Post on 07-Nov-2020
14
BAB III
ANALISIS KOMPOSISI
A. Konsep Penyusunan Komposisi “Baru Klinthing”
Komposisi musik program “Baru Klinthing” merupakan representasi
cerita rakyat “Baru Klinthing”. Pergerakan alur komposisi disesuaikan dengan
tiap bagian cerita rakyat tersebut. Komposisi ini dibagi menjadi tiga bagian
berdasarkan urutan peristiwa yang menjadi tema utama pada bagian-bagian
cerita.
Bagian pertama yakni “Kelahiran Baru Klinthing” cerita ini berawal dari
sebuah desa bernama Ngasem, hiduplah sepasang suami istri yang sudah lama
menikah namun belum dikaruniai seorang anak, sang suami akhirnya
memutuskan untuk pergi bertapa agar segera dikarunia seorang anak, cerita
berlanjut dengan kelahiran bayi yang diberi nama Baru Klinthing, namun bayi
ini berwujud ular, ajaibnya meski berwujud ular, Baru Klinthing dapat
berbicara layaknya manusia. Seiring berjalanya waktu Baru Klinthing mulai
mencari siapa ayahnya selama ini, ditemuilah ayahnya yang masih bertapa di
lereng gunung Telomoyo, namun ayahnya tidak pecaya bahwa Baru Klinthing
adalah anak yang dilahirkan oleh istrinya. Untuk meyakinkan ayahnya, Baru
Klinthing melingkari gunung Telomoyo dengan tubuhnya atas perintah sang
ayah dan akhir dari bagian pertama ini ditutup dengan pertapaan Baru
Klinthing untuk menjadi manusia seutuhnya di Bukit Tugur.
Bagian kedua yakni Pertempuran di Bukit Tugur, secara garis besar
bagian kedua ini menceritakan tentang peperangan Baru Klinthing dengan
penduduk desa Pathok yang menjadikan Baru Klinthing akhirnya mati dan
menjelma menjadi anak laki-laki yang tubuhnya kotor dan penuh luka.
Bagian ketiga yakni Tenggelamnya Desa Pathok, ini menceritakan
tentang ketidakterimaan Baru Klinthing atas perlakuan penduduk desa Pathok
terhadapnya, ia melakukan sayembara penancapan lidi di tengah-tengah
penduduk yang menghidangkan dagingnya untuk santapan pesta, barang siapa
yang bisa mencabut lidi tersebut, bisa sekehendak hati melakukan apapun
15
kepadanya. Namun tidak ada satupun yang berhasil mencabut kecuali dirinya
sendiri, begitu lidi itu tercabut air menyembur begitu kuat dari bekas tancapan
lidi tersebut, seluruh warga berusaha menyelamatkan diri namun gagal, karena
banjir telah menenggelamkan seluruh isi desa. Seketika desa tersebut berubah
menjadi rawa, yang kini dikenal dengan Rawa Pening. Setelah peristiwa itu
Baru Klinthing kembali menjadi ular untuk menjaga Rawa Pening.
Komposisi ini menggunakan kombinasi leitmotif dan tone painting yang
berfungsi menggambarkan simbol dan tokoh-tokoh dalam cerita, berikut ini
adalah leitmotif yang digunakan dalam “Baru Klinthing” Komposisi Musik
Progam Untuk Kuartet Gesek, guna menggambarkan para tokoh:
1.Tokoh Nyi Skarlanta
Gambar 3.1.
2.Tokoh Ki Hajar
Gambar 3.2.
3.Tokoh Baru Klinthing
Gambar 3.3.
Komposisi ini menggunakan format kuartet gesek yang terdiri dari biola
satu, biola dua, biola alto, dan cello. Leitmotif Nyi Sekarlanta dimainkan oleh
biola dua, leitmotif tokoh Ki Hajar dengan karakter seorang kepala keluarga di
mainkan oleh instrument cello yang memiliki register suara rendah,besar dan
menjadi root yang menandakan sebagai pemimpin. Instrumen biola satu
dengan karakter suaranya yang nyaring, dan memiliki register suara yang
16
paling tinggi diantara instrument gesek lainya mewakili leitmotif Baru
Klinthing, ketiga leitmotif tersebut muncul bergantian sesuai dengan alur
munculnya tokoh yang diwakili oleh tiga instrument tersebut.
Bentuk program yang digunakan dalam komposisi ini adalah narative,
yakni musik yang disusun sesuai bagian-bagian alur cerita.
