ketetapan tersebut.90
Tindakan perluasan kawasan hutan lindung tersebut dilakukan pemerintah
dengan cara represif tetapi masyarakat melakukan perlawanan karena
berdasarkan sejarah daerah yang mereka tempati adalah wilayah yang
diwariskan oleh leluhur mereka. Akibatnya, pada tanggal 7 Januari 2003,
sebanyak 4 orang warga Masyarakat Kontu, yaitu La Ntohe, Laode Radio, La
Panda, dan La Wai ditangkap oleh pihak Polres Muna dengang tuduhan
melanggar Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang
diikuti dengan persidangan pertama terhadap keempat warga Kontu dengan
putusan pemenjaraan bagi keempat orang tersebut.91
Dakwaan Jaksa Penuntun Umum pada persidangan kasus ini adalah
bahwa para terdakwa dengan sengaja melakukan tindakan pengerjaan dan
penggunaan atau pendudukan hutan secara tidak sah sesuai pasal Pasal 50
ayat 3 huruf a jo. 78 ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan.
Pasal 50 ayat 3 huruf a berbunyi “setiap orang dilarang mengerjakan dan
atau merambah dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.”
Merupakan pasal yang ditujukan pada kawasan hutan lindung yang tidak
90
Ibid, hlm.35. 91
Ibid, hlm.37.
boleh bertentangan dengan pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 yang berbunyi:
“Masyarakat Hukum Adat sepenjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undnag-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Ayat (2) :
“Pengukuhan keberadaan dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”
Penjelasan pasal ini adalah :
“Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah bersangkutan, serta instansi atau pihak yang terkait.”
Jika dilihat dari sejarah terbentuknya masyarakat Kontu dan kronologis
terusirnya masyarakat Kontu hingga kembali lagi menempati kawasan Kontu,
masyarakat Kontu masih ada dan kawasan Kontu merupakan wilayah adat.
Akan tetapi, meskipun dakwaan Jaksa Penuntut Umum sangat lemah dan
proses pembuktian tidak menunjukkan cukup bukti, Jaksa Penuntut Umum
tetap memaksakan tuntutan agar para terdakwa dijatuhi hukuman pidan
penjara antara 2 tahun hingga 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar 300.000
dengan dakwaan subsider berupa 3 bulan kurungan serta membayar biaya
perkara sebesar 1.000 rupiah.92
92
Ibid., pasal.45.
d. Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih di Desa Batu Kerbau.
Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih adalah salah satu
Masyarakat Hukum Adat yang mendapat pengakuan dari Negara.93
Penerapan pengakuan tersebut adalah pengakuan Negara terhadapa
kawasan hutan menjadi kawasan hutan adat Masyarakat Hukum Adat Datuk
Sinaro pUtih.94 Untuk menerapkan pengakuan atas hutan adat tersebut,
dibentuk Kelompok Pengelolaan Hutan Adat (KPHA) yang terdiri dari
berbagai elemen desa yang bertanggung jawab dalam melakukan
pengelolaan dan perlindungan terhadap hutan adat agar hutan adat bisa
terjaga kelestariannya.95 KPHA bertugas mengawasi dan memberikan sanksi
kepada pihak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhdap hutan
adat.96
Upaya penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap hutan hutan adat
pernah dilakukan ketika terjadi penebangan hutan adat pada tahun 2002
yang dilakukan oleh orang dari desa Rantau Keloyang dan Desa Baru
Pelepat yang dibantu oleh warga Kampung Lubuk Tebat, parah pelanggar
tersebut dihukum membayar denda berupa seekor kambing, tetapi dalam
pelaksanaannya, pelaku hanya sanggup membayar sebesar 50.000
Rupiah.97 Kemudian, pelanggaran lain pernah dilakukan pada tahun 2003
oleh sebuah badan hukum bernama CV.Beringin Hijau. Badan hukum ini
93
Yance Arizona, Op.Cit., hlm.65. (penjelasan pengakuan dijelaskan pada bab IV tulisan ini). 94
Herlambang Perdana Wiratraman, Op.Cit., hlm.92. 95
Ibid, hlm.93. 96
Ibid, hlm.93. 97
Ibid, hlm.93.
memasuki hutan adat dan melakukan aktifitas kehutanan di wilayan hutan
adat.98
Berdasarkan hasil investigasi, CV. Beringin Hijau memegang lima izin
kegiatan Pengusahaan Hutan.99 Dalam melakukan aktifitasnya. CV.Beringin
Hijau tidak menaati aturan-aturan pengelolaan hutan Masyarakat Hukum
Adat, sehingga terjadi kerusakan lingkungan, selain itu badan hukum ini
mengelola wilayah hutan yang keluar dari wilayah hutan yang ada pada izin
pengelolaan hutannya. Terhadap pelanggaran ini Kelompok Pengurus Hutan
Adat menjatuhkan denda seekor kambing dan uang sebesar sepuluh juta
rupiah, tetapi sanksi tersebut tidak dipatuhi.100 Kemudian, Kelompok
Pengurus Hutan Adat mengirim surat kepada Bupati Bungo melalui Dinas
Kehutanan adat yang berisi permintaan untuk menutup badan hukum CV.
