Post on 04-Oct-2021
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang
diatur oleh aturan hukum yang di ancam dengan sanksi pidana.
Kata tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, kadang-kadang juga
menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin delictum.
Hukum pidana negara-negara Angxlo-Saxon menggunakan istilah
offense atau criminal act untuk maksud yang sama.1
Oleh karena kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
(KUHP) bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah aslinya pun
sama yaitu strafbaar feit (Perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang yang di ancam dengan hukuman). Dalam hal ini Satochid
Kartanegara cenderung untuk menggunakan istilah delict yang telah
lazim dipakai.2
Istilah offence, criminal act, yang oleh Negara-negara Eropa
Kontinental dikenal dengan istilah strafbaar feit atau delict, ketika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tampaknya mengalami
keberagaman istilah. Keberagaman ini baik dalam Perundang-
undangan maupun dalam berbagai literatur hukum yang ditulis oleh
1 Nurul Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2009), 31. 2 Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam
Perspektif Fiqh Jinayah”, 45.
para pakar. Keberagaman istilah para ahli ini meliputi tindak
pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang
boleh dihukum, dan perbuatan pidana.3
Pada dasarnya, istilah strafbaar feit jika dijabarkan secara
harfiah, terdiri dari tiga kata. Straf yang diterjemahkan dengan
pidana dan hukum. Kata baar diterjemahkan dengan dapat dan
boleh. Kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan. Jadi, istilah strafbaar feit secara singkat
bisa diartikan perbuatan yang boleh di hukum. Namun dalam kajian
selanjutnya tidak sesederhana ini, karena yang bisa dihukum itu
bukan perbuatannya melainkan orang yang melakukan sesuatu
perbuatan yang melanggar aturan hukum.
Selanjutnya beberapa rumusan tentang tindak pidana menurut
para pakar hukum pidana perlu dikemukakan bahwa menurut
Simons, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar feit atau
tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang
bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan
kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab. Hal ini berkaitan
erat dengan dua aliran monisme dan dualisme dalam hukum pidana.
Dalam mengomentari perbedaan pendapat antara aliran
dualisme dan monisme ini, Andi Hamzah mengatakan bahwa
pemisahan tersebut hanya penting diketahui oleh para penuntut
umum dalam menyusun surat dakwaan. Karena surat dakwaan
cukup berisi bagian inti (bestanddelen) delik dan perbuatan nyata
3Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam
Perspektif Fiqh Jinayah”, 50.
terdakwa, jadi cukup menyebut unsur actus reusnya saja, tidak
perlu dimuat dalam surat dakwaan bahwa terdakwa dapat di
pertanggungjawabkan (tidak menderita sakit jiwa). Ini penting juga
dalam putusan hakim, jika perbuatan yang didakwakan (bagian inti
delik) tidak terbukti, putusan bebas, jika ada kesalahan, putusan
lepas dari segala tuntunan. Pemaparan rumusan dan definisi para
ahli mengenai tindak pidana dengan berbagai keragamannya,
termasuk pembahasan tentang dua aliran hukum pidana, dualisme
dan monisme di atas, dianggap sangat perlu karena akan berkaitan
dengan masalah unsur-unsur tindak pidana seperti yang akan
diuraikan pada subbab berikutnya.4
B. Pengertian Tindak Pidana Umum dan Khusus
1. Pengertian Tindak Pidana Umum
Tindak pidana umum ini ialah suatu perbuatan pidana yang
pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang terdiri dari:
a. Tindak Pidana Umum
Tindak pidana umum ialah suatu perbuatan pidana yang
pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
b. Kejahatan
Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar dan
bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah
4 Nurul Irfan Muhammad. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”, 59-60.
dan tegasnya, perbuatan yang melanggar larangan yang
ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi
atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam
kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.