B. Analisis Bentuk dan Struktur Komposisi “Baru Klinthing”
1. Bagian I “Kelahiran Baru Klinthing”
Dalam bagian pertama terdapat pengenalan tokoh, Nyi Skarlanta yang
merupakan ibu Baru Klinthing, Ki hajar adalah ayah Baru Klinthing dan tokoh
utama yakni Baru Klinthing, dalam bagian ini berawal dari kebahagiaan
sepasang suami istri yang hidup dalam sebuah desa bernama Ngasem.
Gambar 3.4. Birama 1-8 Suasana pagi
Cerita ini dimulai dengan tonalitas G mayor untuk mendeskripsikan
suasana pedesaan yang indah tenang dan damai.1 menggunakan sukat 4/4
1 Rita S teb lin “Affective Key Characterictics of G Major” A History of Key Characterictics
in the 18th and Early 19th Centuries UMI Research Press (1983)
http://www.wmich.edu/mus-theo/courses/keys.html (diakses 5 Maret 2017).
17
dengan tempo sedang, pada birama tiga ketukan kedua biola alto memainkan
melodi untuk menggambarkan suasana angin di pagi hari, pengolahan
dinamika cresscendo dan decresscendo digunakan untuk menguatkan suasana.
Gambar 3.5. Birama 9-17 Pengenalan tokoh Nyi Skarlanta dan Ki Hajar
Birama 9-12 pengenalan leitmotif tokoh Nyi Skarlanta, masih dalam
tonalitas G mayor yang dimainkan oleh instrument biola dua dan diteruskan
dengan leitmotif Ki Hajar dibirama 13-17 pada instrument cello yang diakhiri
dengan kadens otentik yakni dari akor V-I.
18
Gambar 3.6. Suasana Kesedihan
Birama 18-31 mendeskripsikan suasana sedih belum dikaruniainya
seorang anak dengan mengunakan tonalitas Am harmonis2 pada birama 24
terdapat kandens setengah yakni pergerakan dari akor iV ke akor V yang
menandakan kesedihan belum berahir, berlanjut Pada birama 31 penggunakan
akor VI yakni nada E mayor dimaksudkan untuk menggambarkan kesedihan
yang akan berujung pada suka cita, dengan mengiring kepergian Ki Hajar
untuk bertapa agar segera dikaruniai seorang anak.
Gambar 3.7. Suasana Pertapaan
2 Am harmonis adalah tangga nada yang terdiri dari A,B,C,D,E,F,G#,A.
19
Birama 32-40 mendeskripsikan suasana ketenangan dalam pertapaan,
yang mana pada instrument cello hanya menahan satu nada menggunakan
tehnik legato dengan menggunakan tonalitas Em harmonis.3 Penggunaan akor
ini mengarah pada suasana ratapan penuh harap, yang berahir pada akor I,
penggunaan tanda staccato pada birama 40 mengartikan berahirnya pertapaan.
Gambar 3.8. Birama 41-53 Kelahiran Baru Klinthing
Birama 41-53 terdapat perubahan tanda sukat dari 4/4 menuju sukat 3/4
dan perubahan tempo dari lento menuju pada tempo 100, terdapat pula tehnik
glissando4 pada birama 41 yang diartikan sebagai kelahiran tokoh utama yakni
Baru Klinthing, serta penggunaan teknik staccato untuk menggambarkan
suasana ketegangan saat kelahiran berlangsung, pada birama 47-49 muncul
leitmotif Baru Klinthing yang dimainkan oleh instrument biola satu yang
dimodulasi pada tonalitas A mayor.
3 Em harmonis adalah tangga nada yang terdiri dari E,F#,G,A,B,C,D#.E.
4 Glissando : tehnik meluncurkan bunyi dari sebuah nada menuju nada lainyayang umunya
cukup jauh menyentuh sebanyak mungkin nada-nada yang dilaluinya.
20
Gambar 3.9.. Birama 54-57 Pertumbuhan Baru Klinthing
Cerita berlanjut dengan tumbuhnya Baru Klinthing menjadi seekor ular ,
kini kembali menggunakan tonalitas G mayor, penggunaan tehnik trill5 pada
birama 54 ketukan ke empat diartikan sebagai pertumbuhan ular kecil yang
semakin lama semakin membesar, seiring berjalanya waktu Baru Klinthing
tumbuh dewasa ia mulai mencari siapa ayahnya, suasana penuh tanya ini
muncul pada birama 62-67 yang digambarkan pada biola satu dan biola dua,
ditonalitas Bbm. Cerita berlanjut pada pertemuan baru klinthing dengan sang
ayah yang ditandai dengan munculnya leitmotif Ki Hajar dibirama 68-72 pada
tonalitas A mayor.
