Post on 06-Jan-2020
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) adalah sistem dan
proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan
membina, mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya
secara berkelanjutan. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 Tentang PLP2B,
merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam mengendalikan laju alih fungsi
lahan pertanian, khususnya sawah di Indonesia. Pasal 3 PLP2B mempunyai tujuan
untuk (1) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (2)
menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (3) mewujudkan
kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan, (4) melindungi kepemilikan lahan
pertanian pangan milik petani, (5) meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan
petani dan masyarakat, (6) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, (7)
meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, (8)
mempertahankan keseimbangan ekologis dan (9) mewujudkan revitalisasi pertanian.
Menurut Salikin (2011), sistem pertanian berkelanjutan memiliki 5 dimensi
yaitu nuansa ekologis, kelayakan ekonomi, kepantasan budaya, kesadaran sosial dan
pendekatan holistik. Adapun tujuannya adalah untuk mewujudkan ketahanan
pangan, meningkatkan mutu sumberdaya manusia, meningkatkan kualitas hidup, dan
11
menjaga kelestarian sumberdaya, melalui strategi kerja keras proaktif, pengalaman
nyata, partisipatif, dan dinamis.
Menurut Parr (1990) bahwa sasaran akhir dari masyarakat tani dalam
pertanian berkelanjutan adalah (a) memelihara dan memperbaiki sumberdaya alam
dasar, (b) melindungi lingkungan, (c) menjamin profitabilitas, (d) konservasi energi,
(e) meningkatkan produktivitas, (f) memperbaiki kualitas pangan dan keamanan
pangan, (gi) menciptakan infrastruktur sosial-ekonomi yang viabel bagi usahatani dan
komunitas pedesaan. Pertanian Pangan Berkelanjutan (PPB) yang perlu dilindungi di
Bali adalah Subak. Subak merupakan aktivitas pertanian yang memiliki kelembagaan
adat, yang meliputi pelemahan (lahan subak), pawongan (petani/tenaga kerja
pertanian) dan parahyangan, yang terkandung dalam keharmonisan dalam
mengimplemantasikan filosofi Tri Hita Karana. Kehilangan pelemahan subak
berdampak pada terganggunya ketahanan pangan. Salah satu kabupaten/ kota yang
mengalami kondisi seperti ini adalah pada wilayah Badung dan wilayah Denpasar.
Hilangnya palemahan akan berdampak pada hilangnya pawongan dan pada akhirnya
berdampak pada tidak terurusnya parahyangan (Subadiyasa et al. 2010).
Menurut Wardi, et al., (2015) bahwa subak merupakan organisasi tradisional
dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat
adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis dan secara historis terus
tumbuh dan berkembang. Subak mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
keberadaan desa pekraman (desa adat) terutama dalam hal ritual dan sosial. Fungsi
subak sebagai kekuatan memusatkan air tidak hanya terbatas pada aspek fisik (sistem
12
irigasi) dan organisasi sosial tetapi juga terekspresi pada aspek spiritual (pura) dalam
fungsinya mengatur sistem irigasi dan ekosistem sawah.
As-Syakur (2011) mengatakan bahwa tipe penggunaan lahan pemukiman dan
sawah irigasi merupakan daerah terluas yang mengalami perubahan. Penambahan
luas lahan pemukiman dan pengurangan sawah irigasi merupakan terluas di Kota
Denpasar yaitu 907,89 ha. Kabupaten Badung merupakan wilayah terluas yang
mengalami perubahan lahan dari lahan bukan pemukiman menjadi lahan pemukiman
yaitu seluas 1.054,29 ha. Lahan bukan pemukiman berubah akibat bertambahnya
lahan pemukiman di Kabupaten Badung yang menyebabkan berkurangnya sawah
irigasi seluas 743,66 ha.
Terkonversinya lahan sawah subak menjadi lahan bukan pertanian tidak dapat
dihindari akibat dari pembangunan sektor lain terutama pemukiman, industri
pariwisata, dan pertokoan. Hal ini berimplikasi tidak saja terhadap penyusutan lahan
pertanian sawah, tetapi juga berdampak sosial terhadap hilangnya keindahan alam,
kurang keseimbangan ekosistem, melunturnya budaya agraris. Empat belas tahun
terakhir (1999-2013) alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Badung rata-rata 672 ha,
dan Kota Denpasar rata-rata 659 ha, sedangkan Kota Denpasar sudah kehilangan 5
subak (Lanya, 2007).
Proyeksi alih fungsi lahan subak untuk 10 tahun dan 20 tahun mendatang
diperkirakan lebih dari 10.000 ha dan lebih dari 15.000 ha. Hal ini paling banyak
terjadi di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Dalam segi pawongan, bila fungsi
lahan telah berubah dan penguasaan lahan beralih kepada orang lain, maka lambat
13
laun keberadaan subak akan menjadi punah. Oleh karena itu keberadaan subak harus
dipertahankan, dilindungi dan dilestarikan agar ketahanan pangan dapat
dipertahankan.
Menurut BPS Provinsi Bali (2013) dalam jangka waktu 14 tahun (1999-2013),
telah terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi bukan pertanian/alih
fungsi lahan sawah di Provinsi Bali seluas 4.906 ha. Bila di rata-ratakan alih fungsi
lahan sawah per tahun terjadi di Bali sekitar 350 ha (0,41 %). Alih fungsi lahan
sawah tertinggi selama kurun waktu empat belas tahun terdapat di Kabupaten
Tabanan seluas 1.230 ha, kemudian berturut-turut diikuti oleh Kabupaten Jembrana
sebesar 1.078 ha, Kabupaten Buleleng seluas 677 ha, Kabupaten Badung seluas 672
ha, Kota Denpasar seluas 659 ha, Kabupaten Gianyar seluas 497 ha dan Kabupaten
Klungkung seluas 173 ha. Akan tetapi penambahan luas lahan sawah terjadi di
Kabupaten Karangasem seluas 58 ha dan Kabupaten Bangli (Desa Mengani
Kecamatan Kintamani seluas 22 ha). Data luas lahan sawah di masing-masing
kabupaten/kota di Bali dari tahun 1999 sampai 2013 disajikan pada Tabel 2.1. dan
Gambar 2.1. Kesembilan kabupaten/kota di Bali saat ini, belum memiliki Perda
tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diamanatkan oleh
Undang-undang 41 Tahun 2009. Hal ini akan berdampak pada ketahanan pangan
daerah, dan subak sebagai warisan budaya dunia akan kehilangan keberadaannya
sebagai sistem organisasi pengairan di Bali.
Ditinjau dari segi konservasi tanah dan air, subak sudah diterasering sejak
abad ke - 7 dengan sistem irigasi setengah teknis dan sederhana. Lahan subak juga
14
berfungsi sebagai pengendalian banjir, penangkap curah hujan, terutama yang
berlokasi di hulu sungai. Tanaman padi sebagai penyumbang oksigen (O2) pada skala
mikro maupun makro (Lanya et al. 2014). Berbagai persyaratan yang ditetapkan
dalam UU No. 41 Tahun 2009, maka seyogyanya seluruh lahan subak di Bali perlu
mendapat perhatian khusus tentang keberadaannya. Adanya kebutuhan akan
pembangunan bukan pertanian, seperti perumahan, pariwisata, pertokoan, industri
dan sarana prasarananya, maka diperlukan konversi lahan secara terbatas, terutama di
daerah sekitar perkotaan, pusat-pusat pemerintahan dan pariwisata.
Tabel 2.1
Luas Lahan Sawah Subak di Provinsi Bali Tahun 1999 - 2013 (ha)*)
Tahun Luas Lahan Sawah
Tabanan Gianyar Buleleng Badung Karang- Jem- Den- Klung- Bangli Bali
asem berana pasar kung
1999 23.414 15.203 11.581 10.816 7.099 7.889 3.165 4.016 2.888 86.071
2000 23.358 15.169 11.560 10.705 7.066 7.871 3.147 4.013 2.888 85.777
2001 23.154 14.966 11.472 10.619 7.059 7.685 3.031 3.985 2.844 84.815
2002 22.842 14.945 11.245 10.413 7.042 7.339 2.882 3.965 2.888 83.561
2003 22,639 14.937 11.011 10.334 7.034 7.013 2.856 3.932 2.888 82.644
2004 22.626 14.878 10.867 10.299 7.027 6.793 2.814 3.903 2.888 82.095
2005 22.490 14.894 10.618 10.118 7.022 6.559 2.768 3.888 2.888 81.207
2006 22.413 14.945 10.580 10.109 7.011 6.510 2.717 3.873 2.890 80.997
2007 22.479 14.787 10.741 10.125 7.036 6.485 2.717 3.884 2.890 81.144
2008 22.562 14.747 10.913 10.230 7.070 6.477 2.717 3.876 2.890 81.482
2009 22.465 14.743 11.067 10.237 7.140 6.820 2.693 3.876 2.890 81.931
2010 22.455 14.790 11.042 10.227 7.140 6.836 2.632 3.876 2.910 81.908
2011 22.435 14.732 10.992 10.243 7.154 6.836 2.597 3.845 2.910 81.744
2012 22.388 14.729 11.039 10.195 7.166 6.836 2.519 3.843 2.910 81.625
2013 22.184 14.706 10.904 10.144 7.157 6.811 2.506 3.843 2.910 81.165
Sumber : *) BPS Provinsi Bali Tahun 2013
15
Gambar 2.1
Grafik batang luas lahan sawah di Provinsi Bali Tahun 1999-2013
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa luas lahan sawah subak di Provinsi Bali
tahun 1999 untuk masing-masing Kabupaten/Kota tertinggi di Kabupaten Tabanan
(23.414 ha) kemudian berturut-turut diikuti oleh Kabupaten Gianyar (15.203 ha),
Kabupaten Buleleng (11.581 ha), Kabupaten Badung (10.816 ha), Kabupaten
Karangasem (7.099 ha), Kabupaten Jembrana (7.889 ha), Kota Denpasar (3.165 ha),
Kabupaten Klungkung (4.016 ha), dan Kabupaten Bangli (2.888 ha). Perubahan
jumlah lahan sawah subak dari tahun 1999 sampai tahun 2013 sebanyak 4.906 ha.
Pada tiap-tiap kabupaten/kota yang paling tertinggi terjadi perubahan penggunaan
lahan sawah menjadi bukan sawah adalah Kabupaten Tabanan.
78.00
79.00
80.00
81.00
82.00
83.00
84.00
85.00
86.00
87.00
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Luas
lah
an(x
100
ha)
16
2.2 Zonasi Kawasan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Berdasarkan hasil penelitian Ishak, et al., (2012), zonasi adalah tahapan dari
hasil kegiatan evaluasi lahan. Penzonasian tanaman sorgum merupakan salah satu
langkah strategis guna memberikan kepastian penggunaan lahan pengembangan
tanaman sorgum. Penzonasian juga akan memberi makna bagi mempertahankan
lahan pertanian, terutama bagi pengembangan tanaman sorgum secara berkelanjutan
melihat alih fungsi lahan pertanian. Penilaian untuk penzonasian tanaman sorgum
dilakukan dengan menilai kriteria fisik wilayah. Kriteria fisik adalah persyaratan
mutlak dalam proses penilaian evaluasi lahan. Selanjutnya UU No. 41 Tahun 2009
tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam pasal 9 memuat
kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi teknis lahan
dan luasan kesatuan hamparan lahan. Subadiyasa, et al., (2010), dan Lanya, at al.,
(2014) mengatakan kondisi fisik wilayah teridiri dari: posisi lokasi terhadap daerah
aliran sungai (DAS), sarana irigasi, curah hujan, bentuk wilayah/relief/kemiringan
lereng, ketinggian tempat, curah hujan, kesesuaian lahan agroekosistem, kesesuaian
terhadap RTRW dan penggunaan lahan, terkait dengan kawasan yang perlu
dilindungi dalam pertanian pangan berkelanjutan.
Dalam Perda No. 16 Tahun 2009 Provinsi Bali tentang RTRW, telah
mengakomodir lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tertuang dalam pasal 60
ayat (3) butir h yaitu penetapan pencapaian target luas lahan pertanian pangan
berkelanjutan sekurang-kurangnya 90 % dari luas lahan yang ada, berlaku sejak
17
ditetapkannya peraturan ini. Pasal 60 ayat (3) butir f memuat tentang pencegahan dan
pembatasan alih fungsi lahan sawah beririgasi. Selanjutnya pasal 61 ayat (2) butir d
tentang pencegahan dan pelarangan alih fungsi lahan sawah beririgasi dan butir e
yang memuat tentang penetapan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan sekurang-
kurangnya 90 % dari luas lahan tanaman pangan yang ada di luar kebutuhan alih
fungsi lahan pertanian pangan untuk fasilitas umum. Alih fungsi lahan pertanian
walaupun sudah tertuang dalam RTRW Provinsi Bali, tetapi saat ini masih banyak
yang melanggar perda tersebut karena perda ini belum disosialisasikan kepada
masyarakat dan investor. Dalam melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan
(LP2B), diperlukan peraturan perundang-undangan terutama perda tentang PLP2B di
kabupaten/kota. Dalam pembuatan perda tentang LP2B, diharapkan pemerintah
dapat mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi bukan pertanian yang
tertuang dalam PP No. 1 Tahun 2011 tentang penetapan alih fungsi lahan pertanian
pangan berkelanjutan (LP2B). Alih fungsi lahan pertanian ditinjau dari aspek fisik
lahan, konversi lahan dipengaruhi oleh aspek kepemilikan lahan dan aspek penataan
ruang. Aspek kepemilikan terkait dengan hak atas tanah yang absolut, kemudian
kepemilikan lahan terpecah- pecah menjadi lebih sedikit. Kepemilikan lahan yang
sedikit ini menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena
kesulitan dalam pengendalian tata ruangnya (Apriyana, 2011). Aspek penataan
ruang, terutama rencana tata ruang yang merupakan satu-satunya instrumen
pengendalian terhadap pemanfaatan ruang di daerah. Amanah UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang yang tujuannya adalah untuk menjaga agar
18
pemanfaatan ruang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. UU 41 Tahun 2009
tentang PLP2B mewajibkan untuk menetapkan kawasan pertanian dalam RTRW,
sehingga palemahan dan pawongan dapat berkelanjutan keberadaannya.
Pemetaan zonasi KP2B, LP2B dan LCP2B (persediaan lahan pertanian)
yang tercantum dalam UU 41 Tahun 2009 dalam pasal 9 meliputi : (1) kesuburan
tanah dan kesesuaian lahan agroekosistem, (2) fungsi agroklimatologi, hidrologi dan
ekosistem, (3) sosial budaya dan kearifan lokal, (4) pertumbuhan penduduk dan
kebutuhan konsumsi penduduk di tingkat kabupaten dan provinsi, (5) pertumbuhan
produktivitas, (6) kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian, (7) penggunaan lahan,
potensi teknis alam, (8) luasan kesatuan hamparan, (9) ketersediaan infrastruktur, dan
ketersediaan sarana dan prasarana, (10) pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan (11) musyawarah petani. Pemetaan dan zonasi KP2B, LP2B dan
LCP2B sampai saat ini belum ditemukan teknologi spasial yang berbasis teknologi
informasi di kabupaten/ kota di Bali. Oleh karena itu penelitian tentang model
klasifikasi numerik spasial kawasan LP2B Kabupaten Badung dan wilayah Kota
Denpasar perlu dilakukan.
Menurut RTRW Kota Denpasar (2011-2031), RTHK adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam.
Tujuan diadakannya RTHK adalah sebagai daerah resapan air, menjaga
keseimbangan antara lingkungan dengan kepentingan masyarakat, dan meningkatkan
keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan
19
yang aman dan damai. RTHK pada kawasan perkotaan adalah minimal 30 % dari luas
wilayah kota. Subak yang berada dalam RTHK Provinsi Bali maupun di Kota
Denpasar ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal ini selanjutnya ditetapkan sebagai
subak lestari, secara regulasi subak ditetapkan sebagai kawasan perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang dimuat dalam UU 41 Tahun 2009.
2.3 Kriteria Perencanaan dan Penetapan Kawasan, Lahan, dan Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Berdasarkan hasil penelitian Chairuddin et al. (2015), menggunakan kriteria
dan ruang lingkup komponen utama analisis, terdiri dari aspek biofisik lahan
(altitude, besar retakan lahan, panjang bentangan lahan sawah dalam satuan lereng,
proporsi luasan hamparan lahan sawah, ketebalan topsoil); aspek sosial ekonomi
(kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan lahan sawah,
produktivitas lahan sawah, neraca lahan sawah); dan aspek kebijakan (status
peraturan daerah, status rencana rinci tata ruang wilayah, jenis dan tipe jaringan
irigasi).
Penetapan kriteria perencanaan dan penetapan kawasan, lahan, dan lahan
cadangan pertanian pangan berkelanjutan, yang tercantum dalam UU No. 41 Tahun
2009, Pasal 9 ayat (3) dan (5) tentang kriteria perencanaan penetapan kawasan lahan
pertanian berkelanjutan sesuai dengan kondisi fisik dan lingkungan Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar, meliputi : (1) pertumbuhan penduduk dan kebutuhan
konsumsi pangan penduduk, (2) kebutuhan pangan Indonesia dan Bali, (3)
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) musyawarah petani, (5)
kesesuaian lahan, (6) ketersediaan infrastruktur, dan (7) penggunaan lahan.
20
Berdasarkan hasil penelitian Barus, et al., (2012), menetapkan lahan
pertanian pangan di kedua studi (Garut dan Bogor) diawali dengan penentuan
prioritas lahan yang akan dilindungi dengan melihat (a) keberadaan sawah, (b)
produktivitas (IP, produksi), (c) kemampuan/kesesuaian lahan, dan (d) tipe irigasi.
2.3.1 Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk
Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk Kabupaten Badung sebanyak
543.681 jiwa (BPS Provinsi Bali, 2010). Kebutuhan pangan sesuai dengan standar
nasional rata-rata 147 kg beras/jiwa/th, ini berarti Kabupaten Badung memerlukan
beras 79.921.107 kg (± 79.921,107 ton/th) atau setara dengan 158.842,214 ton gabah
kering panen (GKP)/th. Jumlah penduduk Kota Denpasar berdasarkan hasil sensus
penduduk tahun 2010 sebanyak 788.445 jiwa. Kebutuhan pangan dengan standar
nasional yaitu rata-rata 147 kg beras/jiwa/tahun, hal ini berarti memerlukan beras
115.901.415 kg (115.901,415 ton/tahun) setara dengan 231.802,83 ton gabah kering
panen (GKP) per tahun.
Persediaan pangan tahun 2010 di Kabupaten Badung adalah 506.300 ton
gabah (253.150 ton beras) dari luas sawah 10.230 ha dan luas panen 19.954 ha (BPS
Provinsi Bali, 2012). IP padi sawah mempunyai 1,84, ini berarti tahun 2010
Kabupaten Badung mengalami defisit 32.267,214 ton gabah/th atau 16.133.607 kg
beras (16.134 ton beras/th). Berdasarkan sensus penduduk (2010) laju pertumbuhan
penduduk Kabupaten Badung sebesar 4,63 %, Sensus penduduk tahun 2000 sejumlah
345.863 jiwa, dan tahun 2010 jumlah penduduk 543.681 jiwa (BPS Provinsi Bali,
21
2010). Pada tahun 2020, proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Badung mencapai
741.501 jiwa, sehingga dibutuhkan pangan sebanyak 109.000.647 kg beras
(218.001.294 kg GKP) per tahun. Kota Denpasar laju pertumbuhan penduduk 4 %,
dengan data sensus penduduk tahun 2000 sebanyak 532.440 jiwa dan tahun 2010
jumlah penduduk sebanyak 788.445 jiwa, sehingga proyeksi jumlah penduduk tahun
2020 mencapai 1.044.450 jiwa. Dibutuhkan pangan sebesar 153.534.150 kg beras
(307.068.300 kg gabah kering panen). Hasil perhitungan proyeksi produksi dan beras
daerah Badung periode 2010-2020, menunjukkan bahwa di Kabupaten Badung
terjadi defisit produksi beras mulai tahun 2010, artinya produksi beras lebih sedikit
dari pada kebutuhan akan beras.
2.3.2 Kebutuhan pangan Indonesia dan Bali
Berdasarkan BPS 2010, luas lahan sawah di Indonesia diperkirakan
9.295.385 ha., dan jumlah penduduk sebanyak ± 240 juta jiwa, memerlukan
persediaan pangan sebanyak ± 36.000.000 ton beras/th setara dengan ± 72 juta ton
GKP per tahun. Rata-rata produksi padi nasional ± 4 ton/ha/panen, maka diperlukan
luas lahan sawah ± 18 juta ha. Sementara lahan sawah hanya ± 9.295.385 ha.
Proyeksi 40 tahun ke depan luas lahan sawah di Indonesia hanya 6.703 juta ha
(produksi ± 30 juta ton gabah atau 19,69 juta ton beras). Sementara penduduk
Indonesia mencapai 440 juta jiwa memerlukan 59,4 juta ton beras. Kondisi ini
berarti, defisit pangan akan terus terjadi dan semakin meningkat, bila konversi lahan
pertanian pangan terus terjadi.
22
Kebutuhan pangan nasional akan mencukupi bila IP 2 (2 x tanam/th) dapat
dicapai, produksi dan intensitas tanam per tahun ditingkatkan, serta tidak terjadi
konversi lahan, tetapi kenyataannya konversi lahan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini memerlukan usaha konservasi lahan sawah
secara hukum melalui perlindungan lahan sawah berkelanjutan. Bila konversi lahan
terus meningkat, maka diperlukan inovasi teknologi, berupa : bibit padi sawah,
sarana air irigasi, peningkatan kesuburan tanah melalui teknologi pemupukan
lengkap berimbang yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, serta pemberantasan
hama penyakit tanaman terpadu. Program-program penelitian khusus (Litsus), pola
pendampingan masyarakat tani diperlukan, serta pembangunan dan pemeliharaan
sarana irigasi tetap diperlukan, agar dapat meningkatkan IP >2, dan produksi > 6
ton/panen.
Tahun 2010 kebutuhan pangan Provinsi Bali dengan mengalikan jumlah
penduduk pada tahun yang bersangkutan dengan kebutuhan pangan per kapita.
Berdasarkan hasil penelitian dari IPDP (1993, dalam BPN, 2008), kebutuhan
pangan per kapita diperkirakan 147 kg beras/kapita/tahun. Untuk itu jumlah sensus
penduduk Bali tahun 2010 adalah 3.891.428 jiwa (BPS, Prov. Bali, 2010), perlu
menyediakan pangan sebanyak 572.039.916 kg beras per tahun, setara dengan
1.144.079.832 kg GKP atau setara dengan 880.061.409,2 kg gabah kering giling
(GKG) (rendemen 65 % dari GKG ke beras). Sementara produksi GKP Bali hanya
840.465 ton GKG/tahun. Hal ini berarti pada tahun 2010 telah mengalami defisit
23
pangan sebesar 264.018.422,8 kg GKG/tahun (± 264.018 ton gabah/tahun = 132.009
ton beras/tahun).
2.3.3 Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi
Produktivitas lahan sawah rendah perlu ditingkatkan, melalui pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam pemenuhan kebutuhan akan unsur hara bagi
tanaman. Kebutuhan unsur hara akan tanaman bisa diketahui melalui analisis tanah
di laboratorium. Tanaman padi memerlukan unsur hara P dominan pada saat
bunting karena unsur Posfat (P) sebagai bahan dalam proses pembentukan biji dan
buah (Arsyad, 2010). Berdasarkan hasil penelitian Subadiyasa et al. (2010),
mengatakan hasil uji produktivitas menunjukkan bahwa tanaman padi sawah
membutuhkan pupuk lengkap, bukan saja pupuk organik tetapi kebutuhan akan
unsur hara makro dan mikro. Teknologi yang tepat dari hasil penelitian adalah
dengan menggunakan pupuk lengkap (kimia + organik + mineral) dalam bentuk
pelet
Dalam rangka meningkatkan hasil atau produksi padi, dibutuhkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) dalam bidang peningkatan produksi padi baik
bibit maupun teknik budidaya. Disamping itu kemampuan pupuk kimia yang
berimbang dalam waktu relatif singkat dapat meningkatkan produktivitas tanah,
maka pupuk kimia secara langsung dapat meningkatkan produksi dan dapat
mengurangi kerawanan pangan (Sutanto, 2006). Selanjutnya Kasniari dan Supadma
(2007) mengatakan bahwa pemupukan dengan NPK pada dosis 250 kg Urea, 50 kg
24
SP.36, 25 kg KCl per hektar dengan pupuk alternatif, meningkatkan gabah kering giling
sebesar 65,69 % jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
2.3.4 Musyawarah Petani
Peran serta masyarakat petani dalam perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan yang tertuang dalam UU 41/2009, pasal 67, 68 dan 69, dalam
penetapan perlindungan petani, maka diperlukan musyawarah petani. Di Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar belum menetapkan kawasan pertanian sebagai subak
yang dilindungi. Pada masa yang akan datang dikuatirkan akan banyak lahan sawah
dikonversi menjadi bukan pertanian oleh pemiliknya, sehingga jumlah lahan
pertanian akan berkurang. Dalam hal ini menyebabkan pemerintah harus segera
menetapkan pertanian sebagai subak untuk dilestarikan, walaupun ada dalam UU
no. 41 Tahun 2009 yang diamanatkan sebagai perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan, namun sepenuhnya belum diberlakukan oleh pemegang kebijakan.
Indonesia sebagai negara agraris, tidak bisa lepas dari pertanian karena
sumber pangan sebagian besar berasal dari pertanian. Di Bali, infrastruktur
pertanian banyak mengalami kerusakan, akibat adanya konversi lahan menjadi
pemukiman, pembangunan pertokoan dan sarana pariwisata. Pemerintah perlu
mengatur sarana irigasi, memberi insentif, subsidi pupuk dan akses pemasaran yang
dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Petani menyetujui adanya peraturan yang
lebih tinggi, berupa Perda, agar konversi lahan sawah dapat dikendalikan, sesuai
25
dengan peraturan yang berlaku. Begitu pula pengawasan dan sanksi harus
dilaksanakan bagi yang melanggar aturan tersebut.
2.3.5 Kesesuaian lahan lokasi penelitian
Menurut Arsyad (2010), kesesuaian lahan adalah penilaian dan
pengelompokan atau proses penilaian dan proses pengelompokan lahan dalam arti
kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Selanjutnya Djaenudin et al.
(2003), dan Ritung et al. (2011), menyatakan evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat
fisik lingkungan, suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan dan setiap
kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan. Berdasarkan
UU No 41 Tahun 2009, kesesuaian lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah
perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan cadangan pertanian
pangan berkelanjutan yang dilakukan kepada lahan yang secara biofisik terutama dari
aspek kemiringan lereng, iklim, sifat fisik, kimia dan biologi cocok untuk
dikembangkan pertanian pangan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.
Ruang lingkup dari metode ini terdiri dari jenis penggunaan lahan, karakteristik dan
kualitas lahan serta perbaikan lahan. Dalam penentuan kesesuaian lahan ada beberapa
cara yang digunakan yaitu perkalian parameter, penjumlahan atau menggunakan
hukum minimum yaitu memperbandingkan antara kualitas lahan dengan karakterisasi
lahan sebagai parameter sesuai kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun
berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman yang
dievaluasi.
26
Analisis kesesuaian lahan pada dasarnya adalah membandingkan antara
persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan yang ada. Kriteria klasifikasi
kesesuaian lahan yang digunakan adalah sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang
disusun oleh Ritung dkk., (2011). Secara hirarki klasifikasi kesesuaian lahan ini
dapat dibedakan menjadi 4 tingkatan, yaitu order, kelas, subkelas, dan unit. Order
adalah keadaan kesesuaian lahan secara umum, yang terdiri dari ordo sesuai dan ordo
tidak sesuai. Kelas adalah kesesuaian lahan yang dibedakan pada tingkat ordo.
Dalam tingkat kelas lahan yang tergolong ordo sesuai dibedakan menjadi kelas sangat
sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3), tetapi lahan yang tergolong
ordo tidak sesuai tidak dibedakan lagi. Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam
kelas kesesuaian lahan yang dibedakan berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan
yang menjadi faktor pembatas yang terberat, sedangkan unit adalah keadaan tingkatan
dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang
berpengaruh dalam pengelolaannya. Tingkatan analisis kesesuaian lahan yang akan
digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi tingkat unit.
Bappeda Provinsi Bali (2006), menginformasikan bahwa sebagian besar
lahan sawah di Kabupaten Badung pada Kecamatan Abiansemal secara potensial
tanaman padi sangat sesuai, tetapi untuk Kecamatan Petang tergolong S3 (sesuai tapi
ada faktor pembatas). Kecamatan Abiansemal, Kecamatan Mengwi, dan Kecamatan
Kuta Utara (Canggu, Munggu, Kerobokan dan Dalung) tergolong sangat sesuai.
Pada daerah yang ketinggiannya di atas 500 m dpl untuk lahan sawah tergolong kelas
agak sesuai. Seluruh lahan sawah di teras bangku, oleh karena itu faktor lereng
27
bukan merupakan faktor pembatas. Air tergolong faktor pembatas, bila tidak
mendapatkan air irigasi di musim kemarau. Air tergolong pembatas, bila tidak
mendapatkan air irigasi di musim kemarau.
Kesesuaian lahan Kota Denpasar secara potensial, tergolong sangat sesuai
(S1), terdapat pada wilayah bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat yaitu di
Kelurahan Peguyangan, Penatih, Sanur, Kesiman dan Pedungan, apabila air irigasi
terpenuhi dan dilakukan pemupukan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Demikian
pula kelas agak sesuai yang terdapat di daerah ketinggian tempat lebih dari 40 m dari
permukaan laut (dpl). Hal ini disebabkan adanya irigasi subak, dan teras bangku yang
lestari sejak adanya sawah di Bali. Kota Denpasar akan tetap mempertahankan sektor
pertanian dalam batas-batas tertentu dan dipadukan dengan program penghijauan kota
serta dipadukan dengan penetapan wilayah peresapan dan limpasan air hujan yang
wilayah pengembangannya diutamakan kearah wilayah-wilayah pengembangan (WP)
seperti : (1) WP Utara bagian utara (Desa Ubung Kaja), (2) WP Timur (Desa
Peguyangan, Peguyangan Kaja, Peguyangan Kangin, Penatih, Penatih Dangin Puri,
Kesiman Kertalangu, Kesiman Petilan, Kesiman), (3) WP Selatan (Sanur Kaja, Sanur
Kauh, Sidakarya, Pedungan, Pemogan), (4) WP Barat bagian Selatan
(Padangsambian Kelod, Pemecutan Kelod).
Perubahan pengembangan pertanian lahan sawah pada wilayah-wilayah yang
sistem irigasinya sudah terganggu, akan lebih cocok dialihkan ke tanaman pangan
lahan kering (hortikultura) karena selain lebih intensif juga akan dapat berlangsung
sepanjang tahun tanpa tergantung pada sistem pengairan yang terus menerus. Kota
28
Denpasar memiliki luas lahan sawah tahun 2006 sebesar 2.717 ha (Dinas Pertanian
dan Kelautan Kota Denpasar, 2006) dan pada tahun 2012 jumlah lahan sawah di
Kota Denpasar seluas 2.597 ha (BPS Provinsi Bali, 2012). Dalam kurun waktu enam
tahun terjadi pengurangan luas lahan sawah sebesar 120 ha (20 ha per tahun).
Pengembangan pertanian tanaman pangan di Kota Denpasar mengalami gangguan
dengan adanya kemajuan pembangunan di sektor pariwisata, industri, perdagangan,
dan sektor lain di luar pertanian. Permasalahan utama yang ditemukan pada
keberadaan sawah di Kota Denpasar adalah terdesaknya lahan pertanian sawah untuk
fungsi bukan pertanian.
Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor pertama yang harus dikaji
dalam mempersiapkan budidaya tanaman. Potensi suatu wilayah untuk suatu
pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara fisik
lingkungan yang mencakup iklim, tanah, topografi/bentuk wilayah, batuan di
permukaan dan singkapan batuan, hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau
persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu
wilayah dengan persyaratan penggunaan lahan atau komoditas yang dievaluasi
memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan
untuk komoditas tersebut (Djaenudin et al. 2003).
Menurut Ritung et al. (2011), mengatakan bahwa karakteristik lahan
merupakan sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang
29
lahan. Setiap kualitas lahan memiliki keragaman (performance) yang berpengaruh
terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri dari satu atau
lebih karakteristik lahan.
Kesesuaian Lahan Aktual
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kesesuaian lahan aktual
merupakan kesesuaian lahan saat ini (current suitibility) yang mempertimbangkan
usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada di setiap satuan peta. Berdasarkan
hasil matching antara kualitas/karakteristik lahan dengan komoditas tanaman yang
dievaluasi, maka didapatkan kelas kesesuaian lahan suatu komoditas.
Kesesuaian Lahan Potensial
Berdasarkan atas asumsi jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan
terhadap kualitas/karakteristik lahan yang bersifat sebagai faktor penghambat, kelas
kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan potensial untuk tanaman padi sawah
dengan perbaikan-perbaikan faktor pembatas dapat ditingkatkan menjadi tergolong
sangat sesuai (S1).
Berdasarkan pada asumsi tingkat perbaikan dan jenis usaha perbaikan
terhadap kualitas/karakteristik lahan aktual menjadi potensial menurut tingkat
pengelolaannya. Kesesuaian lahan potensial untuk komoditas yang dievaluasi
tanaman padi sawah irigasi.
2.3.6 Ketersediaan Infrastruktur
30
Infrastruktur di wilayah Kabupaten Badung tergolong baik, karena sarana
jalan yang menuju lahan pertanian sudah mendapat perhatian dari pemerintah,
termasuk jalan ke pelosok-pelosok, sehingga petani mudah dalam pengangkutan hasil
panennya. Hal ini juga terjadi di Kota Denpasar yaitu persawahan di Kota Denpasar
hampir seluruhnya terletak di pinggir jalan raya, sehingga memudahkan untuk
pengangkutan hasil panennya.
Jalan usahatani di seluruh wilayah subak pada umumnya tergolong baik.
Pemeliharaan dan perbaikan jalan tetap diperlukan khususnya lahan sawah yang
berada di pedalaman (Petang dan Pelaga). Ketersediaan infrastruktur ini tidak
ditetapkan sebagai parameter dalam penentuan tingkat kelestarian subak. Hal ini
disebabkan kondisi infrastruktur di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar tergolong
sangat baik. Namun demikian infrastruktur jaringan irigasi teknis, semi teknis dan
sederhana yang berupa irigasi sistem subak merupakan nilai sosial budaya yang perlu
dilindungi dan dilestarikan keberadaannya.
2.3.7 Penggunaan Lahan
Menurut Arsyad (2010), penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur
tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik.
Penggunaan lahan berkaitan dengan aktivitas manusia yang secara langsung
berhubungan dengan lahan, dengan penggunaan dan pemanfaatan lahan dan
sumberdaya yang ada serta menyebabkan dampak pada lahan (Baja, 2012).
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu penggunaan lahan
pertanian, penggunaan lahan bukan sawah dan penggunaan bukan pertanian.
31
Penggunaan lahan pertanian terluas terdapat pada Kecamatan Petang seluas 10.112
ha, kemudian berturut-turut diikuti oleh Kecamatan Mengwi seluas 6.767 ha,
Kecamatan Abiansemal 5.965 ha, Kecamatan Kuta Selatan seluas 3.544 ha (tidak ada
sawah), Kecamatan Kuta Utara seluas 1.665 ha dan yang terendah adalah Kecamatan
Kuta yaitu 191 ha. Penggunaan lahan berhubungan dengan ketersediaan lahan dan
air. Ketersediaan lahan dan air akan menentukan produktivitas sumberdaya yang
diproduksi. Penggunaan lahan juga mampu memberikan informasi tentang potensi
produksi dan merencanakan tata ruang di masa yang akan datang. Luas tanah
menurut penggunaan lahan di Kabupaten Badung per Kecamatan tahun 2014
selengkapnya disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Luas Tanah Menurut Penggunaan Lahan di Kabupaten Badung
Per Kecamatan Tahun 2015
Penggunaan Lahan Kecamatan
Kutsel Kuta Kuta
Utara
Mengwi Abiansemal Petang
Lahan Pertanian 3.544 191 1.665 6.767 5.965 10.112
Lahan Bukan
Pertanian 6.390 1.588 1.873 1.433 936 1.388
Sumber : Badan Statistik Badung, 2015
Penggunaan lahan untuk Kabupaten Badung sangat bervariasi yaitu bagian
hulu terdapat hutan lindung (Pucak Mangu dan Utara Kecamatan Petang) yang
merupakan daerah resapan air yang patut dilindungi. Di bagian hulu Badung juga
terdapat perkebunan seperti kopi, cengkeh, panili, jambu mete, kapok dan coklat.
Penggunaan lahan sawah irigasi tertinggi di Kabupaten Badung, terdapat di
32
Kecamatan Mengwi seluas 4.564 ha, kemudian berturut-turut diikuti oleh Kecamatan
Abiansemal (2.913 ha), Kecamatan Kuta Utara (1.307 ha), Kecamatan Petang seluas
(1.173 ha), Kecamatan Kuta seluas (27 ha) dan Kuta Selatan tidak ada sawah
(Badung dalam Angka, 2015).
Berdasarkan Denpasar Dalam Angka (2015), penggunaan lahan Kota
Denpasar meliputi lahan sawah 2.509 ha dan lahan bukan sawah luasnya 505 ha dan
lahan bukan pertanian luasnya 9.764 ha, yang terdiri dari jalan, pemukiman,
perkantoran, bangunan dan pertokoan. luas wilayah Kota Denpasar secara rinci per
kecamatan disajikan pada Tabel 2.3
Tabel 2.3
Luas Wilayah Kota Denpasar Dirinci per Kecamatan (hektar)
No Kecamatan Tanah sawah Tanah Kering Jumlah
(ha) (ha) (ha)
1 Denpasar Barat 299 10 309
2 Denpasar Timur 586 23 609
3 Denpasar Selatan 754 2.018 2.772
4 Denpasar Utara 955 4.038 4.993
Jumlah 2.594 6.089 8.683 Sumber: Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Denpasar (2011)
Tabel 2.3 menunjukkan bahwa luas lahan sawah Kota Denpasar sebesar 2.594
ha, dengan rincian masing-masing kecamatan yaitu Kecamatan Denpasar Utara
mendominasi jumlah sawah tertinggi yaitu 955 ha, kemudian disusul Kecamatan
Denpasar Selatan 754 ha, Denpasar Timur 586 ha dan terendah di Denpasar Barat
yaitu 299 ha. Jumlah lahan kering di Kota Denpasar tertinggi terdapat di Denpasar
33
Utara dengan luas 4038 ha, Denpasar Selatan 2018 ha, Denpasar Timur 23 ha dan
terendah terdapat pada Kecamatan Denpasar Barat yaitu 10 ha.
2.4 Kriteria Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Berdasarkan hasil penelitian Subadiyasa, et al., (2010) dapat ditetapkan 9
parameter kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Tabanan,
data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.4. Parameter penelitian Subadiyasa, et al.,
(2010), dimodifikasi dengan karakteristik wilayah untuk Kabupaten Badung dan
Kota Denpasar.
Pada Kabupaten Badung ditetapkan 11 parameter dan Kota Denpasar 9
parameter kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Adapun 9 parameter
untuk Kabupaten Tabanan yang ditetapkan sebagai acuan dalam penelitian ini
meliputi :
34
Tabel 2.4
Kriteria Pembobotan dan Penskoran masing-masing
Parameter untuk Klasifikasi Subak
No. Parameter Penilaian
Bobot Skor Nilai
1
Posisi dan atau lokasi subak pada daerah aliran sungai
(DAS) dan satuan administrasinya:
- Hulu
- Tengah
- Hilir
Nilai
11
3
2
1
33
22
11
66
2 Pengairan :
- Irigasi teknis-semi teknis
- Irigasi sederhana
- Tadah hujan
Nilai
10
3
2
1
30
20
10
60
3 Bentuk wilayah :
- Berbukit s/d bergunung/kemiringan lereng > 40 % - Bergelombang s/d berombak/kemiringan lereng 25-40% - Datar s/d landai/kemiringan lereng < 25 %
Nilai
9
3
2
1
27
18
9
54
4 Curah hujan :
- > 2500 mm/th
- 2000 – 2500 mm/th
- < 2000 mm/th
Nilai
8
3
2
1
24
16
8
48
5 Tinggi tempat :
- >500m dpl
- 100 – 500 m dpl
- <100 m dpl
Nilai
7
3
2
1
21
14
7
42
6
Kesesuaian lokasi sawah dengan RTRW :
- Kawasan lindung dan lindung strategis
- Kawasan Budidaya Pertanian
- Kawasan budidaya non pertanian
Nilai
6
3
2
1
18
12
6
36
7 Kesesuaian lahan agroekosistem untuk padi sawah :
- Sangat sesuai
- Sesuai
- Agak sesuai
Nilai
5
3
2
1
15
10
5
30
35
8 Produktivitas lahan :
- >5 ton/ha/panen
- 2,5 - 5 ton/ha/panen
- < 2,5 ton/ha/panen
Nilai
4
3
2
1
12
8
4
24
9 Jarak dari pusat kota :
- > 5km
- 2,5 – 5 km
- < 2,5 km
Nilai
3
3
2
1
9
6
3
18 Sumber : Subadiyasa, et al., (2010)
(1) Posisi dan atau lokasi subak dalam daerah aliran sungai (DAS) dan atau bagian
hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu merupakan daerah tangkapan dan atau resapan
air hujan yang dapat mengatur persediaan air di daerah tengah dan hilir.
(2) Sumber air
Sumber air dibedakan atas sistem irigasi, yaitu irigasi teknis, setengah teknis,
sederhana dan tradisional. Sistem irigasi di Bali yang dinamakan subak dibangun
sejak abad ke 7 dan sekarang menjadi Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh
UNESCO tahun 2012. Sistem pengairan dari tradisional ke pengairan setengah
teknis, karena menggunakan mata air.
(3) Bentuk wilayah dan atau relief atau kemiringan lereng asal dibedakan atas :
bergunung, berbukit, bergelombang, berombak, landai dan datar. Bentuk wilayah
ini sangat berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya lahan. Relief semakin
kasar, maka semakin rentan terjadi degradasi lahan. Kemiringan lereng asal
dibedakan menjadi : lereng > 40%, 25 – 40 % dan < 25 %. Lahan sawah di Bali
seluruhnya berupa teras bangku. Kemiringan lereng asal tidak berpengaruh
36
terhadap erosi tanah, karena telah diteras bangku, tetapi berpengaruh terhadap
tinggi dan lebar teras yang berpengaruh terhadap sistem pengairan.
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh
punggung bukit atau topografi, yang aliran airnya menuju sungai utama dan
dialirkan ke danau dan ke laut. Posisi sawah pada DAS sangat mempengaruhi
produktivitas lahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi. Posisi
sawah subak pada DAS dikelompokkan dalam 3 bagian yaitu: bagian hulu DAS,
tengah dan hilir DAS.
DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara
lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,
kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Disamping itu DAS juga
merupakan daerah tangkapan dan resapan air yang dapat mengatur persediaan air,
wilayah ini harus dilindungi karena sebagai reservoar air yang nantinya
bermanfaat pada saat musim kemarau. DAS bagian tengah didasarkan pada
fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, antara lain dapat
diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan
ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti
pengelolaan sungai, waduk, dan danau. DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan
37
kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait
untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.
(4) Curah hujan
Bagi sawah-sawah yang pengairannya sederhana dapat berubah menjadi sawah
tadah hujan, karena hanya dapat bercocok tanam padi pada musim penghujan,
akibat dari debit air irigasi sangat kecil. Hal ini terjadi akibat dari persaingan
pemakaian sumber air yang digunakan untuk kebutuhan air bersih rumah tangga,
swasta (air kemasan) dan penunjang pariwisata seperti kebutuhan hotel dan
restoran. Curah hujan dikelompokkan menjadi > 2500 mm/th, 2000 – 2500
mm/th, dan < 2000 mm/th. Curah hujan > 2500 mm/th dianggap dapat
melakukan penanaman dua kali setahun dan curah hujan <1000 mm/th dianggap
sawah tadah hujan.
(5) Ketinggian tempat
Ketinggian tempat berpengaruh terhadap produksi dan fungsi lingkungan,
semakin tinggi tempat, maka subak tersebut semakin di daerah hulu sungai dan
semakin strategis sebagai daerah tangkapan hujan. Tinggi tempat dikelaskan ke
dalam > 500 m dpl, 100 – 500 m dpl, dan < 100 mm dpl. Ketinggian tersebut
berturut-turut menunjukkan daerah hulu, tengah dan hilir DAS. Demikian pula
sawah yang berada diketinggian lebih dari 500 m dpl lebih baik ditanam padi
lokal, sedangkan pada ketinggian < 100 m dpl sesuai untuk padi unggul.
Ketinggian tempat > 500 m dpl lebih sesuai untuk padi lokal. Ketinggian tempat
38
di daerah vulkanis terkait dengan posisi daerah tangkapan hujan, dan iklim
(curah hujan, dan kelembaban).
(6) Kesesuaian lahan sawah dengan RTRW. Tingkat kelestarian dan konversi lahan
sawah sangat tergantung dari alokasi ruang dalam RTRW. Sawah-sawah yang
ditetapkan sebagai kawasan budidaya bukan pertanian akan mengalamimkonversi
lahan. Dalam hal ini berbeda dengan sawah yang dialokasikan sebagai kawasan
lindung, maka akan dilestarikan. Sawah-sawah yang ditetapkan sebagai kawasan
budidaya pertanian akan mengalami konversi terbatas, dengan dalih kebutuhan
penunjang pertanian termasuk pendirian rumah petani.
(7) Kesesuaian lahan agroekosistem untuk padi sawah
Tujuannya untuk mencocokkan antara potensi sumberdaya fisik dan lingkungan
dengan persyaratan kebutuhan tanaman. Sawah yang sangat sesuai perlu
dilestarikan, karena mempunyai potensi produksi yang tinggi untuk menunjang
kebutuhan pangan dan persediaan pangan. Sawah yang agak sesuai memerlukan
input teknologi, artinya dapat dijadikan lahan penyangga, dan sawah yang
kurang sesuai, merupakan lahan yang dapat dikonversi.
