Post on 01-Jul-2019
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Bullying
1. Pengertian Perilaku Bullying
Pengertian perilaku bullying menurut Coloroso (2007) adalah
tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang
bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi
dan menimbulkan teror termasuk juga tindakan yang direncanakan
maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, di
hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk
diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh
seorang anak atau kelompok anak. Sedangkan menurut Surilena (2006)
perilaku bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan secara
berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang bersifat
menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak
yang terlibat, seperti mengejek, menyebarkan gossip, menghasut,
mengucilkan, menakut-nakuti, intimidasi, mengancam, menindas,
memalak, hingga menyerang, secara fisik seperti mendorong,
menampar, atau memukul.
Definisi lain diungkap oleh Dwipayanti & Komang (2014) yang
menyatakan bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara
berulang-ulang baik fisik, verbal maupun psikologis dan biasanya
13
terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku maupun korban.
Kemudian menurut Cahyani (2017), perilaku bullying adalah perilaku
agresif dengan bentuk kekerasan spesifik yang bertujuan untuk
menyakiti atau mengganggu, terjadi berulang atau potensial terulang,
dan kekuatan atau power antara korban dan pelaku tidak seimbang.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan
secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti
menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror termasuk
juga tindakan yang direncakan maupun yang spontan, bersifat nyata
atau hampir tidak terlihat, di hadapan seseorang atau di belakang
seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik
persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak.
2. Bentuk Bentuk Perilaku Bullying
Menurut Coloroso (2007), perilaku bullying dibagi menjadi
empat jenis, yaitu:
a. Bullying Fisik
Bullying fisik adalah perilaku bullying yang dalam perilakunya
melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban (Lestari, 2016).
Jenis bullying secara fisik di antaranya adalah memukul, mencekik,
menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar,
serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang
menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta
14
barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan
semakin dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan
ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk mencederai secara
serius (Zakiyah dkk, 2017).
b. Bullying Verbal
Bullying verbal adalah perilaku bullying dimana pelaku
menyerang korban melalui kata kata atau lisannya (Lestari, 2016).
Bullying verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikkan dihadapan
orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi. Bullying verbal
dapat diteriakkan di taman bermain bercampur dengan hingar
binger yang terdengar oleh pengawas, diabaikan karena hanya
dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik di antara
teman sebaya (Zakiyah dkk, 2017).
Bullying verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah,
kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa
ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu, bullying verbal
dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon
yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang
berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar,
kasak-kusuk yang keji, serta gossip (Lestari, 2016).
c. Bullying Relasional
Bullying relasional adalah pelemahan harga diri korban
bullying secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan,
15
pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran, suatu tindakan
penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak yang
digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun
tetap akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat
digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau
secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini
dapat mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang
agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu (Zakiyah dkk, 2017).
d. Cyberbullying
Cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan melalui
media masa atau media sosial yang bertujuan menghina atau
mengkritik seseorang melalui dunia maya, pada intinya adalah
korban terus menerus mendapatkan pesan negatif dari pelaku
bullying baik dari sms, pesan di internet dan media sosial lainnya
(Zakiyah dkk, 2017).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Colloroso (2007)
membagi bentuk bullying menjadi empat, yaitu bullying fisik seperti
memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit,
memiting, mencakar. Bullying verbal seperti memberi julukan nama,
celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan
bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Bullying relasional
seperti pengucilan, penggunjingan, gossip, dan cyber bullying yaitu
tindakan bullying melalui media masa maupun media sosial.
16
Menurut Cahyani (2017), perilaku bullying dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu :
a. Langsung
Perilaku bullying yang dilakukan secara langsung oleh pelaku
terhadap korban, baik secara verbal maupun non verbal yang
dampaknya dapat langsung melukai korban saat itu juga. Bullying
langsung dapat berupa memukul, merusak barang, mengejek,
menghina, dan berkata kasar.
b. Tidak Langsung
Perilaku bullying dimana pelaku tidak secara langsung
menyerang korban melainkan menggunakan pihak ketiga atau
media lain dalam melakukan bullying terhadap korban. Bullying
tidak langsung dapat berupa menyebar gossip, menirukan,
membuat lelucon, menghasut orang lain untuk mengucilkan, dan
cyberbullying.