Bering Hijau, tetapi surat tersebut tidak mendapat tanggapan dari Dinas
Kehutanan.101
CV.Beringin hijau melebarkan wilayah pengelolaan hutannya hingga
wilayah imbo pusako (hutan adat) desa Batang Kibul, Kabupaten Merangin.
Masyarakat Batang Kibul juga meminta Tim Dinas Kehutanan Kabupaten
Merangin untuk meninjau lokasi dan menyampaikan aspirasi melalui media
cetak dan elektronik sampai ke tingkat nasional, sehingga propinsi dan
kabupaten Merangin mengirim tim untuk meninjau lapangan dan kemudian,
98
Ibid, hlm.93. 99
Yance Arizona, Op.Cit., hlm.68. 100
Ibid, hlm.68. 101
Ibid, hlm.67.
diketahuilan bahwa memang telah terjadi pelanggaran wilayah dan
pengambilan kayu di luar wilayan yang diizinkan sehingga CV.Beringin Hijau
ditutup dan tidak beroperasi lagi. Meskipun sanksi berupa izin opeasi dicabut,
ketentuan adat berupa adat tidak diabaikan dan pihak CV.Beringin tetap
tidak mematuhi keputusan pengurus Masyarakat Hukum Adat. Selain itu tidak
ada pihak, baik dari CV.Beringin Hijau maupun pemerintah yang mau
menanggung biaya kerusakan hutan.102
Pengakuan pemerintah terhadap Masyarakat Hukum Adat Datuk
Sinaro dan kasus CV.Beringin yang tidak terselesaikan tidak dijadikan dasar
oleh pemerintah untuk memberikan konsesi-konsesi kepada bada hukum
untuk melakukan aktifitas kehutanan dia wilayah adat. Pemerintah daerah
masih tetap mengeluarkan sejumlah konsesi kepada perusahaan yang
mengelola sumber daya alam di sekitar wilayah Masyarakat Hukum Adat
tanpa mempertimbangkan ancaman terhadap wilayah Masyarakat Hukum
Adat.103
e. Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan
Kehidupan Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan sangat bergantung
pada hutan, karena Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan beranggapan
bahwa hutan adalah darah dan jiwa mereka dan tanpa hutan mereka sulit
untuk melanjutkan kehidupan,104 dan untuk mempertahankan hutan,
Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan merasa membutuhkan pengakuan
102
Ibid, hlm.68. 103
Ibid, hlm.97. 104
Herlambang Perdana Wiratraman, Loc.Cit.
sebagai bentuk perlindungan terhadap sumber karena pengakuan bisa
menjadi bukti otentik dari pemerintah daerah agar bukti tersebut bisa
digunakan masyarakat ketika mempertahankan wilayah adatnya dari
ancaman pihak luar, terutama untuk mempertahankan hak-hak mereka atas
pengelolaan hutan yang terganggu oleh pernyataan kepemilikan hutan adat
tutupan Kampung Sanjan oleh PT.SIA,105 yaitu sebuah badan usaha yang
bergerak dalam bidang pertanian kelapa sawit.106
Desakan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan ini menghasilkan
pembentukan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2002 tentang Pemerintahan
Kampung.107 Dalam pelaksanaannya, Peraturan Daerah ini mengalami
kegagalan karena pemerintah tidak menganggarkan biaya dan tidak
mempersiapkan instansi yang khusus untuk mengimplementasikan Peraturan
Daerah ini.108 Kemudian Peraturan Daerah ini tidak berlaku efektif dan
dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri karena dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 71 tahun
2005 tentang Desa.109
Pembatalan Praturan Daerah tersebut membuat Masyarakat Hukum Adat
Kampung Sanjan melaksanakan sistem pemerintahan kampung dengan
harapan mereka memiliki penguasaan yang kuat atas wilayah mereka, akan
tetapi tanpa disadari dan diketahui oleh Masyarakat Hukum Adat Kampung
105
Ibid, hlm.101. 106
Ibid, hlm.100. 107
Ibid, hlm.101. 108
Ibid, hlm.104. 109
Ibid, hlm.105.
Sanjan, Semenjak tahun 2005, pemerintah telah memberikan izin kepada
PT.SIA untuk mengelola hutan tutupan Masyarakat Hukum Adat Kampung
Sanjan, pemberian ijin ini tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat Kampung
Sanjan sama sekali.110
Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh PT.SIA mengganggu hak
pengelolaan Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan, karena pihak PT.SIA
merasa bahwa kawasan hutan yang mereka kelola adalah hak mereka
sedangkan Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan tidak mempunyai
dokumen pengakuan kepemilikan atas hutan tersebut.111
110
Ibid, hlm.106. 111
Ibid, hlm.106.