Post on 02-Feb-2021
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kecelakaan Kerja
2.1.1 Pengertian epidemiologi
Epidemiologi adalah studi mengenai apa yang menimpa penduduk, dalam arti
luas dimaksudkan suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan, penyakit, dan
perubahan penduduk, begitu juga determinan-determinan dan akibat yang terjadi
pada kelompok penduduk (Budiono, 2003). Sedangkan menurut Last dalam artikel
Murti (2011), epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan keadaan
dan peristiwa terkait kesehatan pada populasi, dan penerapannya untuk
mengendalikan masalah kesehatan. Jadi, epidemiologi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) mempelajari faktor determinan dari penyakit akibat kerja dan kejadian
kecelakaan kerja dan distribusinya pada masyarakat pekerja.
2.1.2 Konsep epidemiologi kecelakaan kerja
Ditinjau dari epidemiologi, kecelakaan kerja terjadi karena ketidakserasian
antara tenaga kerja (host), pekerjaan (agent), dan lingkungan kerja (environment)
(Tarigan, 2011) berikut penjabarannya:
1. Host, yaitu pekerja yang melakukan pekerjaan
a. Umur
Umur mempunyai pengaruh terhadap kejadian kecelakaan akibat kerja.
Golongan umur tua mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi untuk
mengalami kecelakaan akibat kerja dibandingkan dengan golongan umur muda
karena umur muda mempunyai reaksi dan kegesitan yang lebih tinggi. Akan
7
8
tetapi umur muda pun sering pula mengalami kasus kecelakaan akibat kerja, hal
ini bisa terjadi karena kecerobohan dan sikap suka tergesa-gesa. Orang-orang
muda sering tidak memiliki tanggung jawab sebagaimana orang-orang yang
berumur lebih tua dan cenderung untuk tidak berhati-hati.
Menurut International Labour Organization (ILO) dalam penelitian
tarigan (2011), diungkapkan bahwa pekerja yang berumur muda lebih banyak
mengalami kecelakaan dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Hal tersebut
karena pekerja umur muda biasanya kurang berpengalaman dalam pekerjaanya.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin juga mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Pekerja
pria dan wanita memiliki perbedaan fisiologis dan psikologis. Antara pekerja pria
dan wanita memiliki perbedaan daya tahan tubuh, ukuran tubuh, dan postur tubuh
yang dapat mempengaruhi cara kerja. Dijelaskan pada penelitian Swaputri
(2009), kasus wanita lebih banyak daripada pria karena secara anatomis,
fisiologis, dan psikologis tubuh wanita dan pria memiliki perbedaan sehingga
dibutuhkan penyesuaian dalam beban dan kebijakan kerja, diantaranya yaitu
hamil dan haid.
2. Agent, yaitu pekerjaan
a. Jenis (unit) pekerjaan
Jenis pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap resiko terjadinya
kecelakaan akibat kerja. Jumlah dan macam kecelakaan akibat kerja berbeda-
beda di berbagai kesatuan operasi dalam suatu proses. Contohnya pada tenaga
kerja jasa konstruksi memiliki tingkat risiko mengalami kecelakaan kerja yang
lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja kantoran.
9
b. Peralatan bekerja
Peralatan bekerja yang digunakan oleh tenaga kerja juga berpengaruh
terhadap risiko terjadinya kecelakaan kerja. Dengan peralatan yang tidak aman,
nyaman, dan menimbulkan penyakit maka peralatan bekerja tersebut berdampak
pada faktor penyebab kecelakaan kerja. Maka dari itu, semua peralatan kerja
harus sesuai fungsinya dan tepat bagi orang yang mempergunakannya.
3. Environment, yaitu lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan bagian cukup penting dari sebuah tempat
kerja, karena lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
tenaga kerja dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja.
