Post on 14-Feb-2018
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Banjir di Perkotaan
Banjir pada dasarnya adalah surface runoff yang merupakan salah satu bagian dari
siklus hidrologi.
Sun
Evaporation
from
soi
l
from
oce
an
tran
pirat
ion
from
str
eam
s
tran
pira
tion
from veg
etation
from ve
geta
tion
while faillin
g
Surface Runoff
Ground waterWater Table
PercolationSoil
RockDeep Percolation Ocean
Infiltration
PRECIPITATION
Rain Formation
Rain Clouds
The Hydrologic Cycle
Gambar II.1 Siklus hidrologi (Kusuma, M. S. B., 2005)
Ilustrasi di atas menggambarkan secara sederhana siklus hidrologi. Kondisi yang
terjadi sebenarnya di alam lebih kompleks. Pada gambar terlihat hujan yang turun
sebagian akan mengalami proses infiltrasi dan sebagian lagi mengalir diatas
permukaan. Aliran yang ada di permukaan akan tereduksi juga dengan adanya
evaporasi dan transpirasi oleh tumbuhan.
Pemodelan aliran limpasan permukaan akibat hujan telah dilakukan oleh Dantje
K., et. al., (2005). Model numerik yang dikembangkan dapat mensimulasikan
aliran limpasan permukaan dengan baik. Hal ini terbukti melalui perbandingan
yang dilakukan dengan solusi analitik. Hasil yang diperoleh melalui simulasi
numerik mendekati dengan solusi analitiknya. Di samping itu juga, penerapan
II-1
pada kontur alam dapat mewakili kondisi sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi,
model-model ini belum memiliki kemampuan untuk mensimulasikan adanya
daerah kering dan basah. Simulasi banjir dengan menggunakan adanya batasan
kering basah dilakukan oleh Tawatchai Tingsanchal (1999) untuk kasus banjir
akibat dambreak dengan hasil yang baik.
Jika dikaitkan dengan siklus hidrologi, maka banjir merupakan surface runoff
yang tidak lagi tertampung di dalam saluran. Parameter penting dari banjir adalah
luas genangan, durasi genangan, kedalaman, dan arah aliran. Besarnya parameter
tersebut tergantung dari volume dan waktu banjir yang terjadi dan lahan yang
tergenang. Untuk daerah perkotaan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Arah aliran yang terjadi tidak sepenuhnya bergantung kepada topografi lahan
dikarenakan adanya bangunan.
Gambar II.2 Siklus hidrologi pada urban area
Besarnya infiltrasi sangat tergantung pada faktor penutup lahan. Di daerah
perkotaan dimana kondisi penutup lahan pada umumnya adalah beton atau aspal,
nilai infiltrasi sangat kecil. Demikian juga halnya dengan nilai transpirasi.
Minimnya jumlah tanaman di daerah perkotaan menyebabkan nilai transpirasi
sangat kecil. Evaporasi sendiri nilainya sangat kecil. Oleh karena itu, nilai
II-2
infiltrasi, transpirasi, dan evaporasi pada daerah perkotaan dapat diabaikan. Pada
kota-kota yang dilintasi oleh sungai-sungai besar, seringkali air meluap akibat
besarnya debit dari hulu dan menyebabkan terjadinya banjir .
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa besarnya banjir di daerah perkotaan
dipengaruhi oleh:
- Hujan
- Debit dari luar, dalam hal ini outflow dari upper catchment
Salah satu permasalahan dalam memodelkan banjir di perkotaan adalah pengaruh
adanya bangunan terhadap rambatan banjir. Pemodelan banjir akibat debit di
sungai di daerah perkotaan telah dilakukan oleh C. Beffa (1998). Bangunan
dimodelkan sebagai syarat batas dinding. Skema numerik yang digunakan adalah
finite volume. Skema ini dipilih agar grid dapat menyesuaikan dengan dinding
bangunan. Hasil dari studi ini menunjukkan komparasi yang baik dengan data
lapangan.