Gambar 3.10. Birama 73-80 Melingkari Gunung
Namun karena berwujud ular Ki Hajar sempat tidak percaya, akhirnya
Baru Klinthing diutus melingkari gunung Telomoyo untuk membuktikan
bahwa ia benar anaknya, suasana ini digambarkan dengan adanya perubahan
dari tempo lento menjadi tempo 120 serta munculnya potongan leitmotif Baru
Klinthing yang dikembangkan dan diubah menjadi sukat 4/4 pada biola satu,
5 Trill : hiasan yang berupa perulangan cepat dari sebuah nada yang diseling dengan nada
terdekat di atasnya.
21
dan pada biola dua memainkan tone painting untuk penggambaran gunung
yang dilingkari oleh Baru Klinthing.
Gambar 3.11. Birama 82-87 Pertapaan Baru Klinthing
Akhirnya Baru Klinthing mampu meyakinkan bahwa ia benar-benar anak
yang selama ini diharapkan Ki Hajar dalam pertapaanya, lalu Ki Hajar
mengutus Baru Klinthing untuk bertapa agar kelak wujudnya dapat berubah
menjadi manusia yang utuh, penggambaran suasana ini masih dalam tonalitas
A mayor, instrumen viola dan cello hanya memainkan satu nada dengan
pemakaian teknik legato untuk menggambarkan suasana tenang, menutup
bagian satu ini penggunaan not utuh pada birama 87 menandakan keinginan
Baru Klinthing untuk menjadi manusia seutuhnya.
2. Bagian II “Pertempuran di Bukit Tugur”
Secara garis besar bagian kedua ini menceritakan peperangan Baru
Klinthing tepat dimana dia sedang melakukan pertapaan untuk menjadi
manusia seutuhnya.
22
Gambar 3.12. Birama 1-10 Suasana Pesta
Cerita berlanjut didekat bukit dimana Baru Klinthing bertapa, terdapat
sebuah desa yang akan menyelenggarakan pesta sedekah bumi, bagian ini
disampaikan pada birama 1-10 dengan tempo allegreto, ditangga nada D
mayor dengan sukat 4/4.
Gambar 3.13. Birama 11-23 Perburuan.
Pada birama 11-23 merupakan gambaran penduduk desa melakukan
perburuan dihutan untuk dijadikan hidangan pesta, kemudian ditemuilah Baru
23
Klinthing yang sedang dalam pertapaanya menjadi manusia, bagian ini
disampaikan pada tonalitas Bm natural.6
Gambar 3.14. Birama 24-31 Peperangan
Berlanjut pada birama 24-31 yakni peperangan penduduk dengan Baru
Klinthing masih dalam tonalitas Bm natural penggunaan triplet7 dinada F pada
biola satu dan biola dua yang bergantian menggambarkan peperangan antara
Baru Klinthing dan penduduk desa, berlanjut pada birama 30 semua instrument
memainkan tehnik tremolo dengan dinamika deccresendo untuk menandakan
puncak peperangan sekaligus kekalahan Baru Klinthing, dalam bagian ini
diakhiri dengan kadens setengah yakni mengarah kepada akor V. Cerita
berlanjut pada birama 31-51 masih dalam tangga nada Bm meceritakan
kematian Baru Klitnhing yang dagingnya dipotong-potong oleh penduduk
6 B minor natural adalah tangga nada yang terdiri dari : B, C#, D,E,F#,G,A,B
7 Triplet : tiga nada yang dikelompokan menjadi satu bagian.
24
desa, suasana ini ditandai dengan dimunculkanya kembali suasana perburuan
pada birama 11 namun terdapat tehnik pizzicato8 yang dimainkan oleh biola
satu untuk menggambarkan tubuh Baru Klinthing yang sudah dipotong-potong
dan dibawa kedesa untuk santapan pesta.
Gambar 3.15 Birama 52-58 Penjelmaan Baru Klinthing.
