Post on 26-Apr-2019
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kelapa dan Peran Kelapa bagi Manusia (Cocos nucifera L.)
2.1.1 Deskripsi Kelapa
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman anggota keluarga Arecaceae
dan satu-satunya anggota genus Cocos yang diyakini memiliki asal-usul dari
daerah pesisir (zona littoral) Asia tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina) dan
Melanesia (Chan & Elevitch, 2006). Pada zaman prasejarah diyakini kelapa liar
(Niu kafa) menyebar ke arah timur melalui arus laut ke pulau tropis pasifik
(Melanesia, Polynesia, dan Mikronesia) dan ke barat pesisir India, Sri lanka,
Afrika Timur, dan pulau-pulau tropis (misalnya Seychelles, Andaman dan
Mauritius) di Samudera Hindia. Selain melalui arus laut, penyebaran kelapa
diyakini melalui perpindahan manusia dalam rangka perdagangan seperti
dilakukan oleh bangsa Melayu dan Arab sekitar 3000 tahun yang lalu
menyebarkan kelapa ke barat India, Sri Lanka, dan Afrika Timur. Kelapa
diperkenalkan ke Afrika Barat dan Karibia (termasuk pantai Atlantik, Amerika
Tengah) pada abad 16 oleh penjelajah Eropa (Chan & Elevitch, 2006). Saat ini
kelapa telah tumbuh di lebih 200 negara dan ditemukan didaerah antara 230
lintang utara dan 230
lintang selatan (Gomes-Copeland et al., 2015).
Selain itu, kelapa yang pada awalnya merupakan tanaman yang dekat dengan
pantai mulai menyebar ke pedalaman dan sekarang tumbuh di berbagai macam
jenis tanah sampai dengan ketinggian 600 m di khatulistiwa (Chan & Elevitch,
2006). Tanaman kelapa dapat tumbuh optimal pada suhu 28 0C, dengan
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
13
kelembapan relatif yang lebih besar dari 60 % serta tidak ada defisit air pada
tanah ataupun kelebihan air salinitas pada tanah. Kelapa tumbuh optimal dengan
curah hujan mencapai total 2000 mm pertahun (Foale & Harries, 2011).
Gambar 2.1 Morfologi reproduksi dari kultivar Kelapa Dalam Borneo (Borneo
tall / BONT) (A) tanaman kelapa umur kurang lebih 10 tahun, (B)
tandan buah, (C) bunga dewasa kelapa karena sudah membuka, (D)
bunga betina, menghasilkan nektar untuk menarik penyerbukan, (E)
bunga jantan, menghasilkan benang sari yang mulai perkembang dari
atas ke pangkal, (F) Buah kelapa, sekitar 11-12 bulan setelah
penyerbukan (COGENT network, 2013; Ratnambal et al., 2010;
Anonim, 2016).
A
B C
F
E D
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
14
Kelapa (Gambar 2.1) merupakan tanaman monokotil yang memiliki sistem
perakaran serabut (Chan & Elevitch, 2006; Ohler & Magat, 2016). Setiap pohon
kelapa memiliki akar serabut sekitar 2000–4000 buah dengan diameter sekitar 1
cm. Pada umumnya akar kelapa ditemukan sampai kedalaman 5 m pada tanah
yang berpasir atau berdrainase baik. Sebagian besar akar ditemukan pada
kedalaman 1,5 m (Ohler & Magat, 2016).
Tanaman kelapa memiliki batang berbentuk silinder, tegak atau sering
melengkung atau miring, dengan diameter 20-40 cm (van Steenis, 1987). Batang
kelapa umumnya berwarna abu-abu terang tidak bercabang dan mempunyai bekas
daun berbentuk cincin serta tidak memiliki duri pada batangnya (van Steenis,
1987; Ohler & Magat, 2016).
Pada ujung batang terdapat daun kelapa yang membentuk roset batang
(mahkota). Daun kelapa tersusun pada batang dengan pola spiral pada filotaksis
2/5, yaitu daun keenam selalu berada di atas daun pertama (Foale, 2003). Jumlah
daun kelapa pada setiap mahkota sebanyak antara 20 - 30 helaian yang terbuka,
sedangkan sekitar 40 daun masih terlipat berbentuk tombak. Panjang helaian
daun antara 4,5-7 m dengan tangkai daun memiliki panjang antara 0,50-1,50 m.
Kelapa memiliki warna tangkai daun bervariasi yang mengindikasikan warna
buah. Warna tangkai daun tergantung kultivar kelapa (van Steenis, 1987; Chan &
Elevitch, 2006; Ohler & Magat, 2016). Daun kelapa merupakan daun majemuk
menyirip dengan jumlah anak daun mencapai sekitar 120 buah dengan ukuran
lebar 1,5-5 cm dan panjang 50-150 cm (van Steenis, 1987; Ohler & Magat, 2016).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
15
Pada tanaman kelapa yang sudah dewasa, di setiap ketiak daun muncul satu
buah sistem perbungaan (karangan bunga atau tongkol bunga) (van Steenis,
1987). Tanaman kelapa memiliki bunga tongkol majemuk dengan bunga betina
dan jantan terletak pada kuntum bunga yang terpisah namun berada pada sistem
perbungaan yang sama (Tjitrosoepomo, 2000; Ohler & Magat, 2016). Setiap
sistem perbungaan tersusun atas 40-60 buah spikelet (cabang karangan) yang
dilindungi oleh seludang bunga (mancung/spata) (Chan & Elevitch, 2006). Setiap
spikelet (cabang karang) memiliki sekitar 200-300 bunga jantan dan beberapa
bunga betina pada bagian pangkal tergantung kultivar (Ohler & Magat, 2016).
Setiap tahun, kelapa dapat menghasilkan sistem perbungaan antara 12-15 buah
(Chan & Elevitch, 2006).
Bunga jantan memiliki panjang sekitar 9 mm, dengan 3 buah sepal kecil dan 3
buah kelopak besar serta 6 benang sari. Bunga betina berbentuk bulat dengan
diameter 2,5-3 cm. Bunga betina memiliki perhiasan bunga berdaging yang
menempel pada bakal buah, dengan bakal buah beruang 3, tidak memiliki tangkai
putik, dengan kepala putik seperti celah yang tenggelam (van Steenis, 1987).
Setelah terjadi penyerbukan, bunga betina selanjutnya berkembang
membentuk buah kelapa. Buah kelapa akan matang 11–12 bulan kemudian
sesudah terjadinya penyerbukan (Ohler & Magat, 2016). Buah kelapa berbentuk
bulat telur (Round) sampai memanjang (Angeled), tergantung kultivar
(International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI), 1995; Ohler & Magat,
2016). Buah kelapa (Gambar 2.2) memiliki panjang 20-30 cm dan berat antar
850 – 3700 grm (Chan & Elevitch, 2006; Ohler & Magat, 2016). Buah kelapa
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
16
memiliki kulit luar (exocarp) yang tipis (0,1 mm), keras, dan halus serta warna
yang bervariasi tergantung kultivar. Lapisan dibawah kulit luar merupakan lapisan
tebal yang berserat (mesocarp) dengan ketebalan antara 4-8 cm. Lapisan terdalam
dari kulit buah (endocarp), berupa batok yang keras dan berwarna coklat (Ohler &
Magat, 2016).