Dari penjelasan yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan
bahwa menurut Cahyani (2017) perilaku bullying terbagi menjadi dua
jenis, yang pertama adalah langsung yaitu perilaku bullying yang
langsung dilakukan oleh pelaku tanpa melalui perantara seperti
memukul, merusak barang, mengejek, menghina, dan berkata kasar.
Kedua adalah tidak langsung, yaitu perilaku bullying yang dilakukan
melalui perantara pihak ketiga atau media lain seperti menyebar
17
gossip, menirukan, membuat lelucon, menghasut orang lain untuk
mengucilkan, dan cyberbullying.
Dalam penelitian ini, bentuk bentuk bullying yang akan
digunakan, mengacu pada bentuk – bentuk perilaku bullying menurut
Coloroso (2007) yang meliputi bullying fisik, bullying verbal, bullying
relasional, dan cyberbullying, alasanya adalah bahwa bentuk – bentuk
bullying ini terdeferensiasi secara baik dengan aspek aspek yang
hendak diteliti selain itu, bentuk bentuk bullying menurut Colloroso
(2007) ini dapat digunakan untuk mengetahui serta mengukur
kecenderungan berperilaku bullying oleh siswa pada zaman modern,
karena bentuk bullying paling banyak terjadi adalah bullying rasional
dan cyberbullying, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh
Octavianto (2017) yang melakukan penelitian terhadap 113 siswa
SMA di Yogyakarta memperoleh hasil 92,99% subjek menyatakan
pernah mengalami bullying rasional dan cyberbullying, sementara yang
pernah mengalami bullying fisik dan verbal hanya 75,22% dari
keseluruhan subjek, sedangkan bentuk bentuk perilaku bullying
menurut Cahyani (2017) hanya mencakup perilaku bullying langsung,
dan perilaku bullying tidak langsung, dimana cyberbullying belum
berdiri sendiri atau dengan kata lain hanya sebagai penjelas dari
perilaku bullying tidak langsung saja.
18
3. Faktor Faktor Perilaku Bullying
Menurut Fithria & Rahmi (2016), faktor yang mendorong
terjadinya perilaku bullying adalah :
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam atau dari
dirinya sendiri, faktor internal meliputi :
1) Kontrol Diri
Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menahan
keinginan yang bertentangan dengan tingkah laku yang sesuai
dengan norma sosial yang berlaku. Sebagai salah satu sifat
kepribadian, kontrol diri pada satu individu dengan individu
yang lain tidaklah sama, ada individu memiliki kontrol diri
yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri yang
rendah. Salah satu sebab siswa melakukan bullying yaitu
rendahnya kontrol diri pada siswa. Individu dengan kontrol
diri yang rendah memiliki kecenderungan menjadi impulsif,
senang melakukan perbuatan yang berisiko, dan berpikiran
sempit.
2) Kepribadian
Kepribadian yaitu ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas
dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa
kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir (Sjarkawi dalam
19
Fithria & Rahmi, 2016). Faktor-faktor dalam kepribadian
berkontribusi besar pada ciri khas perilaku anak-anak dalam
situasi bullying, di mana tingginya tingkat dari ketidakstabilan
emosi dan rendahnya tingkat dari keramahtamahan
berpengaruh pada pelaku bullying. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Slee & Rigby, (Fithria & Rahmi, 2016) salah
satu studi pada anak remaja di Florance berusia antara 10-16
tahun menunjukkan bahwa kecenderungan seseorang dalam
melakukan perilaku bullying berhubungan dengan faktor
kepribadian yang dikenal dengan nama psychoticism yang
meliputi perilaku impulsif, mengajak orang lain bermusuhan,
dan sensitif dalam situasi sosial.