Birama 52-58 merupakan transisi perubahan tempo dari allegreto
menjadi tempo lento disertai munculnya bentuk vareasi leitmotif Baru
Klinthing yang di augmentasi9 menjadi sukat 4/4 pada tonalitas F# minor untuk
menggambarkan suasana kesedian penjelmaan Baru Klinthing menjadi anak
laki-laki kecil yang kotor dan terdapat banyak luka ditubuhnya, digunakanya
kandens otentik yakni dari akor V menuju ke akor I untuk menandai
berakhirnya bagian dua ini.
8 Pizzicato : dipetik.
9 Augmentasi : Tehnik pengolahan motif berupa penambahan harga not atau tanda istirahat
pada sebuah motif atau tema.
25
3. Bagian III “Tenggelamnya Desa Pathok”
Secara garis besar bagian terahir ini menceritakan tentang ketidak
terimaan Baru Klinthing atas perlakuan penduduk desa kepadanya, diadakanya
sayembara pencabutan lidi yang akhirnya tidak ada seorang pun yang mampu
mencabutnya kecuali dirinya sendiri, setelah lidi itu tercabut terjadilah bencana
banjir yang menenggelamkan seluruh isi desa.
Gambar 3.16. Birama 1-12 Bertemunya Baru Klinthing Dengan Nyi Latung.
Babak ini diawali dengan bertemunya Baru Klinthing dengan seorang
nenek tua bernama Nyi Latung, nenek inilah yang menolong Baru Klinthing
dalam keadaanya yang menyedihkan. Suasana ini digambarkan pada tonalitas
F#m dengan menggunakan tempo Lento dan sukat 4/4, pada birama 8-11
muncul leitmotif penjelmaan Baru Klinthing yang diakhiri dengan kadens
otentik pada birama 12.
26
Gambar 3.17. Birama 12-31 Penancapan Lidi
Pada bagian cerita selanjutnya Baru Klinthing mendatangi acara pesta
sedekah bumi yang sedang berlangsung dengan membawa rasa kekecewaan
kepada penduduk desa atas perlakuan terhadapnya, untuk menggambarkan
peristiwa tersebut pada birama 12-17 dimunculkan kembali suasana pesta yang
ada pada bagian II namun untuk bagian III ini menggunakan tonalitas A mayor
dengan tempo Allegretto yang disabung dengan modulasi pada tonalitas F#
minor pada birama 18-27 untuk menggambarkan penancapan lidi yang
dilakukan oleh Baru Klinthing ditengah ramainya pelaksanaan pesta sedekah
bumi, pemakaian tehnik staccato dan penggunaan not 1/8 pada instrument
viola dan cello dibangun untuk menguatkan suasana tegang tersebut,
sayembara itu dilakukan Baru Klinthing kepada seluruh penduduk desa.
Barang siapa yang mampu mencabut lidi tersebut berhak berbuat sekehendak
hati kepadanya
27
Gambar 3.18. Birama 28-31 Pencabutan Lidi
Seluruh penduduk desa tertantang untuk mencabut lidi tersebut namun
tidak ada satupun yang berhasil, suasana ini digambarkan dengan penggunaan
triplet pada birama 28-29 disertai aksen pada birama 30 untuk menimbulkan
kesan kebingungan seluruh penduduk desa, karena Baru Klinthing mampu
mencabutnya sendiri tanpa beban. Suasana ini digambarkan dengan pemakaian
fermata pada not utuh dibirama 31.
Gambar 3.18. Birama 32-48 Keluarnya Air Bah Dari Bekas Tancapan Lidi.
Air menyembur begitu kuat dari bekas lidi yang ditancapkan oleh Baru
Klinthing, seluruh penduduk desa berusaha menyelamatkan diri namun mereka
semua gagal karena air telah menenggelamkan seluruh isi desa dengan
seketika. Suasana riuh ini digambarkan pada birama 32-48 dengan penggunaan
triplet yang dimainkan oleh biola satu dan dua.
28
Gambar 3.19. Birama 49-54 Terbentuknya Rawa Pening
Seketika desa Ngasem berubah menjadi danau atau yang kini disebut
dengan Rawa Pening, penggunaan tone painting not 1/32 yang dimainkan oleh
biola satu pada birama 49 bertujuan untuk menggambarkan gulunggan air yang
menyerupai ombak, berlanjut pada birama 53 terdapat trill yang dimainkan
oleh biola satu dan biola dua ini menggambarkan kembalinya Baru Klinthing
menjadi seekor ular yang diyakini menjadi ular penjaga Rawa Pening, kadens
yang menutup cerita ini adalah kadens otentik.
29