Post on 18-Mar-2019
15
BAB II
POTENSI DAN PENDIDIKAN ANAK
A. Potensi
1. Pengertian Potensi
Pada dasarnya setiap individu itu memiliki kekhususan pada dirinya
masing-masing, yang itu sebagai salah satu ciri untuk membedakan antara
individu satu dengan individu lainnya. Kekhususan itu bentuknya berupa
potensi. Meskipun demikian, potensi adalah merupakan suatu konsep yang
sukar untuk dimengerti, meskipun istilah ini sering digunakan dalam
bahasa sehari-hari khususnya dalam dunia psikologi dan pendidikan.
Untuk dapat memberikan penjelasan mengenai potensi secara cepat,
jelas dan mudah untuk dipahami, maka potensi dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu:
a. Etimologi
Kata potensi itu berasal dari bahasa Inggris yaitu potency,
potential dan potentiality, yang mana dari ketiga kata tersebut
memiliki arti tersendiri. Kata potency memiliki arti kekuatan, terutama
kekuatan yang tersembunyi. Kemudian kata potential memiliki arti
yang ditandai oleh potensi, mempunyai kemampuan terpendam untuk
menampilkan atau bertindak dalam beberapa hal, terutama hal yang
mencakup bakat atau intelegensia. Sedangkan kata potentiality
mempunyai arti sifat yang mempunyai bakat terpendam, atau kekuatan
bertindak dalam sikap yang pasti di masa mendatang.1
Dalam bahasa Arab, kata potensi dijelaskan dengan kata مكانية إ
,dari ketiga kata tersebut mempunyai arti potency ,االمكانية dan إمكانى
potential dan potentiality.2 Dari kata tersebut arahnya terfokus pada
kemampuan dasar manusia untuk dapat dikembangkan dan
dioptimalkan dengan sebaik-baiknya.
1 M. Hafi Anshari, Kamus Psichologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 482. 2 Munir Ba’albaqi, Al Mawrid a Basic Modern English-Arabic Dictionary, (Beirut: Darul
Ilm lil Malayen, 2002), hlm. 712.
16
b. Terminologi
Selain dari sudut pandang bahasa, kata potensi juga
didefinisikan oleh para ahli psikologi ataupun para ahli disiplin ilmu
lainnya sesuai dengan kapabilitas keilmuan masing-masing. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Jalaluddin
“Potensi dalam konsep pendidikan Islam disebut fitrah yang berarti kekuatan asli yang terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi kepribadiannya serta yang dijadikan alat untuk pengabdian dan ma’rifatullah”.3
2) Slamet Wiyono
“Potensi adalah kemampuan dasar manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. sejak dalam kandungan ibunya sampai pada saat tertentu (akhir hayatnya) yang masih terpendam di dalam dirinya menunggu untuk diwujudkan menjadi sesuatu manfaat nyata dalam kehidupan diri manusia di dunia ini dan di akhirat nanti”.4
3) Chalijah Hasan
“Potensi sama dengan fitrah. Karena kata fitrah dalam bahasa psikologi disebut dengan potensialitas atau disposisi atau juga kemampuan dasar yang secara otomatis adalah mempunyai kecenderungan untuk dapat berkembang”.5
Bertolak dari pengertian atau definisi yang ada itu, maka dapat
dikatakan bahwa potensi adalah sesuatu atau kemampuan dasar manusia
yang telah ada dalam dirinya yang siap untuk direalisasikan menjadi
kekuatan dan dimanfaatkan secara nyata dalam kehidupan manusia di
dunia ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT.
3 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 137. 4 Slamet Wiyono, Manajemen Potensi Diri, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 37-38. 5 Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: al Ikhlas, 1994),
hlm. 35.
17
2. Jenis-jenis Potensi Manusia
Potensi yang ada dalam setiap manusia menurut para ilmuan itu
sungguh tak terbatas, akan tetapi hingga tingkat peradaban sekarang ini
yang digunakan hanya satu persen dari seluruh potensi tersebut.6 Potensi
diri manusia secara utuh adalah keseluruhan badan atau tubuh manusia
sebagai suatu sistem yang sempurna dan paling sempurna bila
dibandingkan dengan sistem makhluk ciptaan Allah lainnya. Ini sesuai
dengan Firman Allah surat at Tin ayat 4:
)4: التني(لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقومي
Sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. al-Ti>n: 4)7
Jenis atau bentuk potensi itu sangat beragam. Menurut Hasan
Langgulung Allah memberi manusia beberapa potensi atau kebolehan
berkenaan dengan sifat-sifat Allah yaitu Asmaul Husna yang berjumlah
99.8 Dengan berdasarkan bahwa proses penciptaan manusia itu secara non
fisik.9 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Hijr ayat 29
sebagai berikut:
)29: احلجر(ذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين فإ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kepadanya dengan bersujud (QS. al-Hijr: 29)10
Dengan kata lain sifat-sifat Allah itu merupakan potensi pada
manusia yang kalau dikembangkan, maka ia telah memenuhi tujuannya
diciptakan, yaitu untuk ibadah kepada penciptanya.11
6 A Vaqhutika Ananda Mitra Acarya, “Neo Humanist Education”, terj. Ketut Nila,
Pendidikan Neo Humanis, (Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia, 1991), hlm. 4. 7 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 1076. 8 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al
Ma’arif, 1980), hlm. 20 9 Ibid., hlm. 21. 10 Soenarjo, op. cit., hlm. 393. 11 Hasan Langgulung, loc. cit.
18
Sedangkan apabila diidentifikasi secara garis besarnya manusia
dibekali tiga potensi dasar yaitu:
1) Roh. Potensi ini lebih cenderung pada potensi tauhid dalam bentuk
adanya kecenderungan untuk mengabdi pada penciptanya.
2) Potensi jasmani berupa bentuk fisik dan faalnya serta konstitusi
biokimia yang teramu dalam bentuk materi.
3) Potensi Rohani, berupa konstitusi non materi yang terintegrasi dalam
komponen-komponen yang terintegrasi. 12
Sedangkan menurut Jalaluddin, secara garis besarnya membagi
potensi manusia menjadi empat, yang secara fitrah sudah dianugerahkan
Allah kepada manusia,13 yaitu sebagai berikut:
a. Hida>yah al-Ghari>zziyah/ wujdaniyah (naluri)
Potensi naluriyah disebut juga dengan istilah hidayah
wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri
yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di
muka bumi ini.14 Potensi ini dapat dikatakan sebagai suatu kemampuan
berbuat tanpa melalui proses belajar mengajar.15
Dalam potensi ini memberikan dorongan primer yang berfungsi
untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Di antara
dorongan itu adalah insting untuk memelihara diri seperti makan
minum, dorongan untuk mempertahankan diri seperti nafsu marah dan
dorongan untuk mengembangkan diri. Dorongan ini contohnya adalah
naluri seksual.16
12 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 110 13 Jalaluddin, op. cit., hlm. 32. 14 Djamaluddin Darwis, “Manusia menurut Pandangan Qur’ani”, dalam Chabib Thoha
dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 102. 15 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 24. 16 Jaluddin, op. cit., hlm. 33.
19
b. Hida>yah al-Hissiyyah (indra)
Secara umum kita dapat mengenali potensi indera kita dengan
sebutan pancaindera yaitu indera yang berjumlah lima.17 Potensi yang
Allah berikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan inderawi
sebagai penyempurna potensi yang pertama. Pancaindera ini
merupakan jendela komunikasi untuk mengetahui lingkungan
kehidupan manusia,18 sehingga dari sini manusia akan mendapatkan
ilmu dan pengetahuan .
Potensi inderawi yang umum dikenal itu berupa indera
penciuman, perabaan, pendengar dan perasa. Namun, di luar itu masih
ada sejumlah alat indera dengan memanfaatkan alat indera lain yang
sudah siap.19 Yang oleh Toto Tasmara dikaitkan dengan fuad yang
merupakan potensi qalbu yang berfungsi untuk mengolah informasi
yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi rasio,
kognitif). Fuad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur
kepada apa yang dilihatnya,20 yang menurut al-Ghazali fuad/qalb
merupakan alat dan wadah guna memperoleh ilmu pengetahuan.21
c. Hida>yah al-‘Aqliyah (akal)
Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk
memahami simbol-simbol hal-hal yang abstrak, menganalisa,
membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih
maupun memisahkan antara yang benar dan yang salah.22 Potensi akal
ini sebagai organ yang ada dalam manusia yang untuk membedakan
antara manusia dengan makhluk yang lain.23
17 Slamet Wiyono, loc. cit. 18 Djamaluddin Darwis, loc. cit. 19 Jalaluddin, op. cit., hlm. 33-34. 20 Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah: Transcendental Intelligence, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), hlm. 94. 21 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 291. 22 Jalaluddin, op. cit., hlm. 34. 23 Umary Barmawie, Material Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 21.
20
Akal sebagai potensi manusia dalam pandangan Islam itu
berbeda dengan otak. Akal di sini diartikan sebagai daya pikir yang
terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam merupakan ikatan dari
tiga unsur, yaitu pikiran, perasaan dan kemauan. Bila ikatan itu tidak
ada, maka tidak ada akal itu.24
Akal diartikan juga sebagai sifat yang untuk memahami dan
menemukan pengetahuan dan sebagai unsur pemahaman dalam diri
manusia yang mengenal hakekat segala sesuatu. Terkadang akal ini
disebut kalbu jasmaniyah, yang ada dalam dada, sebab antara kalbu
jasmani dengan lat}i>fah ‘amaliyah mempunyai hubungan unik.
Karena hubungannya dengan seluruh tubuh harus melalui kalbu
jasmani tersebut. Kalbu jasmani itulah yang merupakan naluri tubuh
sekaligus sebagai pusat bagi seluruh gerak tubuh.25
Dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an kata ‘aql dapat dipahami
sebagai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu.
