Post on 14-Feb-2018
9
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Karakteristik Produk
Banyaknya variasi produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan merupakan
suatu langkah untuk menghadapi persaingan dalam merebut pangsa pasar. Terbukti
Toyota setelah me-launching Toyota Avanza, berhasil merebut antusiasme masyarakat.
Karakteristik produk merupakan salah satu alasan yang membuat produk tersebut laku
dipasaran. Ryerson (2009) mengatakan karakteristik suatu produk merupakan modal
atau atribut penting, sejauh mana produk tersebut mampu memberikan keuntungan
untuk memenuhi tujuan yang lebih besar. Dengan kata lain, karakteristik produk adalah
suatu pola yang akan menentukan suatu produk layak untuk di konsumsi atau tidak.
Definisi lain oleh Kottler & Keller (2006) bahwa karakteristik produk adalah kondisi
yang berbeda / khusus suatu produk dari para pesaing yang dapat ditawarkan kepada
para pelanggan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, setiap produk memiliki
karakteristik yang unik dan berbeda. Selain itu, pemasar berusaha menciptakan produk
dengan karakteristik tertentu yang unik sehingga pelanggan memiliki persepsi yang unik
juga terhadap produk.
Dalam industri otomotif, perlombaan untuk menciptakan suatu produk baru yang
dapat meraih pangsa pasar merupakan hal yang sangat penting. Perusahaan yang dapat
10
menciptakan suatu produk dengan memiliki kelebihan pada karakteristik produknya,
merupakan nilai tambah yang akan membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya.
Perusahaan akan lebih mudah menentukan pangsa pasar yang akan dibidik nantinya.
Seperti pada Toyota Astra Motor yang memperkenalkan Toyota Avanza pertama kali
pada tahun 2004. Mobil tersebut langsung mendapatkan antusiasme yang cukup besar di
Indonesia. Selain harga yang sangat terjangkau, mobil tersebut sudah memiliki
spesifikasi yang lengkap untuk berada pada segmen kelas city car seperti penambahan
pada sensor parkir, CD-Player, dan sporty design pada bumper. Toyota Avanza juga
dapat dikategorikan mobil keluarga yang memiliki kapasitas daya angkut yang tidak
kalah dengan MPV car. Hal tersebut yang menjadikan Toyota Avanza laku dipasaran
dan memiliki karakteristik produk yang kuat di mata konsumen.
Peter & Olson (2002) mendiskripsikan tujuh karakteristik yang harus dimiliki
oleh sebuah produk baru agar sukses dalam menjaring pelanggan. Ketujuh faktor itu
antara lain :
1. Compability, adalah derajat kekonsistenan produk terhadap berbagai kebutuhan
konsumen yang berbeda-beda.
2. Trialability, dapat dicoba sehingga konsumen dapat mengetahui dan memahami
fungsi produk secara langsung.
3. Observability, adalah kemampuan produk untuk dapat dilihat dan dirasakan oleh
orang lain.
11
4. Speed, adalah seberapa cepat keunggulan dari produk dapat dirasakan oleh
konsumen.
5. Simplicity, adalah kemudahan produk untuk dimengerti dan digunakan.
6. Product Simbolys, adalah bagaimana tingkat kepentingan suatu produk atau merek
bagi konsumen.
Gambar 2.1 Karakteristik Produk Toyota Avanza
12
2.2. Harga Jual Kembali
Sewaktu konsumen memutuskan untuk melakukan pembelian atas suatu produk,
mereka telah melakukan peritungan terlebih dahulu bahwa produk tersebut akan
mengalami depresiasi. Maksudnya adalah modal atas pembelian produk tersebut akan
mengalami penyusutan setiap tahunnya untuk periode tertentu. Banyak pelanggan
sewaktu membeli sebuah produk memasukkan faktor harga jual kembali (resale value)
sebagai pertimbangan dalam memutuskan merek atas produk yang akan dibelinya untuk
manfaat di masa yang akan datang. Oleh karena itu menurut Dalvi (2010) mengatakan
bahwa harga jual kembali (resale value) merupakan salah satu faktor yang sangat
penting untuk di perhatikan sebelum membeli sebuah mobil.
Diantara produk – produk yang ada di Indonesia, Toyota merupakan salah satu
produk yang memiliki harga jual kembali (resale value) yang cukup stabil. Hal ini
diperkuat pada Harian Koran Jakarta (http://www.koranjakarta.com/print-
berita.php?id=48164), yang menjelaskan bahwa harga jual kembali untuk produk Toyota
Avanza dan Daihatsu Xenia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan produk mobil
MPV lainnya. Di Indonesia sekarang ini penjualan untuk produk Avanza per Januari
sampai November 2004 mencapai angka 9.574 unit, yang mencatat kenaikan luar biasa
dengan angka penjualan terbesar sepanjang sejarah Avanza. Hal tersebut menandakan
bahwa pangsa pasar di Indonesia cukup bagus.
13
Menurut Kumar 2001, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Image.
Pembeli menganggap produk tersebut membuat perbedaan – perbedaan besar
pada sisi manfaat dan keunggulan. Contohnya mobil – mobil Amerika lebih
menggunakan bahan bakar adiktif yang mengutamakan kinerja mesin dan
torsi, sedangkan mobil Jepang lebih kepada bahan bakar yang efisien, hemat,
dan ramah lingkungan.
2. Spare parts Availability.
Kecelakaan seringkali menyebabkan mobil yang di kendarai harus di
perbaiki. Perbaikan – perbaikan tersebut tentu membutuhkan spare part baru.
Kemudahan dan kelengkapan dalam mendapatkan spare part yang
dibutuhkan menjadi salah satu alasan mengapa produk Toyota memiliki
resale value yang stabil.
3. Maintenance.
Mobil sekelas Toyota Avanza memiliki tingkat pemeliharaan yang tidak
terlalu mahal dibandingkan dengan mobil – mobil Eropa. Selain murah,
tempat service berkala yang tidak terlalu sulit ditemui menjadi salah satu
faktor Toyota Avanza memiliki resale value yang stabil.
4. After Sales Service
Total Quality Service menjadi kelebihan Toyota untuk selalu memberikan
yang terbaik untuk para pelanggannya, seperti Service Reminder yang
14
bertujuan untuk mengingatkan para pelanggannya untuk melakukan servis
pertama 1000 km dan servis berkala selanjutnya secara rutin.
Bell dalam Kelley Blue Book (2009) juga menjabarkan bahwa kendaraan
memiliki masa manfaat selama kurang lebih lima tahun dan setelah itu umur ekonomis
suatu kendaraan akan berpengaruh kepada harga jual kembali kendaraan tersebut. Nilai
jual kembali kendaraan juga di dasarkan pada penawaran dan permintaan saat ini dan
proyeksi kondisi pasar di masa mendatang. Kendaraan yang dapat mempertahankan nilai
jual kembali sangat jarang di jual dengan diskon ataupun promosi – promosi lainnya dan
cenderung menghasilkan antusiasme konsumen yang sangat tinggi.
2.3. Ekuitas Merek
Banyak perusahaan yang sukses membangun merek. Merek yang kuat dan
melekat dibanyak benak konsumen amat penting untuk kesuksesan merek tersebut.
Pertanyaannya adalah, kenapa merek mempunyai peran yang demikian penting bagi
perusahaan. Merek, menurut Garlbaldi (2003), didefinisikan sebagi kombinasi dari
atribut – atribut, dikomunikasikan melalui nama atau simbol, yang dapat mempengaruhi
proses pemilihan suatu produk / layanan di benak konsumen. Merek akan bernilai jika
konsumen mempunyai pengalaman yang positif terhadaprnya.
Menurut Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2002:2), ada beberapa faktor yang
menjadikan merek sangat penting :
15
a. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi
menjadi konsisten dan stabil.
b. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa
suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya.
c. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen.
Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen
dan makin banyak asosiasi merek yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika
asosiasi merek yang terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat,
potensi ini akan meningkatkan citra merek.
d. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek
yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen.
e. Merek berkembang menjadi sumber asset terbesar bagi perusahaan.
Menurut Susanto dan Wijanarko (2004:2), ekuitas merek adalah istilah yang
sering digunakan untuk mengukur besaran nilai sebuah merek. Banyak merek yang
beredar dipasaran memiliki ekuitas merek yang lebih besar daripada asset
perusahaannya sendiri. Dalam menghadapi persaingan ketat, merek yang kuat
merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai, dan berkesinambungan, menjadi ujung
tombak bagi daya saing perusahaan dan sangat membantu dalam strategi pemasaran.
Kotller (2004:214) mendefinisikan ekuitas merek sebagai efek diferensial positif
yang ditimbulkan oleh pengetahuan nama merek terhadap pelanggan atas produk atau
16
jasa tersebut. Selain itu, pemasar berusaha menciptakan produk dengan karakteristik
tertentu yang unik sehingga pelanggan memiliki persepsi yang unik juga terhadap
produk.
Konsistensi sangatlah dibutuhkan untuk membangun suatu merek. Menurut
Keller (2000), merek dikatakan kuat dan sehat jika mampu mengkapitalisasi pendapatan
atau cash flow jauh lebih baik dibanding tanpa merek. Keller juga mengajukan sebuah
model pengembangan merek yang disebut sebagai customer-based brand equity. Model
CBBE ini didasarkan pada empat pertanyaan utama :
Gambar 2.2.CBBE (Customer-Based Brand Equity)
CBBE by : Keller (2000)
Consumer Brand
Resonance
Consumer Judgement
Consumer Feeling
Brand Imagery
Brand Performace
Brand Salience
Relationship : What about u &
me
Response : What about u
Meaning : What are u
Identity : Who are u
Deep, Broad Brand Awareness
Strong, Favorable & Unique Brand
Association
Positif, Accesible Response
Intense, Active Relationship
17
a. Seberapa jauh perusahaan dapat secara jelas merumuskan indentitas merek
(who are you?)
b. Seberapa jauh perusahaan mengembangkan asosiasi yang mempunyai arti
tertentu bagi konsumennya (what are you?)
c. Bagaimana tanggapan konsumen terhadap asosiasi yang ditawarkan oleh
merek (what about you?)
d. Seberapa jauh interaksi yang terjadi antara konsumen dan merek
menyebabkan ikatan antara keduanya menjadi lebih kuat (what about you
and me?)
Membangun sebuah merek dari nol dan tumbuh menjadi besar bukan perkara
mudah. Merek besar seperti Toyota, tentunya telah mengalami persaingan pasar yang
cukup lama untuk dapat diterima didunia internasional. Banyak penyebab sebuah merek
bisa tenggelam, hilang atau mati. Faktor – faktor yang menyebabkan hal tersebut
diantaranya adalah : (Handi Chandra, 2008:135)
1. Salah urus (mis-management)
Salah urus bisa diartikan ketidakcakapan pemimpin perusahaan membawa merek
tersebut maju, unggul, dan memenangi persaingan. Merek bisa tenggelam akibat
konflik internal, seperti terjadi perebutan merek antar pemegang saham.
18
2. Ketinggalan jaman
Terjadi perubahan eksternal diluar kendali yang tidak bisa diatasi oleh manajemen.
Merek besar umumnya mampu mengatasi perubahan – perubahan dan
menyesuaikan diri terhadapnya. Contoh dulu bisnis utama Indosat adalah SLI dan
akibat adanya internet, bisnis ini merosot tajam. Indosat saat ini masih merupakan
merek unggulan, karena ia sudah mengantisipasi perubahan tersebut jauh hari
dengan masuk ke bisnis selular.
3. Kalah Bersaing
Ada pesaing tangguh yang masuk dan memenangkan persaingan. Contoh Google
yang berhasil masuk dengan inovasi – inovasi yang baru dan memenangkan
persaingan mengalahkan Yahoo!.
Merek yang kuat akan membuat konsumen menjadi lebih yakin, nyaman, dan
aman ketika membeli produk dengan merek tersebut. Menurut Farquhar (1989), ada tiga
tahapan yang perlu diperhatikan dalam membangun dan me-manage Brand Equity, yaitu
1. Introduction
Memperkenalkan produk yang berkualitas dengan strategi menggunakan merek
sebagai platform untuk tujuan peluncuran produk di masa mendatang. Sebuah
evaluasi positif oleh konsumen sangatlah penting.
19
2. Elaboration
Membuat merek mudah diingat dan mengembangkan penggunaan ulang. Harus ada
akses untuk brand attitude, yaitu agar konsumen mudah mengingat hasil positif dari
evaluasi merek tersebut.
3. Fortification
Merek harus membawa citra yang konsisten dari waktu ke waktu untuk memperkuat
merek itu sendiri di benak konsumen dan mengembangkan hubungan khusus
dengan konsumen. Eksistensi merek lebih lanjut dapat membentengi sebuah merek,
tetapi hanya dengan produk – produk terkait yang memiliki kecocokan dalam benak
konsumen.
2.4. Intensi Pembelian
Pembelian terjadi karena adanya consumer needs yang memaksa seseorang untuk
membeli sebuah produk seperti, kebutuhan akan fisiologis dasar (makanan, istirahat);
kebutuhan akan keselamatan; kebutuhan akan hubungan dengan orang lain (rekan,
sahabat); dan kebutuhan akan kepuasan pribadi. Disamping itu pula, suatu proses
pembelian dapat terjadi karena adanya persepsi konsumen yang sangat selektif dalam
memilih informasi tentang suatu produk. (Cravens 2004:93)
Pembelian terhadap suatu produk tidak terjadi secara instan, namun konsumen
pasti memikirkan banyak faktor sebelum membeli sebuah produk yang di inginkan.
20
Lavidge dan Steiner (1961) mengatakan bahwa ada enam tahapan proses yang dilalui
oleh konsumen sebelum memutuskan untuk melakukan pembelian, antara lain :
Gambar 2.3 Decision-making Process
Decision-making Process by : Lavidge dan Steiner (1961)
a. Problem Recognition
Tahap ini adalah tahap dimana konsumen menyadari adanya suatu
kebutuhan, lalu mulai mencari solusi untuk memecahkan masalah kebutuhan
tersebut. Masalah kebutuhan mencakup banyak hal, mulai dari kebutuhan
keluarga seperti mengantar anak ke sekolah, liburan dengan keluarga sampai
Need Recognition & Problem Awareness
Information Search
Alternative evaluation
Purchase decision
Post-purchase evaluation
21
pada kebutuhan untuk berniaga seperti mengangkut banyak barang dagang,
kendaraan antar jemput karyawan dan lain-lain. Masalah tersebut yang
menyebabkan adanya suatu dorongan yang kuat kepada konsumen untuk
segera memustuskan produk seperti apakah yang harus dibeli.
b. Information Search
Tahapan selanjutnya dalam proses penentuan keputusan, yaitu
pencarian informasi. Ketika konsumen menyadari terdapatnya sebuah masalah
dan masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pembelian sebuah produk
atau jasa, mereka mulai melakukan pencarian informasi yang dibutuhkan
untuk membeli produk atau jasa tersebut. Pencarian awal seringkali dimulai
dari mencari informasi yang tersimpan di pikiran mengenai pengalaman yang
mungkin dulu pernah dirasakan.
Hal ini berkaitan dengan dimensi dari ekuitas merek yaitu Brand
Association, dimana konsumen memiliki ingatan tertentu terhadap suatu
produk dan keterikatan terhadap sebuah merek akan lebih kuat apabila
didasarkan kepada pengalaman untuk mengkomunikasikannya. Proses
pencarian informasi dari diri sendiri disebut dengan internal search. Untuk
beberapa pembelian produk atau jasa yang sifatnya rutin, atau berulang,
pencarian internal cukup untuk membandingkan beberapa alternative
pembelian dan memutuskan akan membeli apa. Namun jika pencarian internal
22
tidak dapat memberikan cukup informasi, maka dibutuhkan pencarian
eksternal. Beberapa sumber pencarian eksternal :
- Personal sources
- Marketer-controlled sources
- Public sources
- Personal experience
Baik internal search maupun eksternal search melibatkan ketiga
variabel penting diatas yaitu karakteristik produk, harga jual kembali, dan
ekuitas merek untuk mendapatkan mobil yang sesuai dengan yang diharapkan.
Contoh : Konsumen ingin membeli sebuah mobil dengan membandingkan
beberapa faktor dari segi karakteristik produk : bagaimana cara
pengoperasiannya, irit ataukah boros, bagus atau tidak modelnya. Yang kedua
dari segi harga jual kembali : mahal atau tidak harganya, apabila dijual
kembali apakah harganya masi tetap tinggi atau tidak dan dari segi ekuitas
merek : apa merek mobilnya, banyak atau tidakkah tempat servisnya,
terkenalkah mereknya, dan sebagainya. Berdasarkan faktor-faktor diatas maka
dalam benak konsumen muncul 4 pilihan mobil dari merek yang berbeda,
yaitu Toyota Avanza, Daihatsu Xenia, Suzuki APV, dan Nissan Livina yang
semuanya memenuhi kriteria pemilihan diatas.
23
c. Alternative evaluation
Konsumen membandingkan beberapa merek atau produk atau jasa
yang dirasa dapat memenuhi atau memecahkan masalah konsumsi dan
memuaskan kebutuhan / keinginan yang memotivasi konsumen dalam
melakukan pembelian. Menurut Peter and Olson (1987) ada hal penting yang
harus diperhatikan dalam alternative evaluation yaitu antra atribut atau
konsep fungsional yang dimiliki oleh suatu produk dan konsekuensi.
Konsekuensi menurut mereka adalah hasil yang akan konsumen rasakan
ketika membeli atau mengkonsumsi sebuah barang atau jasa yang dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu functional consequences, merupakan hasil yang
bersifat konkrit yang dapat dirasakan secara langsung dan psychosocial
consequences, merupakan hasil yang bersifat abstrak, subyektif dan personal.
Atribut dari sebuah produk atau jasa dan konsekuensi – konsekuensi yang
konsumen pikir akan mereka rasakan atau nikmati ketika memilih sebuah
merek sangatlah penting karena mereka seringkali membeli dan memutuskan
diantara beberapa banyak pilihan.
Pada tahap ini konsumen mulai membandingkan antara ke empat
mobil tersebut, manakah yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan
mereka. Biasanya pada tahap ini, konsumen telah mengerti atau pernah
mencoba ke empat mobil tersebut untuk nantinya dapat dibandingkan secara
langsung. (lihat tabel 2.1)
24
Tabel 2.1 Perbandingan Toyota Avanza, Nissan Livina, Suzuki APV, dan
Daihatsu Xenia
Toyota Avanza Daihatsu Xenia
Nissan Livina Suzuki APV
Karakteristik Produk : 1. Irit 2. Murah(harga
>200jtan) 3. Bagasi Lega 4. Kursi belakang
dapat dilipat 5. Sensor parkir 6. AC double blower
Ya (1300cc) Ya (148jutaan) Ya Ya Ya Ya
Ya (1300cc) Ya (133jutaan) Ya Ya Tidak Tidak
Tidak (1500cc) Tidak (160jutaan) Ya Ya Ya Tidak
Ya (1500) Tidak (155jutaan) Ya Ya Ya Ya
Harga Jual Kembali : 1. Harga jual
kembalinya stabil
2. Sparepart bekas yang murah
3. Pajak kendaraannya yg terjangkau
Ya Ya Ya (1,8jutaan)
Ya Ya Ya (1,3jutaan)
Tidak Tidak Tidak (2jutaan)
Tidak Tidak Tidak (2jutaan)
Ekuitas Merek : 1. Mereknya terkenal 2. Bengkel servis
mudah ditemui
Ya (Market Share 2010 : 47,7%) Ya (17 bengkel resmi)
Tidak (Market Share 2010 : 24%) Ya (10 bengkel resmi)
Tidak (Market Share 2010 : 22,3%) Tidak (8 bengkel resmi)
Tidak (Market Share 2010 : 8,6%) Tidak (9 bengkel resmi)
25
d. Purchase decision
Pada akhirnya, konsumen harus berhenti menimbang – nimbang
beberapa pilihan tersebut dan mengambil keputusan untuk memilih sebuah
merek. Mengambil keputusan untuk membeli tidak sama dengan melakukan
pembelian, ada beberapa hal yang harus di pertimbangkan sebelum melakukan
pembelian walaupun sudah memutuskan untuk membeli, diantaranya kapan
harus melakukan pembelian, dimana, dan berapa banyak yang harus
dikeluarkan. Untuk beberapa produk berkategori low-involvement, waktu yang
dibutuhkan antara pengambilan keputusan dan melakukan pembelian mungkin
saja sangat singkat.
Pada tahap purchase decision, konsumen akan mengambil suatu
keputusan berdasarkan perbandingan yang dilakukan sebelumnya pada tahap
alternative evaluation dan Toyota Avanza menjadi jawaban konsumen, dilihat
dari perbandingan antara faktor karakteristik produk, harga jual kembali, dan
ekuitas merek.
e. Post-purchase evaluation
Tidak berakhir sampai pada pembelian saja, ketika konsumen sudah
menggunakan atau mengkonsumsi produk atau jasa tersebut, konsumen akan
membandingkan antara ekspektasi yang diharapkan dan performa yang
dihasilkan produk atau jasa tersebut. Hasilnya bisa berupa puas atau tidak
26
puas. Kepuasan terjadi ketika ekspektasi konsumen dipenuhi atau bahkan
melebihi. Sementara ketidakpuasan timbul ketika performa yang dihasilkan
tidak sesuai atau dibawah ekspektasi konsumen. Proses post-purchase
evaluation ini penting karena feedback yang ditimbulkan akan mempengaruhi
kemungkinan pembelian di masa yang akan datang dengan mempertaruhkan
kebesaran sebuah ekuitas merek. Kepuasan antara perbandingan ekspetasi
yang diharapkan dengan kualitas produk yang didapat mempengaruhi
eksistensi sebuah merek.
Disini konsumen akan kembali menguji apakah mobil yang telah dibeli
mampu menghasilkan manfaat secara maksimal sesuai dengan kebutuhannya.
Oleh karena itu, post-purchase evaluation nantinya dapat mendorong
konsumen untuk melakukan pembelian ulang atau justru konsumen beralih
merek tergantung kepada kualitas produk dan pelayanan yang diberikan.
Para konsumen yang melakukan pembelian ulang untuk sebuah produk memiliki
karakteristik tertentu. Menurut Kotler (1993:381) karakteristik tersebut membentuk pola
pembelian, yaitu :
1) Sangat setia (Hard core loyal)
Konsumen yang membeli satu merek saja setiap saat. Jadi pola pembelian
A,A,A,A,A,A yang akan mencerminkan loyalitas yang terbagi hanya pada
merek A.
27
2) Agak setia (Soft core loyal)
Konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Pola pembelian A,A,B,B,A,B
mewakili setiap konsumen dengan loyalitas terbagi antara merek A dengan
merek B.
3) Kesetiaan yang berpindah (Shifting loyal)
Konsumen yang pindah dari {menyukai} satu merek ke merek lain. Pola
pembelian A,A,A,B,B,B akan mencermink\
an seorang konsumen yang memindahan loyalitas pada merek A ke merek B.
4) Pengalihan (Switching)
Konsumen yang menunjukan ketiadaan loyalitas pada merek apapun. Pola
pembelian A,C,E,B,D akan mencerminkan seorang konsumen yang tidak setia
pada sebuah merek sekalipun.
2.5. Loyalitas Pelanggan
Loyalitas dapat terbentuk apabila pelanggan merasa puas dengan merek atau
tingkat layanan yang diterima dan berniat untuk melanjutkan hubungan. Menurut Aaker
dalam Mouren Margaretha, (2004:297), loyalitas merupakan suatu perilaku yang
diharapkan atas suatu produk atau layanan yang antara lain meliputi kemungkinan
pembelian lebih lanjut atau perubahan perjanjian layanan, atau sebaliknya seberapa
besar kemungkinan pelanggan akan beralih kepada merek lain atau penyedia layanan
lainnya.
28
Hasil penilaian konsumen atas kualitas pelayanan akan membentuk pola loyalitas
konsumen tertentu (consumer loyalty pattern), yaitu dari sangat loyal sampai sangat
tidak loyal. Konsumen dikatakan sangat loyal apabila ia mempunyai konsumsi terhadap
satu pelayanan pada setiap waktu dan tidak pernah berganti dari satu pelayanan ke
pelayanan yang lain, tingkatan ini menunjukkan loyaltias yang sangat tinggi. Pada sisi
lain konsumen disebut sangat tidak loyal apabila konsumen sama sekali tidak memiliki
loyalitas pada pelayanan tertentu. Konsumen semacam ini setiap waktu memiliki pola
konsumsi yang berubah – ubah dari satu pelayanan ke pelayanan lainnya.
Pelanggan berbeda dengan konsumen, seseorang dapat dikatakan sebagai
pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli jasa yang
ditawarkan oleh badan usaha. Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui pembelian
secara berulang – ulang dalam jangka waktu tertentu apabila dalam jangka waktu
tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai pelanggan melainkan seorang pembeli atau konsumen. Hal ini seperti yang
dikatakan oleh Griffin (1995) mengenai perbedaan antara konsumen dan pelanggan
yaitu, pelanggan merupakan seseorang yang membeli suatu produk dari kita. Para
pelanggan ini menetapkan kegiatan pembelian dan interaksi pada kesempatan waktu
yang berulang kali. Tanpa adanya pengalaman mengenai kegiatan pembelian seseorang
belum bisa dikatakan pelanggan melainkan pembeli.
Menurut Wright (2002), loyalitas pelanggan merupakan kesediaan pelanggan
untuk terus berlangganan pada suatu perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli
29
dan menggunakan barang atau jasanya secara berulang – ulang, serta dengan sukarela
merekomendasikan barang atau jasa perusahaan tersebut kepada teman dan kerabat.
Banyak keuntungan – keuntungan yang didapat apabila konsumen memiliki
loyalitas terhadap suatu merek. Chandra (2008:150) mengemukakan bahwa, dengan
adanya loyalitas yang tercipta pada pelanggan, maka perusahaan akan memperoleh dua
keuntungan sekaligus yaitu mendapatkan profitabilitas dengan terjualnya produk yang
mereka hasilkan dan menarik pelanggan baru karena melihat loyalitas dari pelanggan
yang telah ada. Ini berarti perusahaan banyak memperoleh laba untuk kelangsungan
usahanya.
2.6. Hubungan Karakteristik Produk dengan Intensi Pembelian
Kotler & Keller (2006) mengatakan bahwa produk yang memiliki karakteristik
yang unik, superior dan sulit untuk ditiru akan menciptakan sebuah diferensiasi produk
yang akhirnya membawa kepada keunggulan kompetitif. Wood (2004:152) mengatakan
bahwa karakteristik suatu produk yang berhasil di pasaran adalah produk yang memiliki
komponen quality & performance, feature, design, packaging, labeling, dan brand.
Toyota membuktikannya dengan memproduksi Toyota Avanza yang menjadi market
leader di pasar 4 x 2 low ini, dimana setiap tahun semakin jauh meninggalkan para
pesaingnya, baik dalam jumlah unit penjualan maupun angka pangsa pasar. Selama satu
semester 2006, Avanza terus – menerus menguasai lebih dari 52% pangsa pasar
dikelasnya. Dalam improvement terbaru, New Avanza mengalami perombakan baru
30
pada desain yang mengusung tagline makes your proud, yang memang sangat tepat
mewakili penampilan, performa, dan kenyamanan baru yang ditawarkan. Koleksi
penambahan warna juga ditambahkan menjadi champagne, light green, dan blue aqua.
Richardson et al. (1996) mencatat bahwa keputusan konsumen untuk membeli
sebuah produk dalam negri tergantung kepada jenis produk yang sedang
dipertimbangkan, namun penelitian kecil telah dilakukan sejauh mana karakteristik
produk dapat mempengaruhi pembelian dalam negri. Richardson juga mencatat bahwa
dalam penelitiannya ada tiga hal yang paling berpengaruh pada karakteristik produk
seperti keterlibatan produk, jenis produk, dan switching cost. Keterlibatan produk dan
switching cost (dan juga jenis produk) merupakan pengaruh karakteristik produk yang
dirasakan oleh konsumen. Tiga hal tersebut tidak dapat dilihat sebagai variabel
psikografis yang mencirikan individu konsumen tetapi penelitiannya menjelaskan bahwa
karakteristik produk dianggap atribut yang melekat pada setiap produk dari sudut
pandang konsumen. Dengan kata lain, sifat suatu produk tercermin dalam persepsi
dengan pelanggan perseorangan.
Aaker (1994:250) juga berpendapat bahwa pada industri otomotif khususnya
mobil, penambahan fitur seperti sunroof dan penambahan varian pada transmisi akan
meningkatkan penetrasi pasar akan daya beli konsumen yang akhirnya dapat bersaing
dengan para competitor lainnya. Liker (2004) mengatakan bahwa untuk mendongkrak
daya beli konsumen, Toyota selalu melakukan kaizen (continuous improvement) kepada
semua produknya, seperti produk lainnya yaitu Toyota Prius dengan sistem hybrid yang
31
mengutamakan efisiensi bahan bakar yang ramah lingkungan untuk menjawab tantangan
– tantangan pemanasan global pada abad-21 ini.
Kottler & Keller (2008) juga menjelaskan bahwa sewaktu pembeli memutuskan
akan membeli laptop merek Apple, desain yang merupakan salah satu dimensi dari
karakteristik produk menjadi faktor utama yang menyebabkan pembelian terjadi.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka hipotesis pertama adalah sebagai berikut :
Hipotesis 1 : Karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap intensi pembelian
konsumen
2.7. Hubungan Harga Jual Kembali dengan Intensi Pembelian
Sebuah produk yang memiliki harga jual kembali yang tinggi akan menghemat
value of money untuk jangka panjang. Tinggi atau rendahnya harga jual kembali suatu
produk ditentukan oleh market price, kualitas produk yang akan dijual, dan nama merek
itu sendiri. Harga jual kembali yang stabil merupakan suatu persepsi yang akan merubah
paradigma bahwa konsumen masih akan memiliki nilai lebih apabila mengkonsumsi
produk tersebut. Hal inilah yang nantinya akan berpengaruh pada intensi pembelian,
seberapa sering terjadinya pembelian terhadap merek tersebut di kemudian hari (Wood,
2006). George (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa konsumen cenderung
memiliki perilaku untuk melakukan (trade in) tukar tambah dengan produk yang lebih
baru dikarenakan oleh adanya penambahan fitur dan desain yang baru pada produk
tersebut, rusak, atau bosan terhadap produk yang dikonsumsi. Stanton (2002:44)
32
mengatakan bahwa dengan konsumen menjual kembali produknya, memungkinkan
adanya pembelian suatu produk yang baru. Penelitian lain oleh Sin & Sang (2000)
mengatakan bahwa trend suatu merek dapat mempengaruhi konsumen terhadap pola
pembelian suatu produk dengan tidak memperdulikan resale price barang yang
dikonsumsi sebelumnya. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka hipotesis
selanjutnya adalah sebagai berikut :
Hipotesis 2 : Harga jual kembali memiliki pengaruh positif terhadap intensi pembelian
konsumen.
2.8. Hubungan Ekuitas Merek dengan Intensi Pembelian
Kuatnya sebuah merek dapat membantu kegiatan pemasaran secara tidak
langsung seperti menarik kepercayaan mitra kerja, menghidupkan jaringan – jaringan
pemasaran yang telah dibangun dan dapat menghemat biaya – biaya pemasaran seperti
promosi, iklan, dan sebagainya. (Cohen, 2005)
Chandra (2008:129-130) dalam studinya mengambil contoh kasus yang terjadi
pada dua produk mobil yakni Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia, bahwa penjualan
mobil Avanza dua kali lebih besar daripada mobil Xenia padahal sesuai dengan klaim
kedua merek mobil tersebut memiliki kualitas yang sama. Kekuatan sebuah merek dari
Toyota inilah yang ada dibalik semua ini. Di dalam benak konsumen mobil Indonesia,
merek Toyota jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan merek Daihatsu. Orang lebih
suka membeli mobil dengan merek Toyota. Kenyataannya setiap produk yang
33
dikeluarkan oleh Toyota selalu direspon positif oleh pasar. Merek Daihatsu tidak sekuat
merek Toyota. Alhasil walaupun mobil Avanza dan Xenia diberitakan dibuat di pabrik
Daihatsu dan memiliki kualitas yang sama, tetap saja orang lebih memilih merek
Toyota. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai
berikut :
Hipotesis 3 : Ekuitas Merek memiliki pengaruh positif terhadap intensi pembelian
konsumen.
2.9. Hubungan Intensi Pembelian dengan Loyalitas Pelanggan
Para konsumen yang telah memutuskan untuk membeli suatu produk tidak
menjamin bahwa mereka akan melakukan pembelian ulang di tempat yang sama.
Dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang – ulang dan untuk
membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk / jasa yang dihasilkan oleh
badan usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian
yang berulang – ulang tersebut.
Menurut Siat dalam Mouren Margaretha (2004 : 297) yang menyatakan bahwa
pelanggan yang puas akan melakukan pembelian ulang pada waktu yang akan datang
dan memberitahukan kepada orang lain atas apa yang dirasakan. Tidak heran bila
sekarang banyak ditemui dieler mobil Toyota di seluruh kota – kota besar. Menurut
Chaudhuri and Holbrook (2001), perilaku pembelian berulang – ulang terhadap suatu
produk adalah suatu konsep yang terbentuk karena adanya pengalaman yang diperoleh
34
dari penggunaan sebuah merek dari produk sebelumnya. Oleh karena itu pelanggan yang
merasa nyaman menggunakan merek tersebut akan terus – menerus menggunakan merek
tersebut.
Lil dan Wang (2006), juga mengatakan bahwa pelanggan loyal adalah pelanggan
yang memiliki ciri – ciri antara lain :
- Melakukan pembelian secara berulang pada badan usaha yang sama
- Membeli lini produk dan jasa yang ditawarkan oleh badan usaha yang sama
- Memberitahukan kepada orang lain tentang kepuasan – kepuasan yang
didapat dari badan usaha dan menunjukkan kekebalan terhadap tawaran –
tawaran dari badan usaha pesaing.
Penelitian lain menurut Lovelock and Wright (2002) mengungkapkan bahwa
pelanggan loyal akan melakukan pembelian lebih sering dibandingkan pelanggan
lainnya yang kurang loyal dan pelanggan loyal akan menggunakan barang atau jasanya
secara berulang – ulang, serta dengan sukarela merekomendasikan barang atau jasa
perusahaan tersebut kepada kerabat. Hal tersebut tentu saja akan membantu
meningkatkan intensi pembelian secara tidak langsung. Berdasarkan temuan - temuan
tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut :
Hipotesis 4 : Intensi pembelian konsumen memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas
pelanggan.
35
2.10. Hubungan Karakteristik Produk Terhadap Loyalitas Pelanggan
Tidak heran apabila Toyota Avanza memiliki keunggulan mobil di kelas
menengah dengan harga terjangkau yang mampu memenuhi semua fasilitas keluarga.
Karakteristik tersebutlah yang tertanam di benak konsumen akan merek Toyota.
Faktanya hampir dapat kita temui Toyota Avanza di jalanan setiap harinya. Terkadang –
kadang konsumen membeli produk bukan di lihat dari fungsinya melainkan lebih
disebabkan oleh simbol yang melekat dengan produk tersebut (Soehadi, 2006:87).
Lambang Toyota yang terdiri dari dari three elips, menjadi bukti bahwa simbol tersebut
telah dikenal oleh pelanggan sebagai produk yang telah teruji kualitasnya.
Penelitian lain oleh Srinivasan (1996) berpendapat bahwa situasi persaingan
dalam menciptakan kualitas produk baru yang tinggi, akan menyebabkan kecenderungan
konsumen berpindah yang tinggi dan begitu pula sebaliknya. Product development
terhadap suatu produk harus terus dilakukan secara bertahap, karena dengan adanya
desain dan fitur – fitur baru dari sebuah produk pesaing akan mempengaruhi persepsi
pelanggan, dan pelanggan akan sesekali berganti merek untuk mencoba produk baru
tersebut (Mowen & Minor, 1999:535). Berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka
hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut :
Hipotesis 5 : Karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas
pelanggan
36
2.11. Hubungan Ekuitas Merek dengan Loyalitas Pelanggan
Menciptakan suatu merek yang dapat diterima oleh para pelanggannya memang
tidaklah mudah. Apalagi untuk membuat para konsumen tersebut memiliki loyalitas
yang tinggi terhadap merek tersebut. Handi Chandra (2008;145) berpendapat bahwa
hubungan antara brand equity dan loyalty sangatlah berkaitan. Untuk membangun brand
equity yang kuat, anda terlebih dahulu di haruskan membangun pelanggan loyal, karena
dari pelanggan – pelanggan loyal inilah proses penyebaran berita positif terhadap merek
anda bisa dilakukan. Jika anda sukses membangun ekuitas merek yang kuat, pelanggan
loyal akan memiliki keterikatan emosi yang kuat dan ia akan rela membela mati –
matian merek anda apabila ada pihak yang menjelekkannya. Contoh dalam Keller
(2006) yaitu sebanyak 28000 orang mengikuti sesi Three Day Driving Session untuk
berlatih off-road driving skills dalam acara Jeep Jamborees dan Camp Jeep. Disini
ratusan atau bahkan ribuan pengendara mobil Jeep berkumpul untuk bersosialisasi dan
memeriahkan acara tersebut. Hal tersebut menandakan bagaimana sebuah merek dapat
menciptakan komunitas yang sangat loyal bagi para pelanggan. Berdasarkan temuan-
temuan tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut :
Hipotesis 6 : Ekuitas merek memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan.