Post on 20-Nov-2020
18
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara Pidana
1. Asas-Asas Putusan Hakim.
Putusan pengadilan merupakan akhir dari proses pemeriksaan perkara yang
dialakukan oleh majelis hakim, putusan pengadilan merupakan suatu pernyataan
hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang, perlu dijelaskan
bahwa yang dimaksudkan dengan putusan pada uraian ini adalah putusa judex factie
tingkat pertama dan bukan putusan tingkat banding atau kasasi, karena putusan yang
berkaitan denga teknik pemerikasaan perkara hanyalah putusan tingkat pertama.
Putusan tingkat banding meskipun termasuk judex factie tetapi pemerikasaan
ditingkat banding hanyalah bersifat koreksi terhadap jalannya pemeriksaan perkara
ditingkat pertama, yaitu hukum acara pidana dijalankan secara benar dalam proses
persidangan, dan apakah telah menerapkan hukum acara yang benar. Adapun putusan
kasasi hanyalah berupa koreksi terhadap penerapan hukum sudah tepat dan benar,
apakah tidak melampaui wewenang yang ditentukan dalam Undang-undang.
1. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan tidak
terperinci, memuat Pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar mengadili, (Pasal 50 dan 53 UU No, 48 Tahun 2009);
2. Asas wajib mengadili seluruh bagian dakwaan;
3. Asas tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan;
19
Dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 2. ayat (1) Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa". ayat (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila. ayat (3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan Undang-undang.
ayat (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pasal 5
ayat (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Esensi putusan yang didasarkan pada kalimat Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah penegakan hukum untuk tujuan keadilan. Dalam
realitasnya satu perkara diproses dan diadili menurut peraturan perundang-undangan.
Jarang sekali disertai pertimbangan sosiologis, filosofis atau pertimbangan moral
justice. Padahal putusan didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, mengapa
putusan tentang pencurian tiga biji kakao dan pencurian 6 piring ditentang banyak
orang, karena mereka menilia tidak ada rasa keadilan dalam masyarakat. Disebabkan
dalam pertimbangan hakim tidak menggunakan moral justice bahwa pencurian itu
sekecil apapun tetap melanggar Undang-undang.
2. Dasar pertimbangan Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
Undang-undang untuk mengadili.1 Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.2
Memang pada hakekatnya dari seorang hakim hanya diharapkan atau diminta
1 Pasal 1 ayat 8 KUHAP
2 UU 48/2009, Pasal 10 ayat 1
20
untuk mempertimbangkan tentang benar tidaknya suatu peristiwa yang diajukan
kepadanya. Oleh karena itu hakim harus memeriksa dan mengadili setiap perkara
yang diajukan kepadanya.
Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat
dikatakan bahwa kedudukan itu hanyalah setingkat di bawah Tuhan Yang Maha
Esa Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan
bahwa hakim itu bertanggung jawab langsung kepadanya. Disamping itu hakim
juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Tugas dan wewenang
hakim adalah mengadili suatu perkara yang bersifat final. Dalam memutuskan suatu
perkara tindak pidana hakim memiliki beberapa pertimbangan. Dasar pertimbangan
hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana adalah harus mempertimbangkan
kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang hakim
harus membuat keputusan, keputusan yang adil dan bijaksana dengan
mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam
masyarakat.3
Ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1)
huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan:
“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa”.dikemukakan oleh Lilik Mulyadi “Pertimbangan hakim terdiri
dari pertimbangan yuridis dan fakta-fakta dalam persidangan. Selain itu, majelis
3 Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, 2013,
hal 16.
21
hakim haruslah menguasai atau mengenal aspek teoritik dan praktik, yurisprudensi
dan kasus posisi yang sedang ditangani”.4
Mengacu pada tujuan pemidanaan dalam pasal yang dipergunakan untuk
menjatuhkan putusan pidana, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru,
dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa dalam penjatuhan pidana hakim wajib
mempertimbangkan hal-hal berikut;5
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Cara melakukan tindak pidana;
d. Sikap batin pembuat tindak pidana
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan tindak pidana;
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
i. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan
j. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Hakim dalam pengambilan keputusan harus memiliki sifat arif, bijaksana, dan
adil karena hakim adalah sosok yang masih cukup dipercaya oleh sebagian
masyarakat yang diharapkan mampu mengayomi dan memutuskan suatu perkara
dengan adil. Karena dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan ataupun
kemaslahatan yang tercermin dalam putusan hakim tidaklah mudah. Apabila kasus
posisi suatu perkara tidak diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan sehingga
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan. Wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Hakim dalam proses dan penentuan putusan-putusannya tidak dapat
mewujudkan suatu putusan yang berkeadilan mengingat tidak mudah diperoleh
4 3Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007, hal 193-194. 5bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 91
22
kebenaran materiil sebagai tuntutan utama dalam sistem peradilan pidana. Karena itu,
adanya kejelasan hubungan hukum dan fakta yang relevan, yang mendukung
dakwaan mengisyaratkan bahwa suatu putusan harus bermuatan logis, sehingga dapat
dipahami dan ditangani oleh publik yang berkepentingan terhadap keadilan hukum
John Rawls menegaskan bahwa “keadilan hukum timbul manakala didasarkan
kepada peran lembaga-lembaga hukum dalam memproses suatu keadilan formil
(institutions and formal justice), adanya kesamaan bagi setiap orang yang
berkesesuaian dengan adanya kebebasan dasar orang lain (each person is to
have an equal rights to the most extensive base liberty compatible with a
similar liberty of others), dan adanya kesamaan derajat dalam kesamaan
peluang dan kesempatan untuk memperoleh keadilan prosedural (fair equality
of opportunity and pure procedural justice).6 Dengan tidak mematuhi asas
kewenangan yurisdiksi memang bersifat relatif, sehingga hakim-hakim di
pengadilan negeri tampaknya tidak selalu berpengaruh oleh keadaan tersebut
termasuk pada beberapa kasus di atas.
3. Pertimbangan Hukum Sebagai Wujud Pertanggungjawaban Hakim Dalam
Membangun Peradilan Berwibawa.
Putusan hakim pada penelitian ini adalah putusan dalam rangka melaksanakan
tugas pokok pengadilan, yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara yang diajukan di pengadilan. Pangdilan berfungsi
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasilan dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Hakim adalah pelaku utama fungsi pengadilan. Karena
6Penjelasan komprehensif John Rawls dalam karyanya, A Theory of Justice, London, Oxford,
University Press, 1971, hal. 114
23
itu semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam
rangka menegahkan hukum dan keadilan.7
Pada era transparansi dewasa ini, salah satu ciri pengadilan modern, bahwa
putusannya dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkannya.8 Orang yang
dirugikan oleh putusan akan mengatakan bahwa hakim tidak adil, sebalik orang yang
diuntungkan oleh putusan akan mengatakan bahwa hakim adil. Para filsus banyak
memberikan arti keadilan secara berbeda-beda, tergantung sudut pandang mereka,
seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya. Kemudian pada era pengadilan
modern saat ini berkembang menjadi legal justice (keadilan hukum), social justice
(keadilan masyarakat), dan moral justice (keadilan moral).9 Kemudian apabila
dikaitkan ketiganya dipertimbangkan secara utuh disebut total justice yang dalam
bukum logika hukum “pertimbangan putusan hakim” Syarif Mappiasse menyebutnya
sebagai pertimbangan hukum prismatik.10
Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, kata adil memberi makna
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan apa yang menjadi haknya
yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di
hadapan hukum. Dengan demikian tuntutan yang paling mendsasar dari keadilan
yaitu memberikan perlakuan dan kesempatan yang sama serta keseimbangan
perlindungan hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa. Perilaku hakim yang
7 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Prenada Media Grup, Jakarta,
2015, hal 90-91 8 Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, pasal 52 ayat (1)
pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan, bandingkan dengan PERMA No, 144
Tahun 2011 tentang keterbukaan informasi 9 Syarif Mappiasse, Logika Hukum….Op.cit,. hall 91
10 Ibid.,
24
menyimpang dari pedoman perilaku hakim atau aparat pengadilan yang melanggar
peraturan tentang disimplin pegawai negeri sipil yang berdampak secara materil
merugikan salah satu pihak dari pengguna pengadilan, dan pula berdampak
merugikan institusi yaitu menyebabkan menurunnya kepercayaan publik terhadap
lembaga peradilan.11
Dalam mengatasi hal tersebut, maka Mahkama Agung sebagai lembaga tertinggi
dalam pengadilan, maka MA selalu memberikan sanksi yang tegas, jika terbukti
hakim melanggar kode etiknya. Guna memulihkan kepercayaan publik dan
membangun kewibawaan pengadilan. Membangun indepedensi dan sikap
profesionalisme hakim dilakukan dalam rangka memulihkan kepercayaan publik dan
membangun peradilan berwibawa. Independensi kehakiman dalam hal ini MA dan
badan-badan peradilan yang ada dibawahnya serta MK, secara hukum telah menerima
kaminan kemerdekaan baik melalui UUD 1945 maupun melalui UU No, 48 Tahun
2009, demikian pula indepedensi hakim secara personal telah dijamin secara hukum
dengan bolehnya melakukan dissenting opinion dalam mengajukan pertimbangan
hukum dalam putusannya.12
Penalaran hukum merupakan suatu proses upaya untuk sampai kepada
perumusan amar putusan. Upaya tersebut menurut Gr. Van der Burght dan J.D.C.
11
Ibid., hal 92 12
Lihat pasal 14 UU 48 tahun 2009 ayat (1) Putusan diambil berdasarkan sidang
permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. (2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim
wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. (3) Dalam hal sidang permusyawaratan
tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
25
Winkelman, bahwa untuk sampai pada perumusan amar putusan seorang hakim harus
melewati tujuh langkah.