Gambar 2.2 Morfologi buah dari kultivar Kelapa Dalam Borneo (Borneo tall /
BONT) dari lapisan luar sampai ke dalam (COGENT network, 2013;
Ratnambal et al., 2010).
Di dalam endocarp ditemukan biji kelapa yang terdiri atas lapisan kulit tipis
yang keras (testa), endosperm yang padat (daging buah) serta endosperm cair (air
kelapa). Pada daging buah terdapat embrio yang berukuran bervariasi dengan
panjang sekitar 0,5 - 1 cm dan diameter sekitar 0,5 cm serta berat yang sekitar 0,1
g tergantung kulivar dan umur embrio (Foale, 2003; Sisunandar et al., 2014;
Ohler & Magat, 2016). Embrio terletak pada sisi pangkal buah yang terdapat tiga
mata lembaga. Di antara ketiga mata lembaga tersebut terdapat satu buah mata
1
2
3 4
5
6
1. Exocarp (kulit luar)
2. Mesocarp (sabut)
3. Embrio
4. Endocarp (batok)
5. Testa (lapisan kulit
tipis yang keras
6. Endosperm padat
(daging buah)
7. Endosperm cair (air
kelapa 7
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
17
lembaga yang lunak tempat keluarnya tunas sewaktu embrio berkecambah
(Gambar 2.3) (Ohler & Magat, 2016).
Gambar 2.3 Embrio kelapa dan perkecambahannya, (A) 3 mata lembaga, (B)
embrio pada endosperm (dilihat secara membujur / atas), (C)
embrio pada endosperm (dilihat secara melintang / samping), (D)
embrio kelapa yang sudah tumbuh ditandai munculnya tunas dan
akar dari salah satu mata lembaga, (E) houstorium membesar, (F)
penampang utuh embrio yang tumbuh terlepas dari batok
(Newton’saplle, 2016).
Buah kelapa yang telah matang mulai berkecambah segera setelah panen tanpa
diikuti masa dormansi (rekalsitrant). 2 – 4 minggu setelah panen, embrio bagian
apikal tumbuh dan muncul dari batok melalui mata lembaga yang lunak
sedangkan pada bagian dorsal akan berkembang menjadi haustorium yang lembut
dan berasa manis (Ohler & Magat, 2016). Tunas dan akar primer muncul dari
massa apikal sekitar 8 minggu setelah panen. Daun pertama muncul 5 minggu
kemudian serta menjadi bibit siap tanam setelah sekitar 1 tahun setelah panen
(Ohler & Magat, 2016).
A B C
D E F
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
18
2.1.2 Kultivar
Berdasarkan morfologinya (Gambar 2.4), tanaman kelapa dibedakan menjadi
dua tipe yaitu kelapa tipe dalam (tall) dan kelapa tipe genjah (dwarf; Foale &
Harries, 2011). Kelapa dalam dapat dibedakan dengan kelapa genjah secara cepat
karena kelapa dalam memiliki batang yang besar dengan pangkal yang membesar
membentuk bole, sedangkan kelapa genjah memiliki batang yang lebih kecil dan
pangkal tanpa membentuk bole. Pada umur yang sama, kelapa dalam memiliki
batang yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa genjah (Foale, 2003; Chan
& Elevitch, 2006). Kelapa dalam juga memiliki umur yang lebih panjang (bisa
mencapai lebih dari 100 tahun) dibandingkan dengan kelapa genjah (sekitar 60
tahun)(Ohler & Magat, 2016). Daun kelapa dalam juga lebih besar dan panjang
dibandingkan dengan kelapa genjah (Foale, 2003).
Gambar 2.4 Kultivar (A) Kelapa dalam Tenga (Tenga Tall/ TGT) dan (B) kelapa
genjah Raja coklat (Raja Brown Dwarf / RBD01), (C) pangkal
batang kelapa dalam yang memebentuk bole, (D) pangkal batang
kelapa genjah yang tidak membentuk bole (Foale, 2003; Balai
penelitian dan pengembangan perkebunan, 2007; Bourdeix R et al.,
2010; Novarianto & Bourdeix, 2010).
A B
C D
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
19
Perbedaan kelapa dalam dengan kelapa genjah juga dapat diamati dari
buahnya. Kelapa dalam mulai menghasilkan buah pada umur sekitar 6 - 8 tahun,
dengan buah yang memiliki ukuran relatif besar dan jumlah per tandan relatif
sedikit. Pada kelapa genjah, buah umumnya mulai dihasilkan setelah kelapa
berumur 4 -5 tahun dengan ukuran buah yang relatif kecil dibadingkan dengan
buah kelapa dalam, serta memiliki jumlah buah per tandan relatif besar (Foale &
Harries, 2011; Ohler & Magat, 2016).
Pada umumnya kelapa dalam memiliki bunga bersifat protrandris
(proterandri), yaitu bunga jantan lebih dahulu matang dibadingkan dengan bunga
betina (Tjitrosoepomo, 2000). Akibatnya, kelapa dalam pada umumnya
melakukan penyerbukan silang dan bersifat heterozigot. Hal tersebut tidak terjadi
pada kelapa genjah, dimana bunga jantan matang hampir bersamaan dengan
bunga betina sehingga mayoritas kelapa genjah melakukan penyerbukan sendiri
dan bersifat homozigot (Foale & Harries, 2011).
Kultivar kelapa dinamai dengan dua kata (Bourdeix, 2012). Kata pertama
dapat menunjukkan tempat (pulau atau negara) mereka ditemukan, nama
tradisional yang sudah dikenal, ciri-ciri yang menonjol atau kombinasi dari nama
di atas. Pada kelapa genjah ditambahkan warna buah jika warna tersebut telah
diketahui bersifat homozigot. Kata kedua menunjukkan kelapa tersebut tergolong
kelapa dalam atau kelapa genjah. Sebagai contoh kelapa dalam bali (Bali tall)
merupakan kultivar kelapa dalam yang berasal dari pulau Bali. Kelapa dalam tebu
(Tebu sweet husk tall) merupakan kelapa dalam yang memiliki sabut yang manis
seperti tebu. Contoh lain seperti genjah hijau Jombang (Jombang Green Dwarf)
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
20
merupakan kultivar kelapa genjah yang memiliki warna buah hijau dan berasal
dari Jombang, Jawa Timur (Chan & Elevitch, 2006; Ohler & Magat, 2016).
Demikian pula dengan genjah hijau kopyor (Kopyor green dwarf) merupakan
kelapa genjah yang memiliki buah berwarna hijau dan endosperm yang hancur
(kopyor).
Pada tahun 2012, Indonesia memiliki 105 kultivar yang terdiri dari 82 kelapa
dalam dan 23 kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Angka tersebut hampir seperempat
dari keseluruhan kultivar kelapa yang ditemukan di dunia. Pada saat ini ditemukan
sebanyak 419 kultivar kelapa diseluruh dunia yang terdiri atas 319 kelapa dalam
dan 100 kultivar kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Meskipun demikian, di
Indonesia diperkirakan masih banyak kultivar kelapa yang belum terpublikasi
secara resmi.