Pada studi yang dilakukan oleh Alemseged Tamiru Haile, et. al (2005), dilakukan
beberapa alternatif pemodelan bangunan, yang pertama sebagai dinding, dalam
hal ini kecepatan arah tegak lurus bangunan diberi nilai nol. Model ini serupa
dengan model yang dikembangkan oleh C. Beffa. Alternatif lainnya dalam
memodelkan bangunan adalah sebagai suatu area dengan nilai manning sangat
tinggi (>1) dan nilai kontur yang diberikan adalah elevasi tanah. Alternatif
terakhir dalam memodelkan bangunan adalah sebagai kontur dengan memberikan
elevasi bangunan, dan nilai manning sesuai dengan kondisi bangunan. Model
disimulasikan dengan adanya debit banjir dari hulu. Ketiga tipe model yang
bangunan memberikan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda.
II.2 Banjir Akibat Hujan
Pada umumnya, banjir akibat hujan terjadi akibat saluran drainase yang ada tidak
dapat menampung beban akibat hujan yang terjadi. Banjir yang terjadi akibat
hujan tergantung dari besarnya volume hujan (curah hujan) yang turun pada
II-3
daerah tangkapan dan tingkat intensitasnya. Karakteristik banjir yang terjadi
akibat hujan dengan intensitas kecil dalam durasi yang lama tidak akan sama
dengan banjir yang terjadi akibat hujan dengan intensitas besar dalam durasi yang
sebentar.
II.2.1 Curah Hujan
Curah hujan yang terjadi pada suatu daerah pada umumnya diwakili oleh nilai
rata-rata dari beberapa titik pengukuran di daerah tersebut dan sekitarnya. Ada
tiga cara pendekatan untuk menghitung hujan rata-rata wilayah sebagai berikut:
1. Rata-rata Aljabar
2. Poligon Thiessen
3. Isohyet
Metoda isohyet merupakan metoda terbaik akan tetapi memerlukan banyak titik
pengukuran, sedangkan metoda polygon thiessen pada umumnya digunakan di
daerah pegunungan.
Metoda rata-rata aljabar adalah metoda yang paling sederhana dan dapat
diterapkan di daerah perkotaan. Berdasarkan metoda ini, hujan rata-rata dapat
dihitung sebagai berikut.:
R HH ii
n
= 1n
=∑
1
dimana:
Hi = hujan pada masing-masing stasiun 1,2,…., n dalam areal yang ditinjau,
n = jumlah stasiun stasiun pengamat
RH= rata-rata hujan
II-4
Salah satu masalah dalam besarnya hujan yang turun adalah sebaran pola
distribusi hujan yang terjadi. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan
pendekatan kurva intensitas hujan.
II.2.2 Intensitas Hujan
Intensitas hujan diperlukan untuk mendapatkan gambaran besarnya hujan diskrit
yang terjadi. Untuk memperolehnya, diperlukan data curah hujan jangka pendek,
misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman. Data curah hujan jangka
pendek ini biasanya hanya didapatkan dari data pengamatan curah hujan otomatik.
Seandainya data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian, maka dapat
digunakan pendekatan yang disampaikan oleh Dr. Mononobe sebagai berikut :
I = R
t24
2 3
2424⎛
⎝⎜⎞⎠⎟
/
dimana :
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
t = lamanya curah hujan (jam)
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
IDF
0.000
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
0 50 100 150 200 250 300
t (menit)
I (m
m/ja
m)
Gambar II.3 Kurva IDF
II-5
II.3 Banjir Akibat Debit dari Hulu (Upper Catchment)
Ada kalanya banjir terjadi ketika besar debit dari hulu melebihi kapasitas saluran.
Banjir ini sering kali kita kenal dengan sebutan banjir kiriman. Besarnya banjir
yang terjadi akan ditentukan oleh volume banjir dari hidrograf banjir yang terjadi.
Secara garis besar, volume banjir yang terjadi akan sama dengan volume
hidrograf yang memiliki debit lebih besar dari kapasitas saluran.Besarnya debit
yang masuk akan ditentukan oleh luas daerah tangkapan di bagian upper
cathment, kondisi penutup lahan, dan besarnya hujan yang terjadi.
