Post on 05-May-2019
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “hidnan” yang berarti lambung. Seperti
kalimat “hadhana ath –thaairu baidahu”, burung itu mengempit telur dibawah
sayapnya, begitu juga dengan perempuan (ibu) yang mengempit anaknya.9
Pemeliharaan anak dalam bahasa arab disebut hadhanah.10
Maksudnya adalah
merawat mendidik atau mengasuh bayi/anak kecil yang belum mampu
menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
Para Faqih mendefinisikan hadhanahadalah memelihara anak kecil
laki-laki atau perempuan atau orang yang kurang akal yang tidak bisa
membedakan. Hadhanah tidak berlaku pada orang dewasa yang sudah baligh
dan berakal. Ia boleh memilih tinggal dengan siapa saja dari orang tuanya
yang dia sukai. Bilaman seorang laki-laki ia boleh tinggal sendiri karena
tidak membutuhkan orang tuanya. Akan tetapi syara’ menyuruhnya berbakti
dan berbuat baik kepada mereka. Jika seorang perempuan, ia tidak boleh
tinggal sendiri dan tidak dipaksa karena kelemahan tabiatnya untuk
menghindari kecemasan keluarganya.11
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang
rusuk atau di pangkuan , karena ibu waktu menyusui anaknya meletakkan
anak itu di pangkuannya, seakan-akan pada saat itu ibu melindungi dan
9Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,2007),h 37.
10Abd Rahman Ghazaly,Fiqih Munakahat,(Jakarta:Prenada Media,2013),h 175.
11Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah,h 341.
12
memelihara anaknya,sehinggahadhanah dijadikan istilah yang maksudnya :
pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri
sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.12
Dalam ensiklopedi hukum islam dijelaskan, hadhanah yaitu mengasuh
anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri,
yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya,menjaga dari hal-hal yang
mebahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis,mengembangkan
kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.13
Dalam ensiklopedi Islam Indonesia, Hadhanah adalah tugas menajaga
atau mengasuh bayi / anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur
dirinya sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak seiap anak dari
kedua orangtuanya. Kedua orang tua anak itulah yang lebuh utama untuk
melakukan tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk
itu.14
Menurut Muhammad bin Ismail Salah Al-amir Al-Kalani atau yang
lebih dikenal dengan nama Sa‟ani, mengartikan hadhanah ialah pemeliharaan
anak yang belum berdiri sendiri mengenai dirinya, pendidikannya serta
pemeliharaanya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang
membahayakannya.
Menurut H. Sulaiman Rasyd hadhanah diartiakan mendidik, mendidik
disini dapat diartikan bahwa menjaga, mendidik, memimpin, serta mengatur
12
Abd Rahman Ghazaly,Fiqih Munakahat,h 175 13
Hadhanah ,dalam Abdul aziz Dahlan,dkk,ed, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeva,1997),h 37. 14
Hadhanah, dalam Harun Nasution,dkk,ed, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan,1992),h 269.
13
dalam kehidupannya sehingga anak tersebut dapat mengatur dirinya sendiri
sesuai pengertian hadhanah terebut.15
Menurut Amir Syarifuddin, pengertian hadhanah dalam istilah fiqih
digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama yaitu
kafalahdan Hadhanah.16
Yang dimaksud dengan hadhanah dan kafalah dalam arti sederhana
adalah pemeliharaan atau pengasuhan dalam arti yang lengkap adalah
pemeliharaan anak yang masih kecil setalah terjadinya putusnya perkawinan.
Hal ini dibicarakan dalam fiqih karena secara praktis antara suami dan istri
telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah
dan atau ibunya.17
Hadhanah yang dimaksud adalah kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya.pemeliharaan
ini mencangkup masalah pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan pokok si anak.18
Dari penegrtian –pengertian hadhanah tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa hadhanah ini mencangkup aspek-aspek sebagai berikut:
a. Pendidikan;
b. Terpenuhinya kebutuhan;
c. Usia (bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak pada usia tertentu).
15
H. Sulaiman Rasyd, Fiqih Munakahat, h.426 16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,h 327. 17
Ibid,h 327. 18
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarian, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h 293
14
Sehingga yang dimaksud dengan hadhanah membekali anak secara
materil maupun secara spiritual, mental maupun fisik agar anak mampu
berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila kelak
sudah dewasa.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan
pemeliharaan anak (hadhanah) secara definitif melainkan hanya disebutkan
tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya. Pasal 45 ayat (1)
menyebutkan bahwa “ kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya.
M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Hukum Perkawinan
Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah :
a. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi,memberi pelayanan yang
semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua .
b. Tanggung jawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta
pencukupan hidup nafkah tersebut bersifat terus menerus sampai anak
itu mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah
bisa berdiri sendiri.19
Dari penegrtian hadhanah tersebut dapat diambil kesimpulan bawha
pemeliharaan anak adalah mencakup segala kebutuhan anak , jasmani dan
rohani. Sehingga termasuk pemeliharaan anak adalah menegmbangkan jiwa
intelktual anak melalui pendidikan.
19
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV Zahir Trading CO,1975), h
204.