Salah satu daerah di Indonesia yang mempunyai jenis kelapa (kultivar) yang
belum terpublikasi secara resmi adalah Kabupaten Banyumas. Luas area
perkebunan kelapa di kabupaten Banyumas sekitar 18 ribu Hektar dengan jumlah
pohon kelapa sekitar 1,7 juta pohon (Husein, 2014). Di Kabupaten Bayumas
paling tidak dikenal dua jenis kelapa yang belum dilepas secara resmi oleh
pemerintah, yakni Kelapa Dalam Banyumas (KDB) dan Kelapa Genjah Entog
(KGE). KDB tersebar di kebun-kebun rakyat di desa Karang Gedang, Kemiri,
kecamatan Sumpiuh, sedangkan KGE tersebar di dua kecamatan, yakni Cilongok
dan Ajibarang (SK Direktur Jenderal Perkebunan,
Nomor:53/KB.820/SK/DJ.BUN/05-1996). Kedua wilayah tesebut telah ditetapkan
sebagai kebun blok penghasil tinggi penghasil benih guna memenuhi kebutuhan
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
21
benih kelapa. Namun demikian, upaya pelestarian kedua plasma nutfah terbetu
belum dilakukan, oleh karena itu langkah-langkah penelitian guna pelestariannya
perlu segera dilakukan.
2.1.3 Nilai Sosial-Ekonomi Kelapa
Kelapa merupakan tree of life (pohon kehidupan) karena hampir semua bagian
tanaman tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia (Foale, 2003). Akar kelapa
digunakan sebagai bahan baku kerajinan pada masyarakat Bali (Pratiwi & Sutara,
2013). Akar kelapa juga banyak digunakan untuk menurunkan suhu tubuh pada
penderita demam (antipiretik) maupun sebagai obat untuk meningkatkan produksi
urin (diuretik; Ohler & Magat, 2016).
Batang kelapa yang lurus secara umum dapat kita temui digunakan oleh
masyarakat sebagai bahan baku bangunan (Pannetier & Buffard-Morel, 1986;
Ohler & Magat, 2016). Selain itu, batang kelapa juga banyak digunakan sebagai
furniture, alat rumah tangga, maupun hiasan rumah (Foale, 2003; Ohler & Magat,
2016).
Daun kelapa digunakan oleh masyarakat sebagai atap, daun yang dianyam
menjadi tikar, keranjang, tas, topi, wadah untuk makanan, dan tulang jari daun
(lidi) dapat digunakan sebagai sapu (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016). Selain
itu, tangkai daun dan daun yang kering dapat digunakan sebagai bahan bakar
untuk tungku tradisional (Foale, 2003). Di samping nilai ekonominya yang tinggi,
daun kelapa juga mempunyai nilai sosial yang tinggi. Bagi masyarakat di
Indonesia, daun kelapa digunakan sebagai perlengkapan dalam upacara adat
maupun kegiatan keagamaan lainnya (Pratiwi & Sutara, 2013).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
22
Bunga kelapa yang masih muda juga dapat disadap untuk menghasilkan nira.
Nira mengandung sekitar 15 % sukrosa sehingga dapat digunakan untuk
menghasilkan gula kelapa maupun gula semut (gula kristal; Ohler & Magat,
2016). Nira juga dapat diminum secara langsung atau diolah lebih lanjut untuk
menghasilkan alkohol. Dalam satu satu hari, dapat dihasilkan nira dalam sekitar 1
liter untuk setiap pohon kelapa (Foale, 2003).
Buah kelapa merupakan bagian terpenting dari tanaman kelapa yang memiliki
nilai guna yang tinggi bagi masyarakat. Sabut kelapa banyak digunakan untuk
membuat tali, karpet, tikar dan geo-tekstil, bahan pembuatan sikat, kasur, maupun
jok (Foale, 2003). Selain itu, sabut kelapa yang dihancurkan/ tepung (cocopeat)
dapat digunakan untuk campuran kompos, bahan bangunan ringan dan isolasi
termal (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016). Bagian buah yang paling keras
(batok) dapat dibuat menjadi peralatan rumah tangga, pot hias, dan digunakan
sebagai bahan bakar (Ohler & Magat, 2016). Batok kelapa juga merupakan bahan
baku karbon aktif yang memiliki nilai jual tinggi karena banyak dibutuhkan dunia
industri (Foale, 2003).
Daging buah atau endosperm padat merupakan bagian terpenting dari buah
kelapa disamping air kelapa yang banyak digunakan sebagai bahan baku
pembuatan nata de coco ataupun diminum secara langung. Daging buah kelapa
yang masih muda dapat dimakan langsung atau sebagai bahan utama dalam
pembuatan es kelapa muda. Daging buah kelapa yang sudah tua (matang) diparut
dan dicampur dengan air untuk selanjutnya diperas untuk menghasilkan santan
(coconut milk) yang banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam masakan
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
23
makanan atau minuman (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016). Selain itu daging
buah banyak dikeringkan (kadar air <50 %) menjadi kopra untuk ekstraksi minyak
dan bahan makanan. Minyak kelapa banyak digunakan dalam industri sabun,
deterjen, kosmetik, shampoo, cat, pernis dan produk farmasi (Widiyanti, 2015;
Ohler & Magat, 2016). Saat ini, daging buah juga banyak diproses untuk
menghasilkan minyak goreng berkualitas tinggi dan menyehatkan, yaitu virgin
coconut oil. Sisa pengolahan minyak kelapa (bungkil kelapa) juga banyak
digunakan sebagai pakan ternak yang mengandung protein 20 % dan 10 %
minyak sisa (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016).
2.1.4 Budidaya Kelapa dan Permasalahannya
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu komoditi perkebunan
yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2014,
Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia dengan total produksi
mencapai 19,1 juta ton (FAO, 2014) yang dihasilkan dari area perkebunan kelapa
seluas sekitar 3,6 juta hektar (Nasir, 2014).
Salah satu kendala yang dihadapi pada budidaya kelapa di Indonesia adalah
berkurangnya area perkebunan kelapa. Setiap tahun, luas area perkebunan kelapa
di Indonesia menurun sekitar 0,38 % (Nasir, 2014). Beberapa faktor diduga
menjadi penyebab berkurangnya luas area perkebuan kelapa seperti serangan
hama dan penyakit, alihfungsi lahan, dan bencana alam.
Hama utama yang telah terbukti berbahaya dan menimbulkan kerugian
pada tanaman kelapa adalah kumbang badak (Oryctes rhinoceros) dan belalang
pedang (Sexava nubila; Siahaya, 2014). Kumbang badak (O.rhinoceros) merusak
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
24
daun muda kelapa yang belum terbuka. Hama tersebut telah mengakibatkan
kerugian sekitar 10 miliar rupiah di Jawa Tengah pada tahun 2005 (Mulyono,
2007). Selain itu pada tahun 2014, serangan hama tersebut juga telah
menyebabkan kematian lebih dari 5 ribu batang pohon kelapa di Kabupaten Blitar,
Jawa Timur (Kustantini, 2014). Hama belalang pedang (Sexava nubila) merusak
kelapa pada bagian daun kelapa yang sudah dewasa (tua) meskipun terkadang
dapat menyerang daun muda, kulit buah dan bunga. Pada serangan belalang
pedang yang cukup berat dapat mengakibatkan daun kelapa meranggas dan hanya
menyisakan lidi. Akibatnya, buah kelapa akan rontok dan tanaman tidak dapat
menghasilkan buah selama kurang lebih 2 tahun atau pada serangan hama tersebut
yang sangat parah dapat mengakibatkan kematian (Lobalohin et al., 2014). Pada
tahun 2012, di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara serangan
hama tersebut menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp. 26,3 milyar dengan
total luas serangan mencapai 16 ribu hektar (Wagiman et al., 2012).
