BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana …
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana …
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah tindak pidana merupakan istilah teknis yuridis dari kata bahasa
Belanda “strafbar feit” atau “Delict” dengan pengertian perbuatan yang dilarang
oleh peraturan hukum pidana dan dapat dikenai sanksi pidana bagi barang siapa
yang melanggarnya.
Menurut Moeljatno yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
aturan tersebut. Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana, lebih lanjut
Moeljatno mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
a) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana
b) Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
c) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena
antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan
erat pula. ”Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan
orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian
yang ditimbulkan olehnya”. Secara garis besar tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan dalam ketentuan
pidana. Agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana,
perbuatan itu harus sesuai dengan perumusan yang diberikan dalam
ketentuan Undang-Undang.5
Korupsi berasal dari bahasa latincorruptio atau corruptus.Selanjutnya
disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata
latinyang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti
Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu
corruptie (korruptie). Dari bahasa belanda inilah turun ke Bahasa Indonesia, yaitu
“korupsi”. Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi didefinisikan
sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan,
organisasi, yayasan, dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.6
5 https://www.Fh.unsoed.ac.id diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 12:27
6https://nkriku.com/pengertian-korupsi-dampak-korupsi-dan-cara-mengatasi-
korupsi/diakses tanggal 19 Maret 2019 pukul 12:00
11
Dalam KUHP tidak ditemui adanya penggunaan terminologi korupsi
secara tegas dalam rumusan delik, namun terdapat bebrapa ketentuan yang dapat
ditangkap dan dipahami esensinya sebagai rumusan tindak pidana korupsi.
Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dalam KUHP ditemui pengaturannya
secara terpisah di beberapa pasal pada tiga bab, yaitu:
a. Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni pada
Pasal 209, 210 KUHP.
b. Bab XXI tentang perbuatan curang, yakni pada Pasal 387 dan 388 KUHP.
c. Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, yakni pada Pasal 415, 416, 417,
418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Rumusan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam KUHP,
dapat dikelompokkan atas empat kelompok tindak pidana (delik), yaitu:
a. Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418,
dan Pasal 420 KUHP;
b. Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri dari Pasal 415, 416,
dan Pasal 417 KUHP;
c. Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang
terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP;
d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir,
dan rekanan; yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No 31 Tahun 1999 semakin lama
semakin disempurnakan, sehingga hampir merumuskan berbagai bentuk
pengertian korupsi yang telah diuraikan di atas sebagai tindak pidana korupsi.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No 31 Tahun 1999 j.o
Undang- Undang No 20 Tahun 2001 pengertian tindak pidana korupsi tercantum
dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2-20 dan Bab III tentang
Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21-Pasal
24.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No 31 Tahun 1999 j.o
Undang- Undang No 20 Tahun 2001 pengertian tindak pidana korupsi tercantum
12
dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2-20 dan Bab III tentang
Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21-Pasal
24.
Pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No.: 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No.: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara.”
Unsur-unsur korupsi berkaitan dengan pemberian seseorang kepada
pejabat negara dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan
perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi dalam pelaksanaan tugas-tugas
publik.
Unsur-unsur strafbaarfeit atau unsur-unsur tindak pidana menurut Simons
ialah:
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
b. Diancam dengan pidana;
c. Melawan hukum (onrechtmatig);
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar
persoon).7
Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut di atas Simons kemudian
membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit. Bahwa
yang dimaksud unsur obyektif adalah perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari
perbuatan itu dan keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. Sedangkan yang
dimaksud unsur subyektif adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan
adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Menurut Hoffman suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan
hukum maka harus dipenuhi empat unsur utama yaitu :
1. Harus ada yang melakukan perbuatan
2. Perbuatan itu melawan hukum
7
http://pusathukum.blogspot.com/2015/10/unsur-unsur-tindak-pidana.htmldiakses tanggal
19 Maret 2019 pukul 12:31
13
3. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain.
4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.
Dengan demikian, ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi,
yaitu bribery (penyuapan), exraction (pemerasan) dan nepotism (nepotisme).
Selanjutnya bisa diidentifikasikan anatomi kejahatan korupsi :
1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2. Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasian.
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang
tidak selalu berupa uang.
4. Pelaku biasanya mempunyai pengaruh yang kuat baik status ekonomi
maupun status politik yang tinggi.