3) Harga Diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang
dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi
ideal diri (Stuart & Sundeen dalam Fithria & Rahmi, 2016).
Dalam penelitian yang dilakukan Fithria & Rahmi (2016)
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara harga
diri dengan perilaku bullying. Hubungan yang terjadi sifatnya
negatif, dimana jika harga diri tinggi maka perilaku bullying
yang terjadi rendah dan jika harga diri rendah maka bullying
yang terjadi tinggi. Penelitian oleh Anderson & Carnagey
(dalam Fithria & Rahmi, 2016), yang didapatkan hasil bahwa
20
seorang anak yang memiliki harga diri negatif atau harga diri
rendah, anak tersebut akan memandang dirinya sebagai orang
yang tidak berharga. Rasa tidak berharga tersebut dapat
tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki
kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga
dan keadaan fisiknya. Harga diri rendah dapat membuat
seorang anak merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan
temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan
marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan
yang menyakiti temannya.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar dirinya
atau lingkungan sekitar, faktor eksternal meliputi :
1) Keluarga
Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika
mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua
mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya
(Zakiyah dkk, 2017). Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa sikap orang tua yang terlalu berlebihan dalam
melindungi anaknya, membuat mereka rentan berperilaku
bullying. Pola hidup orang tua yang berantakan, terjadinya
perceraian orang tua, orang tua yang tidak stabil perasaan dan
pikirannya, orang tua yang saling mencaci maki, menghina,
21
bertengkar dihadapan anak-anaknya, bermusuhan dan tidak
pernah akur, memicu terjadinya depresi dan stress bagi anak.
Seorang remaja yang tumbuh dalam keluarga yang
menerapkan pola komunikasi negatif seperti sarcasm
(sindirian tajam) akan cenderung meniru kebiasaan tersebut
dalam kesehariannya.
2) Sekolah
Kecenderungan pihak sekolah yang sering mengabaikan
keberadaan bullying menjadikan siswa yang menjadi pelaku
bullying semakin mendapatkan penguatan terhadap perilaku
tersebut (Zakiyah dkk, 2017). Selain itu, bullying dapat terjadi
di sekolah jika pengawasan dan bimbingan etika dari para
guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku,
bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak
konsisten. Dalam penelitian oleh Adair (dalam, Fithria &
Rahmi, 2016), 79% kasus bullying di sekolah tidak dilaporkan
ke guru atau orang tua. Siswa cenderung untuk menutup-
nutupi hal ini dan menyelesaikannya dengan teman
sepermainannya di sekolah untuk mencerminkan kemandirian.
3) Teman Sebaya
Menurut Benites dan Justicia (dalam Fithria & Rahmi,
2016), kelompok teman sebaya yang memiliki masalah di
sekolah akan memberikan dampak yang buruk bagi teman-
22
teman lainnya seperti berperilaku dan berkata kasar terhadap
guru atau sesama teman dan membolos. Anak-anak ketika
berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar
rumah, kadang kala terdorong utnuk melakukan bullying.
Beberapa anak melakukan bullying hanya untuk membuktikan
kepada teman sebayanya agar diterima dalam kelompok
tersebut, walaupun sebenarnya mereka tidak nyaman
melakukan hal tersebut.
4) Media Massa
Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku
bullying dari segi tayangan yang mereka tampilkan (Zakiyah
dkk, 2017). Survey yang dilakukan Kompas, 56,9% anak
meniru adegan-adegan film yang ditontonnya, umunya mereka
meniru gerakannya (64%) dan kata-katanya (43%). Hal ini
dapat menciptakan perilaku anak yang keras dan kasar yang
selanjutnya memicu terjadi bullying yang dilakukan oleh
anak-anak terhadap teman-temannya di sekolah.