Beberapa penyakit kelapa juga dapat menyebabkan berkurangnya luas lahan
perkebunan kelapa seperti penyakik busuk pucuk (PBP) maupun penyakit layu
Kalimantan (PLK). PBP disebakan oleh cendawan Phytophthora palmivora yang
mengakibatkan daun-daun muda mengering di tengah-tengah tajuk, daun
berwarna coklat dan patah pada pangkalnya, pangkal membusuk, yang
kemudian dapat mencapai titik tumbuh sehingga pertumbuhan tanaman terhenti
dan mati (Lolong, 2005). PBP pernah menyerang area perkebunan kelapa di
daerah Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara dengan total lahan mencapai
3 ribu hektar (Lolong, 2010).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
25
PLK disebabkan oleh Phytoplasma yang ditandai dengan daun menguning
serta diikuti dengan pelepah bagian bawah kering layu dan menggantung di
pohon. Pada serangan penyakit tersebut yang berat dapat mengakibatkan buah
tidak normal dan banyak buah yang jatuh, maupun tangkai buah menjadi kering
(Lolong, 2014). Berdasarkan hasil survei pada Desember 1997, PLK sudah
menyerang lebih dari 100 ribu pohon, di antaranya lebih dari 47 ribu pohon mati
(Lolong, 2014).
Faktor lain yang menjadi berkurangnya luas area perkebunan kelapa adalah
adanya alihfungsi lahan. Alihfungsi dapat terjadi karena meningkatnya jumlah
populasi masyarakat di Indonesia. Alihfungsi yang selama ini telah terjadi adalah
alihfungsi menjadi perumahan (tempat tinggal), jalan, dan penggantian tanaman
menjadi tanaman yang dianggap memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Sebagai
contoh pada tahun 2011, antar 5-10 % dari luas area perkebunan kelapa di
Sulawesi Utara (dengan total area perkebunan kelapa sekitar 270 ribu hektar)
mengalami alihfungsi lahan menjadi perumahan dan area industri
(Republika.co.id, 2014). Selain itu, kebun plasma nutfah kelapa di Paniki,
Manado, Sulawesi Utara telah dialihfungsikan menjadi tempat pacuan kuda
karena dianggap mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi (Novarianto, 2008).
Faktor terakhir yang menjadi penyebab berkurangnya luas area perkebunan
kelapa adalah bencana alam. Seperti yang terjadi di Propinsi Aceh pada tahun
2004, tsunami telah dilaporkan mengakibatkan hilangnya 10 ribu hektar (9,28 %)
perkebunan kelapa (Antaraaceh, 2014).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
26
2.2 Konservasi Kelapa
Salah satu akibat yang muncul dari berkurangnya luas area perkebunan kelapa
di Indonesia adalah hilangnya plasma nutfah kelapa baik yang telah dikenal
maupun yang belum teridentifikasi. Pada saat ini diketahui terdapat 419 kultivar
kelapa di dunia dan lebih dari seperempatnya ditemukan di Indonesia. Pada tahun
2012, jumlah kultivar yang dimiliki Indonesia mencapai 105 kultivar yang terdiri
dari 82 kelapa dalam dan 23 kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Dan diperkirakan
saat ini Indonesia masih memiliki sekitar 400 kultivar yang belum diidentifikasi
(Novarianto, 2008). Untuk itu diperlukan upaya konservasi untuk mencegah
terjadi pengikisan plasma nutfah kelapa tersebut.
2.2.1 Konservasi Kelapa secara In situ
Konservasi kelapa secara in situ merupakan upaya mempertahankan plasma
nutfah pada habitat aslinya seperti dilahan-lahan perkebunan milik petani, di
pinggir pantai ataupun pulau terpencil (Foale, 2003). Salah satu contoh
keberhasilan konservasi kelapa secara in situ adalah konservasi kelapa kopyor
yang dilakukan oleh para petani di Kabupaten Pati yang dimulai sekitar tahun
1960-an (Maskromo et al., 2007). Pada saat ini program tersebut berhasil
mengkonservasikan hampir 2000 pohon kelapa kopyor genjah (Kompas.com,
2012). Selain itu, upaya konservasi in situ juga dilakukan oleh pemerintah
kabupaten Banyumas dengan membagikan 85 ribu bibit kelapa genjah entog
kepada 85 kelompok tani di 13 kecamatan di kabupaten Banyumas
(Bupatibanyumas, 2014). Upaya tersebut selain bertujuan untuk meremajakan
tanaman kelapa khususnya tanaman kelapa deres, meningkatkan produktivitas
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
27
tanaman kelapa dan mengurangi resiko kecelakaan bagi penderes juga berperan
penting dalam upaya pelestarian kelapa genjah entog di Kabupaten Banyumas.
Konservasi kelapa secara in situ memiliki keuntungan tidak hanya mudah
dilakukan dan membutuhkan biaya yang murah, namun dapat juga digunakan
untuk penanggulangan kemiskinan dengan meningkatkan pendapatan serta
pengetahuan petani kelapa. Di sisi lain, teknik tersebut juga memiliki kelemahan
seperti rentan terhadap bencana alam, pengalihan fungsi lahan, membutuhkan
pengawasan yang aktif dan sulitnya pengumpulan data jika diperlukan (Dullo et
al., 2005). Oleh karena itu alternatif lain konservasi kelapa yang lebih aman
dilakukan sangat dibutuhkan guna melestarikan plasma nutfah kelapa di
Indonesia.
2.2.2 Konservasi Kelapa secara Ex Situ
Konservasi kelapa secara ex situ merupakan upaya mempertahankan plasma
nutfah di luar habitat aslinya seperti pembangunan kebun plasma nutfah,
penyimpanan pollen, maupun penyimpanan embrio zigotik (Dullo et al., 2005).
Konservasi kelapa secara ex situ memiliki banyak keunggulan dibandingkan
dengan konservasi secara in situ, seperti lebih aman terhadap upaya alih fungsi
lahan serta memiliki data yang lebih lengkap dan lebih mudah diakses
(Engelman, 2011).