c. Pelanggaran
Dalam KUHP yang mengatur tentang pelanggaran
adalah Pasal 489-59/BAB I-IX. Pelanggaran adalah
“Wetsdelichten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Wet yang
menentukan demikian. Maka pembunuhan, pencurian,
penganiayaan, dan peristiwa-peristiwa semacam itu
merupakan kejahatan (Rechtsdelicten) karena terpisah
dari aturan pidana yang tegas, dirasakan sebagai
perbuatan yang tidak adil. Sedangkan peristiwa seperti
bersepeda di atas jalan yang dilarang, berkendara tanpa
lampu atau ke jurusan yang dilarang merupakan
kejahatan/Undang-undang/ pelanggaran (Wetsdelicten),
karena kesadaran hukum kita tidak menganggap bahwa
hal-hal itu dengan sendirinya dapat dipidana, tetapi baru
dirasakan sebagai demikian, karena oleh Undang-
undang di ancam degan pidana.5
2. Pengertian Tindak Pidana Khusus
Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana
atau tindak pidana yang diatur di luar kitab Undang-
Undang Pidana dasar pemberlakuan tindak pidana khusus
5 Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-
Delik di Luar KUHP”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 26-27.
adalah KUHP diatur dalam pasal 103 yaitu: ketentuan-
ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana
kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain, misal:
tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 Tentang Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Terorisme, Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2003 Terorisme, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Kejahatan terhadap anak
(Undang-Undang Nomor 23 Tahun2003 Tentang
Perlindungan Anak), Pelanggaran HAM (Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).
Tindak Pidana Khusus maksudnya ditinjau dari
peraturan yang menurut Undang-undang bersifat khusus
baik jenis tindak pidananya, penyelesaiannya, sanksinya
bahkan hukum acaranya sebagian diatur secara khusus
dalam Undang-undang tersebut dan secara umum tetap
berpedoman pada kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).6
6Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-
Delik di Luar KUHP”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 31-32.
C. Pengertian Terorisme
Secara etimologis, terorisme terdiri dari dua kata, yaitu “Teror”
dan “Isme” kata “teror” memiliki arti kekejaman, tindak kekerasan,
dan kengerian, sedangkan kata “Isme” berarti suatu paham. Ada
juga yang mengatakan bahwa kata “teroris” dan terorisme berasal
dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar
atau menggentarkan. Kata teror juga bermakna menimbulkan
kengerian.7
Beberapa pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan
baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa ahli antara lain
sebagai berikut:
1. Purdawarminta, mengartikan terorisme sebagai praktek
praktek tindakan teror dengan menggunakan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
sesuatu. Terorisme juga diartikan sebagai suatu penggunaan
kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
mencapai suatu tujuan tertentu, terutama tujuan politik dan
tindakan-tindakan keras yang dipraktekkan oleh pihak
tertentu.
2. James Adams, pengertian terorisme dalam rumusan yang
panjang yaitu penggunaan atau ancaman kekerasan fisik
oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk
tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk
melawan kekuasaan yang ada apabila tindakan-tindakan
terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,
7 Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 2.
melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran
yang lebih besar dari pada korban-korban secara langsung.8
3. US Central Inteligence Agency (CIA).
Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan
dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah
asing.
4. US Faderal Bureau of Investigation (FBI).
Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau
kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi
sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya
untuk mencapai tujuan sosial atau politik.
5. US Departments of State and Defense
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan
oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap
sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud
untuk mempengaruhi audien.9
E. V. Walter, Proses teror memiliki tiga unsur, yaitu:
1. Tindakan atau ancaman kekerasan.
2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat
sangat dari pihak korban atau calon korban.
8 Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 5-6. 9 Wahid Abdul dan Sunardi, “Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, HAM dan Hukum”, (Bandung: Refika Aditama, 2011), 24.
3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau
ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul
kemudian.10
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme:
Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang ini. Terorisme adalah perbuatan yang
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang
dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas
internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan
keamanan.11
Terorisme dalam sudut pandang Fiqh Jinayah termasuk ke
dalam Jarimah Hirabah. Hirabah mengandung unsur perampokan,
penteroran, pembegalan, serta istilah-istilah lainnya. Hirabah
merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada pihak lain untuk menguasai harta orang
lain dengan cara menakut-nakuti dan kadang-kadang disertai
dengan pembunuhan. Dalam hal ini, pelaku menakut-nakuti korban
dengan gertakan, ancaman, kecaman, dan kekerasan. Dengan
10
Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 5-6. 11
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
demikian untuk konteks saat ini, merakit bom dan meledakkannya
termasuk Hirabah. Termasuk ke dalam unsur-unsur hirabah yaitu:
1. menimbulkan rasa takut di jalanan, tetapi tidak merampas harta
dan tidak membunuh.