5) Faktor Budaya
Faktor kriminal budaya menjadi salah satu penyebab
munculnya perilaku bullying. Suasana politik yang kacau,
perekonomian yang tidak menentu, prasangka dan
diskriminasi, konflik dalam masyarakat, dan ethnosentrime,
23
hal ini dapat mendorong anak-anak dan remaja menjadi
seorang yang depresi, stress, arogan dan kasar.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi terjadinya
perilaku bullying pada siswa. Beberapa faktor tersebut antara lain
adalah faktor internal yang meliputi kontrol diri, kepribadian, harga
diri, dan faktor eksternal yang meliputi keluarga, sekolah, media masa,
teman sebaya, serta budaya, dari beberapa faktor tersebut peneliti
memilih faktor internal dalam hal ini adalah kontrol diri.
Alasannya, Aroma & Dewi (2012) menyatakan bahwa kontrol
diri yang tinggi seharusnya dapat membantu individu menurunkan
agresi dan perilaku menyimpang dalam hal ini perilaku bullying
dengan mempertimbangkan aspek aturan dan norma sosial yang
berlaku. Becker (dalam Aroma & Dewi, 2012) juga menyatakan
bahwasanya setiap manusia memiliki dorongan untuk melanggar
aturan pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan orang dorongan –
dorongan tersebut biasanya tidak menjadi kenyataan yang berwujud
penyimpangan, hal tersebut karena orang normal biasanya dapat
menahan diri dari dorongan – dorongan untuk berperilaku
menyimpang, kemampuan seperti inilah yang seharusnya dipelajari
individu selama masa remaja untuk menghindari perilaku bullying.
24
B. Kontrol Diri
1. Pengertian Kontrol Diri
Menurut Ghufron (2010), kontrol diri adalah kemampuan
mengontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun,
membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang
membawa individu ke arah konsekuensi yang lebih positif. Kemudian
menurut Chaplin (2008) kontrol diri adalah kemampuan untuk
membimbing tingkah lakunya sendiri, yaitu kemampuan untuk
menekan atau merintangi impuls-implus atau tingkah laku yang
impulsif. Sedangkan kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (1973)
kontrol diri ialah kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku,
kemampuan individu dalam mengelola informasi yang tidak penting
atau penting dan kemampuan individu untuk memilih suatu tindakan
yang diyakininya.
Menurut Calhoum dan Acocella (dalam Kusumadewi dkk, 2012)
mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaruh seseorang terhadap dan
peraturan tentang fisiknya, tingkah laku, dan proses - proses
psikologisnya. Selanjutnya Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012)
mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun,
membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat
membawa individu ke arah konsekuensi positif. Selain itu kontrol diri
25
juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan
kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk
meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa kontrol diri adalah kemampuan mengontrol diri sebagai suatu
kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan
mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah
konsekuensi yang lebih positif.
2. Aspek Aspek Kontrol Diri
Menurut Ghufron (2010) kontrol diri mempunyai aspek aspek
diantaranya adalah :
a. Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kemampuan mengontrol perilaku merupakan kesiapan atau
tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung
mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak
menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini terbagi
menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated
administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus
modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan
kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan
situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya.
Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan
mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan
26
dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber
eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan
untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak
dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan,
yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang
waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung,
menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan mengatasi
intensitasnya.
b. Kemampuan Mengontrol Stimulus
Kemampuan mengontrol stimulus juga menjadi salah satu
aspek dari kontrol diri karena dalam kehidupan seseorang terdapat
berbagai macam stimulus yang diterima, dari berbagai macam
stimulus yang masuk tersebut individu harus mempunyai
kemmpuan untuk mengontrol stimulus – stimulus tersebut yaitu
dengan memilih stimulus mana yang harus diterima dan mana yang
harus ditolak.
c. Kemampuan Mengantisipasi Peristiwa
Individu dalam menghadapi suatu masalah atau suatu peristiwa
harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi masalah tersebut
agar tidak menjadi masalah yang semakin besar dan rumit.
d. Kemampuan Menafsirkan Peristiwa
Individu harus mempunyai kemampuan untuk menafsirkan
peristiwa, artinya individu harus dapat mengartikan semua
27
peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, sehingga individu
dapat dengan mudah untuk menjalani peristiwa tersebut dan dapat
memikirkan langkah – langkah apa yang akan dilakukan
selanjutnya.