II.3.1 Kurva Hidrograf Aliran
Salah satu paramater banjir di perkotaan adalah debit yang datang dari hulu
(upper catchment). Besarnya debit dapat didekati dengan menggunakan hidrograf
aliran sungai. Pada dasarnya, hidrograf aliran sungai terdiri atas baseflow dan
hidrograf akibat hujan.
Gambar II.4 Hidrograf
Adanya source dari upper catchment dapat diwakili oleh hidrograf aliran sungai
yang membawanya. Hidrograf dapat diperoleh dari pengukuran maupun dari
pendekatan dengan menggunakan metoda-metoda yang sudah ada.
Beberapa parameter yang menentukan dari hidrograf aliran adalah :
- Debit puncak, maksimum debit yang terjadi
II-6
- Time peak, waktu saat terjadinya debit puncak
- Time base, durasi pengaruh hidrograf dari mulai naik hingga kembali ke
normal
- Kurva naik, kurva dari mulai naik hingga debit puncak
- Kurva turun, kurva dari mulai debit puncak hingga kembali ke normal
Volume banjir yang terjadi dapat dihitung dengan menggunakan integral dari
kurva hidrograf.
Saluran meluap pada saat debit yang terjadi melebihi kapasitas saluran. Hal ini
berarti, dalam pemodelan banjir dengan adanya pengaruh debit dari luar, hidrograf
source dapat diambil sebagian saja dari mulai besarnya debit saat ketinggian air di
saluran sudah berada di bibir saluran (debit masuk lebih besar dari pada kapasitas
saluran).
II.3.2 Hidrograf Sintetik Metoda Rasional
Salah satu formula hujan-limpasan yang banyak digunakan untuk keperluan
desain drainase adalah Metoda Rasional, yang merupakan formula untuk
memprediksikan debit puncak (Qp) akibat suatu kejadian hujan.
Q = k C I A
Dimana :
k = koefisien konversi = 0,278
C = koefisien aliran (non dimensional)
I = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas daerah aliran sungai (km2)
Q = debit puncak (m3/det)
II-7
Dalam metoda rasional ini diasumsikan bahwa hujan adalah konstan dalam ruang
dan waktu. Dengan demikian, metoda ini hanya berlaku pada DAS yang kecil.
Menurut Weather Bureau US Deptartment of Commerce, luas DAS yang masih
dianggap homogen berkisar antara 0,65 – 12,5 km2, dan menurut Subarkah 0,4 –
0,8 km2. Penggunaan Metoda Rasional untuk area yang lebih luas dapat dilakukan
dengan membagi DAS menjadi beberapa Sub-DAS, dengan tetap
mempertimbangkan ruas saluran eksisting yang ada.
Koefisien aliran (C) merupakan harga yang konstan, merupakan perbandungan
antara hujan yang mengalir di permukaan dan hujan yang jatuh. Hujan yang
mengalir di permukaan diperoleh dari dari hujan yang jatuh dikurangi infiltrasi,
evaporasi, intersepsi, penurunan tampungan air dalam tanah, dsb. Nilai C dapat
diasumsikan menurut tata guna lahan yang ada di DAS.
Tabel II.1 Koefisien runoff Keadaan Daerah Aliran Koefisien Runoff
bergunung dan curam
pegunungan tersier
sungai berhutan dibagian atas dan bawahnya
tanah datar yang ditanami
sawah waktu diairi
sungai bergunung
sungai dataran
0,75 - 0,90
0,70 - 0,80
0,50 - 0,75
0,45 - 0,60
0,70 - 0,80
0,75 - 0,85
0,45 - 0,75
II-8
Tabel II.2 Koefisien Manning dari beberapa bahan ground cover Kondisi Ground Cover nd
Cement Concrete and asphalt concrete
Smooth and imprevious surface
Smooth and tight surface
Poor grassland, cultivated land, and bare lot with a suitable surface roughness
Meadow land and ordinary grassland
Deciduous forest land
Coniferous forest land, and dense deciduous forest land with dese or spares undergress
0.013
0.02
0.10
0.20
0.40
0.60
0.80
II.3.3 Hidrograf Sintetik Metoda Nakayasu
Untuk memprediksi unit hidrograf dari suatu DAS berdasarkan data-data
karakteristik fisik DAS sungai yang bersangkutan, dapat digunakan metoda unit
hidrograf sintetik. Salah satu metoda yang umum dipakai adalah metoda
Nakayasu.