2.2.2.1 Kebun Plasma Nutfah Kelapa
Salah satu teknik konservasi kelapa yang paling banyak dilakukan karena
lebih aman terhadap alih fungsi lahan maupun data yang lengkap adalah melalui
pembangunan kebun plasma nutfah. Upaya pembangunan kebun plasma nutfah
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
28
kelapa di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1911 dengan dimulainya membuat
koleksi kelapa dari berbagai wilayah di Indonesia. Pada tahun 1930, kebun
koleksi kelapa pertama di Indonesia dibangun di kebun percobaan Mapanget,
Manado oleh Dr. P.L.M. Thammes yang berhasil mengkoleksi lebih dari 40
kultivar yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia (Balai Penelitian tanaman
Palma (Indonesia Palmae Resarch Institute), 2015). Pada saat ini, Indonesia
memiliki kebun plasma nutfah kelapa sebanyak tujuh lokasi (Tabel 2.1), yaitu
kebun plasma nutfah (KP) Mapanget (Manado, Sulawesi Utara), Pakuwon (Jawa
Barat), Sikijang Mati (Riau), Paniki (Sulawesi Utara), Pandu (Sulawesi Utara) dan
Kima Atas serta Bone-bone (Sulawesi Selatan) (Novarianto et al., 2005) dan
berhasil mengkoleksi kelapa sebanyak 97 aksesi kelapa dalam dan 40 aksesi
kelapa genjah (Novarianto et al., 2005; Novarianto, 2008).
Tabel 2.1 Lokasi kebun plasma nutfah kelapa di Indonesia beserta jumlah aksesi
(Novarianto et al., 2005; Novarianto, 2008).
NO Kebun Plasma Nutfah Aksesi
Sumber Dalam (tall) Genjah (dwarf)
1 Mapengat (Manado) 40 13 Novarianto
et al., 2005
2 Pakuwon (Jawa Barat) 12 8 Novarianto
et al., 2005
3 Sikijang Mati (Riau) 24 9 Novarianto
et al., 2005
4 Paniki (Sulut)
21 10 Novarianto,
2008
5 Bone-Bone (Sulsel) na na
6 Pandu (Sulut) na na
7 Kima Atas (Sulsel) na na
Jumlah Total 97 40
Keterangan : na = data tidak tersedia
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
29
Bahkan, mulai tahun 1993 Indonesia ditetapkan oleh International Coconut
Genetics Network (COGENT) sebagai salah satu negara dari 5 negara lokasi
pelestarian kelapa internasional (International Coconut Genebank/ ICG).
Indonesia ditetapkan sebagai lokasi kebun plasma nutfah kelapa untuk wilayah
Asia Tenggara dan Asia Timur yang meliputi Cina, Malaysia, Myanmar,
Philipina, Thaliand, Vietman, dan Indonesia (Novarianto, 2008). Lokasi
konservasi kelapa tersebut ditempatkan di Sikijang Mati, Riau. Namun karena
adanya okupasi tanah oleh masyarakat akibat selama era reformasi, maka lokasi
tersebut kemudian dipindahkan ke kebun Pandu dan Paniki, Sulawesi Utara pada
tahun 2002 (Tulalo et al., 2007).
Kebun plasma nutfah yang telah dibangun tersebut memberikan banyak
kemudahan seperti pengaksesan dan pengamatan data yang lebih rinci karena
terkumpul dalam satu wilayah, dimiliki oleh pemerintah sehingga relatif aman
terhadap alihfungsi lahan ataupun tanaman perkebunan lainnya serta perawatan
yang lebih baik sehingga relatif aman terhadap serangan hama dan penyakit
(Engelman, 2011). Namun demikian, pembangunan kebun plasma nutfah masih
rawan terhadap bencana alam termasuk kekeringan, disamping biaya untuk
pembangunan dan perawatan yang cukup besar (Engelman, 2011). Oleh karena
itu, ketersediaan plasma nutfah kelapa yang disimpan dalam bentuk lain sangat
dibutuhkan sebagai cadangan simpanan plasma nutfah (back up).
2.2.3 Konservasi Pollen Kelapa
Salah satu upaya konservasi ex situ kelapa yang aman, tidak mengalami
serangan hama dan penyakit serta terlindung dari bencana alam adalah konservasi
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
30
pollen. Konservasi pollen adalah upaya pelestarian plasma nutfah kelapa melalui
penyimpanan pollen (serbuk sari). Penyimpanan tersebut dimaksudkan untuk
memfasilitasi program pemuliaan tanaman melalui penyerbukan silang,
pendistribusian dan pertukaran plasma nutfah antar lokasi dan melestarikan gen
plasma nutfah, serta untuk studi fisiologi, biokimia, pembuahan dan bioteknologi,
yang melibatkan ekspresi gen, serta transformasi dan pembuahan in vitro (Panis
& Lambardi, 2005). Pollen dapat dikeringkan dan disimpan di bawah vakum
untuk jangka waktu yang singkat (2-6 bulan) dalam freezer domestik (Dullo et al.,
2005) atau disimpan di suhu beku (-196 0C) untuk penyimpanan yang lebih lama
(Karun et al., 2014). Keunggulan teknik tersebut adalah pollen dapat dengan
mudah dikumpulkan dan dalam jumlah besar, membutuhkan ruang penyimpanan
yang sedikit, serta mudah dalam pertukaran plasma nutfah (COGENT, 2008).
Oleh karena itu teknik penyimpanan pollen dapat digunakan sebagai back up
konservasi kelapa yang lain seperti kebun plasma ataupun teknik konservasi in
situ. Namun demikian, penerapan teknik ini masih terbatas pada proses pemuliaan
materi genetik tanaman jantan yang hanya menyimpan setengah dari informasi
genetik yang terdapat pada kelapa (haploid; Engelmann et al., 2007).
2.2.4 Konservasi Embrio Zigotik Kelapa
Alternatif konservasi ex situ yang banyak digunakan adalah penyimpanan biji.
Namun demikian biji kelapa tidak dapat disimpan karena biji kelapa merupakan
biji rekalsitaran yakni biji dengan kadar air yang tinggi tidak toleran terhadap
proses pengeringan (Engelman, 1999). Selain itu, ukuran buah kelapa yang besar
(sekitar 850 – 3000 grm; Chan & Elevitch, 2006) akan sulit untuk disimpan dalam
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
31
jumlah yang banyak (Engelman, 1999). Oleh karena itu, satu-satunya alternatif
yang tersedia untuk digunakan dalam konservasi kelapa secara ex situ adalah
dengan cara konservasi embrio zigotik. Teknik konservasi embrio kelapa
memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi pollen
karena menyimpan informasi genetik kelapa secara utuh. Beberapa teknik telah
dikembangkan untuk konservasi embrio zigotik kelapa, baik untuk konservasi
jangka pendek sampai menengah (short to medium term conservation), maupun
untuk konservasi jangka panjang (long term conservation).
Teknik konservasi embrio kelapa untuk jangka pendek sampai menengah
bertujuan untuk menyimpan plasma nutfah embrio kelapa untuk jangka waktu 2
hingga 12 bulan (<1 tahun; Engelmann, 1990). Teknik penyimpanan yang dapat
digunakan untuk menyimpan kelapa dalam jangka pendek-menengah meliputi
teknik penyimpanan secara in vitro maupun embrio dikeringkan dan disimpan
pada suhu rendah.
Teknik penyimpanan embrio secara in vitro dapat dilakukan dengan cara
mengubah menurunkan periode subkultur melalui modifikasi lingkungan kultur
seperti penurunan temperatur ruang kultur (Karunaratne, 1988), intensitas cahaya
maupun kuat penyinaran sehingga menurunkan tingkat metabolisme tanaman
(Muhammed et al., 2013). Penurunan periode subkultur juga dapat dilakukan
dengan cara menurunkan konsentrasi medium tanam (Karunaratne, 1988),
penambahan zat penghambat pertumbuhan ataupun penambahan senyawa yang
mampu menurunkan penyerapan nutrisi seperti penambahan mannitol (Sukendah
& Cedo, 2005; Ledo et al, 2014).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
32
Teknik penyimpanan in vitro tersebut mudah dilakukan dan cepat untuk
mendapatkan tanaman baru jika dibutuhkan serta memiliki persentase
keberhasilan yang tinggi (Sukendah & Cedo, 2005). Namun demikian, lama
penyimpanan yang terbatas, tingginya resiko kontaminasi, membutuhkan
pemeliharaan yang intensif dengan skill yang tinggi sehingga membutuhkan biaya
yang mahal guna mengaplikasikan teknik tersebut (Tambunan & Mariska, 2003;
Sukendah & Cedo, 2005).
Teknik lain yang lebih mudah dan aman untuk digunakan dalam konservasi
embrio kelapa dalam jangka pendek sampai menengah adalah dengan cara embrio
dikeringkan sampai kadar air sekitar 29 %, kemudian embrio dapat disimpan
sampai 3 minggu pada -20 0C atau selama 26 minggu pada -80
0C (Sisunandar et
al., 2012). Teknik tersebut tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak serta
murah untuk dilakukan, namun teknik penyimpanan tersebut masih terbatas untuk
jangka waktu yang menengah (maksimal 26 minggu) dengan tingkat keberhasilan
yang relatif rendah untuk menumbuhkan kembali tanaman dari embrio yang
disimpan (12 %; Sisunandar et al., 2012). Oleh karena itu diperlukan alternatif
lain teknik yang dapat digunakan untuk menyimpan embrio kelapa dalam jangka
waktu yang panjang (>1 tahun; long term conservation).
Penyimpanan embrio kelapa sebagai konservasi jangka panjang (long term
conservation) dapat dicapai dengan menyimpanan embrio pada suhu ultra rendah
(-196 0C) dengan menggunakan nitrogen cair (kriopreservasi; Engelmann, 2004).
Pada suhu tersebut proses aktifitas metabolisme sel akan berjalan lambat atau
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
33
bahkan terhenti, sehingga memungkinkan embrio disimpan dalam jangka waktu
yang lama bahkan tidak terbatas (Engelman, 1990).
2.3.Teknik Kriopreservasi untuk Penyimpanan Plasma Nutfah
Teknik kriopreservasi telah banyak diaplikasikan untuk menyimpan plasma
nutfah berbagai tanaman untuk jangka waktu yang panjang, seperti rambutan
(Nephelium lappaceum L; Zebua, 1998); damar (Agathis damare Salisb.; Djam’an
et al., 2006) ataupun purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk; Roostika et al.,
2013). Teknik tersebut juga banyak direkomendasikan sebagai teknik
penyimpanan plasma nutfah paling aman di berbagai laboratorium ternama seperti
United States Departement of Agriculture- Agricultural Research Service (USDA-
ARS) National Clonal Germplasm Repository (NCGR) di Corvalis, Amerika
Serikat (Reed et al., 2001) dan Centro Internacional de Agricultura Tropical
(CIAT di Columbia; Gonzalez-Benito et al., 2004).
Secara umum, untuk melakukan penyimpanan plasma nutfah pada suhu ultra
rendah tersebut dilakukan dengan 4 tahap, yaitu tahapan pengeringan (dehidrasi),
pembekuan (freezing), pencairan (thawing), dan pemulihan kembali (recovery).
2.3.1 Pengeringan (Dehidrasi)
Pengeringan (dehidrasi) adalah usaha penurunan kadar air pada sampel yang
akan disimpan. Air di dalam sel yang tinggi dapat menyebabkan terbentukanya
kristal es dalam sel sewaktu dilakukan pembekuan. Akibatnya sel akan rusak dan
menyebabkan kematian dari sampel yang akan disimpan (Panis & Lambardi,
2005). Oleh karena itu, semakin rendah kadar air di dalam sel akan diperoleh
sampel yang mampu bertahan pada suhu beku semakin banyak. Banyak sampel
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
34
tumbuhan yang digolongkan di dalam kelompok ortodoks yang mampu
dikeringkan sampai kadar air yang sangat rendah (sekitar 5 %) seperti tumbuhan
gandum (Triticum aestivum L; Fabian et al., 2008), ceri liar (Prunus avium L;
Chmielarz, 2008) dan jagung (Zea mays L; Usman & Abdulmalik, 2010). Namun
demikian, banyak sampel tanaman yang digolongkan di dalam kelompok
rekalsitran, yaitu tanaman yang hanya mampu dikeringkan sampai kadar air relatif
tinggi (sekitar 20 – 30 %), seperti tanaman araucaria (Araucaria husteinii K.
Schum; Pritchard & Prendergast, 1986), karet (Hevea brasiliensis; Yen yen,
1999), melur (Podocarpus neriifolius; Syamsuwida & Aminah, 2008) maupun
kelapa (Cocos nucifera L.; Engelmann, 2011).
Sampai saat ini berbagai metode dehidrasi telah banyak dikembangkan, secara
umum metode tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yakni dehidrasi secara
fisik dan dehidrasi secara kimia atau gabungan dari kedua teknik tersebut.
Dehidrasi secara fisik merupakan pengeringan menggunakan aliran udara, seperti
laminar air flow (LAF) maupun silica gel, (Panis & Lambardi, 2005). Teknik
dehidrasi dengan menggunakan LAF selama hampir 5 jam digunakan pada embrio
zigotik labu siam (Sechium edule Jacq.Sw) dengan dengan keberhasilan 30 %
(Abdelnour-Esquivel & Engelmann, 2002). Teknik yang sama dilakukan selama
0,5 jam juga berhasil digunakan pada embrio zigotik kopi robusta (Coffea
canephora) dengan tingkat keberhasilan 41 % maupun kopi arabika (C. Arabica
L) dengan tingkat keberhasilan mencapai 95,8 % (Abdelnour-Esquivel et al.,
1992).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
35
Teknik dehidrasi dengan cara mengeringkan sampel di dalam wadah tertutup
berisi silika gel selama 9 jam juga berhasil dilakukan pada biji tanaman palem
kipas cina (Livistona chinensis) dengan tingkat keberhasilan mencapai 80 %
(Wen, 2009). Selain itu, Benmahioul et al., (2015) juga menggunakan silica gel
selama 2 jam untuk mengeringkan bakal tunas kacang piscatio (Pistacia vera)
sebelum disimpan di dalam nitrogen cair dengan tingkat keberhasilan mencapai
100 %.
Dehidrasi secara kimia pada umumnya dilakukan dengan menggunakan
senyawa kimia konsentrasi tinggi seperti sukrosa, glukosa, maupun polietilen
glikol (PEG) yang mampu menyebabkan air di dalam sel keluar sehingga
menurunkan kadar air di dalam sel (Panis & Lambardi, 2005). Sebagai contoh,
dehidrasi dengan menggunakan larutan 0,75 M sukrosa selama 3 hari berhasil
digunakan untuk mengeringkan embrio zigotik tanaman hantap (Sterculia
cordata) dengan tingkat keberhasilan mencapai 80 % (Nadarajan et al., 2007).