2. mengambil harta tetapi tidak membunuh korbannya.
3. membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya.
4. merampas harta sekaligus membunuh korbannya.12
D. Bentuk-Bentuk Terorisme
Menurut Wilson, sebagaimana diikuti oleh Permadi, secara
umum terdapat tiga bentuk terorisme:
1. Terorisme Revolusioner, yaitu penggunaan kekerasan secara
sistematis dengan tujuan akhir untuk mewujudkan perubahan
radikal dalam tatanan politik.
2. Terorisme Subrevolusioner, yaitu penggunaan kekerasan
teroristik untuk menimbulkan perubahan dalam kebijakan
publik tanpa mengubah tatanan politik.
3. Terorisme Represif, yaitu penggunaan kekerasan teroristik
untuk menekan atau membelenggu individu atau kelompok
dari bentuk-bentuk prilaku yang dianggap tidak berkenan oleh
negara.
Dengan mengutip National Advisory Committe dalam the
Report of the Task Force on Disorder and Terrorism, Muladi
membagi terorisme ke dalam lima bentuk, yaitu:
12
Nurul Irfandan Musyrofah, “Fiqh Jinayah”, (Jakarta:
AMZAH, 2015), 27.
1. Terorisme Politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan
dengan kekerasan yang didesain terutama untuk menimbulkan
ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis.
2. Terorisme Non-Politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk
tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas-aktivitas
kejahatan terorganisasi.
3. Quasi Terorisme, yaitu tindakan yang menggambarkan
aktivitas yang bersifat insidental untuk melakukan kejahatan
kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme,
tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya.
4. Terorisme Politik Terbatas, yaitu tindakan yang menunjuk
kepada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau
motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu
kampanye bersama untuk menguasai pengendalian negara.
5. Terorisme Penjabat atau Negara, yaitu suatu tindakan
terorisme yang terjadi di suatu bangsa yang tatanannya
didasarkan atas penindasan.13
Jika dilihat dari motif yang melatarbelakangi terjadinya
terorisme atau tujuan yang hendak dicapai oleh pelaku, terdapat tiga
bentuk terorisme.
1. Pertama, Political Terorism, yaitu suatu terorisme yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara
sistematik, menggunakan pola-pola kekerasan, intimidasi, dan
ditujukan terutama untuk menumbuhkan ketakutan dalam
13
Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 9.
suatu masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan yang bersifat
politik.
2. Kedua, Criminal Terrorism, yaitu terorisme yang diarahkan
untuk tujuan-tujuan politik, tetapi dilakukan berdasarkan
kepentingan suatu kelompok atau suatu komunitas tertentu
dalam memperjuangkan tujuan kelompok atau organisasinya.
Kelompok yang termasuk dalam pengertian ini adalah
kelompok yang bermotif ideologi, agama, aliran atau yang
mempunyai paham-paham tertentu.
3. Ketiga, state terrorism, yaitu kegiatan terorisme yang
disponsori oleh negara atau dilakukan atas nama negara yang
berupa aksi teror yang dilakukan oleh negara terhadap individu
atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu ataupun
terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara tertentu.14
E. Karakteristik Terorisme
Loudewijk F. Paulus mengemukakan bahwa terorisme
memiliki empat karakteristik ditinjau dari empat macam
pengelompokannya. Pertama, karakter organisasi yang meliputi
Organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan hubungan internasional.
Kedua, karakteristik operasi yang meliputi perencanaan, waktu,
taktik, dan kolusi. Ketiga, karakteristik prilaku yang meliputi
motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan
menyerah hidup-hidup. Ketiga karakteristik sumber daya yang
14
Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 15-16.
meliputi latihan/kemampuan pengalaman perorangan di bidang
teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.
Hasana Hasbi mengatakan bahwa karakteristik terorisme
antara lain:
1. Pengeksploitasian teror sebagai salah satu kelemahan manusia
secara sistematik.
2. Penggunaan unsur-unsur pendadakan/kejutan dalam
perencanaan setiap aksi teror.
3. Mempunyai tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan
politik dan sasaran-sasaran spesifik pada umumnya.15
Karakteristik juga dikemukakan oleh Paul Wilkinson.