Rumus dari hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut:
).3,0(6,3..
3,0
0
TTRAC
Qp
p +=
dimana:
Qp = debit puncak banjir (m3/det)
Ro = hujan satuan (mm)
Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai
30% dari debit puncak
II-9
A = luas daerah pengaliran sampai outlet
C = koofisien pengaliran
Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai berikut.
Tp = tg + 0,8 tr
T0,3 = α tg
tr = 0,5 tg sampai tg
tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam)
dimana tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
- Sungai dengan panjang alur L > 15 km : tg = 0,4 + 0,058 L.
- Sungai dengan panjang alur L < 15 km : tg = 0,21 L0,7.
dimana
tr = satuan waktu hujan (jam)
α = parameter hidrograf, untuk
α = 2 → pada daerah pengaliran biasa
α = 1,5 → pada bagian naik hidrograf lambat dan turun cepat
α = 3 → pada bagian naik hidrograf cepat, dan turun lambat
Pada waktu kurva naik : 0 < t < Tp
pp
t QTtQ 4,2)(=
dimana
Q(t) = limpasan sebelum mencari debit puncak (m3)
t = waktu (jam)
II-10
Pada waktu kurva turun
a. Selang nilai: )( 3,0TTt p +≤
3,0
)(
)( 3,0. TTt
pt
p
QQ−
=
b. Selang nilai: )5,1()( 3,03,03,0 TTTtTT pp ++≤≤+
3.0
3,0
5,1)5,0(
)( 3,0. TTTt
pt
p
QQ+−
=
c. Selang nilai: t > (Tp+T0,3 + 1,5 T0,3)
3,0
3,0
2)5,0(
)( 3,0. TTTt
pt
p
QQ+−
=
Q
i tr
t
lengkung turun lengkung naik
tg 0,8 tr
0,32 QP0,3 QP
QP
1,5 TO.3TO.3TP
Gambar II.5 Hidrograf sintetik Nakayasu
II-11
II.4 Persamaan Pengatur
II.4.1 Persamaan Kontinuitas (Hukum Kekekalan Massa)
Konsep control volume (ruang tilik) digunakan dalam menurunkan persamaan
kontinuitas mengikuti Hukum Kekekalan Massa dimana:
“Laju massa air yang masuk RT – Laju massa air yang keluar RT = Laju
akumulasi massa air dalam RT”.
Pada gambar II.6 dapat dilihat ilustrasi yang menggambarkan definisi dari Hukum
Kekekalan Massa.
v4
Gambar II.6 Ruang tilik
Volume air pada kotak hanya dapat berubah jika kedalaman air berubah, maka
laju perubahan volume adalah:
A . ∆h ; dimana A = ∆x . ∆y
Dari gambar diatas, laju massa masuk adalah
xvhxvhyuhyuh ∆−∆+∆−∆= 44332211
Penerapan kekekalan massa dapat ditulis sebagai berikut
u2
v3
u1∆y
∆x
II-12
xvhxvhyuhyuht
hyx∆−∆+∆−∆=
∆∆∆∆
44332211
Persamaan diatas ditulis kembali ke dalam bentuk
yvhvh
xuhuh
th
∆−
+∆−
=∆∆ )()( 44332211
Atau
0)()(=
∆∆
+∆
∆+
∆∆
yhv
xhu
th
Untuk ∆t 0
0)()(=
∂∂
+∂
∂+
∂∂
yhv
xhu
th
II.4.2 Persamaan Momentum (Hukum Kekekalan Momentum)
F4M4
P1 P2
Gambar II.7 Titik kontrol
P1 dan P2 adalah gaya akibat tekanan air pada sisi kubus, Pb gaya tekan akibat
kemiringan dasar. M1,M2 adalah flux momentum pada arah y dan M3, M4 adalah
flux momentum pada arah x. Fb adalah gaya friksi dasar. F3, F4 adalah gaya geser
F6
M2
F3M3
F5
M1
Fb
∆y
Pb
∆x
II-13
dan F5, F6 adalah gaya normal. Pada gambar diatas, gaya akibat angin dan coriolis
diabaikan.