5. Mengandung unsur pengkhianatan kepercayaan.
6. Mengandung unsur tipu muslihat
7. Perbuatan tersebut melanggar norma. Tugas dan pertanggung jawaban
dalam tatanan masyarakat.8
Beberapa pengertian dan tipe Tindak Pidana Korupsi berikut dengan
penjelasan masing-masing unsurnya.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No.: 31 Tahun 1999 :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat )
tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas unsur-unsur dari tindak pidana korupsi
adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, pada
dasarnya maksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan
8 Rudi Pardede, Proses Pengembalian Kerugian Negara Akibat Korupsi, (Yogyakarta :
Genta publishing,2016), hlm 21.
14
dengan mana si pelaku bertambah kekayaan oleh karena perbuatan
tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan dengan
berbagai cara, misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindah
bukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya
sehingga si pelaku bertambah kekayaannya.
1. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum dalam Undang-Undang tindak
pidana korupsi mencakup perbuatan melawan hukum baik dalam arti
formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
2. Merugikan keuangan atau perekonomian negara. Penjelasan Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa keuangan negara
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan
b. Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan
yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan negara
Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi No.: 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah menjadi Undang-undang No.: 20 Tahun 2001 merumuskan
pengertian tindak pidana korupsi tipe kedua sebagai berikut:
“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
15
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00.- (satu miliar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dari pasal di atas adalah sebagai
berikut:
1. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukannya tindak pidana korupsi pada tipe kedua ini
terutama ditunjukkan kepada seorang pegawai negeri.
2. Pegawai negeri saja yang dapat menyalahgunakan jabatan, kedudukan, dari
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya.
Berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Korusi Pasal 1 Angka 1
memberikan pengertian tentang Korporasi yaitu :
“Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum”
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi No.: 31 Tahun 1999 pengertian pegawai negeri meliputi:
a) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Kepegawaian (Undang-undang No.: 43 Tahun 1999);
b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHPidana (Pasal 92
KUHPidana);
c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;dan
d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; dan
e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi. Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
16
4. atau suatu korporasi berarti membuat orang tersebut, orang lain/kroninya
atau suatu korporasi memperoleh aspek material maupun immaterial dari
perbuatan itu. Pembuktian unsur “menguntungkan” dapat lebih mudah
dibuktikan oleh penuntut umum karena unsur menguntungkan tidak
memerlukan dimensi apakah orang tersebut menjadi kaya atau bertambah
kaya sebagaimana unsur “memperkaya” dalam Pasal 2 Undang Tindak
Pidana Korupsi No.: 31 Tahun 1999.
Menurut Hoge Raad, gaji tidaklah merupakan syarat penting dari
pengertian pegawai negeri. Pengertian pegawai negeri menurut Hoge Raad ini
ternyata dianut pula oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana
ternyata dalam pertimbangan dari putusan-putusannya yang pada pokoknya
menyatakan bahwa pegawai negeri adalah setiap orang yang diangkat oleh
penguasa yang dibebani dengan jabatan umum untuk melaksanakan sebagian
tugas negara.9
Dengan merujuk pada Undang-undang No.: 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, maka setiap tindakan seseorang atau
korporasi yang memenuhi kriteria atau rumusan delik di atas, maka kepadanya
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam Memorie van Toelichting Pasal 51 Ned. W.v.S (Pasal 59 KUHP)
dinyatakan sebagai berikut.
“Suatu strafbaar feit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang
badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana.”
Sebagaimana telah di atur dalam Undang-Undang No.: 31 Tahun 1999 dan
Undang-Undang No.: 20 Tahun 2001. Sebanyak 13 Pasal menjelaskan bentuk-
bentuk korupsi di Indonesia yang dapat dilakukan penindakan terhadapnya.
Dari pasal-pasal tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30 (tiga
puluh) bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara rinci
tentang perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena kasus
korupsi. Ketiga puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
9 Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana 2 , (Jakarta : Rajawali Pers,2014), hlm.76.
17
1. Kerugian keuangan negara: Pasal 2 dan 3
2. Suap menyuap: Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5
ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2),
Pasal 11, 22 Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12
huruf d dan Pasal 13.
3. Penggelapan dalam jabatan : Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10
huruf b, dan Pasal 10 huruf c.
4. Pemerasan : Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g.
5. Perbuatan curang : Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7
ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 12
huruf h.
6. Benturan-benturan dalam pengadaan : Pasal 12 huruf i.
7. Gratifikasi : Pasal 12 B jo Pasal 12 C.10
Selain definisi tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan di atas, masih
terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yakni
sebagaimana diatur di dalam Pasal 21, 22 jo 28, 22 jo 29, 22 jo 35, 22 jo 36 dan
24 jo 31 Undang-undang No.: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dengan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau korporasi
yang memenuhi kriteria atau rumusan delik di atas, maka kepadanya dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harus diingat dan dipahami bahwa
unsur-unsur tindak pidana sangat penting untuk diketahui karena dengan tidak
terpenuhinya unsur suatu tindak pidana, maka pelaku kejahatan dapat bebas dari
segala tuntutan hukum dan dalam kenyataannya penyebab sehingga seorang
terdakwa korupsi bebas dari jeratan hukum karena tidak terpenuhinya unsur-unsur
tersebut.