15
Beberapa Ulama mazhab berbeda pendapat mengenai masa hak asuh anak:
Imam Hanafi berpendapat bahwa masa asuhan anak adalah tujuh
tahun leaki dan sembilan tahun perempuan. Imam Hambali berpendapat
mengenai masa asuh anak lelaki dan peprempuan tujuh tahun dan setelah itu
diberi hak utnuk memilih dengan siapa ia akan tinggal. Menurut Imam
Syafi‟i berpendapat bahwa batas mumayyiz anak adalah jika anak itu sudah
berumur tujuh tahun atau delapan tahun. Sedangkan Imam Malik
berpendapat batas usia mumayyiz adalah tujuh tahun.20
Kompilasi Hukum Islam pasal 105 meneybutkan bahwa : (a) batas
mumayyiz seorang anak adalah 12 tahun.21
Sedangkan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak
dikatakan mumayyiz jika sudah berumur 18 tahun atau setelah
melangsungkan pernikahan.22
Para ulama fiqih mendefinisikan : hadhanah yaitu melakukan
pemeliharaan anak –anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mejaga dari sesuatu yang menyakiti
dan meruskanya, medidik jasmani,rohani, akalnya, agar mampu berdiri
sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
20
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006),Cet V,h 207 21
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Akademia
Presindo,2007), h 293. 22
Lihat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan,Pasal 47
16
Para ulama sepakat bahwasannya hukum hadhanah mendidik dan
merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal apakah hadhanah ini
menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak.23
B. Dasar Hukum Hadhanah
Para Ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya
wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan
perkawinan. Adapaun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk
membiayai anak dan istri dalam firman Allah :
ن ه و رزق ود ل ول م ى ال ل روف وع ع م ل ن ب ه وت س 24وك
Artinya: Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk
anak dan sitrinya. (Qs.Al-Baqarah:233).
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga
berlanjut setelah terjadinya perceraian.25
ارة ا الن اس والج ى ود را وق م ن يك ل ى م وأ ك س ف ن وا أ وا ق ن ين آم ا ال ذ ي ه ي أا ون م ل ع ف م وي رى م ا أ صون الل م ع اد ل ي د ظ ش ل ة غ ك ئ ل ا م ه ي ل ع
رون ؤم 26ي
23
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,2009). Cet III, h 326 24
Mushaf al-Kamil, 2013, al-Qur‟an dan terjemahnya, Jakarta: Darus Sunnah 25
Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h 328. 26
Mushaf al-Kamil, 2013, al-Qur‟an dan terjemahnya, Jakarta: Darus Sunnah
17
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadapa apa yang diperintah-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (Qs. At-tahriim:6).
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota
keluarganya ini melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-
larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku pada saat
ayah dan ibu terikat tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah
terjadinya perceraian.27
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.28
! إن ابن هما أن امرأة قالت: ) ي رسول الل عن ىذاعن عبد الل بن عمرو رضي الل , وأراد أن كان بطن لو وعاء, وثديي لو سقاء, وحجري لو حواء, وإن أبه طل قن
تزعو من ف قال لا رسول الل ملسو هيلع هللا ىلص أنت أحق بو, ما ل ت نكحي ( رواه أح د, وأبو ي ن داود, وصح حو الاكم
Artinya : Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang
mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang
melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya
dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:
27
Ibid, h 328. 28
Abu Daud Sulaiman bin Al-As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Dasar
Fikr,2003),h 525.
18
"Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim (HR. Abu Dawud).
Untuk memelihara, merawat dan mendidik anak kecil diperlukan
kesabaran, kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang
tidak dibolehkan mengeluh dal;am menghadapi berbagai persoalan mereka;
bahkan Rasulullah SAW sangat mengancam orang-orang yang merasa bosan
dan kecewa dengan tingkah laku anak- anak mereka.29
Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadist: “ Ya Rasulullah, saya memiliki beberapa
orang anak perempuan dan saya mendoakan agar maut menemui mereka,
Rasulullah SAW bersabda :“wahai ibnu Sa’adah (panggilan bagi Aus) jangan
kamu berdo’a seperti itu, karena anak-anak itu membawa berkat, mereka
akan membawa berbagai nikmat, mereka akan membantu apabila terjadi
musibah, dan mereka merupakan obat diwaktu sakit dan rezeki mereka datang
dari Allah SWT. (HR.Muslim dan Abu Dawud).
C. Syarat –syarat Sebagai Pemegang Hadanah
Seorang hadhanah atau hadhin yang menangani dan
menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya
kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat –syarat tertentu. Jika
syarat-syarat itu tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan
menyelenggarakan hadhanah. Adapun syarat-syarat hadhanah antara lain
sebagai berikut :
29
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perpsektif
Islam,(Jakarta: Kencana, 2008), Cet I, h 115-116.
19
1. Baligh dan berakal sehat ; hak hadhanah anak diberikan kepada orang
yang berakal sehat dan tidak menganggu ingatannya, sebab hadhanah itu
merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu,
seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau ganguan ingatan tidak
layak mendapatkan hadhanah. Imam Ahmad bin Hambal menambahkan
agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.30
2. Dewasa ; sebab anak kecil sekalipun tergolong mumayyiz, tetap tergantung
pada orang lain yang mengurus dan mengasuhnya, sehingga tidak layak
mengasuh orang lain.31
3. Mampu mendidik yaitu suatu usaha untuk mengantarkan anak ke arah
kedewasaan baik secara jasmanimaupun rohani.
4. Amanah dan berakhlak, sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya
menunaikan kewajiabannya dengan baik. Bahkan dikwatirkan bila nanti si
anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang
ini.32
5. Beragama Islam. Di isyaratkan oleh kalangan mazhab Syafi‟i dan
Hanafiah. Oleh karena itu, bagi seorang kafir tidak ada hak untuk
mengasuh anak yang muslim, karena akan ditakutkan akan
membahayakan aqidah akhlak anak tersebut. Selain itu agama anak
dikawatirkan terpengaruh oleh pengasuh, karena tentu akan berusaha keras
mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya berdasarkan agamanya.