e. Kemampuan Mengambil Keputusan
Setiap individu harus mempunyai kemampuan untuk
mengambil suatu keputusan yang baik, dimana keputusan yang
diambil tersebut baik untuk diri individu sendiri maupun bagi orang
lain yang ada disekitarnya, dan juga tidak merugikan untuk diri
sendiri dan orang lain.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat diambil
kesimpulan aspek kontrol diri menurut Ghufron (2010) diantaranya
adalah kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol
stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan
menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan.
Menurut Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012) kontrol diri terbagi
atas tiga bagian diantaranya adalah :
a. Kontrol diri dalam berpikir, yaitu usaha untuk mengarahkan
perhatian pada suatu tujuan tertentu dan melawan pikiran yang
tidak diinginkan dan mengarah proses penilaian berdasarkan pada
hal yang ditentukan terlebih dahulu.
b. Kontrol diri dalam berperasaan, yaitu usaha yang dilakukan untuk
berada dalam situasi emosional tertentu atau keluar dari situasi
28
emosional yang sedang dialami maupun usaha untuk menjaga
situasi emosional yang timbul.
c. Kontrol diri dalam berperilaku, yaitu usaha yang dilakukan untuk
menjaga secara terus menerus dengan memaksimalkan performansi
dan mengendalikan perilaku yang dapat menghambat pencapaian
tujuan yang ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat diambil
kesimpulan aspek – aspek kontrol diri menurut Lazarus (dalam Masitah
& Irna, 2012) kontrol diri terbagi atas beberapa bagian diantaranya
adalah kontrol diri dalam berpikir, kontrol diri dalam berperasaan, dan
kontrol diri dalam berperilaku.
Pada penelitian ini aspek – aspek kontrol diri yang akan digunakan
mengacu pada aspek aspek kontrol diri menurut Ghufron (2010).
Alasanya, aspek – aspek ini dapat mengungkap hal – hal yang ingin
diketahui bila digunakan untuk mengukur kontrol diri yang dimiliki
oleh seseorang. Kontrol diri tersebut mencakup kemampuan
mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan
mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan
kemampuan mengambil keputusan, kemudian aspek aspek yang
dikemukakan oleh Averill lebih kompleks dan lebih jelas serta detail
sedangkan aspek – aspek kontrol diri menurut Lazarus hanya
digolongkan menjadi tiga bagian saja dimana hanya diuraikan secara
umum saja belum secara detail.
29
C. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Bullying
Siswa yang memiliki kontrol diri yang rendah kurang mampu
mengarahkan dan mengatur perilakunya secara positif dan tidak
mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi dari perilaku
yang dilakukan sehingga cenderung bertindak agresif, mudah marah,
dan tidak dapat menghindari untuk melakukan tindakan bullying
terhadap temannya, sebaliknya siswa yang memiliki kontrol diri yang
tinggi akan mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya secara
positif, berusaha mencari informasi sebelum mengambil keputusan,
serta mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi sehingga
menghindari untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya
di sekolah (Masitah & Irna, 2012).
Kontrol diri memiliki fungsi yang lebih besar dalam mengarahkan
kepatuhan terhadap peraturan pada individu, tanpa dimilikinya kontrol
diri, konflik yang terjadi menjadi kurang terkendali, sehingga
kemungkinan untuk melakukan perilaku bullying akan terjadi
(Kusumadewi dkk, 2012). Becker (dalam Aroma & Dewi, 2012)
menyatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki dorongan
untuk melanggar aturan pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan
orang dorongan-dorongan tersebut biasanya tidak menjadi kenyataan
yang berwujud penyimpangan, hal tersebut karena orang normal
biasanya dapat menahan diri dari dorongan dorongan untuk berperilaku
menyimpang.