B. Pengertian Keuangan Negara
Korupsi sangat berkaitan dengan keuangan negara dan menyangkut
perekonomian negara yang semakin merosot akibat dari korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat.
10 KPK, Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, Agustus
2016), hlm. 16-17
18
Keuangan negara menurut beberapa ahli antara lain seperti M
Achwan, berpendapat bahwa keuangan negara adalah rencana kegiatan
secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam
jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya
satu tahun mendatang.
Menurut Goedhart, keuangan negara merupakan keseluruhan
undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan
kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode
tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup
pengeluaran tersebut.
Dalam Penjelasan Undang-undang No.: 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi penjelasan keuangan negara adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena :
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan
b) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.: 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (UUKN) menyatakan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian tersebut memiliki substansi
yang dapat ditinjau dalam arti luas meliputi hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk barang milik negara yang tidak tercakup dalam
anggaran negara. Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit hanya terbatas
19
dengan uang, termasuk barang milik negara yang tercantum dalam anggaran
negara untuk tahun yang bersangkutan.
1. Ruang Lingkup Keuangan Negara
Pada hakikatnya, keuangan negara sebagai sumber pembiayaan dalam
rangka pencapaian tujuan negaa tidak boleh dipisahkan dengan ruang lingkup
yang dimiliknya. Oleh karena ruang lingkup itu menentukan substansi yang
dikandung dalam keuangan negara. Sebenarnya keuangan negara harus memiliki
ruang lingkup agar terdapat kepastian hukum yang menjadi pegangan bagi pihak-
pihak yang melakukan pengelolaan keuangan Negara.
Ketika berbicara mengenai hukum keuangan Negara berarti membicaraan
ruang lingkup keuangan Negara dari aspek yuridis. Ruang lingkup keuangan
Negara menurut Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara adalah
sebagai berikut:
a. Negara untuk memungut pajak;
b. Hak negara untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang;
c. Hak negara untuk melakukan pinjaman;
d. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara;
e. Kewajiban negara untuk membayar tagihan pihak ketiga;
f. Penerimaan negara;
g. Pengeluaran negara;
h. Penerimaan daerah;
i. Pengeluaran daerah;
j. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, suart berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah;
k. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggara tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
20
l. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Ruang lingkup keuangan negara tersebut, dikelompokkan ke dalam tiga
bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberi pengklasifikasian terhadap
pengelolaan keuangan negara. Adapun pengelompokkan pengelolaan keuangan
negara adalah sebagai berikut;
1. Bidang pengelolaan pajak;
2. Bidang pengelolaan moneter;
3. Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
2. Kerugian Keuangan Negara
Kerugian negara bukanlah kerugian dalam pengertian didunia
perusahaan/perniagaan, melainkan suatu kerugian yang terjadi karena sebab
perbuatan (melawan hukum).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat bahasa Indonesia Departemen
Pendidikan Nasional, Edisi Keempat Tahun 2008 mendefinisikan kata rugi,
kerugian dan merugikan sebagai berikut:
Kata ”rugi” adalah kurang dari harga beli atau modalnya kurang dari modal,
‟rugi” adalah, tidak mendapatkan faedah (manfaat), tidak beroleh sesuatu yang
berguna, “kerugian” adalah menanggung atau menderita rugi, sedangkan kata
“merugikan” adalah mendatangkan rugi kepada sengaja menjual lebih rendah dari
harga pokok.” Kerugian negara yang ditimbulkan dari akibat perbuatan tindak
pidana korupsi yang dimaksud adalah adanya kerugian negara yang ditimbulkan
pada keuangan negara atau perekonomian negara.11
Pada Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No.: 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa :
Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk.”
Dalam Undang-undang No.: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi memberikan penjelasan tentang pengertian Perekonomian
11 http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/kerugian-negara.html diakses tgl 8 Maret
2019 pukul 18.50
21
negara kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan pada
kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan
ketentuan pemilihan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat.
Berdasarkan pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bahwa :
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang
yang pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai”
Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang No.: 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara :
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga,
danbarang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai.”
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka dapat dikemukakan unsur-
unsur dari kerugian negara yaitu :
1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang
berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang
seharusnya.
2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti
jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah
terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan
besarnya, dengan demikian kerugian negara tersebut hanya merupakan
indikasi atau berupa potensi terjadinya kerugian.
3. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja
maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara
cermat atau tepat.
22
Hal-hal yang dapat merugikan keuangan negara dapat ditinjau dari
beberapa aspek, antara lain aspek pelaku, sebab, waktu dan cara penyelesaiannya :
1. Ditinjau dari aspek pelaku
a. Perbuatan bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan
perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain karena pembayaran,
pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak,
pertanggung jawaban/laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan,
penggelapan, tindak pidana korupsi, pencurian karena kelalaian.
b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan
negara dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan,
penipuan, tindak pidana korupsi, dan menaikan harga atau merubah
mutu barang.
c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian negara dengan cara
antara lain menaikkan harga atas dasar kerja sama dengan pejabat
yang berwenang dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi).
2. Ditinjau dari aspek penyebab
a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang sengaja seperti yang
diuraikan pada poin sebelumnya, perbuatan yang tidak disengaja,
karena kelalaian, kealpaan, kesalahan atau ketidakmampuan, serta
pengawas terhadap penggunaan keuangan negara yang tidak
memadai.
3. Ditinjau dari aspek waktu
Tinjauan dari aspek waktu disini dimaksudkan untuk memastikan apakah
suatu kerugian keuangan negara masih dapat dilakukan penuntutan atau
tidak.
4. Ditinjau dari aspek cara penyelesaiannya
a. Tuntutan pidana/pidana khusus (korupsi)
b. Tuntutan perdata
c. Tuntutan perbendaharaan
d. Tuntutan ganti rugi.12
C. Pengembalian Kerugian Negara
Teori pengembalian kerugian keuangan negara adalah teori hukum yang
menjelaskan sistem hukum pengembalian kerugian keuangan negara berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung
jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan
perlindungan dan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam
mencapai kesejahteraan, teori ini dilandaskan pada prinsip dasar berikan kepada
negara yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara terkandung kewajiban
negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara
dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak
rakyat.13
12 Rudi Pardede, Proses Pengembalian Kerugian Negara Akibat Korupsi, (Yogyakarta :
Genta publishing,2016), hlm. 109-110
13
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/22286/SKRIPSI%20LENGA
P-PIDANA-SULTAN.pdf?sequence=1 diakses pada tanggal 19 Maret 2018 pukul 12:26
23
Sebagai bagian dari upaya pengembalian kerugian keuangan negara secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf a Undang-Undang No.: 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada pokoknya
mengatur tentang:
”Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, perampasan tersebut dapat pula dikenakan terhadap harga dari
barang tersebut”.
Dalam Pasal 11 PMK Nomor : 03/PMK.06/2011 dijelaskan pula dalam
pengurusan Barang Rampasan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang dan tanggung jawab
meliputi:
a. Melakukan Penatausahaan;
b. Melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik dan pengamanan
hukum terhadap Barang Rampasan Negara yang berada dalam
penguasaannya;
c. Mengajukan usul penetapan status penggunaan, Pemanfaatan,
Pemindahtanganan, pemusnahan dan Penghapusan kepada Menteri atau
kepada pejabat yang menerima pelimpahan wewenang Menteri sesuai
dengan batas kewenangan; dan
d. Melaksanakan kewenangan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 15 (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan
Negara dan Barang Gratifikasi bahwa:
“Penjualan Barang Rampasan Negara oleh Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan
Korupsi dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Pelayanan.”
24
D. Jenis-Jenis Hukuman dan Teori Penghukuman Dalam Hukum Pidana
1. Jenis-Jenis Hukuman
Beratnya hukuman tidak hanya berpengaruh bagi si terhukum, yang
mengalami sendiri akibat perbuatannya juga tidak kurang pentingnya bagi
perlindungan dan rasa aman masyarakat.14
Dalam penjelasan umum Undang-undang No.: 31 Tahun 1999 tindak
pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dengan
rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang ini, meskipun hasil
korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap
diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Didalam undang-undang sudah
memuat ketentuan pidana yaitu :
1. Menentukan ancaman pidana minimum khusus;
2. Pidana denda yang lebih tinggi; dan
3. Ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
Selain itu, undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara.
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat 2 jenis
hukuman, yakni hukuman pokok dan hukuman tambahan:
1. Hukuman Pokok terbagi menjadi:
a. Hukuman Mati
Hukuman mati suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh
pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas
seseorang akibat perbuatannya. Setiap orang memang berhak atas
kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf
kehidupannya sebagaimana terdapat dalam Pasal 28A Undang-
14 Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Tersebar Bismar Siregar, (Jakarta : CV.
Rajawali, 1989), hlm. 8
25
Undang Dasar 1945. Akan tetapi, hak tersebut dapat dibatasi dengan
instrumen Undang-Undang.
b. Hukuman Penjara
Pidana penjara adalah pidana pokok yang dapat dikenakan untuk
seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara selama
waktu tertentu yaitu antara satu hari hingga dua puluh tahun
berturut-turut (Pasal 12 KUHP) serta dalam masa hukumannya
dikenakan kewajiban kerja (Pasal 14 KUHP).
c. Hukuman Kurungan
Hukuman penjara maupun kurungan, keduanya adalah bentuk
pemidanaan dengan menahan kebebasan seseorang karena
melakukan suatu Tindak Pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
22 KUHP. Pidana kurungan dikenakan kepada orang yang
melakukan Tindak Pidana Pelanggaran, atau sebagai pengganti
pidana denda yang tak bisa dibayarkan (Pasal 30 ayat 2 KUHP).
d. Hukuman Denda
Hukuman denda dikenakan terhadap pelanggaran yang diatur dalam
Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 30 ayat 2 KUHP jika pidana
denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
Pidana Tambahan hanya bersifat menambah pidana pokok yang
dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali hal-hal tertentu, dalam
perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat Fakultatif,
artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
2. Hukuman Tambahan terbagi meliputi:
a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu; (Pasal 35 KUHP)
b. Perampasan barang yang tertentu; (Pasal 39 KUHP)
c. Pengumuman keputusan Hakim. (Pasal 43 KUHP)
26
2. Teori Penghukuman Dalam Hukum Pidana
a) Teori Pemidanaan
Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai
pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa
pemidanaan mempunyai tujuan plural, di mana kedua teori tersebut
menggabungkan pandangan Utilitarian dengan pandangan Retributivistsecara
lebih spesifik dan lebih efisien.
Pandangan retributivist mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran
negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat
sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap
kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing.
Pandangan ini dikatakan bersifat melihat kebelakang (backward looking).
Pandangan Utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau
kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan pihak lain
pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan
melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan
(forward looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).15
Ada tiga golongan utama untuk membenarkan penjatuhan pidana :
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
2. Teori relatif atau tujuan (deoltheorien)
3. Teori gabungan (verenigingstheorien)
Beberapa penjelasan teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan
adalah sebagai berikut :
1. Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)
Dalam teori ini dasar untuk menjatuhkan hukuman semata-mata
membalas tindakan yang dilakukan pelaku tindak pidana, dan ada yang
berpendapat bahwa teori balas dendam ini semata-mata dianggap
penebus dosa, karena setiap tindak pidana merupakan tindakan yang
merugikan orang lain dan menimbulkan dosa terhadap pelakunya.
Tujuan teori ini sebagai pencegahan dan penyembuhan terhadap
perbuatan pidana.
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen)
Menurut teori ini penjahat tidak harus dijatuhi hukuman seberat
mungkin, karena teori ini berfikir lebih luas dari pada teori absolut,
dianggapnya teori absolut hanya memikirkan terhadap kejahatan yang
lalu tanpa harus memikirkan kejahatan yang akan datang.
3. Teori gabungan (verenigings teorieen).
15 Digilib.unila.ac.id diakses pada tanggal 9 Maret 2019 pukul 12.13
27
Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori
gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan
ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui
batas pembalasan yang adil.16
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan
menjadi dua istilah, yaitu :
a) Prevensi special (speciale preventie) atau Pencegahan Khusus
Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana
prevensi khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak
mengulangi perbuatannya lagi.
b) Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum
Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat.
Pengaruh pidana ditunjukkan terhadap masyarakat pada umumnya
dengan maksud untuk menakut-nakuti.
4. Teori Integratif
Pendekatan ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori
integratif tentang tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi
fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang
diakibatkan oleh tindak pidana (individual and social damages).
Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud diatas adalah :
a) Pencegahan (umum dan khusus);
b) Perlindungan Masyarakat;
c) Memelihara Solidaritas Masyarakat dan
d) Pengimbalan/Pengimbangan.17
16 Mudakir Iskandar Syah, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, ( Jakarta :
Sagung Seto, 2008), hlm. 61-62 17
https://www.google.com/amp/s/rahmanjambi43.wordpress.com/2015/02/06/teoripemidan
aan-dalam-hukum-pidana-indonesia/amp/ diakses tanggal 19 Maret 2018 pukul 12:22