30
Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, ( Jakarta:
Kencana, 2005), h 172. 31
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: AL I‟tishom, 2008), h 533. 32
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, h 531
20
Akibatnya dikemudian hari anak akan sulit melepaskan diri darinya. Inilah
bahaya terbesar yang mengancam anak tersebut.33
6. Merdeka yaitu sudah dapat berdiri sendiri baik jasmani maupun rohani.
7. Wanita yang mengasuh itu tidak bersuamikan dengan seorang laki-laki
yang bukan mahram dari anak yang di asuh, dikwatirkan wanita tersebut
sinuk melayani keperluan suaminya sehingga tidak ada waktu untuk
mengasuh anak tersebut.34
Adapun untuk syarat anak yang diasuh (mahdhun) itu adalah :
1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Si anak berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya. Oleh karena itu
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa seperti orang yang cacat
mental. Orang yang usdah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh
berada di bawah pengasuh apapun.35
D. Upah Hadhanah
Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggung jawab
bapaknya, baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian.
Apabila setelah perceraian, anak yang masih kecil dan menyusu berada di
bawah pemeliharaan ibunya, sedangkan masa Iddahnya telah habis, maka ibu
berhak mendapatkan upah atas pemeliharaan dan penyusuan tersebut. Hal ini
karena tidak lagi menerima nafkah dari bapak anak tersebut. Upah tersebut
wajib diberikan baik diminta ataupun tidak.
33
Ibid, h 533. 34
Ibid, h 241. 35
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, h 242.
21
Sebagaimana firman Allah SWT:
ث س ي ن ح ن م وى ن ك س وا أ يق ض ت ن ل ضاروى م ول ت دك ن وج م م ت ن كن إ ن ف ه ن حل ع ض ي ن حت ه ي ل وا ع ق ف ن أ ت حل ف ول ن كن أ ن وإ ه ي ل ع
ن روف وإ ع م ب ك ن ي تروا ب ن وأ ورى ج ن أ وى آت م ف ك ن ل ع رض رت أ اس ع ت رى خ و أ ع ل رض ت س 36ف
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Qs. At- Thalaq ayat
6).”
Adapun besar biaya yang ditanggung bapak terhadap anaknya
disesuaikan dengan kemampuan si bapak, sesuai dengan firman Allah SWT:
ه الل ق م ا آت ف ن ي ل و ف و رزق ي ل ر ع د ن ق و وم ت ع ن س ة م ع و س ق ذ ف ن ي لر س ر ي س د ع ع ل الل ب ع ج ي ا س ى ا آت ل م ا إ س ف لف الل ن ك 37ال ي
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
36
Mushaf al-Kamil, 2013, al-Qur‟an dan terjemahnya, Jakarta: Darus Sunnah 37
Ibid,
22
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
(Qs. Atalaq:7).
Akan tetapi jika bapak tidak mampu, karena ia orang susah, dan
berpenghasilan rendah serta anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu
menolak untuk mengasuhnya kecuali dengan uapah dan tiada seorang pun
diantara kamu kerabat tang mau mengasuhnya secara mutlak. Dan biaya
pemeliharaan dan rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak gugur,
kecuali dengan ditunaikan. Kewajiban tersebut dapat ditanggung oleh kerabat
ahli waris yang terdekat yang mampu. Tetapi apabila ada orang lain yan
dengan suka rela mendidik anak itu tanpa ongkos, maka hal tersebut dapat
diserahkan kepada pendidik suka rela tersebut.38
Sedangkan apabila bapak dengan sengaja menelantarkan anaknya
dengan tidak membiayai keperluan hidupnya padahal bapak mampu untuk
melakukannya, maka hal itu tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan dosa.
Dengan demikian masa pembiayaan anak akan berakhir yakni bagi
anak laki-laki apabila ia telah dewasa, dapat bekerja dan nberdiri sendiri.
Sedangkan bagi anak perempuan sampai ia kawin, ketika anak perempuan
telah kawin maka nafkahnya menjadi tanggung jawab suaminya.39
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama
ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau masih dalam Iddah.
38
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang,1974), Cet I, h 135. 39
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta,1978), Cet.I, h 106.
23
Karena dala keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau
nafkah masa Iddah.
Allah SWT berfirman:
ات د ل وا ول وال ن أ ع رض ي ل ام ك ول ن ح ى ن أ د م ة ل اع م الر ض ت ن ي راد أن ه و رزق ود ل ول م ى ال ل روف وع ع م ل ن ب ه وت س 40وك
Artinya:“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi uang ingin menyempurnkan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf...”.
(Qs. Al-Baqarah :233).
Adapun sesudah habis masa Iddahnya maka ia berhak atas upah itu
seperti haknya kepada upah menyusui. Allah SWT berfirman:
ن روف وإ ع م ب ك ن ي تروا ب ن وأ ورى ج ن أ وى آت م ف ك ن ل ع رض ن أ إ فرى خ و أ ع ل رض ت س رت ف اس ع 41ت
Artinya: “Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (ank-anak)mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahlah diantara kamu
(segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu mengalami kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (Qs. At-thalaq:6).
Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhanah sejak ia
menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja
menysui anak kecil dengan bayaran (upah).
40
Mushaf al-Kamil, 2013, al-Qur‟an dan terjemahnya, Jakarta: Darus Sunnah 41
Ibid,
24
Upah pengasuhan adalah utang dan tidak gugur, kecuali dengan
melunasi atau membebaskannya. Yang wajib membayar upah pengasuhan
menurut syara‟ adalah orang yang wajib memberi nafkah anak kecil itu.