Dorongan moral dan daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan
serta hikmah.26 Selain itu, akal merupakan pengertian dan pemikiran
yang berubah-ubah dalam menghadapi segala sesuatu, baik yang
tampak jelas maupun yang tidak jelas.27 Dengan potensi akal ini,
manusia akan mampu berpikir dan berkreasi menggali dan menemukan
ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepada
manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Dan potensi akal inilah yang
ada dalam diri manusia sebagai sumber kekuatan yang luar biasa dan
dahsyat yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.28
24 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 158.
25 Abu Hamid al-Ghazali, “Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Shalihin”, terj. Mohammad Luqman Hakim, Raudha: Taman Jiwa Kaum Sufi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 48.
26 Muhammad Quraish Shihab, op. cit., hlm. 294-295. 27 Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), hlm. 22 28 Akal manusia atas unsur rasio dan hati rasa. Akal manusia akan berfungsi dengan baik,
mana kata hati hatinya baik suci dan senantiasa beriman. Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani press, 1996), hlm. 85-86.
21
d. Hida>yah Di>niyah (keagamaan)
Pada dasarnya dalam diri manusia sudah ada yang namanya
potensi keagamaan, yaitu dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu
yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.29 Dalam
Islam potensi yang hubungannya dengan keagamaan disebut fitrah,
yaitu kemampuan yang telah Allah ciptakan dalam diri manusia, untuk
mengenal Allah. Inilah bentuk alami yang dengannya seorang anak
tercipta dalam rahim ibunya sehingga dia mampu menerima agama
yang hak.30 Potensi fitrah (keagamaan) merupakan bawaan alami.
Artinya ia merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia
(bawaan), dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha
(muktasabah).31
Potensi fitrah pada intinya sudah diterima dalam jiwa manusia
sendiri dan merupakan potensi yang hebat, energi dahsyat yang tidak
ditundukkan oleh kekuatan lahiriyah yang konkrit apabila ia
dikerahkan, diarahkan dan dilepaskan secara wajar menurut apa yang
telah diterapkan.32 Bentuk potensi ini menunjukkan bahwa manusia
sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus dan ini
merupakan pondasi dasar dalam agama Islam untuk mengarahkan
potensi-potensi yang ada dari insting, inderawi dan aqli. Sebagaimana
Firman Allah SWT. dalam surat al Rum ayat 30:
ة الله التي فطرنيفا فطرين حللد كهجو فأقم مالقي ينالد لق اهللا ذلكديل لخبا ال تهليع اسالن
)30:الروم(ولكن أكثر الناس اليعلمون Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada
29 Jalaluddin, op. cit., hlm. 34. 30 Yasien Muhammad, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, (Bandung: Mizan,
1995), hlm. 20 31 Murtadha Muthahari, Fitrah, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera Basritama, 1998),
hlm. 20. 32 Sayyid Qutb, Hari Esok untuk Islam, terj. Janaluddin Kafie, (Surabaya: Bina Ilmu,
1982), hlm. 84.
22
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tdiak mengetahuinya (QS. al-Rum: 30)33
Keempat hidayah tersebut menurut Munawar Khalil sebagaimana
dikutip Jamaluddin Darwis masih bersifat umum, sedangkan hidayah yang
bersifat khusus berupa hidayah taufiqiyah.
Hidayah taufiqiyah adalah hidayah yang bersifat khusus, sehingga
sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tidak semua
manusia dapat menerima kehadirannya. Banyak manusia yang tidak
menggunakan akalnya dalam kendali agama, melainkan membiarkan
bebas dan didewasakan dalam menentukan mana yang benar dan mana
yang salah. Untuk itu, agama bertugas menuntun agar manusia diberi
petunjuk ke jalan yang lurus berupa hidayah dan taufiq untuk menuju
kesuksesan. Hidayah ini merupakan pertolongan Allah yang bersifat
khusus, dan tidak semua orang menerimanya. Ia menjadi dambaan setiap
muslim sebagaimana yang selalu dibaca dalam doa surat al-Fatihah,
“Ihdina al-Shirat al-Mustaqim “Ya Allah tunjukanlah kami ke jalan yang
lurus.34
Potensi sebagai kemampuan dasar dari manusia yang bersifat fitri
yang terbawa sejak lahir memiliki komponen-komponen dasar yang dapat
ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Karena komponen dasar ini
bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, di
antaranya adalah lingkungan pendidikan. Komponen-komponen dasar itu
meliputi hal-hal sebagai berikut:35
1) Bakat
Bakat dalam hal ini dekat pengertiannya dengan kata aptitude
yang berarti kecakapan pembawaan, yaitu yang mengenai
kesanggupan. Kesanggupan (potensi-potensi) tertentu36 Bakat ini akan
33 Soenarjo, op. cit., hlm. 645. 34 Jamaludin Darwis, MMMMMMMMMMMMMMMMM 35 Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit., hlm. 29. 36 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm. 69.
23
tampak nyata jika ia mendapat kesempatan atau kemungkinan untuk
berkembang.
Menurut William B. Michael sebagaimana dikutip oleh Sumadi
Suryabrata, meninjau bakat itu terutama dari segi kemampuan individu
untuk melakukan suatu tugas yang sedikit sekali tergantung kepada
latihan.37 Titik tekan dalam bakat adalah dari segi apa yang dapat
dilakukan individu. Adapun Guillford menjelaskan, bahwa aptitude
mencakup tiga dimensi psikologis, yaitu perseptual, psikomotor dan
intelektual.38 Dari ketiga dimensi tersebut saling mendukung
terwujudnya bakat dalam diri individu.
Pada dasarnya bakat merupakan kemampuan bawaan sejak lahir
sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar
terwujud suatu tindakan yang dapat dilakukan di masa mendatang.39
Seseorang yang memiliki bakat tertentu sejak kecilnya, tetapi tidak
memperoleh kesempatan untuk berkembang yang disebabkan tidak ada
dana untuk latihan, maka bakatnya tidak dapat berkembang. Hal ini
biasanya dikatakan sebagai bakat terpendam.
Pada umumnya anak-anak mempunyai bakat yang dapat
diketahui orang tuanya dengan memperhatikan tingkah laku dan
kegiatan anaknya sejak dari kecil. Biasanya anak yang memiliki bakat
dalam suatu bidang, dia akan gemar sekali melakukan/ membicarakan
bidang tersebut.40 Oleh karena itu, cassidy menyebabkan lima hal
sebagaimana dikutip Reni Akbar dan Hawadi yang mungkin dapat
menjadi pegangan bagi orang tua dalam mendidik anaknya yang
tegolong berbakat:
1. Berlaku sebagai pendorong anak dengan sekolahnya di dalam memberikan informasi tentang kekuatan-kekuatan dan gaya belajar yang dimiliki anak.
37 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.
160. 38 Ibid., hlm. 161-162. 39 Sc. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hlm. 17-18. 40 M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 128.
24
2. Menyediakan kesempatan belajar di rumah/di luar rumah. 3. Bantulah anak pada setiap tugas yang diberikan oleh sekolah. 4. Berperan sebagaai mentor dan tidak segan-segan bertukar
pikiran dengan orang tua lainnya maupun anak yang lain. 5. Mengembangkan materi pelajaran yang diberikan untuk anak
sesuai dengan minat dan kemampuannya.41
Dari penjelasan itu menunjukkan bahwa dalam diri anak
terdapat kemampuan dasar dan dalam mengembangkannya butuh
pengajaran. Karena pada dasarnya kecakapan ini berkembang dengan
perpaduan antara dasar dengan training (ajar/latihan) yang intensif dan
pengalaman.
2) Insting atau gha>rizah
Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau
beringkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan
insting inipun merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam dunia
psikologi pendidikan, kemampuan ini disebut dengan istilah
“kapabilitas”.42
Naluri (gha>rizah) kebanyakan digunakan untuk binatang dan
jarang sekali untuk manusia. Sebab hakekat naluri yang sebenarnya
masih belum jelas hingga saat ini.43 Namun demikian masih terdapat
beberapa pendapat mengenai insting oleh beberapa sarjana yang
memberikan ta’ri>f naluri sebagai suatu sifat yang dapat menimbulkan
perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir terlebih
dahulu ke arah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu.44
Insting merupakan tendensi khusus dari jiwa manusia/binatang yang
menimbulkan tingkah laku yang sudah terbawa sejak lahir tanpa
melalui proses belajar.
41 Reni Akbar dan Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat dan
Kemampuan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 150. 42 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 101. 43 Murtadha Muthahari, op. cit., hlm. 18-19. 44 Hamzah Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah Suatu Pengantar,
(Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 58.
25
3) Nafsu dan dorongan-dorongan (drives)
Nafsu adalah makna keseluruhan dari potensi amarah dan
senang yang ada dalam diri manusia.45 Nafsu mempunyai arti juga
sebagai organ rohani yang besar pengaruhnya dan yang paling banyak
di antara anggota rohani yang mengeluarkan instruksi kepada anggota
jasmani untuk berbuat atau bertindak.46 Nafsu juga merupakan tenaga
potensial yang berupa dorongan-dorongan untuk berbuat dan bertindak
kreatif dan dinamis yang dapat berkembang kepada dua arah, yaitu
kebaikan dan kejahatan.47 Ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat
al-Syams ayat 7 sebagai berikut:
)7- 8: الشمس (فألهمها فجورها وتقواها. ونفس وما سواهاDemi nafs serta penyempurnaan ciptaan. Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. al-Syams: 7-8)48
Inilah yang menunjukkan, bahwa nafsu itu berpotensi positif
dan negatif. Akan tetapi diperoleh pula isyarat, bahwa hakekatnya
potensi positif manusia lebih kuat dari negatif, hanya saja daya tarik
keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia
dituntut untuk dapat memelihara kesucian nafsu dan tidak
mengotorinya.
4) Karakter atau tabiat manusia
Watak tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang
terbawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral,
sosial serta etis seseorang. Karakter dan tabiat ini terbentuk dari diri
manusia dan bukan dari pengaruh luar dan berhubungan erat dengan
kepribadian seseorang. Oleh karena itu ciri keduanya hampir tidak
dapat dibedakan dengan jelas.49
45 Abu Hamid al-Ghazali, op. cit., hlm. 48. 46 Barmawy Umary, op. cit., hlm. 22. 47 Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Jakarta: Alfbeta, 1993), hlm. 13. 48 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 1064. 49 M. Arifin, op. cit., hlm. 103.
26
5) Hereditas
Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan
dasar yang mendukung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang
diturunkan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang
telah jauh.50 Hereditas ini lebih mengarah pada bentuk fisik dan
kejiwaan yang dimiliki oleh individu lebih identik atau memiliki
kesamaan dengan orang-orang terdekatnya seperti kedua orang tuanya.
6) Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui
proses penalaran tertentu. Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak
sepenuhnya sadar. Artinya suatu permasalahan itu muncul dalam
keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya, tetapi jawaban serta
merta muncul dibenaknya.51
Intuisi adalah kegiatan berfikir yang tidak analitis, tidak
berdasarkan pada pola berfikir tertentu. Pendapat yang berdasarkan
intuisi ini timbul dari pengetahuan yang terdahulu melalui suatu proses
berfikir yang tidak disadari. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa
intiusi merupakan pengalaman puncak. Pendapat lain mengatakan,
bahwa intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi.52 Intuisi hanya
diberikan Tuhan kepada jiwa manusia yang bersih dan dirasakan
sebagai getaran hati nurani yang merupakan panggilan Tuhan untuk
berbuat sesuatu yang amat khusus.
Berbagai potensi yang ada pada diri kita ini seyogyanya dimanage
atau dikelola dengan baik, kemudian digunakan secara optimal dalam
50 Ibid. 51 Amin Syukur dkk., Metodologi Studi Islam, (Semarang: Gunung Jati, 1998), hlm. 117.
Menurut Iqbal, “intuisi” diartikan ganda. Pendapat pertama, mengikuti Jalaludin Rumi yang mengartikan intuisi adalah qalb/fuad, yaitu sejenis batin atau wawasan yang dengan kata-kata Rumi Indah yang hidup dari sinar dan mengenalkan kepada masalah-masalah kenyataan, selain dari yang terbuka bagi serapan indera. Pendapat lain Iqbal mengikuti Bergson yang mendefinisikan intuisi adalah sebagai a Higher kind of intelectual, yaitu bagian yang lebih tinggi dari intelek. Danusiri, Etimologi dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 48-49.
52 Ibnu Mas’ud dan Joko Paryono, Ilmu Alamiah Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 16-17.
27
hidup ini dan akhirnya yang sangat penting adalah mengendalikan potensi-
potensi tersebut agar selalu dapat memberikan kesuksesan, kebaikan,
kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidup, baik di dunia maupun di
akherat nanti.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Potensi Manusia
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dan dilengkapi
dengan berbagai potensi yang tidak terbatas jumlahnya. Potensi-potensi
tersebut harus mendapatkan tempat dan perhatian serta pengaruh dari
manusia itu sendiri, seperti pembawaan dan keturunan. Selain dari faktor
manusia, terdapat pula faktor dari luar, seperti lingkungan. Semua ini
untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif.
Dalam perkembangan individu, ada beberapa kekuatan atau faktor-
faktor yang turut berperan dalam menentukan bagaimana perkembangan
tersebut, sehingga dalam hal ini akan diuraikan tentang faktor-faktor yang
berperan dalam perkembangan individu yang berhubungan dengan potensi
yang dimilikinya.
a. Faktor pembawaan
Pembawaan atau bakat merupakan potensi-potensi yang
memberikan kemungkinan kepada seseorang untuk berkembang
menjadi sesuatu. Berkembang atau tidaknya potensi yang ada pada diri
individu sangat bergantung kepada faktor-faktor lain. Aliran Nativisme
berpendapat, bahwa perkembangan individu itu ditentukan oleh
pembawaan yang ada pada dirinya masing-masing.53
Aliran ini menyatakan, bahwa perkembangan anak dalam
hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses
kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik
tidak berdaya merubahnya.54 Potensi yang bercorak nativistik ini
berkaitan juga dengan faktor hereditas yang bersumber dari orang tua,
53 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973), hlm. 183.
54 M. Arifin, op. cit., hlm. 89.
28
termasuk keturunan beragama (religiousitas). Aliran nativisme
mengesampingkan faktor-faktor eksternal, seperti pendidikan atau
lingkungan serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan
hidup manusia.55
Sejalan dengan aliran nativisme, aliran naturalisme
mengatakan, bahwa individu sejak dilahirkan adalah memiliki potensi
baik. Perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan
yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh
pendidikan itu baik, maka akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya.56
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa anak atau manusia
itu sejak dilahirkan telah mempunyai kesanggupan untuk berjalan,
potensi untuk berkata-kata dan lain-lain. Potensi-potensi yang
bermacam-macam yang ada pada anak itu, tentu saja tidak begitu saja
dapat direalisasikan atau dengan begitu saja dapat menyatakan diri
dalam perwujudan untuk dapat diwujudkan, sehingga kelihatan dengan
nyata potensi-potensi tersebut harus dikembangkan dan dilatih.
b. Faktor lingkungan
Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di luar diri
anak yang memberikan pengaruh terhadap perkembangannya. Karena
perkembangan anak itu juga dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.
Karena lingkungan juga merupakan arena yang memberikan
kesempatan pada kemungkinan-kemungkinan (potensi) yang ada pada
seseorang anak untuk dapat berkembang.57
Pengaruh lingkungan sangat besar bagi setiap pertumbuhan
fisik. Sejak individu masih berada dalam konsepsi, lingkungan telah
55 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 64. 56 M. Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 59. 57 Amir Daien Indrakusuma, op. cit., hlm. 84. lingkungan di sini meliputi semua
keadaaan, baik berupa orang, benda, kejadian atau peristiwa yang ada di sekeliling anak yang mempunyai pengaruh pada perkembangan dan pendidikan anak. lihat, Abu Ahmad, Ilmu Pendidikan, (Semarang: Toha Putra, Semarang: 1977), hlm. 20. Sementara itu menurut Sartain, lingkungan itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Lingkungan alam luar (external or pysical enviroment); 2) lingkungan dalam (internal enviroment); 3) lingkungan sosial/masyarakat (social enviroment). Lebih lanjut baca, M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 28.
29
ikut memberi andil bagi proses pembuahan, pertumbuhan, suhu,
makanan, keadaan gizi, vitamin, mineral, kesehatan jasmani, aktivitas
dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak.58
Sebaik apapun potensi atau pembawaan seorang anak, maka
tanpa adanya kesempatan dan pendidikan, maka potensi atau
pembawaan yang baik itu akan tetap hanya merupakan pembawaan
saja dan tidak berkembang. Sebaliknya meskipun potensi atau
pembawaan itu kurang baik, tetapi lingkungan memberi dorongan
yang cukup dan kesempatan yang leluasa, maka potensi yang kurang
baik itu bisa berkembang mencapai tingkat yang maksimal.59
Dari kedua pendapat tersebut, masing-masing ada benarnya.
Bahwasanya potensi anak itu dipengaruhi oleh faktor bawaan yang
merupakan warisan dari orang tuanya dan dipengaruhi pula oleh faktor
lingkungan di mana anak itu tumbuh dan berkembang. Akan tetapi
kurang relevan apabila faktor pembawaan dan lingkungan itu
dikatakan secara mutlak mempengaruhi potensi yang ada pada anak.
karena pada intinya kedua faktor itu sama-sama mempunyai pengaruh,
sehingga dari sinilah muncul teori yang dikenal dengan teori
konvergensi.
c. Teori Fitrah
Menurut Islam, fitrah merupakan potensi dasar manusia. Karena
manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu
tauhid. Berangkat dari ajaran fitrah ini, manusia pada hakekatnya
beriman by nature.60 Hal ini diperjelas dengan Firman Allah SWT.
dalam surat al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
58 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm, 87-88. 59 Ibid., hlm. 85. 60 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 47.
30
دم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على وإذ أخذ ربك من بني اأنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا
ذا غافلنيه ن172: األعراف( ع( Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: (Betul Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan: “sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).61
Dalam ayat atas, Allah bermaksud membuktikan ketuhanan-Nya
dengan mempersaksikan kepada manusia tentang hakikat dirinya
sendiri. Hakikat itu adalah bahwa manusia mempunyai kebutuhan
dalam segi kebutuhannya, baik dari segi wujudnya maupun berbagai
tuntutan dan hukum yang berkenaan dengan wujudnya. Sementara itu,
manusia sendiri adalah makhluk yang lemah, tidak mampu menguasai,
mengatur dan memelihara dirinya sendiri, sehingga ia membutuhkan
penguasa, pengatur dan pemeliharaannya, dan itu bukan lain adalah
Allah SWT.62
Sementara itu dalam konsep fitrah, Islam menegaskan bahwa
manusia memiliki fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat
bawaan atau keturunan. Meskipun semua itu masih merupakan potensi
yang mengandung berbagai kemungkinan, fitrah di sini tidak berarti
kosong atau bersih seperti teori tabularasa, tetapi merupakan pola dasar
yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial.
Karena masih merupakan potensi, maka fitrah itu belum berarti bagi
kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan
diaktualisasikan.63
61 Soenarjo, op. cit., hlm. 250. 62 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 121. 63 Ahmadi, op. cit., hlm. 76-77.
31
Secara fitrah, manusia sadar akan Tuhannya, kesadaran-
kesadaran itu adalah suara fitrah yang ada pada diri manusia itu
sendiri. Namun dengan kesibukan dari pengaruh lingkungan, pengaruh
kawan dan pengaruh dosa-dosa yang diperbuatnya, maka suara fitrah
itu menjadi lemah dan sayup-sayup atau bahkan bisa jadi tidak
terdengar oleh dirinya sendiri.64 Ini semua menunjukkan adanya
pengaruh internal dalam diri manusia berupa keimanan dalam pribadi,
dan pengaruh eksternal yang berupa kegiatan sosialitas dalam
kehidupan bermasyarakat.
Faktor pembawaan dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap
potensi yang ada pada manusia khususnya pada potensi fitrah
(keberagamaan) sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah sebagai berikut:
: مقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسل: عن ابي هريرة أنه كان يقول" انه اورصنيانه اودوهي اهوة فابلى الفطرع لدود إال يلووم ا منم
65)رواه مسلم. (يمجسانهArtinya: Dari Abu Hurairah, beliau berkata: bahwasanya Rasulullah
saw. Bersabda: “Tiada seorang manusia dilahirkan kecuali dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nashrani atau Majusi”. (HR. Muslim)
Atas dasar hadis Nabi di atas, maka kita dapat memperoleh
petunjuk bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir ternyata dapat
dipengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tanpa memperdulikan kondisi-
kondisi sekitar, tidak dapat berkembang ia mungkin mengalami
modifikasi atau malah berubah drastis jika saja lingkungan tidak
favorable bagi perkembangan dirinya. Fitrah berinteraksi dengan
faktor-faktor eksternal sifatnya bergantung pada perjalanan panjang
interaksi semacam ini. Tetapi pernyataan ini bukan berarti manusia
64 Qadri Azizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 39.
65 Imam ibn Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburiy, Shahih Muslim, Juz IV, (Beirut, Libanon: Dar al- Ma’arif, t.th.), hlm. 2048.
32
merupakan budak lingkungannya sebagaimana dikemukakan madzhab
behaviourisme.66
Kandungan lain yang terdapat dalam hadis di atas adalah fitrah
yang merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir dan
mengandung nilai-nilai religi sebagaimana yang tersirat pada kalimat
bagian kedua serta keberlakuannya secara mutlak. Penyimpangan
fitrah yang merupakan akibat dari faktor lingkungan (pendidikan). Di
dalam fitrah mengandung pengertian baik-buruk, benar-salah, indah-
jelek, lempeng-sesat, dan seterusnya. Pelestarian fitrah ini dapat
ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal (preventif) atau
mengembalikan pada kebaikan setelah ia mengalami penyimpangan
(kuratif).67
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa setiap individu itu
mempunyai fitrah sejak lahirnya. Yang dimaksudkan dengan fitrah di
sini, adalah kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan
yang murni bagi setiap individu. Kemampuan dan kecenderungan
tersebut lahir dalam bentuk yang sangat sederhana dan terbatas,
kemudian saling mempengaruhi dalam lingkungan yang pada akhirnya
tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau sebaliknya.68
Potensi manusia pada asal penciptaannya adalah suci dan
selamat dari penyimpangan. Dengan demikian, berarti penyimpangan
dan perubahan yang terjadi padanya adalah karena penyakit luar dan
virus yang senantiasa menyerangnya. Hal ini tak ubahnya bagaikan
tubuh manusia, di mana pada asal penciptaannya ia selamat dari segala
macam penyakit. Namun jika ternyata tubuh tersebut sakit, hal itu
adalah karena virus dan penyakit dari luar yang telah menyerangnya
66 Imam Ibnu Husain Muslim Abdullah, “Educational Theory A. Qur’anic Outlook”, terj.
Mutammam, Landasan dan Tinjauan Pendidikan Menurut al-Qur’an serta omplementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1997), hlm. 83.
67 Muhaimin, Abdul Mujib, op. cit., hlm. 27. 68 Muhammad Fadhil al-Jamaly, “Al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an”, terj. Judi al
Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 99.
33
dan bukan karena sifat dasar yang ada dalam tubuhnya.69 Dengan kata
lain, pengaruh yang berada di luar diri manusia dapat pula membentuk
diri manusia.70
Dengan demikian, perkembangan potensi anak itu ditentukan
oleh hasil kerjasama oleh faktor keturunan (hereditas, pembawaan dan
lingkungan) yang merupakan hasil kerjasama antara faktor-faktor yang
ada dalam diri anak dan faktor-faktor yang ada di luar anak. hasil
kerjasama antara kekuatan eksogen dan kekuatan endogen itulah yang
dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak.
4. Cara Mengembangkan Potensi Manusia
Potensi dapat diibaratkan seperti tumbuh-tumbuhan. Wujudnya
akan tampak nyata apabila dipelihara, dirawat, dijaga, dibimbing serta
dikembangkan karena secara kodrati, manusia dianugerahi oleh Tuhan
berupa kemampuan potensi dasar.
Demikian halnya dengan potensi yang dimiliki manusia, maka
potensi naluriah indrawi, akal maupun rasa keberagamaan pada bentuk
asalnya baru berupa dorongan-dorongan dasar yang bersifat alamiah. Oleh
karena itu, potensi tersebut akan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya
apabila dijaga, dipelihara, dibimbing dan dikembangkan secara terarah,
bertahap dan berkesinambungan. Pengembangan potensi manusia dapat
dilakukan dengan beragam cara dan ditinjau dari berbagai pendekatan
sebagai berikut:71
a. Pendekatan filosofis
Pendekatan ini digunakan dalam konteks pandangan filsafat
yang mengacu pada hakekat penciptaan manusia itu sendiri. Yang
mana dalam pandangan aliran dualisme manusia, pada hakekatnya ia
69 Hasan ibn Ali Hasan al-Hijazy, “Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda ibn Qayyim”, terj. Muzaidi
Hasbullah, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyim, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 39. 70 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infiniti Press,
2004), hlm. 12. 71 Jalaluddin, op. cit., hlm. 36.
34
merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga, mind and
body.72 Dengan demikian, dalam tinjauan filosofis al-Qur’an, manusia
merupakan makhluk ciptaan yang diprogramkan untuk mengabdi
kepada penciptanya.
Pada garis besarnya, pengembangan potensi manusia harus
mengacu kepada pengabdian dalam bentuk mematuhi ketentuan dan
pedoman Allah selaku pencipta. Sedangkan ungkapan rasa syukur
digambarkan dalam bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai akhlak
yang terkandung di dalamnya serta mampu diimplementasikan dalam
sikap dan perilaku lahiriah maupun batiniah. Pengembangan ini
diarahkan pada nilai-nilai batin dengan harapan dapat menumbuhkan
kesadaran diri manusia, bahwa segala potensi yang dimiliki merupakan
nikmat Allah semata.73 Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat
an-Nahl ayat 53 sebagai berikut:
وما بكم من نعمة فمن اهللا ثم إذا مسكم الضر فإليه )53: النحل( .تجأرون
Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah datangnya dan bila kamu ditimpa kemadharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (QS. an-Nahl: 53)74
Dengan demikian jelas bahwa potensi yang telah dianut bahkan
itu tidak lepas kaitannya dengan pengabdian kepada pencipta.
b. Pendekatan kronologis
Pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas
proses perkembangan melalui pentahapan. Karena proses pembentukan
embrio manusia berlangsung dalam tahap-tahap dari yang sederhana
sampai kepada yang lebih kompleks.75 Karena manusia adalah
72 Mohammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Suarabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 165-166. 73 Jalaluddin, op. cit., hlm. 37. 74 Soenarjo, op. cit., hlm. 409. 75 Muhammad Ali Albar, “Human Development as Revealed in The Holy Qur’an and
Hadis (The Creation of Man Between Medicine and The Qur’an)”, terj. Budi Utomo, Penciptaan
35
makhluk yang berkembang secara evolusi dari lahir hingga menginjak
dewasa perkembangan manusia melalui periodesasi semua ini sejalan
dengan Firman Allah:
كمرجخي لقة ثمع من طفة ثمن من اب ثمرت من لقكمالذي خ وه فى منوتي نم كممنا ووخيوا شكونلت ثم كمدوا أشلغبلت طفلا ثم
)67: املؤمن( . ولتبلغوا أجلا مسمى ولعلكم تعقلونقبلDialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani sesudah itu dari segumpal darah kemdian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak kemudian kamu dibiarkan hidup supaya kamu sampai pada masa dewasa kemudian kamu dibiarkan hidup lagi sampai tua di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. Kami perbuat demikian supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahaminya. (QS. al-Mu’min: 67)76
Merujuk kepada kenyataan ini, maka pengembangan potensi
manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula.
Selain itu pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan
dengan paksa, karena tiap individu mempunyai irama perkembangan
yang berbeda-beda. Karena itu bimbingan diberikan dan berdasarkan
kemampuan untuk mengenal karakteristik perkembangan tahap demi
tahap.77 Itulah sebabnya potensi itu perlu dikembangkan secara
bertahap.
c. Pendekatan fungsional
Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia
tentunya diarahkan untuk dimanfaatkan. Melalui pendekatan
fungsional ini dimaksudkan bahwa pengembangan potensi manusia
dilihat dalam kaitannya dengan fungsi potensi itu masing-masing,
seperti halnya potensi rasa mengarah pada nilai-nilai etika, estetika dan
Manusia Kaitan Ayat-Ayat al-Qur’an dan Hadis dengan Ilmu Kedokteran, (Jakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm. 3.
76 Soenarjo, op. cit., hlm. 768. 77 Jalaluddin, op. cit, hlm. 38-39.
36
agama.78 Potensi akal pikiran manusia berfungsi untuk merenung dan
memikirkan esensi ciptaan Allah, mengadakan analisis dan studi
perbandingan betapa besar dan agungnya semua rahasia ciptaan-Nya
itu.79 Indra berfungsi sebagai media untuk mengenal dunia luar hingga
manusia dapat berkomunikasi dengan lingkungan. Sedangkan fungsi
dorongan beragama adalah agar manusia dapat mengenal dan
mengabdi kepada Tuhan sebagai pencipta.
Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan agar
perkembangan potensi yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia
karena terlantar. Maka pengembangannya perlu disesuaikan dengan
fungsi utama dari setiap potensi itu masing-masing. Berdasarkan
fungsinya yang hakiki, maka potensi manusia perlu diarahkan sejalan
dengan hakikat kejadiannya. Lebih lanjut atas dasar fungsi hakekat ini,
maka untuk mengaktualisasikan hakekat kemanusiaannya
pengembangan mesti ditujukan pada bagaimana upayanya agar potensi
tersebut dapat dimanfaatkan dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk yang manusiawi.80
d. Pendekatan sosial
Berdasarkan pendekatan ini manusia dilihat sebagai makhluk
yang memiliki dorongan hidup berkelompok dan bermasyarakat. Dari
hubungan yang dibina dalam masyarakat akan terwujud hubungan
timbal balik (reciprocal interaction) dengan orang-orang di sekitarnya.
Maka terjadilah rangsangan-rangsangan yang dapat
memperkembangkan potensi-potensi alamiah manusia.81
Melalui pendekatan sosial manusia dibina dan dibimbing
sehingga potensi yang dimilikinya yaitu sebagai makhluk sosial dapat
78 Muslim Nurdin, op. cit., hlm. 14. 79 M. Hamdani, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta: Muhammadiyah
Univerity Press, 2001), hlm. 17. 80 Jalaluddin, op. cit., hlm. 39-40. pada dasarnya kita hanya menggunakan 1% saja dari
potensi mental kita. Kita telah mengabaikan 99% dari kemampuan kita sebagai manusia dan kebanyakan kaki kita bekerja seperti mesin otomatis, memandang hanya sekilas kepada sumber kekuatan jiwa kita selama kehidupan kita. Avadhutika Ananda Mitra Acarya, op. cit., hlm. 65.
81 Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 81.
37
teratur dan sekaligus terarah pada nila-nilai positif melalui pembinaan
dan bimbingan yang berpedoman pada prinsip dan akhlak. Diharapkan
potensi yang dimiliki setiap individu akan bermanfaat dalam
pembinaan hubungan sosialnya.82
Dengan demikian, pengembangan potensi melalui pendekatan
sosial ini diharapkan akan terbentuk hubungan sosial yang baik antar
sesama manusia maupun antara makhluk yang terpelihara secara
harmonis, karena berlandaskan pada keimanan dan kemaslahatan.
Hasan Langgulung dalam mengembangkan potensi lebih
mendasarkan pada pendapat filosof muslim, yakni sifat-sifat Tuhan
yang berjumlah 99 itu menurutnya merupakan potensi-potensi yang
harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna. Bukan hanya
kekuatan jasmani saja seperti pada pendidikan Sparta, atau kecerdasan
rohani saja seperti di Athena.83
Adapun bentuk pengembangan potensinya harus sesuai dengan
petunjuk Tuhan, itulah yang disebut sebagai ibadah/menyembah
kepada penciptanya.84 Kalau potensi tadi tidak dikembangkan, berarti
ia telah menyeleweng dari tujuan kejadiannya, al-Ilmu misalnya adalah
merupakan sifat Tuhan dan merupakan potensi manusia. Menuntut
ilmu merupakan bentuk pengembangan potensi tersebut, dan ini
merupakan ibadah, tetapi kalau ini tidak dikembangkan dalam diri
manusia dan tidak menuntut ilmu, maka berarti ia menyalahi
potensinya atau dengan kata-kata psikologi, ia menyalahi tabiat semula
(natur)nya. Begitu jugalah dengan sifat-sifat Tuhan yang lainnya.85
Pengembangan potensi juga dapat dilakukan dengan melalui
pendidikan, karena di dalamnya terdapat proses menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi tersebut dalam arti berusaha untuk
82 Jalaluddin, op. cit., hlm. 44. 83 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 263. 84 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapai Abad 21, (Jakarta: Pustaka al-
Husna, 1998), hlm. 60. 85 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran ..., op. cit., hlm. 21.
38
menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten tersebut yang dimiliki
setiap anak.86 Untuk itu, dalam rangka mengembangkan potensi atau
kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari
orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar
berbagai potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar
dan optimal, sehingga hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Dengan begitu, mereka dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
B. Pendidikan Anak
1. Pengertian Pendidikan Anak
Definisi pendidikan dalam masyarakat Islam sekurang-kurangnya
terdapat tiga istilah yang digunakan, yaitu kata tarbiyah (تربية),
ta’li>m (تعليم) dan ta’di>b (تأديب). Dari ketiga istilah dalam bahasa Arab
itu, orientasinya mengacu pada kata pendidikan.
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Tafsir, merumuskan definisi pendidikan dari kata tarbiyah ( يةترب ).
Menurut pendapatnya, kalau tarbiyah berasal dari tiga kata. Pertama, kata
rabba – yarbu ( ,yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua ( يربوا-ربا
rabba –yurabba, yang berarti menjadi besar atau tumbuh dan berkembang.
Ketiga, rabba – yarubba yang berarti memperbaiki, menguasai urusan,
menuntun, menjaga, memelihara.87 Sedangkan menurut Raghib al-
Ashfahani, menjelaskan, bahwa pada mulanya kata tarbiyah itu digunakan
dalam arti insya al-sya’ihalan fahalun ila hada>d al-tama>m, yang
artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap
sampai pada batas yang sempurna.88
86 Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit., hlm. 138. 87 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm. 29. 88 M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta: Karsa Utama
Mandiri, 1998), hlm. 3.
39
Naquib al-Atas berpendapat bahwasanya kata tarbiyah (تربية) secara
semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat
dipakai kepada spesies lain seperti mineral, tanaman dan hewan.89 Sejalan
dengan penjelasan mengenai kata tarbiyah (تربية), di dalam al-Mu’ja>m
al-Wasi>t} sebagaimana dikutip oleh Zuhairini terdapat penjelasan
sebagai berikut:
.ورباه نمى قواه اجلسدية والعقلية واخللقية
Artinya: “Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, akliah (akal) serta akhlak (budi pekertinya)”.90
Firman Allah yang mendukung pengunaan istilah ini antara lain
terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut:
واخفض لهما جناح الذل من الرحمة وقل رب ارحمهما كما ربياني )24: اإلسراء(صغريا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya. Sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (QS. al-Isra’: 24)91
Dari istilah tarbiyah (تربية) itu Abdurrahman al-Bani menyimpulkan
bahwa pengertian pendidikan terdiri atas empat unsur:
a. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh b. Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-
macam. c. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi itu maju menuju kepada
kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. d. Proses ini dilaksanakan secara bertahap sedikit demi sedikit.92
89 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hlm. 2. 90 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 120-121. 91 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 428. 92 Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam
Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1992), hlm. 32.
40
Sehingga dapat dikatakan, bahwa dari kata tarbiyah mengandung
arti pemeliharaan, didikan khususnya pada fitrah anak serta sebagai sarana
untuk menumbuhkembangkan potensi anak yang semua itu dilakukan
melalui proses menuju pada sebuah kedewasaan.
Istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan konsep pendidikan
dalam Islam adalah kata ta’li>m (تعليم). Menurut Abudin Nata,
sebagaimana dikutip oleh M. Irsyad Djuwaeli, bahwasannya kata ta’li>m
digunakan secara khusus untuk (علم) yang berakar dari kata ‘alama (تعليم)
menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga
meninggalkan bekas dan pengaruh pada diri seseorang. Bahkan ada yang
mengatakan, bahwa kata tersebut digunakan untuk mengingatkan jiwa
seseorang agar memperoleh gambaran mengenai arti tentang sesuatu.93
Kata ini terkadang digunakan Allah untuk menjelaskan pengetahuan-Nya
yang diberikan kepada umat manusia sebagaimana Firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 31.
الأس مءاد لمعبئوني ولائكة فقال أنلى المع مهضرع ا ثماء كلهمادقنيص متلاء إن كنؤاء هم31: البقرة. (بأس(
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah: 31)94
Konsep pendidikan Islam menurut Abdul Fatah Jalal, lebih identik
dengan menggunakan istilah ta’li>m. Karena di dalam istilah ini
mengandung proses pendidikan, di antaranya:
a. Ta’li>m adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati.
b. Proses ta’li>m tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah (domain) kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afektif. Pengetahuan yang berada dalam batas-batas wilayah kognisi tidak akan mendorong seseorang untuk
93 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 3. 94 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 14.
41
mengamalkannya dan pengetahuan semacam itu biasanya diperoleh atas dasar prasangka (taqli>d).95
Dari sini menunjukkan, bahwa kata ta’li>m (تعليم) lebih luas serta
lebih mendalam daripada kata tarbiyah (تربية) dalam memberikan
pengertian mengenai konsep pendidikan.
Adapun mengenai kata ta’di>b (تأديب) ini merupakan bentuk
mashdar dari kata kerja addaba (أدب) yang berarti pendidikan. Dan istilah
ini digunakan oleh Naquib Alatas untuk menggambarkan pengertian
pendidikan. Karena dari kata addaba (أدب) itu mempunyai arti untuk
mengatur pikiran dan jiwa, menambah pada baiknya kualitas dan lambang
pikiran dan jiwa, melakukan pembenahan untuk memperbaiki kesalahan
dalam bertindak, membenahi yang salah serta memelihara dan
perlindungan dari tingkah laku yang tidak baik.96
Menurut Naquib al-Attas, bahwa kata addaba diturunkan juga kata
adabun, yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur. Secara hirarkhis sesuai dengan
berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat
seseorang yang tepat yang hubungannya dengan hakikat itu serta dengan
kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang.97
Adapun mengenai kata ta’di>b yang berakar pada kata addaba tidak
dijumpai dalam al-Qur’an. Kata tersebut dijumpai dalam hadits yang
berbunyi:
الحا صثندقال ح ا احملاربىثندالم حس ناب وه دمحا منربان أخين حبقال رسول اهللا : قال عامر الشعبي حدثنى أبو بردة عن أبيه قال: قال
لمسه وليلى اهللا عص .. : نسا فأحهلمعا وهبأديت نسا فأحهبفأد 98)رواه البخارى... (تعليمها
95 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 7. 96 Syed Muhammad Naquib al-Atas, Aims and Objectives of Islam Education, (Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1979), hlm. 36. 97 Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 29. 98 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 29.
42
Artinya: Muhammad (Ibnu Salam) telah menceritakan kepada kita, al-Maharib telah menceritakan kepada kita, ia berkata: S{aleh ibn Hayyan berkata: ‘Amir al-Sya’bi telah menceritakan kepadaku, yakni Abu Burdah dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw. Bersada: ....Maka didiklah ia dengan didikan yang baik dan ajarlah ia dengan pengajaran yang baik.... (HR. Bukhari)
Meski demikian, kata ta’di>b menurut Naquib al-Attas justru
memiliki fungsi dan arti yang lebih tepat bagi pendidikan.99 Berdasarkan
konsep adab tersebut, al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke
dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di
dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing
ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam
tatanan wujud dan kepribadian.100
Berdasarkan etimologi bahasa dari ketiga kata tersebut dapat ditarik
benang merah, bahwa kata tarbiyah memuat kandungan upaya sadar akan
pemeliharaan, pengembangan seluruh potensi diri manusia sesuai dengan
fitrahnya dan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak
kemanusiaannya. Sementara kata ta’li>m mengesankan proses pemberian
ilmu pengetahuan dan penyadaran akan fitrahnya dan tugas-tugas
kemanusiannya yang harus diwujudkan oleh individu dalam kehidupan
nyata. Sedangkan kata ta’di>b mengesankan proses pembinaan
kepribadian dan sikap moral (afektif) dan etika dalam kehidupan. Dengan
demikian, ketiga kata tersebut pada intinya mengacu kepada pemeliharaan,
perlindungan dan pengembangan keseluruhan potensi diri manusia.
Selain dari sudut pandang etimologi, maka diperlukan juga segi
terminologi agar suatu pembahasan atau uraian menjadi jelas dan
sistematis.
99 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 4. 100 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 9-10.
43
Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang pengertian
pendidikan, akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli sebagai
berkut:
a. M.J. Langeveld
Pendidikan adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan kemandirian.101
b. Syaikh Musthafa al-Ghulayani
التربية هي غرس االخالق الفاضلة فى نفوس الناشئين وسقيها بماء رشاد والنصيحة حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون إلا
102.نفع الوطنثمرتها الفاضيلة واخلير وحب العمل لArtinya: “Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia
dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”.
c. Ahmad D. Marimba
Pendidikan103 adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama.104
d. Joe Park
Merumuskan pendidikan sebagai: the art of process of imparting or
acquiring knowledge and habit through instructional as study. Di
dalam definisi ini, tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada
101 Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih
Diperlukan, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 22. 102 Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nasihin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 103 Menurut caranya, pendidikan terbagi menjadi 3 macam, yaitu: 1) aresurt, yakni
pendidikan yang berdasarkan paksaan, dilakukan pada kanak-kanak yang umurnya belum 1 tahun; 2) latihan, dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan yang dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak didik; 3) pendidikan dimaksudkan untuk membentuk kata hati. Anak didik yang diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri dan menentukan kelakuan sendiri atas tanggungjawabnya sendiri pula. Lihat, Tim Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, t.th.), hlm. 2627.
104 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), hlm. 19.
44
pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang dibina
adalah aspek kognitif dan kebiasaan.105
Dari beberapa pendapat di atas dapat diuraikan, bahwa pendidikan
adalah usaha sadar yang teratur dan sistematis yang dilakukan orang-orang
yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai
sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan, yakni membentuk
kepribadian muslim.
Anak menurut Ahmad Warson Munawir di dalam Kamus Arab
Indonesia: Munawir diistilahkan dengan kata al-tifl (الطفل) yang jamaknya
adalah athfa>l (أطفال) yang berarti bayi, anak kecil.106 Sedangkan menurut
pendapat Aristoteles membatasi, masa anak-anak mulai dari umur o
sampai 14 tahun yang kemudian diklasifikasikan menjadi dua fase, sebagai
berikut:
a. Fase I dari 0;0 smpai 7;0: masa anak kecil ke masa anak bermain
b. Fase II dari 7;0 smpai 14;0 : masa anak, masa belajar atau masa
sekolah rendah.107
Jadi, pendidikan anak adalah merupakan suatu usaha sadar yang
dilakukan oleh orang dewasa/pendidik dalam rangka membantu,
membimbing, memelihara dan menumbuhkembangkan potensi dan
sumber daya insani yang telah ada pada diri anak sejak kecil mulai masa
awal pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga dapat memperluas dan
meningkatkan intelektual, pengenalan kehidupan (lingkungan sosial dan
kepercayaan diri), sehingga dapat membentuk kepribadian mereka menjadi
insan kamil sesuai dengan norma-norma Islam.
105 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980),
hlm. 5-6. 106 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Krapyak Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawir, 1984), hlm. 918. 107 Sumadi Suryabrata, op. cit., hlm. 185-186.
45
2. Tujuan Pendidikan Anak
Setiap usaha, tentu saja selalu diproyeksikan pada pencapaian
tujuan, termasuk pula usaha mendidik anak. Karena tanpa tujuan yang
jelas, niscaya langkah usaha itu akan kabur dan tidak terarah, sehingga apa
yang diharapkan itu tidak akan berhasil secara maksimal.
Sebelum membahas panjang lebar mengenai tujuan pendidikan,
maka alangkah lebih baiknya diketahui terlebih dahulu mengenai arti
tujuan terlebih dahulu. Tujuan di sini berarti batas akhir yang dicita-
citakan seseorang dan menjadi pusat perhatiannya untuk dicapai melalui
usaha. Dalam tujuan terkandung cita-cita kehendak dan kesengajaan serta
berkonsekuensi penyusunan daya upaya untuk menncapainya.108
Berbicara mengenai tujuan pendidikan anak, maka tidak akan jauh
berbeda dengan tujuan pendidikan Islam. Untuk membahas tentang tujuan
pendidikan Islam, maka dimulai terlebih dahulu tujuan pendidikan secara
umum yang terdapat dua pandangan teoritis. Pandangan teoritis yang
pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap
pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik,
baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis.
Pandangan teroritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu yang
lebih memfokuskan diri pada kebutuhan daya tampung dan minat
pelajar.109
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin
diwujudkan. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat
sebagaimana pendapat Muhammad Fadhil al-Jamaly yang menjelasklan
108 Hery Noer Aly., op. cit., hlm. 51. istilah yang dipakai dalam bahasa Inggris yang
merujuk pada hasil pendidikan yang dicita-citakan/tujuan pendidikan menggunakan istilah objective, aims purposes dab goals, sedangkan dalam bahasa Arab menggunakan istilah Chayyat, ahdaf dan mawashid yang berarti tujuan. Baca, Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory: a Qur’anic Outlook”, terj. M. Arifin dan Zainuddin, Teori Pendidikan menurut al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 131-132.
109 Wan Mohd Nor Wan Daud, “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk., Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 163.
46
tujuan pendidikan menurut al-Qur’an, yang disimpulkannya sebagai
berikut:
a. Mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama manusia dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidupnya.
b. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata kehidupan.
c. Mengenalkan manusia akan alam ini, mengajak mereka memahami hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk dapat mengambil manfaat dari alam tersebut.
d. Mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah SWT.) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.110
Menurut pandangan al-Ghazali, bahwasanya tujuan pendidikan itu
untuk mencapai dua tujuan inti, yaitu:
a. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia
dan di akherat.111
Hal ini menunjukkan bahwasannya tujuan yang utama dalam sebuah
pendidikan adalah untuk menjamin masa depan anak di akhirat kelak. Hal
ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Tahrim ayat 6 sebagai
berikut:
)6: التحرمي(ياأيها الذين امنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. al-Tahrim: 6)112
Hasan Langgulung dalam bukunya yang berjudul Manusia dan
Pendidikan, mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memelihara
kehidupan manusia.113 Ahmad D. Marimba berpendapat, bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.114 Kemudian
110 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 12-13. 111 Fathiyah Hasan Sulaiman, “Al-Madzhabuut Tarbawi inda al-Ghazali”, terj.
Fatchurrahman dan Syamsuddin Asyrafi, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm. 26.
112 Soenarjo dkk., op. cit,, hlm. 951. 113 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologis, Filsafat dan
Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), hlm. 33. 114 Ahmad D. Marimba, op. cit., hlm. 46.
47
dilihat dari tujuan umum pendidikan Islam, maka hal itu sinkron dengan
tujuan agama Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar
tunduk, bertakwa dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akherat.115
Hal ini menunjukkan bahwasanya islam menghendaki agar manusia
dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupannya sebagaimana
yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah
ialah beribadah kepada Allah, yaitu sebagai hamba (‘a>bid). Ini diketahui
dari surat al-Dza>riya>t ayat 56 sebagai berikut:
)56: الذريات. (وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptaka jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. al-Dzariyah: 56)116
Selain itu, tujuan pendidikan Islam, juga tidak lepas dari kaitannya
dengan eksistensi hidup manusia sebagai wakil-Nya (kha>lifah Allah) di
bumi. Salah satu fungsi dan tugas seorang pemimpin (kha>lifah) adalah
kemampuannya dalam memelihara, mengatur dan mengembangkan
potensi dasar yang beragam (heterogen) dari yang dipimpinnya di atas
dasar amanah, dan bukan atas dasar prinsip kepemilikan (privatisasi).
Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya memelihara dan mengembangkan
hidup ini, sebab hidup merupakan fitrah yang paling dasar bagi manusia.
Hidup bukan hanya terjadi di dunia ini secara lurus (mustaqi>m)
seseorang akan selamat dan bahagia dalam menuju Tuhan.117 Kaitannya
dengan persoalan manusia sebagai khalifah Allah ini telah dipertegas
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:
115 Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung
Insani, 2000), hlm. 142. 116 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 862. 117 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 13-14.
48
لائكة إنللم كبإذ قال را ول فيهعجليفة قالوا أتض خاعل في الأري جمن يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال
)30: البقرة. (إني أعلم ما لا تعلمونIngatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bmu itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. al-Baqarah: 30)118
Dari tujuan pendidikan Islam yang masih bersifat umum tersebut,
yakni berpusat pada ketakwaan dan kebahagiaan tersebut, maka dapat
digali tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:
a. Mendidik manusia yang shaleh dengan memperhatikan segenap
dimensi perkembangannya, baik rohaniah, emosional, sosial,
intelektual dan fisik.
b. Mendidik anggota kelompok sosial yang shaleh, baik dalam keluarga
maupun masyarakat muslim.
c. Mendidik manusia yang shaleh bagi masyarakat insani yang benar.119
Adapula yang merinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi
yang terutama meliputi:
a. Pembinaan kepribadian (nilai formal)
1) Sikap (attitude)
2) Daya pikir kritis rasional
3) Objektivitas
4) Loyalitas kepada bangsa dan ideologi
5) Sadar nilai-nilai moral agama
b. Pembinaan aspek pengetahuan
c. Pembinaan potensi bangsa dan ideologi120
118 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 13. 119 Hery Noer Aly dan Munzier S., op. cit., hlm. 143-144.
49
Untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, tujuan itu harus dirinci
menjadi tujuan yang khusus. Bahkan sampai ke tujuan yang operasional.
Usaha merinci tujuan umum itu dilakukan oleh al-Syaibani, yang
menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi:
a. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang
mencakup perubahan yang berupa pengetahuan tingkah laku, jasmani,
rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk
kehidupan dunia dan akhirat.
b. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku
masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan
kehidupan masyarakat dan memperkaya pengalaman masyarakat.
c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan
masyarakat.121
Dari berbagai pendapat tersebut, merujuk pada pemeliharaan dan
pengembangan kehidupan jiwa (rohaniah) dan raga (jasmaniah) sebagai
sumber potensi masyarakat, maka dalam hal ini tujuan pendidikan dalam
arti pemeliharaan dan pengembangan potensi manusia dapat dipertajam
lagi dengan lebih memfokuskannya kepada tiga sasaran utama. Pertama,
mencerdaskan akal pikiran dengan cara memelihara dan
mengembangkannya melalui pembelajaran yang sistematis, serta
memberikan perlindungan menyeluruh kepadanya. Karena akal pikiran
merupakan potensi dasar manusia yang sangat penting bagi keutamaan
hidup. Kedua, memelihara dan mengembangkan rasa kebebasan (free
will). Potensi dasar ini merupakan aspek fundamental bagi perkembangan
dan pertumbuhan hidup manusia yang kedudukannya senantiasa
bergantung dengan tanggung jawab. Dalam konteks ini, pendidikan harus
mampu memelihara dan memupuk potensi kebebasan yang dimiliki
peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang kapada
120 Muhammad Noor Syam, op. cit., hlm. 147-148. 121 Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani, “Falsafatut tarbiyah al-Islamiyah”, terj.
Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.
50
mereka dalam mewujudkan kemampuan tanggung jawab atas tindakan dan
pilihannya. Karena tanpa kebebasan dan tanggung jawab dunia, maka
pendidikan akan kehilangan artinya. Ketiga, memelihara dan
mengembangkan kemampuan berbicara, sebab manusia tidak dapat
menyatakan dirinya lebih jelas, kecuali hanya dengan berbicara. Maka dari
itu, pendidikan harus dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik dapat mengungkapkan dirinya dalam
berbicara,bertindak, berfikir dan aksi. Pencapaian tujuan dasar ini
merupakan tuntutan dasar bagi dunia pendidikan.122
Apabila diambil kesimpulan, maka pendidikan Islam bertujuan
bukan hanya sekedar memenuhi otak murid-murid dengan ilmu
pengetahuan, tetapi tujuannya adalah mendidik akhlak dengan
memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik maupun mental
(psikologis), perasaan dan praktek menyiapkan manusia sebagai anggota
masyarakat.
Jadi, tujuan pendidikan anak adalah membekali anak agar menjadi
hamba Allah (abdullah) yang bertakwa dan beribadah sema-mata hanya
karena Allah, menghantarkan anak agar mampu melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi, sehingga memperoleh kebahagiaan dunia
dan akherat, menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam dirinya,
sehingga anak dapat merealisasikan dirinya sebagai pribadi muslim, serta
memperluas pandangan hidup anak sebagai makhluk individu, sosial dan
religius sehingga nantinya akan terbentuk pribadi anak yang shaleh yang
dapat bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara.
3. Materi Pendidikan Anak
Sasaran dan tujuan pendidikan tidak mungkin akan tercapai kecuali
materi pendidikan terseleksi dengan baik dan tepat. Istilah materi
digunakan di sini untuk sejumlah disiplin. Ilmu yang mengembangkan
basis kegiatan sekolah, dan biasanya diklasifikasikan dalam beberapa
122 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 14-16.
51
subjek materi yang berbeda-beda. Materi dalam hal ini, intinya adalah
subtansi yang akan disampaikan dalam proses interaksi edukatif kepada
anak didik dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Bahan pelajaran atau materi pendidikan adalah merupakan unsur
inti dalam kegiatan interaksi edukatif. Karena harus diupayakan untuk
dapat dikuasai oleh anak didik123 dalam rangka memenuhi kebutuhan anak
dalam pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan anak itu dijelaskan oleh Verna
Hildebrand dalam bukunyta Introduction to Early Childhood Education
sebagai berikut:
a. The child needs to grow in independence b. The child needs to learn to give and share as well as recieve
affection c. The child needs to learn to get along with others d. The child needs to develop self control e. The child needs to learn the appropriate sex role f. The child needs to begin understanding his body g. The child needs to learn many large and small motor skills h. The child needs to begin to understand and control his physical
world i. The child needs to learns new words and how to use words in his
social an intellectual activity j. The child needs to begin to develop a notion abaout his
relationship to the word.124
Artinya: a. Anak membutuhkan perkembangan secara independen b. Anak membutuhkan untuk belajar memberi dalam berbagai hal
untuk menerima kasih sayang c. Anak butuh belajar untuk bergaul akrab dengan orang lain d. Anak butuh mengembangkan pengendalian diri e. Anak membutuhkan untuk belajar sesuai jenis kelamin dan peran
yang sesuai f. Anak butuh pemahaman terhadap badannya g. Anak butuh belajar banyak ketrampilan motorik dalam skala kecil
dan besar h. Anak butuh untuk memahami dan mengendalikan dunia fisiknya
123 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. 18. 124 Verna Hildibrand, Introduction to Early Childhood Education, (New York: Macmillan
Publishing, 1971), hlm. 24-26.
52
i. Anak butuh belajar kata-kata baru dan bagaimana cara menggunakan kata-kata itu dalam hubungan sosialnya, yaitu suatu aktivitas intelektual
j. Anak harus mulai untuk kembangkan suatu dugaan tentang hubungannya kepada kata.
Materi pendidikan anak yang dicanangkan al-Ghazali, baik itu di
rumah maupun di Madrasah Ibtida’iyah pada dasarnya meliputi:
pengetahuan yang menuntutnya adalah fard}u ‘ain bagi setiap muslim,
yaitu meliputi rukun iman, cara melakukan perintah-perintah Allah dan
prinsip-prinsip tingkah laku yang benar “dalam bentuknya yang paling
sederhana”. Al-Ghazali memandang mata pelajaran-mata pelajaran ini
menguntungkan, baik untuk pemenuhan praktis terhadap kewajiban-
kewajiab agama maupun sebagai alat untuk memperkuat keimanan anak-
anak.125 Oleh karena itu, hal yang terpokok yang perlu diserap oleh anak
adalah hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, keislaman dan akhlak,126
seperti yang dikatakan oleh pikiran, diamalkan dalam kehidupan dalam
bentuk ibadah dan diungkapkan dalam bentuk perkataan, sikap, akhlak
(perangai) pergaulan dan kehidupan pada umumnya.
Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan islamnya,
Abdullah Nasih Ulwan sebagaimana dikutip oleh Raharjo menekankan
bahwa materi pendidikan yang bersifat mendasar dan universal. Materi-
materi pendidikan tersebut adalah pendidikan iman, akhlak, fisik,
intelektual, psikis, sosial dan seksual.127 Sedangkan menurut Chabib
Thoha memfokuskan materi pendidikan pada aspek pendidikan ibadah,
pokok-pokok ajaran Islam dan membaca al-Qur’an, pendidikan akhlak dan
125 Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bungan Rampai dari Chicago,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 77. 126 Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 Tahun”,
dalam Ahmad Tafsir (ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 113.
127 Raharjo, “Dr. Abdullah Nasih Ulwan: Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 62.
53
pendidikan akidah Islamiyah.128 Sejalan dengan pemikiran Thoha, M.
Nipan Abdul halim menambahkannya dengan pendidikan ekonomi dan
kesehatan sebagai penunjang tegaknya akidah, ibadah dan akhlak anak.129
Adapun yang mendasar adalah:
a. Pendidikan iman (akidah)
Pendidikan akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang
yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sedemikian
mendasarnya pendidikan akidah ini bagi anak-anak, karena dengan
pendidikan inilah anak akan mengenali siapa Tuhannya, bagaimana
cara bersikap terhadap Tuhannya dan apa saja yang mesti mereka
perbuat dalam hidup ini.130
Materi pendidikan keimanan ini adalah untuk mengikat anak
dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah. Sejak
anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Adapun tujuan
mendasar dari pendidikan ini adalah agar anak hanya mengenal Islam
mengenai dirinya. Al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah sebagai
pemimpin dan teladannya.131 Hal ini sesuai dengan Firman Allah
dalam surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:
هنه وان لابإذ قال لقمو لظلم كربالله إن الش ركشلا ت ينابي عظهي وظيم13: لقمان. (ع(
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: “hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar. (QS. Luqman: 114)132
128 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 105. 129 M . Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2000), hlm. 91. 130 Ibid., hlm. 94. 131 Raharjo, op. cit., hlm. 62. 132 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 654.
54
b. Pendidikan ibadah
Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama
telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih
dan fikih Islam. Karena seluruh tata peribadatan telah dijelaskan di
dalamnya, sehingga perlu diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi
sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi
insan-insan yang bertakwa.133 Pendidikan ibadah di sini, khususnya
pada pendidikan shalat yang merupakan tiang dari segala amal ibadah
sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah dalam surat Luqman ayat
17 sebagai berikut:
يابني أقم الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما إن ذلك كابورأصم الأمزع 17: لقمان(. من(
Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS. Luqman: 17)134
Pendidikan shalat dalam konteks ayat tersebut tidak hanya
terbatas tentang tata cara untuk menjalankan shalat yang lebih bersifat
fi’liyah, melainkan termasuk menanamkan nilai-nilai dibalik ibadah
shalat. Anak harus mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi
mungkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar.
c. Pendidikan akhlak (moral)
Yang dimaksud dengan pendidikan akhlak adalah pendidikan
mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus
dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak masa analisa hingga
menjadi seorang mukallaf, seorang yang telah siap untuk mengarungi
lautan kehidupan. Tujuan dari pendidikan akhlak ini adalah untuk
membentuk benteng religius yang berakar pada hati sanubari. Benteng
133 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 102. 134 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655.
55
tersebut akan memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan, dosa
dan tradisi jahiliyah.135
Keluarga merupakan tempat pertama yang harus meletakkan
pendidikan akhlak dalam diri anak dengan jalan melatih dan
membiasakan hal-hal yang baik. Pendidikan akhlak tidak hanya
dikemukakan secara teoritik, melainkan disertai contoh-contoh
kongkrit untuk dihayati maknanya. Kemudian direfleksikan dalam
kehidupan kejiwaannya.136 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam
surat Luqman ayat 18 sebagai berikut:
تصعر خدك للناس ولا تمش في الأرض مرحا إن الله لا يحب ولا )18: لقمان(كل مختال فخور
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS. Luqman: 18)137
d. Pendidikan intelektual
Pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan
berfikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu
pengetahuan, peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran
berfikir dan berbudaya. Dengan demikian, ilmu rasio dan peradaban
anak benar-benar dapat terbina.138
Pendidikan intelektual ini sangat erat hubungannya dengan
pendidikan iman, moral dan fisik dalam rangka membentuk pribadi
anak secara integral dan di dalam mendidik anak secara sempurna agar
menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban,
risalah dan tanggung jawabnya, pelaksanaan pendidikan intelektual ini
mencakup tiga masalah yang krusial dan saling terkait, yaitu kewajiban
135 Raharjo, op. cit., hlm. 63. 136 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 108. 137 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655. 138 Abdullah Nasih Ulwan, “Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam”, Juz I, terj. Saifullah Kamali
dan Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa’, 1981), hlm. 270.
56
mengajar, penyadaran berfikir dan pemeliharaan kesehatan
intelektual.139
Dengan diberikannya pokok-pokok pendidikan anak tersebut
diharapkan anak akan tumbuh dewasa menjadi insan mukmin yang benar-
benar shaleh, insan yang kuat akidahnya, mantap ibadahnya, mulia
akhlaknya dan cemerlang pemikirannya, sehingga kepribadian mereka
terbentuk menjadi pribadi muslim yang kuat.
4. Metode dalam Mendidik Anak
Metode pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam
pendidikan, karena kenyataan materi pendidikan tidak akan dapat
dipelajari dan diterima secara efektif dan efesien, kecuali disampaikan
dengan cara-cara tertentu. Ketiadaan metode pendidikan yang efektif akan
menghambat dan membuang secara sia-sia waktu dan upaya pendidikan.
Istilah metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan. Jadi,
jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode.140 Metode
diartikan pula sebagai suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan.141 Sedangkan menurut
Moh. Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Omar Muhammad al-
Thoumy mendefinisikan metode sebagai suatu jalan yang kita ikuti untuk
memberi faham kepada murid-murid segala macam pelajaran.142
Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan untuk mengembangkan
sikap, pengetahuan, daya cipta dan ketrampilan pada anak dapat dicapai
melalui berbagai metode, maka metode yang digunakan untuk pendidikan
anak dalam Islam adalah melalui metode teladan, teguran, cerita,
pembiasaan dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.143 Sedangkan
menurut M. Fadhil al-Jamaly menyebutkan metode dari sudut pandang al-
139 Raharjo, op. cit., hlm. 64. 140 Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 183. 141 Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., hlm. 19 142 Omar Mohammad Thoumi al-Shaibani, op. cit., hlm. 551. 143 Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al-
Ma’arif, 1993), hlm. 324.
57
Qur’an, yaitu pemberi peringatan, pemberi pelajaran dan nasehat, historis,
keteladanan ibarat yang historis.144
Adapun di antara metode yang sesuai bagi pendidikan anak dan
cocok untuk diterapkan dalam mendidik anak antara lain sebagai berikut:
a. Metode keteladanan
Metode keteladanan berarti metode dengan memberi contoh,
baik berupa tingkah laku sifat cara berfikir dan sebagainya.145
Keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada omelan
atau nasehat.146 Ini sejalan dengan pendapat Nashih Ulwan,
sebagaimana dikutip oleh Raharjo yang menyatakan, bahwa metode
keteladanan adalah metode yang paling menentukan keberhasilan
dalam menentukan, mempersiapkan dan membentuk sikap dan prilaku
moral, spiritual dan sosial anak.147
Metode keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode yang
influitif yang paling meyakinkan keberhasilan dalam mempersiapkan
dan membentuk anak di dalam moral spiritual dan sosial. hal ini karena
pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan
ditirunya dalam tindak tanduknya dan tata santunnya, didasari atau
tidak bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu gambaran
pendidik, baik dalam ucapan dan perbuatan yang bersifat material dan
spiritual, yang diketahui atau tidak.148
Ini menunjukkan bahwa pendidikan dengan metode keteladanan
merupakan metode yang berhasil guna.
Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menunjukkan
kepentingan penggunaan bentuk keteladanan dalam pendidikan. Di
antaranya terdapat dalam surat al-Ahza>b ayat 21 sebagai berikut:
144 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 128-134. 145 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 178. 146 Jaudah Muhammad Awwat, Manhaj Islam fi al-Tarbiyah al-Athfal, terj. Shihabuddin,
Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 13. 147 Raharjo, op. cit., hlm. 66. 148 Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 2.
58
و اللهجركان ي نة لمنسة حوول الله أسسفي ر كان لكم لقد )21: األحزاب. (واليوم الآخر وذكر الله كثريا
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab: 21)149
Di antara faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dalam
pendidikan dan dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah uswah
hasanah (suri tauladan) yang diikuti oleh anak-anak dan orang
dewasa.150 Ini menunjukkan pentingnya contoh teladan pergaulan yang
baik dalam usaha membentuk kepribadian seseorang. Dan di sini,
peran seorang guru berperan di mana ia harus bisa menjadi contoh
yang baik bagi anak-anak didiknya, karena dalam prakteknya anak
didik cenderung meneladani pendidiknya.
b. Metode pembiasaan
Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang
sangat penting, terutama bagi anak-anak. adapun pembiasaan yang
harus dikembangkan dalam diri anak mencakup tingkah laku,
ketrampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.151 Menurut Ahmad
Tafsir, pembiasaan merupakan teknik pendidikan yang jitu, walau ada
kritik terhadap metode ini. Karena cara ini tidak mendidik anak untuk
menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Oleh karena itu,
pembiasaan ini harus mengarah kepada kebiasaan yang baik.152
Bentuk metode pembiasaan yang harus ditanamkan dalam diri
anak adalah pembiasaan akidah, ibadah dan akhla>k al-kari>mah.153
Menanamkan kebiasaan itu sulit kadang-kadang memerlukan waktu
149 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 670. 150 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 135. 151 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 185. 152 Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 144. 153 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 187.
59
yang lama, kesulitan itu disebabkan pada mulanya seorang anak belum
mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakan.
Dalam pendidikan anak, metode ini dapat diterapkan dengan
cara orang tua/guru, memberi atau melakukan kebiasaan-kebiasaan
yang baik, seperti hidup rukun, tolong menolong, jujur dan lain-lain.
Dengan sistem pengajaran semacam ini anak secara otomatis menjadi
terbiasa baik di sekolah maupun di keluarga.
Bertolak dari dasar-dasar yang Islami dan metode paedagogis
ini, maka wajib bagi setiap orang tua, pendidik, masyarakat dan media
masa berperan aktif untuk mencegah anak dari segala bentuk yang
membahayakaan akidah dan mendorong mereka untuk melakukan
tindak kejahatan dan kehinaan.154 Semua ini dilakukan dalam rangka
membantu untuk merealisasikan metode keteladanan supaya dapat
berjalan dengan baik di dalam membentuk diri pribadi anak menuju
yang lebih baik.
c. Metode Nasehat
Di antara metode pendidikan yang telah masyhur sejak berabad-
abad yang silam adalah metode pemberian pembelajaran/nasehat.
Metode ini digunakan dalam pendidikan untuk membuka mata anak-
anak pada hakekatnya sesuatu yang mendorongnya menuju situasi
luhur menghiasinya dengan akhlak mulia dan membekalinya dengan
prinsip-prinsip Islam. Metode ini mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap jiwa dan perasaan.155
Metode ini sangat penting, karena seseorang kadang-kadang
lebih senang mendengarkan atau memperhatikan nasehat orang-orang
yang ia cintai dan ia jadikan tempat untuk mengadu segala
permasalahan.156 Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan
pengaruh jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan dengan metode ini
pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan anak
154 Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 128-129. 155 Raharjo, op. cit., hlm. 69. 156 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 130-131.
60
didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan
masyarakat dan umat. Hubungannya dengan metode ini al-Qur’an
menjelaskan dalam surat al-Nisa’ ayat 58.
الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن ا بميعكان س به إن الله عظكما ينعم ل إن اللهدوا بالعكمحا تصري
)58: النساء(Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat (QS. al-Nisa’: 58)157
Dalam metode ini, pendidik hendaknya berusaha menimbulkan
kesan bagi anak didik, bahwa dia adalah yang mempunyai niat baik
dan sangat peduli terhadap kebaikan anak didik.
157 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 128.