2.2 Kecelakaan Kerja
2.2.1 Pengertian kecelakaan kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang sudah jelas tidak dikehendaki
dan tidak terduga yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda, atau
properti maupun korban jiwa yang terjadi dalam suatu proses kerja industri atau
berkaitan dengannya (Tarwaka, 2008). Kecelakaan kerja berdasarkan Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan RI no 609 tahun 2012 adalah kecelakaan yang terjadi
berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul akibat
hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat
dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau
wajar dilalui. Dengan demikian kecelakaan kerja mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Tidak diduga semula, oleh karena di belakang peristiwa kecelakaan tidak
terdapat unsur kesengajaan dan juga perencanaan;
10
2. Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan
selalu disertai kerugian baik fisik maupun materi;
3. Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya
menyebabkan gangguan proses kerja;
Berdasarkan tempat kejadiannya kecelakaan kerja dapat dibagi menjadi 2
(dua) kategori utama yaitu:
1. Kecelakaan industri (industrial accident) yaitu suatu kecelakaan yang
terjadi di tempat kerja, karena adanya potensi bahaya yang tidak terkendali;
2. Kecelakaan di dalam perjalanan (community accident) yaitu kecelakaan
yang terjadi di luar tempat kerja dalam kaitannya dengan adanya hubugan
kerja.
2.2.2 Sebab-sebab kecelakaan kerja
Suatu kecelakaan kerja hanya akan terjadi apabila terdapat berbagai fakor-
faktor penyebab secara bersamaan pada suatu tempat kerja atau proses poduksi. Dari
beberapa penelitian para ahli memberikan indikasi bahwa suatu kcelakaan kerja tidak
dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi terjadi oleh suatu atau beberapa faktor
penyebab kecelakaan sekaligus dalam suatu kejadian.
Meski banyak teori yang mengemukakan tentang penyebab terjadinya
kecelakaan kerja, namun secara umum penyebab kecelakaan kerja menurut Tarwaka
(2008) dapat dikelompokan sebagai berikut :
1. Sebab dasar atau asal mula
Sebab dasar merupakan sebab atau faktor yang mendasari secara umum
terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Sebab dasar kecelakaan kerja di
industri meliputi:
11
a. Komitmen atau partisipasi dari pihak manajemen atau pemimpin
perusahaan dalam upaya penerapan K3 di perusahaannya;
b. Manusia atau para pekerjanya sendiri; dan
c. Kondisi tempat kerja, sarana kerja, dan lingkungan kerja.
2. Sebab utama
Sebab utama dari kejadian kecelakaan kerja adalah adanya faktor dan
persyaratan K3 yang belum dilaksanakan secara benar (substandards). Sebab
utama kecelakaan kerja meliputi:
a. Faktor manusia atau dikenal dengan istilah tindakan tidak aman
(Unsafe Action)
Faktor manusia yaitu tindakan berbahaya dari para tenaga
kerja yang mungkin dilatarbelakangi oleh beberapa sebab antara lain:
Kekurangan pengetahuan dan keterampilan (lack of knowledge
and skill);
Ketidakmampuan untuk bekerja secara normal (inadequate
capability);
Ketidakfungsian tubuh karena cacat yang tidak nampak (bodily
defect);
Kelelahan dan kejenuhan (fatique and boredom);
Sikap dan tingkah laku yang tidak aman (unsafe altitude and
habits);
Kebingungan dan stress (confuse and stress) karena prosedur
kerja yang baru belum dapat dipahami;
Belum menguasai/belum terampil dengan peralatan atau mesin-
mesin baru (lack of skill);
12
Penurunan konsentrasi (difficulty in concentrating) dari tenaga
kerja saat melakukan pekerjaan;
Sikap masa bodoh (ignorance) dari tenaga kerja;
Kurang adanya motivasi kerja (improrer motivation) dari tenaga
kerja;
Kurang adanya kepuasan kerja (low job satisfaction);
Sikap cenderung mencelakai diri sendiri; dll
Manusia sebagai faktor penyebab kecelakaan seringkali disebut
sebagai “human error” dan sering disalah-artikan karena selalu
dituduhkan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Padahal sering kali
kecelakaan terjadi karena kesalahan desain mesin dan peralatan kerja
yang tidak sesuai.
b. Faktor lingkungan atau dikenal dengan kondisi tidak aman (unsafe
conditions)
Faktor lingkungan yaitu kondisi tidak aman dari: mesin, peralatan,
pesawat, bahan, lingkungan dan tempat kerja, proses kerja, sifat
pekerjaan, dan sistem kerja. Lingkungan dalam arti luas dapat diartikan
tidak saja lingkungan fisik, tetapi juga faktor-faktor yang berkaitan
dengan penyediaan fasilitas, pengalaman manusia yang lalu maupun
sesaat sebelum bertugas, pengaturan organisasi kerja, hubungan sesame
pekerja, kondisi ekonomi dan politik yang bisa mengganggu konsentrasi.
c. Interaksi manusia dan sarana pendukung kerja
Interaksi manusia dan sarana pendukung kerja merupakan
sumber penyebab kecelakaan. Apabila interaksi antara keduanya tidak
sesuai maka akan menyebabkan terjadinya suatu kesalahan yang
13
mengarah pada terjadinya kecelakaan kerja. Dengan demikian,
penyediaan sarana kerja yang sesuai dengan kemampuan, kebolehan,
dan keterbatasan manusia, harus sudah dilaksanakan sejak desain
sistem kerja. Suatu pendekatan yang holistic, sistemic, dan
interdisiplinary harus diterapkan untuk mencapai hasil yang optimal,
sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah.
2.2.3 Klasifikasi kecelakaan kerja
Menurut International Labour Organization (ILO) dalam buku Tarwaka
(2008), kecelakaan kerja di industri dapat diklasifikasikan menurut jenis kecelakaan,
agen penyebab atau objek kerja, jenis cidera atau luka dan lokasi tubuh yang terluka.
Klasifikasi kecelakaan kerja di industri secara garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan
a. Terjatuh
b. Tertimpa atau kejatuhan benda atau objek kerja
c. Tersandung benda atau objek, terbentur kepada benda, terjepit antara dua
benda
d. Gerakan-gerakan paksa atau perenggangan otot berlebihan
e. Terpapar kepada atau kontak dengan benda panas atau suhu tinggi
f. Terkena arus listrik
g. Terpapar kepada atau bahan-bahan berbahaya atau radiasi, dll.
2. Klasifikasi menurut agen penyebabnya
a. Mesin-mesin, seperti: mesin penggerak kecuali motor elektrik, mesin
transmisi, mesin-mesin produksi, mesin-mesin pertambangan, mesin-
mesin pertanian, dll.
14
b. Sarana alat angkat dan angkut, seperti: for-lift, alat angkut kereta, alat
angkut beroda selain kereta, alat angkut di perairan, alat angkut di udara,
dll.
c. Peralatan-peralatan lain, seperti: bejana tekanan, tanur/dapur peleburan,
instalansi listrik termasuk motor listrik, alat-alat tangan listrik, perkakas,
tangga, perancah, dll.
d. Bahan-bahan berbahaya dan radiasi, seperti: bahan mudah meledak, debu,
gas cairan, bahan kimia, radiasi, dll.
e. Lingkungan kerja, seperti: tekanan panas dan tekanan dingin, intensitas
kebisingan tinggi, getaran, ruang di bawah tanah, dll.
3. Klasifikasi menurut jenis luka dan cederanya
a. Patah tulang
b. Keseleo/dislokasi/terkilir
c. Kenyerian otot dan kejang
d. Gagarotak dan luka bagian dalam lainnya
e. Amputasi dan enukleasi
f. Luka tergores dan luka luar lainnya
g. Memar dan retak
h. Luka bakar
i. Keracunan akut
j. Aspixia atau sesak nafas
k. Efek terkena arus listrik
l. Efek terkena paparan radiasi
m. Luka pada bayak tempat di bagian tubuh, dll.
15
4. Klasifikasi menurut lokasi bagian tubuh yang terluka
a. Kepala; leher; badan; lengan; kaki; berbagai bagian tubuh
b. Luka umum, dll.
2.2.4 Tingkat keparahan kecelakaan kerja
Berdasarkan pada standar Occupational Safety and Health Administration
(OSHA) dalam penelitian Tarigan (2011), tingkat keparahan semua luka yang
diakibatkan oleh kecelakaan dapat dibagi menjadi:
1. Perawatan ringan (first aid)
Perawatan ringan merupakan suatu tindakan atau perawatan terhadap
luka kecil yang tidak memerlukan perawatan lebih atau perawatan medis
(medical treatment) walaupun pertolongan pertama itu dilakukan oleh dokter
atau paramedis. Perawatan ringan ini juga merupakan perawatan dengan
kondisi luka ringan, bukan tindakan perawatan darurat dengan luka yang
serius.
2. Perawatan medis (medical treatment)
Perawatan medis merupakan perawatan dengan tindakan atau
perawatan untuk luka yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis
profesional seperti dokter ataupun paramedis.
3. Hari kerja yang hilang (lost work days)
Lost work days atau lebih terkenal dengan lost time injury adalah
kehilangan jam kerja akibat kecelakaan. Hari kerja yang hilang ialah hari
kerja dimana sesorang pekerja tidak dapat mengerjakan seluruh tugas
rutinnya karena mengalami kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang
dideritanya. Hari kerja hilang ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
16
a. Jumlah hari tidak bekerja (days away from work) yaitu semua hari kerja
dimana sesorang pekerja tidak dapat mengerjakan setiap fungsi
pekerjaannya karena kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang
dideritanya.
b. Jumlah hari kerja dengan aktivitas terbatas (days of restricted activities),
yaitu semua kerja dimana seorang pekerja karena mengalami kecelakaan
kerja atau sakit akibat pekerjaan yang dideritanya, dialihkan sementara ke
pekerjaan lain atau pekerja tetap bekerja pada tempatnya tetapi tidak
dapat mengerjakan secara normal seluruh tugasnya. Untuk kedua kasus di
atas, terdapat pengecualian pada hari saat kecelakaan atau saat terjadinya
sakit, hari libur, cuti, dan hari istirahat.
4. Kematian (fatality)
Kematian merupakan sesuatu hal yang terjadi tanpa memandang
waktu yang sudah berlalu antara saat terjadinya kecelakaan kerja ataupun
sakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang dideritanya dan saat korban
meninggal.
2.2.5 Dampak akibat kecelakaan kerja
Kecelakaan kerja akan menimbulkan dampak seperti kesakitan, cacat,
kehilangan penghasilan, kehilangan kapasitas kerja, kekacauan dalam keluarga,
kehidupan sosial, serta kematian. Tiap dampak yang ditimbulkan merupakan suatu
kerugian, yang antara lain tergambar dari pengeluaran dan besarnya biaya
kecelakaan. Dampak akibat kecelakaan kerja seringkali menyebabkan biaya yang
dikeluarkan sangat besar, padahal biaya tersebut bukan semata-mata beban suatu
peusahaan melainkan juga beban masyarakat dan negara secara keseluruhan
(Suma’mur, 2009).
17
Secara garis besar kerugian akibat kecelakaan kerja menurut Tarwaka (2008)
adalah sebagai berikut:
1. Kerugian/biaya langsung (direct cost) yaitu suatu kerugian yang dapat
dihitung secara langsung dari terjadinya kecelakaan sampai dengan tahap
rehabilitasi, seperti:
a. Penderitaan yang dialami oleh tenaga kerja yang mendapat
kecelakaan serta keluarganya;
b. Biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;
c. Biaya pengobatan dan perawatan;
d. Biaya angkut dan biaya rumah sakit;
e. Biaya kompensasi pembayaran asuransi kecelakaan;
f. Upah selama tidak mampu bekerja;
g. Biaya perbaikan peralatan yang rusak, dll.
2. Kerugian/biaya tidak langsung (indirect cost) yaitu kerugian yang tidak dapat
dihitung secara langsung dan merupakan kerugian berupa biaya yang
dikeluarkan dan meliputi suatu yang tidak terlihat pada waktu atau beberapa
waktu setelah terjadinya kecelakaan, seperti:
a. Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja yang mengalami
kecelakaan;
b. Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja lain seperti rasa ingin tahu
dan rasa simpati untuk membantu tenaga kerja yang mengalami
kecelakaan;
c. Terhentinya proses prouksi untuk beberapa waktu, kegagalan dalam
mencapai target produksi, kehilangan bonus, dll;
d. Kerugian akibat kerusakan mesin, perkakas serta alat kerja lainnya;
18
e. Munculnya stres dan ketegangan serta menurunnya mental dan
moral tenaga kerja yang mengalami kecelakaan.
2.2.6 Pencegahan kecelakaan kerja
Setiap kecelakaan kerja jelas akan menyebabkan kerugian yang berdampak
buruk bagi tenaga kerja maupun pihak-pihak lainnya. Menurut Suma’mur (2009),
metoda analisis penyebab kecelakaan harus betul-betul diketahui dan diterapkan
sebagaimana mestinya. Selain analisis mengenai penyebab terjadinya kecelakaan,
sangat penting dilakukan pencegahan terjadinya kecelakaan kerja seperti
mengidentifikasi bahaya yang terdapat dan mungkin akan mengakibatkan insiden
kecelakaan di perusahaan serta mengakses (assessment) besarnya risiko bahaya.
Berikut merupakan beberapa pencegahan dari berbagai sektor, yaitu:
1. Sektor pemerintah
a. Menetapkan peraturan atau undang-undang untuk mengatur standar
keamanan minimal;
b. Memantapkan pengawasan dan/atau inspeksi;
c. Mengumpulkan data kecelakaan kerja.
2. Sektor pemilik dan manajemen
a. Membuat dan menerapkan kesepakatan kebijakan keamanan;
b. Menerapkan program keamanan secara berkesinambungan;
c. Supervisi, review, dan implementasi program keamanan oleh staf
manajemen.
3. Sektor serikat pekerja dan tenaga kerja
a. Program kesehatan masyarakat untuk keamanan;
b. Berperan serta dalam panitia/komisi keamanan;
c. Penyediaan dan pemakaian pakaian pengaman.
19
4. Sektor petugas keselamatan dan kesehatan kerja
a. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja;
b. Kontribusi penetapan program keamanan kerja;
c. Penyuluhan keselamatan dan kesehatan kerja;
d. Analisis data kecelakaan kerja;
e. Advis perbaikan lingkungan kerja.
f. P3K dan rehabilitasi akibat kecelakaan kerja.
2.3 BPJS Ketenagakerjaan
BPJS Ketenagakerjaan merupakan salah satu salah satu institusi pelayanan
publik dibidang jaminan sosial. BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya adalah PT.
Jamsostek (Persero) merupakan salah satu institusi pelayanan publik di bidang
jaminan sosial. Sesuai dengan UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS berubah nama
menjadi BPJS Ketenagakerjaan sejak 1 Januari 2014. PT. Jamsostek (Persero)
dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset, liabilitas, serta hak dan kewajiban
dari PT. Jamsostek (Persero) dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Ketenagakerjaan merupakan milik badan hukum publik yang bertanggung jawab
langsung pada presiden dengan prinsip nirlaba. Akan tetapi BPJS Ketenagakerjaan
baru beroperasi penuh pada 1 Juli 2015.
Program-program dari PT. Jamsostek (persero) juga dihibahkan ke BPJS
Ketenagakerjaan karena PT. Jamsostek tetap dipercaya untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial tenaga kerja. Adapun program-program dari BPJS
Ketenagakerjaan saat ini yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM),
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Pensiun (JP). Berikut merupakan
pengertian dari tiap program yang dituangkan dalam Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan RI No. 26 Tahun 2015, yaitu : (1) Jaminan Hari Tua (JHT) adalah
20
manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia
pension, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap; (2) Jaminan Kematian
(JKM) adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta
meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja; (3) Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK) adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang
diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja;
(4) Jaminan Pensiun (JP) adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk
mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya
dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami
cacat total tetap, atau meninggal dunia.
BPJS Ketenagakerjaan berbeda dengan BPJS Kesehatan akan tetapi sama-
sama merupakan program pemerintah dalam kesatuan JKN yang diresmikan pada
tanggal 31 Desember 2013. BPJS Kesehatan ditugaskan khusus oleh pemerintah
untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat
Indonesia dan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014.
BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Kesehatan saling terikat untuk
melakukan koordinasi pelayanan. Koordinasi pelayanan dengan program Jaminan
Kesehatan Nasional memiliki prinsip yaitu:
a. BPJS Kesehatan tidak menjamin pelayanan kesehatan yang telah
dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap Kecelakaan
Kerja atau Penyakit Akibat Kerja (KK-PAK).
b. BPJS Ketenagakerjaan merupakan penjamin dari program jaminan KK-
PAK.
c. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan melakukan koordinasi
pelayanan dan bukan koordinasi manfaat.
21
d. Koordinasi pelayanan terkait mekanisme administrasi penjaminan
peserta yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat
kerja di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
e. Hak kelas peserta di BPJS Ketenagakerjaan adalah kelas I di Rumah
Sakit Pemerintah atau Rumah Sakit Swasta yang setara dan hak kelas
peserta di BPJS Kesehatan sesuai dengan ketentuan hak rawat
berdasarkan besaran iuran yang telah ditentukan maksimal kelas I.
f. Peserta yang mendapatkan koordinasi pelayanan adalah peserta BPJS
Ketenagakerjaan yang juga merupakan peserta BPJS Kesehatan.
2.4 Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
2.4.1 Tata cara pendaftaran
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015
Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan
Kematian Pasal 53, pemberi kerja selain penyelenggara negara pada skala usaha
besar, menengah, kecil dan mikro yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi
yang mempekerjakan pekerja harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu
tertentu, wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program JKK, JKM, dan JHT dengan
mengisi formulir sebagai berikut:
Formulir 1 yaitu pendaftaran perusahaan
Formulir 1a yaitu pendaftaran pekerja
Rekaptulasi rincian pembayaran iuran
Rincian iuran pekerja
Pemberi kerja wajib menyampaikan formulir tersebut yang telah diisi secara
lengkap meliputi data dirinya, data pekerjaannya, dan anggota keluarganya kepada
22
BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 30 hari kerja sejak formulir pendaftaran
diterima yang dibuktikan dengan tanda terima. BPJS Ketenagakerjaan juga wajib
mengeluarkan nomor kepesertaan paling lambat 1 hari dan menerbitkan kartu
kepersertaan paling lambat 7 hari sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap
dan benar serta iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
2.4.2 Kepesertaan
Setiap pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang yang
bekerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta dalam program
JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Peserta program JKK terdiri dari:
1. Peserta penerima upah yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara
negara meliputi:
a. Pekerja pada perusahaan;
b. Pekerja pada orang perseorangan; dan
c. Orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
2. Peserta bukan penerima meliputi:
a. Pemberi kerja;
b. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri; dan
c. Pekerja yang tidak termasuk huruf b yang bukan menerima upah.
2.4.3 Besar iuran jaminan kecelakaan kerja
Iuran JKK tiap peserta berbeda-beda baik peserta penerima upah dan peserta
bukan penerima upah. Iuran JKK bagi peserta bukan penerima upah didasarkan pada
nilai nominal tertentu dari penghasilan peserta dan dipilih oleh peserta sesuai
penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan bagi peserta penerima upah
23
dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok tingkat risiko lingkungan kerja, yaitu pada
tabel berikut:
Tabel 2.1 besaran persentas iuaran jkk berdasarkan tingkatan risiko lingkungan kerja.
Besarnya iuran JKK bagi setiap perusahaan ditetapkan oleh BPJS
Ketenagakerjaan dengan berpedoman pada kelompok tingkat risiko lingkungan kerja
sebagaimana tercantum dalam lampiran pada PP No 44 tahun 2015 yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah tersebut.
2.4.4 Ruang lingkup kecelakaan kerja
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 609 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan
Kerja dan Penyakit Akibat Kerja, suatu kasus dinyatakan kasus kecelakaan kerja
apabila terdapat unsur ruda paksa yaitu cedera pada tubuh manusia akibat suatu
peristiwa atau kejadian (seperti terjatuh, terpukul, tertabrak dan lain-lain) dengan
kriteria sebagai berikut:
1. Kecelakaan terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat
kerja atau sebaliknya melalui jalan yang biasa dilalui atau wajar dilalui.
No. Tingkat risiko lingkungan
kerja
Besaran persentase
1. Tingkat risiko sangat rendah 0,24 % dari upah sebulan
2. Tingkat risiko rendah 0,54 % dari upah sebulan
3. Tingkat risiko sedang 0,89 % dari upah sebulan
4. Tingkat risiko tinggi 1,27 % dari upah sebulan
5. Tingkat risiko sangat tinggi 1,74 % dari upah sebulan
24
Pengertian kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah
menuju tempat kerja adalah sejak tenaga kerja tersebut keluar dari halaman
rumah dan berada di jalan umum
2. Pengertian kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja mempunyai arti
yang luas, sehingga sulit untuk diberikan batasan secara konkrit. Namun
demikian sebagai pedoman dalam menentukan apakah suatu kecelakaan
termasuk kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja dapat dilihat dari:
a. Kecelakaan terjadi di tempat kerja;
b. Adanya perintah kerja dari atasan/pemberi kerja/pengusaha untuk
melakukan pekerjaan;
c. Melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan;
dan/atau
d. Melakukan hal-hal lain yang sangat penting dan mendesak dalam jam
kerja atas izin atau sepengetahuan perusahaan.
3. Penyakit Akibat Kerja yang selanjutnya disingkat PAK (Occupational
Disease) yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan
kerja yang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 disebut
Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.
Kondisi lain yang dapat dikategorikan sebagai kecelakaan kerja di luar
ketentuan sebagaimana dimaksud di atas yaitu:
1. Pada hari kerja:
a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan perjalanan dinas
sepanjang kegiatan yang dilakukan ada kaitannya dengan pekerjaan
dan/atau dinas untuk kepentingan perusahaan.
25
b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan kerja lembur
2. Di luar waktu/jam kerja:
a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melaksanakan aktivitas lain yang
berkaitan dengan kepentingan perusahaan dan harus dibuktikan dengan
surat tugas dari perusahaan. Contoh: melaksanakan kegiatan olahraga
untuk menghadapi pertandingan 17 Agustus, pelatihan/diklat, darma
wisata dan outbound yang dilaksanakan perusahaan sebagai kegiatan
yang telah diagendakan oleh perusahaan.
b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan sedang
menjalankan cuti mendapat panggilan atau tugas dari perusahaan, maka
perlindungannya adalah dalam perjalanan pergi dan pulang untuk
memenuhi panggilan tersebut.
c. Kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi dan pulang dari Base
Camp atau anjungan yang berada di tempat kerja menuju ke tempat
tinggalnya untuk menjalani istirahat.
d. Kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi dan pulang melalui jalan
yang biasa dilalui atau wajar bagi tenaga kerja yang setiap akhir pekan
kembali ke rumah tempat tinggal yang sebenarnya (untuk tenaga kerja
yang sehari-hari bertempat tinggal di rumah kost/mess/asrama dll).
e. Penyakit akibat hubungan kerja/penyakit terkait kerja (work related
disease) adalah penyakit yang dicetuskan atau diperberat oleh pekerjaan
atau lingkungan kerja tidak termasuk PAK. Contoh: seseorang yang telah
menderita penyakit asma sejak kecil kemudian bekerja sebagai tukang
serut kayu. Polutan hasil kerja berupa debu partikel kayu tersebut
memperparah penyakit astma yang dideritanya.
26
f. Meninggal mendadak di tempat kerja pada hakekatnya bukan kecelakaan
kerja, namun karena kejadiannya sedang bekerja di tempat kerja, maka
pemerintah memberikan suatu kebijakan perluasan perlindungan
sehingga meninggal mendadak di tempat kerja dianggap sebagai
kecelakaan kerja. Kepada yang bersangkutan diberikan jaminan
kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan
Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Untuk
memperoleh jaminan kecelakaan kerja akibat meninggal mendadak di
tempat kerja harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. tenaga kerja pada saat bekerja di tempat kerja tiba-tiba meninggal
dunia tanpa melihat penyebab dari penyakit yang dideritanya.
b. tenaga kerja pada saat bekerja di tempat kerja mendapat serangan
penyakit kemudian langsung dibawa ke dokter/unit pelayanan
kesehatan/rumah sakit dan tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam
kemudian meninggal dunia.
2.4.5 Manfaat jaminan kecelakaan kerja
Peserta yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja berhak
atas manfaat JKK. Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian berupa:
1. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis yang meliputi:
a. pemeriksaan dasar dan penunjang;
27
b. perawatan tingkat pertama dan lanjutan;
c. rawat inap kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah
daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;
d. perawatan intensif;
e. penunjang diagnostik;
f. pengobatan;
g. pelayanan khusus;
h. alat kesehatan dan implan;
i. jasa dokter/medis;
j. operasi;
k. transfusi darah; dan/atau
l. rehabilitasi medik.
2. Santunan berupa uang meliputi:
a. penggantian biaya pengangkutan peserta yang mengalami kecelakaan
kerja atau penyakit akibat kerja, ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya,
termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;
b. santunan sementara tidak mampu bekerja;
c. santunan cacat sebagian anatomis, cacat sebagian fungsi, dan cacat total
tetap;
d. santunan kematian dan biaya pemakaman;
e. santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila peserta meninggal
dunia atau cacat total tetap akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat
kerja;
f. biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat
pengganti (prothese);
28
g. penggantian biaya gigi tiruan; dan/atau
h. beasiswa pendidikan anak sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah) bagi setiap peserta yang meninggal dunia atau cacat total tetap
akibat kecelakaan kerja.
3. Program Kembali Bekerja (Return to Wowk) berupa pendampingan kepada
peserta yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
berpotensi mengalami kecacatan, mulai dari peserta masuk perawatan di
rumah sakit sampai peserta tersebut dapat kembali bekerja.
4. Kegiatan promotif dan preventif untuk mendukung terwujudnya keselamatan
dan kesahatan kerja dan penyakit akibat kerja.
2.4.6 Tata cara pelaporan jaminan kecelakaan kerja
Sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 26 tahun 2015
yang dituangkan dalam BAB III yaitu tentang tata cara pelaporan dan penetapan
jaminan kecelakaan kerja dengan Pasal 7 yaitu pemberi kerja selain penyelenggara
negara wajib melaporkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang menimpa
tenaga kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan instansi setempat yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Laporan JKK
dibagi menjadi dua tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap I
Pemberi kerja wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2x24 jam sejak
terjadinya kecelakaan kerja sebagai laporan tahap I.
29
2. Tahap II
Peserta dan atau pemberi kerja wajib melaporkan akibat kecelakaan
atau penyakit akibat kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih
dari 2x24 jam sejak pekerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal
dunia sebagai laporan tahap II, ditambah dengan peserta yang masih
melakukan perawatan di Rumah Sakit yang bekerja sama dengan BPJS
Ketenagakerjaan. Laporan tahap II berdasarkan surat keterangan dokter
yang menerangkan bahwa:
a. Keadaan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) telah berakhir;
b. Cacat total tetap untuk selamanya;
c. Cacat sebagian anatomis;
d. Cacat sebagian fungsi; atau
e. Meninggal dunia.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekaligus merupakan
pengajuan manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan
persyaratan yang meliputi:
a. Fotokopi kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. Surat keterangan dokter yang memeriksa/merawat dan/atau dokter
penasehat;
d. Kuitansi biaya pengangkutan;
e. Kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan, bila fasilitas pelayanan
kesehatan yang digunakan belum bekerjasama dengan BPJS
Ketenagakerjaan; dan