Karena pengasuhan termasuk nafkah. Maka wajib dibayar oleh ayah atau wali
anak itu.42
Seorang ayah wajib membayar upah penyusuhan dan hadhanah, juga
wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapan jika sekiranya si ibu
tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga
wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu
tersebut jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk
itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil
seperti; makan, minum, tempat tidur, obat-obatan, dan keperluan lain yang
dibutuhkan. Tetapi gaji ini hanya dikeluarkannya saat ibu pengasuh
manangani asuhannya. Dan gaji ini menjadi utang yang ditanggung oleh ayah
serta ibu lepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebankan.
Jika antara kerabat anak kecil ada orang yang pandai mengasuhnya
dan melakukannya dengan sukarela, sedangkan ibunya tidak mau kecuali
dibayar, jika ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar upah
kepada ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabat
perempuan yang mau mengasuhnya dengan sukarela, bahkan si anak kecil
harus tetap pada ibunya. Sebab asuhann ibunya lebih baik untuknya apabila
ayahnya mampu membayar upah ibunya. Tetapi kalau ayahnya mampu, ia
42
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah: Ibadat Mu’amalat, (Jakarta: Pustaka
Amini,1999), Cet.III, h 346.
25
boleh menyerahkan anak kecil itu kepada kerabatnya yang perempuan untuk
mengasuhnya dengan sukrela, dengan syarat perempuan ini dari kalangan
kerabat si anak kecil dan pandai pengasuhnya.
Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung ayah. Adapun
apabila anak kecil itu sendiri memiliki harta untuk membayar nafkahnya,
maka anak kecil inilah yang membayar kepada pengasuh sukrelanya. Di
samping untuk menjaga hartanya juga karena salah seorang kerabat yang
menjaga dan mengasuhnya. Tetapi ayahnya tidak mampu, dan si anak kecil
sendiri tidak memiliki harta, sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya
kecuali kalau dibayar, dan tidak seorang kerabatpun yang mau mengasuhnya
dengan sukrela, amak ibu dapat dipaksa untuk mengasuhnya, sedangkan upah
(bayarannya) menjadi hutang yang wajib di bayar oleh ayah, dan bisa gugur
kalau telah dibayar atau di bebaskan.
Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, sedangkan orang
tuanya bercerai, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 105
Dalam hal terjadi perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. Pemelihaaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan untuk memilih
diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak emeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.
26
Pasal 106
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengasuh dan mengembangkan
anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak
diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena
keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu
menghendakin atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang idtimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
E. Hadhanah Dalam Peraturan Perundang- Undangan.
1. Menurut Hukum Perdata
Pemeliharaan anak terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum
Perdata buku kesatu hal orang Bab X, XII, dan XIV. Pada pasal 289 Bab
XIV tentang kekuasaan orang tua bagian I akibat-akibat kekuasaan orang
tua terhadap pribadi anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib
menghormati dan menghargai orang tuanya. Dalam tinjauan hukum
perdata siapa yang paling berhak memelihara dan mengasuh anak dibawah
umur, akibat perceraian dari suami istri adalah kewajiban orang tuanya.
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih
dibawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua dan kekuasaan wali tidak
membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menruut
27
besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak mereka itu.43
Kemudian dijelaskan pada pasal 299 bab XIV tentang kekuasaan
orang tua bagia I akibat-akibat kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan
orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan
kedua orang tuanya, sejauah kedua orang tuanya tidak dilepaskan atau di
pecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika ada pelepasan atas pemecatan dan
berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah ranjang, bapak sendiri yang
melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak
memungkinkan untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam hal
adanya pisah ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang,
maka oleh Pengadilan di angkat seorang wali sesuai dengan pasal 359. Hal
ini diatur dalam pasal 300 bab XIV tentang kekuasaan orang tua bagia III
akibat – akibat kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.44
Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur
dalam pasal 299 bab X tentang pemeliharaan perkawinan, pada umumnya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan : “ setelah
memutuskan perceraian, dan setelah mendengar dan memanggil dengan
sah para orang tua atas keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak
yang dibawah umur , Pengadilan negeri akan menetapkan siapa dari kedua
43
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h.72. 44
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.76.
28
orang tua akan mealakukan perkawinan atas tiap-tiap anak, kecuali jika
kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua,
dengan mengandalkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin
memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orang tua.45
Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hak
memelihara anak yang masih kecil tetap tanggung jawab kedua orang
tuanya baik ibu maupun ayah. Kecuali apabila orang tua tersebut
melalaikan tugasnya atau berperilaku tidak baik yang dapat merusak poala
pikir anak maka pengadilan akan menetapkan siapa dari kedua orang tua
itu yang akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak.
Sebagaiamana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X tentang
pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata : “nubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan
menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan
keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh Undang-
Undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”. Menurut
pasal tersebut, bahwa hak mengasuh terhadapa anak kecil meskipun orang
tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan
syarat anak tersebut adalah anak yang dilahirkan atas perkawinan yang
sah.46
45
Ibid, h.55-56. 46
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.55-56.
29
2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan KHI
Dalam Undang-Undang Perkawinan telah disebutkan tentang
hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari
hukum perkawinan di Indonesia akan tetapi hukum penguasaan anak itu
belum di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara
luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadanah) itu
belum dapat diberlakuka secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan
Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah
yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih ketika memutus perkara yang
berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diperlakukan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1991
tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah
menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi
wewenang untuk mengadili dan menyelesaikannya.47
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 13 tahun dengan cara
yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini
berlaku terus meskipun orang tua si anak putus karena perceraian atau
kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar
47
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h.428-429.
30
Pengadilan. Kew3ajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan
(menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan
menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu
kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep
hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua
berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan
sebaik-baiknya.48
Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika
kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan
ibunya sebagaimana dikemukakan dalam pasal 104 yaitu:
1. Semua biaya penyusuhan anak dipertanggungjawabkan kepada Allah
SWT. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuhan di
bebankan kepada orang yang brekewajiban memberi nafkah kepada
ayahnya dan walinya.
2. Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan
dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.49
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus
menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak
disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga
relevan dalam hal yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang
menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak.
48
Ibid, h.429 49
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h.138.
31
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan psal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung
jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab
material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan
sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai
dengan keyakinannya.50
Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam pasal 105
menjelaskan secara lebih rinci dalam suami istri terjadi perceraian yaitu (1)
pemeliharan anak yang belum mumayyiz atau belum belum berumur 12
tahun adalah ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih dianatara atau ibunya sebagai
pemegang hak pemiliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya.51
Pada pasal 45 bab X mengenai hak dan kewajiban orang tua dan
anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan
kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai
anak asuh itu menikah atau dapat berdiri sendiri. Yang mana kewajiban
tersebut berlaku selamanya meskipun kedua orang tua putus.52
50
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h.149. 51
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.138. 52
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota
ABRI,POLRI Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negaeri Sipil, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.14.
32
Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 yat 1 bab X mengenai
hak dan kewajiban anatar orang tu dan anak Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai umur
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala hal
perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan.53
Pada pasal 48 bab X mengenai hak dan kewajiban orang tua dan
anak Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahka hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 9 menyatakan pada ayat:
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia
21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau
belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan diluar pengadilan.
53
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. h.14-15.
33
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menyesuaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.54
Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum
mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun
mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, diamana dijelaskan
bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala
kepentingan biaya yang diperlukan dala kehidupan rumah tangganya.
Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi
beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agaa setempat agar
menhukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak
yang dia nggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi,
pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan
Pengadilan Agama.55
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasannya tidak cakap
atau tidak mampu melaksanakan kewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua tersebut dapat dicabut dengan
putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena :
(1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya ; (2) orang
tua berkelakuan buruk sekali.
54
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama ( Dalam Sistem
Hukum Nasional), Jakarta: Logos, 1999), h.189. 55
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 9 Bandung: Citra Umbara, 2007),h.13.
34
M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa oran yang melalaikan
kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan orang tua itu
atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, bisa jadi
disebabkan karen dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama,
sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak
diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala
tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang baik
yang seharusnya memberikan contoh yang baik.56
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaiamana
tersebut diatas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan
penguasaan kepada anaknya, jika yang dicabut kekuasaan terhadap
anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhal lagi mengurusi urusan
pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk
mewkili anak didalam san diluar Pengadilan.57
Dengan demikian,
ibunyalah yangb mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak
tersebut. Berdasarkan pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, biya pemeliharaan ini tetap melekat secara
permanen meskipun kekuasannya terhadap anknya dicabut.
56
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional: Pembahasan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, 9Medan:
Zahir,1975), h.214. 57
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h.431.
35
3. Hadhanah Di Beberapa Negara Islam
a. Mesir
Masa pengasuhan anak dalam status hukum perorangan
(personal status law) yang diamandemen tahun 1985, menetapkan
bahwa wanita (istri) memiliki hak utnuk mengasuh anak laki-laki
hingga usia 10 tahun dan 12 tahun untuk anak perempuan. Setlah habis
masa pengasuhan, hakim dapat memerintahkan bahwa anak yang
dalam pengasuhan tetap pada ibu tanpa adanya upah hingga berusia 15
tahun bagi anak laki-laki dan sampai menikah bagi anak perempuan.
Jika hakim yakin bahwa kemaslahatan anak akan terpenuhi.
Mengenai syarat-syarat pemeang hadhanah, dirumuskan
sebagai berikut : orang yang baligh, berakal, mampu mengasuh anak,
sehat dan mempunyai garis hubungan kekeluargaan.
Adapun mengenai gugur atau pencabutan hak hadhanah, hkim
dapat mempertimbangkan dua hal:
1. Apabila pemegang hak hadhanah berperilaku buruk yang dapat
mempengaruhi akhlak dan tabiat anak yang dalam pengasuhannya.
2. Jika pemegang hak hadanah sering mengabaikan dan atau
meninggalkan anak yang dalam pengasuhannya.58
b. Syiria
Masa pengasuhan anak dalam Undang-Undang Syiria,
dirumuskan bahwa bagi anak laki-laki sampai berusia 7 tahun,
58
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perpsektif
Islam,(Jakarta: Kencana, 2008), Cet I, h. 135-136.
36
sedangkan anak perempuan sampai 9 tahun. Meskipun demikian jika
hakim melihat ada kemaslahatan, maka ia dapat menambah masa
pengasuhan masing-masing anak selama 2 tahun, yakni bagi anak laki-
laki dapat diperpanjang menjadi 9 tahun sedangkan ank perempuan
hingga berusia 11 tahun. Syarat –syarat pemegang hak hadhanah
dirumuskan sebagai berikut, yaitu : dewasa, berakal, mampu mengasuh
anak baik jasmani dan rohani. Kemudian hak hadhanah seorang dapat
digugurkan apabila: pemegang hadhanah memiliki tercela yang dapat
mempengaruhi si anak, gila dan murtad. Bahkan hak pengasuhan anak
dapat digugurkan karena tidak mampu melakukan pengasuhan dengan
alasan kesehatan. Apabila pemegang hadhanah mengaku sering
meninggalkan rumah, dan tidak mempunyai kesempatan mengasuh
anak, maka hak hadhanahnya di gugurkan, meskipun anak tersebut
msih sangat kecil.59
c. Kuwait
Secara umum hukum eluarga Kuwait tidak jauh berbeda
dengan hukum fiqih klasik, termasuk di dalamnya pasal-pasal yang
mengatur tentang hadhanah. Misalnya tentang ketentuan pemegang
hadhanah adalah ibu. Penetapan hak hadhanah itu didasarkan pada
suanah, ijma‟, dan rasio (akal).