(8) Produktivitas lahan
Sawah yang berproduksi tinggi sebaiknya dikonservasi atau dilestarikan.
Produksi rata-rata mencapai 5,38 ton/ha/panen. Kriteria > 5 ton/ha/panen, 2,5 –
5 ton/ha/panen. Sawah di Bali perlu dilestarikan, selain produksinya di atas rata-
rata nasional (4 ton/ha/panen), juga sebagai warisan sosial budaya agraris dengan
sistem subaknya. Sawah di daerah vulkanis dengan teras bangku dan sistem
39
pengairan sebagai hasil cipta karya, mampu berproduksi secara
berkesinambungan dan dapat melestarikan alam dan budaya serta tameng ajeg
Bali.
(9) Jarak dari pusat pemukiman dan atau perkotaan.
Pesediaan lahan untuk pembangunan, baik untuk pemukiman, dan kegiatan non
pertanian lainnya ditetapkan pada radius : < 2 km, 2 - 5 km,dan > 5 km. Hal ini
memberikan peluang persediaan lahan untuk pembangunan non pertanian
diutamakan pada radius < 2 km dari pusat kota.
2.5 Penetapan Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Berbasis
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG)
SIG adalah sistem perangkat keras, perangkat lunak dan prosedur yang
dirancang untuk menyimpan, memanajemen, mengolah, menganalisis, memodelkan
dan menampilkan data dan informasi dari suatu objek yang berkaitan dengan letak
keberadaannya di permukaan bumi. GIS juga mengacu pada data spasial untuk
menyelesaikan masalah-masalah perencanaan dan manajemen, juga merupakan
perangkat untuk menangani pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan dan
penataan kota, perencanaan pertanian dan penggunaan lahan (Sumardijono, 1993).
Menurut Suwandana dan Turmudi (2008), sistem informasi merupakan sistem yang
didesain untuk memadukan data referensi spasial atau koordinat geografi yang
berbeda waktu dan bentuk (format). Tujuan penggunaan GIS adalah untuk
mempermudah mendapatkan informasi, baik yang telah tersimpan maupun olahan
40
dan dapat menentukan lokasi obyek. Ciri utama data yang dimanfaatkan dalan GIS
yaitu data harus terikat oleh lokasi. Pengelolaan data dapat dilakukan dengan baik,
bila dibuat dalam bentuk basis data. Data yang dikelola untuk membuat basis data
tersebut terdiri dari dua kelompok yaitu data grafis dan data atribut. Data grafis
adalah data spasial atau data yang berbentuk peta yang menggambarkan suatu daerah
atau wilayah yang mengacu pada lokasi geografi. Data atribut berupa data bukan
spasial dapat berupa data statistik (data produksi) atau dapat berupa data kualitatif.
Analisis yang dilakukan pada dasarnya merupakan kegiatan untuk memperoleh hasil
dari penggabungan dari data tersebut, sehingga diperoleh data baru (Sutanto, 2006).
Dalam era globalisasi dan teknologi saat ini sangat diperlukan untuk
mendapatkan informasi yang cepat dan akurat serta dapat diakses dalam berbagai
kalangan. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi penginderaan jauh (remote sensing)
yang merupakan ilmu dan seni yang mampu merekam data dan informasi secara
akurat dilengkapi dengan SIG. SIG telah dikenal secara luas sebagai alat bantu
untuk proses pengambilan keputusan. Sebagian besar institusi (pemerintah, swasta,
baik bidang akademis maupun non-akademis) dan individu yang memerlukan
informasi yang berbasiskan data spasial telah mengenal dan menggunakan sistem ini.
Beberapa contoh aplikasi-aplikasi SIG di beberapa bidang sebagai ilustrasi (Prahasta,
2002) seperti di sumberdaya alam, perencanaan, kependudukan atau demografi,
lingkungan. manajemen utilitas.
41
Penyusunan data dasar subak dibangun menggunakan teknologi citra satelit
yang diproses melalui teknologi SIG. Keterbatasan data dasar yang diperoleh di
lapangan, memerlukan inventarisasi dan deskripsi datab subak terlebih dahulu. Pada
saat ini Bali belum memiliki peta subak berbasis geospasial, baik dalam bentuk peta
konvensional maupun dalam bentuk peta digital tematik. Database subak meliputi :
luas wilayah subak, nama pekaseh, jumlah petani, status kepemilikan lahan,
ketersediaan air irigasi, pola pergiliran tanaman dan produksi komoditas andalan dan
unggulan di masing-masing subak. Dalam PP No. 25 Tahun 2012 tentang sistem
informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan, paling sedikit memuat informasi
tentang: (a) fisik alamiah, (b) fisik buatan, (c) kondisi sumber daya manusia dan
sosial ekonomi, (d) status kepemilikan dan/atau penguasaan tanah.
Menurut Subadiyasa et al. (2010), data dasar subak di Kabupaten Tabanan
telah diteliti, peta-peta tematik sebagai peta penunjang seperti : peta DAS, bentuk
wilayah, ketinggian tempat, jarak dari kota, penggunaan lahan bersumber dari analisis
peta topografi/rupa bumi dan citra satelit. Peta-peta tersebut berupa : curah
hujan/isohyet, kesesuaian lahan agroekosistem, produktivitas, kesesuain lahan sawah
dengan RTRW bersumber dari data sekunder. Prosedur pengelolaan data berbasis
GIS menggunakan perangkat lunak ArcGIS dipilih dalam penelitian ini, karena lebih
mampu mengelola data yang besar.
Proses GIS berupa peta-peta, baik peta digital yang digunakan sebagai
parameter yang telah dilakukan pembobotan dan pensekoran, juga peta hasil analisis.
Peta kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dihasilkan dari analisis
42
berbagai peta penunjang tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya
ketidaksesuaian, terutama pada daerah hilir, dimana sempadan sungai merupakan
lahan yang dapat dikonversi. Hal ini disebabkan oleh adanya parameter kesesuaian
lahan sawah dengan RTRW.
Sistem informasi geografis mempunyai kelebihan yang dapat menunjang
atau membantu proses pemetaan di suatu ruang, atau wilayah tertentu. Disamping itu
SIG juga mempunyai kelebihan untuk membantu pengguna dalam menggabungkan
dua atau lebih data dengan konteks atau tema yang berbeda menjadi satu buah data
dalam konteks atau tema yang baru.
Menurut Hutauruk et al. (2016), data dan informasi yang diambil dari SIG
didapat dari teknologi penginderaan jauh dan survei lapang. Penginderaan jarak jauh
adalah suatu ilmu atau teknik dan seni untuk mendapatkan informasi tentang objek,
wilayah, atau gejala dengan cara menganalisis data-data yang diperoleh dengan suatu
alat, tanpa berhubungan langsung dengan objek, wilayah atau gejala yang sedang
dikaji