Teknik dehidrasi dengan cara eksplan direndam dalam larutan 0,5 M sukrosa
selama 3 hari juga berhasil digunakan untuk mendehidrasi ujung pucuk tanaman
jeruk ponsil (Poncirus trifoliata) dengan tingkat keberhasilan mencapai 50 %
(Gonzalez-Arnao et al., 1998). Selain itu, dehidrasi menggunakan larutan 1 M
glukosa selama 1 jam berhasil digunakan untuk mendehidrasi embrio tanaman
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan tingkat keberhasilan sekitar 28 %
(Chabrillange et al., 2000).
Beberapa penelitian menggunakan senyawa yang mampu melindungi sel
selama suhu ultra rendah dengan cara menjaga stabilitas keutuhan membran
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
36
plasma (Kaviani, 2011), senyawa tersebut digolongkan ke dalam krioprotektan
seperti dimetilsulfoksida (DMSO) gliserol, dan metanol (Day & McLellan, 1995).
Sebagai contoh, dehidrasi menggunakan larutan 1,5 M gliserol yang
dikombinasikan dengan 0,3 M sukrosa selama 30 menit berhasil digunakan untuk
mendehidrasi embrio somatik tanaman tebu (Sacharrum sp) dengan tingkat
kelulushidupan mencapai 55 % (Martinez-Montero et al, 2008). Contoh lain,
penggunaan larutan 10 % DMSO dengan dikombinasi larutan 1 M sukrosa selama
30 menit berhasil mendehidrasi tanaman karet (Hevea brasiliensis) dengan tingkat
kelulushidupan 49 % (Engelmann et al., 1997).
2.3.2 Pembekuan (Freezing)
Suhu penyimpanan sampel merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
penyimpanan plasma nutfah. Semakin rendah suhu penyimpanan akan
mengakibatkan sampel yang disimpan semakin tahan lama. Sebagai contoh biji
Lactuca sativa yang telah dikeringkan hanya disimpan selama 13 tahun pada suhu
5 0C, sedangkan pada suhu yang lebih rendah (-18
0C) dapat disimpan sampai 150
tahun, bahkan pada suhu ultra rendah (-196 0C), biji dapat disimpan lebih dari
3000 tahun (Walter et al., 2004).
Pada umumnya, sel akan mengalami kerusakan apabila dimasukkan ke dalam
suhu rendah karena adanya pembentukan kristal es di dalam sel (Cruz-cruz et al.,
2013), namun apabila pembekuan dilakukan secara benar maka pembentukan
kristal es dapat dihindari. Berdasarkan kecepatan proses pembekuan,
kriopreservasi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu teknik pembekuan
lambat dan pembekuan cepat. Pembekuan lambat merupakan proses penurunan
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
37
suhu secara perlahan-lahan dan terkontrol dengan kecepatan rendah (0,5-2,0 0C
per menit) sampai suhu sekitar -40 0C atau -80
0C dan dilanjutkan dengan
perendaman ke dalam nitrogen cair (-196 0C; Engelmann, 2004). Pada proses
pembukan lambat ini, pada awalnya kristal es terbentuk di cairan ekstraseluler,
kristalisasi es ini mendorong air dari sitoplasma dan vakuola ke luar dari sel,
sehingga pembentukan kristal es pada bagian dalam sel dapat dihindari
(Engelmann, 2004; Cruz-cruz et al., 2013). Teknik tersebut berhasil digunakan
pada tanaman singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan tingkat
kelulushidupan 55 % (Danso & Ford-Lioyr, 2011). Namun demikian, pembekuan
secara lambat membutuhkan alat pendingin yang dapat diprogram kecepatan
penurunan suhunya. Oleh karena itu teknik tersebut kurang banyak digunakan
(Engelmann, 2004). Teknik pembekuan paling umum dilakukan secara cepat
dengan memasukkan sampel secara langsung ke dalam nitrogen cair (-196 0C),
sehingga faktor pembentukan kristal es dapat dihindari (Engelmann, 2004).
Teknik tersebut berhasil diaplikasikan pada embrio tanaman hantap (Sterculia
cordata) dengan tingkat keberhasilan 80 % berkecambah (Nadarajan et al.,
2007), dan tunas apel (Malus domestica) dengan tingkat keberhasilan 68 % untuk
kultivar Romus4 dan 62 % untuk kultivar rootstock M16 (Halmagyi et al., 2010).
2.3.3 Pencairan (Thawing)
Pencairan (thawing) adalah proses pengeluaran sampel dari fase pendinginan
(dalam nitrogen; -196 0C) ke suhu kamar atau suhu awal (sekitar 25
0C). Thawing
bertujuan untuk menghindari kerusakan sel embrio akibat terbentuknya kembali
kristal es (Engelmaan, 2004; Panis & Lambardi, 2005). Thawing dapat dibagi
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
38
menjadi dua macam, yakni slow thawing (pencairan lambat) dan rapid thawing
(pencairan cepat). Slow thawing adalah dengan cara membiarkan cryotube dalam
suhu ruang (sekitar 25 0C) selama beberapa saat (Engelmann, 1990). Teknik slow
thawing berhasil dilakukan pada quina (Strychnos pseudoquina) dengan cara
sampel dibiarkan di temperatur ruangan selama 2 jam dan memiliki tingkat
keberhasilan mencapai 80 % (Silva et al., 2012). Namun demikian, teknik slow
thawing berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan. Oleh karena itu teknik rapid
thawing merupakan teknik yang sering digunakan. Teknik tersebut dilakukan
dengan cara mencelupkan cryotube (tabung kriopreservasi) yang berisi embrio ke
dalam air yang bersuhu sekitar 40 0C selama kurang lebih 3 menit (Engelmann,
1990). Teknik rapid thawing tersebut berhasil digunakan pada kotiledon embrio
tanaman teh (Camellia sinensis L) dengan tingkat kebehasilan antara 75-80 %
bibit (Kim et al., 2002) maupun pada sumbu embrio nangka (Artocarpus
heterophyllus L) dengan tingkat kelangsunghidupan 30 % (Chandel et al., 1995).
2.3.4 Pemulihan (Recovery)
Penamaman kembali (recovery) sampel yang telah disimpan pada medium
tanam merupakan tahapan terakhir dalam proses kriopreservasi. Pada tahapan ini
sampel yang sudah melewati tahap thawing selanjutnya ditanam pada medium
pemulihan secara in vitro. Pemilihan medium recovery tersebut sangat
mempengaruhi keberhasilan sampel untuk berkecambah. Beberapa media yang
dasar yang sering digunakan diantaranya medium MS (Murashige dan Skoog,
1962; Assy-bah & Engelman, 1992, 1993; N’Nan et al., 2012), Eeuwens Y3
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
39
(Euwen, 1976; Gomes-Copeland et al., 2015), dan HEC (Hibrid Embrio Culture
medium; Rillo, 2004).
Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam medium tanam juga sering
digunakan selama proses penanaman kembali tersebut. Proses penanaman
kembali tumbuhan hantap (Sterculia cordata; Nadarajan et al., 2007) dilakukan
dengan menggunakan medium MS dengan penambahan benzyadenosine (BA) 0,5
mg/L. Selain itu, pada tumbuhan krisan (Chysanthemum sp) juga telah dilakukan
dengan menanam pada medium pemulihan MS dengan penambahan 0,25 mg dm-3
kinetin. Perlakuan tersebut memiliki tingkat keberhasilan pemulihan 40 %
(Zalewska & Kulus, 2014).