Mengenai hal yang dapat menggugurkan hak hadhanah antara
lain pemegang hak menikah lagi dengan laki-laki yang bukan kerabat
59
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perpsektif Islam,
h.142.
37
dekatnya. Namun perbedaan agama tidak menyebabkan gugurnya hak
untuk mengasuh, sehingga ia mengerti agama. Mengenai lamanya
masa hadhanah Perundang-Undangan Kuwait lebih cenderung kepada
pendapat Imam Malik. Maka pengasuhan anak berakhir apabila laki-
laki ia sampai baligh sedangkan wanita sampai ia telah menikah.
d. Tunisia
Dalam Perundang-Undangan keluarga Tunisia tahun 1958
dirumuskan:
1. Pasal 54, hadhanah adalah pemeliharaan anak, termasuk juga
merawat dan mendidik anak sampai ia mencapai usia dewasa.
2. Pasal 57, selama masa perkawinan, anak dipelihara kedua orang
tuanya. Jika terjadi percerian atau meninggal dunia, hak
pemeliharaan anak secara berturut-turut kepada ibu dan nasab
ibunya.
3. Pasal 58, syarat memelihara anak anatara lain harus dewasa, dapat
dipercaya dan cakapdalam menjalankan kewajiban.
4. Pasal 61, jika seorang wanita dalam memelihara anak memiliki
tempat tinggal jauh dan menghambat proses penghambatan anak,
amak ia bisa kehilangan hak pemeliharaanya.
5. Pasal 64, seorang pemelihara anak tidak boleh melalaikan
kewajibannya, meskipun dalam keadaan sulit.
6. Pasal 67, anak laki-laki dirawat sampai berumur 7 tahun dan anak
perempuan dipelihara sampai berumur 9 tahun selanjutnya ayah
38
dapat menambil alih pemeliharaan anak, kecuali adanya keputusan
Pengadilan yang berkehendak lain berdasarkan kepentingan anak.
Dari Undang-Undang tersebut diatas maka dapat disimpulkan
bahwa masa pemeliharaan anak Tunisia masih berpegang teguh pada
pendapat fiqih sedangkan keutamaan pemeliharaan anak lebih
cenderung mengakomodir kemaslahatan anak, ketimbang mengikuti
pendapat fuqaha. Mengenai pancabutan hak hadhanah tidak disebut
dengan tegas, nampaknya diserahkan pada perimbangan Pengadilan.60
F. Kepastian Hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,
yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut
harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional
seimbang.Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi
secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian
hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul
keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat
mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak
adil.
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan
terhdap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang
terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak
hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu
60
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perpsektif Islam, h.147.
39
kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian
hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak
mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh
hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik
dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pulah penerapanya.
Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan
objeknya serta ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin
sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi
sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan
memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.61
G. Keadilan Hukum
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.Tujuan hukum bukan
hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan
hukum.Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan
ketiganya.Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan resultant dari
ketiganya.Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, bahwa di antara
ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling
penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum
satu-satunya.
Pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh
pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Dalam bahasa
61
https://walangjurnal.wordpress.com
40
praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara
dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara
proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap
orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum
tanpa keadilan tidaklah ada artinya sama sekali.
Dari sekian banyak para ahli hukum telah berpendapat tentang apa
keadilan yang sesungguhnya serta dari literatur-literatur yang ada dapat
memberikan kita gambaran mengenai arti adil. Adil atau keadilan adalah
menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain yang menyangkut hak
dan kewajiban. Yaitu bagaimana pihak-pihak yang saling berhubungan
mempertimbangkan haknya yang kemudian dihadapkan dengan
kewjibanya.Disitulah berfungsi keadilan.
Membicarakan keadilan tidak semuda yang kita bayangkan, karena
keadilan bisa bersifat subjektif dan bisa individualistis, artinya tidak bisa
disama ratakan. Karena adil bagi si A belum tentu adil oleh si B. Oleh karena
itu untuk membahas rumusan keadilan yang lebih komprehensif, mungkin
lebih obyaktif kalau dilakukan atau dibantu dengan pendekatan disiplin ilmu
lain seperti filsafat, sosiologi dan lain-lain. Sedangkan kata-kata “rasa
keadilan” merujuk kepada berbagai pertimbangan psikologis dan sosiologis
yang terjadi kepada pihak-pihak yang terlibat, yaitu terdakwa, korban, dan
pihak lainnya. Rasa keadilan inilah yang memberikan hak “diskresi” kepada
para penegak hukum untuk memutuskan “agak keluar” dari pasal-pasal yang
ada dalam regulasi yang menjadi landasan hukum. Ini memang ada
41
bahayanya, karena kewenangan ini bisa disalahgunakan oleh yang punya
kewenangan, tetapi di sisi lain kewenangan ini perlu diberikan untuk
menerapkan “rasa keadilan” tadi, karena bisa perangkat hukum yang ada
ternyata belum memenuhi “rasa keadilan”.62
H. Kemanfaatan Hukum
Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan untuk
mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak saling tubruk
dan berkeadilan.Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahuir di
ruang hampa.Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk
mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang
disebabkan okleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Sebenarnya
hukum itu untuk ditaati.Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum adalah
untuk menciptakan keadilan.Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun
jelek dan tidak adil.Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku,
hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi.Kita tidak bisa membuat
hukum „yang dianggap tidak adil‟.Itu menjadi lebih baik dengan merusak
hukum itu.Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan
penghoramatan pada hukum dan aturan itu sendiri.
Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang
mengharapkan adanya mamfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum.Jangan
sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan masyrakat. Karena
kalau kita berbicara tentang hukum kita cenderung hanya melihat pada
62
Drs.Sudarsono, S.H., M.Si. Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: PT Asdi Mahasatya,2001),
h 50-51.
42
peraturan perundang-undangan, yang trkadang aturan itu tidak sempurna
adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan masyarakat. Sesuai dengan
prinsip tersebut diatas, saya sangat tertarik membaca pernyataan Prof. Satjipto
Raharjo, yang menyatakan bahwa : keadilan memang salah satu nilai utama,
tetapi tetap disamping yang lain-lain, seperti kemanfaatan ( utility,
doelmatigheid). Olehnya itu didalam penegakan hukum, perbandingan antara
manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.
I. Hubungan dan kaitanya antara; Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan
Hukum
Suatu hukum yang baik setidaknya harus memenuhi tiga hal pokok
yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan
Kemanfaatan. Setelah dilihat dan ditelaah dari ketiga sisi yang menunjang
sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan.Maka
jelaslah ketiga hal tersebut berhubungan erat agar menjadikan hukum, baik
dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek
hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang
resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin
berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tetapi jika ketiga hal tersebut dikaitkan dengan
kenyataan yang ada dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum
terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian
hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh
43
dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya
adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya)
bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering
merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas,sebaliknya kalau kemanfaatan
masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa
dikorbankannya.
Maka dari itu pertama-tama kita harus memprioritaskan keadilan
barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya
diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim,
jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nilai dasar
hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak
mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.63
Selanjutnya di dalam prakteknya penegakan hukum dapat terjadi
dilematik yang saling berbenturan antara ketiga unsur tujuan hukum diatas,
dimana dengan pengutamaan “ kepastian hukum “ maka ada kemungkinan
unsur-unsur lain diabaikan atau dikorbankan. Demikian juga jika unsur “
kemanfaatan “ lebih diutamakan, maka kepastian hukum dan keadilan dapat
dikorbankan. Jadi kesimpulanya dari ketiga unsur tujuan hukum tersebut
diatas harus mendapat perhatian secara Proporsional yang seimbang.
63
Rasjuddin.blogspot.co.id/2013/06/hubungan 3 tujuan hukum.html.
44
J. Pengertian Eksekusi
Secara etimologis eksekusi berasal dari bahasa belanda yang berarti
menjalankan putusan hakim atau pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan
putusan (tenuitvoer legging van vonnissen) secara terminologis eksekusi ialah
melaksanakan putusan (vonis) pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang
mempunyai kekuasaan eksekutorial, putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan eksekutorial yaitu putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir ,
sedangkan putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif tidak memerlukan
eksekusi dalam menjalankannya.64
Pengadilan dalam mengeksekusi harus memperhatikan asas-asas
pelaksanaan putusan, yaitu sebagai berikut.
1. Putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan provosionil, putusan perdamaian eksekusi grose akta dan
pelaksanaan putusan voer bij vooraad. Putusan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap adalah putusan final, tidak ada lagi upaya hukum,
tidak bisa lagi disengketakan oleh pihak-pihak yang berperkara,
mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak yang berperkara.
2. Putusan tidak dilaksanakan secara suka rela, maksudnya pihak yang kalah
dengan suka rela melaksanakan putusan tersebut, bia perlu dapat dengan
cara paksa melalui proses eksekusi oleh pengadilan.
64
Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah,(Jakarta:
Sinar Grafika,2010), h 142.
45
3. Putusan mengandung amar condemnation.
Ciri putusan condemnation mengandung salah satu amar yang
menyatukan: Pengadilan menghukum atau memerintahkan untuk:
a. Menyerahkan
b. Pengosongan
c. Membagi
d. Melaksanakan
e. Menghentikan
f. Membayar
g. Membongkar
h. Tidak melakukan sesuatu
4. Eksekusi dibawah pimpinan ketua Pengadilan.
Sebelum melaksanakan eksekusi ketua Pengadilan Agama terlebih
dahulu mengeluarkan peenetapan yang ditnjukan kepada panitera/ juru sita
untuk melaksanakan ekekusi dan elaksanaan eksekusi dipimpin oleh ketua
Pengadilan Agama yang berwenang mengeksekusikan adalah Pengadilan
Agama yang menjatuhkan putusan tersebut atau Pengadilan Agama yang
diberi delegasi wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya,65
K. Macam – Macam Eksekusi
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar
sejumlah uang.
65
Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, h 142 -
143.
46
b. Eksekusi putusan menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan
(pasal 225 HIR dan pasal 259 RBg).
c. Eksekusi riil, yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan
pengosongan benda tetap kepada orang yang dilaksanakan (pasal RV
1033).
d. Eksekusi riil dengan penjualan lelang (pasal 200 ayat (11) HIR/pasal 218
ayat (2) RBg).66
L. Tata Cara Eksekusi
Secara prosedural pelaksanaan eksekusi rill adalah sebagai berikut:
a. Permohonan eksekusi oleh pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan
putusan pengadilan agama secara sukarela untuk dilaksanakan secara
paksa (pasal 207 ayat (1) RBg/196 HIR)
b. Penaksiran biayaeksekusi oleh petugas meja pertama. Biaya yang
diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi, biaya
pengamanan dan biaya lainnya yang di perlukan. Setelah biaya tersebut
dibayar barulah didaftarkan dalam register eksekusi.
c. Telah dilaksanakan teguran (aan maning). Pangadilan agama menegur
kepada pihak yang kalah agar melaksanakanputusan dan memanggil kedua
belah pihak yang berperkara datang didepan ketua pengadilan agama pada
hari dan tanggal yang telah ditetapkan. Phak yang kalah diberikan
tenggang waktu 8 (delapan) hari untuk berpikir, jika dalam waktu tersebut
66
Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, h 143.
47
pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan, maka pengadilan
agama dapat melaksanakan eksekusi putusan. (pasal 169 HIR).
d. Perintah eksekusi ketua pengadilan agama mengeluarkan surat penetapan
yang intinya memerintahkan panitera/juru sita untuk melaksanakan sita
eksekusi di bantu oleh 2 (dua) orang saksi. Dalam penetapan tersebut
harus di sebutkan nomor perkara yang hendak dieksekusikan dan
objeknya.
e. Pelaksanaan eksekusi riil eksekusi hanya dilaksanakan oleh panitia atau
juru sita dan dibantu oleh 2(dua) orang saksi, dan panitera/juru sita wajib
hadir ke tempat objek barang yang akan dieksekusikan. Eksekusi
dilaksanakan sesuani dengan amar putusan, serta dibuatkan acara eksekusi.
Berita acara eksekusi memuat hal-hal sebagai berikut. 1. Jenis barang yang
di eksekusikan. 2. Letak, ukuran dan luas barang tetap yang dieksekusikan.
3. Hadir tidaknya yang dieksekusi. 4. Penegasan dan keterangan pengawas
barang. 5. Penjelasan Non Bevinding bagi yang tidak sesuai dengan amar
putusan. 6. Penjelasan dapat atau tidaknya eksekusi dijalankan. 7. Hari,
tanggal, jam, bulan, dan tahun pelaksanaan eksekusi. 8. Berita acara
eksekusi ditandatangani oleh petugas eksekusi, 2 (dua) orang saksi, kepala
desa/lurah setempat tereksekusi.
f. Eksekusi pembayaran sejumlah uang
Eksekusi pembayaran sejumlah uang ialah suatu eksekusi yang
intinya agar pihak yang kalah dalam berperkara membayar sejumlah uang
yang telah ditetapkan pihak pengadilan kepada pihak yang dimenangkan.
48
Dalam pengadilan agama hal ini terjadi pada sengketa nafkah anak, nafkah
beban istri selama masa iddah dan/atau sengketa lain yang dapat di nilai
dengan uang.
Apabila pihak yang belum melunasi pembayaran sejumlah uang
maka dapat dilakukan secara paksa dengan cara menjual lelang harta
kekayaan tergugat. Hal ini berdasar pasal 225 ayat (1) HIR prosedur
eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Dalam praktik peradilan agama eksekusi pembayaran sejumlah uang
mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut.
a. Permohonan eksekusi dari pihak yang menang, permohonan eksekusi
tersebut di tujukan kepada ketua pengadilan agama yang memutuskan
perkara tersebut.
b. Pengadlan mengeluarkan penetapan sita eksekusi, setelah pengadilan
agama menerima surat permohonan eksekusi dari pihak yang menang.
Pengadilan agama segera segera memanggil pihak yang kalah untuk
mengikuti sidang dan aan maning (teguran), agar pihak yang kalah
segera melaksanakan putusan secara sukarela (pasal 207 ayat (1) dan
(2) RBg dan pasal 196 HIR). Apabila pihak yang kalah tidak
melaksanakan pula putusan, maka pengadilan agama mengeluarkan
surat penetapan sita eksekusi (pasal 208 RBg dan pasal197 HIR dan
pasal 439 Rv).
c. Ketua pengadilan agama mengeluarkan perintah eksekusi surat
perintah eksekusi tersebut berisi tentang perintah penjualan lelang
49
barang-barang yang telah diletakan sita eksekusinya dengan menyebutt
objek yang di eksekusi dan menyebutkan putusan yang menjadi dasar
eksekusi tersebut.
d. Pengumuman lelang. Pengumuman lelang tersebut melalui surat kabar
atau mass media terhadap barang-barang/benda-benda yang akan
dieksekusi (pasal 200a 6 HIR dan pasal 217 a 1 RBg)
e. Ketua pengadilan agama meminta bantuan kantor lelang Negara untuk
menjual lelang barnga-barang yang telah di letakkan sita eksekusi
dengan lampiran:
1. Salinan surat putusan pengadilan agama:
2. Salinan penetapan sita eksekusi:
3. Salinan berita acara sita:
4. Salinan penetapan lelang:
5. Salinan surat pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan:
6. Perincihan besarnya jumlah tagihan:
7. Bukti pemilikan barang, misalnya sartifikat tanah:
8. Syarat-syarat lelang:
9. Bukti pengumuman lelang.
f. Kantor lelang mendaftarkan permintaan lelang tersebut dalam buku
khusus.
g. Kepada kantor lelang menetapkan waktu pelaksanaan lelang.
h. Penentuan syarat lelang dan floor price (patokan harga). Penentuan
syarat lelang menjadi kewenangan ketua pengadilan agama yang
50
bertindak sebagai penjual untuk dan atas nama termohon eksekusi.
Misalnya, tatacara penawaran dan pembayaran. Sedangkan untuk fool
price (patokan harga terendah) di sesuaikan dengan harga pasaran dan
nilai ekonomis barang dan ini menjadi wewenang kepala kantor lelang
Negara.
i. Tatacara penawaran. Pihak-pihak yang ikut dalam lelang harus
mengajukan penawaran secara tertulis dengan menyebutkan nama dan
alamat penawar, menyebut harga yang di sanggupinya dan di
tandatangani oleh pihak-pihak penawar.
j. Menentukan pemenang, dan pemenang lelang adalah penawar
tertinggi.
k. Pembayaran harga lelang pengadilan agama berhak menentukan
syarat-syarat pembayaran lelang.67
67
Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, h 144-
147.