30
Menurut Travis (dalam Aroma & Dewi, 2012) pelaku
penyimpangan dalam hal kekerasan dapat dilihat melalui single
dimention yakni kontrol diri (self control), individu dengan kontrol diri
yang rendah memiliki kecenderungan untuk menjadi impulsif, senang
berperilaku beresiko, dan berpikiran sempit. Menurut Defriyanto &
Reta (2015) perilaku impulsif adalah kondisi saat seseorang
mendapatkan dorongan untuk melakukan sebuah tindakan tanpa
memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu, meskipun pelaku merasa
sadar dengan apa yang ia lakukan, pelaku cenderung tidak bisa
mengendalikan dirinya ketika melakukan sebuah tindakan negatif.
Sehingga perilaku impulsif ini akan mendorong seseorang berperilaku
bullying.
Kontrol diri yang rendah ini dapat mengantarkan siswa pada
perilaku bullying ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti
penelitian yang dilakukan oleh Alkollo (2016) menunjukan adanya
hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying, semakin
rendah kontrol diri pada siswa maka perilaku bullying akan semakin
tinggi, begitu juga sebaliknya semakin tinggi kontrol diri pada siswa
maka perilaku bullying juga akan semakin rendah. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Masitah & Irna (2012) juga menunjukan hubungan
negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa, semakin
rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku bullying.
31
Adapun hubungan kontrol diri dengan perilaku bullying bisa
ditinjau dari aspek aspek penyusun kontrol diri. Menurut Ghufron
(2010) kontrol diri mempunyai aspek aspek diantaranya adalah
kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus,
kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan
peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan. Dari aspek pertama
yaitu mengontrol perilaku, individu dengan kemampuan mengontrol
dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan
kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan berperilaku
diluar norma atau batas batas sehingga perilaku bullying dapat
dilakukan karena kontrol perilakunya rendah (Kusumadewi dkk, 2012).
Dari aspek kedua yaitu kemampuan mengontrol stimulus, dengan
informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang
tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut
dengan berbagai pertimbangan baik dan buruknya, ketika dorongan
untuk berbuat menyimpang maupun agresi sedang mencapai
puncaknya, kontrol diri dapat membantu individu menurunkan agresi
dengan mempertimbangkan aspek aturan dan norma sosial yang berlaku
(Aroma & Dewi, 2012). Dari aspek ketiga yaitu kemampuan
mengantisipasi peristiwa, ketidakmampuan individu dalam
mengantisipasi suatu kejadian yang tiba tiba terjadi membuat individu
tersebut bertindak secara spontan tanpa difikirkan terlebih dahulu
(Masitah & Irna, 2012). Dari aspek keempat yaitu kemampuan
32
menafsirkan peristiwa, melakukan penilaian dan penafsiran akan suatu
hal dilihat dari kaca mata negatif dan masuknya informasi informasi
atau pikiran – pikiran negatif maka perilaku menyimpang dalam hal ini
adalah perilaku bullying dapat terjadi karena keterbatasan informasi
yang positif (Kusumadewi dkk, 2012). Dari aspek kelima yaitu kontrol
pengambilan keputusan, menentukan pilihan akan berfungsi baik
dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada
diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan, jika dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan tidak berfungsi
dengan baik maka keputusan yang diambil dalam berperilaku juga akan
terarah kedalam perilaku negatif dalam hal ini adalah bullying bisa
terjadi (Kusumadewi dkk, 2012).
Berdasarkan dinamika diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa kontrol diri mempunyai hubungan yang signifikan dengan
perilaku bullying, yaitu kontrol diri yang rendah dapat mempengaruhi
seseorang untuk melakukan perilaku bullying, sedangkan kontrol diri
yang tinggi dapat mencegah seseorang untuk melakukan perilaku
bullying.
33
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini diajukan
hipotesis :
Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying
pada siswa. Semakin tinggi kontrol diri siswa, maka semakin rendah
perilaku bullying yang dilakukan. Sebaliknya, semakin rendah kontrol
diri yang dimiliki oleh siswa, maka semakin tinggi perilaku bullying
yang dapat dilakukan.