2.4 Perkembangan Penelitian Kriopreservasi Kelapa dan Permasalahannya
Penelitian tentang kriopreservasi kelapa telah banyak dilakukan. Sampai saat
ini terdapat tiga buah jenis eksplan yang telah digunakan dalam kriopreservasi
kelapa, yaitu plumular (Bandupriya et al., 2010; N’Nan, 2014), embrio muda
(Bajaj, 1984) dan embrio matang (Tabel 2.2). Namun demikian, teknik
kriopreservasi kelapa dengan menggunakan eksplan embrio yang matang
merupakan teknik yang paling banyak digunakan dan memiliki tingkat
keberhasilan yang lebih baik dibandingkan dengan eksplan yang lain (Sisunandar
et al., 2014).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
40
Tabel 2.2 Perkembangan penelitian kriopreservasi embrio matang kelapa
Pra-
perlakuan
dan waktu
(jam)
Dehidras
i dan
waktu
(jam)
Pembe
kuan
Pencaira
n (0C)
dan
waktu
(menit)
Kelulush
idupan
(%)
Berkec
ambah
(%)
Berkeca
mbah
normal
(%)
Aklim
atisasi
(%)
Tanaman
siap tanam
Sumber
Glukosa + Gliserol
(11-20)
LAF (4)
Cepat 40 (2)
33-93 na na na na Assy-bah & Engelmann,
1992
Silika gel (18)
Cepat 40 (2)
na 80 70 60 na
Karun et al.,
2005 LAF
(24)
Cepat 40
(2)
na 90 70 60 na
Sukrosa 2 M 24
Silika gel (7)
Cepat 40 (2)
na 68,8 na 20,8 na
Sajini et al.,
2006 Sukrosa 3 M
24
Silika gel
(7)
Cepat 40
(2)
na 47,9 na 29 na
Silika gel (8)
Cepat 40 (3)
70 61 43 20-40 na Sisunandar et al., 2010b
Glukosa Silika gel
80 g (48)
Cepat 40
(2)
na 74,7 na na na N’nan et al.,
2012
Glukosa LAF (24)
Cepat 40 (2)
na 82,75 na na na N’nan et al., 2012
n.a. = data tidak dilaporkan
Penelitian kriopreservasi kelapa dengan menggunakan eksplan embrio matang
dimulai pada tahun 1992 oleh Assy-bah & Engelmann dengan menggunakan
eksplan embrio matang empat kultivar kelapa (hybrid PB 121, Genjah merah
kamerun, Dalam India, Dalam Rene11) yang berumur 10-12 bulan setelah
penyerbukan. Embrio tersebut dikeringkan dalam LAF (laminar air flow) selama
4 jam dan didehidrasi pada medium (MS makro dan mikro, vitamin Morel &
Wetmore, 41 mg/L, Fe-EDTA, 100 mg/L natrium askorbat) dengan penambahan
600 g/Lsukrosa dan 15 % gliserol, dengan pH 5,5 selama 20 jam sebelum
disimpan pada suhu -196 0C. Setelah dilakukan rapid thawing dan recovery,
jumlah embrio yang masih bertahan hidup masih sangat tinggi (93 %), namun
demikian, persentase kecambah yang berhasil tumbuh setelah disimpan serta
jumlah bibit yang dihasilkan dari embrio yang telah disimpan belum dilaporkan.
Karun et al., (2005) juga melaporkan kriopreservasi embrio kelapa dari
kultivar West Coast Tall yang dikeringkan dalam gel silika (50 g) selama 18 Jam
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
41
untuk selanjutnya disimpan pada temperatur -196 0C (Tabel 2.2). Setelah
dilakukan rapid thawing dan penanaman kembali pada medium tanam, perlakuan
tersebut menghasilkan persentase embrio yang berkecambah mencapai sekitar 80
% dan perssentase perkecambahan normal mencapai 70 % serta 60 % bibit hasil
aklimatisasi. Namun demikian persentase bibit siap tanam yang dihasilkan dari
embrio yang telah disimpan di dalam nitrogen cair juga belum dilaporkan.
Perlakuan 2 M sukrosa selama 24 jam dengan pengeringan menggunakan
silika gel selama 7 jam juga berhasil digunakan untuk dehidrasi embrio kelapa
West Coast Tall sebelum disimpan di dalam nitrogen cair (Tabel 2.2). Perlakuan
tersebut menghasilkan persentase embrio yang mampu berkecambah sebesar 68,8
% dan bibit aklimatisasi sebesar 20,8 %. Namun teknik tersebut belum
menghasilkan bibit siap tanam (Sajini et al., 2006).
Pendekatan dehidrasi yang lebih sederhana dengan cara embrio kelapa
dikeringkan dengan menggunakan silika gel (680 g) selama 8 jam sebelum
disimpan di dalam nitrogen cair berhasil digunakan untuk menyimpan embrio
kelapa dengan tingkat keberhasilan menghasilkan bibit yang berhasil
diaklimatisasi mencapai sekitar 20-40 % bergantung kultivar yang digunakan
(Sisunandar et al., 2010b). Pada penelitian tersebut digunakan 10 kultivar kelapa
dalam dan 10 kultivar kelapa genjah asli Indonesia. Berdasarkan penelitian
tersebut, kultivar kelapa digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu mudah, sedang
dan sukar berdasarkan tingkat keberhasilan perkecambahan sesudah
kriopreservasi dan aklimatisasi (Sisunandar et al., 2010b).
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016
42
Teknik dehidrasi dengan menggunakan larutan 3,2 M glukosa dan
ditempatkan dalam laminar air flow (LAF) selama 24 jam juga telah digunakan
untuk mengeringkan embrio kelapa sebelum disimpan dalam nitrogen cair. Teknik
tersebut mampu menghasilkan embrio yang berhasil berkecambah setelah
penyimpanan di dalam nitrogen cair dengan tingkat keberhasilan mencapai 82,75
% (N’Nan, 2012). Namun demikian persentase bibit hasil aklimatisasi dan bibit
siap tanam yang dihasilkan dari embrio yang telah disimpan di dalam nitrogen
cair juga belum dilaporkan.
Dari hasil penelitian yang telah dilaporkan tersebut menunjukkan bahwa
meskipun tingkat keberhasilan kriopreservasi pada embrio kelapa masih relatif
rendah, namun teknik tersebut memberikan harapan untuk digunakan sebagai
back-up konservasi plasma nutfah kelapa. Salah satu daerah dengan potensi
plasma nutfah kelapa yang cukup tinggi, namun belum diteliti dengan baik adalah
Kabupaten Banyumas. Kultivar-kultivar kelapa yang ditemukan di Kabupaten
Banyumas belum dikenal dan dilestarikan dengan baik. Oleh karena itu pada
penelitian ini dilaporkan upaya penyimpanan plasma nutfah kelapa yang
ditemukan di Kabupaten Banyumas melalui teknik kriopreservasi.
Pengaruh Lama Waktu…, Ali Masrur, FKIP UMP, 2016