Pertama,Meletakan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau
memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar peta, artinya memaparkan secara singkat
duduk perkara dari suatu kasus; Kedua,Menerjemahkan kasus itu ke dalam
peristilahan yuridis (mengualifikasi); Ketiga, Menyeleksi aturan-aturan hukum yang
relevan; Keempat, Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan
hukum itu; Kelima, Menerapkan aturan hukum pada kasus; Keenam, Mengevaluasi
dan menimbang argument-argume dan penyelesaian; Merumuskan (forulasi)
penyelesaian.
Sebenarnya dalam praktik pengadilan, penemuan hukum itu sesungguhnya
telah dilakukan pada saat kualifikasi. Fakta-fakta yang terbukti dipersidangan baru
dalam bentuk simbol-simbol yang harus di terjemahkan menurut konsep yuridis,
misalnya mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki secara
melawan hukum, dimaknai sebagai pencurian. Penemuan hukum oleh hakim
kemudian dirumuskan dalam bentuk putusan.
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat Pasal tertentu dari Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.13
Dalam Pasal 53
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
13
Lihat pasal 50 ayat (1). UU No 48 tahun 2009. Putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili
26
“Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas
penetapan dan putusan yang dibuatnya”. Penetapan dan putusan sebagaimana
dimaksud harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada
alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.14
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 yang dimaksud dengan:
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.15
Ruang kebebasan hakim yang diberikan oleh negara meliputi kebebasan
mengadili, bebas dari campur tangan pihak luar, kebebasan berekspresi, kebebasan
menggali nilai-nilai hukum yang diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu penegakan
hukum berkeadilan, berkepastian dan kemanfaatan. Pengadilan mengadili menurut
hukum, meliputi ketentuan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dalam
penegakan prinsip kepastian hukum, norma positif dalam sistem Perundang-
undangan dipandang sebagai sumber hukum formal yang paling utama.16
14
Lihat pasal 53 ayat (1,2) UU No 48 tahun 2009. (1) Dalam memeriksa dan memutus
perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. (2) Penetapan dan
putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. 15
Lihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 48 tahun 2009: Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
16
Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap paradikma…..Op cit. hal 96
27
4. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara
a. Makna dan Fungsi Prinsip Kebebasan Hakim
Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan
digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka),
maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai paratur inti kekuasaan
kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah ditancapkan
konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun sosial telah
banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata kebebasan
digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk “kebebasan
hakim”, maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang menafsirkan bahwa
kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas
hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus didasarkan
(terikat kepada dasar Pancasila).17
Oleh karena itu kebebasan hakim tidak
bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur tanggung
jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas yang
cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.18
Secara akademik, mengenai kebebasan hakim dapat ditelusuri mulai dari
Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Mahkamah Agung yang telah beberapa kali mengalami amandemen.
Misalnya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang
No.14 tentang Mahkamah Agung (yang tidak diubah oleh Undang-Undang
17
Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran tentang kuasa dan Wibawa , Jakarta : Sinar Harapan ,
1991hal1 18
Kees BertensSejarah Filsafat Yunani,Yogyakarta : Kanisius ,1999, hal94
28
Nomor 5 Tahun 2004), kata kebebasan hakim tidak diberikan penjelasan lebih
rinci dan lebih teknis oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu dalam
memaknai dan memahami prinsip asas kebebasan hakim harus berada dalam
kerangka kontekstual prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Karena secara
organisatoris, hakim adalah bagian dari subsistem lembaga peradilan, yaitu
sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan
hakim harus selalu berada dalam koridor kemerdekaan lembaga kekuasaan
kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang No.48 Tahun
2009 yang menyatakan bahwa, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim
wajib menjaga kemandirian peradilan.19
Secara filosofis harus dipahami bahwa putusan hakim atau majelis hakim
yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual atau majelis,
namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat
itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat
kelembagaan, karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut
diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan yang
demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi
milik publik.
Kekuasaan kehakiman diatur didalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
bahwa :Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
19
Mahkamah Agung RI, Penemuan hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek
Pengembangan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI
29
lain-lain, Badan Kehakiman menurut Undang-undang; Susunan dan kekuasaan
badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-undang.
Kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata bebas memiliki konotasi makna tidak boleh
terikat oleh apa pun dan tidak ada tekanan dari siapa pun. Bebas juga berarti
suatu tindakan tidak boleh digantungkan kepada apa pun atau siapa pun. Bebas
juga memiliki arti leluasa untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginan dari
kebebasan itu sendiri. Apabila kata bebas disifatkan kepada hakim, sehingga
menjadi kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka
dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan
kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun,
tetapi leluasa untuk berbuat apapun. Memaknai arti kebebasan semacam itu
dinamakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial.20
Menurut Oemar Seno Adji:”Suatu pengadilan yang bebas dan tidak
dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas
berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan
legislatif dalam menjalankan fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak
20
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,Jakarta: Pustaka
Filsafat, 1987, hal.33.
30
untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia
“subordinated”, terikat pada hukum.” Ide dasar yang berkembang secara
universal perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, "freedom and
impartial judiciary"yang menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari
segala sikap dan tindakan maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai
gagasan yang bersifat “universal”. "Freedom and impartial judiciary"
merupakan karakteristik dan persyaratan utama bagi negara yang menganut
sistem hukum Anglo Saxon maupun eropa kontinental yang menyadari
keberpihakan pada penegakan pinsip rule of law.21
Ada tiga ciri khusus negara
hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu hukum melalui prinsip-prinsip Rule
of Law, yaitu:
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung
pengertian perlakuan yang sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi,
budaya, dan pendidikan;
2. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya; dan
3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh
kekuasaan lain.22
Menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto, dari aspek historis, menguatnya
istilah kebebasan hakim (independensi peradilan) menjadi wacana nasional, telah
memberikan indikasi adanya campur tangan ekstra yudisial. Indikasi demikian
merupakan karakteristik dari negara-negara yang mengakui konsepsi rule of law, baik
di negara yang menganut sistem liberal, neoliberal, maupun sosialis. Konsepsi dan
ide kebebasan peradilan yang tidak memihak sudah menjadi acuan negara-negara
21
Oemar Seno Adji,Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,1987, hal 46 22
Ibid., hal 167
31
dengan multi pola sistem, karenanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak adalah
karakteristik negara demokratis yang mengakui dan menjunjung tinggi prinsip rule of
law tersebut. Untuk mewujudkan kehendak freedom and partial judiciary harus
dimulai dengan meneliti kondisi internal
peradilan, termasuk para hakim.23
Franken, ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan
kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu :
1. Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid);
Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid) adalah
independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politica dengan
sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kekuasaan
kehakiman harus independen dalam arti kedudukan klembagaannya harus
bebas dari pengaruh politik
2. Independensi Fungsional (Zakelijke of Fuctionele Onafhankelijkheid);
Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh
hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu
putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh
menjalankan kebebasannya unuk menafsirkan undang-undang apabila
undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena
bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi
undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan.
Independensi substansial dapat juga dipandang sebagai pembatasan,
dimana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar
hukum. Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi
tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu
ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan
keadilan atau konstitusi.
3. Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele
Onafhankelijkheid);
Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele
Onafhankelijkheid) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu
ketika berhadapan dengan suatu sengketa.
4. Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke
Onafhankelijkheid).
23
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Aji, Peradilan Bebas dan Contempt of
Courts,Jakarta:Diadit Media 1980, hal 15
32
Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke
Onafhankelijkheid) adalah independensi hakim untuk tidak berpihak
(imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan
masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak
boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu dan kemudian mengambil begitu
saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkan hakim juga harus
mampu menyaring desakan-desakan dalam masyarakat untuk
dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang
sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat
menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.24
Menurut Bagir Manan, bahwa majelis hakim dipandang menjadi tidak netral
atau berpihak karena beberapa hal, antara lain :
1. Pengaruh kekuasaan dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi
kehendak pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, baik dari lingkungan
kekuasaan kehakiman sendiri, maupun dari luar (misalnya dari
gubernur, bupati, menteri dan lain-lain);
2. Pengaruh publik. Tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan
rasa takut atau cemas kepada majelis hakim yang bersangkutan
sehingga memberikan keputusan yang sesuai dengan paksaan publik
yang bersangkutan.
3. Pengaruh pihak. Pengaruh pihak dapat bersumber dan hubungan
primordial tertentu, maupun karena komersialisasi perkara. Perkara
menjadi komoditas perniagaan, yang membayar lebih banyak akan
dimenangkan.25
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila haruslah dipahami
sebagai batas-batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang
bertanggungjawab. Pancasila haruslah sebagai dasar kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan (Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009). Pancasila sebagai nilai dasar atau nilai
fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal. Apabila dikaji
secara mendalam, maka pengertian abstrak, umum, dan universal tersebut
24
H. Franken, Onafhankelijkheid en Verantwoordelijke, Gouda Quhnt, 1997, hal 9-10 25
Bagir Manan,Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian) ,Jakarta: FH-UI Press, , 2004, hal
20-12
33
memungkinkan untuk dijabarkan ke bidang filsafat, hukum, sosial, ekonomi, dan
sebagainya.26
Nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila dengan
demikian dapat dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki
kebebasan hakim dalam konteks rule of law di Indonesia.
Prinsip kebebasan hakim, oleh sebagian hakim dipahami sebagai suatu
kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas, sehingga makna kebebasan
dipahami sebagai kesewenang-wenangan, sehingga orang dikatakan bebas, kalau
dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini bebas dipahami juga
sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan, termasuk keterikatan dari
perbudakan nafsu. Secara paralel, kebebasan hakim dapat dipahami sebagai
kebebasan yang terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan dengan seseorang
atau apa pun (termasuk nafsu) yang dapat membuat hakim tidak leluasa.
Ukurannya adalah kebenaran, dan kebaikan yang dipancarkan oleh nurani.
Antara hukum dan moral memang berbeda,27
tetapi mempunyai kaitan yang
erat antara hukum dan moral, karena sebenarnya bahwa hukum itu merupakan
bagian dari tuntutan moral yang dialami manusia dalam hidupnya. Hukum memuat
nilai etis, yakni bahwa kriteria pembentukan hukum adalah kebebasan moral.28
26
Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,2003 27
Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian baik dan buruk akan
tetapi didasarkan pada kekuasaan dari the powers of superior(Baca Brian H. Bix, Legal Postitivim
dalam Philosophy of Law and Legal Theory, Edited Martin P. Golding and William A. Edmundosn,
Marden : Blackwell ublishing, 2006; James Bernard Murphy, The Philosophy of Positive Law :
Foundations of Jurisprudence, New Haven : Yale University Press, 2005. 28
Hukum memikul tanggung jawab (beban moral) untuk berfungsi sebagai sistem aturan yang
melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan memandu kehidupan manusia agar tercipta
34
Hukum ialah sejumlah syarat yang menjamin bahwa kehendak seorang pribadi
disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan, disini
hukum diartikan sebagai buah sikap moral manusia. Antara hukum dan moral
sangat erat sekali hubungannya, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara
abstrak, secara konkret tidak usah muncul secara terpisah. Ilustrasi ini
mengharuskan hakim untuk memeriksa, dan memutus perkara yang ditanganinya
sesuai denganprinsip-prinsip moral, dan karenanya dalam memutus perkara
berlandaskan moral yang baik dan sehat. Apabila dalam menyelesaikan sengketa
dan memutus perkara hakim mengabaikan moral, pasti akan menghasilkan suatu
putusan yang adil tetapi semu atau menghasilkan suatu keadilan yang semu.
Norma moral bagi hakim dalam menjalankan tugasnya diatur di dalam Keputusan
Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial
Republik Indonesia Nomor.047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P-
KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang mengatur
perilaku hakim sebagai berikut: berperilaku adil, berperilaku jujur, berlaku arif dan
bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung
tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap profesional.
Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat
bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti
sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan
pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan,
kehidupan tertib ditengah-tengah keterbatasan natural. Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum : Mem-bangun
Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal155.
35
maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga
dihadapan masyarakat.29
hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang,
sedangkan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun
hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak
dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.30
Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa
memperhatikan keadilan, dan adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum
dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan tata hukum dan peradilan
haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu.31
Prinsip-prinsip
tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu
merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang
adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling
besar bagi setiap orang yang sebesar mungkin, justru berpikir secara hukum
berkaitan erat dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud.
Hukum positif merupakan salah satu hasil dari kegiatan manusia dalam
negara sebagai ko-eksistensi etis, sedangkan hukum itu berasal dari kehendak
yuridis dan politis, tetapi kehendak yuridis dan politis itu merupakan bagian
29
Pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putati yang telah ada (hukum
positif) dapat diabaikan atas nama hak moral. Lihat Lon. L.Fuller,Morality of Law,Yale University
Press, New Haven, 1964, hal 96-97 30
Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2007, hal 125 31
Ketersediaan aturan yang jelas-tegas dan predictable, merupakan keharusan (moral) yang
terkait dengan kepastian hukum secara formal. Bernard A. Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang
Negara Hukum, Jentera (Jurnal Hukum), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), edisi 3 Tahun II,
November, Jakarta, 2004, hal 124-125
36
kehendak etis manusia untuk mengatur kehidupan bersama dalam segala relasi-
relasinya agar relasi-relasi itu baik dan karenanya kehidupan manusia sendiri-
sendiri menjadi baik dan bahagia. Dapat pula dikatakan bahwa hukum itu terkait
dengan etika, sebab melalui norma-norma hukum ditetapkan suatu tatanan sosial
yang adil. Hukum mewajibkan secara etis dan yuridis, sebab hukum menciptakan
keadilan.32
Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan meliputi:
1. Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap warganya,
dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk
keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta
kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;
2. Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan wargalah
yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam negara;
3. dan Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu
dengan lainnya secara timbal balik.33
b. Implementasi Prinsip Kebebasan Hakim
Berbicara tentang prinsip kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman
(independensi peradilan) tidak boleh tidak harus dikaitkan dengan konsep negara
hukum (rechtsstaat).34
Rechtsstaat adalah istilah yang digunakan oleh penganut
sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) untuk menyebut negara
32
Theo Huijbers, op.cit. hal68 33
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan Tinggi,Jakarta : Paradigama, 2007,
hal 36 34
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, membedakan pengertian kemandirian
kekuasaan kehakiman atas tiga jenis, yakni kemandirian lembaganya, kemandirian proses
peradilannya, dan kemandirian hakimnya sendiri. Akan tetapi, mereka juga menegaskan bahwa
kemandirian hakimnya disebut secara tersendiri dan pembahasannya akan dikupas lebih dalam lagi
karena hakimlah yang secara fungsional memimpin dan menyelenggarakan proses peradilan di muka
pengadilan serta memberikan putusan kepada pencari keadilan. Uraian lebih jelas tentang hal ini dapat
dibaca pada Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Indonesia,ed 1, UII Press, 2005, hal 52-68
37
hukum, sedangkan the rule of law adalah kata lain dari rechtsstaat. Kata tersebut
digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law (anglo
saxon).Sebab salah satu syarat mutlak negara hukum adalah adanya aminan akan
kemadirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim. F.J. Stahl,pakar hukum
dari negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengemukakan,
ada empat unsur negara hukum, yakni hak-hak dasar manusia, pembagian
kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van
bestuur), dan peradilan tata usaha dalam perselisihan.35
Sedangkan A.V. Dicey, ahli hukum dari negara yang menganut sistem
hukum Anglo Saxon, mengemukakan bahwa unsur-unsur negara hukum ada tiga
macam, yaitu supremasi hukum, adanya kesamaan di depan hukum, dan
terjaminnya hak-hak manusia, baik oleh undang-undang maupun oleh putusan
pengadilan.36
Dalam rumusan F.J. Stahl dan A.V. Dicey tentang unsur-unsur
negara hukum (rechtsstaat) atau the rule of law sebagaimana kemukakan di atas,
asas kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman tidak disebutkan secara tegas,
kecuali secara tersirat. Penyebutan yang tegas tentang hal ini dapat ditemukan
dalam konsep negara hukum menurut Frans Magnis Suseno. Dikemukakan oleh
Frans Magnis Suseno bahwa ada lima ciri negara hukum. Kelima ciri tersebut,
yakni
1) Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai
dengan ketetapan-ketetapan sebuah undang-undang dasar;
35
Oemar Seno Adji, Prasarana pada Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar
1945,Jakarta : Seruling Masa, 1966, hal 24. 36
Ibid,.
38
2) Undang-Undang Dasar menjamin hak-hak asasi manusia yang paling penting
karena tanpa jaminan tersebut, hukum dapat menjadi sarana penindasan;
3) Badan-badan negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya
atas dasar hukum yang berlaku;
4) Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan
dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara; dan
5) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.37
Hakikat kebebasan hakim atau kemandirian kekuasaan kehakiman
(independensi peradilan) itu bermaksud untuk mencegah penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan oleh badan negara. Sehubungan dengan ini, Fpans
Magnis Suseno, mengemukakan bahwa dengan adanya kebebasan dan
kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka
diharapkan bahwa badan yuridikatif dapat melakukan kontrol segi hukum
terhadap kekuasaan negara disamping untuk mencegah dan mengurangi
kecenderungan menyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.38
Tidak hanya
kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama dari pengaruh kekuasaan
pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan
pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa karena kekuasaan kehakiman yang
secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol
terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsi tersebut.
Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur
tangan atau intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman
yang bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang
37
Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi; Sebuah Telaah Filosofis,Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama,1995, hal 58-59 38
Frans Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern ,Jakarta
: Gramedia, 1991, hal 298-301.
39
merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh
lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan
imparsial. Maksud dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses
pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang benar atau
berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan mengacu pada
ukuran atau kriteria obyektif yang berlaku umum, sedangkan maksud dari putusan
yang bersifat imparsial adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak
memihak kepada salah satu pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-
pihak yang berperkara atau bersengketa. Disamping itu keputusan yang diberikan
tersebut secara langsung memberikan kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi
dapat disimpulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin
terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum
dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.
Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran,
putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan
pengadilan. Tujuan putusan pengadilan sejatinya:
1) Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari
masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat;
terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada lembaga lain selain badan
peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan pengadilan;
2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena
keadilan yang tertunda itu merupakan ketidakadilan;
3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan
pengadilan tersebut;
4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman
masyarakat;
40
5) Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang
berperkara.39
Dasar hukum tentang prinsip kebebasan hakim adalah Pasal 24 ayat (1)
UUD 1945 yang menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”. Dalam interpretasi historis, dapat diketahui bahwa Pasal
tersebut oleh pembuatnya dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari
intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Prinsip yang
terkandung didalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian
adalah bersifat kelembagaan, yaitu lembaga peradilan.
Mengenai prinsip kebebasan hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 32
ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang
tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), tidak
dijelaskan lebih lanjut secara rinci oleh Undang-undang tersebut, oleh karena itu
semangat makna Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 harus dikembangkan dalam
memahami maksud kebebasan hakim dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-undang
No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-
undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 14
tahun 1945 tentang Mahkamah Agung), bahwa kebebasan hakim harus dalam
kerangka prinsip kebebasan lembaga peradilan.Karena hakim adalah sub sistem
dari lembaga peradilan, sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman, sehingga kebebasan hakim haruslah selalu berada di dalam koridor
39
Artidjo Alkostar, Dimensi Kebenaran Dalam Putusan Hakim, varia peradilan 281,2008, hal 37
41
kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan bahwa “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim
konstitusi wajib menjaga kemadirian peradilan”.
Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia,
hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa kekuasaan
kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena
tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia, bukan keadilan subyektif menurut pengertian atau kehendak
hakim semata.40
Namun, dalam pelaksanaannya kebebasan dan kemandirian yang
diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan
kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi,
serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili
sesuai dengan hati nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun.
40
Sudikno dalam Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, op.cit. hal 67
42
Hakim bebas memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan
hati nuraninya. Disamping itu juga bebas dari campur tangan pihak ekstra
yudisial.41
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di
luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam
UUD1945. Tetapi di dalam praktik ketentuan itu tidak jarang dilanggar, antara
lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, telepon
sakti, suap dan sebagainya.42
Hoentink mengatakan bahwa, hakim tidak boleh
mengadili melulu menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia terikat
kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Scholten
mengatakan bahwa, hakim terikat pada sistem hukum yang telah terbentuk dan
berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim
menyatakan dan memperkuat kehidupan norma-norma hukum yang tidak
tertulis.43
Apabila hakim sudah merasa cukup dalam memeriksa perkara yang
diajukan kepadanya, maka tibalah saatnya ia akan memberikan putusan atas
perkara yang diajukan. Dalam memutus perkara tersebut disyaratkan dalam
undang-undang bahwa disamping berdasarkan alat-alat bukti yang sudah
ditentukan oleh undang-undang, juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim.
Untuk menentukan adanya keyakinan ini tidaklah mudah bagi hakim dalam
menjalankan tugas profesinya. Keadaan demikian dikhawatirkan jika hakim salah
41
Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia,4 Jurnal Hukum FH-UII, Jakarta,1997,
hal 5 42
Ibid,. 43
I.G.N. Soegangga, Pengantar Hukum Adat,Semarang : Badan Penerbit Undip, 1994, hal 52
43
dalam menentukan keyakinannya, maka akan terjadi kesesatan yang
mengakibatkan putusan hakim menjadi tidak adil. Menurut Mulyatno, keyakinan
hakim adalah suatu keyakinan yang ada pada diri hakim, kalau ia sudah tidak
menyangsikan sama sekali akan adanya kemungkinan lain daripada yang
digambarkan kepadanya melalui suatu pembuktian. Jadi hal yang diyakini
kebenarannya itu sudah di luar keragu-raguan yang masuk akal (beyond
reasonable doubt).44
Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung RI Nomor 5 Tahun 1966 tentang Pedoman Fungsi Hirarkhis Badan-Badan
Pengadilan/Hakim, maka ketentuan-ketentuan yang diatur Surat Edaran
Mahkamah Agung Ri Nomor 5 Tahun 1966 tidak bertentangan dengan kemurnian
pelaksanaan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan kebebasan hakim, yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Hakim bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya
Hakim atau Majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
mengadili suatu perkara harus tetap bebas dan bertanggung jawab dalam
menjalankan tugasnya itu, baik dalam penyelenggaraan peradilan, penilaian
kebenaran atau keadilannya, dan tidak boleh diperintah atau diberi tekanan
secara apapun dan oleh siapapun.
2) Menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya
Atas permintaan hakim/hakim-hakim yang bersangkutan atau atas inisiatif
dari ketua atau dari pimpinan pengadilan atasannya secara umum atau dalam
perkara tertentu terutama dalam perkara-perkara yang menarik perhatian
publik, berat atau sulit dapat dimintakan atau diberi bimbingan yang bersifat
nasihat-nasihat atau petunjuk-petunjuk umum dalam menjalankan tugas
tersebut kepada/oleh ketua atau pimpinan pengadilan atasannya yang
bersangkutan yang semuanya harus secara serius harus dinilai sebagai bahan-
bahan pertimbangan untuk menyelenggarakan peradilan dengan seksama
sewajarnya.
3) Arahan atau bimbingan selama pemeriksaan berjalan
Selama pemeriksaan berjalan sampai dengan pemutusannya maka arahan atau
bimbingan dan petunjuk-petunjuk tersebut hanya dapat diberikan oleh ketua
pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya atas permintaan hakim atau
majelis hakim yang bersangkutan.
4) Arahan atau bimbingan lisan atau tertulis
44
Mulyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Jakarta :Bina Aksara, 1982, hal 21
44
Arahan atau bimbingan ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya
di atas, dapat dimintakan atau diberikan secara tertulis (terutama jika
tempatnya jauh) atau lisan.
5) Arahan atau bimbingan tentang penilaian kebenaran, pembuktian, dan
keadilan
Masalah-masalah penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran,
pembuktiaan, penerapan hukumnya atau penilaian keadilannya untuk
mencapai keserasian dalam lingkungan suatu peradilan dapat didiskusikan
antara para hakim sendiri di bawah pimpinan ketua pengadilan yang
bersangkutan secara berkala atau insidentil tanpa mengurangi prinsip
kebebasan hakim.
6) Peringatan atau teguran kepada hakim atau majelis hakim
Peringatan atau teguran oleh ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan
atasannya, baik terhadap penyelenggaraan atau jalannya peradilan maupun
perbuatan hakim dapat diberikan secara umum atau khusus dengan tulisan
atau lisan mengenai suatu perkara, pada asasnya hanya dibenarkan setelah
perkara selesai diputus.45
B. Teori-teori Tentang Keadilan
1. Keadilan.
Berbicara mengenai keadilan selalu terkait dengan pembaihasan mengenai
hukum itu sendiri.46
Sudah kita tahu bahwa keadilan merupakan sala satu tujuan
dari hukum, namun hukum dan keadilan bagaikan dua mata uang yang tidak bisa
dipisahkan. Arti keadilan itu sendiri datang dari berbagai pandangan, Keadilan
adalah memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, ada juga
yang melihat keadilan dari dasar kata adil yang artinya tidak berat sebelah.
Keadilan terletak pada keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan
kewajiban.
45
jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 46
Teguh Prasetyo, Teori Keadilan Bermartabat, Op.cit, hal 101
45
Keadilan yang sebenarnya adalah memberikan sesuatu pada tempatnya,
adil bukan berarti sama rata, melainkan memberikan sesuatu pada orang yang
berhak mendapatkannya. Dalam pengertian keadilan ada beberapa macam
pengertian yang diungkapkan oleh para ahli ilmu kemanusiaan, Setiap manusia
berhak diperlakukan adil dan berlaku adil dengan menyeimbangkan antara hak
dan kewajiban. Orang yang menuntut hak, tapi lupa kewajiban, tindakannya pasti
akan mengarah pada pemerasan, sebaliknya orang yang menjalankan kewajiban,
tetapi lupa menuntut hak akan mudah diperbudak oleh orang lain.
Keadilan merupakan suatu bentuk kondisi kebenaran ideal secara moral
akan sesuatu hal, baik itu menyangkut benda ataupun orang. Pada hakikatnya,
keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan
haknya. Dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan
sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hakdan
kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan.
Keadilan juga merupakan budaya bangsa Indonesia, hal ini tergambar dalam
pancasila yang merupakan dasar negera Indonesia. Keadilan diekspresikan
dengan berbagai cara, misalnya membuat karya seni yang menyuarakan keadilan,
seperti seni musik, prosa dan puisi. Ada yang pula yang menuntut keadilan
dengan cara berpuasa sampai mati atau sampai tuntutan keadilannya terpenuhi,
menjahit mulut, membakar diri dan sebagainya, dengan demikian, keadilan akan
sulit untuk ditemukan dalam kehidupan masyarkat dewasa ini.
Beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian keadilan.
46
a. Pengertian keadilan menurut Aristoteles.
Teori keadilan menurut Aristoteles yang dibagi menjadi lima macam yaitu
keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan kodrat alam, keadilan
konvensional, dan keadilan perbaikan. Oleh sebab itu penulis memakai
pandangannya tentang keadilan distributif. keadilan merupakan tindakan
yang memberikan sesuatu kepada orang yang memang menjadi haknya.
Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno. Menurut Suseno,
keadilan adalah keadaan dimana sesama manusia saling enghargai hak
dan kewajiban masing-masing yang membuat keadaan menjadi harmonis.
b. Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes
Menurut Hubbes, keadilan adalah sebuah keadaan dimana ada suatu
perjanjian yang kemudian isi perjanjian tersebut dijalankan sesuai dengan
aturan yang berlaku tanpa berat sebelah.
c. Pengertian keadilan menurut Prof, Teguh Prasetyo yang digagasnya dalam
teori keadilan bermartabat. Memanusiakan manusia. Yang mana hukum
ada bukan untuk menindas, akan tetapi untuk membenahi yang salah.
Segala sesuatu yang dibicarakan harus selalu berhubungan dan
menjelaskan, serta menuntun realitas; seperti menentukan yang baik dan
buruk, benar dan salah. Teori keadilan bermartabat, dikatakan
bermartabat, karena dibangun nilai-nilainya berdasarkan pancasila yang
adalah jiwa bangsa Indonesia.47
2. Hakekat Keadilan
Dengan mengamati putusan-putusan yang penulis sebutkan pada bab
I, lalu timbul pertanyaan-pertanyaan besar.”dimana dunia keadilan itu?
Bagaimana ciri atau sifat keadilan itu? Dan apa itu adil? Ciri atau sifat adil
dapat diiktisarkan maknanya sebagai berikut, adil (just), bersifat hukum
(legal), sah menurut hukum (law ful), tidak memihak (impartial), sama hak
(equal), layak (fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral
(righteous). Dari pengertian diatas ternyata adil mempunyai makna ganda
yang perbedaannya satu sama dengan yang lain kecil sekali. Nuansa ini
47
Ibid., hal 62-63
47
perlu diperhatikan apabila sifat adil diterapkan pada situasi yang umum dan
induvidu.48
Keadilan merupakan tujuan hukum yang peling penting, didalam
keadilan sudah pasti terwujud kepastian dan juga kemanfaatan. Bismar
Saregar “mengatakan bila untuk menegakan maka keadilan saya korbankan
kepastian hukum, hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah
keadilan”.49
Mengapa tujuan dikorbakan karena sarana? Demikian
pentingnya keadilan ini. Lalu keadilan itu apa? Pertanyaan ini dijawab oleh
Ulpianus(200M), yang kemudian diambil ahli oleh kitab hukum Justianus,
dengan mengatakan bahwa “keadilan ialah kehendak yang terpola dan tetap
untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (justitia est costans et
prepetua volontas ius suum cuique tribuendi).50
Maka hukum tanpa keadilan
akan sia-sia sehingga tidak lagi berharga di hadapan masyarakat. Hukum
bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan bersifat
subjektif. Dengan dua sifat yang berbeda maka untuk menggabungkan antara
hukum dan keadilan itu bukan pekerjaan yang gampang. Namun itulah
konsekuensinya, sesulit apa pun menggabungkan keadilan dan hukum harus
dilakukan. Ini demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar
hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.51
48
Muhamad Erwin.Op.Cit. hal 290 49
Ibid., 50
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat
hukum di Indonesia, PT Gramendia Pustaka, Jakarta, 1995, hal 138 51
H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group;
2012), hal 91
48
Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa
memperhatikan keadilan. Karena adil itu termasuk pengertian hakiki suatu
tata hukum dan peradilan. Karena itu dalam pembentukan tata hukum dan
peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsip-
prinsip umum tersebut yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan
negara. Kepentingan bangsa dan negara itu merupakan keyakinan yang
hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil. Karena tujuan
negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi
setiap orang yang mungkin, justru berpikir secara hukum berakit erat dengan
ide bagaimana keadilan dan ketertiban itu terwujud.52
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan
berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang
tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi.
Manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dibekali dengan
rasa yang dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal
agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena
yang dapat menentukan hal ini adalah rasa.53
Plato (427-347SM) yang menggambarkan keadilan pada jiwa manusia
dengan membandingkannya dengan kehidupan negara, mengemukakan
bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu, pikiran, perasaan dan
nafsu baik psikis maupun jasmani, rasa baik dan jahat. jiwa akan teratur
52
Ibdi., 53
M.Rasjidi dan H.Cwindu, Islam untuk disiplin Ilmu Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal
17
49
secara baik apabila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga
bagian itu. Seperti halnya jiwa manusia, negarapun harus diatur secara
seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil. Setiap golongan golongan
berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugas-tugasnnya, itulah
keadilan. Dalam mengartikan keadilan, Plato dipengaruhi oleh cita-cita
kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan
berbagai organism sosial, setiap warg negara harus melakukan tugasnya
sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.54
Lain halnya dengan Plato, Aristoteles (384-322SM) memberikan
cukup besar pemikiran tentang hukum dan keadilan, dengan menggolongkan
keadilan menjadi dua bagian keadilan disrtibutif dan keadilan korektif.55
1. Keadilan disrtibutif.
Keadilan distributif menyangkut soal pembagian barang dan
kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya
dalam masyarakat,
2. Keadilan korektif.
Keadilan korektif memberilan ukuran untuk menjalankan hukum
sehari-hari.
Perlu dicatat bahwa sebelum Plato banyak teori keadilan yang lazim.
Penyelidikan tentang keadilan pergi dari yang paling kasar ke interpretasi
yang paling halus itu. Oleh karena itu tetap untuk menanyakan apa alasan
yang ia menolak pandangan tersebut. Jadi sebelum membahas konsep Plato
sendiri tentang keadilan, perlu untuk menganalisis teori-teori tradisional
keadilan ditolak olehnya. Plato membuktikan bahwa keadilan tidak tergantung
pada kesempatan, konvensi atau pada kekuatan eksternal. Ini adalah kondisi
yang tepat dari jiwa manusia oleh sifat manusia jika dilihat dalam kepenuhan
54
Muhamad Erwin.Op.Cit., hal 292-293 55
Satjipto Raharjo, Ilmu hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 163
50
lingkungannya. Ini adalah cara ini bahwa Plato mengutuk posisi yang diambil
oleh Glaucon bahwa keadilan adalah sesuatu yang eksternal. Menurut Plato,
itu adalah internal itu berada dalam jiwa manusia. "Hal ini sekarang dianggap
sebagai rahmat ke dalam dan pemahaman yang terbukti melibatkan studi
tentang manusia batiniah." Oleh karena itu, alami dan tidak ada buatan. Oleh
karena itu, tidak dilahirkan dari takut akan lemah tetapi dari kerinduan jiwa
manusia untuk melakukan tugas sesuai dengan sifatnya.
Dengan demikian, setelah mengkritik ide-ide konvensional keadilan
disajikan secara berbeda oleh Cephalus, Polymarchus, Thrasymachus dan
Glaucon, Plato sekarang memberikan kita teori sendiri keadilan. Plato
menyerang analogi antara organisme manusia di satu sisi dan organisme sosial
di sisi lain. organisme manusia menurut Plato mengandung tiga unsur-Alasan,
Roh dan Nafsu. Seorang individu hanya ketika setiap bagian dari jiwanya
melakukan fungsinya tanpa mengganggu orang-orang dari unsur-unsur
lainnya. Misalnya, alasan harus memerintah atas nama seluruh jiwa dengan
kebijaksanaan dan pemikiran. Unsur semangat akan sub-ordinat diri pada rule
of reason. Dua elemen yang dibawa ke dalam harmoni dengan kombinasi
pelatihan mental dan fisik. Mereka ditetapkan dalam perintah atas selera yang
membentuk sebagian besar dari jiwa manusia. Oleh karena itu, alasan dan
semangat harus mengontrol selera ini yang cenderung tumbuh pada
kesenangan tubuh. selera ini seharusnya tidak diperbolehkan, untuk
memperbudak unsur-unsur lain dan merebut kekuasaan mana mereka tidak
51
memiliki hak. Ketika semua tiga setuju bahwa di antara mereka alasan saja
harus memerintah, ada keadilan dalam diri individu.
Aristoteles juga mengatakan, keadilan adalah kebijakan yang berkaitan
dengan hubungan antar manusia. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa
yang sebanding, yaitu yang semestinya. Orang yang tidak adil adalah orang
yang mengabil lebih dari yang menjadi haknya, orang yang tidak
menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan
kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.56
Pada abad pertengahan muncul filsuf aliran hukum kodrat, yakni
Thomas Aquinas. Pada masa skolastik ini Aquinas melanjutkan pemikiran
hukum alam. Ia membedakan atas dua jenis keadilan, yakni keadilan umum
(justisia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum kerap diartikan
dengan keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan
demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus dibedakan lagi menjadi
keadilan distributif (justitia distributiva), keadilan komutatif (justitia
commutativa), dan kadilan vindikatif (justitia vindicativa).
Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap
orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-
masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antar masyarakat
dengan perorangan. Dalam hal ini, keadilan bukan berarti dalam persamaan,
56
Ibid.,
52
melainkan perbandingan berdasarkan haknya. Kemudian keadilan komutatif,
ialah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa
memedulikan jasa masing-masing. Misalnya dalam organisasi perusahaan ada
bagian personalia, bagian umum, bagian keuangan dan seterusnya. Mereka
diangkat berdasarkan kemampuan mereka dalam bekerja.
Sementara keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan
hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang diaggap adil
apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang
telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Para penganut aliran hukum alam meyakini bahwa alam semesta ini
diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga pada norma hukum alam
primer yang terdapat stoisisme menyatakan bahwa ”berikanlah kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribure), dan jangan
merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero mengatakan bahwa hukum
dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia tetapi oleh alam.57
Pada aliran positivisme hukum, norma hukum alam itu dibuat dalam
bentuk yang lebih konkrit, yang mana pengejawantahan hukum dan keadilan
itu ditetapkan ke dalam norma hukum positif yang dipercayakan kepada
penguasah. Hukum positif kadang-kadang menghambat perkembangan
57
Darji Darmodiharjo dan Shidarta Op cit., hal 140
53
hidup dan merugikan keadilan.58
Sementara menurut kaum utilitarianisme,
ukuran astu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa
besar dampaknya bagi kesejahteraan manuisa (human welfare). Kesejateraan
individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebi besar (general
wefare). 59
Sementara menurut penganut aliran Realisme Hukum yang salah satu
tokohnya adalah Jhon Rawls, berpendapat perlu ada keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaima ukuran dari
keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Rawls
menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebijakan utama yang
harus dipegang teguh dan sekaligus menjadi dasar di berbagai lembaga
sosial dasar suatu masyrakat. Memperlakukan keadilan sebagai kebijakan
utama, berarti memberikan kesempatan secara adil dan sama bagi setiap
orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan martabatnya
sebagai manusia. Harga diri dan martabat manusia tidak bisa diukur dengan
kekayaan ekonomis, sehingga dipahami bahwa keadilan luas melampaui
status ekonomi seseorang.
Lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa teori keadilan yang memadai
harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip keadilan
yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil
58
Ibdid., hal 140 59
Ibid., hal 142
54
kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan sederajat.
Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu
menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara
adil bagi semua orang. Dalam arti ini, keadilan bagi Rawls adalah fariness.
Maksud dari Rawls suatu masyarakat baik seharusnya mampu
memperlihatkan diri sebagai sebuah lembaga kerja sama sosial diman
masing-masing pihak berusaha saling menyumbang dan saling memajukan.
singkatnya teori keadilan adalah teori yang mampu mengakomodasi sebuah
kerja sama sosial yang pada saatnya akan mendukung terbentuknya
masyarakat yang tertib dan teratur.60
3. Peran Keadilan Menurut Jhon Rawls
Hubungan antara hukum dengan keadilan John Rawls. Bahwa institusi
formal penegak hukum, polisi, jaksa dan juga hakim telah memainkan peranan
penting dalam menjalankan tugasnya sehingga keadilan dapat dicapai dengan
optimal. John Rawls menegaskan bahwa “keadilan hukum timbul manakala
didasarkan kepada peran lembaga-lembaga hukum dalam memproses suatu
keadilan formil (institutions and formal justice), adanya kesamaan bagi setiap
orang yang berkesesuaian dengan adanya kebebasan dasar orang lain (each
person is to have an equal rights to the most extensive base liberty compatible
with a similar liberty of others), dan adanya kesamaan derajat dalam
kesamaan peluang dan kesempatan untuk memperoleh keadilan prosedural
60
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal 299-300
55
(fair equality of opportunity and pure procedural justice).61
dengan tidak
mematuhi asas kewenangan yurisdiksi memang bersifat relatif, sehingga
hakim-hakim di pengadilan negeri tampaknya tidak selalu berpengaruh oleh
keadaan tersebut termasuk pada beberapa kasus di atas.
Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagai mana
kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak dan direvisi jika ia tidak benar, begitupun juga
hukum dan konstitusi, tidak peduli betapapun`efesien dan rapinya, harus
direformasi atau dihapus jika tidak adil. setiap orang memiliki kehormatan
yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa
membatlakannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan
bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal-hal lebih besar yang
didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang
dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagaian besar keuntungan
yang dinikmati banyak orang. Karena itu dalam masyarakat yang adil
kebebasan warga negara dianggap mapan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan
tidan tunduk pada tawaran-tawaran politik atau kalkulasi kepentingan sosial.
Satu-satunya hal yang mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah
adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik, secara analogis, ketidak
adilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari ketidak adilan yang
61
Lihat penjelasan komprehensif John Rawls dalam karyanya, A Theory of Justice, London,
Oxford, University Press, 1971, hal 114
56
lebih besar. Sebagai kebajikan utama manusia, kebanaran dan keadilan tidak
bisa diganggu gugat. 62
Proposisi tersebut nampak menunjukan keayakinan intuitif kita tentang
keutamaan keadilan. Tak layak proposisi tersebut diutarakan terlampau kuat.
Dalam setiap kesempatan Rawls ingin mencari tahu apakah penegasan
tersebut atau penegasan yang sama adalah masuk akal, dan jika ya, bagaimana
proposisi tersebut dapat dibernarkan. Sekarang katakanlah sebuah masyarakat
tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan
kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga secara efektif diatur oleh
konsepsi public mengenai keadilan, yakni masyarakat dimana;
1. Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut
prinsip keadilan yang sama
2. Institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan
prinsip-prinsip tersebut
Dala hal ini kendati orang saling mengukan tuntutan yang sangat besar,
namun mereka mengakui sudut pandang bersama untuk mengungkapkan
pernyataan-pernyataan mereka. Jika kecenderungan orang untuk kepentingan
sendiri memerlukan saling perhatian dari satu sama yang lain, maka rasa
keadilan publik memungkinkan asosiasi bersama mereka. Apa bila diantara
individu dengan tujuan yang berbeda, sebuah konsepsi mengenai keadilan
akan mengukuhkan kebersamaan, keingin umum pada keadilan akan
62
Jhon Rawls, Teori keadilan, Pustka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal 3-4.
57
membatasi pencapaian tujuan-tujuan lain.63
Kita bisa menganggap konsepsi
publik mengenai keadilan sebagai pembentuk kontrak fundamental dari
asosiasi manusia yang tertata dengan baik.
Masyarakat yang ada tentu jarang tertata dengan baik dalam penegrtian
seperti itu, sebab apa yang adil dan tidak adil selalu masih dalam perdebatan,
namun masing-masing orang mempunyai konsep tersendiri tentang keadilan
dalam diri mereka, jadi tampak alamiah untuk berpikir tentang konsep
keadilan dari setiap orang yang mana keadilan itu adalah prinsip dan konsep
dari setiap orang. Sejumlah kesepakatan dalam konses keadilan bukan satu-
satunya prasyarat bagi komunitas umat manusia, tetapi juga terdapat problem
sosial yang mendasar, khususnya mengenai koordinasi, efesiensi, dan
stabilitas. Oleh sebab itu konsep keadilan harus digabungkan, agar supaya
rencana-rencana individu tidak ada yang meresa kecewa, terlebih pelaksanaan
rencana-rencana tersebut harus mengarah pada pencapaian tujuan sosial
dengan cara yang efesisn serta konsisten dengan keadilan. 64
Di tengah tidak adanya ukuran tentang mana yang adil dan mana yang
tidak adil, jelas sulit untuk setiap orang menjalankan rencana-rencana mereka
secara efisien. Kekecewaan dan ketidakpercayaan merusak ikatan sosial,
kendati konsep keadilan adalah menunjukan hak-hak dan kewajiban dasar
serta menentukan pemetaan yang laya, hal ini mempengaruhi masalah
63
Ibid., hal 4-5 64
Ibid., hal 6
58
efesiensi, koordinasi, dan stabilitas. Secara umum kita tidak bisa menilai
konsep keadilan dengan peran distributifnya semata, walaupun perannya
berguna dalam mengidentifikasi keadilan. Kita harus mempertimbangkan
kaitan yang lebih luas; sebab keadilan mempunyai perioritas tertentu, menjadi
kebijakan utama dari institusi, dalam salah satu konsep tentang keadilan lebih
disukai disbanding yang lain ketika konsekuensinya lebih luas lebih
dikehendaki.65
a. Keadilan Sebagai Fairness
Ketika berbicara tentang ketentutan-ketentuan sosial yang mengatur
kehidupan bersama, Rawls sebenarnya sedang menekankan upaya untuk
merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur distribusi hak dan kewajiban di
antara segenap anggota suatu masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan
kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama
sosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada
bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam
masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan
secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin
distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan
pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya
kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial.
65
Ibid.,
59
Demikian, kesepakatan yang fair adalah kunci untuk memahami rumusan
keadilan Rawls. Masalahnya, bagaimana kesepakatan yang fair itu bisa diperoleh?
Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan
adanya prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak
memihak, prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls,
keadilan sebagai fairness adalah “keadilan prosedural murni”. Dalam hal ini, apa
yang dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep
keadilan hanyalah suatu prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin
hasil akhir yang adil pula.
Di atas, Rawls menekankan posisi penting suatu prosedur yang fair demi
lahirnya keputusan-keputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal
yang adil. Adapun prosedur yang fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat
iklim musyawarah yang memungkinkan lahirnya keputusan yang mampu
menjamin distribusi yang fair atas hak dan kewajiban. Rawls menegaskan
pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses musyawarah untuk memilih
prinsip-prinsip keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi
asali” (the original position).
Rawls memunculkan gagasan tentang posisi asali dengan sejumlah
catatan: Pertama, adalah penting untuk menegaskan terlebih dahulu bahwa Rawls
melihat posisi asali sebagai suatu prasyarat yang niscaya bagi terjaminnya kadilan
sebagai fairness. Namun, Rawls tidak pernah memandang posisi asal sebagai
suatu yang riil, melainkan merupakan sebuah kondisi awal yang bersifat imajiner.
Menurutnya, kondisi awal imajiner ini harus diandaikan dan diterima, karena
hanya dengan cara ini tercapainya keadilan sebagai prosedural murni bisa
dibayangkan. Hanya saja, kendati bersifat imajiner, bagi Rawls, posisi asali sudah
60
merupakan syarat yang memadai untuk melahirkan sebuah konsep keadilan yang
bertujuan pada terjaminnya kepentingan semua pihak secara fair.66
Kedua, setiap orang yang berpartisipasi di dalam proses perumusan
prinsip-prinsip keadilan ini harus benar-benar masuk dalam situasi ideal tersebut.
Hanya saja, Rawls percaya bahwa tidak semua orang dapat masuk ke dalam posisi
asali. Hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk ke dalam situasi hipotesis ini,
yakni mereka yang memiliki kemampuan bernalar sesuai dengan standar formal
dalam dunia ilmu pengetahuan. Ketentuan-ketentuan ilmiah ini membuka peluang
bagi semua orang untuk masuk ke dalam proses musyawarah yang fair.67
Rawls menegaskan bahwa semua pihak yang berada dalam posisi asali
harus juga berada dalam keadaan “tanpa pengetahuan.” Melalui gagasan tentang
“keadaan-tanpa-pengetahuan” tersebut, Rawls ingin menegaskan bahwa semua
pihak yang ada dalam posisi asali tidak memiliki pengetahuan mengenai berbagai
alternatif yang dapat mempengaruhi mereka dalam proses perumusan dan
pemilihan prinsip-prinsip pertama keadilan. Keadaan ketidaktahuan akan hal-hal
partikular memang menjadi syarat penting untuk menjamin fairness. Oleh karena
itu, semua pihak yang terlibat dalam proses pemilihan tersebut harus mampu
melakukan penilaian atas prinsip-prinsip keadilan yang senantiasa dipandu oleh
pertimbangan-pertimbangan yang umum sifatnya. Rawls juga menggambarkan
bahwa dalam posisi asali tersebut semua pihak juga diandaikan bersikap saling-
tidak-peduli dengan kepentingan pihak lain. Di sini dimaksudkan bahwa semua
pihak berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan apa yang dianggap
paling baik bagi dirinya. Pada saat yang sama, mereka juga dianggap tidak saling
mengetahui apa yang dapat diperoleh pihak lain bagi dirinya sendiri. Gambaran
ini secara sekilas menunjukan karikatur orang-orang yang justru bertolak
66
Ibid., hal 120 67
Ibid., hal. 130-135
61
belakang dengan semangat kerja sama yang menjadi inti konsep keadilan sebagai
fairness. Namun demikian, penggambaran Rawls tentang sikap saling-tidak-
peduli di antara orang-orang yang ada dalam posisi asali tersebut sebenarnya lebih
sebagai sebuah pengandaian agar semua pihak dalam posisi asali mampu
membebaskan diri dari rasa iri terhadap apa yang mungkin didapatkan oleh orang
lain. Untuk itu, semua orang harus berkonsentrasi hanya pada apa yang terbaik
bagi dirinya sendiri.
Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana setiap pihak yang berusaha
mengejar kepentingannya sendiri (rasional) di dalam posisi asali dan berada
dalam keadaan “tanpa-pengetahuan” itu pada akhirnya dapat memilih prinsip-
prinsip pertama keadilan yang mampu menjamin kepentingan semua pihak?
Menurut Rawls, dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para pihak akan
memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa menjamin
distribusi “nilai-nilai primer” (primary goods) yang fair. Dalam hal ini, “nilai-
nilai primer” adalah satu-satunya motivasi yang mendorong dan membimbing
semua pihak dalam usahanya memilih prinsip-prinsip pertama keadilan. Dengan
nilai-nilai primer, Rawls memaksudkan semua nilai sosial dasar yang pasti
diinginkan dan dikejar oleh semua manusia. Artinya, berbagai manfaat yang
dilihat dan dihayati sebagai nilai-nilai sosial yang harus dimiliki oleh seseorang
agar layak disebut manusia.
Gagasan Rawls tentang posisi asli tersebut sebenarnya merupakan refleksi
dari konsep moral tentang person: setiap manusia diakui dan diperlakukan sebagai
62
person yang rasional, bebas, dan setara (memiliki hak yang sama). Dalam
pandangan Rawls, manusia sebagai person moral pada dasarnya memiliki dua
kemampuan moral, yakni: 1) kemampuan untuk mengerti dan bertindak
berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan
suatu kerja sama sosial; dan 2) kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan
secara rasional mengusahakan terwujudnya konsep yang baik. Rawls menyebut
kedua kemampuan ini sebagai a sense of justice dan a sense of the good.
Kemampuan-kemampuan moral itu memberikan kemungkinan bagi manusia
sebagai person moral untuk bertindak secara rasional dan otonom dalam
menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dianggap baik bagi dirinya di satu
sisi, serta bertindak berdasarkan prinsip-prinsip keadilan di lain sisi.
b. Keadilan Dalam Penataan Institusi-Institusi Politik Dan Ekonomi
Konsepsi keadilan Rawls memperlihatkan dukungan dan pengakuan yang
kuat akan hak dan kewajiban manusia, baik dalam bidang politik maupun dalam
bidang ekonomi. Secara khusus, konsepsi keadilan tersebut menuntut hak
partisipasi yang sama bagi semua warga masyarakat dalam setiap proses
pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dengan demikian, diharapkan
bahwa seluruh struktur sosial dasar sungguh-sungguh mampu menjamin
kepentingan semua pihak. Dari sudut politik, konsepsi keadilan Rawls
diformulasikan ke dalam tiga sendi utama: (1) hak atas partisipasi politik yang
sama; (2) hak warga untuk tidak patuh; dan (3) hak warga untuk menolak
63
berdasarkan hati nurani. Ketiga hal ini menjadi manifestasi kelembagaan dari
prinsip keadilan pertama dalam teori kedilan Rawls.
Rawls memandang hak atas partisipasi politik yang sama tersebut bisa
terakomodasi dalam sebuah sistem politik yang tidak saja bersifat demokratis,
tapi juga konstitusional. Sistem politik demokrasi konstitusional di sini dicirikan
oleh dua hal utama: pertama, adanya suatu badan perwakilan yang dipilih melalui
suatu pemilihan yang fair dan bertanggung jawab kepada pemilihnya, yang
berfungsi sebagai badan legislatif untuk merumuskan peraturan-peraturan dan
kebijakan-kebijakan sosial; dan kedua, adanya perlindungan konstitusional
terhadap kebebasan-kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berpikir dan
berbicara, kebebasan berkumpul dan membentuk organisasi politik. Bagi Rawls,
sistem politik demokrasi konstitusional harus memberikan ruang bagi hak untuk
tidak patuh (pada Negara), karena hak ini adalah konsekuensi logis dari
demokrasi. Rawls memaksudkan hak untuk tidak patuh ini sebagai „suatu
tindakan publik, tanpa kekerasan, berdasarkan suara hati tetapi bersifat politis,
bertentangan dengan hukum karena biasanya dilakukan dengan tujuan
menghasilkan perubahan hukum atau kebijakan pemerintah.68
Dalam hal ini,
Rawls memandang bahwa ada ruang di mana hukum yang ditetapkan tidak
bersifat adil sehingga warga Negara boleh melakukan tindakan politik untuk
menentang dan mengubahnya melalui cara-cara yang tidak menggunakan
kekerasan.
68
Ibid. 364
64
Jika hak untuk tidak patuh dimaksudkan sebagai tindakan politik untuk
memperbaiki hukum yang tidak adil, maka hak untuk menolak berdasarkan hati
nurani lebih dimaksudkan sebagai ruang yang diberikan kepada seseorang untuk
tidak mematuhi hukum jika hal itu dipandang bertentangan dengan hati nuraninya
sendiri. Misalnya, jika terdapat sebuah hukum yang meminta warganya untuk
berperang sementara terdapat seorang warga yang memiliki keyakinan bahwa
membunuh bertentangan dengan prinsip keadilan yang dipegangnya, maka dia
berhak untuk menolak untuk ikut berperang. Dari sudut penataan ekonomi,
konsepsi keadilan Rawls menuntut suatu basis ekonomi yang fair melalui sistem
perpajakan yang proporsional (dan bahkan pajak progresif jika diperlukan) serta
sistem menabung yang adil sehingga memungkinkan terwujudnya distribusi yang
adil pula atas semua nilai dan sumber daya sosial. Di sini perlu ditegaskan bahwa
setiap orang mempunyai hak untuk menikmati nilai-nilai dan sumber daya sosial
dalam jumlah yang sama, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menciptakan
kemungkinan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi anggota masyarakat dalam generasi yang
sama, tetapi juga bagi generasi yang satu dengan generasi yang lainnya. Bagi
Rawls, kekayaan dan kelebihan-kelebihan bakat alamiah seseorang harus
digunakan untuk meningkatkan prospek orang-orang yang paling tidak beruntung
di dalam masyarakat.69
69
Jhon Rawls. Op cit., hal 260-285
65
C. Pembaharuan Hukum Pidana.
Pada pembahasan sub bab sebelumnya penulis telah membahas tentang
Sistem peradilan pidana, maka pada sub bab ini, penulis akan membahas tentang
pembaharuan hukum pidana di Indonesia sebagai sebuah impian bagi masyarakat
dalam menemukan keadilan. Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali
(reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam
bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus
dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai nilai-nilai sosio-
kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini
bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama,
hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai
materi hukum pidana.
Dalam RUU KUHP sendiri telah ada pergeseran makna dari asas legalitas,
jika pada KUHP Pasal 1 ayat (1) mengatakan, suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuang perundang-undangan pidana
yang berlaku. Akan tetapi dalam RUU KUHP Pasal 1.
ayat (1) tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
peratutan-perundang-undanagn yang berlaku saat perbuatan itu
dilakukan. ayat (2) dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang
menggunakan analogi. Pasal 2 ayat (1) ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
66
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut diatur dalam Peraturang Perundang-
Undangan.
Adapaun juga Pembaharuan hukum pidana (RUU KUHP), pasal 12 ayat (1)
hakim dalam mengadili suatu perkara pidana mempertimbangkan tegaknya
hukum dan keadilan. ayat (2) jika dalam mempertimbangkan teganya hukum
dan keadilan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdapat peretntangan
yang tidak dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan. Terlihat jelas
bahwa hakim harus mengutamakan keadilan lebih dari pada hukum.
Terhadap beberapa pasal RUU KUHP diatas, maka Prof Edi Hiariej
mempunyai beberapa catatan.
1. Dimasa depan asas legalitas di Indonesia tidak bersifat absolute, karena
adanya ketentuan pasal 2 ayat (1) yang secara implisit mengakui hukum
yang hidup dalam masyarakat.
2. Pembatasan terhadap asas legalitas tidak berakaitan dengan perubahan
perundang-undangan semata sebagaimana tertuang dalam pasal 3 RUU
KUHP, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat.
3. Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) diatas, maka hukum yang tidak
tertulis tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat
Indonesia serta local semata, akan tetapi dapat bersumber dari prinsip-
prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradap didunia, artinya
asas legalitas dapat disesuaikan dengan prkatik hukum kebiasaan yang
telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat internasional.
4. Pembatasa terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam pasal 1
dan dua menunjukan bahwa secara implisit hukum pidana Indonesia telah
mengakui ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.
Artinya meskipun perbuatan melawan hukum belum diatur dalam
Perundang-undangan, hakim dapat menjatuhkan pidana apa bila berbuat
tersebut dianggap tercela,bertentangan dengan keadilan dan norma-norma
sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.70
Hakim dapat lebih leluasa dalam menjatuhkan putusan, dimana hakim
tidak hanya melihat pada konsep undang-undang saja, lebih dari itu hakim
bisa memutuskan berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada
masa lampau hakim hanya sebagi corong undang-undang, karena
kewajibannya menerapkan undan-undang sesuai bunyinya. Akan tetapi
70
Eddy Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, 2009,
hal 38-40
67
berkembang dengan melihat makna yang terkandung didalamnya dengan
melakukan penemuan hukum dalam masyarakat untuk memenuhi rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.71
Menurut Satjipto Raharjo. Sekarang
mestinya hukum diproyeksikan terhadap gagasan dan pemahaman yang baru
yaitu;
1. Para penegak hukum dimanapun posisi mereka, mengidentifikasi diri
mereka sebagai kaum Vigilantes, orang-orang yang berjihat dalam
hukum. Mereka tidak hanya membaca undang-undang tetapi diresapi
dengan semangat untuk meluapkan keluar makn undang-undang yang
ingin mensejahterakan rakyat. Dengan demikian diperlukan
prediposisi progresif dari peara penegak hukum.
2. Kesadara dan keyakikan bahwa hukum menginginkan yang baik
terjadi pada rakyat dan masyarakat.72
Dalam hal hakim harus memutuskan perkara yang tidak ada
hukumnya, Hakim disini harus menemukan hukumnya, oleh karena itu
hakim haru melakukan penemuan hukum, supaya putusan benar-benar dapat
meberikan rasa keadilan bagi masyarakat, tidak hanya keadilan formal, tetapi
juga keadilan subtantif. Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai
(values) yang berlaku dalam masyarakat.73
Bahkan menurut teori cermin (the
mirror theory) Brian Tamanaha “ dapat diakatakan bahwa hukum itu
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.74
Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank menentang pendapat bahwa hukum
yang ada itu lengkap yang dapat dijadikan sumber hukum bagi hakim untuk
71
Siti Malikhatun Badriyah, Sistem Penemuan Hukum Dalam Masayarakat Prismatik. Sinar
garafika. Jakarta, 2016, hal 3 72
Satjipto Raharjo, membedah hukum progresif, Kompas, jakarta, 2008, hal 55 73
Siti Malikhatun Badriyah Op cit, hal 5 74
Bryan Tamanaha, A General Jurisprudence Of Law And Society, Oxford University Pres,
New York, 2006 hal 1-2
68
memutuskan dalam peristiwa-peristiwa konkret. Pelaksanaan undang-undang
oleh hakim bukan semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan
pikiran yang tepat saja, namun lebih merupakan pemberian yuridis kepada asas-
asas hukum subtansial yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasar
kepada pengalaman dan penilaian yuridis daripada mendasarkan pada akal yang
abstrak.75
Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak, tidak
dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa konkret, peristiwa
hukum harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya, keudian undang-
undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.76
Setiap undang-undang bersifat
statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga
menimbulkan ruang-ruang kosong yang perlu diisi, tugas mengisi kekosongan itu
dibebankan pada hakim dengan melakukan penemuan hukum melalui metode
interpretasi dan metode argumentasi, dengan syarat dalam menjalankan tuigas
tersebut, hakim tidak boleh memaksa maksud dan jiwa undang-undang atau tidak
boleh bersikap sewenang-wenang.77
1. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Aparat Penegak Hukum.
Berbicara aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatikan
sebagaimana disebutkan di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau mafia
peradilan kita sudah sebegitu buruknya dan para aparat penegak hukum itulah
75
Ahmad Ali, menguak tabir hukum, suatu kajian sosilogis filosofis, jakarta, citra pratama,
1993, hal 154 76
Sudikno Martokusumo dan A. Pitlo, bab-bab tentang penemuan hukum, Bandung , Citra
aditya bakti, 1993, hal 12 77
Andi Zainal Abidin, asas-asa hukum pidana bagian pertama, alumni, Bandung, 1984, hal 33
69
yang berperan utama atas kerusakan hukum di Indonesia. Sebagus apapun materi
peraturan perundang-undangan, kalau aparatnya rusak, maka hukum pun juga
bagaikan menegakkan benang basah, dengan tidak mengabaikan ada juga
beberapa keberhasilannya, tetapi hanya mampu memproses penjahat kelas-kelas
kecil, seperti; orang-orang miskin dan bodoh yang tak punya akses pembelaan di
pengadilan dan mereka ini (ribuan orang) yang memenuhi rumah tahanan dan
lembaga permasyarakatan diseluruh penjuru tanah air. Secara tegas Nonet dan
Selznick menyatakan:
Produk hukum yang dihasilkan menjadi represif karena:
1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya,
memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan kalim-klaim dari, para
pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak
harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
2. Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang sebagai
“tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-lembaga khusus
(kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan
oleh birokrasi, dan terstigma oleh klarifikasi resmi (misalnya kriteria yang
memisahkan kelompok “kaya” dari kelompok miskin). Dengan demikian,
maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan penuh keengganan
dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya, akan menciptakan pola
baru subordinasi.
70
3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang berbahaya”,
misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai kejahatan di dalam
hukum pergelandangan.
Dengan optic Nonet dan Selzenick yang menggagas hukum secara
komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk berhukum yang lebih
responsive, yaitu; dengan hukum represif adalah hukum sebagai abdi kekuasaan,
hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu mengolah represif dan
melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsive adalah hukum sebagai
fasilitator dari sejumlah respons terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang
berakar-pinak di masyarakat.78
Ditegaskan Nonet dan Selzenick bahwa seorang penguasa (otoritas penegak
hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan sebagai sarana
kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan empirik tidak bisa dipaksa
untuk sesuai dengan si pembuat hukumnya. Dia akan menambah kredibilitas dan
aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta menarik kemauan secara sukarela,
apabila senyatanya aturan tersebut adil, merasa terikat oleh aturan tersebut, dan
yang sangat penting penyelenggaraan peradilan tidak berpihak termasuk kepada
aparat penegak hukum dengan berbagai kepentingannya, kecuali menerapkan aturan
dan berpihak kepada keadilan sosial.
Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia, menurut
abstraksi teori-teori Nonet dan Selzenick ini sebagaimana disampaikan dimuka
78
A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks
Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan (1990), hal. 164
71
sangat tidak tepat berkarakter tunggal, tetapi campuran, yaitu mencakup ketiga
model hukum tersebut, hanya saja model hukum represif lebih dominan dari model
otonom dan terlebih model responsive sebagian kecil dan sejalan evolusinya juga
mengarah kepada hukum responsive.
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di
Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi
monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada
umumnya aparat penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga
ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia.79
Persenyawaan ini semakin menggelindan, ketika negara sangat tergantung
kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas yang
diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah, maka kontrol masyarakat tidak
berdaya. Secara sederhana bisa kita polakan ke dalam tiga bagian yang mewarnai
sistem kekerasan yang terjadi atas nama penegakan hukum, yaitu; pertama, kekerasan
yang dilakukan aparat semurninya untuk menjaga keteraturan atau ketertiban dan
menegakkan kedaulatan negara, kedua, kekerasan yang dilakukan aparat atas
kepentingan aparat pemaksa yang sesungguhnya adalah individu-individu yang sarat
kepentingan pribadi tetapi mengatasnamakan kepentingan negara. Hal itu
dilakukannya karena kepentingan-kepentingan mereka atau organisasi-organisasi
mereka sangat dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi masyarakat,
ketiga, adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat penegak hukum sebagai
79
Philipe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. hal. 47- 48
72
object problem terutama bagi masyarakat kelas bawah yang miskin dan bodoh
(sudah menjadi pemandangan diseluruh penjuru negeri ini, para aparat menggusur
orang-orang miskin dan gepeng, namun tak mau berpikir mencari maknanya untuk
menggusur kemiskinan, apalgi melakukannya).
Sehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang
diabtraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsive oleh Nonet dan Selzenick
tersebut patut disonsong dengan upaya pembenahan aparatur penegak hukum di
Indonesia yang lebih konprehensif berlandaskan komitmen dan moralitas yang
tinggi. Hal itu dilakukan juga untuk keseimbangan antara prodik hukum dan
pelaksanaan hukum dengan menghargai budaya hukum sesuai cita diri bangsa
Indonesia.
2. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Budaya Masyarakat.
Sebagaimana beberapa pokok pikiran Nonet dan selzenick antara lain
disebutkan bahwa sumber hukum represif yang abadi adalah tuntutan konformitas
budaya. Dalam hal mana masyarakat modren, seperti juga halnya pada masyarakat
kuno yang mana kebersamaan atas aturan moral sangat mendukung kebersamaan
sosial dan merupakan sumber dan kekuatan dalam memelihara ketertiban.
Kemudian Nonet dan Selzenick lebih lanjut menyatakan bahwa:
Mungkin lahan yang paling subur bagi moralitas hukum adalah moralitas
komunal, yakni moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan “komunitas
patuh” (community of observance). Moralisme hukum paling baik dipahami
73
sebagai patologin alami dari institusionalisasi, yakni upaya untuk membuat nilai-
nilai menjadi efektif guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia.80
Sementara itu Esmi Warassih (2005), mengatakan bahwa peranan kultur
hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting dan acap kali berhubungan
dengan faktor-faktor non-hukum, sebagaimana dijelaskannya berikut:
Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang
berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai faktor (interchange).
Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak
sekedar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue print) yang ditetapkan
dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya
dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain
melalui tingkah laku warga masyarakatnya. Itu artinya, titik perhatian harus
ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non-hukum
lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang
selanjutnya disebut dengan kultur hukum.81
Berangkat dari pemikiran diatas, kaitan dengan penegakan hukum di
Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka budaya
hukum masyarakat Indonesia sebagaimana disebutkan dimuka, sangat lah
majemuk (plural society). Dari sosial budaya yang bermacam-macam termasuk
perbedaan antara kota dan desa (ada masyarakat organic dan ada masyarakat
mekanik), maka tesis Nonet dan Selznick tersebut secara relatif sangat berjalan
dengan fakta empirik budaya hukum bangsa Indonesia, namun untuk secara
totalitas mengondisikan kepada model penegakan hukum yang otonom kemudian
kepada responsive tampaknya perlu proses yang lebih baik lagi.
80
Ibid, hal. 51 81
Esmi Warrasih Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama, Semarang, 2005, hal. 78
74
Dalam penerapan undang-undang terhadap kasus-kasus yang terjadi, hakim
harus lebih berperan aktif dalam hal melihat perbuatan-perbuatan tersebut, bila
mana jika hakim hanya melihat pada undang-undang saja, maka sudah pasti akan
terjadi ketidakadilan yang dirasakan oleh pencari keadilan, yang diharapkan pada
hakim adalah hakim yang mau melihat suatu perbuatan pidana sampai pada akar-
akarnya, bukan hanya berdasarkan pembuktian di pengadilan saja. Dalam
penyelesaian perkara-perkara pidana tersebut, maka bukti dari penganut legisme
tidak akan mampu memberikan keadilan melalui putusannya.