Berdasarkan hokum kekekalan momentum, laju perubahan momentum pada arah
x adalah:
5634214321 )()()( FFFFFPPPMMMMt
Mbb
x −+−+−+−+−+−=∆∆
Momentum adalah massa dikalikan dengan kecepatan (M. V) sedangkan massa
adalah volume dikalikan dengan massa jenisnya, maka laju perubahan momentum
dapat ditulis sebagai:
tHUyx
tM x
∆∆
∆∆=∆∆ )(ρ
Dengan asumsi bahwa tidak ada perbedaan kecepatan dalam arah vertical (depth
average), maka:
2111 UyHM ∆= ρ
2222 UyHM ∆= ρ
3333 VUxHM ∆= ρ
4444 VUxHM ∆= ρ
Dengan mengasumsikan tekanan sebagai tekanan hidrostatis akibat kedalaman,
maka:
2
21
1HygP ∆= ρ
2
22
2HygP ∆= ρ
xb yHSxgP 0∆∆= ρ
II-14
Sox adalah kemiringan dasar dalam arah x.
Gaya geser pada sisi dan dasar kotak serta gaya normal dapat dihitung sebagai:
yxF bxb ∆∆=τ
333 xyxHF τ∆=
444 xyxHF τ∆=
555 xyyHF τ∆=
666 xyyHF τ∆=
Suku-suku F3, F4, F5, dan F6 dalam hal ini disebut juga sebagai suku-suku turbulen
yang dalam hal ini diabaikan.
Dengan mensubstitusikan semua persamaan diatas kedalam persamaan kekekalan
momentum arah x dengan ∆t 0
( )fxghS
xzhghU
yVU
xU
tU
−=∂+∂
+∂∂
+∂∂
+∂∂
Dimana
3/4
222
HVUUnS fx
+=
Dengan cara yang sama maka untuk arah y didapatkan
( )fyghS
yzhghV
yVV
xU
tV
−=∂+∂
+∂∂
+∂∂
+∂∂
II-15
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................. II-1
II.1 Banjir di Perkotaan.......................................................................... II-1
II.2 Banjir Akibat Hujan ........................................................................ II-3
II.2.1 Curah Hujan .................................................................................... II-4
II.2.2 Intensitas Hujan............................................................................... II-5
II.3 Banjir Akibat Debit dari Hulu (Upper Catchment) ........................ II-6
II.3.1 Kurva Hidrograf Aliran................................................................... II-6
II.3.2 Hidrograf Sintetik Metoda Rasional ............................................... II-7
II.3.3 Hidrograf Sintetik Metoda Nakayasu ............................................. II-9
II.4 Persamaan Pengatur ...................................................................... II-12
II.4.1 Persamaan Kontinuitas (Hukum Kekekalan Massa)..................... II-12
II.4.2 Persamaan Momentum (Hukum Kekekalan Momentum) ............ II-13
Gambar II.1 Siklus hidrologi (Kusuma, M. S. B., 2005)................................. II-1
Gambar II.2 Siklus hidrologi pada urban area................................................ II-2
Gambar II.3 Kurva IDF ................................................................................... II-5
Gambar II.4 Hidrograf ..................................................................................... II-6
Gambar II.5 Hidrograf sintetik Nakayasu ..................................................... II-11
Gambar II.6 Ruang tilik................................................................................. II-12
Gambar II.7 Titik kontrol .............................................................................. II-13
II-16
Tabel II.1 Koefisien runoff .............................................................................. II-8
Tabel II.2 Koefisien Manning dari beberapa bahan ground cover .................. II-9
II-17