Menurutnya, pengertian terorisme adalah aksi teror yang sistematis,
rapi dan dilakukan oleh organisasi tertentu dan terorisme politis
dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Merupakan intimidasi yang memaksa.
2. memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis
sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu.
3. Korban bukan tujuan melainkan sarana untuk menciptakan
perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti
seribu orang”
4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, tetapi
tujuannya adalah publisitas
5. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu
menyatakan secara personal.16
15
Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2012), 20 .
F. Pembebasan Bersyarat
1. Pengertian Pembebasan Bersyarat
Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana
di luar Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan setelah
menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa
pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana
tersebut minimal 9 (sembilan) bulan. Pembebasan bersyarat
tersebut merupakan bagian dari fungsi Rumah
Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah
satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.17
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya
termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana
penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van
straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu
sendiri. Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam
Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh
oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), di
mana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana
terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke
masyarakat.
16
Ali Mahrus, “Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek”,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2012),23-24. 17
Lihat Pada Penjelasan Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor 3 tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Pembebasan Bersyarat.
Dasar hukum yang utama mengenai pembebasan
bersyarat adalah tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 16
KUHP, di samping itu terdapat pula aturan pelaksanaan
yang lain dalam berbagai bentuk peraturan perundang-
undangan.
Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat syarat-
syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana.
Pasal 15 KUHP :
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya
pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-
kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat
dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus
menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu
dianggap sebagai satu pidana.
(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan
pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-
syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu
pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu
tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah,
maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.18
Pasal 15 a KUHP :
(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum
bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana
dan perbuatan lain yang tidak baik.
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus
mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak
mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan
berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat
dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
18
Lihat pada KUHAP dan KUHP Pasal 15
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan
pengawasan khusus yang semata- mata harus bertujuan
memberi bantuan kepada terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah
atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus
baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus.
Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang
lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat
pas yang memuat syarat-syarat yang harus
dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di
atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.19
Pasal 15 b KUHP :
(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama
masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar
syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka
pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan
keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri
Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat
tersebut untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai
menjalani pidana lagi, tidak waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan
bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika
sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut
karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan,
dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang
menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut
dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut
dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap
berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan
tindak pidana selama masa percobaan.20
19
Lihat pada KUHAP dan KUHP Pasal 15 a 20
Lihat Pada KUHAP dan KUHP Pasal 15 b
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 KUHP
tersebut di atas dapat dilihat tentang syarat pemberian
pembebasan bersyarat. Dalam hal tersebut terdakwa harus
telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya dua pertiga
dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang
kurangnya Sembilan (9) bulan dan dalam jangka waktu
yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat dihukum.
2. Faktor Pemberian Pembebasan Bersyarat
Faktor pemberian pembebasan bersyarat bagi
narapidana disebabkan oleh faktor (over capacity) penghuni
Lapas melebihi kapasitas. Dalam lembaga pemasyarakatan.
Dengan adanya pemberian pembebasan bersyarat bagi
narapidana bertujuan untuk membangkitkan motivasi atau
dorongan diri narapidana dan anak didik pemasyarakatan ke
arah pencapaian tujuan pembinaan.21
Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, jadi
mereka menjadi narapidana bukan lagi dibuat jera, tetapi
dibina kemudian di masyarakat. Pembinaan dalam
pemasyarakatan dapat dibagi dalam tiga hal yaitu:
a. Setelah keluar dari lembaga kemasyarakatan tidak lagi
melakukan tindak pidana.
21
Ririn Aprianti, “Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pelaksanaan
Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Pelaku Kejahatan Pembunuhan
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Di LAPAS KELAS 1
PALEMBANG” Skripsi ini untuk meraih gelar S1 fakultas Syariah dan
hukum universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang tahun 2017, di
akses pada tanggal 21 Oktober 2019, Pukul 05:14 WIB.
b. Menjadi manusia yang berguna dan berperan aktif dan
kreatif dalam membangun bangsa dan negara.
c. Mampu mendekatkan diri kepada tuhan yang maha Esa
dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.22
Selain itu juga pemberian pembebasan bersyarat
dapat memberikan kesempatan terhadap narapidana untuk
mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat
setelah bebas menjalani pidana dan mendorong masyarakat
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan
pemasyarakatan melalui pendidikan dan keterampilan di
lembaga kemasyarakatan.
G. Hukum Pidana
Beberapa pendapat Pakar hukum Indonesia mengenai Hukum
Pidana, antara lain sebagai berikut:
1. Moeljatno, mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian
dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat
22
Dilihat Pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan.
dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah
dicantumkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
2. Satochid Kartanegara, bahwa hukum pidana dapat
dipandang dari beberapa sudut, yaitu:
a. Hukum Pidana dalam arti Objektif, yaitu sejumlah
peraturan yang mengandung larangan-larangan atau
keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam
dengan hukuman.
b. Hukum Pidana dalam arti Subjektif, yaitu sejumlah
peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum
seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum di atas penulis
membuat kesimpulan, dan menyatakan Hukum Pidana adalah
sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya
berupa larangan maupun keharusan sedangkan bagi pelanggar
terhadap larangan maupun keharusan tersebut dikenakan sanksi
yang dapat dipaksakan oleh negara.
Pengertian Hukum Pidana Islam, istilah hukum islam berasal dari
tiga kata dasar, yaitu Hukum, Pidana, Islam. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata hukum diartikan dengan peraturan atau adat
yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah, atau otoritas, Undang-undang, peraturan dan
sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, (patokan
kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa, keputusan (pertimbangan)
yang ditetapkan oleh hakim dalam (pengadilan). Kata kedua yaitu
pidana, yang berarti Kejahatan, tentang pembunuhan, perampokan,
korupsi dan lain sebagainya, adapun kata ketiga yaitu islam yang
didefinisikan agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad
Saw. Untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga
mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka
untuk memeluknya. Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah
Hukum Pidana Islam merupakan seperangkat Norma atau peraturan
yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad Saw. Untuk
mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakat. Dengan
kalimat yang lebih singkat, Hukum Pidana Islam dapat diartikan
Hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Tujuan
hukum islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang
ada dalam dirinya dan tidak menyimpang dari cita-cita nasional
republik Indonesia, hal ini dapat dicapai dengan cara mengambil
segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang
merusak dalam rangka menuju keridhoan Allah sesuai prinsip tauhid.23
H. Sanksi Pidana
1. Pengertian Sanksi Pidana
Pengertian sanksi menurut hukum pidana, sanksi
dalam kamus besar bahasa Indonesia, berarti hukuman atas
pelanggaran. Dalam hukum pidana, sanksi disebut dengan
tindakan (straf) atau disebut juga pidana (maatregel).
23
Https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/adi
mpiero/makalah-hukum-pidaanaislam-sebagai-solusi-kebuntuan-hukum-
pidana-nasiona., diakses Pada Tanggal 18 Desember Pukul 05:40.
Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat,
sebab adalah kasusnya dan akibat akan memperoleh sanksi
baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak
berwajib. Sanksi pidana merupakan suatu jenis sanksi yang
bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap
perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana
yang dapat mengganggu atau membahayakan kepentingan
hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu
penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan
tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan
sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.
Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang
menaati norma-norma yang berlaku.
2. Macam-Macam Sanksi
Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP terdapat beberapa
jenis hukuman yang dapat dijatuhkan pada seseorang yang
telah melakukan tindak pidana, di mana hukuman akan
dijatuhkan itu dapat berupa:24
a. Pidana Pokok:
Pidana pokok merupakan jenis pidana wajib yang
dijatuhkan manakala seseorang terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hakim telah melakukan suatu
tindak pidana yang telah diatur sebelumnya dalam suatu
perundang-undangan.
1) Pidana Mati
24
KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 5-6.
Sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 11 KUHP
yaitu:
“pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat
gantungan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.
Di dalam negara Indonesia tindak pidana yang
diancam pidana mati semakin banyak yaitu
pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111
ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140
ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, 43 Pasal 365 ayat
(4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2)
KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP, pasal 2 ayat
(2) UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dan
ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaksanaan
pidana mati harus diiringi dengan Keputusan
Presiden, terpidana yang dijatuhi hukuman mati
sekalipun tidak bisa menolak untuk memohon
pengampunan atau grasi dari Presiden. Pidana mati
ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang
sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan
dengan memperhatikan kemanusiaan.
2) Pidana Penjara
Menurut A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah
menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan
bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana
kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam
bentuk pidana penjara tetapi juga berupa
pengasingan. Pidana penjara bervariasi dari penjara
sementara minimal satu hari sampai penjara seumur
hidup.25
3) Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama
dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis
pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan
membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang
terpidana dengan mengurung orang tersebut di dalam
sebuah lembaga kemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan
dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan
oleh Pasal 69 (1) KUHP, bahwa berat ringannya
pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10
KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati
urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan
adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama
satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam
Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama
setahun, dan jika ada pemberatan karena
25
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia,
(Bandung: Alfabeta, 2010), 91.
gabungan atau pengulangan atau karena
ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu
tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali
tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
4) Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua
bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua
dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban
seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut
oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah
uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu
perbuatan yang dapat dipidana. Menurut P.A.F.
Lamintang bahwa:26
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan
Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi
kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-
pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan
baik baik satu-satunya pidana pokok maupun
secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau
alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut
secara bersama-sama.
b. Pidana Tambahan:
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat
menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah
dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu
dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana
tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan
26
P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung:
Armico,1988), 69.
tetapi tidaklah harus. Menurut Hermin Hadiati Koeswati
bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan
ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan
tersebut adalah:27
1) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di
samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan
tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di
dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan
dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa
pidana tambahan tidak diancamkan.
3) Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi
hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan
pidana tertentu.
4) Walaupun diancamkan secara tegas di dalam
perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun
sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya,
diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya
atau tidak.
1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38
ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan
lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
1) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka lamanya pencabutan
adalah seumur hidup.
2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu
atau pidana kurungan, lamanya pencabutan
paling sedikit dua tahun dan paling banyak
lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
27
Hermin Hadiati, Asas-asas Hukum Pidana, (Ujung Pandang:
Lembaga Percetakan dan Penerbitan Universitas Muslim Indonesia, 1995),
45.
3) Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan
paling sedikit dua tahun dan paling banyak
lima tahun.
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan
hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak
berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya
jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa
lain untuk pemecatan itu.
2) Perampasan Barang-Barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu
merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti
halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai
perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam
Pasal 39 KUHP yaitu :
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang
diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan,
dapat dirampas;
2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang
tidak dilakukan dengan sengaja atau karena
pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan
perampasan berdasarkan hal-hal yang telah
ditentukan dalam undang-undang;
3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang
yang bersalah yang diserahkan kepada
pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang
yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita
sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila
barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya
menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar.
Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan
paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini
juga dihapus jika barang-barang yang dirampas
diserahkan.
3) Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43
KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila hakim memerintahkan supaya putusan
diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini atau aturan umum yang lainnya, harus
ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan
perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan
pengumuman putusan hakim hanya dapat
dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang”.
3. Sanksi Menurut Hukum Pidana Islam
Sanksi di dalam hukum Pidana Islam disebut hukum
atau uqubah. „uqubah yang artinya yaitu balasan bagi
seseorang yang melanggar ketentuan syara’ yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya demi kemaslahatan
manusia. Dalam menetapkan hukuman, seorang hakim
menggunakan prinsip ikhtiyath: hindari hukuman had
terhadap perkara subhat, dan lebih baik salah memaafkan
daripada salah menjatuhkan hukuman.28
Hukuman harus mempunyai dasar baik dari Al-Quran,
maupun Hadits. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh
28
Mugiyono, Fiqh Islam, (Palembang: UIN Raden Fatah, 2017),
227.
Islam dalam upaya menyelamatkan manusia baik
perseorangan maupun masyarakat dari kerusakan dan
menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam
mengamankan dengan berbagai ketentuan baik berdasarkan
Al-Quran, Hadits, maupun berbagai ketentuan ulil amri.
Semua itu pada hakikatnya dalam menyelamatkan umat
manusia dari ancaman kejahatan yang dapat
membahayakan manusia itu sendiri.
Adapun dasar-dasar pemberian hukuman atau sanksi
adalah sebagai berikut:
a. Surah Shad ayat 2629
:
Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.
29
Al-Quran, Surah Shad Ayat 26.
b. Surah An-Nisa ayat 13530
:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia Kaya ataupun miskin, Maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.
Sanksi hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai
dengan tindak pidananya, antara lain:
a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat
nashnya dalam Al-Quran dan al-Hadist. Maka hukuman
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishas,
diyat, dan kaffarat. Misalnya hukuman bagi pezina,
perampok, pencuri, pemberontak, pembunuh dan orang
yang mendzihar istrinya. Adapun penjelasan dari
30
Al-Quran, Surah An-Nisa Ayat 135.
macam-macam sanksi hukum hudud, qishas, diyat, dan
kaffarat yaitu:
a) Hudud
Hudud adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang
merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata had yang
asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan
had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan
yang lainnya. Ada juga yang menyatakan bahwa
kata had berarti al-man‟u (pencegah), sehingga
dikatakan hudud Allah adalah perkara-perkara yang
dilarang oleh Allah untuk dilakukan atau dilarang
untuk dilanggar.31
b) Qishas
Qishas adalah pembalasan yang serupa dengan
perbuatan pembunuhan melukai merusakkan
anggota badan atau menghilangkan manfaatnya,
sesuai pelanggarannya. Qishas dibagi dua macam
yaitu:
1) Qishas jiwa, hukum bunuh bagi tindak pidana
pembunuhan.
2) Qishas anggota badan, yakni hukum qishas atau
tindak pidana melukai, merusakkan anggota
badan, atau menghilangkan manfaat anggota
badan.
31
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997), 29.
c) Diyat
Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan karena
tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau
keluarganya. Diyat tersebut terdapat pada tindak
pidana yang mengharuskan qishas di dalamnya,
juga pada tindak pidana yang tidak terdapat qishas
di dalamnya.32
Diyat terbagi dalam dua macam
yaitu:
1) Diyat mughalladzah (denda yang berat) yaitu
disebabkan karena membunuh seorang yang
merdeka Islam secara sengaja.
2) Diyat mukhaffafah (diyat ringan) yaitu
disebabkan karena pembunuhan seorang Islam
tanpa sengaja.33
d) Kaffarat
Kaffarat adalah tebusan dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh
syari’at Islam karena melakukan kesalahan atau
pelanggaran yang diharamkan oleh Allah SWT.
Adapun macam-macam kaffarat adalah :
1) Kafarat karena pembunuhan
2) Kaffarat karena melanggar sumpah
3) Kaffarat karena membunuh binatang pada waktu
melaksanakan ihram
32
Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum
Acara Jinayah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 3. 33
Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), 157.
4) Kaffarat karena zihar
5) Kaffarat karena melakukan hubungan intim
suami istri pada waktu puasa
2) Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini
disebut dengan hukuman ta‟zir, seperti percobaan
melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan
amanah, sanksi palsu, dan melanggar aturan lalu
lintas.34
b. Hukuman ditinjau dari segi hubungannya antara suatu
hukuman dengan hukuman lain, dapat dibagi empat:
1) Hukuman pokok, yaitu hukuman yang asal bagi suatu
kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan
hukuman jilid bagi pezina ghair muhsan.
2) Hukuman pengganti, yaitu hukuman yang menempati
hukuman pokok, apabila hukuman pokok itu tidak
dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti
hukuman denda bagi pembunuh yang disengaja yang
dimaafkan qishasnya oleh keluarga korban.
3) Hukuman tambahan, yaitu hukuman yang dijatuhkan
kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok,
seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk
mendapatkan warisan dari harta terbunuh.
4) Hukuman pelengkap, yaitu hukuman yang dijatuhkan
sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah
dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang
34
Hakim, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2009),
165.
telah dipotong di lehernya. Hukuman ini harus
berdasarkan keputusan hakim tersendiri. Sedangkan
hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan
hakim tersendiri.
c. Hukuman ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang
menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
1) Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, di mana
hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas
itu, seperti hukuman had.
2) Hukuman yang memiliki dua batas yaitu batas
tertinggi dan batas terendah, di mana hakim dapat
memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada
terdakwa, seperti dalam kasus-kasus maksiat yang
diancam dengan ta‟zir.
d. Hukuman ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi
menjadi empat:
1) Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan
kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.
2) Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman
yang mati.
3) Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan
manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan.